SomatisasiDalamBudayaKolektivis
DitinjaudariTeoriPemaknaanNelson:
KritikterhadapPsikoanalisaKlasik
TjiptoSusana
SOMATISASIMENURUT tersebutakanditekankedalamketidak
PSIKOANALISAKLASIK sadaran. Kecemasan akan
Somatisasi adalah gangguan ditransformasikan (dikonversikan)
somatoform yang ditandai oleh gejala dalam bentuk gejala somatik supaya
tidakmunculkekesadaran.Olehkarena
somatik yang berulang tanpa
diketemukan dasar organik yang jelas, itugangguaninidisebutjugakonversi.
yang menyebabkan seseorang sering Bangunan dasar dari asumsi ini
berkonsultasi ke dokter (American adalah teori dorongan (drive theory).
Psychiatric Association, 2000). Menurut Menurut Freud (1914) dorongan yang
teori Psikoanalisa klasik1 (van der Kolk mendasari hampir semua patologi
dkk., 1996) gangguan somatisasi ini adalah dorongan seksual. Berdasarkan
merupakan manifestasi dari kecemasan analisis terhadap para penderita gang
yang bersifat neurotik. Kecemasan ini guanhisteria2,Freud(1914)menyimpul
bersumberdarikonflikinternaldidalam kan bahwa para penderita tersebut
diri seseorang, yaitu antara id dan mempunyai: (1) pengalaman traumatik
superego (norma masyarakat yang sudah yang berkaitan dengan seksual, (2)
diinternalisasikan).Ketikaegoseseorang konflik internal yang berkaitan dengan
tidak mampu mengatasi konflik dorongan seksual. Pengalaman trauma
tersebut, maka dorongandorongan tik ini biasanya berupa tindakan perko
saan atau pelecehan seksual. Sedangkan
89
90 Tjipto Susana
ShuFang Kao 2002). Jadi ada Deguang, 2002; Mayou dkk., 2005).
kesalingtergantungan antara kehor Kedua hal tersebut merupakan satu
matanpribadidanunitsosialseseorang. kesatuan yang saling berhubungan.
Reputasi kelompok mencerminkan Pengolahanbatinjugadilakukanmelalui
reputasi pribadi dan sebaliknya. pengolahan fisik, dan sebaliknya; (2)
Mempertahankan nama baik kelompok dalam budaya kolektivis seseorang
adalahkewajibantiappribadi. diharapkan mampu mengelola emosi
Berdasarkan penelitian Hofstede & nya. Oleh karena itu jika seseorang
Hofstede (2005), masyarakat Barat pada mengekspresikan emosi yang terlalu
umumnya berciri individualis, dan kuat,baikyangpositif(senang,bahagia,
Timur lebih kolektivis. Budaya indivi bangga) maupun negatif (sedih, marah,
dualis banyak ditemukan di masyarakat kecewa, cemas) akan memperoleh
AngloEuropean, meliputi Amerika penilaian negatif dari lingkungannya
Serikat, Kanada, Eropa Barat, Australia, (Raguramdkk.,1996;Spectordkk.,2001);
dan Selandia Baru. Budaya kolektivis (3) depresi dan kecemasan dipandang
banyakterdapatdiAsia(misalnyaCina, sebagairesponnormaldarikondisistres,
India, Jepang), Amerika Latin, dan bukan sebagai bentuk gangguan (Yeung
lainnya & Deguang, 2002); (4) adanya stigma
yang dilekatkan pada ekspresi perasaan
Berkaitan dengan nilainilai budaya
tertekan yang dialami seseorang
kolektivis terrsebut, meningkatnya
(Cheung dkk. dalam Raguram dkk.,
jumlah penderita somatisasi pada pusat
2000;Raguramdkk.,1996).Dalambuda
kesehatan masyarakat dan kecende
ya kolektivis, perasaan negatif (seperti
rungan tingginya prevalensi penderita
kesedihan dan kecemasan) misalnya,
somatisasi pada masyarakat kolektivis
secara langsung merujuk pada perasaan
ini, menurut dugaan para ahli tidak
tertekan yang berkaitan dengan
sematamata berkaitan dengan penga
hubungan antarpribadi dan sosial yang
laman traumatik. Kemungkinan penje
patut disalahkan. Padahal dalam
lasannya adalah dalam masyarakat
masyarakat kolektivis, kritik terbuka
kolektivis ada kecenderungan individu
terhadaphubunganantarpribadidalam
mengkomunikasikan masalah personal
masyarakat atau keluarga dirasakan
dan interpersonal dalam idiom
sebagai ancaman terhadap harga diri
ketidaknyamananfisik.
