Referat Glomerulonefritis
Referat Glomerulonefritis
GLOMERULONEFRITIS
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Kepaniteraan Klinik
Disusun Oleh:
Pembimbing:
Mengetahui:
KATA PENGANTAR
2
Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunianya sehingga makalah dengan judul Glomerulonefritis ini
dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktu.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi syarat Kepaniteraan Klinik Bidang Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di BLU RSUD Kota Semarang periode 12
Septermber 19 November 2011. Disamping itu, makalah ini ditujukan untuk menambah
pengetahuan kita semua tentang Glomerulonefritis.
Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan dan
kerjasama yang telah diberikan selama penyusunan referat ini, kepada:
1. Dr. Abimanyu, MM, selaku direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang.
2. Dr. dr. Djoko Trihadi Sp.PD, selaku ketua SMF Ilmu Penyakit Dalam dan pembimbing
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Semarang
3. Dr. Diana Novitasari, Sp.PD, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Dalam RSUD Kota Semarang.
4. Dr. Pujo Hendryanto, Sp.PD, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Dalam RSUD Kota Semarang.
5. Dr. Syaifun Niam, SpPD, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Kota Semarang.
6. Dr. Hernowo Aris Munandar, selaku residen pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Semarang.
7. Dr. Friska Anggraini, selaku residen pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Dalam RSUD Kota Semarang.
8. Perawat bagian Ilmu Penyakit Dalam; Ibu Cicih, Ibu Tri, dan Ibu Sari.
9. Rekan-rekan anggota Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota
Semarang.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan, maka penulis sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari semua pihak, supaya referat ini dapat menjadi lebih baik dan dapat
berguna bagi semua yang membacanya. Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila
masih banyak kesalahan maupun kekurangan dalam makalah ini.
DAFTAR ISI
3
HALAMAN PENGESAHAN. 1
KATA PENGANTAR . 2
DAFTAR ISI ... 3
BAB I PENDAHULUAN 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.. 5
BAB III GLOMERULONEFRITIS AKUT... 11
BAB IV PEMBAGIAN GLOMERULONEFRITIS.. 20
Sindrom Nefritik Akut. 20
Sindrom Nefrotik. 22
Kelainan Urin Persisten 25
Gagal Ginjal Akut 25
Gagal Ginjal Kronik. 26
BAB V KESIMPULAN.. 32
DAFTAR PUSTAKA.. 33
BAB I
PENDAHULUAN
4
I.1. LATAR BELAKANG
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan dimulai dalam
gromerolus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan atau hematuria. Meskipun lesi utama
pada gromerolus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga
terjadi gagal ginjal. Penyakit yang mula-mula digambarkan oleh Richard Bright pada tahun 1827
sekarang diketahui merupakan kumpulan banyak penyakit dengan berbagai etiologi, meskipun
respon imun agaknya menimbulkan beberapa bentuk glomerulonefritis.
Glomerulonefritis adalah penyakit yang sering dijumpai dalam praktik klinik sehari-hari dan
merupakan penyabab penting penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Berdasarkan sumber
terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer
apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder
apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain sepertis diabetes mellitus, lupus
eritematosus sistemik (LES), myeloma multiple, atau amiloidosis.
Indonesia pada tahun 1995, melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat di rumah sakit
pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul
berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan
perempuan berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun (40,6%).
Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun (kronis)
seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa mual-mual,
kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak mata, kencing
sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini umumnya (sekitar 80%)
sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal.
Di Indonesia glomerulonefritis masih merupakan penyebab PGTA yang menjalani terapi
pengganti dialysis walaupun data US Renal Data System menunjukkan bahwa dibetes merupakan
penyebab PGTA yang tersering. Manifestasi klinik glomerulonefritis sangat bervariasi mulai dari
kelainan urin seperti proteinuria atau hematuri saja sampai dengan glomerulonefritis progresif
cepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
II.1. ANATOMI GINJAL
Ginjal merupakan organ ganda yang terletak di daerah abdomen, retroperitoneal antara vertebra
lumbal 1 dan 4. Ginjal terdiri dari korteks dan medula. Tiap ginjal terdiri dari 8-12 lobus yang
berbentuk piramid. Dasar piramid terletak di korteks dan puncaknya yang disebut papilla
bermuara di kaliks minor. Pada daerah korteks terdapat glomerulus, tubulus kontortus proksimal
dan distal.
