Anda di halaman 1dari 95

PENGARUH KONSENTRASI KOMBINASI EKSTRAK RIMPANG

TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) DAN BUAH


MENGKUDU (Morinda citrifolia Linn.) TERHADAP
DAYA HAMBAT MINIMAL Candida albicans

KARYA TULIS ILMIAH

OLEH
NIA AGUSTINA
NIM 14.135

AKADEMI FARMASI PUTRA INDONESIA MALANG


MEI 2017
PENGARUH KONSENTRASI KOMBINASI EKSTRAK RIMPANG
TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) DAN BUAH
MENGKUDU (Morinda citrifolia Linn.) TERHADAP
DAYA HAMBAT MINIMAL Candida albicans

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan kepada
Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang
untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam menyelesaikan program D-III
bidang Farmasi

OLEH
NIA AGUSTINA
NIM 14.135

AKADEMI FARMASI PUTRA INDONESIA MALANG


MEI 2017
KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH KONSENTRASI KOMBINASI EKSTRAK


RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
DAN BUAH MENGKUDU (Morinda citrifolia Linn.)
TERHADAP DAYA HAMBAT MINIMAL Candida albicans

NIA AGUSTINA
NIM 14.135
Dipertahankan di depan penguji
Pada tanggal
dan dinyatakan memenuhi persyaratan

Dewan Penguji,

Drs. Bilal Subchan Agus Santoso M.Farm., Apt. Penguji I

Ressa Marisa, S.Si., Apt. Penguji II

Oktavina Kartika P., M.Si., M.Sc. Penguji III

Mengetahui, Mengesahkan,
Pembantu Direktur Bidang Akademik Direktur

Nur Candra E.S, S.Si., S.Pd., M.Pd. Ernanin Dyah Wijayanti, S.Si., M.P.
NIDN. 0721058503 NIDN. 0723118404

Keaslian
Persembahan
ABSTRAK

Agustina, Nia. 2017. Pengaruh Konsentrasi Kombinasi Ekstrak Rimpang


Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan Buah Mengkudu (Morinda
citrifolia Linn.) Terhadap Daya Hambat Minimal Candida albicans. Karya Tulis
Ilmiah. Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang. Pembimbing: Drs. Bilal
Subchan Agus Santoso, M.Farm., Apt.

Kata Kunci: Candida albicans, buah mengkudu, rimpang temulawak

Jamur Candida albicans merupakan flora normal pada tubuh manusia yang
terdapat pada saluran pencernaan, vagina, uretra, kulit serta di bawah jari-jari
tangan dan kuku. Peningkatan jumlah Candida albicans dalam batas normal
dapat mengakibatkan penyakit sistem saluran pencernaan, keputihan, sariawan
bahkan dapat mengakibatkan komplikasi yang berbahaya berupa kematian.
Tanaman yang dapat digunakan sebagai antijamur adalah rimpang temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) yang
memiliki kandungan senyawa metabolit, seperti alkaloid, flavonoid, tanin dan
saponin yang berperan sebagai antijamur. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah
mengetahui pengaruh konsentrasi kombinasi ekstrak rimpang temulawak dan
buah mengkudu dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans. Metode
yang digunakan adalah eksperimental dengan menggunakan difusi cakram yang
direndam kombinasi ekstrak rimpang temulawak dan buah mengkudu. Hasil
penelitian yang didapatkan adalah pada kombinasi konsentrasi temulawak dan
mengkudu memiliki daya hambat Candida albicans. Kesimpulannya ada
pengaruh konsentrasi kombinasi ekstrak rimpang temulawak dan buah mengkudu
terhadap daya hambat minimal Candida albicans.

ABSTRACT

Agustina, Nia. 2017. Effect of Combination Concentration of Ginger Rhizome


(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) and Noni Fruit (Morinda citrifolia Linn.) Extract
Against Minimal Inhibitory Candida albicans. Scientific Paper. Putra Indonesia
i
ii

Pharmacy Academy Malang. Supervisor: Drs. Bilal Subchan Agus Santoso,


M.Farm., Apt.

Key Words: Candida albicans, ginger rhizome, noni fruit

Candida albicans fungus is a normal flora of human body found in the digestive
tract, vagina, urethra, skin and under the fingers and nails. Increasing the number
of Candida albicans within normal limits can lead to diseases of the
gastrointestinal system, vaginal discharge, sprue can even lead to dangerous
complications of death. Plants that can be used as an antifungal are the ginger
rhizome (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) and noni fruit (Morinda citrifolia L.) have
active compounds, such as alkaloids, flavonoids, tannins and saponins that act as
antifungals. The purpose of this research is conducted to know the influence of the
combination concentration of the ginger rhizome and noni fruit in inhibiting the
growth of Candida albicans. The method used was experimental by using disc
diffusion which was soaked in combination of extract of ginger rhizome and noni
fruit. The result of this research is concentration of ginger rhizome and noni fruit
6%b/v does not have Candida albicans inhibition. In conclusion there is no effect
of concentration of extract combination of ginger rhizome and noni fruit against
minimum inhibitory Candida albicans.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah ShubhanallahuWataala yang


telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan KaryaTulis Ilmiah tepat pada waktunya.
iii

Penyusunan laporan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapatkan


bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan rasa
terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. Bilal Subchan Agus Santoso., M.Farm., Apt. selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan kepada
penulis dalam melaksanakan dan penyelesaian laporan Karya Tulis
Ilmiah ini.
2. Bapak Ressa Marisa, S.Si., Apt. dan Ibu Oktavina Kartika P., M.Si.,
M.Sc. sebagai dosen penguji yang telah membimbing dan memberi
masukan sehingga terselesaikannya laporan Karya Tulis Ilmiah dengan
baik.
3. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang
terkait lainnya yang telah banyak membantu baik dalam pelaksanaan
Karya Tulis Ilmiah ataupun penyelesaian laporan Karya Tulis Ilmiah
ini.
Penulis berharap semoga bekal pengetahuan dan pengalaman yang
diperoleh dalam melaksakan Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat dan
menambah wawasan pembaca.
Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kesalahan dalam penulisan
laporan Karya Tulis Ilmiah ini, maka dari itu penulis mohon maaf dan
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun untuk semua pihak.
Semoga laporan ini memberikan banyak manfaat bagi kita semua dan penulis
mengucapkan terimakasih.
Malang, Mei 2017

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL LUAR

HALAMAN JUDUL DALAM

HALAMAN PENGESAHAN
iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ILMIAH

HALAMAN PERSEMBAHAN

ABSTRAK...........................................................................................................i

ABSTRACT........................................................................................................ii

KATA PENGANTAR.........................................................................................iii

DAFTAR ISI.......................................................................................................iv

DAFTAR TABEL ..............................................................................................vii

DAFTAR GAMBAR.........................................................................................viii

DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................ix

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1

1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................... 4
1.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian................................................. 5
1.5 Definisi Istilah................................................................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................6

2.1 Tinjauan Teori...............................................................................................6


2.1.1 Candida albicans ......6
2.1.2 Temulawak ........8
2.1.3 Mengkudu ....................10
2.1.4 Senyawa Antifungi ...................13
2.1.5 Simplisia ...................15
2.1.6 Ekstraksi ...........19
2.1.7 Metode Pengujian Antifungi ........23
2.1.8 Media Pertumbuhan Mikroorganisme ......26
2.1.9 Tinjauan Antifungi .......28
2.1.10 Antifungi Sebagai Kontrol Positif 30
2.2 Kerangka Teori.............................................................................................. 31
2.3 Hipotesis....................................................................................................... 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN .......................................................33

3.1 Rancangan Penelitian.................................................................................... 33


3.2 Populasi dan Sampel..................................................................................... 34
3.3 Lokasi dan Waktu.......................................................................................... 34
3.4 Definisi Operasional..................................................................................... 34
v

3.5 Instrumen Penelitian..................................................................................... 35


3.6 Pengumpulan Data ....................................................................................... 36
3.7 Analisis Data ................................................................................................ 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.................................44

4.1 Hasil Determinasi.......................................................................................... 44


4.2 Hasil Pembuatan Simplisia .......................................................................... 45
4.3 Hasil Ekstraksi ............................................................................................. 46
4.4 Hasil Uji Skrining Fitokimia.........................................................................49
4.3 Pengujian Antifungi Candida albicans.........................................................53

BAB V PENUTUP.............................................................................................58

5.1 Kesimpulan................................................................................................... 58
5.2 Saran..............................................................................................................58
DAFTAR RUJUKAN .......................................................................................59
LAMPIRAN ......................................................................................................74
vi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.4.1 Definisi Operasional Variabel.......................................................... 35

Tabel 4.2.1 Pengamatan Simplisia Rimpang Temulawak...................................45

Tabel 4.2.2 Pengamatan Simplisia Buah Mengkudu...........................................45

Tabel 4.3.1 Pengamatan Ekstrak Rimpang Temulawak .....................................47

Tabel 4.3.2 Pengamatan Ekstrak Buah Mengkudu .............................................47

Tabel 4.4.1 Pengamatan Skrining Fitokimia.......................................................49

Tabel 4.5.1 Pengamatan Zona Bening Kontrol Positif........................................56

DAFTAR GAMBAR
vii

Gambar 2.1 Tanaman Temulawak........................................................................ 8

Gambar 2.2 Tanaman Mengkudu........................................................................ 10

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Penelitian di Laboratorium.....................................................74

Lampiran 2 Perhitungan Konsentrasi.................................................................. 75

Lampiran 3 Perhitungan Media PDA..................................................................76


viii

Lampiran 4 Perhitungan Rendemen....................................................................77

Lampiran 5 Surat Determinasi Tanaman Temulawak.........................................78

Lampiran 6 Surat Determinasi Tanaman Mengkudu...........................................79

Lampiran 7 Proses Pembuatan Ekstrak Kental...................................................80

Lampiran 8 Hasil Skrining Fitokimia..................................................................82

Lampiran 9 Pengujian Antifungi Candida albicans............................................83


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah di bidang kesehatan yang

dari waktu ke waktu terus berkembang. Infeksi adalah suatu penyakit yang dapat

ditularkan baik dari satu orang ke orang lain ataupun dari hewan ke manusia

(Darwis et al., 2014). Pada umumnya infeksi disebabkan oleh mikroorganisme,

yakni bakteri, virus dan jamur. Namun, tidak semua mikroorganisme dapat

menyebabkan penyakit hal ini karena beberapa mikroorganisme terdapat dalam

tubuh manusia, seperti jamur Candida. Jamur ini merupakan flora normal dalam

tubuh dan tidak berbahaya. Namun, pada kondisi tertentu dapat menyebabkan

infeksi karena sistem kekebalan tubuh menurun dan kurangnya menjaga

kebersihan (Mavor et al., 2005). Pada umumnya penyakit infeksi yang disebabkan

jamur Candida dinamakan kandidiasis.


Kandidiasis merupakan penyakit infeksi disebabkan oleh Candida

albicans yang menyerang kulit, kuku, dan mukosa mulut, serta alat kelamin, tetapi

pada tingkat lebih rendah Staphylococcus aureus juga menyebabkan manifestasi

infeksi atau autoimun lainnya (Puel et al., 2011). Candida ialah kelompok flora

normal pada tubuh manusia yang terdapat pada saluran pencernaan, selaput

mukosa saluran pernapasan, vagina, uretra, kulit serta di bawah jari-jari tangan

dan kuku (Simatupang, 2009). Hal ini mengakibatkan jamur Candida dapat

1
2

menyebabkan keadaan patologik pada saat daya tahan tubuh menurun baik secara

lokal ataupun sistemik. Keadaan yang paling sering dialami masyarakat adalah

sariawan. Sariawan merupakan peradangan yang terjadi pada mukosa mulut yang

menyerang selaput lendir pipi dan bibir bagian dalam, lidah, gusi, serta langit-

langit rongga mulut disebabkan oleh jamur Candida albicans (Tanjung, 2015).

Sariawan ditandai dengan adanya bercak putih kekuningan dapat berupa bercak

tunggal maupun berkelompok. Pada kondisi tertentu, seperti menurunnya

kekebalan tubuh atau faktor lainnya jamur ini dapat menyebabkan kandidiasis

yang sering terjadi di rongga mulut dan menyumbang angka kematian di atas 25%

(Ginting, 2012). Candida albicans merupakan jamur yang paling banyak

menyebabkan penyakit infeksi pada manusia (Kurniawan et al., 2008).


Perkembangan pelayanan kesehatan tradisional saat ini mulai berkembang

pesat hampir sekitar 32% masyarakat Indonesia memilih metode back to nature

menggunakan obat tradisional. Selain itu, adanya dukungan kebijakan Menteri

Kesehatan tahun 1999 yaitu mengembangkan dan memanfaatkan tanaman obat

asli Indonesia (Khafidhoh et al., 2015). Tanaman herba yang berpotensi

menghambat pertumbuhan jamur Candida albicans adalah rimpang temulawak

(Novianti, 2016) dan buah mengkudu (Usha et al., 2010).


Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang biasanya dimanfaatkan

sebagai obat adalah rimpangnya (Rukayadi and Hwang, 2013). Secara praklinik

temulawak digunakan sebagai antiinflamasi, antikanker, antidiabetes, antimikroba,

antihiperlipidemia, antioksidan (Rahardjo, 2010). Selain itu, khususnya untuk

perempuan Indonesia memanfaatkan rimpang temulawak sebagai mengobati

gangguan saat nifas dan menstruasi, memperbanyak ASI, dan membantu

membersihkan wajah dari bakteri patogen penyebab jerawat (Deasywaty, 2011).


3

Rimpang temulawak mengandung minyak atsiri, saponin, flavonoid, alkaloid,

tanin dan kurkumin yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme

(Dermawaty, 2015).
Mengkudu (Morinda citrifolia L.) merupakan tanaman obat yang dapat

dimanfaatkan sebagai kesehatan tubuh. Bagian mengkudu yang sering digunakan

untuk pengobatan adalah buah mengkudu (Simatupang et al., 2017). Mengkudu

dapat digunakan sebagai stimulant system kekebalan tubuh, agen antikanker,

siklus menstruasi regulator (Yang et al., 2007). Buah mengkudu mengandung

saponin, flavonoid, minyak atsiri dan alkaloid yang berfungsi sebagai

antimikroorganisme (Muhammad, 2008).


Penelitian ini menggunakan metode maserasi, yakni pengambilan zat aktif

suatu tanaman dengan cara merendam serbuk simplisia dalam larutan yang sesuai

selama tiga hari pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya dengan demikian

larutan akan masuk kedalam sel melewati dinding sel. Kemudian isi sel akan larut

karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel

(Oktaviana, 2010). Pelarut yang digunakan ialah etanol 70% karena etanol

memiliki polaritas yang tinggi sehingga dapat mengekstrak lebih banyak daripada

pelarut organik lainnya dan memiliki selektivitas yang tinggi serta aman sesuai

standar makanan dan farmasi (Ramadhan and Phaza, 2010). Selain itu, etanol

70% sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal (Voight,

1994). Kemudian dilakukan uji aktivitas daya hambat Candida albicans dengan

metode difusi cakram dikarenakan tidak memerlukan peralatan khusus dalam

penggunaannya, relatif murah dan mudah dilakukan (Prayoga, 2015).


4

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti ingin mengetahui

pengaruh konsentrasi kombinasi ekstrak rimpang temulawak dan buah mengkudu

terhadap daya hambat minimal Candida albicans.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, terdapat

rumusan masalah dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut.


1.2.1 Apakah ada pengaruh konsentrasi kombinasi ekstrak rimpang temulawak

dan buah mengkudu terhadap Candida albicans ?


1.2.2 Berapakah konsentrasi daya hambat minimal Candida albicans dari

kombinasi ekstrak rimpang temulawak dan buah mengkudu?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.3.1 Untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh konsentrasi kombinasi

ekstrak rimpang temulawak dan buah mengkudu terhadap Candida

albicans.
1.3.2 Untuk mengetahui konsentrasi daya hambat minimal Candida albicans dari

kombinasi ekstrak rimpang temulawak dan buah mengkudu.

1.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian


Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi determinasi tanaman,

pembuatan simplisia, pembuatan ekstrak temulawak dan mengkudu, skrining

fitokimia, sterilisasi alat dan bahan, uji aktivitas antifungi untuk mengetahui

konsentrasi daya hambat minimal pertumbuhan jamur Candida albicans, analisa

data menggunakan One Way ANOVA.


Keterbatasan penelitian adalah tidak menentukan ukuran rimpang

temulawak dan buah mengkudu, tidak berdasarkan jenis rimpang temulawak dan

buah mengkudu, serta tidak melakukan standardisasi simplisia.

1.5 Definisi Istilah


5

Adapun definisi istilah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.


1.5.1 Ekstrak rimpang temulawak dan buah mengkudu merupakan ekstrak cair

yang didapat dengan mengekstrak bagian rimpang temulawak dan buah

mengkudu dengan pelarut etanol 70%.


1.5.2 Aktivitas antifungi adalah kemampuan sebagai antifungi yang mengganggu

pertumbuhan dan metabolisme jamur dengan pengujian daya hambat

terhadap jamur Candida albicans menggunakan metode difusi cakram,

sedangkan sebagai penghambatnya adalah kombinasi ekstrak rimpang

temulawak dan buah mengkudu.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Candida albicans
2.1.1.1 Klasifikasi Candida albicans
Klasifikasi Candida albicans adalah sebagai berikut (Tanjong, 2012).
Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Subphylum : Saccharomycota
Class : Saccharomycetes
Ordo : Sacchamycetales
Family : Saccharomyceteae
Genus : Candida
Spesies : Candida albicans
Candida albicans mempunyai beberapa bentuk morfologi yang berbeda.

Perbedaan bentuk ini tergantung pada faktor eksternal yang mempengaruhinya.