(Littlewood & Lipsedge dalam Boski
Menurut para ahli hal ini diduga dkk., 2000). Sementara itu gejala fisik
berkaitan dengan nilainilai kolektivis tidakmerujukpadatekanansosial,tetapi
yaitu: (1) dalam budaya kolektivis, lebihmenunjukkanketidakberesanpada
terutama Asia, tidak dibedakan antara tubuhitusendiri.Olehkarenaituidiom
konsep jiwa dan raga (Yeung dan somatik lebih menjadi pilihan ekspresi
untukberkembang.MenurutteoriRelasi TEORIPEMAKNAANNELSON3
Objek, konformitas ini terjadi karena Makna menurut Saari (dalam Arnd
individutakutkehilanganikatandengan
Caddigan, 2003) meliputi afektif dan
lingkungansosialnya. kognitif dan melayani fungsi
Teori Relasi Objek ini juga komunikasi, organisasi, evaluasi, dan
menekankan pentingnya relasi antara partisipasidalammasyarakat.Sementara
terapis dan pasien. Mereka bukan lagi Maxwell (dalam ArndCaddigan, 2003)
sebagai individu yang terpisah, tetapi mendefinisikan makna sebagai intensi,
sebagaiduapribadiyangsalingberinte kognisi,perasaan,kepercayaan,evaluasi,
raksi dan mempengaruhi. Pengolahan dan segala sesuatu yang dapat dicakup
transferens dan kontertransferens oleh istilah perspektif partisipan yang
merupakanhalyangsangatmenentukan lebih luas. Konstruksi ini bersifat
keberhasilan terapi. Jadi terapi tidak ideasionaldanmental,daripadafisik,
hanya tergantung pada keahlian terapis Katherine Nelson (dalam Arnd
ataupotensipasien. Caddigan, 2003) menyatakan bahwa
Berkaitan dengan somatisasi yang makna mempunyai tiga tingkatan yang
eratkaitannyadengannilainilaibudaya berbeda,yaitukontekssosial,konseptua
dan interaksi sosial, maka penjelasan lisasi individual, dan konvensi budaya.
teori Relasi Objek lebih relevan dan Pemahamanpertamaanaktentangmak
memadai. Teori ini lebih bisa menjelas na pengalaman diperoleh dari interaksi
kan etiologi dan tritmen somatisasi antarpribadi dengan orang yang
dalam kaitannya dengan internalisasi merawatnya, yang disebutnya sebagai
nilainilai budaya dan proses belajar konteks sosial. Caracara orang yang
sosial. merawat anak bertingkah laku selama
Oleh karena itu dalam tulisan ini berinteraksi dengan anak mengajarkan
akan digunakan salah satu dari teori padaanaktentangmaknaperistiwa.
Relasi objek, yaitu teori pemaknaan Ketika seorang anak menjadi agen
Katherine Nelson untuk menjelaskan perilaku yang lebih aktif dalam proses
gangguan somatisasi dalam kaitannya elaborasi makna, maka ia mulai
dengan budaya kolektivis. Pemilihan
teori Nelson ini didasarkan pada 3 Teori pemakna Nelson ini tidak bisa dilepaskan
pertimbangan bahwa teori ini secara dari teori relasi obyek secara umum dan
spesifik akan mampu menjelaskan khususnya teori relasional Mitchel dan Aron,
Donnel Stern, Sullivan, Neil Altman, dan
proses internalisasi nilainilai sosial,
intersubyektivitas dari Krystal, Stolorow dan
konflik antara nilai individu dan sosial, Atwood (lihat ArndCaddigan, 2003). Teoriteori
serta kegagalan pemaknaan linguistik tersebut akan diuraikan lebih lanjut pada
dalamsomatisasi. pemaparan tentang somatisasi dalam budaya
kolektivis,ditinjaudariteoripemaknaanNelson.
memasuki tingkat kedua dalam proses nampak bahwa ketika menonton film,
pemaknaan, yaitu konseptualisasi ekspresi emosi subjek yang alosentris
individual. Dalam tingkatan ini seorang (kolektivis) tidak kongruen dengan
anak aktif melakukan proses kognitif perasaan yang sesungguhnya (subjek
terhadapstrukturyangsudahdiperoleh yang alosentris cenderung menutupi
nya melalui konteks sosial, sehingga perasaanyangsesungguhnya).
