Anda di halaman 1dari 20

A CURRICULUM DEVELOPED ON COMMUNICATIVE GOALS

Submitted to Fullfil the Assignment of: Curriculum and Material Development

Lecturer: Drs. Abidin, M.Pd.

Present by:

Hida Nurul Aulia 1182040047


Meta Herlina Pratiwi 1182040061
M. Nur Fazri 1182040075
M. Revinanda Rahayu 1182040076

ENGLISH EDUCATION DEPARTMENT


TARBIYAH AND TEACHER TRAINING FACULTY
STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2020

iii
PREFACE

Dengan mengucap puji syukur ke hadirat Allah SWT, berkat segala


limpahan rahmat, hidayah serta karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah
ini hingga selesai. Tak lupa sholawat dan salam semoga tetap tercurahlimpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Drs. Abidin, M.Pd.
selaku dosen Curriculum and Material Development dan kepada semua pihak yang
mendukung dalam proses pembuatan makalah ini.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Mata kuliah Curriculum and
Material Development (CMD) dengan tema A CURRICULUM DEVELOPED
ON COMMUNICATIVE GOALS
Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik dan saran sangat kami harapkan untuk
pembelajaran kami ke depan. Selanjutnya, semoga makalah ini dapat menjadi bahan
pembelajaran dan bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, 8 April 2020

Penulis
CHAPTER I

INTRODUCTION

1. Background

Makalah ini dibuat sebagai bahan pemenuhan tugas dari mata kuliah Curriculum and
Material Development. Selain daripada itu, makalah ini juga sebagai bahan ajar pendalaman
materi yang berkenaan dengan A Curriculum Developed on Communicative Goals. Bab
materi ini menerangkan tentang bagaimana membuat curriculum yang communicative juga
dapat membuat peserta didik sebagai target ajar dapat memenuhi tujuan pembelajaran dan
pendidikan. Peran serta guru sebagai pembimbing berpengaruh besar dalam
jalnnyaaktivitas belajar mengajar. Hal ini, didukung dengan beberapa teori mengenai
keharusan kolaborasi yang baik antara guru dan peserta didik.

Kolaborasi tersebut tetap berdasarkan peraturan atau pedagogik yang berlaku.


Diharapkan dari kolaborasi ini. Dapat tercipta suasana belajar yang communicative dan
juga dapat memenuhi tujuan dari pembelajaran dan pendidikan.

2. Problem formulation
1) What is the influence of Sociocultural views of the nature of language to the
communicaive goals?
2) What is the influence of Cognitively - based view on language learning
communicaive goal?
3) What is the influence of The Fundamental Of Humanistic Curiculum to the
communicaive goals?
4) What is the meaning of Exploring theroles of teacher, learners and others within a
communicative?
CHAPTER II

A CURRICULUM DEVELOPED ON COMMUNICATIVE GOALS

1. Sociocultural views of the nature of language

The relationship between language and social context is studied in the field
Sociolinguistics. Sociolinguistics has the main components, namely the characteristics
of language and function language. The language function referred to is the social
function (regulatory), namely to form directives and interpersonal functions, namely
maintaining good relations and imaginative functions to explain the realm of fantasy
and emotional functions such as to express the atmosphere hearts like anger, sadness,
joy and appreciation. Language development is in line with the development of human
life in the modern age shows a changing phenomenon among others by the use of
language as a known social tool with variations in languages.

The outlook of sociolinguistics provides the theoretical perspective on language


for communicative curriculum designs. Sociolinguistics views any language as
inseparable from its sociocultural context. Therefore, most of the theoretical work in
sociolinguistics has been directed towards constructing hypotheses concerning the
nature of this connection between language and society or culture. Though it gained
prominence in the 1960s and 1970s as a dynamic, interdisciplinary field, actually the
roots of sociolinguistics go back many generations. In the United States, its antecedents
were social anthropologists such as Sapir and Whorf who, in the 1920s and 1930s, were
concerned with the relationship of meaning in culture and language. In Britain,
Malinowski, Firth, and more recently Halliday built theoretical models which
encompassed clements in language with factors in the social and cultural matrix in
which language is grounded. Before World War II, the Prague school of linguistics
studied the sociocultural context of written texts.

A central concern to linguists who study language in its social context is the
phenomenon of variation at all structural levels. Rather than to put differences in
language performances aside as many linguists have, sociolinguists work with
analytical constructs based on variables such as speaker, hearer, setting, topic, and
channel, for example. A corollary to the phenomenon of variation is the occurrence of
styles of speaking, or registers. As one sociolinguist has stated, "There are no single-
style 69 4 A curriculum developed on communicative goals speakers' (Labov 1970).
Every speaker adopts a style of speaking which is appropriate to the particular social
context.

