Anda di halaman 1dari 29

Tugas Referat dan Jurnal

EMBOLI PARU
Oleh:
Cut Lisa Afrianna
1507101030220

Pembimbing:
dr. Teuku Zulfikar, Sp. P (K) FISR

BAGIAN/SMF ILMU PULMONOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
TAHUN 2017

1
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Shalawat beserta salam kita ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman islamiyah, serta kepada
sahabat dan keluarga beliau.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Teuku Zulfikar, Sp. P(K)
FISR. yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis
dalam penyusunan laporan kasus yang berjudul emboli paru serta para dokter
di bagian/SMF Pulmonologi dan kedokteran respirasi yang telah memberikan
arahan serta bimbingan hingga terselesaikannya laporan kasus ini.
Tidak ada kata sempurna dalam pembuatan sebuah laporan kasus.
Keterbatasan dalam penulisan maupun kajian yang dibahas merupakan beberapa
penyebabnya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan terhadap
laporan kasus ini demi perbaikan di masa yang akan datang.

Banda Aceh, agustus 2017

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

Emboli paru merupakan kondisi akibat tersumbatnya arteri paru, yang


dapat menyebabkan kematian pada semua usia. Penyakit ini sering ditemukan dan
sering disebabkan oleh satu atau lebih bekuan darah dari bagian tubuh lain dan
tersangkut di paru-paru, sering berasal dari vena dalam di ekstremitas bawah,
rongga perut, dan terkadang ekstremitas atas atau jantung kanan. Diagnosis dan
pengobatan yang cepat dapat menurunkan angka kematian. Namun, penyakit ini
sering tidak terdiagnosis karena gejala yang tidak spesifik. Kadang-kadang hanya
berupa kelemahan. Presentasi emboli paru bervariasi dengan gejala klasik nyeri
dada yang tiba-tiba, nafas pendek dan hipoksia.1
Di Amerika Serikat, terdapat 600.000 kasus emboli paru simtomatik tiap
tahun, dan menyebabkan kematian 60.000 pasien. insiden dapat meningkat seiring
penambahan usia. Di Indonesia sendiri diperkirakan bahwa lebih dari setengah
juta orang mengalami emboli paru setiap tahunnya, dan menyebabkan kematian
lebih dari 50.000 orang tiap tahun. Embolisme paru adalah gangguan umum dan
sering berkaitan dengan trauma, bedah , gagal jantung kongestif, usia lanjut (lebih
dari 60 tahun), dan ombilisasi berkepanjangan. Embolisme dapat terjadi pasa
indivisu yang tampak sehat.2
Penyebab emboli paru belum jelas, tetapi hasil dari autopsi paru pasien
yang meninggal karena penyakit ini menunjukkan jelas bahwa penyebab penyakit
ini adalah trombus pada pembuluh darah. Umumnya tromboemboli berasal dari
lepasnya trombus di pembuluh darah vena ditungkai bawah atau dari jantung
kanan. Sumber emboli paru yang lain misalnya tumor yang telah menginvasi
sirkulasi vena, amnion, udara, lemak, sumsum tulang, fokus septik dan lain-lain.
Kemudian material emboli beredar dalam peredaran darah sampai sirkulasi
pulmonal dan tersangkut pada cabang-cabang arteri pulmonal. 2
Faktor-faktor predisposisi terjadinya emboli paru adanya aliran darah yang
lambat, kerusakan dinding pembuluh darah vena, serta keadaan darah yang
membeku. Aliran darah lambat dapat ditemukan pada beberapa keadaan seperti
misalnya pasien mengalami tirah baring yang cukup lama, kegemukan, varises
serta gagal jantung kongestif. Darah yang mengalir lambat memberi kesempatan

3
lebih banyak untuk membeku. Kerusakan dinding pembuluh darah vena terjadi
misalnya akibat operasi, trauma pembuluh darah serta luka bakar. Adanya
kerusakan endotel pembuluh vena dapat menyebabkan dikeluarkannya bahan
yang dapat mengaktifkan faktor pembekuan darah dan kemudian dimulailah
proses pembekuan darah. Keadaan darah mudah membeku juga merupakan faktor
predisposisi terjadinya trombus, misalnya keganasan, polisitemia vera, anemia
hemolitik, anemia sel sabut, trauma dada, kelainan jantung bawaan, plenektomi
dengan trombosis, hemosistinuria, penggunaan obat kontrasepsi oral seta
trombositopati. Selain hal-hal diatas, trombosis vena juga lebih mudah terjadi
pada keadaan peningkatan faktor V, VII, fibrinogen abnormal, defisiensi
antitrombin II, menurunnya kadar aktivator plasminogen pada endotel vena atau
menurunnya pengeluaran aktivator plaminogen akibat berbagai rangsangan,
defisiensi protein C, defisiensi protein S. 3,4
Gejala-gejala emboi paru tergantung pada ukuran trombus dan area arteri
pulmonal yang tersumbat oleh trombus. Gejala-gejala mungkin saja tidak spesifik.
Nyeri dada adalah gejala yang paling umum dan biasanya mempunyai awitan
mendadak dan bersifat pleuritik. Kadang-kadang dapat sebternal dan dapat
menyerupai angina pectoris atau infark miokardium. Dyspnea, takikardi, gugup,
batuk, diaforesis, hemoptisis dan sinkop. 5

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


Paru merupakan organ elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam
rongga thoraks. Paru-paru terletak dikedua sisi jantung dalam rongga dada dan
dikelilingi serta dilindungi oleh tulang rusuk. Bagian dasar paru terletak diatas
diafragma : bagian apeks paru (ujung superior) terletak setinggi klavikula. Pada
permukaan tengah dari setiap paru terdapat hilus, tempat bronkus primer dan
masuknya arteri serta vena pulmonary ke dalam paru. Bagian kanan dan kiri paru
terdiri atas percabangan saluran yang membentuk pohon bronchial, jutaan alveoli
dan jaring-jaring kapilernya dan jaringan ikat. Sebagai organ, fungsi paru adalah
tempat terjadinya pertukaran gas antara udara atsmosfir dan udara dalam aliran
darah.3
Setiap paru dibagi menjadi kompartemen yang lebih kecil. Pembagian
pertama disebut lobus. Paru kanan terdiri atas tiga lobus dan lebih besar dari kiri
yang hanya terdiri atas dua lobus. Lapisan yang membantasi antara lobus disebut
fissura. Setiap lobus dipasok oleh cabang utama percabangan bronchial dan
diselaputi oleh jaringan ikat. 3
Lobus kemudian membagi lagi menjadi kompartemen yang lebih kecil dan
dikenal sebagai segmen. Setiap segmen terdiri atas banyak lobus, yang masing-
masing mempunyai bronchial , arteriaole, venula dan pembuluh limfatik.7
Dua lapis membrane serosa mengelilingi setiap paru dan disebut sebagai
pleurae. Lapisan terluar disebut pleural visceral yang mengelilingi paru dan
dengan kuat melekat pada permukaan luarnya. Rongga pleural ini mengandung
cairan yang dihasilkan oleh sel-sel serosa didalam pleura. Cairan pleural
melicinkan permukaan kedua membran pleura untuk mengurangi gesekan ketika
paru-paru mengembang dan berkontraksi selama bernafas. Jika cairan yang
dihasilkan berkurang atau membrane pleura membengkak, akan terjadi suatu
kondisi yang disebut pleurisi dan terasa sangat nyeri karena membrane pleural
saling bergesekan satu sama lain ketika bernapas.3,4

