Anda di halaman 1dari 21

Resusitasi Jantung Paru versi baru dan Bantuan

Hidup Lanjut Dewasa


Setelah membaca artikel ini diharapkan pembaca mampu ;
1. Melakukan Penanganan shockable rhythms (VF/VT)
2. Melakukan dan mengetahui keefektifan Precordial Thump
3. Mampu melakukan penanganan PEA
4. Mampu melakukan penanganan Asisitol
5. Mampu mengenal Penyebab reversible dari cardiac arrest dan
mampu menanganinya
6. Mengetahui perangkat jalan nafas alternative dan kegunaan
masing masing.
7. Mengetahui jalur akses intra vaskular
8. Mengetahui macam-macam jenis RKP Mekanis
9. Perubahan Pedoman

Algoritma ALS

Shockable Rhythms/ Irama Yang Dapat Dikejut (VF/VT)

Pada 25% kasus serangan jantung diluar maupun didalam RS, irama pertama

yang terekam adalah VF/VT. Pada pasien serangan jantung dengan irama asistol

maupun PEA, VF/VT juga dapat terjadi pada beberapa tahap saat resusitasi.
Penanganan shockable rhythms (VF/ VT)

1. Konfirmasi serangan jantung periksa tanda kehidupan atau bila terlatih periksa

pernafasan dan denyut secara simultan.

2. Panggil tim resusitasi.

3. Lakukan kompresi dada tanpa jeda/interupsi sambil memasang pad monitor atau

defibrilasi satu dibawah klavikula kanan dan lainnya pada posisi V6 pada garis

midaksilaris.

4. Rencanakan tindakan terlebih dahulu sebelum menghentikan CPR untuk menganalisa

irama dan komunikasikan pada tim.

5. Hentikan kompresi dada; konfirmasi VF dari ECG.

6. Segera kembali melakukan kompresi dada; secara simultan, kemudian pilih energi yang

tepat pada defibrilator (150-200 J bifasik untuk kejut pertama dan 150-360 J bifasik

untuk kejut selanjutnya) lalu tekan tombol charge.

7. Saat defibrilator sedang mengisi, ingatkan semua penolong untuk berdiri menjauh, dan

melepas semua alat oksigenasi. Pastikan hanya orang yang melakukan kompresi saja

yang menyentuh pasien.

8. Saat defibrilator terisi, minta penolong yang melakukan kompresi bebas gangguan, lalu

berikan kejut.

9. Tanpa menilai irama ataupun merasakan denyut, segera lakukan kembali CPR dengan

rasio 30:2, dimulai dengan kompresi dada.

10. Lanjutkan CPR selama 2 menit; pemimpin tim menyiapkan tim untuk jeda berikutnya

pada CPR.

11. Berhenti sejenak untuk memeriksa monitor.

12. Jika VF/VT, ulangi langkah 6-11 dan lakukan kejut kedua.

13. Jika VF/VT menetap, ulangi langkah 6-8 dan lakukan dan lakukan kejut ketiga. Segera

lakukan kembali kompresi dada dan berikan adrenaline 1 mg IV dan amiodarone 300

mg IV sementara melakukan CPR lanjutan selama 2 menit.

14. Lakukan CPR 2 menit periksa irama/denyut lakukan defibrilasi bila terdapat VF/VT

yang menetap.

15. Berikan adrenaline 1 mg IV setelah kejut lanjutan (kira-kira setiap 3-5 menit).
Jika didapatkan aktivitas elektrik yang seirama dengan cardiac output selama

pemeriksaan irama, cari bukti kembalinya sirkulasi spontan (return of

spontaneous circulation/ROSC) :

Cek denyut sentral dan jejak end-tidal CO2 jika tersedia

Jika didapatkan bukti ROSC, mulai penanganan post-resusitasi

Jika tidak didapatkan tanda ROCS, lanjutkan CPR dan pindah ke algoritme non-

shockable.

Jika terlihat asistol, lanjutkan CPR dan pindah ke algoritme non-shockable.

Interval antara dihentikannya kompresi dan pemberian kejut harus diminimalisasikan

dan tidak boleh melebihi beberapa detik (idealnya kurang dari 5 detik).

Jika irama teratur terlihat selama 2 menit CPR, jangan menghentikan kompresi dada

untuk meraba denyut kecuali jika pasien menunjukkan tanda kehidupan (seperti

peningkatan end-tidal CO2 [ETCO2] jika terdapat monitor) yang mengindikasikan

adanya ROSC.