The research focus of sociolinguistics has ranged from topics external to the
code of language itself, for example the area of language planning and policy-making,
through studies of language linked to social variables, for example men's and women's
language and terms of address, to the study of norms for interacting, for example studies
of telephone talk and teacher talk. A key concept in sociolinguistics is focus on the
speech community rather than on an individual or idea- lized speaker as the focus of
language.

Of consequence to the language teaching profession is the fact that


sociolinguistics deals explicitly with languages in ways that have far- reaching
significance for their teaching and learning, particularly the question: What langu age
do we teach? In terms of our discussion, socio- linguistics plays a vital role in
influencing the specification of language content in a communicative syllabus.

Of the various thrusts of sociolinguistics during the past twenty years, probably
the concept of communicative competence has had the greatest impact on the ficld of
language pedagogy. Since Hymes' 1972 paper on the topic, the concept of
communicative competence has continued to develop. Though not all would define it
in exactly the same way, a generally accepted definition begins with the idea that
communicative competence entails knowing not only the language code or the form of
language, but also what to say to whom and how to say it appropriately in any given
situation. It deals with the social and cultural knowledge that speakers are presumed to
have which enables them to use and inter- pret linguistic forms. It also includes
knowledge of who may speak or may not speak in certain settings, when to speak and
when to remain silent, how to talk to persons of different statuses and roles. A well-
known description of communicative competence has been that it includes know- ledge
of what to say, when, how, where, and to whom. In effect, it takes in all of the verbal
and non-verbal mechanisms which native speakers use unconsciously to communicate
with each other.

2. Cognitively - based view on language learning

Tanpa kita sadari, di setiap percakapan terjadi sebuah proses respon satu sama
lain. Fenomena yang sering terjadi itu tidak disadari ada proses yang terjadi di otak atau
pikiran kita. Proses ini disebut teori kognitif atau kognitivisme.

Menurut Mergel (1998) kognitivisme adalah proses yang didasarkan pada


proses pemikiran di balik perilaku. Perubahan perilaku diamati, dan digunakan untuk
apa yang terjadi di dalam pikiran pelajar. Teori kognitif menekankan pemikiran sadar
anak-anak (Hebb, 2003: 3). Dari dua definisi tersebut, saya dapat menyimpulkan bahwa
suatu proses dapat disebut kognitivisme jika suatu proses terjadi dalam pemikiran sadar
(di dalam pikiran pelajar).

A. SEJARAH KOGNITIVISME

Kognitivisme sebagai teori studi pembelajaran tentang proses yang


terjadi di dalam pikiran pelajar memiliki sejarah sendiri tentang bagaimana hal
itu terjadi atau perkembangannya. Perkembangan teori kognitivisme terkenal
dengan istilah "revolusi kognitif". Menurut asiaeuniversity (2012: 106) revolusi
kognitif adalah nama untuk gerakan intelektual pada 1950-an yang dimulai
dengan apa yang dikenal secara kolektif sebagai ilmu kognitif. Itu dimulai
dalam konteks modern komunikasi interdisiplin yang lebih besar dan penelitian.
Meskipun psikologi kognitif muncul pada akhir 1950-an dan mulai mengambil
alih sebagai teori pembelajaran yang dominan. Tidak sampai akhir 1970-an
ilmu kognitif mulai memiliki pengaruhnya pada desain pembelajaran (Mergel,
1998).

Dari pendapat tersebut, saya dapat menyimpulkan bahwa perkembangan


kognitivisme terjadi pada 1950-an sebagai teori pembelajaran yang dominan.
Akan tetapi, dampaknya dalam pembelajaran bahasa terjadi pada tahun 1970.

B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGEMBANGAN


KOGNITIVISME

Ada empat faktor yang mempengaruhinya. Mereka adalah


pengembangan psikologi eksperimental, bergerak dari minat pada perilaku
eksternal ke proses otak internal, ketidakmampuan komputer dan minat dalam
kecerdasan buatan.

a. Psikologi eksperimental

Faktor tersebut menekankan pada bagaimana memori diletakkan


dengan menggunakan suku kata dan kata-kata yang tidak masuk akal
yang dimulai pada tahun 1880-an oleh Herman Ebbinghun.

