Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama tiga puluh tahun terakhir berbagai modifikasi bentuk sediaan obat

telah dikembangkan dari bentuk sediaan konvensional menjadi bentuk sediaan

dengan system penghantaran obat baru (New Drug Delivery System= NDDS)

yaitu suatu system penghantaran obat dengan pelepasan obat yang

dimodifikasi. Alasan untuk pengembangan system penghantaran obat baru ini,

yaitu adanya kemungkinan untuk mempantenkan kembali obat-obat yang telah

berhasil dipasarkan dengan menggunakan sistem penghantaran obat baru,

sistem baru dapat dirancang untuk sampai ketempat kerjanya serta efektifitas

dan keamanannya lebih baik dan lebih khusus dibandingkan dengan sediaan

konvensional (Schnuch dkk, 2000).


Konsep system penghantaran obat tertarget mulai dikembangkan abad 20

ketika Paul Erlich menemukan konsep Magic Bullet yang menekankan pada

penghantaran obat yang ditujukan pada target spesifik. Kebanyakan sistem

penghantaran obat bersifat tertarget pasif, sehingga untuk mengkonversi

menjadi sistem penghantaran tertarget aktif sistem penghantaran obat dibuat

lebih pintar melalui penggabungan dengan ligan yang dapat dikenali oleh

reseptor pada target sel. Keuntungan sistem penghantaran tertarget selain dapat

mengurangi tosisitas dengan mengurangi efek samping yang ditimbulkan, juga

dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan mereduksi biaya pemeliharaan

kesehatan (Winarti, 2013)


Sistem Penghantaran obat yang ideal sampai saat ini belum dapat dibuat,

saat ini telah banyak pendekatan mengenai penghantaran obat tertarget. Tujuan

1
utama pengembangan system penghantaran tertarget adalah untuk

meningkatkan kontrol dosis obat pada tempat spesifik seperti pada sel,

jaringan, atau organ, sehingga akan mengurangi efek samping yang tidak

diinginkan pada organ non target. Suatu molekul obat sangat sulit mencapai

tempat aksinya karena jaringan seluler yang komplek pada suatu organisme,

sehingga system penghantaran ini berfungsi untuk mengarahkan molekul obat

mencapai sasaran yang diinginkan (Winarti, 2013).


Salah satu pengahantaran obat tertarget ialah penghantaran obat tertarget

pada kolon. Pendekatan mengenai penghantaran tersebut dapat memberikan

beberapa keunggulan sehingga makalah ini dibuat untuk mengetahui sistem

penghantaran obat tertarget khususnya penghantaran obat tertarget pada kolon.

B. Rumusan Masalah
a. Apa saja faktor-faktor yang dapat mepengaruhi Biofarmasetika pada sistem

penghantaran obat tertarget khususnya penghantaran obat tertarget pada

kolon?
b. Bagaimana evaluasi Biofarmasetika pada sistem penghantaran obat tertarget

khususnya penghantaran obat tertarget pada kolon?


c. Apakah bahan tambahan utama dalam formulasi sedian sistem

penghantaran obat tertarget khususnya penghantaran obat tertarget pada

kolon?

C. Tujuan
a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Biofarmasetika

pada sistem penghantaran obat tertarget khususnya penghantaran obat

tertarget pada kolon.


b. Untuk mengetahui evaluasi Biofarmasetika pada sistem penghantaran obat

tertarget khususnya penghantaran obat tertarget pada kolon.

2
c. Untuk mengetahui bahan tambahan utama dalam formulasi sedian sistem

penghantaran obat tertarget khususnya penghantaran obat tertarget pada

kolon.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Sistem Penghantaran Tertarget


Sistem penghantaran tertarget adalah suatu sistem penghantaran obat

yang dirancang agar suatu obat mampu mencapai organ tertentu yang menjadi

sasaran/tempat aksinya. Sebagian besar sediaan konvensional menghantar obat

ke dalam tubuh yang akhirnya mencapai site aksi melalui distribusi dan difusi

pasif. Selain itu obat juga berdistribusi ke site jaringan non target. Oleh karena

ketidakselektifan distribusi, suatu dosis obat yang lebih besar diberikan kepada

pasien untuk mencapai konsentrasi terapeutik dalam jaringan yang diinginkan.

Sistem penghantaran yang mentarget obat hanya ke site aksi obat yang

diinginkan memungkinkan aktivitas terapeutik yang lebih selektif (Shargel,

2012).

3
B. Tujuan Sistem Penghantaran Tertarget
Tujuan utama pengembangan sistem penghantaran tertarget adalah untuk

meningkatkan kontrol dosis obat pada tempat spesifik seperti pada sel,

jaringan, atau organ sehingga akan mengurangi efek samping yang tidak

diinginkan pada organ non target. Suatu molekul obat sangat sulit mencapai

tempat aksinya karena jaringan seluler yang kompleks pada suatu organisme,

sehingga sistem penghantaran ini berfungsi untuk mengarahkan molekul obat

mencapai sasaran yang diinginkan (Winarti, 2013).

