Anda di halaman 1dari 255

Luka Bakar:

Masalah & Tatalaksana

Yefta Moenadjat

UPK Luka Bakar


RS Cipto Mangunkusumo
Jakarta

2006

Adobe
PDF File Edisi elektronik
Luka Bakar:

Masalah dan Tatalaksana

Yefta Moenadjat

2005
Pengantar

Sebagaimana layaknya sebuah ilmu pengetahuan, semakin dipelajari, semakin banyak


pula kesulitan dihadapi berkenaan dengan masalah dan tatalaksana luka bakar khususnya
luka bakar fase akut. Demikian banyak pengetahuan tambahan yang merupakan hal mendasar
dalam aspek biomolekular diketahui, semakin sulit membedakan permasalahan di fase akut,
fase subakut dan permasalahan lanjut karena saling berkaitan dan merupakan kelanjutan dari
permasalahan-permasalahan di fase akut.

Sehubungan dengan hal tersebut, editor dan penulis berusaha mengupayakan suatu
bentuk update pada buku Luka Bakar: Pengetahuan Klinis Praktis yang telah terbit tiga edisi
sebelumnya dan dirasakan mulai tertinggal oleh pesatnya perkembangan ilmu. Buku ini
dilengkapi dengan pengetahuan-pengetahuan mendasar yang disebutkan sebelumnya agar
pembaca dapat mengerti dengan jelas setiap permasalahan yang timbul pada luka bakar.
Dengan harapan, penatalaksanaan luka bakar yang sangat kasuistik ini dapat lebih terarah dan
bersifat rasional dengan sendirinya menunjukan perbaikan kualitas pelaynan ditandai dengan
penurunan mortalitas luka bakar. Proses updating ini memakan waktu cukup lama karena
banyak melakukan konfirmasi mengenai last evidence yang berkaitan dengan critical appraisal
dari suatu hasil penelitian yang dapat diaplikasikan, khususnya di iklim negara ini.

Karenanya, selanjutnya buku ini mungkin bukan merupakan kumpulan pengetahuan


praktis lagi, namun lebih merupakan uraian mendasar dan detil mengenai masalah dan
tatalaksana luka bakar; lebih tepat diberi judul Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana.

Seyogyanya buku ini direncanakan terbit di tahun 2005 yang lalu, namun setelah melalui
proses layouting di penerbit, penulis merasa perlu menambahkan beberapa topic yang
dirasakan perlu.

Kepada mereka yang menunjukan dedikasinya pada luka bakar, mungkin buku ini akan
banyak membantu sejawat dalam menjalankan tugas sehari-hari dalam pelayanan. Dan, pada
kesempatan ini, perkenankan kami mengingatkan pentingnya Tim Terpadu multidisipliner,
karena permasalahan luka bakar yang demikian kompleks memerlukan penanganan terpadu
dan tidak mungkin ditangani secara terpisah menurut bidang keilmuan. Tak lupa, kami
sampaikan Terima kasih yang tak terhingga pada semua pihak yang banyak membantu dan
memberi asupan pada penyusunan buku ini.

Semoga bermanfaat

Jakarta, Maret 2006

Yefta Moenadjat

i
Dedikasi untuk ayahanda Prof dr R. Moenadjat Wiratmadja, FICS alm.
istri kami Ernani Rosanti, anak-anak kami Alifa Dimanti dan Yadita Wira Pasra,
dan mereka yang menggeluti Luka Bakar dalam profesinya

ii
Daftar Kontributor
Yefta Moenadjat, dr, SpBP
DR. David Sontani Perdanakusuma, dr, SpBP
Benny Philippi, dr, SpBKBD
Samuel Oetoro, dr, SpGK
Fiastuty Witjaksono, dr, SpGK
Inge Permadhi, dr, SpGK

iii
Ucapan Terima Kasih

Terima Kasih yang tak terhingga kami sampaikan kepada para guru, senior dan rekan-rekan
sejawat yang mendorong dan banyak membantu kami dalam mengelola luka bakar:

Soerarso Hardjowasito, drSpBTKV (Departemen Bedah FKUI/RSCM Jakarta, sebelumnya:


Kolegium Ilmu Bedah Indonesia)
Prof DR dr Aryono Djuned Pusponegoro, dr, SpBKBD (Departemen Bedah FKUI/RSCM
Jakarta , Kolegium Ilmu Bedah Indonesia, Komite Trauma IKABI, Asosiasi Luka Bakar
Indonesia, ALBI)
Prof DR Daldyono, dr, SpPDKGEH (Departemen Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jakarta,
Indonesian Association of Parenteral and Enteral Nutrition, Inaspen; Working Group on
Metabolism and Clinical Nutrition)
DR. Iqbal Mustafa, dr, SpAnKIC (alm), (Intensive Care Unit RS Harapan Kita Jakarta;
Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia, Perdici; Indonesian Shock Society, ISS;
Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition; Asosiasi Luka Bakar Indonesia, ALBI)
Oloan , dr, SpAnKIC (Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSCM Jakarta,
Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia, Perdici)
Bambang Wahjuprajitno, dr, SpAnKIC (Laboratorium Anestesi dan Reanimasi FKUnAir/RS
Sutomo Surabaya; Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia, Perdici; Indonesian Shock
Society, ISS; Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition; Asosiasi Luka Bakar
Indonesia, ALBI)
Sunatrio, dr, SpAnKIC (Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSCM Jakarta;
Indonesian Association of Parenteral and Enteral Nutrition, Inaspen; Working Group on
Metabolism and Clinical Nutrition; Total Nutritional Therapy Course, TNT Course)
Margareta Sutjahjo, dr, SpAnKIC (Laboratorium Anestesi dan Reanimasi FKUnAir/RS
Sutomo Surabaya; Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia, Perdici; Working Group on
Metabolism and Clinical Nutrition)
Tantani Soegiman, dr, SpAnKIC (Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSCM Jakarta
Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia, Perdici; Working Group on Metabolism and
Clinical Nutrition; Indonesian Shock Society, ISS)
Prof DR Amin Subandrio, dr, SpMK (Departemen Mikrobiologi FKUI/RSCM Jakarta;
Indonesian Shock Society, ISS)
Widjaja Lukito, dr, PhD. SpGK (Departemen Gizi Klinik FKUI; Working Group on Metabolism
and Clinical Nutrition)
Warko Karnadihardja, dr, SpBKBD-T, FinaCS (Bagian Ilmu Bedah FKUnPad/RS Hasan
Sadikin Bandung; Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition; Surgical Critical Car;,
Komite Trauma IKABI)
Ike Sri Redjeki, dr, SpAn, KIC (Bagian Anestesiologi FKUnPad/RS Hasan Sadikin Bandung;
Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia, Perdici; Indonesian Association of Parenteral
and Enteral Nutrition, Inaspen; Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition, Total
Nutritional Therapy Course, TNT Course)
Professor Steven E. Wolf. MD (Department of Surgery, University of Texas Health Science
Center, San Antonio, USA; American Burn Association, ABA)
Bp Ir Arifin Panigoro Ketua Harian Asosiasi Luka Bakar Indonesia (ALBI).

iv
Daftar Isi
Halaman

Pengantar ii
Dedikasi ii
Daftar Kontributor iii
Ucapan Terima Kasih iv
Daftar Isi v

Bab I Pendahuluan 1
Bab II Prognosis dan Sistim Skoring Luka Bakar 11
Bab III Permasalahan Luka Bakar Fase Akut 25
1. Patofisiologi Luka Bakar Fase Akut 27
2. Perubahan Metabolisme pada Luka Bakar Fase Akut 53
3. SIRS dan MODS pada Luka Bakar 65
4. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) pada Luka Bakar 97
5. Ulkus stres dan Perdarahan Saluran Cerna pada Luka Bakar 105
6. Abdominal Compartment Syndrome pada Lauka Bakar 109
Bab IV Resusitasi Luka Bakar 113
1. Resusitasi Jalan Nafas pada Luka Bakar 114
2. Resusitasi Cairan pada Luka Bakar 120
a. Dasar-dasar penenetuan jenis dan jumlah cairan resusitasi 120
b. Pola Resusitasi Luka Bakar 131
c. Penggunaan obat-obatan 137
d. Pemantauan sirkulasi 146
3. Resusitasi Saluran Cerna pada Luka Bakar 169
Bab V Tatalaksana Nutrisi pada Luka Bakar 173
Infeksi dan Pemberian Antibiotik pada Luka Bakar Fase
Bab VI 183
Akut
Bab VII Luka dan Penatalaksanaannya 190
1. Penatalaksanaan Luka I: Fase Awal 200
2. Penatalaksanaan Luka II: Penutupan Luka 206
3. Perawatan luka 227
Bab VIII Permasalahan Lanjut: Rekonstruksi Luka Bakar 230

v
Moenadjat

Bab I

Pendahuluan
Yefta Moenadjat

L uka bakar adalah suatu bentuk kerusakan dan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber panas dan suhu tinggi (seperti api, air panas, bahan kimia, listrik
dan radiasi) atau suhu yang sangat rendah. Dengan kerusakan jaringan yang terjadi, demikian
banyak dan kompleks permasalahan yang timbul sehingga luka bakar merupakan suatu bentuk
seberat-berat cedera dengan morbiditas dan mortalitas tinggi; memerlukan penatalaksanaan
khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut; berkesinambungan.
Pada mulanya memang luka bakar merupakan topik yang dipelajari dan dikelola oleh
bedah plastik, sebab patofisiologi kerusakan jaringan yang berhubungan dengan proses
penyembuhan luka; merupakan materi dan topik pembahasan dalam ilmu bedah plastik dan
termasuk dalam kurikulum pendidikan, proses penyembuhan luka juga merupakan kompetensi
yang harus dimiliki dan merupakan kelebihan bidang ilmu ini. Namun, seiring dengan
perkembangan ilmu, khususnya bidang traumatologi dan pengetahuan mengenai dampak
cedera pada tubuh (di tingkat seluler) dengan kompleksitas permasalahan di fase akut, luka
bakar (fase akut) disadari merupakan suatu bentuk kasus seberat-beratnya cedera yang
memerlukan penanganan multidisipliner dan atau interdisipliner secara terpadu.

Fase Akut Fase SubAkut Fase Lanjut

waktu

0-48 (72) jam s/d 21 (32) hari s/d 8-12 bulan

Deteriorasi SIRS & MODS Parut:


ABC Hipertrofik
Keloid
Kontraktur

Ket: A = Airway, B Breathing, C = Circulation. SIRS: Systemic Inflammatory Response Syndrome,


MODS: Multi-system Organ Dysfunction Syndrome

Gambar 1. Skema yang menjelaskan koronologi luka bakar dengan permasalahan di setiap fase

Penanganan luka bakar fase akut lebih tepat dikelola oleh suatu tim trauma yang terdiri
dari beberapa bidang spesialis di lingkungan bedah (spesialis bedah, bedah plastik, bedah
toraks, bedah anak), anestesi dan perawatan intensif, penyakit dalam khususnya hematologi,
gastero-enterologi dan ginjal-hipertensi, gizi klinik, rehabilitasi medik, psikiatri dan psikologi
karena berkaitan dengan permasalahan perawatan kasus (pasien) kritis (critically illness).
Sementara, permasalahan yang timbul kemudian yang berhubungan dengan penyembuhan
luka serta permasalahan rekonstruksi tetap merupakan property bedah plastik. 1

1 Tidak ada batasan yang jelas dan tegas mengenai pembagian area luka bakar fase akut yang memerlukan
perawatan kasus (pasien) kritis dalam hal permasalahan luka yang memicu SIRS dan MODS dengan
penutupan luka yang mengupayakan parut minimal (problema lanjut) yang merupakan property bedah plastik.
Oleh karenanya semua disiplin ilmu bergabung dalam suatu tim multidisipliner.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 1


Moenadjat

Permasalahan pada luka bakar


Permasalahan pada luka bakar demikian kompleks. Untuk dapat menjelaskannya, maka
permasalahan yang dihadapi dipilah menurut fase atau tahapan perjalanan penyakitnya.
Dalam perjalanan penyakitnya dibedakan 3 fase pada luka bakar, yaitu:

1. Fase awal, fase akut, fase syok.


Pada fase ini permasalahan utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada saluran
nafas (misalnya, cedera inhalasi), gangguan mekanisme bernafas oleh karena adanya eskar
melingkar di dada atau trauma multipel di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi
(keseimbangan cairan-elektrolit, syok hipovolemia dan syok seluler). Gangguan yang terjadi
menimbulkan dampak yang bersifat sistemik, menyangkut keseimbangan cairan-elektrolit,
metabolisme protein-karbohidrat-lemak, keseimbangan asam basa dan gangguan sistem
lainnya. Pada fase akut ini, permasalahan di seputar luka bakar merupakan kondisi yang
umum dijumpai pada suatu crtically illness.

2. Fase setelah syok berakhir, pasca syok atau fase sub akut.
Masalah yang umum dijumpai pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS). Ketiganya
merupakan dampak dan atau perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama (cedera
inhalasi, syok) dan masalah yang bermula dari kerusakan jaringan (epitel) yang berperan
sebagai inisiator (faktor pencetus). Pada fase subakut ini permasalahan di seputar luka bakar
merupakan kondisi yang umum dijumpai pada kasus-kasus critically illness.
Dalam aspek manajemen, fase pertama dan kedua tidak dapat dipisahkan karena
menyangkut permasalahan yang sama, dimana permasalahan di fase kedua khususnya SIRS
dan MODS merupakan kelanjutan dari permasalahan di fase pertama; menurut aspek
manajemen dimaksud kedua fase ini masuk ke dalam kategori Acute Burn Injury.

3. Fase lanjut.
Fase ini berlangsung sejak penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan. Tidak ada
batasan yang jelas kapan fase ini dimulai, karena mungkin saja bermula selama fase subakut.
Masalah yang dihadapi adalah penutupan luka (proses epitelisasi) dan penyulit dari luka bakar;
berupa parut hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang terjadi karena kerapuhan jaringan
atau struktur tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama; yang menjadi
karakteristik luka bakar (misal, kerapuhan tendon ekstensor pada jari-jari tangan yang
menyebabkan suatu kondisi klinis yang disebut bouttonirre deformity dan atau kontraktur
lainnya).

Klasifikasi luka bakar


Luka bakar dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan penyebab dan kedalaman
kerusakan jaringan; yang perlu dicantumkan dalam diagnosis, yaitu:

a. Berdasarkan penyebab
Berdasarkan penyebabnya, luka bakar dibedakan atas beberapa jenis, antara lain 2:
o Luka bakar karena api
o Luka bakar karena minyak panas
o Luka bakar karena air panas
o Luka bakar karena bahan kimia (yang bersifat asam kuat atau basa kuat)
o Luka bakar karena listrik dan petir
2 Berdasarkan urutan berat-ringan luka bakar dikaitkan dengan penyebab, luka bakar listrik dan kimiawi
menempati urutan pertama, diikuti api, radiasi, minyak panas, lalu air panas (koloid, air panas murni).

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 2


Moenadjat

o Luka bakar karena radiasi


o Cedera akibat suhu sangat rendah (frost bite).

Epidermis

Dermis

Jaringan subkutan

Gambar 2. Potongan kulit normal. Dikutip dari Burn Module: WoundManagement http://www.burnsurgery.org

b. Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan


Berdasarkan kedalaman luka, luka bakar dibedakan menurut derajat kerusakan, luka bakar
dibedakan menjadi:

Luka bakar derajat I


Kerusakan terbatas pada bagian permukaan (superfisial) epidermis
Kulit kering, hiperemik memberikan efloresensi berupa eritema
Tidak dijumpai bula
Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.
Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 5-10 hari
Contoh luka bakar derajat I adalah luka bakar akibat sengatan matahari (sun-burn)
Epidermis mengalami
kerusakan, sementara
dermis tetap utuh

Gambar 3. Luka Bakar derajat satu. Dikutip dari Burn Module: WoundManagement http://www.burnsurgery.org

Luka bakar derajat II (Superficial burn)


Kerusakan meliputi seluruh ketebalan epidermis dan sebagian dari lapisan dermis;
respons yang timbul berupa reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi (bila terdapat
kehilangan epidermis, luka terlihat basah).
Dijumpai bula, yang merupakan karakteristik dari luka bakar derajat dua dangkal. Bula
merupakan suatu bentuk epidermolisis (epidermis terlepas dari dasarnya) disertai proses

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 3


Moenadjat

eksudasi, dimana cairan ini berkumpul di ruang yang terbentuk akibat proses
epidermolisis.
Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi di atas permukaan kulit
normal (karena adanya edema)
Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.
Dibedakan menjadi 2 (dua): derajat dua dangkal dan derajat dua dalam.
a. Derajat II dangkal (Superficial partial thickness burn)
Kerusakan mengenai sebagian (bagian superfisial) dari dermis
Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih
utuh.
Penyembuhan terjadi secara spontan umumnya dalam waktu 10-14 hari, hal ini
dimungkinkan karena lamina basalis masih utuh, ditunjang dengan keutuhan
apendises kulit.

Gambar 4. Kiri Luka bakar derajat dua dangkal ditandai adanya bula dan kanan derajat
dua dalam, tanpa bula. Foto: koleksi pribadi

b. Derajat II dalam (Deep partial-thickness burn)


Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis
Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea
sebagian masih utuh.
Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung apendises kulit yang tersisa.
Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari tiga minggu atau lebih
lama.

bula 2o

Gambar 5. Kiri: Luka bakar derajat dua dangkal mengenai epidermis dan sebagian (superfisial)
dermis ditandai dengan adanya bula. Kanan: derajat dua dalam tanpa bula, kadang meragukan
dengan luka bakar derajat tiga. Dikutip dari Burn Module: WoundManagement
http://www.burnsurgery.org

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 4


Moenadjat

Luka bakar derajat III (Full thickness burn)


Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan lapisan yang lebih dalam 3.
Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea mengalami
kerusakan.
Tidak dijumpai bula
Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat. Kering, letaknya lebih rendah
dibandingkan kulit sekitar akibat koagulasi (denaturasi) protein pada lapis epidermis dan
dermis (dikenal dengan sebutan eskar).
Secara teoritis tidak dijumpai rasa nyeri, bahkan hilang sensasi karena ujung-ujung
serabut saraf sensorik mengalami kerusakan / kematian.
Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan baik dari dasar
luka, tepi luka, maupun apendises kulit.

3o

Eskar

Eskar dengan lapis epidermis nekrosis

Gambar 6. Luka bakar derajat tiga, melibatkan / mengenai seluruh dermis bahkan lapisan lebih dalam.
Karakteristik luka bakar derajat tiga ditandai adanya eskar tebal dan jaringan nekrosis (kanan). Dikutip
dari Burn Module: WoundManagement http://www.burnsurgery.org. Foto: koleksi pribadi.

Kedalaman dan kerusakan jaringan ini ditentukan oleh peran beberapa faktor, antara lain:
1. Penyebab (api, air panas, ledakan, bahan kimia, listrik).
2. Lama kontak antara tubuh dengan sumber panas.

Penyebab
Kerusakan jaringan disebabkan api lebih berat dibandingkan air panas; kerusakan jaringan
akibat kontak dengan bahan bersifat koloid (misal bubur panas, aspal) lebih berat
dibandingkan air panas.
Luka bakar akibat listrik memiliki kekhususan. Kerusakan jaringan tubuh disebabkan oleh
beberapa hal, diantaranya:
a) Aliran listrik (arus bolak-balik, Alternating Current/AC) merupakan energi dalam jumlah
besar yang menimbulkan panas. Berasal dari sumber listrik, melalui bagian tubuh yang
kontak dengan sumber listrik (disebut luka masuk) dialirkan melalui bagian tubuh yang
memiliki resistensi paling rendah (yaitu cairan, darah/pembuluh darah) dan serabut saraf;
melalui bagian tubuh yang kontak dengan bumi (ground). Luka di bagian tubuh yang
kontak dengan bumi disebut luka keluar. Aliran listrik dalam tubuh menyebabkan
kerusakan akibat panas yang ditimbulkan oleh resistensi jaringan. Kerusakannya dapat

3 Ada yang membagi kerusakan menjadi derajat empat, berdasarkan kerusakan yang lebih dalam: bahkan
mencapai lapisan otot dan tulang

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 5


Moenadjat

bersifat ekstensif lokal (kerusakan endotel) maupun sistemik (otak/ensefalopati, jantung/


fibrilasi ventrikel, otot/rabdomiolisis, gagal ginjal dsb.). Kerusakan jaringan bersifat lambat
tapi pasti, dan tidak dapat diperkirakan luasnya secara pasti. Hal ini disebabkan kerusakan
sistim pembuluh darah (kerusakan endotel disertai trombosis yang berlanjut dengan
terjadinya oklusi kapiler) disepanjang bagian tubuh yang dialiri listrik; semakin hari perfusi
ke distal semakin berkurang.

Gambar 7. Luka bakar listrik disebabkan arus langsung (kiri) maupun ledakan (kanan)

b) Loncatan energi yang ditimbulkan oleh udara, yang berubah menjadi api (sumber panas).
Ledakan. Selain menimbulkan luka bakar, ledakan juga menyebabkan kerusakan organ
dalaman akibat daya ledak (eksplosif).

Bahan kimia, terutama asam menyebabkan kerusakan yang hebat akibat reaksi jaringan
sehingga terjadi diskonfigurasi jaringan yang menyebabkan gangguan proses
penyembuhan.

Lama kontak
Lama kontak jaringan dengan sumber panas menentukan luas dan kedalaman kerusakan
jaringan. Semakin lama waktu kontak, semakin luas dan dalam kerusakan jaringan yang
terjadi.

Pembagian zona kerusakan jaringan


Akibat kontak dengan sumber termis, jaringan mengalami kerusakan yang dibedakan atas
3 (tiga) area kerusakan menurut Jackson:

1. zona koagulasi, zona nekrosis


daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi, atau denaturasi protein) akibat
pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan ini mengalami nekrosis beberapa
saat setelah kontak; karenanya disebut juga sebagai zona nekrosis.
2. zona statis
daerah yang langsung berada di luar / di sekitar zona koagulasi. Di daerah ini terjadi
kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan leukosit, diikuti
perubahan permeabilitas kapiler dan respons inflamasi lokal. Akibatnya terjadi gangguan
perfusi (no flow phenomena), dan proses ini berlangsung selama 12-24jam pasca cedera;
mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 6


Moenadjat

3. zona hiperemi
daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa banyak
melibatkan reaksi seluler. Tergantung keadaan umum dan terapi yang diberikan, zona
ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan; atau berubah menjadi zona kedua bahkan
zona pertama (degradasi luka).

Gambar 8. Diagram zona luka bakar pada luka bakar derajat dua. Gambar atas
dikutip dari Burn Module: WoundManagement http://www.burnsurgery.org; gambar
bawah dikutip dari Song C. Total EarlyBurn Management. Proceeding book. 3rd
Meeting of the Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells and Tissue
Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 7


Moenadjat

Perhitungan luas luka bakar


Perhitungan luas luka bakar pada dewasa menggunakan rumus sembilan (Rule of Nines) dari
Wallace, sedangkan pada anak-anak menggunakan tabel dari Lund dan Browder.

Gambar 9. Diagram Rule of Nines dari Wallace untuk dewasa didasari


atas perhitungan kelipatan 9, dimana 1% luas permukaan tubuh adalah
luas telapak tangan penderita (catatan: bukan tangan pemeriksa).

Tabel 1. Rule of Nines(dewasa) dan tabel Lund & Browder (anak)


Rule of Nines Tabel Lund & Browder
Usia (tahun) % % %
Area % Area
0-1 1-4 4-9 10-15 Dewasa 20 30 Total
Kepala dan Kepala 19 17 13 10 7
9
leher Leher 2 2 2 2 2
Trunkus Trunkus
18 13 17 13 13 13
anterior anterior
Trunkus Trunkus
18 13 13 13 13 13
posterior posterior
Bokong kanan 21/2 21/2 21/2 21/2 21/2
Bokong kiri 21/2 21/2 21/2 21/2 21/2
Genitalia 1 Genitalia 1 1 1 1 1
Lengan atas
Lengan kanan 9 4 4 4 4 4
kanan
Lengan kiri 9 Lengan atas kiri 4 4 4 4 4
Lengan bawah
3 3 3 3 3
kanan
Lengan bawah
3 3 3 3 3
kiri
Tangan kanan 21/2 21/2 21/2 21/2 21/2
Tangan kiri 21/2 21/2 21/2 21/2 21/2
Tungkai atas
9 Paha kanan 51/2 61/2 81/2 81/2 91/2
kanan
Tungkai atas
9 Paha kiri 51/2 61/2 81/2 81/2 91/2
kiri
Kaki kanan 9 Tungkai kanan 5 5 51/2 6 7
Kaki kiri 9 Tungkai kiri 5 5 51/2 6 7
Kaki kanan 31/2 31/2 31/2 31/2 31/2
Kaki kiri 31/2 31/2 31/2 31/2 31/2
Total 100 Total

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 8


Moenadjat

Kategori penderita

Berdasarkan berat / ringan luka bakar, dikenal beberapa kategori luka bakar 4. Kategori
terakhir diambil menurut ketentuan American Burn Association 2002, menjunjukan beberapa
perubahan dibandingkan dengan kriteria kategori sebelumnya terutama dalam hal luas yang
dikaitkan dengan kompleksitas permasalahan dan tingginya mortalitas sebagaimana diuraikan
pada bab-bab berikutnya.

Bahan Bacaan
1. Artz CP, Moncrief JA, Pruitt BA. Burns, a team approach. Philadelphia: WB Saunders & Co, 1979.
2. Asia Connection Vol.1 Issue 2, 1996, Critical care of burns patients, p:9
3. Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM. Grabb & Smith's plastic surgery. Philadelphia: Lipincott Raven, 1997;
p61.
4. Boswick JAJ, Jr. The art & science of burn care. Rockville-Maryland: Royal Turnbridge wells: Aspen
Publication, 1987; p145.
5. Dimick AR. Burn and cold injury. In: Hardys textbook of surgery. Philadelphia: JB Lippincott Company, 1983;
p.177.
6. Hinds CJ, Watson D. Intensive care: a concise textbook 2nd ed. London: WB Saunders, 1996
7. Jackson D, Mac G. The William Gissane lecture, 1982.
8. McCarthy JG. Plastic surgery vol. I. Philadelphia: WB Saunders Co, 1990; 787.
9. Muller HJ, Herndon DN. The challenge of burns. Lancet, 1994; 343: 216-220.
10. The burn wound: its character, closure and complications. J Burns 1983; 10:1-8.
11. Herndorn, DN. Total Burn Care, 2nd ed. London: Saunders, 2002; p.49.
12. American Burn Association. Advanced Burn Life Support Course, Providers manual. 2001.
13. Hettiaratchy S, Dziewulski P. ABC of burns: Pathophysiology and types of burns. Clinical review. BMJ 328
2004 available in website: http://www.bmj.com
14. Milner SM, Smith SE. Orders in Burn Care, 2nd ed. Spriegfield, IL. Jan 2005. American Burn Association.
Available in website: http://www.ameriburn.org/member
15. Recommendations for Intensive Care Unit Admission and Discharge Criteria. The Task Force on Guidelines.
Society of Critical Care Medicine. Critical Care Medicine 1998;16(8):807-8.

4Kategori penderita ini ditujukan untuk kepentingan prognosis, yang berhubungan dengan angka morbiditas dan
mortalitas

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 9


Moenadjat

16. Burn Center Admission Criteria. 20th Annual Business Meeting of the American Burn Association, Seattle,
1988.
17. Guidelines for ICU Admission, Discharge, and Triage. Society of Critical Care Medicine. Critical Care
Medicine 1999; 27(3):633-638.
18. Heimbach D, Mann R, Engrav L. Evaluation of the Burn Wound. Management Decisions. Total Burn Care
1996;81-86.
19. Esses SI, Peters WJ: Electrical Burns: Pathophysiology and Complications. Cand J Surg 1981; 24:11-14.
20. Robson MC, Smith DJ. Care of the thermally injured victim. In: Jurkiewicz MJ, Krizek TJ, Mathes SJ, Ariyan
S, editors. Plastic Surgery: Principles and practice. St Louis: CV Mosby Company 1990.
21. Christensen JA, Sherman RT, Balis GA, Waumett JD: Delayed Neurologic Injury Secondary to High Voltage
Currents with Recovery. J Trauma 1980;20:166-168.
22. Arnoldo BD, Purdue GF, Kowalske K, Helm PA, Burris A, Hunt JL. Electrical Injuries: a 20-year review. J Burn
Care Rehabil. 2004;25(6):479-84.
23. Song C. Total EarlyBurn Management. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore):
Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 10


Moenadjat

Bab II

Prognosis dan Sistim Skoring


Luka Bakar
Yefta Moenadjat

rognosis pada kasus luka bakar ditentukan oleh beberapa faktor, dan menyangkut
P mortalitas dan morbiditas atau burn illness severity and prediction of outcome; yang mana
bersifat kompleks.
Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis diantaranya 1. Jenis luka bakar,
kedalaman, lokasi, trauma penyerta; 2. Respons pasien terhadap trauma dan terapi dan 3.
Terapi (penatalaksanaan). Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut, seorang ahli bedah
dapat memperkirakan berat ringan bahkan memprediksi prognosis. Berbagai penelitian dan
upaya dilakukan untuk memperoleh nilai prediktif atau indikator yang dapat digunakan sebagai
instrumen memperkirakan derajat keparahan maupun angka mortalitasnya.
Dengan suatu instrumen tertentu, seorang ahli bedah dapat memprediksi menurut
perhitungan statistik, derajat keparahan serta kemungkinan hidup seorang penderita.
Instrumen dimaksud adalah sistim skoring. Sistim skoring diterapkan dengan tujuan
memperoleh suatu nilai atau indeks yang dapat memberikan gambaran atau dengan kata lain,
memiliki nilai prediktif terhadap baik morbiditas maupun mortalitas penderita. Efektivitas sistim
skoring terbukti memiliki nilai prediktif dan bermanfaat memberi gambaran pada kasus trauma,
termasuk penatalaksanaannya.

Sistim ini selain dipakai untuk menunjukan prognosis dan kemungkinan hidup (probability
survival); juga menggambarkan tingkat keberhasilan maupun respons penderita terhadap
terapi, serta kendala yang dihadapi. Lebih lanjut, ditinjau dari sudut pandang pelayanan
kesehatan, instrumen ini dapat digunakan sebagai suatu parameter audit mutu pelayanan.
Namun sayangnya pada kasus luka bakar (sebagai suatu bentuk kasus trauma), sistim
skoring trauma lain yang ada tidak dapat diterapkan, karena sebagai suatu kasus seberat-
beratnya trauma, luka bakar memiliki banyak spesifikasi dengan kompleksitas masalah yang
ada.
Para ahli mengupayakan penelitian untuk menerapkan sistim skoring pada kasus luka bakar
ini.
Meskipun banyak faktor yang berpengaruh pada prognosis dan indikator-indikator terhadap
derajat keparahan telah diketahui sebagaimana dijelaskan (faktor pasien, faktor trauma dan
faktor penatalaksanaan), respons individu baik terhadap trauma maupun terapi merupakan
faktor yang harus diperhitungkan. Hal ini menjelaskan mengapa seseorang dengan mortality
probability (MP) 1.0 bukan berarti kehilangan kemungkinan hidupnya.

Faktor-faktor yang berperan

Beberapa faktor yang berperan dikelompokkan dalam 3 (tiga) aspek; yaitu faktor penderita,
faktor trauma dan faktor penatalaksanaan.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 11


Moenadjat

Kondisi umum penderita

Faktor usia
Prognosis luka bakar umumnya jelek pada usia yang sangat muda dan usia lanjut (Barnes
1957, Roi dkk 1981). Pada usia yang sangat muda (terutama bayi) beberapa hal mendasar
menjadi perhatian, antara lain sistim regulasi tubuh yang belum berkembang sempurna;
komposisi cairan intravaskuler dibandingkan cairan ekstravaskuler, interstisium dan intraseluler
yang berbeda dengan komposisi pada manusia dewasa, sangat rentan terhadap suatu bentuk
trauma.
Sistim imunologik yang belum berkembang sempurna merupakan salah satu faktor yang
patut diperhitungkan, karena luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat
imunosupresi.
Pada usia lanjut, proses degeneratif pada sistem, organ dan sel merupakan salah satu
faktor yang mengurangi akseptabilitas (toleransi), daya kompensasi dan daya tahan tubuh
terhadap trauma (Knaus 1981).

Faktor pasien
Kondisi umum Usia, gizi, gender
Kelainan kardiovaskuler
Kelainan neurologik
Kelainan paru
Faktor premorbid Kelainan metabolisme
Kelainan ginjal
Kelainan psikiatrik
Kehamilan
Faktor trauma
Luka bakar
Jenis, luas & kedalaman
Trauma penyerta
Faktor penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan pra rumah sakit (Prehospital treatment )
2. Penatalaksanaan di rumah sakit (Inhospital treatment)
Fase awal ( fase akut, fase syok )
Fase selanjutnya

Faktor gizi
Faktor yang merupakan modal seseorang dalam konteks daya tahan terhadap suatu
bentuk trauma. Pada orang normal, luka bakar menimbulkan suatu bentuk stres metabolisme
yang berat. Energi yang diperlukan untuk aktivitas sehari-hari (biasa), untuk menjalankan
fungsi organ dan sistem ditambah untuk keperluan proses penyembuhan; hilang bersama
proses penguapan (evaporative heat loss). Deteriorisasi pengaturan terjadi, sehingga
merupakan beban yang berat sehingga cadangan energi tubuh (lean body mass) saja tidak
mencukupi kebutuhan. Dapat dibayangkan bilamana proses ini terjadi pada seorang dalam
status kurang gizi.

Faktor gender
Meskipun wanita dianggap sebagai kaum lemah, namun pada kenyataannya daya tahan
tubuh seorang wanita umumnya lebih tinggi dibanding kaum pria. Secara statistik diperoleh
data bahwa angka kesakitan pada wanita memang lebih tinggi dibanding pria, namun angka
kematian pria jauh diatas kaum wanita. Faktor hormonal diduga berperan pada mekanisme
maupun proses regulasi sistemik.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 12


Moenadjat

Kehamilan
Bukan hanya masalah hormonal pada wanita, tetapi kehamilan merupakan faktor yang
memperberat kondisi luka bakar demikian pula sebaliknya. Luka bakar yang terjadi pada
wanita hamil memiliki angka mortalitas 70-80% (Marthens 1982).

Faktor premorbid
Beberapa faktor berperan pada morbiditas dan mortalitas kasus luka bakar.

Kelainan kardiovaskuler
Luka bakar merupakan trauma berat yang menyebabkan beban pada sistim
kardiovaskuler. Jantung sebagai pompa mengalami beban yang sangat berat, baik pada fase
awal (fase akut, fase syok) maupun setelah fase akut berlalu. Kondisi hipovolemi intravaskuler
dan penimbunan cairan di jaringan ekstravaskuler memacu jantung bekerja ekstra melakukan
kompensasi pre dan after load. Mekanisme kompensasi tentu memiliki limitasi, disaat daya
kompensasi jantung tidak lagi mampu menahan beban tersebut, kegagalan fungsi timbul dan
biasanya berakhir dengan kematian.
Penelitian-penelitian terakhir mengidentifikasi adanya suatu mediator Myocardial Depressant
Factor (MDF) yang dilepas pada reaksi inflamasi sistemik sebagai respons tubuh terhadap
trauma berat; merupakan wacana baru yang menjelaskan terjadinya disfungsi.
Bagaimana proses tersebut dapat ditolerir bila seseorang dengan kelainan jantung (seperti
dekompensasi kordis, infark miokard, penyakit jantung sklerotik atau penyakit jantung
hipertensif, dsb) mengalami taruma berat seperti luka bakar; dengan sendirinya prognosisnya
sangat buruk.
Proses degeneratif pada pembuluh darah (seperti aterosklerosis) menyebabkan gangguan
yang terjadi pada proses luka bakar bertambah berat, dan mungkin bersifat ireversibel.

Kelainan neurologik
Otak merupakan organ yang sangat sensitif, memerlukan oksigenasi mutlak; dalam 4 menit
saja terjadi kondisi hipoksik akan berakhir dengan kerusakan sel-sel glia. Kerusakan otak
akibat luka bakar yang sejak dulu dikenal dengan istilah burn encephalopathy merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan prognosis luka bakar menjadi sangat buruk.
Seseorang dengan kelainan neurologik dan gangguan sirkulasi otak (stroke) yang mengalami
trauma luka bakar prognosisnya menjadi sangat buruk.

Kelainan paru
Proses pertukaran gas (oxygen exchange) dan difusi alveoli merupakan kunci perfusi dan
oksigenasi jaringan; gangguan sirkulasi dan perfusi pada kasus luka bakar tidak menunjang
proses yang pertukaran ini. Beberapa keadaan yang sering dijumpai pada kasus luka bakar
antara lain adalah ARDS dan edema paru. ARDS timbul sebagai reaksi yang merupakan
bagian dan mendahului SIRS; acapkali dijumpai pada kasus luka bakar yang disertai cedera
inhalasi. Kondisi ini merupakan penyulit pada kasus luka bakar dan memiliki prognosis buruk.
Edema paru merupakan penyulit dari terapi cairan yang masif. Edema interstisium dan
intraseluler pada parenkim paru memiliki angka mortalitas yang tinggi.
Pada penderita yang memiliki kelainan paru karena sebab apapun, prognosis menjadi
semakin buruk dan angka mortalitas meningkat berlipat ganda.

Kelainan metabolisme
Gangguan metabolisme timbul sebagai respons pada trauma berat termasuk luka bakar.
Gangguan metabolisme ini melibatkan seluruh sitem dan organ yang berperan pada
metabolisme; hipofisis, tiroid, pankreas, kelenjar suprarenal dsb. Kondisi hipometabolisme

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 13


Moenadjat

terjadi pada fase awal (fase akut, fase syok) yang segera diikuti kondisi hipermetabolik pada
fase selanjutnya. Kondisi tubuh yang mengalami gangguan perfusi dan oksigenasi memicu
pelepasan hormon-hormon stres yang memengaruhi kerja dan fungsi organ sistemik.
Pada penderita dengan kelainan metabolisme seperti tiroid (penyakit Von Grave), diabetes
melitus, diabetes insipidus atau lainnya, prognosis menjadi semakin buruk.

Kelainan ginjal
Ginjal sebagai salah satu organ perifer mengalami beban paling berat pada kondisi trauma
seperti luka bakar. Gangguan sikulasi merupakan faktor penyebab utama kegagalan fungsi
ginjal (pre renal). Dengan adanya kerusakan jaringan (khususnya otot-otot) yang ditandai
adanya asam laktat dan myoglobin dalam sirkulasi, menyebabkan kerusakan tubulus ginjal
yang bersifat permanen. Dengan timbulnya kerusakan ginjal, prognosis menjadi buruk.
Dapat dibayangkan bila kondisi ini terjadi pada seorang yang sebelumnya mengalami
kerusakan atau kelainan ginjal, maka prognosisnya menjadi lebih buruk.

Kelainan psikiatrik
Gangguan psikiatrik sebelum trauma memberikan beberapa tanda, antara lain kurang atau
mungkin tidak kooperatif. Efek depresif obat-obatan psikofarmaka maupun psikotropika sering
mengaburkan gejala dan tanda klinis; dengan menurunkan kinerja organ / sistem.

Faktor trauma
Jenis, luas dan kedalaman luka merupakan faktor-faktor yang memiliki nilai prognostik.
Sebelum tahun 1949, orientasi berat-ringannya luka bakar hanya terpaku pada luas luka. Pada
tahun-tahun selanjutnya disadari bahwa jenis dan kedalaman luka bakar memiliki peran yang
sama.

Jenis luka bakar


Berat-ringan luka bakar berhubungan dengan jenis penyebab luka bakar; di tempat
pertama adalah luka bakar disebabkan oleh listrik dan petir; kedua, oleh karena zat kimia (baik
asam maupun basa); ketiga, oleh karena api, dan keempat oleh karena minyak panas, terakhir
oleh air panas. Kerusakan yang disebabkan oleh cedera listrik dan kimia demikian hebat dan
memiliki kekhususan. Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api dan
ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi paling
rendah; dalam hal ini cairan. Kerusakan terutama pada pembuluh darah, khususnya tunika
intima, sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Kerusakan bersifat progresif dari
waktu ke waktu. Seringkali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan
sumber arus maupun ground. Bahan kimia menyebabkan destruksi jaringan karena reaksi
kimiawi yang timbul. Destruksi jaringan demikian hebat terutama disebabkan oleh asam atau
basa kuat. Luka bakar disebabkan bahan kimia sering kali disertai gangguan metabolisme dan
berlanjut dengan chemical pneumonitis.
Pada luka bakar oleh sebab listrik dan kimia, sering dijumpai kondisi hemoglobinuria atau
lebih tepat dikatakan mioglobinuria; dimana mioglobin ini merupakan cerminan derajat
kerusakan jaringan.
Jenis lain yang menimbulkan masalah barkaitan dengan tingginya angka mortalitas adalah
ledakan (blast injury), selain paparan terhadap cedera termis, ledakan menyebabkan cedera
alat dalaman yang memperberat keadaan.
Luas luka bakar
Semakin luas permukaan tubuh tercederai, semakin berat kondisi trauma dan semakin
buruk prognosisnya.
Kedalaman luka bakar

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 14


Moenadjat

Bukan hanya luas permukaan saja yang berperan pada berat ringannya luka bakar, tetapi
juga kedalaman luka. Semakin dalam jaringan yang rusak, semakin berat kondisi luka
bakar dan semakin jelek prognosisnya. Disisi lain, proses penyembuhan berjalan lebih
lama, dengan proses yang jauh lebih rumit, sehingga menimbulkan derajat kecacatan yang
tinggi pula.
Lokasi
Beberapa bagian tubuh terpapar pada kondisi yang berkaitan dengan berat-ringan luka
bakar. Daerah muka dan leher dengan edema yang prominen mungkin disertai cedera
inhalasi yang tidak manifes; edema laring acapkali dijumpai pada kasus ini. Perineum dan
daerah anus memiliki sukseptibilitas terkontaminasi kuman patogen seperti p. aurogenosa
dan e. colli. Daerah sendi dan tangan memiliki aspek lain pada proses penyembuhan;
berhubungan dengan fungsi organ strukturil yang menimbulkan morbiditas yang tinggi.
Trauma penyerta
Ledakan atau blast injury menyebabkan kerusakan alat dalaman; di rongga toraks
menyebabkan kontusi paru yang berkembang menjadi ARDS, atau cedera hepar maupun
alat dalaman lain di rongga peritoneum.
Respons Individu terhadap trauma
Setiap individu memiliki respons berbeda terhadap suatu penyakit, termasuk trauma. Daya
tahan tubuh, status imunologik dan gizi sangat nyata berperan dalam respons yang timbul
(Marshal & Dimmick 1983).
Respons individu terhadap penatalaksanaan / terapi
Hal yang sama dengan respons individu terhadap trauma, pengobatan memberikan
respons yang berbeda pada tiap individu.

Faktor penatalaksanaan
Pada dekade tahun 1970-an, prognosis luka bakar didominasi oleh sepsis, namun pada
dekade tahun 1980-an cedera inhalasi menempati urutan pertama yang memiliki nilai
prognostik. Pada pengamatan dan analisis lebih lanjut, syok ternyata menjadi faktor yang nyata
berperan dalam menentukan prognosis; menenmpati urutan kedua setelah cedera inhalasi.
Hal tersebut disadari sejak traumatologi berkembang, dan prioritas penatalaksanaan kasus
trauma (ABC traumatologi) diterapkan.

Penatalaksanaan pada fase awal / akut / syok


Cedera Inhalasi merupakan faktor yang secara nyata memiliki korelasi dengan angka
mortalitas. Kematian akibat cedera inhalasi terjadi dalam waktu singkat, dalam 8 sampai
dengan 24jam pertama pasca cedera. Pemasangan pipa endotrakea dan atau krikotirotomi
merupakan suatu tindakan mandatorik pada kasus dengan kecurigaan adanya cedera
inhalasi. Sementara penatalaksanaan lanjutan setelah tindakan penyelamatan tersebut
(terapi inhalasi, pembebasan saluran nafas dari produk sekret mukosa, pengaturan posisi
penderita dan fisioterapi se awal mungkin); masing-masing turut berperan pada
keberhasilan terapi awal. Penderita yang bertahan hidup setelah ancaman cedera inhalasi
dalam waktu 8-24jam pertama ini, masih dihadapkan pada komplikasi saluran pernafasan
yang biasanya terjadi dalam 3-5 hari pasca trauma. Komplikasi dari cedera inhalasi,
dikenal sebagai kondisi ARDS, yang juga memiliki prognosis sangat buruk.
Gangguan breathing mechanism. Eskar melingkar menghalangi daya ekspansi rongga
toraks dan menurunkan compliance paru, karenanya pada kesempatan survei primer,
eskar melingkar di rongga torak harus ditatalaksanai (eskarotomi). Cedera lain yang
mungkin terjadi bersamaan, seperti penumotoraks dsb. harus ditatalaksanai pada
kesempatan pertama, karena memiliki angka mortalitas tinggi.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 15


Moenadjat

Pada luka bakar terjadi suatu kondisi yang didominasi oleh gangguan sirkulasi, hal mana
menyebabkan kondisi hipoksia jaringan. Perfusi seluler terganggu dan metabolisme aerob
berganti menjadi proses anaerob. Diketahui pula dari penelitian terakhir bahwa asam laktat
sebagai produk proses metabolisme anaerob bersifat toksik terhadap jaringan. Demikian
pula bahaya cedera reperfusi (ischaemia-reperfusion) yang menjadi salah satu penyebab
berkembangnya SIRS.
Proses oksigenasi merupakan hal yang sangat penting, dimana peran pertukaran
oksigen di paru, tranportasi oksigen oleh darah dan efektivitas perfusi pada jaringan yang
demikian sembabnya dapat berlangsung, sehingga hal-hal ini memiliki nilai prognostik.
Dalam hal dijumpai perfusi oksigenasi yang tidak baik, gangguan kesadaran dengan
manifestasi kegelisahan, disorientasi sampai penurunan kesadaran menunjukan hipoksia
otak yang memerlukan penatalaksanaan resusitasi secepatnya.
Syok menyebabkan konstriksi perifer, yang tidak hanya dimonitor dari produksi urin
tetapi juga daerah splanikus. Iskemia di daerah mesenterium menyebabkan disrupsi
mukosa usus dan gangguan peristaltik usus. ileus yang sebelumnya diduga merupakan
cerminan kondisi stres sebagaimana suatu ulkus stres, memberikan gambaran derajat
insufiensi perfusi usus. Penatalaksanaan ileus yang dahulu ditempuh dengan
memuasakan penderita merupakan suatu kesalahan yang dilakukan. Karena memuasakan
penderita dalam keadaan ini justru menyebabkan terjadinya atrofi mukosa.
Syok hipovolemi merupakan suatu proses yang terjadi pada luka bakar sedang sampai
berat. Kondisi ini terjadi bila minimal 25% jumlah cairan intravaskuler hilang. Syok yang
timbul harus diatasi dalam waktu singkat, dalam upaya mencegah kerusakan sel dan
organ bertambah parah, karena syok secara nyata bermakna memiliki korelasi dengan
angka kematian. Syok ditatalaksanai dengan pemberian cairan kristaloid tiga kali jumlah
cairan yang hilang. Dalam kondisi syok resusitasi cairan berbeda dengan penatalaksanaan
resusitasi pada kasus tanpa syok yang mengacu kepada regimen terapi cairan yang ada
(Baxter, Parkland).
Bila kondisi syok tidak diatasi dalam waktu cepat, kerusakan sel maupun organ
berlanjut, yang akhirnya berkembang menjadi disfungsi dan kegagalan menjalankan
fungsinya; kondisi yang berakhir dengan kematian.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa penatalaksanaan syok yang menggunakan
metode resusitasi cairan konvensional (menggunakan regimen terapi cairan yang ada)
dengan penatalaksanaan syok dalam waktu singkat; menunjukan perbaikan prognosis;
derajat kerusakan jaringan diperkecil (diketahui melalui pemantauan kadar asam laktat);
hipotermia dipersingkat; dan koagulopati konsumtif diperkecil kemungkinannya; ketiganya
diketahui memiliki nilai prognostik terhadap angka mortalitas.

Penatalaksanaan pada fase setelah fase akut (fase kedua)


Kehilangan/kerusakan kulit/jaringan karena cedera termis menimbulkan masalah yang
dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) golongan, dan masing-masing saling berhubungan :
Memicu stres metabolisme
Kulit sebagai organ yang memiliki fungsi mencegah penguapan; dengan sendirinya
kerusakan kulit menyebabkan penguapan berlangsung tanpa kendali; dan penguapan
yang terjadi tidak hanya sekedar cairan namun juga melibatkan protein dan energi
(evaporative heat loss). Kondidi pertama yang terjadi adalah hipotermi, yang disusul
dengan menurunnya kadar protein total, khususnya albumin. Imbalans protein timbul
sebagai akibat; namun segera disusul oleh imbalans karbohidrat dan lemak disamping
imbalans cairan yang memang sudah terjadi sebelumnya. Gangguan keempat sistem
homeostasis yang terjadi memicu pelepasan katekolamin dan hormon stres lain, sehingga
terjadi deteriorisasi sistim pengaturan; dalam kondisi gangguan sirkulasi yang belum

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 16


Moenadjat

mencapai level normal (dalam 3-4 hari pasca cedera), kondisi stres yang timbul
merupakan faktor yang memiliki nilai prognostik.
Dengan kehilangan kulit yang berperan sebagai barier terhadap infeksi, invasi kuman
menyebabkan sepsis luka yang memperberat keadaan. Kedua hal tersebut diatas dapat
menjadi faktor yang berperan dalam memicu timbulnya SIRS, MODS dan sepsis.
Memicu SIRS, MODS dan Sepsis
Jaringan yang rusak melepas kompleks lipid-protein yang dulu dikenal sebagai burn-toxin;
memiliki kekuatan ribuan kali dibandingkan endotoksin. Zat ini Toksin ini mennyebabkan
inhibsi proses fosforilasi oksidtif yang mengganggu fungsi sel (Kremer 1978, 1979) dan
memicu pelepasan sitokin dan mediator kimia lain yang berperan pada proses inflamasi
(interleukin, tomboksan, Tumor Necrotizing Factors, prostaglandin, termasuk radikal
bebas). Reaksi yang mulanya bersifat lokal berkembang menjadi suatu bentuk reaksi
sistemik, meliputi beberapa tahapan (kaskade) yang rumit; dan berkaitan dengan status
gizi dan sistim imunitas penderita. Pada SIRS yang berkembang tidak dapat dihentikan
melalui suatu intervensi; sindrom disfungsi organ multipel adalah rangkaian akhir dari
perjalanan penyakit yang berakhir dengan kematian. Bila sudah terjadi kegagalan organ
(jantung, paru, ginjal), angka kematian berkisar 70%, sedangkan mencakup beberapa
organ angka kematian berkisar 98%. Bila terbukti repons ini disebabkan oleh adanya
septikemia, maka proses tersebut disebut sebagai sepsis.
Teori lain yang menjelaskan berkembangnya sepsis adalah terjadinya translokasi bakteri
melalui mukosa usus yang mengalami disrupsi. Bakteri komensal berubah oportunistik
menjadi patogen karena adanya defek pada mukosa usus diperberat oleh tatalaksana
yang tidak rasional; termasuk memuasakan penderita, pemberian antibiotik dan antasid.
Teori ini menjelaskan toksin yang dilepas oleh bakteri-bakteri tersebut; memicu pelepasan
mediator inflamasi sebagaimana dijelaskan pada paragraf sebelumnya.

Perawatan luka
Tindakan dbridement dan pencucian luka dikerjakan setelah sirkulasi stabil, umumnya
setelah hari kedua atau ketiga. Tujuan dbridement dan pencucian luka adalah untuk memutus
rantai perkembangan SIRS, MODS dan sepsis; sebagaimana dijelaskan pada alinea
sebelumnya. Setelah tujuan ini tercapai, langkah berikutnya baru dipikirkan proses penutupan
luka dalam rangkaian proses penyembuhan.
Beberapa catatan pada perawatan luka perlu mendapatkan perhatian, antara lain:
Jenis perawatan luka tertutup atau terbuka
Perlu diperhatikan dengan memperhitungkan kebutuhan total koloid, kristaloid dan
elektrolit yang telah dijelaskan sebelumnya.
Aplikasi antiseptikum dan antibiotik
Eksisi dini yang bertujuan memutus rantai SIRS, sepsis dan MODS harus ditatalaksanai
dengan baik; melibatkan kebutuhan fasilitas yang memadai, termasuk sumber daya manusia,
teknik dan materi. Metode ini merupakan cara efektif membuang jaringan nekrosis. Resiko dari
tindakan ini adalah perdarahan, namun dengan pemberian komponen darah lengkap untuk
tujuan replacement therapy dilaporkan justru memperbaiki sistim imunitas (dilusi toksin yang
beredar dalam sirkulasi). Skin graft awal merupakan suatu tindakan mempersingkat proses
penyembuhan. Dalam konteks awal dimaksudkan segera setelah eksisi dini dilakukan; sebagai
upaya mencegah proses evaporative loss berkepanjangan. Berbagai kendala dijumpai, seperti
keterbatasan donor dan perdarahan yang berlangsung menyebabkan metode tindakan ini sulit
dilaksanakan.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 17


Moenadjat

Sistim Skoring
Ada berbagai sistim skoring yang yang digunakan untuk tujuan memperoleh gambaran
mengenai derajat keparahan dan prediksi atau prognosis kasus trauma, antara lain:
Trauma Index
Abbreviated Injury Scale (AIS, American Medical Association 1971, Baker dkk 1974)
Trauma Score
Glassgow Coma Scale
Injury severity Score (Bull 1978)
Revised Trauma Score
APACHE (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation, Knaus dkk 1981 )
APACHE II (Rhee dkk 1987 )
TRISS (Trauma Score and Injury Severity Score, 1981)

Sistim-sistim tersebut dengan kelebihan dan kekurangan serta sudut pandangnya masing-
masing diupayakan untuk menggambarkan derajat keparahan penderita, baik morbiditas
maupun mortalitas dengan kemungkinan hidupnya; yang diterapkan pada kasus-kasus trauma
termasuk luka bakar.
Bila dikaji lebih lanjut, luka bakar yang merupakan suatu jenis seberat-beratnya trauma,
memiliki kekhususan dalam penerapan sistim skoring yang disebutkan di atas.
Beberapa sistim skoring yang dicoba untuk diterapkan pada kasus luka bakar seperti AIS, tidak
mencerminkan berat ringannya luka bakar karena hanya mempersoalkan presentasi luas luka
bakar (faktor eksternal), dan artinya suatu sentrum pelayanan yang menerapkan sistim ini
mundur ke jaman sebelum Bull dan Squire (sebelum tahun 1949) mengemukakan faktor-faktor
yang berperan pada morbiditas dan mortalitas.
Berbagai kekhususan yang dimaksud, artinya harus memperhitungkan faktor-faktor dijelaskan
pada pendahuluan; berbagai penelitian dan sistim skoring diupayakan untuk memperoleh
gambaran keparahan dan kemungkinan hidup penderita dengan luka bakar.
Namun dalam literatur, dari faktor-faktor yang memiliki nilai prognostik sebagaimana
dijelaskan pada pendahuluan, hanya beberapa yang digunakan sebagai variabel dalam
perhitungan probabilitas. Hal ini sejalan dengan perkembangan pengetahuan maupun
teknologi, ditunjang oleh penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli. Variabel-variabel
lain yang tidak digunakan berkisar pada variabel-variabel yang terdiri dari beberapa
kemungkinan, tidak representatif (melalui penelitian-penelitian sebelumnya terbukti tidak
bermakna secara statistik) atau karena dianggap tidak mencerminkan keadaan sebenarnya,
atau bahkan merupakan suatu variabel yang sulit diperhitungkan secara statistik.

Variabel yang dianggap representatif adalah:


Usia (Barnes 1957), Bull & Squire 1949, Roi 1981, Knauss 1981
Masalah gizi dibahas dalam pembicaraan mengenai permasalahan yang ada pada kasus
luka bakar dan diterapkan dalam penelitian-penelitian, namun tidak diperhitungkan dalam
sistim skoring.
Kelainan paru premorbid dibahas oleh Zwacki 1979 dalam penelitiannya yang
memperhitungkan peran variabel-variabel lain, seperti usia, presentasi luas, kedalaman,
kadar oksigen arterial dan edema saluran pernafasan. Tetapi hasil penelitian ini tidak
menyinggung kepentingan menggunakan sistim skoring, atau memasukkan variabel yang
dianggapnya penting ke dalam sistim.
Kehamilan (Mathews 1982)
Pengaruh faktor trauma dibicarakan secara luas oleh berbagai peneliti, dimana hampir
semua peneliti membahas mengenai peran presentasi luas luka bakar

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 18


Moenadjat

Pengaruh luas luka bakar (sebelum 1949, AIS 1974)


Derajat kerusakan jaringan (Barret dan Settle 1987)
Kedalaman luka yang jelas berperan dalam menentukan derajat keparahan, sulit
diperhitungkan ke dalam sistim skoring. Barret 1991 mencoba memberi skor pada variabel
ini:
Burn Score, BS
o Pada kerusakan / kehilangan jaringan parsial adalah 1
o Pada kerusakan / kehilangan jaringan total (full thickness loss) adalah 2.
o Nilai skor ini tidak memiliki makna dalam perhitungan mortality probability.

Tabel 2. Bulls Mortality Probability Grid yang menggunakan variabel usia dan presentasi luas luka bakar.
Luas Usia (tahun)
(%) 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75-79 80+
93+ 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
87-92 .9 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
83-87 .9 .9 .9 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
78-82 .8 .8 .8 .8 .9 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1
73-77 .7 .7 .8 .8 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1
68-72 .6 .6 .7 .7 .7 .8 .8 .8 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1
63-67 .5 .5 .6 .6 .6 .7 .7 .8 .8 .9 .9 1 1 1 1 1 1
58-62 .4 .4 .4 .5 .5 .6 .6 .7 .7 .8 .9 .9 1 1 1 1 1
53-57 .3 .3 .3 .4 .4 .5 .5 .5 .7 .7 .8 .9 1 1 1 1 1
48-52 .2 .3 .3 .3 .3 .3 .4 .5 .6 .6 .7 .8 .9 1 1 1 1
43-47 .2 .2 .2 .2 .2 .3 .3 .4 .4 .5 .6 .7 .8 1 1 1 1
38-42 .1 .1 .1 .1 .2 .2 .2 .3 .3 .4 .5 .6 .8 .9 1 1 1
33-37 .1 .1 .1 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .3 .4 .5 .7 .8 .9 1 1
28-32 0 0 0 0 .1 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .6 .7 .9 1 1
23-27 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .6 .7 .9 1
18-22 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .1 .2 .3 .4 .6 .8 .9
13-17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .3 .5 .6 .7
8-12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .3 .5 .5
3-7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .2 .3 .4
0-2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .2 .2

Peneliti lain yang membahas peran kedalaman luka bakar adalah Bull dalam Bulls Burn
Score 1949-1971, Burn Injury Severity Score 1978 dan Shakespeare dkk 1980
Cedera inhalasi, Syok dan Septikemi dibahas dan diperhitungkan dalam sistim skoring,
antara lain
- Mortality Probability Chart, ( Bull, 1971-1975)
- Moores dkk 1975 menyempurnakan BMP-Grid agar lebih akurat dengan
menambahkan faktor seks dan adanya pyo-prone. Pyo-prone adalah konsep
yang diajukan oleh Moores, istilah untuk menjelaskan luka bakar yang terdapat di
daerah antara umbilikus dengan paha bagian medial, lebih menekankan
sukseptibilitas sepsis akibat luka di daerah perineum.
Clarks 1986 menekankan kepentingan cedera inhalasi dan membubuhkan skor 0-7 untuk
beberapa kriteria; dimana skor 2 menunjukan adanya cedera inhalasi, sedangkan skor >2
menunjukan prognosis buruk
1 Riwayat terperangkap dalam ruangan tertutup
2 Produksi sputum mengandung karbon
3 Luka bakar di daerah oro-fasial
4 Penurunan tingkat kesadaran
5 Gejala distres pernafasan
6 Tanda distres pernafasan
7 Suara parau atau hilang

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 19


Moenadjat

Tabel 3. Bulls Mortality Probability Grid yang menggunakan variabel usia dan presentasi luas luka bakar dengan
memperhitungkan ada dan tidaknya cedera inhalasi.

A. Tanpa cedera inhalasi


Luas Usia (tahun)
(%) 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75-79 80+
93+ .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
87-92 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
83-87 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
78-82 .5 .6 .6 .7 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1
73-77 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1
68-72 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1
63-67 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .7 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1
58-62 .1 .1 .2 .3 .4 .4 .5 .6 .7 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1
53-57 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 1
48-52 0 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1
43-47 0 0 1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .7 .8 .9 .9 .9
38-42 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .3 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 .9
33-37 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8
28-32 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8
23-27 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7
18-22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .3 .3 .4 .5
13-17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .4
8-12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .2 .3
3-7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2
0-2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1

B. Dengan cedera inhalasi


Luas Usia (tahun)
(%) 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75-79 80+
93+ 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
87-92 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
83-87 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
78-82 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
73-77 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
68-72 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
63-67 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
58-62 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
53-57 .7 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
48-52 .6 .7 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
43-47 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1
38-42 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1
33-37 .3 .4 .5 .6 .7 .7 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1
28-32 .2 .3 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 .9 .9 .9 1 1 1 1 1
23-27 .1 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1
18-22 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1
13-17 0 .1 .1 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .6 .7 .8 .9 .9 .9 1 1
8-12 0 0 .1 .1 .1 .2 .3 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9
3-7 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9
0-2 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9

Nomograph of Mortality Risk (Roi et all, 1981)


Acute Physiology & Chronic Health Evaluation (APACHE) dan APACHE II (1985)
Fluid Retention Index (Carlson 1987)

Sepsis Index ( Ritzman 1973, Daniel dkk 1974,Cooper and Ward, 1979, Ogle 1981, Carvajal
1981, Elebute and Stoner 1983, Stevens 1983, Moody 1985 )
Fungsi ginjal yang terganggu pada luka bakar (Raab 1972, Boyd 1976 dan Schentag 1978,
Shakespeare 1981, Yu dkk 1983) dengan parameter proteinuria yang mencerminkan fungsi
tubulus. Alpha-1 microglobulin (1m) memenuhi kriteria digunakan sebagai parameter,
sementara protein total dan albumin tidak mencerminkan permeabilitas glomerulus. Natrium,
kalium dan kreatinin serta Blood urea nitrogen merupakan indikator lain dari fungsi ginjal yang
perlu diperhitungkan. Fungsi hati yang dicerminkan oleh serum bilirubin, alkalin fosfatase dan
aspartat transaminase. Parameter fungsi tubulus menggunakan 1m kemudian digunakan
dalam sistim skoring oleh Barret 1991.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 20


Moenadjat

Reaksi imunosupresi pada luka bakar dibahas oleh Nineman 1981, Dominioni dkk 1983,
Stratta dkk 1986
Penatalaksanaan di negara-negara maju, sebagaimana penatalaksanaan trauma pada
umumnya sudah demikian baiknya, sehingga syok terutama delayed atau syok ireversibel
jarang dijumpai dan tidak lagi merupakan pokok bahasan di dalam literatur.
Efek terapi topikal diteliti oleh Peterson dkk 1985, khususnya mengenai pengaruh silver
sulfadiazine, mafenide, silver nitrat dan cerium nitrit; namun tidak membahas sistim
skoring.
Efek pembalutan lebih banyak dibahas oleh peneliti-peneliti yang berhubungan dengan
proses metabolisme dan gizi; juga tidak membahas sistim skoring.

Variabel yang sejak tahun 1991 digunakan (dalam sistim skoring yang digunakan oleh Barret)
antara lain:
Usia
Presentasi luas luka
Cedera inhalasi
Protein total serum
Alpha 1 microglobulin ( 1m )
Denyut nadi
Suhu tertinggi

Burn Illness Score


Dihitung berdasarkan ekuasi faktor-faktor yang menjadi variabel dengan suatu konstanta
dalam tabel. BIS yang diperoleh kemudian diperhitungkan dalam analisis probit berdasarkan
rumus analisis probit sebagaimana dapat dilihat di bawah ini:

e = konstanta
s = Burn Illness Score yang diperoleh dari perhitungan

misal :

Perhitungan pada hari ke 3-4


usia penderita dikalikan 0.08 =
presentasi luka dikalikan 0.10 =
cedera inhalasi dikalikan 1.84 =
Jumlah skor ( s ) =

Catatan : bila tidak dijumpai cedera inhalasi, maka jumlah keseluruhan skor dikurangi 1.84

Tabel 4. Konstanta ( e ) untuk menghitung Mortality Probability

Cedera Total
Waktu Usia Luas LB Denyut
Inhalasi Protein 1m Suhu (oC) Konstanta
(hari) (tahun) (%) nadi
(+/-) serum
0 0.13 0.16 2.78 0.099 0.000 0.00 0.64 29.4
1 0.29 0.35 6.24 1.150 0.000 0.07 0.74 120.9
2 0.12 0.15 2.71 0.021 0.005 0.05 0.32 29.1
3-4 0.08 0.10 1.84 0.156 0.007 0.03 0.72 30.3
5-6 0.20 0.23 4.40 0.337 0.030 0.02 0.11 1.8
7-8 0.31 0.35 6.79 0.076 0.024 0.10 0.04 2.0
9-12 0.28 0.33 6.28 0.183 0.019 0.10 0.02 2.0
13-15 0.27 0.33 5.90 0.263 0.033 0.10 0.01 2.0
16-19 0.03 0.05 0.73 0.095 0.014 0.04 0.03 3.5
20-22 0.03 0.05 0.68 0.115 0.002 0.04 0.10 3.5
23-26 0.02 0.05 0.57 0.000 0.020 0.00 0.05 3.4
27-29 0.06 0.09 1.43 0.005 0.004 0.06 0.05 13.7

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 21


Moenadjat

30-32 0.09 0.11 2.00 0.006 0.006 0.06 0.08 13.7

b c

Gambar 10. a. Normograf dari Roi menggambarkan perbedaan kurva antara kasus luka bakar dengan dan tanpa
cedera inhalasi. b Modifikasi normograf dikaitkan dengan posisi prone (perineal burn) dan mortality risk. c
Perhitungan skoring untuk mortality probability. Gambar-gambar dikutip dan disadur dari Principles and practice of
burns management. New York: Churchill Livingstone, 1996; 29-42.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 22


Moenadjat

Dengan demikian diperoleh hasil perhitungan yang merupakan Mortality Probability. Nilai
skor ini dihitung setiap hari selama 32 (tiga puluh dua) hari sejak terjadinya trauma. Diambil
nilai 32 ini dengan alasan setelah 32 hari kematian sangat jarang dan tidak lagi merupakan
suatu hal yang perlu diamati secara statistik.
Semakin besar nilai MP, semakin buruk prognosisnya dan Bull menetapkan nilai Vital Point
adalah 1.0. Namun lebih lanjut Bull menambahkan bahwa bila seseorang penderita dengan MP
1.0 bukan berarti kehilangan kemungkinan untuk hidup; karena luka bakar sangat dipengaruhi
oleh banyak faktor, termasuk respons penderita terhadap trauma dan penatalaksanaan.
Alternatif lain, penilaian dapat dilakukan secara mudah dengan melakukan evaluasi
melalui nomograf sebagaimana terlihat pada gambar 10.
Penulis menerapkan rumus analisis probit dan menghitung probabilitas dengan aplikasi
program Microsoft Excell untuk mempermudah, dan didapatkan 2 (dua) perhitungan yaitu
dengan dan tanpa memasukan variabel protein serum ( 1m) karena pemeriksaan 1m tidak
mudah dilakukan. Pada tampilan layar komputer, mesin kalkulator dapat dijalankan oleh setiap
petugas dan diperoleh nilai probabilitas dimaksud:

Gambar 11. Suatu program komputer (Microsoft Excel 2003) berbasis Windows Xp yang
merupakan kalkulator perhitungan probit kasus luka bakar. Program ini memudahkan
para klinikus (user) dalam melakukan perhitungan probit untuk menentukan prognosis.