b. Pergeseran dari behaviorisme ke kognitivisme

Faktor tersebut menekankan bahwa tidak semua pembelajaran


dapat dijelaskan melalui perilaku yang dapat diamati, terkadang kita
menemukan hal-hal yang tidak dapat diamati. Sebagai contoh: Tikus
membangun representasi mental atau peta kognitif lingkungan mereka
dan mengembangkan harapan daripada serangkaian hubungan yang
tidak fleksibel antara rangsangan dan respons (Tolman, 1948 di
Yordania, 2008: 37).

c. Penguasaan bahasa

Faktor menunjukkan bahwa hasil dari teori akuisisi bahasa yang


diperebutkan adalah bukti dari kognisi manusia. Dalam hal ini bahasa
adalah hasil yang dibentuk oleh respons stimulus.
d. Komputer dan Kecerdasan Buatan

Faktor tersebut menunjukkan hubungan antara komputer dan teori


kognitivisme. Di sini, komputer dipandang sebagai proses untuk fungsi
kognitif sedangkan otak sebagai alat komputasi. Misalnya teori kognitif
terdiri dari pemrosesan informasi, model input-proses-output. Dalam hal
ini, posisi teori belajar kognitif hanyalah awal untuk menginformasikan
desain bahan PANGGILAN (Collentine, 2000: 3).

C. PRINSIP KOGNITIVISME

Kognitivisme melibatkan studi tentang proses mental seperti sensasi,


persepsi, perhatian, pengkodean, dan memori yang oleh para behavioris enggan
dipelajari karena kognisi terjadi di dalam "kotak hitam" otak (Jordan, Carlite &
Stack, 2008: 36). Dalam hal ini, persepsi sensasi, perhatian, penyandian, dan
memori adalah prinsip kognitivisme. Berikut ini adalah penjelasan dari mereka.

a. Prinsip pertama adalah sensasi. Ini menunjukkan bagaimana rangsangan


yang berasal dari rangsangan eksternal terdaftar dalam sensorik sebelum
dikirim ke proses berikut. Prinsip kedua adalah persepsi yang
menunjukkan proses menafsirkan dan membuat masuk akal sesuatu yang
bisa dilihat melalui indera kita. Ini terdiri dari pengenalan pola,
pengenalan objek, pemrosesan bottom-up1 atau top-down, dan persepsi
sadar. Prinsip ketiga adalah perhatian yang menekankan pada
berkonsentrasi pada satu hal, yang paling penting daripada yang lain.
Penting untuk menentukan kesadaran sadar. Prinsip keempat adalah
penyandian karena prinsip teori kognitif berfokus pada pentingnya
penyandian informasi, setelah sesuatu dirasakan dan dihadapkan pada
rangsangan. Cara menyandikan informasi dapat dilakukan melalui
pengorganisasian dan kemudian membentuknya dalam bentuk skema.
Dalam hal ini, untuk menyandikan informasi dalam bentuk pengalaman
dapat dilakukan melalui dua cara. Mereka adalah bottom-up dan top-down
(Jordan, Carlite, & Stack 2008: 43). Prinsip kempat adalah ingatan.
Memori adalah kemampuan untuk menyimpan dan mengingatkan

1
Bottom up adalah cara untuk menyandikan pengalaman dengan mentransfer informasi yang diperoleh
melalui dunia luar
informasi dalam pikiran kita. Ini terdiri dari memori jangka pendek,
memori jangka panjang, dan sensorik.
D. TIGA TEORI KOGNITIF PENTING
Kognitif adalah teori belajar yang ditekankan dalam proses yang terjadi
di dalam diri peserta didik. Dalam hal ini, ada tiga jenis teori kognitif yang
penting. Mereka adalah teori perkembangan kognitif Piaget, teori kognitif
sosial budaya Vygotsky dan pendekatan pemrosesan informasi.
a. Perkembangan Kognitif Piaget (1896-1980)
Piaget adalah psikolog terkenal dari Swiss yang menggambarkan
teori kognitivisme dalam teori perkembangan kognitif. Menurut Hebb
(2003: 3) teori Piaget menyatakan bahwa anak-anak secara aktif
membangun pemahaman mereka tentang dunia dan melalui tahapan
perkembangan kognitif. Ini berarti bahwa Piaget menggambarkan
kognitivisme pada tahap perkembangan anak-anak ketika mereka siap
untuk membangun makna sesuatu melalui pemahaman mereka sendiri
yang dimulai dari hal yang sederhana hingga yang kompleks.
b. Teori Sosial Budaya Vygotsky 1896-1934)

Vygotsky adalah seorang psikolog Rusia yang menekankan


teori kognitivisme berdasarkan analisis perkembangan, peran bahasa,
dan hubungan sosial. Menurut Hebb (2003: 3) ada tiga klaim Vygotsky.
Mereka adalah keterampilan kognitif anak yang hanya dapat dipahami
ketika dianalisis dan ditafsirkan secara perkembangan. Ini berarti bahwa
jika seseorang ingin mengetahui asal dan transformasi dari awal ke yang
berikutnya, ia harus mengambil bagian dalam fungsi kognitif anak.

