Tugas Agama (Materi Konsep Manusia Dalam Islam)
Tugas Agama (Materi Konsep Manusia Dalam Islam)
Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia muslim
menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk
melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan
aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai
filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa
lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang
dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.
Namun, tidak semua manusia di dunia ini mengikuti perintah dan merespon risalah yang
di bawa oleh para Rasul. Bahkan, banyak di antara mereka yang berpaling dari
ajaran-ajaran suci yang didakwahkan kepada mereka. Ada juga yang secara terang-terangan
mengingkari dan memusuhinya (an-Nahl: 36, al-Anaam: 26, dan al-Baqarah: 91).
Hal ini bisa terjadi pada manusia karena dalam dirinya ada dua kekuatan yang sangat
dominan mempengaruhi setiap pikiran dan perbuatannya, kekuatan taqwa dan
kekuatan fujur. Kekuatan taqwa didorong oleh nafsu mutmainnah (jiwa yang
tenang) untuk selalu menterjemahkan kehendak ilahiah dalam realitas kehidupan,
dan kekuatan fujur yang di dominasi oleh nasfu ammarah (nafsu angkara murka)
yang senantiasa memerintahkan manusia untuk masuk dalam dunia kegelapan.
Maka, dalam bingkai misi utama ini, manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga,
yaitu sabiqun bil khairat, muqtashidun, dan dzalimun linafsihi. Hal ini
dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut.
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri
dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang
lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah
karunia yang amat besar. (Faathiir: 32)
Sabiqun bil khairat
Hamba Allah SWT yang termasuk dalam kategori ini adalah hamba yang tidak hanya puas
melakukan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, namun ia
terus berlomba dan berpacu untuk mengaplikasikan sunnah-sunnah yang telah
digariskan, dan menjauhi hal-hal yang dimakruhkan. Akal sehatnya menerawang
jauh ke depan untuk menggagas karya-karya besar dan langkah-langkah positif.
Hati sucinya menerima pilihan-pilihan akal selama tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam. Inilah hamba yang selalu melihat kehidupan dengan cahaya
bashirah. Hamba yang hatinya senantiasa dihiasi ketundukan, cinta, pengagungan,
dan kepasrahan kepada Allah SWT.
Muqtashidun
Hamba Allah yang masuk dalam kategori ini adalah manusia muslim yang puas ketika
mampu mengamalkan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT. Dalam benaknya,
tidak pernah terlintas ruh kompetitif dalam memperluas wilayah iman ke wilayah
ibadah yang lebih jauh lagi, yaitu wilayah sunnah. Imannya hanya bisa menjadi
benteng dari hal-hal yang diharamkan dan belum mampu membentengi hal-hal yang
dimakruhkan.
Dzalimun linafsihi
Hamba yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang masih mencampuradukkan antara
hak dan batil. Selain ia mengamalkan perintah-perintah Allah SWT, ia juga masih
sering berkubang dalam kubangan lumpur dosa. Jadi, dalam diri seorang hamba ada
dua kekuatan yang mempengaruhinya, tergantung kekuatan mana yang lebih
dominan, dan dalam kelompok ini, nampaknya kekuatan syahwat yang
mendominasi kehidupannya, sehingga hatinya sakit parah.
Mengikuti syahwat adalah penyakit, sedangkan durhaka kepadanya adalah obat
mujarab dab terapi yang manjur (Adab ad-Diin wa ad-Dunya, Abu al-Hasan Ali
al-Mawardy)
Apabila manusia mengikuti libido, mengekor nafsu angkara murka, dan menjadi budak
syahwatnya, maka ia akan keluar dari poros yang telah digariskan oleh Allah
SWT. Ia akan mencampakkan dan mensia-siakan amanah yang agung. Bahkan, ia akan
melakukan konspirasi bersama thogut-thogut untuk memberangus nilai-nilai
kebenaran. Di sini, manusia akan bergeser dari gelar khairul barriah
sebaik-baik makhluk dan ahsanu taqwim ke gelar baru, yaitu syarrul barriah
seburuk-buruk makhluk, asfalus saafilin tempat yang paling rendah,
al-anaam binatang ternak, kera, babi, batu, dan kayu yang berdiri. Inilah
manusia-manusia yang memiliki hati, mata dan telinga, numun ia tidak pernah
berfikir, tidak pernah melihat kebenaran, dan tidak pernah mendengar ayat-ayat
Qur`aniah dan Kauniah dengan tiga faktor tersebut. Mereka adalah sebuah
komunitas dari manusia-manusia yang dungu, buta, tuli, dan bisu dari
nilai-nilai Islam (al-Bayyinah: 6-7, al-Araaf: 179, al-Maidaah: 60,
al-Munaafiquun: 4, dan al-Baqarah:74)
Ali bin Abu Thalib ra. berkata, Ada dua masalah yang saya takutkn menimpa kamu.