Bahan Bacaan
1. Settle JAD. Principles and practice of burns management. New York: Churchill Livingstone, 1996; 29-42.
2. Martyn JAJ. Acute management of the burned patient. Philadelphia: WB Saunders Company, 1990; 12-65.
3. Artz CP, Moncrief JA, Pruitt Jr. BA. Burns, a team approach. Philadelphia: WB Saunders Company, 1979; 21-
22.
4. Philips-Duphar Nederland BV. Brandwonden, klinische aspekten huisarts eerste hulp en preventie, Philips-
Duphar Nederland BV, 1979; 19.
5. Lindblom L et.all. Role of nitric oxide in the control of burn perfusion. Burns Journal of International Society for
Burn Injuries, Vol 26 Number 1, Febr 2000; 19.
6. Holm C et al. Haemodynamic and oxygen transport rensponses in survivors and non survivor following
thermal injury, Burns Journal of International Society for Burn Injuries, Vol 26 Number 1, Febr. 2000; 25
7. Baron BJ et.all. Efffects of traditional versus delayed resuscitation on serum lactate and base deficit. Burns
Journal of International Society for Burn Injuries, Vol 43 Number 1, 1999; 39.
8. Tejero-Trujeque R. How effective is the ABSI in predicting patient mortality? Journal of Wound Care
2000;9:475-478.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 23


Moenadjat

9. Germann G, Barthold U, Lefering R, Raff T, Hartmann B. The impact of risk factors and pre-existing
conditions on the mortality of burn patients and the precision of predictive admission-scoring systems. Burns
1997;23:(3)195-203.
10. Munster A. Burn Care for the House Officer. Williams & Wilkins 1980.
11. American Burn Association. National Burn Repository 2002 Report.
12. Covington D, Wainwright D, Parks D. Prognostic Indicators in the Elderly Patient with Burns. Journal of Burn
Care and Rehabilitation 1996;17:(3) 222-230.
13. Roi L, Flora J, Davis T, Wolfe R. Two New Burn Severity Indices. The Journal Of Trauma 1983;23:(12)1023-
1029.
14. Ryan C, Schoenfeld D, Thorpe D, Sheridan W, Cassem E, Tompkins R. Objective Estimates of the
Probability of Death from Burn Injuries. New England Journal of Medicine 1998; 338(6):362-6.
15. Akhtar MA, Mulawkar PM, Kulkarni HR. Burns in pregnancy: Effect in maternal and fetal outcomes. Burns
1994;20:351-355.
16. Polko LE. McMahon MJ. Burns in pregnancy. [Review] [28 refs] Obstetrical & Gynecological Survey
1998;53(1):50-6.
17. Baue AE. The complexities of sepsis and organ dysfunction. In: Baue AE, Berlot G, Gullo A (editors). Sepsis
and organ dysfunction: Epidemiology and scoring systems, pathophysiology and therapy. Milano: Springer
Verlag; 2000. p.23-31.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 24


Moenadjat

Bab III

Permasalahan Luka Bakar fase akut


Yefta Moenadjat

S ebagaimana disebutkan pada bab pendahuluan, luka bakar dengan kompleksitas


permasalahan memerlukan perhatian secara khusus, oleh karena itu luka bakar fase akut
(dan permasalahan yang timbul di fase ini) dibahas dalam bab tersendiri. Sedangkan problema
yang berkaitan dengan luka dibahas dalam manajemen luka di fase lanjut yang juga
memerlukan perhatian khusus, akan dibahas pada bab berikutnya secara tersendiri pula.
Topik pembahasan pada luka bakar fase akut (acute burn injury) ini berkisar di seputar
permasalahan yang berkaitan dengan cedera pada saluran nafas (gangguan airway, A) yang
seringkali disebut cedera inhalasi, gangguan mekanisme bernafas (gangguan breathing
mechanism, B) dan permasalahan sistem pernafasan lanjut, serta gangguan sirkulasi
(circulation, C) sesuai dengan pendekatan traumatologi.
Pada bab ini dibahas masing-masing permasalahan yang berkaitan dengan gangguan
ABC sebagaimana dicantumkan pada paragraf sebelumnya; menjadi dasar tatalaksana
resusitasi luka bakar fase akut yang diuraikan pada bab 3.
Topik pembahasan dalam patofisiologi luka bakar fase akut diuraikan sebagai berikut:
1. Gangguan saluran pernafasan:
Adanya cedera inhalasi yang merupakan dampak cedera termis pada lapisan mukosa
saluran nafas berupa:
a. Obstruksi saluran nafas bagian atas (di atas glottis)
b. Reaksi inflamatorik mukosa saluran mulai dari di bawah glottis sampai dengan alveoli
dan parenkim paru.
Keduanya dapat disebabkan oleh kontak langsung jaringan dengan sumber termis,
maupun kontak dengan sisa pembakaran yang tidak sempurna (toxic fumes). Inti
permasalahan dari topik dalam pokok bahasan ini adalah cedera (kerusakan) mukosa
saluran nafas yang dapat menimbulkan distres pernafasan akut.
2. Gangguan mekanisme bernafas:
Adanya gangguan proses ekspansi rongga toraks karena kerusakan jaringan setelah
kontak dengan sumber termis. Gangguan gerakan ekspansi rongga toraks ini
menyebabkan penurunan compliance paru yang berlanjut dengan distres pernafasan.
3. Gangguan sirkulasi:
a. Dampak cedera termis pada sirkulasi mikro dan makro
b. Dampak cedera termis pada jaringan dan organ sistemik
Intinya adalah gangguan perfusi-oksigenasi jaringan yang terjadi karena hipovolemia yang
terjadi karena peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi mengikuti suatu cedera
termis. Di satu sisi kerusakan jaringan lokal yang cukup luas menimbulkan gangguan
sirkulasi sistemik yang berlanjut dengan Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS), di sisi lain adanya
gangguan sirkulasi sistemik menyebabkan timbulnya degradasi luka (kerusakan jaringan
lokal) sehingga timbul permasalahan lanjut: 1) SIRS dan MODS; 2) hambatan proses
penyembuhan luka (delayed atau prolonged bahkan non-healing).

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 25


Moenadjat

Gambar 12. Gangguan ABC akan menyebabkan gangguan oksigenasi jaringan dimulai dari
gangguan asupan oksigen (A ), proses difusi-perfusi (B) dan transportasi oksigen ke
jaringan. Ketiganya menyebabkan gangguan perfusi jaringan yang mengakibatkan
metabolisme seluler tidak dapat berlangsung baik. Pola tekanan oksigen sebagaimana
digambarkan di atas akan berubah. Dikutip dan disadur dari Textbook of Critical care 5th ed.
Philadelphia: Elsevier-Saunders. 2005

Pengetahuan mengenai patofisiologi luka bakar fase akut sangat penting, menjadi dasar
tatalaksana luka bakar fase akut yang mengacu pada suatu dasar rasional dan bersifat
strategis dan agresif dalam upaya menekan angka mortalitas akibat luka bakar. Perubahan
strategi tatalaksana luka bakar ini yang disebutkan sebagai paradigma baru dalam manajemen
luka bakar.
Berikut diuraikan satu persatu topik bahasan dalam sub bab mengenai patofisiologi luka
bakar fase akut (gangguan ABC traumatologi), gangguan metabolisme pada luka bakar fase
akut, serta SIRS dan MODS pada luka bakar dengan pembahasan khusus mengenai Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS).
Dalam uraian topik bahasan patofisiologi luka bakar fase akut (yaitu gangguan ABC) ini
terkait beberapa masalah, antara lain:
- Gangguan metabolisme
- Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ
Dysfunction Syndrome (MODS)
- Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
- dan perdarahan saluran cerna yang dahulu dikenal sebagai ulkus stres.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 26


Moenadjat

Bab III

1. Patofisiologi Luka Bakar fase akut


Yefta Moenadjat

atofisiologi luka bakar fase akut dikaitkan dengan beberapa topik pembicaraan, antara lain
P cedera jalan nafas atau lebih sering disebut menggunakan istilah cedera inhalasi,
gangguan mekanisme bernafas dan gangguan sirkulasi atau syok.

3.1.1. Cedera Inhalasi

Cedera inhalasi adalah terminologi yang digunakan untuk menjelaskan perubahan


(kerusakan) mukosa saluran nafas akibat adanya paparan terhadap iritan yang menimbulkan
manifestasi klinik distres pernafasan. Reaksi yang timbul akibat paparan terhadap iritan berupa
suatu bentuk inflamasi akut dengan edema dan hipersekresi mukosa saluran nafas. Iritan
dimaksud dalam hal ini jarang (di bawah 3%) berupa suatu kontak langsung dengan sumber
termis, hal ini disebabkan karena adanya refleks fisiologik yang merupakan mekanisme
pertahanan pada orang normal dengan upaya menahan nafas. Dan bila hal ini terjadi, biasanya
patologi yang dijumpai berada di atas glottis, umumnya terjadi akut (dalam 24 jam pertama
pasca cedera) dan bersifat fatal bila tidak ditatalaksanai secara baik. Yang kedua, disebabkan
oleh efek kimiawi dari iritan. Iritan dimaksud biasanya berupa produk toksik dari sisa
pembakaran yang tidak sempurna (toxic fumes) misalnya karbon-mono-oksida atau zat kimia
lainnya. Oleh karenanya, paparan ini dimungkinkan terjadi pada kecelakaan yang disebabkan
(asap) api atau zat kimia dimana penderita terperangkap di ruang tertutup, atau korban dalam
keadaan tidak sadarkan diri. Sering terjadi di gedung-gedung dengan alas karpet (rugs) yang
memenuhi / menutupi lantai dan mudah terbakar.
Pada pemeriksaan fisik umumnya dijumpai luka bakar di daerah muka dengan bulu hidung
terbakar, dijumpai karbon atau sisa pembakaran di sekitar mulut, lidah dan tenggorok.

Gambar 13. Patologi mukosa saluran nafas bagian atas. a) Edema laring, b) Deposit karbon pada korda vokalis,
c) Sloughing mucosa. Dikutip dari Baret JP, Herndon DN. Color atlas of burn care. London: WB Saunders; 2001.

Pada pemeriksaan laringoskopik dan atau bronkoskopik, tampak patologi mukosa berupa
eritem, edematus dan kadang disertai ulserasi serta hipersekresi. Edema mukosa masif di
saluran nafas bagian atas (di sekitar glotis) menyebabkan obstruksi lumen akut disertai distres
pernafasan, biasanya disebabkan cedera termis, dapat terjadi dalam waktu 24 (dua puluh
empat) jam pasca cedera; kondisi ini memiliki korelasi dengan tingginya angka kematian luka
bakar pada fase akut.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 27


Moenadjat

Cedera di bawah glotis didominasi oleh proses inflamasi akut pada mukosa yang berlanjut
dengan disrupsi dan maserasi epitel (sloughing mucosa). Epitel-epitel ini bercampur dengan
sekret membentuk gumpalan sekret (kental, liat) oleh karena banyak mengandung fibrin-fibrin
dan epitel maseratif, menyebabkan obstruksi lumen (mucus plug); menimbulkan distres
pernafasan yang seringkali berakhir dengan kematian. 5 Biasanya kejadian ini disebabkan oleh
karena paparan terhadap dengan toxic fumes yang dijelaskan sebelumnya.

obstruksi lumen

Gambar 14. Perubahan inflamatorik pada mukosa menyebabkan penyempitan (obstruksi) lumen pada cedera
inhalasi. Obstruksi lumen tidak selalu diikuti atau menyebabkan bronkospasme (spasme otot polos bronkus
sebagaimana dijumpai pada asma bronkial) kecuali pada luka bakar listrik dan kimia.

Gambar 15. Kolaps pulmonar dengan cast pada pemeriksaan post-mortem (kiri). Tengah: cast terdiri dari sekret
kental bercampur dengan sloughing mucosa dan fibrin membentuk mucus plug penyebab obstruksi jalan nafas
(kanan). Dikutip dari Baret JP, Herndon DN. Color atlas of burn care. London: WB Saunders; 2001.

Perubahan inflamatorik (lanjut) mukosa bagian bawah akibat kontak dengan sumber
(termis maupun kimiawi) biasanya terjadi lebih lambat (dalam 4-5 sampai dengan 5-7 hari
pasca cedera). Proses inflamatorik mukosa saluran nafas ini juga dikaitkan dengan peran
sitokin dan radikal bebas. Pelepasan mediator-mediator inflamasi ini dipicu oleh sel-sel epitel
mukosa yang mengalami proses inflamasi akut dan epitel yang mengalami nekrosis (baik pada
saluran nafas, mukosa saluran cerna dan luka maupun jaringan lain yang mengalami hipoksia
karena gangguan sirkulasi-perfusi).
Sebukan sel-sel radang akut khususnya neutrofil dan leukosit polimorph-nuclear (PMN)
dimobilisir ke lokasi ini sebagai respons tubuh (proses penyembuhan yang bersifat positif).
Namun, dengan terjadinya patologi mukosa yang demikian hebat, respons inflamasi berubah
sifat, eksageratif dan sel-sel neutrofil serta leukosit PMN yang beredar di sirkulasi sistemik
menimbulkan perubahan inflamatorik pada susunan pembuluh darah kapiler peri-alveolar dan
parenkim paru maupun jaringan/organ tubuh lainnya (efek negatif dan destruktif dari respons

5 Bila hal ini diwaspadai, pasien dapat diselamatkan dari suatu kondisi distress pernafasan hanya dengan
melakukan pembersihan (penghisapan) berkala dan atau lavase bronko-alveolar.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 28


Moenadjat

inflamasi). Akibat adanya edema interstisium di sekitar alveoli dan adanya penumpukan fibrin,
pada mukosa alveoli terbentuk suatu membran tebal menyerupai hialin yang mengakibatkan
gangguan difusi oksigen (oxygen exchange) dan gangguan perfusi oksigen (VQ mismatch).
Kondisi ini dikenal dengan sebutan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS); umumnya
timbul pada empat-lima hari pasca cedera termis, memiliki prognosis sangat buruk (lihat bab
3.4 mengenai ARDS, halaman 87). Kondisi ini dimasukkan ke dalam kelompok permasalahan
sistim pernafasan lanjut dari gangguan saluran nafas dan gangguan mekanisme bernafas pada
fase akut.

Gambar 16. Patologi bronkus post-mortem pada cedera inhalasi.


Perhatikan adanya sloughing mucosa dengan proses hemoragik. Dikutip
dari Baret JP, Herndon DN. Color atlas of burn care. London: WB
Saunders; 2001.

Pemberian oksigen konsentrasi tinggi (>10 liter per menit) merupakan suatu bentuk pemicu
timbulnya stres oksidatif yang menyebabkan cedera parenkim paru sehingga berlangsung
proses fibroproliferatif (hepatisasi parenkim paru) yang memperburuk prognosis.

Aktivitas mediator

Beberapa mediator pro inflamasi terlibat pada proses ini, antara lain eikosanoid yang diaktivasi
oleh oksidan dan leukotrien. Neutrofil protease diproduksi oleh sel-sel yang rusak
menyebabkan terjadinya sloughing mucosa. Neuropeptida (diproduksi di submukosa)
sebagaimana neutrofil berperan pada proses ini; neuropeptida diketahui berperan sebagai
suatu bronkokonstriktor poten mengikuti suatu cedera, menyebabkan peningkatan aliran darah
dan perubahan permeabilitas kapiler.
Endopeptidase yang diproduksi mukosa berperan dalam menetralisir agen-agen ini; jumlahnya
menurun bahkan hilang akibat kerusakan mukosa sebagaimana dijumpai pada cedera inhalasi,
dengan konsekuensi meningkatnya aktivitas respons neuropeptida yaitu peningkatan
Bronchoconstriction Substance P dan Neurokanin Activity (NKA) lainnya. Mekanisme ini
bersifat persistem dan kadang permanen meningkatkan iritabilitas saluran nafas dan proses
bronkospasme (SP) dan gangguan permeabilitas kapiler (NKA).

Mediator sekunder yang terlibat:


Oksidan yang berasal dari asap, sel-sel yang mengalami inflamasi atau akibat reaksi zat
toksik dengan sel.
Protease yang dilepas dari proses inflamasi di saat aktivitas antiprotease menurun
Sitokin (TNF, IL1) yang dilepas dari sel-sel cedera
Meningkatnya neuropeptida yang menghasilkan bronkokonstriksi, bronkorea dan
perubahan permeabilitas kapiler di sepanjang saluran nafas.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 29


Moenadjat

Penurunan endopeptidase alami (Neutral Endo Peptidase, NEP) sebagai akibat kerusakan
mukosa.

SP Bronchoconstriction Substance P, NKA Neurokanin Activity.

Gambar 17. Pada keadaan normal, Neutral endopeptidase (NEP), diproduksi oleh epitel utuh,
dengan cepat mencegah potensi bronkokonstriktor (SP) dan vasokonstriktor (NKA) yang
dihasilkan di submukosa.

Gambar 18. Pada cedera inhalasi epitel yang rusak mengelupas (sloughs) menyebabkan
kehilangan NEP. Hal ini mengakibatkan meningkatnya kadar Bronchoconstriction Substance
P dan Neurokanin. Dikutip dan disadur dari Textbook of Critical care 5th ed. Philadelphia:
Elsevier-Saunders. 2005

Peran cedera pada membran kapiler di alveoli belum jelas, Pada saat ini dijumpai peningkatan
tendensi terjadinya edema paru (lung water). Namun, proses retrograde filling alveoli pada
edema saluran nafas tidak sama dengan kebocoran kapiler alveolar. Konsep ini dapat
dijelaskan berdasarkan kenyataan bahwa edema alveolar di tubuh manusia tidak umum terjadi
pada fase awal sampai dengan 36 jam pertama pasca cedera; pada fase resusitasi khususnya
pada luka bakar dengan infus cairan masif. Hal ini lebih dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk
second insult yang terjadi dalam 2 sampai 3 hari pasca cedera dan menyebabkan inflamasi
paru yang diikuti kebocoran kapiler. Clearance dari kelebihan cairan parenkim menurun karena
terjadi cedera (kerusakan) sistim limfatik di jaringan interstisium. Karenanya, paru menjadi lebih
rentan terhadap akumulasi cairan. Sedangkan atelektasis yang timbul pada cedera berat dapat
dijelaskan terjadi karena adanya kerusakan surfaktan.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 30


Moenadjat

Efek sistemik
Pada luka bakar khususnya pada luka bakar yang disebabkan kimia dengan cedera
inhalasi, potensi timbulnya disfungsi paru sangat besar. Angka mortalitas dengan cedera
inhalasi sendiri berkisar antara 5 sampai 8%; sementara angka mortalitas pada luka bakar
dengan cedera kimia meningkat 5 kali lipat.
Dengan adanya cedera inhalasi, kebutuhan cairan dan oksigen meningkat. Kebutuhan
ini diperlukan untuk memperbaiki perfusi ke jaringan (luka); justru pada saat yang bersamaan
dijumpai gangguan permeabilitas kapiler serta cedera vaskuler akibat dilepaskannya oksidan
(dalam hal ini diyakini peroksidasi lipid bertanggung jawab atas kerusakan organ).

Gangguan mekanisme bernafas

Gambar 19. Gerakan ekspansi rongga toraks pada proses respirasi normal (A) dan limitasi
gerakan ekspansi akibat adanya eskar tebal melingkar (ditandai dengan warna hitam tebal, B)
digambarkan dengan analogi rongga dada terjerat tambang (C)

Adanya eskar melingkar di permukaan rongga toraks (khususnya dinding dada)


menyebabkan gangguan ekspansi rongga toraks pada proses respirasi (terutama inspirasi); hal
ini menyebabkan penurunan compliance paru. Dengan keterbatasan proses ekspansi dinding
dada ini, volume inspirasi berkurang sehingga menyebabkan gangguan proses oxygen
exchange (penurunan PaO2) secara tidak langsung. Proses yang sama terjadi bila terdapat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 31


Moenadjat

cedera pada rangka tulang rongga toraks, misalnya fraktur tulangtulang iga yang disebabkan
oleh cedera multipel (khususnya flail chest); hal ini sering terjadi pada kasus luka bakar
sebagai suatu koinsidensi. Keduanya menyebabkan distres pernafasan yang diikuti oleh
peningkatan angka mortalitas pada fase akut.

Gangguan sirkulasi
Dalam pembahasan gangguan sirkulasi, ada beberapa dasar yang mutlak dipahami, yaitu: a)
Fisiologi sirkulasi, b) Pembentukan edema dan c) Gangguan sirkulasi yang timbul.

a) Fisiologi sirkulasi
Pada keadaan normal, keseimbangan cairan dan sirkulasi dipengaruhi oleh tekanan
hidrostatik dan osmotik cairan intravaskuler dan jaringan interstisium; peran tekanan onkotik ini
mengikuti Hukum Starling.

Gambar 20. Pada keadaan normal, tekanan onkotik dipertahankan oleh tekanan hidrostatik (HP) dan
tekanan osmotik (OP) cairan intravaskuler dan cairan interstisium. Tekanan hidrostatik di arteriol jauh
lebih tinggi dibandingkan venula, sehingga terjadi aliran (flow). Perbedaan tekanan hidrostatik di
intravaskuler dengan interstisium sangat berbeda sehingga cairan memiliki tendensi untuk keluar
ruang intravaskuler; peristiwa ini diimbangi oleh tekanan osmotik yang memiliki tendensi menarik
cairan dari interstisium ke ruang intravaskuler. Hal ini dimungkinkan karena terselenggaranya
integritas endotel (Hukum Starling). Permeabilitas kapiler terhadap air dan larutan (kecuali protein),
tekanan hidrostatik memungkinkan proses ultrafiltrasi cairan pada ujung arteri dan pengalihan cairan
ke ujung venosa. Efek ini sensitif terhadap adanya perubahan tekanan di jaringan, tekanan arterial,
tekanan venosa, konsentrasi protein serum dan jaringan interstisium serta integritas kapiler. Di sini,
perubahan konsentrasi NaCl hanya sedikit memberikan efek. Pada percobaan in vivo, proses ini
berlangsung melintasi bed kapiler secara dua arah; pada diagram di atas terlihat aliran air sebagai
resultan dari perbedaan kedua tekanan. Dikutip dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and
physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001.

Pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke jaringan interstisium (ekstrapasasi)


merupakan hal yang normal; hal ini dikaitkan dengan permeabilitas kapiler. Cairan yang keluar
akan dialirkan melalui pembuluh limfe dimana ekstrapasasi cairan dan daya serap pembuluh
limfe berada dalam keadaan seimbang. Edema timbul bila keseimbangan ini terganggu,
misalnya pada perubahan permeabilitas kapiler oleh sebab apapun.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 32


Moenadjat

Karena pemahaman mengenai Hukum Starling yang menjelaskan tekanan onkotik ini demikian
pentingnya dikaitkan dengan edema yang timbul pada luka bakar, maka sedikit diuraikan aplikasi
Hukum Starling.

Beberapa hubungan penting antara komponen ekstraseluler.


Cairan akan kembali melalui mesotel yang melapisi rongga peritoneum, pleura, rongga
perikardial dan melalui membran sinovia yang membatasi kapsul sendi. Karena keseimbangan harus
dipertahankan, maka flow rate menjadi suatu hal yang sangat berarti; sebagai contoh misalnya,
dalam satu hari sekitar 7 (tujuh) liter cairan peritoneal diproduksi dan diresorpsi; sedangkan volume
aktual cairan peritoneal ini setiap saatnya hanya mencapai kurang dari 35 mL.
Cairan juga dapat mengalami perpindahan antara darah dengan cairan serebrospinal, humor vitreus
dan perilimfe dan endolimfe; dalam jumlah yang sangat kecil. Sebagian cairan ekstraseluler, seperti
cairan yang dikandung di dalam tulang, beberapa jaringan ikat padat dan beberapa kompartemen
minor ekstraseluler relatif terisolasi. Perpindahan di antara kompartemen-kompartemen ini relatif
sangat lambat dibandingkan perpindahan plasma dan cairan interstisium lainnya.

Gambar 21. Hukum Starling diterapkan pada kapiler di jaringan otak yang memiliki hubungan
antar sel sangat rapat (blood brain barrier). Membran kapiler merupakan membran permeabel
terhadap air, tetapi tidak terhadap kebanyakan larutan. Tekanan osmotik efektif akibatnya
menjadi sangat tinggi (mendekati 280 mOsm/kg H2O X 19.3 mmHg). Tekanan hidrostatik
dengan mudah diimbangi dengan tekanan osmotik. Perubahan pada tekanan darah, tekanan di
jaringan atau konsentrasi protein hanya memberi efek sedikit saja, tetapi perubahan pada
konsentrasi NaCl atau larutan non-difus lainnya akan mengakibatkan perubahan bermakna.
Dikutip dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice
Hall; 2001.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 33


Moenadjat

Gambar 22. Hukum Starling diterapkan pada kapiler paru. Tekanan hidrostatik yang rendah
diimbangi dengan konsentrasi protein pada cairan intersisial. Ada sedikit penurunan tekanan di
sepanjang kapiler dan karena tekanan yang rendah ini, maka aliran di kapiler pulmonar menjadi
lambat. Aliran limfatik membawa sejumlah air dan protein yang telah difiltrasi. Proses ini serupa
dengan yang terlihat pada gambar 20 dan 21.
Dikutip dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall;
2001.

Dengan pengertian ini, kiranya pemahaman mengenai peran tekanan onkotik dalam menjelaskan
patofisiologi edema pada luka bakar dan penatalaksanaannya akan lebih mudah.

b) Pembentukan edema
Pembahasan mengenai pembentukan edema ini masih merupakan topik yang
diperdebatkan sampai pertengahan tahun 2005 ini. Beberapa hal mendasar dalam patogenesis
edema merupakan bahan yang tetap menarik untuk dibahas dan diperdebatkan; ini
menjelaskan bahwa patogenesis edema sangat penting dan menjadi dasar penatalaksanaan
selanjutnya.
Cedera termis menyebabkan proses inflamasi akut yang menimbulkan perubahan
(peningkatan) permeabilitas kapiler. Terjadi perubahan bentuk sel-sel endotel (epitel tunika
intima), dimana sel-sel tersebut membulat (edematus) diikuti dengan membesarnya jarak
interseluler. Karena terjadi perubahan keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik di ruang
intravaskuler, berlangsung ekstrapasasi cairan intravaskuler, plasma (protein), elektrolit dan
leukosit ke ruang interstisium (edema). Di jaringan interstisium terjadi penimbunan cairan,
menyebabkan keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik disana terganggu. Penimbunan
cairan di jaringan interstisium (edema) ini menyebabkan hipovolemia, gangguan aliran (flow)
dan perfusi (serta oksigenasi) dan metabolisme seluler (syok jaringan/seluler).

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 34


Moenadjat

Gambar 23. Patofisiologi edema akibat perubahan permeabilitas kapiler yang dimulai
dengan adanya pelepasan mediator pro-inflamasi menyusul suatu cedera termis.

Perubahan patologik yang menjelaskan terbentuknya edema pada luka bakar

Peningkatan permeabilitas kapiler karena kerusakan endotel, diikuti oleh:


- Penurunan tekanan onkotik protein plasma
- Keluarnya cairan (dan protein) dari ruang intravaskuler ke jaringan interstisium
yang bermakna dan terjadi segera menyebabkan peningkatan tekanan onkotik
jaringan interstisium
Rasio pembentukan edema yang sangat cepat dalam 1 jam pertama, menyebabkan
penurunan tekanan interstisium yang diakibatkan pelepasan partikel yang merupakan
suatu zat osmotik aktif dan menyebabkan penghisapan karena efek vakum
Gangguan integritas jaringan interstisium dengan kerusakan struktur kolagen dan
asam hialuronat yang menyebabkan peningkatan compliance jaringan interstisium
terhadap pembentukan edema
Gangguan keseimbangan produksi cairan (ekstrapasasi) dengan kapasitas daya
serap pembuluh limfe

Gambar 24. Pemeriksaan mikroskopik elektron menunjukan gap pada endotel normal (A)
dan gap yang membesar pada gangguan permeabilitas kapiler (B) menyebabkan kebocoran
kapiler. Dikutip dari Demling RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn
Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-227

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 35


Moenadjat

Gambar 25. Perubahan permeabilitas kapiler menyebabkan pergeseran cairan


(ekstrapasasi) berlebihan. Dikutip dan disadur dari Demling RH. The Burn Edema
Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-227

Gambar 26. Struktur kolagen mengalami kerusakan sehingga efek hidraulik berubah,
menyebabkan resistensi jaringan interstisium menurun. Dikutip dan disadur dari Demling RH.
The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-
227

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 36


Moenadjat

Gambar 27. Perubahan permeabilitas pada cedera termis. Dikutip dan disadur dari
Demling RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care &
Rehabilitation 2005 26:3 207-227

Gambar 28. Pada keadaan normal, ekstrapasasi cairan dari ruang intravaskuler berlangsung diikuti
penyerapan oleh pembuluh limfe. Pada kondisi tekanan meningkat ekstrapasasi ini semakin meningkat
pula, dan pada gangguan permeabilitas kapiler ekstrapasasi tidak menyebabkan akumulasi cairan (edema)
karena kapasitas daya serap pembuluh limfe tidak sanggup mengimbangi. Dikutip dan disadur dari Demling
RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-227

Hal ini dapat dijelaskan karena adanya perubahan ekuasi dari Hukum Starling (Starlings
forces). Dengan penurunan tekanan onkotik (dipertahankan oleh tekanan hidrostatik dan
osmotik cairan) di ruang intravaskuler, cairan berpindah ke ruang interstisium. Cairan di
kompartemen interstisium yang pada keadaan normal dialirkan melalui pembuluh limfe
melebihi kapasitas daya tampung sehingga terjadi akumulasi (edema).
Pada luka bakar ekstensif dengan perubahan permeabilitas kapiler yang hampir menyeluruh,
penimbunan cairan masih di jaringan interstisium menyebabkan kondisi hipovolemia karena
banyaknya cairan intravaskuler yang berpindah ke jaringan interstisium. Volume cairan
intravaskuler mengalami defisit, timbul ketidakmampuan menyelenggarakan proses

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 37


Moenadjat

transportasi oksigen (perfusi) ke jaringan. Kondisi ini dikenal dengan terminologi syok dan
menjelaskan definisi yang dianut saat ini.

Gambar 29. Pada kerusakan endotel dimana terjadi perubahan morfologi endotel (membulat)
disertai pembesaan jarak interseluler, maka tekanan hidrostatik jauh berbeda dengan tekanan
osmotik (Net HP >>> Net OP, digambarkan dengan tanda panah lebih kecil) dengan sendirinya
pengeluaran cairan dari ruang intravaskuler ke jaringan interstisium. Cairan yang berada di
jaringan interstisium melebihi kapasitas pembuluh limfe sehingga menimbulkan akumulasi
cairan (edema interstisium).

Gambar 30. Terbentuknya edema pada luka bakar dalam. Edema mencapai nilai
maksimum dalam 18jam pasca cedera termis, resopsi dimulai dalam 24jam, sementara kl
25% akan tetap ada sampai satu minggu; berbeda dengan luka bakar dangkal. Dikutip
dan disadur dari Demling RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn
Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-227

Lebih lanjut, Kramer, Lund dan Herndorn menjelaskan edema ini timbul sebagai akibat dari:
Peningkatan koefisien filtrasi kapiler K1
Peningkatan tekanan intrakapiler Pc
Penurunan tekanan hidrostatik jaringan interstisium Pif
Penurunan refleksi osmotik
Penurunan tekanan osmotik kolod plasma p
Penurunan tekanan osmotik koloid jaringan interstisium if

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 38


Moenadjat

Gambar 31. Pembentukan edema pada partial-thickness burn. Edema diukur


menggunakan photon scanning. Edema maksimal terjadi di antara 12 sampai 18 jam
pasca cedera, 94% timbul dalam 6 jam pertama. Resopsi dimulai dalam 24 jam dan
menurun setelah 4 hari berlangsung hingga hari 8-10. Dikutip dan disadur dari Demling
RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005
26:3 207-227

Gambar 32. Proses edema pada resusitasi cairan. Dikutip dan disadur dari Demling RH.
The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3
207-227

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 39


Moenadjat

Gambar 33. Compliance jaringan terhadap protein dan volume cairan interstisium. Dikutip
dan disadur dari Demling RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care &
Rehabilitation 2005 26:3 207-227

Pengukuran edema

Ada beberapa cara mengukur progresivitas edema, dikaitkan dengan kebutuhan cairan
resusitasi, regimen resusitasi itu sendiri, dan prognosis. 1) Pengukuran klinis. Melakukan
pengukuran dengan parameter kebutuhan cairan dan perubahan berat badan. 2) Pemeriksaan
histopatologi melalui biopsi jaringan. 3) Pengukuran cairan jaringan melalui pengukuran wet to
dry. 4) Radioisotope distribution. 5) Photon Scanning dan 6) Plethysmography

Pengukuran klinis
Pengukuran kebutuhan cairan dan penambahan ukuran (lingkar lengan, lingkar perut dan
perubahan berat badan) diamati secara ketat. Setiap penambahan dari ukuran sebelum cedera
merupakan gambaran kasar dari penambahan cairan yang disebabkan oleh edema; hal ini
dianggap tidak tepat dengan tingkat kepercayaan yang diragukan.

Pemeriksaan histopatologi
Biopsi jaringan dilakukan secara serial memperhatikan perubahan karakteristik jaringan.
Pemeriksaan ini sangat penting, namun untuk kepentingan klinik tidak dapat diandalkan.
Teknik isotop. Kuantifikasi perubahan permeabilitas diketahui melalui pemeriksaan
makromolekul radioaktif seperti I131 Albumin. Kebocoran zat radioaktif ini ke jaringan
interstisium menunjukan derajat kebocoran kapiler.

Photon scanning
Demling dkk melakukan teknik noninvasif menggunakan dichromatic absorptiometry
khususnya untuk menghitung edema di ekstremitas. Teknik ini menentukan massa komponen
jaringan dengan pengukuran transmisi photon dan merupakan suatu metode yang dapat
diterima dalam menentukan kadar mineral tulang untuk evaluasi status skeletal. Teknik ini

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 40


Moenadjat

memberikan gambaran transmisi liniar di sepanjang tungkai dengan I125 dan Am241 dual-photon
source dan scintillation detector. Penyebaran atenuasi radiasi tergantung energi yang terdapat
pada photon dan karakteristik jaringan. Perbedaan karakteristik jaringan (misalnya mineral
tulang, lipid protein dan cairan) memungkinkan penentuan fraksi dan massa komponen-
komponen ini di ekstremitas. Cairan dan protein secara esensial dapat dibedakan sebagai
komponen bebas lipid. Karena merupakan metode non-invasiv, maka pemeriksaan ini dapat
dikerjakan berulang dalam melakukan studi klinik tentang keseimbangan cairan dan evakluasi
edema. Namun, karena nilai yang diperoleh menggunakan metode ini merupakan nilai relatif,
maka untuk itu diperlukan data dasar sebagai pembanding.

Gambar 34. Penggunaan photon-scanning untuk mengukur penyebab dan derajat


edema. Teknik ini biasa digunakan untuk mengukur kecepatan dan peningkatan jumlah
cairan di jaringan pada cedera termis di tungkai. Pengukuran absorpsi dikromatik
(Dichromatic absorptionmetry, DA) berhubungan denganperubahan lingkar tungkai yang
disebabkan akumulasi cairan (edema). Bagaimanapun, pemeriksaan ini lebih sentitif
dibandingkan pengukuran perubahan lingkar tungkai itu sendiri.
Dikutip dan disadur dari Demling RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of
Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-227

Plethysmography
Plethysmography adalah suatu teknik yang digunakan untuk mengukur perubahan volume
tubuh atau bagian dari tubuh (misalnya tungkai). Beberapa peneliti menggunakan volume
plethysmography untuk mengukur edema akibat luka bakar di ekstremitas. Meskipun
pemeriksaan ini sensitif untuk mengukur volume tidal, namun perubahan volume darah tidak
dapat dibedakan dengan suatu edema.

Pengukuran filtrasi limfatik.


Lymph flow rate dan lymph protein content digunakan untuk melakukan evaluasi rate
filtrasi cairan mikrovaskuler dan karakteristik permeabilitas protein. Lymph flow rate
mencerminkan derajat flux atau transpor cairan melintasi membran kapiler pada setiap
kesempatan, karena muara saluran limfe terletak sangat dekat dengan jaringan interstisium
kapiler.
Banyak peneliti menggunakan metode ini, yang bertujuan mempelajari edema pada luka
bakar (gambar 34). Konsentrasi molekul besar seperti protein dan berbagai konsentrasi
dekstran di cairan limfe juga digunakan untuk menentukan karakteristik permeabilitas
mikrosirkulasi, yang datang dari jaringan untuk dialirkan ke pembuluh limfe. Karena cairan
limfe berasal dari jaringan interstisium, berbagai zat vasoaktif yang dilepas akibat luka bakar

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 41


Moenadjat

dapat dideteksi dalam konsentrasi tinggi di cairan limfe; oleh karena itu kemungkinan etiologik
dalam kaitan dengan timbulnya edema dapat dipelajari.
Aliran limfatik memiliki validitas untuk menjadi parameter penilaian edema baik pada
partial-thickness maupun pada jaringan non-cedera yaitu daerah dimana pembuluh limfe tidak
mengalami kerusakan. Oklusi kapiler dan atau mikrovaskuler pada luka bakar derajat yang
lebih dalam mengalami penurunan perfusi. Oleh karenanya, cairan yang masuk ke jaringan
interstisium (sangat) minim. Selain itu, terjadi pula kerusakan jaringan limfatik yang akan
menyebabkan penurunan efektivitas jaringan limfatik itu sendiri.
Pengukuran lymph flow rate pada luka bakar dalam hal ini tentunya akan menyebabkan
kesalahan dalam memperhitungkan (estimasi) derajat luka bakar dan pembentukan edema
sesungguhnya (aktual), meskipun tetap akan terjadi peningkatan aliran limfatik di atas
kapasitas normal. Bagaimanapun, kandungan makromolekul mencerminkan karakteristik
permeabilitas dari mikrovaskuler yang tetap utuh.

Gambar 35. Pengukuran limfe untuk monitor edema. Cairan limfe memiliki komposisi
cairan interstisium yang berkumpul dari jaringan. Kecepatan (rate) aliran limfatik dari
jaringan lunak dalam hal ini pada kasus luka bakar memiliki hubungan langsung
dengan jumlah cairan melintasi membran kapiler menuju ruang interstisium selama
proses terbentuknya edema. Kecepatan filtrasi limfatik (dari jaringan lunak) pada
kasus luka bakar memiliki korelasi langsung dengan jumlah cairan yang melintasi
membran kapiler ke jaringan interstisium selama proses edema. Cairan ini kaya akan
protein; dibuktikan dengan tinginya (relatif) kandungan albumin dan globulin
dibandingkan kadar protein plasma. Peningkatan kontinu pada aliran limfatik melebihi
36 jam menunjukan peningkatan permeabilitas kapiler terutama terhadap protein yang
berlangsung selama beberapa hari. Dikutip dan disadur dari Demling RH. The Burn
Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-227

c) Gangguan sirkulasi
Karena demikian banyaknya cairan intravaskuler keluar (ke jaringan interstisium
menimbulkan edema) maka terjadi suatu kondisi hipovolemia. Gangguan sirkulasi yang terjadi
selanjutnya merupakan gangguan hemostasis yang terdiri dari rangkaian kejadian kompleks
bukan saja diakibatkan kondisi hipovolemia saja, tetapi juga akibat hipoperfusi yang
menyebabkan gangguan perfusi dan oksigenasi seluler (syok).

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 42


Moenadjat

Untuk memperoleh gambaran lebih mendetil mengenai gangguan sirkulasi (syok) dikaitkan
dengan patologi hipovilemia dan hipoperfusi, sepintas diuraikan kembali secara ringkas
sebagai suatu review mengenai kompartemen-kompartemen di dalam tubuh dengan
penekanan pada kompartemen intravaskuler; yang berkaitan dengan patofisiologi syok
hipovolemia dan resusitasi cairan.
Kompartemen Volume

1 Kompartemen intraseluler 60%

2 Kompartemen ekstraseluler 40%

Kompartemen ekstraseluler terdiri


dari: 30%
Cairan interstisium 10%
Sirkulasi (intravaskuler) 7.5%
Plasma 2.2%
Limfe 0.3%
Trans-selule

Jumlah cairan tubuh total (Total Body Water) adalah 60% dari berat badan. Sehingga pada
seorang dewasa dengan berat badan 60kg, jumlah cairan tubuh adalah 0.6 X 60kg atau sama
dengan 36 liter. Jumlah ini terdiri dari:
Cairan intraselluler (Intracellular fluid, ICF) yang jumlahnya 0.4 X berat badan atau 24
liter
Cairan ekstraseluler (extracellular fluid, ECF) yang jumlahnya 0.2 X berat badan atau 12
liter
Cairan ekstraseluler ini terdiri dari:
Cairan interstisium yang jumlahnya jumlah ECF atau 9 liter
Plasma yang jumlahnya jumlah ECF atau 3 liter

Catatan:
Mempertahankan cairan ekstraseluler merupakan hal yang kritis dalam mempertahankan
tekanan darah.
Osmolaritas cairan ekstraseluler sangat penting dalam mempertahankan regulasi cairan
ekstraselluler jangka panjang. (osmolaritas cairan esktraseluler dipertahankan oleh
kesembangan NaCl, dimana intake normal 10.5 g/dL dan output normal 10 g/dL dalam
urin)
cairan ekstraseluler dan intraseluler berada dalam keseimbangan (ekilibrium):
air (bukan suatu solut) berpindah bila terjadi perubahan osmotik
hanya otak yang mampu membangkitkan partikel aktif yang memiliki osmolaritas
(glutamin, taurin, inositol)
Osmolaritas cairan ekstraseluler menentukan volume intraseluler.

Jumlah cairan tubuh ini bervariasi tergantung massa lemak tubuh:


Pada neonatus : 70%
Laki-laki dewasa : 60%
Wanita dewasa : 50%
Manula : 80%

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 43


Moenadjat

Pada luka bakar, terjadi perpindahan cairan intravaskuler ke ruang interstisium, di satu sisi
(ruang intravaskuler) terjadi kondisi hipovolemia, di sisi lain (ruang interstisium) terjadi
akumulasi cairan (edema) sebagaimana diuraikan sebelumnya.

A B C

Gambar 36. Diagram patologi keseimbangan cairan intra-ekstravaskuler.


A Kondisi normal, kotak di sisi dalam menggambarkan ruang
intravaskuler, kotak di sisi luar menggambarkan ruang ekstravaskuler. B.
Proses hemoragik menyebabkan syok hipovolemia (cairan intravaskuler
keluar melalui luka ke luar tubuh). C. Gangguan premeabilitas kapiler
(garis putus-putus pada kotak di sisi dalam menyebabkan cairan
intravaskuler keluar ke ruang ekstravaskuler; ditambah proses penguapan
melalui permukaan tubuh yang mengalami kehilangan epitel (garis putus-
putus di kotak sisi luar).

Respons tubuh
Dengan adanya gangguan homeostasis yang bersifat sistemik ini, tubuh memberikan
respons untuk mempertahankan keseimbangan melalui mekanisme kompensasi yang sangat
kompleks. Sirkulasi sentral diutamakan karena organ-organ sentral khususnya otak sangat
sensitif dan memiliki toleransi yang sangat rendah terhadap kondisi hipoksia.
Aktivitas jantung dan sistim pernafasan meningkat untuk memenuhi kebutuhan perfusi
organ-organ vital di tingkat sentral (otak, jantung dan paru).
dengan aanya hipovolemia, perfusi ke sirkulasi perifer menurun (hipoperfusi) karena
sebagian besar cairan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi sentral.
Manifestasi klinik yang dijumpai pada saat ini terdiri dari gejala akibat kegagalan sirkulasi,
hipoperfusi perifer dan gejala kompensasi.
1. Gejala dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi digambarkan oleh adanya gangguan sirkulasi
otak berupa disorientasi, gelisah, penurunan kesadaran dan penurunan suhu core
2. Gejala dan tanda-tanda akibat penurunan sirkkulasi perifer dapat diamati dengan adanya
penurunan suhu permukaan, penurunan produksi urin, gangguan sistim pencernaan dan
gangguan fungsi hati
3. Gejala dan tanda-tanda kompensasi yang dapat diamati adalah peningkatan aktivitas
pernafasan (pernafasan cepat dan dangkal) dan peningkatan aktivitas jantung (takikardi).

Untuk mempermudah pengertian dari suatu mekanisme kerja yang sangat kompleks ini,
penulis mencoba memberi gambaran yang mudah dengan suatu diagram yang terdiri dari
sebuah bejana berhubungan; di satu sisi menggambarkan sirkulasi sentral sementara di sisi
lain menggambarkan sirkulasi perifer. Diagram tersebut dapat dilihat pada halaman berikut ini.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 44


Moenadjat

Gambar 37. Sirkulasi sentral dan perifer digambarkan sebagai sebuah bejana berhubungan. Di saat terjadi
kondisi hipovolemia, sirkulasi perifer berperan sebagai kontributor untuk mempertahankan sirkulasi sentral dimana
terdapat organ-organ penting seperti otak, paru dan jantung yang memiliki waktu iskemik singkat dan sangat
sensitif terhadap hipoksia. Sirkulasi splangnikus (yang menyerap >25% sirkulasi sistemik) berperan lebih besar
dibandingkan sirkulasi renal (yang hanya menyerap 20% sirkulasi sistemik). Perannya sangat bermakna, diikuti
dengan hipoperfusi splangnikus dengan segala konsekuensinya, dahulu diduga sebagai suatu kondisi
vasokonstriksi. Selain sirkulasi splangnikus dan renal, sirkulasi ke sistim muskularis dan integumen berperan pada
mekanisme kompensasi dengan konsekuensi akibat hipoperfusi.

Sel-sel otak (glia) tergolong pada jenis sel yang secara mutlak memerlukan oksigen
(obligat); bila dalam waktu 4 (empat) menit saja sel-sel ini dihadapkan pada kondisi hipoksia
atau hipoksemia akan terjadi perubahan degeneratif sel berbagai derajat (edema sel-sel glia
sampai dengan atrofi seluler). Berdasarkan fakta ini maka sirkulasi otak memperoleh prioritas
untuk dipertahankan pada kondisi hipovolemik.
Jantung sebagai alat pemompa melakukan kompensasi dengan meningkatkan aktivitasnya
untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen. Mekanisme kompensasi pertama adalah
meningkatkan frekuensi (heart rate) akibat penurunan pre-load dan after-load. Mekanisme
kompensasi ini akan terus berlangsung sampai kebutuhan sirkulasi (perfusi) terpenuhi.
Paru yang merupakan organ sistim pernafasan yang menyelenggarakan pertukaran
karbondioksida dengan oksigen mengadakan kompensasi dengan peningkatan frekuensi
pernafasan. Dengan mekanisme kompensasi ini, timbul hiperventilasi yang memiliki dampak
terhadap metabolisme seluler.

Hipoperfusi sirkulasi perifer 6 merupakan suatu kondisi yang menjadi fokus pengamatan
dalam beberapa tahun terakhir, dikaitkan dengan patofisiologi perkembangan SIRS, MODS
dan sepsis (lihat bab 3.3. mengenai SIRS dan MODS). Hipoperfusi splangnikus menyebabkan
gangguan perfusi ke saluran cerna dan hepar.

6 Sebelumnya istilah yang dianut untuk kondisi ini adalah vasokonstriksi perifer. Namun, saat ini kondisi tersebut
diyakini bukan merupakan suatu vasokonstriksi melainkan hipoperfusi (penurunan aliran) yang ditandai oleh
pembuluh yang kolaps.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 45


Moenadjat

Gambar 38. Skema sirkulasi splangnikus. Dikutip dari Martini, FH. Fundamentals of
anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001.

Dalam keadaan normal, lebih dari 25% cardiac output didistribusi ke sirkulasi splangnikus;
peningkatan aktivitas sistim pencernaan diikuti oleh peningkatan sirkulasi ke daerah
bersangkutan, terbukti setelah makan, seseorang akan mengalami rasa kantuk (otak
mengalami kekurangan oksigen, kadar karbondioksida meningkat) karena sirkulasi splangnikus
meningkat sampai dengan 30-40%.

Gambar 39. Anatomi saluran cerna. Dikutip dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and
physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001.

Dengan adanya gangguan pada sirkulasi ini, terjadi perubahan degeneratif terutama pada
sel-sel hepar dan saluran cerna bagian atas (gaster, duodenum) yang bersifat akut, beserta
konsekuensinya. Hepar mengalami gangguan sehingga proses metabolisme, proses sintesis
dan proses detoksikasi hepar dengan sendirinya terganggu. Adanya gangguan di hepar dapat
dilihat pada perubahan nilai-nilai laboratorik fungsi hepar, antara lain peningkatan kadar

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 46


Moenadjat

transaminase serum (SGOT dan SGPT), peningkatan kadar enzim fosfatase alkali, gamma
globulin transferase ( GT) dan perubahan kadar bilirubin. Peningkatan kadar glukosa darah,
selain mencerminkan gangguan fungsi hepar juga menggambarkan stres metabolisme di fase
awal; sebelum kadar kortisol dan katekolamin menunjukan peningkatan. Pada fase akut ini
terjadi kondisi hipometabolisme (lihat bab 3.2 mengenai perubahan metabolisme dan nutrisi
pada luka bakar).
Penurunan di sirkulasi splangnikus terutama memengaruhi gaster, duodenum, usus halus
dan usus besar. Gangguan perfusi menyebabkan iskemia mukosa saluran cerna yang
mengakibatkan gangguan integritas (disrupsi) mukosa. Gangguan integritas mukosa terdiri dari
berbagai tingkat; mulanya berupa suatu erosi mukosa yang pada keadaan lebih lanjut terjadi
atrofi.

Gambar 40. Trauma menyebabkan hipoperfusi splangnikus yang berakhir dengan


MODS. Dikutip dan disadur dari Baue AE, Faist E, Fry ED. Multiple organ failure,
pathophysiology, prevention, and therapy. New York Springer, 2000.

Gambar 41. Hipoperfusi splangnikus menyebabkan perdarahan saluran cerna.


Syok dan sindroma kompartemen intra abdominal menyebabkan terjadinya
hipoperfusi splangnikus yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu lingkaran
setan.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 47


Moenadjat

Demikian pentingnya perfusi ke splangnikus,berbagai cara diupayakan untuk melakukan


pemantauan sirkulasi ke daerah splangnikus, salah satu diantaranya menggunakan kalkulator
perfusi dengan memperhitungkan aliran darah di saluran cerna dan hepatik dengan konduktan
vaskuler dan tekanan darah di arteri saluran cerna, portal dan atrium kanan.

Gambar 42. Pemantau perfusi ke sirkulasi splangnikus.

Erosi biasanya terletak di permukaan (superfisial), namun proses ini juga bisa mengenai
lamina muskularis mukosa bahkan sampai ke tunika adventisia usus. Manifestasi klinik yang
dijumpai akibat gangguan integritas mukosa 7 ini adalah gejala intoleransi terhadap beberapa
nutrien, malabsorpsi, diare (enterokolitis) dan perdarahan saluran cerna (sebelumnya dikenal
dengan sebutan ulkus stres, Curlings ulcer, lihat bab III.5 mengenai ulkus stres), gangguan
motilitas saluran cerna (ileus), dan translokasi bakteri yang menjadi penyebab sepsis (lihat bab
III. 3 mengenai SIRS dan MODS).
Iskemia mukosa saluran cerna juga menyebabkan penurunan imunitas dikaitkan dengan
penurunan fungsi Gastrointestinal Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang turut berperan
pada timbulnya sepsis; peran glutamine dan arginine sangat nyata dan berkaitan dengan
produksi Nitric Oxide sebagai modulator sepsis disamping menurunnya daya tahan tubh
terhadap infeksi.

Iskemia pada saluran cerna (selain zona nekrosis pada luka bakar), merupakan stimulan
dilepaskannya sitokin dan radikal bebas serta faktor depresan miokardium (Myocardial
Depressant Factor, MDF) yang memperburuk kerja jantung.

7 Gangguan integritas mukosa saluran cerna menyebabkan berkembangnya suatu rangkaian kegagalan organ
sistemik (MODS), sehingga gangguan saluran cerna disebut-sebut: Gut is motor of MODS.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 48


Moenadjat

Gambar 43. Kerusakan endotel dan mukosa saluran cerna menyebabkan dilepaskannya
mediator pro inflamasi. Neutrophil recruitment yang demikian meningkat menyebabkan
pelepasan MDF yang menimbulkan Iskemia dan infark miokardium; bahkan pada penderita
dewasa muda.

Penurunan sirkulasi renal menyebabkan iskemia ginjal. Manifestasi awal yang tampak
akibat kondisi iskemia ini adalah penurunan ekskresi urin mulai dari oliguri sampai anuria.
Hipoksia parenkim ginjal merupakan stimulasi dilepaskannya renin dan angiotensin oleh sel-sel
juxta-glomerulus renalis yang merangsang hormon antidiuretik (ADH) dan kelenjar anak ginjal
(suprarenal) memproduksi hormon kortisol dan glukagon. Rangkaian selanjutnya adalah
rangsangan pada hipofisis posterior untuk melepaskan hormon adenokortikotropik (ACTH)
yang mana merupakan stimulan bagi sistim saraf parasimpatik dan ortosimpatik dalam teori
berkembangnya stres metabolisme.

Gambar 44. Penurunan aliran darah ke nefron menyebabkan iskemia tubulus sehingga
dilepaskan angiotensin. Di sisi lain, penurunan sirkulasi juga disebabkan kerusakan pembuluh
di nefron; sebagaimana halnya kerusakan endotel yang diikuti adhesi leukosit dan trombosis.

Penurunan sirkulasi ke otot menyebabkan pemecahan glikoprotein pada massa otot, yang
menjadi sumber enersi. Rantai katabolisme ini berakhir dengan siklus urea yang menghasilkan
produk akhir yaitu nitric oxide, NO. NO berperan sebagai suatu vasodilator; diproduksi dengan
sangat cepat dalam jumlah sangat besar mencerminkan derajat kerusakan jaringan khususnya
otot. Peningkatan kadar NO yang sangat bermakna dapat dideteksi pada kondisi sepsis dan
beberapa tahun terakhir NO disebut-sebut sebagai suatu modulator sepsis. Topik penelitian
mengenai peran NO ini tidak kalah pentingnya dengan topik iskemia splangnikus; sehingga
sebagian para klinikus memperdebatkan fenomena hipoperfusi perifer; parameter yang lebih
spesifik: otot atau saluran cerna?

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 49


Moenadjat

Algoritmi perubahan fisiologik yang menjadi karakteristik sindrom luka bakar

Kinerja organ-organ sistemik dalam melakukan upaya kompensasi merupakan suatu


rangkaian kompleks namun memiliki keterbatasan, oleh karena adanya gangguan perfusi ke
organ yang bersangkutan. Kerja tambahan organ pada suatu saat mencapai tingkat maksimal,
sedangkan kebutuhan enersi tidak terpenuhi, akhirnya timbul suatu keadaan dekompensatif,
disfungsi dan kegagalan organ menjalankan fungsinya. Diyakini bahwa hal ini sangat
tergantung pada waktu iskemik masing-masing organ (misalnya: sel otak hanya dapat
mentolerir kondisi hipoksia tidak lebih dari 4 menit, sementara mukosa dapat mentolerir
maksimal 4 jam, sel parenkim ginjal 8 jam, sedangkan sel otot polos 2 jam dan otot lurik 10
jam).
Di tingkat seluler, gangguan perfusi menyebabkan perubahan integritas sel yang
mengakibatkan gangguan metabolisme intraseluler. Pada tahap awal terjadi proses
metabolisme anaerob; menyebabkan peningkatan produksi dan penimbunan asam laktat
(gangguan metabolisme glukosa), trigliserida (gangguan metabolisme lemak) dan peningkatan
ammonia (gangguan metabolisme protein) yang menimbulkan asidosis. Dengan gangguan
sirkulasi dan perfusi yang ada, sulit untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel; iskemia
jaringan akan berakhir dengan nekrosis (lihat bab III.2, gangguan metabolisme pada luka
bakar).

Gambar 45. Cedera merupakan 1st insult yang memicu perkembangan SIRS dan berlanjut dengan MODS. SIRS
berakhir (atau disusul oleh CARS) merupakan 2nd insult yang diikuti oleh MODS sekunder, demikian seterusnya.
Lingkaran setan ini harus diputus. Dikutip dan disadur dari Baue AE, Faist E, Fry ED. Multiple organ failure,
pathophysiology, prevention, and therapy. New York Springer, 2000.

Kegagalan fungsi organ-organ (Multi-system Organ Failure, MOF) yang diuraikan diatas
tidak terjadi begitu saja dan tidak terlepas dari peran mediator-mediator inflamasi seperti,
sitokin, ekosanoid (prostaglandin, tromboksan, radikal bebas dsb) yang dilepas ke dalam
sirkulasi menyusul suatu cedera jaringan. Reaksi dari mediator-mediator inflamasi ini dikenal
dengan sebutan SIRS; yang merupakan suatu fenomena yang rumit, terjadi dalam beberapa
fase (lihat bab 3.3 mengenai SIRS dan MODS). Kondisi klinis yang terlihat adalah suatu
keadaan yang disebut MODS; akan berakhir dengan MOF yang sebelumnya diduga / dikenal
sebagai suatu kondisi yang disebut sepsis. Dengan terjadinya kegagalan fungsi organ-organ
penting, proses berakhir dengan kematian.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 50


Moenadjat

Bahan Bacaan
1. Boswick JAJ, Jr. The art & science of burn care. Rockville-Maryland: Royal Tunbridge wells Aspen
Publication: 1987;p.145.
2. Dimick AR. Burn and cold injury. In: Hardys textbook of surgery. Philadelphia: JB Lippincott Company, 1983;
p.177.
3. Leung PC. Burns: treatment & research. Singapore: World scientific, 1991.
4. Settle JAD. Principles & practice of burns management. New York: Churchill Livingstone, 1996; p.137.
5. Pruitt BA. Complications of thermal injury. Clin Plast Surg 1974;1:667-91.
6. Sen S. Gamelli RL. Burn and Inhalation Injury in Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM. Textbook
of Critical care 5th ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders. 2005 p: 691-697.
7. Thom SR, Keim LW. Carbon monoxide poisoning: a review. Clin Toxicol 1989;27:141-56.
8. Clark WR, Bonaventura M, Weyers W. Smoke inhalation and airway management at a regional burn unit:
1974-1983. J Burn Care Rehabil 1989; 10:52-62.
9. Dhaliwal KD, Sood A. Ammonia inhalational lung injury during illicit methamphetamine production. J Burns &
Surg Wound Care [serial online] 2003;2(1):15. Available from: URL: http://www.journalofburns.com
10. Tredget EE, Shankowsky HA, Taerum TV, et al. The role of inhalation injury in burn trauma: a Canadian
experience. Ann. Surg. 212:720,1990.
11. Smith DL, Cairns BA, Ramadan F, et al. Effect of inhalation injury, burn size, and age on mortality: a study of
1447 consecutive burn patients. J. Trauma 37:655,1994.
12. Sherwood ER, Toliver-Kinksy T, Lin C, Varma T, Herndorn DN. Smoke inhalation injury causes suppression
of systemic immune responses. S59.
13. Kramer GC, Tjstolv Lund, Herndorn, DN. Pathophysiology of burn shock and burn edema. In: Herndorn,
DN. Total burn care, 2nd ed. London: Saunders, 2002.
14. Demling RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-
227.
15. Sabiston, D(ed.). The Biological Basis of Modern Surgical Practice. Philadelphia: W.B. Saunders, Co. 1991.
16. Astiz ME. Pathophysiology and classification of shock states. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek
PM. Textbook of Critical care 5th ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders. 2005 p:897-904.
17. Bates DO, Hillman NJ, Williams B, Neal CR, Pocock TM. Regulation of microvascular permeability by
vascular endothelial growth factors. J. Anat. (2002) 200, pp581597
18. Kvetan V. The effect of pressors and inotopes on regulation of cytokine release in shock. J Crit.Care and
Shock 1998; 1:26-39.
19. Takala J. Splanchnic blood flow in shock and inflammatory states, J Crit.Care and Shock 1998 1:40-45.
20. Holm C. Haemodynamic and oxygen transport responses in survivors and non survivors following thermal
injury. Burns J Int Society Burn Inj. Vol 26 Number 1, Febr. 2000; p.25.
21. Axelsson M, Altimiras J, Claireaux G. Post-prandial blood flow to the gastrointestinal tract is not compromised
during hypoxia in the sea bass Dicentrarchus labrax. J of Experim Biol 205, 28912896 (2002); 2891-6.
22. Muller et al. The challenge of burns. Lancet 1: 22 94, vol 343, Issue 8891;p216
23. Baue AE, Faist E, Fry ED. Multiple organ failure, pathophysiology, prevention, and therapy. New York
Springer, 2000.
24. Sherwood ER, Traber DL. Systemic Inflammatory Response Syndrome. In: Herndorn, DN, Total burn care,
2nd ed. London: Saunders, 2002 p.262.
25. Maass DL, White J, Sanders B, Horton JW. Cardiac Myocyte Accumulation of Calcium in Burn Injury: Cause
or Effect of Myocardial Contractile Dysfunction. Journal of Burn Care & Rehabilitation 2005 26(3); p.252-259
26. Bartlett RH, Fong SW, Marrujo G, Hardeman T, Anderson W. Coagulation and platelet changes after thermal
injury in man. Burns 1981; 7:370-7.
27. Wallner SF, Warren GH. The haemopoietic response to burning: an autopsy study. Burns 1986;12:22-77.
28. Wolach B, Coates TD, Hulgi TE, et al. Plasma lactoferrin reflects granulocyte activation via complement in
burn patients. J Lab Clin Med 1984;103:284-93.
29. Lennquist S, Lindell B, Nordstrom H, Sjoberg HE. Hypophosphatemia in severe burns. Acta Chir Scard
1979;145:1-6.
30. Szyfelbein SK, Drop LJ, Martyn JA. Persistent ionized hypocalcemia in patients during resuscitation and
recovery periods of body burn. Crit Care Med 1981;9:454-458.
31. Iqbal SJ. Giles M. Ledger S. Nanji N. Howl T. Need for albumin adjustments of urgent total serum calcium.
Lancet 1988;2(8626-8627):1477-8.
32. Nordstrom H, Lennquist S, Lindell B, Sjoberg HE. Hypophosphatemia in severe burns. Acta Chir Scand
1977;143:395-9.
33. Salem M, Munoz R, Chernow B. Hypomagnesemia in critical illness: A common and clinically important
problem. Crit Care Clin 1991; 7:225.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 51


Moenadjat

34. Song C. Total Early Burn Management Clinical Pathway. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing
Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.
35. Wong Chin Ho. Classification of Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society
(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.
36. Wolfe SE. Metabolic Changes in Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society
(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.
37. Wolfe SE. Pathophysiology of Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society
(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.
38. Chai TK. Wolfe SE. Chemical & Electrical Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing
Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 52


Moenadjat

Bab III

2. Perubahan Metabolisme
pada Luka Bakar fase akut
Samuel Oetoro
Fiastuty Witjaksono
Inge Permadhi
Yefta Moenadjat

asus luka bakar merupakan suatu keadaan ditandai adanya stres metabolisme yang
K melibatkan respon neuro-endokrin dan keadaan ini disebut juga hipermetabolisme.
Reaksi pertama terhadap luka bakar dikenal sebagai fase ebb atau fase awal / fase akut / fase
syok yang berlangsung singkat, ditandai dengan terjadinya penurunan tekanan darah, curah
jantung, suhu tubuh dan penurunan konsumsi oksigen, disertai kehilangan cairan dan elektrolit
yang mengakibatkan terjadinya hipovolemia, hipoperfusi dan asidosis laktat. Fase ini tidak
dapat ditentukan secara pasti, dapat berlangsung dalam beberapa menit sampai dengan 48-72
jam pasca cedera. Reaksi selanjutnya disebut fase flow yang berlangsung selama beberapa
minggu atau lebih lama. Pada fase flow terjadi kondisi sebaliknya, yaitu hipermetabolisme dan
hiperkatabolisme.
Pada fase hipermetabolisme terjadi peningkatan pemakaian energi yang disertai kehilangan
panas melalui proses penguapan (evaporative heat loss), peningkatan aktivitas syaraf simpatik
( adrenergik, sebagai respons neuroendokrin), peningkatan aktivitas seluler dan pelepasan
peptida parakrin; ternyata terjadinya proses ini sangat bermakna pada luka bakar bila
dibandingkan dengan cedera lainnya.

Gambar 46. Fase ebb dan fase flow pada luka bakar dengan karakteristik masing-masing
fase terhadap proses metabolisme (Cuthbertson, 1941). Dikutip dan disadur dari Total
Nutritional Therapy. The instructors Workbook. Abbott. 2003

Peningkatan evaporative heat loss dan stimulasi adrenergik ini disebabkan oleh beberapa
hal:
1. Jaringan yang mengalami kerusakan (dan / atau kehilangan) tidak efektif berperan sebagai
sarana protektif.
2. Peningkatan aliran darah ke lokal cedera sehingga panas dari sentral dilepas di daerah
tersebut, dan melalui proses evaporasi terjadi kehilangan cairan dan panas yang
menyebabkan penurunan suhu tubuh (energi panas yang digunakan untuk proses
evaporasi kurang lebih 578 kcal/l air). Dengan peningkatan aliran darah ke daerah lokal
cedera, terjadi peningkatan curah jantung secara disproporsional; hal ini memacu kerja

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 53


Moenadjat

jantung. Disisi lain peningkatan suhu pada daerah luka akibat bertambahnya aliran ke
daerah lokal cedera ini secara teoritis akan mempercepat proses penyembuhan (dari sudut
pandang ini, respons febris akan menguntungkan host), namun pada kenyataannya,
kehilangan panas (energi) justru diakselerasi oleh adanya febris.
3. Pengaruh mediator pro-inflamasi (Tumor Necrotizing Factor dan interleukin: TNF dan IL1,
IL6)

Kondisi evaporative heat loss dan jaringan luka yang terbuka menyebabkan terjadinya
kehilangan cairan tubuh yang berlebihan, karenanya perlu memperhitungkan Insensible Water
Loss (IWL) lebih banyak dari biasanya.

Perhitungan IWL pada penderita luka bakar menggunakan persamaan:

IWL = (25 + % LB) X TBSA X 24 jam

% LB : persentasi luas luka bakar


TBSA : Total Body Surface Area

Stimulasi adrenergik menyebabkan dilepasnya hormon stres (katekolamin, kortisol,


glukagon), dan adanya resistensi insulin akan menyebabkan peningkatan laju metabolisme
disertai perubahan metabolisme berupa glikolisis, glikogenolisis, proteolisis, lipolisis dan
glukoneogenesis; disamping retensi natrium serta reabsorbsi air.

Cedera jaringan lokal Susunan Saraf Pusat Respons Endokrin

Inflamasi Aktivasi jalur Neuro- Katekolamin


Sitokin endokrin-Pituitary-Adrenal Glukagon
Radikal bebas Kortisol
Produk Neutrofil
HGH
Prostanoids
Testosteron

Respons Sistemik

Konsumsi oksigen
Metabolic rate
Temperatur
Katabolisme protein
Lean body mass

Gambar 47. Respons stres pada cedera. Dikutip dan disadur dari Total Nutritional Therapy. The
instructors Workbook. Abbott. 2003

Perubahan metabolisme pada penderita luka bakar tidak hanya terjadi karena adanya
perubahan hormon stres saja, tetapi juga disebabkan oleh mediator sel radang seperti sitokin,
ekosanoid (prostaglandin, tromboksan, leukotrien) dan radikal bebas yang dilepaskan kedalam
sirkulasi menyusul terjadinya suatu cedera jaringan. Reaksi dari mediator-mediator ini dikenal
sebagai SIRS. Pelepasan sitokin seperti: interleukin1 (IL1), interleukin2 (IL2), interleukin 6 (IL6)
dan Tumor Necrotizing Factor (TNF ) akan menyebabkan hiperkatabolisme menjadi lebih
berat dan berlangsung lebih lama, keadaan tersebut akan memperburuk perjalanan penyakit
penderita luka bakar.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 54


Moenadjat

Perubahan metabolisme pada starvasi dan trauma


Perubahan metabolisme pada starvasi merupakan suatu proses yang berjalan
perlahan melalui fase adaptasi. Kebutuhan energi diupayakan melalui proses
glukoneogenesis yang berasal dari jalur karbohidrat dan lipid. Bila kondisi ini tetap
tidak mampu memenuhi kebutuhan, kebutuhan dipenuhi dengan proteolisis yang
mengandalkan cadangan protein tubuh (lean body mass). Pada trauma, proteolisis
menempati urutan pertama dengan segala konsekuensinya. Pada saat tersebut,
hanya sel-sel otak dan sel darah merah yang memanfaatkan glukosa sebagai
sumber energinya.

Gejala klinik yang timbul pada status katabolik ekstensif ini adalah kelelahan, emasiasi,
kelemahan, gangguan fungsi organ vital dan balans energi negatif. Untuk menghadapi kondisi
stres, diperlukan kebutuhan energi yang lebih besar, bahkan pada penderita dengan luas luka
bakar lebih dari 40% luas permukaan tubuh akan terjadi peningkatan kebutuhan energi sampai
2 kali lebih besar dibandingkan keadaan normal; 80-85% kalori yang dibutuhkan tersebut
bersumber dari cadangan lemak dan pemecahan protein tubuh, oleh karenanya terjadi
degradasi massa tubuh (lean body mass) yang menyebabkan penurunan berat badan.
Pada penderita luas luka bakar lebih dari 40% akan terjadi penurunan BB mencapai lebih
kurang 20%, pada penurunan BB 10-40% akan dijumpai kondisi yang dapat disamakan
dengan malnutrisi, sedangkan bila penurunan BB mencapai 40-50% akan menggambarkan
kondisi keseimbangan nitrogen negatif dengan kehilangan massa protein lebih kurang 25-30%,
bila kondisi ini terjadi akan berakibat fatal.