Jika ragu akan adanya denyut pada irama yang teratur, kembali lakukan CPR. Jika

pasien menunjukkan ROSC, mulai lakukan penanganan post-resusitasi.

Precordial Thump

tingkat kesuksesan yang rendah

biasanya hanya berhasil bila dilakukan dalam beberapa detik pertama onset irama

shockable

Precordial thump harus dilakukan segera setelah cardiac arrest dipastikan dan hanya

dilakukan oleh petugas kesehatan yang terlatih melakukan tekniknya.

Menggunakan tepi ulnar kepalan tangan,

berikan benturan/pukulan pada setengah sternum bagian bawah dari ketinggian kira-

kira 20 cm

tarik kembali kepalan sesegera mungkin untuk menciptakan stimulus yang menyerupai

impuls.
Non-shockable rhytms (PEA dan asistole)

Pulseless electrical activity (PEA)

Pulseless electrical activity (PEA) didefinisikan sebagai hilangnya semua denyut

yang dapat dipalpasi sementara terdapat aktivitas elektris jantung yang tampaknya

menghasilkan cardiac output. Pasien ini seringkali mempunyai kontraksi mekanis

miokardial namun terlalu lemah untuk menghasilkan denyut atau tekanan darah yang

dapat teraba kadang disebut sebagai pseudo-PEA. PEA dapat disebabkan oleh

kondisi reversible yang dapat diatasi jika diidentifikasi dan dikoreksi. Kelangsungan

hidup serangan jantung asistol atau PEA tidak memungkinkan, kecuali jika penyebab

reversible dapat ditemukan dan ditangani secara efektif.

Langkah penanganan PEA

Lakukan CPR 30 : 2

Berikan adrenalin 1 mg segera setelah didapatkan akses intravena

Lanjutkan CPR 30 : 2 sampai jalan nafas aman, lalu lanjutkan kompresi dada tanpa

berhenti selama ventilasi

Temukan kemungkinan-kemungkinan penyebab reversible PEA dan koreksi penyebab

yang teridentifikasi

Periksa kembali pasien setelah 2 menit

Jika masih belum ada denyut dan tidak ada perubahan pada ECG

Lanjutkan CPR

Periksa kembali pasien setelah 2 menit dan lanjutkan sesuai kondisi

Berikan adrenaline 1 mg setiap 3-5 menit (alternate loops)

Jika VF/VT, ganti ke algoritme shockable

Jika ada denyut, mulai penanganan post-resusitasi

Tahap penanganan asistol

Mulai CPR 30 : 2

Tanpa menghentikan CPR, periksa apakah lead terpasang dengan baik


Berikan adrenaline 1 mg segera setelah akses intravaskuler didapatkan

Lanjut CPR 30 : 2 sampai jalan nafas aman, lalu lanjutkan kompresi dada tanpa

berhenti selama ventilasi

Temukan kemungkinan-kemungkinan penyebab reversible PEA dan koreksi penyebab

yang teridentifikasi

Periksa kembali pasien setelah 2 menit

Jika VF/VT, ganti ke algoritme shockable

Berikan adrenaline 1 mg setiap 3-5 menit (alternate loops)

Kapanpun diagnosis asistol dibuat, periksa ECG untuk melihat adanya gelombang

P karena pasien dapat berespon terhadap pemacuan jantung bila ada ventricular

standstill dengan gelombang P kontinu. Upaya memacu true asistol tidak bernilai.

Atropin

Atropin merupakan antagonis dari neurotransmitter parasimpatis asetilkolin pada

reseptor muscarinik. Atropin memblok efek nervus vagus pada nodus sinoatrial (SA) dan

nodus atrioventricular (AV), meningkatkan rasio sinus dan memfasilitasi konduksi AV

node.

Pedoman 2005 merekomendasikan pemberian atropine 3 mg dosis tunggal untuk

asistol dan PEA lambat (< 60 min-1) Beberapa studi gagal menunjukkan manfaat

atropine dalam cardiac arrest, sehingga penggunaan atropine untuk asistol dan PEA

tidak lagi direkomendasikan.

Selama CPR

Selama penanganan VF/VT atau PEA/asistol yang persisten, harus ditekankan

pemberian kompresi dada yang berkualitas diantara pemberian defibrilasi, sambil

mengenali dan menangani penyebab reversible (4H dan 4T), serta sambil

mengamankan jalan nafas serta memperoleh akses intravena.

