Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah
mata kuliah Akuntansi Syariah dengan tema Istishna dan Salam . Kemudian shalawat
serta salam kita sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman
hidup untuk keselamatan umat di dunia.

Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Akuntnasi Syariah di Program
Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Makalah ini dibuat untuk menambah wawasan serta pengetahuan Pembaca tentang Akad
Syariah khususnya Istishna dan Salam. Selanjutnya Penulis mengucapkan terima kasih
kepada dosen pembimbing mata kuliah ini yang telah mendukung penulisan makalah ini.

Akhirnya Penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan dalam penulisan


makalah ini, maka dari itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari Para
Pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Sidoarjo, 20 Mei 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ 1

DAFTAR ISI........................................................................................................................... 2

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................................... 3

A. Latar Belakang ............................................................................................................. 3


B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 3
C. Tujuan .......................................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................ 4

A. Pengertian Istishna ...................................................................................................... 4


B. Dasar Hukum Istishna ................................................................................................. 5
C. Syarat & Rukun Istishna ............................................................................................. 5
D. Pengakuan, Pengukuran dan Penyajian Istishna ......................................................... 7
E. Contoh Kasus .............................................................................................................. 8
F. Pengertian Salam ........................................................................................................ 9
G. Dasar Hukum Salam ................................................................................................... 9
H. Rukun dan Syarat Salam ........................................................................................... 10
I. Piutang Salam ...........................................................................................................12
J. Menentukan Waktu Penyerahan Barang ...................................................................13
K. Contoh Kasus Salam .................................................................................................13

BAB 3 PENUTUP ................................................................................................................14

A. Kesimpulan ...............................................................................................................14
B. Saran ......................................................................................................................... 14

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perdagangan merupakan salah satu pekerjaan yang paling banyak kita temui di
muka bumi ini, mulai dari zaman Nabi Muhammad SAW hingga sekarang, kebanyakan
dari masyarakat memilih untuk berdagang. Nabi Muhammad SAW sendiri berprofesi
sebagai pedagang sehingga dapat meraih kesuksesan dengan prinsip kejujurannya
dalam berdagang serta selalu berpedoman pada syariat-syariat islam.

Terutama masyarakat Indonesia yang mayoritas berprofesi sebagai pedagang.


Sayangnya, tak banyak dari mereka yang dapat menerapkan syariat-syariat islam dalam
melakukan perdagangan. Sebagian besar dari mereka hanya memiliki tujuan yaitu
mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa melihat apakah akad dan aktivitas yang
mereka lakukan sudah sesuai atau belum dengan syariat islam.

Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang adanya syariat islam yang dapat


dijadikan pedoman dalam berdagang merupakan salah satu faktor terjadinya
penyimpangan dalam berdagang. Salah satu contoh yaitu penjual buah, pada buah yang
sudah di kemas dalam satu wadah (keranjang) terkadang banyak pedagang yang
melakukan kecurangan, seperti mencampur buah yang belum masak, bahkan ada yang
mencampurnya dengan buah yang sudah terlalu masak (busuk). Hal hal demikian
yang seharusnya tidak boleh terjadi dalam islam. Pada kesempatan ini, penulis ingin
memaparkan dua akad jual beli yaitu Istishna dan Salam. Sehingga para pembaca
khususnya penulis juga dapat sama-sama memahami akad jual beli Istishna dan Salam
sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa Pengertian Akad Istishna dan Salam ?

2. Apa saja Rukun serta Syarat Akad Istishna dan Salam ?

3. Bagaimana teknis penerapan Akad Istishna dan Salam ?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui pengertian Akad Istishna dan Salam.

2. Untuk mengetahui syarat dan rukun Akad Istishna dan Salam.

3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan Akad Istishna dan Salam.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ISTISHNA

Al-Istishna adalah akad jual beli pesanan antara pihak


produsen/pengrajin/penerima pesanan (shani) dengan pemesan (mustashni) untuk
membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu) sesuai spesifiksi
yang disyaratkan oleh pembeli/pemesan (mustashni) dan menjualnya dengan harga
yang disepakati. Cara pembayarannya dapat berupa pembayaran di muka, cicilan atau
dapat ditangguhkan dalam jangka waktu tertentu dan umumnya cara pembayaran akad
istishna dilakukan dengan cicilan. Ketentuan harga barang tidak dapat berubah selama
jangka waktu akad.