terbentukmaknabaru. Kedua, ekspresi gejala psikologis
Tingkat ketiga dari proses dipandang mencerminkan masalah
pemaknaan berkaitan dengan perolehan dalam relasi interpersonal. Sehingga
bahasa atau budaya, yaitu makna ekspresi gejala psikologis lebih dipan
konvensional katakata dalam bahasa dang sebagai ancaman terhadap
budaya komunitas. Melalui bahasa harmonidanhargadirikelompok.
seorang anak menyerap struktur dan Ketiga,perasaandanfisikdipandang
kategori budaya yang mendefinisikan sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu
apayangadadanbagaimanaseharusnya sebenarnya ekspresi fisik sekaligus
duniaberjalan. mencerminkan kondisi emosi yang ada
didalamdiriseseorang.Contohdarihal
SOMATISASIDALAMBUDAYA iniadalahadanyaungkapanfisikdalam
KOLEKTIVISDITINJAUDARITEORI masyarakat Jawa untuk merumuskan
PEMAKNAANNELSON gejala psikologis. Misalnya kata Ngelu
Telah diuraikan sebelumnya bahwa (pusing, kepala terasa berat) untuk
dalam budaya kolektivis, ekspresi mengekspresikanperasaantertekanketi
perasaan, baik yang berkaitan dengan ka sedang menghadapi masalah dalam
pribadi maupun relasi antar pribadi hidupnya, mules (mulas) sebagai
tidak begitu dihargai. Hal ini berkaitan ekspresi perasaan cemas, lema/lemu
dengan nilainilai yang diyakini dalam (gemuk) atau seger (segar) sebagai
budayatersebut. ekspresi dari ketentraman batin dan
kemakmuran.
Pertama, seseorang diharapkan
mampu mengendalikan perasaannya, Menurut Nelson, nilainilai yang
jadi tidak baik menunjukkan perasaan berlaku dalam masyarakat kolektivis
yang kuat, baik yang bersifat positif tersebut dapat dipandang sebagai
maupun negatif. Dari penelitian konvensi budaya. Nilainilai tersebut
Matsumoto dan Kupperbusch (2001)4, bisa diinternalisasi oleh konteks sosial
seseorang, bisa juga tidak. Demikian
halnya dalam tingkat konseptualisasi
4 Lihat juga penelitian Matsumoto et al (2002) individual.
tentangperbedaanbudayaantaraorangAmerika
danJepangdalamhalpenilaianekspresiemosi.
KonteksPersonal
Nilaimasyarakat KonteksInterpersonal
Perasaantak Somatisasi
Kolektivisme Perasaantakdimaknai
dimaknai
Gambar1.TeoriPemaknaanNelson(dalamArndCaddigan,2003)
Kolektivisme
Perasaanprimer
Pengalaman
Prosespsikobiologis PerasaanSekunder
Somatisasi
Uncognized Cognized
Gambar2.ExplanatoryModelTheory(KleinmandanKleinmandalamKleinmandanGood,1985)
Selanjutnya, Nelson menyatakan integrasi aneka input akan melalui
bahwakontekssosialyangtidakmembe model skematik. Ketiga proses tersebut
rikan pemaknaan pada pengalaman tidak terjadi secara terpisah. Apabila
perasaaniniakandiinternalisasikanoleh konteks sosial tidak memberikan
seorang anak6. Apabila konteks sosial pemaknaan perasaan pada gejala psiko
diinternalisasikan oleh seseorang, maka logis, maka meskipun dalam tingkat
pada tingkat konseptualisasi individual asosiatifnya(implisit)seseorangmerasa
pun tidak terjadi pemaknaan perasaan kanpengalamanperasaani,tetapidalam
yangmenyertaipengalaman. tingkat proposisional dan model
Analog dengan pendapat Nelson, skematiknya (eksplisit) akan memaknai
Power (2005) menyatakan bahwa dalam nya sebagai gejala fisik semata. Hal ini
jalur skema kognitif ke emosi ada tiga cukup menjelaskan mengapa pada
tingkatan,yaituasosiatif(palingrendah), penderita somatisasi dijumpai kasus
proposisional (menengah), dan model alexithymia, yaitu ketidakmampuan
skematik (paling tinggi). Sensori (bau, seseorang mengidentifikasikan perasaan
visual, auditori) akan melalui jalur dalam tataran linguistiknya (Prince
asosiatif. Katakata akan melalui jalur dalam Raguram dkk., 1996; Lundh dan
proposisional, dan interpretasi atau SimonssonSarnecky, 2001; Nemiah
dalam van der Kolk dkk., 1996).
