Anda di halaman 1dari 73

Jenis Jenis Pajak di Indonesia

Jenis Jenis Pajak yang Berlaku

Jenis Jenis Pajak di Indonesia meliputi bermacam macam jenis dan umumnya bisa dibedakan
berdasarkan pihak pemungut atau pengelolanya, juga bisa dibagi jenis jenis pajaknya berdasar pada
karakter subjek pajak, obyek pajak, cara pemungutannya dan sebagainya.

Jenis Jenis Pajak

Jenis Pajak menurut Lembaga Pemungutan

Jenis jenis pajak yang diklasifikasikan menurut lembaga pemungutnya, pajak bisa
diklasifikasikan Pajak Pusat, dan Pajak Daerah

Jenis Pajak Pusat

Pajak Pusat merupakan pajak yang pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat , lebih
spesifik lagi pajak pusat mayoritas dikelolah oleh Dirjen Pajak - Kementerian Keuangan.
Adapun Pajak yang dikelola oleh Direktorat Jendral Pajak (Dirjen Pajak) adalah terdiri atas :

Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak Penghasilan atau yang biasa disingkat PPh merupakan pajak yang dikenakan pada
badan atau orang pribadi atas penghasilan yang diperoleh pada satu tahun pajak. Lebih
lengkap mengenai Pajak Penghasilan anda bisa membacanya di : Pajak Penghasilan

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak Pertambahan Nilai atau yang biasa dikenal sebagai PPN merupakan pajak yang
dikenakan terhadap konsumsi barang kena pajak maupun jasa kena pajak pada daerah
wilayah indonesia (daerah pabean). perusahaan, orang pribadi ataupun pemerintah yang
mengkonsumsi barang atau jasa kena pajak akan dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Pada
dasarnya, tiap barang atau jasa adalah termasuk Barang Kena Pajak ataupun Jasa Kena Pajak
kecuali Undang Undang PPn Menentukan lain.

Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Selain juga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atas konsumsi Barang Kena Pajak, pada
barang baragn tertentu yang diklasifikasikan sebagai barang mewah juga dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah atau yang disingkat PPnBM. Dan yang termasuk kedalam
Barang Mewah yang dikenakan PPnBM adalah :
Barang tersebut bukanlah kebutuhan pokok
Dikonsumsi oleh golongan masyarakat tertentu
Umumnya dikonsumsi olah masyarakt yang memiliki penghasilan tinggi
Dikonsumsi untuk menunjukkan status
Bila dikonsumsi bisa merusak moral masyarakat dan merusak kesehatan serta bisa
mengganggu ketertiban dalam masyarakat

Bea Materai

Bea Materai merupakan pajak yang dikenakan terhadap pemanfaatan dokumen semisal surat
perjanjian, akte notaris, kuitansi pembayaran, surat berhargga dan efek yang didalamnya
memuat nominal uang diatas jumlah tertentu yang sesuai dengan ketentuan.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pajak Bumi dan Bangunan atau yang familiar dengan istilah PBB merupakan pajak yang
dikenakan terhadap kepemilikan maupun pemanfaatan tanah dan atau bangunan. Pajak Bumi
dan Bangunan adalah Pajak Pusat namun pada alokasian danya hampir seluruhnya diserahkan
kepada Pemerintah Daerah baik Kabupaten atau Kota maupun Pemerintah Provinsi

Namun, sejak tanggal 1 Januari 2010 Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan perkotaan
menjadi jenis Pajak Daerah sepanjang Perda (peraturan daerah) mengenai Pajak Bumi dan
Bangunan diterbitkan. Jika dalam rentang waktu tersebut hingga paling lambat 31 desember
2013 Perda masih belum diterbitkan, maka Pajak Bumi dan Bangunan di Daerah tersebut
masih tetap dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Sejak 1 Januari 2014, Pajak Bumi dan
Bangunan pedesaan dan perkotaan adalah Pajak Daerah, dan untuk Pajak Bumi dan
Bangunan perkebungan, Pertambangan dan Perhutanan masih termasuk Pajak Pusat. Lebih
lengkapnya bisa baca artikel sebelumnya di: Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Daerah

Pajak Daerah merupakan pajak yang pemungutnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah baik
ditingkat Provinsi ataupun Kabupaten atau Kota, adapun macam macam pajak daerah
diantaranya :

Pajak Propinsi
PKB (Pajak Kendaraan Bermotor)
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

Pajak Air Permukaan


Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Pajak Rokok

.
Sedangkan Pajak Kabupaten atau Kota, terdiri atas :
Pajak Hotel dan Restoran
Pajak Reklame

Pajak Hiburan
Pajak Penerangan Jalan
Pajak Parkir
Pajak Mineral bulan Logam dan Batuan
Pajak Sarang Burung Walet
Pajak Bumi dan Bangunan pedesaan dan pekotaan
Pajak Air Tanah
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan

Selain itu ada juga yang mengklasifikasikan jenis jenis pajak ditinjau dari cara pemungutan
dan objek pajak yang dikenakan

Ditinjau dari Cara Pemungutan

Pajak Langsung

Pajak yang yang harus ditanggung oleh Wajib Pajak sendiri, tidak boleh dikuasakan atau
dilimpahkan kepada orang lain. yang termasuk Pajak Langsung contohnya :
Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Perseroan (PPs)


Pajak Deviden
Pajak Bunga Deposito
Pajak Kekayaan
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
Bea Balik Nama

Pajak Tak Langsung

Pajak Tidak Langsung merupakan pajak yang pemungutannya bisa dialihkan atau diwakilkan
oleh orang lain, Contohnya :
Pajak Penjualan
Pajak Pertambahan Nilai

Cukai
Pita Rokok
Pajak Tontonan
Bea Materai
Bea Masuk (pajak impor)
Pajak Ekspor

Jenis Pajak di tinjau dari Obyek yang dikenakan Pajak :

Pajak Subyektif

Pajak subjektif merupakan pajak yang berdasarkan atas subyek (orangnya), keadaan atau
kondisi pajak bisa mempengarui jumlah terutang pajak yang harus dibayar semisal pajak
penghasilan, pajak kekayaan dan lain lain

Pajak Obyektif

Pajak Objektif adalah pajak yang pemungutannya didasarkan pada objeknya, semisal bea
masuk bea materai, pajak kendaraan bermotor, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak
Impor dan lain sebagainya

Pajak Penghasilan, Apa itu?

Pajak Penghasilan | PPh

Pengertian Pajak Penghasilan atau yang umumnya disingkat PPh adalah Pajak yang dikenakan
pada Subjek Pajak Penghaslan terhadap penghasilan yang diperoleh pada tahun pajak. Hampir
seluruh warga negara merupakan Subjek Pajak, namun apakah seluruh Subjek Pajak tersebut akan
dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) ?
Pajak penghaslan
Jawabannya tentu Tidak! Warga negara Indonesia yang dikenakan PPh hanyalah Subjek pajak
yang mempunyai penghasilan saja, Dan apakah seluruh Subjek Pajak yang memperoleh
penghasilan akan dikenai Pajak Penghasilan (PPh) ?

Jawabannya juga Tidak ! karena ada batasan penghasilan didalam satu tahun pajak dimana
apabila penghasilan Subjek Pajak masih dibawah batas yang ditentukan, maka Subjek Pajak
tersebut tidak akan dikenakan PPh. Batas yang dimaksud ini biasa kita kenal Penghasilan
Tidak Kena Pajak atau lebih familiar disingkat PTKP.

Yang perlu diketahui adalah penghitungan Pajak Penghasilan PPh dilaksanakan pada satu
periode tertentu, di Indonesia adalah satu tahun, jadi perhitungan PPh akan dilaksanakan
setahun sekali. Pun demikian dengan administrasi perpajakan akan dijalankan secara tahunan.

Menurut UU No 36 th. 2008 mengenai Pajak Penghasilan (PPh) Subjek Pajak yang
memperoleh penghasilan disebut sebagai Wajib Pajak. Wajib pajak dikenakan pajak terhadap
penghasilan yang diperolehnya dalam waktu satu tahun atau bisa juga dikenakan pajak untuk
penghasilan didlam bagian tahun pajak jika kewajiban pajak subyektifnya diawali atau
diakhiri dalam tahun pajak.

Perlu diketahui, Pajak Penghasilan adalah pajak subyektif yang kewajiban pajaknya
menempel atau melekat pada Subjek Pajak pihak yang bersangkutan, maksudnya kewajiban
pajak tsb dimaksudkan suapay tidak dilimpahkan kepada Sbujek Pajak yang lain. Maka dari
itu penentuan waktu dimulai dan berakhir sebuah kewajiban pajak subjektif sangat penting
untuk memberi kepastian hukum.

Subjek Pajak Penghasilan

Subjek Pajak Penghaslan ialah orang pribadi, warisan yang belum dibagi sebatai satu
kesatuan, menggantikan yang memiliki hak, Badan dan Bentuk Usaha Tetap
Subjek Pajak PPh terdiri atas Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri
Pajak Penghasilan PPh dikenakan kepada Subjek Pajak yang memiliki penghasilan melebihi
batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam satu periode.

Apa hubungannya dengan Nomor Pokok Wajib Pajak atau yang populer dengan istilah
NPWP ?

NPWP merupakan alat pemerintah dalam mengawasi kewajiban pajak warga negaranya.
Makin banyak wajib Wajib Pajak yang memiliki NPWP atau terdaftar pada sistem
administrasi perpajakan melalui kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak maka semakin
memudahkan pengawasan oleh pemerintah. Apabila seorang Wajib Pajak sudah mempunyai
NPWP, maka kewajiban melaporkan besarnya Pajak Penghasilan menjadi suatu kewajiban.

Adakah pertanyaan atau sesuau yang perlu dikoreksi? silahkan tinggalkan komentar dikolom
komentar, terima kasih telah membaca tentang Pajak Penghasilan

DIREKTORAT JENDRAL PAJAK

Objek Pajak Penghasilan

Adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang
bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk:

1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-
Undang Pajak Penghasilan;
2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
3. laba usaha;
4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
b. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota ;
c. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan atau pengambilalihan usaha;
d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan.
5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
6. bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
7. dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi ;
8. royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. premi asuransi;
15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
19. surplus Bank Indonesia.

Objek Pajak PPh Final

1. bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya;


2. penghasilan berupa hadiah undian;
3. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek;
4. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, serta
5. penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Tidak Termasuk Objek Pajak


1. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima
zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk
agama yang diakui di Indonesia;
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro
dan kecil yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
3. Warisan;
4. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal;
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, wajib Pajak yang dikenakan pajak
secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus
(deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh;
6. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi
beasiswa;
7. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP
Dalam Negeri, koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan
usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b. bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
8. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan , baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
9. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
10. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
a. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan; dan
b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
12. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, yaitu:
a. Diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi
beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal/nonformal yang
terstruktur baik di dalam negeri maupun luar negeri;
b. Tidak mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi atau
pengurus dari wajib pajak pemberi beasiswa;
c. Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah,
biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil,
biaya untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan
daerah lokasi tempat belajar;
13. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar
pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana
dan prasarana kegiatan bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut;
14. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Peenyelenggara jaminan Sosial
kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
PUSAT KEBIJAKAN PENDAPATAN NEGARA TIM TARIF DEPARTEMEN
KEUANGAN

Daftar dan Objek Tarif Pajak Penghasilan

Dasar
No. Obyek Tarif Sifat
Perhitungan

I PPh Pasal 4 ayat (2)


1. Bunga deposito dan tabungan serta
diskonto SBI

Dasar Hukum : PP No. 131 Tahun 2000

Pengecualian:
a. Bunga deposito dan tabungan serta
diskonto SBI sepanjang jumlah
deposito dan tabungan serta SBI
tersebut tidak melebihi Rp
7.500.000,00 dan bukan merupakan
jumlah yang dipecah-pecah.
b. Bunga dan diskonto yang diterima
atau diperoleh bank yang didirikan
di Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia.
c. Bunga deposito dan tabungan serta
diskonto SBI yang diterima atau
diperoleh Dana Pensiun yang telah
disahkan Menteri Keuangan,
sepanjang dananya diperoleh dari
sumber pendapatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1992
Tentang Dana Pensiun.
d. Bunga tabungan pada bank yang
ditunjuk Pemerintah dalam rangka
pemilikan rumah sederhana dan
sangat sederhada, kapling siap
bangun untuk rumah sederhana dan
sangat sederhana, atau rumah susun
sederhana sepanjang untuk dihuni
sendiri.
2. Transaksi Saham Di Bursa Efek
Dasar Hukum PP No. 41 Tahun 1994
: jo.
PP No. 14 Tahun 1997

a. Bukan Saham Pendiri 0,1% X Nilai Transaksi

b. Saham Pendiri (0,1% X Nilai Transaksi) +


(0,5% X nilai saham pasar Final
saat Penawaran Umum
Perdana (IPO))

3. Bunga atau Diskonto Obligasi yang Final


Diperdagangkan di Bursa Efek

Dasar Hukum : PP No. 16 TAHUN 2009

a. Bunga Obligasi dengan


kupon (interest bearing
bond)
1. WP DN & BUT 15 % Jumlah bruto
2. WP LN selain 20 % atau bunga sesuai
BUT Tarif dengan masa
berdasarkan kepemilikan
P3B obligasi

b. Diskonto Obligasi dengan


kupon
1. WP DN & BUT 15 % Selisih lebih
harga jual
2. WP LN selain 20 % atau atau nilai
BUT Tarif nominal di
berdasarkan atas harga
P3B perolehan
obligasi, tidak
termasuk
bunga
berjalan
c. Diskonto Obligasi tanpa
bunga (zero coupon bond)
1. WP DN & BUT 20 % Selisih lebih
harga jual
2. WP LN selain 20 % atau atau nilai
BUT Tarif nominal di
berdasarkan atas harga
P3B perolehan
obligasi

d. bunga dan/atau diskonto dari


Obligasi yang diterima
dan/atau diperoleh Wajib
Pajak reksadana yang
terdaftar pada Badan
Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan
1. untuk tahun Jumlah bruto
2009 sampai bunga sesuai
0%
dengan tahun dengan masa
2010 kepemilikan
obligasi /
2. untuk tahun 5%
Selisih lebih
2011 sampai
harga jual
dengan tahun
atau nilai
2013
nominal di
3. untuk tahun 15 % atas harga
2014 dan perolehan
seterusnya obligasi