Panjang dan beratnya bervariasi yaitu 6 cm dan 24 gram pada bayi lahir cukup bulan, sampai
12 cm atau lebih dari 150 gram. Pada janin permukaan ginjal tidak rata, berlobus-lobus yang
kemudian akan menghilang dengan bertambahnya umur.
Tiap ginjal mengandung 1 juta nefron (glomerulus dan tubulus yang berhubungan dengannya ).
Pada manusia, pembentukan nefron selesai pada janin 35 minggu. Nefron baru tidak dibentuk
lagi setelah lahir. Perkembangan selanjutnya adalah hipertrofi dan hiperplasia struktur yang
sudah ada disertai maturasi fungsional.
Tiap nefron terdiri dari glomerulus dan kapsula bowman, tubulus proksimal, anse henle dan
tubulus distal. Glomerulus bersama dengan kapsula bowman juga disebut badan maplphigi.
Meskipun ultrafiltrasi plasma terjadi di glomerulus tetapi peranan tubulus dalam pembentukan
urine tidak kalah pentingnya.
6
II. 1.1. Fungsi Ginjal
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan ekstrasel dalam
batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus,
reabsorpsi dan sekresi tubulus.
7
Mekanisme kerja nefron yang lain dalam membersihkan plasma dan substansi yang tidak
diperlukan tubuh adalah sekresi. Substansi-substansi yang tidak diperlukan tubuh akan disekresi
dan plasma langsung melewati sel-sel epitel yang melapisi tubulus ke dalam cairan tubulus. Jadi
urine yang akhirnya terbentuk terdiri dari bagian utama berupa substansi-substansi yang difiltrasi
dan juga sebagian kecil substansi-substansi yang disekresi.
8
Jalinan glomerulus merupakan kapiler-kapiler khusus yang berfungsi sebagai penyaring. Kapiler
glomerulus dibatasi oleh sel-sel endotel, mempunyai sitoplasma yang sangat tipis, yang
mengandung banyak lubang disebut fenestra dengan diameter 500-1000 A. Membran basal
glomerulus membentuk suatu lapisan yang berkesinambungan, antara sel endotel dengan
mesangial pada satu sisi dan sel epitel disisi lain.
Sel-sel epitel kapsula bowman viseral menutupi kapiler dan membentuk tonjolan sitoplasma foot
process yang berhubungan dengan lamina rara eksterna. Diantara tonjolan-tonjolan tersebut
adalah celah-celah filtrasi dan disebut silt pore dengan lebar 200-300 A. Pori-pori tersebut
ditutupi oleh suatu membran disebut slit diaphgrma. Mesangium (sel-sel mesangial dan matrik)
terletak dianatara kapiler-kapiler gromerulus dan membentuk bagian medial dinding kapiler.
Mesangium berfungsi sebagai pendukung kapiler glomerulus dan mungkin bereran dalam
pembuangan makromolekul (seperti komplek imun) pada glomerulus, baik melalui fagositosis
intraseluler maupun dengan transpor melalui saluran-saluran intraseluler ke regio
jukstaglomerular.
9
Tidak ada protein plasma yang lebih besar dari albumin pada filtrat gromerulus menyatakan
efektivitas dari dinding kapiler glomerulus sebagai suatu barier filtrasi. Sel endotel, membran
basal dan sel epitel dinding kapiler glomerulus memiliki kandungan ion negatif yang kuat.
Muatan anion ini adalah hasil dari 2 muatan negatif :proteoglikan (heparan-sulfat) dan
glikoprotein yang mengandung asam sialat. Protein dalam darah relatif memiliki isoelektrik yang
rendah dan membawa muatan negatif murni. Karena itu, mereka ditolak oleh dinding kapiler
gromerulus yang muatannnya negatif, sehingga membatasi filtrasi.
10
II.2. FISIOLOGI
Laju filtrasi glomerulus (LFG) atau gromelural filtration rate (GFR) merupakan penjumlahan
seluruh laju filtrasi nefron yang masih berfungsi yang juga disebut single nefron glomerular
filtration rate (SN GFR).besarnya SN GFR ditentuka oleh faktor dinding kapiler glomerulus dan
gaya Starling dalam kapiler tersebut.