Penyebab reversible yang potensial


Penyebab potensial atau factor pencetus yang membutuhkan penanganan khusus

harus dicari selama terjadi cardiac arrest. Untuk memudahkan mengingat, maka dibagi

menjadi 4H 4T :

Hipoxia

Hipovolemi

Hiperkalemi, hipokalemi, hipokalsemia, acidemia, dan gangguan metabolik lainnya

Hipotermia

Tension pneumothorax

Tamponade

Toxic substances

Tromboembolism (pulmonary embolus/coronary thrombosis)

Penggunaan ultrasound pada ALS

Beberapa studi telah mempelajari penggunaan ultrasound selama cardiac arrest

untuk mendeteksi penyebab reversible potensial. Walaupun belum ada studi yang

menunjukkan penggunaan pencitraan ini memperbaiki hasil, tidak diragukan lagi peran

ultrasound dalam memberikan informasi yang membantu penyebab cardiac arrest yang

reversible (tamponade jantung, emboli paru, iskemi (gerak dinding regional yang

abnormal), diseksio aorta, hipovolemi, pneumotohorax). Bila ultrasound serta klinis

terlatih tersedia, maka dapat digunakan sebagai alat untuk melacak dan menangani

penyebab reversible potensial cardiac arrest. Integrasi ultrasound pada ALS

membutuhkan pelatihan lanjut untuk memastikan minimalnya interupsi pada kompresi

dada. Posisi sub-xiphoid telah direkomendasikan. Penempatan probe sesaat sebelum

jeda kompresi dada untuk menilai irama memungkinkan operator untuk mendapatkan

gambar selama 10 detik.

Cairan intravena

Hipovolemi merupakan penyebab reversibel cardiac arrest yang potensial : segera

infus cairan jika diduga hipovolemia. Pada tahap awal resusitasi tidak ada keuntungan

yang jelas untuk menggunakan koloid : gunakan 0,9% sodium klorida atau Hartmans
solution. Hindari dextrose; karena akan di redistribusi keluar dari intravascular secara

cepat dan menyebabkan hiperglikemia, yang dapat memperburuk kondisi neurologis

setelah serangan jantung. Pastikan selalu dalam kondisi normovolemia, namun bila

tidak terjadi hipovolemia, infuse cairan yang berlebih dapat membahayakan selama

CPR. Gunakan cairan intravena untuk mendorong obat yang diinjeksi di perifer menuju

ke sirkulasi sentral.

Kompresi open-chest

Kompresi open-chest diindikasikan pada pasien serangan jantung yang

disebabkan oleh trauma, pada waktu sesaat setelah operasi cardio-thoracic atau pada

saat dada atau abdomen terbuka, contoh selama operasi akibat trauma.

Tanda kehidupan

Jika tanda kehidupan (seperti usaha bernafas yang regular, batuk, gerakan yang

bertujuan, mata membuka) muncul selama CPR, atau hasil baca monitor pasien

(seperti, peningkatan tiba-tiba pada ETCO2 atau tekanan darah pada kanula arteri)

sesuai dengan ROSC, hentikan CPR dan periksa monitor secara cermat. Bedakan

dengan respirasi agonal (gasping), yang merupakan hal yang sering pada beberapa

detik setelah cardiac arrest atau selama CPR yang berkualitas. Jika muncul irama

jantung yang teratur, periksa denyut. Jika denyut dapat diraba, lanjutkan perawatan

post-resusitasi, penanganan peri-arrest aritmia atau keduanya. Jika denyut tidak teraba,

lanjutkan CPR.

Penanganan jalan nafas dan ventilasi

Manuver jalan dasar dan tambahan

Nilai jalan nafas. Gunakan head tilt dan chin lift, atau jaw thrust untuk membuka

jalan nafas. Jalan nafas tambahan yang sederhana (jalan nafas orofaringeal atau

nasofaringeal) seringkali membantu, dan kadang penting dalam menjaga jalan nafas

yang terbuka.
Ventilasi

Sediakan ventilasi buatan sesegera mungkin pada pasien yang tidak dapat atau

tidak cukup melakukan ventilasi spontan. Ventilasi udara ekspirasi (pertolongan nafas)

efektif namun konsentrasi oksigen ekspirasi seorang penolong hanya 16-17%, sehingga

mesti diganti dengan ventilasi kaya oksigen sesegera mungkin. Pocket resuscitation

mask memungkinkan ventilasi mulut-ke-masker dan memungkinkan pemberian oksigen

tambahan. Gunakan teknik dua tangan untuk meminimalkan celah pada wajah pasien.