Candida albicans dan patogenitasnya dipengaruhi oleh genetik, lingkungan, dan

fenotipik seperti pH, suhu, kondisi anaerob dan faktor gizi dalam jaringan

pencernaan yang berperan dalam meningkatkan penetrasi Candida albicans

melalui sel mukosa (Hasanah, 2012). Candida albicans adalah jamur dimorfik

karena memiliki kemampuan untuk tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda,

yakni pada dalam bentuk ragi atau hifa pada kondisi lingkungan tertentu

(Whiteway and Bachewich, 2007).

Dinding sel berperan dalam proses penempelan dan kolonisasi serta bersifat

antigenik. Adanya membran sterol pada dinding sel berperan penting sebagai

target antimikotik dan kemungkinan merupakan tempat bekerjanya enzim-enzim

yang berperan dalam sintesis dinding sel (Hasanah, 2012).


2.1.1.2 Pertumbuhan Fungi
Pada umumnya suatu koloni mikroorganisme mengalami pertumbuhan

yang berasal dari satu sel. Apabila suatu konidia atau spora fungi ditanam di atas

media agar dalam cawan petri, maka setelah satu atau dua hari baru terlihat

sesuatu pada permukaan agar yang berupa tetesan kental (khamir) atau berupa
benang-benang (kapang). Suatu konidia akan tumbuh suatu tabung yang semakin

lama semakin panjang mirip seuntai benang dan mulai bercabang. Cabang-cabang

yang timbul akan selalu tumbuh menjauhi hifa yang pertama dan saling

bersentuhan dengan cabang yang lain. Pada titik sentuh akan terjadi lisis dinding

sel (anastomosis) sehingga protoplasma akan mengalir ke semua sel hifa.

Miselium yang terbentuk akan makin banyak dan membentuk suatu koloni

(Gandjar et al., 2006).

Gambar 2.1 Pertumbuhan spora atau konidia menjadi miselium (Gandjar et al.,

2006).
Setiap mikroorganisme memiliki kurva pertumbuhan, misalnya fungi.

Kurva tersebut diperoleh dari menghitung massa sel pada kapang atau kekeruhan

media pada khamir dalam waktu tertentu. Kurva pertumbuhan memiliki beberapa

fase, yaitu sebagai berikut (Gandjar et al., 2006).


1. Fase lag, yaitu fase penyesuaian sel-sel dengan lingkungan, pembentukan

enzim-enzim untuk mengurai substrat.


2. Fase akselerasi, yaitu fase mulainya sel-sel membelah dan fase lag menjadi

fase aktif.
3. Fase eksponensial, yaitu fase perbanyakan jumlah sel yang sangat banyak,

aktivitas sel sangat meningkat, dan fase ini merupakan fase yang penting dalam

kehidupan fungi.
4. Fase deselerasi, yaitu waktu sel-sel mulai kurang aktif membelah.
5. Fase stasioner, yaitu fase jumlah sel yang bertambah dan jumlah sel yang mati

relatif seimbang.
6. Fase kematian dipercepat, yaitu jumlah sel-sel yang mati atau tidak aktif

sama sekali lebih banyak daripada sel-sel yang masih hidup.


2.1.1.3 Morfologi Fungi Candida albicans
Candida secara morfologi mempunyai beberapa bentuk, yaitu sel ragi

(blatospora/yeast), hifa dan bentuk intermedia/pseudohifa.

Gambar 2.2 Morfologi Candida (a) bentuk khamir, (b) bentuk pseudohifa, (c)

bentuk hifa (Komariah, 2012).


Sel ragi berbentuk bulat, lonjong atau bulat lonjong dengan ukuran 2-5 x

3-6 hingga 2-2,5 x 5-28 . Candida memperbanyak diri dengan membentuk

tunas yang akan terus memanjang membentuk hifa semu dan memiliki warna

koloni Candida putih kekuningan dan berbau khas (Komariah, 2012). Candida

albicans dapat tumbuh pada suhu 37oC dalam kondisi aerob atau anaerob.

Candida albicans memiliki koloni berwarna krem, agak mengkilat dan halus

(Kusumaningtyas, 2014).
2.1.1.4 Infeksi oleh Candida albicans
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh jamur di Indonesia masih relatif

tinggi dan obat antijamur relatif lebih rendah dibandingkan dengan obat

antibakteri (Darwis et al., 2014). Perkembangan infeksi jamur di Indonesia

sebagai negara iklim tropis disebabkan oleh curah hujan yang tinggi sehingga

pertumbuhan jamur lebih baik (Wahyuni et al., 2017). Penyakit jamur erat

kaitannya dengan kebiasaan dan tingkat kebersihan individu. Pada manusia, dalam

keadaan normal Candida albicans berada di mulut, saluran pencernaan dan vagina
tanpa menimbulkan gejala penyakit. Namun, dalam keadaan tertentu Candida

albicans dapat menjadi patogen pada manusia (Karkowska-Kuleta et al., 2009).


Candida albicans dapat menimbulkan suatu penyakit yang salah satu

pemicunya adalah ketidakseimbangan daya imun tubuh yang paling sering

menyebabkan infeksi mulut (Barani et al., 2014). Infeksi yang paling umum

adalah kandidiasis oral yang merupakan salah satu infeksi oportunistik yang

mempengaruhi mukosa mulut. Kandidiasis merupakan penyakit pada selaput

lendir mulut, vagina dan saluran pencernaan jika pada tahap selanjutnya dapat

menyerang jantung, darah dan otak (Ambarwati et al., 2012).


2.1.2 Temulawak
2.1.2.1 Deskripsi Temulawak

Gambar 2.3 Tanaman Temulawak (Imawati, 2015)


Induk rimpang temulawak berbentuk bulat seperti telur berukuran besar,

sedangkan cabang rimpang temulawak berada di samping induk rimpang yang

bentuknya memanjang. Tiap tanaman mempunyai cabang antara 3-4 buah dengan

warna pada umumnya lebih muda daripada rimpang induk. Warna kulit rimpang

saat masih muda ataupun tua, yakni kuning atau coklat kemerahan. Pada

umumnya setiap rumpun temulawak memiliki 6 buah rimpang tua dan 5 buah

rimpang muda. Rimpang temulawak terbentuk dalam tanah pada kedalaman

kurang lebih 16 cm (Said, 2007).


Akar temulawak termasuk akar serabut yang akar-akarnya melekat dan

keluar dari rimpang induk. Akar temulawak letaknya tidak beraturan dan memiliki
panjang sekitar 25 cm. Pada bagian rimpang ini akan tumbuh tunas baru yang

kemudian menjadi tanaman temulawak (Laili, 2013).


2.1.2.2 Klasifikasi Temulawak
Kedudukan tanaman temulawak dalam sistematika tumbuhan termasuk ke

dalam klasifikasi sebagai berikut (Bintari et al., 2013).

Devisi : Spermatophyta
Sub Devisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Family : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb.
Tanaman ini memiliki beberapa nama daerah yaitu koneng gede, temu

raya, temu besar (Sunda), koneng tegel (Jawa), temolobak (Madura), tommon

(Sulawesi Selatan), karbanga (Ternate) dan temulobak (Madura) (Achmad et al.,

2008).
2.1.2.3 Kandungan dan Khasiat Temulawak
Temulawak banyak digunakan dalam pengobatan tradisional. Terdapat

lebih dari 50 resep yang menggunakan temulawak untuk pengobatan berbagai

penyakit, yaitu penyakit yang berhubungan dengan gangguan saluran pencernaan,

seperti diare, disentri, cacingan, kurang nafsu makan, gangguan hati, sakit kuning,

pengobatan sakit ginjal, kencing batu dan empedu, pengobatan rematik, kejang-

kejang, dan pegal linu. Rimpang temulawak juga digunakan untuk pengobatan

penyakit yang berhubungan dengan kolesterol, tekanan darah tinggi, sebagai

bahan ramuan untuk peluruh haid, pengobatan haid yang tidak lancar, perawatan

setelah melahirkan dan meningkatkan produksi air susu (Wiyono, 2017).


Rimpang temulawak memiliki kandungan senyawa metabolit yang

bermanfaat untuk kesehatan tubuh, seperti kurkumin, minyak atsiri, pati, protein

dan lemak. Pati dalam rimpang temulawak merupakan komponen terbesar

diantara zat lainnya. Rimpang temulawak mengandung alkaloid, flavonoid,


fenolik, saponin, triterpenoid, dan glikosida. Rimpang temulawak mengandung

zat warna kuning 1-2% yang terdiri dari curcumin dan monodesmetoksicurcumin

(Tetan-El, 2014). Kurkuminoid memiliki warna kuning atau kuning jingga,

berbentuk serbuk, rasa sedikit pahit, larut dalam aseton, alkohol, asam asetat

glasial, dan alkali hidroksida. Namun, kurkuminoid tidak larut dalam air dan

dietileter, memiliki aroma khas dan tidak bersifat toksik biasanya dalam

temulawak sebesar 1-2% (Ramdja et al., 2009). Kurkumin berkhasiat untuk

antioksidan, inflamasi, diabetes, penyakit kardiovaskular, paru-paru, sistem saraf,

kulit, dan hati. Kurkumin mengandung asam piperik, glisin, asam piperik-glisil,

alanin dan asam asetat yang merupakan golongan senyawa fenol menunjukkan

bahwa sebagai antibakteri dan antifungi untuk beberapa mikroba patogen, seperti

Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Pseudomonas pyocynin, Candida

krusei dan Candida albicans (Helen et al., 2012).

2.1.3 Mengkudu
2.1.3.1 Deskripsi Mengkudu

Gambar 2.4 Tanaman Mengkudu (Dewi, 2010)


Mengkudu tersebar dari Asia tropis sampai Polynesia, di Indonesia banyak

ditemukan dari dataran rendah sampai 500 meter di atas permukaan laut. Tumbuh

liar di pantai, hutan, ladang atau ditanam di pekarangan sebagai tanaman sayur

atau tanaman obat (Adriana and Artha, 2013). Penduduk menanam mengkudu

karena kulit akarnya mengandung zat warna merah yang dipakai untuk memberi

warna pada kain batik, anyaman pandang atau mending (Sutara, 2009).
Tanaman mengkudu memiliki ciri-ciri yaitu perdu atau pohon kecil yang

tumbuh membengkok, tinggi 3-8 m, banyak bercabang dengan ranting bersegi

empat. Daun letak berhadapan bersilang, bertangkai, bentuknya bulat telur lebar

sampai elips, panjang 10-40 cm, lebar 5-17 cm, tebal mengkilap, tepi rata, ujung

runcing, pangkal menyempit, tulang daun menyirip, warnanya hijau tua. Bunga

keluar dari ketiak daun, 5-8 dalam karangan berbentuk bonggol, dengan mahkota

berbentuk tabung, bentuknya bulat lonjong, berupa buah buni majemuk yang

berkumpul menjadi satu sebagai buah yang besar, panjang 5-10 cm, permukaan

tidak rata berbenjol-benjol, warnanya hijau, jika masak berdaging dan berair,

warnanya kuning pucat atau kuning kotor, berbau busuk, berisi banyak biji

berwarna coklat kehitaman (Djauhariya et al., 2016).


Daun muda biasa dikukus atau direbus dan dimakan sebagai lalap matang

atau untuk membungkus pindang ikan teri. Buah muda direbus untuk lalap, buah

setengah matang dirujak dan buah matang untuk membersihkan karat pada logam

atau untuk keramas (pencuci rambut) (Wijayakusuma et al., 1996).


2.1.3.2 Klasifikasi Mengkudu
Taksonomi tanaman mengkudu adalah sebagai berikut (Puspayanti et al.,

2015).
Filum : Angiospermae
Subfilum : Dycotiledones
Devisi : Lignosae
Family : Rubiaceae
Genus : Morinda
Spesies : Citrifolia L.
Nama ilmiah : Morinda citrifolia Linn.
Botani : Mengkudu
Tanaman ini memiliki beberapa nama daerah yaitu boh kemude (Aceh),

eodu, eoru (Simalungun), bakudu, pamarai (Batak), makudu (Nias), neteu

(Mentawai), bengkudu (Melayu), kodhuk (Madura), bengkudu, mangkudu

(Minangkabau), mengkudu rimbo (Jambi), mekudu (Lampung), wangkudu,


labanau (Dayak), kudu cangkudu (Sunda), kemudu (Jawa), tibak (Bali), tibah,

aikombo (Sumbawa), bakulu (Timor), dan bungkudung (Ambon) (Achmad et al.,

2009).
2.1.3.3 Kandungan dan Khasiat Mengkudu
Di Indonesia tumbuhan mengkudu digunakan sebagai obat diabetes atau

kencing manis atau sakit gula, peluruh empedu, perangsang selaput lendir, obat

sakit ginjal dan hati, dan melancarkan buang air kecil (Joshi et al., 2012). Buah

mengkudu dimakan untuk mengobati sakit gula, hipertensi, radang pankreas dan

radang ginjal, malaria, dan beri-beri, sedangkan air perasannya digunakan untuk

berkumur guna mengobati radang tenggorokan, diminum sebagai obat batuk

(Yulinah et al., 2010). Selain itu, sari buahnya adalah tonikum yang digunakan

untuk berbagai penyakit dan obat diabetes. Kulit tumbuhan ini juga digunakan

sebagai obat disentri, dan mulas, sedangkan daunnya digunakan sebagai obat

batuk, asma, dan obat luar untuk rasa mulas (Achmad et al., 2009).
Buah mengkudu dapat digunakan sebagai efek terapi antikandida hal ini

karena mengandung beberapa senyawa kimia yaitu akubin, L-asperulosida,

alizarin, skopoletin dan antrakuinon lainnya. Aktivitas antijamur dari buah

mengkudu ditentukan oleh lima spesies jamur, seperti Aspergillus niger,

Aspergillus fumigatus, Monoscus purpureus, Candida albicans, dan Monoscus

rubber (Srinivasahan and Durairaj, 2014).

2.1.4 Senyawa Antifungi Rimpang Temulawak dan Buah Mengkudu


2.1.4.1 Alkaloid
Alkaloid adalah golongan senyawa organik yang paling banyak ditemukan

di alam dan berciri khas alkaloid mengandung paling sedikit satu atom N bersifat

basa pada umumnya bagian dari cincin heterosiklik. Pada umumnya alkaloid tidak

berwarna, umumnya berbentuk kristal, hanya sedikit yang berbentuk cairan

(Rochani, 2009). Alkaloid dapat digunakan sebagai antimikroba dengan cara


menghambat esterase, DNA dan RNA polimerase, menghambat respirasi sel dan

berperan dalam interkalasi DNA (Imani et al., 2014).


Salah satu alkaloid yang memiliki aktivitas antijamur adalah sampangin.

Mekanisme sampangin secara langsung menghambat aktivitas salah satu enzim di

jalur biosintesis heme. Secara tidak langsung, sampangin juga dapat menyebabkan

penurunan besi yang tersedia atau menyebabkan kesalahan arah pada biosintesis

langsung, karena biosintesis heme pada jamur terjadi sebagai tahapan jalur spesial

yang dipisahkan antara sitosol dan mitokondria. Biosintesis heme dapat menjadi

target yang sangat efektif untuk menghambat pertumbuhan jamur (Liu et al.,

1990).
2.1.4.2 Flavonoid
Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenol yang paling banyak

ditemukan di alam. Pada umumnya flavonoid adalah pigmen-pigmen yang

tersebar luas dalam bentuk senyawa glikon dan aglikon. Sifat fisika dan kimia

senyawa flavonoid adalah larut dalam air, sedangkan dalam bentuk glikosida yang

termetilasi akan larut dalam eter. Glikosida dapat terlarut dalam pelarut organik

yang bersifat polar (Sumadi, 2011).


Flavonoid akan membentuk senyawa komplek dengan protein membran

sel jamur dan pembentukan komplek tersebut menyebabkan kebocoran isi sel dan

kematian jamur. Flavonoid juga dapat menyebabkan koagulasi protein, sehingga

sel mengalami lisis karena perubahan permeabilitas membran sel jamur (Diana,

2016).
2.1.4.3 Tanin
Tanin adalah suatu senyawa kimia komplek yang terdiri dari beberapa

senyawa polifenol. Tanin memiliki bentuk amorf dan tidak dapat dikristalkan,

tetapi dalam air membentuk larutan koloidal yang bereaksi dengan asam dan

memiliki rasa sepat (Sumadi, 2011).


Tanin merupakan komponen senyawa kompleks berupa polifenol yang

mampu bereaksi dengan dinding sel dan mampu menghambat sintesis sel kitin

yang merupakan komponen penting pada Candida albicans (Permatasari et al.,

2016).
2.1.4.4 Saponin
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang berbusa jika dikocok

dalam air dan pada konsentrasi rendah mengakibatkan hemolisis sel darah. Sifat

yang khas saponin adalah berasa pahit, berbusa dalam air dan beracun bagi

binatang berdarah dingin (Mullik and Permana, 2009). Saponin memiliki efek

sebagai antijamur dengan cara menurunkan tegangan permukaan membran sterol

dari dinding sel Candida albicans sehingga permeabilitasnya meningkat.

Permeabilitas yang meningkat mengakibatkan cairan intraseluler yang lebih pekat

tertarik keluar sel sehingga Candida albcans mengalami kematian (Septianoor et

al., 2013).

2.1.5 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain simplisia

merupakan bahan yang dikeringkan (Putri and Hastuti, 2013).


2.1.5.1 Jenis-Jenis Simplisia
Berdasarkan bahan baku simplisia dikelompokkan menjadi tiga golongan,

yaitu sebagai berikut (Katno, 2008).


1. Simplisia Nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian

tanaman, eksudat tanaman atau gabungan dari ketiganya. Eksudat merupakan isi

sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel yang dengan cara tertentu

dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia. Contohnya jahe, pepaya

dan lain-lain (Irwanta et al., 2016).


2. Simplisia Hewani
Simplisia hewani merupakan simplisia berupa hewan utuh dan belum

berupa bahan kimia murni. Contohnya minyak ikan, madu dan lain-lain (Rosdiani,

2015).
3. Simplisia Pelican atau Mineral
Simplisia pelican yaitu simplisia yang berupa pelican atau mineral yang

belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa bahan

kimia murni. Contohnya serbuk seng atau serbuk tembaga (Nurhadi, 2016).
2.1.5.2 Tahap Pembuatan Simplisia
Adapun tahap-tahap dalam pembuatan simplisia adalah sebagai berikut

(Rahayu et al., 2009).