5
Paru-paru dan dinding dada adalah struktur yang elastis. Dalam keadaan
normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada sehingga
paru-paru mudah bergeser pada dinding dada. Tekanan pada ruangan antara paru-
paru dan dinding dada berada dibawah tekanan atmosfer.3,4
Fungsi utama paru-paru yaitu untuk pertukaran gas antara darah dan
atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi
jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon
dioksida terus berubah sesuai dengan aktifitas dan metabolisme seseorang, tapi
pernafasan harus tetap dapat memelihara kandungan oksigen dan karbon dioksida
tersebut.3,4

2.2 DEFINISI
Emboli paru adalah peristiwa infark jaringan paru akibat tersumbatnya
pembuluh darah arteri pulmonalis (arteri paru-paru) oleh peristiwa emboli. Emboli
bisa merupakan gumpalan darah (trombus), tetapi bisa juga berupa lemak, cairan
ketuban, sumsum tulang, pecahan tumor atau gelembung udara, yang akan
mengikuti aliran darah sampai akhirnya menyumbat pembuluh darah. Emboli paru
merupakan satu dari banyak pada vaskuler paru. Emboli baru dapat terjadi karena
substansi yang tidak larut masuk ke dalam vena sistemik, terbawa aliran darah dan
menyumbat di pembuluh darah pulmoner. Secara terminologi, emboli paru atau
lebih tepatnya tromboemboli paru merupakan suatu trombus atau multipel

6
trombus dari sirkulasi sistemik, masuk ke sirkulasi paru sehingga menyumbat satu
atau lebih arteri pulminalis di bronkus.2,6
Trombosis adalah suatu pembentukan bekuan darah (trombus) didalam
pembuluh darah. Bekuan darah pada keadaan normal terbentuk untuk mencegah
perdarahan. Trombus adalah bekuan darah abnormal dalam pembuluh darah yang
terbentuk walaupun tidak ada kebocoran. Trombus merupakan masa seluler yang
menjadi satu oleh jaringan fibrin. Trombus terbagi 3 macam yaitu : merah
(trombus koagulasi), putih (trombus aglutinasi) dan trombus campuran. Trombus
merah dimaba sel trombosit dan leukosit tersebar rata dalam suatu massa yang
terdiri dari eritrosit dan fibrin, biasnya terdapat dalam vena. Trombus putih terdiri
atas fibrin dan lapisan trombosit, leukosit dengan sedikit eritrosit, biasanya
terdapat dalam arteri. Bentuk yang paling banyak adalah bentuk campuran.
Trombus vena adalah deposit intravaskuler yang tersusun atas fibrin dan sel darah
merah disertai berbagai komponen trombosit dan leukosit.6,7

2.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, terdapat 600.000 kasus emboli paru simtomatik tiap
tahun, dan menyebabkan kematian 60.000 pasien. insiden dapat meningkat seiring
penambahan usia. Di Indonesia sendiri diperkirakan bahwa lebih dari setengah
juta orang mengalami emboli paru setiap tahunnya, dan menyebabkan kematian
lebih dari 50.000 orang tiap tahun. Embolisme paru adalah gangguan umum dan
sering berkaitan dengan trauma, bedah , gagal jantung kongestif, usia lanjut (lebih
dari 60 tahun), dan ombilisasi berkepanjangan. Embolisme dapat terjadi pasa
indivisu yang tampak sehat.2
Tromboemboli paru pada anak dan bayi jarang terjadi. Sebuah penelitian
prospektif di kanada mengemukakan insidensi deep venous thrombosis (DVT)/
TP sebanyak 5,3/10.000 dari aak yang dirawat dirumah sakit. Atau 0,07/10.000
dari seluruh populasi anak. Suatu penelitian autopsi. Suatu penelitian otopsi
memperkirakan kejadian TP pada anak sebanyak 0,05-3%. Penelitian serial otopsi
yang menyatakan insidensi terjadinya TP pada anak remaja yang dirawat di rumah
sakit sebanyak 1/1.000, namun hanya 25% yang menampilkan gejala klinis.
Insidensi TP pada anak terjadi pada usia <1 tahun pada usia 11-18 tahun.

7
Walaupun frekuensi TP meningkat dengan bertambahnya usia, namun usia bukan
merupakan faktor risiko independen.2,8

2.4 Etiologi
Penyebab terjadinya emboli paru belum jelas, tetapi hasil dari penelitian
dari autopsi paru pasien yang meninggal karena penyakit ini menunjukkan jelas
bahwa penyebab penyakit ini adalah trombus pada pembuluh darah. Umumnya
tromboemboli berasal dari lepasnya trombus di pembuluh darah vena di tungkai
bawah atau dari jantung kanan. Sumber emboli paru yang lain misalnya tumor
yang telah menginvasi sirkulasi vena, amnion, udara, lemak, sumsum tulang,
fokus septik, dan lain-lain. Kemudian material emboli beredar dalam perederan
darah sampai sirkulasi pulmonal dan tersangkut pada cabang-cabang arteri
pulmonal, memberikan akibat timbulnya gejala klinis.1,5,9
Faktor-faktor predisposisi terjadinya emboli paru adanya aliran darah yang
lambat, kerusakan dinding pembuluh darah vena, serta keadaan darah yang mudah
membeku. Aliran darah lambat dapat ditemukan pada beberapa keadaan seperti
misalnya pasien mengalami tirah baring yang cukup lama, kegemukan, varises
serta gagal jantung kongestif. Darah yang mengalir lambat memberi kesempatan
lebih banyak untuk membeku. Kerusakan dinding pembuluh darah vena terjadi
misalnya akibat operasi, trauma pembuluh darah serta luka bakar. Adanya
kerusakan endotel pembuluh vena menyebabkan dikeluarkannya bahan yang
dapat mengaktifkan faktor pembekuan darah dan kemudian dimulailah proses
pembekuan darah. Keadaan darah mudah membeku juga merupakan faktor
predisposisi terjadinya trombus, misalnya keganasan, trauma dada dan lain-lain.
Selain hal-hal diatas, trombosis vena juga lebih mudah terjadi pada keadaan
peningkatan faktor V, VII, fibrinogen abnormal, defisiensi antitrombin II,
menurunya kadar aktifator plasminogen pada endotel vena atau menurunnya
pengeluaran aktifator plasminogen akibat rangsangan, defisiensi protein C,
defisiensi protein S.9