Kantong yang self-inflating (mengembang sendiri) dapat dihubungkan dengan face

mask, tracheal tube, atau supraglottic airway device (SAD). Teknik dua orang untuk

ventilasi bag-mask lebih baik. Berikan setiap nafas selama sekitar 1 detik dan berikan

voume yang sama dengan pergerakan dada yang normal; memberikan volume yang

cukup, meminimalisasikan resiko inflasi lambung, dan menyediakan waktu yang cukup

untuk kompresi dada. Selama CPR dengan jalan nafas yang tidak terlindungi, berikan

dua ventilasi setelah setiap 30 kompresi dada. Jika tracheal tube atau SAD telah

dimasukkan, berikan ventilasi paru dengan rasio 10 nafas per menit dan lanjutkan

kompresi dada tanpa ada jeda selama ventilasi.

Perangkat jalan nafas alternatif

Tracheal tube umumnya telah dianggap sebagai metode yang optimal dalam

menangani jalan nafas pada cardiac arrest. Namun ada bukti bahwa tanpa pelatihan

dan pengalaman yang cukup, insidensi komplikasi, seperti intubasi esophageal (6-17%

pada beberapa studi yang melibatkan paramedis) meningkat. Upaya intubasi trakea

yang berkepanjangan dapat merugikan; penghentian kompresi dada selama ini akan

mengganggu perfusi koroner dan otak. Beberapa perangkat jalan nafas alternative

telah dipertimbangkan untuk penanganan jalan nafas selama CPR. ada studi yang

dipublikasikan mengenai penggunaan Combitubeselama CPR, masker jalan nafas

laryngeal classic / classic laryngeal mask airway (cLMA), laryngeal tube (LT) dan i-gel,

namun tidak satupun dari penelitian ini telah didukung secara memadai untuk

memungkinkan kelangsungan hidup untuk dipelajari sebagai primary endpoint.

Sebagian besar penelitian mempelajari tentang tingkat kesuksesan insersi dan ventilasi.
SAD lebih mudah dimasukkan dibanding tracheal tube dan tidak seperti intubasi trakea,

SAD dapat dimasukkan tanpa mengganggu kompresi dada. Tidak ada data yang

mendukung penggunaan rutin dari setiap pendekatan khusus untuk penanganan

saluran napas selama cardiac arrest. Teknik terbaik tergantung pada keadaan yang

tepat dari cardiac arrest dan kompetensi dari penolong. Combitube, jarang digunakan

dan tidak lagi dimasukkan dalam pedoman ini.

Laryngeal mask airway (LMA)

Laryngeal mask airway relatif gampang untuk dimasukkan, dan ventilasi

menggunakan LMA lebih efisien dan lebih mudah bila dibandingkan dengan bag-mask.

Jika kebocoran gas berlebih, kompresi dada harus diinterupsi untuk memungkinkan

ventilasi. Walaupun LMA tidak melindungi jalan nafas sebaik trachela tube, aspirasi

pulmonal jarang terjadi pada penggunaan LMA selama cardiac arrest.

Prosedur pemasangan LMA

Persiapan untuk insersi LMA

Langkah 1: Pilih ukuran LMA

Patokan ukuran LMA:

o Size 1: kurang dari 5 kg

o Size 1.5: 5 sampai 10 kg

o Size 2: 10 sampai 20 kg

o Size 2.5: 20 sampai 30 kg

o Size 3: 30 kg atau dewasa muda

o Size 4: Dewasa

o Size 5: Dewasa tua atau tidak cocok dengan ukuran 4


Langkah 2: Periksa LMA

o Periksa adanya kebocoran atau kelaianan lain pada LMA

o Periksa tube LMA untuk memastikan bebas dari sumbatan atau benda asing

o Kempiskan balon LMA untuk memastikan tekanan negatif dalam balon LMA.

o Kembangkan balon LMA untuk memastikan adanya kebocoran.