Gambar 48. Peningkatan Basal Metabolic Rate (BMR) pada kasus luka bakar. Dikutip
dan disadur dari Total Nutritional Therapy. The instructors Workbook. Abbott. 2003

Titik kritis dari gangguan metabolisme ini adalah luka bakar dengan luas 40% permukaan tubuh. Tidak
dijumpai perbedaan bermakna pada luka bakar dengan luas lebih dari 40% dengan gangguan metabolisme
yang terjadi pada luka bakar dengan luas 40% (Wolf, 2001)

Gangguan Metabolisme Karbohidrat

Pada kondisi trauma berat, khususnya luka bakar terjadi keadaan hiperglikemi yang
disebut juga Burn pseudo diabetes, hal ini disebabkan oleh peningkatan proses glikogenolisis

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 55


Moenadjat

dan glukoneogenesis, proses tersebut dipicu oleh pelepasan hormon stres, mediator inflamasi
(sitokin, ekosanoid) dan resistensi insulin. Proses glukoneogenesis sendiri sebenarnya
merupakan upaya kompensasi tubuh untuk menyediakan sumber enersi bagi kelangsungan
hidup penderita, dimana glukosa yang terbentuk sangat dibutuhkan sebagai bahan bakar
utama bagi jaringan luka, hemopoetik dan otak.

Gambar 49. Sel tubuh manusia. Dikutip dan disadur dari Martini, FH. Fundamentals
of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001

Gambar 50. Gangguan metabolisme glukosa. Tanda panah menunjukan proses piruvat
masuk ke dalam mitokondria, proses ini dihambat oleh TNF IL1 dan IL6, sehingga
berlangsung metabolisme an-aerob (siklus Cori) dengan akibat peningkatan produksi laktat.
Hal ini mencerminkan inefisiensi utilisasi glukosa oleh sel. Dikutip dan disadur dari Total
Nutritional Therapy. The instructors Workbook. Abbott. 2003

Gambar 51. Mediator pro-inflamasi memicu pelepasan counter regulatory hormone yang
menyebabkan resistensi insulin yang menyebabkan inefisiensi metabolisme glukosa. Dikutip
dan disadur dari Popp, MB, Brennan, MF. Metabolic response to trauma and infection. In: Fischer
JE, ed. Surgical nutrition, 1st ed. Boston: Little, Brown and Company, 1983; 479-507

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 56


Moenadjat

Pada daerah luka terjadi peningkatan aliran darah setempat dan uptake glukosa tanpa
disertai peningkatan konsumsi oksigen, hal ini akan menyebabkan terjadinya metabolisme
glukosa dalam suasana anaerob, yang akan menghasilkan asam laktat. Asam laktat yang
terbentuk ini bersama-sama dengan asam amino alanin, glutamin yang merupakan hasil dari
proteolisis protein otot, dan gliserol serta asam lemak dari hasil lipolisis jaringan adiposa akan
dikembalikan ke hati untuk mengalami proses glukoneogenesis.

Gambar 52. Proses pelepasan insulin dalam keadaan normal. Dikutip dan disadur
dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall;
2001

Gambar 53. Pelepasan insulin diikuti oleh aktivasi reseptor insulin di intra dan
ekstraseluler. Dikutip dan disadur dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology,
5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 57


Moenadjat

Gambar 54. Insulin-signaling pada metabolisme glikogen. Dikutip dan disadur


dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice
Hall; 2001

Gambar 55. Regulasi insulin-mediated pada metabolisme glikogen. Proses ini


dihambat oleh sitokin yang menyebabkan inefisiensi insulin. Dikutip dan disadur
dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall;
2001

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 58


Moenadjat

Gambar 56. Skema resistensi insulin yang terjadi pada cedera. Dikutip dan disadur dari
Williamson, J. Physiologic stress: trauma, sepsis, burn and surgery. In: Mahan, LK, Arlin, MT, ed
Krause's food, nutrition & diet therapy, 8th ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 1992

Gambar 57. Transpor badan keton dari hepar dan mekanisme penggunaan serta oksidasi dalam
jaringan ekstrahepatik. Dikutip dari Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW: Biokimia
Harper. Ed 24. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 1997 p238.

Gangguan Metabolisme Lemak

Pelepasan hormon stres (katekolamin, kartisol, glukagon) dan rendahnya kadar insulin
yang terjadi pada luka bakar akan menyebabkan terjadinya lipolisis dan mobilisasi cadangan
lemak tubuh sebagai upaya penyediaan enersi. Mobilisasi asam lemak bebas yang terjadi lebih
besar dibanding oksidasi asam lemak sebagai sumber enersi, akibatnya kadar asam lemak
bebas di plasma akan meningkat.
Pada luka bakar berat, lebih dari 70% asam lemak bebas akan mengalami esterfikasi di hati
menjadi trigliserida yang akan dilepaskan ke plasma sebagai Very Low Density Lipoprotein
(VLDL).Selanjutnya VLDL di plasma akan dikirim dan disimpan di jaringan adiposa, tetapi pada
penderita luka bakar transport VLDL dari hati menurun karena kegagalan sintesis lipoprotein,
hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi lemak di hati. Akumulasi lemak di hati ini
berhubungan dengan beratnya luka bakar, dan dikatakan tidak berhubungan dengan pengaruh
pemberian nutrisi.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 59


Moenadjat

Gambar 58. Gangguan metabolisme fatty acids Tanda panah menunjukan proses fatty
acids masuk ke mitokondria dihambat oleh TNF IL1 dan IL6 (blokade carnitine)
sehinggafatty acids tidak dapat digunakan untuk menghasilkan energi (ATP) dan terjadi
peningkatan produksi triglycerides. Peningkatan Trigliserida bersifat toksik bagi sel-sel
tubuh terutama sel-sel otak. Dikutip dan disadur dari Total Nutritional Therapy. The
instructors Workbook. Abbott. 2003

Gangguan Metabolisme Protein

Pelepasan hormon stres dan mediator sel radang (IL1, TNF, IL2, dan IL6) menyebabkan
terjadinya perubahan metabolisme protein pada penderita luka bakar, yang ditandai oleh
terjadinya proteolisis protein otot dan peningkatan ekskresi nitrogen melalui urin, sehingga
menyebabkan terjadinya imbang nitrogen negatif.

Gambar 59. Degradasi protein berbagai sumber cadangan tubuh. Dikutip dan disadur dari
Total Nutritional Therapy. The instructors Workbook. Abbott. 2003

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 60


Moenadjat

Gambar 60. Gangguan metabolisme protein ditandai oleh adanya imbang nitrogen
negatif dijumpai pada beberapa kondisi, yang paling berat adalah luka bakar.
Dikutip dan disadur dari Total Nutritional Therapy. The instructors Workbook.
Abbott. 2003

Deplesi protein digambarkan oleh penurunan kadar Albumin dalam


darah, karena peran Albumin mencerminkan kadar protein dalam tubuh
(80%). Pemeriksaan kadar Albumin menjadi penting karenanya; namun
perlu diingat bahwa pemeriksaan kadar Albumin saja tidak
mencerminkan kondisi protein sepenuhnya. Pemeriksaan kadar protein
total dan rasio Albumin-Globulin dapat memberikan informasi kasar
mengenai metabolisme dan sinthesis protein.

Gambar 61. Deplesi protein (khususnya Albumin) pada cedera termis. Dikutip
dan disadur dari Total Nutritional Therapy. The instructors Workbook. Abbott.
2003

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 61


Moenadjat

Gambar 62. Gangguan metabolisme pada luka bakar dikaitkan dengan metabolic rate,
kadar glukosa, insulin, glukagon, katekolamin, balans nitrogen dan berat badan penderita.
Dikutip dan disadur dari Metabolic Changes in Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the
Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing &
Burn Injuries. Aug 2005

Gambar 63. Gangguan metabolisme protein-asam amino terjadi penguraian protein


diikuti peningkatan produksi ammonia. R adalah rantai karbon. Dikutip dan disadur dari
Total Nutritional Therapy. The instructors Workbook. Abbott. 2003

Gambar 64. Struktur membran sel yang terdiri dari komponen protein dan fosfolipid.
Proteolisis menyebabkan kerusakan membran protein sel, dengan demikian fungsi sel
terganggu.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 62


Moenadjat

Gambar 65. Metabolisme arginine melalui siklus urea dengan produk akhir urea dan Nitric oxide. Dikutip dan
disadur dari Dikutip dari Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW: Biokimia Harper. Ed 24. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC 1997

Peningkatan proteolisis protein otot bertujuan untuk membentuk protein fase akut
(misalnya C-Reactive Protein, CRP), penyembuhan luka, peningkatan aktivitas imunologi,
proses glukoneogenesis dan mengganti hilangnya protein melalui eksudat luka. Pada
degradasi protein otot akan dilepaskan alanin dan glutamin. Alanin adalah prekursor utama
untuk glukoneogenesis, sedangkan glutamin merupakan bahan bakar untuk epitel usus, sel
imunitas dan pembentukan amonia di ginjal. Akibat perubahan metabolisme protein tersebut,
akan menyebabkan status protein penderita luka bakar menurun drastis, sehingga dibutuhkan
asupan protein yang adekuat sebagai pengganti protein yang hilang. Di sisi lain, pemecahan
protein berlebihan akan diikuti peningkatan produksi ammonia (urea) dan Nitric oxide.

Gambar 66. Proteolisis menjadi karakteristik gangguan metabolisme protein pada luka bakar. Dikutip dan
disadur dari Total Nutritional Therapy. The instructors Workbook. Abbott. 2003

Bahan Bacaan
1. Sabiston, D(ed.). The Biological Basis of Modern Surgical Practice. Philadelphia: W.B. Saunders, Co. 1991.
2. Astiz ME. Pathophysiology and classification of shock states. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek
PM. Textbook of Critical care 5th ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders. 2005 p:897-904.
3. Bates DO, Hillman NJ, Williams B, Neal CR, Pocock TM. Regulation of microvascular permeability by
vascular endothelial growth factors. J. Anat. (2002) 200, pp581597
4. Arturson G. Mechanism of injury. In: Settle JAD, ed. Principles and practice of burns management.1st ed. New
York: Churchill Livingstone, 1996; 61-82.
5. Williamson, J. Physiologic stress: trauma, sepsis, burn and surgery. In: Mahan, LK, Arlin, MT, ed Krause's food,
nutrition & diet therapy, 8th ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 1992; 491-506,

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 63


Moenadjat

6. Wilmore, DW. Metabolic changes ater thermal injury. In: Boswick JA. ed. The art and science of burn care.
Rockville, Maryland: An Aspen Publication, 1987; 137-151.
7. Pereira CT, Murphy KD, Herndorn DN. Altering Metabolism. J of Burn Care and Rehabilitation 25(3): 194-199
8. Metabolic Abnormalities in the Burn Patient. Burn Module. Available in websites: http://www.burnsurgery.org
access July 2005.
9. Hart, Wolf SE. Metabolik changes in burn. Annals of surgery 2001.
10. Kinney JM. Metabolic and nutritional support in critically ill patients: feeding the whole body or individual
organs? Curr Opin Clin Nutr Metab Care. 2001 Mar;4(2):127-30.
11. Abbot Laboratories. Metabolic Response to Starvation, Infection and Trauma. Total Nutritional Therapy Course.
Program Mannual Book.Abbot Laboratories. 1997 p99-116
12. Burn Modules: Metabolic abnormalities in Burn Patients. Available in websites: http://www.burnsurgery.org
13. Brodsky IG. Hormone, cytokine, and nutrient interactions. In: Shils ME, Olson JA, Shike M, Ross, AC, ed. Modern
nutrition in health and disease 9th ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1999; 699-724.
14. Laitung G. Metabolic responses and requirement. In: Settle JAD, ed. Principle and practice of burn management,
1st ed. New York: Churchill Livingstone, 1996; 137-62.
15. Popp, MB, Brennan, MF. Metabolic response to trauma and infection. In: Fischer JE, ed. Surgical nutrition, 1st ed.
Boston: Little, Brown and Company, 1983; 479-507.
16. Hill, GL. Disorders of nutrition and metabolism in clinical surgery. UK: Churchill Livingstone, 1992.
17. Burn Modules: Nutritional Support of Burn Patients. Available in websites: http://www.burnsurgery.org
18. Barton, RG. Nutrition support in critical illness. NCP. 9, 1995; 91-103.
19. Jeejeebhoy, NK. Nutrition in critical illness. In: Ayris MS, Grenvik A, Holbrook RP, Shoemakar, CW, ed. Textbook
of critical Care, 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 1995; 1106-1114.
20. Wachtel, TL. Nutritional support of the burn patient. In: Boswick JA, ed. The art and science of burn care.
Rockville, Maryland: An Aspen Publication, 1987; 203-220.
21. Wolfe SE. Metabolic Changes in Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society
(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.
22. Wolfe SE. Pathophysiology of Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society
(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 64


Moenadjat

Bab III

3. SIRS dan MODS pada Luka Bakar


Yefta Moenadjat

alam perjalanan penyakitnya luka bakar dipengaruhi oleh peran beberapa faktor yang
D menentukan berat ringan penyakit dan sekaligus prognosisnya; faktor-faktor tersebut
dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang berperan
disebutkan antara lain adalah keadaan umum pasien, usia, status gizi dan kondisi-kondisi
premorbid lainnya, termasuk kehamilan, penyakit atau kelainan yang ada seperti penyakit
jantung, kelainan ginjal, kelainan vaskuler dan kelainan metabolik lainnya. Yang dimaksud
dengan faktor eksternal adalah jenis trauma dan penatalaksanaannya. Jenis trauma
merupakan faktor yang sangat berperan memengaruhi perjalanan penyakit dan prognosis;
adanya cedera inhalasi, syok, luas dan dalamnya luka bakar serta cedera penyerta lainnya.
Sedangkan penatalaksanaan, antara lain pertolongan pertama yang diberikan, tindakan
resusitasi dan penatalaksanaan lanjut; termasuk tatalaksana perawatan luka.

Gambar 67. Diagram konsep SIRS dan Sepsis menurut Bone (1980). Dikutip dan disadur dari
Baue AE. The complexities of sepsis and organ dysfunction. In: Baue AE, Berlot G, Gullo A
(editors). Sepsis and organ dysfunction: Epidemiology and scoring systems, pathophysiology
and therapy. Milano: Springer Verlag; 2000

Pada teori perkembangan Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan Multi-
system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dijelaskan bahwa peran beberapa faktor tersebut
di atas sangat erat, khususnya pada kasus trauma berat seperti luka bakar. Insiden SIRS dan
MODS pada kasus luka bakar belum pernah dilaporkan dalam terbitan maupun literatur,
sementara angka kematian kasus luka bakar masih tetap tinggi. Berdasarkan pengamatan
yang dilakukan pada kasus-kasus luka bakar di Unit Pelayanan Khusus Luka Bakar (UPK-LB)
RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 1999-2000, dijumpai gambaran klinik dari
SIRS dan MODS pada hampir 90% kasus kematian, hanya 2% dijumpai tanda sepsis, sisanya
tidak dapat dijelaskan penyebab kematiannya.
SIRS adalah suatu bentuk respons klinik yang bersifat sistemik dan eksageratif terhadap
berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun non infeksi seperti trauma, luka bakar,

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 65


Moenadjat

reaksi autoimun, sirosis, pankreatitis, dll 8. SIRS dan MODS ini tidak pernah dijumpai pada
penderita sehat, namun pada kasus-kasus trauma berat, debil, exhaustion seperti juga pada
proses keganasan. Bila terbukti secara obyektif SIRS ini disebabkan oleh infeksi disebut
Sepsis.
Respons ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi yang
mulanya bersifat fisiologik (konstruktif) dalam proses penyembuhan luka (efek positif); oleh
karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respons ini berubah secara
berlebihan (eksageratif) yang menyebabkan kerusakan dan disfungsi organ-organ sistemik
(efek negatif, destruktif) dan berakhir dengan kegagalan organ terkena dalam menjalankan
fungsinya. (MODS sampai Multi-system Organ Failure, MOF).

Ada lima hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury,
inflammation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury; kelimanya dapat
dijumpai pada luka bakar sehingga tak heran bila SIRS dan MODS merupakan suatu yang
lazim dijumpai pada luka bakar.

Peran Endotel, Leukosit dan Trombosit pada SIRS

Untuk menjelaskan SIRS, perlu diketahui peran endotel, leukosit dan trombosit sebagai
awal proses inflamasi sistemik ini. Pada respons sistemik, ketiga komponen tersebut berperan
aktif dan saling mengadakan interaksi. Interaksi yang timbul mulanya mungkin hanya
melibatkan dua komponen saja, namun bila respons inflamasi berkembang menjadi reaksi
sistemik maka ketiganya terlibat aktif dalam proses.

Gambar 68. Diagram korelasi peran endotel-trombosit-leukosit pada respons


inflamasi menurut Spiess. Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J
Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Endotel
Endotel dalam keadaan normal berperan: a) sebagai pelapis pembuluh darah dan b)
dalam sistem imunologi yang diperlukan untuk mekanisme pertahanan tubuh. Dalam fungsinya
sebagai pelapis pembuluh darah, endotel berperan dalam mempertahankan permeabilitas
kapiler dan memfasilitasi berlangsungnya pertukaran zat baik secara aktif maupun pasiv. Untuk
tujuan itu endotel mengeluarkan zat-zat yang berperan lokal dalam memengaruhi baik endotel
itu sendiri (autocrine) maupun sel lain yang letaknya berdekatan atau jauh (paracrine) Sekresi

8 Sebelumnya, SIRS dikenal dengan terminologi sepsis; saat ini terminologi sepsis digunakan untuk menerangkan

SIRS yang jelas disebabkan oleh infeksi.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 66


Moenadjat

endotel tersebut didahului oleh adanya suatu rangsang. Beberapa kondisi abnormal (misalnya
aliran yang tinggi maupun rendah, iskemia atau hipoksia sebagaimana dijumpai pada syok,
infeksi dan sepsis) akan menyebabkan perangsangan endotel mengeluarkan zat dimaksud.
Sekret yang berupa zat aktif yang dikeluarkan memiliki fungs yang saling bertentangan, yaitu
konstriksi dan dilatasi pembuluh darah; serta mencegah terjadinya pembekuan intravaskuler.

Gambar 69. Reaksi endotel pada pada cedera. Dikutip dan disadur dari Spiess DB:
Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher,
Publishing]

Gambar 70. Aktivasi endotel diikuti pelepasan mediator-mediator pro inflamasi.


Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27
(Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing]

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 67


Moenadjat

Gambar 71. Sel endotel pada manusia diaktivasi oleh sinyal eksternal; merangsang thrombin
melalui sel reseptor protease-alfa heptahelik (PARs) dan menyebabkan dilepaskannya P-selectin
sehingga menyebabkan berlangsungnya sintesis Platelete Activating Factor (PAF) secara cepat
dan menggunakan zat ini untuk signaling neutrofil yang diperlukan untuk proses adhesi dan
respons trombotik. Dikutip dan disadur dari Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J
Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Gambar 72. Makrofag dan sel-sel ekstravaskuler lainnya melepaskan sitokin. Sitokin dikenali oleh reseptor pada
endotel dan menginduksi timbul serta aktivasi respon multipel. Produk bacterial seperti Lipopolosakarida (LPS)
dan berbagai endotoksin lainnya terikat pada gugus reseptor menyerupai Toll yang diekspresikan oleh endotel
juga memicu proses aktivasi. Dikutip dan disadur dari Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J
Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Gambar 73. Interleukin (IL1 ) disintesis dan dilepas oleh endotel yang telah distimulasi sebelumnya oleh aktivasi
trombosit, menghasilkan suatu adhesi neutrofil yang bersifat endothel-dependent. Gambar ini menunjukan
mekanisme sel-sel darah di ruang intravaskuler menginisiasi dan menyebabkan amplifikasi aktivasi endotel.
Peptida Epithelial Neutrophil-Activating (ENA), Oncostatin (OSM) dan PMN berperanan dalam proses ini. Dikutip
dan disadur dari Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996
Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 68


Moenadjat

Gambar 74. Aktivasi endotel dan berbagai langkah pengendalian interaksi target dan fungsi endotel pada proses
inflamasi. Paradigma berbagai langkah ini menjelaskan setiap kejadian pada proses adhesi neutrofil (PMN),
aktivasi lokal, transmigrasi di daerah vanula sesuai aliran sirkulasi. Setiap langkah bersifat iritis bagi adhesi PMN
dan emigrasi pada kondisi dimana terjadi gangguan sirkulasi. Aktivasi endotel merupakan awal dari rangkaian
langkah selanjutnya. Dikutip dan disadur dari Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc
Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Gambar 75. Rangkaian kompleks timbulnya proses inflamasi. Dikutip dan disadur dari Dikutip
dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996
Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 69


Moenadjat

Leukosit
Leukosit yang terdiri dari limfosit, neutrofil, eosinofil dan basofil berperan dalam
immunologi. Neutrofil ikut ke dalam aliran pembuluh darah, sedangkan mast cell tetap berada
di jaringan.

Gambar 76. Proses fagositosis. Dikutip dan disadur dari Martini, FH.
Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall;
2001

Anatomi dan Fungsi Leukosit


Leukosit termasuk dalam golongan sistem proteksi tubuh, oleh karenanya leukosit
merupakan suatu unit mobile yang ikut dengan aliran darah. Leukosit-leukosit ini akan
diarahkan ke 1) area yang memberi sinyal inflamasi sehingga akan membantu mengatasi
proses inflamasi atau 2) menuju antigen penyebab inflamasi secara cepat dan kuat.
Sebagian besar limfosit berada di sistim getah bening dan hanya sebagian kecil yang
berada di aliran darah. Leukosit menangani atau mengatasi antigen yang masuk ke dalam
tubuh dengan cara melakukan fagositosis dan mencernanya, sedangkan limfosit dan sel
plasma yang berada di sitim reticulo-endothelial (berhubungan dengan sistim imun) akan
mengeluarkan cairan yang berfungsi imunologik. Dalam neutrofil basofil, eosinofil terdapat
butir-butir (granules), yang mengandung zat digesti. Bila terdapat bakteri akan berlangsung
proses fagositosis, diikuti proses pencernaan bakteri. Granul-granul tersebut tidak dapat
diperbarui karena sel-sel leukosit tidak memiliki lisosom yang membentuk atau memproduksi
protein.

Pembentukan Sitokin
Bila antigen masuk ke dalam tubuh, antigen tersebut akan diproses oleh Antigen
Processing Cell (APC) dan dikeluarkan epitope di tepi makrofag. Epitope dikeluarkan pada tepi
APC sebagai Cass II Major Histocomptability Complex (MHC). 9
Epitope dengan MHC dikenali oleh Limfosit T-helper (TH), selanjutnya diaktivasi oleh
immunugen-epitope dan IL1. Sel TH mengeluarkan IL2 yang bertujuan 1) merangsang sel itu
sendiri untuk memperbanyak diri dan 2) merangsang sel limfosit TH untuk mengenali
immunogen 3) mengaktifkan sel T Cytotoxic (TC) yang akan mencari Class II MHC dan
membunuhnya dan atau 4) mengaktifkan Memory TH Cell dan 5) mengaktifkan sel B untuk
mengeluarkan immunoglobulin yang akan menangkap antigen 6) mengeluarkan sitokin B cell
growth factor (BCGF) dan B cell differentiation factor (BCDF), dimana BCGF berperanan

9Class II ditujukan untuk antigen asing atau yang berasal dari luar tubuh. Umumnya sel jaringan tubuh merupakan
Class I MHC, hanya sebagian kecil merupakan Class II.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 70


Moenadjat

penting untuk merangsang sel-sel limfosit memperbanyak diri sedangkan BCDF berperanan
menjadikan sel B yang spesifik.

Gambar 77. Rangkaian aktivasi imun kompleks menyebabkan pelepasan


radikal bebas yang memicu pelepasan mediator pro-inflamasi.

Adhesi leukosit
Adhesi leukosit diperlukan dalam mekanisme pertahanan tubuh. Sebelum keluar pembuluh
darah (menyerang sumber infeksi) leukosit terlebih dahulu harus melekat dengan endotel; hal
ini dimungkinkan karena dikeluarkannya beberapa zat yang diperlukan agar leukosit dapat
keluar dari pembuluh darah.
Endotel melepaskan secretin (diperlukan untuk adhesi leukosit) dan integrin (diperlukan
leukosit keluar dari pembuluh darah). Limfosit dalam hal ini turut berperan dalam
berlangsungnya proses adhesi dan keluarnya leukosit melalui pelepasan interleukin (melalui
peran interleukin yang dilepaskan, terutama IL6 dan IL8). Zat-zat ini dikeluarkan karena adanya
rangsangan (misalnya infeksi) yang tidak terjadi pada keadaan normal; dapat bersifat lokal
atau difus (misalnya pada syok, hipoksia-iskemia yang berkepanjangan, sepsis). Bila seluruh
endotel terangsang, proses adhesi bersifat difus dan mengakibatkan edema jaringan yang
berlanjut dengan disfungsi bahkan kegagalan organ. Kegagalan organ ini sangat tergantung
dimana leukosit berkumpul.

Gambar 78. Adhesi leukosit pada endotel. Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction.
J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 71


Moenadjat

Gambar 79. Bagan proses adhesi leukosit pada endotel. Dikutip dan disadur dari Spiess
DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher,
Publishing

Adhesi leukosit dilawan oleh Nitric oxide (NO), prostacycline dan adenosine yang
diproduksi oleh endotel pada keadaan normal.

Trombosit
Trombosit berbentuk bulat atau lonjong, berasal dari megakaryosit dan dibentuk di
sumsum tulang. Kadarnya dalam darah berkisar antara 150-300 ribu sel/mm3. Di dalam
trombosit terdapat:
1. Actyn dan myosin yang terdapat pada otot skelet serta thrombostenin yang memungkinkan
trombosit berkontraksi.
2. Endoplasmic reticulum dan aparatus Golgi yang membentuk enzim-enzim.
3. Mitokondria yang membentuk ATP dan ADP
4. Enzim yang membuat prostaglandin yang diperlukan untuk perubahan endotel dan sel
jaringan lain
5. Membuat fibrin stabilizing factor
6. Membuat growth factor yang menyebabkan perubahan dan pertumbuhan endotel dan sel-
sel media fibroblas

Lapisan luar trombosit juga mengandung glikoprotein yang berfungsi mencegah perlekatan
trombosit dengan endotel normal; terdiri dari lipoprotein dan mengandung thrombocyt factor-3
yang berperan dalam proses pembekuan darah.
Trombosit bertanggung jawab atas proses pembekuan darah. Bila terjadi perdarahan,
proses pertama yang terjadi adalah pembentukan sumbatan pembuluh. Trombosit diaktifkan
bila terjadi kontak dengan endotel yang rusak atau leukosit yang aktif. Sekali aktif, maka
trombosit akan melekat satu sama lain membentuk ADP, tromboksan dan zat lainnya. Saat
terjadi kontak, akan dibentuk pseudopodia yang mempercepat interaksi dalam sel. Dalam
jumlah kecil akan diproduksi eikosanoid, aktivasi kolagen dan pelepasan faktor Von Williebrand
dan mempercepat ekspresi tissue factor endotel dan monosit. Hal ini terjadi pada saat
pecahnya alpha dan granule (berisi serotonin, epinefrin, fibrinogen, ADP dan tromboksan)

Hemostasis Inflamasi
Sebagaimana dijelaskan, pada keadaan normal, endotel, trombosit dan leukosit tidak
saling mengeluarkan zat yang mengakibatkan perlekatan dan atau menimbulkan bekuan yang
akan menyebabkan kerusakan. Sebaliknya pada keadaan normal ketiganya mengeluarkan zat-
zat yang menyebabkan ketiga jenis sel tersebut saling menjauhi.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 72


Moenadjat

Namun pada keadaan abnormal satu atau ketiganya saling mengeluarkan zat yang akan
menyebabkan adhesi antara endotel dengan trombosit atau leukosit, diikuti kerusakan sel-sel
tersebut. Sel-sel mengalami lisis dan mengeluarkan zat yang mempengaruhi baik endotel,
trombosit maupun leukosit secara tersendiri atau bersamaan (mungkin trombosit sendiri,
mungkin leukosit sendiri atau bersamaan).

Gambar 80. Bagan proses pembekuan. Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J
Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Dengan adanya kerusakan sel-sel ini (trombosit, leukosit), akan terjadi adhesi dengan
endotel yang menyebabkan pembekuan intravaskuler. Endotel yang sebenarnya tidak memiliki
faktor ekstrensik (tissue factor) akan mengeluarkan faktor-faktor tersebut sehingga
memungkinkan terjadinya pembekuan intravaskuler ini. 10 Saat trombin terbentuk, maka trombin
akan mempengaruhi zat-zat lain yang berada di plasma dan atau sel lain (lihat proses pada
gambar 80). Bila ini terjadi secara berlebihan, karena proses yang bersifat difus maka akan
terjadi fibrinolisis. 11
10 Masalah yang timbul akibat proses ini berkaitan dengan aktivasi endotel. Bila terjadi aktivasi endotel, maka

banyak faktor lain bekerja pada endotel (yang rusak). Sehingga proses sebagaimana diuraikan akan berlangsung.
Beberapa kemungkinan dalam hal ini antara lain dikemukakan adalah upaya mencegah terbentuknya faktor VII
atau faktor IX, atau mencegah transkripsi gen sehingga tidak terbentuk tissue factor di intrasel.
11 Untuk mencegah fibrinolisis dapat dipikirkan pemberian AT-III dan anti protease (aprotinin atau trasylol). Seperti

diketahui trombin sebagai penyebab terpakainya faktor koagulasi, trombositpenia, dan selanjutnya akan
menyebabkan keadaan systemic fibrinolytic. Oleh karena AT-III dapat mengikat trombin bila ditemui peningkatan
trombin pada keadaan fibrinolisis. Untuk tujuan ini juga dipikirkan pemberian asam transenamat dan aprotinin.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 73


Moenadjat

Gangguan proses koagulasi

Proses koagulasi berlangsung bila sel darah berada di jaringan (di


luar pembuluh darah), oleh karenanya dalam kondisi demikian
endotel akan mengeluarkan zat yang berfungsi mencegah proses
pembekuan. Endotel merupakan satu-satunya sel tubuh yang tidak
menyebabkan pembekuan dan mengeluarkan tissue factor. Selain
memiliki efek anti adhesi, Nitric oxide (NO), prostacycline dan
adenosine yang diproduksi oleh endotel juga memiliki efek
mencegah terjadinya pembekuan, agregasi trombosit dan berperan
dalam vasodilatasi. Endotel juga mengeluarkan heparan yang memiliki efek serupa dengan
heparin yang berikatan dengan thrombin dan mencegah terjadinya perubahan fibrinogen
menjadi fibrin.
Bila terbentuk bekuan di dalam pembuluh darah, maka pada saat yang bersamaan
berlangsung proses perangsangan yang diikuti pembentukan tissue plasminogen activator
(berperan sebagai suatu katalisator perubahan plasminogen menjadi plasmin yang akan diikuti
lisis bekuan). Selanjutnya, thrombomodulin-thrombine-C reactive Protein akan merusak faktor
VIIIa dan Va.
Perubahan yang terjadi dapat disebabkan karena: 1) menurunnya fungsi faktor-faktor
pembekuan, 2) defek trombosit dan 3) disregulasi sistim fibrinolisis yang kompleks.

Gambar 81. Bagan terjadinya fibrinolisis. Dikutip dan disadur dari Spiess DB:
Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven
Publisher, Publishing

Bila terjadi proses hipoksia-iskemia maka endotel memiliki kemampuan untuk memanggil
leukosit dan melokalisir kerusakan untuk kemudian memperbaikinya. Makin luas jaringan
iskemik maka semakin banyak leukosit terkumpul. Demikian pula halnya bila terdapat proses
infeksi atau pelepasan cytokine.

Pada keadaan hipoksia dan iskemia ini ada beberapa kemungkinan terjadi:
1) Mobilisasi neutrofil. Proses inflamasi tidak akan berlangsung demikian beratnya; karena
mobilisasi neutrofil tidak jelas diikuti adhesi ke endotel. Saat sirkulasi kembali membaik
atau dengan kata lain hipoksia diperbaiki, gangguan fungsi endotel dan neutrofil menjadi
lebih nyata dan lebih berat; bahkan terjadi suatu keadaan no reflow meskipun arteriol tidak
tertutup. Bila ini terjadi di otot jantung maka akan terjadi gangguan kontraksi jantung,
sebaliknya terjadi gangguan sirkulasi yang disebabkan adanya gangguan kontraksi
jantung. Demikian pula pada organ lain, akan terlihat gangguan fungsi organ yang
bersangkutan.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 74


Moenadjat

2) Bila mana cytokines masuk ke sirkulasi seluruh tubuh, terjadi reaksi inflamasi difus yang
berat di seluruh tubuh.

Kerusakan endotel tidak hanya terjadi karena proses hipoksia-hipoksemia saja, tetapi juga oleh
cytokine, C5a-C9a complex dan lipo-polisacaharide yang berasal dari endotoxin bakteri. Selain
itu, purin dan hasil metabolik asam arakhidonat (menghasilkan radikal bebas) akan
menyebabkan kerusakan endotel.
Saat SIRS timbul, hampir seluruh zat-zat primer akan meningkat secara tidak terkendali (misal:
serine protease dan lain-lainnya).

Gambar 82. Aktivasi komplemen. Bagan bilamana terjadi inflamasi yang terjadi di seluruh tubuh.
Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996
Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 75


Moenadjat

Gambar 83. Proses dari suatu rangkaian kompleks yang melibatkan komponen endotel,
leukosit dan trombosit menyebabkan aktivasi komplemen berakhir dengan koagulasi yang
mengganggu sirkulasi. Koagulasi ini merupakan kondisi patologik yang menyebabkan
dilepaskannya radikal bebas dan menyebabkan cedera reperfusi yang berlanjut menjadi suatu
kondisi iskemia-reperfusi dan berakhir dengan gagal organ multiple. Kraiss LW, Martinez ML,
Prescott SM, Zimmerman GA. Endothelial function. in Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM. Textbook of Critical care 5th ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders, 2005.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 76


Moenadjat

Iskemia dan cedera reperfusi

Iskemia jaringan yang terjadi selama periode syok memberi dampak negatif pada perjalanan
penyakit dan memicu perkembangan SIRS dan MODS. Adanya iskemia jaringan
menyebabkan peningkatan metabolisme xantin yang melepaskan superoksida (reactive
oxygen species) seperti O2-, OH, H2O2 dan mengikat Fe++ yang menyebabkan kerusakan
jaringan.

Gambar 84. Metabolisme xantin menghasilkan superoksida yang menyebabkan kerusakan jaringan.

Kerusakan jaringan yang terjadi akibat aktivasi metabolisme xantin ini merupakan stimulator
dilepaskannya sitokin dan mediator-mediator pro-inflamasi lebih banyak lagi ke sirkulasi dan
memicu berkembangnya SIRS dan MODS sebagai insult kedua. (Lihat kembali halaman 50,
gambar 45).

Perjalanan SIRS

Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone dalam beberapa
tahap.

Tahap I
Respons inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka bakar atau
trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator pro-inflamasi
seperti sitokin; yang selain membangkitkan respons inflamasi juga berperan pada proses
penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial (efek positif sitokin lebih besar
dari efek negatifnya). Sitokin adalah pembawa pesan fisiologis dari respons inflamasi. Molekul-
molekul utamanya meliputi Tumour Necrotizing Factor (TNF ), interleukin (IL1, IL6), interferon,
Colony Stimulating Factor (CSF), dan masih banyak lagi peptida-peptida baru. Efektor seluler
respons inflamasi (sel-sel yang menghasilkan sitokin dan mediator-mediator inflamasi lain)
adalah sel-sel PMN, monosit, makrofag dan sel-sel endotel. Sel-sel endotel melepaskan
molekul-molekul adhesi dan reseptor-reseptor untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder
seperti prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Factor (PAF), radikal bebas,

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 77


Moenadjat

oksida nitrit (nitric oxide), dan protease (cathepsin, elastase). Endotel teraktivasi dan
lingkungan yang kaya sitokin mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga terjadi trombosis lokal.
Hal ini mengurangi kehilangan darah melalui luka, namun disamping itu timbul efek
pembatasan (walling off) jaringan cedera sehingga secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi.

Gambar 85. Grafik peningkatan kadar sitokin dalam darah setelah suatu cedera.

Tahap II
Sejumlah sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru meningkatkan respons lokal.
Terjadi pengerahan makrofag, trombosit dan stimulasi produksi faktor pertumbuhan (Growth
Factor, GF). Selanjutnya dimulailah respons fase akut yang terkontrol secara simultan melalui
penurunan kadar mediator pro-inflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis
reseptor IL1 dan mediator-mediator anti-inflamasi lain seperti IL4, IL10, IL11, reseptor terlarut
TNF (Transforming Growth Factor, TGF). Dengan demikian mediator-mediator tersebut
menjaga respons inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik oleh down regulating cytokine
production dan efek antagonis terhadap sitokin yang telah dilepaskan. Keadaan ini
berlangsung hingga homeostasis terjaga.

Tahap III
Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III (SIRS); terjadi reaksi
sistemik yang masif. Efek predominan dari sitokin berubah menjadi destruktif. Sirkulasi dibanjiri
mediator-mediator inflamasi sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke
dalam berbagai organ dan mengakibatkan kerusakan. Respons destruktif regional dan sistemik
(terjadi peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas mikrovaskuler, akselerasi
trombosis mikrovaskuler, aktivitas sel leukosit-endotel) yang mengakibatkan perubahan-
perubahan patologik di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi tidak dapat dikendalikan, terjadi
syok septik, gangguan koagulasi yang dikenal dengan istilah Consumption coagulopathy;
dahulu diduga sebagai Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), ARDS, MODS dan
kematian.

Konsep selanjutnya yang dikemukakan Bone dapat memperkaya pengetahuan tentang


SIRS. SIRS yang bersifat pro-inflamatif mempunyai respons berlawanan yaitu Compensatory
Anti-Inflammatory Response Syndrome (CARS) yang bersifat anti inflamatif. Pada pasien yang
bertahan hidup, mekanisme anti-inflamasi mungkin dapat mengatasi inflamasi. Tetapi reaksi

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 78


Moenadjat

kompensasi mungkin terlalu besar dan tidak mencapai suatu keseimbangan, hingga pasien
mengalami imunosupresi dan anergi.

Gambar 86. Diagram reaksi inflamasi menyusul suatu bentuk trauma, dikaitkan dengan respons imun.
Reaksi inflamasi (fighting, melawan substansi asing seperti infeksi, dsb) diikuti proses penyembuhan.
Namun pada beberapa keadaan, reaksi inflamasi berlangsung secara berlebihan; menimbulkan SIRS yang
menyebabkan kerusakan organ sistemik. Sebagai kompensasi, tubuh melepas mediator-mediator anti
inflamasi yang juga (ikut) mengalami eksagerasi dalam mengimbangi SIRS. Pada saat ini timbul
imunosupresi sebagai suatu konsekuensi logik.

Dalam kondisi ini pasien sangat rentan terhadap infeksi. Beberapa pasien mungkin
mengalami ketidaksesuaian imunologik (immunologic dissonance), terombang-ambing diantara
periode inflamasi berat dan imunosupresi. Contohnya adalah pada pasien yang mengalami
infeksi sekunder setelah periode imunosupresi singkat; yang menyebabkan timbulnya respons
pro-inflamasi kedua, kemudian kembali timbul reaksi anti-inflamasi dan seterusnya, dan
seterusnya. Kondisi ini oleh Bone disebut sebagai Mixed Antagonistic Response Syndrome
(MARS).
Bone memberi istilah pada konsekuensi spektrum klinis tersebut di atas sebagai CHAOS.
CHAOS ini merupakan kepanjangan dari Cardiovascular shock (SIRS dominan), Homeostasis
(SIRS dan CARS berimbang), Apoptosis atau kematian sel (SIRS dominan), Organ dysfunction
(SIRS dominan) dan Supresi sistem imun (CARS dominan) yang merupakan kondisi
katastrofik.
Dalam tahun-tahun terakhir ini disadari bahwa kejadian di klinik tidak selalu sesuai dengan
teori yang dikembangkan oleh Bone. Banyak kasus tidak melalui tahapan SIRS sebagaimana
diuraikan di atas namun langsung mengalami CARS dan jatuh ke dalam kondisi imunosupresi
yang diikuti oleh sepsis. Masalah klinik lain yang dijumpai, tidak dapat diketahui dengan pasti
apakah seorang berada pada kondisi SIRS atau CARS. Hal ini penting karena keduanya
memiliki konsekuensi berbeda; penatalaksanaannya justru berlawanan khususnya dalam hal
penanganan imunosupresi sehingga akan diikuti oleh peningkatan mortalitas.
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien luka
bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian-penelitian yang dilaporkan di literatur,
SIRS dan MODS keduanya menjadi penyebab 81% kematian pasca trauma; dan dapat
dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri mengantarkan pasien pada MODS.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 79


Moenadjat

Gambar 87. Proses perjalanan SIRS dan CARS.

SIRS akan selalu berkaitan dengan MODS karena MODS merupakan perjalanan akhir
dari SIRS. Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi
organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan
tanpa intervensi. Terminologi MODS ini menggantikan MOF yang digunakan sebelumnya;
pada penggunaan terminologi ini dijumpai penekanan adanya proses yang bersifat dinamik
dari suatu gangguan fungsi mulai dari derajat ringan sampai berat dan tidak berfungsi, tidak
sekedar hanya menjelaskan kegagalan sebagai suatu hasil akhir. Bila ditelusuri lebih lanjut,
SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan sehingga dapat dimengerti bahwa MODS
menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang
berawal dari SIRS.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinik SIRS. Kejadian MODS pada pasien
trauma mulai dari >11% hingga >30% dan menjadi penyebab kematian bervariasi, dari > 50%
hingga 100%. Pada pasien luka bakar dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami
MODS.

Patogenesis SIRS, MODS dan Sepsis pada Luka Bakar

Ada beberapa teori yang menjelaskan timbulnya SIRS dan MODS pada luka bakar; terjadi secara
simultan dan saling memperkuat sesamanya.
Teori pertama menjelaskan penyebab dimulai dari kerusakan epitel (endotel) pada gangguan
sirkulasi yang timbul setelah suatu cedera termis. Kerusakan endotel melibatkan komponen sel
darah lainnya seperti leukosit dan trombosit dan memicu timbulnya respons inflamasi sitemik yang
diikuti gangguan koagulasi dan kegagalan organ (lihat kembali patofisiologi luka bakar akut,
halaman 50).
Teori kedua, menjelaskan peran gangguan sirkulasi yang sangat nyata dikaitkan dengan
penurunan sirkulasi di daerah splangnikus. Dengan berkurangnya sirkulasi di daerah tersebut,
perfusi ke jaringan usus (gaster, duodenum yang diperdarahi oleh vasa mesenterika) dan hepar
terganggu menyebabkan disrupsi mukosa saluran cerna dan hipoksis-iskemia sel-sel hepatosit.
Meski dengan penatalaksanaan cairan yang adekuat pada kondisi syok, dibuktikan pada
percobaan hewan, bahwa gangguan perfusi splangnikus tetap terjadi dan tak dapat dihindari.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 80


Moenadjat

- Disrupsi mukosa menyebabkan perangsangan dilepaskannya neutrofil dan radikal bebas


khususnya NO yang memicu proses inflamasi sistemik. Semakin banyak mukosa
mengalami disrupsi, semakin banyak mediator-mediator pro inflamasi dilepas ke sirkulasi.
Respons inflamasi bersifat eksageratif dan neutrofil serta radikal bebas yang dilepas ke
sirkulasi menyebar ke seluruh sirkulasi sistemik menimbulkan destruksi organ.
Organ yang pertama kali mengalami gangguan umumnya adalah paru. Dengan
perubahan inflamatif membran dan kapiler peri-alveolar. Perubahan ini diikuti
gangguan proses difusi-perfusi oksigen dan pertukaran gas menimbulkan distres
pernafasan, dikenal dengan sebutan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS,
baca lebih lanjut mengenai ARDS pada bab 3.4).
Gangguan sirkulasi splangnikus juga menyebabkan gangguan perfusi ke hepar dan
menyebabkan gangguan fungsi hepar khususnya fungsi metabolisme, berakhir
dengan disfungsi hepatik.
Karena kerusakan organ lainnya bermula dari kerusakan usus (hipoperfusi
splangnikus), maka dikenal istilah: Gut is motor of MODS.

Gambar 88. Tekanan perfusi ke splangnikus pada berbagai kondisi: atas pada kondisi normal, tengah pada
peningkatan aktivitas saluran cerna dan bawah pada hipoperfusi. Dikutip dan disadur dari Holm C et al.
Haemodynamic and oxygen transport rensponses in survivors and non survivors following thermal injury. Burns
journal of international society for burn injuries. Vol 26 Number 1, Febr. 2000. p : 25

Teori ketiga menjelaskan gangguan sirkulasi splangnikus yang berlanjut dengan disrupsi
mukosa yang terjadi menyebabkan fungsi mukosa sebagai barrier berkurang / hilang, dan
mempermudah terjadinya translokasi bakteri penyebab septikemia (sepsis). Bakteri yang
mengalami translokasi umumnya merupakan flora normal usus yang bersifat komensal, berubah
menjadi oportunistik; khususnya akibat perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa,
pemberian antasida dan beberapa jenis antibiotika tertentu).

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 81


Moenadjat

Gambar 89. Lingkaran setan SIRS dan MODS. Selain kehilangan fungsi sebagai barrier
terhadap kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga mudah dirusak
oleh toksin yang berasal dari kuman (endotoksin maupun enterotoksin). Sebagaimana
disadari, kerusakan mukosa usus (saluran cerna) melnyebabkan gangguan metabolisme
glutamin yang berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh. Dikutip dan disadur dari
Dellinger RP, Cartlet JM, et al. (2004). Surviving Sepsis Campaign Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Shock. Critical Care Medicine, 32(3), 858-873

Fokus utama pada syok saat ini adalah hipoperfusi splangnikus yang berlanjut
dengan disrupsi mukosa saluran cerna. Dengan disrupsi mukosa ini, dipicu
pelepasan mediator-mediator pro inflamasi yang menyebabkan kerusakan berbagai
organ. Karenanya dikenal istilah Gut is motor of Multi-syatem Organ Dysfunction
Syndrome (MODS)

Gambar 90. Kaskade SIRS.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 82


Moenadjat

Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang memicu timbulnya


SIRS dan MODS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan sistim
autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik (ensefalopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal
menyebabkan iskemia ginjal (khususnya tubulus) berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis (ATN)
yang berakhir dengan gagal ginjal (acute renal failure, ARF).
Gangguan sirkulasi perifer menyebabkan iskemia otot-otot dengan dampak pemecahan
glikoprotein yang meningkatkan produksi Nitric Oxide (NO); NO ini diketahui merupakan radikal
bebas yang menimbulkan cedera reperfusi (reperfusion injury) dan berperan sebagai modulator
sepsis. Gangguan sirkulasi ke kulit dan sistim integumen menyebabkan terutama gangguan sistim
imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier kulit.

Gambar 91. Patofisiologi sepsis, kondisi ini terjadi pula pada kasus non-infeksi, dimana
jaringan nekrosis melepas lipoprotein complex yang merupakan beragam kompleks protein
dengan lipo-polisakarida (LPS). Dikutip dan disadur dari Dellinger RP, Cartlet JM, et al.
(2004). Surviving Sepsis Campaign Guidelines for Management of Severe Sepsis and Shock.
Critical Care Medicine, 32(3), 858-873

Teori lain menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC, sebelumnya dikenal dengan
istilah burn toxin) yang berasal dari jaringan nekrosis akibat cedera termis. LPC memiliki toksisitas
dengan kekuatan ribuan kali jauh di atas endotoksin dalam merangsang pelepasan mediator pro-
inflamasi; dan pelepasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. Respons yang timbul
mulanya bersifat lokal, terbatas pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk
respons sistemik. Nekrosis disebabkan oleh dua kemungkinan: 1) Dampak langsung akibat kontak
dengan sumber cedera dan 2) gangguan perfusi pada syok.

Teori berikutnya menjelaskan kekacauan sistim metabolisme; hipometabolik pada fase akut
(fase ebb) yang berlanjut dengan kondisi hipermetabolisme (hiperkatabolik) pada fase selanjutnya
(fase flow), yang menguras seluruh modalitas tubuh khususnya sistim imunologi. Mediator-

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 83


Moenadjat

mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi menjadi semakin ganas; mediator-mediator pro-
inflamasi yang dilepas sebagai respons terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda
asing atau toksin yang ada (konstruktif); tapi juga menimbulkan kerusakan pada jaringan / organ
sistemik (destruktif). Kondisi ini dimungkinkan karena luka bakar merupakan suatu bentuk trauma
yang bersifat imunosupresif.
Pada SIRS (dahulu disebut sepsis) dan MODS, kondisi sirkulasi terganggu demikian
hebatnya ditandai dengan adanya vasodilatasi yang bersifat menyeluruh (difus, general
vasodilatation sebagaimana terlihat pada syok septi. Lihat lebih lanjut mengenai penjelasan
syok septik); dicerminkan dengan adanya gangguan homeostasis sebagaimana digambarkan
oleh Bone sebagai CHAOS.

1. Karena adanya vasodilatasi, tekanan perfusi ke organ demikian


rendah.
2. Sebagian perfusi kapiler berlangsung normal
3. Sebagian lainnya mengalami gangguan perfusi sangat buruk dan
mengalami
4. kebocoran kapiler,
5. karenanya jaringan menjadi edematus yang akan menyebabkan
kompresi pada jaringan normal dengan akibat gangguan pertukaran
oksigen
6. Karena adanya stasis venosa dan aktivasi sistim koagulasi,
pembuluh kecil mengalami obstruksi dan aliran darah terhenti

Gambar 92. Vasodilatasi pada sepsis menyebabkan penurunan tekanan perfusi ke organ
yang berakhir dengan MODS. Dikutip dan disadur dari Dellinger RP, Cartlet JM, et al. (2004).
Surviving Sepsis Campaign Guidelines for Management of Severe Sepsis and Shock. Critical
Care Medicine, 32(3), 858-873

SIRS, Sepsis, Sepsis berat & Syok septik

Ada beberapa terminologi yang perlu diketahui dalam perjalanan SIRS. Sebagaimana diuraikan
sebelumnya, SIRS adalah suatu bentuk respons inflamasi yang bersifat eksageratif terhadap stimulus-
stimulus (trauma, infeksi, luka bakar, pankreatitis). Bila SIRS disebabkan oleh infeksi, maka SIRS
dikenal dengan sebutan sepsis. Sepsis ini dapat disebabkan oleh berbagai agen seperti virus, parasit,
jamur dan bakteri maupun metabolit-metabolitnya.
Bila sepsis disertai MODS, kondisi tersebut dikenal dengan sebutan sepsis berat. Sedangkan
septik syok didefinisikan sebagai suatu keaadaan sepsis yang timbul setelah suatu resusitasi cairan
yang adekuat. Kondisi syok septik ini demikian rumitnya, merupakan kondisi yang berkembang dari
suatu SIRS yang tidak tertatalaksanai dengan baik dan memiliki angka mortalitas yang tinggi.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 84


Moenadjat

Syok septik dan patologinya

Ada tiga masalah utama pada syok septik, yaitu vasodilatasi, maldistribusi aliran darah
dan depresi miokardium.

Vasodilatasi
Pada syok septik, sitokin proinflamasi dan metabolit lainnya (prostaglansin_ menyebabkan
peningkatan oksida nitrit yang berasal dari endotel (endothelial-derived nitric oxide), suatu
mediator utama yang berperan pada vasodilatasi dan hyiotensi. Nitric oxide ini menyebabkan
perubahan mekanisme transport melalui membran sel dan faktor intraseluler, yang
menyebabkan penurunan kalsium intraseluler serta vasodilatasi dengan segala
konsekuensinya termasuk resistensi terhadap zat vasopresor. Ada dua mekanisme yang
berperan dalam hal terjadinya resistensi terhadap zat vasopresor, yaitu 1) aktivasi jalur
adenosine triphosphatesensitive potassium (KATP) karena adanya penurunan kadar ATP
(pada hipoksia) dan penurunan konsentrasi ion hidrogen dan laktat intraselluler, 2) aktivasi
nitric oxide synthase dalam bentuk inducible, yang akan menyebabkan meningkatnya kadar
oksida nitrit dan penurunan kadar vasopressin di dalam sirkulasi (vasopressin adalah suatu
bentuk vasokonstriktor).
Aktivasi jalur KATP mengakibatkan terjadinya hiperpolarisasi pada membran plasma, yang
akan menyebabkan hambatan depolarisasi dan influks kalsium ke dalam sel, sehingga terjadi
hambatan pada proses vasokonstriksi. Mekanisme yang menjelaskan mengapa oksida nitrit
menimbulkan resistensi terhadap zat vasopresor nampaknya karena adanya aktivasi jalur
natrium yang berlanjut dengan hiperpolarisasi. Dengan progresivitas syok septik, kadar
vasopressin di sirkulasi menurun oleh sebab yang belum diketahui dengan jelas,
mengakibatkan kegagalan dalam memberikan respons terhadap mekanisme vasokonstriktor.

Maldistribusi Aliran darah


Meskipun pada syok septik umumnya selalu dijumpai vasodilatasi (dengan manifestasi
penurunan resistensi vascular yang bersifat sistemik), namun tidak seluruh pembuluh darah
mengalami dilatasi. Beberapa pembuluh arteriol justru mengalami vasokonstriksi, sehingga
terjadi suatu kondisi dimana terjadi maldistribusi aliran darah.Vasokonstriksi dan maldistribusi
yang diakibatkannya itu menjadi penyebab dilepaskannya mediator-mediator proinflamasi
(misalnya tumor necrosis factor) dan endothelin (suatu zat yang dilepaskan oleh endotel,
menyebabkan vasokonstriksi). Perfusi yang inadekuat juga terjadi karena adanya oklusi
vaskuler.
Leukosit polymorphonuclear melekat pada endotel secara abnormal karena adanya
endotoksin dan mediator-mediator proinflamasi. Leukosit-leukosit ini dan eritrosit melekat dan
membentuk plug di mikrosirkulasi karena menurunnya deformabilitas sel. Pada pasien syok
septik, sel-sel endotel mengalami stimulasi oleh mediator-mediator proinflamasi (tumor
necrosis factor dan interleukin-1 [IL-1]) dan endotoksin, selanjutnya menyebabkan aktivasi
kaskade koagulasi membentuk sumbatan mikrovaskuler dan maldistribusi aliran darah
sehingga terjadi hipoksia jaringan.
Downregulation faktor-faktor yang mempengaruhi koagulasi juga berlangsung, dan salah
satu faktor yang menjadi focus perhatian adalah activated protein C. Kurang lebih 85% pasien-
pasien dengan syok septik, kadar protein C menurun, dan beratnya defisiensi activated protein
C ini menggambarkan poor clinical outcomes. Diketahui, activated protein C endogen memiliki
efek anti-inflamatif, antitrombotik, dan profibrinolitik sebagaimana dapat dilihat pada gambar
93. Efek anti-inflamatif dari activated protein C termasuk inhibisi pelepasan inflammatory
mediators (IL-1, IL-6, dan tumor necrosis factor- ) oleh monosit, inhibisi monosit dan neutrofil
yang mengalami rolling pada endotel cedera, dan membatasi adhesi neutrofil endotelium.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 85


Moenadjat

Selanjutnya, melalui efek inhibitif pada pembentukan thrombin (dijelaskan kemudian), activated
protein C membatasi proses inisiasi respons inflamasi. Thrombin merangsang pelapasan IL-8
dan sintesis platelet-activating factor. IL-8 dan platelet-activating factor menyebabkan aktivasi,
recruitment, dan ikatan neutrofil dan monosit,yang menyebabkan berlangsungnya respons
proinflamasi pada pasien dengan sepsis.

Gambar 93. Mekanisme kerja activated protein C. Kaskade ini menyebabkan status
prothrombotic, proinflammatory, dan antifibrinolitik pada sepsis melalui berbagai jalur
danActivated protein C banyak terlibat dalam kaskade ini. Efek anti-inflamatif diitunjukan dengan
kemampuan activated protein C menghambat produksi inflammatory cytokines oleh monosit dan
membatasi adhesi serta rolling neutrofil dan monosit. Protein ini juga menyebabkan inaktivasi
berbagai komponen pada kaskade koagulasi, yaitu faktor Va dan VIIIa, yang berperan pada
pembentukan thrombin dan pembentukan bekuan fibrin. Dengan menurunnya produksi thrombin
dan aktivasi plasminogen activator inhibitor (PAI-1), activated protein C memicu sitem fibrinolitik
sehingga disolusi bekuan terjadi lebih cepat.

Sistim koagulasi yang pertama dipengaruhi oleh sepsis adalah tissue factor pathway
(extrinsic pathway). Pada keadaan normal, tissue factor diekspresikan saat endotel mengalami
kerusakan. Pada sepsis, thrombin dan IL-6 merangsang sel endotel dan makrofag melakukan
upregulate proses ekspresi tissue factor. Tanpa memperhatikan mekanisme yang mlakukan
inisiasi kaskade koagulasi, tissue factor mengaktivasi faktor VII. Tahap ini dikendalikan oleh
suatu enzim yaitu enzyme tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Faktor VIIa bersama dengan
faktor VIIIa (dari kaskade koagulasi intrinsik) menyebabkan aktivasi faktor X. Faktor Xa
bersama faktor Va, phospholipids, dan kalsium membentuk suatu kompleks yang
menyebabkan konversi prothrombin menjadi thrombin. Thrombin kemudian mengeluarkan
molekul-molekul fibrinogen membentuk fibrin, sehingga terbentuk bekuan (fibrin clot).
Protein C diaktivasi saat thrombin berinteraksi dengan sel endotel, yang memiliki protein-bound
thrombomodulin (suatu enzim pembekuan yang mengaktivasi thrombin). Activated protein C
kemudian berperan sebagai feedback loop membatasi pembentukan thrombin dengan cara
melakukan inaktivasi faktor Va dan VIIIa.
Pada sepsis, thrombomodulin dilepaskan dari endotel sehingga terjadi aktivasi protein C
menurun. Dengan demikian terjadi penurunan aktivitas TFPI karena protease yang dilepaskan
oleh neutrofil, menurunkan mekanisme inhibisi feedback dari proses aktivasi faktor VII.
Kombinasi adanya peningkatan aktivasi tissue factor pathway dan berkurangnya efek TFPI
serta activated protein C menyebabkan kondisi yang disebut procoagulant state. Efek

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 86


Moenadjat

fibrinolitik dari activated protein C dimediasi melalui tissue plasminogen activator, yaitu suatu
enzim yang berperan menrubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin menyebabkan
penguraian bekuan dengan mengadakan degradasi fibrin dan fibrinogen. Tissue plasminogen
activator dihambat oleh enzim plasminogen activator inhibitor-1. Activated protein C membatasi
aktivitas plasminogen activator inhibitor-1, sehingga meningkatkan fibrinolisis dan mempromosi
degradasi mikrothrombi. Activated protein C juga memiliki efek profibrinolitik secara tidak
langsung dengan menghambat pelepasan thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor. Dalam
keadaan normal, thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor memproteksi bekuan dengan
melakukan restriksi ikatan tissue plasminogen activator dan mencegah aktivasi plasminogen
lebih lanjut. Oleh karenanya pada sepsis, rendahnya kadar activated protein C akan
menyebabkan berkurangnya aktiviats fibrinolitik ini.
Dengan adanya perubahan sistim koagulasi ini mortalitas dan morbiditas pada sepsis berat
menjadi tinggi. Pada suatu penelitian Recombinant Human Activated Protein C Worldwide
Evaluation in Severe Sepsis (PROWESS) menggunakan pemberian recombinant activated
protein C dan drotrecogin alfa (activated) pada pasien dengan sepsis berat, tdibandingkan
dengan pemberian placebo, treatment dengan drotrecogin alfa (activated) 24 g/kg per jam
selama 96 jam, memberikan gambaran menyerupai efek activated protein C of endogen (anti-
inflamatif, anti-thrombotik, dan profibrinolitik), menunjukan penurunan risiko kematian relatif
sebesar 16% disamping peningkatan risiko perdarahan serius 1.5%. Disamping itu,
dibandingkan pasien yang menerima placebo, pasien yang menerima drotrecogin alfa
(activated) disfungsi kardiovaskuler jarang timbul, resolusi kardiovaskuler dan disfungsi
pulmonar yang lebih cepat, dan onset disfungsi hematologik lebih lambat. Dengan sendirinya,
berkurangnya organ dysfunction menurunkan angka mortalitas secara keseluruhan pada
kasus-kasus yang mendapatkan medikasi.
Respons humoral pada sepsis menimbulkan perubahan permeabilitas vaskuler. Mediator-
mediator proinflamasi (misalnya bradikinin) dan sitokin (misalnya, tumor necrosis factor)
bersasma-sama leukosit teraktivasi akan meningkatkan permeabiltas vaskuler yang
mengakibatkan kebocoran cairan intravaskuler ke ruang interstisium. Kebocoran ini juga
menyebabkan penurunan darah yang beredar di sirkulasi dan mempengaruhi difusi oksigen ke
jaringan.

Depresi miokardium
Dengan resusitasi cairan si adekuat, pasien syok septik akan menunjukan kondisi
hiperdinamik yang ditandai oleh peningkatan cardiac output dan penurunan resistensi vaskuler
(dengan atau tanpa penurunan mean arterial pressure [MAP]). Dibandingkan dengan pasien-
pasien trauma yang diresusitasi, pasien dengan syok septik menunjukan depresi miokardium
disamping kondisi hiperdinamik yang kerap menunjukan manifestasi berkurangnya fraksi
ejeksi, dilatasi ventrikular dan pendataran kurva Frank-Starling setelah resusitasi cairan.
Depresi miokardium yang nyata terjadi hanya pada beberapa pasien, ditandai adanya
dilatasi biventrikular yang bersifat reversibel penurunan ejection fraction, perubahan myocardial
compliance, dan penurunan respons kontraktil terhadap resusitasi cairan dan katekolamin.
Meski terjadi kerusakan sel-sel miokardium (sebagaimana ditunjukkan oleh adanya
peningkatan kadar troponin), penyebab utama terjadinya depresi miokardium bukanlah suatu
bentuk gangguan perfusi koroner atau iskemia global, namun karena dilepaskannya
myocardial depressant factors MDF). Zat-zat ini adalah tumor necrosis factor- dan IL-1, yang
dilepaskan sebagai bagian dari kaskade inflamatorik dan timbul dalam bentuk depresi
miokardium melalui generasi patologik oksida nitrit dan cyclic guanosine monophosphate
bersamaan dengan berubahnya sinyal transduksi oleh -adrenergic receptors. Perubahan
sinyal transduksi -adrenergic receptors ini terjadi karena turunnya kadar protein pada mebran

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 87


Moenadjat

sel yang diperlukan oleh -adrenergic untuk mengikat dan melakukan transduksi sinyal dan
karenanya terjadi kelemahan aktivitas cyclic adenosine monophosphate.
Perubahan kardiovaskuler akut (dilatasi, penurunan ejection fraction, dsb) berlangsung
sampai dengan atau lebih dari 4 hari, untuk kemudian pada para survivors, kembali ke normal
sampai 7 -10 hari. Ada suatu hal yang janggal terjadi, para survivors dibandingkan dengan
para nonsurvivors di awalnya mengalami kemungkinan myocardial depression lebih besar,
namun disamping itu, secara paradoksikal memiliki perbaikan fungsi ventrikular lebih awal.

Diagnosis SIRS, sepsis dan MODS

Pada luka bakar, SIRS perlu diidentifikasi secara khusus untuk membedakannya dengan
kondisi hipermetabolisme yang segera timbul setelah fase ebb dilalui. Baik pada SIRS maupun
kondisi hipermetabolik terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang secara klinik ditandai gejala
yang sama: demam, takikardia, takipnu dan leukositosis. Secara eksplisit dinyatakan, pada
kondisi hipermetabolik tidak terjadi gangguan oksigenasi jaringan yang biasanya dibuktikan
dengan tidak adanya asidosis laktat atau hipotensi. Kondisi septik dapat berupa suatu keadaan
hiperdinamik atau hipodinamik. Keadaan hiperdinamik ditandai dengan demam, takikardia, kulit
hangat dan kering, perubahan mental, hiperglikemia, leukositosis dan asidosis metabolik.
Keadaan hipodinamik ditandai baik oleh demam atau hipotermia, kulit dingin, takikardia,
hipotensi, perubahan mental dan oliguria. Data penyerta meliputi leukositosis atau lekopenia,
hipoglikemia, asidosis metabolik, trombosis dan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
yang lebih tepat menggunakan istilah Consumption coagulopathy.

1. SIRS.
Heggers (1986) mengajukan kriteria diagnosis sepsis luka bakar ditegakkan bila dijumpai >
5 gejala dari beberapa gejala di bawah ini
1. Takipnu (>40 kali / menit pada dewasa)
2. Ileus berkepanjangan
3. Hiper- atau hipotermia (>38.5oC atau <36.5oC)
4. Perubahan status mental
5. Trombositopenia (<50.000 sel/mm3);
6. Leukositosis (>15.0 sel/mm3) atau -penia (<3.5 sel/mm3)
7. Asidosis atau hiperglikemia yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
Saat ini, kriteria klinik yang digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of
Chest Physicians dan the Society of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2
(dua) atau lebih manifestasi berikut selama beberapa hari berturut-turut:
- hipertermia (suhu >38 C) atau hipotermia (suhu <36 C)
- takikardi (frekuensi nadi >90 kali per menit)
- takipnu (frekuensi nafas >20 kali per menit) atau tekanan parsial CO2 rendah (PaCO2
<32 mmHg)
- leukositosis (jumlah leukosit >12000 sel per mm3), lekopeni (<4000 sel per mm3) atau
dijumpai >10% neutrofil dalam bentuk imatur (band).
Kriteria ini sampai saat ini masih diperdebatkan, sementara sebagian kinikus mensyaratkan 4
(empat) manifestasi. Alasan yang dikemukakan, bahwa bila mensyaratkan hanya 2 (dua)
manifestasi, maka hampir semua kasus dianggap suatu SIRS. Bila diperoleh bukti bahwa
infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur darah/bakterimia), maka SIRS disebut sebagai
sepsis.
Kriteria klinik bersifat sangat subyektif dan tidak jelas karena banyak faktor yang dapat
menimbulkan gejala dan tanda serupa. Beberapa peneliti mencoba mencari beberapa penanda
SIRS (dan atau sepsis), sebagaimana diuraikan berikut.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 88


Moenadjat

Kriteria lain diajukan oleh Housinger dkk. (1993):


1. Hipertermia (>38.5oC) atau hipotermia (<36oC)
2. Leukositosis atau leukopenia
3. Trombosit <100.000/mm3: selanjutnya disebut-sebut sebagai penanda sepsis
4. Kebutuhan cairan yang meningkat sangat drastis
5. Kebutuhan oksigen yang meningkat drastis
6. Peningkatan C-Reactive Protein (CRP) >5ng/ml. Sachse dkk (1999) menganggap CRP
sebagai penanda sepsis; karena peningkatan CRP terjadi 2.3 hari lebih awal dari
perubahan hitung trombosit maupun manifestasi klinik lainnya
7. Procalcitonin (PCT), suatu bentuk inaktif dari hormon kalsitonin (propeptida asam amino),
juga merupakan penanda sepsis dengan sensitivitas 42%, spesifisitas 67% dan efisiensi
57%; meskipun banyak peneliti lain tidak sependapat untuk mencantumkan PCT sebagai
penanda sepsis

Sedangkan Kaplan (2002) berpegangan pada dua nilai, yaitu nilai CRP yang meningkat
>50mg/dL pada sepsis (nilai normal >17mg/dL) dan adanya penurunan resistensi insulin.

2. Sepsis.
Diagnosis klinik sepsis ditegakkan bila dijumpai gejala klinis disertai adanya sumber
sepsis. Ada beberapa tanda utama (cardinal signs of sepsis) yang mewakili gambaran klinis
infeksi akibat mikroba gram-negatif dan gram-positif.
Informasi penyebab sepsis ini luka diperoleh dengan cara: 1) melakukan biopsi pada luka
untuk pemeriksaan mikrobiologi dengan jumlah mikroba >105 organisme/g jaringan, 2)
pemeriksaan histologik yang menunjukan adanya invasi terhadap jaringan. Sementara wound
swab dianggap kurang memadai (tidak representatif) untuk menjelaskan adanya infeksi,
karena beberapa kemungkinan antara lain: a. Bakteri hanya membentuk koloni yang potensial
menimbulkan infeksi, namun b. Belum terbukti adanya invasi bakterial ke jaringan; sementara
definisi infeksi adalah masuknya (invasi) bakteri ke jaringan.