8
2.5 Faktor Risiko
Pada penderita emboli paru, terdapat faktor resiko yang dapat
menyebabkan timbulnya penyakit tersebut, diantaranya adalah: 6
1. Imobilisasi
Imobilisasi sering terjadi terutama pada pasien dengan fraktur tulang
ekstremitas inferior, berbarung lama pasca bedah, paralisis kaki, dan
penyakit-penyakit kardiopulmonar. Imobilisasi yang lama menyebabkan
hilangnya semacam peristaltik pembuluh darah vena sehingga menjadi
statis. Umumnya statis terjadi setelah berbaring selama 7 hari. Statis dapat
terjadi pada pasca bedah setelah 48 jam sampai 10 hari kemudian.
2. Umur
Kebanyakan emboli paru-paru terjadi pada usia 50 sampai 65 tahun karena
elastisitas dinding pembuluh darah sudah berkurang.
3. Penyakit Jantung
Jika pada jantung hanya terjadi fibrilasi atrium atau disertai dengan payah
jantung, keadaan tersebut menimbulkan emboli paru-paru. Pada infark
jantung akut, emboli paru-paru sering terjadi hari ke 3 dan sebagian besar
(75%) teradi pada minggu pertama.
4. Trauma
Sebanyak 15% penderita trauma mengalami emboli paru-paru, terutama
pada penderita luka bakar dengan area terbakar yang luas sehingga
kerusakannya sampai ke endotel pembuluh darah.
5. Obesitas
Penderita dengan berat badan (BB) 20% lebih berat dari berat badan ideal
dapat dikatakan risiko untuk menderita emboli paru-paru, meskipun
mekanismenya belum diketahui dengan pasti.
6. Kehamilan dan nifas
Kejadian emboli paru-paru pada ibu hamil biasa terjadi pada trimester ke-3
dan pravelensinya meningkat saat nifas. Pada kasus ibu hamil dan nifas
disebabkan karena terjadi peningkatan faktor koagulasi dan trombosit.
7. Neoplasma

9
Emboli paru-paru banyak terjadi pada beberapa neoplasma organ paru-
paru, pankreas, usus dan raktus urogenital. Terdpaat teori yang
menyatakan bahwa neoplasma memproduksi zat-zat seperti histon,
katepsin dan protease yang mengaktifkan koagulasi darah.
8. Obat-obatan
Emboli paru-paru sering dialami oleh pasien yang mengkonsumsi obat-
obat kontrasepsi oral. Pada kasus ini, obat-obat tersebut dapat
mengakibatkan faktor pembekuan dan trombosit serta peningkatan
lipoprotein, plasma trigliserida dan kolestrol.
9. Penyakit hematologi
Penyakit hematologi sering ditemukan pada keadaan-keadaan polisotemia
dimana hematokrit darah meningkat yang mengakibatkan aliran darah
menjadi lambat. Dilaporkan juga banyak terjadi padaa penyakit anemia
bulan sabit. Pada penyakit anemia tersebut, terbentuk trombus dalam
aliran mikrosirkulasi yang dapat menyebabkan infark pada organ paru-
paru, ginjal, limpa dan tulang.
10. Penyakit metabolisme
Penyakit metabolisme dilaporkan terjadi pada penyakit sistinuria dimana
terdpa kelainan trombosit yang menyabab trombosis. Disamping itu juga
terjadi kerusakan lapisan endotel pembuluh darah yang mempercepat
terjadinya trombosis.
11. Genetik
Tromboemboli yang terjadi pada anak dapat terjadi karena adanyanya
kelainan genetik yaitu mutasi faktor V, defisiensi antitrombin III,
defisiensi protein C atau protein S, defek fibrinolisis.

2.6 Patogenesis
Trombus berasal dari pembuluh darah arteri dan vena. Trombus arteri
terjadi karena rusaknya dinding pembuluh darah arteri (lapisan intima). Trombus
vena terjadi terutama karena aliran darah vena yang lambat, selain dapat pula
karena pembekuan darah dalam vena bila ada kerusakan endotel vena. Trombus
vena berasal dari pecahan trombus besar yang kemudian terbawa aliran vena.

10
Biasanya trombus vena berisi partikel-partikel fibrin, eritrosit serta trombosit.
Ukurannya bervariasi, bisa dari beberapa milimeter sampai sebesar lumen
venanya sendiri. Biasanya trombus makin bertambah besar oleh tumpukan
trombus lain yang kecil-kecil. Adanya perlambatan aliran darah vena akan makin
mempercepat terbentuknya trombus yang lebih besar. 2,10
Kondisi darah yang mudah membeku juga sangat mempengaruhi pada
pembentukan trombus. Faktor-faktor penting yang berperan adalah keaktifannya
faktor-faktor pembekuan darah oleh kolagen, endotoksin dan prokoagulan dari
jaringan maligna, selanjutnya tromboplastin dilepaskan kedalam peredaran darah
dan pembekuan darah intravaskular mudah terjadi. Keadaan ini sering ditemukan
pada persalinan, operasi dan trauma pada organ-organ tubuh. Secara umum dapat
dikatakan bahwa tromboemboli paru merupakan komplikasi trombosis vena
dalam pada tungkai bawah atau di tempat lain (jantung kanan, vena besar di pelvis
dan lain-lain). Trombus yang lepas ikut aliran darah vena ke jantung kanan dan
sesudah mencapai sirkulasi pulmonal tersangkut pada beberapa cabang arteri
pulmonalis, dapat menimbulkan obstruksi total atau sebagian dan memberikan
akibat lebih lanjut. Trombus pada vena dalam tidak seluruhnya akan lepas dan
menjadi tromboemboli, tetapi kira 80% nya akan mengalami pencairan spontan.
Trombus primer pada aliran arteri pulmonalis atau cabang-cabangnya jarang
terjadi.2,10
Satu dari komponen trias virchow (kelainan dinding pembuluh darah,
perubahan aliran darah dan perbuahan daya beku darah) trombosis dapat terjadi
bila ada gangguan keseimbangan antara faktor resiko trombosis dan inhibitor
trombosis. 10
Sel endotel pembuluh darah yang utuh bersifat nontrombogenik, sehingga
mencegah menempel pada permukaannya. Sifat nontrombogenik ini akan hilang
apabila endotel mengalami kerusakan/terkelupas karena berkurangnya produksi
senyawa antitrombotik dan meningkatkannya produksi senyawa protombotik.
Berbagai senyawa protombotik yang dilapaskan ini akan mengaktifkan sistem
pembekuan darah dan menyebabkan menurunnya aktifitas fibrinolisis sehingga
meningkatkan kecendrungan untuk menjadi trombosis. Bila kerusakan endotel
terjadi dan dalam waktu singkat, maka lapisan endotel normal akan berbentuk