Klaim kedua Vygotsky adalah keterampilan kognitif yang


dimediasi oleh kata-kata, bahasa, dan bentuk wacana yang berfungsi
sebagai alat psikologis untuk memfasilitasi dan mengubah aktivitas
mental. Ini berarti bahwa bahasa adalah alat yang penting bagi anak-
anak di usia dini untuk merencanakan kegiatan mereka dan
menyelesaikan masalah. masalah. Klaim ketiganya yang dijelaskan
adalah pengetahuan terletak dan kolaboratif. Ini berarti bahwa
pengetahuan terjadi di lingkungan melalui interaksi dengan orang lain
secara kolaboratif.
c. Pendekatan Pemrosesan Informasi

Menurut Hebb (2003: 6) pendekatan pemrosesan informasi


menekankan bahwa individu memanipulasi pendekatan pemrosesan
informasi sama dengan teori perkembangan kognitif oleh Piaget yang
menekankan pada pembelajaran individu tetapi pendekatan pemrosesan
informasi tidak menggambarkan pengembangan sebagai tahap seperti
(Piaget). Green (2003) menyatakan bahwa pendekatan pemrosesan
informasi melibatkan tiga langkah dasar. Mereka sedang encoding,
penyimpanan, dan pengambilan. Informasi yang didapat harus ditransfer
melalui tiga memori dasar sebelum dapat disimpan dan diambil.

3. The Fundamental Of Humanistic Curiculum


A. KURIKULUM HUMANISTIK

Pelajar sebagai manusia memiliki makna utama untuk Kurikulum


Humanistik yang bertujuan untuk pengembangan dan realisasi kepribadian manusia
yang lengkap dari siswa. Kurikulum humanistik tidak mengambil siswa sebagai
tunduk kepada masyarakat, sejarah atau filsafat tetapi sebagai entitas yang lengkap.
Para ahli kurikulum humanistik menyarankan bahwa jika pendidikan berhasil dalam
pengembangan kebutuhan, minat, dan bakat setiap individu, siswa akan mau dan
secara cerdas bekerja sama satu sama lain untuk kebaikan bersama. Ini akan
memastikan masyarakat yang bebas dan universal dengan kepentingan bersama
daripada yang bertentangan. Dengan demikian humanis menekankan pada
kebebasan individu dan hak-hak demokratis untuk membentuk komunitas global
yang didasarkan pada "kemanusiaan bersama semua orang".

Kurikulum Humanistik didasarkan pada keyakinan bahwa pendidikan yang


baik untuk seseorang juga terbaik untuk kesejahteraan bangsa. Di sini, pembelajar
individu tidak dianggap sebagai penerima input pasif atau setidaknya mudah
dikelola. Ia adalah organisme yang memilih atau memilih sendiri. Untuk
merancang Kurikulum Humanistik, kita harus fokus pada pertanyaan "Apa arti
kurikulum bagi pelajar?" Pemahaman diri, aktualisasi diri, dan menumbuhkan
kesejahteraan emosional dan fisik serta keterampilan intelektual yang diperlukan
untuk penilaian independen menjadi perhatian langsung dari Kurikulum
Humanistik. Bagi kaum humanis, tujuan pendidikan terkait dengan cita-cita
pertumbuhan pribadi, integritas, dan otonomi. Sikap yang lebih sehat terhadap diri
sendiri, teman sebaya, dan belajar adalah di antara harapan mereka. Konsep
kurikulum konfluen dan kurikulum untuk kesadaran adalah jenis penting dari
kurikulum humanistik. Socrates, Plato, Aristoteles, Locke, Rousseaue, Kant, dan
Pestalozzi adalah beberapa humanis besar dalam sejarah dunia.