Begitu akad disepakati, maka akan mengikat para pihak yang bersepakat dan pada
dasarnya tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi kondisi :

1. Kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya, atau

2. Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi
pelaksanaan atau penyelesaian akad.

Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari penjual atas :

1. Jumlah yang telah dibayarkan, dan

2. Penyerahan barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepat waktu.

Dalam PSAK 104 dijelaskan barang pesanan harus memenuhi kriteria :

1. Memerlukan proses pembuatan etelah akad disepakatai,

2. Seuai dengan spesifikasi pemesan (customized), bukan produk massal,

3. Harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi jenis, spesifikasi


teknis, kualitas dan kuantitasnya.

Ada 2 jenis akad Istishna :

1. Istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanaan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan
(pembeli atau mustashni) dan penjual (pembuat atau shani).

2. Istishna Pararel adalah suatu bentuk akad istishna antara penjual dan pemesan,
dimana untuk memenuhi kewajiban kepada pemesan, penjual melakukan akad
istishna dengan pihak lain (subkontraktor) yang dapat memenuhi syarat barang
yang telah dipesan.

4
B. DASAR HUKUM ISTISHNA

1. Al Quran

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Qs Al


Baqarah:275). Berdasarkan ayat ini, hukum asal setiap perniagaan adalah halal,
kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam setiap dalil yang kuat dan shahih.

2. Al Hadis

Dari Anas RA bahwa Nabi Muhammad SAW hendak menuliskan surat


kepada raja non-arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-arab
tidak sudi menerima surat yang tidak di stempel. Maka beliau pun memesan agar
ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas mengisahkan : Seakan-akan
sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau. (HR
Muslim). Dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW juga
pernah melakukan jual beli dengan memesan barang sesuai kriteria yang
diinginkan.

C. RUKUN & SYARAT ISTISHNA

Akad Istishna memiliki memiliki 3 rukun yang harus terpenuhi agar akad itu
benar-benar terjadi yaitu :

1. Kedua belah pihak, maksudhnya adalah pihak pemesan yang diistilahkan dengan
mustashni sebagai Pihak Pertama. Pihak Kedua adalah pihak yang dimintakan
kepadanya pengadaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan
dengan sebutan shani.

2. Barang yang diakadkan, adalah rukun yang kedua dalam akad ini. Sehingga yang
menjadi obyek dari akad ini semata-mata adalah bendaatau barang-barang yang
harus diadakan. Demikian menurut umumnya pendapat kalangan mazhab Al-
Hanafi. Namun menurut sebagian kalangan mazhab Hanafi, akadnya bukan atas
suatu barang, namun akadnya adalah akad yang mewajibkan pihak kedua untuk
mengerjakan sesuatu sesuai pesanan. Menurut yang kedua ini, yang disepakati
adalah jasa bukan barang.

3. Ijab Qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang
meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan
tertentu. Dan Qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan
persetujuannya atas kewajiban dan haknya itu.

Syarat Istishna yaitu :

1. Pihak yang berakal, cakap hukum dan mempunyai kekuasaan untuk


melaksanakan jual beli.

5
2. Ridha atau kerelaan kedua belah pihak dan tidak ingkar janji.

3. Menyatakan kesanggupan untuk mengadakan atau membuat barang itu.

4. Mashnu (barang/obyek pesanan) mempunyai kriteria yang jelas seperti jenis,


ukuran (tipe), mutu dan jumlahnya.

5. Barang tersebut tidak termasuk dalam kategori yang dilarang syara (najis, haram,
tidak jelas) atau menimbulkan kemudharatan (menimbulkan maksiat).

Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang Jual Beli Istishna


sebagaimana tercantum dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional nomor
06/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 04 April 2000, sebagai berikut :

1. Ketentuan tentang Pembayaran

a. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang, atau manfaat.

b. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.

c. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

2. Ketentuan tentang Barang

a. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.

b. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.

c. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan


kesepakatan.

d. Pembeli (mustashni) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.0

e. Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai


kesepakatan.

f. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau
membatalkan akad.

3. Ketentuan lain

a. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya


mengikat.

b. Jika salah satu pihak tidak meunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan antara kedua belah pihak maka penyelesaiannya dilakukan
melalui badan abitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.