Pertama, mengikuti hawa nafsu. Kedua, banyak menghayal. Karena, yang pertama akan
menjadi tembok penghalang antara dirinya dan kebenaran, dan yang kedua
mengakibatkan lupa akan akhirat. Sebagian ahli hikmah berkata, Akal merupakan teman
setia, dan hawa nafsu adalah musuh yang ditaati.Sebagian ahli hikmah yang lain
berkata,Hawa nafsu adalah raja yang bengis dan penguasa yang lalim. (Adab ad-Diin wa
ad-Dunya)
B. Misi Fungsional
Selain misi utama yang harus diemban manusia, ia juga mempunyai misi fungsional
sebagai khalifah. Manusia tidak mampu memikul misi ini, kecuali ia istiqamah di
atas rel-rel robbaniah. Manusia harus membuang jauh bahasa khianat dari kamus
kehidupannya. Khianat lahir dari rahim syahwat, baik syahwat mulkiah
kekuasan, syahwat syaithaniah, maupun syahwat bahaimiah binatang
ternak.(al-Jawab al-Kaafi, Ibnu Qaiyim al-Jauziah)
Ketika jiwa manusia di kuasai oleh syahwat mulkiah, maka ia akan mempertahankan
kekuasaan dan kedudukannya, meskipun dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh
Islam. Ia senantiasa melakukan makar, adu domba, dan konspirasi politik untuk
menjegal lawannya (al-Anfal: 26-27 dan Shaad: 26).
Adapun ketika jiwa manusia terbelenggu oleh syahwat syaithaniah dan bahaimiah,
maka ia akan selalu menciptakan permusuhan, keonaran, tipuan-tipuan, dan
menjadi rakus serta tamak akan harta. Tidak ada sorot mata persahabatan dan
sentuhan kasih dalam dirinya. Ia bersenang-senang di atas penderitaan rakyat
dan tak pernah berhenti mengeruk kekayaan rakyat.
C.Misi Operasional
Manusia diciptakan di bumi iniselain untuk beribadah dan sebagai khalifah, juga
harus bisa bermain cantik untuk memakmurkam bumi (Huud: 61). Kerusakan di
dunia, di darat, maupun di lautan bukan karena binatang ternak yang tidak tahu
apa-apa, tetapi ia lahir dari tangan-tangan jahil manusia yang tidak pernah
mengenal rambu-rambu Tuhannya. Benar, semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk
manusia, namun ia tidak bebas bertindak diluar ketentuan dan rambu ilahi
(ar-Ruum: 41). Oleh karena itu, bumi ini membutuhkan pengelola dari
manusia-manusia yang ideal. Manusia yang memiliki sifat-sifat luhur sebagaimana
disebutkan di bawah ini. Syukur (Luqman: 31) Sabar (Ibrahim: 5) Mempunyai belas kasih
(at-Taubah: 128)Santun (at-Taubah: 114)Taubat (Huud: 75) Jujur (Maryam: 54)
Terpercaya (al-Araaf: 18)
Maka, manusia yang sadar akan misi sucinya harus mampu mengendalikan nafsu dan
menjadikannya sebagai tawanan akal sehatnya dan tidak sebaliknya,
diperbudak hawa nafsu sehingga tidak mampu menegakkan tonggak misi-misinya.
Hanya dengan nafsu muthmainnahlah, manusia akan sanggup bertahan mengibarkan
panji-panji kekhilafahan di antara awan jahiliah modern, sanggup
mengaplikasikan simbol-simbol ilahi dalam realitas kehidupan, membumikan
seruan-seruan langit, dan merekonstruksi peradaban manusia kembali. Inilah
sebenarnya hakikat risalah insan di muka bumi ini
Ada 3 teori dalam konsepsi manusia yaitu :
Pertama yaitu Teori Evolusi.
Kedua yaitu Teori Revolusi
Ketiga yaitu Teori Evolusi Terbatas.
Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai
makhluk, mukalaf, mukaram, mukhaiyar, dan mujizat.
Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-sifat
insaniah, seperti dhaif lemah (an-Nisaa: 28), jahula bodoh (al-Ahzab:
72), faqir ketergantungan atau memerlukan (Faathir: 15), kafuuro sangat
mengingkari nikmat (al-Israa: 67), syukur (al-Insaan:3), serta fujur
dan taqwa (asy-Syams: 8).
Keberadaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah kepada Allah
SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus searah dengan garis yang
telah ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan
kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya
harus seirama dengan alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya
dalam merespon seruan Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan
apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap
sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang
telah diwajibkan oleh Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang
ada dalam ibadah shalat, yaitu sebagai aun (pertolongan) bagi manusia dalam
mengarungi lautan kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk
menghindari, menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-
Ankabuut: 45). Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia
muslim menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk
melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan
aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai
filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa
lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang
dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.
Artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-
kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh
sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini
dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW
sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang
demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan
Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan
di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat
dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili
dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Marifah al-Awakir wa al-
Awail (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan
yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan
dua pengertian. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengeneai
manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkail dengan pandangan
mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap
mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna.
Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri
pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya. Kedua,
insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan
ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi
tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental,
yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam
ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan
manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan
mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui
berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan
sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat
kekuasaan yang luar biasa.
Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam suasana
hakikat mutlak, dan kemudian menjadi manusia Tuhan atau insan kamil. Matanya menjadi
mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (nur
Muhammad). Muhammad Iqbal tidak setuju dengan teori para sufi seperti pemikiran al-Jili
ini. Menurut dia, hal ini membunuh individualitas dan melemahkan jiwa. Iqbal memang
memandang dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai insan kamil, tetapi tanpa
penafsiran secara mistik.
Insan kamil versi Iqbal tidak lain adalah sang mukmin, yang dalam dirinya terdapat kekuatan,
wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi
tergambar dalam akhlak Nabi SAW. Insan kamil bagi Iqbal adalah sang mukmin yang
merupakan makhluk moralis, yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi. Untuk
menumbuhkan kekuatan dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati
akhlak Ilahi. Sang mukmin menjadi tuan terhjadap nasibnya sendiri dan secara tahap demi
tahap mencapai kesempurnaan. Iqbal melihat, insan kamil dicapai melalui beberapa proses.
Pertama, ketaatan pada hukum; kedua penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri
tentang pribadi; dan ketiga kekhalifahan Ilahi. dari ensklopedi Islam terbitan ikhtiar baru van
hoeve
A. Manusia Sebagai Mahluk Sempurna
Pada hakekatnya manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai mahluk yang sempurna di
antara mahluk-mahluk Allah lainnya. Manusia diberi begitu banyak keistimewaan di
antaranya bentuk fisik yang indah, kedudukan yang jauh lebih baik, dan yang paling berbeda
yaitu akal pikiran. Akal dapat digunakan untuk berpikir dan membedakan mana yang baik
dan yang buruk. Manusia sebagai insan kamil haruslah mempunyai kepribadian dan ahlak
yang baik. Pemuliaan Allah SWT kepada manusia berkaitan dengan penciptaannya seperti
diterangkan Allah dalam firmanNya:
Artinya: Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya
Fitrah manusia meliputi: hanif, potensi akal, qaib, nafsu. Fitrah adalh kondisi awal suatu
ciptaan atau kondisi manusia yang memiliki potensi untuk mengetahui dan cenderung kepada
kebenaran. Fitrah tidak hanya diartikan sebagai penciptaan fisik, melainkan juga dalam arti
rihaniah yaitu sifat-sifat dasar manusiayang baik. Hanif (kecenderungan kepada kebaikan)
yang terjadinya proses persaksian sebelum digelar ke muka bumi. Manusia memiliki potensi
baik sejak kelahirannya. Potensi itu meliputi: potensi jasmani (fisik), ruhani (spiritual), dan
akal (mind). Ketiga potensi ini akan memberikan kemampuan kepada manusia untuk
menentukan dan memilih jalan hidupnya sendiri. Manusia diberi kebebasan untuk
menentukan takdirnya. Semua itu tergantungdari bagaimana mereka memanfaatkan potensi
yang melekat dalam dirinya. Potensi rohaniah berupa akal, qald dan nafsu. Akal adalah
pikiran atau rasio dan rasa bias diartikan dengan bijaksana. Qald adalah hakikat manusiayang
dapat menangkap segala pengertian berpengetahuan dan arif. Nafsu adalah sesuatu kekuatan
yang mendorong manusia untuk mencapai keinginannya.
Tujuan hidup manusia yaitu beribadah kepada Allah SWT dengan cara melakukan perbuatan
apapun asal yang tidak dilarang agama dan diniati ibadah sehingga apapun yang kita kerjakan
tidak hanya bermanfaat untuk kehidupan di dunia tetapi juga kepentingan di akherat jadi
tujuan hidup manusia sudah jelas adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat,
sebagaimana sering kita ucapkan dalam doa : "Rabbana aatina fiddun-yaa hasanah wafil
akhirati hasanah, waqinaa adzabannar". Untuk mendapatkan kebahagiaan dunia telah
diuraikan di depan, adalah berusaha untuk menjadi Ahsani Taqwim dan Khalifah fil Ardhi,
namun untuk kebahagiaan akherat perlu kita teliti lebih jauh. Seperti dalam surat Adz
Dzariyat ayat 56:
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-
Ku. (QS. 51:56)
Dalam islam tujuan pendidikan identik dengan tujuan hidup (penciptaan) manusia.
Menempatkan ibadah sebagai tujuan hidup mengandung arti bahwa kita menyerahkan
penilaian semua gerak dan kiprah ibadah kita hanya kepada Allah.