TENTANG
I. UMUM
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara antara lain sebagai berikut :
1. syarat untuk menjadi hakim dalam pengadilan di lingkungan peradilan Tata Usaha
Negara;
Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara pada dasarnya untuk menyesuaikan terhadap
TENTANG
I. UMUM
Perubahan kedua yag dilakukan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai
Peradilan Tata Usaha Negara, baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu
urusan organisasi, administrasi, dan finansial di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
5. kesejahteraan hakim;
9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim.
Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang
merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem
peradilan yang terpadu (integrated justice system), terlebih pengadilan tata usaha negara
secara konstitusional merupakan salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah Agung
yang mempunyai kewenangan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tata usaha
negara.
Tabel
(1) Salinan putusan Pengadilan (1)Salinan putusan Pengadilan (1) Salinan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan yang telah memperoleh kekuatan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, dikirimkan kepada hukum tetap, dikirimkan kepada hukum tetap, dikirimkan kepada
para pihak dengan surat tercatat para pihak dengan surat oleh para pihak dengan surat oleh
oleh Panitera Pengadilan panitera pengadilan setempat atas panitera pengadilan setempat atas
setempat atas perintah Ketua perintah Ketua Pengadilan yang perintah Ketua Pengadilan yang
Pengadilan yang mengadilinya mengadilinya dalam tingkat mengadilinya dalam tingkat
dalam tingkat pertama selambat- pertama selambat-lambatnya dalam pertama selambat-lambatnya dalam
lambatnya dalam waktuempat waktu 14 (empat belas) hari; waktu 14 (empat belas) hari
belas hari; kerja;
(2) Dalam hal 4 (empat)
(2) Dalam hal empat bulan setelah Putusan Pengadilan (2) Apabila setelah 60 (enam
bulan setelah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan puluh ) hari kerjaputusan yang
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana telah memperoleh kekuatan hokum
hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat tetap sebagaimana dimaksud pada
dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan,tergugat tidak ayat (1) diterima tergugat tidak
(1) dikirimkantergugat tidak melaksanakan kewajibannya melaksanakan kewajibannya
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal sebagaimana dimaksud pada ayat
sebagaimana dimaksud dalam 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata dalam pasal 97 ayat (9) huruf a
Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Usaha Negara yang disengketakan keputusan tata usaha Negara yang
Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak mempunyai kekuatan disengketakan itu tidak mempunyai
yang bersangkutan itu tidak hukum lagi; kekuatan hukum lagi.
mempunyai kekuatan hukum
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan (3) Dalam hal tergugat
lagi.
harus melaksanakan kewajiban ditetapkan harus melaksanakan
(3) Dalam hal tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal kewajiban sebagaimana dimaksud
ditetapkan harus melaksanakan 97 ayat (9) ayat (9) huruf b dan c, dalam Pasal 97 ayat (9) ayat (9)
kewajibannya sebagaimana dan kemudian setelah 3 (tiga) huruf b dan c, dan kemudian
dimaksud dalam Pasal 97 ayat bulan ternyata kewajiban tersebut setelah 90 (sembilan puluh) hari
(9) huruf b dan c, dan kemudian tidak dilaksanakannya, penggugat kerjaternyata kewajiban tersebut
setelah tiga bulan ternyata mengajukan permohonan kepada tidak dilaksanakan, maka
kewajibannya tersebut tidak Ketua Pengadilan sebagaimana penggugat mengajukan
dilaksanakannya, maka dimaksud pada ayat (1) Pengadilan permohonan kepada Ketua
penggugat mengajukan memerintahkan tergugat Pengadilan sebagaimana dimaksud
permohonan kepada Ketua melaksanakan putusan pengadilan pada ayat (1) agar Pengadilan
Pengadilan sebagaimana tersebut; memerintahkan tergugat
dimaksud dalam ayat (1), agar melaksanakan putusan pengadilan
(4) Dalam hal tergugat tidak
Pengadilan memerintahkan tersebut;
bersedia melaksanakan putusan
tergugat melaksanakan putusan
Pengadilan yang telah (4) Dalam hal tergugat tidak
tersebut;
memperoleh kekuatan hukum bersedia melaksanakan putusan
(4) Jika tergugat masih tidak tetap, terhadap pejabat Pengadilan yang telah
mau melaksanakannya, ketua bersangkutan dikenakan upaya memperoleh kekuatan hukum
Pengadilan mengajukan hal ini paksa berupa pembayaran tetap, terhadap pejabat
kepada instansi atasannya sejumlah uang paksa dan atau bersangkutan dikenakan upaya
menurut jenjang jabatan; sanksi adminsitratif; paksa berupa pembayaran
sejumlah uang paksa dan atau
Kondisi hukum di Indonesia yang seringkali tidak mematuhi putusan pengadilan Tata
Usaha Negara berbeda dengan kondisi negara lain yang cenderung sudah mapan dalam
praktek negara hukumnya. Dalam studi perbandingan antara pengadilan administrasi di
Prancis, Belanda, Belgia dan Luksemburg (Conseil DEtat), Jerman
(Bundesverwaltungsgericht), Yunani (Symvoulion Epikratias), Italia (Consiglio di Stato),
Spanyol (Tribunal Supremo), Swiss (Tribunal Federal) dan Mahkamah Uni Eropa (European
Union Court of Justice), Frank Esparraga mendapatkan salah satu kesimpulan bahwa
pelaksanaan putusan pengadilan administrasi di negara-negara tersebut tidak mengalami
kendala yang berarti, disebabkan pada umumnya otoritas publik melaksanakan putusan
pengadilan however, it can be said that in the countries examined, public authorities
generally apply the decisions of the courts. Kendati ketaatan pejabat publik terhadap putusan
pengadilan terbilang tinggi, jarang putusan pengadilan tidak dipatuhi, namun jika otoritas
yang terkait masih enggan melaksanakan putusan pengadilan, kerangka penyelesaian
sengketa administrasi disana menawarkan beberapa prosedur agar putusan ditindaklanjuti
oleh pihak yang terkait seperti pengenaan denda atau dimungkinkannya gugatan ganti rugi ke
peradilan umum seperti di Prancis dan Belgia.
