Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS PERBANDINGAN PERUBAHAN ANTARA

UU NO.5 TAHUN 1986, UU NO. 9 TAHUN 2004, DAN


UU NO.51 TAHUN 2009

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 9 TAHUN 2004

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG


PERADILAN TATA USAHA NEGARA

I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa


kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 tersebut telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman sehingga membawa konsekuensi perlunya pembentukan atau perubahan seluruh
perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman. Pembentukan atau perubahan
perundang-undangan tersebut dilakukan dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman yang


telah dilakukan adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Sehubungan dengan hal tersebut telah diubah pula
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dengan Undang-
Undang Nomor 5

Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara


merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung perlu pula dilakukan perubahan. Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah meletakkan dasar kebijakan
bahwa segala urusan mengenai peradilan umum, baik menyangkut teknis yudisial maupun

Hukum Acara PTUN


1
non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung. Kebijakan tersebut bersumber dari kebijakan yang ditentukan oleh
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana
dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara antara lain sebagai berikut :

1. syarat untuk menjadi hakim dalam pengadilan di lingkungan peradilan Tata Usaha
Negara;

2. batas umur pengangkatan hakim dan pemberhentian hakim;

3. pengaturan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;

4. pengaturan pengawasan terhadap hakim;

5. penghapusan ketentuan hukum acara yang mengatur masuknya pihak ketiga


dalam suatu sengketa;

6. adanya sanksi terhadap pejabat karena tidak dilaksanakannya putusan pengadilan


yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara pada dasarnya untuk menyesuaikan terhadap

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang


Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.

Hukum Acara PTUN


2
PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 51 TAHUN 2009

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986

TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa


kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut telah


membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga
membawa konsekuensi perlunya pembentukan atau perubahan seluruh perundang-undangan
di bidang kekuasaan kehakiman.

Pembentukan atau perubahan perundang-undangan tersebut dilakukan dalam usaha


memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan
lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung.

Perubahan kedua yag dilakukan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai
Peradilan Tata Usaha Negara, baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu
urusan organisasi, administrasi, dan finansial di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang


Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara antara lain sebagai berikut:

1. penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah Agung


maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi

Hukum Acara PTUN


3
Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim;

2. memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada Pengadilan Tata


Usaha Negara maupun hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara antara lain
melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara transparan, akuntabel, dan
partisipatif serta harus melalui proses atau lulus pendidikan hakim;

3. pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc.

4. pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;

5. kesejahteraan hakim;

6. transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan;

7. transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban


biaya perkara;

8. bantuan hukum; dan

9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim.

Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang
merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem
peradilan yang terpadu (integrated justice system), terlebih pengadilan tata usaha negara
secara konstitusional merupakan salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah Agung
yang mempunyai kewenangan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tata usaha
negara.

Indonesia sendiri mengaku sebagai negara hukum dan memiliki peradilan


administrasi untuk mendukung terwujudnya cita-cita rechtstaats. UU No. 5 Tahun 1986
menjadi dasar awal munculnya peradilan administrasi di Indonesia yang dikenal dengan UU
Peradilan Tata Usaha Negara. UU ini sudah disempurnakan dua kali yakni dengan UU No. 9
Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009. Terkait dengan pelaksanaan putusan peradilan
administrasi dalam UU PTUN telah diubah juga selama tiga kali. Pengaturannya sendiri
diatur dalam pasal 116. Berikut adalah perbandingan antara pasal 116 mengenai pelaksanaan
putusan pengadilan.

Hukum Acara PTUN


4
a. Perbandingan UU PTUN

Tabel

Perbandingan Tiga Undang-Undang PTUN di Indonesia.

