Bab I Pendahuluan
Alasan Magnis dalam meneliti etika Jawa, pertama: budaya masyarakat Jawa
mengalami keterasingan. Kedua: mencari sudut pandang lain pasalnya etika
secara eksklusif hanya berkembang di barat.
2. Dua Pembatasan
Secara garis besar bagian ini berisi pembahasan mengenai lingkungan, masyarakat
dan sejarah Jawa.
1. Pulau Jawa
2. Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa ialah mereka yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa
ibu dan secara geografis mereka dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Menurut Magnis, secara sosial masyarakat Jawa dibedakan menjadi tiga, yaitu:
wong cilik (orang kecil) yang terdiri dari kaum petani dan mereka yang
berpendapatan rendah, priyayi yakni para pegawai pemerintahan dann kaum
intelektual, dan ketiga ndara atau kaum ningrat dalam arti keluarga kerajaan.
a. Prasejarah
Dalam subbab ini Magnis menjalaskan mengenai nasib masyarakat Jawa setelah
kedatangan berbagai orang dari luar seperti pedangan Gujarat dan juga Eropa.
Pedagang dari Gujarat membawa kebudayaan Islam sementara orang Eropa
membawa kebudayaan modern, hal tersebut membawa pengaruh yang sangat
besar bagi kondisi sosial-keagamaan masyarakat Jawa, terlebih setelah Belanda
datang dan menjajah.
1. Prinsip Kerukunan
a. Rukun
Rukun berarti keadaan harmonis. Namun demikian, menurut Magnis, rukun lebih
diartikan sebagai cara bertindak, yakni tindakan untuk tidak mengganggu
keselarasan hidup yang sudah ada, menghindari terjadinya konflik masyarakat.
b. Berlaku Rukun
2. Prinsip Hormat
3. Etika Keselarasan Sosial
Orang Jawa pun, masih menurut Magnis, meyakini bahwa keselamatan hidupnya
bergantung pada kekuatan gaib tersebut. Dan karena itulah mereka kemudian
menyikapinya dengan mengadakan berbagai ritual, antara lain: acara slametan,
ziarah makam, doa-doa, sesaji dan sebagainya.
b. Koordinasi
Kesatuan antara manusia dan alam, baik alam empiris maupun alam metempiris
bagi orang Jawa, menurut tinjauan Magnis, telah melahirkan sebauh koordinat
(perhitungan) tertentu. Perhitungan-perhitungan tersebut dapat dijumpai dalam
buku risalah yang disebut Primbon. Primbon memuat berbagai macam
perhitungan atau rumusan sakral yang sangat berguna bagi kehidupan masyarakat
Jawa.
Salah satu sisi dari pandangan dunia orang Jawa, yakni menganggap bahwa
individu-individu yang berkuasa memiliki pertalian khusus dengan yang maha
gaib.
a. Hakikat Kekuasaan
Raja, masih menurut penuturan Magnis, merupakan sosok tertentu yang memiliki
kemampuan untuk menyerap seluruh energi kosmos. Oleh sebab itu, masyarakat
Jawa memposisikan raja pada tingkatan sakral. Di samping itu, raja juga dijadikan
sebagai simbol kesejahteraan hidup.
Selain raja, kraton sebagai tempat kediaman seorang raja pun memiliki posisi
yang istimewa bagi masyarakat Jawa.
a. Kisah Dewaruci
Inti dari kisah Dewaruci yang dapat ditangkap dari penuturan Magnis, bahwa
Dewaruci merupakan inti dari kebatinan orang Jawa. Dengan melaui laku tertentu
setiap orang Jawa dapat berjumpa dengan dewarucinya masing-masing, dengan
kata lain manunggaling kawulo gusti (bersatunya antara jasad dan batin).
Ajaran moral yang dapat dipetik dari kisah tersebut, bahwa inti dari hidup orang
Jawa tidak terletak pada manunggaling kawulo gusti melainkan pengabdian sosial
yang harus ditunaikan setelah seseorang berhasil mencapai derajat tertinggi dari
kehidupan.
Sangkan-paran dalam arti harfiah ialah asal dan tujuan hidup manusia. Pada
intinya, pemaparan mengenai sangkan-paran ini Magnis hanya menjabarkan
intisari dari kisah Dewaruci di atas.
d. Takdir
Takdir, berdasarkan penjelasan Magnis, merupakan garis-garis hidup dalam
tatanan kosmos. Masyarakat Jawa sangat meyakini bahwa manusia tidak bisa
melepaskan dirinya dari takdir yang membelenggu, hidup semata-mata hanya
mengikuti suratan takdir. Melawan nasib tidak ada gunanya, kecuali hanya akan
mengacaukan tatanan kosmos.