b. Analisis UU PTUN
Analisis :
Bahwa pada Pasal 2 huruf (f) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 segala
Keputusan Tata Usaha Negara, terdapat klausa untuk segala tata usaha Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia tidak dapat menjadi kompetensi Peradilan TUN berubah menjadi segala
Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia tidak dapat
menjadi kompetensi Peradilan TUN pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Hal ini
disebabkan adanya perkembangan Nama dari Setelah bergulirnya reformasi 1998, maka
sesuai keputusan pimpinan ABRI yang memutuskan mulai 1 April 1999 adanya pemisahan
POLRI dari ABRI dan ABRI menjadi TNI.
Sedangkan pada Pasal 2 huruf (g) bahwa PTUN tidak memiliki kompetensi terhadap
segala keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil
pemilihan umum. Panitia Pemilihan Umum ini berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1985 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15
TAHUN 1969 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA-ANGGOTA BADAN
PERMUSYAWAARATAN/PERWAKILAN RAKYAT SEBAGAIMANA TELAH
DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1975 DAN UNDANG-
UNDANGNOMOR 2 TAHUN 1980 menyebutkan bahwa, Panitia Pengawas Pelaksanaan
Pemflihan Umum Pusat, Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat I,
Panitia Peng-awas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat II, dan Panitia Pengawas
Pelaksanaan Pemilihan Umum Kecamatan masing-masing berturut-turut sesuai dengan
tingkatannya terdiri dari seorang Ketua merangkap Anggota yang dijabat oleh pejabat
Panitia Pemilu yang sekarang dikenal sebagai Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang
ada sekarang merupakan KPU ketiga yang dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak
reformasi 1998. KPU pertama (1999-2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999
yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan
dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10
Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan
dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001.
Dalam praktek dan dalam pandangan beberapa pakar ahli bahwa Keputusan Komisi
Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum memang
tidak menjadi wewenang dari PTUN karena untuk segala perselisihan hasil pemilu menjadi
wewenang dari Mahkamah Konstitusi berdasarkan pada Perubahan UUD 1945 yang juga
melahirkan sebuah lembaga negara baru di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah
Konstitusi dengan wewenang sebagai berikut: menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar; memutus pembubaran partai politik; memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Bahwa pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak ada perbedaan mencolok
dan hanya menganti kotamadya yang sekarang berubah namanya menjadi kota yang mulai
diperkenalkan pada Undang-undang Otonomi Daerah. Namun secara konsep bahwa PTUN
berada pada setiap kotamadya dan kabupaten maka diperlukan biaya yang sangay besar atas
pengadaan fasilitas PTUN pada setiap kabupaten dan kotamadya. Sedangkan pada
prakteknya perkara PTUN yang masuk setiap tahunnya hanya berkisar antara 3 hingga 10
kasus per tahun, da sangat berbeada dengan PN yang bisa menyelesaikan sekitar 30 hingga
200 perkara per tahun. Dalam hal ini terlihat sangat tidak efisien untuk membentuk PTUN
pada setiap kabupaten atau kota.
Bahwa pada ayat (2) pasal yang sama menyebutkan kata propinsi menjadi provinsi. Analisis
terhadap pasal ini bukanlah analsis yang menekankan hukum, karena pada ayat (2) ini
hanyalah bertujuan untuk memperbaiki undang-undag secara gramatikal mengikuti suatu
panduan gramatikal mengnai kebakuan suatu kata sebagaimana diatur dalam Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (selanjutnya disingkat PUEBI), yakni
dengan menggunakan provinsi dan bukanlah propinsi. Hal ini juga sesuai dengan propinsi
dan provinsi dalam KBBI, tetapi yang baku adalah provinsi. Alasannya, kata tersebut berasal
dari province (Inggris). Selain itu dalam KBBI kata provinsi-lah yang mendapat penjelasan
tentang makna kata.
ini : ini:
Usaha Negara.
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Jakarta, STIH IBLAM,
2004.
Muchsin, makalah dengan judul Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD 1945 yang
disampaikan sebagai bahan kuliah di Program Doktor Ilmu Hukum Untag Surabaya tahun
2009.
Anwar Kariem, Undang-Undang Dasar 1945: dari Awal Dibentuk Sampai Perubahan Era
Reformasi, Jakarta, Pustaka Bintang, 2004.
Pendapat akhir presiden yang diwakili menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta terhadap
RUU tentang Kekuasaan Kehakiman dan RUU badan peradilan (PU, PA, dan PTUN)
dihadapan sidang paripurna DPR RI tertanggal 29 September 2009.
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun
1989, Sinar Grafika, Jakarta, edisi kedua, 2007.
http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com
http://www.google.co.id/#q=analisis+perubahan+UU+no.9+tahun+2004+menjadi+UU+no.51
+tahun+2009&hl=id&prmd=imvns&psj=1&ei=H7JWT-
q6O8isrAe2tKieBw&start=10&sa=N&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.,cf.osb&fp=7c2ed7d408a
61562&biw=1366&bih=667