UU No. 5 Tahun 1986 UU No.9 Tahun 2004 UU No.51 Tahun 2009

(1) Salinan putusan Pengadilan (1)Salinan putusan Pengadilan (1) Salinan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan yang telah memperoleh kekuatan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, dikirimkan kepada hukum tetap, dikirimkan kepada hukum tetap, dikirimkan kepada
para pihak dengan surat tercatat para pihak dengan surat oleh para pihak dengan surat oleh
oleh Panitera Pengadilan panitera pengadilan setempat atas panitera pengadilan setempat atas
setempat atas perintah Ketua perintah Ketua Pengadilan yang perintah Ketua Pengadilan yang
Pengadilan yang mengadilinya mengadilinya dalam tingkat mengadilinya dalam tingkat
dalam tingkat pertama selambat- pertama selambat-lambatnya dalam pertama selambat-lambatnya dalam
lambatnya dalam waktuempat waktu 14 (empat belas) hari; waktu 14 (empat belas) hari
belas hari; kerja;
(2) Dalam hal 4 (empat)
(2) Dalam hal empat bulan setelah Putusan Pengadilan (2) Apabila setelah 60 (enam
bulan setelah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan puluh ) hari kerjaputusan yang
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana telah memperoleh kekuatan hokum
hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat tetap sebagaimana dimaksud pada
dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan,tergugat tidak ayat (1) diterima tergugat tidak
(1) dikirimkantergugat tidak melaksanakan kewajibannya melaksanakan kewajibannya
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal sebagaimana dimaksud pada ayat
sebagaimana dimaksud dalam 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata dalam pasal 97 ayat (9) huruf a
Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Usaha Negara yang disengketakan keputusan tata usaha Negara yang
Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak mempunyai kekuatan disengketakan itu tidak mempunyai
yang bersangkutan itu tidak hukum lagi; kekuatan hukum lagi.
mempunyai kekuatan hukum
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan (3) Dalam hal tergugat
lagi.
harus melaksanakan kewajiban ditetapkan harus melaksanakan
(3) Dalam hal tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal kewajiban sebagaimana dimaksud
ditetapkan harus melaksanakan 97 ayat (9) ayat (9) huruf b dan c, dalam Pasal 97 ayat (9) ayat (9)
kewajibannya sebagaimana dan kemudian setelah 3 (tiga) huruf b dan c, dan kemudian
dimaksud dalam Pasal 97 ayat bulan ternyata kewajiban tersebut setelah 90 (sembilan puluh) hari
(9) huruf b dan c, dan kemudian tidak dilaksanakannya, penggugat kerjaternyata kewajiban tersebut
setelah tiga bulan ternyata mengajukan permohonan kepada tidak dilaksanakan, maka
kewajibannya tersebut tidak Ketua Pengadilan sebagaimana penggugat mengajukan
dilaksanakannya, maka dimaksud pada ayat (1) Pengadilan permohonan kepada Ketua
penggugat mengajukan memerintahkan tergugat Pengadilan sebagaimana dimaksud
permohonan kepada Ketua melaksanakan putusan pengadilan pada ayat (1) agar Pengadilan
Pengadilan sebagaimana tersebut; memerintahkan tergugat
dimaksud dalam ayat (1), agar melaksanakan putusan pengadilan
(4) Dalam hal tergugat tidak
Pengadilan memerintahkan tersebut;
bersedia melaksanakan putusan
tergugat melaksanakan putusan
Pengadilan yang telah (4) Dalam hal tergugat tidak
tersebut;
memperoleh kekuatan hukum bersedia melaksanakan putusan
(4) Jika tergugat masih tidak tetap, terhadap pejabat Pengadilan yang telah
mau melaksanakannya, ketua bersangkutan dikenakan upaya memperoleh kekuatan hukum
Pengadilan mengajukan hal ini paksa berupa pembayaran tetap, terhadap pejabat
kepada instansi atasannya sejumlah uang paksa dan atau bersangkutan dikenakan upaya
menurut jenjang jabatan; sanksi adminsitratif; paksa berupa pembayaran
sejumlah uang paksa dan atau

