Anda di halaman 1dari 13

PRAKTIKUM PENYUSUNAN LAPORAN DAN PRESENTASI

PERILAKU PROFESIONAL DOKTER

NAMA ANGGOTA KELOMPOK:


Dewa Ketut Kartika Putra 41160047
Aditya Ahisto Marvel Nugroho 41160048
Stefanus Wiguna Feriawan 41160049
Jeremy Marcello Vega Laihad 41160050
Dhimas Setyanto Nugroho 41160052
Dio Ariessandi 41160053
Puspa Dewi Meok 41160054
Datu Andra S.D. Sampetoding 41160055
Claudia Reyaan 41160056
Cynthia Kumala Sari 41160057
Dewa Dirgantara 41160058

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
2016-2017
LATAR BELAKANG

Masalah terbesar yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia saat ini salah
satunya adalah buruknya tingkat kesehatan masyarakat. Untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut, dibutuhkan beberapa strategi khusus, yaitu menyediakan
tenaga medis termasuk dokter yang memadai serta meningkatkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya kesehatan melalui penyuluhan yang dapat diberikan
oleh petugas medis.
Dokter adalah salah satu komponen yang terlibat dalam tenaga medis.
Profesi dokter adalah salah satu profesi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam
menjalankan tugasnya, dokter berurusan dengan nyawa orang banyak. Oleh
karena itu, dokter memiliki tanggung jawab yang sangat besar.
Menjadi seorang dokter tentunya harus memiliki pengetahuan medis dan
etika moral yang baik. Pengetahuan medis yang dimaksud adalah ketika seorang
dokter wajib memiliki wawasan tentang dunia medis yang luas yaitu bisa
mengingat banyak teori kedokteran yang ada serta mengombinasikannya dengan
pengalaman dan pengetahuan medis lainnya. Seorang dokter juga dituntut
memiliki etika kedokteran yang baik. Etika kedokteran merupakan seperangkat
perilaku anggota profesi kedokteran dalam hubungannya dengan klien atau
pasien, teman sejawat dan masyarakat umumnya serta merupakan bagian dari
keseluruhan proses pengambilan keputusan dan tindakan medis. Kompetensi
seorang dokter tidak hanya dinilai dari keterampilan klinis maupun pengetahuan
semata tetapi juga membutuhkan perilaku yang baik. Ditinjau dari segi norma-
norma atau nilai-nilai moral, dengan mengedepankan perilaku profesionalisme
yang ditunjukkan dengan perkataan, perbuatan dan penampilan akan membangun
kepercayaan bagi para pasien.
Jadi, profesi dokter dituntut memiliki banyak persyaratan agar tidak
menyebabkan terjadinya hal-hal di luar etika yang berlaku seperti tindakan aborsi
ilegal, malpraktik, pemungutan liar, merebaknya vaksin palsu, dan lain-lain. Hal
tersebut dapat dicegah dengan membentuk generasi dokter muda yang unggul.
Para mahasiswa kedokteran harus dibekali dengan ilmu, etika, dan jiwa
profesional sejak dini di fakultas kedokteran tempat mereka menuntut ilmu. Para
calon dokter harus belajar mengenal bagaimana menjadi dokter yang tidak hanya
pandai, tetapi juga tidak diragukan integritasnya; mengingat hal-hal tersebut
adalah hal yang wajib ditanamkan kepada calon-calon dokter agar nantinya tidak
memperburuk citra kesehatan Indonesia, tetapi justru dapat bekerja sama dengan
tenaga medis lainnya demi meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat
Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Profesionalisme
Profesionalisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti
mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang
yang profesional. Menurut Soedijarto (1990) profesionalisme sebagai perangkat
atribut-atribut yang diperlukan guna menunjang suatu tugas agar sesuai dengan
standar kerja yang diinginkan.Berdasarkan paparan Dwiyanto (2011)
profesionalisme berarti Paham atau keyakinan bahwa sikap dan tindakan aparatur
dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan selalu didasarkan
pada ilmu pengetahuan dan nilai-nilai profesi aparatur yang mengutamakan
kepentingan publik. Sedangkan menurut Siagian (2009) profesionalisme adalah
Keandalan dan keahlian dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan
mutu tinggi, waktu yang tepat, cermat, dan dengan prosedur yang mudah
dipahami dan diikuti oleh pelanggan. Profesionalisme menurut Sedarmayanti
(2004) diungkapkan sebagai Profesionalisme adalah suatu sikap atau keadaan
dalam melaksanakan pekerjaan dengan memerlukan keahlian melalui pendidikan
dan pelatihan tertentu dan dilakukan sebagai suatu pekerjaan yang menjadi
sumber penghasilan. Profesionalisme aparatur dalam hubungannya dengan
organisasi publik menurut Kurniawan (2005) digambarkan sebagai Bentuk
kemampuan untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda,
memprioritaskan pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan
sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat atau disebut dengan istilah
resposivitas. Korten dan Alfonso (1981) berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan profesionalisme adalah Kecocokan (fitness) antara kemampuan yang
dimiliki oleh birokrasi (bureaucratic-competence) dengan kebutuhan tugas (ask -
requirement). Profesionalitas menurut Philips (1991) memberikan definisi
profesionalisme sebagai Individu yang bekerja sesuai dengan standar moral dan
etika yang ditentukan oleh pekerjaan tersebut.
Sebenarnya profesionalisme sedikit sulit didefinisikan karena konsepnya
yang rumit dan berdimensi banyak (Arnold dan Stern, 2006). Istilah
profesionalisme sendiri telah digunakan untuk mengarah pada seni dan etika
dalam dunia kedokteran (Wear dan Aultman, 2006). Wear dan Aultman (2006)
mendefinisikan profesionalisme sebagai pemeliharaan kompetensi yang sangat
penting untuk praktik, pembinaan, serta pemajuan ilmu pengetahuan, etik, dan
perawatan penuh kasih dalam melayani pasien dan masyarakat.
Cruess S.R dan Cruess R.L (2009, 2012) menggunakan definisi yang
diajukan oleh Royal College of Physicians of London, yaitu A set of values,
behaviors, and relationships that underpins the trust that the public has in
doctors. Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan bahwa profesionalisme
merupakan seperangkat nilai-nilai, perilaku, dan hubungan dengan dasar
kepercayaan publik pada dokter. Definisi ini lebih mudah dimengerti dan
sederhana.
Sebagai panduan dalam menilai profesionalisme, Arnold dan Stern (2006)
memberikan definisi bahwa profesionalisme ditunjukkan melalui sebuah dasar
kompetensi klinis, kemampuan berkomunikasi, pemahaman etika dan hukum
yang dibangun oleh harapan untuk melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme
yaitu, keunggulan, humanisme, akuntabilitas, alturisme.