Dalam banyak kasus, program bahasa komunikatif telah memasukkan


konteks tujuan untuk bidang studi lain yang disebut kurikulum humanistik '(McNeil
1977). Pada dasarnya, dalil-dalil yang diangkatnya dikenal oleh semua orang yang
menikmati periode 'penghijauan' (Reich 1970) dalam kehidupan Amerika Utara
pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Dalam istilah pendidikan yang lebih luas,
kurikulum semacam itu menumbuhkan pembagian kendali, negosiasi, dan tanggung
jawab bersama oleh sesama peserta; itu menekankan pemikiran, perasaan, dan
tindakan; itu mencoba untuk menghubungkan materi pelajaran dengan kebutuhan
dasar dan kehidupan pelajar; dan itu memajukan diri sebagai objek belajar yang
sah. Tujuan terdalam adalah untuk mengembangkan seluruh orang dalam
masyarakat manusia (McNeil 1977). Berdasarkan pandangan yang diambil dari
sekolah humanistik logy - terutama diwakili oleh Abraham Maslow, Carl Rogers,
Fritz Perls, dan Erich Berne - tradisi ini memberikan pengaruh penting pada bidang
pendidikan di Amerika Serikat yang menghasilkan peda yang berpusat pada peserta
didik - Praktek pendidikan dan ilmu pengetahuan yang menggabungkan tujuan-
tujuan kognitif dan kognitif. Secara konkret, kurikulum humanistik memberikan
nilai tinggi pada orang yang menerima tanggung jawab untuk pembelajaran mereka
sendiri, membuat keputusan untuk diri mereka sendiri, memilih dan memulai
kegiatan, mengekspresikan perasaan dan pendapat tentang kebutuhan, kemampuan,
dan preferensi. Dalam kerangka ini, guru bertindak sebagai fasilitator pembelajaran
orang lain alih-alih sebagai implanter pengetahuan. Kerjasama antara peserta didik
dan guru ditekankan.

Dalam komunitas internasional pedagogi bahasa, pandangan humanistik


tercermin dalam perubahan penting yang terjadi pada awal tahun 1970-an ketika
kebutuhan peserta didik untuk memperoleh bahasa baru menjadi pusat dalam
Dewan Eropa dan dalam beberapa perkembangan teori baru - KASIH di Inggris.
Pada kenyataannya, penekanan pada pedagogi yang berpusat pada peserta didik
mungkin juga membantu untuk membawa pandangan yang diperluas tentang
produk / hasil seperti yang ditunjukkan oleh bahasa untuk gerakan tujuan khusus,
dan dalam daftar periksa terperinci yang ditemukan dalam karya Munby (1978)
yang menghasilkan membutuhkan profil pembelajar tunggal. Sikap tentang nada
humanistik dan niat kelas bahasa sering kali tersirat dalam tulisan tentang tujuan
komunikatif dalam pengajaran bahasa; namun, beberapa penulis membuatnya
cukup eksplisit. Sebagai contoh, Morrow (1981: 63) menyatakan: 'Belajar menjadi
tanggung jawab pelajar sebagian besar. "Dalam istilah operasional, program bahasa
yang mengacu pada tujuan kurikulum humanistik mencoba untuk mencapai tujuan-
tujuan ini:

a. Penekanan besar ditempatkan pada makna komunikasi dari sudut


pandang pembelajar; teks harus otentik, tugas harus komunikatif, hasil
harus dinegosiasikan dan tidak ditentukan.
b. Pembelajar adalah titik fokus dari pendekatan ini dan penghargaan
terhadap individu sangat dihargai.
c. Belajar dipandang sebagai pengalaman realisasi diri di mana pembelajar
memiliki banyak pendapat dalam proses pengambilan keputusan. Jadi,
seorang pelajar berhak sekali menyampaikan apapun perasaan yang dia
rasakan selama proses pembelajaran.
d. Pembelajar lain dipandang sebagai kelompok pendukung di mana mereka
berinteraksi, membantu, dan mengevaluasi diri mereka sendiri dan satu
sama lain, sebagai serta masalah dalam metodologi umum sebagaimana
tercermin dalam pekerjaan yang dilakukan.
e. Guru adalah fasilitator yang lebih peduli dengan atmosfer kelas daripada
dengan kepatuhan pada silabus atau bahan-bahan yang digunakan. Yang
terakhir harus memenuhi kebutuhan siswa.
f. Bahasa pertama pelajar dipandang sebagai bantuan yang berguna ketika
diperlukan untuk memahami dan untuk merumuskan hipotesis tentang
bahasa target, terutama pada tahap awal.
Pendekatan humanistik menempatkan banyak penekanan pada pilihan
siswa dan kontrol atas program pendidikan mereka. Siswa didorong untuk
membuat pilihan yang berkisar dari kegiatan sehari-hari hingga menetapkan
tujuan hidup masa depan secara berkala. Hal ini memungkinkan siswa untuk
fokus pada subjek minat tertentu untuk jumlah waktu yang mereka pilih, dengan
alasan. Guru humanistik percaya penting bagi siswa untuk termotivasi dan
terlibat dalam materi yang mereka pelajari, dan ini terjadi ketika topiknya
adalah sesuatu yang perlu dan ingin diketahui oleh siswa.