1. Pengumpulan Bahan Baku
Pengumpulan bahan baku dilakukan pada awal pembuatan simplisia.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengumpulan bahan baku simplisia

yaitu bagian tanaman yang digunakan, umur tanaman atau bagian tanaman pada

saat panen, serta waktu yang tepat untuk panen (Katno, 2008).
2. Sortasi Basah
Sortasi basah dilakukan pada bahan segar dengan cara memisahkan

kotoran dan atau bahan asing lainnya yang terikut saat pengumpulan, seperti

tanah, kerikil, rumput, gulma dan bagian tanaman yang tidak diinginkan. Sortasi

basah berfungsi untuk mengurangi cemaran mikroba serta memperoleh simplisia

dengan jenis dan ukuran yang diinginkan (Caesaria et al., 2009).


3. Pencucian
Pencucian berfungsi untuk menurunkan jumlah mikroba yang

menyebabkan pembusukan dan membuat penampilan fisik simplisia lebih

menarik. Pencucian dilakukan dengan air bersih (standar air minum), sebaiknya

dengan air mengalir agar kotoran yang terlepas tidak menempel kembali. Setelah

dicuci, bahan simplisia ditiriskan dengan cara dihamparkan diatas tikar atau alas

lain yang berlubang-lubang dan ditaruh di atas rak yang bersih (Tiwow et al.,

2013).
4. Pengubahan Bentuk atau Perajangan
Semakin tipis ukuran hasil rajangan/serutan akan mempercepat proses

penguapan air sehingga mempercepat waktu pengeringan, namun jika terlalu tipis

menyebabkan berkurangnya kadar senyawa aktif, terutama senyawa mudah

menguap (misalnya minyak atsiri) sehingga dapat mempengaruhi komposisi, bau

dan rasa yang diinginkan. Selain itu, irisan yang terlalu tipis menyebabkan

simplisia rusak saat dilakukan pengemasan (packing) (Rivai et al., 2017).


5. Pengeringan
Bahan tanaman jarang sekali digunakan dalam keadaan segar, karena

mudah rusak dan tidak dapat disimpan dalam waktu lama. Hal-hal yang perlu

diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu, kelembaban udara,

kecepatan aliran udara, waktu (lamanya) pengeringan dan luas permukaan bahan.

Suhu pengeringan tergantung dari bahan simplisia dan cara pengeringannya.

Bahan simplisia pada umumnya dapat dikeringkan pada suhu kurang dari atau

sama dengan 60oC (Utomo et al., 2009).


6. Sortasi Kering
Prinsip kegiatan sortasi kering sama dengan sortasi basah, tetapi dilakukan

saat bahan simplisia telah kering sebelum dikemas. Sortasi kering bertujuan untuk

memisahkan benda-benda asing dan pengotor lain yang masih ada, seperti bagian

yang tidak diinginkan, tanah, atau pasir. Perhitungan rendemen ekstrak (Rahayu,

2016).

7. Pengemasan
Pengemasan atau pengepakan simplisia sangat berpengaruh terhadap mutu

simplisia terkait dengan pengangkutan dan penyimpanan. Kegiatan ini bertujuan

untuk melindungi simplisia saat pengangkutan, distribusi dan penyimpanan, dari


gangguan luar, seperti suhu, kelembaban, sinar, pencemaran mikroba, serta

serangan berbagai jenis serangga (Katno, 2008).


8. Penyimpanan
Kegiatan penyimpanan dilakukan bila simplisia secara kuantitatif melebihi

kebutuhan serta untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang. Penyimpanan

merupakan upaya untuk mempertahankan kualitas simplisia, baik fisik maupun

jenis dan kadar senyawa kimianya, sehingga tetap memenuhi persyaratan mutu

yang ditetapkan (Sodikin and Triyono, 2013).

2.1.6 Ekstraksi
2.1.6.1 Definisi Ekstraksi
Ekstraksi adalah pemisahan bagian aktif dari jaringan tumbuhan ataupun

hewan menggunakan pelarut yang sesuai melalui prosedur yang telah ditetapkan

(Rahmadani, 2015).

2.1.6.2 Metode Ekstraksi


Adapun metode-metode yang digunakan dalam proses ekstraksi adalah

sebagai berikut (Rahmadani, 2015).


2.1.6.2.1 Cara Dingin
Adapun metode ekstraksi dengan cara dingin dibagi menjadi dua, yaitu

sebagai berikut.
1. Maserasi
Maserasi merupakan proses pengekstrakan simplisia menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). Prinsip maserasi adalah pengikatan/pelarutan zat aktif

berdasarkan sifat kelarutannya dalam suatu pelarut (like dissolve like). Langkah

kerjanya adalah merendam simplisia dalam wadah menggunakan pelarut penyari

tertentu selama beberapa hari sambal sesekali diaduk, lalu disaring dan diambil

campuran larutan yang berwarna bening (Pertiwi et al., 2017). Selama ini dikenal

ada beberapa cara untuk mengekstraksi zat aktif dari suatu tanaman ataupun
hewan menggunakan pelarut yang cocok. Pelarut-pelarut tersebut ada yang

bersifat bisa campur air (contohnya air sendiri, disebut pelarut polar) ada juga

pelarut yang bersifat tidak campur air (contohnya aseton, etil asetat, disebut

pelarut non polar atau pelarut organik). Ketika simplisia yang akan di maserasi

direndam dalam pelarut yang dipilih, maka ketika direndam, cairan penyari

akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam sel yang penuh dengan zat aktif

dan karena ada pertemuan antara zat aktif dan penyari itu terjadi proses

pelarutan (zat aktifnya larut dalam penyari) sehingga penyari yang masuk ke

dalam sel tersebut akhirnya akan mengandung zat aktif, katakan 100%, sementara

penyari yang berada di luar sel belum terisi zat aktif (0%), akibat adanya

perbedaan konsentrasi zat aktif di dalam dan di luar sel ini akan muncul gaya

difusi, larutan yang terpekat akan didesak menuju keluar berusaha mencapai

keseimbangan konsentrasi antara zat aktif di dalam dan di luar sel. Proses

keseimbangan ini akan berhenti, setelah terjadi keseimbangan konsentrasi

(istilahnya jenuh). Dalam kondisi ini, proses ekstraksi dinyatakan selesai,

maka zat aktif di dalam dan di luar sel akan memiliki konsentrasi yang sama,

yaitu masing-masing 50% (Martinus and Verawati, 2016).


Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah tidak dipanaskan,

sehingga bahan alam tidak menjadi terurai (Tombokan, 2016). Selain itu, cara

pengerjaan, peralatan yang digunakan sederhana dan mudah digunakan sehingga

biaya yang dibutuhkan sedikit (Atmoko and Parmadi, 2013). Kerugian cara

maserasi adalah waktu yang dibutuhkan relatif lama (Putra et al., 2014).
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi

penyaringan sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses

perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara


tahap perkolasi (penetasa/penampungan ekstrak), sampai diperoleh ekstrak

(Hamidah et al., 2013).


2.1.6.2.2 Cara Panas
Adapun metode ekstraksi dengan cara panas dibagi menjadi lima, yaitu

sebagai berikut.

1. Infusa
Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90 oC selama 15

menit. Bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur yang

digunakan (96 98oC) selama waktu tertentu (15 20 menit) (Nurhalimah et al.,

2014).
2. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik

didihnya selama waktu tertentu dan dalam jumlah pelarut terbatas yang

relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Gagola, 2014).


3. Digesti

Digesti adalah maserasi pengadukan kontinyu pada temperatur yang lebih

tinggi dari temperatur kamar yaitu 40-500C. Digesti adalah maserasi dengan

pengadukan kontinyu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur ruang

(umumnya 25-30C) (Dewangga et al., 2014).

4. Dekok
Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90 0C selama 30

menit. Metode ini digunakan untuk ekstraksi konstituen yang larut dalam air dan

konstituen yang stabil terhadap panas (Lestari, 2016).


5. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, dengan

menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah

pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Febrina et al., 2015).
2.1.6.3 Pelarut
Pelarut merupakan zat yang dipakai sebagai media untuk melarutkan zat

lain. Sifat pelarut yang baik untuk ekstraksi adalah toksisitas dari pelarut yang

rendah, mudah menguap pada suhu yang rendah, dapat mengekstraksi komponen

senyawa dengan cepat, dan tergantung pada senyawa yang ditargetkan (Dungir et

al., 2012).

Berbagai pelarut yang biasa digunakan dalam prosedur ekstraksi adalah

sebagai berikut (Rahmadani, 2015).

1. Air
Pada umumnya air merupakan pelarut universal yang digunakan untuk

mengekstraksi tumbuhan sebagai aktivitas antimikroba karena dapat melarutkan

senyawa flavonoid. Air dipertimbangkan sebagai pelarut karena mudah didapat,

stabil, tidak mudah menguap, tidak mudah terbakar dan alami. Namun, pelarut air

juga memiliki kekurangan yakni tidak selektif, sari dapat ditumbuhi kapang dan

kuman, serta cepat rusak (Voight, 1994).


2. Etanol
Etanol memiliki aktivitas antijamur yang lebih tinggi dibandingkan dengan

ekstrak air karena adanya jumlah polifenol yang lebih tinggi daripada air. Etanol

lebih mudah untuk menembus membran sel untuk mengekstrak bahan intraseluler

dari bahan tumbuhan (Lailatul et al., 2010).


3. Kloroform
Terpenoid lakton telah diperoleh dengan ekstraksi berturut-turut

menggunakan heksana, kloroform, dan metanol dengan konsentrasi aktivitas

tertinggi terdapat dalam fraksi kloroform. Kadang-kadang tanin dan terpenoid

ditemukan dalam fase air, tetapi lebih sering diperoleh dengan pelarut semipolar

(Baraja, 2008).
4. n-Heksana
n-Heksana memiliki karakteristik sangat tidak polar dan memiliki bau khas

yang dapat menyebabkan hilang kesadaran (pingsan). n-Heksana biasanya


digunakan sebagai pelarut untuk ekstraksi minyak nabati (Munawaroh and

Handayani, 2010).
5. Aseton
Aseton dapat melarutkan komponen senyawa hidrofilik dan lipofilik dari

tumbuhan. Keuntungan menggunakan pelarut aseton yaitu dapat bercampur

dengan air, mudah menguap, dan memiliki toksisitas rendah serta dapat

mengekstrak senyawa golongan fenolik (Marnoto et al., 2012).


6. Etil Asetat
Etil asetat merupakan jenis penyari yang bersifat semi polar. Etil asetat

secara selektif akan menarik senyawa yang bersifat semipolar seperti fenol dan

terpenoid (Pambayun et al., 2007).

2.1.7 Metode Pengujian Antifungi


Aktivitas antifungi sering dijelaskan dalam hal konsentrasi hambat

minimum (MIC) dengan konsentrasi terendah senyawa yang dapat menghambat

pertumbuhan fungi (Mann and Markham, 1998). Konsentrasi hambat minimum

adalah konsentrasi terendah yang mengakibatkan pemeliharaan atau pengurangan

kelayakan inokulum. Pada umumnya konsentrasi hambat minimum dilakukan

selama waktu tertentu, misalnya 24 jam. Teknik ini didasarkan pada pertumbuhan

relatif terhadap kontrol yang harus memungkinkan estimasi dari MIC setiap saat

hingga ke titik penghentian uji (Lambert and Pearson, 2000). Konsentrasi hambat

minimum dianggap standar emas dalam menentukan kerentanan organisme

terhadap antifungi yang digunakan untuk semua metode pengujian. MIC

didefinisikan sebagai konsentrasi terendah dari obat yang akan menghambat

pertumbuhan suatu organisme setelah semalam inkubasi (Andrews, 2001).


Pengujian ini dilakukan untuk menentukan resistensi fungi terhadap agen

antifungi yang berbeda. Pengujian kerentanan antifungi dalam hal ini dilakukan

dengan cara menyaring ekstrak tanaman yang mempunyai aktivitas sebagai

antifungi (Fuadati, 2015). Adapun beberapa metode pengujian antifungi, yaitu

sebagai berikut
2.1.7.1 Metode Difusi
Metode difusi merupakan pengujian antifungi yang sering digunakan

hingga saat ini. Adapun beberapa cara pada metode difusi ini adalaha sebagai

berikut.

1. Cara Kirby-Bauer
Pada metode ini menggunakan kertas cakram yang digunakan untuk

menyerap konsentrasi ekstrak tanaman yang diinginkan. Kemudian kertas cakram

tersebut diletakkan pada permukaan media agar padat yang cocok, misalnya

Nutrient Agar, Mueller Hinton Agar, atau Potato Dextrosa Agar setelah media di

inokulasi dengan mikroorganisme uji. Pada proses selanjutnya di inkubasi selama

24 jam pada suhu 37oC, setelah itu, diukur diameter zona hambat yang berada di

sekitar kertas cakram (Rosyidah et al., 2012). Pengukuran zona hambat ditinjau

dari yaitu sebagai berikut.


a. Zona Radikal
Suatu daerah disekitar kertas cakram yang tidak ditemukan adanya

pertumbuhan jamur. Potensi daya hambat diukur dengan mengukur diameter dari

zona radikal (Wasitaningrum, 2009).


b. Zona Iradikal
Suatu daerah disekitar kertas cakram yang menunjukkan pertumbuhan

jamur dihambat oleh antibiotik tersebut, tetapi tidak dimatikan. Hal ini akan

terlihat adanya pertumbuhan yang kurang subur atau lebih jarang dibandingkan

daerah di luar pengaruh antibiotik tersebut (Jawetz et al, 2001).


2. Cara Sumuran
Metode sumuran yaitu salah satu metode pengujian antifungi dengan cara

cawan petri diinokulasi masing-masing dengan organisme uji pada medium

nutrien agar. Pada pengujian ini dilakukan dengan cara membuat lubang pada

medium agar yang sudah diinokulasi, seperti jamur Candida albicans. Zona

hambat disekitar lubang sumuran menunjukkan adanya penghambatan jamur uji

terhadap senyawa aktif antifungi (Rahayu, 2006).


2.1.7.2 Metode Dilusi
Adapun penggolongan metode dilusi untuk antifungi yaitu sebagai berikut.
a. Metode Dilusi Cair (Broth Dilution)
Metode ini dilakukan dengan cara membuat seri pengenceran agen

antifungi pada media cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Metode ini

mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration atau Kadar hambat minimum

(KHM) dan MBC (Minimum Bacteridal Concentration) atau Kadar Bunuh

Minimum (KBM). Larutan uji agen antifungi pada kadar terkecil yang terlihat

jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM tersebut

selanjutnya di kultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji

ataupun agen antimikroba, dan di inkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang

tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM (Wardhani and

Sulistyani, 2013).
b. Metode Dilusi Padat (Solid Dilution Test)
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media

padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen mikroba yang

di uji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Rahmadani, 2015).

2.1.8 Media Pertumbuhan Mikroorganisme


2.1.8.1 Definisi Pertumbuhan Mikroorganisme
Media adalah bahan yang terdiri dari campuran nutrisi digunakan untuk

menumbuhkan mikroba, mengisolasi mikroba, mengembangbiakkan mikroba,


pengujian sifat-sifat fisiologi mikroba dan perhitungan populasi mikroba (Sumadi,

2011). Pertumbuhan merupakan peningkatan jumlah suatu komponen organisme

secara teratur. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

mikroorganisme yaitu sebagai berikut (Rahmawati, 2015).


a. Nutrisi
Nutrisi adalah substansi yang dibutuhkan untuk biosintesis dan

pembentukan energi. Berdasarkan kebutuhannya, nutrisi dapat dibedakan menjadi

dua yaitu makroelemen dan mikroelemen. Makroelemen yaitu elemen-elemen

nutrisi yang diperlukan dalam jumlah yang banyak, seperti O, C, H, N, S, P, K,

Mg Ca, Fe, sedangkan mikroelemen merupakan elemen-elemen nutrisi yang

diperlukan dalam jumlah sedikit (Widhyastuti, 2007).


b. Temperatur
Temperatur dapat menentukan aktivitas enzim yang terlibat dalam aktivitas

kimia. Peningkatan temperatur sebesar 10oC dapat meningkatkan aktivitas enzim

sebesar dua kali lipat. Temperatur yang tinggi akan menyebabkan denaturasi

protein yang bersifat irreversibel, sedangkan temperatur yang rendah aktivitas

enzim akan terhenti. Suhu yang berkaitan dengan pertumbuhan mikroorganisme

dapat digolongkan menjadi tiga adalah sebagai berikut (Rahmawati, 2015).


1. Suhu minimum : suhu yang apabila berada dibawahnya, maka pertumbuhan

mikroba terhenti.
2. Suhu optimum : suhu dimana pertumbuhan berlangsung paling cepat dan

optimum (suhu inkubasi).


3. Suhu maksimum : suhu apabila berada diatasnya maka tidak terjadi

pertumbuhan.

c. Keasaman dan Kebasaan (pH)


pH adalah indikasi konsentrasi ion hidrogen. Peningkatan dan penurunan

konsentrasi ion hidrogen menyebabkan ionisasi gugus-gugus dalam protein,


amino dan karboksilat sehingga mengakibatkan denaturasi protein yang

mengganggu pertumbuhan sel (Azizah et al., 2012).