Kleinman dan Kleinman (dalam
6 Dalam perjumpaannya dengan lingkungan
sosial,bisasajaseoranganakberinteraksidengan Kleinman dan Good, 1985) juga
nilainilaibudayayangberbeda.Dalaminteraksi menemukan bahwa orangorang Cina
ini, bisa saja ia menginternalisasikan nilainilai yang menderita somatisasi tetap tidak
baru.Adatigapolayangmungkinterjadiselama
proses akulturasi ini, yaitu akomodasi (apabila
menyadari masalah psikologis maupun
seseorang menginternalisasikan sebagian dari sosial yang dihadapinya. Mereka
budaya lain), overshooting (apabila seseorang menganggap gangguan fisik yang
menjadi lebih ekstrim dari orangorang yang
dideritanya merupakan sumber dari
memiliki buday aaslinya), dan afirmasi ( apabila
seseorang menjadi sangat mirip dengan orang segalapermasalahanhidupnya.
orang asli budaya tersebut) (Triandis, Shimada,
danVillaraeldalamTriandis,1994)
TingkatModel
Kolektivisme Somatisasi
Skematik
Fisiologis
Sistem
PeristiwaKejadian Analogikal Tingkat
Terganggu Asosiatif
Perasaan
Tingkat
Kolektivisme Somatisasi
Proposional
Gambar3.TheSchematic,Propositional,Analogical,AssociativeRepresentationSystems
(SPAARS)Approach(Power,2005)
Huprich, S.K. 2001. Object Loss and LocherScholten, E., 2003, Morals,
Object Relations in Depressive Harmony, and National Identity:
Personality Analogues. Bulletin of Companionate Feminism in
theMenningerClinic,Vol.65,No.4, Colonial Indonesia in 1930s, Journal
hal.549558. of Womens History, Winter, Vol.14,
Kernberg, O.F. 1995. Object relations, Iss.4,P.38,Bloomington
Affects, and Drives; Toward a new LuoLu,ShuFangKao,2002,Traditional
synthesis. The Third International and Modern Characteristics across
Conference on Research in Psychiatry the Generation: Similarities and
and Psychoanalysis of Childhood (hal. Discrepancies, The Journal of Social
604619).Perancis. Psychology,Feb,Vol.142,Iss1,P.45,
Kleinman, A. & Good, B. (1985). Culture Washington
and Depression. Barkeley: University Mayou, R. & Farmer, A., 2002,
ofCaloforniaPress. Functional Somatic Symptoms and
Klenman. A. & Kleinman, J. (1985). Syndromes, British Medical Journal,
Somatization: The interconnections August,Vol.325,Iss7358,P.265271,
in Chinese society among culture, London.
depressive experiences, and the Matsumoto, D, and Kupperbusch, C.,
meaning of pain. Dalam Kleinman, 2001, Idiocentric and Allocentric
A. & Good, B. (eds). Culture and Differences in Emotional Expression
Depression. London: University of and Experience, Asian Journal of
CaliforniaPress. SocialPsychplogy,Vol.4.P.113131.
Kleinman, A. (1988). Rethinking Matsumoto, D, Consolaceon, T.,
Psychiatry: from cultural category to Yamada,H.,Suzuki,R.,Franklin,B.,
personal experience. New York: The Paul, S., Ray, R., Uchida, H., 2002,
Freepress AmericanJapanese Cultural
Koentjaraningrat, 1994, Kebudayaan Jawa, Differences in Judgemens of
Jakarta:BalaiPustaka. Emotional Expressions of Different
Intensities,CognitonandEmotion,Vol.
Kohn, R., Saxena, S., Levav, I, &
16,No.6,P.721747.
Saraceno, B., 2004, The Treatmen
Gap in Mental Health Care, Bulletin Mayou, R., Kirmayer, L.Jl, Simon, G.,
oftheWorldHealthOrganization,Nov, Kroenke, K, Sharpe, M, 2005,
Vol82,No.11,P.858 Somatoform Disorders: Time for a
new approach in DSMV, The
Kroenke, K., 2002, Psychological
American Journal of Psychiatry, May,
Medicine, British Medical Journal,
Vol. 162, Iss 5, P. 847 856,
June, Vol. 324, Iss 7353, P. 1536
Washington.
1538,London.