11
kembali, poliferasi sel otot polos berkurang dan intima menjadi tipis kembali. Bila
kerusakan endotel berulang-ulang dan berlangsung lama, maka poliferasi sel otot
polos dan penumpukan jaringan ikat serta lipid berlangsung terus sehingga
dinding arteri akan menebal dan terbentuk bercak aterosklerosis. Bila bercak
arterosklerosis ini robek maka jaringan yang bersifat trombogenik akan terpapar
dan terjadi pembentukan trombus. 2,10
Aliran darah yang melambat bahkan stagnasi menyebabkan gangguan
pembersih faktor koagulasi aktif, mencegah bercampurnya faktor koagulasi aktif
dengan penghambatnya, mencegah faktor koagulasi aktif dilarutkan oleh darah
yang tidak aktif. Keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya akumulasi faktor-
faktor pembekuan yang aktif dan dapat merusak dinding pembuluh darah.
Stagnasi aliran darah ini dapat diakibatkan oleh imobilisasi, obstruksi vena dan
meningkatkan viskositas darah. Menurut beberapa peneliti, darah penderita
trombosis lebih cepat membelu dibandingkan orang normal dan pada penderita-
penderita tersebut dijumpai peningkatan kadar berbagai faktor pembekuan
terutama fibrinogen, F.V, VII, VIII dan X. Menurut schafer penyebab lain yang
dapat menimbulkan kecendrungan trombosis yaitu defisiensi AT, defisiensi
protein C, defisiensi protein S, disfibrinogenemia, defisiensi F. XII dan kelainan
struktur plasminogen. 6,10
Embolus merupakan benda yang berjalan mengikuti aliran darah dari
lokasi primer ke lokasi sekunder, kemudian terperangkap di pembuluh lokasi
sekunder tersebut, dan menyebabkan obstruksi aliran darah. Sebagian besar
emboli adalah bekuan darah ( tromboemboli) yang terlepas dari lokasi primernya
(biasanya di vena tungkai profunda). Sumber-sumber lain embolus adalah lemak
yang terlepas pada saat tulang panjang patah atau dibentuk sebagai respon
terhadap trauma fisik dan embolus cairan amnion yang masuk ke sirkulasi
sewaktu gradient tekanan yang besar saat kontraksi persalinan. Udara dan sel
tumor juga dapat berperan sebagai embolus untuk menghambat aliran darah.
Embolus biasanya tertangkap di jaringan kapiler pertama ditemuinya. Sebagai
contoh, embolus yang berasal dari vena-vena ekstremitas bawah berjalan dalam
sistem venake vena cava dan sisi kanan jantung. Dari sana, embolus masuk ke
arteri dan arteriol paru bertemu dengan kapiler paru dan terperangkap.6,10

12
Embolus berasal dari lepasnya trombus yang menempel pada dinding
pembuluh darah, setelah itu terbawa aliran darah dan menyebabkan terganggunya
sistem perderan darah. Proses ini terjadi karena tekanan darah yang melewati
pembuluh darah meningkat dan mendorong trombus yang menempel pada dinding
pembuluh darah. Proses pembentukan embolus ini disebut embolis. 6,10
Emboli Paru
Pulmonary embolism atau emboli paru adalah peristiwa infak jaringan
paru akibat tersumbatnya pembuluh darah arteri pulmonalis oleh peristiwa emboli.
Penyabab utama dari suatu emboli paru adalah tromboemboli vena (vena
tromboembolism), namun demikian penyebab lain dapat berupa emboli udara,
emboli lemak, cairan amnion, fragmen tumor dan sepsis.10
Trauma lokal pada dinding pembuluh darah dapat terjadi oleh karena
cedera pada dinding pembuluh darah, kerusakan endotel vaskuler khususnya
dikarenakan tromboflebitis sebelumnya. Sedangkan keadaan hiperkoagulobilitas
darah dapat disebabkan oleh terapi tertentu termasuk kontrasepsi oral, hormone
replacement theraphy dan steroid. Disamping itu sejumlah faktor genetik yang
menjadi faktor predisposisi suatu trombosis. Sementara statis vena dapat terjadi
akibat immonilisasi yang berkepanjangan atau katup vena yang inkompeten yang
dimungkinkan terjadi oleh proses tromboemboli sebelumnya. 10
Bila trombus vena terlepas dari tempat terbentuknya, emboli ini akan
mengikuti aliran sistem vena yang seterusnya akan memasuki sirkulasi arteri
pulmonalis. Jika emboli ini cukup besar, akan dapat menempati bifurkasio arteri
pulmonalis dan membentuk saddle embolus. Tidak jarang pembuluh darah paru
tersumbat karenanya. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan tekanan arteri
pulminalis yang akan melepaskan senyawa-senyawa vasokontriktor seperti
serotonin, reflek vasonkontriksi arteri pulmonalis dan hipoksemia yang akhirnya
akan menimbulkan hipertensi arteri pulmonalis. Peningkatan arteri pulmonalis
yang tiba-tiba akan meningkatkan tekanan ventrikel kanan dengan konsekuensi
dilatasi dan disfungsi ventrikel kanan yang pada gilirannya akan menimbulkan
septum interventrikuler tertekan ke sisi kiri dengan dampak terjadinya gangguan
pengisian ventrikel dan penurunan distensi diastolik. Dengan berkurangnya
pengisian ventrikel dan penurunan distensi diastolik. Dengan berkurangnya

13
pengisian ventrikel kiri maka curah jantung sistemik (systemic cardiac output)
akan menurun yang akan mengurangi perfusi koroner dan menyebabkan iskemia
miokard. Peninggian tekanan dinding ventrikel kanan yang diikuti oleh adanya
emboli paru masif akan menurunkan aliran koroner kanan dan menyebabkan
kebutuhan oksigen ventrikel kanan meningkat yang selanjutnya menimbulkan
iskemia dan kardiogenik shok. Siklus ini dapat menimbulkan infark ventrikel
kanan, kollaps sirkulasi dan kematian.10

Secara garis besar emboli paru akan memberikan efek patofisiologi


berikut:6
1. Peningkatan resistensi vaskuler paru yang disebabkan obstruksi,
neurohumoral, atau baroreseptor arteri pulmonalis atau peningkatan tekanan
arteri pulmonalis.
2. Pertukaran gas terganggu dikarenakan peningkatan ruang mati alveolar dari
dampak obstruksi vaskuler dan hipoksemia karena hipoventilasi alveolar,
rendahnya unit ventilasi-perfusi dan shunt dari kanan ke kiri dan juga
gangguan transfer kabonmonoksida.
3. Hiperventilasi alveolar dikarenakan stimulasi refleks oleh iritasi reseptor.
4. Peningkatan resistensi jalan nafas oleh karena bronkokontriksi