Pengecualian :
a. Wajib Pajak dana pensiun yang
pendirian atau pembentukannya
telah disahkan oleh Menteri
Keuangan dan memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h
Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan
b. Wajib Pajak bank yang didirikan di
Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia

4. Hadiah Undian
Dasar PP No. 132 Tahun Jumlah Bruto
Hukum : 2000 25% Hadiah Final
Undian
KEP-395/PJ./2001

5. Persewaan Tanah dan/atau Bangunan


Dasar Hukum PP No. 29 Tahun 1996
: jo. 10% Jumlah Bruto Final
PP No. 5 Tahun 2002

6. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas


Tanah dan/atau Bangunan
Dasar Hukum PP No. 48 Tahun 1994
: jo.
PP No. 27 Tahun 1996
jo.
PP No. 79 Tahun 1999
jo.
PP No. 71 Tahun 2008

a. Wajib Pajak yang Jumlah Bruto


melakukan transaksi 5% Nilai
pengalihan hak atas tanah Pengalihan
dan/atau bangunan
b. Wajib Pajak Orang Pribadi
yang mengalihkan Hak atas
Final
Tanah dan/atau Bangunan
Jumlah Bruto
yang jumlah bruto nilai
5% Nilai
pengalihannya kurang dari
Pengalihan
Rp. 60 jt namun penghasilan
lainnya dalam 1 tahun
melebihi PTKP.
c. pengalihan hak atas Rumah
Sederhana dan Rumah
Susun Sederhana yang Jumlah Bruto
dilakukan oleh Wajib Pajak 1% Nilai
yang usaha pokoknya Pengalihan
melakukan pengalihan hak
atas tanah dan/atau
bangunan

7. Usaha Jasa Konstruksi

Dasar Hukum : PP No. 51 Tahun 2008

a. Jasa Pelaksanaan Konstruksi


yang dilakukan oleh Penghasilan
2%
Penyedia Jasa yang memiliki bruto
kualifikasi usaha kecil
b. Jasa Pelaksanaan Konstruksi 4% Penghasilan
yang dilakukan oleh bruto
Penyedia Jasa yang tidak
memiliki kualifikasi usaha
c. Jasa Pelaksanaan Konstruksi 3% Penghasilan
yang dilakukan oleh bruto
Penyedia Jasa selain
Penyedia Jasa sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan Final
huruf b
d. Jasa Perencanaan Konstruksi 4% Penghasilan
atau Pengawasan Konstruksi bruto
yang dilakukan oleh
Penyedia Jasa yang memiliki
kualifikasi usaha
e. Jasa Perencanaan Konstruksi 6% Penghasilan
atau Pengawasan Konstruksi bruto
yang dilakukan oleh
Penyedia Jasa yang tidak
memiliki kualifikasi usaha

8. Penghasilan perusahaan modal ventura 0,1 % Jumlah Bruto Final


dari transaksi penjualan saham atau Nilai
pengalihan penyertaan modal pada Transaksi
perusahaan pasangan usahanya Penjualan/
Pengalihan
Dasar Hukum : PP No. 4 Tahun 1995 Penyertaan
Modal
Syarat :
a. merupakan perusahaan kecil,
menengah, atau yang melakukan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha
yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan; dan
b. sahamnya tidak diperdagangkan di
bursa efek di Indonesia.

II PPh Pasal 15
1. Pelayaran Dalam Negeri Peredaran
1,2% Final
Bruto
2. Penerbangan Dalam Negeri Peredaran
1,8%
Bruto
3. Pelayaran dan atau Penerbangan Luar Peredaran
2,64% Final
Negeri Bruto
4. WP LN yang mempunyai Kantor Nilai Ekspor
0,44% Final
Perwakilan Dagang di Indonesia Bruto
5. Pihak-pihak yang melakukan kerjasama Jumlah Bruto
dalam bentuk Perjanjian Bangunan Guna dari Nilai
Serah (Built Operate and Transfer) Tertinggi
antara Nilai
5% Pasar dengan
NJOP Bagian
Bangunan
yang
Diserahkan

III PPh Pasal 21


Dasar UU Nomor 36 Tahun
Hukum : 2008
KEP-545/PJ./2000 Jo

Per-15/PJ./2006

1. Penghasilan yang diterima oleh Pegawai PKP = PB -


Pasal 17 UU
Tetap (BJ/BP + IP) -
PPh
PTKP
2. Upah yang Diterima oleh Tenaga Harian
Lepas
a. Jika jumlah upah (PB) yang
diterima dalam sebulan tidak
melebihi Rp. 1.100.000 PKP = (PB -
5%
maka PTKP sehari PTKP)
ditetapkan sebesar Rp.
110.000.
b. Jika jumlah upah (PB) yang
diterima dalam sebulan
melebihi Rp. 1.100.000
PKP = (PB -
maka PTKP sehari 5%
PTKP)
ditetapkan sebesar PTKP
setahun sesuai dengan
statusnya dibagi dengan 360.
3. Komisi Penjualan yang diterima oleh PKP = (PB -
Pasal 17 UU
Distributor MLM/ Direct Selling dan PTKP)
PPh
kegiatan sejenis perbulan
4. Uang Tebusan Pensiun, Uang THT atau
JHT, Uang Pesangon yang diterima
Pegawai atau Mantan Pegawai, kecuali
tidak lebih dari Rp. 25 juta
a. Rp. 25 juta s.d. Rp. 50 juta 5% PB Final
b. > Rp. 50 juta s.d. Rp. 100
10% PB Final
juta
c. > Rp. 100 juta s.d. Rp. 200
15% PB Final
juta
d. > Rp. 200 juta 25% PB Final
5. Jasa Produksi, Tantiem Gratifikasi, Pasal 17 UU
PB
Bonus yang diterima Mantan Pegawai PPh
6. Honorarium yang diterima Dewan
Komisaris/ Pengawas yang bukan Pasal 17 UU
PB
pegawai tetap pada perusahaan yang PPh
sama
7. Uang Pensiun Bulanan yang diterima Pasal 17 UU PKP= (PB -
pensiun PPh BP) - PTKP
8. Penarikan dana pada Dana Pensiun oleh Pasal 17 UU
PB
Pensiun PPh
9. Honorarium dan Pembayaran Lain yang 15% x 50% PB
diterima oleh Tenaga Ahli (Pengacara, atau 7,5%
Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan,
Notaris, Penilai, dan Aktuaris) sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa dan kegiatan
10. Honorarium yang dananya dari keuangan
negara/ daerah yang diterima oleh
Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI/
POLRI kecuali PNS Gol. II/d kebawah 15% PB Final
atau Anggota POLRI dengan Pangkat
Pembantu Letnan Satu atau Ajun
Inspektur Tingkat Satu ke bawah
11. Honorarium yang diterima oleh Pegawai Pasal 17 UU PKP= (PB -
Tidak Tetap, Pemagang, Calon Pegawai PPh PTKP)
12. Honorarium dan pembayaran lain yang
diterima oleh Tenaga Lepas (Seniman,
Pasal 17 UU
Olahragawan, Penceramah, Pemberi PB
PPh
Jasa, Pengelola Proyek, Peserta
Perlombaan, PDL Asuransi, dll)
13. Penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan
PKP= (PB -
kegiatan yang diterima oleh Tenaga Pasal 17 UU
(BJ + IP) -
Asing (Expatriate) yang telah berstatus PPh
PTKP
sebagai WPDN
14. Penghasilan dari pekerjaan yang diterima
oleh Tenaga Asing (Expatriate) yang
bekerja pada Perusahaan Pengeboran
Migas :
a. General Manager Pasal 17 UU US$ 11.275
PPh per bulan
b. Manager Pasal 17 UU US$ 9.350 per
PPh bulan
c. Supervisor/ Tool Pusher Pasal 17 UU US$ 5.830 per
PPh bulan
d. Assisten Supervisor/ Tool Pasal 17 UU US$ 4.510 per
Pusher PPh bulan
e. Crew Lainnya Pasal 17 UU US$ 3.245 per
PPh bulan

Catatan :
PKP : Penghasilan Kena Pajak
PB : Penghasilan Bruto
BJ : Biaya Jabatan
IP : Iuran Pensiun
BP : Biaya Pensiun

IV PPh Pasal 22
Dasar UU Nomor 36 Tahun
Hukum : 2008
254/KMK.03/2001 Jo

392/KMK.03/2001 Jo

236/KMK.03/2003 Jo

154/PMK.03/2007 Jo

08/PMK.03/2008 Jo

210/PMK.03/2008

1. Pembelian Barang oleh Bendaharawan Harga


1,5%
dan BUMN/BUMD Pembelian
2. Impor Barang :
a. Importir mempunyai API 2,5% Nilai Impor
b. Importir tidak mempunyai
7,5% Nilai Impor
API
c. Yang tidak Dikuasai Harga Jual
7,5%
Lelang
3. impor kedelai, gandum, dan tepung
terigu oleh importir yang menggunakan 0,5% Nilai Impor
API
4. Industri Semen 0,25% DPP PPN
5. Industri Rokok (SE - 7/PJ.03/2008) Pasal 17 UU Harga
PPh Bandrol
6. Industri Kertas 0,1% DPP PPN
7. Industri Baja 0,3% DPP PPN
8. Industri Otomotif 0,45% DPP PPN
9. Bahan Bakar Minyak dan Gas SPBU
SwastaniPerta
sasi mina
a. Premium 0,3%0,25% Penjualan -
Swastanisa
b. Solar si =
0,3%0,25% Penjualan
Final
c. Premix/Super TT 0,3%0,25% Penjualan - Pertamina
=
d. Minyak Tanah 0,3% Penjualan
Tidak Final
e. Gas/LPG 0,3% Penjualan
f. Pelumas 0,3% Penjualan
9. Pembelian bahan-bahan berupa hasil Harga
perhutanan, perkebunan, pertanian, dan Pembelian
perikanan untuk keperluan industri dan 0,5%
ekspor dari pedagang pengumpul (tidak
termasuk
PPN)

V PPh Pasal 23
Dasar UU Nomor 36 Tahun
Hukum : 2008
244/PMK.03/2008

1. Dividen 15% Jumlah Bruto


2. Bunga 15% Jumlah Bruto
3. Royalti 15% Jumlah Bruto
4. hadiah, penghargaan, bonus, dan
sejenisnya selain yang telah dipotong 15% Jumlah Bruto
PPh Pasal 21
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta, kecuali sewa Jumlah Bruto
dan penghasilan lain sehubungan dengan 2% tidak
penggunaan harta yang telah dikenai PPh termasuk PPN
Final pasal 4 (2)
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, Jumlah Bruto
jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa 2% tidak
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang termasuk PPN
telah dipotong PPh Pasal 21
7. Jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh 2% Jumlah Bruto
Pasal 21, yang terdiri dari : tidak
termasuk PPN
a. Jasa penilai (appraisal)
b. Jasa aktuaris
c. Jasa akuntansi, pembukuan, dan
atestasi laporan keuangan
d. Jasa perancang (design)
e. Jasa pengeboran (drilling) di bidang
penambangan minyak dan gas bumi
(migas), kecuali yang dilakukan
oleh bentuk usaha tetap
f. Jasa penunjang di bidang
penambangan migas, berupa :
1) jasa penyemenan dasar
(primary cementing) yaitu
penempatan bubur semen
secara tepat diantara pipa
selubung dan lubung sumur
2) jasa penyemenan perbaikan
(remedial cementing), yaitu
penempatan bubur semen
untuk maksud-maksud :

a) penyumbatan kembali
formasi yang sudah kosong;

b) penyumbatan kembali
zona yang berproduksi air;

c) perbaikan dari
penyemenan dasar yang
gagal;