2.1.8.2 Media Pertumbuhan Fungi
Media umum untuk mengisolasi fungi umumnya menggunakan PDA

(Potato Dextrose Agar), MEA (Malt Extract Agar), CDA (Czapek Dox Agar), CA

(Carrot Agar), OA (Oat Meal Agar), DRBC (Dichloran Rose Bengal

Chloramphenicol Agar) dan TEA (Taoge Extract 6% Sucrose Agar) (Gandjar et

al., 2006).
Media yang selektif untuk pertumbuhan jamur, salah satunya adalah PDA

(Potato Dextrose Agar) yang memiliki pH rendah (pH 4,5 sampai 5,6) sehingga

dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang membutuhkan lingkungan yang

netral dengan pH 7,0 dan suhu optimum untuk pertumbuhan antara 25-30oC

(Jagessar et al., 2008). PDA mengandung sumber karbohidrat dalam jumlah

cukup yaitu 20% ekstrak kentang dan 2% gula sehingga baik untuk pertumbuhan

kapang dan khamir, tetapi kurang baik untuk pertumbuhan bakteri (Seftian et al.,

2012).
Media PDA merupakan salah satu media kultur yang paling umum

digunakan karena formulasinya sederhana dan media terbaik karena memiliki

kemampuan dalam mendukung pertumbuhan berbagai jamur (Aini, 2015). Fungsi

bahan-bahan yang terkandung dalam media PDA adalah kentang (sebagai sumber

karbohidrat, vitamin dan energi), dextrose (sebagai sumber gula penghasil energi),

agar (sebagai bahan pemadat media PDA), aquadest (untuk melarutkan agar,

dextrose dan kentang) (Achmad and Suryana, 2015).


2.1.9 Tinjauan Antifungi
Antifungi adalah obat yang menghambat atau membunuh fungi terutama

fungi yang merugikan manusia. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, antifungi

yang bersifat menghambat pertumbuhan fungi disebut fungistatik sedangkan yang


membunuh pertumbuhan fungi disebut fungisida. Berdasarkan mekanisme

kerjanya, antifungi dikelompokkan menjadi empat yaitu sebagai berikut (Rochani,

2009).
2.1.9.1 Gangguan pada Membran Sel
Gangguan ini terjadi karena adanya ergosterol dalam sel jamur. Ergosterol

adalah komponen sterol yang sangat penting dan sangat mudah diserang oleh

antibiotik turunan polien. Kompleks polien-ergosterol yang terjadi dapat

membentuk suatu pori dan melalui pori tersebut konstituen essensial sel jamur,

seperti ion K+, fosfat anorganik, asam karboksilat, asam amino dan ester fosfat

bocor keluar hingga menyebabkan kematian sel jamur. Contohnya, nistatin,

amfoterisin B dan kandisidin (Masloman, 2016).


2.1.9.2 Penghambatan Biosintesis Ergosterol dalam Sel Jamur
Mekanisme ini disebabkan oleh senyawa turunan imidazole yang

menimbulkan ketidakteraturan membran sitoplasma jamur dengan cara mengubah

permeabilitas membran dan mengubah fungsi membran dalam proses

pengangkutan senyawa-senyawa essensial yang dapat mengakibatkan

ketidakseimbangan metabolisme sehingga menghambat biosintesis ergosterol

dalam sel jamur. Contohnya ketokonazol, klortimazol, mikonazol, bifonazol

(Ilahi, 2016).

2.1.9.3 Penghambatan Sintesis Protein Jamur


Mekanisme ini disebabkan oleh senyawa turunan pirimidin. Efek

antijamur terjadi karena senyawa turunan pirimidin mampu mengalami

metabolisme dalam sel jamur menjadi suatu metabolit (Harianto, 2017).


2.1.9.4 Penghambatan Mitosis Jamur
Efek antijamur ini terjadi karena adanya senyawa antibiotik griseofulvin

yang mampu mengikat protein mikrotubuli dalam sel dan mengganggu fungsi

mitosis gelendong sehingga mengakibatkan penghambatan pertumbuhan jamur

(Berlian et al., 2017).


2.1.10 Antifungi sebagai Kontrol Positif
Pengujian aktivitas antifungi menggunakan nistatin sebagai kontrol positif.

Adapun karakteristik nistatin di bawah ini sebagai berikut (DepKes RI, 1995).
Pemerian : Serbuk berwarna kuning sampai coklat muda, berbau biji-bijian,

higroskopik dan dapat terpengaruh bila terpapar cahaya, panas dan udara dalam

waktu lama.
Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air, sukar hingga agak sukar larut dalam

etanol, dalam metanol, dalam n-propanol, dan dalam n-butanol, tidak larut dalam

kloroform, dalam eter dan dalam benzena.


Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya.
Nistatin memiliki aktivitas dalam menghambat pertumbuhan berbagai

jamur dan ragi, tetapi tidak aktif terhadap bakteri, protozoa dan virus. Aktivitas

antijamur tergantung pada adanya ikatan dengan sterol pada membran sel jamur

atau ragi. Akibat adanya ikatan antara sterol dan antibiotik ini akan terjadi

perubahan permeabilitas membran sel sehingga sel akan kehilangan berbagai

molekul kecil (Rahmawati, 2015). Nistatin terutama digunakan untuk infeksi

Candida di kulit, selaput lendir dan saluran pencernaan. Obat ini tidak efektif

untuk kandidiasis pada kuku yang mengalami hiperkreatinisasi atau berkrusta

(Rochani, 2009).

2.2 Kerangka Teori

Temulawak mengandung beberapa senyawa metabolit, seperti alkaloid,

tanin, saponin dan flavonoid (Kuntorini et al., 2008). Rimpang temulawak

mengandung senyawa aktif, seperti minyak atsiri dan flavonoid sebagai antiseptik,

antioksidan, antifungi dan membunuh bakteri gram positif dan gram negatif
(Devaraj et al., 2010). Terdapat perbedaan efektifitas ekstrak rimpang temulawak

dengan konsentrasi 60%, 70%, 80% dan 90% terhadap pertumbuhan jumlah

koloni Candida albicans. Ekstrak temulawak dengan konsentrasi 90% merupakan

konsentrasi yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan Candida

albicans hal ini dikarenakan semakin tinggi konsentrasi ekstrak, maka semakin

tinggi pula mikroorganisme yang akan mati (Nita et al., 2014).

Mengkudu mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder, seperti

alkaloid, flavonoid, dan minyak atsiri yang dapat digunakan sebagai antibakteri

dan antifungi (Sari, 2015). Konsentrasi daya hambat minimal buah mengkudu

yang dapat menghambat pertumbuhan Candida albicans adalah 12% yang

meningkat sesuai dengan peningkatan konsentrasi, sedangkan daya hambat

terbesar adalah pada konsentrasi 16% (Muhammad, 2008).

Flavonoid merupakan salah satu senyawa dari ekstrak temulawak

digunakan sebagai antivirus, antibakteri dan antifungi (Sariningsih et al., 2015).

Mekanisme kerja flavonoid yaitu dengan cara mendenaturasi protein sehingga

meningkatkan permeabilitas sel yang mengakibatkan kematian sel jamur (Nita et

al., 2014). Selain itu, flavonoid dapat menyebabkan kerusakan membran sel

sehingga terjadi kebocoran isi sel. Saponin bersifat surfaktan berbentuk polar

yang dapat memecah lapisan lemak pada membran sehingga menyebabkan

gangguan permeabilitas membran sel kuman mengakibatkan pemasukan bahan

atau zat yang diperlukan terganggu akhirnya sel membengkak dan pecah

(Muhammad, 2008).

Senyawa tanin dapat digunakan sebagai antijamur dengan cara denaturasi

protein jamur. Tanin memiliki sasaran terhadap polipeptida dinding sel yang
menyebabkan kerusakan pada dinding sel jamur. Kerusakan dan peningkatan

permeabilitas sel jamur menyebabkan pertumbuhan sel terhambat yang

mengakibatkan kematian (Rahmi et al., 2016). Alkaloid dapat digunakan sebagai

antimikroba dengan cara menghambat esterase, DNA dan RNA polimerase,

menghambat respirasi sel dan berperan dalam interkalasi DNA (Imani et al.,

2014).

2.3 Hipotesis
2.3.1 Ada pengaruh konsentrasi pada kombinasi ekstrak rimpang temulawak

(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan buah mengkudu (Morinda citrifolia

Linn.) terhadap daya hambat minimal Candida albicans.


2.3.2 Kombinasi ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan

buah mengkudu (Morinda citrifolia Linn.) memiliki konsentrasi daya hambat

minimal Candida albicans.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian yang dilakukan merupakan metode penelitian eksperimental

yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi kombinasi

ekstrak rimpang temulawak dan ekstrak buah mengkudu terhadap daya hambat

minimal pertumbuhan Candida albicans. Tahapan penelitian meliputi tiga tahap

kerja, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap akhir.


Pengumpulan data pada penelitian ini dilaksanakan melalui tiga tahap

kerja. Pertama, tahap persiapan merupakan tahapan yang meliputi penyiapan

bahan baku, determinasi tanaman, penyusunan prosedur kerja, persiapan alat dan

bahan yang akan digunakan serta sterilisasi alat yang akan digunakan untuk

pengujian. Kedua, tahap pelaksanaan yaitu tahapan yang meliputi pembuatan

simplisia rimpang temulawak dan buah mengkudu, pembuatan ekstrak, dan

pembuatan media serta pembuatan suspensi fungi. Ketiga, tahap akhir yaitu

tahapan pengujian pengaruh konsentrasi kombinasi ekstrak rimpang temulawak

dan buah mengkudu terhadap daya hambat minimal Candida albicans serta

pengamatan terhadap hasil pengujian yang telah dilakukan dan kemudian

pencatatan hasil pengamatan.

3.2 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah ekstrak rimpang temulawak dan

ekstrak buah mengkudu, sedangkan sampel yang digunakan yaitu variasi


31
perbedaan konsentrasi ekstrak rimpang temulawak 50%, 60% dan 70% sedangkan

ekstrak buah mengkudu 6%, 12% dan 18% yang dikombinasi untuk mengetahui

daya hambat minimal pertumbuhan Candida albicans.

3.3 Lokasi dan Waktu


Lokasi penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi dan

Laboratorium Mikrobiologi Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang, sedangkan

waktu dimulai dari bulan Januari sampai Juni 2017.

3.4 Definisi Operasional


Definisi operasional dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan

variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengaruh konsentrasi

kombinasi ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan buah

mengkudu (Morinda citrifolia L.), sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini

adalah daya hambat minimal Candida albicans. Berikut ini tabel definisi

operasional variabel adalah sebagai berikut.

Tabel 3.4 Definisi Operasional Variabel

Variabel Sub Definisi Alat Hasil Skala


Variabel Operasional Ukur Ukur Ukur

32
Aktivitas Difusi Untuk Jangka Terdapat Nominal
antifungi cakram menentukan sorong zona
disk diameter hambat
zona hambat pada
dari larutan daerah
uji pada bening
kertas atau
cakram jernih di
sekitar
kertas
cakram

3.5 Instrumen Penelitian


Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan

analitik, botol gelap, beaker glass, batang pengaduk, kertas saring, corong gelas,

cawan penguap, rotary evaporator, laminar air flow, tabung reaksi, kertas saring,

bunsen dan kaki tiga, korek api, cawan petri, erlenmeyer, kapas, oven, inkubator,

kertas coklat, blue tip, kawat ose.


Adapun bahan yang digunakan untuk pembuatan simplisia dan ekstraksi

adalah rimpang temulawak, buah mengkudu, dan etanol 70%, media PDA,

aquadest, ammonia 10%, kloroform, pereaksi mayer dan dragendrof, HCl 2N,

serbuk Mg, FeCl3, aquadest steril, nistatin, dan NaCl 0,9% .


3.6 Pengumpulan Data
3.6.1 Pembuatan Simplisia Rimpang Temulawak
Adapun cara pembuatan serbuk simplisia rimpang temulawak adalah

sebagai berikut (Sudrajad, 2004).


1. Dikumpulkan rimpang temulawak (Curcuma xantharrhiza Roxb.) yang

akan dijadikan simplisia.


2. Disortasi rimpang temulawak yang masih segar.
3. Dicuci rimpang temulawak yang telah disortasi, dengan cara direndam dan

dibilas dengan air mengalir hingga bersih.

33
4. Diiris rimpang temulawak setebal 6-7 mm kemudian diletakkan rimpang

temulawak di dalam oven pada suhu 50oC selama 3 hari.


5. Dilakukan sortasi kembali pada rimpang temulawak yang telah kering.

Diambil bagian yang bagus dan dibuang bagian rimpang yang rusak.
6. Simplisia kering diserbukkan dengan blender dan diayak dengan ayakan 40

mesh.
3.6.2 Pembuatan Simplisia Buah Mengkudu (Anwar and Triyasmono, 2016)
Adapun cara pembuatan serbuk simplisia buah mengkudu adalah sebagai

berikut.
1. Dikumpulkan buah mengkudu (Morinda citrifolia Linn.) yang akan

dijadikan simplisia.
2. Disortasi buah mengkudu yang masih segar.
3. Dicuci buah mengkudu yang telah disortasi, dengan cara direndam dan

dibilas dengan air mengalir hingga bersih lalu ditiriskan.


4. Diiris buah mengkudu menjadi bagian yang kecil-kecil kemudian diletakkan

buah mengkudu di dalam oven pada suhu 50oC selama 3 hari.


5. Dilakukan sortasi kembali pada buah mengkudu yang telah kering. Diambil

bagian yang baik dan dibuang bagian rimpang yang rusak.


6. Simplisia kering diserbukkan dengan blender dan diayak dengan ayakan 40

mesh.
3.6.3 Pembuatan Ekstrak Rimpang Temulawak
Pembuatan ekstrak rimpang temulawak dilakukan dengan metode maserasi

yang menggunakan pelarut etanol 70%, yaitu sebagai berikut (Untari et al., 2016).
1. Ditimbang serbuk rimpang temulawak sebanyak 500 gram.
2. Dimasukkan ke dalam botol coklat kemudian direndam dengan etanol 70%

sebanyak 1 L selama 7 hari. Selama perendaman sesekali dilakukan

pengadukan.
3. Hasil rendaman disaring dengan corong buchner untuk memisahkan residu

dan filtrat.
4. Ekstrak yang diperoleh diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator

pada suhu 40oC sampai diperoleh ekstrak cair.

34
5. Dilakukan proses remaserasi untuk mendapatkan maserat yang maksimal

jika penyaringan ekstrak sudah bening maka maserasi tersebut dihentikan.


3.6.4 Pembuatan Ekstrak Buah Mengkudu
Pembuatan ekstrak buah mengkudu dilakukan dengan metode maserasi

yang menggunakan pelarut etanol 70%, yaitu sebagai berikut.


1. Ditimbang serbuk buah mengkudu sebanyak 500 gram.
2. Dimasukkan ke dalam botol coklat kemudian direndam dengan etanol 70%

sebanyak 1 L selama 3x24 jam. Selama perendaman sesekali dilakukan

pengadukan.
3. Hasil rendaman disaring dengan corong buchner untuk memisahkan residu

dan filtrat.
4. Ekstrak yang diperoleh diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator

pada suhu 40oC sampai diperoleh ekstrak cair.


5. Dilakukan proses remaserasi untuk mendapatkan maserat yang maksimal

jika penyaringan ekstrak sudah bening maka maserasi tersebut dihentikan.


3.6.6 Pengujian Skrining Fitokimia
1. Uji Alkaloid
Uji alkaloid dilakukan dengan metode Mayer dan Dragendrof. Masing-

masing ekstrak kental temulawak dan buah mengkudu sebanyak 1 gram

diletakkan dalam tabung reaksi. Ditambahkan HCl 2N 10 mL dan dikocok

hingga homogen. Larutan tersebut dibagi menjadi 3 tabung yaitu tabung A

sebagai blanko, tabung B sampel ditambahkan pereaksi mayer menghasilkan

endapan putih, dan tabung C sampel ditambahkan pereaksi dragendrof

menghasilkan endapan jingga coklat (Najoan, 2016).


2. Uji Flavonoid
Ditimbang masing-masing ekstrak kental temulawak dan buah mengkudu

sebanyak 1 gram. Ditambahkan HCl 3 tetes dan sedikit serbuk Mg lalu

disaring. Filtrat ditambahkan amilalkohol dan dikocok menghasilkan kuning

hingga merah (Setyowati et al., 2013).

3. Uji Tanin
35
Masing-masing ekstrak kental temulawak dan buah mengkudu 1 gram.

Ditambahkan dengan 2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna

biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Andriyani et

al., 2010).
4. Uji Saponin
Ditimbang masing-masing ekstrak kental temulawak dan buah mengkudu

sebanyak 1 gram ditambahkan aquadest 10 mL. Dimasukkan ke dalam tabung

reaksi dan ditambahkan HCl 2N sebanyak 2 tetes kemudian dikocok kuat

secara vertikal selama 5 menit sehingga menghasilkan adanya busa (Hidayati

et al., 2008).
3.6.7 Pengujian Antifungi Candida albicans
A. Pembuatan Media
Adapun pembuatan media PDA untuk nutrisi jamur Candida albicans

adalah sebagai berikut (Aulifa et al., 2014).


1. Ditimbang 5,10 gram PDA dilarutkan dalam 130 mL aquades kedalam

erlenmeyer.
2. Dipanaskan dan di aduk hingga mendidih, sebelum disterilkan diambil 40

mL dimasukkan ke dalam 5 tabung reaksi untuk media miring masing-

masing 8 mL kemudian ditutup kapas dan kertas coklat kemudian tabung

reaksi tersebut diikat dan diberi label.


3. Ditutup dengan kapas dan kertas coklat, diberi label.
4. Sterilisasi bahan di autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.

B. Sterilisasi Alat dan Bahan (Abriyanto et al., 2012)


1. Sebelum proses sterilisasi disiapkan alat dan bahan yang akan di sterilisasi.
2. Disiapkan 10 cawan petri kosong dibungkus kertas coklat kemudian di

sterilisasi dalam oven dengan suhu 180C selama 1 jam.


3. Diambil media PDA yang telah di buat sebelumnya untuk proses sterilisasi

bahan dan 5 tabung reaksi yang berisi media PDA.


4. Dikalibrasi 3 tabung reaksi masing-masing 10 mL untuk perlakuan

konsentrasi kemudian di tutup kapas dan kertas coklat.