SN GFR = Kf.(P-)
= Kf.P.uf
Koefesien ultrafiltrasi (Kf) dipengaruhi oleh luas permukaan kapiler glomerulus yang tersedia
untuk filtrasi dan konduksi hidrolik membran basal.
Tekanan ultrafiltrasi (Puf) atau gaya Starling dalam kapiler ditentukan oleh :
- tekanan hidrostatik dalam kapiler glomerulus (Pg)
o tekanan hidrostatik dalam kapsula bowman atau tubulus (Pt)
o tekanan onkotik dalam kapiler glomerulus ( g)
o tekanan onkotik dalam kapsula bowman yang dianggap nol karena ultra filtrat tidak
mengandung protein.
11
BAB III
GLOMERULONEFRITIS AKUT
Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau
virus tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman streptococcus. Glomerulonefritis
merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang
mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme
imunologis. Sedangkan istilah akut (glomerulonefritis akut) mencerminkan adanya korelasi
klinik selain menunjukkan adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan penyakit dan
prognosis.
III. 1. ETIOLOGI
Berbagai kemungkinan penyebab GN antara lain: adanya zat yang berasal dari luar yang
bertindak sebagai antigen (Ag), rangsangan autoimun, dan induksi pelepasan sitokin/ aktifasi
komplemen lokal yang menyebabkan kerusakan glomerular. Pada umumnya kerusakan
glomerular (glomerular injury) tidak diakibatkan secara langsung oleh endapan kompleks imun
di glomerulus, akan tetapi hasil interaksi dari sistem komplemen, mediator humoral dan selular.
Menurut kejadiannya GN dibedakan atas GN primer dan GN sekunder. Dikatakan GN primer
jika penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri dan GN sekunder jika kelainan ginjal terjadi
akibat penyakit sistemik lain seperti penyakit autoimun tertentu, infeksi, keganasan atau penyakit
metabolik.
Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus timbul setelah infeksi saluran
pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe
1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari
setelah infeksi streptokokus, timbul gejala-gejala klinis. Infeksi kuman streptokokus beta
hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar
10-15%.
Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan bahwa:
1. Timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina
2. Diisolasinya kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A
3. Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.
4. Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi mempengaruhi
terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss. Ada beberapa penyebab
glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan disebabkan karena infeksi dari
streptokokus, penyebab lain diantaranya:
a. Bakteri : Streptokokus grup C, Meningococcocus, Streptoccocus Viridans, Gonococcus,
Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus, Salmonella typhi
dll
12
b. Virus : Hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis
epidemika dl
c. Parasit : Malaria dan toksoplasma
III. 1. 1. Streptokokus
Sterptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas membentuk pasangan
atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan golongan bakteri yang heterogen. Lebih
dari 90% infeksi streptokkus pada manusia disebabkan oleh Streptococcus hemolisis kumpulan
A. Kumpulan ini diberi spesies nama S. pyogenes.
Streptococcus
Bakteri ini hidup pada manusia di tenggorokan dan juga kulit. Penyakit yang sering disebabkan
diantaranya adalah faringitis, demam rematik dan glomerulonefritis.
13
III. 2. PATOFISIOLOGI
Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal. Diduga terdapat suatu
antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khusus yang merupakan unsur membran plasma
sterptokokal spesifik. Terbentuk kompleks antigen-antibodi didalam darah dan bersirkulasi
kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam membran
basalis.selanjutnya komplomen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik
leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan
enzim lisosom juga merusak endothel dan membran basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon
terhadap lesi yang terjadi, timbu proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan
selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus menyebabkan
protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk oleh ginjal,
mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya kompleks komplomen antigen-antibodi
inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel pada mikroskop elektron dan sebagai bentuk
granular dan berbungkah-bungkah pada mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya
glomerulus tampak membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.
Menurut penelitian yang dilakukan penyebab infeksi pada glomerulus akibat dari reaksi
hipersensivitas tipe III. Kompleks imun (antigen-antibodi yang timbul dari infeksi) mengendap
di membran basalis glomerulus. Aktivasi kpmplomen yang menyebabkan destruksi pada
membran basalis glomerulus.
Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh Streptokokus,
merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibodi terhadap IgG yang telah
berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam sirkulasi darah yang kemudian
mengendap di ginjal.
Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya GNAPS.
Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen menjadi plasmin. Plasmin ini diduga
dapat mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen.7
Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks yang dideposit. Bila
terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau dapat terjadi perubahan mesangiopatik
berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan matrik yang dapt meluas diantara sel-sel endotel dan
membran basalis,serta menghambat fungsi filtrasi simpai kapiler. Jika kompleks terutama
terletak subendotel atau subepitel, maka respon cenderung berupa glomerulonefritis difusa,
14
seringkali dengan pembentukan sabit epitel. Pada kasus penimbunan kronik komplek imun
subepitel, maka respon peradangan dan proliferasi menjadi kurang nyata, dan membran basalis
glomerulus berangsur- angsur menebal dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam
membran basalis baru yang dibentuk pada sisi epitel.
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit kompleks imun
dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun demikian ukuran dari kompleks
tampaknya merupakan salah satu determinan utama. Kompleks-kompleks kecil cenderung
menembus simpai kapiler, mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang dinding kapiler do
bawah epitel, sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak sedemikian mudah
menembus membran basalis, tapi masuk ke mesangium. Komplkes juga dapat berlokalisasi pada
tempat-tempat lain.
Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas, misal antigen bakteri
dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu atau dengan terapi spesifik. Pada
keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks imun dalam glomerulus terbatas dan kerusakan
dapat ringan danberlangsung singkat, seperti pada glomerulonefritis akut post steroptokokus.1,2
Hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya
kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis
sebagai berikut :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana basalis
glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan
autoimun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen
antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrana basalis
ginjal.
III. 3. PREVALENSI
GNAPS dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun tersering pada golongan umur 5-15
tahun, dan jarang terjadi pada bayi. Referensi lain menyebutkan paling sering ditemukan pada
anak usia 6-10 tahun. Penyakit ini dapat terjadi pada laki laki dan perempuan, namun laki laki
dua kali lebih sering dari pada perempuan. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah
2:1. Diduga ada faktor resiko yang berhubungan dengan umur dan jenis kelamin. Suku atau ras
tidak berhubungan dengan prevelansi penyakit ini, tapi kemungkinan prevalensi meningkat pada
orang yang sosial ekonominya rendah, sehingga lingkungan tempat tinggalnya tidak sehat.
Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama, kemudian pada akhir
minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal, maka tekanan
darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila keadaan
penyakitnya menjadi kronis. Suhu badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada
hari pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada gejala infeksi lain yang
mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan diare
tidak jarang menyertai penderita GNA.
Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin hanya sedang. Hipertensi
terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau akibat vasospasme masih belum
diketahui dengna jelas.
17
III. 7. DIAGNOSIS
Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada pasien dengan gejala
klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut setelah
infeksi streptokokus. Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi
streptokokus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk
menegakkan diagnosis. Tetapi beberapa keadaan lain dapat menyerupai glomerulonefritis akut
pascastreptokok pada awal penyakit, yaitu nefropati-IgA dan glomerulonefritis kronik. Anak
dengan nefropati-IgA sering menunjukkan gejala hematuria nyata mendadak segera setelah
infeksi saluran napas atas seperti glomerulonefritis akut pascastreptokok, tetapi hematuria
makroskopik pada nefropati-IgA terjadi bersamaan pada saat faringitas (synpharyngetic
hematuria), sementara pada glomerulonefritis akut pascastreptokok hematuria timbul 10 hari
setelah faringitas; sedangkan hipertensi dan sembab jarang tampak pada nefropati-IgA.
Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa hematuria makroskopis
akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa glomerulonefritis kronik yang menunjukkan
gejala tersebut adalah glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus, dan
glomerulonefritis proliferatif kresentik. Perbedaan dengan glomerulonefritis akut
pascastreptokok sulit diketahui pada awal sakit.