14
5. Berkurangnya compliance paru disebabkan oleh edema paru, peradarah paru
dan hilangnya surfaktan.
Trombosis Arteri
Pada fase paling awal, plak ateroma dapat berupa sedikit benjolan lemak
pada lapisa intima pembuluh darah, misalnya aort. Perkembangan selanjutnya,
plak akan membesar dan menonjol kedalam lumen, yang akan menyebabkan
turbulensi aliran darah. Turbulensi ini sering menyebabkan hilangnya sel intima,
sehingga permukaan plak yang telanjang tanpa epitel itu bersentuhan lansung
dengan sel-sel darah termasuk eritrosi.6
Mekanisme pemebekuan darah
Lebih dari 50 zat penting yang mempengaruhi pembekuan darah telah
ditemukan dalam darah dan jaringan, beberapa di antarana mempermudah
terjadinya pembekuan disebut prokoagulan dan yang lain menghambat
pembekuan, disebut antikoagulan. Dalam keadaan normal, antikoagulan lebih
dominam sehingga darah tidak membeku, tetapi bila pembuluh darah rusak,
proagulan di daerah yang rusak menjadi teraktifasi dan melebihi aktivitas
antikoagulan dan bekuan pun terbentuk.6
Peneliti-peneliti dalam bidang pembekuan darah semuanya setuju bahwa
pembekuan darah terjadi melalui tiga langkah utama : 6
1. Sebagai respon rupturnya pembuluh darah atau kerusakan darah itu
sendiri, maka rangkaian reaksi kimiawi yang kompleks terjadi dalam darah
yang melibatkan lebih dari selusi faktor pembekuan darah. Hasil akhirnya
adalah terbentuk suatu kompleks susbtansi teraktifasi yang secara kolektif
disebut activator protombin.
2. Aktivator protombin mengkatalisis pengubahan protombin menjadi
trombin.
3. Trombin bekerja sebagai enzim untuk mengubah fibrinogen menjadi
benang fibrin yang membentuk trombosit, sel darah dan plasma untuk
membentuk bekuan.

15
2.7 Manifestasi Klinis
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik baik trombosis vena dalam maupun
emboli paru biasanya tidak spesifik. Pasien dengan trombosis pada vena
ekstremitas bawah biasanya tidak disertai dengan eritemia, demam, nyeri dan
bengkak. Ketika tanda-tanda tersebut muncul, biasanya tanda tersebut tidaklah
spesifik akan tetapi bila di evaluasi kembali bisa dinilai. Nyeri dengan dorsi eksi
pada bagian kaki ( tanda homans) akan muncul pada trombosis vena dalam, akan
tetapi kadang tanda ini juga kurang sensitif. Gejala yang paling sering terjadi

16
emboli paru yaitu sesak nafas, lalu nyeri dada pleuritik dan muntah darah yang
terjadi pada infark pulmonal yang disebabkan oleh emboli yang lebih kecil di
bagian perifer. Palpitasi batuk, kecemasan biasanya merupakan gejala-gejala yang
tidak spesifik pada emboli pulmonal akut. Sinkop biasanya muncul pada emboli
pulmonal yang masih masif. Takipneu dan takikardi merupakan tanda dari emboli
paru yang paling umum, akan tetapi memang masih tidak spesifik. Gejala-gejala
muncul meliputi demam, wheezing, nyeri dada pada pleura, serta pengangkatan
ventrikel kanan, sesak nafas, takipneu serta hipoksemia pada pasien biasanya
diikuti pada pasien-pasien dengan penyakit kardiopulmonal. 1,6,10
1. Gambaran Klinis emboli paru masif
Emboli paru masif memberikan gejala karena tersumbatnya arteri pulmonalis
atau cabang pertama. Pasien akan mengalami pingsan mendadak, renjatan,
pucat dan berkeringat, nyeri dada sentral atau sesak nafas. Nafas sangatlah
cepat, kesadaran mungkin hilang untuk sementara. Denyut nadi kecil dan
cepat. Tekanan darah turun. Bagian perifer menjadi pucat dan dingin.
Ditemukan tanda sianosis sentra, yang mungkin tidak responsif terhadap
pemberian oksigen. Apabila pasien sadar maka akan merasakan nyeri yang
sangat hebat.1,6,
2. Gambaran Klinis emboli paru ukuran sedang
Biasanya emboli paru akan menyumbat cabang arteri pulmonalis segmental
dan subsegmental. Pasien biasanya mengeluh nyeri pleura, sesak nafas,
demam, hemoptisis. Tidak ditemukan sinkop atau hipotensi, kecuali apabila
telah ada kelainan jantung dan paru sebelumnya. Pada pemeriksaan jantung
tidak ditemukan adanya kelainan yang nyata, kecuali pada pasien yang
mendertia emboli berulang, dapat timbul korpulmonal berat dan berlanjut
dengan timbulnya gagal jantung.1,6
Pada pemeriksaan paru ditemukan: tanda-tanda pleuritis, area konsolidasi paru,
tanda-tanda fisis adanya suatu efusi pleura. Bila terdapat nyeri tekan diatas
daerah efusi pleura mungkin terdapat empiema. Apabila terdapat infark paru,
dapat ditemukan adanya demam, leukositosis dan ikterus ringan. Emboli paru
ukuran sedang dapat terjadi berulang dalam beberapa bulan atau tahun
berikutnya, terutama pada pasien usia lanjut yang tirah baring lama.1,6

17
3. Gambaran klinis emboli paru ukuran kecil
Tromboemboli paru ukuran kecil sering luput fari perhatian karena sumbatan
mengenai cabang-cabang arteri pulmonalis yang kecil. Baru sesudah sebagian
besar sirkulasi pulmonal tersumbat, muncullah gejala-gejala. Gejala yaitu sesak
napas waktu bekerja mirip dengan keluhan pasien gagal jantung kiri. Apabila
emboli paru datang berulang dan berlangsung beberapa bulan maka akan
mengakibatkan hipertensi pulmonal. Hipertesi pulmonal akan mengakibatkan
hipertrofi ventrikel kanan. Adanya keluhan mudah lelah, pingsan wakru
bekerja dan angina pectoris menunjukkan bahwa curah jantung sudah
terbatas.1,6

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Ekokardiografi
Bisa dilihat dilatasi jantung kanan dan perkiraan ventrikel kanan mungkon
dilakukan bila deteksi regurgitasi trikuspid. Adanya disfungsi ventrikel kanan
dikaitkan dengan keluaran yang buruk. Kadang, trombus bisa dilihat di
jantung kanan. Bisa terlihat foramen ovale paten atau ASD ( Atrial septal
defect), berikan perhatian khusus pada tatalaksana kemungkinan embolisme
paradoksikal dari sirkulasi vena ke sistemik.1,2,
Radiologi
Perubahan radiolografi toraks sering nonspesifik. Dilatasi arteri pulmonal
proksimal mayor, dan area oligemia paru dapat menandakan adanya obstruksi
arteri mayor. Gambaran opak berbentuk baji di lapangan paru perifer karena
infark paru, dengan atau tanpa tanpa efusi pleura kecil, dapat terjadi emboli
paru minor. Pada hipertensi paru tromboemboli kronis, rasio kardiotorasik
dapat meningkatkan dan mungkin ada gambaran yang menandakan dilatasi
ventrikel kanan, oligemia berbecak, dan dilatasi arteri pulmonalis utama. Bila
diduga emboli paru, radiografi toraks normal pada pasien yang mengalami
sesak napas akut atau hipoksemia meningkatkan kemungkinan diagnosis
emboli paru. Radiografi toraks sering lebih membantu bila mengindikasikan
diagnosis alternatif (misalnya pneumonia lobaris).1,2
Angiografi paru