36
5. Disiapkan 50 mL aquadest dalam erlenmeyer di tutup kapas dan kertas

coklat diberi label serta blue tip sebanyak 10 biji.


6. Dilakukan proses sterilisasi untuk no 3 sampai no 5 dalam autoklaf dengan

suhu 121oC selama 15 menit.


7. Setelah semua steril, alat disimpan dalam ruang steril serta media agar PDA

dan aquades steril disimpan dalam lemari pendingin.


C. Persiapan Biakan Murni Jamur Candida albicans
Biakan murni jamur Candida albicans didapatkan dari Universitas

Brawijaya Fakultas Kedokteran. Pembuatan biakan jamur, melalui beberapa tahap

yaitu cairan media PDA steril melalui pemanasan di atas bunsen. Kemudian

diambil 5 tabung reaksi yang telah steril dibiarkan hingga padat. Selanjutnya,

inokulasi Candida albicans dari biakan murni secara aseptis ke dalam tabung

reaksi yang berisi media PDA dengan kawat ose secara sinambung dipilih karena

paling dapat mengoptimalkan luas permukaan media yang akan ditumbuhi jamur.

Setelah itu, diinkubasikan dalam inkubator pada suhu 370C selama 1 x 24 jam

(Saropah et al., 2013).


D. Pembuatan Suspensi Candida albicans (Anggraini et al., 2012).
Diambil 1 ose jamur Candida albicans dari tabung reaksi kemudian

disuspensikan ke dalam larutan NaCl 0,9%. Selanjutnya di ambil suspensi jamur

Candida albicans dan dimasukkan ke dalam kuvet. Diukur transmitan 90%

menggunakan spektrofotometer pada 530 nm. Jika belum mencapai transmitan

tersebut maka diencerkan dengan menggunakan NaCl 0,9% atau ditambahkan

kolonisasi jamur Candida albicans dengan kawat ose secara aseptis kemudian

dihomogenkan.
E. Pembuatan Kontrol Normal
Sebanyak 15 mL media PDA yang sudah disterilkan dituang ke dalam

cawan petri, dibungkus dengan kertas coklat dan diinkubasi selama 1 x 24 jam

pada suhu 370C.


37
F. Pembuatan Kontrol Negatif
Dituangkan suspensi jamur Candida albicans sebanyak 1 mL ke dalam

cawan petri menggunakan mikropipet kemudian di tuang media PDA yang sudah

disterilkan sebanyak 15 mL ke dalam cawan petri, kemudian di putar angka

delapan selanjutnya di bungkus dengan kertas coklat dan di inkubasi selama 1 x

24 jam pada suhu 370C.


G. Pembuatan Kontrol Positif
Disiapkan suspensi nistatin kemudian dimasukkan kertas cakram ke dalam

larutan tersebut ditunggu hingga 15 menit. Dituangkan suspensi jamur Candida

albicans sebanyak 1 mL ke dalam cawan petri menggunakan mikropipet

kemudian di tuang media PDA yang sudah disterilkan sebanyak 15 mL ke dalam

cawan petri, kemudian di putar angka delapan. Setelah memadat, ditambahkan

kertas cakram yang telah dicelupkan suspensi nistatin diletakkan di atas media

sebagai kontrol positif. Selanjutnya dibungkus dengan kertas coklat dan

diinkubasi selama 1 x 24 jam pada suhu 370C.


H. Pengujian Aktivitas Antifungi Kombinasi Ekstrak Temulawak dan Buah

Mengkudu terhadap Candida albicans


1. Disiapkan media agar PDA yang telah disterilisasi dan jamur Candida

albicans.
2. Disiapkan ekstrak temulawak dan ekstrak buah mengkudu dengan tiga

perlakuan yaitu sebagai berikut.


a. Perlakuan pertama, ekstrak temulawak dengan konsentrasi 50%b/v, dan

ekstrak buah mengkudu 6%b/v dikombinasi kedua ekstrak tersebut

kemudian dicelupkan kertas cakram ke dalam ekstrak tersebut.


b. Perlakuan kedua, ekstrak temulawak dengan konsentrasi 60%b/v, dan

ekstrak buah mengkudu 12%b/v dikombinasi kedua ekstrak tersebut

kemudian dicelupkan kertas cakram ke dalam ekstrak tersebut.

38
c. Perlakuan ketiga, ekstrak rimpang temulawak dengan konsentrasi

70%b/v, dan buah mengkudu 18%b/v dikombinasi kedua ekstrak tersebut

kemudian dicelupkan kertas cakram ke dalam ekstrak tersebut.


3. Dimasukkan 1 mL suspensi jamur ke dalam tiap cawan petri kemudian

dituang media PDA yang sudah disterilkan sebanyak 15 mL ke dalam cawan

petri secara aseptis kemudian di putar angka delapan.


4. Didiamkan beberapa menit hingga memadat.
5. Diambil kertas cakram dengan menggunakan pinset dan ditiriskan sebentar,

kemudian dimasukkan kertas cakram (paper disc) ke dalam cawan petri

yang berisi jamur Candida albicans.


6. Dibungkus cawan petri menggunakan kertas coklat dan di beri label

kemudian dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 37oC selama 1x24

jam.
7. Diamati zona bening di daerah sekitar kertas cakram dan diukur

menggunakan jangka sorong dan catat data yang diperoleh.


8. Dibuat ulangan perlakuan hingga 3 kali.

3.7 Analisis Data


Data hasil uji aktivitas yang menggunakan metode difusi cakram dengan

mengukur zona bening disekitar kertas cakram. Analisa data dalam penelitian ini

menggunakan tabel One Way ANOVA yang bertujuan untuk mengetahui adanya

pengaruh perbedaan konsentrasi kombinasi ekstrak rimpang temulawak dan

ekstrak buah mengkudu terhadap pertumbuhan Candida albicans.

39
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian meliputi hasil determinasi, pembuatan simplisia, ekstraksi

etanol rimpang temulawak dan buah mengkudu, uji skrining fitokimia dan uji

kombinasi ekstrak etanol rimpang temulawak dan buah mengkudu terhadap daya

hambat minimal Candida albicans.

4.1 Hasil Determinasi


Determinasi tanaman rimpang temulawak dan buah mengkudu dilakukan

di UPT Materia Medika Batu yang dicocokkan dengan buku Flora sehingga

diperoleh jenis rimpang temulawak, yakni Curcuma xanthorrhiza Roxb.

sedangkan buah mengkudu yaitu Morinda citrifolia Linn. Tujuan determinasi

tanaman ini adalah supaya tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan bahan

utama yang akan digunakan untuk uji daya hambat antifungi (Nuria et al., 2009).
Kunci determinasi rimpang temulawak adalah 1b, 2b, 3b, 4b, 6b, 7b,

9b,10b, 11b, 12b, 13b, 14a, 15a, 109a, 110b, 111b, 112a, 113b, 116a, 119b, 120b,

128b, 129a, 130b, 132a.


Kunci determinasi buah mengkudu adalah 1b, 2b, 3b, 4b, 6b, 7b, 9b, 10b,
11b, 12b, 13b, 14b, 16a, 239b, 243b, 244b, 248b, 249b, 250a, 251b, 252, 3b, 4b,
5a.

40
4.2 Hasil Pembuatan Simplisia
Simplisia rimpang temulawak dan buah mengkudu didapatkan dari UPT

Materia Medika Batu. Hasil pengamatan organoleptis kedua simplisia tersebut adalah

sebagai berikut.
Tabel 4.2.1 Pengamatan Simplisia Rimpang Temulawak

Pengamatan Rimpang Kriteria Standar Mutu


Organoleptis
Temulawak (MMI) (Meilaningrum et

al., 2016)
Bentuk Bundar atau tidak rata Bundar atau jorong
Warna Kuning jingga Kuning jingga sampai

coklat
Bau Khas rimpang temulawak Khas aromatik

Tabel 4.2.2 Pengamatan Simplisia Buah Mengkudu

Organoleptis Pengamatan Buah Kriteria Standar Mutu

Mengkudu (Aspan et al., 2010)


Bentuk Bundar atau tidak rata Bundar atau tidak rata
Warna Coklat kehitaman Coklat kehitaman
Bau Khas buah mengkudu Khas aromatik

4.3 Hasil Ekstraksi


Proses ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi yang bertujuan untuk

mencegah terjadinya kerusakan senyawa aktif yang terkandung dalam rimpang

temulawak dan buah mengkudu. Metode maserasi sangat sederhana, tetapi dapat

memisahkan senyawa kimia yang diinginkan dengan menggunakan pelarut tertentu

(Atun, 2014). Ditimbang masing-masing simplisia rimpang temulawak dan buah


mengkudu sebanyak 500 gram kemudian dimaserasi menggunakan pelarut etanol

70% selama 7 hari karena waktu maserasi 4-10 hari (Astuti, 2009).
Metode maserasi ini menggunakan pelarut etanol 70% karena sangat efektif

dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal. Selain itu, etanol 70% mudah

ditemukan dan memiliki harga yang lebih ekonomis dibandingkan etanol 90% (Azis

et al., 2014).
Tujuan dilakukan proses evaporasi pada suhu 70oC untuk menguapkan etanol

yang terdapat dalam filtrat tesebut hingga diperoleh ekstrak semi-kental. Kemudian

ekstrak tersebut diuapkan dengan waterbath untuk mengurangi kadar air yang tersisa

di dalam ekstrak sehingga diperoleh ekstrak kental (Fitri, 2016). Ekstrak kental

temulawak diperoleh sebanyak 40,1940 gram, sedangkan ekstrak kental mengkudu

sebanyak 61,6349 gram.


Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan masing-masing rendemen ekstrak

tersebut, yakni rendemen rimpang temulawak diperoleh sebanyak 8,0388% dan

rendemen buah mengkudu diperoleh sebanyak 12,3268%. Tujuan dilakukan

perhitungan rendemen dalam penelitian ini untuk mengetahui sifat kelarutan senyawa

terhadap pelarut pada suhu kamar dan pelarut pada suhu panas (70oC) (Anwar et al.,

2014). Berikut ini tabel hasil pengamatan organoleptis kedua ekstrak kental tersebut

adalah sebagai berikut.


Tabel 4.3.1 Pengamatan Ekstrak Rimpang Temulawak

Hasil Pengamatan
Karakterisasi Temulawak Persyaratan Farmakope Herbal

Indonesia (Nugraheni et al., 2015)


Bentuk Cairan kental Kental
Warna Kuning hingga Jingga Kuning jingga
Bau Khas rimpang temulawak Khas
Rendemen 8,0388% 18,0%
Tabel 4.3.2 Pengamatan Ekstrak Buah Mengkudu

Hasil Pengamatan
Karakterisasi Mengkudu Persyaratan Farmakope Herbal

Indonesia (Anwar and

Triyasmono, 2016)
Bentuk Cairan kental Kental
Warna Coklat kehitaman Coklat kehitaman
Bau Khas buah mengkudu Khas
Rendemen 12,3268% 10,9%

Berdasarkan pengamatan rendemen ekstrak rimpang temulawak tidak

memenuhi persyaratan Farmakope Herbal Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu penimbangan bahan yang berada di timbangan kasar, ukuran

sampel dan kelarutan komponen dalam sampel. Semakin halus bahan yang

digunakan, maka semakin tinggi rendemen yang dihasilkan. Perbesaran luas

permukaan bertujuan mempercepat pelarutan, mempercepat reaksi kimia dan

meningkatkan kemampuan penyerapan (Ismail et al., 2012). Selain itu, konsentrasi

etanol juga mempengaruhi rendemen yang dihasilkan. Semakin rendah konsentrasi

etanol, maka semakin rendah jumlah total rendemen yang didapatkan (Lydia et al.,

2001). Secara umum dengan meningkatkan daya ekstraksi, maka rendemen senyawa

target yang diekstrak meningkat, namun akan menurun karena mengalami degradasi

secara termal. Semakin banyak volume pelarut yang digunakan, maka semakin tinggi

rendemen ekstrak kasar yang didapatkan (Magdalena and Kusnadi, 2014).


Meningkatnya temperatur pada ekstrak, maka rendemen ekstrak yang

dihasilkan lebih besar karena kelarutan semakin meningkat dan mobilitas

(pergerakan) partikel meningkat sehingga interaksi antara pelarut dengan zat yang
akan diekstrak lebih mudah dan sering terjadi (Siahaan et al., 2014). Nilai rendemen

dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah lama ekstraksi. Waktu yang

dibutuhkan dalam ekstraksi berpengaruh terhadap ekstrak yang dihasilkan (Yulianti,

2014). Lamanya waktu ekstraksi akan mempermudah penyerapan pelarut ke dalam

simplisia (Siahaan et al., 2014). Rendemen menunjukkan efesiensi dan efektivitas

proses ekstraksi (Kusumawati et al., 2008).

4.4 Hasil Uji Skrining Fitokimia


Pengujian skrining fitokimia rimpang temulawak dan buah mengkudu

menggunakan serbuk simplisia yang didapatkan dari Materia Medika Batu. Skrining

fitokimia bertujuan untuk mengetahui metabolit sekunder yang terkandung dalam

ekstrak (Merliana, 2007). Metabolit sekunder yang ditentukan dalam penelitian ini

adalah alkaloid, flavonoid, tanin dan saponin.


Berdasarkan hasil uji skrining fitokimia ekstrak rimpang temulawak

mengandung senyawa flavonoid dan tanin, sedangkan ekstrak buah mengkudu

mengandung senyawa tanin. Berikut ini tabel hasil uji skrining fitokimia ekstrak

rimpang temulawak dan buah mengkudu adalah sebagai berikut.


Tabel 4.4.1 Pengamatan Skrining Fitokimia

Golongan Hasil Pengamatan Standard


Temulawak Mengkudu
Senyawa
Alkaloid - - Endapan putih (Mayer)
(Wijaya et al., 2014)
- - Endapan kuning hingga merah
(Dragendrof)
(Wijaya et al., 2014)
Flavonoid + - Warna merah, kuning atau jingga
(Windarini et al., 2013)
Tanin + + Hijau kehitaman atau Biru tinta
(Savitri, 2015)
Saponin - - Terbentuk busa yang stabil
(Marlinda et al., 2012)

4.2.1 Alkaloid
Ekstrak kental rimpang temulawak dan buah mengkudu tidak mengandung

alkaloid karena tidak adanya endapan putih pada mayer dan endapan kuning hingga

merah pada dragendorf. Ekstrak kental rimpang temulawak dan buah mengkudu

masing-masing ditambahkan HCl dan alkaloid bersifat polar sehingga dapat

terdistribusi secara optimal (Indria, 2009). Tujuan penambahan HCl karena alkaloid

bersifat basa sehingga biasanya diekstrak dengan pelarut yang mengandung asam

(Marliana et al., 2005).


Selanjutnya, filtrat lapisan atas dibagi menjadi 3 tabung reaksi, yaitu tabung A

sebagai blanko, tabung B sampel ditambahkan pereaksi mayer menghasilkan endapan

putih, dan tabung C sampel ditambahkan pereaksi dragendrof menghasilkan endapan

jingga coklat. Apabila mengandung alkaloid ditandai dengan penambahan pereaksi

mayer tebentuk endapan putih diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi

dengan ion K+ dari kalium tetraiodomerkurat (II) membentuk kompleks kalium-

alkaloid yang mengendap (Marliana et al., 2005). Penambahan pereaksi dragendorf

yang mengandung ion Bi3+ dan HI menunjukkan endapan kuning hingga merah bata

(Indria, 2009).
4.2.2 Flavonoid
Pengujian flavonoid pada ekstrak kental rimpang temulawak dan buah

mengkudu masing-masing menunjukkan hasil negatif karena tidak ditandai warna

kuning hingga merah. Penambahan HCl pekat berfungsi sebagai menghidrolisis

flavonoid menjadi aglikonnya. Kemudian ditambahkan serbuk magnesium sehingga

terjadi proses reduksi yang menghasilkan senyawa kompleks berupa garam flavillium
menyebabkan terbentuknya warna kuning hingga merah pada flavonoid (Latifah,

2015).
4.2.3 Tanin
Ekstrak kental rimpang temulawak dan buah mengkudu tidak mengandung

senyawa tanin karena tidak menunjukkan warna hijau kehitaman. Penambahan FeCl 3

yang berfungsi sebagai sumber atom pusat dimana tanin merupakan ligan yang

membutuhkan atom pusat untuk membentuk kompleks yang stabil, sehingga

terbentuklah kompleks atom pusat Fe3+ dengan ligan tanin dan terbentuk larutan

warna hijau kehitaman (Indria, 2009).


4.2.4 Saponin
Pada ekstrak kental rimpang temulawak dan buah mengkudu tidak

mengandung saponin yang menunjukkan adanya busa yang stabil. Saponin pada

umumnya berada dalam bentuk glikosida sehingga cenderung bersifat polar. Saponin

adalah senyawa aktif permukaan yang dapat menimbulkan busa jika dikocok dengan

air. Hal ini dikarenakan saponin memiliki gugus polar dan non-polar yang akan

membentuk misel. Pada saat misel terbentuk maka gugus polar akan menghadap ke

luar dan gugus non-polar menghadap ke dalam dan keadaan inilah yang tampak

seperti busa (Padmasari et al., 2013).

Berdasarkan hasil skrining kedua ekstrak kental, yakni rimpang temulawak

mengandung senyawa flavonoid dan tanin, sedangkan buah mengkudu mengandung

senyawa tanin. Jumlah kandungan metabolit sekunder yang sedikit dan pemberian

larutan yang berlebih dapat mempengaruhi hasil skrining kedua ekstrak tersebut.

Selain itu, faktor lingkungan memiliki pengaruh terhadap metabolit sekunder yang

terdapat pada suatu tanaman (Ikalinus et al., 2015). Salah satunya adalah jenis tanah,
suhu tempat tumbuh dan lain-lain menentukan adanya senyawa metabolit sekunder

(Ramadhan et al., 2015).