Langkah 3: Cek kembang kempis balon LMA

o Kembangkan sedikit balon LMA untuk memberikan bentuk pada LMA

sehingga memudahkan LMA melewati belakang lidah dan epiglottis.

o Selama inflasi maksimum jumlah udara tidak boleh melewati

Size 1: 4 ml

Size 1.5: 7 ml

Size 2: 10 ml

Size 2.5: 14 ml

Size 3: 20 ml

Size 4: 30 ml

Size 5: 40 ml

Langkah 4: Lumasi LMA

Gunakan lumbrikan water soluble untuk lubrikasi LMA

Lubrikasi LMA hanya dilakukan sebelum memasukkan LMA

Lubrikasi hanya pada bagian belakang mask LMA

Peringatan penting:

Hindari penggunaan lubrikan secara berlebihan

Pada permukaan anterior balon LMA atau


Pada cekungan mask LMA

Langkah 5: Posisikan jalan nafas

Extensikan kepala dan fleksikan leher

Hindari LMA terlipat:

Asisten menarik mandibulla ke bawah.

Visualisasi bagian belakang rongga mulut.

Pastikan LMA tidak terlipat di dalam rongga mulut saat dimasukkan.

Insersi

Langkah 1.

Pegang tube LMA seperti memegang pena sedekat mungkin dengan ujung mask LMA.

Tempatkan ujung LMA berlawanan dengan permukaan dalam gigi atas pasien.

Langkah 2

Dengan pengelihatan langsung:

Tekan ujung mask LMA keatas melawan palatum durum, agar tidak terlipat.

Gunakan jari telunjuk, untuk menekan kearah atas, sambil memasukkan mask ke dalam

faring untuk memastikan ujung LMA tidak terlipat, dan hindari lidah.
Langkah 3

Pastikan leher tetap fleksi dan kepala ektensi:

Tekan mask LMA ke dalam dinding posterior faring menggunakan jari telunjuk.

Langkah 4

Tetap tekan kebawah menggunkan jari telunjuk.

Pandu mask LMA untuk masuk kebawah sesuai posisi.


Langkah 5

Pegang tube LMA dengan tangan yang lain

Keluarkan jari telunjuk dari dalam faring

Tekan secara lembut kebawah dengan tangan yang lain untuk memastikan LMA

terpasang dengan sempurna.

Langkah 6

Kembangkan balon LMA sesuai dengan volume yang direkomendasikan.

Jangan kembangkan balon LMA secara berlebihan.

Jangan sentuh tube LMA selama masih dikembangakan, kecuali berada dalam posisi

yang tidak stabil.


Normalnya mask boleh ditarik sedikit keluar dari hipofaring selama mask LMA masih

dikembangkan untuk mencari posisi yang tepat.

Langkah 7

Hubungkan LMA dengan Bag-Valve Mask atau ventilator bertekanan rendah.

Ventilasi pasien sambil maemastikan bunyi nafas terdengar sama pada semua

lapangan paru dan tidak ada bunyi ventilasi pada epigastrium.

Insersi bite-block atau gulungan has untuk mencegah oklusi tube akibat gigitan pasien.

Sekarang LMA dapat diamankan dengan teknik yang sama digunakan untuk

mengamankan ETT.

i-gel

cuff i-gel terbuat dari gel elastomer thermoplastic dan tidak membutuhkan inflasi;

stem/batang dari i-gel menggabungkan biteblock dan tube drainase esofageal yang

kecil. Biasanya digunakan untuk menjaga jalan nafas selama anastesi. Kemudahan

insersi i-gel dan tekanan kebocoran yang rendah membuatnya secara teoritis sangat

menarik sebagai perangkat resusitasi jalan napas bagi mereka yang berpengalaman

dalam intubasi trakea. Penggunaan gel i-selama serangan jantung telah dilaporkan

namun masih perlu data yang lebih tentang penggunaannya dalam keadaan seperti ini.

Laryngeal Tube

Laryngeal tube (LT) pertama kali diperkenalkan pada tahun 2001.

Versi disposable dari laryngeal tube (LT_D) sudah tersedia dan telah digunakan selama
resusitasi pada serangan jantung yang terjadi diluar rumah sakit. LT tidak terlalu sering

digunakan di Inggris.

Intubasi Trachea

Pro dan kontra intubasi trakea telah dibahas dalam bab pra-rumah sakit. Seperti

pada intubasi trakea pra-rumah sakit, intubasi di rumah sakit harus dilakukan hanya oleh

petugas yang terlatih yang mampu melakukan prosedur dengan kemampuan yang

sangat tinggi. Upaya intubasi tidak boleh mengganggu kompresi dada lebih dari 10

detik; jika intubasi tidak tercapai, gunakan ventilasi bag-mask. Setelah intubasi,

konfirmasi posisi tube dan amankan posisi tube.

