Anda di halaman 1dari 6

9/22/2017 Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing: Isu dan Realita

Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing: Isu


dan Realita
Prof. Dr. Fuad Adbul Hamied, M.A.
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

Makalah ini akan mengetengahkan gagasan pokok berkenaan dengan pengajaran bahasa Indonesia
bagi penutur asing (BIPA) yang sajiannya akan mencakupi landasan teoretis pengajaran bahasa
asing, berbagai fenomena pengajaran BIPA, dan pemanfaatan media teknologi khususnya internet
bagi pemelajaran BIPA. Pergeseran pengajaran bahasa ke arah yang interaktif memunculkan
kajian yang melibatkan variabel lain seperti ciri masukan dan faktor lingkungan yang perlu dikaji
dalam seleksi dan penyuguhan bahan belajar-mengajar. Prinsip-prinsip ini akan dilihat dari sisi
relevansi dan fisibilitasnya bagi pengajaran BIPA, termasuk pemanfaatan akses ke wilayah rongga-
siber untuk percepatan pemerolehan BIPA itu sendiri.

Pengajaran Bahasa Asing


Pembicaraan mengenai pengajaran bahasa tidak bisa dilepaskan dari konteks pembelajaran
bahasa. Keduanya berkait erat dan melibatkan berbagai variabel yang jumlahnya banyak.
Intinya adalah bahwa proses belajar mengajar bahasa itu bukan hal yang sederhana dan tidak
bisa diamati sekedar sebagai potongan-potongan kegiatan mengeluarkan dan menimba bahan
saja.

Pengajaran bahasa asing, termasuk BIPA, sebagai kegiatan profesional telah melahirkan
berbagai kerangka teoretis yang melibatkan berbagai disiplin. Antara tahun 1940 - 1960 tampak
sekali adanya pandangan yang kokoh bahwa penerapan linguistik dan psikologi akan menjadi
landasan terbaik guna memecahkan masalah pengajaran bahasa.

Selanjutnya, lahirlah berbagai model yang melihat faktor-faktor berpengaruh dalam menelorkan
pedagogi bahasa, seperti model dari Campbell, Spolsky, Ingram, dan Mackey (baca Stern, 1983).

Pembelajaran bahasa sering hanya memusatkan perhatian pada tingkah linguistik saja dengan
mengabaikan tingkah non-linguistiknya. Dalam konteks ini Bloomfield (1933:499) menyatakan
bahwa

Whoever is accustomed to distinguish between linguistic and non-linguistic behavior, will


agree with the criticism that our schools deal too much with the former, drilling the child
in speech response phases of arithmetic, geography, or history, and neglecting to train
him in behavior toward his actual environment.

Sistem pengajaran formal di sekolah dalam konteks pembelajaran bahasa hanya merupakan
salah satu saja dari sekian banyak variabel terkait. Variabel lain yang patut dilihat adalah antara
lain variabel pajanan (exposure), usia si pembelajar, dan tingkat akulturasi (Krashen, 1982:330).

Dalam berbagai penelitian yang dilaporkan oleh Krashen (1982:37-43), pajanan itu terkadang
berkorelasi positif dan berarti dengan kemahiran berbahasa, tetapi terkadang juga tidak. Dalam
hal variabel usia yang sering diasumsikan sebagai suatu penduga kemahiran B2, Krashen, Long
dan Scarcella yang dikutip oleh Krashen (1982:43) mengetengahkan generalisasi berikut
berdasarkan hasil penelitiannya: (1) Orang dewasa bergerak lebih cepat dari pada anak-anak

https://www.ialf.edu/bipa/april2001/pembelajaranbahasaindonesia.html 1/6
9/22/2017 Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing: Isu dan Realita

dalam melampaui tahapan dini perkembangan B2-nya; (2) dengan waktu dan pajanan yang
sama, anak yang lebih tua melalui proses pemerolehan bahasa lebih cepat dari pada anak yang
lebih muda; dan (3) pemeroleh yang memulai pajanan alamiah terhadap B2 pada masa anak-
anak pada umumnya mencapai kemahiran B2 lebih baik dari pada yang memulai pajanan
alamiahnya sebagai orang dewasa.

