Anda di halaman 1dari 14

ETIKA JAWA

(Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa)


Pengarang: Franz Magnis- Suseno SJ
Penerbit: PT Gramedia Jakarta 1984
Ukuran : 14 x 21 cm
Tebal : 265 halaman
Terbit : Januari 1984
Reviewer : Syahyunan Pora

Sebuah karya berjudul Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang


Kebijaksanaan Hidup Jawa ini merupakan hasil penelitian Franz Magnis-Suseno
selama bertahun-tahun. Sebuah buku setebal lebih dari 250 halaman,
diterjemahkan sendiri oleh pengarangnya dari judul aslinya Javanische Weisheit
und Ethik, Studien zu einer stlichen Moral. Berikut ini ringkasan isi bukunya:

Bab I Pendahuluan

Pada bab pendahuluan bersisi mengenai deskripsi pengertian-pengertian serta


batasan-batasan yang diperlukan sebagai standart penulisan karya ilmiah. Antara
lain:

1. Mengenali Etika Jawa, Untuk apa?

Alasan Magnis dalam meneliti etika Jawa, pertama: budaya masyarakat Jawa
mengalami keterasingan. Kedua: mencari sudut pandang lain pasalnya etika
secara eksklusif hanya berkembang di barat.

2. Dua Pembatasan

Pertama: penelitian ini bukanlah penelitian Antropologis meski datanya diperoleh


dari data-data antropologis dan sosiologis. Kedua: cakupan kajiannya hanya
seputar orang Jawa, masyarakat Jawa dan etika Jawa.

3. Apa itu Orang Jawa

Orang Jawa, masyarakat Jawa?

4. Apa itu Etika


Pengertian etika Jawa dalam buku itu ialah keseluruhan norma dan penilaian yang
dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana seharusnya
menjalani hidupnya.

5. Susunan Buku ini

Berisi mengenai teknis penulisan buku.

Bab II Pengantar ke dalam Masyarakat Jawa

Secara garis besar bagian ini berisi pembahasan mengenai lingkungan, masyarakat
dan sejarah Jawa.

1. Pulau Jawa

Berisi data-data geografis mengenai Pulau Jawa

2. Masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa ialah mereka yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa
ibu dan secara geografis mereka dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Menurut Magnis, secara sosial masyarakat Jawa dibedakan menjadi tiga, yaitu:
wong cilik (orang kecil) yang terdiri dari kaum petani dan mereka yang
berpendapatan rendah, priyayi yakni para pegawai pemerintahan dann kaum
intelektual, dan ketiga ndara atau kaum ningrat dalam arti keluarga kerajaan.

3. Ringkasan Sejarah Jawa

a. Prasejarah

Berisi gambaran sosial-keagamaan masyarakat Jawa di masa lampau.

b. Kerajaan-kerajaan Jawa Tengah Pertama

Magnis hanya menjelaskan bahwa peninggalan-peninggalan berupa candi, arca


serta prasasti dan lain-lain disinyalir sebagai bukti adanya kerajaan-kerajaan yang
pernah berkuasa di Jawa Tengah.
c. Kerajaan-kerajaan Jawa Timur Pertama

Di sini dijelaskan mengenai keberadaan berbagai kerajaan yang pernah berkuasa


di Jawa Timur, mulai dari Kerajaan Airlangga sampai dengan kerajaan di Kediri
pada tahun 1222.

c.1. Kerajaan Majapahit

Rupanya Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang paling berpengaruh dalam


sejarah Jawa, secara panjang lebar Magnis membahasnya dalam subbab ini.

c.2. Kedatangan Agama Islam dan Perkembangan Selanjutnya

Dalam subbab ini Magnis menjalaskan mengenai nasib masyarakat Jawa setelah
kedatangan berbagai orang dari luar seperti pedangan Gujarat dan juga Eropa.
Pedagang dari Gujarat membawa kebudayaan Islam sementara orang Eropa
membawa kebudayaan modern, hal tersebut membawa pengaruh yang sangat
besar bagi kondisi sosial-keagamaan masyarakat Jawa, terlebih setelah Belanda
datang dan menjajah.

Bab III Dua kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa

Bertolak dari pemahaman Hildred Geertz, penjelasan Magnis berfokus pada


kaidah-kaidah moral yang berlaku dalam masyarakat Jawa.