C. Konsep Sistem Penghantaran Tertarget


Sistem Penghantaran Obat Tertarget dapat dibedakan menjadi 2 yaitu

sistem tertarget aktif dan tertarget pasif. Sistem penghantaran tertarget pasif

bertujuan untuk meningkatkan konsentrasi obat pada tempat aksi melalui

pengurangan interaksi yang tidak spesifik dengan mendesain sifat fisikakimia

sistem penghantaran yang digunakan meliputi ukuran, muatan permukaan,

hidrofobisitas permukaan, sensitivitas pada pemicu, dan aktivitas permukaan,

sehingga dapat mengatasi barier anatomi, seluler, dan subseluler dalam

penghantaran obat. Contoh sistem pengantaran jenis ini yaitu liposom,

mikro/nanopartikel, misel, dan konjugat polimer. Sebaliknya sistem

penghantaran sistem tertarget aktif merupakan sistem penghantaran tertarget

pasif yang dibuat lebih spesifik dengan penambahan homing device yaitu

suatu ligan yang dapat dikenali oleh suatu reseptor spesifik kemudian

berinteraksi dengan reseptor tersebut yang bertujuan untuk meningkatkan

konsentrasi obat pada tempat yang diinginkan (Winarti, 2013).


1. Sistem penghantaran tertarget pasif

4
Desain sistem penghantaran obat yang baik dan berhasil digunakan

dalam terapi harus memperhatikan barier yang harus dilalui oleh obat

sehingga sampai tempat aksi, selain itu pemahaman tentang sifat unik

tertentu dari target sel dan jaringan juga perlu dipertimbangkan agar dapat

mendesain sistem penghantaran yang dapat mengakumulasi obat pada target

aksi, terdapat 3 pertimbangan utama untuk membentuk sistem penghantaran

yang stabil, yaitu :

a. Sistem tersebut harus memiliki stabilitas fisikakimia yang cukup

sehingga obat tidak terdisolasi atau tidak terdekomposisi dari sistem

penghantarannya sebelum mencapai tempat aksi.


b. Setelah sampai pada target asli, sistem penghantar harus melepaskan

obat dalam jumlah yang cukup untuk menimbulkan efek terapi.


c. Sistem penghantar yang digunakan (carrier) harus terdegredasi dan dapat

dieleminasi dari tubuh untuk menghindari toksisitas jangka panjang atau

imunogenisitas.

Sistem penghantaran obat berperan penting pada aktivitas in vivo,

antara lain berat molekul, ukuran hidrofobisitas permukaan, muatan

permukaan dan sensitivitas pada trigger.

a. Berat molekul dan ukuran


Ukuran dan berat molekul sistem penghataran obat yang optimal

dipengaruhi oleh fisiologi sirkulasi dan ekskresi. Molekul berukuran

30kDa atau kurang akan mengalami eliminasi yang cepat melalaui

tubulus ginjal. Demikian pula molekul-molekul metabolit obat yang

sudah ditransformasi menjadi lebih hidrofil serta berukuran kecil akan

sangat mudah dikeluarkan melalui ginjal. Untuk menghindari

5
pembersihan cepat melalui ginjal, sistem penghantaran didesain dengan

ukuran lebih dari 30kDa selain itu sel endotelia pembuluh darah juga

merupakan hambatan penetrasi obat karena antara satu sel dengan sel

yang lain bersatu dengan kotoran yang kuat dan ketat (tight juncation)

yang sukar dihembus molekul dengan ukuran >10 nm. Namun demikian

terdapat organ-organ yang dapat dilalui dalam sistem penghantaran

dengan ukuran diameter 100 hingga 200mm seperti liver, limpa, dan

sumsum tulang karena organ ini memiliki kapiler sinosoida. Sehingga

suatu sistem penghantaran obat dapat berdifusi kedalam ruang intenstinal

organ ini dengan mudah pada tumor yang padat sel endotelial kurang

terbentuk dengan baik sehingga memungkinkan penetrasi partikel >

200nm. Pada tumor juga terdapat imfatik yang kurang sempurna

sehingga pembersihan partikel asing juga buruk. Fenomena ini dalam

patologi disebut EPR (enhanced permeation and retention) yang banyak

dekplaitasi untuk penanganan tumor secara klinik.


b. Hidrofobitas permukaan
Sistem fogosit mononuklear bertugas membersihkan partikel asing

dari tubuh seperti virus, bakteri, dan protein terdenaturasi, proses

pembersihan oleh sistem ini diawal dengan adsorbsi opsonin (plasma

protein) pada permukaan pada partikel asing yang masuk, kemudian

makrofag mengenal partikel yang terbungkus opsonin dan melakukan

fagositosis. Tendensi makrofag untuk mengambil partikel yang bersifat

lipid digunakan untuk mendesain liposom tertarget pada sistem fogosit

6
mononuklear untuk mempotensial sistem imun dengan menggunakan

interferon-y sebagai agen pengaktif makrofag.