Dalam masyarakat Jawa terdapat sebuah ajaran moral yang oleh Magnis
disebut sebagai sikap batin yang tepat yakni sebuah pendirian batin untuk selalu
mengendalikan hawa nafsu dan egoisme (pamrih: mendahulukan kepentingan
pribadi di atas kepentingan umum). Dalam kepustakaan Jawa untuk
menggambarkan tindakan hawa nafsu tersebut dikenal istilah malima yakni
madat, minum, maling, madon dan main. Oleh karena itu, untuk menghindari dua
hal yang sangat berbahaya tersebut masyarakat sering melakukan laku tapa, yakni
suatu upaya untuk mengendalikan diri.
Dari konseps mengenai sikap batin yang tepat muncullah sebuah pandangan
dalam masyarakat Jawa bahwa manusia jangan mengikat diri pada dunia akan
tetapi membebaskan diri dari dunia, namun demikian bukan berarti menarik diri
dari dunia. Dari satu pemahaman tersebut kemudian sampailah pada suatu
ungkapan rame ing gawe, sepi ing pamrih dan memayu hayuning bawana. Yang
dimaksud rame ing gawe yakni kewajiban untuk bekerja keras, sementara sepi ing
pamrih berarti jauh dari sifat-sifat egois. Bila kedua ungkapan tersebut digabung
melahirkan sebuah pengertian bahwa orang Jawa hendaknya selalu bekerja keras
namun juga harus mengindari pamrih (imbalan). Kemudian memayu hayuning
bawana ialah memperindah kehidupan dunia dalam keselarasan kosmos.
Pengertian tentang tempat yang tepat merupakan satu kesimpulan bahwa ada
beberapa pertimbangan yang harus diindahkan oleh manusia, sebagai konsekuensi
dari pemahaman-pemahaman di atas. Pertimbangan tersebut terkait dengan adat-
istiadat, norma sosial, tata krama (unggah-ungguh) dan tradisi.
Pandangan Jawa mengenai sikap batin dan tidakan yang tepat didasari atas
pemahaman tentang tempat yang tepat. Barang siapa yang memahami tempatnya
dalam masyarakat, ia juga memiliki sikap batin yang tepat dan sengan demikian
akan bertindak tepat. Dan sebaliknya, siapa yang membiarkan dirinya dikuasai
oleh nafsu-nafsu dan pamrihnya menunjukkan bahwa ia belum mengerti
tempatnya dalam kosmos. Artinya ia belum memiliki pengertian yang tepat.
Pengertian yang tepat bagi orang Jawa dikenal dengan istilah rasa, harus
dirasakan. Konon dalam rasa realitas yang sebenarnya (kosmos) membuka diri.
5. Etika Wayang
Beberapa masalah khusus dalam etika Jawa yang perlu diperhatikan yakni:
1. Keluarga, Keakraban dan Hormat
Pemahaman tentang rame ing gawe dan sepi ing pamrih, bagi orang Jawa sendiri
ternyata dipahami sebagai tuntutan hidup yang membelenggu. Oleh karena itu
diperlukan adanya suatu ruang yang bebas dari tuntutan hidup tersebut, itulah
keluarga. Magnis menambahkan bahwa keluarga merupakan satu-satunya tempat
di mana orang Jawa menjadi dirinya sendiri, aman dan bebas dari segala tuntutan
lahiriah dan batiniah.
Ada tiga hal yang menarik bagi Magnis dalam etika seksual Jawa ini, pertama;
hubungan seksual tidak dipandang sebagai sesuatu yang problemtis secara moral.
Pertimbangan mengenai hubungan seksual di luar perkawinan bukan karena
hubungan seksualnya yang buruk melainkan karena akibat-akibat yang tidak
diinginkan. Kedua; masyarakat Jawa tidak memiliki harapan yang berlebihan di
bidang seksual. Penyelewengan terkait dengan hubungan seksual tidak diartikan
sebagai suatu tindakan jahat melainkan sesuatu yang harus diperbaiki, dengan
kata lain, pengawasan masyarakat harus diperketat. Ketiga; mengenai hal ini
masyarakat Jawa tidak berambisi untuk menegakkan prinsip moral mutlak
melainkan agar ketenangan dan keselarasan masyarakat tetap terjaga.
3. Ilmu Hitam
Bagi masyarakat Jawa keberadaan ilmu hitam sudah menjadi sesuatu yang
lumrah. Aktivitas laku tapa atau semedi merupakan suatu laku batin untuk dapat
menyerap kekuatan-kekuatan kosmis (kekuatan gaib), sementara kekuatan gaib
tersebut dapat dipergunakan untuk tujuan baik maupun tujuan jahat. Namun
demikian, penggunaan kekuatan kosmis tersebut hendaklah tetap harus
memperhatikan sikap batin, tindakan serta pengertian yang tepat sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas.