1. Prinsip Kerukunan

a. Rukun

Rukun berarti keadaan harmonis. Namun demikian, menurut Magnis, rukun lebih
diartikan sebagai cara bertindak, yakni tindakan untuk tidak mengganggu
keselarasan hidup yang sudah ada, menghindari terjadinya konflik masyarakat.

b. Berlaku Rukun

c. Rukun dan Sikap Hati

2. Prinsip Hormat
3. Etika Keselarasan Sosial

Bab IV Pandangan Dunia Jawa

Menurut Magnis pandangan dunia yakni semua keyakinan deskriptif yang


dipahami oleh manusia untuk menjelaskan realitas berdasarkan pengalamannya.
Masih menurut Magnis, yang menarik dari pandangan dunia masyarakat Jawa
ialah mereka tidak melihat relitas secara terpisah melainkan satu kesatuan utuh
dan bertolok ukur pada kondisi psikis tertentu, yakni; ketenangan, ketentraman
dan keseimbangan batin.

1. Alam Numinus dan Dunia

a. Kesatuan Numinus antara Masyarakat, Alam dan Alam Adikodrati

Magnis menjelaskan bahwa ruang lingkup kehidupan orang Jawa ialah


masyarakat dan alam. Alam pun tidak hanya sebatas alam empiris melainkan juga
alam metempiris (gaib). Dan uniknya, alam empiris merupakan perwujudan dari
alam metempiris. Dengan kata lain, alam empiris merupakan menifestasi adanya
kekuatan gaib.

Orang Jawa pun, masih menurut Magnis, meyakini bahwa keselamatan hidupnya
bergantung pada kekuatan gaib tersebut. Dan karena itulah mereka kemudian
menyikapinya dengan mengadakan berbagai ritual, antara lain: acara slametan,
ziarah makam, doa-doa, sesaji dan sebagainya.

b. Koordinasi

Kesatuan antara manusia dan alam, baik alam empiris maupun alam metempiris
bagi orang Jawa, menurut tinjauan Magnis, telah melahirkan sebauh koordinat
(perhitungan) tertentu. Perhitungan-perhitungan tersebut dapat dijumpai dalam
buku risalah yang disebut Primbon. Primbon memuat berbagai macam
perhitungan atau rumusan sakral yang sangat berguna bagi kehidupan masyarakat
Jawa.

c. Tempat yang Tepat sebagai Paham Kunci


Dalam hal ini nampaknya Magnis pun mengalami kesulitan untuk menjelaskan
tempat yang tepat dalam pandangan etika Jawa. Ia sendiri mengakui bahwa
tidak ada bidang eksistensi manusia yang semata-mata ditentukan oleh hukum
objektif. Melainkan orang Jawa, menurut Magnis, tidak sepenuhnya menyadari
eksistensi dirinya kecuali hanya sebatas memahami bahwa setiap perbuatan pada
akhirnya akan dikembalikan kepada kekuatan gaib yang serba angker (kosmos).

2. Yang Numinus dan Kekuasan

Salah satu sisi dari pandangan dunia orang Jawa, yakni menganggap bahwa
individu-individu yang berkuasa memiliki pertalian khusus dengan yang maha
gaib.

a. Hakikat Kekuasaan

Menurut pengakuan Magnis, kekuasaan bagi orang Jawa bukan semata-mata


gejala sosial melainkan lebih merupakan menifestasi energi kosmos yang
menyeluruh.

b. Raja sebagai Pemusatan Kekuatan Kosmis

Raja, masih menurut penuturan Magnis, merupakan sosok tertentu yang memiliki
kemampuan untuk menyerap seluruh energi kosmos. Oleh sebab itu, masyarakat
Jawa memposisikan raja pada tingkatan sakral. Di samping itu, raja juga dijadikan
sebagai simbol kesejahteraan hidup.

c. Kraton sebagai Pusat Kerajaan Nominus

Selain raja, kraton sebagai tempat kediaman seorang raja pun memiliki posisi
yang istimewa bagi masyarakat Jawa.

Magnis menganalogikan bahwa kraton bagaikan sumber cahaya yang


dapat menerangi daerah sekelilingnya, dalam hal ini ialah seluruh wilayah
kerajaan.

d. Kekuasaan dan Moral


Dalam paham kekuasaan masyarakat Jawa tertanam bahwa raja merupakan sosok
manusia linuwih, adil, bijak dan dicintai rakyat karena mampu melindungi mereka
dari marabahaya.