18
Pasien dengan pindaian perfusi isotop normal sangat tidak mungkin
mengalami emboli paru. Diagnosis emboli paru dianggaap dapat ditegakkan
pada pasien dengan indeks kecurigaan klinis emboli paru tinggi dan pindaian
isotop menunjukkan kemungkinan emboli paru. Kedua kelompok pasien ini
kadang-kadang membutuhkan angigrafi. Namun, bila indeks kecurigaan
klinis sedang atau tinggi dan pidaian isotop ekuivokal, angiografi harus
dipertimbangkan. 1,2
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan pemindaian CT (Computerized
Topograf)
CT spiral (Helikal) diperkuat dengan kontras, semakin banyak digunakan
untuk mendeteksi emboli yang tidak diduga secara klinis. Pemindaian CT
merupakan pemeriksaan pilihan pada pasien dengan dugaan emboli paru yang
juga memiliki penyakit paru sebelumnya karena memungkinkan penilaian
penyakit paru tersebut, selain juga membantu menentukan terdapat emboli
paru.1,2,
D-dimer
Pada keadaan dimana terbentuk trombus, proteolisis fibrin yang dimediasi
oleh plasmin melepaskan fragmen D-dimer. Peningkatan kadar D-dimer
ditemukan pada 90% pasien dengan emboli paru yang dibuktikan dengan
pemindaian V/Q paru. Peningkatan kadar ini walaupun sensitif untuk emboli
paru, namun tidak spesifik. Kadar D-dimer juga meningkat hingga satu
minggu pasca pembedahan, pada infark miokard, sepsis dan penyakit
sistemik lain. Dalam kaitannya dengan penilaian klinis, D-dimer normal
memiliki tingkat akurasi prediktif negatif sebesar 97% sehingga dapat
berguna dalam meningkirkan keberadaan trombosis vena. 1,2
Kimia darah
Pada emboli paru masih dapat ditemukan peningkatan kadar enzim SGOT,
LDH dan CPK yang arti klinisnya masih belum jelas. Terdapat peningkatan
kadar FDP yang menvapai puncaknya pada hari ketiga serangan. Parameter
laboratorium ini lebih mempunyai arti klinis mengingat angka negatif atau
positif palsunya relatif kecil.1,2
Analisis gas darah

19
Biasanya didapatkan PaO2 rendah, tetapi tidak jarang ditemukan pasien
dengan serangan emboli paru mempunyai PaO2 lebih dari 80 mmHg.
Menurunya PaO2 disebabkan gagalnya fungsi perfusi dan ventilasi paru.
PaCO2 umumnya dibawah 40 mmHg dan penurunan PaCo2 ini terjadi karena
reaksi kompensasi hiperventilasi sekunder.1,2
2.9 penatalaksanaan
Penatalaksanaan dasar setiap tromboemboli paru adalah mendahului
resusitasi. Penderita tromboemboli dengan gagal nafas akut memerlukan intubasi
endotrakeal dan ventilasi mekanik untuk meningkatkan pertukaran gas. 6
Antikoagulan
Heparin (unfractionated heparin/ UFH)
Heparin bekerja meningkatkan aktivitas inhibisi dari antitrombin II pada
faktor Xa dan inaktivasi trombin. Pemberian heparin dapat dengan berbagai
macam cara menurut keadaan pasien yaitu drip dengan infus intravena,
suntikan intravena intermitten dan suntikan subkutan.
Pemberian drip heparin lewat infus kontinu intravena lebih disukai
dibandingkan pemberian intravena intermitten karena efek samping
perdarahan kurang sering. Dosis heparin bolus 3000-5000 unit intravena
diikuti sebanyak 30.000-35.000 unit perhari dalam infus glukosa 5% atau
NaCl 0,9% atau disesuaikan sampai dicapai hasil pengobatan heparin, dengan
target pemeriksaan PTT mencapai 1,5-2 kali nilai normal. Lama pengobatan
diberikan 7-10 hari, selanjutnya obat anti koagulan oral. Pada emboli paru
yang tidak masif, heparin diberikan 5000 unit tiap 4 jam, sesudah 48 jam
diberikan pula obat antikoagulan oral. Sedangkan pada emboli paru masif
dosis heparin ditingkatkan menjadi 10.000 unit tiap 4 jam.
Pemberian heparin subkutan lebih menguntungkan karena pemberiannya
lebih mudah, mobilisasi lebih cepat dan bisa untuk pasien rawat jalan. Dosis
mulai dengan suntikan bolus intravena 3000-5000 unit bersama suntikan
subkutan pertama, kemudian suntikan subkutan diberikan 5000 unit/4 jam
atau 10000 unit/ 8 jam atau 15.000- 20.000 unit tiap 12 jam sampai PTT 1,5-
2,5 kali nilai normal. Heparin tidak boleh diberikan intramuskular karena
dapat menimbulkan hematom pada tempat suntikan. Keberhasilan pengobatan

20
heparin ini dapat mencapai 92% dan heparin dapat diberikan kepada
perempuan hamil karena heparin tidak dapat melewati plasenta.
Trombolitik
Obat-obat golongan ini antara lain : urokinase, streotokinase dan recombinant
plasminogen activator (rt-PA). Pemberian trombolitik ditujukan sebagai
tambahan terapi heparin, terutama digunakan untuk penderita TP dengan
ketidakstabilan hemodinamik, dan kontraindikasi pemberian obat ini pada
penderita dengan perdarahan aktif, trauma cerebrovaskular (terjadi di <2
minggu) dan trauma.
Pengobatan trombolitik merupakan cara pengobatan definitif, karena
bertujuan menghilangkan sumbatan mekanin karena tromboemboli. Cara
kerja obat ini adalah mengadakan trombolisis. Obat yang tersedia ada dua
sediaan yaitu streptokinase dan urokinase. Streptokinase merupakan protein
non enzim. Disekresikan oleh kuman streptokinase beta hemoliticus group C.
Sedangkan urokinase merupakan protein enzim, dihasilkan oleh parenkim
ginjal manusia. Urokinase sekarang dapat diproduksi lewat kultur jaringan
ginjal.
Streptokinase dan urokinase sebagai trombolitik, kerjanya akan memperkuat
aktifitas fibrinolisis endogen dengan lebih mengaktifkan plasmin. Palasmin
dapat langsung melisiskan dan mempunyai efek sekunder sebagai anti
koagulan. Terapi trombolitik selain mempercepat resolusi emboli paru, juga
dapat menurunkan tekanan di arteri pulmonalis dan jantung kanan, serta
memperbaiki fungsi ventrikel kiri dan kanan pada kasus-kasus yang jelas
menderita emboli paru.
Terapi trombolitik sering diindikasikan untuk pasien emboli paru masif akut,
trombosis vena dalam, emboli paru dengan gangguan hemodinamik dan
terdapat penyakit jantung atau paru akan tetapi belum mengalami perbaikan
dengan terapi heparin. Terapi trombolitik boleh diberikan bila gejala-gejala
yang timbul kurang 7 hari. Selama pengobatan trombolitik tidak boleh
melakukan suntikan intra arteri, intra vena atau intramuskularis pada pasien.
demikian juga selama pengobatan trombolitik jangan memberikan obat
koagulan, anti platelet bersamaan. Dosis awal streptokinasi 250.000 unit

21
dalam larutan garam fisiologis atau glukosa 5% diberikan intravena selama
30 menit. dosis pemeliharaan streptokinase : 100.000 unit perjam diberikan
selama 24-72 jam. Dosis awal urokinase 4.400 unit/kg/BB/ jam selama 12-24
jam.
Trombolektomi operatif
Tindakan ini sebaiknya dilakukan pada penderita TP yang mengalami
gangguan hemodinamik menetap meskipun telah mendapat terapi
antikoagulan. Tindakan ini dilakukan secara open open thoracotomy dengan
angka kehamilan yang tinggi.