Tingkat akulturasi si pembelajar terhadap kelompok bahasa sasaran akan mengontrol tingkat
pemerolehan bahasanya. Menurut Schumann yang diuraikan Larsen-Free man (di Bailey, Long
& Peck (penyunting), 1983), akulturasi itu meliputi dua kelompok faktor: variabel sosial dan
variabel afektif.

Sedikit berbeda dengan Krashen, Titone (di Alatis, Altman, dan Alatis (penyunting), 1981:74-75)
menduga bahwa motivasi, bakat bahasa, dan jumlah waktu yang dipakai dalam belajar bahasa
merupakan tiga faktor yang paling menonjol yang memberikan ciri pada pembelajaran B2.

Demikianlah, konteks pengajaran BIPA itu akan merambah ke berbagai hal terkait seperti
ketersediaan dukungan lingkungan pembelajaran yang akan memberikan masukan/bahan yang
akan dipelajari, guru dengan kemahiran berbahasa Indonesia yang memadai, siswa dengan
segala cirinya, dan metode mengajar yang keefektifannya akan sangat bergantung pada semua
faktor yang disebutkan terdahulu. Semuanya akan berinteraksi dalam membuat kegiatan
belajar-mengajar BIPA menjadi betul-betul berhasil-guna.

Fenomena Pengajaran BIPA


Terdapat berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tawaran BIPA di berbagai negara. Di
Australia, seperti yang dituturkan Sarumpaet (1988), hambatan khas terhadap perkembangan
BIPA adalah "kurangnya lowongan pekerjaan atau jabatan untuk mereka yang mempunyai
kemahiran dalam BI." Di Korea, menurut Young-Rhim (1988), "hambatan lain yang kami
rasakan hanyalah mengenai materi pelajaran." Di Amerika Serikat, persoalan mutu pelajaran
masih harus diupayakan pemecahannya, sebagaimana diutarakan oleh Sumarmo (1988). Di
Jerman, karena minat mempelajari bahasa dan kebudayaan Indonesia terus meningkat, upaya
perlu dilakukan "melalui peningkatan penulisan dan penerbitan buku tentang Indonesia baik
dalam bahasa asing maupun dalam bahasa Indonesia" (Soedijarto, 1988). Di Jepang guru BIPA
"membutuhkan kamus yang lengkap, terutama kamus yang lengkap dengan contoh pemakaian
kata yang cukup banyak" (Shigeru, 1988).

Dalam menanggapi kebutuhan akan ketersediaan bahan masukan bahasa dalam konteks
pengajaran BIPA ini, perlu diamati berbagai faktor: Misalnya, ada beberapa karakteristik
masukan agar masukan itu bisa diperoleh secara cepat dalam konteks pemerolehan bahasa.
Keterpelajaran masukan tersebut antara lain ditentukan dengan karakteristik: keterpahaman,
kemenarikan dan/atau relevansi, keteracakan gramatis, dan kuantitas yang memadai (Krashen,
1982:62-73).

Karakteristik keterpahaman bisa diamati dari perkembangan pemerolehan B2 atau bahasa asihg
lewat bahan yang tidak bisa dipahami. Karakteristik kemenarikan dan/atau relevansi
diharapkan bisa mendorong si pemeroleh untuk memusatkan perhatian pada isi ketimbang pada
bentuk. Masukan yang menarik dan relevan diharapkan mampu menciptakan kondisi pada si
pemeroleh sedemikian rupa sehingga ia "lupa" bahwa apa yang sedang diresepsinya diproduksi
dalam bahasa kedua atau asing. Dalam situasi belajar mengajar di kelas karakteristik ini sukar
dipenuhi, karena keterikatan waktu dan keharusan meliput bahan yang sudah tentera dalam
silabus. Dalam hal karakteristik keteracakan gramatis, diketengahkan bahwa manakala masukan
itu terpahami dan makna dinegosiasi secara berhasil, masukan yang diisitilahkan oleh Krashen
sebagai i+1 itu akan secara otomatis hadir.

https://www.ialf.edu/bipa/april2001/pembelajaranbahasaindonesia.html 2/6
9/22/2017 Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing: Isu dan Realita

Dalam membicarakan pengajaran dan pembelajaran bahasa, lingkungan, dalam pengertian