3. Dasar Nominus Keakuan

Keistimewaan seorang raja, berdasar rumusan Magnis bahwa ia merupakan wadah


kekuatan ilahi, yang sebetulnya, hal tersebut bisa berlaku bagi setiap orang.

a. Kisah Dewaruci

Inti dari kisah Dewaruci yang dapat ditangkap dari penuturan Magnis, bahwa
Dewaruci merupakan inti dari kebatinan orang Jawa. Dengan melaui laku tertentu
setiap orang Jawa dapat berjumpa dengan dewarucinya masing-masing, dengan
kata lain manunggaling kawulo gusti (bersatunya antara jasad dan batin).
Ajaran moral yang dapat dipetik dari kisah tersebut, bahwa inti dari hidup orang
Jawa tidak terletak pada manunggaling kawulo gusti melainkan pengabdian sosial
yang harus ditunaikan setelah seseorang berhasil mencapai derajat tertinggi dari
kehidupan.

b. Pengertian tentang Sangkan-paran

Sangkan-paran dalam arti harfiah ialah asal dan tujuan hidup manusia. Pada
intinya, pemaparan mengenai sangkan-paran ini Magnis hanya menjabarkan
intisari dari kisah Dewaruci di atas.

c. Sangkan-paran sebagai Praksis Kehidupan

Praksis sangkan-paran, menurut Magnis, untuk menjelaskan bagaimana manusia


berhadapan dengan hakikatnya yang sebenarnya, yakni memaknai hidup.
Kemudian secara panjang lebar Magnis memaparkan tentang kaidah ideal
kehidupan masyarakat Jawa.

d. Takdir
Takdir, berdasarkan penjelasan Magnis, merupakan garis-garis hidup dalam
tatanan kosmos. Masyarakat Jawa sangat meyakini bahwa manusia tidak bisa
melepaskan dirinya dari takdir yang membelenggu, hidup semata-mata hanya
mengikuti suratan takdir. Melawan nasib tidak ada gunanya, kecuali hanya akan
mengacaukan tatanan kosmos.

Bab V Koordinat-Koordinat Umum Etika Jawa

Masih menurut penjelasan Magnis bahwa koordinat-koordinat umum etika Jawa


dilambangkan dalam ungkapan sepi ing pamrih, rame ing gawe dan memayu
hayuning bawana.

1. Sikap Batin yang Tepat

Dalam masyarakat Jawa terdapat sebuah ajaran moral yang oleh Magnis
disebut sebagai sikap batin yang tepat yakni sebuah pendirian batin untuk selalu
mengendalikan hawa nafsu dan egoisme (pamrih: mendahulukan kepentingan
pribadi di atas kepentingan umum). Dalam kepustakaan Jawa untuk
menggambarkan tindakan hawa nafsu tersebut dikenal istilah malima yakni
madat, minum, maling, madon dan main. Oleh karena itu, untuk menghindari dua
hal yang sangat berbahaya tersebut masyarakat sering melakukan laku tapa, yakni
suatu upaya untuk mengendalikan diri.

2. Tindakan yang Tepat dalam Dunia

Dari konseps mengenai sikap batin yang tepat muncullah sebuah pandangan
dalam masyarakat Jawa bahwa manusia jangan mengikat diri pada dunia akan
tetapi membebaskan diri dari dunia, namun demikian bukan berarti menarik diri
dari dunia. Dari satu pemahaman tersebut kemudian sampailah pada suatu
ungkapan rame ing gawe, sepi ing pamrih dan memayu hayuning bawana. Yang
dimaksud rame ing gawe yakni kewajiban untuk bekerja keras, sementara sepi ing
pamrih berarti jauh dari sifat-sifat egois. Bila kedua ungkapan tersebut digabung
melahirkan sebuah pengertian bahwa orang Jawa hendaknya selalu bekerja keras
namun juga harus mengindari pamrih (imbalan). Kemudian memayu hayuning
bawana ialah memperindah kehidupan dunia dalam keselarasan kosmos.

3. Tempat yang Tepat

Pengertian tentang tempat yang tepat merupakan satu kesimpulan bahwa ada
beberapa pertimbangan yang harus diindahkan oleh manusia, sebagai konsekuensi
dari pemahaman-pemahaman di atas. Pertimbangan tersebut terkait dengan adat-
istiadat, norma sosial, tata krama (unggah-ungguh) dan tradisi.