c. Muatan permukaan
Sediaan liposom yang bersifat netral akan tersirkulasi lebih lama

dalam tubuh, sedangkan yang muatan permukaannya negatif akan cepat

dibersihkan oleh sel Kupfer yang ada di liver. Liposom dengan muatan

positif akan berinteraksi dengan muatan negatif plasma protein dalam

sirkulasi darah sehingga dikenal sebagai obyek asing oleh sistem imun

namun demikian apabila muatan positif permukaan berlebih maka akan

berinteraksi kuat dengan proteoglikan pada sel endotelial yang bermuatan

negatif dan terdeposit di tempat tersebut sehingga pada sistem

penghantaran yang membawa material genetik seperti DNA dapat

memediasi ekspresi gen pada sel endotelial tersebut.


d. Sensitifitas terhadap pemicu
Desain sistem penghantaran yang pelepasan dapat dipicu oleh suatu

trigger dibuat dengan penggabungan suatu material fisika kimia

fungsional yang stabil selama distribusi namun sensitif dengan berbagai

stimulus di tempat aksi. Stimulus yang menginduksi pelepasan obat dapat

berupa faktor eksternal seperti panas. Radiasi atau yang berasal dari

proses biologi yaitu penurunan pH, transformasi enzimatik, atau

perubahan pada potensial redoks. Dalam mendesain sistem ini juga perlu

memenuhi beberapa kriteria seperti sistem tetap stabil selama distribusi

dan stimulus pelepasannya spesifik ditempat aksi. Kemudian sistem

cukup sensitif terhadap stimulus untuk menghasilkan pelepasan yang

efektif, setelah itu mekanisme limtatik pembuluh darah yang jelek, serta

7
meningkatkan efek permeabilitas dari tensi (EPR) yang memungkinkan

nanopartikel terakumulasi di lokasi tumor.

2. Sistem pengantaran tertarget aktif

Sistem pengantaran tertarget ini dapat klasifikasikan menjadi 3, yaitu

target ke organ, target ke sel, dan target ke subseluler. Sistem penghantaran

yang ditargetkan di organ dimaksudkan agar obat terdeposit dalam organ

tersebut dengan memanfaatkan karakter unik yang dimiliki suatu organ.

Sebagai contoh liver yang memiliki jaringan mudah ditembus oleh

makromolekul atau mikropartikel sehingga jaringan lain tidak terpengaruh

oleh obat yang diberikan karena adanya ikatan ketat fight konjuction.

Sistem penghantaran yang targetnya ke sel dilengkapi dengan

material pentarget yang dapat dikenali dan berikatan dengan antigen

komplemeter dan reseptor yang ada dipermukaan sel, sedangkan sistem

penghantaran subseluler menghantarkan obat pada tempat yang spesifik di

dalam sel. Sebagai contoh penghantaran gen ke nukleus suatu sel (Winarti,

2013).

D. Sistem Penghantaran Obat Tertarget Pada Kolon (The colon spesific drug

delivery system, CDDS)

Sistem penghantaran obat kolon harus mampu melindungi obat selama

perjalanannya melewati saluran gastrointestinal bagian atas seperti lambung

dan usus halus, menuju kolon agar pelepasan dan penyerapan obat tidak terjadi

8
di daerah perut dan usus halus, juga dapat menghindari obat agar tidak

terdegradasi sehingga obat dapat lepas dan diabsorbsi saat mencapai kolon.

(Jayaprakash, 2012).

1. Kriteria

Adapun kriteria obat yang dapat digunakan dalam penghantaran

tertarget dapat dilihat pada tabel berikut.

Gambar 1. Kriteria obat CDDS

2. Keuntungan Obat Tertarget Pada Kolon

a) Mengurangi efek samping dari pengobatan penyakit kolon seperti

ulceratif kolitis, kanker kolorektal, dan penyakit crohns, dll.


b) Memberikan lingkungan yang lebih sesuai untuk peptida dan protein

daripada lingkungan di saluran gastrointestinal bagian atas.


c) Mengurangi metabolisme first pass dari steroid.
d) Mengurangi iritasi lambung yang disebabkan oleh penggunaan oral

obat NSAID.
e) Menunda pelepasan obat untuk mengobati penyakit angina,

reumathoid arthritis dan asma. (Qureshi dkk, 2013)


f) Dapat dengan bebas merancang formula.
g) Mengurangi kombinasi pil dengan berbagai komposisi atau kecepatan

terlepas.
h) Meningkatkan stabilitas dan bioavaibilitas.
i) Meningkatkan kepatuhan dan kenyamanan pasien. (Malik dkk, 2012)

3. Kerugian Obat Tertarget Pada Kolon

9
a) Low drug loading
b) Kebutuhan proporsional yang tinggi untuk bahan tambahan
c) Kekurangan dalam kemampuan mereproduksi
d) Banyaknya variable proses
e) Tahapan formulasi yang berulang-ulang
f) Mahalnya biaya produksi
g) Membutuhkan teknologi yang tinggi
h) Dibutuhkan petugas yang terlatih dalam proses produksi.(Malik dkk,