Schwarz membagi kondisi patologik ini dalam dua stadium:


Stadium I Kolonisasi jaringan non-vital
a. Kolonisasi superfisial, oleh mikroorganisme yang terdapat di permukaan luka bakar
b. Penetrasi mikrobial, oleh mikroorganisme yang dijumpai di eskar
c. Proliferasi sub-eskar, multiplikasi mikroorganisme di jaringan sub-eskar

Stadium II - Invasi ke jaringan vital


a. Mikro-invasi, fokus-fokus mikroskopik mikroorganisme di jaringan non-cedera yang
letaknya berada langsung di bawah luka bakar
b. Invasi menyeluruh (generalisata), penetrasi mikroorganisme bersifat multifokal dan
difus ke jaringan subkutan dan jaringan vital lainnya
c. Invasi mikrovaskuler, mikroorganisme berada di pembuluh-pembuluh darah kecil dan
limfe di daerah non-cedera
Menurut Heggers, diagnosis dan identifikasi penyebab sepsis luka bakar harus memenuhi
beberapa kriteria, yaitu:
1) Biopsi luka untuk mikroba: >105 organisme/g jaringan dan / atau pemeriksaan histologik
menunjukan invasi ke jaringan
2) Kultur darah positif
3) Infeksi saluran kemih: mikroba >105 organisme/ml urin
4) Infeksi paru: mikroba dan leukosit pada sputum.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 89


Moenadjat

Tabel 5. Kriteria diagnostik sepsis

Variabel umum
Demam (suhu core>38oC)
Hipotermia (suhu core<36oC)
Freakuensi jantung >90/menit
Takipnu
Perubahan status mental
Edema yang sangat bermakna atau balans cairan positif (>20mL/kgBB dalam 24jam)
Hiperglikemia (glukosa plasma >120g/dL) tanpa riwayat diabetes

Variabel inflamasi
Leukositosis (leukosit >12.000/L)
Leukopenia (Leukosit <4.000/L)
Hitung leukosit normal dengan >10% bentuk imatur

Variabel hemodinamik
Hipotensi arterial (TD Sistolik <90mmHg. MAP <70mmHg atau TD sistolik turun >40mmHg pada
pasien dewasa)
SVO2 >70%
Cardiac index >3.5L/menit/m2

Variabel organ dysfunction


Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 <300)
Oliguria akut (<0.5 ml/kgBB/jam)
Peningkatan kreatinin >0.5mg/dL
Abnormalitas koagulasi (INR >1.5 atau aPTT >60detik)
Ileus
Trombositopenia (<100.000/L)
Hiperbilirubinemia (bilirubin plasma total >4g/dL)

Variabel perfusi jaringan


Hiperlaktatemia (>1mmol/L)
Penurunan capillary refill atau bercak kemerahan (mottling)

Keterangan:
aPTT: activated thromboplastin time. FiO2 fraksi oksigen pada proses inspirasi. INR international normalized ratio. TD Tekanan
darah. SVO2 saturasi oksigen venosa.
Dikutip dari Levy dkk.

3. MODS.

SIRS CARS MARS MODS MOF

Gambar 94. Spektrum perjalanan SIRS menjelaskan Multi-system Organ Failure (MOF) yang
merupakan akhir perjalanan suatu spektrum

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 90


Moenadjat

Gambar 95. Beberapa parameter SIRS dan MODS berlaku untuk sepsis belum dapat
digunakan sebagai penanda (marker) klinis yang sensitiv. Dikutip dan disadur dari Balik RA.
Crit Care Clin 2000;16:337-52.

Bagaimana MODS ditegakkan secara klinik, belum didapati kesepakatan kriteria. Ini dapat
dimengerti, mengingat bila melakukan pengukuran terhadap beratnya penyakit, hanya akan
diperoleh gambaran sesaat dari proses dinamik yang berjalan sebagai suatu rangkaian
kontinu. Sementara bila menggunakan parameter-parameter yang dipakai di klinik saat ini,
mengacu pada suatu kondisi terminal (ireversibel) yang tidak lain adalah suatu bentuk
kegagalan (organ failure).

Penatalaksanaan

Berdasarkan wawasan SIRS dan MODS, paradigma penatalaksanaan luka bakar berubah
menjadi suatu rangkaian tindakan yang bersifat lebih agresif; bertujuan mencegah
perkembangan SIRS (dan / atau sepsis) serta MODS.
Cedera inhalasi dan syok pada luka bakar berperan sebagai faktor utama pada timbul dan
berkembangnya SIRS dan MODS; sehingga harus ditatalaksanai dengan baik. Perubahan
paradigma syok beberapa tahun terakhir membawa wawasan baru pada penatalaksanaannya,
dikaitkan khususnya dengan resusitasi cairan yang memperhatikan waktu iskemik organ
(khususnya hipoperfusi splangnikus).
Dengan pengetahuan dan berangkat dari gut is motor of MODS memuasakan pasien
hanya menambah beban berupa atrofi mukosa yang mempermudah timbulnya SIRS dan
MODS, oleh karenanya diupayakan pemberian Nutrisi Enteral Dini (NED) melalui pipa
nasogastrik dalam 24 jam pertama pasca cedera. Selain bertujuan mencegah terjadinya atrofi
mukosa usus (to feed the gut), pemberian NE akan mencegah dan mengatasi kondisi
hipometabolik pada fase akut / syok / fase ebb dan mengendalikan status hiperkatabolisme
yang terjadi pada fase flow (to feed the body). Pemberian antasida dan antibiotika spektrum
luas yang bersifat poten juga tidak rasional pada kondisi ini, karena merubah pola / habitat
kuman yang justru menimbulkan gangguan balans flora usus.
Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan cedera termis harus
segera dibuang: nekrotomi dan dbridement. Tindakan bedah ini dilakukan seawal mungkin
(eksisi dini). Patokan seawal mungkin adalah 1) bilamana kondisi hemodinamik telah stabil 2)
kriteria dini adalah hari ketiga-keempat pasca cedera pada luka bakar sedang, (atau hari

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 91


Moenadjat

ketujuh-kedelapan pada luka bakar berat). Pemilihan waktu dini ini didasari beberapa alasan:
1) mencegah perkembangan SIRS dan MODS dengan cara membuang jaringan nekrosis
pemicu dilepaskannya mediator-mediator pro-inflamasi 2) mendahului proses angiogenesis
sebagai bagian dari proses penyembuhan (sebab bila eksisi dikerjakan setelah proses ini
berkembang, akan menyebabkan perdarahan yang cukup banyak) dan 3) mencegah
berkembangnya infeksi.
Bila memungkinkan dilakukan penutupan segera (immediate skin grafting) untuk mengatasi
berbagai masalah akibat kehilangan kulit sebagai penutup (mencegah evaporative heat loss
yang menimbulkan gangguan metabolisme), barrier terhadap kuman dan proses inflamasi
berkepanjangan yang memengaruhi proses penyembuhan, tidak menunggu jaringan granulasi
yang dalam hal ini mengulur waktu dan memperberat stres metabolisme.

Pemberian obat-obatan yang bersifat anti inflamasi seperti antihistamin dianggap tidak
bermanfaat, terutama bila proses sudah berjalan. Pemberian steroid sebelumnya dianggap
bermanfaat, namun harus diingat saat pemberian (dikaitkan dengan efek pro-inflamasi dan
anti-inflamasi) serta efek sampingnya (peningkatan resistensi perifer, khususnya efek retensi
cairan).
Pemberian zat yang meningkatkan imunologik akhir-akhir ini menjadi suatu topik yang
ramai dibicarakan. Zat immuno-modulator seperti omega3 sebelumnya diketahui memiliki
aktivitas anti-thromboxane yang efektif. Pada penelitian lebih lanjut diketahui bahwa pemberian
akan menjinakkan leukotriene (LTB4 yang bersifat maligna) dengan cara memengaruhi
lypoxygenase pathway pada metabolisme asam arakhidonat, sehingga menghasilkan
leukotriene yang lebih benigna. Pemberian omega6 memiliki efek pada cyclo-oxygenase
pathway asam arakhidonat, sehingga menghasilkan tromboksan yang lebih benigna
menggantikan tromboksan (Thromboxane A2) yang bersifat maligna. Namun, disisi lain
pemberian immuno-modulator kemudian menjadi pro dan kon dengan semakin diketahuinya
efek positif maupun negatif dari pemberian farmakonutrien yang memengaruhi sistim imun ini;
bahkan pemberian pada kondisi sepsis akan diikuti dengan meningkatnya mortalitas. Hal ini
dikaitkan dengan timbulnya CARS tanpa didahului oleh SIRS sebagaimana diuraikan
sebelumnya.

Bahan Bacaan
1. World Health Organization. Department of injuries and violence prevention. The injury chart book: A graphical
overview of the global burden injuries. Burn mortality rate, available in website:
http://www.whqlibdoc.who.int/publications/924156220X.pdf.
2. Moenadjat Y. Profil luka bakar RSUPN CM. Jakarta. Unpublished. 2004.
3. Noor S. Pelayanan luka bakar di RSUD dr Sutomo. Presentasi pada pertemuan Asosiasi Luka Bakar
Indonesia (ALBI) 2003. Komunikasi pribadi.
4. Critical care of burns patients. Asia Connection, 1996Vol. 1 Issue 2; p.9.
5. Major advances in burns care announced at Asia Pasific conference. Asia Connection; 1996.Vol. 1 Issue 2;
p.4.
6. The University of Washington approach to burns managements. Asia Connection; 1996. Vol. 1 Issue 2; p.5.
7. Artz CP, Moncrief JA, Pruitt BA. Burns, a team approach, WB Saunders & Co, Philadelphia: 1979; p.21-22.
8. Boswick JAJ Jr. The Art & Science of Burn Care. Rockville: An Aspen Publication;1987 : p.145.
9. Jeo WS, Moenadjat Y. Factors affecting severe burn mortality rate: a five years evaluation in Cipto
Mangunkusumo hospital burn unit. Indones J Surg 2000.
10. Moenadjat Y. Prognosis dan sistim skor pada luka bakar. Indones J Surg 2001
11. American College of Surgeons. Guidelines for the Operation of Burn Units. Reprinted from Resources for
Optimal Care of the Injured Patient, Chapter 14: Committee on Trauma, 1999. Available in website:
http://www.ameriburn.org/guidelinesops.pdf
12. American Burn Association. Advanced Burn Life Support Providers manual. 2001.
13. Moenadjat Y. Luka bakar: klinis praktis. edisi revisi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. p.4, 23-28.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 92


Moenadjat

14. Alexander RH, Proctor HJ. Advanced trauma life support. Student manual. American College of Surgeon
Committee on Trauma. 1993
15. Fry DE. Microcirculatory arrest theory of SIRS and MODS. In: Baue, AE, Faist, E, Fry, DE. Multiple organ
failure, pathophysiology, prevention, and therapy. New York: Springer, 2000. p.92-100.
16. Editorial: Definitions for sepsis and organ failure. Crit Care Med 1992; 20 (6): 724-726.
17. Baue AE. The complexities of sepsis and organ dysfunction. In: Baue AE, Berlot G, Gullo A (editors). Sepsis
and organ dysfunction: Epidemiology and scoring systems, pathophysiology and therapy. Milano: Springer
Verlag; 2000. p.23-31.
18. Moldawer LL, Minter RM, Rectenwald III JE. Emerging evidence of a more complex role for proinflammatory
and antiinflammatory cytokines in the sepsis response. In: Baue, AE, Faist, E, Fry, DE. Multiple organ failure,
pathophysiology, prevention and therapy. Springer, 2000; p: 150.
19. Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing]
20. VerrierED and Boyle EM: Endothelial Cell Injury in Cardivascular Surgey: An Overview. Ann Thorac Surg
1997;64:S2-8
21. Ganong WF: In Basic and Clinical Endocrinology; Neuroendocrinolgy. Prentice-Hall International Inc.
22. Guyton AC, Textbook of Medical Physiology 390-399. Saunders Coy 8th Ed. Philadelphia 1995.
23. Goodman JW: Immune Response in Stites DP and Terr AI: Basic and Clinical Immunology. 34-44.7th Edit.
Prentice-Hall International Inc 1991.
24. Rahmat KB. Respon Inflamasi Sistemik. Kuliah Staf. Departemen Ilmu Bedah FKUI. Jakarta: 2005.
Unpublished.
25. Kraiss LW, Martinez ML, Prescott SM, Zimmerman GA. Endothelial function. in Fink MP, Abraham E, Vincent
JL, Kochanek PM. Textbook of Critical care 5th ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders. 2005 p: 145-154.
26. Motterlini R, Kerger H, Green CJ, Winslow RM, Intaglietta M. Depression of endothelial and smooth muscle
cell oxygen consumption by endotoxin. Am. J. Physiol. 275 (Heart Circ. Physiol. 44):H776H782, 1998.
27. Neumeister MW, Song YH, Mowlavi A, Wilhelmi BJ, Chambers C. Gene Expression Profile following
Ischemia Reperfusion Injury of the Rat Skeletal Muscle. J Burns & Surg Wound Care [serial online]
2004;3(1):8. Available from URL: http://www.journalofburnsandwounds.com.
28. Wallner SF, Warren GH. The haemopoietic response to burning: an autopsy study. Burns 1986;12:22-77.
29. Wolach B, Coates TD, Hulgi TE, et al. Plasma lactoferrin reflects granulocyte activation via complement in
burn patients. J Lab Clin Med 1984;103:284-93.
30. Peterson V, Hansbrough J, Buerk C, et al. Regulation of granulopoiesis following severe thermal injury. J
Trauma 1983;23:19-24.
31. Bartlett RH, Fong SW, Marrujo G, Hardeman T, Anderson W. Coagulation and platelet changes after thermal
injury in man. Burns 1981;7:370-7.
32. Eurenius K, Mortensen PF, Meserol PM, Curreri PW. Platelet and megakaryocyte kinetics following thermal
injury. J Lab Clin Med 1971;79:147-257.
33. Housinger TA, Brinkerhoff C, Warden GD. The relationship between platelet count, sepsis, and survival in
pediatric burn patients. Arc Surg 1993;128:65-7.
34. Holm C et al. Haemodynamic and oxygen transport rensponses in survivors and non survivors following
thermal injury. Burns journal of international society for burn injuries. Vol 26 Number 1, Febr. 2000. p : 25
35. Baret JP, Herndon DN. Color atlas of burn care. London: WB Saunders; 2001; p:47-68.
36. Demling RH. Burn modules. Available in website: http://www.burnsurgery.org, 2001.
37. Nelson RD, Hasslen SR, Ahrenholz DH, et al. Mechanisms of loss of human neutrophil chemotaxis following
thermal injury. J Burn Care Rehabil. 8:496,1987.
38. Mileski W, Borgstrom D, Lightfoot E, et al. Inhibition of leukocyte-endothelial adherence following thermal
injury. J. Surg. Res. 52:334,1992.
39. DeMeules JE, Pigula FA, Mueller M, et al. Tumor necrosis factor and cardiac function. J. Trauma
32:686,1992.
40. Burke AS, Cox RA, Barrow RE, Traber D, Hawkins, HK. Ovine lung apoptosis after thermal burn and smoke
inhalation. Proceeding book of American Burn Association 34th annual meeting. S119.
41. Cohen J, Brun-Buisson C, Torres A, Jorgensen J. (2004). Diagnosis of Infection in Sepsis: An Evidence
Based Review. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 466-494.
42. Dellinger RP, Cartlet JM, et al. (2004). Surviving Sepsis Campaign Guidelines for Management of Severe
Sepsis and Shock. Critical Care Medicine, 32(3), 858-873.
43. Ely EW, Kleinpell RM, Goyette RE (2003). Advances in the Understanding of Clinical Manifestations and
Therapy of Severe Sepsis: An Update for Critical Care Nurses. American Journal of Critical Care, 12, 120-
133.
44. Fourrier F. (2004). Recombinant Human Activated Protein C in the Treatment of Severe Sepsis: An
Evidence-Based Review. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 534-541.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 93


Moenadjat

45. Friedman G, Silva E, Vincent JL. (1998). Has the Mortality of Septic Shock Changed with Time? Critical Care
Medicine, 2078-2086.
46. Keh D, Sprung, C. (2004). Th use of Corticoid Steroid Therapy in Patients with Sepsis and Septic Shock: An
Evidence-Based Review. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 527-533.
47. Klienpell RM (2003). The Role of the Critical Care Nurse in the Assessment and Management of the Patient
of Severe Sepsis. Critical Care Nurse Clinician, 15(1), 27-34.
48. Levy M, Provonost P, Dellinger P, et al. (2004). Sepsis Change Bundles: Converting Guidelines Into
Meaningful Change in Behavior and Clinical Outcomes. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 595-597.
49. Lundberg JS, Perl TM, Wiblin T, et al. (1998). Septic Shock: An Analysis of Outcomes for Patients with
Onset on Hospital Wards Versus Intensive Care Units. Critical Care Medicine, 13, 818-829.
50. Marshall, J., Maier, R., Himenez, M., & Dellinger, P. (2004). Source Control in the Management of Severe
Sepsis and Septic Shock. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 513-526.
51. Rhodes A, Bennett D. (2004). Early Goal-Directed Therapy: An Evidence Based Review. Critical Care
Medicine, 32(Suppl. 11), 448-450.
52. Rivers E, Nyguen B, Havstad S, Resseler J, Muzzin A., Knoblich B., Peterson E., Tomlanovich M. (2001).
Early Goal Directed Therapy in the Treatment of Severe Sepsis and Septic Shock. New England Journal of
Medicine, 345(19), 1368-1377.
53. Roman-Marchant O, Orellana-Jimenez CEA., DeBacker D, Melot C, Vincent JL (2004). Septic Shock of Early
or Late Onset: Does It Matter? Chest 126, 173-178.
54. Sevransky, J. E., Levy, M.M., Marini, J.J. (2004). Mechanical Ventilation in Sepsis-Induced Acute Lung
Injury/Acute Respiratory Distress Syndrome: An Evidence Based Review. Critical Care Medicine, 32(Suppl.
11), 548-553.
55. Vincent JL, Gerlach H. (2004). Fluid Resuscitation in Severe Sepsis and Septic Shock: An Evidence-Based
review. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 451-454.
56. Zimmerman J. (2004). The use of Blood Products in Sepsis: An Evidence-Based Review. Critical Care
Medicine, 32(Suppl. 11), 542-547.
57. Hotchkiss RS, Karl IE. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. N engl j med 2003 348;2
www.nejm.org
58. Molitoris BA. Intravital Multi-photon Microscopy to Visualize Renal Endothelial Cell Injury and Dysfunction .
The Lilly Foundation to Indiana University School of Medicine.
59. Sherwood ER, Toliver-Kinksy T, Lin C, Varma T, Herndorn DN. Smoke inhalation injury causes suppression
of systemic immune responses. S59.
60. Penulis: Judul. In: Herndorn DN (editor). Total burn care. 2nd ed. London: Saunders; 2002.p.120-169.
61. Takala J. Splanchnic blood flow in shock and inflammatory states. Crit. Care and Shock (1998) 1: 40-45.
62. Lindblom L, et al. Role of nitric oxyde in the control of burn perfusion. Burns journal of international society for
burn injuries. Vol 26 Number 1, Febr 2000. p. 19-23
63. Yowler CJ, Frantianne RB. Current status of burn resuscitation. In: Luce EA (guest ed). Clinics in plastic
surgery, an international quarterly. Philadelphia: WB Saunder and Co., 2000; 27(1):p-10.
64. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference: Definitions
for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med 1992;
20 (6): 864-874.
65. Deitch EA, Rutan R, Waymack JP, et al. Trauma, shock, and gut translocation. New Horizon. 4:289,1996.
66. Baue AE. Gut: importance of bacterial translocation, permeability and other factors. In: Baue AE, Faist E, Fry
DE. Multiple organ failure, pathophysiology, prevention, and therapy. New York: Springer, 2000. p.86-91.
67. Moenadjat Y, Benny P. Penatalaksanaan stress ulcer di unit pelayanan khusus luka bakar (UPKLB) RSUPN
dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Disampaikan pada pertemuan ilmiah tahunan Perhimpunan spesialis
bedah Indonesia (Ikabi). Yogyakarta, 2001.
68. Bakker, JJ. Complication of severe burns, oral presentation in burns symposium and workshop, Jakarta,
1997.
69. Moncada S, Higgs A. The L-arginine-nitric oxide pathway. NEJM:339:2002-2012
70. Zhang, JG, Galin4anes, M. Role of the L-arginine/nitric oxide pathway in ischemic/re-oxygenation injury of the
human myocard. Available in websites: http://www.cs.portlandpress.com/099/0497/0990497.pdf
71. Salyapongse AN, Billiar TR. Nitric oxide as a modulator of sepsis. In: Baue, AE, Faist, E, Fry, DE. Multiple
organ failure, pathophysiology, prevention, and therapy. New York: Springer, 2000. p.170-187.
72. Warden GD, Jr, Mason AD, Pruitt BA, Jr. Evaluation of leukocyte chemotaxis in vitro in thermally injured
patients. J. Clin. Invest. 54:1001,1974.
73. Bone RC, Balk R, Slotman G, et al: Adult Respiratory Distress Syndrome, Sequence and importance of
development of multiple organ failure. Chest 1992; 101: 320-326.
74. Catotto R, Cooper AB,. Esmond JR, Gomez M, Fish JF. Early clinical experience with high-frequency
oscillatory ventilation for ARDS in adult burn patients. J Burn Care Rehabil 2002; 22,5325-333

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 94


Moenadjat

75. Working group on metabolism and nutrition. Workshop on ARDS, Jakarta 2002.
76. Respiratory Care: Educational symposia. Available in manual book of 36th Annual meeting of American Burn
Association. Vancouver: 2004.
77. Oetoro S, Permadhi I, Witjaksono F. Perubahan metabolisme pada luka bakar. Dalam: Moenadjat, Y. Luka
Bakar. Pengetahuan klinik praktis, edisi revisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. halaman 40-43
78. Pasulka PS, and Wachtel TL. Nutritional considerations for the burned patient. Surg. Clin. North Am.
67:109,1987
79. Metabolism in starvation and trauma. TNT course providers manual. Abbot Laboratories International. 2001.
80. Moenadjat Y. Sindroma respons inflamasi sistemik (SRIS), sindroma disfungsi organ multipel (MODS) dan
sepsis pada kasus luka bakar. Disampaikan pada Pertemuan ilmiah tahunan (PIT) IV Perhimpunan dokter
spesialis bedah plastik Indonesia (Perapi). Bandung 1999; Dalam: Moenadjat Y. Luka Bakar: Pengetahuan
klinis praktis, edisi revisi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. p.4, 23-28.
81. Moenadjat Y. Burn Infection. Disampaikan pada Kursus penyegar dan penambah ilmu kedokteran (KPPIK)
FKUI. Februari 2004.
82. Moenadjat Y. The irrational use of antibiotics in burn: an obsession that could be fatal. Indonesian J Plast
recon surg. 3;2004
83. Monaffo WW, Bessey PQ. Wound care. In: Herndorn DN (editor). Total burn care. 2nd ed. London: Saunders;
2002. p.109-119.
84. Arturson G. Pathophysiology of the burn wound and pharmacological treatment: Burns 1996; 21 (4): 255-274.
85. Luterman A, Dacso CC, Curreri PW. Infections in burn patients. Am J Med 1986;81:45-52.
86. Hinshaw LB, Lee PA, Pryor RW, Pathogenesis and therapy of the multi-system organ failure. In Pollock AV.
Immunology in surgical practice. London: Edward Arnold, 1991; 350.
87. Heggers JP, Hal Hawkins, Edgar P, Villareal C, Herndorn DN. Treatment of infection in burns. In: Herndorn
DN (editor). Total burn care. 2nd ed. London: Saunders; 2002.p.120-169.
88. Heggers JP, Robson MC. Infection control in burn patients. Clin Plas Surg 1986; 13:39-47
89. Schwarz K, Dulchavsky S. Burn Wound Infections. Available in website:
http://www.emedicine.com/med/burnwoundinfection.html
90. Ali J, Adam RU, Gana TJ, Bedaysie H, Williams JI. Effect of the prehospital trauma life support program
(PHTLS) on prehospital trauma care. J Trauma 1997; 42(5):786-90
91. Martin JAJ. Acute Management of the Burned Patient, WB Saunders & Co., Philadelphia-London-Toronto,
1990, p:138.
92. Saffle JR, Stephen E. Morris, Linda Edelman. Early tracheostomy does not improve outcome in burn patients.
J Burn Care Rehabil 2002; 23:431-438
93. Marik PE (editor). Handbook of evidence based critical care. New York: Springer; 2001.
94. Dellinger RP. Lung. In: Baue, AE, Faist, E, Fry, DE. Multiple organ failure, pathophysiology, prevention and
therapy. Springer, 2000; p: 353-364.
95. McManus WF, Pruitt BA Jr. Thermal Injuries. In: Feliciano DV, Moore EE, Mattox KL, editors. Trauma. 3rd ed.
Connecticut: Appleton & Lange, 1996; 937-50
96. Endpoints of Resuscitations. Symposium in 36th Annual meeting of American Burn Association. Vancouver,
2004.
97. Cartotto RC, Innes MBA, Musgrave Melinda A, Gomez MB, Cooper A. How well does the Parkland formula
estimate actual fluid resuscitation volumes? J. Burn care and rehabilitation volume 23 No 4, July/August
2002, 258-269
98. Baxter CR. Fluid volume and electrocyte changes in the early postburn period. Clin. Plast. Surg. 1:693,1974.
99. Editorial: Monitoring the L-arginine-nitric oxide pathway in septic shock: choosing the proper point of attack. J
Crit. Care medicine 2001. 27: 2019-21
100. Waxman. Monitoring in Shock: Stomach or Muscle, J: Crit.Care Med. Vol 27 No 9, Sep.99, p: 2028
101. Baron BJ, et al. Efffects of traditional versus delayed resuscitation on serum lactate and base deficit, Burns
Journal of International Society for Burn Injuries, Vol 43 Number 1, 1999. p : 39
102. Huang PP, Stucky FS, Dimick AR, et al. Hypertonic sodium resuscitation is associated with renal failure and
death. Ann. Surg. 221:543,1995.
103. Kvetan V. The effect of Pressors and Inotopes on Regulation of Cytokine Release in Shock, Crit.Care and
Shock (1998) 1:26-39
104. Oetoro S. Pengaruh pemberian nutrisi enteral dini terhadap stres metabolisme penderita luka bakar di ULB
RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 1999-2000. Tesis magister sains ilmu gizi klinik.Jakarta: FKUI. 2001.
105. Lozano DD, J. Noordenbos RN, P Muller PAS. Fuchs RD, JF. Hansbrough. Metabolic requirements in
patients with inhalation injuries. S112. Cedera inhalasi meningkatkan BEE 140%.
106. Asia Connection Vol.1 Issue 2, 1996, Clinical Focus: Key role played by nutrition in wound healing. p:10.
107. Laitung G. Metabolic responses and requirements. in: Principles and practice of burn management. p:137
108. Mjaaland M. Nutritional support of surgical patients. IPRAS meeting, Bali, 1995

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 95


Moenadjat

109. Moenadjat Y, Metabolic changes and nutrition in burn. Oral presentation in Expert meeting, Singapore. 1999.
110. Matarese LE, Gottschlich MM. Contemporary nutrition support practice, a clinical guide. Philadelphia : WB
Saunders Company, 1998 : 590.
111. Rombeau JL, Cadwell MD. Enteral & tube feeding. Clin.Nutr. Vol.1. Philadelphia: WB Saunders Co, 1984 :
412.
112. Tienboon P, Chuntrasakul C. Nutrition and metabolic support in clinical practice. National library of Thailand
cataloging in publication data. 1998 : 115.
113. Sunatrio S. Sistim energi ganda pada nutrisi parenteral. Presentasi pada temu ilmiah IKABI Jaya, Jakarta.
1999.
114. Moenadjat Y. Immune compromise in the critically illness. Disampaikan pada symposium perioperatif I. 2003
115. Moenadjat Y. Pro and Con of Arginine. Disampaikan pada symposium Nutri Indonesia 2004. Jakarta.
116. Rombeau JL. Total Nutrition Therapy Course. An integrated approach to patient care. Program manual.
Pensylvania: 2000
117. Sauer EW. Surgical treatment of burn wounds. Oral presentation in burn symposium and workshop. Jakarta,
1997.
118. Kao CC, Garner WL. Acute Burns. J Plast and Reconst Surg 2000;105:2482-2493
119. Ahrens T, Vollman K. (2003). Severe Sepsis Management. Are We Doing Enough? Critical Care Nurse,
(Suppl. 11), 455-465.
120. Balk RA (1998). Outcome of Septic Shock: Location, Location, Location. ritical Care Medicine, 26, 1020-
1024.
121. Beale RJ, Hollengberg SM, Vincent JL, Parrillo JE (2004). Vasopressor and Inotropic Support in Septic
Shock: An Evidence-based Review. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 455-465.
122. Bouchud PY, Bonten M, Marchetti O, Calandra T. (2004). Antimicrobial Therapy for Patients with Severe
Sepsis and Septic Shock: An Evidence Based Review. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 495-512.
123. Wolfe SE. Metabolic Changes in Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society
(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.
124. Wolfe SE. Pathophysiology of Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society
(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.
125. Wallner SF, Warren GH. The haemopoietic response to burning: an autopsy study. Burns 1986;12:22-77.
126. Wolach B, Coates TD, Hulgi TE, et al. Plasma lactoferrin reflects granulocyte activation via complement in
burn patients. J Lab Clin Med 1984;103:284-93.
127. Peterson V, Hansbrough J, Buerk C, et al. Regulation of granulopoiesis following severe thermal injury. J
Trauma 1983;23:19-24.
128. Bartlett RH, Fong SW, Marrujo G, Hardeman T, Anderson W. Coagulation and platelet changes after thermal
injury in man. Burns 1981;7:370-7.
129. Eurenius K, Mortensen PF, Meserol PM, Curreri PW. Platelet and megakaryocyte kinetics following thermal
injury. J Lab Clin Med 1971;79:147-257.
130. Housinger TA, Brinkerhoff C, Warden GD. The relationship between platelet count, sepsis, and survival in
pediatric burn patients. Arc Surg 1993;128:65-7.
131. Pruitt BA. Complications of thermal injury. Clin Plast Surg 1974;1:667-91.
132. Lennquist S, Lindell B, Nordstrom H, Sjoberg HE. Hypophosphatemia in severe burns. Acta Chir Scard
1979;145:1-6.
133. Szyfelbein SK, Drop LJ, Martyn JA. Persistent ionized hypocalcemia in patients during resuscitation and
recovery periods of body burn. Crit Care Med 1981;9:454-458.
134. Iqbal SJ. Giles M. Ledger S. Nanji N. Howl T. Need for albumin adjustments of urgent total serum calcium.
Lancet 1988;2(8626-8627):1477-8.
135. Nordstrom H, Lennquist S, Lindell B, Sjoberg HE. Hypophosphatemia in severe burns. Acta Chir Scand
1977;143:395-9.
136. Herndon DN (ed.). Total Burn Care. London: WB Saunders Co.1996, pp.260,262.
137. Salem M, Munoz R, Chernow B. Hypomagnesemia in critical illness: A common and clinically important
problem. Crit Care Clin 1991; 7:225.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 96


Moenadjat

Bab III

4. Acute Respiratory Distress Syndrome


(ARDS) pada Luka Bakar
Yefta Moenadjat

cute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan suatu kondisi klinik berupa
A edema pulmonar yang sampai saat ini sulit dijelaskan definisinya. Ada beberapa
terminologi yang menjelaskan kondisi klinik ini, namun sebelumnya harus dipahami bahwa
kondisi ini berhubungan dengan sepsis dan atau trauma; bukan merupakan suatu cardiogenic
pulmonary edema.
ARDS sebelumnya merupakan singkatan dari Adult Respiratory Distress Syndrome (Patty
& Asbaugh, 1971). Terminologi ini digunakan untuk membedakannya dengan bentuk
kongenital atau lebih dikenal dengan sebutan Neonatal Respiratory Distress Syndrome
(Hyaline Membrane Disease). Pada perkembangan selanjutnya, terminologi yang digunakan
adalah Shock Lung Syndrome atau Da Nang lung (Straub, 1974), karena kondisi ini banyak
dijumpai pada korban cedera selama perang Vietnam. Terminologi terakhir yang dipakai sejak
diselenggarakan pertemuan konsensus mengenai ARDS (American-Europe Consensus
Committee, 1992) menyepakati kepanjangan ARDS yaitu Acute Respiratory Distress
Syndrome; meskipun sebagian ahli tetap menganut terminologi Acute Lung Injury (ALI) atau
Acute Lung Damage (ALD) untuk entitas kondisi klinik ini.

Patofisiologi ARDS

Bertambahnya pengetahuan mengenai patofisiologi ARDS memberi dampak penurunan


angka kematian, hal ini terlihat pada peningkatan angka ketahanan hidup (survival rate) dari
tahun ke tahun. Pada tahun 1967-1969 sebesar 18-38%, 1980-1989 sebesar 41-52% dan
pada tahun 1990-2000 sebesar 41-60%; paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir angka
ketahanan hidup penderita ARDS telah mengalami peningkatan sebanyak 20%.

Faktor yang memengaruhi angka mortalitas


Beberapa faktor berperan sebagai faktor predisposisi dan pencetus dalam memengaruhi
insidens serta angka kematian pada ARDS, antara lain:
Usia
Faktor resiko: sepsis 64%, trauma 42%
Komplikasi: sepsis 86%, 38% tanpa sepsis
Respons terhadap Positive End-Expiratory Pressure (PEEP): rasio PaO2/FiO2 >150mmHg
berkisar 23% (angka keseluruhan adalah 43%)
Lain-lain: disfungsi hepar, disfungsi ventrikel kanan, keganasan, alkoholis, penggunaan
ventilator

Hasil akhir dari suatu ARDS


Sekuel pulmonar
o Pada kebanyakan kasus (tidak disebutkan secara pasti) fungsi paru kembali normal
o Gejala residual yang mungkin timbul:
Restriksi paru ringan sampai sedang

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 97


Moenadjat

Hipertensi pulmonar
Keterbatasan / hambatan saluran nafas akibat hiperaktivitas bronkial
o Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) berat
Sekuel non pulmonar
o Keterbatasan aktivitas sehari-hari, yang sebetulnya merupakan dampak dari sekuele
pulmonar

Pertemuan konsensus selanjutnya diselenggarakan pada tahun 1998, membahas


beberapa permasalahan dalam penegakkan diagnosis dan hal-hal lain yang membedakan
ARDS dengan ALI, disekitar permasalahan:
1. Akut dan atau kronik
2. Derajat kerusakan paru, ditentukan oleh Lung Injury Score (LIS)
3. Kerusakan paru yang disebabkan sepsis

Gambar 96. Patogenesis ARDS pada trauma. Dikutip dan disadur dari Bone RC, Balk R, Slotman
G, et al: Adult Respiratory Distress Syndrome, Sequence and importance of development of
multiple organ failure. Chest 1992

Misalnya, ALI memiliki onset akut dengan masalah oksigenasi (rasio PaO2/FiO2) <300mmHg
dan gambaran infiltrat bilateral pada pemeriksaan radiologik toraks; sedang ARDS juga
memiliki onset akut dengan oksigenasi (rasio PaO2/FiO2) <200mmHg dan gambaran infiltrat
bilateral pada pemeriksaan radiologik toraks. Dengan demikian tidak dijumpai perbedaan
antara ALI dan ARDS selain masalah oksigenasi (rasio PaO2/FiO2) yang tidak bermakna. Para
ahli tetap berusaha mencari perbedaan diantara keduanya, akhirnya dicoba melakukan
pengukuran Pulmonary Artery Wedge Pressure (PAWP) dimana pada ARDS dijumpai nilai
kurang dari 18mmHg dengan syarat pengukuran ini dilakukan saat tidak dijumpai adanya tanda
klinik hipertensi atrium kiri (kembali pada definisi non-cardiogenic pulmonary edema).
Namun bila dikaji lebih lanjut, banyak dijumpai kelemahan dalam mendefinisikan atau
membedakan ARDS dengan ALI yang mengacu pada parameter-parameter tersebut di atas.
Misalnya, batasan onset akut harus dipertegas, karena ARDS dapat dijumpai pada hari kelima
(90%) maupun pada hari ke tujuh (100%). Dari parameter derajat kerusakan paru yang
ditentukan oleh LIS, tidak dijumpai perbedaan bermakna dari nilai-nilai oksigenasi (rasio

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 98


Moenadjat

PaO2/FiO2). Gambaran infiltrat bilateral pada pemeriksaan radiologi toraks dinilai tidak spesifik.
Disamping itu nilai PAWP dinilai kurang sensitif.
Pemeriksaan yang diperlukan dan dianggap akurat mungkin adalah suatu penanda. Dari
sekian banyak parameter klinik, ada suatu penanda yaitu nilai konsentrasi protein yang
dikandung cairan transudat pada lavase sekret bronko-alveolar. Konsentrasi protein pada
Bronchial-Alveolar Lavage (BAL) >0.75mg, menandakan bahwa edema yang timbul
disebabkan oleh ARDS.

Penyebab ARDS

Penyebab ARDS sangat beragam, diantaranya dijelaskan adanya cedera langsung


maupun cedera tidak langsung pada pulmonary dan jaringan nekrosis lainnya sebagaimana
dijumpai pada cedera berat termasuk luka bakar. Cedera pulmonar langsung yang sering
dijumpai antara lain pneumonia dan aspirasi; jarang disebabkan oleh kontusio paru, emboli
lemak dan cedera inhalasi. Cedera pulmonar tidak langsung yang sering dijumpai antara lain
sepsis dan cedera multipel. Luka bakar dan jaringan nekrosis lainnya memicu pelepasan
mediator-mediator pro inflamasi seperti sitokin, radikal bebas dan sebagainya yang akan
merusak sel termasuk alveoli.

Gambar 97. Anatomi unit respirasi mulai dari percabangan brokus utama sampai alveoli. Dikutip dan
disadur dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall;
2001.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 99


Moenadjat

Gambar 98. Histopatologi ARDS. Neutrofil dan leukosit PMN yang beredar di sirkulasi pada proses
inflamasi akut menyebabkan produksi mediator pro-inflamasi, eikosanoid dan radikal bebas di alveoli.
Terjadi proses inflamasi akut disertai meningkatnya permeabilitas kapiler perialveolar disertai edema
dengan meningkatnya jumlah makrofag di ruang alveoli. Fibrin-fibrin membentuk membran hialin di
mukosa alveolus mengganggu proses difusi dan perfusi (pertukaran gas).

Gambar 99. Patofisiologi ARDS pada kasus trauma. Dikutip dan disadur dari Bone RC, Balk R,
Slotman G, et al: Adult Respiratory Distress Syndrome, Sequence and importance of development of
multiple organ failure. Chest 1992

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 100


Moenadjat

Klinis

Beberapa pertanda klinik dijumpai pada ARDS, berkaitan dengan faktor predisposisi dan
pencetus. Di lain pihak, pada kondisi-kondisi tersebut di bawah yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya, sangat mungkin telah dijumpai ARDS.
Syok yang tidak responsif terhadap resusitasi
Periode laten berlangsung antara 12-48 jam
Insidious tachypnea
Stiff lung, PAWP, Tidal volume, takikardia
Hipoksemia refrakter
Mutlak membutuhkan ventilasi mekanik
Kematian

Radiologis

Foto toraks menunjukan gambaran infiltrat bilateral yang berbeda dengan gambaran
radiologik pada pneumonia.

Histopatologis

Histopatologis, dijumpai 3 (tiga) fase, sebagaimana dijumpai pada pneumonia, yaitu:

Fase eksudasi Berlangsung sejak 0 sampai 5 hari


Fase inflamatorik Berlangsung setelah 5 hari sampai dengan 10 hari
Fase fibro-proliferatif Berlangsung setelah 10 hari sampai dengan penyembuhan
atau kematian

Gambar 100. Perubahan patologik membran basalis alveolus pada ARDS. Kerusakan surfaktan
disertai pembentukan membran hialin yang menghalangi proses perfusi difusi; terjadi karena
proses inflamasi sistemik dengan fokus primer di luar paru. Dikutip dan disadur dari Bone RC, Balk
R, Slotman G, et al: Adult Respiratory Distress Syndrome, Sequence and importance of
development of multiple organ failure. Chest 1992

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 101


Moenadjat

Gambar 101. Gambaran radiologik pada ARDS (kiri) memberikan informasi


infiltrat bilateral, berbeda dengan gambaran pneumonia dengan honey-comb
appearance (kanan, tanda panah).

Gambar 102. Gambaran patologi ARDS post-mortem; ketiganya menunjukan konsolidasi


parenkim. Dikutip dari Baret JP, Herndon DN. Color atlas of burn care. London: WB Saunders;
2001

A B

C D

Gambar 103. Gambaran histopatologi ARDS. A dan B pada fase eksudatif, C pada fase
inflamatorik dan D pada fase fibroproliferatif. Dikutip dari Neuman P. Lung dysfunction in early
phase of sepsis. In Baue, AE, Berlot, G, Gullo, A. Sepsis and organ dysfunction. The
challenges continuous. Milano: Springer Verlag, 2000

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 102


Moenadjat

Penatalaksanaan

Yang menjadi pola pikir pada penatalaksanaan ARDS maupun SIRS dan MODS saat ini
adalah pencegahan, penatalaksanaan resusitasi (jalan nafas dan cairan-sirkulasi) adekuat dan
perawatan intensif pada kasus trauma berat seperti luka bakar. Ini dikerjakan dengan
melakukan beberapa rangkaian tindakan agresif seperti resusitasi saluran cerna dan
manajemen luka. Ventilator mekanik yang berperan sebagai alat bantu pernafasan, tidak
banyak menolong dan tidak memperbaiki angka kematian.
Pemberian zat-zat anti inflamasi dilaporkan tidak banyak memperbaiki keadaan, meskipun
dasar kelainan ini adalah proses inflamasi. Penatalaksanaan kini diarahkan dengan
mengupayakan melalui pemberian Nutrisi Enteral; memberikan zat-zat yang berperan dalam
metabolisme asam arakidonat seperti omega3 dan omega6. Diketahui bahwa pemberian kedua
zat ini akan menjinakkan leukotriene (LTB4 yang bersifat maligna) dengan cara memengaruhi
lypoxygenase pathway pada metabolisme asam arakhidonat, sehingga menghasilkan
leukotriene yang lebih benigna. Pemberian omega6 memiliki efek pada cyclo-oxygenase
pathway asam arakidonat, sehingga menghasilkan tromboksan yang lebih benigna
menggantikan tromboksan (Thromboxane A2) yang bersifat maligna.
Antioksidan seperti Vitamin C, vitamin E, Selenium (Se) dan sebagainya mutlak diperlukan
karena adanya deplesi antioksidan akibat peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) yang
terjadi karena stres oksidatif pada trauma (lihat gambar 99 pada halaman 100).

Gambar 104. Diagram metabolisme asam arakidonat yang terdiri dari dua jalur, yaitu jalur
cyclo-oxygenase dan lypoxygenase. Melalui jalur pertama dihasilkan Prostaglandin
(terutama PGE2) yang memiliki efek vasodilatasi sistemik dan relaksasi bronkus;
Tromboksan (terutama TXA2) yang memiliki efek bronkokonstriksi, vasokonstriksi pulmonar
dan agregasi trombosit; dan Leukotrien (terutama LTB4) yang memiliki efek kemotaksis dan
agregasi leukosit dan edema pulmonar. Pemberian omega3 dan omega6 akan
memengaruhi metabolisme di masing-masing jalur, sehingga PGE2 dan TXA2 serta LTB4
akan diproduksi dalam bentuk lain yang lebih benigna. Metabolisme asam arakidaonat
tetap berlangsung, namun ARDS, SIRS dan MODS tidak terjadi. Dikutip dan disadur dari
Hinshaw LB, Lee PA, Pryor RW. Pathogenesis and therapy of the multi-system organ
failure. In Pollock AV. Immunonolgy in surgical practice. London-Melbourne-Auckland:
Edward Arnold, 1991

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 103


Moenadjat

Bahan Bacaan
1. Murakami K, Enkhbaatar P, Shimoda K, Chandra A, Herndorn DN. Role of nitric oxide synthase (NOS)-1 and
2 in acute lung injury in sepsis with smoke inhalation in sheep. Available in: Proceeding book of the American
Burn Association 34th annual meeting, April 24-27, 2002.S50
2. Sherwood ER, Toliver-Kinksy T, Lin C, Varma T, Herndorn DN. Smoke inhalation injury causes suppression
of systemic immune responses. Available in: Proceeding book of the American Burn Association 34th annual
meeting, April 24-27, 2002.S59.
3. Burke AS, Cox RA, Barrow RE, Traber D, Hawkins HK. Ovine lung apoptosis after thermal burn and smoke
inhalation. Available in: Proceeding book of the American Burn Association 34th annual meeting, April 24-27,
2002.S119.
4. Saffle JR, Morris SE, Edelman L. Early tracheostomy does not improve outcome in burn patients. J Burn
Care Rehabil 2002; 23:431-438
5. Lozano DD, Noordenbos J, Muller PA, Fuchs S. Hansborough J. Metabolic requirements in patients with
inhalation injuries. Available in: Proceeding book of the American Burn Association 34th annual meeting, April
24-27, 2002.S112.
6. Catotto R, Cooper AB, Esmond JR, Gomez M, Fish JS. Early clinical experience with high-frequency
oscillatory ventilation for ARDS in adult burn patients. J Burn Care Rehabil 2002; 22,5325-333
7. Hinshaw LB, Lee PA, Pryor RW. Pathogenesis and therapy of the multi-system organ failure. In Pollock AV.
Immunonolgy in surgical practice. London-Melbourne-Auckland: Edward Arnold, 1991; 350.
8. Baue AE. The complexity of sepsis and organ dysfunction. In Baue, AE, Berlot, G, Gullo, A. Sepsis and organ
dysfunction. Epidemiology and scoring systems, pathophysiology and therapy. Milano: Springer Verlag, 2000;
23.
9. Neuman P. Lung dysfunction in early phase of sepsis. In Baue, AE, Berlot, G, Gullo, A. Sepsis and organ
dysfunction. The challenges continuous. Milano: Springer Verlag, 2000; 23.
10. Bone RC, Balk R, Slotman G, et al: Adult Respiratory Distress Syndrome, Sequence and importance of
development of multiple organ failure. Chest 1992; 101: 320-326.
11. Working group on metabolism and clinical nutrition. Workshop on ARDS, Jakarta 2002.
12. Respiratory Care: Educational symposia. Available in manual book of 36th Annual meeting of American Burn
Association. Vancouver: 2004.
13. Burn Modules: Pulmonary problems in Burn Patients. Available in websites: http://www.burnsurgery.org
14. Tredget EE, Shankowsky HA, Taerum TV, et al. The role of inhalation injury in burn trauma: a Canadian
experience. Ann. Surg. 212:720,1990.
15. Smith DL, Cairns BA, Ramadan F, et al. Effect of inhalation injury, burn size, and age on mortality: a study of
1447 consecutive burn patients. J. Trauma 37:655,1994.
16. Holm C et al. Haemodynamic and oxygen transport rensponses in survivors and non survivors following
thermal injury. Burns journal of international society for burn injuries. Vol 26 Number 1, Febr. 2000. p : 25
17. Wolfe SE. Pathophysiology of Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society
(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 104


Moenadjat

Bab III

5. Ulkus stres & perdarahan saluran cerna


pada luka bakar
Yefta Moenadjat
Benny Phillippy

lkus stres (stress ulcer) merupakan penyulit yang dapat diamati terjadi pada kasus luka
U bakar berat sebagaimana dijumpai pada kasus trauma berat lainnya, sepsis, pasca
operasi besar, kasus-kasus kritis dalam perawatan intensif dan kasus strok. Dalam literatur
disebutkan bahwa enam puluh lima persen kasus luka bakar dengan luas lebih dari 35%
mengalami erosi mukosa usus dan 74% kasus berkembang menjadi ulkus stres. Dengan
adanya penyulit ini, angka mortalitas kasus luka bakar menjadi semakin besar sehingga ulkus
stres ini merupakan salah satu indikator prognosis pada kasus luka bakar1. Di RSUPN Dr Cipto
Mangunkusumo Jakarta insidens ulkus stres ini sejak tahun 1980 tercatat kurang lebih 20%,
terjadi pada kasus luka bakar derajat II-III >40%; umumnya pada hari ke 3-5 pasca cedera
termis; sejak tahun 1995 insidensnya menurun (kl. 1-1.6%) dan hampir tidak pernah dijumpai
sejak tahun 1997.
Tampaknya, menurut konsep SIRS dan MODS, teori kejadian atau berkembangnya ulkus
stres ini kurang tepat, dengan konsekuensi tatalaksana yang berbeda. Beberapa hal yang
menarik untuk diamati dan dibahas dalam penatalaksanaan ulkus stres ini; khususnya yang
berkenaan dengan pemberian medikamentosa, memuasakan pasien, dan pemberian Nutrisi
Enteral.

Ulkus stres & hipoperfusi splangnikus

Ulkus stres ini dikenal dengan sebutan lain yaitu Curling ulcer. Kondisi ini dibahas secara
khusus dalam patologi gastrointestinal pasca cedera termal dan merupakan manifestasi dari
kegagalan foregut akibat syok
Sebagaimana disebutkan pada paragraf sebelumnya, enam puluh lima persen kasus luka
bakar dengan luas lebih dari 35% mengalami erosi mukosa usus dan 74% kasus berkembang
menjadi ulkus stres1. Dalam literatur lain disebutkan insidens yang diperoleh melalui survai
pemeriksaan post mortem adalah 25%, sedangkan secara klinik 10%6. Insidens ulkus stres
pada anak-anak di bawah usia lima tahun adalah 43%2, wanita relatif lebih sering dibandingkan
kaum pria ( 53:47).
Ulkus stres ini biasanya terjadi dalam sembilan puluh enam jam (rerata 3-5 hari) pasca
cedera termis. Waktu terpendek yang dilaporkan adalah lima jam pasca cedera6; sementara
literatur lain menyebutkan terjadinya ulkus stres ini tidak dapat ditentukan secara spesifik pada
hari keberapa.
Lokasi anatomik tersering adalah gaster (daerah fundus, korpus) dan dinding posterior
duodenum. Secara histopatologik, 81% ulkus stres letaknya superfisial dan merupakan bentuk
erosi mukosa, 20-25% mencapai lapisan muskularis mukosa, 11% menembus lapisan
muskularis bagian dalam, dan 7% menembus lapisan transmural gaster. Pada daerah
duodenum 6% mencapai lapisan mukosa, 12% mencapai lapisan muskularis mukosa dan 35%
mencapai lapisan muskularis bagian dalam dan 29% mencapai lapisan muskularis bagian luar.
Pada kedua lokasi tersebut, insidens perforasi 12%; dengan rasio yang sama antara gaster
dan duodenum. 75% ulkus memiliki diameter kurang dari. 0.5cm; 78% kasus bersifat soliter

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 105


Moenadjat

sedangkan 25% bersifat multipel. Tidak adanya respons inflamasi seperti edema dan indurasi
membedakannya dengan ulkus peptikum yang bersifat kronik.

A B

C D

Gambar 105. Gambaran histopatologi disrupsi mukosa saluran cerna pada gangguan perfusi: A menunjukkan
gangguan integritas mukosa (pembesaran 25X). B menunjukkan proses Iskemia disertai pecahnya kapiler
submukosa disertai perdarahan (pembesaran 100X) dan C pada pembesaran 40X. Pada gambar D ditunjukkan
erupsi vili yang mengarah pada atrofi. Dikutip dan disadur dari Takala J. Splanchnic blood flow in shock and
inflammatory states. J Crit.Care and Shock (1998) 1:40-45

A B

Gambar 106. A. Menunjukan disrupsi mukosa pada pem-besaran 100X dan B pembesaran 25X, ditandai adanya
perubahan degeneratif vili dan perdarahan pada kelenjar (tanda panah). Dikutip dan disadur dari Takala J.
Splanchnic blood flow in shock and inflammatory states. J Crit.Care and Shock (1998) 1:40-45

Menurut teori sebelumnya, diduga kuat ulkus stres disebabkan karena pengaruh stres
yang terjadi pada luka bakar, sebagaimana juga terjadi pada kasus trauma berat lainnya. Luka
bakar dan trauma lainnya berperan sebagai stresor mengakibatkan gangguan yang dijelaskan
sebagai suatu kondisi dimana terjadi dominasi faktor agresi dan melemahnya faktor defensi.
Teorinya mengenai keseimbangan faktor agresi dan defensi diterapkan pada beberapa jenis
ulkus, baik ulkus yang disebabkan karena stres psikis maupun stres fisik akibat trauma ulkus
stres yang timbul pada pasien kritis dalam perawatan intensif dan pasca operasi besar sejalan
dengan penjelasan mengenai etiologi timbulnya ulkus stres oleh Fitts. Dominasi faktor agresi
digambarkan oleh peningkatan kadar asam lambung, gastrin, pepsin, refluks cairan empedu;
termasuk efek nikotin alkohol serta obat-obatan aspirin dan steroid, dijelaskan sebagai efek
rangsangan sistim saraf parasimpatis yang lazim dijumpai menyusul suatu kondisi trauma.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 106


Moenadjat

Melemahnya faktor defensi digambarkan oleh gangguan pada epitel beserta proses
regenerasinya; penurunan kadar prostaglandin dan bikarbonat di mukosa lambung, gangguan
produksi dan fungsi musin dan surfaktan (fosfolipid), serta gangguan mikrosirkulasi.
Peningkatan kadar kortisol tanpa perubahan nilai kadar ACTH hipofisis anterior diduga
merupakan efek rangsangan ortosimpatis (sementara bila disertai peningkatan kadar ACTH
disebabkan gangguan pada hipofisis anterior); menyebabkan penurunan kadar prostaglandin
mukosa. Gangguan mikrosikulasi dijelaskan sebagai akibat dari efek katekolamin dan glukagon
yang meningkat pada kondisi stres.
Curling menjelaskan kondisi tipikal untuk ulkus stres yang disebabkan oleh luka bakar,
yaitu sebagaimana dijelaskan Fitts dkk.
1. Cedera mukosa gastrik akibat syok (Curling, Czaja, Freisen dan Menguy), hipoproteinemi
dan cedera pipa nasogastrik (Carasquilla)
2. Sekresi gastrik normal (Oneill, McClelland, Lucas, Moody dan Zinner)
3. Efek proteksi mukosubstan menurun. (Oneill, Chernov, McClelland dan Lucas)
4. Penurunan efek barier mukosa gastrik (Gordon, Moody, Czaja, Alhany)

Sementara Harjodisastro7 menjelaskan kondisi yang tipikal untuk suatu Curling ulcer:
1. Keasaman lambung normal dijumpai pada kasus luka bakar 20%, sedangkan
peningkatan kadar asam lambung dijumpai pada kasus luka bakar dengan luas 20% ).
2. Kadar gastrin normal,
3. Peningkatan kadar kortisol dalam darah
4. Dijumpai iskemia mukosa yang diperoleh dari pemeriksaan endoskopi dengan konfirmasi
pemeriksaan histopatologi.

Dalam literatur lain6 dijelaskan bahwa erosi mukosa yang terjadi memiliki korelasi dengan
cedera inhalasi dan presentasi luas luka bakar. Pada kasus-kasus dengan riwayat cedera
inhalasi, Pada kasus luka bakar 50%, erosi mukosa ini berhubungan dengan stres pada luka
bakar itu sendiri; sedangkan bila dijumpai pada kasus luka bakar 20% biasanya
berhubungan dengan sepsis. Lebih lanjut dinyatakan bahwa peningkatan keasaman lambung
dan gastrin tidak memiliki korelasi dengan erosi yang timbul.

Kvetan dan Takala menjelaskan iskemia mukosa usus terjadi akibat hipoperfusi
splangnikus (gangguan homeostasis) pada fase syok berperan sebagai penyebab ulkus stres.
Teori ini bersifat lebih rasional dan implikatif, menunjang teori Harjodisastro akan temuannya
mengenai iskemia mukosa serta memiliki relevansi dengan peran katekolamin dan glukagon
pada kondisi stress. Teori ini juga menjelaskan perubahan fungsi barier mukosa yang
mempermudah terjadinya translokasi bakteri. Berbagai penelitian klinik dilakukan menunjang
teori ini, dan pemeriksaan histopatologik pada otopsi menunjukkan kebenaran teori ini.
Ulkus stres ini memberikan gejala perdarahan gastrointestinal masif dan memiliki angka
mortalitas tinggi. Bila kesadaran penderita dalam keadaan baik, gejala awal yang dijumpai
adalah dispepsi dengan derajat berbeda dari ringan sampai berat, disusul dengan
hematemesis dan hematoskezia. Pada penderita dengan gangguan kesadaran, ulkus stres
dicurigai timbul pada berbagai kondisi berat.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat cedera, disertai adanya tanda klinik


hematemesis, cairan hitam pada pipa nasogastrik. Pada pemeriksaan endoskopi dijumpai
keseluruhan mukosa pucat, erosi mukosa akut tanpa indurasi disekitarnya; dijumpai ptekhia
eritematus dan makula disertai fokus hemoragik pada mukosa. Pada pemeriksaan
histopatologik dijumpai gambaran erosi mukosa yang khas ditandai oleh edema mukosa akut,

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 107


Moenadjat

kongesti mikrovaskuler dengan mikrokotrombi fibrin, dengan shunt submukosa atau adanya
vasokonstriksi lokal; disertai fokus-fokus hemoragik.

Penatalaksanaan

Penanganan perdarahan saluran cerna akibat iskemia mukosa atau ulkus stres dimulai
dari kecurigaan timbulnya kondisi klinik ini pada kasus-kasus luka bakar berat; dibedakan atas
penatalaksanaan awal yang bersifat pencegahan dan penatalaksanaan disaat timbul
manifestasi klinik. Dalam kesempatan ini dibatasi hanya pada penatalaksanaan awal;
sedangkan penatalaksanaan disaat timbul manifestasi klinik mengikuti protokol
penatalaksanaan hematemesis melena yang berlaku.
Penatalaksanaan awal dikaitkan dengan penatalaksanaan fase akut (fase syok) terrmasuk
penatalaksanaan resusitasi saluran cerna pada luka bakar fase akut sebagaimana diuraikan
pada bab 4.3.

Bahan Bacaan
1. Settle JAD. Principles and practice of burns management. New York Edinburgh London Madrid Melbourne
San Fransisco Tokyo: Churchill Livingstone, 1996.
2. Artz CP, Moncrief JA, Pruittt BA. Burns, a team approach. Philadelphia London Toronto: WB Saunders
Company, 1979.
3. Martyn JAJ. Acute management of the burned patient. Philadelphia London Toronto Montreal Sydney
Tokyo: WB Saunders Company, 1990.
4. Bakker JJ. Complications of severe burns, disampaikan pada acara Burn Symposium and Workshop, FKUI
Jakarta, 1997.
5. Baue AE, Faist E, Fry DE. Multiple organ failure, pathophysiology, prevention, and therapy, New York
Berlin Heidelberg Barcelona Budapest Hongkong London Milan Paris Santa Clara Singapore Tokyo:
Springer, 2000.
6. Boswick JA, Jr. The Art and science of burn care. Royal Tunbridgewells, Maryland, Ashton Publisher,
1987.
7. Harjodisastro D. Tukak stres, Simposium Tukak Peptik, Jakarta, 1993.
8. Harjodisastro D., Tukak stres pada penderita strok, desertasi gelar Doktor pada Program Pascasarjana
FKUI, Jakarta, 1995
9. Rombeau JL, Caldwell M.D. Enteral and tube feeding, clinical nutrition, Vol.1, Philadelphia London Toronto
Mexico City Rio de Janiero Sydney Tokyo: WB Saunders Company, 1984
10. Tienboon P, Chuntrasakul, C, Siltham, S, Yamwong, P, Chockvivatanavavit, S. Nutrition and metabolic
support in clinical practice. Bangkok: National Library of Thailand Cataloging in Publication Data, 1998.
11. Moenadjat Y. Luka bakar, pengetahuan klinik praktik, Farmedia, Jakarta, 2000.
12. Moenadjat Y, Prasetyono TOH, Wifanto J. Faktor yang berperan pada prognosis kasus luka bakar, FKUI,
Jakarta, 2000
13. Guntoro, Moenadjat Y. Insidens sindrom respons inflamasi sistemik dan sindrom disfungsi organ multipel
di UPK LB RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, FKUI, Jakarta, 2000
14. Prasetyono TOH. Peran pemberian nutrisi enteral dini pada perkembangan sindrom respons peradangan
sistemik dan sindrom disfungsi organ multipel pada kasus luka bakar, FKUI, Jakarta, 2000
15. Oetoro S. Peran pemberian nutrisi enteral dini terhadap stres metabolisme penderita luka bakar, tesis
pada Program Magister Ilmu Gizi Klinik, FKUI, Jakarta: 2000
16. Moenadjat Y. Faktor prognosis dan sistim skoring pada luka bakar. Ropanasuri J I bedah Indon:2000
17. Kvetan V. The effect of pressors and inotopes on regulation of cytokine release in shock, Crit.Care and
Shock (1998) 1:26-39
18. Takala J. Splanchnic blood flow in shock and inflammatory states. J Crit.Care and Shock (1998) 1:40-45.
19. Holm C, et.all. Haemodynamic and oxygen transport responses in survivors and non survivors following
thermal injury, Burns Journal of International Society for Burn Injuries, vol. 26 Number 1, Febr. 2000 : 25

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 108


Moenadjat

BAB III

6. Abdominal Compartment Syndrome


pada Luka Bakar
Yefta Moenadjat

A bdominal compartment syndrome (ACS) atau peningkatan tekanan intra-abdominal


umumnya merupakan penyulit pasca major abdominal surgery maupun trauma
abdomen. Beberapa studi menunjukan adanya peningkatan tekanan intra-abdominal pada
kasus-kasus tersebut diikuti penurunan fungsi jantung, penurunan compliance paru dan perfusi
ke renal.

Gambar 107. Hipoperfusi splangnikus menyebabkan perdarahan saluran cerna yang berlanjut menjadi sindroma
kompartemen abdominal (ACS). Syok dan sindroma kompartemen intra abdominal menyebabkan terjadinya
hipoperfusi splangnikus yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu lingkaran setan (lihat kembali gambar
41 halaman 47).

Bukan saja permasalahan yang disebutkan di atas timbul pada ACS; permasalahan lain
seperti hipoperfusi splangnikus dan perdarahan saluran cerna yang menjadi motor MODS dan
meningkatkan mortalitas, peningkatan tekanan intrakranium dan bersifat fatal.

Pada luka bakar, bagaimanapun tidak ada suatu kondisi patologi primer di intra-abdominal,
sehingga adanya ACS pada luka bakar sampai saat ini jarang terdeteksi.
Ada beberapa studi yang mengamati ACS pada luka bakar berat, melibatkan 40 kasus.
Studi pertama, Greenhalgh & Warden menunjukan insiden abdominal hypertension yang tidak
berkembang menjadi ACS sebesar 37% pada luka bakar berat. Studi oleh Ivy dkk menunjukan
7 dari 10 kasus luka bakar berat menunjukan abdominal hypertension; namun hanya dua yang
berkembang dan menunjukan gejala dan tanda ACS. Studi lain memberikan informasi bahwa
ACS mungkin dijumpai pada kasus-kasus luka bakar berat >70% luas permukaan tubuh.
Studi lain menunjukan 18 kasus mengalami hipertensi abdominal dan tidak menunjukan
insiden maupun survivability dari populasi luka bakar. Studi ini juga menunjukan bahwa dengan
jumlah kasus yang terlalu minim ini, hanya sejumlah kecil pasien memerlukan tindakan

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 109


Moenadjat

dekompresi; namun memiliki prognosis yang buruk; karenanya timbul perdebatan yang
mempertanyakan apakah laparotomi dekompresif merupakan tindakan terbaik pada kasus luka
bakar dengan ACS. Suatu studi melibatkan hanya empat kasus yang mengalami ACS, hanya
dua yang dapat bertahan hidup; namun studi ini tidak menunjukan indikasi mortalitas 50%
pada hasil studinya.
Pada studi-studi ini, pemeriksaan adanya peningkatan tekanan intra-abdominal dilakukan
dengan penerapan metode Kron, yaitu mengukur tekanan buli, dikatakan adanya ACS
ditunjukan dengan tekanan >30mmHg, meskipun kecurigaan adanya ACS timbul pada pasien-
pasien dengan syok bila tekanan intravesika menunjukan nilai >25mmHg.

Gambar 108. Cara melakukan pengukuran tekanan buli menurut metode Kron.
Pasien dalam posisi supinasi. Masukan 50mL cairan ke dalam buli lalu kateter di
klem distal dari aspiration port. Pengukuran dilakukan saat akhir ekspirasi. Bila
tekanan >30mmHg menandakan adanya peningkatan tekanan intra-abdominal.

Metode lain yang dilakukan untuk mendeteksi adanya peningkatan tekanan intra-
abdominal adalah menggunakan parameter klinik yaitu adanya ketegangan pada dinding
abdomen, dikombinasi dengan tingginya peak inspiratory pressures (PIP) yang mengurangi
kemampuan mem-ventilasi pasien atau adanya oliguria yang terjadi setelah resusitasi cairan
agresif.

Keterangan:
Pasien dengan ACS, pasien tanpa ACS.

Gambar 109. Diagram yang menggambarkan hasil yang diperoleh melalui


pemeriksaan peak inspiratory pressures (PIP) sebanding dengan hasil yang
diperoleh melalui pemeriksaan tekanan intra-buli (intra-bladder pressures,
IBP). Pada diagram di atas tampak distribusi pasien dengan ACS dan pasien
tanpa ACS menempati area yang sama pada pengukuran menggunakan peak
inspiratory pressure (PIP) dan intra-bladder pressure (IBP) setelah resusitasi
cairan dalam 24 jam pertama.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 110


Moenadjat

Ada beberapa kemungkinan penyebab yang dikemukakan pada pembahasan dan diskusi
dari studi-studi yang dilakukan maupun di literatur, antara lain berkembangnya excessive third
spacing pada periode resusitasi, diduga sangat kuat berhubungan dengan respons inflamasi
inisial pasca cedera.
Timbulnya ACS yang dikaitkan dengan resusitasi cairan agresif menjadi suatu topik yang
menarik. Di satu sisi, cardiac output terganggu pada fase awal selama dijumpai hipovolemia.
Namun, dengan pemberian cairan kristaloid masif dalam 24 jam pertama, akumulasi cairan
(akibat overhidrasi) dapat terjadi di paru (pulmonary edema) dan asites yang menjadi pemicu
timbulnya ACS. Berkaitan dengan pemberian cairan resusitasi masif ini, beberapa peneliti
mendapatkan bahwa pemberian cairan melebihi 200mL/kg/12jam (peneliti lain mendapatkan
jumlah berbeda, yaitu 300mL/kg/24jam) terpapar pada risiko timbulnya ACS. Risiko ini
dihadapkan pada kasus-kasus luka bakar luas (>30% TBSA); bukan saja luas, namun juga
kedalaman luka dan adanya cedera inhalasi (yaitu, kasus-kasus yang memerlukan cairan
resusitasi lebih banyak).

Keterangan:
pasien dengan ACS, pasien tanpa ACS

Gambar 110. Grafik yang memberikan informasi distribusi pasien yang


mengalami ACS dan tidak mengalami ACS setelah resusitasi cairan dalam 24
jam pertama.

Penyebab lain yang dikemukakan dikaitkan dengan repons inflamasi sekunder yang di picu
oleh bakteremia dan sepsis; tergolong kelompok dengan onset lambat namun memiliki tingkat
survival rate yang lebih tinggi dibandingkan kelompok pertama (kelompok yang memperoleh
resusitasi masif). Belum dapat dijelaskan mengapa terdapat perbedaan dalam survival rate ini.

Tatalaksana

Pemantauan menjadi sangat penting dalam penatalaksanaan timbulnya ACS, khususnya


dikaitkan dengan resusitasi cairan pada kasus luka bakar luas >50%. Ada keunikan masalah
pada luka bakar, antara lain: 1) sebagaimana disebutkan sebelumnya, tidak ada patologi
primer di intra-abdomen, 2) tidak ada sayatan laparotomi sebelumnya dan 3) banyak
memperdebatkan bahwa pada kasus luka bakar dengan kehilangan barrier protektif
dihadapkan pada suatu tindakan yang meningkatkan morbiditas.
Tindakan preventif yang dilakukan berkaitan dengan timbulnya ACS dan mengupayakan
tindakan dekompresi seawal mungkin adalah dengan melakukan dekompresi nasogastrik,

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 111


Moenadjat

sedasi, dan pharmacologic paralysis pada kasus-kasus yang memerlukan cairan resusitasi
dalam jumlah besar.
Diperlukan strategi dalam resusitasi cairan, dengan mengurangi pemberian cairan
kristaloid dan menggantikannya dengan koloid (lihat resusitasi cairan).