"everything the language learner hears and sees in the new language," (Dulay, Burt, dan
Krashen, 1982:13), merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kaitan dengan keberhasilan
pembelajaran bahasa itu. Faktor lingkungan makro meliputi (1) kealamiahan bahasa yang
didengar; (2) peranan si pembelajar dalam komunikasi; (3) ketersediaan rujukan konkret untuk
menjelaskan makna; dan (4) siapa model bahasa sasaran (Dulay, Burt dan Krashen, 1982:14).
Sedangkan faktor lingkungan mikro mencakup (1) kemenonjolan (salience), yaitu mudahnya
suatu struktur untuk dilihat atau didengar; (2) umpan balik, yaitu tanggapan pendengar atau
pembaca terhadap tuturan atau tulisan si pembelajar; dan (3) frekuensi, yaitu seringnya si
pembelajar mendengar atau melihat struktur tertentu (Dulay, Burt, dan Krashen, 1982:32).

Berkenaan dengan faktor lingkungan mikro, yang pertama adalah kemenonjolan (salience).
Kemenonjolan ini merujuk pada kemudahan suatu struktur dilihat atau didengar. Ia adalah ciri
tertentu yang tampaknya membuat suatu butir secara visual atau auditor lebih menonjol dari
pada yang lain. Faktor lingkungan mikro yang kedua adalah umpan balik. Salah satu jenis
umpan balik adalah pembetulan, yang lainnya adalah persetujuan atau umpan balik positif.

Faktor lingkungan mikro yang ketiga adalah frekuensi yang diasumsikan sebagai faktor
berpengaruh terhadap pemerolehan bahasa. Makin banyak si pembelajar mendengar suatu
struktur, makin cepat proses pemerolehan struktur itu. Tetapi penelitian lain ternyata telah
menelorkan hasil yang berbeda (Dulay, Burt, Krashen, 1982:32-37).

Ciri-ciri bahan masukan dalam pengajaran BIPA ini termasuk bahan masukan itu sendiri dalam
bentuk bahan belajar-mengajar telah tersedia cukup banyak bila guru BIPA mau
melanglangbuana ke sana ke mari lewat berbagai media yang ada. Salah satu di antara media
yang akan membantu pengembangan bahan ajar serta akan berkontribusi pada upaya
peningkatan berbahasa itu adalah media teknologi, khususnya internet.

Pemanfaatan Media Teknologi


Dewasa ini, sebuah lembaga pendidikan tanpa dilengkapi jaringan internet akan kehilangan
dinamikanya sendiri. Dalam lingkupnya yang lebih kecil, tampaknya sudah mulai diancangkan
bahwa seorang akademisi tanpa menceburkan diri ke lautan internet, akan menciptakan rongga
kekosongan yang banyak dalam bidangnya masing-masing. Jaringan internet bagi seorang
ilmuwan dapat berfungsi sebagai gudang informasi yang sangat luas liputannya. Dalam
kaitannya dengan pengembangan pendidikan, internet dapat berfungsi baik sebagai sumber
bahan maupun sebagai penata kerangka pemahaman dan kerangka berpikir bagi pendidikan
maupun peserta didik itu sendiri.

Mengakses internet menjadi lebih mudah dewasa ini tentu saja dengan catatan si pengakses
mempunyai penguasaan akan bahasa asing. Penyedia akses menjadi lebih banyak terus. Di kota
Bandung saja, terdapat beberapa pilihan penyedia akses internet, seperti netura, sidola, melsa,
pos-giro, dan ibm. Salah satu di antara aplikasi standar internet adalah the world wide web yang
lebih dikenal dengan singkatan www. Jaringan ini merupakan database yang terdistribusi yang
di dalamnya berisi informasi dengan berbagai bidang liputan. Bahkan jurnal-jurnal pun beribu
jumlahnya dapat diakses melalui jaringan ini.

Dalam sebutan sehari-hari kita mendengar kata e-mail, yang merupakan kependekan dari
electronic mail. Istilah ini diindonesiakan menjadi surat elektronik, mungkin bagus kalau saya
sebut saja ratnik. Sekarang alamat ratnik yang dimiliki seseorang sudah menjadi penanda
kecanggihan orang tersebut.