Pada glomerulonefritis akut pascastreptokok perjalanan penyakitnya cepat membaik (hipertensi,
sembab dan gagal ginjal akan cepat pulih) sindrom nefrotik dan proteinuria masih lebih jarang
terlihat pada glomerulonefritis akut pascastreptokok dibandingkan pada glomerulonefritis kronik.
Pola kadar komplemen C3 serum selama tindak lanjut merupakan tanda (marker) yang penting
untuk membedakan glomerulonefritis akut pascastreptokok dengan glomerulonefritis kronik
yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal dalam waktu 6-8 minggu pada
glomerulonefritis akut pascastreptokok sedangkan pada glomerulonefritis yang lain jauh lebih
lama.kadar awal C3 <50 mg/dl sedangkan kadar ASTO > 100 kesatuan Todd.
Eksaserbasi hematuria makroskopis sering terlihat pada glomerulonefritis kronik akibat infeksi
karena streptokok dari strain non-nefritogenik lain, terutama pada glomerulonefritis
membranoproliferatif. Pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok tidak perlu dilakukan
biopsi ginjal untuk menegakkan diagnosis; tetapi bila tidak terjadi perbaikan fungsi ginjal dan
terdapat tanda sindrom nefrotik yang menetap atau memburuk, biopsi merupakan indikasi.
III. 9. PENATALAKSANAAN
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di glomerulus.
1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlak selama 6-8 minggu
untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir
menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya
penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi
beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptococcus
yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari,
sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman
penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoritis
seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini
sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg
BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan
eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan rendah
garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan
makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka
diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian
cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal
jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus
dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa untuk
menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala
serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07
mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya
reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat
parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek toksis.
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah
dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan lambung dan
usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat
dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat
dikerjakan dan adakalanya menolong juga.
6. Diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi akhir-akhir ini
pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit tidak
berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus.
7. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen.
19
lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum
kadang-kadang di perlukan.
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat
gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan
spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran jantung
dan meningginya tekanand arah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah,
melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas
dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang
menurun.
BAB IV
PEMBAGIAN GLOMERULONEFRITIS
GN pada umumnya dibagi atas dasar gambaran histopatologik dan atas dasar gambaran klinisnya
1. Berdasarkan gambaran histopatologisnya dapat dibedakan atas;
a. GN lesi minimal = nefrosis lipoid
b. GN membranosa = ekstramembranosa = epimembranosa
c. GN proliferative = endokapiler = post streptococcal
d. GN kresentik = progresif cepat
e. GN membranoproliferatif = mesangiokapiler : tipe 1 dan 2
20
f. GN proloferatif fokal segmental = proliferative mesangial
g. Glomerulosklerosis fokal segmental
2. Diagnosis GN dapat ditegakkan dengan pemeriksaan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang lain. Pemeriksaan sederhana pada umunya dapat membantu
menegakkan diagnosis klinik. Pemeriksaan penunjang berupa biopsy ginjal dapat
diperiksa dengan mikroskop electron, kadar immunoglobulin, dan kadar komplemen.
Berdasarkan gambaran klinisnya GN dikenal 5 macam bentuk, yaitu;
a. Sindroma nefritis akut
b. Sindroma nefrotik
c. Kelainan urin persisten
d. Gagal ginjal akut progresif cepat
e. Gagal ginjal kronik
IV. 1. b. Etiologi
Sindroma nefritik akut bisa timbul setelah suatu infeksi oleh streptokokus, misalnya strep throat.
Kasus seperti ini disebut glomerulonefritis pasca streptokokus.
Glomeruli mengalami kerusakan akibat penimbunan antigen dari gumpalan bakteri streptokokus
yang mati dan antibodi yang menetralisirnya.
Gumpalan ini membungkus selaput glomeruli dan mempengaruhi fungsinya.
Nefritis timbul dalam waktu 1-6 minggu (rata-rata 2 minggu) setelah infeksi dan bakteri
streptokokus telah mati, sehingga pemberian antibiotik akan efektif.
Glomerulonefritis pasca streptokokus paling sering terjadi pada anak-anak diatas 3 tahun dan
dewasa muda. Sekitar 50% kasus terjadi pada usia diatas 50 tahun.