Bahan Bacaan
1. Hobson KG, Young KM, Ciraulo A, Palmer TL, Greenhalgh DG. release of Abdominal Compartment
Syndrome Improves Survival in Patients with Burn Injury. J Trauma, Injury, Infection and Critical Care vol 53
no 6, 1129-34
2. Watson RA, Howdieshll TR. Abdominal Compartment Syndrome. Southern Med J vol 91 no.4, 328-32
3. Steven L.Lee et al, The Journal of Trauma, Injury, Infection and Critical Care, Vol 52, No.52, June 2002
4. Oda J, Yamashita K, Inoue T, Harunari N, Ode Y, et al. Resucitation fluid volume and abdominal
compartment syndrome in patients with major burns. Burns 32 (2006) 151-4.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 112


Moenadjat

BAB IV

Resusitasi Luka Bakar


Yefta Moenadjat

R esusitasi luka bakar fase akut merupakan suatu standar (gold standard) dalam
pertolongan kasus luka bakar 12. Resusitasi menjadi mutlak atau mandatorik karena
menyangkut hidup-matinya korban (merupakan rangkaian tindakan yang dilakukan pada
kondisi life-threatening).
Resusitasi ini dilakukan berdasarkan prioritas sebagaimana diuraikan dalam Advanced
Trauma Life Support (ATLS), Advanced Burn Life Support (ABLS) atau lainnya. Kesemuanya
menekankan prioritas ABC (Airway Breathing and Circulation) dalam pertolongan kondisi
gawat darurat ini.
Pada bab ini diuraikan secara berurutan, perihal resusitasi jalan nafas (airway),
mekanisme bernafas (breathing mechanism) dan gangguan sirkulasi (circulation) pada kasus
luka bakar dengan karakteristik permasalahannya.

Fase Akut LUKA BAKAR

Gangguan ABC

RESUSITASI

1 RESUSITASI JALAN NAFAS

2 RESUSITASI MEKANISME BERNAFAS


P
R
I
O 3 RESUSITASI CAIRAN
R
I
T 4 RESUSITASI SALURAN CERNA
A
S
5 MANAJEMEN LUKA
ESKAROTOMI
MOIST DRESSING

12Mengacu pada evidence based medicine (diuraikan pada bab pertama) gold standard adalah suatu keharusan.
Resusitasi merupakan hal yang mutlak dikerjakan, sedangkan bentuk prosedurnya tergantung pada beberapa
masalah yang dijumpai.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 113


Moenadjat

Bab IV

1. Resusitasi Jalan Nafas


pada Luka Bakar
Yefta Moenadjat

R esusitasi jalan nafas merupakan prioritas pertama pada kasus luka bakar dengan cedera
inhalasi baik dengan atau tanpa gejala distres pernafasan. Tindakan resusitasi dilakukan
dengan melakukan serangkaian prosedur, antara lain:
1. Intubasi dan atau krikotiroidotomi
2. Penghisapan lendir (sekret) secara berkala
3. Terapi inhalasi: nebulizer dan atau lavase bronko-alveolar
4. Proses rehabilitasi
5. Penggunaan ventilator

Intubasi dan krikotiroidotomi

Intubasi (pemasangan pipa endotrakea) dan atau krikotiroidotomi emergensi dikerjakan


pada kesempatan pertama pada kasus yang dicurigai atau dijumpai tanda-tanda klinik cedera
inhalasi dan kasus luka bakar luas (luka bakar kritis). Prosedur intubasi dilakukan sebelum
dijumpai tanda-tanda klinik obstruksi jalan nafas yang menyebabkan distres pernafasan,
sedangkan pada kasus dengan distres pernafasan dikerjakan krikotiroidotomi emergensi.
Banyak perbedaan pendapat mengenai resusitasi jalan nafas ini: 1) pemilihan sarana
(intubasi atau krikotiroidotomi) 2) mengenai timing yang tepat dan 3) konversi intubasi ke
krikotiroidotomi; dikaitkan dengan beberapa keadaan, yaitu ada-tidaknya gejala distres
pernafasan dan luka bakar luas (luka bakar kritis). Perbedaan pemilihan dan alasan penerapan
intubasi dan atau krikotiroidotomi yang menimbulkan perdebatan ini diuraikan sebagai berikut.
Intubasi dianggap lebih mudah dikerjakan, bersifat non-invasif. Penilaian patologi mukosa
di daerah orofaring dapat dikerjakan saat melakukan prosedur intubasi menggunakan
laringoskop. Ada suatu catatan yang perlu digarisbawahi pada prosedur intubasi emergensi,
membedakannya dengan prosedur intubasi pada kasus elektif. Pada kasus emergensi dimana
jelas dijumpai patologi mukosa orofaring, prosedur intubasi hanya dapat dilakukan satu kali
saja (tidak dapat diulang sampai 2-3 kali sebagaimana prosedur elektif) karena trauma
laringoskopik dan insersi pipa itu sendiri akan menimbulkan edema di daerah orofaring;
menyebabkan patologi mukosa akibat cedera inhalasi bertambah berat. Dalam kondisi
demikian (kegagalan intubasi), prosedur krikotiroidotomi menjadi pilihan. Beberapa kekurangan
atau kelemahan dijumpai pada penggunaan pipa endotrakea, antara lain: 1) peningkatan dead
space yang tidak dijumpai pada penggunaan kanula trakeostomi, 2) penghisapan lendir
(sekret) tidak membersihkan lendir (sekret) yang terletak diantara pipa dengan bronkus, 3)
terapi inhalasi (nebulizer) yang bertujuan mencairkan lendir (sekret) tidak mencapai ruang
diantara pipa dengan bronkus, demikian pula prosedur lavase bronko-alveolar tidak dapat
menjamah daerah ini. Baik pipa endotrakea maupun kanula trakeostomi terpapar pada
kemungkinan obstruksi oleh mucus plug sehingga memerlukan pembersihan (pencucian)
secara reguler. Permasalahan timbul pada intubasi, pada kasus luka bakar dengan cedera
mukosa saluran nafas (cedera inhalasi) tidak dibenarkan melakukan prosedur re-intubasi.
Kesemuanya mengarahkan para intensivis untuk melakukan konversi intubasi menjadi
krikotiroidotomi dan atau trakeostomi bila diperlukan penggunaan pipa berkepanjangan.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 114


Moenadjat

Gambar 111. Luka bakar akut dengan kecurigaan


cedera inhalasi. Pemasangan pipa endotrakea
merupakan prioritas pertama pada resusitasi, tanpa
menunggu adanya distres pernafasan. Baik intubasi
dan atau krikotiroidotomi merupakan sarana
pembebasan jalan nafas dari sekret yang diproduksi,
memfasilitasi terapi inhalasi yang efektif dan
memungkinkan lavase bronkial dikerjakan. Namun
pada kondisi obstruksi, krikotiroidotomi merupakan
indikasi dan pilihan pertama.

Gambar 112. Krikotiroidotomi berbeda dengan trakeostomi. Yang pertama disebutkan dikerjakan di antara
kartilago krikoid dan tiroid (gambar bawah); lebih ke kranial dibandingkan trakeostomi klasik. Dikutip dan disadur
dari Thompson PB, Herndon DN, Traber DL, Abston S. Effect on mortality of inhalation injury. J Trauma, 26 (2):
163-5, 1986

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 115


Moenadjat

Penghisapan lendir berkala

Penghisapan lendir dilakukan secara reguler (berkala); bertujuan membebaskan jalan


nafas agar aliran udara (oksigen) berlangsung dengan baik. Prosedur ini diperlukan karena
umumnya refleks batuk pasien pada kondisi kritis menurun, sementara adanya lendir ini dapat
menyebabkan obstruksi karena bercampur dengan mukosa yang mengelupas (sloughing
mucosa). Prosedur ini hanya dapat dikerjakan pada kasus dengan intubasi dan atau
krikotiroidotomi, oleh karenanya prosedur intubasi dan atau krikotiroidotomi merupakan
indikasi.

Gambar 113. Perbedaan antara intubasi dengan krikotiroi-dotomi menyangkut


beberapa hal:
1) Dead space pada intubasi jauh lebih besar dibandingkan krikotiroidotomi
2) Tidal volume pada intubasi menjadi lebih kecil
3) Efektivitas
a) Humidifikasi
b) Penghisapan sekret
c) Lavase bronko-alveolar lebih sulit dikerjakan pada intubasi
d) Komplikasi atelektasis lebih besar terjadi pada intubasi
4) Pasien tidak dapat berbicara dengan intubasi; erosi pita suara
5) Morbiditas vs mortalitas

Terapi inhalasi

Terapi inhalasi bertujuan melakukan upaya meredam proses inflamasi mukosa jalan nafas
yang meradang dan mencairkan lendir (sekret) dengan menghembuskan uap air (nebulizer)
dan atau lavase bronko-alveolar. Prosedur ini hanya dapat dikerjakan pada kasus dengan
intubasi dan atau krikotiroidotomi, oleh karenanya kembali ditegaskan prosedur intubasi dan
atau krikotiroidotomi merupakan indikasi pada luka bakar dengan cedera inhalasi.
Terapi inhalasi dikerjakan secara berkala menggunakan uap air (kadang di klinik
digunakan larutan fisiologik NaCl 0.9% atau Ringers Lactate) ditambahkan bronkodilator.
Rasional pemberian bronkodilator menjadi suatu perdebatan, karena bronkospasme tidak
dijumpai pada semua kasus, namun hanya pada luka bakar listrik dan kimiawi. Namun, dengan
adanya kerusakan mukosa yang menyebabkan hilangnya neutral endopeptidase (NEP), maka
bronkokonstriksi dimungkinkan terjadi (lihat aktivitas mediator pada patofisiologi cedera jalan
nafas, halaman 26).

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 116


Moenadjat

Ada pemikiran untuk menambahkan beberapa zat yang bertujuan simtomatik. Gejala
hipersekresi diatasi dengan pemberian atropin sulfas dan mengatasi proses inflamasi akut
menggunakan steroid (misal dexamethasone, Pulmicort ) yang kontroversial. Keduanya
dibubuhkan ke dalam larutan NaCl 0.9% atau RL yang digunakan baik untuk terapi inhalasi
maupun lavase bronko-alveolar.
Sebenarnya tidak ada batasan berapa kali atau berapa lama terapi ini dikerjakan dalam 24
jam. Prinsipnya sesering mungkin dan selama mungkin dalam upaya menjadikan sekret
mencair (sehingga mudah dihisap) dan meredam proses inflamasi akut.

Rehabilitasi pernafasan

Proses rehabilitasi sistim pernafasan dimulai seawal mungkin. Beberapa prosedur


rehabilitasi yang dapat dikerjakan sejak fase akut antara lain: 1) Pengaturan posisi
(positioning), 2) melatih refleks batuk dan 3) melatih otot-otot pernafasan. Prosedur ini awalnya
dilakukan secara pasiv, kemudian dilakukan secara aktif saat hemodinamik stabil dan pasien
sudah kooperatif. Sebelumnya dianggap posisi tegak atau setengah duduk merupakan posisi
terbaik untuk rehabilitasi sistim pernafasan, namun belakangan disebutkan posisi pronasi
diikuti perbaikan problema pernafasan secara bermakna. Melatih refleks batuk dimulai dengan
melakukan vibrasi dan atau menepuk-nepuk dada serta punggung pasien (clapping) secara
periodik. Latihan otot-otot pernafasan dilakukan dengan melatih otot-otot interkostalis,
pektoralis dan dinding abdomen.

Penggunaan ventilator

Penggunaan ventilator diperlukan pada kasus-kasus dengan distres pernafasan secara


bermakna memperbaiki fungsi sistim pernafasan dengan Positive End-Expiratory Pressure
(PEEP) dan volume control. Hal yang perlu diingat bahwa penggunaan pressure control bukan
merupakan pilihan yang tepat pada kasus ARDS.

Indikasi fisiologik penggunaan ventilator dikaitkan dengan indikasi perawatan intensiv:


1. Apical pulse <40 atau >150 kali per menit (>130 kali per menit pada usia >60tahun)
2. Mean Aretrial Pressure (MAP) <60mmHg setelah resusitasi cairan adekuat (>1500ml)
atau kebutuhan pemberian zat vasoaktif untuk mempertahankan MAP>60mmHg
3. Tekanan Darah Diastolik >110mmHg dengan
Edema paru
Ensefalopati
Iskemia miokardial
Aneurisma aorta
Eklampsia atau preeklampsia (diastolik >100mmHg)
Perdarahan subarakhnoid
4. Frekuensi pernafasan >35 kali permenit atau adanya respiratory distress
5. PaO2 <55mmHg dengan FiO2 >0.4 (akut)
6. Kalium serum >6.5mEq/L (akut)
7. pHa <7.2 atau > 7.6 (pada ketoasidosis diabetikum <7.0)
8. Glukosa serum >800mg/dl
9. Kalsium serum >15mg/dl
10. Temperatur (core) <32oC

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 117


Moenadjat

Bahan Bacaan
1. Beeley JM, Clark RJ. Respiratory problems in fire victims. In: Settle JAD (editor). Principles and practice of
burns management. New York: Churchill Livingstone; 1996. p.117-36.
2. Baret JP, Herndon DN. Color atlas of burn care. London: WB Saunders; 2001; p:47-68.
3. Demling RH. Burn modules: Pulmonary problems. Available in website: http://www.burnsurgery.org, 2004.
4. Tredget EE, Shankowsky HA, Taerum TV, et al. The role of inhalation injury in burn trauma: a Canadian
experience. Ann. Surg. 212:720,1990.
5. Smith D. L, Cairns BA, Ramadan F, et al. Effect of inhalation injury, burn size, and age on mortality: a study
of 1447 consecutive burn patients. J. Trauma 37:655,1994.
6. Sherwood ER, Toliver-Kinksy T, Lin C, Varma T, Herndorn DN. Smoke inhalation injury causes suppression
of systemic immune responses. S59.
7. Bone RC, Balk R, Slotman G, et al: Adult Respiratory Distress Syndrome, Sequence and importance of
development of multiple organ failure. Chest 1992; 101: 320-326.
8. Catotto R, Cooper AB, Esmond JR, Gomez M, Fish JS. Early clinical experience with high-frequency
oscillatory ventilation for ARDS in adult burn patients. J Burn Care Rehabil 2002; 22,5325-333
9. Working group on metabolism and nutrition. Workshop on ARDS, Jakarta 2002.
10. Respiratory Care: Educational symposia. Available in manual book of 36th Annual meeting of American Burn
Association. Vancouver: 2004.
11. Saffle JR, Stephen E. Morris, Linda Edelman. Early tracheostomy does not improve outcome in burn patients.
J Burn Care Rehabil 2002; 23:431-438
12. Neuman P. Lung dysfunction in early phase of sepsis. In: Baue AE, Berlot G, Gullo A (editors). Sepsis and
organ dysfunction: The challenges continuous. Milano: Springer Verlag; 2000. p.17-33.
13. Tomashefsky JF. Acute respiratory distress syndrome: Pulmonary pathology of acute respiratory distress
syndrome. Clin chest med 2000; vol 21 no.3. Available in website:
http://www.home.mdconsult.com/das/article/body/1/jorg
14. Steinberg KP, Hudson LD. Acute respiratory distress syndrome: Acute lung injury and acute respiratory
distress syndrome, the clinical syndrome. Clin chest med 2000; vol 21 no.3. Available in website:
http://www.home.mdconsult.com/das/article/body/1/jorg
15. Adianto S, Moenadjat Y. Trakeostomi pada luka bakar dengan cedera inhalasi, studi retrospektif di Unit Luka
Bakar RS dr Cipto Mangunkusumo. Unpublished; 2001.
16. Mokhtar, Moenadjat Y. Trakeostomi pada luka bakar dengan cedera inhalasi: sebagai tindakan pencegahan
ARDS. Unpublished; 2002.
17. Herndon DN, Langer F, Thompson P, Linares HA, Stein M, Traber DL. Pulmonary injury in burned patients.
Surg Clin North Am 1987; 67:31-46.
18. Mathay MA, Geyser T, Matalon S. Oxydant-mediated lung injury in the adult respiratory distress syndrome. J:
Crit.Care Med. Vol 27 No 9, Sep.99, p:2028
19. Burke AS, Cox RA, Barrow RE, Traber D, Hawkins HK. Ovine lung apoptosis after thermal burn and smoke
inhalation. Proceeding book of American Burn Association 34th annual meeting. S119.
20. Thompson PB, Herndon DN, Traber DL, Abston S. Effect on mortality of inhalation injury. J Trauma, 26 (2):
163-5, 1986
21. Stone HH, Martin JD Jr. Pulmonary injury assosiated with thermal burns. Surg Gynecol Obstet 1969;
129:1242-46.
22. McCal JEl, Cahill TJ. Respiratory Care of the Burn Patient. J Burn Care Rehabil 2005 26(3); p.200-206
23. A Collective Task Force Facilitated by the American College of Chest Physicians; the American Association
for Respiratory Care; and the American College of Critical Care Medicine. Evidence-Based Guidelines for
Weaning and Discontinuing Ventilatory Support. Chest 120(6), 2001 Supplement. 375S-395S.
24. Memorial Medical Center Respiratory Care Protocols. Respiratory Care Services, Springfield, IL, 2005.
25. American Burn Association. Practice Guidelines for Burn Care. Inhalation Injury: Initial Management. Journal
of Burn Care and Rehab 2001. 23S-26S.
26. Pierce LNB. Guide to Mechanical Ventilation and Intensive Respiratory Care, First Edition. Philadelphia:
Saunders 1995.
27. Marino PL. The ICU Book. 2nd Ed. Lippencott Williams & Wilkins 1998.
28. Stetson JB. Introductory essay in prolonged tracheal intubation. Int Anesthesiol Clin 1970; 8:774-775.
29. Benedixen HH, et al. Respiratory care. St. Louis: CV Mosby Co. 1965.
30. Marino PL. The ICU Book 2nd Ed. Lippencott Williams & Wilkins 1998.
31. Caruso DM, al-Kasspooles MF, Matthews M, Weiland D, Schiller WR. Rationale for early percutaneous
dilational tracheostomy in patients with burn injuries. J Burn Care Rehab 1997;18(5):424-8.
32. Wolfe SE. Pathophysiology of Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society
(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 118


Moenadjat

33. Leng CH. Airway Management & Fluid Resuscitation. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society
(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.
34. Woon Y. Invasive Monitoring in Major Burn Injury Patients. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing
Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.
35. Ong S. Ventilation of Major Burn Injury Patients. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society
(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.
36. Kan A. Anesthesia in Major Burn Injury Patients. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society
(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 119


Moenadjat

Bab IV

2. Resusitasi Cairan pada Luka Bakar


Yefta Moenadjat

T ujuan dari tindakan resusitasi cairan adalah mengupayakan sirkulasi yang dapat
menjamin kelangsungan perfusi, sehingga oksigenasi jaringan terpelihara. Dengan
demikian metabolisme seluler dapat kembali terselenggara dan cedera jaringan seperti ARDS,
ARF dan sebagainya dapat dihindari, SIRS & MODS tidak akan terjadi; pasien terhindar dari
kematian dan mengalami penyembuhan.
Secara umum, masalah yang sering timbul berkenaan dengan resusitasi cairan ini
berhubungan dengan beberapa faktor, khususnya dalam hal penentuan:
- Jenis cairan dan jumlah kebutuhan cairan
- Pola pemberian (pola resusitasi luka bakar)
- Penggunaan obat-obatan
Ketiga permasalahan ini masih tetap diperdebatkan sampai saat ini dan merupakan topik yang
selalu menarik dibicarakan di kalangan para klinikus maupun para peneliti. Dan sampai saat ini
belum dijumpai pola resusitasi terbaik; masing-masing memiliki kekurangan dan tak lepas dari
masalah lain yang mungkin timbul sebagai penyulit. dalam hal demikian, maka dirasakan
pentingnya melakukan pemantauan (monitoring) keberhasilan terapi, yaitu perfusi dan
oksigenasi sel.

a. Dasar-dasar penentuan jenis dan jumlah cairan resusitasi

1. Pemilihan jenis cairan

Kaidah umum dalam pemilihan jenis cairan untuk terapi / resusitasi sangat tergantung dari
kondisi klinik, status hidrasi dan konsentrasi serta kondisi / abnormalitas metabolik yang ada.
Ada dua jenis cairan yang umum digunakan dalam prosedur resusitasi, yaitu kristaloid dan
koloid yang sampai saat ini masih dijumpai kontroversi. Kontroversi ini disebabkan karena
kurangnya pengetahuan mengenai patofisiologi gangguan sirkulasi yang diakitkan dengan
gangguan permeabilitas dan edema, serta peran tekanan onkotik cairan.

Ada beberapa faktor yang diperhatikan dalam menentukan pemilihan cairan, yaitu:
1) Efek hemodinamik
2) Distribusi cairan dikaitkan dengan adanya gangguan permeabilitas kapiler
3) Oxygen carrier
4) pH buffering
5) Efek hemostasis
6) Modulasi respons inflamasi
7) Faktor keamanan
8) Metode eliminasi
9) Praktis dan efisien

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 120


Moenadjat

Jenis cairan terbaik untuk resusitasi cairan pada berbagai kondisi klinik masih merupakan
topik yang tetap didebatkan dan terus diteliti; memang dalam beberapa tahun terakhir
diperoleh informasi yang menggembirakan, khususnya mengenai efek koloid. Selain itu,
beberapa pertimbangan dalam memilih jenis cairan sangat dipengaruhi kompleksitas
permasalahan pada luka bakar, sehingga sebagian orang berpendapat kristaloid adalah jenis
cairan paling aman untuk tujuan resusitasi (awal); pada beberapa kondisi klinik tertentu (lanjut).
Sebagian lain berpendapat bahwa cairan koloid bermanfaat pada entitas klinik lain, yang
berlainan dengan kondisi sebelumnya. Hal ini dikaitkan dengan karakteristik masing-masing
cairan, baik kristaloid maupun koloid memiliki manfaat (kelebihan, keuntungan) dan risiko
(kekurangan, kerugian) pada kondisi-kondisi klinik tertentu yang bersifat sangat kasuistik; sulit
untuk diambil keputusan untuk diterapkan secara umum sebagai protokol.

1a. Beberapa jenis cairan lain yang digunakan dalam resusitasi

Plasma
Sebagian klinikus berpendapat bahwa mendekati 24jam pasca trauma tubuh telah dapat
menanggulangi kebocoran, oleh karenanya cairan apapun yang diberikan akan tetap berada di
rongga intravaskuler. Dalam waktu 24-36 jam pasca trauma, plasma expander dapat diberikan.
Namun, sebelum 24jam, pemberian koloid dianggap berbahaya karena masih dijumpai
kebocoran kapiler.
Pemberian plasma ini bertujuan mengatasi defisit cairan intravaskuler dengan menarik cairan
dari ruang interstisium (edema). Pemberiannya didasari kebutuhan seperti dapat dilihat pada
tabel 6.
Tabel 6. Kebutuhan plasma pada kasus luka bakar

% Luas Kebutuhan Plasma ( ml )


Luka bakar Pada berat badan 70kg
20-40 0-500
40-60 500-1700
60-80 1000-3000
>80 1500-3500

Baxter CR, Pathophysiology and treatment of burns and cold


injury, in Hardy JD ed : Rhoads Textbook of Surgery, 5th ed.
Philadelphia, JB Lippincott, 1977)

Larutan hipertonik
Di literatur disebutkan modalitas resusitasi ini memberikan hasil baik; larutan hipertonik
yang digunakan untuk resusitasi adalah natrium klorida 3%, 6% dan 7.5% (hypertonic saline).
Penulis sampai saat ini tidak mempunyai pengalaman menggunakan larutan hipertonik ini
untuk resusitasi; namun modalitas ini dimanfaatkan sebagai upaya menarik cairan ke ruang
intravaskuler segera setelah permeabilitas kapiler kembali, untuk mengatasi permasalahan
yang ditimbulkan penggunaan RL dalam resusitasi.

Salah satu masalah yang timbul pada penggunaan larutan ini adalah demyelinisasi pontin;
namun di Bahan Bacaan dijelaskan lebih lanjut bahwa kejadian tersebut terjadi pada
penggunaan larutan 6% yang diberikan dalam waktu singkat (tetesan cepat). Pada
pengalaman di klinik, penulis menggunakan larutan ini (baik 3% maupun 6%) dengan
memberikan secara perlahan dalam waktu 24jam di hari kedua, diikuti peningkatan nilai CVP.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam resusitasi menggunakan larutan hipertonik ini adalah
cara kerjanya; larutan hipertonik menyebabkan penarikan cairan intraseluler, sehigga.timbul
dehidrasi seluler.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 121


Moenadjat

Proses penarikan cairan berlangsung lambat, (metode pemberiannya disebut slow


rescucitation) sehingga tampaknya tidak tepat diberikan pada pasien-pasien dengan syok yang
memerlukan resusitasi agresif.

Mannitol
Mannitol 20% digunakan sebagai modalitas dalam terapi, sebagai sarana untuk menarik
cairan dari ruang interstisium pada penggunaan RL untuk resusitasi; hal ini disebabkan karena
mannitol merupakan suatu bentuk diuretic osmosis (lihat lebih lanjut mengenai diuretikum).
Pemberiannya dibagi merata dalam 24 jam, sebagaimana diterapkan pada larutan hipertonik.
Pemberian mannitol menjadi alternatif dari larutan hipertonik, bila dijumpai kadar natrium
dalam darah berada pada batas nilai normal. Lebih lanjut di literatur disebutkan, bahwa
pemberian mannitol 20% memperbaiki perfusi ke tubulus ginjal. Berdasarkan fakta ini,
pemberiannya dimungkinkan untuk dapat diberikan dalam 24 jam pertama; dengan syarat
volume intravaskuler tercukupi.

Darah
Transfusi darah pada tatalaksana resusitasi luka bakar didasari pada upaya memperbaiki
dan mempertahankan perfusi. Pemberiannya tidak dilakukan secara tersendiri, tetapi
merupakan bagian dari resusitasi sebagaimana pemberian larutan hipertonik dan koloid.
Penjelasan rasional dari tindakan ini adalah karena hemoglobin dalam Packed Red Cell
(PRC) merupakan oxygen-carrier yang baik (baik kristaloid maupun koloid tidak berperan
sebagai oxygen-carrier). Pendapat seperti ini sudah lama dianut, terutama oleh Evans dan
Brooke yang memberikan darah pada 8 jam pertama resusitasi, bersama NaCl; akhir-akhir ini
banyak digunakan pada kasus-kasus luka bakar luas yang memerlukan resusitasi masif.
Dengan perbaikan perfusi, insiden MODS khususnya ARDS dapat ditekan.
Mekanisme perbaikan oksigenasi jaringan ternyata juga terletak pada kapasitas sel darah
merah yang berperan sebagai buffer pertama pada sistim keseimbangan asam-basa (sebelum
mekanisme kompensasi paru dan ginjal berlangsung). Pemberian PRC memperbaiki
permeabilitas kapiler karena efek koloidalnya menjadi suatu rutinitas pada prosedur resusitasi.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemberian darah:


1) Pemberiannya dilakukan berdasarkan parameter O2 content, bukan kadar hemoglobin.
Kadar hemoglobin sangat bervariasi dipengaruhi oleh status hidrasi dan lokasi
pengambilan sampel.
a) Status hidrasi. Pada hemokonsentrasi yang dijumpai pada kondisi hipovolemia, kadar
hemoglobin tinggi, namun dijumpai inefisiensi fungsi oxygen-carrier.
b) Lokasi pengambilan sampel. Hemokonsentrasi dapat dijumpai pada pengambilan
sampel dari pembuluh perifer, sementara sirkulasi sistemik mengalami dilusi; hal ini
disebabkan adanya hipoperfusi perifer.
2) PRC memiliki efek onkotik. Bila diberikan dalam bentuk utuh (whole blood) akan menjadi
hiper-onkotik. Pemberian larutan hiper-onkotik justru akan menyebabkan reaksi-sebaliknya
dari tujuan pemberian; pada gangguan permeabilitas terjadi akumulasi cairan di ruang
interstisium, juga di peri-alveolar (lihat efek pemberian koloid).

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 122


Moenadjat

Gambar 114. Sistim bufer. Sistim bufer fosfat bekerja terutama pada cairan intraseluler,
sementara sistim bufer asam karbonat-bikarbonat bekerja pada cairan ekstraseluler. Sistim
bufer protein bekerja pada kedua jenis cairan, yaitu cairan intraseluler dan ekstraseluler. Pada
ketiga sistim bufer ini terjadi interaksi secara ekstensif. Dikutip dan disadur dari Martini, FH.
Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001

Pada suatu suvai luka bakar, diperoleh data mean hemoglobin transfusion treshold yang
umumnya digunakan dalam pemberian darah adalah 8.12 + 1.7g/dl; diterapkan untuk pada
kasus-kasus cedera inhalasi (34%), kehilangan darah (22%), anemia (20%), hipoksia (13%)
dan adanya penyakit/kelainan jantung (12%). Sedangkan pemberian yang dilakukan dibawah
kadar Hb 8.12 + 1.7g/dl dikaitkan dengan luasnya luka bakar, riwayat penyakit / kelainan
jantung, ARDS dan faktor usia.

Blood substitute
Fluorinated hydrocarbons
merupakan generasi pertama, memiliki karakteristik oxygen-binding
O2 content darah normal adalah 20vol%; sedangkan untuk generasi pertama ini adalah
5vol%
Flubron
generasi baru, FH.
memiliki efek 02 content rendah.
pasien membutuhkan FIO2 tinggi.

Hemoglobin solutions
dalam bentuk whole blood, hemoglobin bersifat hiperonkotik
hemoglobin mengalami tendensi mengalami disosiasi ke dalam bentuk dimer 2-alpha
unit atau 2-beta unit yang cepat diekskresi ke urin
dengan menggabungkan ke dua bentuk dimer ini akan meningkatkan waktu paruh

1b. Kristaloid vs. Koloid


Jenis cairan terbaik untuk resusitasi cairan pada berbagai kondisi klinik masih merupakan
topik yang tetap didebatkan karena tidak didukung oleh penelitian yang adekuat dan terkendali
dengan baik. Beberapa pertimbangan dalam memilih jenis cairan sangat dipengaruhi
kompleksitas permasalahan, sehingga sebagian orang berpendapat kristaloid adalah jenis
cairan terbaik untuk tujuan resusitasi; pada beberapa kondisi klinik tertentu. Sebagian lain
berpendapat bahwa cairan koloid bermanfaat pada kondisi klinik tertentu, yang berlainan

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 123


Moenadjat

dengan kondisi sebelumnya. Artinya, baik cairan kristaloid maupun koloid memiliki manfaat dan
risiko pada kondisi-kondisi klinik tertentu dan bersifat kasuistik; sulit untuk diambil keputusan
untuk diterapkan secara umum.

Cairan kristaloid
Kristaloid merupakan cairan isotonik yang relatif aman dan efektif digunakan untuk tujuan
resusitasi kasus hipovolemia, karena cairan ini memiliki osmolaritas sesuai dengan cairan
tubuh dan tidak memengaruhi efek osmotik cairan. Cairan ini cenderung meninggalkan
kompartemen intravaskuler (mengisi kompartemen interstisium). Berdasarkan hal tersebut,
maka partisi cairan dan kadar elektrolitnya serupa dengan cairan tubuh: 75% cairan
ektravaskuler dan 25% cairan intravaskuler. Sehingga secara prinsipil, cairan kristaloid
digunakan untuk melakukan resusitasi cairan pada kompartemen ekstravaskuler.
Nacl 0.9% adalah satu-satunya jenis cairan isotonik yang dapat diberikan bersama-sama
dengan darah. Prosedur resusitasi menggunakan cairan ini menyebabkan kondisi
hipernatremia dan asidosis metabolik hiperkloremik. Ringers Lactate (RL) merupakan cairan
isotonik yang lebih bersifat fisiologik karena mengandung komposisi elektrolit. Laktat yang
dikandungnya bersifat basa, sehingga tidak akan menyebabkan asidosis; dikonversi secara
cepat ke bentuk bikarbonat di hepar (kecuali pada kasus-kasus dengan disfungsi hepatik).
Pada resusitasi cairan menggunakan cairan kristaloid, sebagaimana sifatnya, hanya 20-
25% dari jumlah cairan akan tetap bertahan di kompartemen intravaskuler, sedangkan seluruh
cairan koloid (100%) yang diberikan melalui infus akan tetap berada di kompartemen
intravaskuler.

Cairan Kristaloid
Teraman, bukan terbaik
Bukan suatu pengembang plasma
Tidak mempengaruhi gradien osmotik
Bukan suatu sarana transpor oksigen
Pemberian 3 kali jumlah defisit cairan
Pemberian masif diikuti edema jaringan masif

Cairan koloid
Cairan koloid adalah larutan dengan berat molekul tinggi, sehingga memengaruhi efek
osmotiknya. Karena sifat semi-permeabilitas kapiler, maka koloid cenderung untuk tetap
berada di dalam kompartemen intravaskuler; oleh karenanya hanya sejumlah kecil koloid
diperlukan dalam pemeliharaan volume cairan di kompartemen intravaskuler. Sehingga, secara
prinsipil cairan koloid ditujukan untuk melakukan resusitasi cairan pada kompartemen
intravaskuler.
Berdasarkan teori, cairan koloid tidak akan meningkatkan tekanan pada jaringan
interstisium (kompartemen ekstravaskuler dan ekstraseluler); namun pada kenyataannya dapat
dibuktikan pada penelitian-penelitian bahwa albumin (protein plasma) mengalami kebocoran
keluar ke kompartemen ekstravaskuler dan menyebabkan peningkatan jumlah cairan
interstisium secara bermakna. Memang, lebih lanjut dibuktikan bahwa pemberian cairan koloid
akan memberi manfaat lebih besar karena memiliki efek memelihara tekanan onkotik plasma,
dibandingkan efek negatifnya karena meningkatkan tekanan onkotik jaringan interstisium
(akibat kebocoran kapiler).

Beberapa jenis koloid yang digunakan di Amerika Serikat antara lain Albumin, Hydroxy-
ethyl starch (HES ; Hetastarch , Hespan , Hemaccel ) dan Dekstran. Di Eropa, derivat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 124


Moenadjat

Gelatin (Gelafusin ) sering digunakan. Molekul koloid cukup besar, umumnya tidak dapat
melintas membran kapiler sehingga sebagian besar koloid akan tetap dipertahankan di ruang
intravaskuler; kecuali dijumpai perubahan permeabilitas kapiler.
Pada kondisi cedera berat seperti luka bakar dan sepsis dimana terjadi perubahan
permeabilitas kapiler, koloid (yang diberikan) secara bebas akan melintasi membran kapiler
dan berpindah ke ruang interstisium sebagaimana larutan kristaloid, sehingga pemberiannya
bukan hanya tidak efektif memperbaiki volume intravaskuler namun ia juga menyebabkan
bertambahnya edema interstisium karena terjadi perubahan reverse oncotic gradient akibat
akumulasi larutan ini di jaringan.

Gradien tekanan onkotik


Bila molekul larutan koloid berada di ruang interstisium, akan terjadi reverse oncotic
pressure gradient yang menyebabkan (dan memperberat) edema jaringan. Hampir
tak dijumpai suatu gradien konsentrasi yang dapat menarik kembali cairan
interstisium ke ruang intravaskuler. Dengan demikian, cairan tersebut harus
mengandalkan aliran sistim limfatik. Meskipun banyak jaringan, khususnya jaringan
paru memiliki kapasitas menampung aliran limfatik, namun tidak demikian halnya
dengan jaringan lainnya termasuk massa otot. Pembuangan cairan koloid
berlangsung lebih lama dibandingkan kristaloid, sehingga edema persisten yang
menghambat aliran darah seringkali terjadi. Hal ini merupakan problema yang kerap
terjadi terutama pada luka bakar (luas).

Albumin
Merupakan suatu protein natural
Berat molekul 6.9 x 104
larutan 5% bersifat iso-onkotik; larutan 10% dan 25% bersifat hiper-onkotik
Waktu paruh (t) di dalam plasma = 1.6 jam, t di dalam tubuh = 20 hari
Berperan (80-90%) dalam mempertahankan tekanan onkotik secara alamiah
10% meninggalkan ruang intravaskuler dalam 2jam, 95% dalam 2hari, kecuali bila
dijumpai kebocoran kapiler
Mengembangkan volume s/d 5x volume asal dalam waktu 30 menit
Efeknya bertahan dalam 24-48 jam
Efek samping: volume overload, demam (pirogenik), gangguan hemostasis

Pemberian Albumin pada gangguan sirkulasi (syok) akan meningkatkan


kadar Albumin darah yang bertahan dalam waktu 2-5 hari. Kondisi ini akan
terus dijumpai selama sintesis protein belum kembali normal.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Johnson dkk, pasien-pasien yang diberikan albumin
150 g/hari selama 3-5 hari memerlukan tambahan whole blood dan fresh frozen plasma untuk
mengatasi gangguan proses pembekuan yang terjadi. Dibandingkan dengan pasien-pasien
yang memperoleh resusitasi menggunakan larutan kristaloid, pasien-pasien yang
mendapatkan albumin mengalami penurunan kadar fibrinogen secara signifikan dan
pemanjangan masa prothrombin yang tidak dapat dijelaskan sebagai akibat proses dilusi;
sedangkan pemanjangan masa tromboplastin dan penurunan trombosit yang juga terjadi pada
pasien-pasien yang mendapatkan albumin jelas disebabkan oleh proses dilusi. Peneliti lain
tidak dihadapkan pada kenyataan ini dalam penelitian in vitro.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 125


Moenadjat

Secara umum, albumin dapat memengaruhi hemostasis karena efek dilusi yang
disebabkan karena proses pengembangan volume; hal ini tidak dijumpai pada pemberian
larutan kristaloid.

Hydroxy-ethyl Starch (HES)


Merupakan suatu bentuk hydroxy-substituted amilopectin sintetik, yang merupakan
cabang polimer glukosa berasal dari jagung
Berat molekul bervariasi antara 10-4 s/d 10-5
Berbentuk larutan 6% (isotonik) dan 10% (hiperosmotik) dalam larutan garam fisiologik
Ekskresi di urin (partikel kecil), dimetabolisme oleh amilase darah kemudian diekskresi
ke empedu dan feses (molekul ukuran sedang), atau difagositosis oleh RES (molekul
ukuran besar)
Meningkatkan kadar amilase kelenjar liur
Waktu paruh (t) di dalam plasma 5 hari
90% di eliminasi dalam waktu 40 hari
Tidak bersifat toksik
Efek samping: koagulopati (coated platelets, meningkatnya fibrinolisis, penurunan
kadar faktor VIII) namun umumnya tidak menyebabkan masalah di klinik
Limit dosis 20 ml/kg/d. namun, pemberian 15 liter dilaporkan tidak memberikan
manifestasi gangguan koagulasi.

Gambar 115. Perubahan persentasi aktivitas factor VIII:C dalam plasma selama dan setelah pemberian HES
200kd atau albumin. Selama dan setelah pemberian HES, kadar factor VIII:C menurun secara signifikan,
dibanding dengan nilai dasar. Selama dan setelah pemberian HES, kadar factor VIII:C menurun secara signifikan,
dibanding dengan nilainya selama dan setelah pemberian albumin (p<0.0059). Kaplotis S, et al. Effect of
Hydroxy-ethyl starch on the activity of blood coagulation and fibrinolysis in healthy volunteers: comparison with
albumin. Crit Care Med. 1994;22(4):606-612.

Tabel 7. Karakteristik larutan Hydroxy-ethyl starch

Diluen
Larutam garam Hetastarch, Hespan
fisiologik
Ringers Lactate Hextend (Molekul besar)
Mean berat molekul
Besar 450-480kd
Intermediate 200kd
Kecil 70kd
Derajat substitusi
Besar 0.62-0.7
Kecil 0.45-0.58
Rasio C2/C6
Besar >8 : 1
Kecil <8 : 1

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 126


Moenadjat

Efek HES diamati pada 2 kelompok: pertama, pada kelompok pasien sehat dengan
leukoparesis yang menjadi donor white blood cells. Pasien-pasien ini biasanya mendapat
sejumlah kecil (kl. 500 mL) HES. Pada satu studi, 10 donor yang menerima HES selama
leukoparesis mengalami pemanjangan masa prothrombin dan tromboplastin secara signifikan
(mean 0.6 dan 2.5 detik).
Kadar fibrinogen, faktor VIII:C, dan faktor V juga mengalami penurunan namun dalam batas-
batas nilai normal. Pada studi lain tidak dilaporkan adanya gangguan fungsi trombosit.
Kelompok kedua, pasien-pasien trauma dan bedah yang menerima HES dalam dosis besar.
Pada pasien-pasien ini, terjadi pemanjangan partial thromboplastin time dan penurunan faktor
VIII:C sampai dengan 50% pada pemberian 1 L HES.
Dengan efek yang terjadi berupa perubahan faktor VIII:C pada pemberian HES, maka
disebutkan HES menyebabkan perubahan fibrin clott formation dan fibrinogenolisis.
Karakteristik ini dijelaskan berhubungan dengan berlangsungnya inkorporasi molekul-molekul
HES ke dalam bekuan dengan dampak prevensi terjadinya formasi bekuan yang solid.

Pentastarch
Berat molekul 250-350,000 kdalton, analog dengan HES, kurang mengandung gugus
OH
Bentuk larutan 10% dalam 500 cc larutan normal saline
90% sudah di eliminasi dalam 24 jam setelah pemberian
Merupakan pengembang plasma yang lebih baik dibandingkan albumin dan HES
Di approved oleh FDA untuk plasmapheresis
Banyak digunakan di Eropa
Efek antikoagulasi sama dengan HES

Dekstran
Polisakarida yang diproduksi oleh Luconostoc mesenteroides
Dekstran 40 memiliki berat molekul 40,000 (efek pada koagulasi lebih besar
dibandingkan Dekstran 70)
Dekstran 70 memiliki berat molekul 70,000
Dalam bentuk larutan 10% di dalam larutan garam fisiologis atau glukosa 5%
Ekskresi melalui urin, feses dan sistem retikulo-endotel (tergantung ukuran molekul)
Efek samping: syok anafilaksis, koagulopati, gagal ginjal
Lmit dosis 20 ml/kg/hari
Digunakan untuk pengembang plasma
Digunakan sebagai anti-aggregasi pada pasien-pasien yang menjalani prosedur
pembedahan vaskuler dan mikrovaskuler

Gangguan pembekuan yang ditimbulkan oleh Dekstran dapat dijelaskan karena


terganggunya interaksi trombosit dan efek antifibrinolitik. Interaksi trombosit-vaskuler ini
diyakini terjadi karena efek Dekstran yang memengaruhi faktor VIII. Dekstran juga ber-
inkorporasi ke polimerisasi bekuan fibrin sehingga merubah struktur bekuan dan memicu
fibrinogenolisis; seperti halnya HES.
Dekstran 40 umumnya digunakan pada prosedur pembedahan vaskuler dalam mencegah
trombosis namun secara primer jarang digunakan sebagai pengembang plasma, baik secara
tersendiri maupun digabung dengan larutan hipertonik.

Koloid dan hemostasis


Pasien-pasien yang menjalani prosedur pembedahan mayor dan mengalami kehilangan
darah secara signifikan, seringkali dihadapkan pada masalah gangguan koagulasi. Namun,

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 127


Moenadjat

kenyataannya tidak semua gangguan koagulasi yang terjadi pada pasien-pasien yang
menjalani pembedahan ini memerlukan darah. Kejadian ini dikaitkan dengan pemberian larutan
koloid, dan gangguan ini umumnya terjadi karena efek dilusi pada kasus-kasus yang
memperoleh resusitasi dengan volume cairan masiv.
Banyak topik di bidang anestesia dan bedah yang membahas kontroversi penggunaan
koloid dan kristaloid untuk resusitasi cairan intra-operatif. Sejumlah penelitian pada hewan
maupun manusia dilakukan untuk membuktikan mana yang lebih superior. Ternyata pada
kebanyakan kasus yang masuk dalam penelitian tersebut, diperoleh informasi bahwa pemilihan
cairan tampaknya lebih didasari opini pribadi dan bersifat dogmatis dibandingkan sesuatu yang
memiliki dasar ilmiah.
Suatu publikasi meta-analisis (Valanovich; Surgery, 1988 yang terfokus pada mortalitas,
terdiri dari 8 penelitian pada manusia) mengamati pasien-pasien yang diresusitasi
menggunakan cairan kristaloid dan/atau koloid. Penelitian tersebut menunjukan penurunan
(secara keseluruhan) mortality rate sebanyak 5.7% pada kasus-kasus yang diresusitasi
menggunakan larutan kristaloid dibandingkan larutan koloid. Subgroup-analysis menunjukan
bahwa pada kasus-kasus trauma/sepsis terjadi penurunan mortality rate 12.3% pada kelompok
resusitasi menggunakan kristaloid.
Di sisi lain, pada kelompok pasien yang menjalani pembedahan elektif dengan larutan
kristaloid justru terjadi peningkatan mortality rate 7.8%. Penjelasan yang dapat dikemukakan
adalah: pada kasus-kasus trauma/sepsis dijumpai gangguan permeabilitas kapiler yang
menyebabkan kebocoran larutan koloid keluar sistim vaskulatur sehingga koloid tidak efektif
berperan sebagai pengembang plasma di ruang intravaskuler, sebaliknya menyebabkan
lambatnya proses resolusi edema jaringan interstisium. Sedangkan pada kasus-kasus yang
menjalani prosedur pembedahan elektif, kebocoran akibat gangguan permeabilitas hanya
terjadi di surgical site; dengan demikian koloid akan lebih efektif berperan sebagai
pengembang plasma di ruang intravaskuler.
Penelitian tersebut tidak mempermasalahkan kontroversi, namun menunjukan situasi yang
lebih tepat untuk penggunaan / pemberian suatu jenis cairan. Sebagai konklusi, koloid tidak
dianjurkan sebagai substansi cairan resusitasi yang berdiri sendiri; protokol resusitasi yang ada
umumnya menerapkan pemberian inisial dengan larutan kristaloid, dilanjutkan pemberian
koloid bila memerlukan resusitasi kristaloid dalam jumlah besar.

Umumnya, larutan kristaloid yang dibutuhakan / diberikan adalah 2-3 kali lipat dari jumlah
koloid iso-onkotik untuk memperoleh efek hemodinamik yang sama. Bila digunakan larutan
koloid yang lebih pekat (misalnya albumin 25%), maka rasio tersebut tentunya tidak berlaku
lagi.

Evaluasi komprehensif terapi penggunaan koloid dibahas dalam suatu workshop on the
assessment of plasma volume expander, tahun 1991. Pada pertemuan tersebut dilakukan
evaluasi terhadap seluruh penelitian yang menggunakan albumin, Dekstran, dan HES; dalam
konteks keefektifan, biaya, indikasi, dan komplikasi. Hanya sedikit evidence yang diperoleh
baik dalam kategori jangka pendek maupun jangka panjang menunjukan keuntungan
penggunaan koloid tambahan pada kasus-kasus dengan kehilangan darah masif, luka bakar,
cardiopulmonary bypass, edema pulmoner, trauma, dan nutrition. Tidak ada evidence yang
menunjukan bahwa bila kadar albumin lebih rendah dari 3.0 g/dL dapat membahayakan,
bahkan pada kadar lebih rendah dari 2.0 g/dL sekalipun tidak menunjukan masalah.
Edema pulmoner. Menjadi suatu topik yang menarik; pemberian albumin pada kasus-kasus
hipoalbuminemia, dengan meningkatkan perfusi ke arteri pulmonalis justru terjadi komplikasi
yang dicegah yaitu edema interstisium dan alveolar flooding.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 128


Moenadjat

Fungsi renal. Peningkatan tekanan onkotik sedikit di atas normal memperbaiki fungsi renal
secara signifikan, khususnya ekskresi garam dan air. Tidak ada kondisi congenital
hyperalbuminemia, dimana tubuh bereaksi terhadap peningkatan albumin sesaat dengan
segera menghentikan produksi dan akselerasi proses katabolisme. Efek renal yang terjadi
sebaliknya yaitu ekses albumin yang umumnya berada dalam kondisi rendah. Namun, dengan
pengecualian, pada saat suplementasi albumin 900g berlangsung selama beberapa hari, tidak
timbul efek toksik dari pemberian albumin; yaitu efek antikoagulan, anti-platelet dan fibrinolitk
dari koloid yang diuraikan sebelumnya.

Efek anti-inflamasi.
Larutan hipertonik dan koloid memiliki efek anti-inflamasi terhadap endotel sehingga dapat
diharapkan mencegah SIRS.
Pada suatu penelitian menunjukan bahwa pemberian larutan hipertonik dengan atau tanpa
Dekstran sebelum resusitasi dengan kristaloid menunjukan reduksi perlekatan neutrofil dengan
endotel. Namun, pada penelitian lain pemberian setelah resusitasi kristaloid justru menunjukan
respons inflamasi: aktivasi respons inflamasi neutrofil-endotelial dengan degranulasi neutrofil,
pelepasan elastase dan radikal bebas serta menyebabkan supresi sel T. Hal ini menunjukan
bahwa pemberian larutan hipertonik pada saat (timing) berbeda akan menyebabkan hasil
resusitasi yang berbeda pula. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, dalam suatu review
larutan hipertonik ini tidak dianjurkan sebagai suatu bentuk resusitasi secara tersendiri, namun
lebih merupakan suatu bentuk terapi; dimulai segera setelah suatu insult, sebelum resusitasi
cairan menggunakan kristaloid.
Hydroxy-ethyl starch (HES) dengan berat molekul besar sebelumnya diduga memperbaiki
permeabilitas kapiler dengan cara menutup (seal off) celah interseluler pada lapisan endotel
sehingga menghentikan kebocoran cairan, elektrolit dan protein. Penelitian-penelitian terakhir
menunjukan bahwa HES memiliki efek anti-inflamasi, menurunkan kadar Lipid Protein Complex
yang dihasilkan endotel (disruptif); morfologi endotel mengalami perbaikan dengan sendirinya
diikuti oleh perbaikan permeabilitas kapiler.

Larutan koloid
meningkatkan volume intravaskuler 5kali lipat kristaloid
memengaruhi hemostasis (faktor pembekuan)
efek anti-inflamasi: menurunkan kadar LPC yang diinduksi oleh
endotel disruptif memperbaiki permeabilitas kapiler

Ada beberapa prinsip utama yang dapat dijadikan pegangan dalam prosedur pemilihan
cairan (ditunjang oleh dua buah meta-analisis):
1. Koloid akan berbahaya bila diberikan secara tersendiri untuk prosedur resusitasi kasus
trauma, selama masih dijumpai peningkatan permeabilitas kapiler
2. Pemberian albumin tidak ditujukan sebagai suatu bentuk plasma expander pada
resusitasi kasus-kasus critically illness; karena secara statistik terbukti secara
bermakna meningkatkan mortalitas. ARDS dan edema paru yang diduga berkaitan
dengan kondisi hipoalbuminemia dan dihindari, justru timbul setelah resusitasi dengan
albumin.

Sebagaimana dijelaskan, pemilihan cairan resusitasi sangat tergantung pada kondisi klinik
dan status volume pada setiap kompartemen. Memang, pada kebanyakan kasus dimana
terjadi kehilangan cairan intravaskuler, dijumpai kehilangan pada kedua jenis cairan yaitu

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 129


Moenadjat

koloid (plasma) dan kristaloid (interstisium); maka pada kasus ini kedua jenis cairan harus
digunakan untuk tujuan resusitasi. Bila hanya koloid yang diberikan, maka akan terjadi
dehidrasi intraseluler berat; sedangkan bila hanya kristaloid yang diberikan, maka akan terjadi
hal sebaliknya yaitu edema jaringan yang masif.

Berdasarkan kondisi (defisit) volume cairan pada kedua kompartemen (intra-vaskuler dan
ekstra-vaskuler) dengan berbagai kondisi klinik sebagaimana digambarkan pada diagram
berikut, dapat ditentukan jenis cairan yang diperlukan untuk resusitasi (lihat kembali
kompartemen cairan tubuh halaman 42):
1. Pada diare dan gastroenteritis
2. Pada proses hemoragik
3. Pada SIRS (sepsis, trauma, pankreatitis, pasca bedah)
4. Pada Luka bakar

Pada diare, resusitasi harus dilakukan dengan cairan mengandung Nacl 0.45% yang
mengandung kalium dan bikarbonat. Hal yang harus diingat adalah, tidak ada cairan tubuh
yang bersifat lebih hipertonik dibandingkan plasma, karena itu pada kasus yang disertai
dehidrasi (penurunan volume intravaskuler) dengan atau tanpa hiponatremia harus diberikan
cairan mengandung larutan saline atau RL sampai volume kembali normal; sehingga tonisitas
selanjutnya dapat dikoreksi. Glukosa 5% bukan merupakan suatu plasma expander dan jangan
pernah digunakan untuk tujuan melakukan koreksi volume.

Gambar 116. Efek berbagai penyakit / kondisi pada volume cairan di masing-masing kompartemen. KIV =
kompartemen intravaskuler, KIT = kompartemen interstisium, KIS = kompartemen intraseluler. Dikutip dan disadur
dari Marik PE (editor). Handbook of evidence based critical care. New York: Springer; 2001

Pada proses hemoragik, terjadi perpindahan volume cairan interstisium ke ruang


intravaskuler yang bertujuan melakukan restorasi volume intravaskuler (oleh karena itu terjadi
penurunan nilai hematokrit; biasanya berlangsung sampai dengan 72 jam pasca trauma atau
lebih). Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan volume cairan intra- dan ekstravaskuler.
Prosedur resusitasi dilakukan dengan pemberian kristaloid dilanjutkan dengan pemberian
darah (koloid). Bila hanya diberikan darah saja (tanpa kristaloid), diikuti peningkatan angka
mortalitas secara bermakna yang ditunjukkan oleh penelitian pada hewan.
Pada SIRS (sepsis, trauma, pankreatitis dan pasca bedah), akibat adanya kebocoran
kapiler dan hilangnya cairan pada rongga ketiga terjadi penurunan volume efektif cairan
kompartemen intravaskuler disertai edema (peningkatan volume di kompartemen interstisium).
Karena kurang dari 20% cairan kristaloid (yang diberikan melalui infus) dipertahankan di
kompartemen intravaskuler, maka pemberian cairan kristaloid harus dibatasi (karena akan
meningkatkan volume di kompartemen interstisium, dengan konsekuensi edema bertambah).
Cairan koloid yang berperan sebagai pengembang plasma seperti Hydroxyethyl Starch (HES)
dan Pentastarch (Gelofusin) dilaporkan bermanfaat pada kondisi-kondisi SIRS ini.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 130


Moenadjat

Pada kasus luka bakar, terjadi kehilangan cairan di kompartemen intravaskuler secara
masif dan bermakna; sehingga resusitasi dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid dan
koloid.

2. Penentuan jumlah cairan.

Tiga sampai dengan empat kali jumlah defisit intravaskuler dibutuhkan untuk melakukan
prosedur resusitasi dengan cairan kristaloid. Dengan jumlah ini, partisi diperoleh dalam waktu
30 menit setelah pemberian cairan, dan dalam 2 jam, tidak lebih dari 20% cairan berada di
ruang intravaskuler (disebabkan adanya gangguan permeabilitas kapiler). Bila dibandingkan
dengan koloid, pemberian kristaloid hanya sedikit meningkatkan cardiac output dan
memperbaiki transportasi oksigen. Sedangkan pemberian cairan dalam jumlah besar akan
menimbulkan edema jaringan masif.

Indikasi pemberian Koloid timbul bila dibutuhkan cairan kristaloid masif (mencapai
100% jumlah volume cairan tubuh). Artinya, untuk mencegah dan menghindari
dampak negatif resusiatsi massif kristaloid. Jumlah cairan yang diberikan adalah 1/5
jumlah kebutuhan cairan kristaloid; diberikan pada saat permeabilitas kapiler kembali
(>24jam pasca cedera) dengan pengecualian Hidroxyethyl Starch (HES) yang dapat
diberikan lebih awal.

Karena berat molekul dan sifatnya, maka hanya sedikit jumlah koloid diperlukan pada
prosedur resusitasi (untuk mempertahankan volume intravaskuler); namun secara pasti tidak
pernah disebutkan jumlah kebutuhan koloid untuk prosedur resusitasi. Patokan yang diketahui,
bahwa pemberian koloid akan meningkatkan volume intravaskuler kl 5 kali jumlah pemberian
kristaloid; karenanya koloid disebut sebagai pengembang plasma (plasma expander).

b. Pola resusitasi cairan pada kasus luka bakar

Penatalaksanaan resusitasi cairan dilakukan berdasarkan manifestasi klinik dari suatu


trauma. Metode dan kebutuhan cairan akan berbeda pada setiap kondisi; pada kondisi syok
tentunya berbeda dengan kondisi dimana tidak dijumpai syok.
Secara umum ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam mencapai keberhasilan
resusitasi, yaitu:
Mengetahui permasalahan yang terjadi pada pasien: syok, cedera inhalasi, dsb disertai
informasi tentang waktu iskemik
Penentuan derajat dan luas luka bakar
Berat badan pasien
Jumlah cairan, jenis cairan, metode pemberian cairan dan pemantauan
Informasi mengenai fungsi organ-organ penting (ginjal, paru, jantung, hepar dan saluran
cerna)
Penggunaan obat-obatan yang rasional

Prioritas pertama tetap tertuju pada resusitasi jalan nafas dan mekanisme bernafas.
Khusus untuk resusitasi cairan, pentingnya penilaian awal termasuk menentukan kedalaman
dan luas luka bakar, melakukan pengukuran berat badan harus dilakukan dengan baik dan
benar. Jangan mengandalkan perkiraan-perkiraan yang akurasinya tidak dapat dipertanggung
jawabkan. Menentukan jenis cairan dan melakukan perhitungan jumlah cairan yang diberikan;
jangan terpaku pada pedoman tanpa melakukan pemantauan, karena akan membawa
bencana yang merugikan pasien; berupa morbiditas bahkan mortalitas. Informasi mengenai

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 131


Moenadjat

fungsi organ sangat penting karena secara tidak langsung menggambarkan berat-ringan
gangguan sirkulasi.
Metode resusitasi dan regimen terapi cairan yang dikenal selama ini merupakan cara atau
usaha untuk memperoleh gambaran mengenai jumlah kebutuhan cairan dengan hitungan yang
tegas; namun bukan suatu patokan yang memiliki nilai mutlak karena pemberian cairan
sebenarnya berdasarkan kebutuhan sirkulasi yang dinamik dari waktu ke waktu dan harus
dipantau melalui parameter-parameter tertentu. Dikenal dua regimen yang banyak dianut
beberapa tahun terakhir, yaitu regimen (formula) Evans-Brooke dan regimen (formula)
Baxter/Parkland.

b1. Formula Evans-Brooke


Evans dan Brooke menggunakan larutan fisiologik, koloid dan glukosa dalam resusitasi.
Ketiga jenis cairan ini diberikan dalam waktu dua puluh empat jam pertama. Dasar
pemikirannya adalah, bahwa pada luka bakar dijumpai inefektivitas hemoglobin dalam
menyelenggarakan proses oksigenasi. Disamping itu terjadi kehilangan energi yang
memengaruhi proses penyembuhan. Untuk itu diperlukan darah yang efektif dan asupan energi
dalam bentuk glukosa.
Jumlah cairan diberikan dengan memperhitungkan luas permukaan luka bakar dan berat
badan pasien (dalam kilogram). Hari pertama, separuh jumlah kebutuhan cairan diberikan
dalam delapan jam pertama, sisanya diberikan dalam enam belas jam sisa. Jumlah cairan
yang dibutuhkan pada hari pertama adalah sebagaimana tercantum dalam tabel berikut.

Tabel 8. Pemberian cairan menurut Evans dan Brooke:


Formula Evans Formula Brooke
1ml/kgBB/%LB koloid (darah) 0.5ml/kgBB/%LB koloid (darah)
1ml/kgBB / %LB larutan saline 1.5ml/kgBB/%LB larutan saline
(elektrolit) (elektrolit)
2000ml glukosa 2000ml glukosa
Pemantauan : Pemantauan :
Diuresis (>50ml/jam) Diuresis (30-50ml/jam)

Pada hari kedua, diberikan separuh jumlah kebutuhan koloid (darah) dan larutan saline
ditambah 2000ml glukosa; pemberian secara merata dalam 24 jam.

b2. Formula Baxter / Parkland


Parkland berpendapat, bahwa syok yang terjadi pada kasus luka bakar adalah jenis
hipovolemia, yang hanya membutuhkan penggantian cairan (yaitu kristaloid). Menurut Baxter
dan Parkland, pada kondisi syok hipovolemia yang dibutuhkan adalah mengganti cairan; dalam
hal ini cairan yang diperlukan adalah larutan fisiologik (mengandung elektrolit). Oleh karenanya
mereka yang sepaham dengan kelompok Parkland dan Baxter hanya mengandalkan larutan
kristaloid (Ringers Lactate, RL) untuk resusitasi. Dan ternyata pemberian cairan RL ini sudah
mencukupi, bahkan mengurangi kebutuhan transfusi.
Penurunan efektivitas hemoglobin yang terjadi disebabkan perlekatan eritrosit, trombosit,
leukosit dan komponen sel lainnya pada dinding pembuluh darah (endotel). Sementara
dijumpai gangguan permeabilitas kapiler dan terjadi kebocoran plasma, pemberian koloid ini
sudah barang tentu tidak akan efektif bahkan menyebabkan menyebabkan perpindahan cairan
intravaskuler ke jaringan interstisium; menyebabkan akumulasi cairan yang akan sangat sulit
ditarik kembali ke rongga intravaskuler. Hal tersebut akan menambah beban jaringan dan
menyuburkan reaksi inflamasi di jaringan; serta menambah beban organ seperti jantung, paru
dan ginjal.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 132


Moenadjat

Berdasarkan alasan tersebut, Parkland hanya memberikan larutan Ringers Lactate (RL)
yang diperkaya dengan elektrolit. Sedangkan koloid / plasma, bila diperlukan, diberikan setelah
sirkulasi mengalami pemulihan (>24-36jam), berperan sebagai terapi.
Hari pertama, separuh jumlah kebutuhan cairan diberikan dalam delapan jam pertama,
sisanya diberikan dalam enam belas jam kemudian. Jumlah cairan yang diperlukan pada hari
pertama adalah sesuai dengan perhitungan Baxter (3-4 ml/kgBB), sehingga kebutuhan cairan
resusitasi menurut Parkland adalah:
3-4ml / kgBB / %LB Ringers lactate

dengan pemantauan jumlah diuresis antara 0,5-1ml/kgBBjam.


Pada hari kedua, jumlah cairan diberikan secara merata dalam dua puluh empat jam.
Kebutuhan maintenance dipenuhi dengan pemberian dekstrose 5% 2000mL dibagi merata
dalam 24jam, atau sesuai kebutuhan.

Gambar 117. Resusitasi metode Baxter / Parkland. Separuh jumlah kebutuhan cairan
diberikan selama 8 jam pertama, sisanya diberikan selama 16 jam berikutnya.

b3. Resusitasi cairan pada syok


Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada kondisi syok resusitasi cairan tidak
berpedoman pada regimen resusitasi cairan berdasarkan formula yang ada. Syok merupakan
suatu kondisi klinik dimana terjadi gangguan sirkulasi, yang menyebabkan gangguan perfusi
dan oksigenasi sel / jaringan. Jumlah cairan yang hilang pada kondisi syok diperkirakan lebih
dari 25% volume cairan tubuh; bila seorang dengan berat badan 70kg jumlah cairan tubuhnya
adalah 4.200mL mengalami kehilangan 25% volume tersebut (kurang lebih 1.050mL), maka
timbul manifestasi syok.

Pada seorang dengan berat badan 70kg, volume cairan tubuh total adalah 42 liter (60%
dari berat badan 13, lihat kembali halaman 43); dari sejumlah cairan tersebut (42 L),
volume intravaskuler(sirkulasi) adalah 10% atau 4.2 L. Syok timbul bila seorang dengan
berat badan 70kg ini kehilangan 25% cairan atau sama dengan 1.050 mL.
Resusitasi cairan dilakukan dengan menggantikan sejumlah cairan yang hilang ini,
tujuannya mengisi kekurangan (defisit) intravaskuler. Menurut kaidah pemberian cairan
kristaloid, dibutuhkan 3 kali jumlah cairan yang hilang (yaitu 3 X 1.050 mL atau sama
dengan 3.150 mL).

Gangguan perfusi ini menyebabkan sel atau jaringan mengalami hipoksia dan mungkin
berakhir dengan nekrosis; bila hipoksia ini dibiarkan melebihi batas waktu maksimal ketahanan
sel / jaringan (ischemic time). Waktu ini berbeda untuk setiap sel / jaringan. Diketahui bahwa
sel-sel glia hanya dapat bertahan dalam kondisi hipoksika selama 4 (empat) menit; selanjutnya
akan terjadi degenerasi seluler yang berakhir dengan nekrosis sel. Ginjal dapat bertahan

13 Jumlah cairan pada Neonatus 70%, laki-laki dewasa 60%, wanita dewasa 50%, manula 80%

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 133


Moenadjat

selama 8 (delapan) jam dalam kondisi hipoksik; melebihi waktu tersebut akan terjadi
degenerasi seluler yang berakibat ATN dan berlanjut menjadi ARF. Mukosa saluran cerna dan
hepar memiliki waktu iskemik 4 jam. Masing-masing jaringan tubuh memiliki spesifikasi tertentu
dalam hal ischaemic time ini.

Gambar 118. Kurva fisiologik dari kebutuhan cairan dibandingkan formula Parkland, menegaskan bahwa formula
tersebut hanya merupakan suatu guideline untuk terapi cairan selama syok luka bakar. Dikutip dan disadur dari
Rhodes A, Grounds RM, Bennett ED. Hemodynamic Monitoring in Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek
PM. Text book of Critical care 5th ed

Dengan demikian penatalaksanaan syok yang berorientasi pada paradigma ini


memerlukan tindakan resusitasi lebih agresiv: pemberian cairan dalam waktu singkat,
memperkecil kemungkinan kerusakan jaringan sehubungan dengan ischemic time yang
dijelaskan di atas.
Sampai saat ini diyakini jenis cairan yang dapat digunakan untuk melakukan resusitasi
dengan baik adalah kristaloid (RL). Pemberiannya dilakukan dalam waktu cepat, menggunakan
beberapa jalur intravena, bila perlu melalui vascular access (vena seksi dan sebagainya).

Gambar 119. Resusitasi pada syok menggunakan cairan kristaloid. Tiga kali defisit cairan
yang menyebabkan syok diberikan dalam waktu kurang dari 4 jam. Sisa jumlah cairan yang
diperhitungkan menurut metode Baxter / Parkland dan diberikan berdasarkan kebutuhan
sampai dengan 24 jam. Untuk rumatan ditambahkan dekstrose yang jumlahnya disesuaikan
dengan produksi urin

Oleh karena iskemia mukosa saluran cerna dapat terjadi dalam waktu 4 jam, dan didasari gut
is a motor of MODS, maka resusitasi cairan pada syok mengacu pada waktu ini, kiranya
volume replacement tercapai dalam waktu (kurang dari) 4jam. Hal ini bersifat prinsipil, karena
bilamana resusitasi syok menerapkan regimen Parkland 14 (8 jam pertama dan 16 jam sisa),
maka waktu iskemik mukosa saluran cerna tidak akan teratasi.

14 Parkland dan Baxter adalah ahli bedah yang mengkhususkan diri di bidang nefrologi; bekerja di klinik

hemodialisis di Burn Center yang banyak mengamati dan menangani Acute Renal Failure (ARF) pasca luka

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 134


Moenadjat

Regimen Parkland atau resusitasi syok?


Pemilihan regimen terapi (resusitasi) cairan sangat tergantung pada jenis kasus (bersifat
kasuistik), tidak dapat diterapkan secara kaku; regimen hanya patokan pemberian cairan yang
diperlukan. Umumnya, regimen resusitasi Parkland dapat diterapkan pada kasus-kasus
dimana tidak terdapat keterlambatan penanganan. Yang dimaksud dengan keterlambatan
adalah kasus yang tidak mendapatkan resusitasi adekuat dalam waktu 4 (empat) jam; waktu
iskemik mukosa saluran cerna. Resusitasi adekuat juga mengandung pengertian adequate
volume replacement. Sayangnya di Indonesia yang belum established khususnya dalam hal
pelayanan gawat darurat medik (medical emergency services), hampir tidak pernah dijumpai
keterlambatan dimaksud. Banyak kejadian, dimana seorang penderita ditolong tidak secara
tepat, resusitasi adekuat tidak diberikan sebagaimana mestinya. Hal ini mungkin disebabkan
beberapa hal: 1) ignorensia (tenaga medik), khususnya mengenai permasalahan yang terjadi
di fase akut, 2) pemberian cairan dikerjakan, namun tidak atau bukan merupakan regimen
resusitasi, 3) referal dan transportasi pasien, seringkali dijumpai pasien dalam keadaan tidak
stabil dikirim / dirujuk, sementara pada kesempatan melakukan rujukan (transportasi pasien),
pemberian cairan dihentikan; atau merujuk pasien dengan kondisi hemodinamik tidak atau
belum stabil.
Dalam hal seperti kejadian di atas, resusitasi syok menjadi pilihan yang terbaik dalam
mencegah timbulnya problema lebih lanjut.