6
4. Berakhirnya Akad Istishna

a. Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak.

b. Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kontrak.

c. Pembatalan hukum kontrak ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk
mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan masing-
masing pihak bisa menuntut pembatalannya.

D. PENGAKUAN, PENGUKURAN DAN PENYAJIAN ISTISHNA

1. Bank sebagai Produsen/Penjual

a. Pengakuan dan Pengukuran biaya istishna adalah sebagai berikut :

- Biaya istishna terdiri dari :

Biaya Langsung, terutama barang untuk menghasilkan pesanan.


Biaya Tidak Langsung, yang berhubungan dengan akad
(termasuk biaya pra akad) yang di alokasikan secara objektif.
- Beban umum dan administrasi, beban penjualan, serta biaya riset dan
pengembangan tidak termasuk dalam biaya istishna.
- Biaya pra-akad diakui sebagai biaya ditangguhkan dan
diperhitungkan sebagai biaya istishna bila akad ditandatangani , tetapi
jika akad tidak ditandatangani maka beban tersebut dibebankan pada
periode berjalan.
- Biaya istishna yang terjadi selama periode laporan keuangan, diakui
sebagai aktiva istishna dalam penyelesaian pada saat terjadinya.

b. Pengakuan dan Pengukuran biaya istishna pararel adalah sebagai berikut :

- Biaya istishna pararel terdiri dari :

Biaya perolehan barang pesanan sebesar tagihan subkontraktor


kepada Bank.
Biaya Tidak Langsung, yang berhubungan dengan akad
(termasuk biaya pra akad) yang di lakukan secara objektif.
Semua biaya akibat subkontraktor tidak dapat memenuhi
kewajibannya, jika ada.
- Biaya istishna pararel diakui sebagai aktiva istishna dalam
penyelesaiannya pada saat diterimanya tagihan dari subkontraktor
sebesar jumlah tagihan.
- Tagihan setiap termin dari Bank kepada pembeli akhir diakui sebagai
piutang istishna dan sebagai terimaistishna (istishna billig) pada pos
pelayanan.

7
2. Bank sebagai Pembeli :
a. Bank mengakui aktiva istishna dalam penyelesaian sebesar jumlah termin
yang ditagih oleh penjual dan sekaligus mengakui hutang istishna kepada
penjual.
b. Apabila barang pesanan terlambat diserahkan karena kelalaian atau
kesalahan penjual dan mengakibatkan kerugian bank, maka kerugian itu
dikurangkan dari garansi penyelesaian proyek yang telah diserahkan
penjual. Apabila kerugian melebihi garansi penyelesaian proyek, maka
selisihnya akan diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada subkontraktor.
c. Jika Bank menolak barang pesanan karena tidak sesuai spesifikasi dan tidak
dapat memperoleh kembali seluruh jumlah yang telah dibayarkan kepada
subkontraktor, maka jumlah yang belum diperoleh kembali diakui sebagai
piutang jatuh tempo kepada subkontraktor.
d. Jika Bank menerima barang pesanan yang tidak sesuai dengan spesifikasi,
maka barang pesanan tersebut diukur dengan nilai yang lebih rendah antara
nilai wajar dan biaya perolehan. Selisih yang terjadi diakui sebagai kerugian
pada periode berjalan.
e. Dalam istishna pararel, jika pembeli akhir menolak barang pesanan karena
tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati, maka barang pesanan
diukur dengan nilai yang lebih rendah antara nilai wajar dan harga pokok
istishna. Selisih yang terjadi diakui sebagai kerugian pada periode berjalan.

E. CONTOH KASUS

CV. Selayang Pandang yang bergerak dalam bidang pembuatan dan penjualan sepatu
memperoleh order untuk membuat sepatu anak sekolah SMU senilai Rp. 60.000.000,-
dan mengajukan permodalan kepada Bank Syariah Plaju. Harga per pasang sepatu yang
diajukan adalah Rp. 85.000,- dan pembayarannya diangsur selama tiga bulan. Harga per
pasang sepatu di pasaran sekitar Rp. 90.000,-. Dalam hal ini Bank Syariah Plaju tidak
tahu berapa biaya pokok produksi. CV. Selayang Pandang hanya memberikan
keuntungan Rp. 5000,- perpasang atau keuntungan keseluruhan adalah Rp. 3.529.412,-
yang diperoleh dari hitungan