d) penutupan sumur;
3) jasa pengontrolan pasir (sand
control), yaitu jasa yang
menjamin bahwa bagian-
bagian formasi yang tidak
terkonsolidasi tidak akan
ikut terproduksi ke dalam
rangkaian pipa produksi dan
menghilangkan
kemungkinan tersumbatnya
pipa
4) jasa pengasaman (matrix
acidizing), yaitu pekerjaan
untuk memperbesar daya
tembus formasi yang
menaikan produktivitas
dengan jalan menghilangkan
material penyumbat yang
tidak diinginkan
5) jasa peretakan hidrolika
(hydraulic), yaitu pekerjaan
yang dilakukan dalam hal
cara pengasaman tidak
cocok, misalnya perawatan
pada formasi yang
mempunyai daya tembus
sangat kecil
6) jasa nitrogen dan gulungan
pipa (nitrogen dan coil
tubing), yaitu jasa yang
dikerjakan untuk
menghilangkan cairan
buatan yang berada dalam
sumur baru yang telah
selesai, sehingga aliran yang
terjadi sesuai dengan
tekanan asli formasi dan
kemudian menjadi besar
sebagai akibat dari gas
nitrogen yang telah
dipompakan ke dalam cairan
buatan dalam sumur
7) jasa uji kandung lapisan
(drill stem testing),
penyelesaian sementara
suatu sumur baru agar dapat
mengevaluasi kemampuan
berproduksi
8) jasa reparasi pompa reda
(reda repair)
9) jasa pemasangan instalasi
dan perawatan
10) jasa penggantian
peralatan/material
11) jasa mud logging, yaitu
memasukkan lumpur ke
dalam sumur
12) jasa mud engineering
13) jasa well logging &
perforating
14) jasa stimulasi dan secondary
decovery
15) jasa well testing & wire line
service
16) jasa alat kontrol navigasi
lepas pantai yang berkaitan
dengan drilling
17) jasa pemeliharaan untuk
pekerjaan drilling
18) jasa mobilisasi dan
demobilisasi anjungan
drilling
19) jasa lainnya yang sejenisnya
di bidang pengeboran migas
g. Jasa penambangan dan jasa
penunjang di bidang penambangan
selain migas :
1) jasa pengeboran
2) jasa penebasan
3) jasa pengupasan dan
pengeboran
4) jasa penambangan
5) jasa pengangkutan/ sistem
transportasi, kecuali jasa
angkutan umum
6) jasa pengolahan bahan galian
7) jasa reklamasi tambang
8) jasa pelaksanaan mekanikal,
elektrikal, manufaktur,
fabrikasi dan
penggalian/pemindahan tanah
9) jasa lainnya yang sejenis di
bidang pertambangan umum
h. Jasa penunjang di bidang
penerbangan dan bandar udara:
1) bidang aeronautika,
termasuk :
jasa pendaratan,
penempatan, penyimpanan
pesawat udara dan jasa
lain sehubungan dengan
pendaratan pesawat udara
jasa penggunaan jembatan
pintu (avio bridge)
jasa pelayanan
penerbangan
jasa ground handling, yaitu
pengurusan seluruh atau
sebagian dari proses
pelayanan penumpang dan
bagasinya serta kargo,
yang diangkut dengan
pesawat, udara baik yang
berangkat maupun yang
datang, selama pesawat
udara di darat
jasa penunjang lain di
bidang aeronautika
2) bidang non-aeronatika,
termasuk :
jasa catering di pesawat
dan jasa pembersihan
pantry pesawat;
jasa penunjang lain di
bidang non-
aeronautika
i. Jasa penebangan hutan
j. Jasa pengolahan limbah
k. Jasa penyedia tenaga kerja
(outsourcing services)
l. Jasa perantara dan/atau keagenan
m. Jasa di bidang perdagangan surat-
surat berharga, kecuali yang
dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI
dan KPEI
n. Jasa
custodian/penyimpanan/penitipan,
kecuali yang dilakukan oleh KSEI
o. Jasa pengisian suara (dubbing)
dan/atau sulih suara
p. Jasa mixing film
q. Jasa sehubungan dengan software
komputer, termasuk perawatan,
pemeliharaan dan perbaikan
r. Jasa instalasi/pemasangan mesin,
peralatan, listrik, telepon, air, gas,
AC, dan/atau TV kabel, selain yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang
ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin
dan/atau sertifikasi sebagai
pengusaha konstruksi
s. Jasa
perawatan/perbaikan/pemeliharaan
mesin, perawatan, listrik, telepon,
air, gas, AC, TV Kable, alat
transportasi/kendaraan dan/atau
bangunan selain yang dilakukan
oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi
dan mempunyai izin dan/atau
sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi
t. Jasa maklon; yaitu jasa pemberian
jasa dalam rangka proses
penyelesaian suatu barang tertentu
yang proses pengerjaannya
dilakukan oleh pihak pemberi jasa
(disubkontrakkan), yang
spesifikasi, bahan baku dan atau
barang setengah jadi dan atau
bahan penolong/pembantu yang
akan diproses sebagian atau
seluruhnya disediakan oleh
pengguna jasa, dan kepemilikan
atas barang jadi berada pada
pengguna jasa
u. Jasa penyelidikan dan keamanan
v. Jasa penyelenggara kegiatan atau
event organizer; yaitu kegiatan
usaha yang dilakukan oleh
pengusaha jasa penyelenggara
kegiatan meliputi antara lain
penyelenggaraan pameran,
konvensi, pagelaran musik, pesta,
seminar, peluncuran produk,
konferensi pers, dan kegiatan lain
yang memanfaatkan jasa
penyelenggara kegiatan
w. Jasa pengepakan
x. Jasa penyediaan tempat dan / atau
waktu dalam media masa, media
luar ruang atau media lain untuk
penyampaian informasi
y. Jasa pembasmian hama
z. Jasa kebersihan atau cleaning
service
aa. Jasa catering atau tata boga

Catatan :
Dalam hal penerima imbalan sehubungan
dengan jasa sebagaimana dimaksud di atas
tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,
besarnya tarif pemotongan adalah lebih
tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif
sebagaimana dimaksud di atas

VI PPh Pasal 26
Dasar UU Nomor 36 Tahun
Hukum : 2008
624/KMK.04/1994

SE - 25/PJ.4/1995

1. Dividen 20% atau Tarif


Jumlah Bruto Final
P3B
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan 20% atau Tarif
imbalan sehubungan dengan jaminan Jumlah Bruto Final
P3B
pengembalian utang
3. Royalti, Sewa, dan Penghasilan lain 20% atau Tarif
Jumlah Bruto Final
sehubungan dengan penggunaan harta P3B
4. Imbalan sehubungan dengan jasa, 20% atau Tarif
Jumlah Bruto Final
pekerjaan, dan kegiatan P3B
5. Hadiah dan Penghargaan 20% atau Tarif Jumlah Bruto Final
P3B
6. Pensiunan dan Pembayaran berkala 20% atau Tarif
Jumlah Bruto Final
lainnya P3B
7. premi swap dan transaksi lindung nilai 20% atau Tarif
Jumlah Bruto Final
lainnya P3B
8. keuntungan karena pembebasan utang 20% atau Tarif
Jumlah Bruto Final
P3B
9. Penghasilan dari penjualan atau
20% x
pengalihan harta di Indonesia, kecuali
Perkiraan Phs
yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Harga Jual Final
Neto atau Tarif
PPh yang diterima WP LN selain BUT
P3B
di Indonesia
10. Premi asuransi, termasuk Premi
Reasuransi
a. Dibayarkan tertanggung 20% x 50% Premi yang Final
kepada Perusahaan Asuransi atau 10% Dibayar
di LN, baik secara langsung atau Tarif
maupun melalui pialang P3B
b. Dibayarkan Perusahaan 20% x 10% Premi yang Final
Asuransi di Indonesia atau 2% atau Dibayar
kepada Perusahaan Asuransi Tarif P3B
di LN, baik secara langsung
maupun melalui pialang

c. Dibayarkan Perusahaan 20% x 5% Premi yang Final


Reasuransi di Indonesia atau 1% atau Dibayar
kepada Perusahaan Asuransi Tarif P3B
di LN, baik secara langsung
maupun melalui pialang

11. Penghasilan dari penjualan atau 20% x


pengalihan saham sebagaimana Perkiraan
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) UU Phs Neto Harga Jual Final
PPh atau Tarif
P3B
12. Penghasilan BUT, kecuali ditanamkan Penghasilan
kembali di Indonesia 20% atau Kena Pajak
Final
Tarif P3B PPh BUT di
Indonesia
Penjelasan singkat tentang PPh Pasal 21, PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29

Posted on December 20, 2013 by tanyapajak Standard

Setiap Wajib Pajak pada saat menerima kartu NPWP pasti mendapatkan Surat keterangan
terdaftar dari Dirjen Pajak, yang menerangkan bahwa wajib pajak mempunyai kewajiban
Pajak PPh 25, 29.

Sebagai karyawan yang memiliki pemotongan dari gaji, yang disebut PPh 21, timbul
pertanyaan apakah saya berkewajiban membayar PPh 25 dan Pph 29 selain dari PPh 21
tersebut?

Lalu, apakah perbedaan antara pph 21, pph 25 dan pph 29?

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan


ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan menjelaskan,
yaitu: PPh pasal 21, yakni pemotongan,penyetoran pajak atas penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan,jasa,atau kegiatan dengan nama dalam bentuk apapun yg diterima atau
diperoleh oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.

PPh Pasal 25, terjadi apabila kita menerima/memperoleh penghasilan lebih dari 1 pemberi
kerja atau mempunyai usaha bebas.

PPh pasal 29, terjadi apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar
dari pada kredit pajak,maka kekurangan pajak yang terhutang harus dilunasi sebelum surat
pemberitahuan Tahunan disampaikan.

Sehingga kita dapat mengerti bahwa PPh pasal 25, PPh pasal 29 tidak wajib bagi kita yang
hanya mendapat penghasilan dari 1 pemberi kerja, dan pastikan bahwa kita sudah melunasi
pajak terhutang kita.

Arsip Berita

SOSIALISASI PPH PASAL 21 DAN PPH PASAL 25 /29 WAJIB PAJAK ORANG
PRIBADI DALAM NEGERI
Rabu , 29 Oktober 2014 ,Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Katingan mengadakan
Kegiatan Sosialisasi PPh Pasal 21 Dan PPh Pasal 25 /29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri di Aula BAPPEDA Kabupaten Katingan. Dalam sambutannya Bupati Katingan yang
pada kesempatan tersebut diwakili oleh Alpianor,SH.MH Asisten III Sekretaris Daerah
Kabupaten Katingan mengatakan, untuk memacu perkembangan Kabupaten Katingan di
masa mendatang diperlukan peningkatan sumber sumber pembiayaan yaitu dari penerimaan
daerah yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) maupun yang berasal dari Dana
Bagi Hasil (DBH). Perlu diketahui sampai kontribusi Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) saat ini
tidak mencukupi seluruh kebutuhan Belanja Daerah.

Dengan demikian selain dengan terus meningkatkan penerimaan daerah yang


bersumber dari PAD, maka perlu juga dilakukan berbagai tindakan/ strategi peningkatan
penerimaan daerah yang berasal dari DBH. Untuk mengatur mekanisme pemungutan dan
pendistribusian Dana Bagi Hasil Pajak kepada Pemerintah Daerah menggunakan Instrumen
Undang undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan / Pembagian Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2005
tentang Dana Perimbangan yang pada dasarnya bertujuan untuk memperkecil kesenjangan
keuangan antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui pengaturan Bagi Hasil Pajak
kepada daerah, diharapkan daerah mampu mengelola keuangannya dan mengalokasikan
untuk belanja belanja pembangunan daerah secara tepat sesuai dengan kebutuhan
pembangunan. Dana bagi hasil dari pemerintah pusat ada dua sumber antara lain : Pajak dan
Sumber Daya Alam (SDA).

Dana Bagi Hasil Bersumber Dari Komponen Pajak Yang Meliputi :


1. Pajak Penghasilan ( PPH ) Pasal 25 Dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri
2. PPH Pasal 21
3. Pajak Bumi Dan Bangunan Sektor Pertambangan, Perkebunan, Dan Perhutanan (PBB
P3 )
4. Cukai Hasil Tembakau ( CHT ).

Dengan adanya sosialisasi PPh pasal 21 dan PPh pasal 25/ 29 Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri diharapkan masyarakat dapat mengetahui bagaimana ketentuannya, para
pekerja / pegawai baik swasta maupun pegawai pemerintah berdampak positif terhadap Dana
Bagi Hasil Pajak dari Pusat, mengenai materi dan sistematika terkait PPh pasal 21 dan PPh
pasal 25 /29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.

KODE AKUN PAJAK 411121 UNTUK JENIS PAJAK PPh PASAL 21

KODE JENIS SETORAN KETERANGAN


untuk pembayaran pajak yang mzasih harus disetor
100 Masa PPh Pasal 21
yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 21.
Pembayaran Pendahuluan skp PPh untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat
199
Pasal 21 ketetapan pajak PPh Pasal 21.
200 Tahunan PPh Pasal 21 untuk pembayaran pajak yang masih harus disetor
KODE JENIS SETORAN KETERANGAN
yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus
300 STP PPh Pasal 21 dibayar yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak
(STP) PPh Pasal 21.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus
310 SKPKB PPh Pasal 21 dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Pasal
21.
SKPKB PPh Final Pasal 21 untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Pembayaran Sekaligus Atas dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Final
311
Jaminan Hari Tua, Uang Tebusan Pasal 21 pembayaran sekaligus atas Jaminan Hari
Pensiun, dan Uang Pesangon Tua, Uang Tebusan Pensiun, dan Uang Pesangon.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus
320 SKPKBT PPh Pasal 21 dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal
21.
SKPKBT PPh Final Pasal 21 untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Pembayaran Sekaligus Atas dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Final
321
Jaminan Hari Tua, Uang Tebusan Pasal 21 pembayaran sekaligus atas Jaminan Hari
Pensiun, dan Uang Pesangon Tua, Uang Tebusan Pensiun dan Uang Pesangon.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Pembayaran atas Surat Keputusan
dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan
390 Pembetulan, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau
Keberatan, atau Putusan Banding
Putusan Banding.
PPh Final Pasal 21 Pembayaran
untuk pembayaran PPh Final Pasal 21 pembayaran
Sekaligus Atas Jaminan Hari Tua,
401 sekaligus atas Jaminan Hari Tua, Uang Tebusan
Uang Tebusan Pensiun, dan Uang
Pensiun, dan Uang Pesangon.
Pesangon
PPh Final Pasal 21 atas honorarium untuk pembayaran PPh Final Pasal 21 atas
atau imbalan lain yang diterima honorarium atau imbalan lain yang diterima
402
Pejabat Negara, PNS, anggota Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/POLRI dan
TNI/POLRI dan para pensiunnya para pensiunnya.

Kode Akun Pajak 411123 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 22 Impor

KODE AKUN PAJAK 411123 UNTUK JENIS PAJAK PPh PASAL 22 IMPOR
KODE JENIS SETORAN KETERANGAN

untuk pembayaran pajak yang harus disetor yang


100 Masa PPh Pasal 22 Impor tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 22 atas
transaksi impor.

Pembayaran Pendahuluan skp PPh untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat
199
Pasal 22 Impor ketetapan pajak PPh Pasal 22 Impor.

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar


300 STP PPh Pasal 22 Impor yang tercantum dalam STP PPh Pasal 22 atas
transaksi impor.

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar


310 SKPKB PPh Pasal 22 Impor yang tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 22 atas
transaksi impor.

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar


320 SKPKBT PPh Pasal 22 Impor yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 22 atas
transaksi impor.

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar


Pembayaran atas Surat Keputusan
yang tercantum dalam Surat Keputusan
390 Pembetulan, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau
Keberatan, atau Putusan Banding
Putusan Banding.