4. Pengertian yang Tepat

Pandangan Jawa mengenai sikap batin dan tidakan yang tepat didasari atas
pemahaman tentang tempat yang tepat. Barang siapa yang memahami tempatnya
dalam masyarakat, ia juga memiliki sikap batin yang tepat dan sengan demikian
akan bertindak tepat. Dan sebaliknya, siapa yang membiarkan dirinya dikuasai
oleh nafsu-nafsu dan pamrihnya menunjukkan bahwa ia belum mengerti
tempatnya dalam kosmos. Artinya ia belum memiliki pengertian yang tepat.
Pengertian yang tepat bagi orang Jawa dikenal dengan istilah rasa, harus
dirasakan. Konon dalam rasa realitas yang sebenarnya (kosmos) membuka diri.

5. Etika Wayang

Berdasarkan pemaparan Magnis, wayang merupakan sebuah pagelaran yang sarat


dengan ajaran moral. Ajaran moral yang disampaikan bukan hanya mengenai
keseimbangan antara baik dan jahat melainkan juga tentang pluralitas di
dalamnya. Setiap penokohan dalam wayang sudah memiliki pakem-nya masing-
masing, entah itu sebagai Pandawa maupun Kurawa. Dengan kata lain, Magnis
menjelaskan bahwa masyarakat Jawa selalu membuka diri bukan hanya terhadap
hal-hal yang baik melainkan hal-hal jahat pun memperoleh tempatnya, kedua-
duanya dibutuhkan, setidaknya untuk menjaga stabilitas kosmos.

Bab VI Beberapa Masalah Khusus

Beberapa masalah khusus dalam etika Jawa yang perlu diperhatikan yakni:
1. Keluarga, Keakraban dan Hormat

Pemahaman tentang rame ing gawe dan sepi ing pamrih, bagi orang Jawa sendiri
ternyata dipahami sebagai tuntutan hidup yang membelenggu. Oleh karena itu
diperlukan adanya suatu ruang yang bebas dari tuntutan hidup tersebut, itulah
keluarga. Magnis menambahkan bahwa keluarga merupakan satu-satunya tempat
di mana orang Jawa menjadi dirinya sendiri, aman dan bebas dari segala tuntutan
lahiriah dan batiniah.

2. Tentang Etika Seksual Jawa

Ada tiga hal yang menarik bagi Magnis dalam etika seksual Jawa ini, pertama;
hubungan seksual tidak dipandang sebagai sesuatu yang problemtis secara moral.
Pertimbangan mengenai hubungan seksual di luar perkawinan bukan karena
hubungan seksualnya yang buruk melainkan karena akibat-akibat yang tidak
diinginkan. Kedua; masyarakat Jawa tidak memiliki harapan yang berlebihan di
bidang seksual. Penyelewengan terkait dengan hubungan seksual tidak diartikan
sebagai suatu tindakan jahat melainkan sesuatu yang harus diperbaiki, dengan
kata lain, pengawasan masyarakat harus diperketat. Ketiga; mengenai hal ini
masyarakat Jawa tidak berambisi untuk menegakkan prinsip moral mutlak
melainkan agar ketenangan dan keselarasan masyarakat tetap terjaga.

3. Ilmu Hitam

Bagi masyarakat Jawa keberadaan ilmu hitam sudah menjadi sesuatu yang
lumrah. Aktivitas laku tapa atau semedi merupakan suatu laku batin untuk dapat
menyerap kekuatan-kekuatan kosmis (kekuatan gaib), sementara kekuatan gaib
tersebut dapat dipergunakan untuk tujuan baik maupun tujuan jahat. Namun
demikian, penggunaan kekuatan kosmis tersebut hendaklah tetap harus
memperhatikan sikap batin, tindakan serta pengertian yang tepat sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas.

4. Semar
Semar merupakan salah satu penokohan dalam pagelaran wayang, namun
demikian keberadaan semar ini memiliki filosofi hidup tersendiri, keberadaan
tokoh Semar memiliki koordinat terpenting dalam etika Jawa. Semar merupakan
figur rakyat jelata, sebagai abdi dalem ia bebas dari pamrih dan hidupnya semata-
mata hanya untuk menjalankan darmanya sebagai abdi dalem. Namun dibalik
sosoknya yang sederhana, ia memiliki kesempurnaan etis orang Jawa. Ia hadir
sebagai pelengkap dan sekaligus sosok inti kebatinan masyarakat Jawa.