Dengan menggunakan ratnik ini, seseorang dapat menerima dan membalas surat atau
mengirimkan makalah secara langsung tanpa harus pergi ke kantor pos. Seorang mahasiswa

https://www.ialf.edu/bipa/april2001/pembelajaranbahasaindonesia.html 3/6
9/22/2017 Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing: Isu dan Realita

dapat berhubungan langsung dengan tidak terbatas oleh jarak ruang maupun perbedaan waktu
kepada dosen atau pembimbingnya. Ratnik ini sangat efektif dan efisien. Dalam waktu yang
singkat, bila si penerima membuka internetnya, surat kita telah sampai dengan lengkap. Biaya
pengirimannya menjadi sangat murah. Sebuah surat yang panjang akan beralih ke provider dari
komputer orang yang akan menerima surat itu hanya dalam beberapa detik saja, walaupun
orang tersebut berada di balik belahan bumi ini. Biaya pengiriman kita sangat murah karena
akan hanya setara dengan penggunaan telpon lokal beberapa detik saja, tak peduli ke bagian
dunia mana kita mengirimkan surat tersebut. Bahkan dengan menggunakan aplikasi seperti
telnet kita bisa berkomunikasi secara tertulis dengan orang yang mempunyai akses ke internet di
manapun di dunia ini.

Dengan memanfaatkan berbagai aplikasi yang ada dalam jaringan internet, berbagai upaya
pendidikan dapat lebih ditingkatkan. Tawaran program pendidikan, penggunaan perpustakaan,
akses ke ensiklopedia, penjelajahan penerbitan, dan penelusuran jurnal ilmiah merupakan hal
yang mudah diperoleh lewat internet itu.

Bahkan guru bahasa Indonesia bagi penutur asing dapat mengggunakan berbagai sumber
tentang Indonesia dan daerah melalui surat kabar atau majalah yang dapat diakses secara cuma-
cuma diberbagai homepage, seperti majalah Tempo, surat kabar Republika dan Kompas. Bahan-
bahan lainnya dapat diperoleh melalui akses ke berbagai lembaga yang telah memunculkan
informasi dan produknya di jaringan internet.

Semua sumber-sumber informasi yang dapat diakses itu memberi peluang bagi guru yang kreatif
untuk menciptakan cara baru dalam menyajikan bahan pelajaran. Dari situ juga dapat
dilakukan upaya pemilihan bahan utama maupun bahan pelengkap untuk kegiatan belajar
mengajar. Bahkan dengan cara tersendiri, guru-guru dapat mengambil bahan tertentu dengan
mencetaknya sebagai bahan yang dapat dimodifikasi guna kegiatan belajar-mengajarnya.

Laman APBIPA yang untuk sementara terdapat pada http://www.ikip-bdg.ac.id/~apbipa atau


http://www.apbipa.org mencoba antara lain memasukkan berbagai situs BIPA yang segera dapat
dirambah oleh para anggotanya. Terdapat bahan substansial yang bisa diakses baik oleh guru
maupun oleh pembelajar BIPA lewat internet. Misalnya, SEAsite yang dapat diakses lewat
http://www.seasite.niu.edu/ menyediakan latihan interaktif, teks bacaan dengan fasilitas kamus
dan pertanyaan pilihan ganda. Ada juga bagian percakapan untuk pemahaman menyimak dan
hubungan ke sumber berita dan seni budaya Indonesia. Guru dan pembelajar BIPA dapat pula
memperoleh pengajaran tata bahasa dan pelafalan dengan format tradisional terdapat dalam
laman Learn Indonesian in Seven Days dalam: http://infoweb.magi.com/~mbordt/bahasa8c.htm
yang dikembangkan berdasarkan sebuak buklet sehingga belum mencakupi interaktivitas tetapi
cukup berguna untuk menyegarkan pengetahuan.

Bagi guru BIPA yang kekurangan ide, dapat memperoleh bantuan dari rancangan pengajaran
terstruktur untuk menciptakan tugas interaktif di laman Ayo, Berselancar Berita Indonesia!
dalam http://www.epub-research.unisa.edu.au/

AFMLTA/resgideO.htm, sebuah gambaran kelas kolaboratif berdurasi 5 minggu yang


dikembangkan berdasarkan telaahan terhadap koran-koran Indonesia on-line sebagai bahan
gagasan yang dapat digunakan bagi pengembangan laman kelas. Di dalamnya ada juga 10
rencana pelajaran berdasarkan telaahan terhadap gunung berapi di Indonesia.