Hukum Acara PTUN


5
(5) Instansi atasan (5) Pejabat yang tidak sanksi adminsitratif;
sebagaimana dimaksud dalam melaksanakan putusan pengadilan
(5) Pejabat yang tidak
ayat (4), dalam waktu dua sebagaimana dimaksud pada ayat
melaksanakan putusan pengadilan
bulan setelah pemberitahuan (4) dimumkan pada media massa
sebagaimana dimaksud pada ayat
dari Ketua pengadilan harus cetak setempat oleh panitera sejak
(4) dimumkan pada media massa
sudah memerintahkan pejabat tidak terpenuhinya ketentuan
cetak setempat oleh panitera sejak
sebagaimana dimaksud dalam sebagaimana dimaksud pada ayat
tidak terpenuhinya ketentuan
ayat (3) melaksanakan putusan
sebagaimana dimaksud pada ayat
Pengadilan tersebut;
(3).
(6) Dalam hal instansi atasan (6) Disamping diumumkan pada
sebagaimana dimaksud dalam media massa cetak setempat
ayat (4), tidak mengindahkan sebagaimana dimaksud pada
ketentuan sebagaimana ayat (5), ketua pengadilan harus
dimaksud dalam ayat (5), maka mengajukan hal ini kepada
Ketua Pengadilan mengajukan Presiden sebagai pemegang
hal in kepada Presiden sebagai kekuasaan tertinggi untuk
pemegang kekuasaan memerintahkan pejabat tersebut
pemerintah tertinggi untuk melaksanakan putusan
memerintahkan pejabat pengadilan, dan kepada lembaga
tersebut melaksanakan perwakilan rakyat untuk
putusan pengadilan tersebut. menjalankan fungsi pengawasan
(7) Ketentuan mengenai besaran
uang paksa, jenis sanksi
administratif, dan tata cara
pelaksanaan pembayaran uang
paksa dan/ atau sanksi
administrative diatur dengan
peraturan perundang-undangan
Sumber : UU Peradilan Administrasi dan Perubahannya.

Penyempurnaan pengaturan dalam pasal diatas dilakukan agar pelaksanaan putusan


dapat efektif dilaksanakan oleh pemerintah (sebagai tergugat dalam Sengketa Tata Usaha
Negara). Mengingat kendala yang dialami di Indonesia bahwa putusan pengadilan seringkali
tidak dipatuhi oleh pemerintah. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa di Indonesia,
jaminan terhadap akses keadilan warga negara sebagai penggugat untuk memperoleh
keadilan terhambat (Justice Delay) karena putusan hakim yang telah (inkracht van gewijde)
tidak dilaksanakan. Disamping itu, pengaturan pelaksanaan upaya paksa tidak efektif untuk
memaksa pemerintah (tergugat dalam Kasus TUN) untuk melaksanakan putusan pengadilan.
Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakanlah mekanisme upaya paksa yang relatif
baru dalam pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha negara yang terus disempurnakan
teknis pelaksanaannya dalam ketiga pasal dalam undang-undang diatas.

Eksekusi putusan Peradilan TUN yang dilaksanakan sebelum adanya revisi UU


Nomor 5 Tahun 1986 lebih dipengaruhi oleh asas self respect/self obicence dan sistem
floating execution, yaitu kewenangan melaksanakan putusan pengadilan yang sudah
berkekuatan hukum tetap, sepenuhnya diserahkan kepada badan atau pejabat yang berwenang
tanpa adanya kewenangan bagi Peradilan TUN untuk menjatuhkan sanksi. Proses
pelaksanaan putusan Peradilan TUN, setelah UU No. 5 Tahun 1986 direvisi melalui UU No.
9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009, memperlihatkan dipergunakannya system fixed

Hukum Acara PTUN


6
execution, yaitu eksekusi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh pengadilan melalui
sarana-sarana pemaksa yang diatur didalam peraturan perundang-undangan.

Kondisi hukum di Indonesia yang seringkali tidak mematuhi putusan pengadilan Tata
Usaha Negara berbeda dengan kondisi negara lain yang cenderung sudah mapan dalam
praktek negara hukumnya. Dalam studi perbandingan antara pengadilan administrasi di
Prancis, Belanda, Belgia dan Luksemburg (Conseil DEtat), Jerman
(Bundesverwaltungsgericht), Yunani (Symvoulion Epikratias), Italia (Consiglio di Stato),
Spanyol (Tribunal Supremo), Swiss (Tribunal Federal) dan Mahkamah Uni Eropa (European
Union Court of Justice), Frank Esparraga mendapatkan salah satu kesimpulan bahwa
pelaksanaan putusan pengadilan administrasi di negara-negara tersebut tidak mengalami
kendala yang berarti, disebabkan pada umumnya otoritas publik melaksanakan putusan
pengadilan however, it can be said that in the countries examined, public authorities
generally apply the decisions of the courts. Kendati ketaatan pejabat publik terhadap putusan
pengadilan terbilang tinggi, jarang putusan pengadilan tidak dipatuhi, namun jika otoritas
yang terkait masih enggan melaksanakan putusan pengadilan, kerangka penyelesaian
sengketa administrasi disana menawarkan beberapa prosedur agar putusan ditindaklanjuti
oleh pihak yang terkait seperti pengenaan denda atau dimungkinkannya gugatan ganti rugi ke
peradilan umum seperti di Prancis dan Belgia.