Kemampuan yang dimiliki suatu tanaman didukung dari metabolit sekunder

yang terkandung di dalamnya. Faktor iklim sangat berpengaruh pada tanaman, seperti

suhu udara, sinar matahari, kelembaban udara dan keadaan tanah. Hal ini

mempengaruhi proses pertumbuhan tanaman hingga variasi metabolit sekunder

masing-masing tanaman (Artini et al., 2013).


Simplisia rimpang temulawak dan buah mengkudu didapatkan dari Materia

Medika Batu yang tidak diketahui umur pemanenan pada kedua tanaman tersebut.

Hal ini berdampak pada kurang terbentuknya senyawa metabolit sekunder secara

sempurna sehingga hasil yang didapatkan kurang maksimal. Selain itu, kemungkinan

terjadi kerusakan senyawa metabolit karena rimpang atau buah yang terlalu masak

sehingga terjadi perubahan senyawa yang terkandung pada tanaman tersebut.

Pemilihan rimpang temulawak yang baik berdasarkan umur tanaman untuk

menghasilkan produksivitas yang tinggi adalah 10 sampai 12 bulan (Oktaviana,

2010). Selain itu, pemanenan yang baik untuk buah mengkudu adalah 4 hingga 5

bulan dengan tingkat kematangan yang sedang (Astuti, 2011).


Selain itu, suhu proses evaporasi ekstrak mempengaruhi hasil skrining

fitokimia. Hal ini dikarenakan beberapa senyawa aktif pada tanaman tidak tahan

terhadap pemanasan. Suhu evaporator yang digunakan pada penelitian ini adalah 65-

70oC, kemudian diuapkan dengan waterbath pada suhu 60-70oC. Hal ini

mengakibatkan beberapa senyawa aktif mengalami degradasi (kerusakan) yang

terkandung dalam ekstrak tersebut. Suhu rotary evaporator yang baik untuk senyawa

alkaloid dan flavonoid adalah 60oC (Kusumadewi and Anam, 2016), senyawa untuk
tanin 50-60oC (Sulastry, 2009) dan senyawa saponin pada suhu 40oC (Nisa, 2014) .

Selain itu, suhu yang digunakan untuk alat waterbath adalah 50oC untuk memperoleh

ekstrak kental (Pandey et al., 2013).


Pembuatan skrining fitokimia dilakukan replikasi dua kali untuk memastikan

adanya senyawa metabolit sekunder yang diinginkan. Hal ini dapat terjadi

kemungkinan senyawa metabolit masih tertinggal di dalam residu (ampas) rimpang

temulawak dan buah mengkudu. Pada penelitian ini dilakukan proses remaserasi

hanya dua kali dengan perlakuan yang sama, namun filtrat belum tersari secara

optimal. Proses maserasi yang optimal menunjukkan tidak terbentuk warna atau

jernih pada filtrat yang dihasilkan saat penyarian sehingga zat aktif yang terkandung

di dalam tanaman dapat tersari seluruhnya (Salamah and Widyasari, 2015).

4.5 Pengujian Antifungi Candida albicans


Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media PDA sebagai

pertumbuhan jamur Candida albicans. Media yang selektif untuk pertumbuhan

jamur, salah satunya adalah PDA (Potato Dextrose Agar) yang memiliki pH rendah

(pH 4,5 sampai 5,6) sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang

membutuhkan lingkungan yang netral dengan pH 7,0 dan suhu optimum untuk

pertumbuhan antara 25-30oC (Aini, 2015).


Proses sterilisasi alat dan bahan dilakukan menggunakan alat autoklaf dan

oven. Pada oven alat yang disterilisasi adalah cawan petri yang di bungkus kertas

coklat. Secara teoritis, sterilisasi melalui pemanasan dalam oven dilakukan pada

temperatur 160oC selama 2 jam atau temperatur 180oC selama 1 jam (Meliawaty,

2014). Autoklaf digunakan untuk sterilisasi media PDA, aquades, beaker glass 100

mL, tabung reaksi, blue tip. Temperatur yang dibutuhkan dalam sterilisasi autoklaf
adalah 121oC selama 15 menit (Meliawaty, 2014). Tujuan proses sterilisasi melalui

pemanasan ini adalah mendenaturasikan protein pada organisme hidup sehingga

menyebabkan kematian organisme tersebut (Cahyani, 2013).


Biakan murni jamur Candida albicans didapatkan dari Universitas Brawijaya

Fakultas Kedokteran. Pertumbuhan jamur Candida yang optimum terjadi pada pH

antara 2,5 7,5 dan temperatur berkisar 20oC 38oC. Candida merupakan jamur

yang pertumbuhannya cepat yaitu sekitar 48 72 jam. Kemampuan Candida tumbuh

pada suhu 37oC merupakan karakteristik penting untuk identifikasi (Komariah, 2012).

Namun, pada penelitian ini pengamatan dilakukan 24 jam karena telah menunjukkan

adanya zona bening disekitar cakram apabila pengamatan 48 jam, maka zona bening

tertutupi oleh pertumbuhan Candida albicans.


Suspensi Candida albicans menggunakan larutan NaCl 0,9% dan biakan

murni jamur Candida albicans kemudian dihomogenkan. Kekeruhan suspensi diukur

dengan spektrofotometri UV-Vis sehingga diperoleh suspensi dengan transmitan 90%

pada panjang gelombang 530 nm (Anggraini et al., 2012). Nilai transmitan 90%

merupakan kepadatan sel yang optimal untuk pengujian aktivitas antijamur.

Pengukuran suspensi jamur ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kepadatan sel

jamur yang berlebihan pada saat pengujian aktivitas antijamur (Wardani et al., 2011).
Kontrol normal pada pengujian ini yaitu hanyalah media PDA saja yang

dituangkan ke dalam cawan petri yang di bungkus kertas coklat dan di inkubasi pada

temperatur 37oC selama 24 jam. Tujuan dilakukan pembuatan kontrol normal adalah

untuk mengetahui pada proses perlakuan ini telah steril.


Kontrol negatif bertujuan untuk mengetahui jamur Candida albicans dapat

tumbuh dalam media PDA. Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan data bahwa
pertumbuhan jamur Candida albicans dapat tumbuh dengan baik dalam media PDA

dengan suhu 37oC selama 24 jam.


Perlakuan kontrol positif hampir sama dengan kontrol negatif hanya saja

ditambahkan dengan suspensi obat nistatin. Persiapan cakram kontrol positif dengan

suspensi nistatin dengan cara disiapkan kaca arloji yang telah aseptis diletakkan

kertas cakram di atas kaca arloji kemudian ditetesi suspensi nistatin hingga terendam

di tunggu minimal 15 menit sampai terserap merata. Pemilihan suspensi nistatin

karena memiliki aktivitas dalam menghambat pertumbuhan berbagai jamur dan ragi,

tetapi tidak aktif terhadap bakteri, protozoa dan virus (Rahmawati, 2015). Selain itu,

antibiotik yang umumnya bekerja fungistatis dengan mekanisme kerjanya melalui

pengikatan diri pada orgesterol yang mutlak diperlukan jamur untuk pembentukan

dinding selnya. Hal ini mengakibatkan kerusakan membran sel dan peningkatan

permeabilitasnya, sehingga komponen intraseluler yang penting untuk kehidupan sel

keluar dan akhirnya sel-sel jamur tersebut akan mati (Rostinawati, 2008). Pada

kontrol positif didapatkan zona bening dengan tiga kali ulangan berturut-turut yaitu

sebagai berikut.
Tabel 4.5.1 Pengamatan Zona Bening Kontrol Positif

Pengukuran Perlakuan Perlakuan Perlakuan Rata-Rata

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3


Cakram 6,63 mm 6,16 mm 5,78 mm 6,19 mm
Zona bening 13,49 mm 21,2 mm 18,48 mm 17,72 mm

Pengujian kombinasi ekstrak rimpang temulawak dan buah mengkudu

terhadap daya hambat minimal Candida albicans menggunakan tiga perlakuan

konsentrasi yang berbeda. Perlakuan pertama ekstrak temulawak sebanyak 5,0761


gram ad 10 mL aquades steril dan ekstrak buah mengkudu sebanyak 0,6041 gram ad

10 mL aquades steril dikombinasikan kedua ekstrak hingga homogen kemudian

dicelupkan kertas cakram ke dalam ekstrak tersebut. Perlakuan kedua ekstrak

temulawak sebanyak 6,0904 gram ad 10 mL aquades steril dan ekstrak buah

mengkudu sebanyak 1,2556 gram ad 10 mL aquades steril dikombinasikan kedua

ekstrak hingga homogen kemudian dicelupkan kertas cakram ke dalam ekstrak

tersebut. Perlakuan ketiga ekstrak temulawak sebanyak 7,0236 gram ad 10 mL

aquades steril dan ekstrak buah mengkudu sebanyak 1,8163 gram ad 10 mL aquades

steril dikombinasikan kedua ekstrak hingga homogen kemudian dicelupkan kertas

cakram ke dalam ekstrak tersebut.


Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh

konsentrasi kombinasi ekstrak rimpang temulawak dan buah mengkudu terhadap

Candida albicans dan mengetahui konsentrasi daya hambat minimal Candida

albicans dari kombinasi ekstrak rimpang temulawak dan buah mengkudu. Metode

yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode difusi cakram karena tidak

memerlukan peralatan khusus dalam penggunaannya, relatif murah dan mudah

dilakukan (Prayoga, 2015).


Faktor yang mempengaruhi ada atau tidaknya daya hambat kedua kombinasi

ekstrak temulawak dan mengkudu adalah jumlah kandungan zat antijamur yang

terkandung kedua ekstrak tersebut. Zat antijamur tersebut adalah alkaloid, flavonoid,

tanin dan saponin. Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah kandungan zat yang

terbentuk pada tanaman, misalnya faktor jenis tanah atau daerah yang dapat

mempengaruhi kandungan zat yang terbentuk pada tanaman (Ramadhan et al., 2015).
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa ketiga perlakuan tersebut

memiliki daya hambat minimal Candida albicans yang ditandai dengan tidak adanya

hifa Candida albicans pada media agar PDA. Namun, pada media terdapat bintik-

bintik putih kekuningan (koloni Candida albicans). Hal ini menunjukkan bahwa

senyawa metabolit flavonoid dan tanin dapat menghambat pertumbuhan Candida

albicans sesuai dengan mekanisme kerjanya. Mekanisme kerja flavonoid dan tanin

memiliki persamaan, yakni mendenaturasi protein jamur sehingga terjadi kenaikan

permeabilitas sel yang menyebabkan pertumbuhan sel terhambat (Rahmi et al., 2016).

Ketiga perlakuan kombinasi ekstrak sebagai antifungi masing-masing memberikan

hasil yang sama, yaitu hanya menghambat pertumbuhan hifa Candida albicans.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi daya hambat pada metode difusi cakram

yaitu adanya senyawa antifungi pada kedua ekstrak tersebut, suhu inkubasi, potensi

cakram antimikroba (Kurniawan and Aryana, 2015). Selain itu, konsentrasi zat

antimikroba dan waktu kontak senyawa metabolit terhadap sel jamur Candida

albicans (Berlian et al., 2017). Ukuran zona hambat tergantung pada kecepatan difusi

antimikroba, derajat sensitivitas mikroorganisme dan kecepatan pertumbuhan jamur

(Soleha, 2015).
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh

konsentrasi kombinasi ekstrak rimpang temulawak dan buah mengkudu terhadap

Candida albicans. Selain itu, kombinasi ekstrak rimpang temulawak dan buah

mengkudu tidak memiliki konsentrasi daya hambat minimal Candida albicans.

5.2 Saran
Adapun saran yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut.
5.2.1 Sebaiknya lebih memperhatikan proses ekstraksi simplisia sehingga

didapatkan hasil yang maksimal.


5.2.2 Lebih memahami pada proses rotary evaporator dan waterbath ekstrak

temulawak dan buah mengkudu agar mendapatkan hasil skrining fitokimia yang

diinginkan.
5.2.3 Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai interaksi kedua senyawa

antara rimpang temulawak dan buah mengkudu sebagai daya hambat minimal

Candida albicans.

53
DAFTAR RUJUKAN

Abriyanto, A.E., Sabikis, S., Sudarso, S., 2012. Aktivitas Antifungi Ekstrak Etanol
Daun Sembukan (Paederia foetida L) Terhadap Candida albicans. Pharmacy 9.

Achmad, Sjamsul Arifin. Euis Holisotan Hakim. Lukman Makmur. Yana Maolona
Syah. Lia Dewi Juliawaty. Didin Mujahidin. Ilmu Kimia dan Kegunaan
Tumbuh-Tumbuhan Obat Indonesia. Penerbit ITB, 2008. Bandung hal. 143

Achmad, A., Suryana, I., 2015. Pengujian Aktivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle
Linn.) Terhadap Rhizoctonia Sp. Secara In Vitro. Bul. Penelit. Tanam.
Rempah Dan Obat 20.

Adriana, M., Artha, N., 2013. Formulasi Sari Buah Mengkudu (Mormda citrrfoha)
Dengan Sari Buah Nenas {Ananas comosus) Dan Sari Asam (Tamarinda
indica).

Aini, N., 2015. Media Alternatif Untuk Pertumbuhan Jamur Menggunakan Sumber
Karbohidrat yang Berbeda (accessed 12.27.16).

Ambarwati, Sembiring, L., Azizah S, T., Wahyuono, S., 2012. Uji Aktivitas Antifungi
Isolat Actinomycetes yang Berasosiasi Dengan Rizosfer Padi.

Andrews, J.M., 2001. Determination of minimum inhibitory concentrations (accessed


1.2.17).

Andriyani, D., Utami, P.I., Dhiani, B.A., 2010. Penetapan Kadar Tanin Daun
Rambutan (Nephelium lappaceum L. ) Secara Spektrofotometri Ultraviolet
Visibel. Pharmacy 7.

Anggraini, D., Rahmides, W.S., Malik, M., 2012. Formulasi Sabun Cair dari Ekstrak
Batang Nanas (Ananas comosus L.) untuk Mengatasi Jamur Candida albicans
1 Nomor 1, 3033.

54
Anwar, K., Triyasmono, L., 2016. Kandungan Total Fenolik, Total Flavonoid dan
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L)
3 Nomor 1, 8392.

Anwar, S., Yulianti, E., Hakim, A., Fasya, G., Fauziyah, B., Mutiah, R., 2014. Uji
Toksisitas Ekstrak Akuades (Suhu Kamar) Dan Akuades Panas (70 oC) Daun
Kelor (Moringa oleifera Lamk,) Terhadap Larva Udang Artemia salina Leach
3 Nomor 1, 8492.

Artini, P.E.U.., Astuti, K.., Warditiani, N.K., 2013. Uji Fitokimia Ekstrak Etil Asetat
Rimpang Bangle (Zingiber purpureum Roxb.) 2 Nomor 4.

Aspan, R., Sherley, Dwiyatmoko, B., Sianipar, A., Mardiaty, Usia, T., 2010. Acuan
Sediaan Herbal, 1st ed.

Astuti, K.W., 2011. Kombinasi Asetosal dan Ekstraksi Buah Mengkudu (Morinda
citrifolia L.) dapat Memperpanjang Waktu Perdarahan dan Koagulasi pada
Mencit. Universitas Udayana, Denpasar.

Atmoko, A.D., Parmadi, A., 2013. Formulasi Bentuk Sediaan Krim Ekstrak Daun
Sirih (Piper Betle Linn) Hasil Isolasi Metode Maserasi Etanol 90%. IJMS -
Indones. J. Med. Sci. 1.

Atun, S., 2014. Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan
Alam 8 Nomor 2, 5361.

Aulifa, D.., Aryantha, I.N.., Sukrasno, 2014. Aktivitas Antijamur Ekstrak Metanol
Dari Tumbuhan Rempah-Rempahan. J. Ilmu Hayati Fis. 16 Nomor 1, 1015.

Azis, T., Febrizky, S., Mario, A.D., 2014. Pengaruh Jenis Pelarut Terhadap Persen
Yieldalkaloid dari Daun Salam India (Murraya koenigii). J. Tek. Kim. 20.

Azizah, N., Al-Barrii, A.N., Mulyani, S., 2012. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap
Kadar Alkohol, Ph, Dan Produksi Gas Pada Proses Fermentasi Bioetanol Dari
Whey Dengan Substitusi Kulit Nanas. J. Apl. Teknol. Pangan 1.

55
Baraja, M., 2008. Uji Toksisitas Ekstrak Daun Ficus Elastica Nois Ex Blume
Terhadap Artemia Salina Leach Dan Profil Kromatografi Lapis Tipis.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Barani, K., Manipal, S., Prabu, D., Ahmed, A., Adusumilli, P., Jeevika, C., 2014.
Anti-fungal activity of Morinda citrifolia (noni) extracts against Candida
albicans: An in vitro study. Indian J. Dent. Res. 25, 188.

Berlian, Z., Syarifah, S., Astriawati, F., 2017. Aktivitas Antifungi Ekstrak Biji Jarak
Pagar (Jatropha curcas L.) Terhadap Pertumbuhan Fungi Pyricularia Oryzae.
J. Bioilmi 2.

Bintari, G.S., Windarti, I., Fiana, D.N., 2013. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb) Sebagai Pencegah Kerusakan Mukosa Lambung. Majority 3.

Caesaria, C., Tjiptasusrasa, T., Nurulita, N.A., 2009. Isolasi Etil P-Metoksisinamat
Dari Rimpang Kencur (Kaempferia Galangal L.) Dan Identifikasinya Dengan
Kromatografi Gas Spektroskoi Massa. Pharmacy 6.

Cahyani, V.R., 2013. Pengaruh Beberapa Metode Sterilisasi Tanah terhadap Status
Hara, Populasi Mikrobiota, Potensi Infeksi Mikorisa dan Pertumbuhan
Tanaman. Sains Tanah - J. Soil Sci. Agroclimatol. 6, 4352.