Gambar 1: Pengertian & Pilar Profesionalisme (Arnold dan Stern, 2006)


Bagan di atas adalah visualisasi definisi profesionalisme menurut Arnold
dan Stern (2006). Dari bawah terlihat bahwa Clinical Competence atau
kompetensi klinis, Communication Skills atau kemampuan berbicara, dan
Ethical and Legal Understanding atau pemahaman hukum kode etik menjadi
sebuah dasar dalam profesionalisme perilaku dokter. Di atas dasarnya terdapat
Excellence atau keunggulan, Humanism atau humanisme, Accountability
atau akuntabilitas, Alturism atau alturisme merupakan tonggak profesionalisme
atau prinsipnya.
Excellence atau keunggulan berarti dokter senantiasa untuk lanjut belajar
untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya.
Accountability atau akuntabilitas berarti dokter hendaknya dapat
mempertanggungjawabkan tindakan yang telah diperbuat, serta menerima
konsekuensi dari apa yang telah diperbuat. Alturism atau alturisme berarti
Dokter hendaknya mendahulukan kepentingan pasien di atas kepentingan pribadi.
Komunikasi yang baik dengan pasien dan menghormati kebutuhan pasien dari
merupakan bagian dari aspek ini. Humanism atau humanisasi merupakan rasa
perikemanusiaan yang meliputi rasa hormat atau respect, rasa kasih atau
compassion, empati, serta kehormatan dan integritas atau honor and integrity.
Dari beberapa definisi di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
profesionalisme merupakan suatu penentu kualitas hubungan dokter yang
digambarkan melalui seperangkat perilaku dan sangat bergantung dengan
kepercayaan. Hubungan ini tidak terbatas pada dokter dan pasien sebagai
individu, tetapi juga hubungan dokter sebagai sebuah kelompok profesi dengan
dengan masyarakat luas. Aplikasi profesionalisme juga tidak terbatas pada
hubungan dokter dengan eksternal profesinya, tetapi juga dapat digunakan dalam
hubungan internal profesi.