(Rp. 60.000.000 : Rp. 85.000) x Rp. 5000,- = Rp. 3.529.412

Bank Syariah Plaju dapat menawar harga yang diajukan CV. Selayang Pandang dengan
harga yang lebih murah , sehingga dapat dijual kepada masyarakat dengan harga yang
lebih murah pula. Katakanlah, misalnya Bank Syariah Plaju menawar harga
Rp. 86.000,- sehingga masih untung Rp. 4000,- per pasang dengan keuntungan
keseluruhan adalah

(Rp. 60.000.000 : Rp. 86.000,-) x Rp. 4000,- = Rp. 2.790.698,-

8
F. PENGERTIAN SALAM

Secara bahasa, salam ( )adalah al-i'tha' ( )dan at-taslif ().


Keduanya bermakna pemberian. Ungkapan aslama ats tsauba lil al-
khayyath bermakna: dia telah menyerahkan baju kepada penjahit.
Sedangkan secara istilah syariah, akad salam didefinisikan oleh para fuqaha
secara umumnya: () . Jual-beli barang yang disebutkan
sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Penduduk Hijaz mengungkapkan akad pemesanan barang dengan istilah salam,
sedangkan penduduk Irak menyebutnya Salaf.
Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan
atau memberi uang didepan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian/ untuk waktu
yang ditentukan. Menurut ulama syafiiyyah akad salam boleh ditangguhkan hingga
waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai.
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan
pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atau
forward buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal
dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.
Fuqaha menamakan jual beli ini dengan penjualan Butuh (Bai Al-
Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak ada, dan didorong oleh
adanya kebutuhan mendesak pada masing-masing penjual dan pembeli. Pemilik modal
membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh kepada uang
dari harga barang. Berdasarkan ketentuan-ketentuannya, penjual bisa mendapatkan
pembiayaan terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut benar-benar tersedia.

G. DASAR HUKUM SALAM


Landasan syariah transaksi bai as-Salam terdapat dalam al-Quran dan al-Hadist.
a. Al-Quran
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalahtidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya (QS. Al-
Baqarah : 282)
Dan utang secara umum meliputi utang-piutang dalam jual beli salam,dan
utang-piutang dalam jual beli lainnya. Ibnu Abbas telah menafsirkan tentang
utang-piutang dalam jual beli salam.
Dalam kaitan ayat di atas Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut
dengan transaksi bai as-Salam, hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau: Saya
bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah
dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya. Ia lalu membaca ayat
tersebut.

b. Al-Hadist
, : - -


,
( : ,

: . )
,

9
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang
ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa
setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa
meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam
takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut
riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."
( : -
-



,




: ? : .
- : -


)

Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu
berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri
pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu
riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada orang bertanya: Apakah
mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan
hal itu kepada mereka. (HR. Bukhari).
Abdullah bin Abu Mujalid r.a. berkata, Abdullah bin Syadad bin Haad
pernah berbeda pendapat dengan Abu Burdah tentang salaf. Lalu mereka utus
saya kepada Ibnu Abi Aufa.Lantas saya tanyakan kepadabya perihal
iti.Jawabnya.Sesungguhnya pada masa Rasulullah Saw., pada masa Abu Bakar,
pada masa Umar, kami pernah mensalafkan gandum, syair, buah anggur, dan
kurma. Dan saya pernah pula bertanya kepada Ibnu Abza, jawabnya pun seperti
itu juga.(Bukhari).

c. Ijma
Mengutip dari perkataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa, semua
ahli ilmu (ulama) telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena
terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia.
Dari berbagai landasan di atas, jelaslah bahwa akad salamdiperbolehkan
sebagai kegiatan bemuamalah sesama manusia.

H. RUKUN DAN SYARAT SALAM


a. Muqidain: Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan
barang. Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.
Cakap bertindak hukum ( baligh dan berakal sehat).
Muhtar ( tidak dibawah tekanan/paksaan).
b. Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
Jelas dan terukur
Disetujui kedua pihak
Diserahkan tunai/cash ketika akad berlangsung
c. Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan (obyek transaksi)
10
Dinyatakan jelas jenisnya
Jelas sifat-sifatnya
Jelas ukurannya
Jelas batas waktunya
Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas
d. Shigat adalah ijab dan qabul.
Harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal
yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.

Para imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam adalah benar
dengan enam syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui,
banyaknya barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui
kadar uangnya, jelas tempat penyerahannya.

Namun Imam Syafii menambahkan bahwa akad salam yang sah harus
memenui syarat iniqad, syarat sah, dan syarat muslam fiih.
1) Syarat-syarat Iniqad
a. Pertama, menyatakan shigat ijab dan qabul, dengan sighat yang telah
disebutkan.
b. Kedua, pihak yang mengadakan akad cakap dalam membelanjakan harta.
Artinya dia telah baligh dan berakal karena jual beli salam merupakan
transaksi harta benda, yang hanya sah dilakukan oleh orang yang cakap
membelanjakan harta, sepertihalnya akad jual beli.
2) Syarat Sah Salam
a. Pertama, pembayaran dilakukan di majelis akad sebelum akad disepakati,
mengingat kesepakatan dua pihak sama dengan perpisahan. Alasannya,
andaikan pembayaran salam ditangguhkan,terjadilah transaksi yang mirip
dengan jual beli utang dan piutang, jikaharga berada dalam tanggungan.
Disamping itu akad salam mengandung gharar.
b. Kedua, pihak pemesan secara khusus berhak menentukan tempat
penyerahan barang pesanan, jika dia membayar ongkos kirim barang. Jika
tidak maka pemesan tidak berhak menentukan tempat penyerahan. Apabila
penerima pesanan harus menyerahkan barang itu di suatu tempat yang tidak
layak dijadikan sebagai tempat penyerahan. misalnya gurun sahara,,
atau layak dijadikan tempat penyerahan barang tetapi perlu biaya
pengangkutan, akad salam hukumnya tidak sah.

3) Syarat Muslam Fiih (barang pesanan)


Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam barang pesanan, yaitu sebagai
berikut:
a. Pertama, barang pesanan harus jelas jenis, bentuk, kadar, dan sifatnya. Ia
dapat diukur dengan karakteristik tertentu yang membedakannya dengan
barang lain dan tentu mempunyai fungsi yang berbeda pula seperti beras
tipe 101, gandum,jagung putih, jagung kuning dan jenis barang lainnya.
Barang seperti lukisan berharga dan barang-barang langka tidak dapat
11
dijadikan barang jual beli salam. Penyebutan karakteristik tersebut sangat
perlu dilakukan untuk menghindari ketidakjelasan barang pesanan.
b. Kedua, barang pesanan dapat diketahui kadarnya baik berdasarkan takaran,
timbangan, hitungan perbiji, atau ukuran panjang dengan satuan yang dapat
diketahui. Disyaratkan menggunakan timbangan dalam pemesanan buah-
buahan yang tidak dapat diukur dengan takaran.
Abdullah ibn Masud melarang adanya kontrak salam pada binatang.
Tetapi Abdullah ibn Umar membolehkannya jika pembayaran ditentukan
pada waktu yang telah disepakati. Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat
terus mengizinkan praktek penjualan di muka.
c. Ketiga, barang pesanan harus berupa utang (sesuatu yang menjadi
tanggungan).
d. Keempat, barang pesanan dapat diserahkan begitu jatuh tempo penyerahan.
Barang yang sulit diserahkan tidak boleh diperjual belikan, karena itu
dilarang alam akad salam.

I. PIUTANG SALAM
Hal-hal lain yang terkait dengan transaksi salam dapat diuraikan sebagai berikut:
Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam sesuai dengan Fatwa No.05/1 DSN-MUI/IV/2000
Tanggal 1 April 2000.
a) Ketentuan Pembayaran Uang Kas:
Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang, atau manfaat;
Dilakukan saat kontrak disepakati (inadvance); dan
Pembayaran tidak boleh dalam bentuk ibra (pembebasan utang). contoh
pembeli mengatakan kepada petani (penjual) Saya beli padi Anda
sebanyak 1 ton dengan harga Rp 10 juta yang pembayarannya/uangnya
adalah Anda saya bebaskan membayar utang Anda yang dahulu (sebesar Rp
2 juta). Pada kasus ini petani memang memiliki utang yang belum terbayar
kepada pembeli, sebelum terjadinya akad salam tersebut.
b) Ketentuan Barang:
Harus jelas ciri-cirinya/spesifikasi dan dapat diakui sebagai utang;
Penyerahan dilakukan kemudian;
Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan ber- dasarkan
kesepakatan;
Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum barang tersebut diterimanya
(qabadh). Ini prinsip dasar jual beli; dan
Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
c) Penyerahan Barang sebelum Tepat Waktu:
Penjual wajib menyerahkan barang tepat waktu dengan kualitas dan
kuantitas yang disepakati;
Bila penjual menyerahkan barang, dengan kualitas yang lebih tinggi,
penjual tidak boleh meminta tambahan harga;