4. Exploring theroles of teacher, learners and others within a communicative

Menurut little wood 1981: 93

" In this role-relationship between teachers and learners, their endeavors take
place in a cooperative, open, and caring manner. The teacher is there to guide
learners, not to tell them. The teacher's role is recognized as a facilitating one,
with learners proceeding according to their own inner capacities, not in a lock-
step plan solely of the teacher's creation. An attitude of cooperation and sharing
is stressed, as well as an emphasis on group activities. A central theme is that
it is the teacher's responsibility to lessen any feelings learners may have of
anxiety or fear. Learners should not feel shy about speaking or asking questions.
At no time should they try to avoid having the teacher call on them because of
feeling timid or insecure. 'Keeping a low profile' in order not to be called on by
the teacher is not in keeping with the atmosphere in a language classroom
where communicative objectives are stressed (Littlewood 1981:93)."

Menjelaskan bahwa peran guru adalah memfasilitasi peserta didik dalam


pembelajaran bukan sebagai pusat ilmu. Guru harus dapat mengatasi masalah-masalah
yang sering dihadapi oleh peserta didik. Seperti,rasa takut dan malu menjawab
pertanyaan atau mengajukan pertanyaan. Hal ini dapat diatasi dengan belajar
menggunakan metode belajar dalam kelompok dimana peserta didik diharuskan
communicative dalam menyampaikan segala pendapat yang dapat membuat kelompok
tersebut mendapat nilai atau penghargaan lainnya. Dalam metode ini guru harus lebih
peka melihat kondisi peserta didik, dalam mendorong meraka agar tidak malu bertanya
atau menjawab suatu permasalah yang sedang dikerjakan.
Hubungan antara guru dan peserta didik atau sering disebut sebagai penajaran
atau pembelajaran dapat di asumsikan sebagai Metaphor untuk mencapai atau
mewujudkan nilai-nilai dan sikap sosial yang di aplikasikan di dalam kelas. Maka dari
itu pengajaran/pembelajaran dapat mencakup beberapa tujuan pendidikan. Guru bukan
lagi hanya sebagai penyampai atau orang yang meletakan pengetahuan di kepala peserta
didiknya namun sebagai pembimbing. Maka dari itu, unsur komunikatif antara guru
dan peserta didik di perlukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sebenarnya.

“in a language class where the objective is language use, the material to 'learn'
so to speak, can only be 'mastered' by the learners engaging in a social
encounter, or by experiencing the social behavior of and their personal role in
the target culture- almost a play within a play”

Dalam menguasai pembelajaran bahasa hal paling utama yang mempangaruhi


adalah pembauran dengan masyarakat atau dari pengalaman dan kebiasaan yang peserta
didik alami terhadapatbahasa yang sedang dipelajari. Kelas hanya sebagai sarana
berlatih, mencoba dan mepelajari budayabaru

“In fact, the roles of teaching/learning as articulated by ESL/EFL specialists


have not been expanded, altered or modified beyond what they would be for any
other subject matter in a general, humanistically-oriented curriculum. The
interesting examples are CLL (Community Language Learning) and
Suggestopedia: both were initially developed and used for any and all subjects-
not necessarily language instruction”

Peran pembelajaran yang berperan sebagai ESL/EFL perludi modifikasi agara


dapat mencakup berbagai subjek secara umum atau dapat disebut humanistically-
oriented curriculum. Seperti halnya CLL (Community Language Learning) and
Suggestopedia dua hal tersebut memainkan peran dimana peserta didik belajar secara
berkelompok sedang guru berperan sebagai fasilitator. Hal dapat membuat peserta didik
lebih memahami peran mereka dalam penggunaan bahasa. Dalam pembelajaran ini juga
tujuan komunikasi yang ditekankan akan bekerja secara maksimal. Dimana saat
pembelajaran kelompok peserta didik bertukar pemahaman tentang suatu materi
menggunakan bahasa yang sedang dipelajari.