Kode Akun Pajak 411122 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 22

KODE AKUN PAJAK 411122 UNTUK JENIS PAJAK PPh PASAL 22


KODE JENIS SETORAN KETERANGAN
untuk pembayaran pajak yang harus disetor yang
100 Masa PPh Pasal 22
tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 22.
Pembayaran Pendahuluan skp PPh untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat
199
Pasal 22 ketetapan pajak PPh Pasal 22.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
200 STP PPh Pasal 22
yang tercantum dalam STP PPh Pasal 22.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
310 SKPKB PPh Pasal 22
yang tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 22.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
311 SKPKB PPh Final Pasal 22
yang tercantum dalam SKPKB PPh Final Pasal 22.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
320 SKPKBT PPh Pasal 22
yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 22.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
321 SKPKBT PPh Final Pasal 22 yang tercantum dalam SKPKBT PPh Final Pasal
22.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
Pembayaran atas Surat Keputusan
yang tercantum dalam Surat Keputusan
390 Pembetulan, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau
Keberatan, atau Putusan Banding
Putusan Banding.
PPh Final Pasal 22 atas Penebusan untuk pembayaran PPh Final Pasal 22 atas
401
Migas Penebusan Migas.
PPh Final Pasal 22 atas
untuk pembayaran PPh Final Pasal 22 atas
402 Penyerahan Rokok Produksi
penyerahan rokok produksi dalam negeri.
Dalam Negeri
900 Pemungut PPh Pasal 22 untuk pembayaran PPh Pasal 22 yang dipungut oleh
KODE JENIS SETORAN KETERANGAN
Pemungut.

KODE AKUN PAJAK 411124 UNTUK JENIS PAJAK PPh PASAL 23

KODE JENIS SETORAN KETERANGAN


untuk pembayaran PPh Pasal 23 yang harus disetor
100 Masa PPh Pasal 23 (selain PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, dan
jasa) yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 23.
untuk pembayaran PPh Pasal 23 yang harus disetor atas
101 PPh Pasal 23 atas Dividen dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak dalam
negeri yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 23.
untuk pembayaran PPh Pasal 23 yang harus disetor atas
bunga (termasuk premium, diskonto dan imbalan karena
102 PPh Pasal 23 atas Bunga jaminan pengembalian utang) yang dibayarkan kepada
Wajib Pajak dalam negeri yang tercantum dalam SPT
Masa PPh Pasal 23.
untuk pembayaran PPh Pasal 23 yang harus disetor atas
103 PPh Pasal 23 atas Royalti royalti yang dibayarkan kepada Wajib Pajak dalam negeri
yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 23.
untuk pembayaran PPh Pasal 23 yang harus disetor atas
104 PPh Pasal 23 atas Jasa jasa yang dibayarkan kepada Wajib Pajak dalam negeri
yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 23.
Pembayaran Pendahuluan untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat
199
skp PPh Pasal 23 ketetapan pajak PPh Pasal 23.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang
300 STP PPh Pasal 23 tercantum dalam STP PPh Pasal 23 (selain STP PPh
Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, dan jasa).
KODE JENIS SETORAN KETERANGAN
STP PPh Pasal 23 atas untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang
301 Dividen, Bunga, Royalti, dan tercantum dalam STP PPh Pasal 23 atas dividen, bunga,
Jasa royalti, dan jasa.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang
310 SKPKB PPh Pasal 23 tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 23 (selain SKPKB
PPh pasal 23 atas dividen, bunga, royalti dan jasa).
SKPKB PPh Pasal 23 atas untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang
311 Dividen, Bunga, Royalti, dan tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 23 atas dividen,
Jasa bunga, royalti, dan jasa.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang
312 SKPKB PPh Final Pasal 23
tercantum dalam SKPKB PPh Final Pasal 23.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang
tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 23 (selain
320 SKPKBT PPh Pasal 23
SKPKBT PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, dan
jasa).
SKPKBT PPh Pasal 23 atas untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang
321 Dividen, Bunga, Royalti, dan tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 23 atas dividen,
Jasa bunga, royalti, dan jasa.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang
322 SKPKBT PPh Final Pasal 23
tercantum dalam SKPKBT PPh Final Pasal 23.
Pembayaran atas Surat
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang
Keputusan Pembetulan,
390 tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Surat Keputusan Keberatan,
Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding.
atau Putusan Banding
PPh Final Pasal 23 atas
untuk pembayaran PPh Final Pasal 23 atas bunga
401 Bunga Simpanan Anggota
simpanan anggota koperasi.
Koperasi

KODE AKUN PAJAK 411126 UNTUK JENIS PAJAK PPh PASAL 25/29 BADAN
KODE JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Masa PPh Pasal 25 Badan untuk pembayaran Masa PPh Pasal 25 Badan yang terutang.
untuk pembayaran PPh Badan Atas Pengalihan Hak Atas
Tanah dan/atau Bangunan yang tidak bersifat final atas
PPh Atas Pengalihan Hak
transaksi pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan yang
Atas Tanah dan/ atau
101 atas tanah dan/atau bangunan dan merupakan bagian
Bangunan yang tidak
pembayaran pendahuluan (PPh Pasal 25) dilakukan oleh
bersifat final Badan
Wajib Pajak Badan yang kegiatan utamanya bukan
melakukan pengalihan hak
Pembayaran Pendahuluan untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan
199
skp PPh Pasal 25 Badan pajak PPh Pasal 25 Badan.
untuk pembayaran pajak yang masih harus dibayar yang
200 Tahunan PPh Badan
tercantum dalam SPT Tahunan PPh Badan.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang
300 STP PPh Badan
tercantum dalam STP PPh Badan.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang
310 SKPKB PPh Badan
tercantum dalam SKPKB PPh Badan.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang
320 SKPKBT PPh Badan
tercantum dalam SKPKBT PPh Badan.
Pembayaran atas Surat
Keputusan Pembetulan, untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang
390 Surat Keputusan tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keberatan, atau Putusan Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding.
Banding

Kode Akun Pajak 411125 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi
KODE AKUN PAJAK 411125 UNTUK JENIS PAJAK PPh PASAL 25/29 ORANG
PRIBADI

KODE JENIS SETORAN KETERANGAN


untuk pembayaran Masa PPh Pasal 25 Orang
100 Masa PPh Pasal 25 Orang Pribadi
Pribadi yang terutang.
Masa PPh Pasal 25 Orang Pribadi untuk pembayaran Masa PPh Pasal 25 Orang
101
Pengusaha Tertentu Pribadi Pengusaha Tertentu yang terutang.
Pembayaran Pendahuluan skp PPh untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat
199
Pasal 25 Orang Pribadi ketetapan pajak PPh Pasal 25 Orang Pribadi.
untuk pembayaran pajak yang masih harus dibayar
200 Tahunan PPh Orang Pribadi yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh Orang
Pribadi.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
300 STP PPh Orang Pribadi
yang tercantum dalam STP PPh Orang Pribadi.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
310 SKPKB PPh Orang Pribadi
yang tercantum dalam SKPKB PPh Orang Pribadi.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
320 SKPKBT PPh Orang Pribadi
yang tercantum dalam SKPKBT PPh Orang Pribadi.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
Pembayaran atas Surat Keputusan
yang tercantum dalam Surat Keputusan
390 Pembetulan, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau
Keberatan, atau Putusan Banding
Putusan Banding.

Apa Saja Penghasilan yang Merupakan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21?
SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21

Apa itu Pajak Penghasilan Pasal 21?

Pada umumnya, masyarakat mengartikan PPh Pasal 21 adalah Pajak atas GAJI YANG
DIPEROLEH. Sebagian besar PPh Pasal 21 dikenakan kepada pegwai tetap entah itu
Pegawai Swasta maunpun Pegawai Negeri Sipil. Pengertian seperti itu tidak lah salah,
namun lebih lengkapnya Pada Undang-Undang No 36 Tahun 2008 menyebutkan bahwa
PPh Pasal 21 merupakaan pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan.

Pihak yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah pemberi kerja, bendahara pemerintah,
dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan. Dari sekian banyak jenis
penghasilan yang diperolah oleh Wajib Pajak, tidak semua sumber pendapatan tersebut
dikenakan Pajak PPh Pasal 21. Untuk lebih memahaminya akan saya papar lebih detail di
bawah ini.

Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21

1. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan
yang bersifat teratur maupun tidak teratur,
2. penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa
uang pensiun atau penghasilan sejenisnya
3. penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan
sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon,
uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain
sejenis,
4. penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan,
5. imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan,
6. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi,
uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.

Penghasilan yang TIDAK dipotong PPh Pasal 21

1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan


dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa.
2. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun
diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, termasuk Pajak Penghasilan yang
ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh Pemerintah,
merupakan penerimaan.
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua
kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan
sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja.
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang
pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
5. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-Undang
Pajak Penghasilan

Penutup

Setelah membaca ulasan di atas, seharusnya Anda sudah memiliki gambaran umum Apa Saja
Pengasilan yang Merupakan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21. Pengetahuan tentang PPh
Pasal 21 ini sangat penting bagi Anda yang memiliki usaha yang membutuhkan karyawan.
Karena Anda sebagai PEMBERI KERJA berkewajiban unutk memotong pajak penghasilan
atas karyawan Anda. Untuk lebih meningkatkan pemahaman Anda tentang Pajak Penghasilan
silahkan baca juga tulisan saya tentang Pengertian Pajak secara Umum. Atau Anda dapat
langsung belajar tentang Bagaiamana Cara Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21
dengan PTKP Terbaru?

Bagaimana Cara Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan PTKP Terbaru?


Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Berubah?

Perubahan yang dimaksud dalam ulasan Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 kali ini
hanya pada Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Untuk tatacaranya masih sama dengan
metode perhitungan lama sesuai dengan Penjelasan Undang-Undang No 36 Tahun 2008.
Perlu Anda ketahui sebelumnya bahwa pada Januari 2013, PTKP mengalami kenaikan.
Sekarang untuk Wajib Pajak yang berstatus tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan
jumlah PTKP-nya sebesar Rp 24.300.000,00 atau setara dengan Rp 2.025.000,00 per bulan.
Perubahan itu diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang
Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal
21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan
Orang Pribadi.

Pihak Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21

Dalam aturan baru tersebut, yang berkewajiban melakukan Pemotongan PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 adalah
1. pemberi kerja, bendahara atau pemegang kas pemerintah, yang membayarkan
gaji, upah dan sejenisnya dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
2. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-
badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau
jaminan hari tua;
3. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan
yang membayar honorarium, komisi atau pembayaran lain dengan kondisi tertentu
dan penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang
menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan
dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu
kegiatan.
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan
menjadi 2 (dua): Penghitungan PPh Pasal 21 masa atau bulanan yang rutin dilakukan setiap
bulan dan Penghitungan kembali yang dilakukan setiap masa pajak Desember (atau masa
pajak dimana pegawai berhenti bekerja).

Contoh Kasus Pajak Penghasilan Pasal 21

Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak,
memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek,
premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja
dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Candra Kirana menanggung
iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto
membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT
Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana
membayar iuran pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Budi
Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto
hanya menerima pembayaran berupa gaji.

Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013


Oleh Moh. Makhfal Nasirudin, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Penutup

Jadi seperti itu lah Cara Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan PTKP Terbaru.
Semoga penjelasan tersebut dapat Anda pahami. Untuk memperlajari objek Pajak PPh pasal
21 secara luas silahkan baca artikel saya tentang Apa Saja Pengasilan yang Merupakan
Objek Pajak Penghasilan Pasal 21? Jika Anda masih merasa kurang memahami, silahkan
tinggalkan pertanyaan di bawah.

Pajak Penghasilan Pasal 29 (PPh Pasal 29)


inShare

Untuk pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak yang lebih besar daripada kredit pajak
(sesuai Pajak Penghasilan Pasal 28 ayat (1)), kekurangan pembayarannya harus dilunasi
sebelum keluarnya Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Untuk itulah kita dapat
mengacu pada Pajak Penghasilan Pasal 29 (PPh 29).

Langkah mudah membuat laporan PPh 23 di OnlinePajak.

Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 29 (PPh Pasal 29)

Menurut UU No.36 Tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 29 (PPh 29) adalah PPh Kurang
Bayar (KB) yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh, yaitu sisa dari PPh yang terutang
dalam tahun pajak yang bersangkutan dikurangi dengan kredit PPh (PPh Pasal 21, 22, 23, dan
24) dan PPh Pasal 25. Dalam hal ini, Wajib Pajak (WP) wajib memiliki kewajiban melunasi
kekurangan pembayaran pajak yang terutang sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan. Apabila tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan
pajak tersebut wajib dilunasi paling lambat 31 Maret bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
atau 30 April bagi Wajib Pajak Badan (WPB) setelah tahun pajak berakhir.

Bagaimana bila tahun buku tidak sama dengan tahun kalender, misalnya dimulai dari 1 Juli
sampai dengan 30 Juni tahun depan? Maka, kekurangan wajib pajak harus dilunasi paling
lambat 30 September bagi Wajib Pajak Orang Pribadi atau 31 Oktober bagi Wajib
Pajak Badan (WPB).

Ingin membuat laporan pajak bulanan lebih cepat dan otomatis?

Gunakan OnlinePajak, aplikasi pajak online yang mudah dan hemat waktu. Hitung, setor
dan lapor PPN, PPh 23 dan PPh 21 (beta) dilakukan dalam satu aplikasi terpadu!

Coba Sekarang, Gratis!


Tarif PPh Pasal 29

1. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WPOP-PT) :


PPh 25 yang sudah dilunasi = 0.75 x jumlah penghasilan / omzet per bulan.

PPh 29 yang harus dilunasi = PPh yang masih terutang - PPh 25 yang sudah
dilunasi.
2. Wajib Pajak Badan (WPB) :
Angsuran PPh 25 = PPh terutang tahun lalu x 12.
PPh 29 yang harus dilunasi = PPh yang terutang - angsuran PPh 25.

Online Pajak adalah aplikasi pajak yang menyediakan prosedur tahap demi tahap untuk
mempersiapkan, membayar dan mengajukan pajak perusahaan secara online, termasuk Pajak
Penghasilan Pasal 29 (PPh Pasal 29). Untuk informasi lebih lanjut dan update berkaitan
dengan OnlinePajak, silakan berlangganan newsletter kami dan mendaftar pada aplikasi
kami secara gratis.
Hitung, Setor dan Lapor Pajak Anda dalam 1 Aplikasi Terintegrasi, Cepat dan Mudah!