Penilaian utama meliputi pengamatan ekspansi dada bilateral, auskultasi atas

bidang paru bilateral di aksila (bunyi nafas harus sama dan didengar dengan jelas) dan

diatas epigastrium (bunyi nafas tidak boleh didengar didaerah ini). Tanda klinis dari

penempatan tabung yang benar (kondensasi tabung, pengembangan dada, suara nafas

pada auskultasi paru, dan tidak terdengarnya bunyi gas yang masuk ke perut) tidak

sepenuhnya dapat diandalkan. Konfirmasi sekunder penempatan tabung trakea melalui

ekhalasi karbon dioksida (CO2) atau perangkat deteksi esofagus dapat mengurangi

risiko intubasi esofagus yang belum diakui tetapi kinerja perangkat yang tersedia

bervariasi. Selain itu, tidak ada teknik konfirmasi sekunder yang akan membedakan

antara tabung ditempatkan dalam bronkus utama dan satu ditempatkan dengan benar

dalam trakea, sehingga berhati-hati dalam melakukan penilaian utama untuk

memastikan ekspansi yang sama dari kedua paru-paru dan suara napas yang masing-

masing sama jelas tetap penting.

Tidak ada data yang cukup untuk mengidentifikasi metode yang optimal untuk

memastikan penempatan tabung selama serangan jantung, dan semua perangkat harus

dipertimbangkan sebagai tambahan untuk teknik konfirmasi lainnya. Tidak ada data

yang mengukur kemampuan dalam mmemantau posisi tabung setelah penempatan

awal.

Perangkat detektor karbon dioksida mengukur konsentrasi ekhalasi karbon

dioksida dari paru. Bertahannya ekhalasi CO2 setelah ventilasi ke enam menunjukkan

penempatan tabung trakea dalam trakea atau bronkus utama. Selama serangan
jantung aliran darah paru mungkin sangat rendah sehingga ekhalasi CO2 tidak cukup,

sehingga Detektor CO2 tidak mengidentifikasi dengan benar penempatan tabung

trakea. Ketika ekhalasi CO2 terdeteksi selama serangan jantung dapat diandalkan

untuk menunjukkan bahwa tabung dalam trakea atau bronkus utama. Berbagai

elektronik sederhana, murah, detektor kolorimetri CO2 tersedia untuk penggunaan di

dalam dan diluar rumah sakit rumah sakit. Detektor End-tidal CO2 yang mencakup

tampilan grafik berbentuk gelombang (capnographs) adalah yang paling dapat

diandalkan untuk verifikasi posisi tabung trakea selama serangan jantung.

Berdasarkan data yang tersedia, keakuratan detektor kolormetrik CO2, perangkat

detektor oesophageal dan non-gelombang capnometers tidak melebihi akurasi

auskultasi dan inspeksi langsung untuk mengkonfirmasi posisi tabung trakea pada

pasien serangan jantung. Bentuk gelombang kapnografi adalah cara yang paling sensitif

dan spesifik untuk mengkonfirmasi dan terus memonitor posisi tabung trakea pada

pasien serangan jantung dan sebagai tambahan dalam penilaian klinis (auskultasi dan

inspeksi dari tabung trakea melewati pita suara). Bentuk gelombang kapnografi tidak

dapat membedakan antara penempatan tabung trakea dan bronkial sehingga perlu

auskultasi yang hati-hati. Monitor portabel yang ada membuat konfirmasi awal

capnographic dan pemantauan terus menerus dari posisi layak tabung trakea di hampir

semua pengaturan di mana intubasi dilakukan, termasuk diluar rumah sakit, bagian

gawat darurat, dan di lokasi rumah sakit. Dengan tidak adanya suatu gelombang

capnograph mungkin lebih baik menggunakan perangkat saluran napas supraglotik bila

ada indikasi penanganan jalan napas lebih lanjut.

Cricothyroidotomy

Jika tidak memungkinkan untuk ventilasi pada pasien apnoe dengan bag-mask,

atau untuk melewati tabung trakea atau perangkat saluran napas alternatif, pemberian

oksigen melalui kanula atau bedah krikotiroidotomi dapat menyelamatkan jiwa. Bedah

krikotiroidotomi menyediakan jalan napas definitif yang dapat digunakan untuk ventilasi

paru pasien sampai intubasi semi-elektif atau trakeostomi dilakukan. Jarum

krikotiroidotomi merupakan prosedur sementara hanya menyediakan oksigenasi jangka

pendek.
BANTUAN SIRKULASI

Akeses intravascular

Pemberian obat via vena perifer versus vena sentral

Kanulasi vena perifer lebih cepat, mudah dan aman. Setiap pemberian obat dari

vena perifer harus diikuti dengan pemberian cairan sekurangnya 20 mL. Pemasangan

akses vena sentral sebaiknya dilakukan hanya oleh orang yang sudah terlatih dan

kompeten dan proses pemasangan harus dilakukan dengan interupsi minimal pada

kompresi dada.