2012)

4. Keterbatasan Obat Tertarget Pada Kolon

a) Sulit untuk mengakses obat sampai kolon


b) Penghantaran yang sukses membutuhkan obat tetap dalam larutan

sebelum mencapai kolon, tetapi cairan yang terdapat di kolon sedikit

dan viskositasnya lebih tinggi daripada saluran gastrointestinal bagian

atas yang menjadi faktor sedikitnya obat terabsorbsi.


c) Luas permukaan pada kolon kecil dan tingginya viskositas di kolon

menyebabkan transport obat menjadi terbatas untuk mencapai

sistemik.
d) Adanya mikroflora di dalam usus besar dapat mempengaruhi degradasi

obat (Qureshi dkk, 2013).

5. Pendekatan Penghantaran Obat Tertarget Pada Kolon

a) PULSINCAP

Formulasi pertama yang diperkenalkan berdasarkan prinsip ini

adalah Pulsincap dikembangkan oleh R.R. Scherer International

Corporatiom, Michigan, US. Formula dikembangkan dalam bentuk

kapsul yang dimana badan kapsulmya merupakan bahan non

desintegran yang berisi bahan aktif obat pada ujungnya sedangkan

10
pada bagian yang terbuka terisi dengan hydrogel plug lalu ditutup

dengan kepala kapsul yang larut air. Seluruh kapsul disalut dengan

polimer enterik untuk mengatasi masalah pengosongan lambung. Saat

kapsul masuk di usus kecil, salut enterik akan melarut dan hydrogel

plug mulai mengembang. Panjang dari plug dan batas selipan dari

kapsul adalah penentu waktu tinggal obat. Untuk obat yang larut dalam

air, pelepasan obat yang cepat dapat dicapai dengan adanya agen

effervesent atau disintegran. Bahan dari plug terdiri dari polimer

yang mengembang tidak larut tetapi permeable (contohnya

polymethacrylates), erodible compressed polimers (contohnya,

hydroxypropylmethyl cellulose, polyvinly alcohol, polyethylene oxide),

congealed melted polymers (contohnya, saturated polygylycolated

glycerides, glyceryl monooleat), dan enzymatically controlled erodible

polymer (contohnya pectin).


a. Collontargeted delivery capsule berdasarkan prinsip PH

sensitivitas dan waktu pelepasan.


Pada sistem ini kapsul gelatin yang keras dimasukkan asam

organik sebagai agen pengatur PH bersama-sama dengan substansi

obat. Kapsul ini disalut dengan 3 lapis film yaitu lapisan larut

asam, lapisan hidrofilik dan lapisan enterik. Setelah kapsul dicerna,

lapisan-lapisan tersebut akan menghambat pelepasan obat sampai

lingkungan PH dalam kapsul menurun karena melarutnya asam

organik, setelah itu obat cepat terlepas. Karena itu waktu onset

pelepasan obat dikontrol oleh ketebalan lapisan larut lemak.


b. Chronotropic system

11
Pada sistem chronotropic obat mengandung inti yang dilapisi

oleh hydroxypropylmethyl cellulose (HPMC) yang bertanggung

jawab sebagai fase penunda dalam onset pelepasan. Selain itu,

lewat pemberian lapisan film enterik yang resisten terhadap lapisan

luar lambung dapat mengatasi berbagai macam waktu

pengosongan lambung sehingga pelepasan di kolon dapat tercapai

dengan mengandalkan reprodusibilitas relatif dari waktu transit

usus kecil. Waktu penghambatan (lag time) dikontrol oleh tingkat

ketebalan dan viskositas HPMC, sistem ini cocok untuk tablet

maupun kapsul.
c. PORT system
Sistem PORT dikembangkan oleh Arbor, Michigan, USA.

Pada sistem ini kapsul gelatin disalut oleh membran semi

permeable. Didalam kapsul terdapat Plug (lipidic) bersifat agen

aktif osmotik dan formulasi obat. Saat kontak dengan medium cair

air berdifusi melewati membran semi permeable yang

menyebabkan tekanan inti meningkat yang mengeluarkan plug

setelah waktu penghambatan. Waktu penghambatan dikontrol oleh

ketebalan penyalutan. Sistem ini menunjukkan kolerasi yang baik

dalam waktu penghambatan antara percobaan in vitro dan in vivo

pada manusia. Sistem ini digunakan untuk menghantarkan

methylphenidate untuk pengobatan attention deficit hyperactivity

disorder (ADHD) pada umur anak sekolah.