Jumlah cairan yang diberikan


Regimen pemberian cairan yang ada hanya merupakan pedoman bagi dokter untuk
mengetahui perkiraan jumlah cairan yang harus diberikan, akan tetapi tidak mutlak harus
demikian. Regimen ini dibuat hanya untuk membantu mengetahui perkiraan jumlah yang
diperlukan untuk resusitasi. Patokan pemberian cairan yang terbaik sebenarnya adalah kondisi
klinik, yang menunjukan perbaikan sebagai reaksi terapi yang diberikan; dan ini bersifat sangat
dinamik dari waktu ke waktu.
Baxter memberikan pedomannya untuk menggunakan RL, tanpa risiko kelebihan cairan
(overload) atau terjadinya imbalans elektrolit; 3-4ml/kg berat badan. Namun ternyata dengan
dosis ini, pada anak-anak dan orang tua kelebihan cairan tetap terjadi, sehingga Artz
menganjurkan pemberian sejumlah 2ml/kg berat badan untuk anak-anak dan 3ml/kg berat
badan untuk orang tua.
Namun, saat ini diyakini bahwa kebutuhan cairan meningkat pada anak-anak (karenanya
diambil nilai 4ml/kgBB/luas luka bakar), pada keadaan dimana terdapat cedera inhalasi (karena
adanya proses inflamasi eksudatif mukosa saluran nafas dan parenkim paru yang
menyebabkan kehilangan cairan semakin bertambah). Ternyata, selama ini dengan patokan
pemberian ini, seringkali dijumpai kondisi dimana pemberian cairan resusitasi sangat kurang
karena tidak menyertakan kebutuhan cairan maintenance.
Untuk mengatasi syok, jumlah cairan yang diberikan adalah tiga kali jumlah cairan yang
diperkirakan hilang. Maka, pada seorang dengan berat badan 70kg (volume cairan tubuh 4.200
ml) dengan syok (defisit 1.050ml), jumlah cairan yang dibutuhkan untuk resusitasi adalah 3.150
ml; diberikan dalam waktu kurang dari 4 (empat) jam atau waktu iskemik mukosa saluran cerna
(terbaik dalam 1-2 jam). Selanjutnya, setelah syok teratasi, maka pemberian cairan mengacu
pada kebutuhan cairan dari waktu ke waktu. Disamping itu, cairan yang dibutuhkan untuk
maintenance tetap diberikan berbarengan dengan prosedur resusitasi.

Permasalahan klinik yang kerap dihadapi dalam pemberian cairan dikaitkan dengan
pemberian cairan khususnya kristaloid dalam jumlah masiv pada luka bakar luas, yang diikuti

bakar; jelas fokus utama dalam metode resusitasi yang mereka ajukan berkisar di seputar penyelamatan sel-sel
tubulus dari hipoksia (waktu iskemik sel-sel tubulus ginjal adalah 8 jam) dalam upaya menghindari ARF.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 135


Moenadjat

oleh peningkatan edema jaringan; semakin banyak cairan (kristaloid) diberikan, semakin
berat/luas edema yang timbul. Tidak ada batasan jelas mengenai jumlah cairan dianggap
masiv; namun pada umumnya masalah sebagaimana disampaikan di atas diamati
menimbulkan sindroma klinik bila pemberian cairan melebihi volume komposisi cairan tubuh.
Misalnya, seorang dengan berat badan 70kg (dengan volume cairan tubuh 4.200 mL akan
dihadapkan pada permasalahan bila menerima cairan melebihi volume tersebut.
Untuk mengantisipasi dan menghindari timbulnya permasalahan tersebut, diperlukan suatu
strategi penatalaksanaan resusitasi cairan menggunakan modalitas lain. Modalitas lain
dimaksud adalah menggunakan cairan koloid. Sebagaimana dikertahui, pemberian koloid
(pengembang plasma atau pengembang volume) akan mengurangi jumlah cairan kristaloid
yang dibutuhkan untuk resusitasi. Satu liter cairan kristaloid digantikan oleh 200ml cairan koloid
(satu per lima kebutuhan jumlah kristaloid); hal ini akan diikuti oleh berkurangnya potensi
timbulnya edema masiv akibat pemberian cairan kristaloid (lihat indikasi pemberian koloid,
halaman 123).
Di satu sisi, tampaknya pemberian koloid memberikan keuntungan, namun di sisi lain
harus diingat bahaya pemberian koloid selama periode akut dimana masih dijumpai gangguan
permeabilitas kapiler; demikian pula halnya dengan efek dilusi dan gangguan hemostasis. Atas
dasar hal tersebut, dari beberapa jenis koloid yang relatif aman dan efektif untuk tujuan
sebagaimana dimaksud, maka Hidroxy-etil starch 6% (HES) atau Pentastarch (Gelofusin)
merupakan pilihan yang diyakini terbaik saat ini (lihat halaman 123). Dengan demikian, pola
resusitasi cairan mengalami modifikasi.

Gambar 120. Pola resusitasi cairan pada syok. Kebutuhan cairan kristaloid dalam jumlah besar digantikan koloid
(HES) untuk memperkecil potensi timbulnya edema jaringan masiv. Glukosa 5% dosis rumatan diberikan untuk
mencukupi kebutuhan energi saat dijumpai kondisi hipometabolisme; namun harus diantisipasi kemungkinan
timbulnya hiperglikemia pada syok. Sel darah merah (PRC) diberikan untuk mempertahankan fungsi bufer protein
berjalan dalam batas fisiologik.

b4. Tren resusitasi terkini

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tidak ada regimen resusitasi terbaik. Resusitasi


menggunakan kristaloid yang sebelumnya dianggap paling aman, ternyata banyak
menimbulkan masalah dengan edema masif yang timbul pada pemberian kristaloid dalam
jumlah besar. Koloid yang sampai saat ini tetap kontroversial, ternyata mulai disadari banyak
memberikan keuntungan karena tidak dihadapkan pada edema masif akibat pemberian cairan
dalam jumlah besar. Bukan saja pengetahuan mengenai fisik dan fisiologi koloid (berat
molekul), lebih jauh karakteristik koloid khususnya dalam hal volume replacement dan efek
antiinflamatif khususnya endotel yang terfokus pada pencegahan perkembangan SIRS dan
MODS, maka perhatian banyak klinikus dan penelitian memiliki tren menerapkan pola
resusitasi menggunakan koloid yang diikuti pemberian kristaloid. Tren ini sebetulnya bukanlah
sesuatu yang baru, sebab Evans & Brooke sudah menerapkan penggunaan koloid (dalam hal
ini sel darah merah) pada awal resusitasi.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 136


Moenadjat

Alasan yang dikemukakan untuk rasional penerapan metode ini sudah jelas, karena
kristaloid tidak dapat mempertahankan volume intravaskuler dan ia lebih berperan untuk
mengisi kompartemen interstisium; sedangkan koloid tetap bertahan di ruang intravaskkuler
dan berperan sebagai suatu volume expander (lihat kembali kompartemen tubuh halaman 43
dan efek koloid halaman 123).

c. Penggunaan obat-obatan

c1. Penggunaan obat-obatan untuk tujuan perbaikan sirkulasi: vasopressor

Tabel 9. Berbagai jenis simpatomimetik


Dopamin Dobutamin Isoproterenol Norepinefrin
Reseptor 1 adrenergik 1 > 2= > 1 >> 2
Efek vaskuler Dosis rendah Tidak ada peru- Vasodilatasi in- 1: vasokonstriksi
menimbulkan bahan pada re- tensiv ( 2) mean intensiv mean art-
konstriksi selain sistensi karena arterial erial pressure
pembuluh renal memiliki afinitas pressure Efek vasodilatasi
dan serebral, se- rendah terhadap Tidak terikat de- tidak tercapai kare-
hingga memper- 2 dan 2 ngan 1 na rangsangan 2
tahankan perfusi
ke organ-organ
tersebut
Efek kardial Efek 1: kontrak- Merupakan obat Merangsang Vasokonstriksi kuat
tilitas tekanan pilihan untuk jantung lebih menyebabkan
sistolik tidak merangsang kuat refleks parasimpatik
sekuat isopro- jantung, karena dibandingkan menurunkan
terenol terbaik dalam epinefrin karena frekuensi jantung.
memelihara efi- efek langsung & Refleks bradikardia
siensi jantung. respons terha- ini meutupi kele-
Perubahan dap penurunan mahan efek rang-
minor pada fre- mean arterial sangan 1
kuensi jantung pressure

Efek pulmoner Untuk kegunaan Tidak memiliki efek


- - klinis digunakan 2, sehingga tidak
dalam mence- digunakan sebagai
gah ronkospas- bronkodilator
me
Efek metabolik Glikogenolisis Menyebabkan pe-
dan glukoneo- lepasan insulin
- - genesis , hi- (lemah), 2 dan
perglikemia, hi- lipolisis ( 1)
perlipidemia, pe-
lepasan insulin

Efek lainnya Di ginjal me Tonus dan mot- -


aliran darah, ilitas usus
GFR dan eks- Menghambat
kresi natrium pelepasan sel
mast
Dikutip dan disadur dari Harvey RA, Champe PC, Mycek MJ. Lippincotts Illustrated Reviews:
Pharmacology 2nd ed. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. 1992

Berbagai jenis simpatomimetik kerap digunakan dalam resusitasi untuk memperbaiki


sirkulasi seperti Dopamin, Isoproterenol dan Norepinefrin dibahas berikut ini.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 137


Moenadjat

Dopamin
Dopamin adalah suatu preparat vasodilator yang bekerja dengan cara merangsang
reseptor dopamin yang seringkali digunakan pada resusitasi luka bakar. Penggunaannya
didasari efek farmakologik yang bekerja secara selektif pada reseptor dopamin adrenergik
dan .
Dopamin merupakan precursor Norepinefrin, bekerja sebagai neurotransmitter terutama di
medula adrenal, mengaktivasi reseptor dan . Pada dosis rendah merangsang reseptor
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan cardiac output, pada dosis tinggi merangsang
reseptor menyebabkan vasokonstriksi.
Pada manusia, pemberian dopamin perinfus dengan dosis 1g/kgBB/menit merangsang
reseptor dopamin1 dan dopamin2, dengan efek vasodilatasi dan peningkatan aliran darah ke
ginjal, splangnikus dan serebral. Dengan dosis yang lebih tinggi, terjadi stimulasi reseptor
adrenergik beta yang menyebabkan rangsangan efek inotoropik dan kronotropik dengan
dampak meningkatnya cardiac output. Dengan dosis 10g/kgBB/menit, terjadi rangsangan
pada reseptor adrenergik 1 dan 2 yang meningkatkan resistensi vaskuler.

Gambar 121. Struktur zat-zat adrenergik: Norepinefrin, Epinefrin, Isoproterenol dan Dopamin. Dikutip dan disadur
dari Harvey RA, Champe PC, Mycek MJ. Lippincotts Illustrated Reviews: Pharmacology 2nd ed. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins. 1992

Pemberian dopamin dalam hal ini lebih merupakan suatu bentuk profilaksis,
mengupayakan dilatasi pembuluh perifer untuk memperbaiki sirkulasi. Dengan meningkatnya
cardiac output, terjadi peningkatan aliran ke sirkulasi renal dengan peningkatan ekskresi urin

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 138


Moenadjat

dan penurunan kadar hormon antidiuretik. Respons yang timbul dari pemberian dopamin dosis
rendah sangat dipengaruhi oleh defisit volume darah / cairan akibat gangguan sirkulasi, karena
dengan gangguan sirkulasi yang ada, dilepaskannya renin, vasopresin dan aldosteron.
Dopamin digunakan bila cairan saja gagal meningkatkan tekanan vena sentral. Vasokonstriksi
periferal menyebabkan shunts darah ke jantung dan paru. Penggunaan dopamin bertujuan
memperbaiki perfusi jaringan yang memburuk.

Gambar 122. Pengendalian pelepasan ADH dan aktivitas seluler terhadap Anti Diuretik Hormon (ADH). ADH
bekerja di tubulus proksimal ginjal dengan cara menghambat reabsopsi natrium, sehingga terjadi peningkatan
osmolalitas cairan dan menghambat proses diuresis (merangsang konservasi air di ginjal, menurunkan produksi
urin dan memekatkan konsentrasi urin, serta merangsang sensasi haus dan meningkatkan pemasukan air);
sehingga tercapai restorasi konsentrasi osmotik plasma. Deplesi volume dan hipotensi juga merupakan stimuli
poten terhadap sekresi ADH. Pengendalian hemodinamik dimediasi oleh regangan baroreseptor yang terletak di
sinus karotikus dan arkus aorta. Impuls-impuls pada reseptor ini disampaikan ke susunan saraf pusat melalui
nervus vagus dan glossofaringeus, refleks yang timbul adalah sensasi haus. Disamping itu, hipovolemia juga
menyebabkan stimuli pelepasan sistim renin-angiotensin, sehingga diproduksi angiotensin II yang menginduksi
pemasukan air.

Efek lain dari Dopamin yang dapat dimanfaatkan pada gangguan hemodinamik ini adalah
natriuresis yang akan mengurangi potensi hipernatremia; namun sebaliknya perlu diperhatikan
pada kasus-kasus dengan kadar natrium normal, hiponatremia mungkin dapat terjadi setelah
pemberian Dopamin.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 139


Moenadjat

Gambar 123. Hubungan volume darah sirkulasi dan lingkar umpan balik kadar kalium dengan sekresi aldosteron.
Integrasi dari sinyal-sinyal di setiap lingkar menentukan sekresi aldosteron. Sekresi aldosteron timbul sebagai
respon dari penurunan kadar natrium dan peningkatan ekskresi kalium akan diikuti oleh aktifasi sistim renin-
angiotensin. Pelepasan renin terjadi sebagai respon dari penurunan volume plasma dan atau tekanan darah di
nefron ginjal (sel-sel juxtaglomerulus ginjal), penurunan filtrasi konsentrasi osmotik di tubulus serta berkurangnya
konsentrasi natrium dan peningkatan kalium di sirkulasi renalis. Aldosteron juga meningkatkan sensitivitas
reseptor garam di lidah. Efek ini menyebabkan seseorang akan mengatur konsumsi garam di dalam diet. Pada
keadaan normal, kadar aldosteron plasma tidak melebihi 210-220 pmol/L (SI Unit) atau kurang dari 8ng/dL
(satuan konvensional), kadar dalam urin berkisar antara 14-53 nmol/d kon 5-19g/dL per 24 jam.

Gambar 124. Efek pemberian Norepinefrin dan Epinefrin pada frekuensi nadi, tekanan darah dan resistensi
perifer. Dikutip dan disadur dari Harvey RA, Champe PC, Mycek MJ. Lippincotts Illustrated Reviews:
Pharmacology 2nd ed. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. 1992

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 140


Moenadjat

Gambar 125. Pemberian inotropik (zat vasoaktif) seperti Dopamin dsb setelah
suatu adequate volume replacement diikuti penurunan insiden MODS. Dikutip dan
disadur dari Kvetan V. The effect of pressors and inotopes on regulation of
cytokine release in shock, Crit.Care and Shock (1998) 1:26-39

Aplikasi klinik

Dopamin dosis rendah digunakan untuk mengatasi syok. Pada dosis renal, terjadi dilatasi
pembuluh renal dan splangnikus; pembuluh lain mengalami vasokonstriksi. Pada dosis tinggi
dan pemberian Norepinefrin, seluruh pembuluh mengalami konstriksi (termasuk renal &
serebral). Dalam hal ini, Dopamin bersifat lebih poten dibandingkan Norepinefrin. Dobutamin
dan isoproterenol memperbaiki kontraktilitas jantung. Namun kondisi hipovolemia merupakan
kontraindikasi untuk pemberian obat-obat ini; karena memiliki efek vasokonstriksi dan
vasodilatasi yang berbeda (antagonis 1, di sisi lain memengaruhi ).

Gambar 126. Efek pemberian Isoproterenol pada frekuensi nadi, tekanan darah dan resistensi perifer. Dikutip dan
disadur dari Harvey RA, Champe PC, Mycek MJ. Lippincotts Illustrated Reviews: Pharmacology 2nd ed.
Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. 1992

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 141


Moenadjat

Gambar 127. Pemberian Dopamin diikuti oleh perbaikan sirkulasi ke splangnikus dengan penurunan CO2 gap dan
meningkatkan angka ketahanan hidup. Dikutip dan disadur dari Kvetan V. The effect of pressors and inotopes on
regulation of cytokine release in shock, Crit.Care and Shock (1998) 1:26-39

Gambar 128. Efek dopamin pada jantung dan ginjal. Dikutip dan disadur dari Harvey RA, Champe PC, Mycek MJ.
Lippincotts Illustrated Reviews: Pharmacology 2nd ed. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. 1992

Dopamin vs. Dobutamin


Beberapa tahun terakhir, dilaporkan bahwa penggunaan Dobutamin untuk tujuan dilatasi
pembuluh perifer lebih baik dibandingkan Dopamin. Beberapa keunggulan Dobutamin
dibandingkan Dopamin disebutkan antara lain tidak memiliki efek inotropik sekuat Dopamin,
sehingga dapat diberikan tanpa memerlukan pemantauan ketat di ICU sebagaimana
penggunaan Dopamin.

Norepinefrin
Norepinefrin (Levophed ), dibandingkan Dopamin dosis tinggi, efek konstriksinya lebih
efektif.

c2. Penggunaan obat-obatan untuk tujuan perbaikan sirkulasi: diuretikum

Pemberian diuretikum jenis apapun akan menyebabkan reduksi edema dan penurunan
tekanan darah, dengan cara meningkatkan produksi urin. Semua jenis diuretikum
meningkatkan ekskresi air dan natrium, sedangkan garam lainnya sangat tergantung pada
mekanisme kerjanya.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 142


Moenadjat

Ada beberapa jenis diuretikum:


1) Golongan thiazide
2) Diuretikum kuat (loop diuretics)
3) Diuretikum hemat kalium (potassium-sparing diuretics)
4) Diuretikum osmosis (osmotic diuretics)

Golongan Thiazide
Mekanisme kerja: menghambat reabsorpsi natrium dan klorida di tubulus distal; kehilangan
garam-garam naatrium, klorida dan kalium menyebabkan peningkatan produksi urin.
Kehilangan natrium (saja) akan menyebabkan penurunan GFR.
Efek samping: hipokalemia, hiponatremia, hiperglikemia, hiperurisemia, hiperkalsemia,
oliguria, kelemahan, penurunan sirkulasi plasenta, distres saluran cerna.
Farmakokinetik: dengan pemberian per oral, diabsorbsi cepat, eliminasi dalam bentuk
primer.
Interaksi obat: meningkatkan toksisitas digitalis atau litium; hipokalemia dengan
kortikosteroid dan ACTH, hipotensi ortostatik dengan alkohol / barbiturat atau narkotik;
penurunan efek vasopresor.
Indikasi: ideal sebagai terapi awal hipertensi, edema kronik dan hiperkalsiuria idiopatik
Indikasi kontra: kehamilan, anuria

Gambar 129. Tempat kerja berbagai diuretikum. Dikutip dan disadur dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy
and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 143


Moenadjat

Diuretikum kuat (loop diuretics): Furosemid


Mekanisme kerja: menghambat reabsopsi klorida di pars asendens ansa Henle;
kehilangan kalium di urin dalam konsentrasi tinggi
Efek samping: hiponatremia, hipokalemia, dehidrasi, hipotensi, hiperglikemia,
hiperurisemia, ototoksik, hipomagnesemia, alkalosis hipokloremik, hipovolemia
Farmakokinetik: pemberian per oral atau intra vena, 95% diikat oleh protein (albumin),
eliminasi dalam bentuk utuh di urin
Interaksi obat: meningkatnya toksisitas dari ototoksik dan nefrotoksik bila diberikan
bersama litium; efek diuretik dihambat oleh probenesid dan indometasin; memperkuat efek
antihipertensif
Indikasi: pilihan pertama pada kasus-kasus dengan GFR rendah dan hipertensi emergensi.
Juga pada edema (termasuk edema paru) untuk memobilisasi sejumlah besar volume
cairan. Kadang digunakan untuk mengatasi kadar kalium serum yang tinggi.
Indikasi kontra: anuria, deplesi elektrolit.

Diuretikum hemat kalium: Spironolakton


Mekanisme kerja: antagonis aldosteron (aldosteron menyebabkan retensi natrium, lihat
gambar 127 halaman 141), meningkatkan ekskresi natrium dan mengurangi ekskresi
kalium di tubulus konvulsi
Efek samping: hiperkalemia, deplesi air dan natrium, intoleransi glukosa akibat imbalans
endokrin (juga berkembangnya akne, ginekomastia dan hirsutisme)
Farmakokinetik: pemberian per oral, ekskresi di urin dalam bentuk tidak mengalami
perubahan. Waktu paruh 6jam, dapat digunakan pada kasus-kasus dengan insufisiensi
hepatik.
Interaksi obat: menyebabkan hiperkkalemia berat bila diberikan suplemen kalium dan
pemberian diuretik dari satu golongan.
Indikasi: digunakan bersama Thiazide untuk mengatasi gagal jantung kongestif, sirosis hati
dan sindrom nefrotik. dapat mengoreksi alkalosis metabolik
Indikasi kontra: tidak ada

Diuretik osmosis: Mannitol


Mekanisme kerja: menghambat reabsorpsi air dan natrium melalui proses osmosis; diawali
dengan meningkatnya volume plasma dan tekanan darah
Efek samping: sefalgia, nausea, vomitus, menggigil, polidipsi, letargi, chest-pain
Farmakokinetik: intra vena
Interaksi obat: tidak ada
Indikasi: gagal ginjal akut, glaukoma sudut tertutup, edema serebri, eliminasi beberapa
jenis obat tertentu
Indikasi kontra: dekompensasi jantung, hipertensi, edema paru yang disebabkan
peningkatan tekanan darah secara transien

Satu hal yang perlu digarisbawahi pada penggunaan diuretikum; indikasi pemberian
diuretikum yang rasional jenis apapun timbul bila volume intravaskuler cukup (mean arterial
pressure >60mmHg) dan cenderung meningkat tanpa disertai produksi urin. Mean arterial
pressure yang turun pada saat syok akan kembali normal pada saat volume intravaskuler
cukup (setelah pemberian sejumlah cairan) dan permeabilitas kapiler kembali normal yang
diikuti oleh kembalinya cairan interstisium ke ruang intravaskuler. Secara klinis dapat diamati
secara kasar dengan memperhatikan tekanan vena sentral yang meningkat (normal >6-12
cmH2O).

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 144


Moenadjat

c3. Penggunaan obat-obat lainnya: anti inflamasi

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian obat-obatan pada kasus
luka bakar dengan gangguan sirkulasi; sebagaimana pemberian obat-obatan pada umumnya
yaitu 1) hal-hal yang berkaitan dengan masalah farmakokinetik (absorbsi, distribusi-
metabolisme dan eksresi, 2) jalur pemberian (oral, intravena).
a) Pemberian obat-obatan secara oral khususnya memperhatikan adanya gangguan mukosa
saluran cerna dikaitkan dengan hipoperfusi splangnikus, metabolisme zat-zat tertentu
(adanya penurunan kadar protein khususnya albumin, hormonal, enzim-koenzim dikaitkan
dengan gangguan sel-sel hepar) dan gangguan ekskresi (gangguan sirkulasi ginjal).
b) Reaksi obat-obatan terhadap endotel, leukosit dan trombosit (dikaitkan dengan adanya
perubahan ketiga sel ini pada respons inflamasi sistemik) dengan segala dampaknya.
c) Pemberian steroid merupakan kontroversi yang tak kunjung berakhir. Beberapa hal yang
dijadikan pertimbangan menghindari steroid pada masa resusitasi adalah efek retensi
cairan dan natrium serta inhibisi ADH yang memperberat edema; sementara khasiat
antiinflamasi yang demikian kuat menyebabkan supresi sistim imun yang justru
mempermudah berkembangnya sepsis.
d) Pemberian zat-zat anti-inflamasi non-steroid (NSAID) demikian marak karena khasiat anti-
inflamasi yang ditawarkan dan adanya laporan-laporan yang menyatakan keamanan
pemberiannya. Namun, sejauh ini tidak banyak dilaporkan dampak negatif pemberian
NSAID yang mempengaruhi metabolisme leukosit dan trombosit secara negatif (baca lebih
lanjut mengenai peran endotel, leukosit dan trombosit pada respons inflamasi); sehingga
justru mempermudah berkembangnya sepsis.

Gambar 130. Transportasi dan distribusi obat-obatan juga harus mempertimbangkan gangguan keseimbangan
asam-basa yang terjadi pada gangguan sirkulasi dengan dampak gangguan metabolisme, terutama dalam hal
transportasi aktif menembus membran sel. Dikutip dan disadur dari Dikutip dan disadur dari Harvey RA, Champe
PC, Mycek MJ. Lippincotts Illustrated Reviews: Pharmacology 2nd ed. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins.
1992

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 145


Moenadjat

Gambar 131. Pemberian obat-obatan harus


mempertimbangkan solubilitas obat (solubilitas air dan atau
lipid), dikaitkan dengan gangguan metabolisme yang terjadi
(air dan metabolisme lipid, metabolisme anaerob akibat
hipoksia-iskemia jaringan pada syok) . Dikutip dan disadur dari
Dikutip dan disadur dari Harvey RA, Champe PC, Mycek MJ.
Lippincotts Illustrated Reviews: Pharmacology 2nd ed.
Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. 1992

d. Pemantauan sirkulasi

Mengenali gejala dan tanda-tanda awal dari syok, septik syok adalah penting dalam
mengupayakan hasil terapi. Diagnostik dari karakteristik septik syok dapat dilihat pada tabel 5
halaman 90. Monitoring yang tepat oleh karenanya mutlak diperlukan dengan perhatian khusus
ditujukan pada deteksi perubahan perfusi dan oksigenasi jaringan. Sarana mendasar yang
diperlukan dalam pemantauan harus mencakup pulse oximetry, electrocardiography,
monitoring tekanan darah yang bersifat and invasif. Central venous pressure atau kateterisasi arteri
pulmonar diikuti pengukuran venous oxygen saturation (mixed [S O2] atau central venous [ScvO2]),
akan bermanfaat dalam melakukan evaluasi status kardiovaskuler bila pasien menunjukan refrakter
terhadap resusitasi volume inisial, atau bila indikator-indikator oksigenasi diperlukan sebagai sarana
pemantauan end point of resuscitation.

d1. Pemantauan hemodinamik secara umum


Secara praktis, patokan klinik yang dipakai untuk melakukan pemantauan antara lain:
Perbaikan kesadaran (perfusi ke serebral)
Frekuensi pernafasan
Merupakan tanda klinik yang menggambarkan fungsi paru secara langsung serta
gambaran sirkulasi secara tidak langsung. Pada kondisi syok, terjadi peningkatan frekuensi
pernafasan yang menggambarkan kondisi hipoksia jaringan. Paru mengadakan

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 146


Moenadjat

kompensasi dengan meningkatkan ventilasi. Namun sebaliknya, pada kondisi edema paru
sebagai akibat pemberian cairan yang berlebihan atau penarikan cairan ekstravaskuler ke
intravaskuler tanpa disertai penurunan fungsi ginjal juga akan menyebabkan peningkatan
frekuensi pernafasan. Oleh karenanya akurasi pertanda klinik ini sangat rendah karena
juga dipengaruhi faktor lain misalnya rangsang nyeri, pemberian obat-obatan yang
memberikan efek depresi pernafasan dsb.
Diuresis (produksi urin per jam)
Menggambarkan baik atau tidaknya sirkulasi perifer, yang sekaligus memberi gambaran
cukup / tidaknya cairan yang diberikan. Patokan klinik untuk diuresis pada sirkulasi yang
memberi respons baik pada resusitasi adalah sebagai berikut:

Tabel 10. Pemantauan diuresis pada resusitasi:


Jumlah urin Keterangan
Syok 0.5 1 ml/kgBB/jam Perfusi inadekuat
Hari pertama-kedua 1 - 2 ml/kgBB/jam Sirkulasi stabil
Hari ketiga-keempat 3 - 4 ml/kgBB/jam Fase diuresis

Kadar hemoglobin dan hematokrit (hemokonsentrasi-hemodilusi).


Hipovolemia memberikan gambaran hemokonsentrasi pada pemeriksaan darah perifer.
Pemberian cairan yang adekuat menyebabkan perbaikan kadar hemoglobin dan rasionya
terhadap hematokrit.
Central Venous Pressure (CVP, tekanan vena sentralis)
Merupakan perangkat pemantau yang kurang akurat dalam memberi informasi volume
cairan yang ada dalam sirkulasi sistemik. Penurunan CVP terjadi pada kondisi
hipovolemia. Nilai CVP yang tidak meningkat pada resusitasi cairan dihubungkan dengan
kebocoran akibat gangguan permeabilitas kapiler. Di saat permeabilitas kapiler membaik,
pemberian cairan yang berlebihan atau penarikan cairan yang berlebihan akibat pemberian
koloid / plasma akan menyebabkan hipervolemia yang ditandai dengan adanya
peningkatan CVP.

Gambar 132. Pengukuran tekanan vena sentralis. Dikutip dan disadur dari Rhodes A, Grounds RM, Bennett ED.
Hemodynamic Monitoring in Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM. Text book of Critical care 5th ed

Pulmonary Artery Wedge Pressure (PAWP)


Merupakan parameter yang paling akurat dalam menggambarkan informasi volume cairan
intravaskuler; berhubungan langsung dengan tekanan pada arteri pulmonal. Nilai normal
<18mmHg.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 147


Moenadjat

Gambar 133. Schwan-Ganz Catheter digunakan untuk pengukuran Pulmonary Artery


Wedge Pressure (PAWP). Dikutip dari spesifikasi produk

Gambar 134. Rangkaian dari salah satu cara pemantauan PAWP.

Gambar 135. Ujung kateter di arteri pulmonal dikenali dengan adanya perubahan
tekanan diastolik. Tekanan sistolik arteri pulmonal umumnya ekivalen dengan tekanan
sistolik ventrikuel kanan. Oleh karenanya, pada keadaan normal tekanan sistolik arteri
pulmonal berkisar antara 15-30mmHg, sedangkan tekanan diastolik arteri pulmonal
berkisar antara 5-15mmHg. Mean Pulmonary Artery Pressure (MPAP) berkisar antara
10-20mmHg.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 148


Moenadjat

Gambar 136. Interpretasi gelombang arterial. Di saat tekanan turun, katup aorta tertutup menandakan
onset diastolik. Katup aorta menghasilkan gelombang dengan karakteristik tertentu yang dikenal sebagai
dicrotic notch (lihat gambar di atas). Nilai terendah pada gelombang arterial ini adalah tekanan diastolik.
Tekanan diastolik normal berkisar antara 60-90mmHg.

Gambar 137. Komponen gelombang CVP. CVP dibentuk oleh perubahan tekanan yang terjadi di atrium
kanan selama sistol dan diastol atrium kanan. Gelombang CVP terdiri dari berbagai komponen:
Gelombang A, gelombang C, gelombang V, X descent dan Y descent (lihat gambar di atas). Gelombang
ini dibangkitkan selama sistol atrium dan tingginya menunjukan berapa tekanan yang terjadi di atrium
saat darah dipompakan ke ventrikel.

Gambar 138. Korelasi EKG dengan gelombang arteri pulmonal. Gelombang arteri pulmonal memiliki
korelasi dengan perubahan aktivitas listrik di ventrikel kanan dan berhubungan dengan perubahan tekanan
di arteri pulmonal.

Gambar 139.Pada resirasi spontan, inspirasi merupakan penurunan tekanan, ekspirasi merupakan
peningkatan tekanan. End expiration terjadi sebelum inspiratory drop gelombang: inilah saat yang
perlu dicatat.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 149


Moenadjat

Gambar 140. Pengukuran PAWP. PAWP harus selalu lebih rendah dari MPAP. Bila PAWP lebih tinggi
dari MPAP, kemungkinan besar disebabkan terjadi kesalahan analisis ujung kateter, atau ujung tidak
berada di zona paru. Bila kateter tidak berada di zona III, maka PAWP akan menggambarkan tekanan
alveolar dan atau tekanan jalan nafas secara akurat. Selain itu, tekanan diastolik arteri pulmonar
(Pulmonary Artery Diastolic, PAD) harus lebih tinggi dari PAWP. Hal ini disebabkan tekanan tinggi di
arteri pulmoar yang dibutuhkan untuk memompakan darah ke atrium.
Gambar 130 s/d 136 dikutip dan disadur dari Hollenberg SM, Ahrens TS, Annane D, Astiz ME, Chalfin
DB, Dasta JF, et al. Practice parameters for hemodynamic support of sepsis in adult patients: 2004
update. Crit Care Med 2004 Vol. 32, No. 9

d2. Pemantauan perfusi jaringan

Tabel 11. Indikator oksigenasi jaringan


Indeks / parameter Nilai
Oxygen delivery (DO2) Normal 1000mL/menit
Indexed terhadap cardiac index (DO2I) 500mL/(menit m2)
Oxygen consumption (VO2) Normal 250mL/menit
Indexed terhadap cardiac index (VO2I) 125mL/(menit m2)
Oxygen Extraction ratio (OER) Normal 0.25
Catatan: bila DO2 turun, VO2 dipertahankan oleh ekstraksi
oksigen
Caridac index - OER ratio Normal 12 (dengan cardiac index 3 dan OER 0.25)
Plot pada grafik untuk melakukan evaluasi fungsi
kardiovaskuler
Rasio <10 menunjukan inadekuasi respons kardiovaskuler
yang diperlukan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen
Catatan: pada sypk septik, rasio <10 menunjukan
inadekuasi resusitasi cairan dan atau depresi miokardium
Mixed venous oxygen saturation (SvO2) Normal 65-75%
Nilai <50% menunjukan defsit oksigen berat
Central venous oxygen saturation (ScvO2) Normal 70%
Keterangan: ScvO2 > saturasi oksigen arterial > SvO2
Kadar laktat Normal <2mmol/L
Monitoring tren; kegagalan penurunan kadar laktat
menunjukan prognosis buruk
Singkirkan faktor-faktor yang meningkatkan kadar laktat
(epinefrin, pencucian luka)
PCO2 mukosa gaster (PiCO2) Normal PiCO2- PaCO2 gap 2-10mmHg
Gap >20mmHg diikuti peningkatan komplikasi dan
mortalitas
Goal: pertahankan gap <25mmHg untuk menghindari
metabolisme anaerob
Tekanan parsial CO2 sublingual (PslCO2) Normal PslCO2- PaCO2 gap <10mmHg
Gradien >25mmHg menunjukan onset metaolisme anaerob

Untuk mendeteksi hipoksia jaringan diperlukan pemantauan beberapa indikator spesifik


(misalnya kadar laktat serum, S O2 atau ScvO2, PCO2 gastric intramucosal [PiCO2]; karena
pada banyak kasus, tekanan darah, frekuensi jantung dan produksi urin yang menjadi patokan

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 150


Moenadjat

stabilitas hemodinamik selama ini (konvensional, tradisional) seringkali menunjukan nilai


normal selama berlangsungnya hipoksia.
Penggunaan standard end points (misal, MAP > 60 mm Hg) sekalipun tidak cukup dalam
memberikan informasi mengenai adekuasi perfusi. Sebagai gambaran, penelitian yang
dilakukan oleh LeDoux dkk, pada pasien-pasien septik syok yang mendapatkan terapi
vasopresor untuk mempertahankan MAP 60mmHg atau lebih disamping resusitasi cairan untuk
memperoleh tekanan oklusi arteri pulmonar (PaOP) 12mmHg atau lebih. Pada pasien-pasien
ini, dengan pemberian norepinefrin diperoleh peningkatan MAP dari 65mmHg menjadi
85mmHg; namun, meski norepinefrin memperbaiki cardiac index, tidak diikuti oleh perbaikan
indikator perfusi jaringan (kadar laktat lebih dari 2mmol/L, PiCO2). Karenanya, indikator
stabilitas hemodinamik standar bukan merupakan indikator (sensitif) yang memberikan
informasi oksigenasi jaringan.
Dalam kondisi demikian, petunjuk global (misalnya DO2 dan oxygen consumption [ o2],
kadar laktat serum, dan S O2 atau ScvO) dan regional (gastric tonometry, sublingual
capnometry) menunjukan nilai yang lebih representatif.

Oksigenasi global

Beberapa indikator global untuk mendeteksi hipoksia jaringan yang digunakan pada
pasien-pasien kritis antara lain adalah kalkulasi pengukuran DO2 dan o2, S O2, dan kadar
laktat serum memberikan gambaran status oksigenasi secara menyeluruh.

Oxygen Delivery dan Oxygen Consumption


Oxygen delivery (disingkat DO2) adalah jumlah oksigen yang didistribusikan ke jaringan
setiap menit dan dijelaskan menurut ekuasi sebagai berikut:

DO2 = CaO2 x CO x 10

Keterangan: CaO2 adalah arterial oxygen content (jumlah oksigen yang dibawa oleh 100 mL
darah arterial) dan CO merupakan kepanjangan dari cardiac output. CaO2 dihitung dengan
mengalikan saturasi oksigen darah arterial (SaO2) dengan konsentrasi hemoglobin (Hgb) dan
konstanta (1.36) yang menerangkan kapabilitas 1 gram hemoglobin mengangkut oksigen.

CaO2 = SaO2 x Hgb x 1.36

Sebagai contoh, CaO2 = (0.99 x 15 g/dL x 1.36) = 20 g/dL. Dalam menghitung DO2, CaO2
dikalikan dengan cardiac output dan 10.
Nilai normal DO2 umumnya mendekati 1000 mL/menit. Namun, bila cardiac index (yang
diperhitungkan sebagai cardiac output dalam satuan liter per menit dan dibagi luas permukaan
tubuh dalam meter kuadrat) digunakan, maka nilai normal DO2 (DO2I) mendekati 500 mL/
(menit/m2).

Penilaian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi DO2 memberikan informasi yang


sangat penting dalam terapi untuk optimalisasi oksigenasi jaringan. Sebagai contoh, bila DO2
menurun, maka tentunya assessment pertama yang dilakukan adalah melakukan penilaian
(evaluasi) terhadap 3 faktor utama yang mempengaruhinya, yaitu cardiac output, SaO2, dan
konsentrasi hemoglobin.
Namun, nilai DO2 normal tidak dapat dijadikan patokan bahwa ketiga faktor yang
mempengaruhinya tersebut berada dalam batas normal. Misalnya pada kondisi dimana terjadi
penurunan konsentrasi hemoglobin atau SaO2, nilai DO2 akan sama (normal) bila terjadi
peningkatan cardiac output. Pada pasien-pasien yang menderita penyakit jantung, peningkatan

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 151


Moenadjat

cardiac output merupakan suatu hal yang tidak mungkin terjadi, oleh karenanya penurunan
nilai DO2 akan terjadi bila dilakukan intervensi memperbaiki SaO2 dan atau kadar hemoglobin.
Dengan demikian, penilaian pada faktor-faktor yang mempengaruhi DO2 secara terspisah akan
menimbulkan kekeliruan penilaian status DO2 pasien.
o2, yang mencerminkan reaksi oksidatif di dalam tubuh, dapat dihitung menggunakan
rumus estimasi Fick equation, yang merupakan hasil perkalian cardiac output dengan
perbedaan arteriovenous oxygen content (saturasi oksigen arteri-saturasi oksigen vena).

Rumus ekuasi Fick:

Pengukuran (langsung) o2 secara bedside juga dapat melalui pemeriksaan indirect


calorimetry menggunakan suatu metabolic cart. Namun, pengukuran melalui cara ini tidak
mudah dan kondisi pasien harus relatif stabil.

Terlepas dari beberapa limitasi yang ada, pengukuran DO2 dan o2 banyak digunakan
sebagai pegangan dalam upaya memperbaiki status hemodinamik dan upaya menciptakan
kondisi normal atau bahkan DO2 di atas normal (supranormal). Rasional dari DO2 supranormal
didasari fakta bahwa debet oksigen secara teoritis terjadi saat dijumpai ketidakseimbangan
antara suplai dan konsumsi oksigen. Maksud dari penerapan DO2 normal atau supranormal
(cardiac index >4.5 L min1 m2, DO2I >600 mL/ (min m2), o2 >170 mL/(menit m2) adalah
untuk mengatasi debet oksigen. Studi-studi awal yang dilakukan, menunjukan bahwa
"supranormalisasi" DO2 memperbaiki survival pada pasien-pasien kasus bedah yang tergolong
high-risk. Namun pada studi-studi yang dilakukan selanjutnya (berupa controlled clinical trials)
tidak menunjukan keuntungan, bahkan supranormalisasi akan mengakibatkan efek sebaliknya
pada beberapa pasien. Interpretasi terkini mengenai hasil studi awal menunjukan bahwa ada
hubungan antara upaya pencapaian kondisi supranormal dengan refleksi timbulnya reaksi
fisiologik yang sebaliknya, dibandingkan efek peningkatan DO2 yang memberikan keuntungan.

Bukti-bukti lain terkini menunjukan, meskipun upaya meningkatkan DO2 normal adalah
penting, namun timing dari proses initiasi dari terapi ini menjadi suatu faktor yang bersifat
kritis..Pada studi yang dilakukan pada 263 pasien yang menderita sepsis berat atau septik syok
sat masuk IGD, dilakukan sampling acak terhadap 133 pasien yang memperoleh pelayanan
standar (resusitasi volume, transfusi darah, dan pemberian zat-zat vasoaktif yang berorientasi
pada nilai CVP antara 812 mm Hg, MAP 65 mm Hg, dan produksi urin 0.5 mL/kg per jam).
Sisanya (130 pasien) memperoleh perlakuan yang bersifat suatu early goal-directed therapy
selama 6 jam, yaitu memperoleh kombinasi dari pelayanan standar ditambah resusitasi agresif
dalam mengupayakan ScvO2 melebihi 70% sebagai suatu indikator oksigenasi jaringan yang
adekuat. Morbiditas (selama pelayanan di rumah sakit) mencapai 30.5% pada pasien-pasien
yangmemperoleh perlakuan early goal-directed therapy dan 46.5% pada kelompok yang
memperoleh terapi standar; dijumpai penurunan mortalitas absolut sebesar 16% pada pasien-
pasien yang memperoleh goal-directed therapy.
Hasil yang diperoleh sangat berbeda dengan hasil penelitian lain yang tidak menunjukan
perubahan atau bahkan justru menunjukan peningkatan mortalitas dan morbiditas saat strategi
optimisasi ini diterapkan pada pasienpasien yang sudah menunjukan organ dysfunction.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 152


Moenadjat

Oxygen Extraction Ratio (OER)


Dibandingkan evaluasi yang bersifat sederhana seperti DO2 and o2, oxygen extraction
ratio (OER) dapat digunakan sebagai suatu indikator yang lebih sensitif untuk mengetahui
adekuasi keseimbangan antara DO2 dan kebutuhan oksigen.
OER ini dihitung berdasarkan ekuasi berikut, dimana C O2 menunjukan mixed venous oxygen
content:

Ekuasi ini sangat bermanfaat karena nilai-nilai SaO2 dan S O2 dapat langsung dihitung
(bedside).
Nilai normal OER adalah 0.25 (artinya, 25% oksigen di distribusi dan dikonsumsi). Pada
keadaan normal, saat nilai DO2 bervariasi, nilai o2 tetap stabil oleh karena adanya variasi dari
oxygen extraction, artinya, o2 bersifat independen terhadap DO2. Namun, bila nilai DO2 turun
di bawah critical level, maka nilai o2 berubah menjadi dependen terhadap jumlah oksigen
yang didistribusi. Meskipun oxygen extraction meningkat dalam upaya mempertahankan
oksigenasi jaringan adekuat, nilai tertingginya sudah tercapai dan tak ada lagi oksigen
diekstraksikan; berlangsunglah metabolisme anaerob.
Tidak ada nilai absolut dari critical level, namun pada pasien yang menjalani pembiusan critical
point terjadi pada kadar DO2I 330 mL/(menit m2) (atau 8 mL/menit per kilogram). Lebih lanjut
diketahui bahwa, pada 9 pasien dengan septik syok dan 8 pasien tanpa septik syok,
perbedaan critical level DO2I (3.8 vs 4.5 mL/menit per kilogram) tidak bermakna, meskipun nilai
absolut jelas lebih rendah daripada yang diamati pada pasien yang menjalani pembiusan.
Diketahui pula, OER antara 0.60 sampai dengan 0.75 umumnya dianggap sebagai critical point
suatu onset berlangsungnya metabolisme anaerob.

OER dapat bersifat sebagai suatu faktor prognostik. Pada studiyang dilakukan terhadap
critically ill surgical patients, OER menunjukan peningkatan pada pasien-pasien yang memiliki
LOS (length of stay) panjang di ICU. OER pasien-pasien yang dirawat lebih dari 5 hari adalah
0.36 dan 0.31pada pasien-pasien yang dirawat kurang dari 5 hari. Hasil yang sama dilaporkan
pada pasien-pasien dengan sepsis berat dan atau pasien septik syok. Dalam hal ini,
ditunjukkan bahwa peningkatan OER merupakan refleksi dari kompensasi terhadap penurunan
DO2.

Rasio Cardiac Index terhadap OER


Evaluasi OER relatif terhadap cardiac index memberikan informasi tambahan dalam
menentukan apakah cardiac index pasien cukup dalam memenuhi kebutuhan tubuh akan
oksigen. Bila respons jantung dalam memenuhi kebutuhan oksigen kurang, maka tubuh
memberikan reaksi dengan melakukan ekstraksi oksigen lebih banyak (yaitu, meningkatkan
OER yang akan diikuti dengan penurunan SvO2). Hubungan antara cardiac index dan OER
dapat dilihati jelas pada penderita anemis. Rasio normal cardiac indexOER adalah 12
(dengan cardiac index 3.0 dan OER 0.25); nilai 10 menunjukan nilai terendah normal (misal,
cardiac index 2.5 dan OER normal 0.25).
Pada keadaan normal, peningkatan o2 akan diikuti oleh peningkatan cardiac output, OER,
atau keduanya. Namun, bila fungsi jantung tidak baik, cardiac output tidak meningkat, respons
yang timbul pada kondisi dimana kebutuhan oksigen meningkat adalah peningkatan ekstraksi

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 153


Moenadjat

oksigen dan karenanya respons ini akan menurunkan rasio cardiac indexOER. Misalnya,
cardiac index 2.0 dan OER 0.30, maka rasio cardiac indexOER adalah 6.7. Sedangkan pada
pasien sepsis dengan cardiac index yang meningkat dan OER rendah atau normal, rasio nya
akan meningkat. Misalnya, cardiac index 4.5 dan OER 0.22, maka rasio adalah 20.

Yalavatti dkk melakukan studi pada 60 pasien dengan sepsis, masing-masing dengan dan
tanpa kelainan jantung; dari studi ini diperoleh suatu algoritmi interpretasi rasio cardiac index
OER sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut..

Gambar 141. Algoritmi menunjukan penerapan rasio cardiac index-oxygen extraction ratio (CI/O2ER). Rasio 10-12
(cardiac index = 2.53.0 dan O2ER = 0.25) menunjukan fungsi kompensasi jantung aekuat. Bila cardiac index
bersifat inadekuat, maka respons dalam mengupayakan peningkatan konsumsi oksigen dapat dicapai melalui
peningkatan oxygen extraction, yang menyebabkan penurunan rasio (misal, pada cardiac index = 2.0 dan O2ER=
0.30, maka rasio adalah = 6.6). Rasio kurang dari 10 merupakan petunjuk kompensasi jantung inadekuat.

Kadar laktat
Pada suasana aerob, oksidasi 1 molekul glukosa melalui siklus Kreb (TCA, tricarboxylic
acid cycle) menghasilkan 38 molekul ATP (gambar 138). Molekul perantara dalam proses ini
adalah piruvat, yang ditransportasi ke dalam mitochondria dan diubah menjadi acetyl
coenzyme A (substansi yang ikut berperan di dalam siklus Kreb). Oksigen berperan pada
tahap akhir. Pada suasana anaerob, proses oksidatif terhambat karena tidak adanya oksigen
dan siklus Kreb terhambat / terhenti. Akibatnya, piruvat yang tidak dapat masuk ke dalam
mitochondria, diubah menjadi laktat. dengan demikian, laktat merupakan produk akhir
metabolisme anaerob, dan peningkatan laktat serum (>2 mmol/L) dianggap merupakan
indikator hipoksia jaringan.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 154


Moenadjat

Gambar 142. Produksi laktat. Pada suasana aerob, glukosa dimetabolisme menjadi piruvat. Selanjutnya piruvat
diubah menjadi acetyl coenzyme A (Acetyl-CoA) oleh piruvat dehidrogenase (PDH). Acetyl-CoA memasuki
tricarboxylic acid (TCA) cycle dan mengalami proses foforilasi oksidatif. Oksigen memegang peran kunci pada
tahap akhir. Pada suasana anaerob, piruvat tidak dapat masuk ke dalam TCA cycle dan diubah menjadi laktat
oleh laktat dehidrogenase (LDH). Pemecahan piruvat menghasilkan terbentuknya 2 molekul adenosine
triphosphate (ATP). Molekul ATP kemudian diuraikan menjadi adenosine diphosphate (ADP) dan fosfor (P),
menyebabkan pelepasan ion hidrogen (H+). Ion hidrogen kemudian berikatan dengan laktat membentuk asam
laktat.

Peningkatan kadar laktat di atas>4 mmol/Lterutama pada kasus yang tidak memberikan
respons perbaikan setelah terapi, merupakan faktor prognostic adanya organ failure dan
prognosis buruk pada septik syok. Namun, perlu dicatat, bahwa penerapan hal ini tidak mudah
pada pasien dengan septik syok yang disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, vascular bed
(misalnya, saluran cerna) mengalami hipoksia tanpa diikuti peningkatan kadar serum laktat;
oleh karenanya, kadar serum lakat tidak menjamin bahwa tidak terjadi hipoksia jaringan
regional. Lebih lanjut, pada pasien dengan syok septik, peningkatan kadar serum laktat dapat
diamati disaat oxygen delivery adekuat, atau sebaliknya, di saat oxygen delivery meningkat,
kadar serum laktat tidak turun. Salah satu faktor yang bertanggungjawab terjadinya hal ini
adalah epinefrin-endogen atau eksogen yang meningkatkan kadar asalm laktat pada jaringan
yang memperoleh oksigenasi baik. Berdasarkan hal ini, penggunaan laktat sebagai indikator
tidak direkomendasikan secara tesendiri, namun mengiktui tren dan menyingkirkan
kemungkinan penyebab lain yang berperan dalam menyebabkan peningkatan kadar laktat
serum. Gastric tonometry dan sublingual capnography juga menunjukan keterlambatan antara
onset hipoksia jaringan dan peningkatan kadar laktat serum laktat; demikian pula sebaliknya,
keterlambatan resolusi hipoksia dan penurunan kadar laktat. Dengan kata lain, kadar asam
laktat dapat normal meskipun hipoksia masih terjadi.

Mixed Venous Oxygen Saturation


S O2 mencerminkan effluent venous dari seluruh vascular beds. S O2, yang diperoleh dari
darah yang di aspirasi dari arteri pulmonar dapat diukur langsung menggunakan CO-oximetry,
dihitung menurut rumus berikut:

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 155


Moenadjat

Pada kondisi normal, dimana nilai o2 stabil dan kadar hemoglobin normal, S O2 dapat
digunakan sebagai suatu indikator dari cardiac output. Namun harus disadari bahwa S O2
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penurunan atau peningkatan o2 dan DO2. Dengan
demikian, dalam memberikan interpretasi, harus diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi
nilai-nilait o2 (Tabel berikut) yang mempengaruhi asupan dan kebutuhan oksigen.

Meningkat Menurun
Demam Hipotermia
Nyeri Analgesia
Ansietas/agitasi Sedasi
Shivering Anestesia
Perawatan luka (mandi, positioning)
Sepsis/syok septik

Nilai S O2 rendah mencerminkan penurunan DO2 dan atau peningkatan o2 di tingkat


jaringan. Ketiga faktor utama yang mempengaruhi DO2 (cardiac output, kadar hemoglobin, dan
SaO2) harus dinilai terlebih dahulu. Selain itu, faktor-faktor klinis yang menyebabkan
peningkatan o2 juga harus dipertimbangkan.
Pada syok septik, adalah suatu tantangan dalam memberikan interpretasi suatu nilai S O2
yang tinggi (>70%), yang menunjukan peningkatan DO2 pada kondisi hiperdinamik atau justru
sebaliknya memberikan informasi ketidakmampuan jaringan melakukan ekstraksi oksigen
(cytopathic hypoxia). Selain itu, nilai S O2 normal tidak menyingkirkan adanya hipoksia
jaringan regional, terutama pada vascular beds yang memperoleh kontribusi terbatas dari S O2
total (misalnya, traktus gastrointestinal dan otak). Dalam kondisi demikian, diperlukan
pemanfaatan indikator oksigenasi jaringan yang lebih sensitif (seperti, kadar laktat, PiCO2, atau
sublingual capnography).

Central Venous Oxygen Saturation


Central Venous Oxygen Saturation (ScvO2) digunakan sebagai alternatif dari S O2, yang
diukur dengan suatu kateter oksimetrik yang terletak di vena cava superior. Tergantung kondisi
klinik, nilai ScvO2 umumnya sama dengan S O2. Pada umumnya, nilai ScvO2 merupakan
overestimasi (1-3%) nilai S O2, namun variabilitas individual sangat luas sampai dengan 23%
dapat terjadi; sehingga nilai ini tidak dapat saling menggantikan.
Secara klinis, ScvO2 dapat digunakan dalam mentrasir perubahan yang terjadi, nilai ScvO2
rendah (<60%), yang juga menunjukan nilai S O2 (bahkan mungkin lebih rendah),dapat
digunakan sebagai indikator adanya kelemahan DO2. Saat ini, ScvO2 digunakan sebagai
marker hipoksia jaringan yang belum jelas disamping normalisasi tanda-tanda vital. Pada studi
yang dilakukan oleh Rady dkk, 50% pasien-pasien kritis tanpa sepsis yang diresusitasi dan
menunjukan vital signs normal (MAP 70110 mm Hg) berlanjut dengan meningkatnya kadar
laktat (>2 mmol/L) dan penurunan nilai ScvO2 (<65%). Saat ini, ScvO2 lebih dari 70%
dibandingkan parameter yang biasa digunakan (frekuensi jantung, MAP, produksi urin)
digunakan sebagai goal for resuscitation pada pasien-pasien dengan sepsis berat dan syok
septik. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, pasien yang menerima early goal-directed therapy
menunjukan penurunan mortalitas yang bermakna dibandingkan dengan mereka yang
memperoleh pelayanan standar. Para peneliti pada studi ini menganjurkan penggunaan ScvO2
karena pemasangan kateter vena sentral (standard atau oximetric) dapat dikerjakan lebih awal
pada resusitasi sementara pemasangan kateter arteri pulmonaruntuk pemantauan S O2
dilakukan belakangan.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 156


Moenadjat

Oksigenasi Regional

Meskipun oksigenasi global memberikan informasi yang bermanfaat tentang status


oksigenasi tubuh secara keseluruhan, namun indiaktor-indiaktor ini dapat menunjukan nilai
normal pada pasien-pasien yang mengalami hipoperfusi dan hipoksia pada vascular bed yang
terisolir.
Traktus gastrointestinal adalah satu dari vascular beds yang paling sensitif terhadap
hipoperfusi. Karena penurunan perfusi splangnikus menunjukan gejala dan tanda-tanda syok
(seperti hipotensi dan peningkatan kadar laktat) maka saluran cerna (usus) disebut-sebut
sebagai "canary of the body (burung kenari dari tubuh manusia)

Gastric Tonometry
Gastric tonometry mulanya didesain untuk mengukur pH intramukosa (pHi). Ternyata, pHi
menunjukan bahwa ia merupakan prediktor yang lebih baik dari suatu kondisi organ
dysfunction dan mortalitas dibandingkan oxygen-derived variables (DO2 dan o2). Nilai pHi
lebih besar dari 7.35 (kisaran normal 7.357.45) merupakan nilai prediktif dari survival,
terutama bila digabungkan dengan kadar laktat serum. Disamping itu, penggunaan pHi sebagai
parameter (goal for therapy) memperbaiki hasil (outcomes) pada pasien-pasien dengan sepsis
berat tanpa kerusakan end-organ. Namun, pada studi-studi yang dilakukan akhir-akhir ini,
dimana pHi digunakan sebagai parameter menentukan target (end point) dari prosedur
resusitasi, ditunjukkan bahwa tidak ada perbaikan pada setiap kelompok pasien. dalam studi
tersebut, pasien-pasien ICU mendapatkan resusitasi standar (kristaloid/koloid untuk
meningkatkan PAOP mencapai 15 mm Hg disertai peberian zat vasoaktif dan terapi insulin,
transfusi darah, dan ventilasi mekanik) untuk mencapai target: MAP >70 mm Hg, tekanan darah
sistolik >90 mm Hg, produksi urin>0.5 mL/kg per menit, konsentrasi hemoglobin >8 g/dL, SaO2
>94%, dan koreksi dari uncompensated respiratory acidosis. Bila nilai pHi tetap <7.35 dalam
satu jam setelah target ini tercapai, atau setelah melalui terapi maksimal untuk mencapai
target, pasien-pasien di dalam kelompok intervensi mendapatkan larutan koloid tambahan dan
drip dobutamine (510 g/kg per menit) yang disesuaikan untuk mencapai pHi >7.35. Pasien di
kelompok kontrol diperlakukan menurut target tertentu tanpa intervensi tambahan untuk
mencapai target pHi. Hasil studi menunjukan bahwa kedua kelompok tidak menunjukan
perbedaan bermakna dalam hal LOS di ICU, insiden organ dysfunction; atau mortalitas di ICU,
di rumah sakit dan atau dalam periode 30-hari.

Gambar 143. Gastric tonometry untuk mengetahui adanya hipoperfusi splangnikus; dengan memasukkan pipa
nasogastrik dengan balon semipermeabel terhadap CO2. Balon ini dihubungkan dengan adapter yang dapat
mengukur produksi CO2 dan mengetahui pH intramukosa. Dikutip dan disadur dari Maki DG, Rolandelli RH,
Shronts EP, Warden GD. Enteral nutrition for the septic patient: Timing of feeding and selection of formula. J Crit
Care Nutr. 2003; 5(1):4-12

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 157


Moenadjat

Gambar 144. Perangkat gastric tonometry. Dikutip dan disadur dari Omura K, Hiran, K, Kanehira E, Kaito K,
Tamura M, Nishida S, Kawakami K, Watanabe Y. Small Amount of Low-Residue Diet with Parenteral Nutrition can
Prevent Decreases in Intestinal Mucosal Integrity, MD Consult-Journal Article, http://home.mdconsult.com/

Gastric Tonometry merupakan metode pemeriksaan yang memiliki sensitivitas dan


spesifisitas tinggi untuk menggambarkan adanya asidosis mukosa saluran cerna akibat
hipoperfusi splangnikus. Sebuah balon semipermiabel terhadap karbondioksida yang
diletakkan di ujung pipa nasogastrik memberikan informasi yang ditangkap oleh sebuah
sensor. Kadar karbondioksida yang ada di dalam balon merefleksikan keasaman (pH)
intramukosa, dapat diketahui melalui perhitungan:

Tabel 12. Interpretasi hasil pemeriksaan tonometri


PgCO2 P(g-a)CO2 P(g-Et)CO2
Perhatian:
>60mmHg >20mmHg >25mmHg
Pertimbangkan intervensi terapetik untuk
8.0kPa 2.5kPa 3.5kPa
koreksi nilai-nilai yang meningkat
50-
60mmHg 10-20mmHg 15-25mmHg Pemantauan:
6.5- 1.5-2.5kPa 2.0-3.5kPa Perbaikan atau perburukan
8.0kPa
<50mmHg <10mmHg <15mmHg
Teruskan pemantauan perfusi gastrik
6.5kPa 1.5kPa 2.0kPa

Dikutip dan disadur dari Omura K, Hiran, K, Kanehira E, Kaito K, Tamura M, Nishida S, Kawakami K, Watanabe Y.
Small Amount of Low-Residue Diet with Parenteral Nutrition can Prevent Decreases in Intestinal Mucosal Integrity,
MD Consult-Journal Article, http://home.mdconsult.com/

Saat ini direkomendasikan penggunaan pengukuran perbedaan antara PiCO2 dan PaCO2,
yang dikenal dengan sebutan PiCO2-PaCO2 gap. PiCO2 diperoleh dari pengambilan sampel
udara dari balon yang berada di ujung gastric tube. Namun, sayangnya tidak ada standar
normal dari nilai PiCO2-PaCO2 gap ini; yang direkomendasikan memiliki kisaran antara 2-10
mmHg (dimana, PiCO2 = 50 mmHg dan PaCO2 = 40 mmHg). Meski nilai PiCO2-PaCO2 gap

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 158


Moenadjat

>25-35 mmHg menunjukan onset dari metabolisme anaerob, nilai 40 mmHg tidak merupakan
indikator sensitif maupun specifik adanya hipoperfusi splangnikus. Kepentingan klinik dari
penilaian ini adalah, bahwa peningkatan gap >20 mmHg selalu diikuti dengan meningkatnya
komplikasi dan mortalitas, dan pada pasien-pasien trauma, nilai gap>18 mmHg merupakan
prediktif adanya multiorgan dysfunction syndrome dan kematian.
Nilai yang direkomendasikan untuk mempertahankan gap <25 mmHg untuk mencegah /
menghindari metabolisme anaerob, meskipun belum ada penelitian klinis yang menunjukan
manfaat pengukuran ini dalam menentukan end point dari resusitasi.

Meskipun gastric tonometry memberikan informasi klinik yang potensial dan bermanfaat,
prosedur pengukurannya cukup rumit sehingga penggunaannya khususnya bedside sangat
terbatas.
Keterbatasan gastric tonometry adalah, bahwa pHi perlu dihitung, suatu langkah yang
memerlukan asumsi bahwa kadar bikarbonat di mukosa gaster adalah ekivalen dengan kadar
di dalam darah arteri; dan asumsi ini tidak selalu benar. Keterbatasan ini dan sulitnya proses
mendapatkan nilai pH gaster menyebabkan metode ini tidak digunakan secara luas.
Sistim semi-invasif ini memerlukan waktu 90 menit untuk ekilibrasi, dan untuk pengukuran
yang akurat, lambung harus dalam keadaan kosong minimal 1 jam sebelum pengukuran, atau
dilakukan aspirasi isi lambung saat pengukuran akan dilakukan. Pada beberapa penelitian
diperoleh informasi bahwa PiCO2 menjadi stabil dalam 24-48 jam setelah pemberian Nutrisi
Enteral, dan bila nilai ini tercapai, pemberian NE tidak perlu dihentikan.
Karena keterbatasan-keterbatasan ini, maka pemanfaatan mukosa lain di sepanjang traktus
gastrointestinal (esofagus dan mukosa sublingual) dipertimbangkan untuk proses monitoring.

Sublingual Capnometry
Metode yang memanfaatkan teknologi terkini saat ini sudah dapat diperoleh, untuk
melakukan pengukuran tekanan parsial karbondioksida sublingual (PslCO2) yang digunakan
sebagai surrogate marker perfusi gastrointestinal.

Gambar 145. Probe sublingual capnography. CapnoProbe system (Nell-cor, Pleasanton, Calif) memanfaatkan
teknologi fiber-optic untuk mengukur tekanan parsial karbondioksida di daerah sublingual (PslCO2). CO2
mengalami difusi melintasi membran semipermeabel yang terdapat pada sensor menuju larutan warna
fluorescent. Zat warna ini memancarkan cahaya yang sebanding dengan jumlah CO2 yang ada. Jumlah warna
yang dipancarkan dikonversi ke dalam nilai numerik. Dikutip dari spesifikasi produk.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 159


Moenadjat

PslCO2 diukur secara intermiten menggunakan sublingual device (gambar 141) yang terdiri
dari sensor disposable dilapisi oleh sebuah membran permeabel terhadap CO2. Sensor
mengandung zat warna fluoresensi yang mengeluarkan cahaya yang sebanding dengan
jumlah CO2 yang terbentuk. Teknologi fiberoptic digunakan untuk mendeteksi perubahan
fluoresensi, dan signal cahaya ini dikonversi ke dalam nilai numerik. Sebuah probe diletakkan
di bawah lidah yang kontak dengan mukosa sublingual, dan pengukuran dilakukan dalama
waktu 2-4 menit.

Pada hewan percobaan dengan syok hemoragik dan syok septik, PslCO2 menunjukan nilai
yang sebanding dengan hasil yang diperoleh dengan pemeriksaan gastric tonometry.
Perubahan PslCO2 mengikuti perubahan aliran darah di traktus gastrointestinal. Pada kasus
dengan syok hemoragik dan syok septik, PslCO2 meningkat lebih cepat dibandingkan kadar
laktat serum, dan bertahan selama 1-6 jam. Setelah pemberian transfusi pada hewan
percobaan ini, PslCO2 kembali ke nilai basal dengan cepat; berbeda dengan kadar laktat
serum yang belum terjadi dalam waktu 1 jam.
Dalam studi yang dilakukan dalam memperkenalkan teknologi ini, PslCO2 >70 mmHg
merupakan prediktif 100% pada syok sirkulasi, sedangkan PslCO2 <70 mmHg merupakan nilai
prediktif dari survival.
Meskipun PslCO2 absolut memiliki implikasi prognostik, interpretasi PslCO2 tetap sulit
karena adanya hubungan langsung antara PaCO2 dan PslCO2. Misalnya, bila pasien
mengalami hiperventilasi (menurunnya PaCO2) maka PslCO2 juga akan mengalami penurunan.
Sebaliknya, bila PaCO2 meningkat, maka PslCO2 juga mengalami peningkatan, secara paralel;
dengan demikian, gap diantara PslCO2 dan PaCO2 tidak akan berubah (gambar 142).

Gambar 146. Perubahan PaCO2, tekanan CO2 gastric intramucosa (PtCO2), dan perbedaan tekanan CO2 gastric-
arterial (PgapCO2) yang diinduksi dengan melakukan perubahan ventilasi alveolar. Peningkatan tidal volume
secara progresif (HYPER = hyperventilation). Dengan penurunan PaCO2 secara bermakna dan PtCO2, gap
(PgapCO2) tetap tidak berubah. Pada penurunan tidal volume (hypoV = hypoventilation), PaCO2 dan PtCO2
meningkat secara paralel. Dikutip dan disadur dari Bernardin G, Lucas P, Hyvernat H, Deloffre P, Mattei M.
Influence of alveolar ventilation changes on calculated gastric intramucosal pH and gastric-arterial PCO2
difference. Intensive Care Med. 1999;25:269273.

Gradien PslCO2-PaCO2 bermanfaat sebagai indikator hipoperfusi. Saat suplai oksigen ke


jaringan berkurang, PCO2 jaringan meningkat sedikit dibandingkan PaCO2. Namun, bila perfusi

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 160


Moenadjat

turun sampai / di bawah critical level, terjadi peningkatan PCO2 jaringan yang jelas, hal ini
mencerminkan pembentukan CO2 dari bikarbonat saat bikarbonat melakukan proses bufer ion
hidrogen yang diproduksi pada metabolisme anaerob. Peningkatan PCO2 jaringan relatif
terhadap PaCO2 dapat dideteksi dengan adanya peningkatan gradien PslCO2-PaCO2 (gambar
143).

Gambar 147. Perubahan PaCO2, tekanan parsial CO2 esofagus (PeCO2), dan esophageal-arterial gap pada 7
ekor tikus yang dilakukan pembiusan dan bernafas spontan mengalami hipotensi ringan sampai berat akibat
proses hemoragik dan diikuti transfusi darah (P < .05 dengan nilai basal sebagai kontrol). Dikutip dari: Totapally B,
Fakioglu H, Torbati D, Wolsdorf J. Esophageal capnometry during hemorrhagic shock and after resuscitation in
rats. Crit Care. 2003;7:7984

Gradien PslCO2-PaCO2 normal <10 mmHg (yaitu pada, PslCO2 = 50 mmHg dan PaCO2 =
40 mmHg). Pada studi pasien-pasien critically ill (mayoritas disertai sepsis berat), gradien
PslCO2-PaCO2 secara signifikan berbeda diantara survivors (mean 9.2 mmHg, SD 5.0 mmHg)
dan nonsurvivors (mean 17.8 mmHg, SD 11.5 mmHg). Hasil serupa ditunjukan oleh pasien-
pasien dengan syok sirkulasi (yang memerlukan vasopresor untuk mempertahankan MAP >60
mmHg, produksi urin <0.5 mL/kg per jam, dan peningkatan kadar laktat). Meskipun gradien
PslCO2-PaCO2 tidak berbeda diantara survivors dan nonsurvivors pada saat masuk rumah
sakit, setelah 24 jam kemudian terlihat perbedaan, dimana kelompok survivors memiliki
gradien yang secara bermakna lebih rendah (mean 14 mmHg, SD 3 mmHg) dibandingkan
nonsurvivors (mean 29 mmHg, SD 4 mmHg).