Selain pembelajaran mgenai suatu bahasa, dalam pembelajaran juga dapat


terjadi lintas budaya.hal tersebut dapat diajari tanpa sadar hal ini yang harus dipelajari
oleh guru dimana guru harus dapat menjadi pendengar yang dapat memahami dan
mampu mengenali setiapa batasan kegiatan peserta didik. Menjaga hubungan dengan
peserta didik sebagai guru yang mengajarkan bahsa asing kepada peserta didik seperti
mengajarkan dengan bahsa sehari-hari

“The role of the facilitating teacher, a person who is an empathetic listener,


capable of and even expecting to have one-to-one classroom relationships with
learners, is another characteristic that is widely worn by many native-speaker
teachers, like a familiar garment.”

A. LEARNERS AS PLAYERS

“Psychologists, ethnologists and anthropologists point out how play is


practice for all of the more serious endeavors of the species (Bruner
1972). In fact, even sub-human primates use highly ritualized body and
facial movements to signify to each other that a particular behavior is
not to be taken seriously, or 'is for play' as contrasted with behavior that
entails the rights and responsibilities of real-life (Bateson 1955)”
Peserta didik diumpamakan pemain sebagai penggabungan antara
perkembangan metal dan perkembangan sosial peserta didik. Sebagai pemain
peserta didik situntut dapat berpartisipasi secara aktif dan waktu yang
bersamaan harus dapat mengobservasi permainan. Dalam permainan terdapat
berbagai macam hal yang berbeda dari apa yang diajarkan disekolah. Dalam
permainan juga ada sebuah teori yang disebut ”games and gaming”. Saat
pemain memainkan permainannya, pemain dapat belajar tentang pembelajaran
seperti pembelajaran bahasa. Dari permainan tersebut dapat beberapa hal yang
dapat diambil atau dipelajari yang berguna untuk pembelajaran karena dalam
setiap permainan terdapat struktur dan aturan masing-masing. Pemain juga
diharuskan fokus terhadap permainan, mengikuti setiap peraturan dan
menyelesaikan permasalahan secara jujur dan kompetitif. Dalam permainan
juga tentunya ada yang disebut sebagai “menang dan kalah” hal tersebut biasa
dalam setiap permainan yang dapat menuntun kedalam kesuksesan dalam
pembelajaran. Tingkatan permainan juga disesuaikan dengan umur pemain
dimana semakin tinggi tingkatan, semakin sulit permainan dan semakin tinggi
juga pemahaman akan perpainan tersebut di lakukan oleh pemain

Perumpamaan peserta didik sebagai pemain dalam sebuah permainan


adalah dimana peserta didik harus dapat fokus tidak hanya pada satu
pembelajaran namun berbagai pembelajaran. Tingkatan ilmu yang di berikan
juga tergantung pada beberapa aspek seperti usia dan mental peserta didik. Di
dalam kelas guru dapat berperan sebagai yang pengatur pembelajaran dimana
bukan sebagai sumber pembelajaran. Bahan ajar yang di beri oleh guru harus
dapat dipahami oleh peserta didik agar dapat menyelesaikan permasalah yang
ada dalam pembelajaran. Kerja sama dalam kelompok dapat meningkatkan
pemahaman antar peserta didik dana meningktakan keaktifan peserta didik
dalam mendalami pembelajaran.

Selain daripada peserta didik dan guru sebagai pemain ada beberapa
peran yang dapat di peroleh peserta didik dalam masa pembelajaran yaitu:

B. ADMINISTOR

Adiministrator atau dapat disebut sebgai produser berperan aktif dalam


keberlangsungan suatu kewirausahaan. Begitu juga dalam pembelajaran, guru
dan peserta didik harus dapat berperan aktif dalam mewujudkan tujuan
pendidikan. Produser harus dapat mempertimbangkan segala aspek yang dapat
merugikan dan mengutungkan suatu usaha, begitu juga peserta didik dan guuru
harus bisa menganalisan suatu pembelajaran dengan cermat sehingga
pembelajaran yang berlangsung tidak sia-sia dan tidak menuntuk kepada tujuan
daripada pendidikan.

C. WRITERS

Penulis adalah oranga yang merancang setiap hal yang akan ditulis.
Penulis juga yang berperan aktif dalam menyampikan ide-ide dalam tulisan agar
pembaca dapat memahami setiap hal yang dituliskan. Penulis tidak hanya asal
menulis suatu karya namun juga memikirkan setiap interest dari pembeca
sebagai targetnya. Tidak hanya itu penulis juga harus mengontrol setiap jalan
cerita yang sedang dikerjakan akan pembaca tidak bosan saat membaca certita
tersebut. Penulis memahami setiap pembaca yang menjadi targetnya baik
memahamisituasi dan kondisi yang akhir-akhri ini terjadi atau disebut up-to-
date. Hal tersebut,menjadikan seorang penulis harus memiliki ke-propesionalan
dalam menulis hingga kriteria penulisan dan cerita yang menarik dapat
diperlihatkan.
“Writers represent the profession's best possibility to move on
from what one classroom researcher (Allwright 1982) has
described as the cycle of pre- sentation, testing, and feedback
which constitutes much of the activity in typical classrooms”