b. Analisis UU PTUN

Analisis :

Bahwa pada Pasal 2 huruf (f) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 segala
Keputusan Tata Usaha Negara, terdapat klausa untuk segala tata usaha Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia tidak dapat menjadi kompetensi Peradilan TUN berubah menjadi segala
Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia tidak dapat
menjadi kompetensi Peradilan TUN pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Hal ini
disebabkan adanya perkembangan Nama dari Setelah bergulirnya reformasi 1998, maka
sesuai keputusan pimpinan ABRI yang memutuskan mulai 1 April 1999 adanya pemisahan
POLRI dari ABRI dan ABRI menjadi TNI.

Sedangkan pada Pasal 2 huruf (g) bahwa PTUN tidak memiliki kompetensi terhadap
segala keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil
pemilihan umum. Panitia Pemilihan Umum ini berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1985 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15
TAHUN 1969 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA-ANGGOTA BADAN
PERMUSYAWAARATAN/PERWAKILAN RAKYAT SEBAGAIMANA TELAH
DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1975 DAN UNDANG-
UNDANGNOMOR 2 TAHUN 1980 menyebutkan bahwa, Panitia Pengawas Pelaksanaan
Pemflihan Umum Pusat, Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat I,
Panitia Peng-awas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat II, dan Panitia Pengawas
Pelaksanaan Pemilihan Umum Kecamatan masing-masing berturut-turut sesuai dengan
tingkatannya terdiri dari seorang Ketua merangkap Anggota yang dijabat oleh pejabat

Hukum Acara PTUN


7
Pemerintah dan 5 (lima) orang Wakil Ketua merangkap anggota serta beberapa orang
Anggota yang diambilkan dari unsur Pemerintah, Golongan Karya, Partai Demokrasi
Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Maka dapat disimpulkan berdasarkan undang-undang diatas pada tahun 1995, yakni setahun
setelah UUPTUN dicatat dalam lembaran Negara yang dikenal adalah panitia-panitia
pemilihan umum.

Panitia Pemilu yang sekarang dikenal sebagai Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang
ada sekarang merupakan KPU ketiga yang dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak
reformasi 1998. KPU pertama (1999-2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999
yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan
dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10
Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan
dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001.

Dalam praktek dan dalam pandangan beberapa pakar ahli bahwa Keputusan Komisi
Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum memang
tidak menjadi wewenang dari PTUN karena untuk segala perselisihan hasil pemilu menjadi
wewenang dari Mahkamah Konstitusi berdasarkan pada Perubahan UUD 1945 yang juga
melahirkan sebuah lembaga negara baru di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah
Konstitusi dengan wewenang sebagai berikut: menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar; memutus pembubaran partai politik; memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Bahwa pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak ada perbedaan mencolok
dan hanya menganti kotamadya yang sekarang berubah namanya menjadi kota yang mulai
diperkenalkan pada Undang-undang Otonomi Daerah. Namun secara konsep bahwa PTUN
berada pada setiap kotamadya dan kabupaten maka diperlukan biaya yang sangay besar atas
pengadaan fasilitas PTUN pada setiap kabupaten dan kotamadya. Sedangkan pada
prakteknya perkara PTUN yang masuk setiap tahunnya hanya berkisar antara 3 hingga 10
kasus per tahun, da sangat berbeada dengan PN yang bisa menyelesaikan sekitar 30 hingga
200 perkara per tahun. Dalam hal ini terlihat sangat tidak efisien untuk membentuk PTUN
pada setiap kabupaten atau kota.

Bahwa pada ayat (2) pasal yang sama menyebutkan kata propinsi menjadi provinsi. Analisis
terhadap pasal ini bukanlah analsis yang menekankan hukum, karena pada ayat (2) ini
hanyalah bertujuan untuk memperbaiki undang-undag secara gramatikal mengikuti suatu
panduan gramatikal mengnai kebakuan suatu kata sebagaimana diatur dalam Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (selanjutnya disingkat PUEBI), yakni
dengan menggunakan provinsi dan bukanlah propinsi. Hal ini juga sesuai dengan propinsi
dan provinsi dalam KBBI, tetapi yang baku adalah provinsi. Alasannya, kata tersebut berasal
dari province (Inggris). Selain itu dalam KBBI kata provinsi-lah yang mendapat penjelasan
tentang makna kata.