Sindroma nefritik akut juga bisa disebabkan oleh reaksi terhadap infeksi lainnya, seperti:
infeksi pada bagian tubuh buatan, endokarditis bakterialis, pneumonia, abses pada organ perut,
cacar air, hepatitis infeksius, sifilis, malaria, dll.
Pada awalnya edema timbul sebagai pembengkakan di wajah dan kelopak mata, tetapi
selanjutnya lebih dominan di tungkai dan bisa menjadi hebat.
21
Tekanan darah tinggi dan pembengkakan otak bisa menimbulkan sakit kepala, gangguan
penglihatan dan gangguan fungsi hati yang lebih serius.
IV. 1. d. Diagnosa
Urinalisis (analisa air kemih) menunjukkan jumlah protein yang bervariasi dan konsentrasi urea
dan kreatinin di dalam darah seringkali tinggi.
Kadar antibodi untuk streptokokus di dalam darah bisa lebih tinggi daripada normal.
Kadang pembentukan air kemih terhenti sama sekali segera setelah terjadinya glomerulonefritis
pasca streptokokus, volume darah meningkat secara tiba-tiba dan kadar kalium darah meningkat.
Jika tidak segera menjalani dialisa, maka penderita akan meninggal.
Sindroma nefritik akut yang terjadi setelah infeksi selain streptokokus biasanya lebih mudah
terdiagnosis karena gejalanya seringkali timbul ketika infeksinya masih berlangsung.
IV. 1. e. Therapi
Pemberian obat yang menekan sistem kekebalan dan kortikosteroid tidak efektif, kortikosteroid
bahkan bisa memperburuk keadaaan.
Jika pada saat ditemukan sindroma nefritik akut infeksi bakteri masih berlangsung, maka segera
diberikan antibiotik.
Jika penyebabnya adalah infeksi pada bagian tubuh buatan (misalnya katup jantung buatan),
maka prognosisnya tetap baik, asalkan infeksinya bisa diatasi. Untuk mengatasi infeksi biasanya
dilakukan pengangkatan katup buatan yang terinfeksi dan menggantinya dengan yang baru
disertai dengan pemberian antibiotik.
Penderita sebaiknya menjalani diet rendah protein dan garam sampai fungsi ginjal kembali
membaik. Bisa diberikan diuretik untuk membantu ginjal dalam membuang kelebihan garam dan
air.
Jika terjadi gagal ginjal yang berat, penderita perlu menjalani dialisa.
IV. 1. f. Prognosis
Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan yang sempurna. Jika pemeriksaan
laboratorium menunjukkan adanya sejumlah besar protein dalam air kemih atau terjadi
kemunduran fungsi ginjal yang sangat cepat, maka kemungkinan akan terjadi gagal ginjal dan
kerusakan ginjal.
Pada 1% penderita anak-anak dan 10% penderita dewasa, sindroma nefritik akut berkembang
menjadi sindroma nefritik yang berkembang dengan cepat.
22
Sekitar 85-95% anak-anak kembali mendapatkan fungsi ginjalnya yang normal, tetapi memiliki
resiko tinggi menderita tekanan darah tinggi di kemudian hari.
Sekitar 40% dewasa mengalami penyembuhan yang tidak sempurna dan tetap memiliki kelainan
fungsi ginjal.
23
Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer. Berdasarkan histopatologis
yang tampak pada biopsi ginjal dgn pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron,
Churk dkk membaginya menjadi :
4. Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel berpadu. Dengan cara
imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG pada dinding kapiler glomerulus.
5. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel.
Prognosis kurang baik.
6. Glomerulonefritis proliferatif
Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus.
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkanan
sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
Dengan penebalan batang lobular.
Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular.
Dengan bulan sabit ( crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan
viseral. Prognosis buruk.
Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membran basalis di
mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-IA rendah. Prognosis buruk.
Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.
7. Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai atrofi tubulus.
Prognosis buruk.
IV. 2. c. Patofisiologi
Terjadi proteinuria akibat peningkatan permiabilitas membran glomerulus. Sebagian besar
protein dalam urin adalah albumin sehingga jika laju sintesis hepar dilampui, meski telah
berusaha ditingkatkan, terjadi hipoalbuminemia. Hal ini menyebabkan retensi garam dan air.