Near-infrared spectroscopy
Near-infrared spectroscopy (NIRS) adalah suatu jenis pemeriksaan continuous non-invasif
yang menerapkan prinsip transmisi cahaya dan absorpsi untuk menentukan saturasi oksigen
jaringan. NIRS melakukan pengukuran oxygenated dan deoxygenated Hb dimana status
redoks sitokrom aa3 sebagai nilai rata-rata darah arterial, venosa dan kapiler yang mengikuti
hokum Lambert-Beer. Sitokrom aa3, suatu sitokrom terminal pada rantai pernafasan berperan
pada hampir 90% proses cellular oxygen consumption melalui fosforilasi oksidatif. Karena
status redoks sitokrom aa3 terutama ditentukan oleh oksigen, maka penurunan oksigen akan
menyebabkan penurunan oxygen delivery di tingkat seluler dan mengakibatkan berkurangnya
proses fosforilasi oksidatif diikuti penurunan oksidasi sitokrom aa3. Oleh karena itu,
pemantauan status redoks sitokrom aa3 dapat dijadikan indikator adanya kelemahan pada

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 161


Moenadjat

proses metabolisme oksidatif di tingkat seluler dan adanya tissue dysoxia. Meskipun NIRS
dapat diterapkan pada hampir seluruh jaringan, pada umumnya metode ini digunakan untuk
melakukan pemantauan pada jaringan otak dan otot setelah hipoksia pada berbagai jenis
cedera.
Keterbatasan dari NIRS pada penerapan klinik adalah ketidakmampuannya untuk
memeberikan ukuran kuantitatif, yang mana hal tersebut diakibatkan adanya kontaminasi dari
sinar oleh proses scatter dan absorpsi.

Tissue oxygen tension


Pemantauan tekanan oksigen jaringan pada beberapa kondisi klinik nampaknya menjadi
nyata dengan dikembangkannya bentuk miniatur dari implantable Clark electrodes. Suatu
sensor oksigen polarographic memungkinkan dilakukannya pengukuran tekanan parsial
oksigen jaringan (ptiO2), organ, dan cairan tubuh secara langsung dan continuous. Nilai ptiO2
berhubungan dengan tersedianya oksigen di tingkat seluler dan memberikan informasi suplai
oksigen sekaligus beserta utilisasinya pada specific tissue beds.
Tissue oxygen tension ini telah menunjukan keberhasilannya pada berbagai kasus di
intensive care misalnya pada prosedur neuro-surgical. Studi yang dilakukan untuk menentukan
critical threshold ptiO2 setelah suatu traumatic brain injury menunjukan bahwa kadar oksigenasi
absolut di regio substansi alba memberikan suatu reliable predictor dari neurological outcome.
Organ seperti otak memang tidak selalu mudah diakses, oleh karenanya tidak cocok untuk
dijadikan suatu sarana pemantauan klinik yang sifatnya rutin. Dalam hal ini, pemantauan
tekanan parsial pada otot dapat dijadikan suatu reliable indicator awal terhadap adanya
stagnasi aliran darah dan adanya tissue dysoxia. Hal ini dapat diterapkan karena memberikan
respons pada beberapa kasus seperti syok hemoragik, resusitasi, termasuk untuk pemantauan
traktus gastrointestinal. Keterbatasan dari penggunaan polarographic oxygen probes ini antara
lain adalah dependensi dari aliran pada elektroda pada temperatur jaringan, kesalahan pada
interpretasi ptiO2 sering terjadi pada jaringan yang mengalami cedera dan edema pada
pemasangan elektroda (iatrogenik) atau intravascular misplacement dari oxygen sensors.

Bahan Bacaan
1. Arturson G. Pathophysiology of the burn wound and pharmacological treatment. Burns 1996; 21 (4): 255-274.
2. American College of Chest Physicians / Society of Critical Care Medicine Consensus Conference: Definitions
for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med 1992;
20 (6): 864-874.
3. Bone RC, Balk R, Slotman G, et al. Adult respiratory distress syndrome, sequence and importance of
development of multiple organ failure. Chest 1992; 101: 320-326.
4. Dimick, AR. Burn and cold injury. In: Hardys textbook of surgery. Philadelphia: JB Lippincott Company, 1983;
177.
5. Editorial: Definitions for sepsis and organ failure. Crit Care Med 1992; 20 (6): 724-726.
6. Hinds CJ, Watson D. Intensive care, a concise textbook. 2nded.London: WB Saunders, 1996.
7. Moran H, Munster AM. Alterations of host defense mechanism in burned patients. Surg Clin. North Am 1987;
67 (1): 47-54.
8. Muller HJ, Herndon DN. The challenge of burns. Lancet 1994; 343: 216-220.
9. Moenadjat, Y. Resusitasi cairan pada luka bakar. Presentasi pada simposium alternatif baru dalam resusitasi
cairan. Jakarta: Unpublished, 1999.
10. The burn wound: its character, closure and complications. Burns 1983; 10:1-8.
11. Sunatrio S. Larutan ringer asetat dalam praktek klinis. Presentasi pada simposium alternatif baru dalam
resusitasi cairan. Jakarta: Unpublished, 1999.
12. Kvetan V. The effect of pressors and inotopes on regulation of cytokine release in shock, Crit.Care and Shock
(1998) 1:26-39
13. Takala J. Splanchnic blood flow in shock and inflammatory states, Crit.Care and Shock (1998) 1:40-45.
14. Cartotto RC, Innes M BA, Musgrave, Melinda A, Gomez M, Cooper AB. How well does the Parkland formula
estimate actual fluid resuscitation volumes? J. Burn care Rehabil volume 23 No 4, July/August 2002, 258-269

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 162


Moenadjat

15. Jeng JC. Controversies in Resuscitation. in Soper NJ. Problems in General Surgery: Burns. 2003, 20(1): p37-
46
16. Rhodes A, Grounds RM, Bennett ED. Hemodynamic Monitoring in Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM. Text book of Critical care 5th ed. p735-740
17. Harvey RA, Champe PC, Mycek MJ. Lippincotts Illustrated Reviews: Pharmacology 2nd ed. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins. 1992
18. The Association of Anaethetists of Great Britain and Ireland. Blood Transfusion and the Anaesthetist: Red
Cell Transfusion. Sept 2001
19. Bhat S, Humphries YM, Gulati S, Rylah B, Olson WE, Twomey J, Parks J, Mozingo DW. The Problems of
Burn Resuscitation Formulae:A Need for a Simplified Guideline. Journal of Burns and Wounds [serial online]
2004;3(1)7 Available from: URL:http://www.journalofburnsandwounds.com]
20. Society of Critical Care Medicine. Guidelines for Granting Privileges for the Performance of Procedures in
Critically Ill Patients. Crit Care Med 1993 Feb; 19(2):275-278
21. Rosenberg DI, Moss MM, The American College of Critical Care Medicine of the Society of Critical Care
Medicine. Guidelines and levels of care for pediatric intensive care units. Crit Care Med 2004 Vol. 32, No. 10.
22. Hollenberg SM, Ahrens TS, Annane D, Astiz ME, Chalfin DB, Dasta JF, et al. Practice parameters for
hemodynamic support of sepsis in adult patients: 2004 update. Crit Care Med 2004 Vol. 32, No. 9.
23. American College of Critical Care Medicine of the Society of Critical Care Medicine Guidelines for ICU
Admission, Discharge, and Triage. Crit Care Med 1999 Mar; 27(3):633-638.
24. Jaimovich DG, The Committee on Hospital Care and Section on Critical Care. Admission and discharge
guidelines for the pediatric patient requiring intermediate care. Crit Care Med 2004 Vol. 32, No. 5
25. Wolfe SE. Pathophysiology of Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society
(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.
26. Leng CH. Airway Management & Fluid Resuscitation. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society
(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.
27. Woon Y. Invasive Monitoring in Major Burn Injury Patients. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing
Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.
28. Angus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, Clermont G, Carcillo J, Pinsky MR. Epidemiology of severe sepsis
in the United States: analysis of incidence, outcome, and associated costs of care. Crit Care Med.
2001;29:13031310.[Medline]
29. Angus DC, Wax RS. Epidemiology of sepsis: an update. Crit Care Med. 2001;29(7 suppl): S109
S116.[Medline]
30. Task Force of the American College of Critical Care Medicine, Society of Critical Care Medicine. Practice
parameters for hemodynamic support of sepsis in adult patients in sepsis. Crit Care Med. 1999;27:639
660.[Medline]
31. The International Sepsis Forum. Guidelines for the management of severe sepsis and septic shock. Intensive
Care Med. 2001;27 (suppl 1):S1S134.[Medline]
32. Sessler CN, Shepherd W. New concepts in sepsis. Curr Opin Crit Care. 2002;8:465472.[Medline]
33. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, et al. Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic
shock. N Engl J Med. 2001;345:13681377.[Abstract/Free Full Text]
34. Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. Surviving Sepsis Campaign Management Guidelines Committee.
Surviving Sepsis Campaign guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med.
2004;32:858873.[Medline]
35. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of
innovative therapies in sepsis. The ACCP/SCCM Consensus Conference Committee. American College of
Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine. Chest. 1992;101:16441655.[Abstract]
36. Parrillo JE, Parker MM, Natanson C, et al. Septic shock in humans: advances in the understanding of
pathogenesis, cardiovascular dysfunction, and therapy. Ann Intern Med. 1990;113:227242.[Medline]
37. Hinshaw LB. Sepsis/septic shock: participation of the microcirculation: an abbreviated review. Crit Care Med.
1996;24:10721078.[Medline]
38. Siegemund M, Racovitza I, Ince C. The rationale for vasodilator therapy in sepsis. In: Vincent JL, ed.
Intensive Care Medicine: Annual Update 2002. New York, NY: Springer; 2002:221231.
39. Fink MP. Cytopathic hypoxia: mitochondrial dysfunction as mechanism contributing to organ dysfunction in
sepsis. Crit Care Clin. 2001;17:219237.[Medline]
40. Landry DW, Oliver JA. The pathogenesis of vasodilatory shock. N Engl J Med. 2001;345:588595.[Free
Full Text]
41. Holmes CL, Patel BM, Russell JA, Walley KR. Physiology of vasopressin relevant to management of septic
shock. Chest. 2001;120:9891002.[Abstract/Free Full Text]
42. De Backer D, Creteur J, Preiser JC, Dubois MJ, Vincent JL. Microvascular blood flow is altered in patients
with sepsis. Am J Respir Crit Care Med. 2002;166:98104.[Abstract/Free Full Text]

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 163


Moenadjat

43. Levi M, de Jonge E, van der Poll T. Pathogenesis and treatment of disseminated intravascular coagulation.
Adv Sepsis. 2003;3.
44. Levi R. Sepsis and the coagulation system. Adv Sepsis. 2000;1:1622.
45. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, et al. Efficacy and safety of recombinant human activated protein C for
severe sepsis. N Engl J Med. 2001;344:699709.[Abstract/Free Full Text]
46. Yan SB, Helterbrand JD, Hartman DL, Wright TJ, Bernard GR. Low levels of protein C are associated with
poor outcome in severe sepsis. Chest. 2001;120:915922.[Abstract/Free Full Text]
47. Yan SB, Dhainaut JF. Activated protein C versus protein C in severe sepsis. Crit Care Med. 2001;29(7
suppl):S69S74.[Medline]
48. Ely EW, Kleinpell RM, Goyette RE. Advances in the understanding of clinical manifestations and therapy of
severe sepsis: an update for critical care nurses. Am J Crit Care. 2003; 12:120133.[Abstract/Free Full Text]
49. Dettenmeier P, Swindell B, Stroud M, Arkins N, Howard A. Role of activated protein C in the pathophysiology
of severe sepsis. Am J Crit Care. 2003;12:518524.[Abstract/Free Full Text]
50. Ward N. Anti-inflammatory mediators. In: Sepsis: Pathophysiologic Insights and Current Management.
Proceedings of the 2002 SCCM/ESICM Summer Conference. Society for Critical Care Medicine; 2002:3138.
51. Opal SM. Immune dysregulation and coagulation. In: Sepsis: Pathophysiologic Insights and Current
Management. Proceedings of the 2002 SCCM/ESICM Summer Conference. Society of Critical Care
Medicine; 2002:1723.
52. Vincent JL, Angus DC, Artigas A, et al. Effects of drotrecogin alfa (activated) on organ dysfunction in the
PROWESS trial. Crit Care Med. 2003;31:834840.[Medline]
53. Matthay MA. Severe sepsis: a new treatment with both anticoagulant and anti-inflammatory properties. N
Engl J Med. 2001;344:759762.[Free Full Text]
54. Bernard GR. Drotrecogin alfa (activated) (recombinant human activated protein C) for the treatment of severe
sepsis. Crit Care Med. 2003;31(1 suppl):S85S93.[Medline]
55. Ely EW, Laterre PF, Angus DC, et al. Drotrecogin alfa (activated) administration across clinically important
subgroups of patients with severe sepsis. Crit Care Med. 2003;31:1219.[Medline]
56. Ely EW, Bernard GR, Vincent JL. Activated protein C for severe sepsis. N Engl J Med. 2002;347:1035
1036.[Free Full Text]
57. Bernard G, Artigas A, Dellinger P, et al. Clinical expert round table discussion (session 3) at the Margaux
Conference on Critical Illness: the role of activated protein C in severe sepsis. Crit Care Med. 2001;29(7
suppl):S75S77.[Medline]
58. Kleinpell R. Advances in treating patients with severe sepsis: role of drotrecogin alfa (activated). Crit Care
Nurse. June 2003; 23:1629.[Free Full Text]
59. Kleinpell RM. The role of the critical care nurse in the assessment and management of the patient with
severe sepsis. Crit Care Nurs Clin North Am. 2003;15:2734.[Medline]
60. Sielenkamper A, Kvietys P, Sibbald WJ. Microvascular alterations in sepsis. In: Vincent JL, Carlet J, Opal
SM, eds. The Sepsis Text. New York, NY: Kluwer Academic Publishers; 2002.
61. Krishnagopalan S, Kumar A, Parrillo JE. Myocardial dysfunction in the patient with sepsis. Curr Opin Crit
Care. 2002;8:376388.[Medline]
62. Munt B, Jue J, Gin K, Fenwick J, Tweeddale M. Diastolic filling in human severe sepsis: an
echocardiographic study. Crit Care Med. 1998;26:18291833.[Medline]
63. Court O, Kumar A, Parrillo JE. Clinical review: myocardial depression in sepsis and septic shock. Crit Care.
2002;6:500508.[Medline]
64. Kumar A, Krieger A, Symeoneides S, Parrillo JE. Myocardial dysfunction in septic shock, II: role of cytokines
and nitric oxide. J Cardiothorac Vasc Anesth. 2001;15:485511.[Medline]
65. Kumar A, Haery C, Parrillo JE. Myocardial dysfunction in septic shock, I: clinical manifestation of
cardiovascular dysfunction. J Cardiothorac Vasc Anesth. 2001;15:364376.[Medline]
66. Turner A, Tsamitros M, Bellomo R. Myocardial cell injury in septic shock. Crit Care Med. 1999;27:1775
1780.[Medline]
67. Guedes M, Salgado D, Verdeal J, Resende P, Homena W, Camarozano C. Myocardial cell injury in septic
shock [abstract]. Crit Care Med. 2003;30:A115.
68. Maskin B, Pistillo N, Pereiro M, Artana C, Vinzio M. Correlation between troponin I and tumor necrosis factor-
concentration in septic shock [abstract]. Crit Care Med. 2003;30:A113.
69. Matsuda N, Hattori Y, Akaishi Y, Suzuki Y, Kemmotsu O, Gando S. Impairment of cardiac -adrenoreceptor
cellular signalling by decreased expression of Gs in septic rabbits. Anesthesiology. 2000;93:1465
1473.[Medline]
70. Silverman H, Penaranda R, Orens J, Lee N. Impaired -adrenergic receptor stimulation of cyclic adenosine
monophosphate in human septic shock: association with myocardial hyporesponsiveness to catecholamines.
Crit Care Med. 1993;21:3139.[Medline]

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 164


Moenadjat

71. Metrangolo L, Fiorillo M, Friedman G, et al. Early hemodynamic course of septic shock. Crit Care Med.
1995;23:19711975.[Medline]
72. Vincent JL, Gris P, Coffernils M, et al. Myocardial depression characterizes the fatal course of septic shock.
Surgery. 1992;111:660667.[Medline]
73. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference. Definitions
for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med.
1992;20:864874.[Medline]
74. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al. 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions
Conference. Crit Care Med. 2003;31:12501256.[Medline]
75. Pulmonary Artery Catheter Consensus Conference: consensus statement. New Horiz. 1997;5:175
194.[Medline]
76. Rady MY, Rivers EP, Nowak RM. Resuscitation of the critically ill in the ED: responses of blood pressure,
heart rate, shock index, central venous oxygen saturation, and laktat. Am J Emerg Med. 1996;14:218
225.[Medline]
77. Ander DS, Jaggi M, Rivers E, et al. Undetected cardiogenic shock in patients with congestive heart failure
presenting to the emergency department. Am J Cardiol. 1998;82:888891.[Medline]
78. Wo CC, Shoemaker WC, Appel PL, Bishop MH, Kram HB, Hardin E. Unreliability of blood pressure and heart
rate to evaluate cardiac output in emergency resuscitation and critical illness. Crit Care Med. 1993;21:218
223.[Medline]
79. LeDoux D, Astiz ME, Carpati CM, Rackow EC. Effects of perfusion pressure on tissue perfusion in septic
shock. Crit Care Med. 2000;28:27292732.[Medline]
80. Shoemaker WC, Appel PL, Kram HB, Bishop M, Abraham E. Hemodynamic and oxygen transport monitoring
to titrate therapy in septic shock. New Horiz. 1993;1:145159.[Medline]
81. Hayes MA, Timmins AC, Yau EH, Palazzo M, Hinds CJ, Watson D. Elevation of systemic oxygen delivery in
the treatment of critically ill patients. N Engl J Med. 1994;330:17171722.[Abstract/Free Full Text]
82. Boyd O, Grounds RM, Bennett ED. A randomized clinical trial of the effect of deliberate perioperative
increase of oxygen delivery on mortality in high-risk surgical patients. JAMA. 1993;270:26992707.[Abstract]
83. Shoemaker WC, Appel PL, Kram HB. Hemodynamic and oxygen transport responses in survivors and
nonsurvivors of high-risk surgery. Crit Care Med. 1993;21:977990.[Medline]
84. Gattinoni L, Brazzi L, Pelosi P, et al. A trial of goal-oriented hemodynamic therapy in critically ill patients.
SvO2 Collaborative Group. N Engl J Med. 1995;333:10251032.[Abstract/Free Full Text]
85. Yu M, Levy MM, Smith P, Takiguchi SA, Miyasaki A, Myers SA. Effect of maximizing oxygen delivery on
morbidity and mortality rates in critically ill patients: a prospective, randomized, controlled study. Crit Care
Med. 1993;21:830838.[Medline]
86. Ronco JJ, Fenwick JC, Tweeddale MG, et al. Identification of the critical oxygen delivery for anaerobic
metabolism in critically ill septic and nonseptic humans. JAMA. 1993;270:17241730.[Abstract]
87. Boyd O, Hayes M. The oxygen trail: the goal. Br Med Bull. 1999;55:125139.[Abstract]
88. Friedman G, De Backer D, Shahla M, Vincent JL. Oxygen supply dependency can characterize septic shock.
Intensive Care Med. 1998;24:118123.[Medline]
89. Shibutani K, Komatsu T, Kubal K, Sanchala V, Kumar V, Bizzarri D. Critical level of oxygen delivery in
anesthetized man. Crit Care Med. 1983;11:640643.[Medline]
90. Singarajah C, Carlson R. A review of the role of blood laktat measurements in the ICU. J Intensive Care Med.
1998;13:218228.
91. Walley KR. Hypoxic hypoxia. In: Sibbald WJ, Messmer K, Fink MP, eds. Tissue Oxygenation in Acute
Medicine. New York, NY: Springer; 1998:8197.
92. Polonen P, Hippelainen M, Takala R, Ruokonen E, Takala J. Relationship between intra- and postoperative
oxygen transport and prolonged intensive care after cardiac surgery: a prospective study. Acta Anaesthesiol
Scand. 1997;41:810817.[Medline]
93. Shoemaker WC, Wo CC, Yu S, Farjam F, Thangathurai D. Invasive and noninvasive haemodynamic
monitoring of acutely ill sepsis and septic shock patients in the emergency department. Eur J Emerg Med.
2000; 7:169175.[Medline]
94. Vincent JL. Determination of oxygen delivery and consumption versus cardiac index and oxygen extraction
ratio. Crit Care Clin. 1996;12:9951006.[Medline]
95. Silance PG, Simon C, Vincent JL. The relation between cardiac index and oxygen extraction in acutely ill
patients. Chest. 1994;105:11901197.[Abstract]
96. Yalavatti GS, DeBacker D, Vincent JL. Assessment of cardiac index in anemic patients. Chest.
2000;118:782787.[Abstract/Free Full Text]
97. Bakker J, Gris P, Coffernils M, Kahn RJ, Vincent JL. Serial blood laktat levels can predict the development of
multiple organ failure following septic shock. Am J Surg. 1996;171:221226.[Medline]

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 165


Moenadjat

98. Friedman G, Berlot G, Kahn RJ, Vincent JL. Combined measurements of blood laktat concentrations and
gastric intramucosal pH in patients with severe sepsis. Crit Care Med. 1995;23:11841193.[Medline]
99. Martin C, Viviand X, Leone M, Thirion X. Effect of norepinephrine on the outcome of septic shock. Crit Care
Med. 2000;28: 27582765.[Medline]
100. Gutierrez G, Wulf ME. Lactic acidosis in sepsis: a commentary. Intensive Care Med. 1996;22:616.[Medline]
101. Venkatesh B, Morgan T. Tissue laktat concentrations in critical illness. In: Vincent JL, ed. Intensive Care
Medicine. New York, NY: Springer; 2002:587599.
102. Vincent JL. The available clinical tools: oxygen-derived variables, laktat and pHi. In: Tissue Oxygenation in
Acute Medicine. New York, NY: Springer; 2002:193203.
103. James JH, Luchette FA, McCarter FD, Fischer JE. Laktat is an unreliable indicator of tissue hypoxia in injury
or sepsis. Lancet. 1999;354:505508.[Medline]
104. Luchette FA, Jenkins WA, Friend LA, Su C, Fischer JE, James JH. Hypoxia is not the sole cause of laktat
production during shock. J Trauma. 2002;52:415419.[Medline]
105. Marik PE. Sublingual capnography: a clinical validation study. Chest. 2001;120:923927.[Abstract/Free
Full Text]
106. Edwards JD, Mayall RM. Importance of the sampling site for measurement of mixed venous oxygen
saturation in shock. Crit Care Med. 1998;26:13561360.[Medline]
107. Rivers EP, Ander DS, Powell D. Central venous oxygen saturation monitoring in the critically ill patient. Curr
Opin Crit Care. 2001;7:204211.[Medline]
108. Reilly PM, Wilkins KB, Fuh KC, Haglund U, Bulkley GB. The mesenteric hemodynamic response to
circulatory shock: an overview. Shock. 2001;15:329343.[Medline]
109. Ince C, Sinaasappel M. Microcirculatory oxygenation and shunting in sepsis and shock. Crit Care Med.
1999;27:13691377.[Medline]
110. Dantzker DR. The gastrointestinal tract: the canary of the body? JAMA. 1993;270: 12471248.[Medline]
111. Ruffolo DC, Headley JM. Regional carbon dioxide monitoring: a different look at tissue perfusion. AACN Clin
Issues. 2003;14: 168175.[Medline]
112. Marik PE. Gastric intramucosal pH: a better predictor of multiorgan dysfunction syndrome and death than
oxygen-derived variables in patients with sepsis. Chest. 1993;104:225229.[Abstract]
113. Poeze M, Takala J, Greve JW, Ramsay G. Pre-operative tonometry is predictive for mortality and morbidity in
high-risk surgical patients. Intensive Care Med. 2000;26: 12721281.[Medline]
114. Gutierrez G, Palizas F, Doglio G, et al. Gastric intramucosal pH as a therapeutic index of tissue oxygenation
in critically ill patients. Lancet. 1992;339:195199.[Medline]
115. Gomersall CD, Joynt GM, Freebairn RC, Hung V, Buckley TA, Oh TE. Resuscitation of critically ill patients
based on the results of gastric tonometry: a prospective, randomized, controlled trial. Crit Care Med.
2000;28:607614.[Medline]
116. Sato Y, Weil MH, Tang W. Tissue hypercarbic acidosis as a marker of acute circulatory failure (shock). Chest.
1998;114:263274.[Abstract/Free Full Text]
117. Uhlig T, Pestel G, Reinhart K. Gastric mucosal tonometry in daily ICU practice. In: Vincent JL, ed. Intensive
Care Medicine: Annual Update 2002. New York, NY: Springer; 2002:632637.
118. Kellum JA, Rico P, Garuba AK, Pinsky MR. Accuracy of mucosal pH and mucosal-arterial carbon dioxide
tension for detecting mesenteric hypoperfusion in acute canine endotoxemia. Crit Care Med. 2000;28:462
466.[Medline]
119. Levy B, Gawalkiewicz P, Vallet B, Briancon S, Nace L, Bollaert PE. Gastric capnometry with air-automated
tonometry predicts outcome in critically ill patients. Crit Care Med. 2003;31:474480.[Medline]
120. Miller PR, Kincaid EH, Meredith JW, Chang MC. Threshold values of intramucosal pH and mucosal-arterial
CO2 gap during shock resuscitation. J Trauma. 1998;45:868872.[Medline]
121. Vallet B, Tavernier B, Lund N. Assessment of tissue oxygenation in the critically-ill. Eur J Anaesthesiol.
2000;17:221229.[Medline]
122. Marik P, Lorenzana A. Effect of tube feedings on the measurement of gastric intra-mucosal pH. Crit Care
Med. 1996;24:14981500.[Medline]
123. Levy B, Perrigault PF, Gawalkiewicz P, et al. Gastric versus duodenal feeding and gastric tonometric
measurements. Crit Care Med. 1998;26:19911994.[Medline]
124. Marshall A, West S. Gastric tonometry and enteral nutrition: a possible conflict in critical care nursing
practice. Am J Crit Care. 2003;12:349356.[Abstract/Free Full Text]
125. Povoas HP, Weil MH, Tang W, Moran B, Kamohara T, Bisera J. Comparisons between sublingual and gastric
tonometry during hemorrhagic shock. Chest. 2000;118: 11271132.[Abstract/Free Full Text]
126. Povoas HP, Weil MH, Tang W, Sun S, Kamohara T, Bisera J. Decreases in mesenteric blood flow associated
with increases in sublingual PCO2 during hemorrhagic shock. Shock. 2001;15:398402.[Medline]

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 166


Moenadjat

127. Jin X, Weil MH, Sun S, Tang W, Bisera J, Mason EJ. Decreases in organ blood flows associated with
increases in sublingual PCO2 during hemorrhagic shock. J Appl Physiol. 1998;85:23602364.[Abstract/Free
Full Text]
128. Rackow EC, ONeil P, Astiz ME, Carpati CM. Sublingual capnometry and indexes of tissue perfusion in
patients with circulatory failure. Chest. 2001;120:16331638.[Abstract/Free Full Text]
129. Weil MH, Nakagawa Y, Tang W, et al. Sublingual capnometry: a new noninvasive measurement for diagnosis
and quantitation of severity of circulatory shock. Crit Care Med. 1999;27:12251229.[Medline]
130. Pernat A, Weil MH, Tang W, et al. Effects of hyper- and hypoventilation on gastric and sublingual PCO2. J
Appl Physiol. 1999;87: 933937.[Abstract/Free Full Text]
131. Bernardin G, Lucas P, Hyvernat H, Deloffre P, Mattei M. Influence of alveolar ventilation changes on
calculated gastric intramucosal pH and gastric-arterial PCO2 difference. Intensive Care Med. 1999;25:269
273.[Medline]
132. Johnson BA, Weil MH. Redefining ischemia due to circulatory failure as dual defects of oxygen deficits and of
carbon dioxide excesses. Crit Care Med. 1991;19:14321438.[Medline]
133. Schlichtig R, Mehta N, Gayowski TJ. Tissue-arterial PCO2 difference is a better marker of ischemia than
intramural pH (pHi) or arterial pH-pHi difference. J Crit Care. 1996;11:5156.[Medline]
134. Totapally B, Fakioglu H, Torbati D, Wolsdorf J. Esophageal capnometry during hemorrhagic shock and after
resuscitation in rats. Crit Care. 2003;7:7984.[Medline]
135. Nakagawa Y, Weil MH, Tang W, et al. Sublingual capnometry for diagnosis and quantitation of circulatory
shock. Am J Respir Crit Care Med. 1998;157:18381843.[Medline]
136. Vincent JL. Hemodynamic support in septic shock. Intensive Care Med. 2001;27(suppl 1): S80S92.[Medline]
137. Grocott M, Hamilton M. Resuscitation fluids. Vox Sang. 2002;82:18.[Medline]
138. Kellum JA. Saline-induced hyperchloremic metabolic acidosis. Crit Care Med. 2002;30:259261.[Medline]
139. Kellum JA. Fluid resuscitation and hyper-chloremic acidosis in experimental sepsis: improved short-term
survival and acid-base balance with Hextend compared with saline. Crit Care Med. 2002;30:300
305.[Medline]
140. Ernest D, Belzberg AS, Dodek PM. Distribution of normal saline and 5% albumin infusions in septic patients.
Crit Care Med. 1999;27:4650.[Medline]
141. Martin G, Bennett-Guerrero E, Wakeling H, et al. A prospective, randomized comparison of
thromboelastographic coagulation profile in patients receiving laktatd Ringers solution, 6% hetastarch in a
balanced-saline vehicle, or 6% hetastarch in saline during major surgery. J Cardiothorac Vasc Anesth.
2002;16:441446.[Medline]
142. Boldt J, Haisch G, Suttner S, Kumle B, Schellhaass A. Effects of a new modified, balanced hydroxyethyl
starch preparation (Hextend) on measures of coagulation. Br J Anaesth. 2002;89:722728.[Abstract/Free
Full Text]
143. Wilkes MM, Navickis RJ. Patient survival after human albumin administration: a meta-analysis of randomized,
controlled trials. Ann Intern Med. 2001;135:149164.[Abstract/Free Full Text]
144. Schierhout G, Roberts I. Fluid resuscitation with colloid or crystalloid solutions in critically ill patients: a
systematic review of randomised trials. BMJ. 1998;316:961964.[Abstract/Free Full Text]
145. Choi PT, Yip G, Quinonez LG, Cook DJ. Crystalloids vs colloids in fluid resuscitation: a systematic review.
Crit Care Med. 1999;27:200210.[Medline]
146. Wilkes M, Navickia R. Does albumin infusion affect survival? Review of meta-analytic findings. In: Vincent JL,
ed. Intensive Care Medicine. New York, NY: Springer; 2002:454464.
147. Webb AR. The appropriate role of colloids in managing fluid imbalance: a critical review of recent meta-
analytic findings. Crit Care. 2000;4(suppl 2):S26S32.[Medline]
148. Pearl RG, Pohlman A. Understanding and managing anemia in critically ill patients. Crit Care Nurse.
December 2002;22 (suppl):114.
149. Fernandes CJ Jr, Akamine N, De Marco FV, de Souza JA, Lagudis S, Knobel E. Red blood cell transfusion
does not increase oxygen consumption in critically ill septic patients. Crit Care. 2001;5:363367.
150. Spahn D. The optimal and critical hemoglobin in health and acute illness. In: Sibbald WJ, Messmer K, Fink M,
eds. Tissue Oxygenation in Acute Medicine. New York, NY: Springer; 2002:263275.
151. Hill SR, Carless PA, Henry DA, et al. Transfusion thresholds and other strategies for guiding allogeneic red
blood cell transfusion. Cochrane Database Syst Rev. 2002:CD002042.
152. Hebert PC. Anemia and red cell transfusion in critical care. Transfusion Requirements in Critical Care
Investigators and the Canadian Critical Care Trials Group. Minerva Anestesiol. 1999;65:293304.[Medline]
153. Hebert PC, Yetisir E, Martin C, et al. Is a low transfusion threshold safe in critically ill patients with
cardiovascular diseases? Crit Care Med. 2001;29:227234.[Medline]
154. De Backer D, Vincent JL. Norepinephrine administration in septic shock: how much is enough? Crit Care
Med. 2002;30:13981399.[Medline]
155. Marik PE. Low-dose dopamine: a systematic review. Intensive Care Med. 2002;28:877883.[Medline]

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 167


Moenadjat

156. Kellum J, Decker J. Use of dopamine in acute renal failure: a meta-analysis. Crit Care Med. 2001;29:1526
1531.[Medline]
157. De Backer D, Creteur J, Silva E, Vincent JL. Effects of dopamine, norepinephrine, and epinephrine on the
splanchnic circulation in septic shock: which is best? Crit Care Med. 2003;31:16591667.[Medline]
158. Silva E, DeBacker D, Creteur J, Vincent JL. Effects of vasoactive drugs on gastric intramucosal pH. Crit Care
Med. 1998;26:17491758.[Medline]
159. Jakob SM, Ruokonen E, Takala J. Effects of dopamine on systemic and regional blood flow and metabolism
in septic and cardiac surgery patients. Shock. 2002;18:813.[Medline]
160. Vincent JL. Correcting the deficit: fluids, pressors and RBCs in resuscitation. In: Sepsis: Pathophysiologic
Insights and Current Management: Proceedings of the 2002 SCCM/ESICM Summer Conference. Society of
Critical Care Medicine; 2002:103111.
161. Reinelt H, Radermacher P, Kiefer P, et al. Impact of exogenous -adrenergic receptor stimulation on
hepatosplanchnic oxygen kinetics and metabolic activity in septic shock. Crit Care Med. 1999;27:325
331.[Medline]
162. Meier-Hellmann A, Bredle DL, Specht M, Spies C, Hannemann L, Reinhart K. The effects of low-dose
dopamine on splanchnic blood flow and oxygen uptake in patients with septic shock. Intensive Care Med.
1997;23:3137.[Medline]
163. Marik PE, Mohedin M. The contrasting effects of dopamine and norepinephrine on systemic and splanchnic
oxygen utilization in hyperdynamic sepsis. JAMA. 1994;272:13541357.[Abstract]
164. Levy B, Bollaert PE, Lucchelli JP, Sadoune LO, Nace L, Larcan A. Dobutamine improves the adequacy of
gastric mucosal perfusion in epinephrine-treated septic shock. Crit Care Med. 1997;25:16491654.[Medline]
165. Meier-Hellmann A, Reinhart K, Bredle DL, Specht M, Spies CD, Hannemann L. Epinephrine impairs
splanchnic perfusion in septic shock. Crit Care Med. 1997;25:399404.[Medline]
166. Duranteau J, Sitbon P, Teboul JL, et al. Effects of epinephrine, norepinephrine, or the combination of
norepinephrine and dobutamine on gastric mucosa in septic shock. Crit Care Med. 1999;27:893
900.[Medline]
167. Landgarten MJ, Kumar A, Parrillo JE. Cardiovascular dysfunction in sepsis and septic shock. Curr Treat
Options Cardiovasc Med. 2000;2:451459.[Medline]
168. Flancbaum L, Dick M, Dasta J, Sinha R, Choban P. A dose-response study of phenylephrine in critically ill,
septic surgical patients. Eur J Clin Pharmacol. 1997;51:461465.[Medline]
169. Tsuneyoshi I, Yamada H, Kakihana Y, Nakamura M, Nakano Y, Boyle WA III. Hemodynamic and metabolic
effects of low-dose vasopressin infusions in vasodilatory septic shock. Crit Care Med. 2001;29:487
493.[Medline]
170. Russell JA. Vasopressin in septic shock: clinical equipoise mandates a time for restraint. Crit Care Med.
2003;31:27072709.[Medline]
171. Klinzing S, Simon M, Reinhart K, Bredle DL, Meier-Hellmann A. High-dose vasopressin is not superior to
norepinephrine in septic shock. Crit Care Med. 2003;31:26462650.[Medline]
172. Parker MM. Myocardial dysfunction in sepsis: injury or depression? Crit Care Med. 1999;27:2035
2036.[Medline]
173. Kontani M, Izumiya Y, Shimizu M, et al. Acute reversible myocardial depression associated with sepsis. Intern
Med. 2003;42:6065.[Medline]
174. Martin C, Viviand X, Arnaud S, Vialet R, Rougnon T. Effects of norepinephrine plus dobutamine or
norepinephrine alone on left ventricular performance of septic shock patients. Crit Care Med. 1999;27:1708
1713.[Medline]
175. Kollef MH. Inadequate antimicrobial treatment: an important determinant of outcome for hospitalized patients.
Clin Infect Dis. 2000;31(suppl 4):S131S138.[Medline]
176. Kollef MH, Sherman G, Ward S, Fraser VJ. Inadequate antimicrobial treatment of infections: a risk factor for
hospital mortality among critically ill patients. Chest. 1999;115:462474.[Abstract/Free Full Text]
177. Riegert-Johnson DL, Volcheck GW. The incidence of anaphylaxis following intra-venous phytonadione
(vitamin K1): a 5-year retrospective review. Ann Allergy Asthma Immunol. 2002;89:400406.[Medline]

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 168


Moenadjat

Bab IV

3. Resusitasi Saluran Cerna


pada Luka Bakar
Samuel Oetoro
Yefta Moenadjat

D engan wawasan SIRS dan MODS, hipoperfusi splangnikus menjadi fokus utama pada
beberapa tahun terakhir karena mukosa saluran cerna mengalami disrupsi sebagai akibat
langsung dari penurunan sirkulasi (syok). Gangguan integrasi mukosa saluran cerna
menyebabkan disfungsi berbagai organ dan karenanya disrupsi mukosa memperoleh atribut
motor penggerak MODS.
Inti dari disrupsi mukosa ini adalah proses iskemia jaringan yang terjadi karena
berkurangnya perfusi pada syok. Sebagaimana diketahui, sirkulasi splangnikus merupakan
kontributor utama untuk sirkulasi sistemik khususnya sirkulasi sentral pada syok hipovolemia;
di sisi lain organ dan jaringan yang merupakan teritori peredaran sirkulasi splangnikus
mengalami hipoperfusi dan mengalami hipoksia; timbul berbagai manifestasi klinik dari yang
paling ringan: 1) gangguan proses digesti atau dikenal dengan sindrom malabsorpsi,
intoleransi dan diare, 2) enterokolitis 3) translokasi bakteri dan 4) perdarahan saluran cerna
yang sebelumnya dikenal dengan sebutan ulkus stres atau Curlings ulcer. Bukan hanya
mukosa, namun lamina muskularis ikut mengalami hipoksia dan memberikan gejala paralisis
atau lebih dikenal dengan istilah ileus.

Ternyata, beberapa tahun terakhir, bersamaan dengan berkembangnya teori SIRS dan
MODS diketahui bahwa beberapa tindakan yang selama ini dilakukan justru memperberat
gangguan integritas bahkan vitalitas mukosa saluran cerna, antara lain memuasakan pasien.
- Beberapa penelitian dilakukan membuktikan bahwa dengan memuasakan pasien, atrofi
mukosa justru terjadi; sementara pada pasien-pasien yang tidak dipuasakan, vitalitas
mukosa saluran cerna dapat dipertahankan. Hal ini disebabkan stimulasi oleh bolus yang
berada di dalam lumen merangsang sirkulasi kapiler submukosa.
- Pemberian antasida maupun antagonis reseptor H2 yang bertujuan mencegah ulkus stres
akan menyebabkan suasana alkali di dalam lumen saluran cerna. Diketahui bahwa
suasana asam justru menguntungkan dalam konteks pertahanan terhadap bakteri yang
masuk. Asam lambung bertindak sebagai bakterisid kuat yang akan kehilangan daya
bakterisidnya bila diberikan antasida maupun antagonis reseptor H2. Dengan hilangnya
daya bakterisid, pertumbuhan bakteri pathogen dan keseimbangan flora normal saluran
cerna akan terganggu; adanya gangguan integritas mukosa merupakan port dentre
bakteri pathogen maupun bakteri komensal yang terganggu keseimbangannya kemudian
berubah menjadi oportunistik; fenomena ini dikenal dengan istilah translokasi bakteri. Disisi
lain, melalui beberapa penelitian dibuktikan bahwa hiperasiditas lambung yang diduga
berperan sebagai penyebab ulkus stres tidak pernah ada atau terjadi. Teori lama
menyebabkan adanya stres pada trauma akan meningkatkan kadar katekolamin dan
hormon stres lainnya yang akan menyebabkan stimulasi pada hipofisis yang selanjutnya
akan menstimulir sel-sel parietal memproduksi asam lambung lebih dari biasanya
(hiperasiditas). Teori terakhir menyebutkan bahwa penurunan sirkulasi ke splangnikus
menyebabkan gangguan perfusi ke saluran cerna, sehingga sel-sel parietal tidak mampu
memproduksi asam lambung dalam jumlah yang normal. Tampaknya teori yang terakhir

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 169


Moenadjat

lebih dapat diterima dan dapat menjelaskan mengapa tidak pernah dijumpai hiperasiditas
lambung.
- Pemberian antibiotika poten berspektrum luas akan membunuh bakteri termasuk flora
normal saluran cerna. Semakin banyak bakteri dibunuh, semakin banyak toksin dilepas
dari dinding sel bakteri. Toksin yang dilepas masuk ke dalam sirkulasi menyebabkan
kondisi toksemia (sepsis). Perubahan flora normal saluran cerna terjadi, bakteri mengalami
translokasi masuk ke sirkulasi melalui port dentree (disrupsi mukosa) menyebabkan
bakteremia (sepsis). Pemberian antibiotika yang bertujuan membunuh bakteri anaerob
berperan pula dalam hal menyebabkan berlangsungnya translokasi bakteri. Bakteri
anaerob berperan sebagai barrier usus menjaga invasi bakteri patogen menembus
mukosa saluran cerna untuk masuk ke sirkulasi. Dengan semakin banyak bakteri anaerob
dibunuh, semakin besar peluang translokasi bakteri terjadi. Sepsis dimungkinkan pula
terjadi akibat penurunan fungsi Gastrointestinal Associated Lymphoid Tissue (GALT)
akibat hipoperfusi.

Manifestasi dari hipoperfusi splangnikus dapat diketahui melalui pemantauan klinik yang
sangat mudah dikerjakan, yaitu pemeriksaan kualitas dan kuantitas cairan lambung (Gastric
Residual Volume, GRV) melalui pipa nasogastrik (NG-Tube).

Gambar 148. Pada pelaksanaan resusitasi, pemasangan pipa


nasogastrik merupakan indikasi untuk melakukan penilaian fungsi
saluran cerna: dengan mengamati kualitas dan kuantitas aspirat.
Selanjutnya, pipa nasogastrik ini digunakan sebagai sarana
pemberian Nutrisi Enteral yang berperan mencegah terjadinya
atrofi mukosa saluran cerna. Foto: koleksi pribadi.

Masukkan 50mL cairan dextrose 5% melalui pipa nasogastrik, lalu pipa disumbat (klem,
atau sarana lainnya). Setelah satu jam, lakukan aspirasi cairan lambung 15. Perhatikan kualitas
dan kuantitas cairan aspirat. Cairan merah kehitaman atau bahkan bewarna hitam seperti kopi
menandakan adanya perdarahan saluran cerna, atau iskemia mukosa. Kuantitas cairan aspirat
menggambarkan pasase saluran cerna:
1. GRV <150 mL per jam menggambarkan pasase saluran cerna baik atau ada
gangguan ringan
2. GRV >200 - <400 mL menggambarkan adanya gangguan pasase moderat
3. GRV >400 mL menggambarkan gangguan pasase saluran cerna yang cukup berat
dan dicurigai adanya ileus

15Sebagian ada yang berpendapat: tidak melakukan aspirasi karena pada saat melakukan aspirasi akan
menghisap mukosa sehingga ujung pipa tersumbat dan menimbulkan cedera iatrogenik. Kelompok ini
menganjurkan untuk membiarkan cairan lambung keluar secara pasif mengandalkan gaya gravitasi.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 170


Moenadjat

Penatalaksanaan
Dengan adanya hipoperfusi splangnikus yang menyebabkan atribut gut is a motor of
MODS; dengan sendirinya manajemen resusitasi mencakup treatment terhadap saluran cerna
yang berorientasi pada pencegahan terjadinya disrupsi mukosa dan atau memperkecil
kemungkinan timbul-berkembangnya MODS sebagai konsekuensi dari gangguan integritas
mukosa saluran cerna.
Beberapa tahun terakhir, manajemen saluran cerna menjadi bagian penting dalam rangkaian
resusitasi luka bakar fase akut ini. Mengacu pada patofisiologi gangguan sirkulasi diikuti oleh
berkurangnya perfusi ke saluran cerna, diyakini bahwa manajemen saluran cerna ini merupakan
suatu bagian integral dari rangkaian resusitasi.
Manajemen resusitasi saluran cerna diuraikan sebagai berikut: 1) To feed the gut, 2)
mempertahankan lingkungan dalam kondisi se-fisiologik mungkin dengan menghindari beberapa
hal yang selama ini dilakukan, belakang hari diketahui ternyata merupakan tindakan yang tidak
memiliki evidence based-medicine bahkan irasional merupakan bagian dari do no harm).

To feed the gut


Iskemia mukosa berlanjut menjadi nekrosis dan atrofi bila pasien dipuasakan. Resusitasi
saluran cerna terdiri dari serangkaian tindakan yang berupaya mencegah berlanjutnya disrupsi
mukosa dengan merangsang sirkulasi submukosa dengan pemberian Nutrisi Enteral melalui
pipa nasogastrik (bertujuan to feed the gut). Pemberian nutrisi yang bertujuan sebagai sarana
to feed the gut ini diberikan dengan kalori rendah dan jumlah kecil, dalam bentuk cairan.
Pemberiannya dilakukan melalui feeding pump atau secara tetesan perlahan mengandalkan
gaya gravitasi.

Komposisi seimbang:
Yang dimaksud dengan komposisi seimbang adalah pemberian nutrisi dengan komposisi
karbohidrat protein dan lemak yang tidak terlalu tinggi, mencegah terjadinya overfeeding,
mengandalkan energi terutama dari karbohidrat.

Karbohidrat 50-60%
Protein 10-15% atau 1-1.5g
Lipid 25-30% atau sisanya

Bahan Bacaan
1. Moldawer LL, Minter RM, Rectenwald III JE. Emerging evidence of a more complex role for proinflammatory
and antiinflammatory cytokines in the sepsis response. In: Baue, AE, Faist, E, Fry, DE. Multiple organ failure,
pathophysiology, prevention and therapy. Springer, 2000; p: 150.
2. Moore FA. The effective use of enteral and parenteral nutrition. J Crit Care Nutr. 2003; 5(1):17-22.
3. Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition. Consensus on Enteral Nutrition. 2004
4. Omura K, Hiran, K, Kanehira E, Kaito K, Tamura M, Nishida S, Kawakami K, Watanabe Y. Small Amount of
Low-Residue Diet with Parenteral Nutrition can Prevent Decreases in Intestinal Mucosal Integrity, MD
Consult-Journal Article, http://home.mdconsult.com/
5. Oetoro S, Permadhi I, Witjaksono F. Perubahan metabolisme pada luka bakar. Dalam: Moenadjat, Y. Luka
Bakar. Pengetahuan klinik praktis, edisi revisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. halaman
6. Oetoro S. Pengaruh pemberian nutrisi enteral dini terhadap stres metabolisme penderita luka bakar di ULB
RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 1999-2000. Tesis magister sains ilmu gizi klinik.Jakarta: FKUI. 2001.
7. Van den Berghe G, Wouters P, Weekers F, Verwaest C, Bruyninckx F, Schetz M, Vlasselaers D, Ferdinande
P, Lauwers P, and Bouillon R. Intensive insulin therapy in the critically ill patients. N Engl J Med 345: 1359-
1367, 2001[Abstract/Free Full Text]
8. Van Den Berghe G, Wouters PJ, Bouillon R, Weekers F, Verwaest C, Schetz M, Vlasselaers D, Ferdinande
P, Lauwers P. Outcome benefit of intensive insulin therapy in the critically ill: Insulin dose versus glycemic
control. Crit Care Med. 2003 Feb;31:359-66

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 171


Moenadjat

9. Myers, SR, McGuinness OP, Neal DW, and Cherrington AD. Intra-portal glucose delivery alters the
relationship between net hepatic glucose uptake and the insulin concentration. J Clin Invest 87: 930-939,
1991[ISI][Medline].
10. Heyland DK. Nutrition Support in Critically Ill Patient. In Evidence-based Critical Care Medicine, MD Consult-
Journal Article, http://home.mdconsult.com/
11. Maki DG, Rolandelli RH, Shronts EP, Warden GD. Enteral nutrition for the septic patient: Timing of feeding
and selection of formula. J Crit Care Nutr. 2003; 5(1):4-12.
12. Moenadjat Y. Pro & con Arginine. Makalah, disampaikan pada Simposium Nutri Indonesia 2004.
13. Wahyuprajitno B. The strategy management of sepsis-SIRS in intensive care. Proceeding book: Pertemuan
Ilmiah Tahunan (PIT) I Perhimpunan Patobiologi Indonesia. Scientific approach on the management of
sepsis-SIRS. Surabaya, 2003.
14. Heyland DK, Novak F, Drover JW, Jain M, Su X, Suchner U. Should immunonutrition become routine in
critically ill patients? A systematic review of the evidence. JAMA. 2001 Aug 22-29; 286(8): 944-53. Available
in website: http://www.ccforum.com/pubmed/11509059
15. Heyland DK, Novak F. Immunonutrition in the critically ill patient: More harm than good?. JPEN (2001)
25(2).S51-6.
16. Heyland DK. Immunonutrition in the critically ill patient: Putting the cart before the horse? Invited review. Nutr
in clin practice 17:267-272; October 2002.
17. McCowen KC, Bastrian BR. Immunonutrition in critical illness. Editorial. Nutr in clin practice 17:265-266;
October 2002.
18. Bertolini G, Iapichino G, Radrizzani D, Facchini R, Simini B, Bruzzuno P, et al. Early enteral immunonutrition
in patients with severe sepsis. Resuls of an interim analysis of a RCT. Intensive Care Med (2003) 29:834-
840. [ISI][Medline]
19. 3rd Asia Pacific consensus in critical care medicine. Nutritional support in critically ill patients. Bali; 2000.
20. Moenadjat Y. Burn: Recent Diagnosis, Evaluation & Treatment. Makalah, disampaikan pada acara Health
and Wellnes: 24 hrs Primary care 2004.
21. Corish CA. Symposium on Nutrition and surgical practice Pre-operative nutritional assessment. Proceedings
of the Nutrition Society (1999), 58, 821829
22. Burn Modules: Metabolic abnormalities in Burn Patients. Available in websites: http://www.burnsurgery.org
23. Burn Modules: Nutritional Support of Burn Patients. Available in websites: http://www.burnsurgery.org
24. Garcia-de-Lorenzo A. Ortiz-Leyba C. Planas M. Montejo JC. Nunez R. Ordonez FJ. Aragon C. Jimenez FJ.
Parenteral administration of different amounts of branch-chain amino acids in septic patients: clinical and
metabolic aspects. Critical Care Medicine 1997;25(3):418-24.
25. Church JM, Hill GL: Assessing the efficacy of intravenous nutrition in general surgical patients: Dynamic
nutritional assessment with plasma proteins. JPEN 1987; 11:135-139

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 172


Moenadjat

Bab V

Tatalaksana Nutrisi pada Luka Bakar


Samuel Oetoro
Fiastuty Witjaksono
Inge Permadhi

P enderita luka bakar, membutuhkan perhitungan kebutuhan kalori yang berbeda dengan
orang normal. Hal ini disebabkan karena umumnya penderita luka bakar mengalami
keadaan hipermetabolik. Beberapa kondisi di bawah ini berpengaruh dan dapat memperberat
kondisi hipermetabolik yang sudah ada.

1. Status gizi penderita, massa bebas lemak, umur, jenis kelamin dan luas permukaan
tubuh
2. Riwayat penyakit sebelumnya seperti diabetes melitus, penyakit hati berat, penyakit
ginjal dan lain-lain.
3. Luas dan derajat luka bakar
4. Suhu dan kelembaban ruangan (memengaruhi kehilangan panas melalui evaporasi)
5. Aktivitas fisik dan fisioterapi
6. Penggantian balutan
7. Nyeri dan kecemasan
8. Penggunaan obat-obatan tertentu dan pembedahan

Dalam menentukan kebutuhan kalori basal pasien, yang paling ideal adalah dengan
mengukur kebutuhan kalori secara langsung menggunakan indirect calorimetry, karena alat ini
telah memperhitungang beberapa faktor seperti berat badan, jenis kelamin, luas luka bakar,
luas permukaan tubuh, adanya infeksi dll. Untuk menghitung kebutuhan kalori total maka harus
ditambahkan faktor stres sebesar 20-30%. Penggunaan Indirect calorimety juga berguna untuk
menilai Respiratory Qoutient (RQ) yaitu efektifitas utilisasi zat gizi yang diberikan, sehingga
dapat menghindarkan pemberian kalori yang terlalu sedikit atau terlalu banyak. Sebagai contoh
bila RQ>1, berarti jumlah kalori yang diberikan perlu dikurangi atau dengan menurunkan rasio
karbohidrat / lipid, sedangkan bila RQ<0,8 menggambarkan pasien mengalami defisit energi
dan perlu peningkatan asupan kalori.
Sayangnya, jarang rumah sakit yang dilengkapi oleh alat ini, oleh karena itu terdapat
kurang lebih 25 ekuasi matematika untuk memprediksi kebutuhan kalori penderita. Salah satu
yang direkomendasikan adalah perhitungan kebutuhan kalori basal dengan formula Harris
Benedict yang melibatkan faktor berat badan (BB), tinggi badan (TB) dan umur (U). Sedangkan
untuk kebutuhan kalori total perlu dilakukan modifikasi formula dengan menambahkan faktor
aktivitas fisik (AF) dan faktor stres (FS).

Pria : 66 + (13,7 x BB) + (5 x TB) (6,8 x U) x AF x FS


Wanita : 665 + (9,6 x BB) + (1,8 x TB) (4,7 x U) x AF x FS

Perhitungan kebutuhan kalori pada penderita luka bakar perlu mendapatkan perhatian
khusus, karena asupan kalori akan berakibat penyembuhan luka yang lama, juga
meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas. Di sisi lain, kelebihan asupan kalori
(overfeeding) dapat menyebabkan hiperglikemia, perlemakan hati atau hiperkapnia akibat
peningkatan produksi CO2.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 173


Moenadjat

Namun, belakangan hari diketahui, penerapan rumus ini untuk memperhitungkan kebutuhan
nutrisi seringkali disertai kelebihan.
Ada suatu rumus yang praktis digunakan dan tidak terpapar pada kemungkinan overfeeding
yaitu Rule of Thumb; kebutuhan kalori adalah 23-30cal/kgBB.

Jalur Pemberian Nutrisi


Penatalaksanaan nutrisi penderita luka bakar dapat dilakukan dengan berbagai metoda
yaitu: pemberian nutrisi melalui oral, enteral dan parenteral.
Bila tidak didapatkan gangguan gastrointestinal seperti retensi lambung, ileus, mual atau
muntah, maka dapat segera dipersiapkan pemberian nutrisi baik melalui oral atau enteral.
Hubungan langsung antara makanan dengan lumen usus akan meningkatkan aliran darah,
merangsang sistem syaraf otonom, pengeluaran hormon dan enzim traktus gastrointestinal,
yang akan menjaga keutuhan mukosa dan fungsi traktus gastrointestinal serta mencegah
translokasi bakteri.

1. Pemberian makanan per oral.


Pemberian melalui oral dapat diberikan bila penderita kooperatif dan dapat menghabiskan
porsi makanannya. Bila pasien kesulitan menghabiskannya maka seyogyanya segera
dipasang pipa nasogastrik untuk pemberian Nutrisi Enteral agar dapat menjamin asupan
makanannya sesuai program / rencana. Pada beberapa kondisi, selain pipa nasogastrik,
gastrostomi atau jejunostomi akan sangat membantu program feeding the gut dalam upaya
mempertahankan integritas mukosa saluran cerna.

Gambar 149. Pemanfaatan pipa nasogastrik (NG-Tube) untuk pemberian nutrisi


enteral. Beberapa catatan pada penggunaan NGT yang perlu disadari adalah
meningkatnya bahaya terjadinya apirasi, oleh karenanya pengaturan posisi pasien
menjadi sangat penting (setengah duduk). Dikutip dan disadur dari Moore FA. The
effective use of enteral and parenteral nutrition. J Crit Care Nutr. 2003; 5(1):17-22

2. Pemberian Nutrisi Enteral


Pengertian Nutrisi Enteral hdala pemberian nutrisi menggunakan pipa ke saluran
cerna (tube feeding) sehingga langsung dapat dicerna atau melalui proses digesti
sebelumnya.
Pemberian Nutrisi Enteral dapat dilakukan melalui gastrostomi, jejunostomi atau
ileostomi

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 174


Moenadjat

2a. Gastrostomi:

2a1. Gastrostomi terbuka / konvensional.

Gambar 150. Gastrostomi terbuka. Dikutip dan disadur dari Stroud M, Duncan H, Nightingale J. Guidelines for
enteral feeding in adult hospital patients Gut 2003;52(Suppl VII):vii1vii12

Gambar 151. Pipa pemberian nutrisi (feeding tube, Flocare ). Dikutip dari Stroud M, Duncan H, Nightingale J.
Guidelines for enteral feeding in adult hospital patients Gut 2003;52(Suppl VII):vii1vii12

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 175


Moenadjat

2a2. Gastrostomi perkutan.

Gambar 152. Gambar skematis sonde gastrostomi perkutan. Keterangan: A. Pipa silikon, B. Balon silikon, C. Plat
fiksasi, D. Valve untuk mengembangkan balon, E. Valve untuk pemberian nutrisi. Kanan: Skema percutaneus
endoscopic gastostomy tube (PEG tube). Dikutip dan disadur dari Stroud M, Duncan H, Nightingale J. Guidelines
for enteral feeding in adult hospital patients Gut 2003;52(Suppl VII):vii1vii12

Gambar 153. Pemasangan pipa gastrostomi perkutan, dibantu prosedur endoskopik. Dikutip dari Stroud M,
Duncan H, Nightingale J. Guidelines for enteral feeding in adult hospital patients Gut 2003;52(Suppl VII):vii1vii12

Gambar 154. Stoma dari pipa PEG. Dikutip dari Van Way III CW. Is Pendulum Swinging too far toward enteral
nutrition? Available in websites: http://www.mvi-us.com/pdf/story1.pdf

3. Jejunostomi.
Pemberian nutrisi melalui gastrostomi dan jejunostomi diterapkan pada kasus-kasus
luka bakar disertai cedera inhalasi, cedera pada rongga mulut dan faring; sedangkan khusus
jejunostomi di kerjakan pada kasus dengan komplikasi perdarahan di saluran cerna pada gaster dan
duodenum.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 176


Moenadjat

Gambar 155. Jejunostomi. Dikutip dan disadur dari Stroud M, Duncan H, Nightingale J. Guidelines for enteral
feeding in adult hospital patients Gut 2003;52(Suppl VII):vii1vii12

Prinsip yang dianut saat ini hdala pemberian nutrisi melalui enteral diutamakan karena
bersifat lebih fisiologik dan mengacu pada disfungsi daluran cerna yang merperan sebagai
motor MODS. When the gut Works, use it dan atau use it or lost it menjadi pertimbangan
karenanya.

4. Nutrisi Parenteral
Pemberian Nutrisi Parenteral hanya dilakukan bila fungsi gastrointestinal tidak
memungkinkan lagi untuk pemberian nutrisi melalui enteral. Dalam pemberian Nutrisi
Parenteral, perlu diperhatikan kelengkapan komposisi zat gizi dan osmolaritas cairan yang
akan diberikan. Mengingat risiko yang tidak sedikit pada pemberian Nutrisi Parenteral, maka
bila fungsi gastrointestinal sudah memungkinkan, secepatnya nutrisi diubah ke dalam bentuk
Nutrisi Enteral atau oral.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 177


Moenadjat

Nutrisi Dini
Nutrisi Dini adalah pemberian nutrisi baik oral, enteral maupun parenteral, sesegera
mungkin pasca terjadinya luka bakar. Konsensus mengenai terminologi dini disepakati < 24jam
pasca cedera. Namur, penelitian untuk menentukan waktu dimulainya pemberian nutrisi dini
pada penderita luka bakar, masih sangat bervariasi, dimulai sejak 4 jam pasca trauma sampai
dengan 48 jam pasca trauma. Pengalaman di UPKLuka Bakar RSUPNCM, menunjukkan
bahwa pemberian 8 jam pasca trauma menunjukkan hasil yang baik. Dari beberapa penelitan
dapat dibuktikan bahwa makin cepat nutrisi diberikan, semakin terlihat keuntungan klinik.

Komposisi Mikronutrien

Karbohidrat
Konsekuensi pasca luka bakar berat adalah keadaan hiperglikemia. Kadar gula darah yang
tinggi pada fase ebb merupakan akibat menurunnya fungsi insulin terhadap peningkatan kadar
gula darah. Intoleransi glukosa ini akan tetap bertahan pada fase flow yang sekarang terutama
disebabkan terjadinya resistensi insulin di jaringan dan peningkatan glukoneogenesis.
Dua mekanisme peningkan kadar gula darah pasaca luka bakar adalah sebagai berikut: 1)
Pasca trauma terjadi peningkatan rasio glukagon/insulin yang akan mengaktifkan
glukoneogenesis. 2) Asam amino alanin dan asam amino lain akan diarahkan untuk menasuki
jalur glukogenik sehingga terjadi kegagalan sintesis protein. Deplesi yang progresif dari protein
tubuh akan merangsang terjadinya peningkatan kadar gula darah.
Area yang terkena luka bakar membutuhkan sejumlah besar glukosa, hal tersebut
ditunjukkan oleh adanya peningkatan sirkulasi di sekitar area tersebut dan terjadi peningkatan
metabolisme glukosa.
Pada pasien hipermetabolik berat, pemberian nutrisi berupa asam amino dan karbohidrat
ternyata akan menurunkan ekskresi nitrogen, sedangkan pemberian lemak dalam jumlah yang
setara, tidak berhasil membuktikan hasil yang sama. Pemberian karbohidrat akan menstimulasi
anabolik hormon insulin dan dianjurkan dalam usaha melindungi protein otot dan glikogen hati.
Walaupun karbohidrat merupakan sumber energi utama, namun pemberian karbohidrat
yang terlalu tinggi berhubungan dengan hiperglikemia, hiperosmolalitas, diuresis osmotik yang
dapat menyebabkan dehidrasi dan hipovolemia, meningkatkan lipogenesis, perlemakan hati,
dan retensi karbondioksida.
Pada pasien luka bakar berat sangat diperlukan monitoring terhadap hiperglikemia dan
glikosuria. Anjuran pemberian insulin kadang dibutuhkan untuk meningkatkan glukosa serum
dan memaksimalkan utilisasi glukosa. Anjuran pemberian karbohidrat adalah 6065% kalori
total atau tidak melebihi 5 mg/kgBB/menit.

Protein
Pasca luka bakar, metabolisme protein akan berubah dengan cepat, di mana pada fase
akut, asam amino akan dijadikan sumber energi. Asam amino alanin dan glutamin akan
dibebaskan dari strukturnya untuk dimetabolisme dalam siklus glukoneogenesis di hati. Jumlah
protein tubuh dipengaruhi oleh luasnya luka bakar, penglepasan nitrogen melalui eksudat luka
dan urine, kemampuan hati untuk membentuk protein dan adekuatnya terapi nutrisi. Asam
amino merupakan substrat yang diperlukan untuk penyembuhan luka, sehingga bila output
protein lebih besar daripada intake, maka akan terjadi sindroma malnutrisi protein.
Dalam usaha untuk meningkatkan sintesis protein viseral, menjaga balanca nitrogen positif
dan meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh, maka pada luka bakar berat dianjurkan
pemberian protein sebesar 23%-25% dari kalori total dengan perbandingan kalori:nitrogen
adalah 80:1 atau 2,54 g protein/kgBB. Perlu juga diperhatikan jenis protein yang diberikan,
sebaiknya adalah protein biologi tinggi. Pemberian protein dalam jumlah banyak membutuhkan

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 178


Moenadjat

monitoring ketat seperti status cairan, kadar ureum dan kreatinin serum, karena beban larutan
yang berat bagi ginjal.

Gambar 156. Algoritmi jalur pemberian nutrisi. Keterangan: Formula Nutrisi Enteral dan Parenteral disesuaikan
dengan fungsi organ misal: jantung, hepatik, ginjal, dsb). Beberapa ketentuan: 1) Untuk menghindari atau pada
pasien-pasien dengan resiko tinggi terjadi aspirasi, penempatan pipa distal dari pilorus lebih baik; 2) formula
elemental rendah/tinggi lemak, bebas laktosa, kaya akan serat dan modul khusus harus disesuaikan dengan
toleransi fungsi GI; 3) Diet polimerik, formula lengkap dan diet purifikasi lebih baik. Dikutip dan disadur dari
American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN). Guidelines for the use of Parenteral and Enteral
Nutrition in Adults and Pediatric Patients. JPEN 1993; 17:1SA-52SA.

Asam amino glutamin dan arginin merupakan conditionally amino-acid, yaitu asam amino
yang tergolong non-esensial, namun pada keadaan trauma seperti luka bakar, hiperkatabolik

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 179


Moenadjat

atau stres berat, maka akan terjadi deplesi dari kedua asam amino tersebut, sehingga
dibutuhkan suplementasi. Suplementasi ini sesuai dengan menfaatnya diharapkan dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas, walaupun untuk hasil yang optimal masih
dimerlukan penelitian klinik lebih lanjut.
Arginin merupakan prekursor poliamin untuk sintesis kolagen dalam penyembuhan luka
dan juga akan merangsang pengeluaran hormon anabolik seperti insulin, glukagon, hormon
pertumbuhan dll. Peranan arginin terhadap sistem imunitas tubuh terutama diperantarai oleh
pembentukan nitric oxide. Suplementasi arginin 2% dari total kalori terhadap binatang
percobaan dengan luka bakar, ternyata meningkatkan survival secara signifikan.
Glutamin diyakini merupakan sumber energi bagi sel yang mengalami replikasi cepat
seperti enterosit dan limfosit. Pada luka bakar berat, fungsi GALT (gastrointestinal associated
lymphoid tissue) yang menunjang sistem imunitas tubuh akan berubah dan fungsinya
menurun. Suplementasi glutamin dapat membantu perbaikan mukosa usus sekaligus
meningkatkan fungsi sel-sel imunitas sehingga dapat memperbaiki integritas dan fungsi barier
imunitas.