2.10 Pencegahan
Pada orang-orang yang memiliki resiko menderita emboli paru, dilakukan
berbagai usaha untuk mencegah pembentukan gumpalan darah didalam vena.
Untuk penderita yang baru menjalani pembedahan (terutama orang tua),
disarankan untuk :7
Menggunakan stoking elastis
Melakukan latihan kaki
Bangun dari tempat tidur dan bergerak aktif sesegera mungkin untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya pembentukan gumpalan.
Stoking kaki dirancang untuk mempertahankan aliran darah, mengurangi
kemungkinan pembentukan gumpalan, sehingga menurunkan resiko emboli paru.

2.11 Prognosis
Prognosis emboli parujika terapi yang tepat dapat segera diberikan adalah
baik. Emboli paru juga dapat menyebabkan kematian mendadak. Prognosis
emboli paru tergantung pada penyakit yang mendasarinya, juga tergantung pada
ketepatan diagnosis dan pengobatan yang diberikan. Umumnya prognosis emboli
paru kurang baik. Pada emboli paru masif prognosisnya lebih buruk lagi, 70%
dapat mengalami kematian dalam waktu 2 jam sesudah serangan akut. Prognosis
juga buruk pada pasien emboli paru kronik dan yang sering mengalami ulangan
serangan. Resolusi emboli paru dapat terjadi dengan terapi trombolitik yang

22
progresif. Umumnya resolusi dicapai dalam waktu 30 jam. Resolusi komplet
terjadi dalam waktu 7-19 hari, variasinya tergantung pada kapan mulai terapi,
adekuat tidaknya terapi dan besar kecilnya emboli.1

23
BAB III
JURNAL

Trombus Atrium Kanan dan Emboli Paru Masif yang Sulit Diatasi dengan
Terapi Trombolitik: Sebuah Laporan Kasus

Abstrak
Introduksi: Ketidak berhasilan trombolisis pada keadaan emboli paru masif
sehingga mengarah pada prognosis yang buruk dan strategi manajemen optimal
masih belum diketahui. Pilihan terapi termasuk trombolisis ulang dan
embolektomi.
Presentasi Kasus: Seorang perempuan 32 tahun dengan manifestasi emboli paru
masif disertai dengan trombus atrium kanan obstruktif-intermiten. Gagal
mengalami perbaikan dengan terapi trombolitik, diminta rujuk ke unit
kardiotoraksis kami untuk pembedahan embolektomi emergensi. Selama prosedur
dan setelah pembedahan tidak ada komplikasi yang terjadi dan pasien mengalami
penyembuhan tuntas.
Diskusi: Data terbaru telah mendukung terapi trombolitik melalui pembedahan
embolektomi sebagai strategi manajemen awal pada emboli paru masif. Kasus ini
merupakan pengingat mengenai peran pembedahan dalam manajement pasien
kritis, terutama jika kasus tersebut sudah berkomplikasi. Kami menggambarkan
pentingnya upaya penyelamatan melalui pembedahan embolektomi dalam
manajemen emboli paru masif yang gagal diterapi dengan trombolisis. Sebagai
tambahan, kami secara singkat meninjau skenario lainnya dalam manajemen
emboli paru masif dimana ambang minimal untuk tindakan pembedahan dapat
dijamin.
Kesimpulan: Meskipun data saat ini tidak mencukupi untuk mengarahkan
perawatan evidance-baced level tinggi, laporan kasus ini dan kasus lainnya yang
mengarah pada kelayakan dan keamanan dari pembedahan embolektomi dalam
kasus yang rumit dari emboli paru masif.

24
1. Introduksi
Emboli paru terus memiliki tingkat kematian yang tinggi meskipun
terdapat kemajuan dalam diagnosis dan terapi. Meningkatkan hasil pada pasien
dengan perburukan hemodinamik membutuhkan tindakan diluar antikoagulan
dan perawatan suportif, yakni dengan terapi trombolitik ataupun pembedahan
embolektomi. Tim multidisiplin dengan keterlibatan aktif ahli bedah jantung
telah mengenalkan kembali konsep pembedahan embolektomi pada emboli
paru masif sebagai alternatif untuk trombolisis, dengan kemungkinan
mengurangi perdarahan yang banyak. Pada kasus emboli paru tertentu,
pembedahan sangat penting dan berpotensi menyelamatkan nyawa, namun
gambaran keadaan ini tetap menjadi area ketidakpastian. Kami melaporkan
kasus yang komplek dari emboli paru pada perempuan muda post partum yang
gagal mengalami perbaikan dengan terapi trombolitik. Dia menjalani
pembedahan embolektomi setelah dirujuk ke bagian kami dalam kondisi kritis.

2. Presentasi Kasus
Seorang perempuan 32 tahun dirujuk ke rumah sakit sekunder dengan
serangan sesak napas mendadak dan nyeri dada. Tiga minggu sebelumnya dia
melahirkan secara pervaginam dalam kondisi kehamilan yang tidak
bermasalah. Pada penilaian awal yang dilakukan perempuan ini mengalami
hipotensi, takikardi, dan hipoksia dengan gambaran klinis disfungsi jantung
kanan akut. Elektrokardiografi menunjukkan sinus takikardi dan deviasi aksis
ke kanan dengan gelombang T negatif pada sadapan III dan aVF. Kadar
troponin jantung dan N-terminal pro-BNP meningkat. Dibuatlah emboli paru
sebagai diagnosis sementara, dan dosis awal heparin takterfragmentasi
diberikan secara intravena.
Pemberian inotropik dimulai dalam kondisi perawatan intensif diikuti
dengan transesophageal (TOE) ekokardiografi. Didapatkan bukti adanya gagal
jantung kanan dengan tekanan sistolik diperkirakan 85 mmHg menggunakan
dopler. Masa atrium kanan yang sangat mobile digambarkan prolaps ketika
melewati katup trikuspid selama diastol, diikuti regurgitasi katup trikuspid
sedang (gambar 1). Keterbatasan gambaran TOE pada arteri pulmonal utama