Untuk melengkapi bahan kegiatan belajar-mengajar BIPA kita dapat mengakses berbagai bahan
dan informasi lewat Jendela Indonesia di http://www.iit.edu/~indonesia/ dan Academic Internet
Resources on Indonesia, The University of Auckland di
http://www.auckland.ac.nz/asi/indo/links2.html.

https://www.ialf.edu/bipa/april2001/pembelajaranbahasaindonesia.html 4/6
9/22/2017 Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing: Isu dan Realita

Penutup

Pembelajaran BIPA memerlukan upaya yang beraneka, seperti halnya pembelajaran bahasa
asing lainnya. Berbagai variabel turut terlibat di dalam upaya membuat pembelajaran BIPA itu
berhasil dengan baik. Bila kita mau memilih variabel kunci dari sekian banyak variabel itu,
pilihan akan jatuh pada variabel guru. Guru BIPA yang baik akan menjadi model bagi murid-
muridnya. Guru yang baik akan berupaya memanfaatkan segala fasilitas dan peluang yang ada
dalam membuat kegiatan belajar-mengajarnya berhasil guna. Termasuk di dalam upaya ini ialah
kemauan guru BIPA untuk memanfaatkan berbagai masukan bahasa Indonesia dari berbagai
media teknologi, khususnya internet. Dengan itu, kekurangan bahan dan model berbahasa
Indonesia akan teratasi.

Referensi

Abdul-Hamied, F. 1988. Keterpelajaran dalam Konteks Pemerolehan Bahasa. Makalah Pertemuan


Linguistik Lembaga Bahasa II Unika Atmajaya, Jakarta, 23-24 Agustus.

Abdul-Hamied, F. 1997. Pengembangan Pendidikan Bahasa dan Seni lewat Medium Internet.
Makalah Seminar Pemanfaatan Internet, FPBS IKIP Bandung 26 Maret 1997.

Alatis, J.E. et.al. (eds). 1981. The second language classroom; directions for the 1980's.

Bailey, K.M., M.H. Long, & S. Peck (penyunting). 1983. Second Language Acquisition Studies.
Rowley: Newbury House Publishers.

Bloomfield, L. 1933, 1966. Language. New York: Holt, Rhinehart and Winston.

Coleman, H. (penyunting). 1996. Society and the Language Classroom. Cambridge: Cambridge
University Press.

Dulay, H., M. Burt, & Krashen, S. 1982. Language Two. New York: Oxford University Press.

Felix, U. 1998. Virtual language learning: finding the gems among the pebbles. Melbourne: The
National Languages and Literacy Institute of Australia Ltd.

Krashen, S.D. 1982. Principles and Practice in Second Language Acquisition. Pergamon Press.

Ohmae, K. 1995. The end of the nation state. London: Harper Collins Publishers.

Richards, J.C. 1998. Beyond Training. Cambridge: Cambridge University Press.

Sarumpaet, J.P. 1988. Pengajaran Bahasa Indonesia di Australia. Makalah Kongres Bahasa
Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Shigeru, M. 1988. Keadaan dan Perkembangan Pengajaran dan Sastra Indonesia di Jepang.
Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan.

Bahasa dan Sastra Indonesia di Jepang. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Soedijarto. 1988. Pembinaan Bahasa Indonesia di Luar Negeri sebagai Bagian dari Upaya
Diplomasi Kebudayaan: Sebuah Pengalaman dari Republik Federal Jerman (1983-1987). Makalah
Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Stern, H.H. 1983. Fundamental Concepts of Language Teaching. London: Oxford University Press.
https://www.ialf.edu/bipa/april2001/pembelajaranbahasaindonesia.html 5/6
9/22/2017 Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing: Isu dan Realita

Sumarmo, M. 1988. Keadaan dan Perkembangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
Amerika Serikat. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Warschauer, M. & Kern, R. (eds.). 2000. Network-based language teaching: concepts and practice.
Cambridge: Cambridge University Press.

https://www.ialf.edu/bipa/april2001/pembelajaranbahasaindonesia.html 6/6

Anda mungkin juga menyukai