12
b) PRESSURE CONTROLLED SYSTEM (Sistem tekanan yang

terkontrol)

Proses pencernaan dalam saluran gastrointestinal melibatkan

aktifitas kontak pil dari perut dan gerakan peristaltik untuk mendorong

isi usus. Di usus besar isi berpindah dari satu bagian kebagian lain

secara paksa oleh gerakan peristaltik menuju kolon, umumnya disebut

masa peristalsis. Gelombang peristaltik yang kuat di kolon

mempunyai durasi yang pendek, hanya terjadi 3-4 jam per hari. Tetapi

gelombang tersebut meningkat pada tekanan luminal pada kolon yang

akan membentuk basis untuk rancangan preassure controlled system.

Tekanan luminal menyebabkan gerakan peristaltik lebih tinggi di

kolon daripada tekanan di usus kecil yang dapat terlihat perbedaannya

pada viskositas dan isi luminal. Di perut dan usus kecil, isi bersifat

cair karena banyaknya jumlah air yang dicerna, tetapi di kolon

viskositas dari isi akan meningkat secara signifikan karena reabsorbsi

air dari lumen dan pembentukan feses. Karena itu bisa disimpulkan

kelarutan obat di kolon dapat menyebabkan masalah dalam sistem

penghantaran obat ke kolon secara oral. Pakaya dkk (1995) telah

mengembangkan kapsul pressure kontrol yang dihantarkan ke kolon

yang menggunakan ethyl selulosa, yang tidak larut dalam air. Pada

sistem ini pelepasan obat terjadi setelah desintegrasi polimer kapsul

yang tidak larut dalam air sehingga menyebabkan tekanan lumen

dikolon. Ketebalan membran etil selulosa menjai faktor yang penting

13
untuk disintegrasi dari formulasi. Ketebalan dinding kapsul yang

dianjurkan kira-kira 35-60 nanometer. Sistem ini juga ditentukan oleh

ukuran kapsul dan densitasnya. Dalam sistem pressure kontrol etil

selulosa adalah unit kapsul tunggal yang berarti obat berada dalam

cairan, Waktu penundaan 3-4 jam. Waktu penundaan 3-5 jam

dikarenakan obat diabsorbsi yang bisa terlihat saat kapsul pressure

kontrol yang diberikan pada manusia.

c) OSMOTIC CONTROLLED DRUG DELIVERY

Sistem OROS-CT dapat berbentuk unit tunggal atau tergabung

dalam 5-6 unit yang saling tolak menolak, tiap diameter 4 mm dilapisi

dengan kapsul gelatin yang keras. Tiap unit yang saling tolak menolak

mempunyai lapisan yang berlapis-lapis, terdiri dari lapisan tolak

osmotik dan lapisan obat keduanya dikelilingi oleh membran semi

permeable. Prinsip membran semi permeable adalah permeable saat

masuk kedalam air dan cairan encer tetapi tidak permeable saat diluar

lingkungan obat. Sebuah lubang dibuat pada mebran semi permeable

ke lapisan obat. Di luar permukaan membran semi permeable disalut

dengan eudragit S100 untuk menghambat pelepasan obat dari kapsul

saat transit di saluran gastrointestinal. Saat mencapai usus kecil

penyalutnya melarut pada PH 7. Hasilnya air akan masuk ke dalam

unit menyebabkan tekanan kompartemen osmotik mulai mengambang

dan memaksa obat untuk keluar dari lubang di kolon. Untuk

mengobati ulccerrative colitif, tiap unit yang tolak menolak dibuat

14
dengan waktu penghambataan 3-4 jam di lambung untuk mencegah

obat dilepaskan di usus kecil. Pelepasan obat mulai pada saat unit

mencapai kolon. Unti OROS-CT dapat mempertahankan pelepasan

yang konstan sampai 24 jam di kolon (Malik dkk, 2012).


Menurut Gothoskar (2004), faktor yang mempengaruhi Colon

Spesific Drug Delivery System yaitu :


1. Faktor fisiologi
a. pH dari colon
Diet, keadaan puasa, dan adanya makanan mempengaruhi pH dari

cairan gastrointestinal telah digunakan untuk penghantaran obat

tertarget kolon. Tabel di bawah ini memberikan gambaran pH dari

saluran GI.

Lokasi pH
Lambung 1,5-2,0
Saat puasa 3,0-5,0
Saat terdapat makanan 5,0-6,5
Usus kecil 6,0-7,5
Jejunum 6,4
Uleum 6,7-7,3
Tabel 1. PH dari saluran Gastrointestinal

pH dari usus besar menunjukan pengurangan selama terjadi

penyakit. Rata-rata pH pada kelompok dengan tujuh pasien yang tidak

menerima pengobatan ucerative politis adalah 4,7 sedangkan 5 pasien

15
yang menerima perawatan menunjukan pH 5,5. pH pada kolon adalah

6.40.6. Kehadiran rantai pendek asam lemak yang dihasilkan oleh

bakteri dari hasil penguraian polisakarida menyebabkan terjadinya

penurunan pH di dalam kolon. Contohnya, laktosa yang diuraikan oleh

bakteri kolon menjadi sejumlah asam laktat menyebabkan penurunan

pH menjadi 5.

b. Transit gastrointestinal
Sistem penghantaran obat pertama kali memasuki lambung dan usus

kecil melalui mulut kemudian mencapai kolon. Sifat dan pH dari

sekresi lambung dan sekresi mukosa mempengaruhi pelepasan obat

dan penyerapan untuk mencapai usus besar dalam bentuk utuh. Sistem

penghantaran obat harus melewati barier di lambung dan usus kecil.