Perlakuan PPh Pasal 25 dan 29

Menghitung dan mencatat (Perlakuan) PPh Pasal 25 dan 29 kelihatannya sangat


sederhana, sepele dan mudah. Untuk perusahaan bersekala kecil dan menengah (SME =
Small & Medium Enterprise) nilai PPh Pasal 25 yang dibayarkan biasanya relative kecil,
mungkin antara Rp 150,000 sampai dengan Rp 1,500,000. Bisa dibilang tidak significant
samasekali. Tetapi ketika anda selesai membayar PPh Pasal 29 (di bulan Maret) dan
selesai menjurnal atas pembayaran tersebut, mungkin anda akan kaget dan bingung
demi mendapatkan neraca anda tidak balance lagi, padahal waktu tutup buku 31
Desember Neraca sudah balance. Setelah pusing tujuh keliling, dicari-cari ternyata biang
keroknya (masalah utamanya) adalah PPh Pasal 25. Bagaimana menjurnal PPh Pasal
25 yang benar?, Bagaimana menjurnal PPh Badan saat penutupan buku di akhir
tahun? Bagaimana menjurnal PPh Pasal 29 yang dibayarkan bulan Maret agar neraca
tetap balance?. Bagaimana alur dan perlakuannya? Kita akan bahas di artikel ini sebentar
lagi. Saya akan sampaikan trick yang saya pakai pribadi, mungkin bisa anda pakai.

You may wanna say..no more talks, just show me the h*ll! Please :P.

Okay-okay saya ngerti.. kita langsung saja.

PPh Pasal 25 (The Basic)

PPh Pasal 25 adalah UANG MUKA PPh BADAN, yang besarnya dihitung dengan cara
membagi PPh Badan Tahun lalu dengan jumlah bulan tahun takwim (12).

Misal:
PPh Badan Terhutang Tahun 2006 anda adalah Rp 3,000,000, maka PPh Pasal 25 yang harus
anda setorkan setiap bulannya di tahun 2007 adalah:

Rp 3,000,000/12 = Rp 250,000,-

Bapak-bapak kita di Kantor Pajak termasuk bapak-bapak konsultan pajak dan para pegiat
pajak lainnya menyebut istilah ini dengan LUNSUM (saya cari-cari di wikipedia tidak saya
temukan kata lunsum, lansum, lansam apalagi, entah bagaimana tulisannya yang benar, tapi
saya rasa yang benar tulisannya Lun-Sum mohon dikoreksi jika salah).

PPh Pasal 25 dibayarkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

Misal:
PPh Pasal 25 bulan January dibayarkan paling lambat tanggal 10 February.

Jurnal PPh Pasal 25


Ada yang belum tahu bagaimana caranya menjurnal PPh Pasal 25? Well in case kalau ada
yang belum tahu, basically seperti dibawah ini:

[Debit]. Uang Muka PPh = Rp 250,000


[Credit]. Petty Cash = Rp 250,000

Mudah bukan?.

Kapan PPh Pasal 25 di jurnal? Tentunya saat dibayarkan. Misal: PPh Pasal 25 bulan
January dibayar tanggal 09 February (kebiasaan orang accounting menagih hak/piutang
secepat2nya, tetapi membayarkan kewajiban/hutang selambat-lambatnya untuk mewakili
prinsip kehati-hatian :-P) maka dicatat pada tanggal 09 February juga.

Tahu dari mana soal lun-sum dan Jurnal di atas? Itu Undang-undang Pajak nomor berapa
tahun berapa? Trus jurnal-nya itu dinyatakan dalam PSAK nomor berapa?

Mengenai undang-undang atau Surat Edaran DJP atau Keputusan Menteri Keuangan,
silahkan baca di situs resminya Ditjend Pajak saja (saya tidak mau bersaing dengan situsnya
Ditjend Pajak atau blognya bapak-bapak dari DJP) :P. Apalagi meng-copy paste Undang-
undangnya ke blog saya, wah. tidak terimakasih. Lagipula saya lebih tertarik
membicarakan tehnik dan practical-nya, serta logika-logika-nya daripada membahas isi
undang-undang.

Mengenai PSAK, saya juga tidak hafal, kalau anda perlu silahkan beli buku PSAK (harganya
tidak mahal, saya beli hanya Rp 175,000), biarlah itu menjadi bagian dari blognya bapak-
bapak dosen saja.

Saya sudah melakukan dengan benar? Mengapa neraca saya menjadi tidak balance setelah
membayar PPh Pasal 29? Di mana letak salahnya?

Sudah benar? oh ya? Kalau jurnal dan alurnya sudah benar tidak mungkin tidak balance
bukan?, okay mari kita cari sama-sama dimana letak masalahnya..

Alur dan Jurnal PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29

Contoh Kasus:

PPh Badan PT. Royal Bali Cemerlang adalah sebagai berikut :

Tahun Takwim 2005 = Rp 3,000,000,- (Lun-Sum 2006 = 3,000,000/12=250,000)


Tahun Takwim 2006 = Rp 3,600,000,- (Lun-Sum 2007 = 3,000,000/12=300,000)

Sehingga di tahun 2007, setiap tanggal 09 bookkeeper PT. Royal Bali Cemerlang menjurnal
pengeluaran tersebut seperti dibawah ini:

Jurnal PPh Pasal 25 masa January dan February 2007:

[Debit]. Uang Muka PPh = Rp 250,000


[Credit]. Kas (Petty Cash) = Rp 250,000

Jurnal PPh Pasal 25 masa March s/d. December 2007:

[Debit]. Uang Muka PPh = Rp 300,000


[Credit]. Kas (Petty Cash) = Rp 300,000

Mengapa berbeda antara January ~ February dengan March ~ December?

Karena PPh Pasal 29 Tahun 2006 baru dibayarkan tanggal 20 March 2007, sehingga bulan
January dan February 2007 masih memakai lun-sum Tahun 2006 yang dihitung berdasarkan
PPh Badan Tahun 2005. Cukup jelas kan? (jika belum jelas, silahkan ulangi baca pelan-pelan
saya yakin anda mengerti).

Jika diringkas Daftar PPh Pasal 25 PT. Royal Bali Cemerlang Tahun 2007 menjadi sebagai
berikut:

Sehingga di akhir tahun, BUKU BESAR: Uang Muka PPh akan seperti dibawah ini:
Sedangkan BUKU BESAR: Petty Cash seperti dibawah ini:

Nantinya, pada penutupan buku 31 Desember 2007, Uang Muka (PPh Pasal 25) akan
masuk ke Neraca di sisi Aktiva pada kelompok Aktiva Lancar yang akan menjadi
penyeimbang Petty Cash yang berkurang sejumlah yang sama yaitu Rp 3,500,000.

Catatan: (Penting!)

Jika anda perhatikan kedua buku besar diatas, pencatatan dimulai dari tanggal 09 February
2007. dan di bulan Desember 2007 ada pembayaran PPh Pasal 25 sebanyak 2 (dua) kali, yaitu
pada tanggal 09 Desember dan 30 Desember 2007.
Mengapa?

Di sini lah kuncinya! Tetapi pertanyaan mengapanya akan saya jawab nanti secara khusus ;-)

Pada tanggal 31 December 2007, Laporan Laba/Rugi PT. Royal Bali cemerlang untuk
periode 01 Januari s/d. 31 December 2007, membukukan keuntungan Fiskal sebesar Rp
45,000,000 sehingga PPh Badannya menjadi: 10% x Rp 45,000,000 = Rp 4,500,000.

Jurnalnya:

[Debit]. PPh Badan = Rp 4,500,000


[Credit]. Utang PPh Badan = Rp 4,500,000

Catatan: PPh Badan (yang disisi debit) akan masuk ke Laporan Laba/Rugi dan akan menjadi
faktor pengurang Laba, dan Utang PPh Badan yang di sisi credit akan masuk ke neraca di sisi
Pasiva pada kelompok Liabilities (Kewajiban).

Pada tanggal 19 Maret 2008, PT. Royal Bali Cemerlang menyetorkan PPh Pasal 29 ke kas
negara melalui bank persepsi sebesar Rp 1,000,000 saja yang dihitung dengan cara:

PPh Pasal 29 = PPh Badan Uang Muka PPh (pasal 25)


PPh Pasal 29 = Rp 4,500,000 Rp 3,500,000 = Rp 1,000,000

Dan atas pembayaran tersebut dicatat:

[Debit]. Utang PPh Badan = Rp 4,500,000


[Credit]. Uang Muka PPh (Pasal 25) = Rp 3,500,000,-
[Credit]. Cash = Rp 1,000,000

Jurnal di atas akan:


(-). Menghapus Utang PPh Badan (yang kelihatan pada Neraca 31 Desember 2007).
(-). Menghapus Uang Muka PPh Badan (Pasal 25)
(-). Mengurangi Kas perusahaan pada bulan Maret 2008 sebesar Rp 1,000,000

Selanjutnya, Lun-sum (PPh Pasal 25) PT. Royal Bali Cemerlang untuk tahun 2008 adalah
sebesar: Rp 4,500,000/12 = Rp 375,000,- berlaku mulai masa bulan Maret yang akan
dibayarkan bulan April 2008.

Menjawab pertanyaan mengapa pencatatan Uang Muka (PPh Pasal 25) dimulai pada
tanggal 09 february 2007, dan Pada Bulan Desember dilakukan pembayaran uang muka
(PPh Pasal 25) dilakukan duakali?

Kebanyakan dari kita (termasuk saya dahulu di awal-awal kerja saya) selalu mengikuti arus,
yaitu membayarkan pajak menjelang akhir batas waktu (tanggal 09 bulan berikutnya).
Misalnya: untuk Uang Muka Pasal 25 (Lun-Sum) bulan January dibayarkan tanggal 09
February dan seterusnya.

Sebenarnya itu tidak masalah, hanya saja menjadi masalah ketika itu dilakukan di bulan
Desember. Mengapa?

Karena 31 Desember adalah penutupan buku, jika PPh Pasal 25 untuk bulan December 2007
baru kita bayarkan tanggal 09 January 2008, maka Total Uang Muka PPh Pasal 25 yang
kita bayarkan untuk tahun 2007 hanya sebanyak 11 (sebelas) kali, sehingga kas yang
keluar hanya sebanyak Rp 3,200,000 dengan rincian:

09 February + 09 March 2007 = Rp 250,000 x 2 = Rp 500,000


09 April ~ 09 Desember 2007 = Rp 300,000 x 9 = Rp 2,700,000
------------------------------------------------------------------
Total = Rp 3,200,000
==============================================

Sehingga di penutupan buku di neraca akan muncul:

Uang Muka PPh (Pasal 25) = Rp 3,200,000,- dan di rekening kas akan berkurang sebesar Rp
3,200,000 juga. Okay, Neraca Komersial sudah dalam kondisi balance, sampai...................

Pada tanggal 19 March 2008 (sesuai dengan contoh kasus) pada saat membayarkan PPh
Badan sebesar Rp 1,000,000 dijurnal:

[Debit]. PPh Badan Terhutang = Rp 4,500,000


[Credit]. Uang Muka PPh (Pasal 25) = Rp 3,500,000
[Credit]. Cash = Rp 1,000,000,-

Dengan jurnal di atas, jelas neraca tidak akan balance, Uang Muka PPh di neraca 31
Desember 2007 yang hanya Rp 3,200,000 anda hapuskan dengan jurnal sebesar Rp
3,500,000. jelas akan menyisakan saldo minus sebesar Rp 300,000,-

Bagaimana jika pada saat pembayaran PPh Pasal 29, Uang Muka PPh (Pasal 25) dicatat di
sisi credit sebesar Rp 3,200,000 saja?

Boleh saja, tetapi resiko-nya anda harus membayar (mengeluarkan cash) sebesar Rp
1,300,000,- karena Utang PPh Badannya Rp 4,500,000. Apakah anda mau membayar lebih
sementara bukti SSP anda menunjukkan bahwa anda telah membayar PPh Pasal 25 secara
penuh dari January s/d. December?.

Jikapun anda (perusahaan) rela membayar lebih, saya sarankan: jangan lakukan itu, karena
jika anda lakukan itu, pada catatan di kantor pajak nantinya anda akan kelihatan lebih bayar
(anda tahu resikonya lebih bayar bukan?), Lunsump Desember akan tetap menjadi pengurang
PPh Pasal 29 meskipun anda baru bayarkan di bulan January, (anda tahu resikonya lebih
bayar bukan?) category periksa!.

Lalu bagaimana caranya agar tidak terjadi seperti itu?

Lakukan seperti apa yang saya lakukan: Bayar Lun-Sump (PPh Pasal 25) bulan December
anda pada bulan December juga (paling lambat 30 December), jangan sampai jatuh ke bulan
(tahun) berikutnya. Dan jangan lupa Lun-sump Desember sudah anda bayar di bulan
Desember, sehingga di bulan January anda tidak perlu membayar PPh Pasal 25 lagi, SSP PPh
Pasal 25 untuk Desember yang anda setorkan tanggal 30 Desember setorkan ke kantor pajak
SSP-nya pada bulan January (antara tanggal 01 s/d. 09), sehingga di pembukuan anda
transaksi tercatat tanggal 30 Desember, tetapi di kantor pajak anda tetap kelihatan membayar
di bulan January.

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25

Published by Dudi Wahyudi on March 18th, 2008 11:55 PM | Pajak Penghasilan, PPh Pasal
25/29

Pengertian PPh Pasal 25

Pajak Penghasilan (disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu periode
tertentu yang dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka perhitungan dan
penghitungan PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan. Nah,
karena penghitungan PPh dilakukan setahun sekali, maka penghitungan ini harus dilakukan
setelah satu tahun tersebut berakhir agar semua data penghasilan dalam satu tahun sudah
diketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data penghasilan ini harus menunggu laporan
keuangan selesai dibuat.

Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru dapat
diketahui ketika suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak tidak dilakukan
sekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah mekanisme pembayaran pajak di
muka atau pembayaran cicilan setiap bulan. Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan
Pajak Penghasilan Pasal 25.

Cara Mengitung PPh Pasal 25

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada umumnya,
cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun sebelumnya.
Artinya, kita mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan penghasilan tahun
sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya ketika tahun
pajak sekarang sudah berakhir. Selisih tersebutlah yang kita bayar sebagai kekurangan pajak
akhir tahun. Kekurangan bayar akhir tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila
selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak
meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan.

Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut SPT
Tahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikuranggi dengan kredit pajak Pajak Penghasilan
Pasal 21, 22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Misal, SPT Tahunan 2007 menunjukkan data sebagai berikut :

Pajak Penghasilan terutang 50.000.000

Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24 35.000.000

Maka, PPh Pasal 25 tahun 2008 yang harus dibayar tiap bulan adalah sebagai berikut :

Pajak Penghasilan terutang 50.000.000


Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24 35.000.000

Selisih 15.000.000

PPh Pasal 25 = 15.000.000 : 12 = 1.250.000

PPh Pasal 25 Untuk Bulan-bulan Sebelum Bulan Batas Waktu Penyampaian SPT

Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT
Tahunan adalah sama besarnya dengan Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak
yang lalu. Apabila tahun pajaknya adalah tahun kalender (Januari-Desember), maka yang
dimaksud dengan bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah bulan
Januari dan Pebruari. Dengan demikian PPh Pasal 25 bulan Januari dan Pebruari 2008 adalah
sama dengan PPh Pasal 25 bulan Desember 2007.

PPh Pasal 25 Jika Dalam Tahun Berjalan Telah Diterbitkan SKP Untuk Tahun Pajak
Yang Lalu

Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk tahun pajak
yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan
berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP

PPh Pasal 25 Dalam Hal-hal Tertentu

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak
dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, antara lain apabila :

1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;


2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
3. ST tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu
yang ditentukan;
4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak
Penghasilan;
5. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan Pajak Penghasilan yang
mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum
pembetulan.
6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

Keputusan Dirjen Pajak yang mengatur penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun
berjalan dalam hal-hal tertentu adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-
537/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.

PPh Pasal 25 Untuk Wajib Pajak Tertentu

Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, BUMN, BUMD, dan
Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Keputusan Menteri Keuangan Yang Mengatur Hal Ini Adalah Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 522/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 Jo Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.03/2002 tanggal 8 Maret 2002 Tentang Penghitungan
Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar
Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha
Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah Dan Wajib Pajak Lainnya Termasuk Wajib Pajak
Orang Pribadi Pengusaha Tertentu

Update :

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 522/KMK.04/2000 sudah tidak berlaku lagi. Ketentuan
yang berlaku saat ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255.PMK.03/2008
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.03/2009.

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

Wajib Pajak (orang pribadi atau badan) dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya harus
sesuai dengan sistem self assessment, yaitu wajib melakukan sendiri penghitungan,
pembayaran, dan pelaporan pajak terutang.

KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK


Mekanisme Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Membayar sendiri pajak yang terutang:

a. Pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25)


Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara
angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam
melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak diwajibkan
untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan
membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap bulan.
Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber penghasilannya dari
usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran PPh Pasal 25 terbagi atas 2
yaitu:
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu (OPPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang baik
secara grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa, yang
mempunyai satu atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki
tempat usaha yang berbeda dengan tempat tinggal.
Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah peredaran
usaha (omset) setiap bulan dari masing-masing tempat usaha
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha
Tertentu (OPSPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT) adalah Orang
Pribadi yang melakukan kegiatan usaha tanpa melalui tempat usaha
misalnya sebagai pekerja bebas atau sebagai karyawan.
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT : Penghasilan Kena Pajak x
Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh : 12 bulan.
Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


Sampai dengan Rp 50.000.000,- 5%
di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 250.000.000,- 15%
di atas Rp 250.000.000,- sampai dengan Rp 500.000.000,- 25%
di atas Rp 500.000.000,- 30%
b. Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran PPh 25 yang
terutang diperoleh dari penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif PPh
yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang Undang Pajak Penghasilan.
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh adalah 25%.
Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun sampai dengan
Rp 50.000.000.000,- mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50%
dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh, yang dikenakan atas
penghasilan kena pajak dari peredaran bruto sampai dengan Rp
4.800.000.000,-
c. Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh
Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26).
Pihak lain disini adalah:
Pemberi penghasilan;
Pemberi kerja; atau
Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.

Penjelasan lebih lanjut mengenai pemotongan dan pemungutan pajak


diuraikan lebih lanjut pada bagian Pemotongan/Pemungutan (butir 2).

Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh
pihak yang ditunjuk pemerintah.
Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai
ekspor atau nilai lainnya.
Pembayaran Pajak-pajak lainnya:
Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
Untuk daerah Jakarta dan daerah tertentu lainnya, pembayaran
PBB sudah dapat dilakukan dengan menggunakan ATM di
Bank-bank tertentu.
Tarif PBB terdiri dari 2 tarif yaitu:
a. 1/1000 dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk
yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,-
b. 2/1000, dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk
yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,-
Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen
yang dapat dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai
berupa meterai tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara
lain seperti menggunakan mesin teraan.
Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut
jumlah (kuitansi) di atas Rp 250.000,- sampai dengan
Rp1.00.000,- adalah Rp3.000,-.
Untuk dokumen yang menyebut jumlah di atas Rp1.000.000,-
dan surat-surat perjanjian terutang materai tempel sebesar
Rp6.000,-.
2. Pemotongan / Pemungutan Pajak
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang
dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang ditunjuk
berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut, antara lain yang
ditunjuk tersebut adalah badan Pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya. Untuk subjek pajak badan dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai
pemotong/pemungutan pajak.
Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal
23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15 dan PPN dan PPn BM. Penjelasan
lebih lanjut dari masing-masing pajak tersebut adalah sebagai berikut:
a. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan kepada oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan
dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan.
Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh
perusahaan pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh UU
Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan
kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya. Wajib Pajak
perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 sepanjang
ada penunjukannya dari KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Selain diwajibkan
memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak perseorangan bisa juga dilakukan
pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterimanya.
b. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas
penyerahan barang (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada
bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan usaha di bidang-
bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah:
Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah;
Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;
Pemungutan PPh atas produksi barang-barang tertentu misalnya
produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif;
Pemungutan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau
ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang perhutanan,
perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang pengumpul;
Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah

Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat juga
sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22.

c. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty,
sewa, dan jasa kepada WP badan dalam negeri, dan BUT.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23,
sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh
Pasal 23. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan
yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan pemberi penghasilan
(pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 23, maka atas
penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 23 oleh si
pihak pemotong tersebut.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa
tertentu (jasa service mesin atau komputer) yang pemotongannya dilakukan
oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
d. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty,
hadiah dan penghasilan lainnya kepada WP luar negeri.
Wajib Pajak baik yang berbentuk perseoranan maupun badan ditunjuk untuk
memotong PPh Pasal 26.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas
penghasilan tertentu (royalty) yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk
badan.
e. PPh Final (Pasal 4 ayat (2))
Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah
dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dan lainnya.
Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak
pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak penerima penghasilan,
penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam
penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2),
sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh
Pasal 4 ayat (2). Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak meneriman
penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) dan
pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 4
ayat (2), maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh
Pasal 4 ayat (2) oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak
menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak
pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib
Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut.
f. PPh Pasal 15 adalah pemotongan Pajak penghasilan yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang menggunakan norma
penghitungan khusus.
Wajib Pajak tertentu tersebut adalah perusahaan pelayaran atau penerbangan
international, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak,
gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan
investasi dalam bentuk bangun guna serah.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15,
sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh
Pasal 15. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak meneriman penghasilan
yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 15 dan pemberi penghasilan
(pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 15, maka atas
penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 15 oleh si
pihak pemotong tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan
yang merupakan objek PPh Pasal 15 dan pihak pemberi penghasilan adalah
orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor
sendiri PPh Pasal 15 tersebut.
g. PPN dan PPnBM adalah pemungutan PPN dan PPnBM oleh Pengusaha Kena
Pajak (PKP) atau Pemungutan yang ditunjuk (misalnya Bendahara
Pemerintah) atas pengkonsumsian barang dan/atau jasa kena pajak.
Pengusaha Kena Pajak yang ditunjuk untuk memungut PPN dan PPnBM
adalah pengusaha yang memiliki peredaran bruto (omzet) melebih Rp
600.000.000,- setahun atau pengusaha yang memilih sendiri untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Wajib Pajak baik berbentuk perseorangan maupun badan yang telah
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib memungut PPN dan juga
PPnBM (bila barangnya yang diserahkan tergolong mewah) dari pembeli atau
pemakai jasanya. Wajib Pajak juga wajib membayar PPN dan PPnBM bila
mengkonsumsi barang atau jasa dari Pengusaha Kena Pajak.

Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh Undang-Undang Perpajakan untuk


melakukan pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% dan
kenaikan 100%.

PENAGIHAN PAJAK
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban membayar pajaknya, Direktorat Jenderal
Pajak akan melakukan penagihan pajak. Tindakan ini dilakukan Apabila Wajib Pajak tidak
membayar pajak terutang sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam Surat
Tagihan Pajak(STP), atau Surat Ketetapan Pajak (skp), Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, maka DJP dapat melakukan tindakan penagihan.
Proses penagihan dimulai dengan Surat Teguran dan dilanjutkan dengan Surat Paksa. Dalam
hal WP tetap tidak membayar tagihan pajaknya maka dapat dilakukan penyitaan dan
pelelangan atas harta WP yang disita tersebut untuk melunasi pajak yang tidak/belum dibayar.

Adapun jangka waktu proses penagihan sebagai berikut:

1. Surat Teguran diterbitkan apabila dalam jangka 7 (tujuh) hari dari jatuh tempo
pembayaran Wajib Pajak tidak membayar hutang pajaknya.
2. Surat Paksa diterbitkan dalam jangka 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat Teguran
apabila Wajib Pajak tetap belum melunasi hutang pajaknya.
3. Sita dilakukan dalam jangka waktu 2 x 24 jam sejak Surat Paksa disampaikan.
4. Lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang.
Sedangkan pengumuman lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah
penyitaan.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan pencegahan dan penyanderaan terhadap
Wajib Pajak/penanggung pajak yang tidak kooperatifdalam membayar hutang pajaknya.

BLOG

Pajak Penghasilan pasal 21

OBJEK PAJAK PPh PASAL 21


Menurut Keputusan Dirjen Pajak No Kep-545/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000, yang
dimaksud Objek Pajak Penghasilan pasal 21 adalah penghasilan yang dipotong oleh
pemotong pajak untuk dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21. Yang termasuk objek pajak
PPh Pasal 21 adalah :
1. Pegawai tetap, penerima pensiun bulanan, pegawai tidak tetap, pemagang dan calon
pegawai serta distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis, dikenakan tarif Pasal 17
Undang-undang PPh dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP dihitung
berdasarkan sebagai berikut:
- Pegawai Tetap; Penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan (5% dari penghasilan bruto,
maksimum Rp 6.000.000,- setahun atau Rp 500.000,- (sebulan); dikurangi iuran pensiun.
Iuran jaminan hari tua, dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
- Penerima Pensiun Bulanan; Penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun (5% dari
penghasilan bruto, maksimum Rp 2.400.000,- setahun atau Rp 200.000,- sebulan); dikurangi
PTKP.
- Pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai : Penghasilan bruto dikurangi PTKP yang
diterima atau diperoleh untuk jumlah yang disetahunkan.
- Distributor Multi Level Marketing/direct selling dan kegiatan sejenis; penghasilan bruto tiap
bulan dikurangi PTKP perbulan.
2. Penerima honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan, komisi, bea siswa, dan
pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa dan kegiatan yang jumlahnya dihitung tidak atas
dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan; mantan
pegawai yang menerima jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus; peserta program pensiun
yang menarik dananya pada dana pensiun; dikenakan tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-
undang PPh dikalikan dengan penghasilan bruto
3. Tenaga Ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, penilai dan aktuaris) dikenakan tarif PPh Psl 17 x 50% dari perkiraan
penghasilan bruto - PTKP perbulan
4. Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan calon pegawai, serta pegawai tidak
tetap lainnya yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan dan
uang saku harian yang besarnya melebihi Rp.150.000 sehari tetapi dalam satu bulan takwim
jumlahnya tidak melebihi Rp. 1.320.000,- dan atau tidak di bayarkan secara bulanan, maka
PPh Pasal 21 yang terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif 5% dari
penghasilan bruto setelah dikurangi Rp. 150.000. Bila dalam satu bulan takwim jumlahnya
melebihi Rp.1.320.000,- sebulan, maka besarnya PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu
hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yang
bersangkutan dibagi 360.
5. Penerima pesangon, tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang
dibayarkan sekaligus dikenakan tarif PPh final sebagai berikut:
- 5% dari penghasilan bruto diatas Rp 25.000.000 s.d. Rp. 50.000.000.
- 10% dari penghasilan bruto diatas Rp. 50.000.000 s.d. Rp. 100.000.000.
- 15% dari penghasilan bruto diatas Rp. 100.000.000 s.d.Rp. 200.000.000.
- 25% dari penghasilan bruto diatas Rp. 200.000.000.
Penghasilan bruto sampai dengan Rp. 25.000.000,- dikecualikan dari pemotongan pajak.
6. Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/POLRI yang menerima honorarium dan imbalan lain
yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah dipotong PPh Ps.
21 dengan tarif 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final, kecuali yang dibayarkan
kepada PNS Gol. lId kebawah, anggota TNI/POLRI Peltu kebawah/ Ajun Insp./Tingkat I
Kebawah.
.PTKP adalah :
Keterangan Setahun
No
1. Diri Wajib Pajak Pajak Orang Pribadi Rp. 15.840.000
2. Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin Rp. 1.320.000,-
3. Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya Rp. 15.840.000,-
digabung dengan penghasilan suami.
4. Tambahan untuk setiap anggota keturunan sedarah Rp. 1.320.000,-
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat
yang diatnggung sepenuhnya , maksimal 3 orang untuk
setiap keluarga
Tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan adalah:
Tarif Pajak
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Sampai dengan Rp. 50.000.000,- 5%
Diatas Rp. 50.000.000,- sampai dengan Rp. 250.000.000,- 15%
Diatas Rp. 250.000.000,- sampai dengan Rp. 500.000.000,- 25%
Diatas Rp. 500.000.000,- 30%
Contoh Penghitungan Pemotongan PPh PasaL 21
1. Penghasilan Pegawai Tetap yang diterima Bulanan
Contoh:
Saefudin adalah pegawai tetap di PT Insan Selalu Lestari sejak 1 Januari 2009. la
memperoleh gaji
sebulan sebesar Rp. 2.000.000,- dan membayar iuran pensiun sebesar Rp. 25.000,- sebulan.
Saefudin menikah tetapi belum mempunyai anak (status K/0).
Penghitungan PPh Ps. 21
Penghitungan PPh Ps. 21 terutang
Gaji Sebulan = 2.000.000
Pengh. bruto = 2.000.000
Pengurangan
Biaya Jabatan: = 5%x 2.000.000 = 100.000