Hukum Acara PTUN


8
Undang-Undang Nomor 5 Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1986 Tahun 2004
Pasal 2 Pasal 2

Tidak termasuk dalam Tidak termasuk dalam


pengertian Keputusan Tata pengertian Keputusan Tata
Usaha Negara menurut Usaha Negara menurut
Undangundang Undang-Undang

ini : ini:

a. Keputusan Tata Usaha a. Keputusan Tata Usaha


Negara yang merupakan Negara yang merupakan
perbuatan hukum perdata; perbuatan hukum perdata;

b. Keputusan Tata Usaha b. Keputusan Tata Usaha


Negara yang merupakan Negara yang merupakan
pengaturan yang bersifat pengaturan yang bersifat
umum;
umum;
c. Keputusan Tata Usaha
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih
Negara yang masih memerlukan persetujuan;
memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan
Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum
Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-
Pidana atau Kitab Undang- Undang Hukum Acara
undang Hukum Acara Pidana Pidana atau

atau peraturan perundang- peraturan perundang-


undangan lain yang bersifat undangan lain yang bersifat
hukum pidana; hukum pidana;

e. Keputusan Tata Usaha e. Keputusan Tata Usaha


Negara yang dikeluarkan atas Negara yang dikeluarkan
dasar hasil pemeriksaan atas dasar hasil pemeriksaan
badan
badan peradilan berdasarkan
ketentuan peraturan peradilan berdasarkan
perundang-undangan yang ketentuan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku;

Hukum Acara PTUN


9
f. Keputusan Tata Usaha berlaku;
Negara mengenai tata
usaha Angkatan Bersenjata f. Keputusan Tata Usaha
Negara mengenai tata
Republik Indonesia; usaha Tentara Nasional
Indonesia;
g. Keputusan Panitia
Pemilihan, baik di pusat g. Keputusan Komisi
maupun di daerah, mengenai Pemilihan Umum baik di
hasil pusat maupun di daerah
mengenai hasil pemilihan
pemilihan umum. umum.

Undang-Undang Nomor 5 Undang-Undang Nomor 9


Tahun 1986 Tahun 2004
Pasal 7 Pasal 7

(1) Pembinaan teknis (1) Pembinaan teknis


peradilan bagi Pengadilan peradilan, organisasi,
dilakukan oleh Mahkamah administrasi,
Agung. dan finansial Pengadilan

(2) Pembinaan organisasi, dilakukan oleh Mahkamah


administrasi, dan keuangan Agung.
Pengadilan dilakukan oleh
(2) Pembinaan sebagaimana
Departemen Kehakiman. dimaksud pada ayat (1)
tidak boleh mengurangi
(3) Pembinaan sebagaimana kebebasan
dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) tidak boleh Hakim dalam memeriksa
dan memutus sengketa Tata
mengurangi kebebasan Hakim Usaha Negara.
dalam memeriksa dan
memutus sengketa Tata

Usaha Negara.

Hukum Acara PTUN


10
DAFTAR PUSTAKA

Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Jakarta, STIH IBLAM,
2004.

Muchsin, makalah dengan judul Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD 1945 yang
disampaikan sebagai bahan kuliah di Program Doktor Ilmu Hukum Untag Surabaya tahun
2009.

Anwar Kariem, Undang-Undang Dasar 1945: dari Awal Dibentuk Sampai Perubahan Era
Reformasi, Jakarta, Pustaka Bintang, 2004.

Pendapat akhir presiden yang diwakili menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta terhadap
RUU tentang Kekuasaan Kehakiman dan RUU badan peradilan (PU, PA, dan PTUN)
dihadapan sidang paripurna DPR RI tertanggal 29 September 2009.

Cetak Biru Blue Print) Pembaharuan Mahkamah Agung RI Tahun 2003.

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun
1989, Sinar Grafika, Jakarta, edisi kedua, 2007.

http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com

http://www.google.co.id/#q=analisis+perubahan+UU+no.9+tahun+2004+menjadi+UU+no.51
+tahun+2009&hl=id&prmd=imvns&psj=1&ei=H7JWT-
q6O8isrAe2tKieBw&start=10&sa=N&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.,cf.osb&fp=7c2ed7d408a
61562&biw=1366&bih=667

Hukum Acara PTUN


11
Hukum Acara PTUN
12
Hukum Acara PTUN
13

Anda mungkin juga menyukai