Pada kondisi puasa terjadi empat fase di lambung dan usus kecil yang

berlangsung selama 2-3 jam. Fase satu adalah fase diam yang

berlangsung selama 40-60 menit, fase 2 terdiri dari penyusutan

sementara yang berlangsung 40-60 menit. Fase 3 adalah fase kontraksi

usus menghantarkan zat aktif keluar dari lambung dan menuju ke usus

kecil di ikuti oleh fase ke 4 dengan hilangnya kontraksi.


c. Transit usus kecil
Biasanya, transit pada usus kecil tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik,

ukuran dari bentuk obat dan kehadiran makanan di lambung. Waktu

rata-rata transit untuk 1 unit dose sekitar 3-4 jam untuk mencapai

katup ileocecal dengan fase waktu tetap. Pelepasan obat dari bentuk

prodrug di dasarkan pada sistem dan kestabilan dari peptida yang di

pengaruhi oleh kandungan bakteri dari usus penyerapan ( ileum)

16
d. Transit kolon
Bioavailabilitas obat, melepaskan dari bentuk obat sangat di pengaruhi

oleh transit pada usus besar dengan waktu yang berbeda-beda.

Berbagai faktor seperti jenis kelamin, dan ukuran dari obat dan faktor

fisiologi seperti stres, adanya makanan serta penyakit mempengaruhi

waktu transit di usus besar. Pria menunjukan waktu transit yang lebih

pendek daripada wanita. Variasi dari diet serat dan umur tidak

mengubah waktu transit secara signifikan. Waktu transit dari kapsul

pada orang dewasa adalah 20 30 jam, kecepatan transit tidak di

pengaruhi oleh berat kapsul dan volumenya.


e. Pengosongan lambung
Umumnya saat puasa pengosongan lambung lebih cepat dan

konsisten pengosongan sempurna dari 5-10 menit hingga 2 jam

tergantung dari kondisi lambung saat masuknya obat.


f. Mikroflora dan enzim di usus besar
Saluran pencernaan manusia banyak terdapat bakteri dan berbagai

mikroflora pada rongga mulut dan kolon dan berakhir pada rektum.

Mikroorganisme pada rongga mulut biasanya tidak mempengaruhi

penghantaran obat secara oral, namun mikroflora pada usus besar

menyebabkan sejumlah implikasi pada kesehatan dan pengobatan

penyakit seperti IBD ( Imitable Bowel Syndrom). Enzim dan produk

sekresi di hasilkan dari mikro flora dapat digunakan untuk

penghantaran obat di usus besar. Konsentrasi bakteri pada kolon

manusia sekitar 1000 CFU/ml. bakteri anaerobik yang berperan

penting adalah Bacteroides, Bifidobacterium, Eubacterium,

Peptococcus, dan Peptostreptococcus, Ruminococcus, Clostridium.

17
Asoreduktase yang di hasilkan oleh mikro flora memegang peranan

penting pada pengembangan berbagai sistem penghantaran khususnya

katalisasi yang menghasilkan 5-amino asam salisilat ( 5ASA) dari

berbagai jenis prodrug. Enzim lain yang memicu pelepasan obat di

kolon adalah glucoronidases yang dihasilkan oleh lactobacili

bacterides dan bifidobacterium. Aktifitas dari enzim berhubungan

dengan konsentrasi bakteri dan daerah tertentu. Jumlah dari mikro

flora pada usus selalu konstan pada kondisi normal tetapi berubah ubah

saat kondisi sakit. Penghantaran obat pada usus besar sangat di

pengaruhi oleh perubahan mikro flora usus besar yang disebabkan obat

antibiotik oral selama terserang penyakit. Di beberapa kasus produk

metabolik dari mikro flora dapat menonaktifkan obat dan

meningkatkan efek samping.

g. Absorbsi di Kolon
Area permukaan dari kolon lebih kecil di bandingkan usus halus

dan oleh sebab itu tidak cocok untuk absorbsi. Dengan keterbatasan ini

kolon dipertimbangkan sebagai penghantaran obat karena

lingkungannya yang tanpa sistem pencernaan endogen juga adanya

bakteri alami dan waktu tinggal di usus besar selama 10-24 jam.

Dengan sedikit perubahan pada usus besar memungkinkannnya untuk

menjadi lingkungan yang optimal untuk kondisi absorbsi. tingginya

Viskositas usus besar yang memperlambat absorbsi obat dari lumen ke

mukosa. Penyerapan dipengaruhi oleh perpindahan air, elektrolit dan

18
amonia yang melalui mukosa dan hal ini lebih terjadi pada bagian

proksimal kolon daripada distal kolon.