Bab VII Etika Sebagai Kebijaksanaan Hidup

Sejauh mana etika Jawa bisa dipandang sebagai etika dalam pengertian
yang sebenarnya (barat)? Dalam bab ini kita bisa menyaksikan kepiawaian
Magnis dalam memainkan kata, tentu berdasar analisis kritisnya.

1. Etika dan Aksi

Orang Jawa mengembangkan pengertian etisnya dengan rasa. Dengan kata


lain, rasa merupakan epistem etika Jawa. Etika Jawa merupakan etika pengertian.
Sekali lagi Magnis menyampaikan bahwa etika Jawa bukanlah etika aksi yang
bertujuan terhadap perubahan-perubahan tertentu melainkan suatu proses
pematangan. Etika Jawa ini tidak bisa disandarkan dengan etika Aristotelian, etika
Jawa juga bukan etika passivitas.

2. Kedudukan Keutamaan-keutamaan Moral

Keselarasan dalam etika Jawa memiliki kedudukan istimewa, keselarasan tersebut


ialah membatasi diri dan ketersediaan memenuhi kewajiban (rame ing gawe, sepi
ing pamrih). Sebuah keutamaan yang bersifat formal dan negatif. Dengan kata
lain, etika Jawa tidak menekankan apa yang dituntut melainkan apa yang harus
dicegah.

3. Relativasi Baik dan Buruk

Salah satu ciri etika yang menekankan fungsi kehendak, kata Magnis, ialah
membedakan secara tajam antara yang baik dan yang jahat. Sementara itu berbeda
dengan etika Jawa yang justeru malah memperlukan entitas keduanya. Dalam hal
ini ada dua hal yang menarik perhatian Magnis, yakni pertama; tindakan salah
dalam etika Jawa tidak diartikan sebagai kehendak buruk melainkan karena
kurangnya pengertian (durung ngerti). Kedua; etika Jawa memberi pamahaman
bahwa yang jahat bukanlah sesuatu yang tidak boleh ada. Hal ini dipertegas
dengan sebuah pemahaman bahwa tindakan yang tepat selalu relatif terhadap
tempat dan keadaan.

4. Moral dan Estetika

Tolok ukur yang dipakai orang Jawa untuk memahami perilaku etisnya dengan
kategori halus-kasar. Hal tersebut sangat beralasan bahwa kehalusan merupakan
hakikat dari realitas kosmis yang berada di balik alam lahiriah.

5. Etika Kebijaksanaan

Tuntutan dasar etika Jawa terletak pada penyesuaian diri terhadap lingkungan
serta memenuhi kewajiban-kewajiban yang berlaku. Kategorisasi dalam etika
Jawa bukanlah antara yang baik dan jahat melainkan antara yang bijaksana dan
yang bodoh. Siapa yang tidak memenuhi tuntutan etika Jawa dianggap sebagai
yang bodoh, bukan jahat.

Bab VIII Etika Jawa dan Relativisme

Di sini, secara argumentatif Magnis berusaha mencari benang merah antara etika
Jawa dan etika barat. Sampai kemudian ia menyimpulkan bahwa etika Jawa
merupakan etika kebijaksanaan sementara etika barat merupakan etika kewajiban.
Hal tersebut ditujang oleh beberapa pengertia.

1. Perbedaan antara Etika Jawa dan Etika Barat

Perbedaan antara keduanya terletak pada pertama; prinsip-prinsip keselarasan.


Kedua; etika kebijaksanaan mengenal kewajiban melainkan tidak dalam
pengertian kategoris. Ketiga; penekanan dalam etika kebijaksanaan ialah tindakan
yang bijaksana bukan tekanan batin.
2. Relativisme Etis?

Akhirnya Magnis menyimpulkan bahwa etika Jawa dan etika barat harus
dipahami dalam wilayahnya masing-masing karena keduanya berangkat dari
pemahaman yang berbeda mengenai kosmis.

3. Tahap-tahap Perkembangan Kesadaran Masyarakat Moral Masyarakat?

Di sini, Magnis berusaha untuk menjelaskan etika Jawa ditinjau dari kategrisasi
Lowrence Kohlberg. Tapi kemudian ia juga mengkritisi sejauh mana pendapat
Kohlberg memeiliki relevansi terhadap etika Jawa.