Menurunnya tekanan osmotik menyebabkan edema generalisata akibat cairan yang berpindah
dari sistem vaskuler kedalam ruang cairan ekstra seluler. Penurunan sirkulasi volume darah
mengaktifkan sistem imun angiotensin, menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut.
Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis lipoprotein di hati dan peningkatan
konsentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia).
Menurunnya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan karena
hypoalbuminemia, hyperlipidemia atau defisiensi seng.
24
Sindrom nefrotik dapat terjadi dihampir setiap penyakit renal intrinsik atau sistemik yang
mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini dianggap menyerang anak-
anak, namun sindrom nefrotik juga terjadi pada orang dewasa termasuk lansia.
26
IV. 4. d. Diagnosis
Anamnesis yang teliti dapat membantu dalam menentukan penyebab gagal ginjal. Muntah, diare
dan demam menandakan adanya dehidrasi. Adanya infeksi kulit atau tenggorokan yang
mendahuluinya menandakan glomerulonefritis pascastreptokokus.
Kelainan laboratorium dapat meliputi anemia, yang dapat disebabkan oleh pengenceran akibat
dari kelebihan beban cairan, peningkatan kadar BUN serum, kreatinin, asam urat dan fosfat. Dan
antibodi dapat dideteksi dalam serum terhadapstreptokokus. Pada semua penderita gagal ginjal
akut, kemungkinan obstruksi dapatdinilai dengan melakukan roentgen abdomen, USG ginjal atau
CT-Scan abdomen.
IV. 4. e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan harus ditujukan kepada penyakit primer yang menyebabkan gagal ginjal akut
tersebut, dan berdasarkan keadaan klinis yang muncul.
IV. 5. b. Etiologi
Penyebab GGK menurut Price, 1992; 817, dibagi menjadi delapan kelas, antara lain:
Infeksi misalnya pielonefritis kronik
Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna,
stenosis arteria renalis
Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa,sklerosis sistemik progresif.
27
Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus
ginjal
Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbale
Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis
netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali
kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
Gastrointestinal:
o Foetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh
bakteri di mulut menjadi ammonia sehingga napas berbau ammonia. Akibat lain
adalah timbulnya stomatitis dan parotitis
o Ulserasi dan perdarahan pada mulut
29
o Anoreksia, mual, muntah yang berhubungan dengan gangguan metabolism di dalam
usus, terbentuknya zat-zat toksik akibat metabolism bakteri usus seperti ammonia
dan metil guanidine, serta sembabnya mukosa usus
o Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui
o Konstipasi dan diare
o Perdarahan dari saluran GI (gastritis erosive, ulkus peptic, dan colitis uremik)
Neurologi:
o Ensefalopati metabolic. Kelemahan dan keletihan, tidak bias tidur, gangguan
konsentrasi, tremor, asteriksis, mioklonus, kejang
o Konfusi
o Disorientasi
o Kelemahan pada tungkai
o Rasa panas pada telapak kaki
o Perubahan perilaku
o Burning feet syndrome. Rasa kesemutan dan seperti terbakar, terutama di telapak
kaki
Muskuloskleletal:
o Kram otot
o Kekuatan otot hilang
o Fraktur tulang
o Foot drop
o Restless leg syndrome. Pasien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu
digerakkan
o Miopati. Kelemahan dan hipertrofi otot-otot terutama otot-otot ekstremitas
proksimal
Reproduksi:
o Atrofi testikuler
o Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-laki akibat
produksi testosterone dan spermatogenesis yang menurun. Sebab lain juga
dihubungkan dengan metabolic tertentu (seng, hormone paratiroid). Pada wanita
timbul gangguan menstruasi, gangguan ovulasi sampai amenore
Hematologi:
o Anemia, dapat disebabkan berbagai factor antara lain:
1. Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan eritropoesis pada
sumsum tulang menurun
2. Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia
toksik
3. Defisiensi besi, asam folat, dan lain-lain, akibat nafsu makan yang
berkurang
4. Perdarahan, paling sering pada saluran cerna dan kulit
5. Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder
o Gangguan perfusi trombosit dan trombositopenia. Mengakibatkan perdarahan
akibat agregasi dan adhesi trombosit yang berkurang serta menurunnya factor
trombosit III dan ADP (adenosine difosfat)
30
o Gangguan fungsi leukosit. Fagositosis dan kemotaksis berkurang, fungsi limfosit
menurun sehingga imunitas juga menurun.