Obat diabsorbsi melalui transport transelular dan paraselular.

Absorpsi transelular membawa obat melalui sel dan transport ini lebih

banyak untuk obat lipofilik. Absoprsi paracellular membawa obat

melalui tight junction diantara sel-sel dan membawa obat yang bersifat

hidrofilik. Buruknya absorpsi paraselular dari banyak obat di kolon

disebabkan karena sel epitel kolon yang sangat rapat. Permeabilitas

epitel kolon dari obat dapat dimodifikasi dengan menggunakan

enhancer absorpsi obat. Mekanisme dari Enhancer absorpsi obat yaitu

dengan memodifikasi permeabilitasnya dengan denaturasi membran

protein. Beberapa enhancer absorpsi secara konvesional digunakan

untuk meningkatkan absorpsi dari obat-obat polar. Sama halnya

dengan inhibitor protease seperti aprotinin dan bacitracin

meningkatkan absorpsi dari peptide dan protein dengan mencegah

rusaknya obat oleh aktivitas aminopeptidase.


h. Penyakit Gastrointestinal
Penyakit umum intestinal seperti IBD, Penyakit Crohns, konstipasi,

diare dan gastrointeristis mempengaruhi pelepasan dan absorbsi pada

sistem penghantaran obat kolon. Penyakit yang berhubungan dengan

mual dan muntah memungkinkan keluarnya obat. Antibiotik yang

menekan gerakan usus khususnya muskularis mukosa meningkatkan

resisten antibiotik pada perumbuhan bakteri penyebab kolitis. Aktivitas

Azoreductase dan Nitroreductase pada bakteri lebih tinggi selama

19
penyembuhan dari pouchitis. Faktor-faktor ini harus di pertimbangkan

selama pembuatan sistem penghantaran obat kolon.

B. Faktor Farmasetika
1. Pemilihan Obat
Obat yang sukar diabsorbsi dari lambung atau usus halus termasuk

obat-obat peptida (amylin, calcitonin, cyclosporiine, vasoprossin,

insulin, interferon, dll), sangat sesuai untuk sistem penghantar obat

kolon. Pengobatan yang di gunakan untuk IBD, Ulcerative Colitis,

diare, (metronidazole, tinidazole), kanker usus besar ( 5-flurouracil,

methotrexate, avastin), dan obat untuk pengobatan colon polips

seperti celecoxib sesuai untuk pengantaran kolon scara lokal.

Sulphasalazine dan 5ASA seara luas di gunakan sebagai pengobatan

IBD dan obat-obat lain seperti deksamethazon, prednisolon,

hidrokortison, budenoside.
2. Zat pembawa obat
Pemilihan dari zat pembawa dari suatu obat tergantung pada

fisikokimia obat sesuai dari sistem penyakit yang akan di gunakan.

Faktor seperti kimia, stabilitas, dan koefisien partisi dari obat dan tipe

absorbsi meninngkatkan pemilihan dari zat pembawa. Selain itu

pemilihan zat pembawa obat tergantung dari gugus fungsi dari

molekul obat. Contohnya, amilin atau gugus nitro pada obat di

gunakan untuk menghubungkan gugus benzen lain melalui ikatan azo.

Zat pembawa yang mengandung zat-zat adiktif seperti polimer

( digunakan sebagai matrik dan hidrogel atau coating agen )

mempengaruhi pelepasan dan efikasi dari sistem.

20
Menurut Malik K (2012), uji evaluasi Colon Targeting Drug Delivery

System (CDDS) terbagi menjadi dua yaitu :


a. Evaluasi in vitro
Tidak ada standar teknik evaluasi yang sesuai untuk evaluasi dari

CDDS karena model in vitro ideal harus memiliki kondisi in vivo dari

saluran GI sperti pH, volume pengadukan, bakteri, enzim, aktivitas enzim

dan komponen dari makanan. Umumnya kondisi ini di pengarui oleh diet

dan stres fisik dan faktor-faktor ini membuatnya sulit untuk mendesain

model in vitro. Model in vitro yang di gunakan untuk CDDS adalah :


1. Uji disolusi in-vitro
Disolusi dari formulasi pelepasan terkontrol yang digunakan untuk

penghantaran obat spesifik colon biasanya kompleks dan metode

disolusi yang di deskripsikan di USP tidak dapat seluruhnya meniru

kondisi in vivo seperti yang berhubungan dengan pH, lingkungan

bakteri dan gaya pencampuran. Uji di solusi yang berhubungan pada

CDDS dilakukan menggunakan metode konvensional keranjang. Uji

disolusi dari kolon formulasi spesifik dalam berbagai media menirukan

kondisi pH dan berbagai lokasi di saluran GI. Pemilihan media

contohya pH 1,2 menirukan cairan lambung, pH 6,8 menirukan area

jejunal dari usus halus dan pH 7,2 menirukan ileal segmen. Kapsul

salut enterik untuk CDDS telah di teliti pada penelitian gradien

disolusi dalam 3 buffer. Uji in vitro untuk penyalutan utuh dan zat

pembawa menirukan kondisi dari lambung dan usus halus. hasil

penelitian pelepasan obat pada 0,1 N, HCl selama 2 jam (rata-rata

21
waktu pengosongan lambung), studi pelepasan obat pada buffer fosfat

selama 3 jam ( rata-rata waktu transit usus kecil)