Darwis, W., Hafiedzani, M., Astuti, R.R.S., 2014. Efektivitas EkstrakAkar dan Daun
Pecut Kuda Stachytarpetha jamaicensis (L) Vahl Dalam Menghambat
Pertumbuhan Jamur Candida albicans Penyebab Kandidiasis Vaginalis.
Konserv. Hayati 8, 16.

Dermawaty, D.E., 2015. Potential Extract Curcuma (Curcuma xanthorrizal, Roxb) as


Antibacterials. Majority 4.

Devaraj, S., Esfahani, A.S., Ismail, S., Ramanathan, S., Yam, M.F., 2010. Evaluation
of the Antinociceptive Activity and Acute Oral Toxicity of Standardized
Ethanolic Extract of the Rhizome of Curcuma xanthorrhiza Roxb. Molecules
15, 29252934.

56
Dewangga, P.B., Larasati, U., Salamah, S., 2014. Pemanfaatan Ekstrak Daun Mangga
(Mangifera foetida L.) sebagai Penurun Asam Urat dalam Biji Melinjo. Chem.
J. Tek. Kim. 1, 6775.

Dewi, F.K., 2010. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Buah Mengkudu (Morinda
citrifolia L.) Terhadap Bakteri Pembusuk Daging Segar. (accessed 12.28.16).
Diana, K., 2016. Uji Aktivitas Antijamur Infusa Umbi Bawang Putih (Allium
Sativum L.) Terhadap Candida Albicans Serta Profil Kromatografinya. J.
Farm. Galen. Galen. J. Pharm. 2, 4958.

Djauhariya, E., Rahardjo, M., Mamun, nFN, 2016. Karakterisasi Morfologi dan
Mutu Buah Mengkudu. Bul. Plasma Nutfah 12, 18.

Dungir, S.G., Katja, D.G., Kamu, V.S., 2012. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Fenolik
dari Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.). J. MIPA UNSRAT
ONLINE 1, 1115.

Febrina, L., Rusli, R., Muflihah, F., 2015. Optimalisasi Ekstraksi Dan Uji Metabolit
Sekunder Tumbuhan Libo (Ficus variegate Blume) 3 Nomor 2.

Fitri, M.A., 2016. Studi Eksperimental Falling Film Evaporator Pada Evaporasi Nira
Kental. J. Res. Technol. 2, 1317.

Fuadati, C., 2015. Identifikasi Senyawa Aktif Metabolit Sekunder Jamur Endofit dari
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang Berpotensi Sebagai Senyawa
Antibakteri. Malang: Universitas Islam Negeri Malang Malik Ibrahim
Malang.(accessed 12.11.16).

Gagola, C., 2014. Aktivitas Antioksidan Dari Ekstrak Fenolik Cortex Umbi Ubi Kayu
(Manihot esculenta) Daging Putih Dan Daging Kuning Yang Diambil Dari
Kota Melonguane Kabupaten Kepulauan Talaud. Pharmacon 3.

Gandjar, I., Sjamsurizal, W., Oetari, A., 2006. Mikologi Dasar dan Terapan, Pertama.
ed. Yayasan Obor Indonesia, Jl. Plaju No. 10 Jakarta 10230.

Ginting, B., 2012. Antifungal Activity Of Essential Oils Some Plants In Aceh
Province Against Candida albicans 12 Nomor 2, 1822.

57
Hamidah, T., Kumalaningsih, S., Dewi, I.A., 2013. Pembuatan Ekstrak Oleoresin
Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) Sebagai Pengawet Alami (Kajian Suhu Dan
Lama Waktu Ekstraksi).

Harianto, I.K., 2017. Uji Daya Hambat Perasan Rimpang Kunyit (Curcuma longa L.)
Terhadap Pertumbuhan Candida Albican. Pharmacon 6.
Hasanah, K.U., 2012. Uji Daya Antifungi Propolis Terhadap Candida albicans dan
Pityrosporum ovale. (accessed 12.11.16).

Helen PA, M., Gomathy K, S., S., J., AM, N., B., R., S., J., 2012. Phytochemical
Characterization And Antimicrobial Activity of Curcuma xanthorrhiza Roxb.
28 Agustus 2012.

Hidayati, N.A., Listyawati, S., Setyawan, A.D., 2008. Kandungan Kimia dan Uji
Antiinflamasi Ekstrak Etanol Lantana camara L. Pada Tikus Putih (Ratus
norvegicus L.) Jantan 5 Nomor 1, 1017.

Ikalinus, R., Widyastuti, S.K., Setiasih, N.L.E., 2015. Skrining Fitokimia Ekstrak
Etanol Kulit Batang Kelor (Moringa oleifera) 4 Nomor 1, 7179.

Ilahi, M.R., 2016. Uji Dayahambat Air Perasan Buah Lemon Cui (Citrus
microcarpabunge) Terhadap Pertumbuhan Candida albicans Yang Diisolasi
Dari Plat Gigi Tiruan Lepasan Akrilik. Pharmacon 5.

Imani, A.Z., Luliana, S., Armyanti, I., 2014. Uji Aktivitas Antijamur Ekstrak Etanol
Daun Mangga Bacang (Mangifera foetida L.) Terhadap Candida albicans
Secara In Vitro. (accessed 1.4.17).

Imawati, R., 2015. Isolasi Dan Identifikasi Bakteri Endofit Dari Rimpang Temulawak
(Curcuma xanthorhizza) Sebagai Penghasil Senyawa Antibakteri Terhadap
Bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Staphyllococcus epidermidis (accessed
12.28.16).

Indria, R., 2009. Penapisan Fitokimia.

58
Irwanta, E., Hikmat, A., Zuhud, E.A.M., 2016. Keanekaragaman Simplisia Nabati
Dan Produk Obat Tradisional Yang Diperdagangkan Di Kabupaten Pati, Jawa
Tengah. Media Konserv. 20.

Ismail, J., Runtuwene, M.R.J., Fatimah, F., 2012. Penentuan Total Fenolik Dan Uji
Aktivitas Antioksidan Pada Biji Dan Kulit Buah Pinang Yaki (Areca vestiaria
Giseke). J. Ilm. SAINS 12, 8488.

Jagessar, R.C., Mars, A., Gomes, G., 2008. Selective Antimicrobial Properties of
Phyllanthus acidus leaf extract against Candida albicans, Escherichia coli And
Staphylococcus aureus using Stokes Disc Diffusion, Well Diffusion, Streak
Plate, And A Dillution Method 6 Nomor 2.

Joshi, A.., P.M, C., B.A, J., 2012. Studies on Physico-Chemical Properties of Noni
Fruit (Morinda citrifolia) and Preparation of Noni Beverages 1 Nomor 1, 38.

Karkowska-Kuleta, J., Rapala-Kozik, M., Kozik, A., 2009. Fungi Pathogenic To


Humans Molecular Bases Of Virulence Of Candida albicans, Cryptococcus
neoformans and Aspergillus fumigatus 56 Nomor 2, 211224.

Katno, M.S., 2008. Pengelolaan Pasca Panen Tanaman Obat, Cetakan Pertama
Desember 2008. ed. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Tanaman
Obat Dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT), Tawangmangu.

Khafidhoh, Z., Dewi, S.S., Iswara, A., 2015. Efektivitas Infusa Kulit Jeruk Purut
(Citrus hystrix DC.) Terhadap Pertumbuhan Candida albicans Penyebab
Sariawan Secara in vitro.

Komariah, R.S., 2012. Kolonisasi Candida dalam Rongga Mulut 28 Nomor 1.


Kuntorini, E.M., Astuti, M.D., Milina, N., 2008. Struktur Anatomi Dan Kerapatan Sel
Sekresi Serta Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Dari Rimpang Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Asal Kecamatan Pengaron Kabupaten Banjar
Kalimantan Selatan 8 Nomor 1, 2837.

Kurniawan, A., Wahyuningsih, R., Susanto, L., 2008. Infeksi Parasit dan Jamur Pada
Pasien Terinfeksi HIV 26 Nomor 1, 3338.

59
Kurniawan, B., Aryana, W.F., 2015. Binahong (Cassia alata L) As Inhibitor Of
Eschrichia coli Growth. Majority 4.

Kusumadewi, R., Anam, K., 2016. Korelasi Aktivitas Inhibisi Xantin Oksidase
dengan Kandungan Total Alkaloid dan Total Fenol Eksudat Avicennia marina.

Kusumaningtyas, E., 2014. Mekanisme Infeksi Candida albicans Pada Permukaan


Sel.

Kusumawati, R., Tazwir, T., Wawasto, A., 2008. Pengaruh Perendaman dalam Asam
Klorida Terhadap Kualitas Gelatin Tulang Kakap Merah (Lutjanus sp.). J.
Pascapanen Dan Bioteknol. Kelaut. Dan Perikan. 3, 6368.

Lailatul, L., Kadarohman, A., Eko, R., 2010. Efektivitas Biolarvasida Ekstrak Etanol
Limbah Penyulingan Minyak Akar Wangi (Vetiveria zizanoides) Terhadap
Larva Nyamuk Aedes aegypti, Culex sp., dan Anopheles sundaicus 1 Nomor
1, 5965.

Laili, U., 2013. Pengaruh Pemberian Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb)


Dalam Bentuk Kapsul Terhadap Kadar SGPT (Serum Glutamat Piruvat
Transaminase) dan SGOT (Serum Glutamat Oksaloasetat Transaminase) Pada
Orang Sehat (other). Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Lambert, R. j. w., Pearson, J., 2000. Susceptibility testing: accurate and reproducible
minimum inhibitory concentration (MIC) and non-inhibitory concentration
(NIC) values. J. Appl. Microbiol. 88, 784790.

Latifah, 2015. Identifikasi Golongan Senyawa Flavonoid dan Uji Aktivitas


Antioksidan Pada Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) dengan
Metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) (accessed 4.15.17).

Lestari, J.H.S., 2016. Dekok Daun Kersen (Muntingia Calabura) Sebagai Cairan
Sanitasi Tangan Dan Buah Apel Manalagi (Malus sylvestris) 116.

Liu, S.C., Oguntimein, B., Hufford, C.D., Clark, A.M., 1990. 3-Methoxysampangine,
a novel antifungal copyrine alkaloid from Cleistopholis patens. Antimicrob.
Agents Chemother. 34, 529533.

60
Lydia, Simon, B., Susant, T., 2001. Ekstraksi Dan Karakterisasi Pigmen Dari Kulit
Buah Rambutan (Nepheliumla ppaceumy) Ar. Binjai. J. Teknol. Pangan Dan
Gizi 2.

Magdalena, N.V., Kusnadi, J., 2014. Antibakteri Dari Ekstrak Kasar Daun Gambir
(Uncaria Gambir Var Cubadak) Metode Microwave-Assisted Extraction
Terhadap Bakteri Patogen [In Press Januari 2015]. J. Pangan Dan Agroindustri
3, 124135.

Mann, C. m., Markham, J. l., 1998. A new method for determining the minimum
inhibitory concentration of essential oils. J. Appl. Microbiol. 84, 538544.

Marliana, S.D., Suryanti, V., Suyono, 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis
Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium edule
Jacq. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol. Biofarmasi 3 Nomor 1, 2631.

Marlinda, M., Sangi, M.S., Wuntu, A.D., 2012. Analisis Senyawa Metabolit Sekunder
dan Uji Toksisitas Ekstrak Etanol Biji Buah Alpukat (Persea americana Mill.).
J. MIPA UNSRAT ONLINE 1, 2428.

Marnoto, T., Haryono, G., Gustinah, D., Putra, F.A., 2012. Ekstraksi Tannin Sebagai
Bahan Pewarna Alami Dari Tanaman Putrimalu (Mimosa pudica)
Menggunakan Pelarut Organik. Reaktor 14, 3945.

Martinus, B.A., Verawati, V., 2016. Determination Of Total Concentration Of


Flavonoids And Antioxidants Activity From Bandotan Leaf (Ageratum
conyzoides L.) Extract. Sci. - J. Farm. Dan Kesehat. 5, 4752.

Masloman, A.P., 2016. Uji Daya Hambat Ekstrak Daun Sirsak (Annona Murcata L.)
Terhadap Pertumbuhan Jamur Candida Albicans. Pharmacon 5.

Mavor, A.L., Thewes, S., Hube, B., 2005. Systemic Fungal Infections Caused by
Candida Species: Epidemiology, Infection Process and Virulence Attributes.
Curr. Drug Targets 6, 863874.

61
Meilaningrum, D.N., Tjiptasurasa, T., Rahayu, W.S., 2016. Minyak Atsiri,
Perbandingan Kadarnya Pada Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) Yang Dikeringkan Dengan Metode Sinar Matahari Dan Oven Beserta
Profil Kromatografi Gas Spektrometri Massa (Kgsm). Pharmacy 6.

Meliawaty, F., 2014. Efisiensi Sterilisasi Alat Bedah Mulut Melalui Inovasi Oven
dengan Ozon dan Infrared. J. Kedokt. Maranatha 11.

Merliana, E., 2007. Analisis Senyawa Metabolit Sekunder Dari Batang Spatholubus
ferrugineus (Zoll & Moritzi) Benth yang Berfungsi Sebagai Antioksidan 1.

Muhammad, I., 2008. Daya Hambat Ekstrak Buah Mengkudu Terhadap Pertumbuhan
Candida albicans.
Mullik, M.L., Permana, B., 2009. Improving growth rate of Bali cattle grazing native
pasture in the wet season by supplementing high quality forages. Indones. J.
Anim. Vet. Sci. 14, 192199.

Munawaroh, S., Handayani, P.A., 2010. Ekstraksi Minyak Daun Jeruk Purut (Citrus
hystrix D.C.) Dengan Pelarut Etanol dan N-Heksana. J. Kompetensi Tek. 2.

Najoan, J.J., 2016. Uji Fitokimia Dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun
Tiga (Allophylus cobbe L.). Pharmacon 5.

Nisa, G.K., 2014. Ekstraksi Daun Sirih Merah ( Piper Crocatum ) Dengan Metode
Microwave Assisted Extraction (MAE). J. Bioproses Komod. Trop. 2, 7278.

Nita, I., Amurwaningsih, M., Darjono, U.N.A., 2015. Perbedaan Efektivitas Ekstrak
Temulawak (Curcuma xanthorrizae Roxb) Dengan Berbagai Konsentrasi
Terhadap Pertumbuhan Candida albicans Pada Plat Resin Akrilik Kuring
Panas - In Vitro. ODONTO Dent. J. 1, 2024.

Nita, I., Amurwaningsih, M., Darjono, U.N.A., 2014. Perbedaan Efektifitas Ekstrak
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Dengan Berbagai Konsentrasi
Terhadap Pertumbuhan Candida albicans Pada Plat Resin Akrilik Kuring
Panas - In Vitro (accessed 1.3.17).

62
Novianti, D., 2016. Kemampuan Antifungi Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza) Terhadap Candida albicans. J. SAINMATIKA 0.

Nugraheni, A., Yunarto, N., Sulistyaningrum, N., 2015. Optimasi Formula


Mikroenkapsulasi Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) dengan Penyalut Berbasis Air. J. Kefarmasian Indones. 5, 98105.

Nurhadi, G., 2016. Pengaruh Konsentrasi Tween 80 terhadap Stabilitas Fisik Obat
Kumur Minyak Atsiri Herba Kemangi (Ocimum americanum L.).

Nurhalimah, H., Wijayanti, N., Widyaningsih, T.D., 2014. Efek Antidiare Ekstrak
Daun Beluntas (Pluchea indica L.) Terhadap Mencit Jantan Yang Diinduksi
Bakteri Salmonella Thypimurium [IN PRESS JULI 2015]. J. Pangan Dan
Agroindustri 3.

Nuria, M.C., Faizatun, A., Sumantri, 2009. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol
Daun Jarak Pagar (Jatropa curcas L.) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus
ATCC 25923, Escherichia coli ATCC 25922 dan Salmonella typhi ATCC
1408 5 Nomor 2, 2637.

Oktaviana, P.R., 2010. Kajian Kadar Kurkuminoid, Total Fenol dan Aktivitas
Antioksidan Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Ada Berbagai
Teknik Pengeringan dan Proporsi Pelarutan (other). Fakultas Pertanian.

Padmasari, P.D., Astuti, K.W., Warditiani, N.K., 2013. Skrining Fitokimia Ekstrak
Etanol 70% Rimpang Bangle (Zingiber purpureum Roxb.) (accessed 4.15.17).

Pambayun, R., Gardjito, M., Sudarmadji, S., Kuswanto, K.R., 2007. Kandungan
Fenol Dan Sifat Antibakteri Dari Berbagai Jenis Ekstrak produk Gambir
(Uncaria gambir Roxb.) 18 Nomor 3, 141146.

Pandey, P.V., Bodhi, W., Yudistira, A., 2013. Uji Efek Analgetik Ekstrak Rumput Teki
(Cyperus rotundus L.) Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus
novergicus) 2 Nomor 2.

63
Permatasari, D., Budiarti, L.Y., Apriasari, M.L., 2016. Efektivitas Antifungi Ekstrak
Metanol Batang Pisang Mauli (Musa acuminata) Dan Chlorhexadine
gluconate 0,2% Terhadap Candida albicans 1 Nomor 1.

Pertiwi, R.D., Yari, C.E., Putra, N.F., 2017. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol
Limbah Kulit Buah Apel (Malus domestica Borkh.) Terhadap Radikal Bebas
DPPH (2,2-Diphenyl-1-Picrylhydrazil). J. Ilm. Manuntung 2, 8192.

Prayoga, E., 2015. Perbandingan Efek Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper betle L.)
Dengan Metode Difusi Disk dan Sumuran terhadap Pertumbuhan Bakteri
Staphylococcus aureus.

Puel, A., Cypowyj, S., Bustamante, J., Wright, J.F., Liu, L., Lim, H.K., Migaud, M.,
Israel, L., Chrabieh, M., Audry, M., Gumbleton, M., Toulon, A., Bodemer, C.,
El-Baghdadi, J., Whitters, M., Paradis, T., Brooks, J., Collins, M., Wolfman,
N.M., Al-Muhsen, S., Galicchio, M., Abel, L., Picard, C., Casanova, J.-L.,
2011. Chronic Mucocutaneous Candidiasis in Humans with Inborn Errors of
Interleukin-17 Immunity. Science 332, 6568.