B. Penilaian terhadap Profesionalisme Dokter


Profesi dokter harus dipertahankan dengan penilaian terhadap
profesionalismenya. Bagian penting dari ini adalah kemampuan untuk menilai dan
mengevaluasi diri sendiri. Seiring bergantinya zaman, waktu, dan teknologi,
terkadang niali-nilai profesionalisme bisa saja berubah dan ada yang tidak sesuai
dengan definisi profesionalisme. Maka dari itu, penilaian profesionalisme sangat
berperan dalam menjaga nilai luhur sebuah profesi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Green, Zick, dan Makoul
(2009) menunjukan bahwa perilaku profesionalisme dapat dinilai melalui perilaku
dokter itu sendiri yang dilihat oleh orang lain. Hanya beberapa perilaku
profesionalisme saja yang dapat dinilai oleh pasien karena pasien hanya dapat
menilai perilaku profesionalisme dokter hanya sebatas hubungan pasien dengan
dokter dengan melihat perilaku dokter tersebut. Pasien lebih fokus menilai
perilaku profesionalisme dokter pada komunikasi.
Berdasarkan penelitian lain dari Wiggins, Coker, dan Hicks (2009),
menyatakan bahwa pasien lebih cenderung menilai perilaku profesionalisme
dengan memerhatikan kemampuan komuikasi sehingga kemampuan komunikasi
menjadi hal terpenting bagi pasien menentukan perilaku profesionalisme dokter.
Selanjutnya dari penelitian yang dilakukan Abadel dan Hattab (2014)
menyatakan bahwa pasien menilai perilaku profesionalisme dokter bergantung
pada latar belakang pasien. Pernyataan ini sangat berbeda dengan pernyataan yang
diungkapkan di atas. Menurut Abadel dan Hattab (2014) perilaku profesional
dokter di nilai oleh pasien dan berdarakan status sosiodemografinya. Dalam
penelitiannya dituliskan bahwa rata-rata pasien orang tua lebih tua memberikan
tanggapan baik, daripada rata-rata pasien usia muda.
PEMBAHASAN

A. Profesionalisme
Para pasien biasanya lebih cenderung menilai perilaku profesionalisme
dokter dengan memerhatikan kemampuan komunikasi. Jadi,kemampuan dokter
dalam berkomunikasi menjadi salah satu hal yang paling penting dalam penilaian
profesionalisme dokter bagi para pasien karena hal tersebut berpengaruh dalam
keadaan psikologis pasien yang nantinya berdampak pada kesembuhan pasien.
Berdasarkan semua penelitian yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan
bahwa penilaian pasien terhadap dokter dilakukan dengan berbagai cara yang
berbeda. Pada beberapa pasien menurut Wilkinson dan Wade (2009) dapat
menjadi lebih kritis. Walaupun begitu, mengetahui bagaimana penilaian pasien
tetap penting. Dengan mengetahui bagaimana penilaian pasien, makna
profesionalisme diharapkan akan semakin jelas sehingga hubungan dokter dan
pasien dapat terjaga kualitasnya. Terpenuhinya ekspektasi pasien terhadap dokter
merupakan hal yang harus tercapai sesuai dengan konsep profesionalisme sebagai
kontrak sosial.
Dokter senantiasa belajar untuk mengasah kemampuan dan meningkatkan
pengetahuannya.Dokter dituntut bertanggungjawab atas tindakan yang telah
mereka buat dan juga mereka menerima segala konsekuensinya.Dokter juga
berkewajiban untuk mendahulukan kepentingan para pasien dibandingkan
kepentingan dirinya sendiri.Misalnya dokter tersebut memiliki acara pergi
bersama dengan keluarganya, namun tiba-tiba dokter tersebut mendapat telepon
panggilan dari rumah sakit dan ada tindakan medis kepada pasien yang harus
dilakukan olehnya,maka hendaknya dokter tersebut mendahulukan
menyelamatkan pasien daripada pergi bersama keluarganya.Dokter yang baik juga
harus menjalin hubungan komunikasi yang baik dengan pasiennya serta
menghormati segala kebutuhan pasiennya.