Jalur intraosseus

Bila akses intravena tidak didapat dalam 2 menit pertama resusitasi,

pertimbangkan untuk pemasangan akses intraosseus. Akses intraosseus biasanya

digunakan pada anak-anak karena sulitnya mendapatkan akses intravena, namun teknik

ini telah diaangap sebagai jalur yang aman dan efektif untuk pemberian obat dan cairan

bagi orang dewasa juga. Daerah yang dapat diakses diantaranya daerah tibia dan

humerus. Pemberian obat-obat resusitasi melalui jalur ini akan mencapai konsentrasi

plasma yang adekuat.

Jalur trakea

Obat-obat resusitasi juga dapat diberikan melalui pipa trakea, namun konsentrasi

plasma obat yang diberikan melalui jalur ini sangat bervariasi dan secara umum

dianggap lebih rendah daripada pemberian melalui jalur intravena dan intraosseus,

terutama adrenalin. Cairan intratrakeal dalam jumlah besar akan mengganggu

pertukaran gas. Karena akses IO yang lebih mudah dan kurang efisiennya pemberian

obat via jalur trakea, maka teknik ini tidak lagi direkomendasikan.
RKP Mekanis

RKP manual standar dapat membuat perfusi koroner dan serebral paling baik

sebesar 30%. Beberapa teknik dan peralatan RKP dapat meningkatkan hemodinamik

atau angka kelangsungan hidup jangka pendek bila digunakan oleh petugas terlatih

pada kasus-kasus tertentu. Namun, keberhasilan setiap teknik dan peralatan

bergantung pada edukasi dan pelatihan semua petugas. Meskipun kompresi dada

manual kadang dilakukan dengan buruk, namun tidak ada alat yang secara konsisten

lebih baik daripada RKP manual.

Impedance Threshold Device (ITD)

ITD adalah sebuah katup yang membatasi jumlah udara yang masuk ke paru-paru

saat dada mengembang (di antara 2 kompresi dada). Hal ini menurunkan tekanan

intratoraks dan meningkatkan aliran balik vena ke jantung. Sebuah metaanalisa terbaru

menunjukkan bahwa dengan penggunaan ITD ini kembalinya sirkulasi spontan dan

kelangsungan hidup jangka pendek meningkat tapi dalam hal kelangsungan hidup

hingga keluar rumah sakit atau keutuhan status neurologis tidak meningkat secara

signifikan bila digunakan pada kasus henti jantung di luar rumah sakit. Karena tidak ada

data yang menunjukkan bahwa ITD dapat meningkatkan kelangsungan hidup hingga

keluar rumah sakit, maka penggunaannya secara rutin dalam penanganan serangan

jantung tidak direkomendasikan.

RKP Lund University cardiac arrest system (LUCAS)

LUCAS adalah alat kompresi sternum yang digerakkan oleh gas dan dihubungkan

dengan suction cup untuk dekompresi aktif. Meskipun percobaan pada binatang

menunjukkan penggunaan RKP LUCAS dapat meningkatkan hemodinamik dan

kelangsungan hidup jangka pendek, namun belum ada penelitian pada manusia yang

membandingkan RKP LUCAS dan RKP standar.


RKP Load-distributing band (AutoPulse)

LDB adalah alat kompresi dada melingkar yang terdiri dari constricting band (yang

dijalankan secara pneumatic) danbackboard. Meskipun RKP LDB dapat meningkatkan

hemodinamik, namun hasil penelitian berlawanan.

Status terkini LUCAS dan Auto Pulse

Saat ini, sedang dilakukan 2 penelitian prospektif untuk mengevaluasi LDB

(Autopulse) dan LUCAS. Hasil penelitian ini sangat dinanti. Di rumah sakit, alat mekanis

telah digunakan secara efektif dalam membantu pasien yang menjalani Intervensi

Koroner Primer (IKP) dan CT Scan dan juga saat resusitasi yang lama (misalnya

hipotermia, keracunan, thrombolisis untuk emboli paru, transpor yang lama) dimana

kelelahan penolong dapat mengganggu efektivitas kompresi dada. Peran alat mekanis

dalam segala situasi butuh evaluasi lebih lanjut sebelum direkomendasikan

penggunaannya secara luas.