in vitro uji enzimatik: terdapat 2 pengujian :
1. Inkubasi sistem zat pembawa berisi medium yang cocok untuk

bakteri (Steptococus facium atau B.ovatus) sejumlah pelepasan

obat pada interval waktu berbeda


2. Studi pelepasan obat dilakukan pada medium buffer terdiri dari

enzim ( enzim pectinase dextranase ) atau tikus atau marmut atau

kelinci sejumlah obat di lepaskan di waktu tertentu, yang secara

langsung sebanding dengan kecepatan degradasi dari pembawa

polimer.

b. Evaluasi in vivo

Sejumlah hewan seperti anjing marmut, tikus, dan babi di gunakan

untuk evaluasi penghantaran obat ke colon karena kemiripan anatomi dan

kondisi fisiologi seperti mikro flora dari GIT manusia sementara pemilihan

model untuk uji CDDS. Dalam pemilihan model untuk pengujian CDDS,

keterkaitan model dengan penyakit pada colon harus dipertimbangkan

contoh marmut secara umum digunakan untuk model eksperimen IBD.

Distribusi dari aktifitas azoreduktase dan glucouronidase di GIT dari tikus

dan kelinci hampir sebanding pada manusia.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

22
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi biofarmasetika pada sistem penghantaran

obat tertarget khususnya penghantaran obat tertarget pada kolon yaitu :


a. Faktor Fisiologi, meliputi : b. Faktor Farmasetika, meliputi :
- PH dari kolon - Pemilihan Obat
- Transit Gastrointestinal - Zat Pembawa Obat
- Transit usus kecil
- Transit kolon
- Pengosongan lambung
- Mikroflora dan enzim di usus besar
- Absorbsi di kolon
- Penyakit Gastrointestinal

2. Evaluasi Biofarmasetika pada sistem penghantaran obat tertarget khususnya

penghantaran obat tertarget pada kolon terbagi menjadi evaluasi in vitro

(kondisi in vivo dari saluran GI sperti pH, volume pengadukan, bakteri, enzim,

aktivitas enzim dan komponen dari makanan) dan evaluasi in vivo (pengujian

pada hewan uji seperti marmut, tikus, atau kelinci)

3. Bahan tambahan utama penghantaran obat tertarget pada kolon yaitu Hydrogen

Plug terdiri dari polimer yang mengembang tidak larut tetapi permeable

(contohnya polymethacrylates), erodible compressed polimers (contohnya,

hydroxypropylmethyl cellulose, polyvinly alcohol, polyethylene oxide),

congealed melted polymers (contonya, saturated polygylycolated glycerides,

glyceryl monooleat), dan enzymatically controlled erodible polymer

(contohnya pectin)

23
DAFTAR PUSTAKA

Gothoskar A.V., Manisha, Bhuruk., Yogesh, Pawar., 2004. Colon Spesific Drug
Delivery System : a review. Drug delivery tech,(4) : 64-67
Jayaprakash., Mathew. 2012. Colon Specific Drug Delivery System: A Review On
Various Pharmaceutical Approaches. Journal of applied pharmaceutical
sciene 2(01):163-169. Departmen Of Pharmaceutics Gautham College Of
Pharwqmmacy Bangalor, India.
Malik, L, Goswami., P, Kothiyal., Mukhopadhya. 2012. A Review on Colon
Targeting Drug Delivery System : Novel Approaches, Anatomy and
Evaluation. The Pharma Innovation. (9) : 10
Malik, K., et al. 2012. A Review on Colon Targeting Drug Delivery System:
Novel Approaches, Anatomy and Evaluation. Journal The Pharma
Innovation 1(9):1-12. Departmen of Pharmaceutical Sciences Patel Nagar
Dehradun, Uttarakhand.
Qureshi Altamash, M., et al. 2013. Colon target drug delivery system: A review on
current approaches. Journal Of Pharmaceutical And Biological Researsh
(IJPBR) 1(4):130-147. Departmen Of Pharmaceutics Oriental College of
Pharmacy Sanpada Navi Mumbai, India.
Shargel, Leon. 2012. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan Edisi Kelima.
Universitas Airlangga : Surabaya.

Winarti, Lina. 2013. Sistem Penghantaran Obat Tertarget Macam Jenis-Jenis


Sistem Penghantaran dan Aplikasinya. Jurnal Stomatognatic. Vol. 10. No. 2.

24

Anda mungkin juga menyukai