4. Sebagai Penutup

TINJAUAN

1. Apresiasi

Franz Magnis-Suseno merupakan seorang peneliti yang sangat serius


dengan pekerjaannya, hal tersebut nampak sekali dalam karya tulis tersebut. Saya
sendiri sendiri sulit membayangkan seberapa besar semangatnya untuk
mendaptkan data-data langka tersebut, apalagi bila mengingat bahwa teks-teks
aslinya tertulis dalam bahasa Jawa klasik sementara ia sendiri bukan orang Jawa,
bahkan bukan orang yang akrab dengan budaya Jawa. Meskipun data-data yang ia
pilih merupakan data-data dari para antropolog namun ia mampu menguraikannya
secara filosofis, tentu karena ia memiliki latar belakang filsafat yang sangat kuat.

Sebagai orang Jawa, saya pribadi merasa sangat terbantu oleh penuturan Magnis
dalam buku tersebut dan tentunya ada banyak hal yang baru saya ketahui setelah
membaca karya tulis tersebut. Dan bahkan sebagai orang luar, pemahamannya
mengenai etika Jawa telah melebihi orang asli Jawa yang tidak memiliki
kesempatan untuk mempelajari hal yang sama. Sebagai peneliti, usahanya untuk
menjaga objektifitas patut diacungi jempol terlebih ketika ia berusaha
menyandingkan antara etika Jawa dan etika Barat.
Sebagai bentuk kehati-hatiannya, ia tidak serta-merta menghakimi bahwa
etika Jawa begini sementara etika barat begitu. Melainkan ia berusaha untuk
mencari titik temu di mana letak persamaan dan perbedaan keduanya.

2. Tanggapan Kritis

Namun demikaian, menurut hemat kami, Magnis belum sepenuhnya


menjelaskan apa dan bagaimana etika Jawa. Hal ini terlihat ketika ia mencoba
memberi batasan mengenai apa yang dimaksud dengan Jawa. Dalam penelitian
ini, ia belum menjelaskan etik Jawa yang mana padahal etika Jawa memiliki
banyak versinya. Bila kita berpegang bahwa bahasa menunjukkan budaya, kita
bisa melihat ada berapa versi bahasa yang berlaku di Jawa dan setiap bahasa tentu
memiliki pengertian yang berbeda mengenai budaya maupun etikanya.

Dalam penulisannya, tampaknya Magnis juga mengalami sedikit kekacauan.


Misalnya ketika membahas tentang Wayang dan Semar misalnya, dua hal tersebut
merupakan sesuatu yang tak bisa dipisahkan akan tetapi ia membahasnya dalam
bab yang berbeda yang akhirnya adanya hubungan di antara keduanya menjadi
tidak nyambung. Nampak sekali Magnis pun begitu berpedoman pada hasil
penelitian Clifford Geertz, terutana dalam penjelasannya mengenai struktur sosial
masyarakat Jawa. Padahal sebagaimana kita maklumi tesis Geertz tersebut masih
menjadi polemik yang tak berkesudahan. Dalam aspek kesejarahan, penjelasan
Magnis tidak begitu memukau.

Ia juga tidak menjelaskan secara lebih jauh mengnai asal-muasal (sejarah)


mengenai ritual tertentu yang berlaku bagi masyarakat Jawa. Ia hanya berusaha
menarik sisi filosofis dari data-data yang ia jumpai dalam penelitiannya. Tentu
secara teknis, ada beberapa istilah yang pemahamannya kurang sesuai atau kurang
lengkap, atau bahkan terkesan dicampur-adukkan. Kalau diibaratkan dengan
orang melihat rumah, Magnis baru sampai di pelataran rumah dan belum sempat
melihat ke dalam. Hal ini nampak dalam pemaparannya yang terkesan deskriptif
dan tidak menyentuh dengan apa yang disebut rasa. Kekeliruan fatal ialah ketika
laku tapa yang sangat terkait dengan rasa hanya dijelaskan deskriptif-filosofis
padahal kita tahu bahwa alam kebatinan Jawa bukanlah sesuatu yang dengan
mudah dapat dijelaskan dengan kata-kata. Ada satu ungkapan bahwa kita baru
bisa tahu apa itu laku, tentu bila kita nglakoni.

3. Kesimpulan

Secara umum hasil karya tersebut patut dipertimbangkan, tentu karena ia memiliki
banyak data-data yang tidak dimiliki oleh peneliti lain. Meski kemudian, ada
beberapa hal yang masih perlu dikritisi. []

Anda mungkin juga menyukai