Perubahan Pedoman

Defibrilasi

Pentingnya kompresi dada dengan interupsi yang minimal selama intervensi ALS

sangat ditekankan: kompresi dada dapat berhenti sejenak hanya untuk memungkinkan

intervensi yang spesifik.

Rekomendasi waktu spesifik resusitasi jantung paru (CPR) sebelum dilakukan

defibrilasi diluar lingkup rumah sakit, akibat adanya cardiac arrest yang tidak disaksikan

oleh petugas medis kegawatdaruratan (EMS), kini telah dihapus.

Kini, kompresi dada tetap dilanjutkan selama pengisian defibrillator ini akan

meminimalisasikan waktu jeda pre-shock.

Peran precordial thump kini tidak terlalu ditekankan.

Penggunaan lebih dari tiga quick successive (stacked) shocks kini direkomendasikan

untuk ventrikel fibrilasi/pulseless ventrikel tachycardia (VF/VT) yang terjadi pada

kateterisasi jantung atau pada periode post-operative sesaat setelah operasi jantung.
Obat

Pemberian obat melalui tube tracheal kini tidak direkomendasikan lagi jika jalur intra

vena (IV) tidak didapatkan maka obat diberikan melalui jalur intraosseus (IO).

Saat menangani cardiac arrest VF/VT, pemberian adrenaline 1 mg diberikan setelah

kompresi dada telah berulang setelah third shock/kejutan ketiga, selanjutnya diberikan

tiap 3-5 menit (selama peralihan siklus CPR). Pada pedoman 2005, adrenalin diberikan

sesaat sebelum third shock/kejutan ketiga. Perubahan waktu pemberian adrenalin ini

untuk memisahkan waktu pemberian obat dari defibrilasi. Diharapkan agar hal ini

menghasilkan pemberian shock/kejut yang lebih efisien dan meminimalkan interupsi

pada kompresi dada.

Atropin tidak lagi direkomendasikan untuk pemakaian rutin pada asistol atau pulseless

electrical activity (PEA).

Airway / Jalan Nafas

Intubasi trakeal dini tidak terlalu ditekankan lagi, kecuali dilakukan oleh individu yang

sangat terampil dengan interupsi kompresi dada yang minimal.

Penggunaan capnography untuk memastikan dan memonitor secara kontinu

pemasangan tube trakeal, kualitas CPR serta pemberian indikasi awal return of

spontaneuous circulation (RSOC)/kembalinya sirkulasi spontan, kini lebih ditekankan.

Ultrasound

Mulai dipertimbangkan peran potensial ultrasound dalam ALS.

Perawatan Post-Resusitasi

Bahaya potensial yang diakibatkan oleh hiperoksemia setelah tercapai ROSC kini telah

diketahui : setelah tercapai ROSC dan saturasi oksigen darah arteri (SaO2) dapat

dimonitor dengan baik (melalui pulse oximetry dan/atau analisa gas darah), oksigen

inspirasi dititrasi untuk mencapai kadar SaO2 94-98% .


Penanganan post-cardiac arrest syndrome kini lebih detail dan lebih ditekankan.

Implementasi protokol penanganan post resusitasi yang terstruktur dan komprehensif

dapat meningkatkan keselamatan pasien serangan jantung setelah ROSC.

Penggunaan intervensi koroner perkutanues primer pada pasien yang sesuai, namun

dalam keadaan koma, pasien dengan ROSC yang terjaga setelah serangan jantung,

kini lebih ditekankan.

Revisi dalam rekomendasi kontrol glukosa : pada orang dewasa dengan ROSC yang

terjaga setelah serangan jantung, kadar glukosa darah >10 mmol l-1 harus diatasi

namun keadaan hipoglikemi harus dihindari.

Hipotermia terapeutik kini digunakan untuk pasien komatosa setelah serangan jantung

dengan ritme non-shockable maupun ritme shockable. Tingkat evidensi lebih rendah

untuk penggunaan pada serangan jantung dengan ritme non-shockable.

Diketahui bahwa banyak prediktor hasil yang jelek pada penderita koma cardiac

arrest/serangan jantung tidak dapat dipercaya, utamanya jika pasien telah ditangani

dengan hipotermia terapeutik.

Anda mungkin juga menyukai