a. Profesionalisme sebagai Kontrak Sosial


Profesionalisme berkaitan dengan hubungan dokter dengan internal dan
eksternal profesinya. Menempatkan kepentingan pasien di atas kepentingan
sendiri, menetapkan dan mempertahankan standar kompetensi dan integritas, serta
menyediakan pemecahan masalah kesehatan masyarakat merupakan suatu
tuntutan bagi dokter. Kepercayaan merupakan hal yang sangat penting dalam
kontrak ini.
Kontrak sosial dianalogikan sebagai hak dan kewajiban antara negara
dengan warganya yang menunjukkan suatu hubungan timbal balik. Berdasarkan
analogi tersebut, maka profesionalisme dapat digambarkan sebagai sebuah
hubungan antara kelompok profesi dengan masyarakat yang ditandai dengan
adanya tuntutan hak dan kewajban.
Penyebab pengaruh eksternal bagi kontrak sosial yaitu sistem pelayanan
kesehatan dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan
fakta lapangan yang ada saat ini. Buruknya sistem pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh suatu institusi kesehatan akan memengaruhi pendapat masyarakat
terhadap kinerja dokter.
Nilai-nilai profesionalisme dapat berubah seiring dengan perubahan
perubahan nilai sosial di masyarakat yang diperkuat oleh media sebagai
pembentuk opini publik. Hubungan penduduk dengan pemerintahan menjadi hal
yang sangat penting dalam penentuan struktur pelayanan kesehatan. Kebijakan
publik yang dihasilkan pemerintah memberikan pengaruh besar terhadap sistem
pelayanan kesehatan dan selanjutnya akan mempengaruhi kontrak sosial.

b. Profesionalisme Kedokteran di Indonesia


Pada tahun 2012,profesionalisme menjadi bagian dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Pasal mengenai profesionalisme terdapat pada Pasal 8
Kode Etik Kedokteran Indonesia (2012) dengan bunyi Seorang dokter wajib,
dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan secara berkompeten
dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
c. Pembinaan Profesi
Pembinaan bersistem yang dimaksudkan agar dokter senantiasa dapat
menjalankan profesinya dengan baik dan itu baru bisa terjadi kalau pengetahuan
(knowledge) dan keterampilan (skill) senantiasa ditingkatkan, serta sikap (attitude)
profesionalnya terjaga. Oleh karena itu, upaya ini tidak dapat dilepaskan dari
mekanisme licensure atau pemberian izin praktik. Perlu diketahui bahwa
Continuing Professional Development bukan monopoli profesi dokter, karena
semua profesi yang memberikan jasanya untuk kepentingan masyarakat luas
punya program ini.
Profesionalisme bagi dokter meliputi kompetensi, etika, altruism,
collegiality, dan accountability. Mengembangkan profesionalisme merupakan
kewajiban profesi (professional imperative) bagi setiap dokter dan itu dimulai saat
seorang calon dokter menjalani pendidikan di fakultas kedokteran. Oleh karena
itu, umumnya dokter muda yang baru saja memperoleh kompetensinya
mempelajari etika kedokteran dan dokter yang baru mulai melangkah menapaki
cita-citanya terkadang tampak idealis. Namun, kita tidak dapat menjamin
idealisme itu masih tetap ada setelah beberapa tahun ia berpraktik. Terlalu banyak
faktor yang membuat seseorang terpaksa meninggalkan cita-cita awalnya untuk
me- ngabdikan diri bagi kemanusiaan. Semua unsur profesionalisme yang
seharusnya dipertahankan dan/atau dikembangkan dalam kehidupan seorang
profesional, terasa sulit sekali diwujudkan.