Keterangan di atas menunjukan bahwa pembelajaran dapat berupa


penjelasan yang dilakukan saat presentasi, pengetesan pemahaman dan timbal
balik yang berkelanjutan saat pembelajaran di kelas. Maka dari itu, guru harus
mengatur segala aktivitas yang dilakukan dikelas se-kondusip mungkin agara
pembelajaran berlangsung dengan semestinya. Seperti hal nya penulis yang
mengatur segala hal tentang tulisan atau cerita yang dibuat agar pembaca dapat
memahami juga tertarik untuk membaca. Guru pun harus memiliki metode
sendiri dalam melakukan pembelajaran agar peserta didik dapat memahami
seluruh materi yang diajarkan oleh guru. Pengontrolan guru kepada peserta
didik berpengaruh dalam kekondusipan kelas saat pembelajaran. Hal ini juga
dapatmempengaruhi pemahaman peserta didik dalam pembelajaran. Maka dari
itu guru sebagai seorang profesional dalam pembelajaran harus dapat mengatur
setiap aktivitas di dalam kelas.

D. L2 REASERCHERS AS TREND-SETTER

Para peneliti menetapkan bahwa hal mendasar dalam kurikulum


dipengaruhi oleh bidang ilmu bahsa, teori belajar dan filsafat pendidikan.

“When looked at over a period of time, this influence could be viewed


as one of changing fashions, or of changing outlooks (Kelly 1969).”

Dikutip dari pernyataan di atas, bahwa setiap periode dapat mengubah


model dalam pembelajaran atau metode setiap pembelajaran. Maka dari itu
peran peneliti tentang pembelajaran merupakan hal yang paling penting dalam
meniliti segala karakteristik setiap pembelajaran yang mengikuti kemajuan
zaman. Peneliti disini merupakan metapora dari guru dan peserta didik. Dimana
guru dan peserta didik dapat berkolaborasi untuk menciptakan suasana
pembelajaran yang sesuai dengan zaman. Penciptaan suasana tersebut tidak
langsung dapat diambil atau diaplikasikan secara permanen. Namun, harus
melalui berbagai percobaan agar menemukan cara pembelajaran yang sesuai
dengan zaman. Dalam pembelajaran bahasa juga, harus menyesuaikan dengan
zaman. Dimana setiap zaman berbeda metode pembelajarannya.
“The effort had nothing to do with second language teaching, having
been originally addressed to ethnographers as a programmatic
statement about what the workers in that field should be attending to
(Hymes 1962). Moreover, it has been pointed out that among current L2
researchers each tends to work in a unique, personal style (Schumann
1982).”

Keterangan di atas membuat guru sebagai sumber pembelajaran yang


umum harus menyiapkan beberapa Hypothesis atau pembahasan yang menarik
namun tetap memenuhi penyaminan infirmasi yang sesuai dengan tujuan
pendidikan. Dalam komonitas luas, tidak hanya pengars dari sumber
pembelajaran namun juga pengaruh dari ke kreatifan diri dalam
mengembangkan pembelajaran. Maka dari itu, L2 Researchers as trend-setters
berperan penting dalam profesi pembelajaran bahasa.
CHAPTER III

CLOSING

1. CONCLUSION
Coomucative adalah hal yang penting dalam setiap pembelajar. Kolabarosi antara
guru dan peserta didik dapat meciptakan suasan communicative di kelas. Terciptanya
suasan communicative di kelas dapat menciptakan aktivitas yang dapat menggiring
kepada terwujudnya tujuan pembelajaran dan pendidikan.
SOURCES

http://ejournal.iainkendari.ac.id/zawiyah/article/download/406/391
https://books.google.co.id/books?id=b1zpdUJSajMC&pg=PA68&lpg=PA68&dq=Curriculum+
developed+on+communicative+goals+dubin+and+oisin&source=bl&ots=m6WXoioerM&sig=
ACfU3U3vusoeIJR-
bZnH5_jgXfI8IaalTg&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjcuNu5pcLoAhXMdn0KHaDKAwsQ6AEwAXo
ECAcQAQ#v=onepage&q&f=false
https://www.meshguides.org/guides/node/768
Dubin, Fraida and Elite Olshtain. 1987. Course Design: Developing Programs and Materials
for Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai