Anda di halaman 1dari 28

PSIKOLOGI SOSIAL

CONFORMITY

INTAN PRILA 100 500 14 189

KEMAL ADITYAWARMAN 100 500 14 196

PUTRI AYU KURNIASIH 100 500 14 197

SHARFINA MAHJATI HUSNA 100 500 14 200


CONFORMITY

Dalam bab ini kita akan mencoba untuk memastikan bahwa pengaruh sosial berlangsung
secara otomatis. Kemudian kita meninjau tiga proses:
1. Mempertimbangakan alasan mengapa seseorang menunjukkan/memperagakan
penyesuaian terhadap norma kelompok.
2. Menggambarkan/mendeskripsikan strategi yang digunakan untuk mendapatkan
pemenuhan (kebutuhan) dengan permohonan secara langsung.
3. Menganalsis penyebab dan dampak dari kepatuhan kita terhadap otoritas.
Bab ini meliputi diskusi dari kesatuan pengaruh sosial.

Pada Kamis malam 11 Juni 2009, beratus pasang orang yang tidak saling mengenal muncul
di Alun-Alun San Francisco. Tepatnya pada pukul 6 pagi mengantarkan sekelompok orang
tersebut untuk secara mendadak mengumandangkan lagu the Beatles yang berjudul With a
Little Help from My Friends. Seminggu sebelumnya di York, Inggris, bulu-bulu
berterbangan keluar dari musium terkenal Yorkshire dan Gardenia ketika pengguna facebok
muncul dengan bantal di tangan untuk digunakan sebagai senjata dalam penrang bantal yang
berlangsung selama lima menit. Dalam kasus lain, para partisipan telah menerima
perintah/instruksi dari internet untuk berkumpul dengan sukarela pada waktu dan tempat
yang telah ditentukan, mereka mempertunjukkan aksi yang konyol namun berbahaya, dan
lenyap seketika, menggambarkan kekuatan virus internet untuk disajikan sebagai media yang
dapat memberikan pengaruh sosial. Contoh lainnya, sebuah flash mobs telah dibentuk
beberapa tahun belakangan di New York, Roma, Paris, Amsterdam, Berlin, Oslo, Melbourne,
Budapest, Boston, Chicago, Los Angeles, Denver, Houston, dan kota lainnya.

Terkadang pengaruh sosial yang menggerakkan kita tidak bersifat menghibur dan lucu sama
sekali tetapi malah bersifat bahaya bagi kesehatan kita, seperti kejadian aneh yang muncul di
sebuah sekolah menengah atas di Tennessee. Dimulai ketika seorang ibu guru
memberitahukan tercium bau gas di kelasnya dan kemudian turun dengan rasa sakit kepala,
mual, napas terengah-engah, dan pusing. Berita tersebut menyebar, beberapa orang lainnya
kemudian melaporkan gejala-gejala yang sama dan sekolah akhirnya dievakuasi. Delapan
siswa dan beberapa staf sekolah dibawa ke ruang gawat darurat. Tidak ada kejanggalan yang
muncul dalam pemeriksaan darah, pemeriksaan urin, dan prosedur medis lainnya, serta tidak
terdapat gas, pestisida, dan racun lainnya terdeteksi. Apa yang diselidiki berbanding terbalik
dengan kejadian sebenarnya. Siswa yang melaporkan bahwa ia merasa sakit pada hari itu
sepertinya melihat seseorang dengan gejala tersebut, atau mendengar cerita seseorang dengan
gejala tersebut, atau mengetahui dari teman sekelas yang merasakan sakit. Penemuan tersebut
dilaporkan sebuah jurnal New England Journal Medicine, peneliti menyimpulkan bahwa
permasalahan terletak pada produk yang disebut sebagai penyakit psikogenik masal.
Sebuah penemuan besar, sejenis penyakit sosial yang mudah menular.

Flash mobs dan penyakit di sebuah sekolah di Tennessee membongkar kekuatan dari
pengaruh sosial. Akibat yang seseorang rasakan dari orang lain dapat dilihat sebagai kejadian
biasa dari manusia. Jadi, itulah mengapa para penggemar olahraga dapat menyebarkan
gelombang ke seluruh stadiun atau menyanyikan lagu penuh dukungan secara serempak
dalam sebuah acara spektakuler. Produser TV menyelipkan rekaman suara tertawaan kedalam
siaran untuk meningkatkan sikap responsif penonton. Para politikus mengumumkan hasil
pemililihan yang membumbung dan opini publik yang menyenangkan dari pemilihan tersebut
yang ternyata mereka buat-buat sendiri untuk menarik pemilih lainnya,. Para bartender dan
pelayan menaruh uang mereka di bejana uang tips secara diam-diam sebagai cara untuk
membuat pelanggan mengikuti aksi tersebut. Seperti mereka bilang monyet melihat, monyet
melakukan.

Anda tidak perlu menjadi seorang psikolog untuk mengetahui bahwa perilaku seseorang
terpengaruh oleh perilaku orang lain. pertanyaan yang lebih menggelitik adalah bagaimana
dan dengan pengaruh apa? Istilah pengaruh sosial ditujukan pada cara seseorang terpengaruh
dengan kenyataan dan membayangkan tekanan dari pihak lain. pengaruh semacam itu
dimaksudkan untuk membawa/membuat individu berbeda dari yang sebelumnya/berubah.
Dalam bab ini kita bisa melihat bahwa pengaruh sosial berlangsung serta-merta/otomatis
tanpa dipikirkan/disadari, kemudian kita menetapkan tiga bentuk pengaruh dalam beragam
tingkatan dalam menggunakan tekanan terhadap individu, yaitu conformity (penyesuaian),
compliance (kerelaan), dan obedience (kepatuhan). Seperti diilustrasikan dalam gambar 7.1

Penyesuaian, kerelaan, dan kepatuhan tidaklah berbeda, namun secara kualitatif jenis
pengaruhnya berbeda. Dalam tiga kasus tersebut, pengaruh tersebut dapat berasal dari
seseorang, suatu kelompok, atau sebuah lembaga. Dalam seluruh lembaga, perilaku tertentu
dapat bersifat membangun (membantu diri sendiri dan orang lain), merusak (menyakiti diri
sendiri atau orang lain), atau netral (tak berpengaruh apapun). Ini penting untuk dicatat, sekali
lagi bahwa pengaruh sosial bervariasi/beragam dalam titik yang berhubungan dengan
rangkaian kesatuan menurut tingkatan tekanan yang digunakan terhadap individu. Dan juga
penting untuk diingat bahwa kita selalu mengalah di bawah tekanan. Seseorang dapat
menyesuaikan atau mempertahankan independensi/kemerdekaan/kebebasan mereka terhadap
orang lain, mereka bisa langsung tunduk dengan perintah atau bereaksi dengan ketegasan,
atau mereka dapat mematuhi perintah pemerintah/otoritas/penguasa atau melawan kekuasaan
orang lain dalam bentuk tentangan/tantangan. Dalam bab ini kita akan memastikan faktor-
faktor yang membimbing orang untuk tunduk atau menahan pengaruh sosial.
Pengaruh Sosial Berlangsung Otomatis

Sebelum kita memastikan bentuk tegas dari pengaruh sosial yang diilustrasikan dalam
gambar 7.1, darimana pilihan individu apakah ya atau tidak berasal? penting untuk
dicatat, sebagai hewan sosial manusia mudah diserang atau dikritik oleh kelompok sosial
secara halus/tak kentara, hampir tak disengaja - sama seperti pengaruh. Tanpa menyadarinya,
kita sering menguap lebar-lebar ketika kita melihat orang lain menguap. Tertawa keras ketika
mendengar orang lain tertawa, dan meringis ketika kita melihat orang lain kesakitan. Pada
contoh awal, Stanley Milgram dkk (1969) telah melakukan penelitian dengan menggunakan
orang-orang yang bersekongkol untuk berhenti di jalanan New York yang sibuk,
memandangi, dan melongo/menganga pada sebuah jendela di lantai enam bangunan terdekat.
Kamera yang menangkap kejadian tersebut dari belakang jendela mengindikasikan kalau
80% pengguna jalan berhenti dan memandang ke atas ketika mereka melihat orang-orang
hasutan peneliti.

Bentuk imitasi yang belum sempurna telah diamati dari berbagai spesies hewan, seperti
merpati, monyet, hamster, dan ikan.

Bahkan ada bukti-bukti untuk meyakinkan bahwa kebudayaan diteruskan melalui imitasi
dalam kelompok paus, ketika punggung paus menjauh dari pantai Maine menggunakan
pukulan ekornya untuk makan, sebuah teknik dimana mereka membantingkan ekor mereka
kedalam air. Kemudian menyelam dan menghirup udara, membentuk awan gelembung yang
menyelubungi segerombolan ikan mangsa/sasaran. Perilaku rumit ini pertama kali diamati
pada 1981. Pada 1989 dapat dihitung sebanyak 50% dari populasi di area tersebut menirunya.

Apakah kita sungguh-sungguh saling mengimitasi secara otomatis, tanpa berpikir, usaha, atau
konflik? Tampaknya kita melakukannya. Dalam beberapa tahun terakhir, studi kontrol dari
bayi menunjukkan bahwa saat dekat dengan kelahiran, bayi tidak hanya melihat ke arah
wajah tetapi sering kali meniru gerakan sederhana seperti menggerakkan kepala,
mengerutkan bibir, dan menjulurkan lidah. Susan Jones (2007) mempelajari 162 bayi dari 6-
20 bulan, dia menemukan bahwa imitasi berkembang pada angka kecepatan berbeda untuk
tingkah laku berbeda. Menggunakan orang tua sebagai contoh, dia menemukan bahwa bayi
menirukan membuka mulut secara lebar, mengetuk jari mereka ke meja, dan melambaikan
tangan (dadah) sebelum mereka menirukan tepuk tangan, meregangkan jari mereka, atau
menaruh tangan mereka di kepala.

Anda mungkin saja tidak menyadarinya, tapi orang dewasa tidak dengan sadar saling
menirukan satu sama lain selama ini. Untuk mendemonstrasikan/mencontohkan, Tanya
Chartrand dan John Barg (1999) menyusun partisipan untuk bekerja secara berdampingan,
dengan seorang agen yang menunjukkan kebiasaan menggosok wajahnya atau
menggoyangkan kakinya. Kamera tersembunyi mengungkap, tanpa diketahui/disadari,
partisipan meniru perilaku tersebut, menggosok wajah atau menggoyangkan kaki untuk
mengimbangi perilaku rekan mereka. Chatrand dan Bargh memberikan julukan chameleon
effect (efek bunglon), yaitu setelah kadal tersebut mengganti warna mengikuti lingkungan
fisiknya.

Terdapat dua alasan masuk akal dari bentuk imitasi tak sadar ini. Chatrand dan Bargh
menduga bahwa kemampuan meniru tersebut adalah fungsi sosial yang penting, yang ditiru
sebagai teladan mereka, postur, sopan santun/adab, ekspresi wajah, intonasi suara, aksen,
pola bicara, dan tingkah laku lainnya yang memungkinkan seseorang berinteraksi dengan
lembut pada yang lain. Sesuai dengan Chartrand dan Bargh (1999) memutar meja dalam
penelitian singkat dimana mereka memerintahkan agen mereka untuk mencocokkan adab
dalam jalan yang tidak disadari terhadap beberapa partisipan. Demosntrasi lebih lanjut
tentang aspek sosial dari mimikri menunjukkan bahwa orang meniru yang lainnya terlebih
ketika mereka termotivasi secara tinggi untuk bergabung/berteman. Bisa dibilang, bahwa
mereka sama dengan yang lainnya atau merasa bukan bagian dari kelompok jika mereka
tidak melakukannya.

Mimikri sosial sangat kuat hingga dapat mempengaruhi kita bahkan ketika sang peniru bukan
orang yang sebenarnya seperti itu. Dalam sebuah penelitian yang berjudul Digital
Chameleon (bunglon digital), Jeremy Bailenson dan Nick Yee (2005) yang melibatkan
mahasiswa, secara bersamaan, dalam sebuah lingkungan virtual yang nyata dimana mereka
menempatkan diri mereka duduk dengan sebuah meja bersebrangan dengan sesuatu yang
mirip manusia yang terlihat seperti karakter kartun 3 dimensi. Karakter ini mendesak bahwa
mahasiswa seharusnya diwajibkan membawa kartu tanda pengenal setiap saat untuk tujuan
keamanan. Pada setengah sesi, pembicara virtual mundur dan menunjukkan pergerakan
kepala yang secara sempurna dirtiru oleh pergerakkan kepala partisipan dengan 4 menit
penundaan. Pada setengah sesi lainnya, pembicara mengulangi pergerakkan yang sebelumnya
diingat partisipan. Sangat sedikit mahasiswa yang meniru memperhatikan/menyadari.
Kemudian, setelah ditanya tentang pengalaman tersebut, mereka menilai karakter virtual
seperti mengajak dengan cara bicaranya terlebih jika ia meniru gerakan mereka daripada ia
meniru gerakan partisipan sebelumnya.

Rangsangan manusia untuk meniru yang lainnya dapat terjadi ketika mengadaptasi nilai
sosial, tapi jenis akibat itu dapat juga ditemukan di situasi nonsosial. Dalam sebuah penelitian
Roland Neumann dan Fritz Strack (2000) tentang orang-orang yang mendengarkan sebuah
intisari pidato yang bersifat filisofis yang diceritakan di sebuah tape dengan nada gembira,
sedih, dan netral. Setelah itu, partisipan menilai mood mereka sebagai positif ketika mereka
mendengar suara bahagia, kemudian negatif ketika mereka mendengar suara sedih, walaupun
jika sang pembicara dan partisipan tidak berinteraksi, kondisi emosional pembicara menular,
sebuah dampak otomatis yang dapat digambarkan dalam bentuk mood contagion
(penularan mood).

Penting untuk menyadari bahwa mimikri adalah proses yang dinamis, seperti ketika dua
orang berjalan beriringan atau menari menjadi lebih terkoordinasi setiap waktu. Untuk
mendemonstrasikannya, Michael Richardson dkk. (2005) mendudukkan berpasang-pasang
mahasiswa duduk berhadapan untuk mengerjakan masalah visual sedangkan sebuah bandul
bergerak bola-balik, sebuah distraction task (tugas pengacauan). Mahasiswa tidak perlu
menyelaraskan tempo ayunan mereka dengan maksud untuk memecahkan permasalahan.
Kemudian ketika keduanya melihat bandul orang lain (bahkan tanpa bicara), tempo mereka
secara bertahap menjadi sama. Seperti dua hati yang berdetak bersamaan.

Conformity (Penyesuaian)

Sulit untuk menemukan periaku yang tidak terpengaruh oleh aksi yang ditunjukkan orang
lain. Ketika para psikolog sosial berbicara soal conformity, mereka secara spesifik
menyerahkan kepada kecenderungan bagaimana orang mengubah persepsi mereka, pendapat,
dan tingkah laku dengan cara yang konsisten sesuai norma kelompok.

Menggunakan definisi ini, akankah Anda menyebut diri Anda sebagai konformis atau
nonkomformis?
Seberapa sering anda merasa cenderung mengikuti apa yang orang lain katakan atau lakukan?
Petama-tama, Anda mungkin menunda kecenderungan untuk menyesuaikan diri, dan malah
menyatakan individualitas dan keunikan anda. Tapi, berkenaan dengan hal tersebut, kapankah
waktu terakhir anda muncul/tampil menggunakan gaun pengantin dengan blue jeans atau
meninggalkan kursi selama menyanyikan lagu nasional dalam pertandigan olahraga? Orang
menemukan sulit untuk melanggar norma sosial. Dalam demonstrasi awal dalam bagian ini,
partisipan penelitian psikologi sosial mungkin meminta para pengguna kendaran umum
untuk memberikan kursi mereka, kekerasan yang mencolok dari sebuah norma tingkah laku
yang pantas. Banyak partisipan tak dapat melakukan tugas mereka. Faktanya, beberapa dari
mereka sangat cemas dan berpura-pura sakit hanya untuk membuat permintaan mereka
terlihat dibenarkan.

Karena penyesuaian itu luas, sangat menarik sekaligus ironis/aneh jika partisipan penelitian
(di Amerika Utara) yang dibujuk untuk mengikuti norma kelompok akan sering tidak
mengakui/menerima untuk terlibat. Malahan, mereka mencoba untuk menafsirkan ulang
tugas dan mencari alasan/menguraikan perilaku mereka sebagai cara untuk melihat mereka
sendiri dalam kondisi yang lebih baik (membenarkan diri sendiri), sebagai orang yang bebas
(melakukan apapun). Perlawanan terhadap etiket penyesuaian ini khususnya berasal dari
karakter individual yang mempunyai status tinggi dan senioritas dalam sebuah grup. Tetapi
ada beberapa alasan mengapa orang cenderung tidak melihat diri mereka sendiri sebagai
konformis. Dalah sebuah rangkaian penelitian, Emily Pronin dkk. (2007) menemukan bahwa
seseorang mempersepsi yang lain menjadi lebih konformis dibanding mereka dalam seluruh
macam bidang. Dari mulai mengapa mereka membeli iPod hingga mengapa mereka
berpegang pada opini yang sedang populer. Bagian dari alasan ketidak simetrian ini adalah
apakah seseorang menilai yang lainnya dengan tingkah laku tampak mereka dan tingkatan
tentang mana yang cocok/sesuai denga apa yang orang lain lakukan, mereka condong menilai
diri mereka sendiri dengan terfokus ke dalam adan mengintrospeksi tentang proses pemikiran
mereka/sepengetahuan mereka, yang membutakan mereka pada konformitas mereka.
Selama ini dapat dimengerti orang-orang memiliki bermacam perasaan tentang conformity,
beberapa berpendapat itu penting jika para indivudu berniat untuk mempertahankan
komunitas dan ingin hidup bersama dengan damai, sama seperti ketika mereka menganggap
bahwa tempat mereka yang cocok adalah dalam garis tunggu. Di lain kesempatan, conformity
dapat menjadi konsekuensi yang berbahaya, seperti seseorang yang terlalu banyak meminum
alkohol dalam sebuah pesta atau membalas lelucon etnis lain karena mereka berlaku sama
(saling mengejek etnis masing-masing). Untuk psikolog sosial, tujuan utamanya adalah untuk
mengerti kondisi yang mendukung conformity atau kebebasan dan alasan tentang perilaku
tersebut.

Awal Klasik (The Early Classic)

Pada 1936 Muzafer Sherif menerbitkan penelitian laboratorium klasik tentang bagaimana
norma berkembagn dalam sebuah grup kecil. Metodenya sungguh kreatif. Siswa laki-laki,
yang meyakini mereka berpartisipasi dalam eksperimen visual, duduk dalam ruangna yang
benar-benar gelap. Lima belas kaki di depan mereka, sebuah titik cahaya kecil muncul selama
dua detik, setelahnya partisipan diminta untuk menilai seberapa jauh cahaya itu telah
berpindah. Prosedur ini diulang beberapa kali. Meskipun partisipan tidak menyadarinya, titik
cahaya tetap diam tanpa gerakan. Pergerakan yang mereka pikirkan hanyalah ilusi optik
belaka, yang dikenal sebagai autokinetic effect: dalam kegelapan, titik cahaya yang diam
terlihat bergerak, kadang tidak menentu dalam arah yang bervariasi.

Pertama-tama, partisipan duduk sendiridan melaporkan penilaian mereka kepada


eksperimenter. Setelah beberapa percobaan, Sherif menemukan bahwa mereka tetap pada
jawaban mereka, persepsi stabil tentang pergerakannya. Dengan nilai jarak dari satu hingga
10 inci (walaupun salah satu partisipan memberi penilaian 80 kaki!). setelah tiga hari
berikutnya, orang-orang yang berpartisipas dikelompokkan, per kelompok berisi 3 orang.
Seperti sebelumnya, cahaya bersinar dan para partisipan satu per satu menyebutkan penilaian
mereka. Seperti yang disajikan dalam grafik, penilaian awala yang ditetapkan bervariasi,
namun partisipan kemudian menyatukan jawaban dalam persepsi bersama. Akhirnya, setiap
grup mendirikan norma mereka sendiri.
Beberapa tahun setelah demonstrasi Sherif, Solomon Asch (1951) merancang tugas yang
sangat berbeda untuk menguji bagaimana kepercayaan orang mempengaruhi kepercayaan
orang lain. untuk menghargai apa yang Asch lakukan, bayangkan diri anda dalam situasi
berikut: anda mendaftar untuk sebuah eksperimen psikologi. Ketika anda datang, anda
menemukan 6 siswa lain menunggu mengelilingi meja. Segera setelah anda menduduki kursi
kosong, sang eksperimenter mejelaskan bahwa dia tertarik pada kemampuan membuat
diskriminasi visual. Sebagai contohnya, dia bertanya kepada anda dan yang lain untuk
menunjukkanketiga garis yang dibandingkan memiliki panjang yang identik dengan garis
yang menjadi standar.

Kelihantannya cukup mudah. Eksperimenter kemudian berkata setelah tiga garis ditunjukkan,
anda dan yang lainnya harus bergantian menyebutkan penilaian anda dengan keras dalam
posisi duduk. Dimulai dari kirinya, eksperimenter bertanya pada orang pertama mengenai
penilaiannya. Anda ada di posisi terakhir, dan dengan sabar menunggu giliran anda. Babak
pembukaan berlangsung tanpa banyak peristiwa. Tugas diskriminasi selesai dan setiap orang
setuju dengan jawabannya. Dalam garis ketiga, partisipan pertama memilih garis yang jelas-
jelas salah. Apa yang terjadi? Apakah tiba-tiba dia kehilagan akalnya? Sebelum anda
memiliki kesempatan untuk memilih, partisipan lainnya memilih garis salah yang sama.
Sekarang apa? Rasanya seperti anda memasuki zona yang samar-samar, anda ragu apakah
anda tidak mengerti dengan tuganya.dan anda bingung apa yang akan dipikirkan orang lain
jika anda mempunyai keberanian untuk menyatakan tidak setuju. Sekarang giliran anda.
Anda mengucek mata anda dan kembali melihat kartu. Apa yang anda lihat? Tepatnya apa
yang anda lakukan?
Grafik berikut memberikan anda gambaran Bagaimana partisipan Asch merasa terjepit.
Memposisikan diri mereka untuk tetap benar dan keinginan untuk tetap disukai. Seperti yang
anda sudah duga, partisipan lain tentu saja bersekongkol dan telah dilatih bagaimana cara
untuk membuat penilaian salah dalam 12 sampai 18 kali penayangan. Masih terdapat sedikit
keraguan dari seorang partisipan yang mengetahui jawaban yang sebenarnya. Dalam
kelompok kontrol, dimana mereka membuat penilaian dalam situasi terasing (berbeda
sendiri). Mereka hampir tidak membuat kesalahan. Partisipan Asch yang melanjutkan dengan
jawaban salah sebanyak 37% pada saat itu. Lebih jauh dari yang kita bayangkan. Tidak setiap
orang menyesuaikan, tetntu saja. Sebanyak 25% menolak untuk menyetujui terhadap
penilaian kelompok yang salah. Sekitar 50% melanjutkan dengan keraguan (?), nilai yang
hampir sama nampak ketika Asch mengulang percobaan tersebut 30 tahun kemudian.yang
melibatkan proses kognitif.

Mari kita bandingkan penelitian Sherif dan Asch terhadap pengaruh sosial. Nampaknya,
kedua demonstrasi persepsi visual kita dapat terpengaruh oleh orang lain dengan berat. Tapi
seberapa sama mereka? Apakah partisipan Asch dan Sherif menunjukkan jenis conformity
yang serupa dan untuk alasan yang sama atau apakah kemiripan tersebut lebih nampak di
kehidupan nyata?

Dari awal, jelas bahwa penelitian tersebut dibedakan secara esensial. Dalam penelitian Sherif,
partisipan ditempatkan dalam ruangan gelap, jadi mereka secara alami merubah pikiran sama
dengan orang lain untuk menerima bimbingan orang lain. ketika realitas fisik ambigu dan kita
ragu terhadap penilaian diri kita sendiri, seperti situasi autokinetic, setiap orang dapat
menerima sumber informasi yang bisa dipertimbangkan. Partisipan Asch menemukan posisi
mereka dalam kejanggalan/bingung. Tugas mereka terbilang mudah dan mereka dapat
melihat dengan mata mereka jawaban mana yang benar. Masih saja mereka mengikuti
jawaban mayoritas yang jelas-jelas salah. Dalam sebuah wawancara, beberapa partisipan
Asch melaporkan setelah percobaan mereka melanjutkan dengan penilaian kelompok
walaupun mereka tidak yakin bahwa jawaban kelompok benar. Beberapa yang tidak
menyesuaikan dengan pendapat kelompok mengatakan mereka merasa mecolok dan gila,
seperti orang yang tak mampu menyesuaikan.

Di dunia yang luas 1,5 juta orang dihitug sekitar 25% dari populasi planet, telah mengakses
internet (2009). Ini menjadi sebuah kasus, anda boleh ragu: apakah kekuatan sosial yang
mempengaruhi orang-orang secara tatap muka juga dipelajari dalam studi Sherif dan Asch
yang juga mengoperasikan grup virtual yang anggotanya tek bernama, tak berwujud, dan
tidak diketahui? Jawabannya adalah iya. McKenna dan Bargh (1998) mengamati perilaku
bebepara grup berita atau belog di internet, yang mana orang dengan ketertarikan tersebut
memposting dan menjawab pesan dalam topik yang menyeluruh, dari mulai obesitas dan
orientasi seksual, dari uang hingga persediaan barang di toko swalayan. Lingkungan sosial
dalam cakupan menengah ini terpencil. Kemudian, peneliti menemukan bahwa dalam grup
berita tersebut orang-orang secara bersama-sama menyembunyikan identitas mereka (seperti
gay dan lesbian yang telah menyembunyikan seksualitas mereka), para anggota sangat
responsif terhadap feedback sosial. Orang yang memposting pesan bertemu dengan
persetujuan daripada yang tanpa persetujuan kemudian lebih aktif sebagai partisipan di grup.
Ketika berubah menjadi dukungan sosial dan penolakan, bahkan grup virtual yang ini
mempunyai kekuatan untuk membentuk perilaku kita.

Mengapa orang menyesuaikan?

Penelitian Sherif dan Asch mendemonstrasikan bahwa orang menyesuaikan diri dengan dua
alasan berbeda: informasi, yang lainnya normatif.

Melalui pengaruh informasi, orang dapat menyesuaikan diri karena mereka ingin membuat
keputusan yang benar dan beranggapan jika yang lainnya setuju pada suatu hal, mereka
pastilah benar. Dalam percobaan autokinetik Sherif uang sulit dan ambigu, wajar jika
menganggap bahwa 4 mata lebih baik daripada 2 mata. Kemudian, penelitian menunjukkan
bahwa saksi mata mencoba untuk memanggil kembali pelaku kejahatan atau beberapa
kejadian lain akan mengubah ingatan mereka dan bahkan hingga membuat ingatan yang salah
sebagai respon/jawaban atas apa yang mereka dengar dari kesaksian saksi mata lain. ketika
seseorang sedang dalam kondisi kebingungan, mengikuti pengetahuan kolektif dari yang
lainnya dapat menjadi bukti sebagai strategi yang efektif. Dalam sebuah acara TV populer
Who Wants to Be a Millionaire? peserta yangterdiam karena sebuah pertanyaan dapat
meminta satu atau dua orang sebagai bantuan: (1) memanggil seorang teman atau kerabat
yang dapat dikategorikan sebagai ahli atau (2) melakukan pungutan suara dari para pemirsa
yang dihitung secara otomatis oleh komputer untuk dijadikan sebagai feed back. Secara
keseluruhan, para ahli berguna, memberikan jawaban yang tepat sebanyak 65% selama ini.
Menggambarkan kebijaksaan khalayak, bagaimanapun para pemirsa di studio juga
memberikan jawaban yang benar sebanyak 91% selama ini.

Berbeda dengan nilai informasi dari conformity, pengaruh normatif membimbing seseorang
untuk melakukan conformity, karena mereka takut konsekuensi yang akan mereka terima jika
mereka melakukan penyimpangan. Sangat mudah untuk mengetahui alasannya. Di awal
penelitian menunjukkan bahwa individu yang menyimpang dari norma kelompok sering
dibenci., ditolak, dianggap aneh, dan dibuang. Walaupun beberapa orang lebih tabah daripada
yang lainnya, bentuk penolakan interpersonal bisa jadi sulit untuk doterima. Dalam sebuah
rangkaian studi terkontrol, seseorang yang secara sosial terasing dengan ditelantarkan,
diacuhkan, dan dibuang dalam kehidupan atau dalam percakapan di chatroom internet merasa
tersakiti, marah, dan kesepian serta memiliki self-esteem/citra diri yang rendah. Bahkan
ditinggalkan dalam percakapan pesan singkat di telepon juga dapat menimbulkan dampak
yang sama pada kita. Klpling William (2007) menulis bahwa penelitian dalam bidang ini
sudah jelas: Beberapa orang menjadi sangat menderita ketika mereka ditolak atau dibuang
dari kelompok, sehingga mereka bersikap pasif, kaku/mati rasa, dan lesu. Seperti mereka
sudah menerima serangan dari sebuah stun gun emosional.

Mengapa menjadi orang yang diasingkan terasa sangat menyakitkan? Psikolog sosial
berbondong-bondong menghargai anugerah/pemberian yang diberikan kepada manusia,
dalam berbagai rentang evolusi, manusia saling membutuhkan satu sama lain untuk tetap
hidup dan berjalan dengan baik. Menurut Geoff MacDonald dan Mark Leary (2005),
kebutuhan tersebut sangat primitif, menolak akibat dari perasaan sakit terhadap lingkungan
sosial, terasa seperti menolak akibat dari sakit fisik. Anda dapat meresakan hubungan
bagaimana cara seseorang menggambarkan reaksi emosional mereka akibat kehilangan aspek
sosial menggunakan kata sakit, patah hati, dan hancur. Penelitian belakangan ini
memancingdukungan untuk hubungan ini. Dalam penelitian mengenai gambaran otak,
seorang pemuda yang ditinggalakan dalam kelompok yang berisi 3 orang dalam sebuah
permainan internet yang bernama Cyberball menunjukkan penurunan aktivitas neuron di
bagian otak tertentu yang sering diasosiasikan dengan rasa sakit fisik.

Dalam seting kelompok, baik informasi dan pengaruh normatif benar-benar bekerja. Menurut
eksperimen Asch. Meskipun banyak partisipannya yang mengatakan mereka melakukan
penyesuaian diri hanya untuk terhindar dari persaan dianggap berbeda, lainnya mengatakan
mereka menyetujui penilaian kelompok yang keliru. Apakah itu mungkin? Pada waktu itu,
Asch mempercayakan apa yang dilaporkan partisipannya pada saat wawancara. Terimakasih
pada perkembangan neurosciene dalam studi sosial, bagaimanapun para peneliti sekarang
dapat sejajar dengan otak yang aktif secara sosial. Dalam sebuah sekolah medis, studi yang
menggambarkan hal tersebut Gregory Berns dkk (2005) menempatkan 32 orang dewasa
dalam sebuah penelitian persepsi visual-spasial dimana mereka ditanya tentang rotasi
mental dua objek geometrik untuk menentukan apakah mereka sama atau berbeda. Seperti
dalam penelitian Asch, partisipan ditemani oleh empat agen yang membuat penilaian salah
secara serempak dalam penelitian tersebut. Tidak seperti penelitian tersebut, para partisipan
ditempatkan dalam scaner MRI ketika sedang menjalankan tugas. Terdapat dua hasil yang
berharga utntuk dicatat. Pertama, partisipan menyetujui jawaban salah sebanyak 41%. Kedua,
penyesuaian tersebut disertai dengan peningkatan aktivitas di otak yang mengontrol
kewaspadan spasial, bukan di area yang terhubung dengan kesadaran dalam pembuatan
keputusan. Hasil menunjukkan bahwa kelompok mengubah persepsi bukan hanya tingkah
laku.
Perbedaan antara dua pengaruh sosial, informasi dan normatif sangat penting, tidak hanya
untuk mengerti mengapa seseorang menyesuaikan diri tetapi karena dua sumber yang
berpengaruh tersebut menghasilkan dua tipe conformity yang berbeda: privat dan publik.
Seperti kecantikan, conformity dapat dianalogikan sebagai kedalaman kulit atau nisa juga
sebagai tembusan dibawah permukaan kulit. Privat conformity, yang disebut juga persetujuan
sebenarnya atau penukaran, menggambarkan kejadian dimana orang lain mengubah tidak
hanya perilaku nampak tatapi juga pikiran. Untuk menyesuaikan dalam level ini individu
harus myakinkan bahwa orang lain dalam kelompok adalh benar. Sebaliknya, public
conformity (kadang disebut compliansi) ditujukan untuk perubahan tingkah laku yang lebih
dangkal. Oran-orang biasanya merespon tekanan normatif dengan berpura-pura setuju hingga
bahkan jika hal tersebut sebenarnya bertolak belakang dengan mereka. Ini sering terjadi
ketika kita ingin menjilat orang lain. Para politisi yang berkata bahwa apapun aspirasi
pemilihnya akan didengarkan.

Anda pasti bertanya-tanya, bagaimana para psikolog membedakan perbedaan antara private
dan public conformist? Sebenarnya keduanya menunjukkan peluang yang sama dalam
perilaku mereka yang dapat diobservasi. Perbedaan didapat dengan membandingkan dengan
seseorang yang hanya meneyetujui tanpa protes (secara ikhlas) dalam publik, seorang yang
benar-benar terbujuk memepertahankan perubahan itu walaupun ia tidak sedang berada
dalam kelompoknya. Ketika kenyataan ini diterapkan dalam penelitian Sherif dan Asch, hasil
yang keluar benar-benar dilluar dugaan. Dalam akhir studi ini, Sherif (1936) menguji
partisipan sendirian dan menemukan bahwa penilaian mereka berlanjut untuk mencerminkan
norma sebelumnya yang dibuat dalam grup mereka. Bahkan diantara mereka yang diuji
kembali setahun kemudian setelah percobaan itu (Rohrer dkk., 1954). Sebaliknya, ketika
Asch (1956) mempersilakan para paertisipannya menuliskan jawaban mereka secara pribadi
sehingga anggota lain dalam kelompok tidak dapat melihatnya, penyesuaian mereka menurun
dengan drastis (Deutsch & Gerald 1955; Mouton dkk., 1956).

Dalam sebuah penelitian yang mendemonstrasikan kedua proses, Roberth S. Baron dan
kawan-kawan (1996) membuat sebuah grup yang terdiri dari tiga orang (seorang partisipan
dan dua orang asisten penelitian) berperilaku sebagai saksi mata: pertama mereka akan
melihat sebuah gambar seorang manusia, kemudian mereka akan mencoba untuk mengambil
gambar manusia tersebut dari antrian. Dalam beberapa kelompok, tugas yang diberikan
cukup sulit, seperti pada percobaan Sherif, partisipan melihat setiap gambar hanya sekali
dalam waktu setengah detik.untuk kelompok lain, tugasnya lebih mudah, seperti dalam
percobaan Asch, partisipan diminta untuk melihat setiap gambar dua kali dengan total waktu
10 detik. Seberapa sering partisipan melakukan penyesuaian ketika asisten penelitian
melakukan identifikasiyang salah? Itu tergantung kepada seberapa termotivasi mereka.
Ketika peneliti menjalankan tugas tersebut. Tingkat penyesuaian sebesar 35% ketika tugas
yang diberikan sulit dan 33% ketika tugas yang diberikan mudah. Tapi ketika partisipan
ditawari insentif berupa uang jika ia menjawab benar (sesuai keinginan peneliti) penyesuaian
meningkat menjadi 51% ketika tugas yang diberikan sulita dan 16% ketika tugas yang
diberikan mudah.
Tabel tersebut menyatakan perbandingan percobaan Sherif dan Asch tentang kedalaman
pengaruh sosial yang mereka demonstrasikan. Melihat tabel tersebut, Anda dapat melihat
bahwa tingkat kesulitan dalam tersebut adalah hal yang sangat penting. Ketika realitas tak
dapat divalidasi dengan oleh fakta-fakta fisik, seperti dalam keadaan autokinetik, seseorang
berpaling pada orang lain untuk menanyakan informasi dan menyesuaikan diri karena mereka
benar-benar tergugah (terpersuasi) dengan informasi tersebut. Ketika realitasnya sudah jelas,
besarnya perbedaan pendapat menjadi persoalan yang besar. Sepeeti yang disampaikan oleh
Asch, sangat sulit untuk menyimpang dari pendapat orang lain bahkan jika Anda tahu bahwa
mereka, bukan Anda yang salah. Jadi Anda tetap mengikuti pendapat tersebut, walaupun
secara pribadi Anda tidak mengubah pikiran Anda. Tapi kenyataannya Anda tetap
menganggukkan kepala sebagai bentuk persetujuan.

Pengaruh Mayoritas (Majority Influence)

Menyadari bahwa seseorang sering kali mengalah terhadap tekanan dari teman-teman da;am
kelompoknya hanyalah langkah pertama untuk memahami proses pengaruh sosial.langkah
berikutnya adalah mengidentifikasi/mengenali situasi dan faktor pribadi yang membuat kita
lebih atau kurang dalam hal menyesuaikan diri. Kita mengetahui bahwa seseorang tetap
bertahan untuk menyesuaikan diri ketika tekanan sosial berlangsung intens dan mereka
mencemaskan bagaimana mereka harus bertingkah laku. Tapi apa yang menyebabkan
persaan tertekan dan cemas itu muncul? Ini merupakan faktir-faktor penyebabnya: ukuran
kelompok (the size of the group), keterpusatan terhadap norma (a focus on norms),
keberadaan seorang sekutu/pembela (the presence of an ally), dan jenis kelamin (gender).

Ukuran kelompok: kekuatan yang berasal dari jumlah (group size: the power in numbers)
Secara logika, dikatakan bahwa selama jumlah orang dalam suatu kelompok (mayoritas)
meningkat, sudah sewajarnya setiap orang dalam kelompok terkena peningkatan pengaruh
dari kelompok tersebut. Tentu saja hal ini bukan hal yang sederhana. Asch (1956) membuat
variasi anggota kelompok, yang terdiri dari satu, dua, tiga, empat, delapan, atau lima belas
orang asisten penelitian, dan dia menemukan bahwa penyesuaian meningkat seiring dengan
peningkatan jumlah anggota kelompok. Dalam suatu percobaan terdapat tiga-empat orang
asisten penelitian, sejumlah pengaruh tambahan dengan penggunaan paksaan diabaikan.
Peneliti lain juga mendapatkan hasil yang sama dalam penelitiannya (Gerard dkk., 1968)

Diantara kehadiran tiga atau empat orang lainnya, penambahan seseorang ke dalam kelompok
bertujuan untuk melihat adanya hukum berkurangnya hasil (Knowles, 1983; Mullen, 1983).
Seperti yang akan kita bahas berikutnya, Bibb Latan (1981) menyamakan pengaruh dari
seorang individu dengan cara lampu bohlam menyinari permukaan benda. Ketika bohlam
kedua ditambahkan dalam sebuah ruangan, akibatnya berlangsung dramatis. Ketika lampu
kesepuluh ditambahkan, akibatnya hampir tidak terasa ketika semuanya dinyalakan. Para
ekonom menyatakan hal yang sama mengenai persepsi mereka tentang uang. Penambahan
dollar terlihat lebih banyak bagi orang yang hanya memiliki tiga dollar daripada terhadap
orang yang memiliki 300 dollar.

Penjelasan masuk akal lainnya diungkpakan dengan opini yang sama, seorang individu seolah
mencurigai bahwa mereka bertingkah laku bersekongkol atau sebagai domba yang
berjalan dengan penggembala. Menurut David Wilder (1977), masalahnya bukanlah terletak
pada jumlah aktual dari keberadaan sseorang dalam kelompok tapi persepsi seseorang tentang
seberapa berbeda orang-orang yang berpikir dengan bebas dalam kelopok tersebut. Tentu
saja, Wilder menemukan bahwa seseorang lebih terpengaruh oleh dua kelompok yang teridir
dari dua orang dibandingkan dengan satu kelompok yang terdiri dari empat orang dan dengan
dua kelompok yang terdiri dari tiga orang daripada oleh satu kelompok yang terdiri dari enam
orang. Penyesuaian meningkat terlebih lagi ketika seseorang terlihat dalam kelompok yang
terdiri dari 2-3 orang anggota. Ketika dihadapakan dengan pendapat mayoritas, kita tidak
hanya memperhitungkan jumlah dari anggota kelompok, tapi kita mencoba untuk
memeperhitungkan jumlah dari pemikiran yang terdapat di dalamnya.

Fokus pada Norma (a Focus on Norms)

Ukuran dari mayoritas mungkin mempengaruhi sejumlah tekanan yang dirasakan, tapi norma
sosial memeberikan peningkatan penyesuaian hanya ketika kita tahu dan fouku dan
mengetahui norma tersebut. Mungkin terdengar seperti poin yang jelas, hingga saat ini kita
sering salah mempersepsi apa yang bersifat normatif, khususnya ketika orang lain takut ata
malu untuk mengutarakan pikiran mereka sebenarnya, perasaa, atau perilaku mereka di
hadapan umum.

Satu contoh yang umum misalanya ketidaktahuan umum tentang persoalan penggunaan
alkohol. Dalam sebuah survey yang melibatkan sejumlah besar mahasiswa, Deborah Prentice
dan Dale Miller (1996) menemukan bahwa lebih banyak mahasiswa memandang berlebihan
betapa nyamannya teman-teman sebaya mereka dengan tingkat perilaku minum-minuman
beralkohol di kampus. Seseorang yang memandang berlebihan (overestimated) perasaan
orang lain tentang minum minuman beralkohol di kampus sejak tahun pertama masuk
akhirnya menyesuaikan diri dengan kesalahan persepsi ini dalam sikap dan perilaku diri
mereka sendiri. Sebaliknya, mahasiswa yang mengambil bagian dalam sesi diskusi yang
dirancang untuk meluruskan kesalahan persepsi ini akhirnya lebih sedikit meminum lakohol
enam bulan kemudian. Penemuan itu sangatlah penting. Penelitian tambahan menunjukkan
bahwa baik mahasiswa laki-laki maupun perempuan yang memandang berlebihan betapa
sering dan banyaknya alkohol yang teman-teman sebaya se-gender mereka minum,
mahasiswa yang bersikap lebih normatif akan mempersepsikan dirinya untuk menjadi
peminum dan lebih banyak mengkonsumsi alkohol (Lewis & Neighbors, 2004).

Mengetahui bagaimana orang lain berperilaku dalam situasi yang membutuhkan penyesuaian,
tapi norma tersebut sepertinya hanya mempengaruhi kita ketika mereka membawanya ke
kesadaran kita atau diaktifkan. Robert Cialdini (2003) dkk. Telah mendemonstrasikan poin
ini dalam penelitian tentang membuang sampah. Dalam sebuah penelitian, peneliti telah
bekerjasama (dengan pengelola) untuk membagikan selebaran pada pengunjung taman
hiburan dan memvariasikan jumlah aktivitas membuang sampah yang muncul pada suatu
bagian pada taman tersebut (sebuah indikasi bagaimana orang lain berperilaku pada setting
tersebut). Hasil: semakin banyak sampah, sepertinya semakin banyak pengunjung melempar
selebaran mereka ke tanah (Cialdini dkk., 1990). Penelitian kedua menunjukkan bahwa
pejalan kaki lebih mudah terpengaruh oleh perilaku orang lain sebelumnya ketika perhatian
mereka ditarik ke norma yang berada di tempat itu. Sebagai contohnya, seseorang mengamati
dalam sebuah garasi parkir ada peraturan untuk menyampah atau membersihkan baik
puntung rokok, bungkus permen, cangkir kertas, dan sampah lainnya dalam setengah waktu
percobaan peraturan telah dipasang di tempat tersebut bersihkan atau menyampah yang
menarik perhatian partisispan yang ditunjukkan oleh asisten penelitian yang membuang
kertas ke tanah dan lewat begitu sja. Dalam setengah waktu penelitian lainnya, ada asisten
penelitian lain yang melewat tanpa melakukan apapun. Ketika partisispan mencoba
memasuki mobil mereka, mereka menemukan ada selebaran bertuliskan harap berkendara
dengan aman yang diselipkan dibawah pembersih kaca mobil. Apakah mereka melempar
kertas itu ke tanah atau menyimpannya? Hasilnya menunjukkan bahwa orang-orang lebih
bersikap untuk menyesuaikan diri (dengan membuang sampah ketika garasinya berantakan
oleh sampah dibandingkan ketika bersih), ketika asisten penelitian menyampah, aksi tersebut
menarik perhatian pada norma yang terdaoat di tempat itu (Cialdini dkk., 1991).

Seorang Sekutu Dalam Perbedaan Pendapat (An Ally In Dissent By Getting)


Dalam penelitian awal Asch, partisipan yang tidak sadar memposisikan diri mereka beradu
melawan mayoritas yang tidak mereka ketahui. Tapi bagaimanakah seandainya mereka
mempunyai teman untuk bersekutu, seorang pasangan yang sama-sama berbeda pendapat?
Asch menyelidiki permasalahan tersebut dan menemukan bahwa keberadaan seorang sekutu
yang menyetujui pendapat partisipan menurunkan tingkat conformity hampir sebesar 80%.
Penemuan ini tidak secara eksplisit mengungkapkan bagaimana bisa kehadiran seorang teman
dapat berfungsi begitu efektif. Apakah karena dia setuju dengan pendapat partisipan atau
karena dia benar-benar tidak setuju dengan pendapat mayoritas? Dengan kata lain, apakah
pandangan partisipan menguat karena keberadaan teman yang sama-sama tidak setuju atau
karena perbedaan pendapat menurunkan tiap tekanan dari norma yang ada?

Serangkaian percobaan menggali dua kemungkinan tersebut. Salah satunya Vernon Allen dan
John Levine (1969) memberi petunjuk pada para partisipan untuk mempercayai bahwa
mereka bekerja bersama dengan empat orang asisten penelitian. Tiga dari mereka secara
konsisten menyetujui pendapat yang salah. Orang keempat kemudian mengikuti pendapat
mayoritas, menyetujui pendapat partisipan, atau membuat pendapat ketiga yang juga salah.
Variasi terakhir adalah yang paling menarik: bahkan ketika asisten penelitian tidak
mengesahkan pendapat mereka, partisipan kurang menyesuaikan diri dengan pendapat
mayoritas. Dalam percobaan lainnya, Allen dan Levune (1971) memvariasikan kewenangan
dari asisten penelitiannya. Beberapa partisipan menerima dukungan dari orang secara rata-
rata (mayoritas). Sebaliknya, seorang partisipan menemukan diri mereka hanya didukung
oleh seseorang yang berkacamata tebal dan mengeluhkan bahwa dia tidak dapat melihat
tampilan visual. Bukan teman yang menentramkan bukan? Salah, walaupun partisispan
mendapatan kekurang nyamanan dari pendukungnya daripada seseorang yang terlihat lebih
kompeten dalam mengerjakan tugas tersebut, keberadaannya masih bisa mengurangi tingkat
conformity dirinya.

Terdapat dua simpulan yang sangat penting dari penelitian ini. Pertama, hal ini secara
hakekat lebih sulit bagi seseorang untuk berdiri sendiri dengan keyakinan mereka daripada
mejnadi bagian kecil dari kelompok minoritas. Kedua, beberpa pertentangan pendapat,
apakah itu mengesahkan opini pribadi atau tak dapat mengeluarkan menyerang kepada
kelompok mayoritas dan mengurangi tekanan normatif untuk meyesuaikan diri dalam sebuah
ilutrasi betapa anehnya bagi seorang individu untuk seorang diri melawan pendapat
mayoritas. Peneliti memastikan bahwa pola pengambilan suara di lembaga pengadilan
tertinggi Amerika Serikat dari 1953-2001. Hasil menunjukkan bahwa 4.178 keputusan (suara
pemilih) tergantung pada suara sembilan orang juri yang melakukan pemilihan, 8 suara sama
dan 1 yang berbeda tidak diperhitungkan, memperlohatkan hanya 10% dari total suara
pemilih (Granberg & Barrels, 2005).

Perbedaan Jenis Kelamin (Gender DIfferences)


Apakah ada perbedaan jenis kelamin terkait proses conformity? Berdasarkan penelitian awal
Asch, para psikolog sosial biasanya berpikiran bahwa wanita, yang seringkali dianggap
sebagai jenis kelamin yang lebih lemah, lebih conform dibandingkan pria. Mengigat
seluruh hasil penelitian sebelumnya, bagaimanapun hal tersebut menujukkan bahwa dua
faktor tambahan pasti ikut mempengaruhi. Pertama, perbedaan jenis kelamin tergantung
kepada seberapa nyaman seseorang dengan tugas penelitianya. Frank Sistrunk dan John Mc
David (1971) membuat para partisipan wanita dan pria tersebut menjawab pertanyaan dalam
sebuah secara stereotype tentang maskulin, feminin, dan jenis topik bebas jenis kelamin.
Dalam setiap pertanyaan, partisipan diberi tahu persentase dari orang lain yang setuju atau
tidak setuju. Meskipun wanita conform untuk membuat mayoritas terlebih untuk item
maskulin, para pria conform terlebih untuk item feminin (tidak ada jawaban berbeda dalam
pertanyaan netral). Penemuan ini menyatakan bahwa familiaritas seseorang dengan persoalan
yang sedang dihadapinya, bukan jenis kelamin, adalah apa dampak dari conformity. Bertanya
tentang football atau video game tentang peperangan dan sebagian besar persetujuan tanpa
protes dari wanita lebih besar dibandingkan dengan pria. Bertanya tentang rencana keluarga
dan fashion design serta polanya berbanding terbalik (Eagly & Carli, 1981).

Faktor kedua berkenaan dengan jenis tekanan sosial yang dihadapi seseorang. Seperti hukum
umum, perbedaan jenis kelamin bersifat lemah dan tidak reliabel. Tapi ada pengecualian
penting: In face-to-face encounters (bertatapan atau berhadapan wajah), ketika seseorang
harus saling tidak setuju secara terbuka, kesempatan dimunculkan kecil. Kenyataannya,
partisipan sadar bahwa mereka sedang diobservasi, wanita lebih conform dibandingkan pria
dan pria kurang conform jika dibandingkan dengan situasi pribadi. Mengapa berada dalam
publik membuat perilaku menjadi terpecah seperti itu? Alice Eagly (1987) berpendapat, di
hadapan orang lain orang-orang mencemaskan betapa mereka tertekan dalam bertingkah laku
dalam hal penerimaan berdasarkan peranan jenis kelamin tradisional yang kaku. Akhirnya,
dalam situasi publik, pria berperilaku dengan independensi dan autonominya secara dahsyat,
sedangkan wanita bermain lebih lembut, dan lebih patuh. Dari sudut pandang evolusioner,
Vladas Griskevicius dkk. (2006) menambahkan bahwa seseorang lebih cenderung berperilaku
dalam stereotype jenis kelamin ketika termotivasi untuk menarik perhatian seorang lawan
jenis. Secara ajeg penelitian menunjukkan bahwa perempuan menyukai pria yang mandiri
sedangkan pria meyukai wanita yang penurut (agreeable), penelitian mereka manunjukkan
bahwa wanita lebih conformdan pria kurang conform terutama ketika berada dalam situasi
romantis.

Cultural Influence. Kebudayaan yang berbeda akan menyebabkan aturan tingkah


laku yang berbeda pula. Roger Axtells (1993), best-seller, Dos dan Tabos berkeliling dunia,
travelers dunia memberitahukan beberapa hal yang berbeda. Makan malam di rumah orang
India misalnya, kita harus menyisakan makanan yang ada di piring untuk memperlihatkan
pada tuan rumah bahwa porsi makanannya banyak dan anda merasa cukup dengan makanan
yang di sajikan. jika menjadi tamu makan malam di Bolivia, kita dapat menghargai dengan
menghabiskan makanan, sedangkan di Arab kita harus benar-benar mengisi perut kita sampai
kenyang. Di Iraq, jika kita membeli suatu barang di pasar terbuka, maka kita bisa tawar-
menawar dengan semua barang yang ada. Jika kita membuat janji di Brazil, maka
kemungkinan besar mereka akan datang telat. Bahkan menentukan jarak satu dengan yang
lainpun secara kultural berbeda-beda. Orang-orang Amerika, Canada, Jerman, Inggris, Eropa
Utara sangat menjaga jarak astu dengan yang lain dan merasa crowded atau sesak
dengan gaya nose-to-nose dari Perancis, Yunani, orsng Arab, Mexico, dan Amerika Selatan.

Jika kita lihat diatas cultural yang berbeda menyebabkan norma sosial yang berbeda
pula. Serta, kepatuhan orang-orang mentaati norma tersebut pun berbeda. Seperti yang
terlihat di chapter 2, terdapat dua perbedaan orientasi kebudayaan terhadap individu dan
hubungan mereka terhadap kelompok. Beberapa memegang budaya individualism;
independen, autonomi dan self-reliance, sementara yang lain memegang budaya collectivism;
ketergantungan, bekerja sama, dan harmoni sosial. Orang- orang yang memegang kultur
individualis akan memperioritaskan kepentingannya sendiri dibandingkan kepentingan
grupnya. Namun dalam budaya kolektif orang-orang tersebut adalah orang yang loyal
terhadap anggota keluarga, tim, perusahaan, dan Negara, lebih mementingkan kepentingan
bersama dibandingkan dirinya sendiri.

Apakah yang menentukan suatu kebudayaan menjadi individualis atau kolektif?


Spekulasi dari Harry Trandis (1994) menyebutkan ada 3 faktor. Pertama complexity. Orang-
orang sekarang hidup di masyarakat industry, ada banyak grup atau kelompok yang mereka
identifikasi, yang berarti loyalitas mereka kurang terhadap kelompok manapun dan lebih
fokus terhadap diri sendiri daripada untuk tujuan kolektif/bersama. Kedua adalah affluence
(kemakmuran). Saat orang-orang menjadi lebih makmur, mereka akan menjadi mandiri
secara finansial dan tidak akan terlalu tergantung dengan orang lain. Malah lebih fokus
kepada diri tujuan personal dibandingkan kolektif. Ketiga adalah
(heterogeneity)/keberagaman. Masyarakat yang homogen atau ketat (dimana anggota
anggota masyarakatnya memiliki bahasa, agama, dan adat yang sama) cendrung kaku dan
tidak mentoleransi orang-orang yang menyimpang dari norma. Masyarakat dengan beragam
budaya atau longgar (dimana dua atau lebih budaya hidup berdampingan) lebih permisif
jika berbeda pendapatsehingga memungkinkan untuk individu-individu didalamnya untuk
berekspresi.

Penelitian menunjukkan di United States, Australia, Inggris Raya, Kanada,


Netherlands memiliki nilai autonomy dan kemandirian yang tinggi. Sebaliknya, banyak
kebudayaan di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan lebih memiliki harmoni interpersonal dan
conformity; mengsituasikan diri untuk kepentingan masyarakat atau komunitas
(Hofstede,1980). Sebagai contoh, di salah satu suku Afrika, yang bertindak tidak sesuai
norma disana akan d hukum berat, 51% subject yang pernah diujikan disana bertindak seperti
eksperimen Solomon Asch.

Minority Influence

Tidak mudah untuk individu untuk mengungkapkan dan mendapat dukungan dari
orang lain terhadap pandangan yang tidak disukai. Seseorang yang teguh pendirian terhadap
kepercayaannya namun bertentangan dengan suara mayoritas, akan dianggap sebagai orang
yang kompeten dan jujur, namun mereka juga akan tidak disukai (Bassli & Provencal, 1988;
Levine, 1989).
Menentang tekanan untuk menyesuaikan diri dan mempertahankan satu kemandirian
mungkin secara sosial akan sulit, tapi itu bukan menjadi hal yang tidak mungkin. Sejarah dari
orang yang terkenal, pahlawan, penjahat, dan pikiran kreatif adalah bukti hidupnya: Seperti
Joan of Arch, Nabi Muhammad, Darwin, dan Gandhi. Di dalam sebuah buku yang berjudl
The Dissenters, antropolog Langston Gwaltney (1986) merekam dialog dengan orang-
orang biasa nonconformist (menolak untuk menyesuaikan diri karena mayoritas atau
komunitas). Seperti seorang pria Irlandia yang berteman dengan orang kulit hitam dalam
komunitas rasis, seorang nenek yang meresikokan dirinya untuk memprotes tentang senjata
nuklir padahal tahu bahwa ia mungkin akan dipenjara, dan sekelompok suster yang menuntut
gereja.

The Power of Style. Menurut Moscovisi, mayoritas bisa sangat kuat karena jumlah
mereka dan kekuatan yang sudah ada, sementara itu nonconformist memperoleh kekuatan
dari style (cara atau gaya) tingkah laku mereka. Bahwa ini bukan hanya apa yang mereka
katakan, tapi bagaimana mereka mengatakannya. Untuk memberikan pengaruh, kata
Moscovisi, mereka yang menjadi minoritas harus kuat, gigih, dan tidak tergoyahkan dalam
mendukung pandangan mereka. Namun di saat yang bersamaan, mereka harus terlihat
fleksibel dan open minded. Dihadapkan dengan perlawanan yang konsisten dan adil dan
masuk akal, anggota mayoritas akan sadar, dan memikirkan kembali posisi mereka.

Mengapa gaya tingkah laku yang konsisten dapat menjadi efektif? Satu kemungkinan
yang menjadi alasan adalah pengulangan yang dikatakan dengan teguh lebih menarik
ketertarikan dan perhatian daripada orang yang hanya mengikuti arus dan itu langkah
pertama yang diperlukan untuk pengaruh sosial. Kemungkinan lain adalah kekonsistenan
yang dikeluarkan sehingga membuat orang-orang yang mengikuti mayoritas menjadi tertekan
untuk berkompromi. Kemungkinan ketiga yang mungkin adalah ketika masyarakat
dihadapkan dengan seseorang dengan kepercayaan diri dan dedikasi yang menyatakan
sesuatu yang tidak biasa dan malah melawan mayoritas namun menolak untuk mundur,
orang-orang akan berpikir bahwa mungkin dia ada benarnya.

Berdasarkan meta-analisis Wendy Wood dan rekan-rekannya (1994), dari sembilan


puluh tujuh percobaan pengaruh minoritas, menyimpulkan bahwa ada dukungan yang kuat
dari hipotesis konsistensi. Pada satu study, sebagai contoh, Moscovisi dan rekan-rekannya
(1969) melakukan eksperimen yang merupakan kebalikan prosedur Asch, dimana subjek-
subjek dihadapkan dengan minoritas, dimana aktor yang menyamar sebagai subjek membuat
keputusan atau jawaban yang salah. Pada kelompok yang berjumlah enam orang, subjek
mengambil bagian eksperimen yang menduga bahwa ini adalah studi persepsi warna. Mereka
melihat rangkaian slides. Semuanya biru, tapi berbeda-beda intensitasnya. Untuk setiap slide,
para subjek bergantian untuk menyebutkan warna slide tersebut. Meskipun perkejaan yang
mudah, dua orang actor sudah ditempatkan dari enam orang tersebut dan bersengkongkol
untuk menjawab bahwa semua warna slide adalah hijau. Ketika para actor konsisten; ketika
keduanya membuat keputusan bahwa semua slide berwarna hijau (yang sebenarnya adalah
biru), mereka ternyata membuat pengaruh yang tak terduga. Satu pertiga dari subjek
mengatakan setidaknya slide itu adalah hijau, dan delapan persen dari semua respon adalah
salah (hijau). Penelitian lebih lanjut mengkonfirmasi bahwa persepsi atas konsistensi
merupakan suatu faktor yang penting.

Berdasarkan fakta bahwa perbedaan pendapat atau kepercayaan bisa menimbulkan


sikap perlawanan, Edwin Hollander (1958) merekomendasikan pendekatan yang berbeda.
Hollander berkata bahwa jika kita ingin menjadi ketua dari suatu grup atau menentangnya,
pertama kita harus menjadi anggota yang diterima dari grup tersebut. Ia mengatakan untuk
mempengaruhi mayoritas, orang harus menyesuaikan diri dengan kelompok tersebut untuk
mendapatkan kepercayaan mereka dan memang dilihat sebagai orang dalam yang kompeten.
Dengan mengikuti anggota yang mainstream (mengikuti dan setuju dengan aturan dan
kepercayaan majoritas), mereka mendapatkan idiosyncrasy credits (poin penghargaan atau
reputasi yang didapatkan dengan mengikuti norma suatu kelompok). Lalu setelah
idiosyncrasy credits yang dikumpulkan dari dalam grup itu sudah bisa dibilang cukup, suatu
penyimpangan dari norma grup mungkin bisa ditolerir. Beberapa studi sudah memperlihatkan
bahwa strategi ini efektif (Bray, 1982; Lortie-Lussier, 1987).

Para peneliti telah membandingkan efek dari mayoritas dan minoritas, dan
mendapatkan suatu kesimpulan. Dalam conformity yang diterapkan secara langsung dan
publik, mayoritas lebih unggul dibandingkan minoritas. Namun, dalam conformity yang
diterapkan secara tidak langsung dan private, minoritas cenderung mengeluarkan kekuatan
dan dampak yang lebih besar daripada saat diterapkan secara langsung dan publik.
Nemeth dan Cynthia Chiles (1988) membuat satu kali lagi eksperimen yang hampir persis
sama dengan eksperimennya Asch, namun dalam eksperimen ini aktor dibagi dua. Satu
adalah kelompok aktor yang akan menjawab dengan jawaban salah. Satu lagi adalah satu
orang yang akan mencoba menjawab semua dengan salah, hanya sesekali saja, atau
menajawab benar semua. Subjek yang diteliti masih hanya satu. Hasilnya adalah, saat
mayoritas (aktor kelompok pertama) menjawab pertanyaan yang salah, dan aktor menjawab
jawaban dengan benar, subjek yang diteliti mengikuti jawaban yang benar. Makin benar aktor
menjawab, makin yakin si aktor bahwa jawabannya benar, yang membentuknya menjadi
lebih mandiri.

COMPLIANCE

Pada situasi yang conformity, orang mengikuti norma kelompok yang implicit (tidak
langsung) . Tapi bentuk umum lain dari pengaruh sosial terjadi ketika seseorang membuat
request (permintaan) yang explicit (secara langsung), dengan harapan bahwa kita akan
memenuhinya. Compliance adalah perubahan tingkah laku yang terjadi karena permintaan
secara langsung. Situasi yang meminta kita melakukan suatu compliance bentuknya ada
banyak. Termasuk teman yang meminta pertolongan, diawali dengan malu-malu dengan
mengajukan pertanyaan Apakah anda bisa membantu saya? Juga termasuk suara bisnis
seorang salesman, diawali dengan kata-kata Saya punya penawaran menarik bagi anda!
Kadang-kadang permintaan itu sendiri jelas didepan mata dan secara langsung, apa yang anda
lihat adalah apa yang anda akan dapatkan. Di lain waktu, ini merupakan manipulasi yang
halus, tersirat, dan terperinci

Bagaimana kita dapat membuat orang lain untuk memenuhi permintaan kita?
Bagaimana polisi mengintrogasi tersangka kejahatan agar mengaku? Apakah menggunakan
ancaman, janji, penipuan, kesopanan atau alasan? Apakah anda mengisyaratkan, membujuk,
merajuk, bernegosiasi, atau mengamuk? Strategi compliance yang digunakan tergantung
seberapa baik kita tahu tentang seseorang, status dalam suatu hubungan, kepribadian kita,
budaya, dan asal permintaan tersebut. (Bisanz & Rule, 1989; Buss et al., 1987; Holtgraves &
Yang, 1992).

The Discourse of Making Requests (Jalannya Membuat Suatu Permintaan)

Orang-orang akan lebih menyerah atau menurut jika ia terkejut atau suatu
permintaan datangnya tak terduga. Contohnya, penumpang kereta bawah tanah di New York
diberi tahukan terlebih dahulu bahwa mungkin akan ada orang yang datang meminta tempat
duduk mereka, hanya 28 persen yang setuju ketika seseorang meminta tempat duduk mereka.
Namun, ketika seseorang datang tiba-tiba dan meminta tempat duduk, sebanyak 56 persen
memberikan tempat duduknya (Milgram & Sabini, 1978).

Orang-orang pun dapat melakukan compliance dengan penyusunan kata di dalam


suatu permintaan. Ellen Langer dan kawan-kawannaya (1978) menemukan bahwa kata-kata
dapat menipu kita untuk menjadi menurut. Dalam eksperimennya, peneliti mendekati subjek
yang sedang menggunakan mesin fotokopi dan meminta untuk menggunakannya untuk si
peneliti terlebih dahulu. Ada tiga kondisi yang digunakan saat dia meminta untuk
menerobos. Pertama adalah ia berkata Bolehkah saya menggunakan mesin ini. Dalam
versi kedua ia tambahkan karena saya sedang terburu-buru. Hasilnya, subjek memberikan
mesin itu saat ada suatu alasan (kondisi kedua, sebanyak 94 persen) dibandingkan saat tidak
ada (kondisi pertama, 60 persen). Namun, di kondisi ketiga tidak mengindikasikan apapun
yang dapat meningkatkan suatu compliance. Kata-katanya yaitu, Maaf, saya punya lima
lebar kertas. Boleh saya pakai mesinnya karena saya harus membuat beberapa kopian Jika
dilihat, kata-kata tersebut tidak mengandung alasan apapun. Tapi, 93 persen subjek menuruti
permintaanya. Suatu alasan sepertinya terlihat oleh si subjek hanya karena ada kata karena,
padahal tidak mengandung alasan apapun.

Norma Timbal Balik (The Norm of Reciprocity)

Norma timbal balik adalah keadaan dimana kita diminta untuk memperlakukan
orang lain seperti orang lain memperlakukan kita (Gouldner, 1960). Norma ini mempunyai
sisi negatif dan positif. Dalam sisi negatif, norma ini bisa digunakan sebagai ajang
pembalasan kepada mereka yang menyakiti atau merugikan kita: Mata dibalas mata.
Positifnya, kita merasa harus membayar kebaikan yang dilakukan oleh orang lain.
Namun, norma ini pun bisa digunakan untuk mengeksploitasi kita. Salah satu
contohnya adalah experimen yang dilakukan oleh Dennis Regan (1971). Regan membawa
dua orang subjek untuk eksperimen tentang keindahan. Namun sebenarnya salah satu
subjek adalah aktor yang sudah disiapkan oleh Regan yang dilatih untuk bersikap
menyenangkan dan tidak menyenangkan kepada subjek. Dalam kondisi pertama, si aktor
memberikan suatu kebaikan. Saat istirahat, si aktor pergi dan kembali dengan membawa dua
Coca-Cola, satu untuknya, dan satu lagi untuk si subjek. Dalam kondisi kedua, dia pergi
namun kembali dengan tidak membawa apapun. Di kondisi ketiga, si subjek diberikan Coca-
cola namun oleh peneliti, bukan oleh aktor. Setelah itu si aktor menawarkan tiket undian yang
dia jual (dilakukan pada ketiga kondisi), harganya 25 sen per tiket. Setelah diteliti, rata-rata
subjek akan membeli tiket undian setelah si aktor memberinya minum daripada saat tidak
diberi apapun. Norma timbal balik ini sangat kuat karena subjek membalas kebaikan itu
terlepas sikap si aktor yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Faktanya pula, rata-
rata subjek menghabiskan 43 sen untuk membeli tiket tersebut. Padahal Coca-cola pada saat
itu kurang dari 25 sen.
Ada beberapa orang yang lebih sering mengeksploitasi norma ini dengan cara di atas.
Individu yang menggunakan reciprocity untuk memperoleh pemenuhan personalnya disebut
creditors (Martin Greenberg dan David Westcott, 1983), karena mereka selalu membuat
orang lain berhutang kepada mereka.

Membuat Perangkap: Strategi Permintaan Berurutan

Ada empat teknik yang digunakan untuk mendapatkan compliance. Empat teknik tersebut
berdasarkan dua atau lebih permintaan yang saling berkaitan. Permintaan pertama untuk
menaruh perangkap. Permintaan kedua menangkap mangsa.

The Foot in the Door. Teknik the foot in the door atau secara harfiah diartikan kaki di
depan pintu, merupakan salah satu dari empat teknik compliance. Teknik ini menggunakan
dua tahap, dimana si peminta tidak memberikan permintaan yang sebenarnya terlebih dahulu,
namun pertama-tama meminta permintaan kecil sebagai pembukaan, lalu permintaan yang
sebenarnya baru di ajukan setelahnya. Jonathan Freedman dan Scott Fraser (1966) sudah
melakukan eksperimen dalam teknik ini. Dalam eksperimen mereka, peneliti menelepon
subjek yang merupakan wanita-wanita pembuat perabotan rumah, berkata bahwa si peneliti
merupakan pegawai dari salah satu organisasi konsumer dan bertanya apakah mereka
bersedia untuk ditanya tentang pertanyaan sekitar perabotan rumah. Mereka yang setuju lalu
diberikan beberapa pertanyaan lalu dan si peneliti berterima kasih atas waktu mereka. Tiga
hari kemudian, si peneliti menelepon kembali mereka yang setuju ditanya dan meminta
permintaan yang besar. Peneliti bertanya apakah si subjek bersedia untuk rumahnya
digeledah oleh beberapa orang untuk membuat inventory tentang produk perabotan rumah
yang dipakai.
Hasilnya adalah, ketika para subjek di minta untuk rumahnya digeledah tanpa ditanya
tentang pertanyaan sekitar perabotan rumah terlebih dahulu, sekitar 22 persen bersedia.
Namun, yang setuju menjawab pertanyaan tentang perabotan rumah lalu diminta untuk
rumahnya digeledah, 53 persen bersedia.
Beberapa penjelasan diberi untuk menerangkan mengapa teknik ini berhasil, namun
penjelasan yang paling mungkin adalah karena self-perception theory; bahwa orang
merumuskan sikap mereka dengan melihat tindakan mereka sendiri. Ketika bersedia ditanya
tentang perabotan rumah, kita lalu mengadaptasi suatu gambaran tentang diri kita sebagai
orang yang kooperatif. Lalu saat diminta permintaan yang lebih besar, kita merespon dengan
cara untuk mempertahankan gambaran tadi (sebagai seseorang yang kooperatif).

Low-Balling. Membuat seseorang setuju dengan suatu permintaan, namun setelah setuju,
ukuran permintaan tersebut bertambah dengan mengeluarkan suatu persyaratan yang lain.
Contohnya adalah jika seorang pedagang mobil menjual produknya dengan harga yang
sangat murah dan si pembeli sangat tertarik dengan mobil tersebut lalu setuju untuk
membelinya, namun setelah itu, si pedagang berkata bahwa ternyata ada harga tambahan
yang harus dibayar. Suatu experimen lainnya adalah, seorang peneliti menawarkan
mahasiswa untuk menjadi subjek penelitian, dimana jika mereka setuju, akan ada tambahan
nilai, namun mereka harus datang jam 7 pagi. Mahasiswa yang setuju berjumlah 31 persen.
Namun ketika mereka tidak diberi tahu harus datang jam 7 pagi, dan diberitahukannya setelah
mereka setuju untuk menjadi subjek penelitian, mahasiswa yang setuju meningkat menjadi 56
persen.
Salah satu penjelasan tentang teknik ini adalah berdasarkan psikologi dari komitmen
(Kiesler, 1971). Dimana setelah memberikan keputusan, orang berpikir bahwa keputusannya
itu benar dan beralasan dengan melihat aspek positif yang didapatkannya. Semakin
berkomitmen dengan keputusan itu, orang tidak akan mengubah pikiran mereka, bahkan jika
dasar alasan atas keputusan yang mereka ambil itu berubah. Dalam contoh mobil di atas, si
pembeli mungkin saja sudah berfantasi dengan mobil barunya yang akan dibeli tersebut,
namun setelah si pedagang berkata ada biaya tambahan yang harus dibayar, si pembeli
mungkin sudah terlanjur jatuh cinta dengan mobilnya.

The Door in the Face. Kebalikan dari teknik the foot in the door, the door in the face teknik
ini dilakukan dengan meminta permintaan yang sangat besar sehingga kemungkinan besar
akan ditolak, lalu meminta permintaan yang lebih kecil. Contoh experimennya adalah saat
seorang ahli dalam ilmu pengaruh sosial, Cauldini (1975) dan kawan-kawannya menawarkan
mahasiswa untuk kerja suka rela dalam program konseling untuk remaja-remaja nakal. Jika
setuju, mereka harus berkomitmen untuk bekerja dua jam seminggu selama dua tahun
kedepan. Sudah diduga tidak ada seorang pun yang setuju. Namun setelahnya mereka
ditawari untuk menemani sebuah grup remaja nakal untuk pergi ke kebun binatang selama
dua jam. Hasilnya, mereka yang setuju dengan penawaran kedua tanpa ditawari penawaran
pertama terlebih dahulu, yaitu sebanyak 17 persen. Namun, mereka yang setuju dengan
penawaran kedua setelah ditawari penawaran pertama, meningkat menjadi 50 persen.
Salah satu penjelasan tentang teknik ini adalah tentang perceptual contrast. Dimana
setelah diberi tahu tugas yang sangat besar, tugas yang kedua terlihat lebih kecil.
Penjelasan yang kedua adalah tentang reciprocal concessions. Dimana kita menerima
tekanan untuk mengubah respond ketika sedang dalam posisi tawar-menawar. Ketika
individu menolak permintaan yang besar lalu ditawari permintaan yang kecil, kita melihat
tindakan itu sebagai kesempatan untuk akan memenuhi compliance dari kita.

Thats Not All, Folks! Teknik ini juga menggunakan dua tahap, yaitu pertama kita
menawarkan sesuatu, lalu penawaran itu diubah dengan mengurangi ukuran permintaan atau
diberikannya bonus jika memenuhi tawaran tersebut.
Contoh eksperimennya adalah eksperimen yang dilakukan oleh Jerry Burger (1986).
Ia berhipotesis bahwa orang akan lebih membeli barang jika penawaran yang diberikan
terlihat membaik daripada ketika penawaran yang sama diberikan langsung dari awal. Ia
bereksperimen dengan menjual kue. Beberapa orang yang datang diberi harga 75 sen.
Beberapa lagi diberi harga 1 dolar, namun sebelum si pembeli merespon, Burger langsung
berkata bahwa harganya menurun menjadi 75 sen. Hasilnya, ketika pembeli yang percaya
bahwa harganya berkurang dari harga aslinya, penjualan meningkat dari 44 persen menjadi
73 persen.

Assertiveness: When People Say No (Ketegasan: Ketika Orang Berkata Tidak)

Kebanyakan orang sulit untuk menjadi tegas dalam situasi interpersonal, apalagi saat
permintaan itu datang dari teman, pasangan atau bahkan orang tak dikenal, mereka menjadi
cemas saat berpikir untuk menolak permintaan itu. Memang, ada waktu tertentu saat kita
tidak nyaman untuk berkata tidak.
Menurut Cialdini, kemampuan untuk menolak tekanan compliance adalah kita harus
menjadi waspada. Kita harus waspada kepada orang-orang yang memberi kita hadiah lalu
tiba-tiba meminta suatu permohonan atau permintaan pada kita. Jangan sampai kita merasa
bahwa kita harus membayar mereka kembali.

OBEDIENCE

Ketika permintaan atau perintah dikeluarkan dari figur yang berwenang, berpengaruh
atau yang mempunyai kuasa (authority figure), lalu kita mengikuti perkataannya, ini
dinamakan obedience. Atau lebih singkatnya adalah perubahan tingkah laku karena akibat
perintah dari authority figure. Masalah dari obidience ini adalah, simbol yang
mengindikasikan figur yang berwenang seperti pangkat, seragam, atau lencana yang bahkan
tanpa kredensial yang jelas, bisa merubah sekumpulan orang biasa menjadi budak mereka.
Fenomena ini diteliti oleh Leonard Bickman (1974). Ia menyuruh seseorang untuk
menghentikan orang yang sedang berjalan dan meminta mereka melakukan sesuatu yang tak
biasa. Ia menghentikan seseorang dan berkata Tolong bawa tas saya!, beberapa kali
menunjuk orang yang sedang berdiri di samping mobil yang sedang di parkir dan berkata,
Orang itu memarkir mobilnya di samping meter (merupakan sistem pembayaran parkir
dengan memasukan koin) tapi tidak punya uang receh. Seseorang berikan dia uang receh!
Saat si orang yang berkata itu memakai baju sehari-hari, hanya satu per tiga orang yang
menurutinya, namun ketika si orang itu berseragam layaknya petugas keamanan, hampir
sembilan dari sepuluh subjek menurutinya. Bahkan setelah dia menghilang, banyak orang
yang masih mengikuti perintahnya.
Pada sisi ekstrem, kita bisa melihat kejadian obedience yang sangat buta. Seperti saat
seorang kriminal perang Nazi di interview, mereka gagal memperlihatkan sifat jahat yang
diturunkan secara genetik. Saat mereka ditanya apa pembelaanya terhadap tindakannya, ia
hanya bilang, Saya hanya mengikuti perintah.. Satu contoh ekstrem lagi ialah di tahun
1978, dimana 900 orang dari kelompok pemuja Peoples Temple menuruti perintah yang
dikeluarkan oleh pendeta mereka, Jim Jones, untuk bunuh diri.

Milgrams Research: Forces of Destructive Obedience


Eksperimen yang dilakukan Stanley Milgram menimbulkan banyak debat tentang
kode etik. Eksperimen yang dilakukan Milgram bertujuan untuk menginvestigasi seberapa
patuhkah orang menerima perintah dari figur authority yang dimana jika dilakukan, perintah
itu akan menimbulkan kesakitan dan membahayakan orang lain. Secara spesifik, ia ingin
melihat seberapa besarkah kejutan elektrik yang akan diberikan kepada orang yang tak
berdaya ketika di perintahkan seorang peneliti di labnya. Jika dipatuhi, tindakan ini
dinamakan destructive obedience atau mematuhi perintah yang menimbulkan rasa sakit atau
penderitaan pada orang lain dan experimen Milgram memaksakan destructive obedience ini
untuk terjadi.
Singkatnya, penelitian ini sebagai berikut; kedua subjek dipanggil ke dalam sebuah
laboratorium, si peneliti berkata bahwa experimen ini berupaya untuk melihat efek hukuman
kepada proses belajar. Disini kedua subjek akan diberi peran; guru dan murid. Dimana
guru akan memberikan hukuman dan murid lah yang akan diperiksa proses belajarnya. Salah
satu subjek merupakan aktor yang sudah bekerja sama dengan si peneliti, dimana ia akan
menjadi murid, dan subjek yang sebenarnya akan menjadi guru. Tugas si guru di sini ialah
untuk menguji ingatan si murid dan memberikan kejutan listrik jika si murid salah menjawab
pertanyaan yang diberikan guru. Si murid lalu di bawa ke suatu ruangan dimana dia duduk
dengan diikat tangannya. Ikatan tangan tersebut merupakan media untuk kejutan listrik. Si
aktor berkata bahwa dia mempunyai masalah jantung, namun si peneliti bilang bahwa kejutan
listrik ini tidak akan menimbulkan kerusakan yang permanen padanya. Si peneliti lalu
memberitahu si subjek (guru) untuk mencoba merasakan kejutan listrik tersebut, dan ia
berkata bahwa memang rasanya sakit.
Si subjek lalu dibawa keruangan selanjutnya, dimana ia akan menguji si murid dan
memberikan kejutan listrik. Si subjek menemukan alat yang menimbulkan kejut listrik
tersebut, sebuah mesin yang mempunyai label kejutan ringan yang berada di 15 volt lalu
sampai yang paling tinggi yaitu 450 volt yang berlabel XXX
Si guru lalu memulai pengejuian, dengan membacakan beberapa seri kata yang
berpasangan lalu memberikan si murid pertanyaan tentang pasangan kata yang tadi
disebutkan. Jika salah ia akan di beri kejutan, dan setiap kali salah, kejutannya akan
meningkat dengan interval 15 volts. Tentu saja si murid sebenarnya tidak diberi kejutan dan
si guru pun tidak tahu bahwa dia sebenarnya tidak diberi kejutan. Si aktor pun diberi sebuah
instruksi, dimana dia harus berbicara atau berprotes pada tingkatan volt tertentu; awalnya
hanya berteriak Ugh! namun makin meninggi volt, ia akan mulai berteriak lebih keras,
memohon untuk berhenti, ingin keluar, dan berkata bahwa jantungnya bereaksi karena
kejutan tersebut. Pertanyaanya adalah apakah si guru akan terus mengikuti perintah dari si
peneliti atau tidak? Sampai mana ia akan patuh?
Hasilnya sangat mengejutkan, total subjek penelitian ini berjumlah 40 orang laki-laki.
Dari 40 orang 26 orang mengikuti aturan si peneliti sampai memberikan kejutan sebesar 450
volts yang berlabel XXX. Tidak ada yang berhenti dibawah 300 volt.

The Obedient Subject

Jika dilihat sekilas, kita mungkin akan mengambil konklusi bahwa 65% orang yang
menyiksa orang dengan kejutan listrik tersebut merupakan orang yang sadis atau tidak
peduli. Namun, penelitian ini tidak sesederhana itu.. Hampir semua subjek berhenti
sementara dan bertanya kepada si peneliti apakah si murid baik-baik saja. Si peneliti pun
akan mendorong si subjek untuk melanjutkan tugas mereka, dan mereka menurut. Tetapi di
dalam grup control, di mana si peneliti tidak mendorong si subjek, mereka berhenti
berpartisipasi dalam eksperimen ini dalam waktu singkat. Milgram juga menemukan bahwa
para subjek merasa tersiksa dengan pengalaman mereka dalam melakukan tugasnya. Saat
mereka memohon untuk berhenti, namun si peneliti memaksa mereka untuk terus melakukan
tugasnya, mereka menggigil, tergagap, merintih, berkeringat, mengigit bibir, dan mendorong
kuku mereka ke kulit saat mereka melakukan tugas mereka.
Juga perlu diingat, bahwa karakteristik individual dan situasi dimana dia berada
sangat berpengaruh pada kepatuhan mereka, beberapa malah lebih patuh ketika diberi situasi
yang berbeda (Blass, 1991). Meskipun karakteristik kepribadian dapat membuat orang lebih
rentan atau lebih kuat akan destructive obedience, yang tampaknya lebih penting adalah
seting dimana individu itu berada. Tiga faktor penting yang mempengaruhi obedience
(kepatuhan) adalah authority figure, kedekatan subjek dengan korban, dan prosedur
experimen.

The Authority

Di dalam melakukan destructive obedience, authority figure sangat berpengaruh.


Seperti contoh di atas saat orang berseragam seperti petugas keamanan, orang sekitarnya
lebih mematuhi perintahnya daripada saat orang itu berpakaian biasa. Kehadiran si figur dan
legitimasi atau hak kekuasaan yang jelas, penting untuk mengsukseskan destructive
obedience. Dalam penelitian Milgram, saat tempat eksperimen dipindahkan dari Lab di Yale
University ke suatu gedung kantor perkotaan, kepatuhan subjek menurun sebanyak 48 persen.
Juga saat si peneliti tidak satu ruangan dengan si subjek dan memberikan perintahnya melalui
telepon, hanya ada 21 persen orang yang melakukan tugasnya sampai akhir.

The Victim

Karakteristik situasional si korban pun berpengaruh penting terhadap terjadinya


destructive obedience. Saat seorang pilot yang menjatuhkan bom Hiroshima di Perang Dunia
ke 2 berkata Saya tidak berpikir apa-apa, saya hanya menjalankan perintah. Ini
mengisyaratkan bahwa ketika korban dan si pemberi hukuman secara fisik terpisah, ia bisa
menjauhkan diri mereka secara emosional dari konsekuensi atas tindakannya. Buktinya
adalah saat si guru dan si murid ditempatkan dalam ruangan yang sama, hanya 40 persen
yang patuh sampai akhir, dan saat si guru disuruh menggenggam tangan si murid saat ia
memberi kejutan listrik, hanya 30 persen yang patuh sampai akhir. Namun hasil ini pun
berkata bahwa tiga dari sepuluh masih menurut untuk memberikan kejutan karena obedience.

The Procedure

Di dalam penelitian Milgram ada dua aspek penting dalam prosedur experimennya.
Pertama adalah si subjek dibebaskan dari perasaan tanggung jawab. Dalam experimen
Milgram, si subyek diyakinkan bahwa dia tak bertanggung jawab dengan apa yang dia
lakukan (memberi kejutan listrik), namun eksperimenterlah yang bertanggung jawab. Kedua
adalah cara meningkatkan obedience yang bertahap. Jika kita lihat, subjek disuruh
meningkatkan kejutan listrik dari yang ringan sampai yang tinggi. Teknik ini seperti teknik
foot in the door. Subjek disuruh meningkatkan 15 volt setiap salah, bukan tegangan yang
sangat tinggi, mereka kira. Namun setelah sadar mereka memberikan volt yang tinggi dan apa
akibatnya kepada si murid, mereka sulit untuk keluar dari situasi itu.

Defiance: When People Rebel

Jika proses pengaruh sosial bisa membuat orang mematuhi perintah figur authority
dengan buta, proses pengaruh sosial pun bisa membuat orang melawan atau menentang.
Suatu penelitian membuktikan bahwa tingkah laku dari suatu kelompok orang lebih susah
dikendalikan daripada tingkah laku seorang individu.
Eksperimen ini dilakukan oleh William Gamson (1982). Singkatnya, ia menyuruh
sekelompok orang (dimana mereka itu subjek penelitian) untuk berdiskusi tentang kasus
suatu perusahaan minyak yang dituntut oleh seorang manajer suatu bengkel, diskusi itu di
rekam untuk menjadi bukti yang akan digunakan di peradilan. Si peneliti berpura-pura
menjadi koordinator diskusi. Saat si peneliti membuka tentang apa kasus ini sebenarnya, para
subjek mengambil kesimpulan bahwa mereka condong memihak manajer bengkel daripada si
perusahaan minyak. Namun, si peneliti berkata bahwa si perusahaan minyak ingin menang
dalam persidangan. Ia ingin setiap subjek berdiskusi dengan isi yang akan membantu si
perusahaan minyak. Ternyata para si subjek langsung tidak setuju dengan si peneliti. Malah
beberapa orang langsung mengancam untuk membocorkan tindakan si peneliti.
Contoh lain adalah saat eksperimen Milgram menggunakan dua guru yang
ditempatkan di ruangan yang sama. Hasilnya, subjek pertama berhenti di 150 volts, dan yang
kedua di 210 volts, sangat berbeda dengan hasil ketika hanya ada satu guru dimana tidak
ada yang berhenti di bawah 300 volts. Bisa dilihat bahwa ketika hanya ada satu orang yang
mendapatkan obedience, mereka akan lebih patuh daripada ketika ada orang lain yang berada
di situasi yang sama.
Namun jangan salah, sekumpulan orang bukan menjadi jaminan bahwa mereka tidak
akan terkena dampak destructive obedience. Seperti yang sudah diketahui, bahwa kejadian
yang pelopori Jim Jones membunuh 900 orang dalam waktu dan tempat yang bersamaan.

CONTINUUM OF SOCIAL INFLUENCE

Social Impact Theory

Social impact theory adalah teori yang mengatakan bahwa pengaruh sosial bergantung
pada kekuatan, kedekatan, dan jumlah sumber orang yang memberi pengaruh pada target
yang dituju.
Sumber kekuatan dideterminasikan oleh status, kemampuan, atau hubungan dengan
target. Jika makin kuat, pengaruhnya pun makin besar. Kedekatan disini maksudnya adalah
kedekatan dalam waktu dan ruang yang dimiliki sumber dengan target yang dituju. Makin
dekat sumber dengan target, maka dampaknya akan semakin besar. Terakhir adalah jumlah,
dimana jika jumlah pengaruh makin banyak, maka pengaruhnya pun akan meningkat.
Social impact theory juga memperdiksikan bahwa beberapa orang tahan dengan
tekanan sosial. Ketahanan tersebut dimiliki jika target yang dituju jauh dari sumber pengaruh
dan kekuatan yang dimilikinya lebih besar dari pada kekuatan yang dimiliki sumber.

Perspectives of Human Nature (Perspeksi Sifat Alami Manusia)

Jika kita telaah materi yang telah kita dipelajari, bisa kita lihat bahwa pengaruh sosial
dapat terjadi tergantung situasi, dimana ada yang mudah, dan ada yang sulit. Namun secara
umum, apakah orang itu mudah dipengaruhi atau tidak?
Tidak ada jawaban yang universal untuk pertanyaan tersebut. Seperti yang tadi
dibahas, ada kultur yang lebih condong kepada independence, dan kultur yang lain lebih
menekankan kepada conformity. Namun, suatu kultur yang menekankan conformitiy atau
independence pun, mungkin suatu hari akan bisa berubah. Tahun 1942, para ibu di Amerika
di tanya Sifat apa yang ingin anak anda kembangkan?, mereka menjawab obedience dan
loyalty. Namun, saat pertanyaan yang sama diberikan lima puluh empat tahun kemudian
dan pada para ibu yang sama pula, mereka menjawab independence dan tolerance of
others.
Jika kita lihat dalam sisi positif, conformity, complience, dan obedience merupakan
suatu respon manusia yang bagus dan memang dibutuhkan. Mereka menimbulkan solidaritas
dan persetujuan, sesuatu yang membuat suatu kelompok terhindar dari suatu pertikaian.
Namun dalam sisi negatif, kurangnya indepndence, assertiveness, dan defiance merupakan
tingkah laku kurang baik yang bisa membuat mereka berpikir sempit, pengecut, bertingkah
destructive obedience.

Anda mungkin juga menyukai