12
Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas lebih rendah, dan
pembeli rela menerimanya, maka pembeli tidak boleh meminta
pengurangan harga (diskon); dan
Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati
dengan syarat: kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan
tidak boleh menuntut tambahan harga.

Jika semua/sebagian barang tidak tersedia tepat pada waktu penyerahan atau
kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka pembeli memiliki
dua pilihan:
1. Membatalkan kontrak dan meminta kembali uang.
2. Menunggu sampai barang tersedia.
Pembatalan kontrak boleh dilakukan selama tidak merugikan kedua belah pihak,
dan jika terjadi di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui
pengadilan agama sesuai dengan UU No. 3/2006 setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah. Para pihak dapat juga memilih BASYARNAS (Badan Arbitrase
Syariah Nasional) dalam penyelesaian sengketa.Tetapi jika lembaga ini yang dipilih
dan disepakati sejak awal, maka tertutuplah peranan pengadilan agama.

J. MENENTUKAN WAKTU PENYERAHAN BARANG


Tentang periode minimum pengiriman, para fuqaha memiliki pendapat berikut:
a. Hanafi menetapkan periode penyerahan barang pada satu bulan. Untuk beberapa
penundaan,selambat-lambatnya adalah tiga hari. Tapi, jika penjual meninggal
dunia sebelum penundaan berlalu, salam mencapai kematangan. Dalam
Ketentuan Umum tentang Akad, pasal 89 menyebutkan Jika penjual meninggal
dan jatuh pailit setelah menerima pembayaran tetapibelum menyerahkan barang
yang dijual kepada pembeli,barang tersebut dianggap barang titipan kepunyaan
pembeli yang ada di tangan penjual.
b. Menurut Syafii salam dapat segera dan tertunda.
c. Menurut Malik, penundaan tidak boleh kurang dari 15 hari.

K. CONTOH KASUS SALAM

Seorang petani memiliki 2 hektar sawah mengajukan pembiayaan ke bank sebesar


Rp 5.000.000,00. Penghasilan yang didapat dari sawah biasanya berjumlah 4 ton dan
beras dijual dengan harga Rp 2.000,00 per kg. ia akan menyerahkan beras 3 bulan lagi.
Bagaimana perhitungannya?
Bank akan mendapatkan beras Rp 5juta dibagi Rp 2.000,00 per kg = 2.5 ton.
Setelah melalui negoisasi bank menjual kembali pada pihak ke 3 dengan harga Rp
2.400,00 per kg yang berarti total dana yang kembali sebesar Rp 6juta. Sehingga bank
mendapat keungtungan 20%.

13
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Perbandingan Antara as- Salam dan al-Istishna

Subyek Salam Istishna Keterangan


Pokok Muslam Mashnu Barang ditangguhkan dengan
Kontrak Fih spesifikasi
Harga Dibayar Bisa di awal, Cara penyelesaian pembayaran
tunai saat tangguh, dan merupakan perbedaan utama
kontrak akhir antara salam dan istishna
Sifat Mengikat Mengikat Salam mengikat semua pihak
Kontrak secara asli secara ikutan sejak semula, sedangkan
ishtisna menjadi pengikat untuk
melindungi produsen sehigga
tidak ditinggalkan begitu saja
oleh konsumen secara tidak
bertanggung jawab.

B. SARAN
Dalam makalah ini penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dan semoga bisa menambah wawasan pembaca. Di sini penulis juga minta maaf
kepada pembaca jika ada kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini atau
ada persepsi yang berbeda dari pembaca, kami harap untuk dapat dimaklumi.

14

Anda mungkin juga menyukai