Endokrin
o Gangguan metabolism glukosa, resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens kreatinin<15 mL/menit), terjadi penurunan
klirens metabolic insulin menyebabkan waktu paruh hormone aktif memanjang.
Keadaan ini dapat menyebabkan kebutuhan obat penurun glukosa darah akan
berkurang
o Gangguan metabolisme lemak
o Gangguan metabolisme vitamin D
Sistem lain:
o Tulang: osteodistrofi renal, yaitu osteomalasia, osteitis fibrosa, osteosklerosis, dan
kalsifikasi metastatic
o Asidosis metabolic akibat penimbunan asam organic sebagai hasil metabolism
o Elektrolit: hiperfosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia
Komplikasi
Komplikasi potensial gagal ginjal kronis yang memerlukan pendekatan kolaboratif dalam
perawatan mencakup:
Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme, dan
masukan diet berlebih.
Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-
angiotensin-aldosteron.
Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, dan kehilangan darah
selama hemodialisis.
Penyakit tulang serta klasifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolism vitamin D abnormal, dan peningkatan kadar
alumunium.
3. Stadium III
Uremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10 %). Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk
dalam keadaan diman tak dapat melakukan tugas sehari hair sebaimana mestinya. Gejal gejal
yang timbul antara lain mual, munta, nafsu makan berkurang., sesak nafas, pusing, sakit kepala,
air kemih berkurang, kurang tidur, kejang kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran
sampai koma. Stadum akhir timbul pada sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur. Nilai GFR
nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml / menit atau kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok
sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala yang
cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis caiaran dan elektrolit
dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/ hari
karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula mula menyerang tubulus ginjal,
kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan gejala gejala yang
dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal
31
ginjal, penderita pasti akan menggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi
ginjal atau dialisis.
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
33
3. Ilmu Kesehatan Nelson, 2000, vol 3, ed Wahab, A. Samik, Ed 15, Glomerulonefritis akut
pasca streptokokus,1813-1814, EGC, Jakarta.
4. http://www/.5mcc.com/ Assets/ SUMMARY/TP0373.html. Accessed October 18th, 2011.
5. http://www.Findarticles.com/cf0/g2601/0005/2601000596/pi/article.jhtm?term=g
lomerunopritis+salt+dialysis. Accessed September 18th, 2011.
6. markum. M.S, Wiguno .P, Siregar.P,1990, Glomerulonefritis, Ilmu Penyakit Dalam II,
274-281, Balai Penerbit FKUI,Jakarta.
7. Agustian. 2003. Ginjal. Ilmu Penyakit Dalam. Rumah Sakit ImmanuelBandung. hal.
367-371.
8. Enday Sukandar. 1997. Nefrologi Klinik. Edisi II. Bandung. ITB. hal. 145-162.
9. Prico SA. & Wilson LM. 1995. Patologi. Konsep Klinik Proses-proses
Penyakit. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal. 827-829.
10. Soeparman & Sarwono Wapadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Balai Penerbit
FKUI. hal. 274-280.
11. Sutisna Himawan. 1998. Patologi. Jakarta. FK UI. hal. 258-261.
12. Donna J. Lager, M.D.
http;//www.vh.org/adult/provider/pathologi/GN/GNHP.html.Accessed October 18th, 2011.
13. http;//www.enh.org/encyclopedia/ency/article/000475.asp. Accessed October 18th, 2011.
14. http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/08_KlarifikasiHistopatologik.pdf/08_Klarifika
siHistopatologik.html. Accessed October 18th, 2011.
15. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11_HematuriPadaAnak.pdf/11_HematuriPadaAnak.
html. Accessed October 18th, 2011.
16. http://pkukmweb.ukm.my/~danial/Streptococcus.html. Accessed October 18th, 2011.
17. http://medlinux.blogspot.com/2007/09/glomerulonephritis-akut.html. Accessed October
18th, 2011.
18. http://www.uam.es/departamentos/medicina/patologia/19-20x.JPG. Accessed October
18th, 2011.
34