Iuran pensiun = 25.000

Total Pengurangan = 125.000

Pengh netto sebulan = 1.875.000

Pengh. Netto setahun 12 x 1.875.000 = 22.500.000

PTKP setahun:
WP sendiri = 15.840.000

Tambahan WP kawin = 1.320.000

Total PTKP = 17.160.000

PKP setahun = 5.340.000

PPh Ps.21 = 5% x 5.340.000 = 267.000

PPh Ps. 21 sebulan = 22.250

SUBJEK PAJAK PPh PASAL 21


Penerimaan penghasilan atau subjek pajak yang dipotong Pajak Penghasilan pasal 21
menurut Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-545/PJ/2000 adalah:
Pejabat Negara yang meliputi: (1) Presiden dan Wakil Presiden, (2) Ketua, Wakil
Ketua, dan Anggota DPR/MPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, (3)
Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan, (4) Ketua dan Wakil Ketua,
Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah Agung, (5) Menteri, Menteri Negara, dan
Menteri Muda, (6) Jaksa Agung, (7) Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah
Propinsi, (8) Bupati dan Wakil Bupati Daerah Kabupaten, dan (9) Walikota dan Wakil
Walikota;

Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah PNS-Pusat, PNS-Daerah, dan PNS lainnya yang
ditetapkan dengan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam undang-
undang Nomor 8 Tahun 1974;

Pegawai adalah setiap orang pribadi, yang melakukan pekerjaan berdasarkan suatu
perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang
melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik negara dan badan
usaha milik daerah;

Pegawai tetap yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima
atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan
komisaris dan anggota pengawas yang secara teratur ikut serta melaksanakan kegiatan
perusahaan;

Pegawai lepas adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja dan hanya
menerima upah apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja;

Penerimaan pensiun yaitu orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau
memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan dimasa lalu, termasuk orang
pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua;

Penerima honorarium yaitu orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan
hubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukannya;

Penerima Upah yaitu orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan,
upah borongan, atau upah satuan;

Orang pribadi lainnya yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan


dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan dari Pemotong Pajak. Serta orang pribadi lainnya
yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan dari Pemotongan Pajak.

Pajak Penghasilan pasal 22

PPh pasal 22 membahas tentang penghasilan yang berasal dari penjualan pada instansi
pemerintah, impor, dan industri tertentu (industri rokok, industri kertas, industri otomotif,
industri semen, industri baja, Pertamina Bulog untuk tepung terigu dan gula pasir).
Tarif PPh pasal 22 atas penjualan instansi pemerintah :
PPh pasal 22 bendaharawan = 1,5% x nilai penjualan
Tarif PPh pasal 22 atas impor :
1. Bila importir memiliki API (Angka Pengenal Impor)
PPh pasal 22 impor = 2,5% x nilai impor
2. Bila importir tidak memiliki API
PPh pasal 22 impor = 7,5% x nilai impor
Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh Pertamina dan badan usaha
lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas
adalah sebagai berikut:

Jenis Bahan SPBI SPBU


Bakar Swastanisasi Pertamina
(%dari (%dari
penjualan) penjualan)
Premiun 0,3 0,25
Solar 0,3 0,25
Premix/SuperTT 0,3 0,25
Minyak Tanah 0,3
Gas LPG 0,3
Pelumas 0
Catatan:
Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur /dealer/agen,bersifat final.

Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul (angka II butir 7) ditetapkan sebesar 0,5 % dari harga pembelian tidak termasuk
PPN.
Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22
1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB).
2. Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai;
dilaksanakan oleh DJBC.
3. Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali,
dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
4. Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah yang jumlahnya paling banyak Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-
benda pos.
6. Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk
tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas
Negara.
8. Impor kembali (re-impor) yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh DJBC.
9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.
. Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22
1. Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk.
Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan
dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
2. Atas pembelian barang (angka II butir 2,3, dan 4) terutang dan dipungut pada saat
pembayaran;
3. Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5) terutang dan dipungut pada saat penjualan;
4. Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 6) dipungut pada saat penerbitan Surat
Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order);
5. Atas pembelian bahan-bahan (angka II butir 7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.
Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22
1. PPh Pasal 22 atas impor barang (angka II butir 1) disetor oleh importir dengan
menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP).PPh Pasal 22 atas
impor barang yang dipungut oleh DJBC harus disetor ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan
Giro dalam jangka waktu 1(satu) hari setelah pemu-ngutan pajak dan dilaporkan ke KPP
secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
2. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (angka II butir 2 dan 3) disetor oleh pemungut atas
nama dan NPWP Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro secara kolektif
pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut
menerbitkan bukti pungutan rangkap tiga, yaitu:
- lembar pertama untuk pembeli;
- lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;
- lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan dilaporkan ke KPP
paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa pajak berakhir.
3. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (angka II butir 4) disetor oleh pemungut atas nama
Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 (sepuluh)
bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa
ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
4. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5 dan 7) disetor oleh pemungut
atas nama wajib pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10
(sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP. Pemungut
menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak
berakhir.
5. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (angka II butir6) disetor sendiri oleh Wajib
Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum Surat Perintah Pengeluaran
Barang (delivery order) ditebus dengan menggunakan SSP. Pemungut wajib menerbitkan
bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
- lembar pertama untuk pembeli;
- lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
- lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat paling lambat
20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

Pajak Penghasilan pasal 23

Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal
dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh
Pasal 21.
Pemotong dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23
1. Pemotong PPh Pasal 23:
a. badan pemerintah;
b. Wajib Pajak badan dalam negeri;
c. penyelenggaraan kegiatan;
d. bentuk usaha tetap (BUT);
e. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
f. Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak.

2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:

a. WP dalam negeri;
b. BUT
Tarif dan Objek PPh Pasal 23 dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari
jumlah bruto dan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
Saat Terutang, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 23
a. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan
terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih
dahulu.

b. PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan takwim
berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.

c. SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari setelah
Masa Pajak berakhir.
Bukti Pemotong PPh Pasal 23
Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak
Orang Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23.
Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 23
Perubahan pada penghasilan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah dihapuskannya
Pasal 23 ayat (1) huruf b yaitu pengenaan PPh Pasal 23 yang bersifat final sebesar 15% (lima
belas persen) dari jumlah bruto atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi. Jenis
penghasilan lainnya tetap yaitu, dividen, bunga royalti, hadiah dan penghargaan selain yang
sudah dipotong PPh Pasal 21, sewa, imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan
jasa konsultan dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Penentuan jasa lain
dalam UU PPh yang baru diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan, sementara dalam
ketentuan lama, penentuannya dilakukan oleh Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Jenis-jenis penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23,
sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (4) adalah sebagai berikut :
1. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank (tidak berubah)
2. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi (tidak berubah)
3. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang
diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c) (ketentuan
baru dalam frasa berwarna biru)
4. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j (ketentuan ini
dihapus sesuai dengan perubahan di Pasal 4 ayat (3) Undang-undang PPh)
5. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i (tidak berubah)
6. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya (tidak
berubah)
7. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya (ketentuan ini
dihapus sehingga pengenaan PPh nya kembali pada ketentuan Pasal 23 ayat (1)
huruf a, atau akan dikenakan PPh Final tersendiri berdasar Pasal 4 ayat(2)?)
8. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan (ketentuan ini sama sekali baru, nampaknya untuk
memberikan keadilan antara bank dan lembaga keuangan yang kegiatan usahanya
mirip dengan bank).
Tarif PPh Pasal 23
Dalam ketentuan lama, struktur tarif PPh Pasal 23 adalah sebagai berikut :
1. Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap
penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah dan penghargaan selain yang
sudah dipotong PPh Pasal 21.
2. Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat final dikenakan kepada bunga simpanan
yang dibayarkan koperasi yang jumlahnya melebihi Rp240.000,- sebulan.
3. 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan
lain sehubungan dengan penggunaan harta; dan imbalan sehubungan dengan jasa
teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang
telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Ketentuan
mengenai jenis penghasilan dan besarnya perkiraan penghasilan neto diatur dalam
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-70/PJ/2007. Silahkan klik Daftar Tarif PPh Pasal
23 untuk mengetahuinya.

Dalam ketentuan baru Undang-undang Pajak Penghasilan, struktur tarifnya adalah sebagai
berikut :

1. Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap
penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah, penghargaan dan bonus selain
yang sudah dipotong PPh Pasal 21.
2. Dihapus
3. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
o sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
o imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Dari paragraf di atas bisa kita simpulkan bahwa pada point 1 tidak mengalami perubahan
berarti. Pada point 2, PPh Pasal 23 Final atas bunga simpanan koperasi dihapuskan.
Ketentuan mengenai bunga koperasi nampaknya akan masuk pada point 1 di mana dikenakan
PPh Pasal 23 tidak final sebesar 15% dari penghasilan bruto tanpa ada pembatasan jumlah
bunga yang selama ini kita kenal.
Kalau kita cermati pada point 3, sebenarnya tak ada perubahan dari jenis penghasilannya.
Yang berubah adalah tarifnya!. Selama ini PPh Pasal 23 ini dikenakan tarif 15% ini dari
Perkiraan Penghasilan Neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto ini ditetapkan oleh
Keputusan/Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Tahun 2009 nanti kita nampaknya harus
mengucapkan selamat tinggal pada kata perkiraan penghasilan neto ini. Ya, mulai tahun
2009 nanti tarif PPh Pasal 23 hanya satu saja yaitu 2% dari penghasilan bruto. Lumayan kan,
kita tak perlu lagi pusing dengan jenis-jenis jasa dan tarifnya yang banyak itu . Kita tinggal
menunggu jenis jasa lain yang akan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan yang
selama ini penentuan jenis jasa lain ini menjadi hak Direktur Jenderal Pajak.
Tarif Lebih Tinggi Bagi Wajib Pajak Tak Ber-NPWP
Berdasarkan Pasal 23 ayat (1a) Undang-undang Pajak Penghasilan yang baru, Wajib Pajak
yang menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal
23 dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka besarnya tarif pemotongan
PPh Pasal 23 adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif PPh Pasal 23
umumnya. Saya menafsirkan ketentuan ini sebagai berikut. Jika bagi Wajib Pajak yang
berNPWP dikenakan tarif 15%, maka bagi yang tidak berNWP akan dikenakan tarif 30%.
Begitu juga jika Wajib Pajak berNPWP dikenakan tarif 2% maka bagi yang tidak berNPWP
menjadi 4%. Ada yang punya penafsiran lain? Silahkan.

Pajak Penghasilan pasal 24

Pajak penghasilan pasal 24 ialah Pajak penghasilan yang terutang atau dibayarkan di luar
negeri atas penghasilan yang di terima atau yang diperoleh dari luar negeri yang dapat di
kreditkan terhadap pajak penghasilan yang terhutang atas seluruh wajib pajak dalam negeri.
Supaya tidak terjadi penghitungan ganda maka pajak tersebut dapat di kreditkan oleh
perusahaan dengan cara:
1.Menghitung batas Maksimum pajak luar negeri
2.Pajak penghasilan yang di kreditkan dalam pajak tahun yang sama

Rumus menghitung Maksimum Pajak Luar Negeri


Penghasilan Luar Negri X PPH Terhutang
Total Penghasilan Netto LN+DN

Cara Menghitung kredit pajak luar negeri yaitu :


a. Pajak penghasilan yang dikenakan ialah pajak penghasilan pada tahun yang sama
b. Menghitung batas maksimum kredit pajak luar negeri atau eksemi
c. Bandingkan batas MKPLN(Maksimum Pajak Luar Negeri)dengan pajak yang dipotong
diluar negeri dan PPh terutang pada tahun berjalan
d. Yang boleh menjadi kredit pajak adalah yang jumlahnya lebih kecil kredit PPh 24 tidak
boleh melebihi Jumlah PPh terhutang pada tahun berjalan
e. Bila ada kerugian luar negeri tidak boleh di kompensasikan dengan penghasilanyang
diterima di dalam negeri

Yang dimaksud dengan Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri adalah pajak yang
berkenaan atas usaha atau pekerjaan di luar negeri, sedangkan yang dimaksud pajak atas
penghasilan yang dibayarkan di luar negeri adalah pajak atas penghasilan dari modal dan
penghasilan lainnya di luar negeri misalnya bunga,deviden,royalty.