4. Semar
Semar merupakan salah satu penokohan dalam pagelaran wayang, namun
demikian keberadaan semar ini memiliki filosofi hidup tersendiri, keberadaan
tokoh Semar memiliki koordinat terpenting dalam etika Jawa. Semar merupakan
figur rakyat jelata, sebagai abdi dalem ia bebas dari pamrih dan hidupnya semata-
mata hanya untuk menjalankan darmanya sebagai abdi dalem. Namun dibalik
sosoknya yang sederhana, ia memiliki kesempurnaan etis orang Jawa. Ia hadir
sebagai pelengkap dan sekaligus sosok inti kebatinan masyarakat Jawa.
Sejauh mana etika Jawa bisa dipandang sebagai etika dalam pengertian
yang sebenarnya (barat)? Dalam bab ini kita bisa menyaksikan kepiawaian
Magnis dalam memainkan kata, tentu berdasar analisis kritisnya.
Salah satu ciri etika yang menekankan fungsi kehendak, kata Magnis, ialah
membedakan secara tajam antara yang baik dan yang jahat. Sementara itu berbeda
dengan etika Jawa yang justeru malah memperlukan entitas keduanya. Dalam hal
ini ada dua hal yang menarik perhatian Magnis, yakni pertama; tindakan salah
dalam etika Jawa tidak diartikan sebagai kehendak buruk melainkan karena
kurangnya pengertian (durung ngerti). Kedua; etika Jawa memberi pamahaman
bahwa yang jahat bukanlah sesuatu yang tidak boleh ada. Hal ini dipertegas
dengan sebuah pemahaman bahwa tindakan yang tepat selalu relatif terhadap
tempat dan keadaan.
Tolok ukur yang dipakai orang Jawa untuk memahami perilaku etisnya dengan
kategori halus-kasar. Hal tersebut sangat beralasan bahwa kehalusan merupakan
hakikat dari realitas kosmis yang berada di balik alam lahiriah.
5. Etika Kebijaksanaan
Tuntutan dasar etika Jawa terletak pada penyesuaian diri terhadap lingkungan
serta memenuhi kewajiban-kewajiban yang berlaku. Kategorisasi dalam etika
Jawa bukanlah antara yang baik dan jahat melainkan antara yang bijaksana dan
yang bodoh. Siapa yang tidak memenuhi tuntutan etika Jawa dianggap sebagai
yang bodoh, bukan jahat.
Di sini, secara argumentatif Magnis berusaha mencari benang merah antara etika
Jawa dan etika barat. Sampai kemudian ia menyimpulkan bahwa etika Jawa
merupakan etika kebijaksanaan sementara etika barat merupakan etika kewajiban.
Hal tersebut ditujang oleh beberapa pengertia.
Akhirnya Magnis menyimpulkan bahwa etika Jawa dan etika barat harus
dipahami dalam wilayahnya masing-masing karena keduanya berangkat dari
pemahaman yang berbeda mengenai kosmis.
Di sini, Magnis berusaha untuk menjelaskan etika Jawa ditinjau dari kategrisasi
Lowrence Kohlberg. Tapi kemudian ia juga mengkritisi sejauh mana pendapat
Kohlberg memeiliki relevansi terhadap etika Jawa.
4. Sebagai Penutup
TINJAUAN
1. Apresiasi
Sebagai orang Jawa, saya pribadi merasa sangat terbantu oleh penuturan Magnis
dalam buku tersebut dan tentunya ada banyak hal yang baru saya ketahui setelah
membaca karya tulis tersebut. Dan bahkan sebagai orang luar, pemahamannya
mengenai etika Jawa telah melebihi orang asli Jawa yang tidak memiliki
kesempatan untuk mempelajari hal yang sama. Sebagai peneliti, usahanya untuk
menjaga objektifitas patut diacungi jempol terlebih ketika ia berusaha
menyandingkan antara etika Jawa dan etika Barat.
Sebagai bentuk kehati-hatiannya, ia tidak serta-merta menghakimi bahwa
etika Jawa begini sementara etika barat begitu. Melainkan ia berusaha untuk
mencari titik temu di mana letak persamaan dan perbedaan keduanya.
2. Tanggapan Kritis
3. Kesimpulan
Secara umum hasil karya tersebut patut dipertimbangkan, tentu karena ia memiliki
banyak data-data yang tidak dimiliki oleh peneliti lain. Meski kemudian, ada
beberapa hal yang masih perlu dikritisi. []