25
kanan menunjukkan adanya emboli paru dan emboli bilateral yang luas setelah
dikonfirmasi melalui angiografi pulmonal tomografi komputerisasi.
Pasien tersebut mengalami muntah-muntah sekitar satu jam dua puluh
menit setelah pemeriksaan. Regimen alteplase standar diberikan lebih dari dua
jam, dilanjutkan pemberian heparin takterfragmentasi setelahnya. Delapan jam
setelah trombolisis, pasien tetap menunjukkan perburukan hemodinamik.
Dengan pemberian inotoprik, kami memfasiltasi rujukan ke bagian kami untuk
pertimbangan pembedahan embolektomi emergensi. Dia menunjukkan kondisi
kritis saat datang.
Sternotomi dan perikardiotomi median dilakukan dan dimulai dengan
bypass kardiopulmonal hipotermik dengan kanulasi aortobicaval standar.
Diikuti dengan arteriotomi transversal, gumpalan darah (clot) dibuang dari
arteri pulmonal utama kanan dan kiri, dengan 3 gumpalan lebih kecil
dikeluarkan dari arteri segmental dibawah pengamatan langsung. Saat
membukan atrium kanan, didapatkan trombus dengan ukuran 55 mm x 25 mm
dengan pedikel pendek terlihat melekat sepanjang pinggir bawah dari krista
terminalis (gambar 3). Selain itu, sejumlah besar bekuan tampak dalam vena
kava inferior. Massa dipotong dan bekuan yang lepas disedot sebelum
dilakukan penutupan standar.
Awalnya, perpindahan langsung ke support kehidupan ekstrakorporeal
perifer dipertimbangkan, namun dengan optimalisasi preload dan dukungan
vasopresor kami menemukan target hemodinamik untuk pemisahan dari
kardiopulmonal bypass. Keadaan postoperatif lancar. Pemeriksaan
histopatologi dari massa atrium dijumpai fragmen yang dilapisi sel darah mati
dan fibrin sesuai dengan gambaran trombus yang terorganisir (gambar 4).
Pasien diberikan oral antikoagulan sebelum dipulangkan dan dipantau oleh
bagian hipertensi pulmonal kami. Enam bulan kemudian, pasien tersebut tidak
mengalami penyakit tromboemboli berulang dan tekanan jantung kanan dalam
batas normal.

26
3. Diskusi
Strategi manajemen optimal untuk emboli paru masif masih kurang jelas.
Berdasarkan bukti dari analisis retrospektif, panduan terbaru
merekomendasikan penggunaan trombolisis sistemik sebagai terapi lini
pertama pada pasien dengan syok atau hipotensi. Meskipun data serupa
dipublikasikan mendukung pembedahan embolektomi, pendekatan ini jauh dari
referensi. Embolektomi jarang dilakukan dan memberikan sejumlah resiko
pembedahan namun menunjukkan insidensi yang rendah terhadap perdarahan
mayor. Kontraindikasi untuk trombolisis, termasuk pembedahan yang baru
dilakukan, trauma, stroke, perdarahan, dan resusitasi kardiopulmonal sering
dijumpai; tampak pada hampir 40% pasien dalam jumlah besar. Sementara,
perdebatan mengenai trombolisis-embolektomi tetap berlanjut, tidak
memungkinkan bukti acak untuk membandingkan intervensi untuk emboli paru
masif akan dikumpulkan, karena tindakan yang hampir tidak mungkin
dilakukan dalam uji coba pasien yang memiliki taruhan tinggi tersebut.
Peran pembedahan lebih baik dilakukan pada keadaan dimana pemberian
trombolisis gagal atau ketika emboli paru disertai dengan trombus jantung
kanan. Dalam pemberian trombolisis, dibutuhkan waktu yang signifikan

27
bahkan mencapai 24 jam mungkin dapat mendahului pemecahan gumpalan
(clot) dan perbaikan hemodinamik. Oleh karena itu dapat diperdebatkan bahwa
kita dapat menunda pembedahan embolektomi lebih lanjut dalam kasus kami,
sehingga memberikan lebih banyak waktu untuk pemecahan trombus. Namun,
kami harus berhati-hati untuk tidak menunda intervensi yang dapat berpotensi
menyelematkan nyawa jika dihadapkan pada kondisi semakin memburuknya
pasien. Hal ini juga penting bahwa reperfusi arteri lebih besar pada saat awal
pemberian trombolisis, dan perburukan setelah pemberian trombolisis
merupakan pendukung untuk dilakukannya pembedahan embolektomi.
Pasien yang digambarkan dalam kasus ini tidak hanya gagal terhadap
perbaikan dengan trombolisis, tetapi juga diikuti dengan adanya trombus
jantung kanan, merupakan suatu pertanda prognosis yang buruk dalam kasus
emboli paru. Kasus ini memiliki perburukan hemodinamik yang berat, tekanan
pulmonal yang lebih tinggi, dan perburukan disfungsi jantung kanan pada
ekokardiografi. Tidak diketahui apakah trombus atrium sendiri berkontribusi
terhadap perburukan hemodinamik atau lebih tepatnya bertindak sebagai
penanda adanya beban tromboemboli berat pada arteri pulmonal. Bahkan data
yang kurang meyakinkan telah dipublikasikan untuk panduan manajemen
pasien kelompok komplek beresiko tinggi. Baik trombolisis maupun
embolektomi telah digunakan, akan tetapi mungkin ambang batas yang lebih
rendah lagi untuk intervensi pembedahan adalah wajar mengingat keberhasilan
yang dilaporkan dan keadaan yang fatal pada keadaan emboli trombus atrium
kanan yang luas.

4. Kesimpulan
Secara keseluruhan, pengalaman kami menambah data yang mendukung
bahwa embolektomi lebih memberikan hasil akhir (outcome) yang lebih baik
pada kasus tertentu dari emboli paru rumit. Pasien-pasien ini terlalu heterogen
untuk dikelompokkan dalam suatu kelompok untuk memberikan arahan
bagaimana manajemen yang spesifik seperti konsultasi awal dengan pelayanan
kardiothoraksis dan diskusi diantara multidisiplin ilmu merupakan hal penting
untuk memperbaiki hasil akhir (outcome) pasien.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Murray. JF. Hinshaw HC. Disease Of the Chest 4th. Ed. Philiadelphia : WB
Saundres Co.1980.
2. Piazza G, Gold dhabber S2. Acute Pulmonary Embolism: Part I :
Epidemiology and Diagnosis circulation.2006.
3. McPhee, Stephen J dan William F. Ganong. 2010. Patofisiologi penyakit :
pengantar kedokteran klinis. EGC. Jakarta.
4. Cowwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofiologi. EGC. Jakarta
5. Makin, A and Silverman SH. 2002. Peripheal vascular Disease and Vichows
Triad for trombogenesis, Q.J. med.
6. Kearon C. Diagnosis of pulmonary embolism. CAMJ.2003
7. Setiabudy, RD. 2007. Patofisiologi trombosis dalam. Hemostatis dan
trombosis. Edisi ketiga. Balai penerbit FKUI. Jakarta
8. Julian GD. Disorder of the lung and pulmonary circulation dalam : desmond
GJ. Gown JC. James MM, Penyunting Cardiology Edisi ke-8. Edinbutgh :
chirchil living stone.2000.
9. Price A. Sylvia dan Lorvaine M. Wilson. 1995. Patofisiologi konsep klinis
proses-proses penyakit edisi ke-4. EGC. Jakarta
10. Underwood. J.C.E. 1999. Patologi umum dan sistemik. Edisi ke 11. EGC.
Jakarta

29

Anda mungkin juga menyukai