B. Penilaian Terhadap Profesionalisme Dokter


Profesionalisme harus dipertahankan karena merupakan penilaian profesi
dokter. Hal ini dilakukan untuk menilai dan mengevaluasi diri. Seiring
bergantinya zaman, waktu, dan teknologi, terkadang nilai-nilai profesionalisme
bisa saja berubah dan ada yang tidak sesuai dengan definisi profesionalisme.
Maka dari itu, penilaian profesionalisme sangat berperan dalam menjaga nilai
luhur sebuah profesi.
Tetapi tidak semua aspek dari perilaku profesionalisme dokter dapat dilihat
oleh sang pasien. Hanya beberapa perilaku profesionalisme saja yang dapat dinilai
oleh pasien karena pasien hanya dapat menilai perilaku profesionalisme dokter
hanya sebatas hubungan pasien dengan dokter. Pasien lebih fokus menilai
perilaku profesionalisme dokter pada bagian komunikasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Wiggins, Coker, dan Hicks (2009),
menyatakan bahwa pasien lebih cenderung menilai perilaku profesionalisme
dengan memperhatikan kemampuan komuikasi. Selanjutnya dari penelitian yang
dilakukan Abadel dan Hattab (2014) menyatakan bahwa pasien menilai perilaku
profesionalisme dokter bergantung pada latar belakang pasien.
Berdasarkan semua penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan
bahwa penilaian pasien terhadap dokter dilakukan dengan berbagai cara yang
berbeda. Walaupun begitu, mengetahui bagaimana penilaian pasien tetap penting.
Dengan mengetahui bagaimana penilaian pasien, makna profesionalisme
diharapkan akan semakin jelas sehingga hubungan dokter dan pasien dapat terjaga
kualitasnya. Terpenuhinya ekspektasi pasien terhadap dokter merupakan hal yang
harus tercapai sesuai dengan konsep profesionalisme sebagai kontrak sosial.
KESIMPULAN

Dari berbagai sumber tinjauan pustaka, maka dapat diambil kesimpulan:

1. Untuk menjadi seorang dokter yang baik, tidak hanya dibutuhkan


pengetahuan medis, tetapi juga moral dan etika yang menggambarkan perilaku
profesional sebagai seorang dokter.

2. Penilaian pasien terhadap profesionalisme dokter merupakan hal penting


yang berdampak pada kepercayaan pasien sehingga diharapkan akan menciptakan
hubungan dokter-pasien yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA

Abadel & Hattab, 2014, Patients Assessment of professional and Communication


Skills of Medical Graduates, BMC Medical Education, 14, 28.

Arif Wicaksono, Hubungan antara Perilaku Profesional Dokter di Awal


Pemeriksaan dan Kepuasan Pelayanan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas, dilihat 5 September 2016,
<http://jurnalmka.fk.unand.ac.id/index.php/art/article/view/197/192>

Arnold & Stern, 2006, What is medical professionalism? In: Stern DT (ed)
Measuring medical professionalism, New York, Oxford University Press.
Kode Etik Kedokteran Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia, dilihat 5 September
2016, <file:///C:/Users/FK-DREMAA/Downloads/KODEKI-Tahun-2012.pdf>

Green, Zick, Makoul, 2009,


Definingprofessionalismfromtheperspectiveofpatients,
physicians,andnurses,AcademicMedicine, 84,566573.

Konsil Kedokteran Indonesia 2006, Penyelenggaraan Praktik Kedokteran yang


Baik di Indonesia, Jakarta, dilihat 5 September 2016,
<http://www.academia.edu/7628669/KONSIL_KEDOKTERAN_INDONESIA_P
ENYELENGGARAAN_PRAKTIK_KEDOKTERAN_YANG_BAIK_DI_INDO
NESIA>

Standar Kompetensi Indonesia, Konsil Kedokteran Indonesia, dilihat 5 September


2016, <file:///C:/Users/FK-DREMAA/Downloads/575-632-1-PB.pdf>

Wiggins, Coker, Hicks, 2009, Patient perceptions of professionalism:


implications for residency education, Med Educ, 43, 8-33.

Zunilda Djanun Sadikin 2013, Profesionalisme bagi Profesi Dokter, Konsil


Kedokteran Indonesia, dilihat 5 September 2016,
<http://www.kki.go.id/assets/data/arsip/SKDI_Perkonsil,_11_maret_13.pdf>

Anda mungkin juga menyukai