Puspayanti, P.R., Ariani, D.R.P., M.Si, Damiati, D., M.Kes, 2015. Studi Eksperimen
Pemanfaatan Buah Mengkudu MenjadiI Dodol Beraorma Vanili dan Daun
Pandan. BOSAPARIS 3.

Putra, A.A.B., Bogoriani, N.W., Diantariani, N.P., Sumadewi, N.L.U., 2014. Ekstraksi
Zat Warna Alam Dari Bonggol Tanaman Pisang (Musa paradiasciaca L.)
Dengan Metode Maserasi, Refluks, Dan Sokletasi. J. Kim. 8.

Putri, R.O., Hastuti, S., 2013. Aktivitas Analgetika Ekstrak Etanol Daun Saga
(Adenanthera pavonina L.) Terhadap Mencit Jantan (Mus musculus) Galur
Swiss Analgesic Activity Of The Ethanolic Extract Of Sage Leaf
(Adenanthera pavonina L.) On Mice (Mus musculus) Of Swiss Strain. IJMS -
Indones. J. Med. Sci. 2.

Rahardjo, M., 2010. Penerapan SOP Budidaya Untuk Mendukung Temulawak


Sebagai Bahan Baku Obat Potensial 9 Nomor 2, 7893.

Rahayu, N., 2016. Uji Efektivitas Kering Daun Ocimum americanum L. Sebagai
Antifungi Candida albicans.

64
Rahayu, T., 2006. Potensi Antibiotik Isolat Bakteri Rizosfer Terhadap Bakteri
Escherichia coli Multiresisten. The Potency Of Isolate Antibiotic Of Rhizosfer
Bacteria Toward Escherichia coli Multiresisten Bacteria.

Rahayu, W. sri, Hartanti, D., Hidayat, N., 2009. Pengaruh Metode Pengeringan
Terhadap Kadar Antosian Pada Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa
L.). Pharmacy 6.

Rahmadani, F., 2015. Uji Aktivitas Antibakteri Dari Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang
Kayu Jawa (lannea coromandelica) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus,
Escherichia coli, helicobacter pylori, Pseudomonas aeruginosa.

Rahmawati, M., 2015. Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol dan Air Rimpang
Pacing (Costus spiralis) terhadap Bakteri Escherichia coli, Shigella
dysenteriae, Salmonella typhimurium, Bacillus subtilis, Staphylococcus
aureus serta Fungi Candida albicans.
Rahmi, A., Roebiakto, E., Lutpiatina, L., 2016. Potensi Ekstrak Rimpang Kencur
(Kaempferia galanga L.) Menghambat Pertumbuhan Candida albicans. Med.
Lab. Technol. J. 2, 7076.

Ramadhan, A.E., Phaza, H.A., 2010. Pengaruh Konsentrasi Etanol, Suhu dan Jumlah
Stage Pada Ekstraksi Oleoresin Jahe (Zingiber Officinale Rosc) Secara Batch
(other). Jurusan Teknik Kimia UNDIP.

Ramadhan, N.S., Rasyid, R., Elmatris, S., 2015. Daya Hambat Ekstrak Daun Pegagan
(Centella asiatica) yang Diambil di Batusangkar terhadap Pertumbuhan
Kuman Vibrio cholerae secara In Vitro 4 Nomor 1.

Ramdja, A.F., Aulia, R.M.A., Mulya, P., 2009. Ekstraksi Kurkumin Dari Temulawak
Dengan Menggunakan Etanol. J. Tek. Kim. 16.

Rivai, H., Febrikesari, G., Fadhilah, H., 2017. Pembuatan Dan Karakterisasi Ekstrak
Kering Herba Sambiloto (Andrographis Paniculata Nees.). J. Farm. Higea 6,
1927.

65
Rochani, N., 2009. Uji Aktivitas Antijamur Ekstrak Daun Binahong (Anredera
cordifolia (Tenore) Steen) Terhadap Candida albicans Serta Skrining
Fitokimianya (s1). Univerversitas Muhammadiyah Surakarta.

Rosdiani, N.F., 2015. Uji Efek Antihiperglikemia Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati
Mastigophora diclados Dengan Metode Induksi Aloksan.

Rostinawati, T., 2008. Skrining Dan Identifikasi Bakteri Penghasil Enzim Kitinase
Dari Air Laut Di Perairan Pantai Pondok Bali. Abstrak.

Rosyidah, K., Nurmuhaimina, S.A., Komari, N., Astuti, M.D., 2012. Aktivitas
Antibakteri Fraksi Saponin Dari Kulit Batang Tumbuhan Kasturi (Mangifera
Casturi). Alchemy J. Chem. 0.

Rukayadi, Y., Hwang, J.-K., 2013. In Vitro Activity of Xanthorrhizol Isolated from
the Rhizome of Javanese Turmeric (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Against
Candida albicans Biofilms. Phytother. Res. 27, 10611066.

Said, A., 2007. Khasiat dan Manfaat Temulawak. Ganeca Exact.

Salamah, N., Widyasari, E., 2015. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol Daun
Kelengkeng (Euphoria longan (L) Steud.) Dengan Metode Penangkapan
Radikal 2,2-Difenil-1-Pikrilhidrazil. Pharmaciana 5.

Sari, C.Y., 2015. Penggunaan Buah Mengkudu (Morindacitrifolia L.) Untuk


Menurunkan Tekanan Darah Tinggi. Majority 4.

Sariningsih, P., Rita, W.S., Puspawati, N.M., 2015. Identifikasi Dan Uji Aktivitas
Senyawa Flavonoid Dari Ekstrak Daun Trembesi (Samanea saman (Jacq.)
Merr) Sebagai Pengendali Jamur Fusarium sp. Pada Tanaman Buah Naga. J.
Kim. 9.

Saropah, D.A., Jannah, A., Maunatin, A., 2013. Kinetika Reaksi Enzimatis Ekstrak
Kasar Enzim Selulase Bakteri Selulolitik Hasil Isolasi Dari Bekatul. Alchemy
J. Chem. 0.

66
Savitri, E.S., 2015. Uji Antifungi Ramuan Tradisonal Madura Subur Kandungan 8
Nomor 1.

Seftian, D., Antonius, F., Faizal, M., 2012. Pembuatan Etanol Dari Kulit Pisang
Menggunakan Metode Hidrolisis Enzimatik Dan Fermentasi. J. Tek. Kim. 18.

Septianoor, M.H., Carabelly, A.N., Apriasari, M., 2013. Uji Efektivitas Antifungi
Ekstrak Metanol Batang Pisang Mauli (Musa sp) Terhadap Candida albicans
62 Nomor 1, 710.

Setyowati, H., Hanifah, H.Z., Nugraheni, R.P., 2013. Krim Kulit Buah Durian (Durio
Zibethinus L.) Sebagai Obat Herbal Pengobatan Infeksi Jamur Candida
albicans. Program Kreat. Mhs. - Penelit. 0.

Siahaan, L.O., Hutapea, E.R.F., Tambun, R., 2014. Ekstraksi Pigmen Antosianin dari
Kulit Rambutan (Nephlium lappaceum) dengan Pelarut Etanol 3 Nomor 3.

Simatupang, M., 2009. Candida albicans. Universitas Sumatera Utara (accessed


12.10.16).

Simatupang, O.C., Abidjulu, J., Siagian, K.V., 2017. Uji Daya Hambat Ekstrak Daun
Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Terhadap Pertumbuhan Candida albicans
Secara In Vitro. E-GIGI 5.

Sodikin, I., Triyono, J., 2013. Rancang Bangun Alat Pengering Simplisia Serta
Optimalisasi Waktu dan Temperatur Pengeringan Guna Meningkatkan
Produktivitas Industri Kecil.

Soleha, T.U., 2015. Uji Kepekaan Terhadap Antibiotik. J. Kedokt. Univ. Lampung 5,
119123.

Srinivasahan, V., Durairaj, B., 2014. Antimicrobial Activities of Hydroethanolic


Extract of Morinda citrifolia Fruit 3, 2623.

67
Sudrajad, H., 2004. Pengaruh Ketebalan Irisan Dan Lama Perebusan (Blanching)
Terhadap Gambaran Makroskopis Dan Kadar Minyak Atsiri Simplisia Dringo
(Acorus calamus L.). Media Penelit. Dan Pengemb. Kesehat. 14.

Sulastry, T., 2009. Analisis Kadar Tanin Ekstrak Air dan Ekstrak Etanol pada Biji
Pinang Sirih (Areca Catechu. L). C H E M C A 10, 5963.

Sumadi, R.S., 2011. Identifikasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi Teraktif Daun
Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) (masters). Universitas Sebelas
Maret.

Sutara, P.K., 2009. JenisTumbuhan Sebagai Pewarna Alam Pada Beberapa


Perusahaan Tenun Di Gianyar. Bumi Lestari 9, 217223.

Tanjong, A., 2012. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus
sabdariffa L) Terhadap Koloni Candida albicans yang Terdapat Pada Plat Gigi
Tiruan.

Tanjung, R., 2015. Efektivitas Kecap Kedelai Dalam Menghambat Pertumbuhan


Candida albicans. J. PLASMA 1, 7986.

Tetan-El, D., 2014. Daya Hambat dan Efektivitas Temulawak (Curcuma xanthorriza
roxb) Terhadap Jumlah Koloni Streptococcus mutans Di Dalam Mulut
(Thesis).
Tiwow, D., Bodhi, W., Kojong, N.S., 2013. Uji Efek Antelmintik Ekstrak Etanol Biji
Pinang (Areca catechu) Terhadap Cacing Ascaris lumbricoides Dan Ascaridia
galli Secara In Vitro. Pharmacon J. Ilm. Farm. 2 Nomor 02.

Tombokan, A.S., 2016. Ekstraksi, Fraksinasi Dan Uji Aktivitas Antibakteri Karang
Lunak Sarcophyton Sp. Yang Diperoleh Dari Teluk Manado. Pharmacon 5.

Untari, E., Wahdaningsih, S., Damayanti, A., 2016. Efek Fraksi n-heksana Kulit
Hylocereus polyrhizus Terhadap Aktivitas Katalase Tikus Stres Oksidatif.
Pharm. Sci. Res. PSR 1, 141153.

Usha, R., Sashidharan, S., Palaniswamy, M., 2010. Antimicrobial Activity of a Rarely
Known Species, Morinda citrifolia L. Ethnobot. Leafl. 2010.

68
Utomo, A.D., Rahayu, W.S., Dhiani, B.A., 2009. Pengaruh Beberapa Metode
Pengeringan Terhadap Kadar Flavonoid Total Herba Sambiloto
( Andrographis paniculata). PHARMACY 6.

Wahyuni, S., Nuryanti, S., Jura, M.R., 2017. Uji Daya Hambat Ekstrak Bawang
Hutan (Eleutherine palmifolia (L.) merr) dari Matantimali Terhadap
Pertumbuhan Jamur Candida albicans. J. Akad. Kim. 5, 98102.

Wardani, E., Wahyudi, P., Tantari, D., 2011. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol
70% dan n-Heksan Jamur Shitake (Lentinula edodes (Berk.) Pegler) Terhadap
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus 1 Nomor 3.

Wardhani, L.K., Sulistyani, N., 2013. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etil Asetat
Daun Binahong (Anredera scandens (L.) Moq.) Terhadap Shigella Flexneri
Beserta Profil Kromatografi Lapis Tipis. Pharmaciana 2.

Wasitaningrum, I.D.A., 2009. Uji Resistensi Bakteri Staphylococcus aureus dan


Escherichia coli dari Isolat Susu Sapi Segar Terhadap Beberapa Antibiotik.
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Whiteway, M., Bachewich, C., 2007. Morphogenesis in Candida albicans. Annu. Rev.
Microbiol. 61, 529553.

Widhyastuti, N., 2007. Produksi Kitinase Ekstraseluler Aspergillus Rugulosus 501


Secara Optimal Pada Media Cair [Optimally Production of Extracellular
Chitinase from Aspergillus rugulosus 501 in Liquid Medium]. Ber. Biol. 8.

Wijaya, D.P., Paendong, J.E., Abidjulu, J., 2014. Skrining Fitokimia dan Uji Aktivitas
Antioksidan dari Daun Nasi (Phrynium capitatum) dengan Metode DPPH
(1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) 3 Nomor 1, 1115.

Windarini, L.G.E., Astuti, K.W., Warditiani, N.K., 2013. Skrining Fitokimia Ekstrak
Metanol Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.). J. Farm. Udayana 2.

69
Wiyono, R., 2017. Studi Pembuatan Serbuk Effervescent Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb) Kajian Suhu Pengering, Konsentrasi Dekstrin,
Konsentrasi Asam Sitrat Dan Na-Bikarbonat. Teknol. Pangan 1.

Yang, J., Paulino, R., Janke-Stedronsky, S., Abawi, F., 2007. Free-radical-scavening
Activity And Total Phenols of noni (Morinda citrifolia L.) Juice And Powder
in Processing And Storage (accessed 1.2.17).

Yulianti, D., 2014. Pengaruh Lama Ekstraksi Dan Konsentrasi Pelarut Etanol
Terhadap Sifat Fisika-Kimia Ekstrak Daun Stevia (Stevia Rebaudiana Bertoni
M) Dengan Metode Microwave Assisted Extraction (Mae). J. Bioproses
Komod. Trop. 2, 3541.

Yulinah S., E., Fitriyani, N., Sigit, J.I., 2010. Efek Antiagregasi Platelet Ekstrak
Etanol Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.), Rimpang Jahe Merah
(Zingiber officinale var. Sunti Val.) dan Kombinasinya pada Mencit Jantan
Galur Swiss Webster. J. Kedokt. Maranatha 7.

LAMPIRAN

I. Surat Penelitian di Laboratorium

70
II. Perhitungan Konsentrasi

71
Ekstrak Rimpang Temulawak Ekstrak Buah Mengkudu
(Nita et al., 2015)
(Muhammad, 2008)
Konsentrasi 50%b/v Konsentrasi 6%b/v
% x V1 = % x V2 % x V1 = % x V2
100% x V1 = 50% x 10 mL 100% x V1 = 6% x 10 mL
100V1 = 500 mL 100V1 = 60 mL
V1 = 5 gram V1 = 0,6 gram
Jadi ekstrak yang diambil 5 gram ad Jadi ekstrak yang diambil 0,6 gram ad
10 mL aquadest 10 mL aquadest
Konsentrasi 60%b/v Konsentrasi 12%b/v
% x V1 = % x V2 % x V1 = % x V2
100% x V1 = 60% x 10 mL 100% x V1 = 12% x 10 mL
100V1 = 600 mL 100V1 = 120 mL
V1 = 6 gram V1 = 1,2 gram
Jadi ekstrak yang diambil 6 gram ad Jadi ekstrak yang diambil 1,2 gram ad
10 mL aquadest 10 mL aquadest
Konsentrasi 70%b/v Konsentrasi 18%b/v
% x V1 = % x V2 % x V1 = % x V2
100% x V1 = 70% x 10 mL 100% x V1 = 18% x 10 mL
100V1 = 700 mL 100V1 = 180 mL
V1 = 7 gram V1 = 1,8 gram
Jadi ekstrak yang diambil 7 gram ad Jadi ekstrak yang diambil 1,8 gram ad
10 mL aquadest 10 mL aquadest

III. Perhitungan Media PDA


Diketahui : setiap cawan petri membutuhkan 10-15 mL, dibutuhkan 6 cawan petri
setiap tabung reaksi membutuhkan 8 mL, dibutuhkan 1 tabung reaksi
media PDA dalam botol 39 g/L
Ditanya : banyaknya media PDA yang dibutuhkan ?
Jawab :
I. Cawan petri : 6 cawan x 15 mL = 90 mL
II. Tabung reaksi : 5 tabung x 8 mL = 40 mL
Total media PDA yang dibutuhkan adalah 90 mL + 40 mL = 130 mL
PDA = 130 mL dalam botol 39 g/L

dikonversikan menjadi 5,10 gram

72
Jadi media PDA yang dibutuhkan yaitu menimbang 5,10 gram dan dilarutkan
130 mL aquades.

III. Perhitungan Rendemen


A. Rimpang Temulawak
Diketahui : bobot serbuk simplisia temulawak = 500 gram
bobot ekstrak kental temulawak =
40,1940 gram
Ditanya : % rendemen temulawak?

Jawab :

= 8,0388 %
Jadi, persentase rendemen rimpang temulawak adalah 8,0388 %

B. Buah Mengkudu
Diketahui : bobot serbuk simplisia mengkudu = 500 gram
bobot ekstrak kental mengkudu =
61,6349 gram
Ditanya : % rendemen mengkudu?

Jawab :

= 12,3268%
Jadi, persentase rendemen buah mengkudu adalah 12,3268%

73
IV. Determinasi Tanaman Temulawak

74
75
V. Determinasi Tanaman Mengkudu

76
77
VI. Proses Pembuatan Ekstrak Kental
A. Ekstrak Temulawak

Simplisia Serbuk Penyaringan Maserasi Ekstrak Cair


Rimpang Temulawak

Ekstrak Kental Proses Penguapan Proses Evaporasi

B. Ekstrak Mengkudu

78
Simplisia Serbuk Buah Penyaringan Maserasi Ekstrak Cair
Mengkudu

Ekstrak Kental Proses Penguapan Proses Evaporasi

VII.Hasil Skrining Fitokimia

Ekstrak Kental Hasil Pengamatan

79
Rimpang Temulawak

Buah Mengkudu

VIII. Pengujian Antifungi Candida albicans

Perlakuan Hasil Pengamatan

80
Kontrol Normal

Kontrol Negatif

Kontrol Positif

Perlakuan 1

Perlakuan 2

81
Perlakuan 3

82

Anda mungkin juga menyukai