Contoh Soal PPh 24 :


PT.CNEA yang berada di Jakarta Mempunyai Penghasilan sebagai berikut :
a. Di Negara Australia memperoleh Laba Rp 2000000000 dengan tariff pajak sebesar 40%
(Rp 800000000)
b. Di Negara Singapura Memperoleh Laba Rp4000000000 dengan tariff pajak sebesar 25%
(Rp 1000000000)
c. Di Negara Malaysia Rugi 3000000000
d. Penghasilan Usaha dalam negeri 4000000000
Perhitungan PPh 24 adalah sebagai berikut :

Pajak yang terhutang di Australia Rp 1000000000, MKPLN yang dapat di kreditkan Rp


1193000000,kita ambil yang Rp 1000000000 (yang paling kecil ).Jadi jumlah kredit pajak
luar negeri yang dikenakan adalah Rp 596500000 + Rp 1000000000 = Rp 1596500000

Dari contoh di atas kita bisa lihat kerugian di Negara Malaysia Rp 2500000000 tidak di
kompensasikan ( Tidak Seperti kalau kita menghitung PPh badan dalam negeri dimana
kerugian akan mendapatkan kompensasi selama 5 tahun berturut-turut )

Pajak Penghasilan pasal 25

Pengertian Pajak penghasilan Pasal 25


Pajak Penghasilan (disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu periode
tertentu yang dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka perhitungan dan
penghitungan PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan. Nah,
karena penghitungan PPh dilakukan setahun sekali, maka penghitungan ini harus dilakukan
setelah satu tahun tersebut berakhir agar semua data penghasilan dalam satu tahun sudah
diketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data penghasilan ini harus menunggu laporan
keuangan selesai dibuat.
Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru dapat
diketahui ketika suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak tidak dilakukan
sekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah mekanisme pembayaran pajak di
muka atau pembayaran cicilan setiap bulan. Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan
Pajak Penghasilan Pasal 25.
Cara Mengitung PPh Pasal 25
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada umumnya,
cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun sebelumnya.
Artinya, kita mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan penghasilan tahun
sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya ketika tahun
pajak sekarang sudah berakhir. Selisih tersebutlah yang kita bayar sebagai kekurangan pajak
akhir tahun. Kekurangan bayar akhir tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila
selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak
meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan.
Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut SPT
Tahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikuranggi dengan kredit pajak Pajak Penghasilan
Pasal 21, 22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Misal, SPT Tahunan 2007 menunjukkan data sebagai berikut :
Pajak Penghasilan terutang 50.000.000
Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24 35.000.000
Maka, PPh Pasal 25 tahun 2008 yang harus dibayar tiap bulan adalah sebagai berikut :
Pajak Penghasilan terutang 50.000.000
Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24 35.000.000
Selisih 15.000.000
PPh Pasal 25 = 15.000.000 : 12 = 1.250.000
PPh Pasal 25 Untuk Bulan-bulan Sebelum Bulan Batas Waktu Penyampaian SPT
Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT
Tahunan adalah sama besarnya dengan Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak
yang lalu. Apabila tahun pajaknya adalah tahun kalender (Januari-Desember), maka yang
dimaksud dengan bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah bulan
Januari dan Pebruari. Dengan demikian PPh Pasal 25 bulan Januari dan Pebruari 2008 adalah
sama dengan PPh Pasal 25 bulan Desember 2007.
PPh Pasal 25 Jika Dalam Tahun Berjalan Telah Diterbitkan SKP Untuk Tahun Pajak
Yang Lalu
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk tahun pajak
yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan
berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP
PPh Pasal 25 Dalam Hal-hal Tertentu
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak
dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, antara lain apabila :
1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
3. ST tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu
yang ditentukan;
4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak
Penghasilan;
5. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan
angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan.
6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Keputusan Dirjen Pajak yang mengatur penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun
berjalan dalam hal-hal tertentu adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-
537/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.

PPh Pasal 25 Untuk Wajib Pajak Tertentu


Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, BUMN, BUMD, dan
Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Keputusan Menteri Keuangan Yang Mengatur Hal Ini Adalah Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 522/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 Jo Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.03/2002 tanggal 8 Maret 2002 Tentang Penghitungan
Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar
Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha
Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah Dan Wajib Pajak Lainnya Termasuk Wajib Pajak
Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
Update :
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 522/KMK.04/2000 sudah tidak berlaku lagi. Ketentuan
yang berlaku saat ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255.PMK.03/2008
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.03/2009.

Pajak Penghasilan pasal 26

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/ dipotong atas penghasilan
yang bersumberdari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak(WP) luar negeri
selain bentuk usaha tetap (BUT) diIndonesia.
Pemotong PPh Pasal 26
- Badan Pemerintah;
- Subjek Pajak dalam negeri;
- Penyelenggara Kegiatan;
- BUT;
- Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selainBUT di Indonesia.
Tarif dan Objek PPh Pasal 26
1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yangditerima atau diperoleh Wajib Pajak Luar
Negeri berupa :
a.dividen;
b.bunga, premium, diskonto, premi swap,dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian hutang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.

2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :


a. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
b. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang
kepada perusahaan asuransi di luar negeri.

3. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di
Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.

4. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan
negara pihak pada persetujuan.

Saat Terutang, Cara Pemotongan, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 26
1. PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan
terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu.

2. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
- lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
- lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
- lembar ketiga untuk arsip Pemotong.

3. PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan
saat terutangnya pajak.

4. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar
kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari
setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh :
Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2001, penyetoran paling lambat tanggal
10 Juni 2001; dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 Juni 2001.
Pengecualian
1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak sesudah
dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:
a. dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
b. dilakukan dalam tahun berjalan atau selambatlambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun
pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;
c. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya dalam
waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi
komersil.

2. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Sekilas Perpajakan Atas Rumah Sakit

Posted on September 27, 2013 by Taripar Doly, SE, MM

Tak kuasa menolak request seorang pembaca


setia nusahati agar penulis mau menuangkan hal-hal terkait perpajakan bagi sebuah rumah
sakit adalah niat awal penulis kali ini, dan semoga tulisan ini sedikitnya dapat mengobati rasa
penasarannya :D.
Seperti kita ketahui Industri rumah sakit adalah industri yang padat karya dan padat modal.
Padat karya ditandai dengan banyaknya tenaga kerja yang terlibat dalam aktivitas rumah
sakit, padat modal bisa dilihat dari aktiva rumah sakit berupa peralatan medis yang nilainya
sangat material dan juga persediaan obat dengan perputaran yang tinggi. Demikian pula
unsur-unsur pendapatan sebuah rumah sakit tidak lah sedikit sangat bergantung dari karakter
rumah sakit dan kompleksitas operasi yang dijalankan. Hal itulah yang membuat penulis
berhati-hati saat memproses permohonan penurunan angsuran PPh Pasal 25 yang diajukan
wajib pajak saat penulis bertugas sebagai Account Representative beberapa tahun yang
lampau. Hanya karena rumah sakit swasta sedang dalam pemugaran untuk membangun
ruangan-ruangan kelas istimewa, maka rumah sakit swasta ini merasa berhak untuk meminta
pengurangan angsuran PPh Pasal 25, karena proses penelitian dalam rangka permohonan
penurunan angsuran tersebutlah penulis melihat banyaknya peluang penggalian potensi
perpajakan saat itu.

Dengan bermodalkan pengalaman tersebut penulis mencoba menguraikan terkait hal-hal


pemajakan dalam sebuah rumah sakit khusus swasta, adapun judul tulisan kali ini adalah
Sekilas Perpajakan Atas Rumah Sakit dan semoga dapat bermanfaat, karena tulisan ini
ditinjau dari sudut pandang seorang account representative dalam melihat kewajiban
perpajakan untuk wajib pajak yang mengelola rumah sakit bukan berarti hal-hal seputar
perpajakan dalam tulisan ini mewakili seluruh rumah sakit, karena sepantasnya yang lebih
paham atas rumah sakit sepenuhnya adalah Pengurus Pusat Perhimpunan Rumah Sakit
Seluruh Indonesia (PERSI).

Sebuah rumah sakit pada umumnya dapat dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Bagi
rumah sakit Pemerintah tidak perlu melaporkan PPh 25 (SPT Masa) maupun PPh 29 (SPT
Tahunan) karena rumah sakit pemerintah bukan merupakan subyek pajak. Adapun kategori
sebagai rumah sakit pemerintah harus memenuhi hal-hal sebagai berikut yaitu :

1. Dibentuk berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku,


2. Dibiayai dengan dana yang bersumber APBN dan APBD,
3. Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran,
4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara

Dengan demikian karena RSU/RSUD mendapatkan pembiayaan dari luar APBN/APBD atau
tidak seluruh penerimaan dan pembiayaan tercatat dalam APBN/APBD, maka kewajiban
menghitung pajak sendiri (PPh 25/29) disamakan dengan badan swasta lain.

Aspek Perpajakan Rumah Sakit Pemerintah Dan Non Pemerintah

a. Kewajiban PPh Pasal 25/29

Seperti kita ketahui bahwa Rumah sakit yang dimiliki oleh Pemerintah (RSU ataupun RSUD)
didanai dari APBN dan APBD, maka rumah sakit tidak memiliki kewajiban PPh terhadap
diri sendiri. Dengan kata lain, rumah sakit pemerintah tidak perlu melaporkan PPh 25 (SPT
Masa) maupun PPh 29 (SPT Tahunan) karena bukan subyek pajak beda hal jika rumah sakit
swasta sebagaimana objek penulisan kali ini yang tentu saja memiliki kewajiban PPh Pasal
25 dan untuk itulah wajib pajak mengajukan permohonan penurunan angsuran PPh Pasal 25.

b. Kewajiban PPh Pemotongan dan Pemungutan


Sama halnya baik rumah sakit pemerintah maupun swasta memiliki kewajiban sebagai
pemungut pajak PPh pasal 21, 23, 26,dan pasal 4 ayat (2) berkaitan dengan aktivitas
pembayaran gaji, honor, jasa, sewa, dll kepada karyawan dan pihak ketiga. Berkaitan dengan
transaksi yang berhubungan dengan Pph 21 di rumah sakit disamping pengenaan PPh Pasal
21 atas karyawan non dokter dan dokter, terdapat ketentuan khusus bagi rumah sakit,
yaitu : Tenaga dokter berdasar status hubungan kerja digolongkan menjadi:

Dokter yang menjabat sebagai pimpinan rumah sakit,


Doker sebagai pegawai tetap atau honorer rumah sakit,
Dokter tetap yaitu dokter yang mempunyai jadwal praktek tetap tetap bukan sebagai
pegawai tetap rumah sakit,
Dokter tamu yaitu dokter yang merawat atau menitipkan pasiennya untuk dirawat di
rumah sakit,
Dokter yang menyewa ruangan di rumah sakit untuk praktek,

Sedangkan terkait atas penghasilan yang diterima dokter dan pengenaan PPh nya dapat
dibaca dalam tulisan terdahulu yang berjudul Sekilas Tentang Penghasilan Seorang Dokter,
dimana penghasilan seorangdokter bersumber dari keuangan rumah sakit atau dari imbalan
lain yang diterima oleh para dokter, dan penghasilan yang berasal dari pasien yang diterima
oleh para dokter sebagaimana diberikan contoh dalam tulisan tersebut di atas.

c. Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai

Berkaitan dengan transaksi penyerahan obat kepada pasien, rumah sakit juga berpotensi
memiliki kewajiban memungut PPN (pajak pertambahan nilai) dan dikukuhkan sebagai
pengusaha kena pajak.

Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No: SE-06/PJ.52/ 2000 tanggal 2 Maret 2000
tentang PPN Atas Penggantian Obat Di Rumah Sakit, ditegaskan bahwa instalasi farmasi
(kamar obat) merupakan suatu tempat untuk mengadakan dan menyimpan obat-obatan, gas
medik alat kesehatan serta bahan kimia yang bukan berdiri sendiri tetapi merupakan satuan
organic yang tidak terpisah dari keseluruhan rumah sakit. Selanjutnya ditegaskan
bahwa penyerahan obat-obatan yang dilakukan instalasi farmasi (kamar obat) tidak
terutang PPN.

Dalam kenyataannya instalasi farmasi melayani rumah sakit yang terdiri dari pasien rawat
inap, pasien rawat jalan dan pasien gawat darurat. Mengingat instalasi farmasi rumah sakit
melakukan pelayanan kepada pasien rawat jalan sebagaimana lazimnya sebuah apotik, maka
atas penyerahan obat-obatan oleh instalasi farmasi kepada pasien rawat jalan tetap terutang
PPN, terkait bagaimana mekanisme pengkreditan karena terdapat yang terutang PPN dan
tidak dijelaskan dalam PMK-78/PMK.03/2010 Tentang Pedoman Pengkreditan Pajak
Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan
Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak.

Jenis Jenis Pendapatan Sebuah Rumah Sakit


Yang menjadi objek pajak adalah semua penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh
sebuah rumah sakit terdiri dari beberapa sumber, untuk itu penulis mencoba membagi
penghasilan yang diperoleh rumah sakit menjadi 2 (dua) jenis penghasilan yang meliputi :

a. Penghasilan dari Operasional Pelayanan Pasien

Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari usaha, pekerjaan, kegiatan atau jasa,
sehubungan dengan kategori penghasilan operasional pelayanan pasien dari sebuah rumah
sakit diantaranya :

1. Instalasi Rawat Inap, hal ini meliputi sewa kamar/ruangan di rumah sakit, poliklinik,
pusat pelayanan kesehatan,
2. Instalasi Farmasi, hal ini meluputi diantaranya uang pendaftaran untuk pelayanan
kesehatan, dan penghasilan dari penjualan obat
3. Instalasi Rawat Jalan, hal ini meliputi Penghasilan dari perawatan kesehatan seperti
uang pemeriksaan dokter, operasi, rontgen, scanning, pemeriksaan laboratorium, dll
4. Instalasi Penunjang Medik, meliputi uang pemeriksaan kesehatan termasuk general
check up, Senam Hamil dan Pijat Bayi.
5. Instalasi Gawat Darurat.

b. Penghasilan dari Operasional Lainnya

Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari usaha, pekerjaan, kegiatan atau jasa,
sehubungan dengan kategori penghasilan operasional lainnya dari sebuah rumah sakit
diantaranya :

1. Pembagian keuntungan dari kerjasama usaha, yang meliputi diskon dari supplier yang
dibutuhkan oleh rumah sakit, Telepon. Listrik, Parkir
2. Pemakaian ruangan, yang meliputi penghasilan dari penyewaan alat kesehatan (Sewa
dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta) dan lain-lain.
3. Bunga deposito, bunga obligasi, diskontto SBI dan bunga lainnya
4. dan lain-lain

Loading.

Dasar Hukum

1. KMK-604/KMK. 04/1994 Tentang Badan Badan Dan Pengusaha Kecil Yang


Menerima Harta Hibahan Yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan
2. SE-34/PJ.4/1995 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Yayasan Atau Organisasi
Yang Sejenis.
3. SE-06/PJ.52/ 2000 tanggal 2 Maret 2000 tentang PPN Atas Penggantian Obat Di
Rumah Sakit.
4. PMK-78/PMK.03/2010 Tentang Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan Bagi
Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan
Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak

Anda mungkin juga menyukai