Lemak
Pemberian lipid berkontribusi untuk meminimalkan katabolisme protein endogen dengan
jalan memenuhi kebutuhan energi. Lipid akan meningkatkan kalori tanpa menambah
osmolalitas, dan hal ini jelas menguntungkan, terutama bila dibutuhkan peningkatan energi
dalam jumlah yang tinggi. Lipid diperlukan untuk memenuhi kebutuhan akan asam lemak
esensial dan yang juga diketahui merupakan karier vitamin larut lemak dengan perkiraan
kebutuhan 1525 g lipid/ hari untuk pemenuhan kebutuhan vitamin tersebut.
Telah diketahui bahwa pemberian lemak yang terlalu banyak memiliki banyak komplikasi
seperti terjadinya akumulasi lemak di darah, gangguan pembekuan, menekan sistem imunitas
tubuh dll. Lemak tidak merangsang pengeluaran hormon insulin dan tidak melindungi protein
tubuh terhadap degradasi, sehingga perlu dipertimbangkan untuk pemberiannya yang tinggi.
Dianjurkan pemberian lipid pasca trauma adalah sebesar 5%-15% dari total kalori.
Asam lemak omega6 dan omega3 tergolong dalam asam lemak rantai panjang tak jenuh
ganda (polyunsaturated fatty acids, PUFA). PUFA merupakan penyusun struktur membran sel
dan penghasil eikosanoid yang berperan pada diferensiasi dan fungsi dari sel-sel imunitas
tubuh.
Asam linoleat atau omega6 asam lemak, banyak terdapat dalam bahan makanan di alam,
merupakan prekursor asam arakidonat yang akan membentuk eikosanoid prostaglandin seri 1
dan 2 (PGE1 dan PGE2), tromboksan, prostasiklin dan leukotrien seri 4. Eikosanoid turunan
arakidonat ini dapat menyebabkan inflamasi, imunosupresi dan meningkatkan degradasi
protein otot. Sesuai dengan hal ini makan diet tinggi asam linoleat merupakan kontraindikasi
untuk pasien sakit berat
Asam lemak omega3 khususnya asam eikosapentanoat (EPA) dapat diperoleh dari minyak
ikan, merupakan prekursor dari eikosanoid prostaglandin seri-3 dan leukotrien seri-5.
Keduanya memiliki efek anti-inflamasi dan meningkatkan sistem imunitas tubuh, demikian pula
PGE3 berpotensi sebagai vasodilator. Omega3 akan berkompetitif dan menyebabkan inhibisi
pembentukan PGE1 dan PGE2 dari asam linoleat, sehingga omega3 ini sangat dianjurkan pada
pasien luka bakar.
Penelitian menunjukkan dalam usaha untuk meningkatkan sistem imunitas tubuh maka,
pemberian asam lemak omega6 dan omega3 dalam perbandingan yang ideal (2-3: 1) akan
mengurangi kondisi imunosupresi pasca luka bakar.
Di sisi lain perlu disadari bahwa rantai panjang dari minyak ikan yang mengandung asam
lemak tak jenuh ganda, sangat peka terhadap auto-oksidasi, sehingga berpotensi

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 180


Moenadjat

menyebabkan kerusakan sel akibat terbentuknya radikal bebas. Untuk mengatasi hal ini, perlu
kiranya dipertimbangkan pemberian antioksidan.

Suplementasi Mikronutrien
Mikronutrien diperlukan sebagai koenzim dan kofaktor untuk reaksi fisiologis dalam sel,
metabolisme makronutrien dan energi. Dengan meningkatnya kebutuhan energi dan protein,
kehilangan melalui luka, perubahan metabolisme, absorpsi, ekskresi dan utilisasi maka
kebutuhan mikronutrien ini jelas perlu ditingkatkan.
Vitamin berpotensi untuk sintesis protein, penyembuhan luka, meningkatkan fungsi
imunitas dan antioksidan. Pada penderita luka bakar dengan kondisi hipermetabolisme, maka
kebutuhan vitamin ini meningkat beberapa kali di atas angka kecukupan gizi (AKG).
Mineral juga memainkan peranan penting dalam penyembuhan luka, fungsi imunitas,
antioksidan dll. Seng diperlukan dalam metabolisme protein. Selenium dependent glutation
peroksidase melindungi sel dari kerusakan akibat hidrogen peroksidase. Pada penderita luka
bakar, kebutuhan mineral meningkat beberapa kali di atas angka kecukupan gizi (AKG).

Monitor dan Evaluasi


Selama dalam proses perawatan, diperlukan monitoring asupan nutrisi, perhitungan
kebutuhan kalori sesuai kondisi penderita, bentuk dan cara pemberian nutrisi, pemeriksaan
fisik dan laboratorium untuk menilai perbaikan dan efektivitas terapi termasuk terapi nutrisi.

Gambar 157. Pada pasien-pasien yang bertahan hidup, emasiasi


adalah hal yang umum dijumpai dan dapat berlangsung sampai
2-3 bulan pasca cedera. Foto: koleksi pribadi

Bahan Bacaan
1. Abadia D, De-Souza and Greene LJ. Pharmacological nutrition after burn injuries. J Nutr. 128, 1998; 797.
2. Barbul A, Sisto DA, Wasserkrug HL, Efron, G. Arginine stimulates lymphocyte immune response in healthy
human beings. J Surgery. 90(2), 1981; 244.
3. Bines J, Titchen T, Humphrey M, Jessen D. Paediatric nutrition support. Melbourne: Royal Chilrdens
Hospital, 1997; 17
4. Heyland DK, Noval F, Drawer JW, Jain M, Su X, Suchner U. Should immunonutrition become routine in
critically ill patients? A systemic review of the evidence. Jama, 286 (8), 2001; 944
5. Jensen GL, Miller RH, Talabiska DG, Fish J, Gianferant, L. A double blind, prospective, rancomized study
of glutamine enriched compare with standard peptide based feeding in criticallu ill patients. Am J Clin
Nutr, 64, 1996; 615.
6. Matarese LE, Gottschlich MM. Contemporary nutrition support practice, a clinical guide. Phyladelphia: WB
Saunders Company, 1998; 590.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 181


Moenadjat

7. Pastores SM, Kvetan V, Katz DP. Immunomodulatory effects and therapeutic potential of glutamine in the
critically ill patient. J Nutr, 10(5), 1994; 385.
8. Reynolds JV, Daly JM, Zhang S, Evantash E, Shou J, Siga, R, Ziegler MM. Immunomodulator mechanisms of
arginine. J Surgery, 104(2), 1988; 142.
9. Rombeau JL, Cadwell MD. Enteral and tube feeding. Clinical nutrition. vol.1. Philadelphia-London-Toronto:
WB, Saunders Co, 1984; 412.
10. Saffle, JR, Wiebke G, Jennings, K, Morris, SE, Barton, RG. Randomized trial of immune enhanching enteral
nutrition in burn patients. J Trauma Injuri Infection and Critical Care, 42, (5), 1997; 793.
11. Simopoulos AP, Leaf A, Salem N. Workshop on the esstiality of recommended dietary intakes for omega6
and omega3 fatty acids. Asia Pacific J Clin Nutr, 8 (4), 1999, ; 300301.
12. Tramel, H,, Kienle, B, Weilemann, LS, Stehle, P, Furst, P. Glutamine dipeptide supplemented parenteral
nutrition maintains intestinal function in the critically ill. J Gastroenterology, 107, 1994; 1595.
13. Trocki O, Heyd TJ, Waymack JP, Alexander JWA. Effects of fish oil postburn metabolism and immunity, J
Parenteral and Enteral Nutr, 11(6), 1987; 521.
14. Wolf SE. Mannipulation of the hormonal response to trauma. in Soper NJ. Problems in General Surgery:
Burns. 2003, 20(1): p61-69
15. Vincent JL. From nutritional support to pharmacologic nutrition in the ICU. Berlin Heidelberg: Spring Verlag,
2000; 348.
16. Stroud M, Duncan H, Nightingale J. Guidelines for enteral feeding in adult hospital patients Gut
2003;52(Suppl VII):vii1vii12
17. Peck MD. Nutritional Monitoring and Management. in Soper NJ. Problems in General Surgery: Burns. 2003,
20(1): p55-60
18. Van Way III CW. Is Pendulum Swinging too far toward enteral nutrition? Available in websites:
http://www.mvi-us.com/pdf/story1.pdf
19. Oral burn contractures in children present major reconstructive problem.
Feeding is provided via the already present jejunostomy or gastrostomy tube.
www.annalsplasticsurgery.com/pt/ re/annps/fulltext.00000637-200311000-00008.htm

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 182


Moenadjat

Bab VI

Infeksi dan Pemberian Antibiotik


pada Luka Bakar Fase Akut
Yefta Moenadjat

M ekanisme pertahanan tubuh terhadap ancaman mikroorganisme patogen dari


lingkungan adalah kulit. Dengan kehilangan atau kerusakan kulit yang memiliki fungsi
barrier ini akan terjadi invasi bakterial dan mempermudah timbulnya infeksi. Kondisi ini juga
dimungkinkan terjadi, bahkan mungkin berkembang menjadi suatu bentuk sepsis karena
adanya penurunan daya tahan tubuh (imunosupresi) yang terjadi pada luka bakar.
Jaringan pada zona koagulasi mengalami lisis dan jaringan nekrosis ini pada suhu tubuh
merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangan kuman. Hal ini
ditunjang oleh tidak adanya sirkulasi ke jaringan tersebut; dimana sirkulasi ini penting dalam
proses penyembuhan karena berfungsi membawa produk darah yang merupakan bagian dari
mekanisme pertahanan humoral dalam proses penyembuhan.
Luka bakar derajat tiga secara tipikal ditandai dengan adanya trombosis vaskuler
ekstensif tanpa adanya reaksi inflamasi seluler. Berbeda dengan luka bakar derajat dua;
trombosis vaskuler tidak begitu nyata dan disertai reaksi inflamasi seluler yang aktif; sehingga
bila terinfeksi akan terjadi reaksi perivaskuler yang progresif menyebabkan terjadinya
trombosis. Kondisi ini dikenal sebagai konversi luka bakar derajat dua ke luka bakar derajat
tiga yang disebabkan proses infeksi. Oleh karena itu sangat penting mencegah proliferasi
kuman pada luka bakar derajat dua.
Mikroorganisme yang bersifat komensal, hidup di folikel rambut kelenjar keringat, akan
membentuk koloni-koloni pada luka bakar dangkal, konsentrasinya dapat mencapai 104 sampai
108 per gram jaringan pada hari kelima. Jenis organisme yang berkoloni sangat beragam dan
tergantung penatalaksanaan awal pada luka. Streptokokus atau Stafilokokus merupakan jenis
mikroorganisme yang sering dijumpai pada pasien yang tidak memperoleh pengobatan awal
dengan antibiotik topikal. Sedangkan di lingkungan perawatan rumah sakit, koloni yang
tersering dijumpai adalah mikroorganisme gram negatif.
Dengan berkembangnya koloni kuman ini akan timbul sepsis luka, dimana pada kondisi
tersebut dijumpai koloni kuman 105 atau lebih per gram jaringan. Dan bila ini terjadi, invasi
kuman ke jaringan sekitar akan terjadi secara progresif yang berkembang menjadi reaksi
sistemik menimbulkan gejala sepsis. Hal ini terjadi seiring dengan menurunnya sistim imunitas
pada luka bakar. Kultur pemeriksaan darah jarang memberikan hasil positif, kecuali bila
dijumpai infeksi sekunder yang jelas seperti pneumonia, infeksi saluran kemih atau
tromboflebitis.

Penatalaksanaan
Tindakan yang dilakukan mengatasi infeksi terdiri dari beberapa rangkaian:
1. Tindakan aseptik
2. Pencucian (dilusi) dan perawatan luka
3. Tindakan nekrotomi dan dbridement
4. Pemberian antibiotik topikal dan sistemik
Tindakan aseptik dimaksudkan perlakuan pada tindakan dan perawatan luka dilakukan
secara aseptik, khususnya mencegah kontaminasi dan infeksi nosokomial, dengan

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 183


Moenadjat

menerapkan perawatan di ruangan khusus, penggunaan alat-alat termasuk linen dan baju
khusus.
Pencucian luka dilakukan menggunakan cairan antiseptik yang tidak bersifat iritatif.
Prinsip dilution is the best solution for pollution diterapkan disini, dan pada kenyataannya
bahwa insidens infeksi dapat ditekan dengan metode ini. Tindakan ini diterapkan sejak awal
(saat pasien masuk), dan dapat dilakukan pengulangan, atau setelah melakukan nekrotomi
dan atau dbridement.
Tindakan nekrotomi dan dbridement dilakukan bertujuan membuang jaringan nekrosis
maupun debris yang menghalangi proses penyembuhan luka dan potensial terjadi /
berkembangnya infeksi; sehingga merupakan tindakan pemutus rantai respons inflamasi
sistemik dan maupun sepsis. Tindakan ini dilakukan seawal mungkin, dan dapat dilakukan
tindakan ulangan sesuai kebutuhan.
Pemberian antibiotik topikal dan sistemik merupakan topik yang memiliki kekhususan.
Dijumpai perbedaan sudut pandang bahkan kontrovesi termasuk mengenai kebutuhannya
(indikasi), timing, jenis, metode pemberiannya.

Indikasi
Pemberian antibiotik dibedakan atas tujuannya, yaitu profilaksis dan terapetik; dan
berdasarkan pemberiannya, yaitu topikal maupun sistemik.

Antibiotik profilaksis
Pemberian antibiotik sistemik yang ditujukan mencegah berkembangnya infeksi pada saat
melakukan tindakan pembedahan digolongkan sebagai tindakan profilaksis. Jenis antibiotik
yang diberikan didasari atas pola kuman yang paling sering menimbulkan infeksi pada kurun
waktu tertentu; pola ini diperoleh dari panitia pengendali infeksi (nosokomial) rumah sakit dari
sampel yang diambil secara periodik. Untuk tujuan ini, antibiotik diberikan secara intravena
sebanyak satu kali pemberian 30 menit sebelum melakukan tindakan; dan bila diperlukan
dapat dilanjutkan selama 24 jam pertama pasca tindakan.
Pertimbangan pemberian antibiotika ini harus didasari pemikiran dan alasan yang rasional.
Pemberian yang tidak rasional akan menimbulkan masalah; bukan hanya masalah resistensi
tetapi juga permasalahan yang sangat pelik sebagaimana dijelaskan berikut. Dengan
memberikan antibiotika poten (golongan sefalosporin generasi keempat misalnya) untuk tujuan
profilaksis, akan membunuh hampir semua jenis kuman (termasuk bakteri komensal yang
menjadi flora normal di usus, misalnya). Hal ini menyebabkan perubahan pola keseimbangan
flora normal; di saluran cerna misalnya, dengan adanya perubahan flora usus maka bakteri
non patogen yang biasanya merupakan bakteri komensal di usus akan berubah menjadi
patogen (oportunistik). Dengan adanya disrupsi mukosa saluran cerna yang terjadi pada
kondisi syok, justru terjadi translokasi bakteri yang menjadi cikal-bakal timbulnya sepsis.
Demikian pula halnya pemberian antibiotik yang ditujukan membunuh kuman anaerob, akan
menyebabkan perubahan keseimbangan dan menimbulkan masalah yang sama sebagaimana
diuraikan.
Alasan lain yang juga harus dipertimbangkan dalam pemberian antibiotik ini adalah: semakin
poten dan semakin tinggi dosis yang digunakan, semakin banyak kuman dibunuh; semakin
tinggi kuman yang dibunuh semakin tinggi toksin diproduksi dari membran / dinding kuman
yang mengalami lisis. Pemberian antibiotika tertentu juga dipertimbangkan berdasarkan
toksisitas terhadap jaringan tertentu (misalnya gentamisin bersifat nefrotoksik, beberapa jenis
sefalosporin generasi ketiga bersifat hepatotoksik, dsb). Di saat yang bersamaan, pada kondisi
syok yang berlanjut menjadi SIRS justru dijumpai kondisi-kondisi dimana terdapat disfungsi
organ; pemberian antibiotik tertentu justru memperberat disfungsi yang ada.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 184


Moenadjat

Pendek kata, pemberian antibiotik yang tidak rasional justru menyebabkan bakterimia
(sepsis) dan atau SIRS serta MODS; dan meningkatkan angka mortalitas.

Antibiotik terapetik
Pemberian antibiotik sistemik yang ditujukan mengatasi infeksi yang terjadi setelah
dilakukan pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Jenis antibiotik yang diberikan didasari atas
hasil kultur kuman penyebab infeksi dan memiliki sensitivitas terhadap kuman penyebab
tersebut. Pemberiannya diberikan sesuai dosis lazim yang terdapat pada farmakope maupun
petunjuk dari produsen.

Antibiotik topikal
Pemberian antibiotik yang ditujukan mencegah dan mengatasi infeksi yang terjadi pada
luka. Jenis antibiotik yang diberikan didasari atas pola kuman dan hasil kultur kuman yang
menyebabkan infeksi serta memiliki sensitivitas. Di saat epitelisasi spontan telah terjadi,
sukseptibilitas terhadap infeksi telah berakhir, sehingga pemberian antibiotika tidak diperlukan
lagi.

Gambar 158. Kiri: Metode klisis dikerjakan dengan mendistribusikan cairan mengandung antibiotik ke dasar luka
atau di bawah eskar menggunakak jarum spinal ukuran 22G. Gambar kanan:.sebelum melakukan pencucian luka
(dilusi), dilakukan eskarotomi sehingga dasar luka (sub-eskar) terpapar. Kedua tindakan ini dapat dilakukan di
ruangan tanpa narkose (esker jaringan nonvital) dan efektif dalam mencegah berkembangnya kuman.

Peningkatan jumlah koloni pada luka pada penggunaan antibiotik topikal merupakan
pertanda kegagalan. Untuk hal ini, dapat dilakukan dua alternatif :
1. Klisis. Salah satu cara efektif yang dianjurkan adalah dengan melakukan pemberian
antibiotik ke dalam luka. Sejumlah 25ml larutan salin 0.5N mengandung antibiotik yang
sesuai didistribusikan ke dasar luka maupun sub eskar, menggunakan jarum 22G pada
interval jarak beberapa sentimeter (biasanya berkisar antara 3-5cm). Metode ini cukup
efektif untuk melakukan dilusi dan menekan berkembangnya kuman (gambar 154,
kanan).
2. Alternatif lain yang dapat dikerjakan adalah melakukan eskarotomi melalui beberapa
sayatan sejajar berjarak 3-5cm. Dasar luka (terbuka) dilakukan pencucian
menggunakan larutan antibiotik (gambar 154, kiri)
3. Penggantian jenis antibiotik

Bentuk antibiotik topikal yang terbaik adalah yang paling sesuai dengan kondisi lokal
(daerah luka). Luka terbuka yang bersifat inflamatif dengan produksi eksudat memerlukan
perawatan luka basah (lembab), tentunya bila memang antibiotik diperlukan maka diberikan
dalam bentuk cair. Kasa lembab yang dibasahi larutan antibiotik ini selain menyerap eksudat,
berfungsi sebagai kompres yang mendinginkan luka sebagai upaya mengatasi permasalahan
yang ditimbulkan proses inflamasi akut. Di saat luka mulai kering, antibiotik dalam bentuk krim

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 185


Moenadjat

lebih bermanfaat dibandingkan salep dan atau bentuk ointment karena mengandung air dan
bersifat hidroskopik.

Ada beberapa jenis antibiotik yang sering digunakan untuk tujuan topikal.
1. Silver nitrate 0.5%
2. Mafenide acetate 10% (Sulfamylon)
3. Silver sulfadiazine 1%
4. Gentamisin sulfat

Preparat silver untuk terapi luka bakar


Penggunaan preparat silver untuk terapi luka bakar dalam satu dekade terakhir sangat
luas. Banyak hal yang perlu diketahui mengenai preparat tersebut sebelum seseorang
menggunakan preparat ini.
Preparat silver memiliki efek antimikroba dengan cara memblokir sistim respirasi / energi sel
mikroba saat kontak dengan preparat silver dan kandungan (konsentrasi) ion Ag+ dan radikal
silver yang diproduksi. Preparat ini tidak bersifat toksik pada sel tubuh manusia dan tidak
pernah dilaporkan terjadi resistensi.
Efek preparat silver terhadap luka dijelaskan menurut pemeriksaan histopatologik sebagai
suatu zat yang mengurangi proses inflamasi permukaan luka; mengurangi efek negatif dari
metalloproteinase (MMP). MMP mengikat Zn untuk aktivitasnya, sementara Zn diperlukan
untuk proses penyembuhan jaringan; dengan diproduksinya MMP proses penyembuhan
jaringan mengalami gangguan. Preparat silver mengalami oksidasi dan terikat pada rantai
sulfur, tidak seperti Zn dan Cu yg terikat pada oksigen; dengan adanya ikatan sulfur, maka
aktivitas MMP meningkat. Preparat silver akan meningkatkan kadar kalsium di permukaan
luka, sehingga memungkinkan terjadinya proses re- epitelisasi.

Metalloproteinase
MMP ini adalah kelompuk enzim kolagenase yang menyebabkan destruksi jaringan;
berlawanan dengan efek Growth Factor (GF) yang berperan pada sintesis jaringan.
Aktivitasnya sangat tergantung pada tersedianya Zn bebas. Mekanisme peningkatan MMP
akan terjadi akibat ekspresi genetik melalui mekanisme yang belum jelas (dugaan kuat
sementara disebabkan karena TNF khususnya IL1). MMP ini diproduksi oleh neutrofil,
makrofag dan fibroblas; distimulasi oleh produksi anti-oksidan yang dilepas sebagaimana
dijumpai pada luka bakar dan luka kronik lainnya; termasuk hepatitis.
Tabel 13. Berbagai jenis MMP dengan karakterikstiknya.
Jenis MMP Karakteristik
- Collagenase (MMP1, MMP8) Menguraikan kolagen, elastin dan matriks
- Gelatinase (MMP2, MMP9) Harus seimbang dengan inhibitor alami dan GF
- Elastase (MMP13) Dapat menyebabkan degradasi GF
Aktivitasnya sangat tergantung Zn
Membutuhkan ikatan sulfhidril

Bentuk preparat silver yang ada


Koloidal
Silver protein
Silver salts
Silver compounds
Silver releasing system
Bentuk koloidal digunakan sebelum tahun 1960-an, berupa preparat silver murni (3-5ppm)
dalam bentuk suspensi, bersifat tidak stabil terutama bila terpapar pada cahaya. Bersifat
bakterisid, memiliki efek mengurangi proses inflamasi.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 186


Moenadjat

Bentuk silver protein. Bentuk sebelumnya dengan penambahan protein sebagai upaya untuk
meningkatkan stabilitas; namun efek bakterisidnya menjadi lemah. Bentuk silver salts
(misalnya AgNo3, AgCl, AgSO4) memberikan stabilitas yang lebih baik dibandingkan bentuk
protein; namun tetap tidak stabil bila terpapar pada cahaya. Bentuk ini juga memungkinkan
timbulnya resisten dan bersifat toksik terhadap luka (sel) sehingga menghambat proses
penyembuhan.
Silver Sulfadiazine (SSD) mulai digunakan pada tahun 1970; merupakan kompleks propylene-
glycol, stearyl alcohol dan isopropyl myrislate. Zat ini bekerja pada dinding bakteri sehingga
dapat terjadi resistensi.

Toksisitas
Toksisitas silver sulfadiazine disebabkan oleh preparat silver maupun toksisitas dari
komponennya. Efek yang ditimbulkannya bersifat lokal maupun sistemik.
Efek toksik sistemik berupa argyria dan perubahan warna kulit yang mengganggu penampilan.
Krim SSD dilaporkan dapat menginduksi timbulnya asidosis metabolik dan menekan proses
kemotaksis sel-sel granulosit.
Secara umum efek toksik SSD adalah sebagaimana diuraikan pada tabel di bawah ini.
Tabel 14. Efek toksik SSD
SSD AgNo3 0.5%
Supresi sumsum tulang Kerusakan / penghancuran
Leukopenia oksidan
Toksisitas Propylene glycol
Hipochloremia
Reaksi hipersensitivitas

Efek lokal yang ditimbulkan oleh SSD adalah terhambatnya proses penyembuhan luka

Tabel 15. Efek toksik SSD dan AgNO3

SSD AgNo3 0.5%


Lisis eskar terjadi cepat Toksik terhadap fibroblast
Sehingga pembentukan matriks kolagen lebih lambat
dibandingkan proses angiogenesis
Proses penyembuhan lambat
Pro inflamasi Menghambat proses epitelisasi
Eksudat
Proses penyembuhan lambat
Toksik terhadap fibroblast
Sehingga pembentukan matriks kolagen lebih
lambat dibandingkan proses angiogenesis
Proses penyembuhan lambat
Menghambat proses epitelisasi

Gentamisin sulfat
Sebelumnya disebutkan SSD merupakan satu-satunya jenis antibiotik yang dapat
menembus eskar; namun beberapa tahun terahir disebutkan pula keunggulan gentamisin
dalam hal ini. Gentamisin masih memiliki keampuhan terhadap beberapa jenis bakteri; namun
dengan penggunaan ini juga banyak dijumpai resistensi. Zat ini juga bersifat nefrotoksik,
sehingga penggunaannya sangat terbatas, terutama bila dijumpai disfungsi renal.
Antibiotik lain
Cerium nitrate belum digunakan secara luas di klinik, dilaporkan sebagai suatu jenis
topikal yang memiliki efek mengurangi absorpsi toksin dari area lokal (luka) dan memperbaiki
kondisi imunosupresi melalui perbaikan sistim imunitas seluler.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 187


Moenadjat

Penggunaan silver nitrate soaks dilaporkan mengurangi evaporative loss, dan tidak
memiliki pengaruh terhadap proses kemotaksis sel-sel granulosit.
Akhir tahun 1980-an ditemukan jenis antibiotik baru Mafeinid asetat yang memiliki
keunggulan dibandingkan SSD.

Peran Albumins pada pemberian antibiotika

Dalam pemberian antibiotika, beberapa hal lain perlu dipertimbangkan dalam


mengupayakan efektivitas dikaitkan dengan adanya gangguan sirkulasi dan metabolisme. Hal
pertama yang perlu diperhatikan adalah, transportasi beberapa zat, obat termasuk antibiotika
sangat tergantung pada protein, khususnya albumin.
Albumin plasma memegang peran utama pada terbentuknya ikatan antara obat dan
protein dan dapat berperan sebagai cadangan (reservoir) obat (zat); sebagai contoh bila
konsentrasi obat (zat) bebas menurun karena eliminasi oleh proses metabolisme dan ekskresi,
maka obat (zat) yang berikatan dengan protein mengalami disosiasi dan di lepas ke sirkulasi.
Hal ini bertujuan mempertahankan konsentrasi obat (zat) tertentu sebagai suatu fraksi konstan
obat (zat) dalam plasma.
Konsekuensi klinik yang dihadapi adalah penyesuaian dosis obat (zat, termasuk
antibiotika) dengan kadar albumin yang perlu diperhitungkan pada kondisi dimana terjadi
gangguan sirkulasi dan masa resusitasi dimana terdapat gangguan keseimbangan cairan.

Bahan Bacaan
1. Artz CP, Moncrief JA, Pruitt BA. Burns, a team approach. Philadelphia: WB Saunders & Co, 1979.
2. Asia Connection Vol.1 Issue 2. Major advances in burns care announced at Asia Pasific Conference, 1996; 4.
3. Asia Connection Vol.1 Issue 2. The University of Washington approach to burns managements, 1996; 5
4. Asia Connection Vol.1 Issue 2. Burn research: current and future directions, 1996; 9.
5. Asia Connection Vol.1 Issue 2. Critical care of burns patients, 1996; 9
6. Aston SJ, Beasley RW. Thorne CHM. Grabb & Smith's plastic surgery. Philadelphia: Lipincott Raven, 1997;
161.
7. Lahunduitan I, Moenadjat Y. Rasionalitas penggunaan antibiotik di unit luka bakar RSUPN dr Cipto
Mangunkusumo. Jakarta: Bagian Ilmu Bedah FKUI RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo. Unpublished, 1999.
8. Laitung G. Metabolic responses and requirements. In: Principles and practice of burn management, 1995;137
9. Leung PC. Burns: treatment & research. Singapore-New Jersey-Hongkong: World scientific, 1991.
10. Martin JAJ. Acute management of the burned patient. Philadelphia-London-Toronto: WB Saunders & Co,
1990; 138.
11. Matarese LE, Gottschlich MM. Contemporary nutrition support practice, a clinical guide. Philadelphia: WB
Saunders Company, 1998; 590.
12. Settle JAD. Principles & practice of burns management. New York: Churchill Livingstone, 1996; 137.
13. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Lippincotts Illustrated Review Pharmacology 2nd ed. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins. 1992; p 11-12
14. Mandell D, Bennett J, Dolin R. Mandell, Douglas, and Bennetts Principles and Practice of Infectious
Diseases. 4th edition. New York: Churchill Livingstone 1995.
15. Garner JS, Hospital Infection Control Practices Advisory Committee. Guideline for Isolation Precautions in
Hospitals. Infection Control and Hospital Epidemiol 1996;17(1):53-80.
16. Antimicrobial agent susceptibilities. From the Departments of Laboratory Medicine and Pharmacy, Memorial
Medical Center. February 2000 Springfield, Illinois.
17. Memorial Medical Center Infection Control Department, Springfield, IL. January, 2005.
18. Teplitz C. The pathology of burn and fundamentals of burn wound sepsis. In: Artz CP, Moncrief JA, Pruitt BA
Jr. Eds. Burns: A Team Approach. Philadelphia: WB Saunders Co. 1979.
19. Teplitz C, Davis D, Mason AD, Moncrief JA. Pseudomonas burn wound sepsis. I. Pathogenesis of
experimental pseudomonas burn wound sepsis. J Surg Res 1964;4:200-16.
20. Robson MC and Heggers JP. Surgical infection. II. -hemolytic streptococcus. J Surg Res 1969; 9:289.
21. Robson MC, Krizek TS. Predicting skin graft survival. J Trauma. 1973;13(3):213-17.
22. Heggers JP, Robson MC eds. Quantitative Bacteriology: Its Role in the Armamentarium of the Surgeon. 1st
ed. Boca Raton, FL: CRC Press, Inc. 1991.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 188


Moenadjat

23. Mangram AJ, et al, "Guideline for prevention of surgical site infection, 1999," Infection Control and Hospital
Epidemiology 20 (April1999) 247-278. Monafo WW, West MA. Current treatment recommendations for topical
burn therapy. Drugs 1990;40: 364-73.
24. Frame JD, Kangesu L, Malik WM. Changing flora in burn and trauma units: experience in the United
Kingdom. J Burn Care Rehabil 1992; 13:281-6.
25. Heggers JP, McCauley RL, Herndon DN. Antimicrobial therapy in burn patients: Part II. Surgical Rounds
1992;699-708.
26. Smith DJ, Thompson PD. Changing flora in burn and trauma units: Historical perspective-experience in the
United States. J Burn Care Rehabil 1992;13:276-80.
27. Kaye ET. Topical antibacterial agents: role in prophylaxis and treatment of bacterial infections. Curr Clin Top
Infect Dis 2000;20:43-62.
28. White MG, Asch MJ. Acid base effects of topical mafenide acetate in the burned patient. Arch Surg
1984;119:183-8.
29. Honari S. Topical therapies and antimicrobials in the management of burn wounds. Crit Care Nurs Clin North
Am 2004; 16(1):1-11.
30. Yin HQ. Langford R. Burrell RE. Comparative evaluation of the antimicrobial activity of ACTICOAT
antimicrobial barrier dressing. Journal of Burn Care & Rehabilitation1999;20(3):195-200.
31. Hock TB. Antimicrobial Policies for Major Burn Injury PAtient. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing
Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 189


Moenadjat

Bab VII

Luka dan Penatalaksanaannya


Yefta Moenadjat
David S. Perdanakusuma

B anyak permasalahan yang harus dibahas mengenai luka, berkenaan dengan perjalanan
penyakit yang berperan dalam berkembangnya penyulit seperti SIRS, MODS dan sepsis
yang berhubungan dengan mortalitas; maupun proses penyembuhan yang berhubungan
dengan penyulit di kemudian hari, yaitu parut hiperttrofik dan kontraktur. Penatalaksanaan luka
sejak fase awal memegang peran penting dalam upaya menghindari timbulnya permasalahan
tersebut, sehingga penulis merasa perlu membahas luka dan penatalaksanaannya dalam
suatu bab tersendiri
Karena permasalahannya cukup kompleks, pembahasan masalah dibedakan menjadi
permasalahan awal dan permasalahan lanjut.

Permasalahan awal

Banyak dijumpai perbedaan antara luka bakar dibandingkan dengan luka yang terjadi oleh
penyebab lain. Luka bakar menjadi permasalahan karena adanya kehilangan dan atau
kerusakan epitel maupun jaringan yang menjadi struktur dibawahnya; masalahnya menjadi
demikian serius saat luka mencakup sebagian besar luas permukaan tubuh.
Sirkulasi menjadi sangat penting pada proses penyembuhan luka dmikian pula sebaliknya,
luka sangat menentukan stabilitas hemodinamik.

Gambar 159. Dengan sirkulasi dan perfusi baik yang diperoleh melalui resusitasi adekuat, zona statis dipreservasi
dan proses penyembuhan dapat berlangsung sebagaimana diharapkan, sebaliknya dengan resusitasi inadekuat
zona statis mengalami nekrosis. Kondisi ini dikenal dengan sebutan degradasi luka. Dikutip dan disadur dari

Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, kehilangan dan atau kerusakan kulit
(epitel) menyebabkan gangguan proses metabolisme. Dengan hilangnya kulit (epitel) ini,

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 190


Moenadjat

proses penguapan terjadi secara berlebihan; dan tidak hanya cairan yang mengalami
penguapan melainkan juga protein (evaporative heat loss).
Epitel (terdiri dari komponen lipid dan protein) yang mengalami koagulasi kemudian lisis.
Kompleks lipid-protein yang terbentuk dilepas ke jaringan menyebabkan stimulasi neutrofil dan
berakibat dilepaskannya mediator pro-inflamasi. Lipid Protein Complex, LPC ini (sebelumnya
dikenal dengan sebutan burn-toxin) memiliki toksisitas ribuan kali lebih kuat dibandingkan
endotoxin; dengan demikian neutrofil yang didistribusi ke jaringan pertahanan semakin banyak
pula diperlukan untuk menghasilkan makrofag. Ternyata neutrofil yang dilepas ke sirkulasi
tidak hanya bereaksi terhadap LPC; dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan faktor pencetus
yang diuraikan sebelumnya (lihat bab 3.3 mengenai SIRS, MODS dan sepsis) mengalami
eksagregasi menimbulkan reaksi berlebihan dan menyebabkan cedera organ. Organ pertama
dan paling sering terkena cedera dalam hal ini adalah alveoli yang kemudian berkembang
menjadi ARDS (lihat bab 3.4 mengenai ARDS) dan berakhir fatal.
Dengan adanya kerusakan epitel (kulit) yang luas, maka fungsi kulit dalam pembentukan sel-
sel yang berperan dalam sistim imunitas (limfosit B) menurun drastis. Diperberat dengan
adanya kehilangan protein dan hiperkatabolisme yang bersifat konsumtif, fungsi imun semakin
berkurang. Lebih lanjut, pendistribusian mediator-mediator anti inflamasi yang timbul sebagai
reaksi kompensasi terhadap mediator-mediator pro-inflamasi akan menyebabkan kondisi
imunosupresi yang memperberat kondisi sebelumnya.

Permasalahan selanjutnya

Bila penderita bertahan hidup, permasalahan yang dihadapi adalah proses penyembuhan.
Proses inflamasi yang berkepanjanagn menyebabkan kerapuhan jaringan yang menimbulkan
diskonfigurasi struktur jaringan yang berakhir dengan deformitas bentuk dan gangguan fungsi.
Cedera termis menimbulkan kerusakan pada struktur sel dan jaringan antar sel
menyebabkan lepasnya epidermis dari jaringan dibawahnya (epidermolisis). Lepasnya
epidermis ini disertai proses transudasi yang kemudian mengalami akumulasi dan
terperangkap dalam ruang yang terbentuk antara epidermis dan jaringan dibawahnya
membentuk bula. Bila bula ini dipecahkan, maka akan terlihat luka dengan permukaan
kemerahan yang kurang lebih rata dengan permukaan di sekitar dan eksudatif. Karena
sebagian apendises kulit masih utuh, maka penyembuhan (re-epitelisasi) spontan terjadi dalam
waktu relatif singkat (10-14 hari).

Gambar 160. Luka bakar derajat dua dangkal melibatkan


kerusakan epitel dan sebagian lapisan dermis bagian atas. Dikutip
dan disadur dari Dikutip dari Burn Module: WoundManagement
http://www.burnsurgery.org

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 191


Moenadjat

Luka Bakar derajat dua dangkal

Gambar 161. Luka bakar derajat dua dalam melibatkan kerusakan epitel dan sebagian besar lapisan dermis
(sebagian lapisan dermis masih utuh, berbeda dengan derajat tiga yang melibatkan seluruh lapisan dermis).
Dikutip dan disadur dari Dikutip dari Burn Module: WoundManagement http://www.burnsurgery.org

Gambar 162. Berbagai penampilan luka bakar derajat dua dangkal. Foto: koleksi pribadi

Gambar 163. Penampilan luka yang merupakan gabungan /


campuran derajat dua dangkal (kemerahan) dan dalam (lebih
putih, disebabkan adanya eskar). Foto: koleksi pribadi

Luka bakar derajat dua dalam


Kerusakan melibatkan lapisan yang lebih dalam, mengenai hampir seluruh bagian dermis;
tidak dijumpai bula (ini yang membedakan dengan derajat dua dangkal). Sebagian besar

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 192


Moenadjat

apendises kulit masih utuh sehingga proses re-epitelisasi spontan masih dimungkinkan terjadi;
dalam waktu jauh lebih lama dibandingkan derajat dua dangkal.

Luka bakar derajat tiga


Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan lapisan yang lebih dalam. Apendises
kulit mengalami kerusakan. Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat, kering dan
permukaannya lebih rendah dibandingkan kulit sekitar; akibat koagulasi protein pada lapis
epidermis dan dermis (dikenal dengan sebutan eskar). Penyembuhan terjadi lama karena tidak
ada proses epitelisasi spontan baik dari dasar luka, tepi luka, maupun apendises kulit.

Gambar 164. Luka bakar derajat tiga dengan eskar (kiri) dan nekrosis jaringan (kanan). Foto: koleksi pribadi

Gambar 165. Penampilan eskar kering (kiri) dan pseudoeschar (kanan). Foto: koleksi pribadi

Faktor yang berpengaruh


Banyak fator yang berpengaruh pada proses penyembuhan luka bakar; baik pengaruh
positif maupun negatif sehingga luka akan mengalami penyembuhan, delayed healing atau
bahkan non-healing. Faktor internal seperti usia, kondisi premorbid dan adanya gangguan
proses metabolisme khususnya protein jelas menyebabkan terhambatnya proses
penyembuhan. Faktor eksternal lebih ditekankan pada perlakuan terhadap luka; dengan
penatalaksanaan yang tepat akan menyebabkan proses penyembuhan berjalan sebagaimana
mestinya. Sebaliknya dengan penatalaksanaan yang tidak tepat, akan terjadi konversi luka
bakar derajat dua dangkal menjadi dua dalam, dua dalam menjadi derajat tiga, atau bahkan
kematian jaringan.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 193


Moenadjat

a. Penilaian Luka
Penilaian (kedalaman) luka sangat penting untuk penatalaksanaan selanjutnya. Beberapa
cara penilaian diantaranya yang terpenting adalah:
1. Penilaian klinis
Pengamatan klinis
Pin-prick test
2. Prosedur pembedahan (invasiv):
Eksisi tangensial
Punch biopsy
3. Laser Doppler Imaging (LDI)

Pengamatan klinis

Setiap derajat luka bakar memiliki karakteristik tersendiri sebagaimana diuraikan


sebelumnya (lihat kembali halaman 189-190). Ada beberapa penanda yang bersifat
patognomonik, antara lain:

Adanya bula merupakan pertanda bahwa jaringan dibawahnya vital, disertai adanya
gangguan vaskulerisasi (vascular compromised)
Eskar merupakan jaringan non-vital, menjadi ciri dari Luka Bakar
derajat dua dalam dan atau derajat tiga

Pin-prick Test

Gambar 166. Pin-Prick Test. Dikutip dan disadur dari Dimick AR. Burn and cold injury. In: Hardys textbook of
surgery. Philadelphia: JB Lippincott Company, 1983

Pemeriksaan ini didasari pada vitalitas jaringan; jaringan yang vital akan berdarah saat
ditusuk dengan jarum. Pemeriksaan ini tidak sensitiv dan tidak spesifik sehingga tidak lagi
digunakan.

Eskarotomi dan eskarektomi

Kesimpulan pengamatan klinis dibuktikan pada kesempatan melakukan eskarotomi (untuk


tujuan life atau limb saving) dan atau eskarektomi (untuk nekrotomi dan dbridement). Topik
ini dibahas berikut.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 194


Moenadjat

Gambar 167. Luka bakar pada tangan karena api. Pengamatan klinis menunjukkan gabungan derajat 2 (pada sisi
dorsal) dan 3 (pada falanges). Eksarotomi yang ditujukan memperbaiki perfusi ke distal membuktikan luka pada
sisi dorsal adalah derajat 3 (meliputi seluruh ketebalan dermis). Foto: koleksi pribadi

Eksisi tangensial

Penilaian kedalaman luka dikerjakan dengan cara melakukan sayatan berlapis (eksisi
tangensial) pada eskar (daerah non-vital), sampai dijumpai permukaan yang berdarah (daerah
vital). Pisau bedah diletakkan pada kedalaman yang sama dengan pengambilan donor skin
graft (kl. 0.02 inci), termasuk sudut, tekanan pisau; serta traksi jaringan; dengan demikian,
selain menilai kedalaman luka prosedur ini dikerjakan untuk tujuan penilaian vitalitas jaringan
dan evaluasi degradasi luka.

Gambar 168. Prosedur eksisi tangensial (kiri) dikerjakan sebagaimana mengambil donor STSG (split thickness
skin graft) menggunakan dermatom (kanan). Gambar bawah menunjukan handy dermatome (Pisau Humby).
Dikutip dari Janzekovic Z. The burn wound from the surgical point of view. J Trauma 1975

Prosedur ini dikerjakan dalam waktu beberapa saat setelah cedera; mengacu pada
beberapa pertimbangan: 1) sesegera mungkin memperoleh penilaian kedalaman luka yang
diperlukan untuk menentukan tatalaksana selanjutnya, dan 2) membuang jaringan nekrosis
dan atau eskar sesegera mungkin sebelum jaringan nekrosis ini menginduksi proses inflamasi

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 195


Moenadjat

sistemik (SIRS) dan kekacauan metabolisme lebih lanjut. Oleh karenanya, prosedur eksisi
tangensial sebaiknya dikerjakan dalam waktu 3-4 hari pasca cedera (pada kasus-kasus ringan-
sedang) dan sebelum 14 hari pada kasus-kasus luka bakar berat.
Mengacu pada kriteria waktu, prosedur ini dikenal dengan sebutan eksisi dini; namun
belakangan, pada perkembangan berikutnya diterapkan kriteria waktu lebih awal yaitu dalam
24 jam pasca trauma. Disadari bahwa prosedur ini memiliki resiko, oleh karenanya seyogyanya
mengacu pada beberapa kriteria, sebagaimana diuraikan di atas.

Kriteria
Penatalaksanaan eksisi dini (demikian pula halnya dengan skin grafting) ditentukan oleh
beberapa faktor:
1. Kondisi fisik cukup memungkinkan untuk menjalani operasi besar, hemodinamik stabil
2. Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah 16

Penatalaksanaan
Tindakan ini merupakan bagian dari intervensi bedah, sehingga semua kebutuhan fasilitas
yang menyangkut kegiatan pembedahan diperlukan. Beberapa pertimbangan dalam
melaksanakan tindakan ini antara lain:
Timing operasi
Pada luka bakar derajat dua dangkal, dapat dikerjakan sebelum 72 jam pasca cedera.
Pada luka bakar lebih dalam, baru dapat dikerjakan pada hari ke 5-7 pasca cedera.
Prosedur ini akan (atau dapat) dikerjakan beberapa kali dalam waktu dekat
Terakhir: penutup (skin graft, cultured atau synthetic epthelial layer, pembalut)

Teknik
Kerjasama ahli bedah dengan anestesi sangat erat:
1. Sehubungan dengan lokasi luka yang memerlukan perubahan posisi saat operasi,
penempatan iv line dan alat monitor seringkali harus dipindah ke tempat lainnya.
2. Tindakan operatif seringkali disertai kehilangan darah cukup banyak, yang perlu di
antisipasi.
3. Dengan permukaan telanjang dalam jumlah luas, hipotermia dapat terjadi dengan sangat
cepat.

Komplikasi
Perdarahan: untuk butir ini, eksisi tangensial (dini) dikerjakan maksimal seluas 15-20%
permukaan tubuh. Perdarahan akan menyebabkan gangguan hemodinamik yang dapat
mengantarakan pada kondisi sirkulasi yang (kembali) memburuk.
Infeksi
Salah satu cara untuk mencegah perdarahan, bila melakukan eksisi pada lengan atau
tungkai, dapat digunakan torniket dan melakukan elevasi ekstremitas bersangkutan.
Sedangkan komplikasi infeksi dibahas dalam penggunaan antibiotik pada bab 6.

Punch biopsy

Pemeriksaan histopatologi merupakan suatu jenis pemeriksaan dengan tingkat keakuratan


paling baik dalam menentukan kedalaman luka. Pemeriksaan ini dapat dikerjakan di beberapa
tempat untuk beberapa kali (dimungkinkan karena ukuran diameter puncher maksimal 2-8mm).
16 Masalah dengan pembekuan dijumpai pada 1) sepsis atau 2) penggunaan resusitasi cairan menggunakan

koloid, dan 3) obat-obatan opioid (NSAID) seperti ketorolac dan sejenisnya untuk tujuan analgesia.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 196


Moenadjat

Catatan yang perlu diingat, sebaiknya tidak mengambil sampel berupa jaringan nekrosis,
karena diskonfigurasi jaringan yang sudah terjadi akan mengaburkan hasil pemeriksaan.
Sebagai bahan pengawet dan atau fiksasi jaringan dianjurkan formalin, bukan alkohol.

Gambar 169. Punch biopsy. Selain mengetahui kedalaman luka, pemeriksaan ini bertujuan memperoleh informasi
dari karakteristik jaringan (proses inflamasi) dan menentukan adanya invasi bakterial (sepsis jaringan). Dikutip dan
disadur dari Janzekovic Z. The burn wound from the surgical point of view. J Trauma 1975

Aplikasi Laser Doppler Imaging (LDI)

Aplikasi kemajuan iptekdok dirasakan sangat bermanfaat dalam melakukan evaluasi


kedalaman luka, salah satunya menggunakan Laser Doppler Imaging (LDI) yang merupakan
pemeriksaan non-invasif, sayangnya perangkat ini cukup mahal dan sensitivitasnya masih
meragukan.

Gambar 170. Laser Doppler Imaging buatan Moor (USA) dengan desktop stand (kiri) dan scanner (kanan).
Dikutip dan disadur dari spesifikasi produk.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 197


Moenadjat

Gambar 171. Sebagaimana namanya, alat ini memanfaatkan sinar laser yang dipantulkan melalui fibre optic yang
ditangkap oleh sebuah sensor cahaya. Kedalaman jaringan dalam hal ini sangat menentukan warna yang
ditangkap oleh sensor cahaya sehingga teknik ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan penilaian kedalaman
luka. Sensor dihubungkan dengan sebuah prosesor dan gambaran berbagai derajat kedalaman luka dapat dilihat
di layar komputer. Dikutip dan disadur dari spesifikasi produk.

Gambar 172. Penampilan klinis luka bakar derajat dua dangkal, dua dalam dan derajat tiga (kiri) dan peta luka
(wound mapping) tercantum dalam status pasien di rekam medik (kanan). Dikutip dan disadur dari spesifikasi
produk.

Gambar 173. Tampilan hasil scanning dari LDI pada layar monitor komputer. Warna merah menunjukan derajat
dua dangkal, kuning-hijau dua dalam (semakin hijau semakin dalam) dan biru derajat tiga (full thickness burn).
Disini terlihat kelemahan alat canggih ini membedakan derajat tiga (pada paha kiri) dengan kulit normal (juga
memberikan warna biru). Oleh karenanya, untuk menghindari kesalahan, pada layar monitor komputer
ditampilkan foto klinis pasien bersangkutan (kanan). Dikutip dan disadur dari spesifikasi produk.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 198


Moenadjat

b. Penatalaksanaan luka
Penatalaksanaan luka berorientasikan pada masalah yang ada dari waktu ke waktu.
1. Pada kesempatan melakukan resusitasi yang menjadi prioritas, beberapa tindakan
penatalaksanaan luka antara lain:
a. Penatalaksanaan luka dikaitkan dengan rangkaian life and limb saving yang
bertujuan memperbaiki perfusi ke jaringan
b. Penatalaksanaan luka yang terfokus pada kerusakan lokal sebagaimana
dijelaskan pada butir-butir berikutnya
2. Pada fase awal, penatalaksanaan luka mengacu pada upaya mencegah terjadinya
degradasi luka, meredam proses inflamasi akut dengan mengupayakan suasana yang
kondusif untuk proses penyembuhan.
3. Fase selanjutnya adalah melakukan intervensi pada luka dalam upaya mencegah
timbulnya hipermetabolisme, mencegah atau memutus kaskade SIRS, MODS dan sepsis.
4. Berjalan seiring dengan acuan sebelumnya, penatalaksanaan luka berorientasikan
mencegah timbulnya parut hipertrofik dan kontraktur. Hal ini menjadi acuan namun
berdasarkan prioritas.

Karenanya, pada bab ini diuraikan rangkaian tatalaksana sesuai dengan tujuan
penatalaksanaan luka sebagaimana dijelaskan pada butir-butir di atas.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 199


Moenadjat

Bab VII

1. Penatalaksanaan Luka I: Fase awal


Yefta Moenadjat
David S. Perdanakusuma

P ada kesempatan melakukan resusitasi yang menjadi prioritas beberapa tindakan


penatalaksanaan luka dikaitkan dengan rangkaian life and limb saving yang bertujuan
memperbaiki perfusi ke jaringan.

Eskarotomi dan fasiotomi

Eskarotomi merupakan suatu prosedur life and limb saving, sebagai salah satu prosedur
yang merupakan rangkaian tatalaksana resusitasi. Pada sebuah literatur: Controversies in
Resuscitation (Jeng JC, 2003) dijelaskan, bahwa salah satu kegagalan resusitasi disebabkan
karena adanya eskar yang terabaikan (tidak ditatalaksanai sebagaimana mestinya, eskarotomi)

A B

C D

Gambar 174. Eskarotomi yang ditujukan untuk life saving dan limb-saving.
A Eskarotomi dinding dada untuk memperbaiki breathing mechanism. B Eskarotomi
lengan dan C eskarotomi pada tungkai. Sayatan memanjang melepaskan jeratan
eskar melingkar efektif memperbaiki sirkulasi ke distal; perhatikan darah hitam yang
berada di bawah eskar. D Eskarotomi pada tubuh, lengan dan tungkai.
Foto: koleksi pribadi

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 200


Moenadjat

Gambar 175. Disamping eskarotomi, kadang diperlukan fasiotomi; dikerjakan khususnya


pada luka bakar listrik atau luka bakar melingkar pada tungkai dengan sindroma
kompartemen. Foto: koleksi pribadi

Eskarotomi ini dapat dikerjakan dengan mudah tanpa harus melakukan prosedur anestesi,
menembus eskar sampai dicapai jaringan sehat (berdarah) sebagaimana dapat dilihat pada
gambar-gambar berikut. Beberapa jenis eskarotomi dikerjakan antara lain:
1. Eskarotomi dada sebagai suatu tindakan melepaskan eskar melingkar dinding dada
2. Eskarotomi pada ekstremitas (baik lengan maupun tungkai) untuk memperbaiki perfusi
ke distal.

Eskarotomi dan fasiotomi merupakan bagian dari rangkaian tindakan life dan limb saving,
dikerjakan saat resusitasi dan memegang peran kunci keberhasilan dalam resusitasi

Eskarektomi: nekrotomi dan dbridement

Gambar 176. Eskar mengering. Foto: koleksi pribadi

Eskarektomi dikerjakan dengan prosedur eksisi tangensial sebagaimana diuraikan


sebelumnya atau dengan teknik lainnya. Prinsipnya membuang jaringan nekrosis (nekrotomi)
dan meninggalkan jaringan vital sebanyak mungkin; bukan membuang jaringan sebanyak-
banyaknya. Beberapa metode untuk melakukan eskarektomi diuraikan berikut ini.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 201


Moenadjat

1. Eksisi tangensial (lihat prosedur eksisi tangensial pada halaman 193)

Eksisi dini

Eksisi dini adalah untuk tindakan pembuangan jaringan nekrosis (nekrotomi) dan debris
(dbridement) yang dikerjakan dalam waktu kurang dari 7 hari pertama pasca cedera
termis. Kriteria dini ini belum dapat didefinisikan secara tepat, karena pada awalnya
pengertian dini adalah kurang dari 2 minggu; (sebagian menyebutkan termin waktu
kurang dari 10 hari); kemudian pada perkembangannya diterapkan lebih awal yaitu
dalam 24 jam pasca trauma.

Dasar pemikiran dilakukannya tindakan dini ini ada beberapa hal, diantaranya :
1. Mengupayakan proses penyembuhan luka berjalan sesuai dengan waktu. Jaringan
nekrosis, debris dan eskar di buang, sehingga proses inflamasi tidak mengalami
proses berkepanjangan dan segera dilanjutkan proses fibroplasia. Ada beberapa
kondisi yang menyebabkan eskar demikian lama mengalami separasi dari jaringan
dibawahnya, dilaporkan antara lain disebabkan aplikasi antibiotik topikal, khususnya
silver sulvadiazine. Dengan semakin panjang waktu terlepasnya eskar, semakin lama
waktu yang diperlukan untuk proses penyembuhan. Sementara, menunggu eskar
lepas akan memakan waktu lama, disamping nyeri yang timbul saat pergantian
balutan. Selain itu, masa perawatan di rumah sakit dengan sendirinya akan memakan
waktu lama. Karenanya dipikirkan untuk melakukan intervensi lebih awal, dengan
melakukan eksisi dini.
2. Mengacu pada teori bermula dan berkembangnya respons inflamasi sistemik, SIRS.
Jaringan nekrosis melepaskan burn toxin (Lipid Protein Complex, LPC), yang
menginduksi pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi. Salah satu upaya memutus
mata rantai proses ini adalah melakukan eliminasi fokus, yaitu nekrotomi dan
dbridement sedini mungkin.
3. Semakin lama tindakan eksisi dilakukan, hiperemi akibat vasodilatasi di sekitar luka
sudah dimulai demikian pula proses angiogenesis; hal mana akan mengakibatkan
banyak darah keluar saat tindakan operasi.
4. Pertimbangan kolonisasi dan infeksi. Menurut Janzekovic, bila ditunggu lebih dari lima
hari, kolonisasi mikro-organisme patogen akan menghambat pemulihan graft,
disamping eskar yang mulai melembut; sehingga tindakan eksisi akan semakin sulit.
Dengan melakukan eksisi (nekrotomi dan dbridement) dini ini, jelas terjadi penurunan
mortalitas dan morbiditas. Mortalitas dikaitkan dengan angka kejadian SIRS, sementara
morbiditas dimaksudkan dengan kecenderungan terjadinya parut hipertrofik dan kontraktur;

2. Hydropressure. Pemanfaatan teknologi canggih menggunakan tenaga air


(hydropressure). Air disemprotkan dengan kekuatan tertentu, pada saat yang sama eskar
yang hancur (oleh karena pengaruh tekanan tinggi) dihisap. Keuntungan yang diperoleh
dengan mpemanfaatan alat ini selain bersih, dapat digunakan pada daerah lekukan-
lekukan di pelbagai bagian tubuh (misalnya muka) dan trauma minimal terhadap jaringan.

3. Enzymatic dbridement
Dbridement dilakukan dengan memanfaatkan enzim kolagenase. Jaringan nekrosis
melekat pada dasar luka karena masih dijumpai serat kolagen alami (yang bertahan
hidup). Serat kolagen ini hanya dapat dihancurkan oleh enzim proteolitik. Efek sinergis dari
kolagenase dengan protease memungkinkan berlangsungnya dekomposisi komponen luka

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 202


Moenadjat

yang mengalami nekrosis; dengan demikian penggunaannya akan mempercepat


pelepasan jaringan nekrosis dan dengan sendirinya diperoleh hasil luka yang bersih.
Enzim ini dapat menimbulkan efek negatif seperti hipersensitivitas dan menyebabkan rasa
terbakar (burning sensation), nyeri maupun iritasi. Enzim ini juga berinteraksi dengan
berbagai jenis antiseptikum, detergent, dan sabun yang kerap digunakan pada
pembersihan luka; dengan dampak terhambatnya efek kolagenase. Beberapa jenis
antibiotika seperti tetrasiklin, gentamycin, erythrocin dan sulfosalicylate juga menghambat
efek kolagenase sehingga penggunaannya tidak boleh digabung.
Di dalam jurnal dilaporkan prosedur dbridement menggunakan lintah (leech dan
maggot). Ezim hyaluronidase yang dikeluarkan oleh lintah ini menghancurkan jaringan
(struktur kolagen) yang merupakan bahan makanan lintah. Hirudin yang terkandung di
dalam enzim ini juga berperan sebagai suatu antikoagulan.

Gambar 177. Dbridement dan eskarektomi menggunakan Hydropressure (Versajet ). A Perangkat elektronik
dengan cairan yang digunakan untuk melakukan eskarektomi dan B. Prosedur eskarektomi pada muka. Pada saat
air bertekanan disemprotkan, air tersebut (beserta eskar yang hancur) dihisap melalui handpiece.
C. Prosedur pada tangan dan D. Prosedur pada bagian tubuh lainnya (dada). Dikutip dari spesifikasi produk

Gambar 178. Luka dengan lintah (leech, kiri) dan belatung (maggot, kanan) untuk tujuan enzymatic dbridement.
Dikutip dari Types of Wound Debridement. Available in website: http://www.medicaledu.com/debridhp.htm-18k

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 203


Moenadjat

Prioritas dbridement:
Prioritas dbridement pertama adalah suatu tindakan bedah (surgical dbridement);
sedangkan prosedur non-surgical menempati prioritas berikutnya.

Bahan Bacaan

1. Jeng JC. Controversies in Resuscitation. in Soper NJ. Problems in General Surgery: Burns. 2003, 20(1): p37-
46
2. Bakker JJ. Complication of severe burns. Oral presentation in Burn symposium and workshop. Jakarta:
Unpublished, 1997.
3. Dimick AR. Burn and cold injury. In: Hardys textbook of surgery. Philadelphia: JB Lippincott Company, 1983;
177.
4. Janzekovic Z. A new concept in the early excision and immediate grafting of burns. J Trauma 1970:10 1103-
8.
5. Janzekovic Z. The burn wound from the surgical point of view. J Trauma 1975:15 42-61
6. Klasen HJ. Early care of the burn patient. Oral presentation in Burn symposium and workshop. Jakarta:
Unpublished, 1997.
7. Sauer EW. Surgical treatment of burn wounds. Oral presentation in Burn symposium and workshop. Jakarta:
Unpublished, 1997.
8. Settle JAD. Principles and practice of burn management. NewYork: Churchill Livingstone, 1996; 275.
9. Wood FM. Early burn excision. Oral presentation at the Indonesian Surgeons Association Congress. Bali:
Unpublished, 1996.
10. Gray T, Pine RW, Harner TJ et.al. Early surgical excision versus conventional therapy in patients with 30-
40% burns. Am J Surg 1982; 144:76-80
11. Herndon DN, Barrow RE, Rutan, RL, et.al. Comparison of conservative versus early excision. Ann Surg 1989;
209:547553
12. Still Jr, Joseph M, Edward J. Decreasing length of hospital stay by early excision and grafting of burns.
Southern Medical Journal, Jun 96 Vol 89 Issue6, p578
13. Muangman P, Sullivan SR, Honari RN, Engrav L, Heinbach DM, Gibran NS. Optimal timing for early excision
in major burn injury, proceeding book of the American Burn Association 34th annual meeting, April 24-27,
2002.
14. Wachtel TL, Leopold GR, Frank HA, Frank DH. B-mode ultrasonic echo determination of depth of thermal
injury. Burns Incl Therml Inj 1986;12:432-7.
15. OReilly TJ, Spence RJ, Taylor RM, Scheulen JJ. Laser Doppler flowmetry evaluation of burn wound depth. J
Burn Care Rehabil 1988; 9:57-62.
16. Grossman A, Zuckerman A. Intravenous fluorescen photography in burns. J Burn Care Rehabil 1984;5:65.
17. Cole R, Jones S, Shakespeare P. Thermographic assessment of hand burns. Burns 1990;16: 60-3.
18. Milner SM, Bhat S, Gulati S, Gherardini G, Smith E, Bick RJ. Observations on the microcirculation of the
human burn wound using orthogonal polarization spectral imaging. Burns 2005;31(3):316-9.
19. McCauley RL, Heggers JP, Robson MC. Frostbite. Methods to minimize tissue loss. Postgrad Med
1990;88(8):67-8,73-7.
20. Smith and Nephew. Wound bed preparation. Available in website: http://www.worldwidewounds.com/2002/
april/Vowden/Wound-Bed-Preparation.html-41k-27Jul 2005
21. Krieger, Yuval MD; Rosenberg, Lior MD; Lapid, Oren MD; Glesinger, Ronen MD; Bogdanov-Berezovsky, Alex
MD, PhD; Silberstein, Eldad MD; Sagi, Amiram MD; Judkins, Keith hB[script phi]. Escharotomy Using an
Enzymatic Debridement Agent for Treating Experimental Burn-Induced Compartment Syndrome in an Animal
Model. Journal of Trauma-Injury Infection & Critical Care. 58(6):1259-1264, June 2005.
22. Webster ME, Altieri PL, Conklin DA, Berman S, Lowenthal JP, Gochenour RB. Enzymatic Debridement of 3rd
degree burns on Guinea-Pigs by clostridium hystolyticum proteinases. J Bacteriol. 1962 March; 83(3): 602
608.
23. Types of Wound Debridement. Available in website: http://www.medicaledu.com/debridhp.htm-18k
24. Song C. Total EarlyBurn Management. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore):
Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.
25. Song C. Total Early Wound Excision and Skin Cover. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society
(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.
26. Siang OY. Meta-Analysis of Early Excision of Burns. Patients. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing
Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 204


Moenadjat

27. Banwell P. Modern Wound Care. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore): Stem
Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 205


Moenadjat

Bab VII

2. Penatalaksanaan Luka II:


Penutupan luka
Yefta Moenadjat
David S. Perdanakusuma

M asalah yang menjadi perhatian setelah prosedur eskarektomi adalah penutupan luka
(proses epitelisasi). Pertanyaan yang perlu dijawab: apakah luka akan mengalami
penyembuhan (yaitu penutupan luka, proses re-epitelisasi) dalam waktu 10hari? (10 hari
adalah tempo yang dikaitkan dengan insidens parut hipertrofik dan kontraktur). Untuk
menjawab pertanyaan ini diperlukan kemampuan melakukan penilaian luka. Luka dengan
kondisi apa yang dapat mengalami penyembuhan dalam waktu tersebut.
Luka bakar derajat dua superfisial biasanya mengalami penyembuhan spontan, dimana
proses re-epitelisasi spontan dimungkinkan berlangsung. Seperti diketahui, proses re-
epitelisasi ini tidak hanya berlangsung dari stratum germinativum di lamina basalis, namun juga
dari apendises kulit. Pada luka derajat dua dangkal, penyembuhan dalam waktu 10-14 hari
dimungkinkan; namun dibutuhkan waktu lebih lama pada kasus luka bakar derajat dua dalam.
Luka bakar derajat tiga dimana terjadi kerusakan jaringan ekstensif, termasuk dalam hal ini
kulit dan organ-organ apindises kulit, yang menyebabkan proses re-epitelisasi hampir tidak
mungkin terjadi.

Pada luka yang menutup (mengalami epitelisasi spontan) dalam waktu kurang dari
10 (sepuluh) hari, insidens parut hipertrofik dan kontraktur adalah sebesar 4%.
Sedangkan pada luka yang menutup (mengalami epitelisasi spontan) lebih dari 3
minggu, insidens parut hipertrofik dan kontraktur meningkat hampir 20 kali lipat (75-
80%). Karenanya, pola tatalaksana luka mengacu pada prosedur penutupan dengan
melakukan intervensi (skin grafting atau metode lainnya) bila diperkirakan luka akan
mengalami penutupan (epitelisasi spontan) lebih dari 3 minggu.

Berbagai jenis penutup luka antara lain:


1. Skin graft (auto-graft). Prosedur skin grafting menjadi prioritas pertama dalam
pemilihan sarana penutup luka, karena diyakini sebaik-baik penutup luka adalah kulit.
Pemilihan metode lainnya menjadi prioritas bila dijumpai ketrbatasan donor skin graft.
2. Allo graft dan xeno-graft
3. Biological dressing
4. Penutup sintetik

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 206


Moenadjat

Skin grafting

Skin grafting adalah salah satu metode penutupan luka sederhana, yang merupakan salah
satu modalitas utama dalam ilmu bedah plastik. Pada kasus luka bakar di fase awal, skin
grafting dikerjakan menggunakan Split Thickness Skin Graft (STSG).
Metode ini diterapkan pada luka bakar; berdasarkan tujuan:
Menghentikan evaporative heat loss berlebihan yang menyebabkan gangguan
metabolisme. Dalam mengatasi raw surface yang terjadi, diupayakan suatu penutup luka
biologik terbaik bagi tubuh.
Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai waktu. Berkenaan dengan
STSG yang relatif lebih mudah take dibandingkan Full Thickness Skin Graft (FTSG).

Kehilangan kulit yang luas pada luka bakar menyebabkan hilangnya barier kulit yang
berperan pada pengaturan penguapan dan mencegah infeksi mikroorganisme dari luar;
menyebabkan penguapan berlebihan disertai kehilangan energi (panas, protein, dsb. lihat bab
3.2 perubahan metabolisme). Skin graft yang dilekatkan merupakan penutup luka terbaik.
Sehingga dengan penutupan ini penguapan berlebihan dapat dihentikan. Proses epitelisasi
(penutupan luka) merupakan bagian dari proses penyembuhan luka (fase kedua, fase
fibroplasi). Dengan tertutupnya luka, proses berlanjut ke fase berikutnya, sehingga waktu yang
diperlukan untuk penyembuhan dengan sendirinya menjadi lebih pendek. Hal ini tentunya akan
menyebabkan kerusakan jaringan lebih lanjut akibat proses peradangan yang berkepanjangan.

Penatalaksanaan
Beberapa hal menjadi perhatian dalam penatalaksanan prosedur skin grafting ini, antara
lain :
Penentuan timing operasi
1. Persiapan operasi, baik donor maupun resipien
2. Penentuan prioritas daerah yang memerlukan penutupan, sehubungan dengan
keterbatasan donor
3. Beberapa alternatif untuk mengatasi masalah keterbatasan donor.
4. Prosedur operasi
5. Perawatan pasca prosedur skin grafting

Timing operasi
Penentuan timing ini sangat penting, berkaitan dengan tujuan penutupan luka itu sendiri
(lihat bab1, pendahuluan). Dengan melakukan eksisi dini dan melakukan prosedur skin grafting
ini sesegera mungkin, keberhasilan prosedur akan tercapai, dengan sendirinya tujuan awal
penatalaksanaanpun akan tercapai (lihat eksisi tangensial, eksisi dini pada penatalaksanaan
luka I). Hal kedua yang menjadi catatan pada penentuan timing ini adalah pengertian yang
berkenaan dengan prosedur melekatkan STSG. Pengertian sesegera mungkin dapat
dilakukan untuk pengambilan donor STSG, namun STSG dilekatkan selang beberapa waktu
kemudian (delayed, penundaan), khususnya untuk luka bakar derajat tiga (lihat eksisi dini pada
luka bakar).

Persiapan operasi
Persiapan donor, berlaku ketentuan sebagai mana prosedur skin grafting pada umumnya
(termasuk menentukan lokasi donor, dsb.) Hal yang perlu dicatat disini adalah mengupayakan
pengambilan donor STSG setipis mungkin.
Persiapan resipien. Dalam hal ini perlu dicatat beberapa hal, antara lain :

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 207


Moenadjat

Perlekatan donor dengan resipien akan semakin baik bila prosedur skin grafting ini
dilakukan pada waktu yang optimal. Pengertian waktu yang optimal adalah dimana kondisi
jaringan sudah cukup reaktif dan siap menerima donor. Dalam hal ini tidak menunggu jaringan
granulasi; bahkan jaringan granulasi yang berlebihan akan sangat merugikan, karena terutama
memengaruhi take dan kemungkinan terjadinya parut hipertrofik bahkan kontraktur.
Sebagaimana diketahui, raw surface dengan jaringan granulasi berlebihan akan memproduksi
eksudat yang berlebihan yang akan memengaruhi take STSG.
Proses eksudasi dimaksud juga sangat dipengaruhi oleh penggunaan jenis antiseptik
tertentu, misalnya iodine povidon. Oleh karenanya, penggunaan pembalut steril dan penerapan
dilusi beberapa hari sebelum prosedur akan memberikan hasil lebih baik.

Pada masa lampau, penentuan prioritas daerah yang memerlukan penutupan,


sehubungan dengan fungsi (dan estetik) dan keterbatasan donor, penutupan luka
diprioritaskan pada bebrapa daerah tertentu yang dapat dilihat pada gambar berikut. Namun,
menurut konsep yang kini dianut (mengacu pada SIRS dan MODS), seluruh jaringan nekrosis
harus dibuang sebanyak mungkin (bila memungkinkan: eksisi total) dan penutupan luka di saat
dijumpai keterbatasan donor merujuk pada pemanfaatan artificial-skin.

Gambar 179. Prioritas daerah tubuh yang memerlukan penutupan: muka dan kepala, tangan, siku, ketiak, lutut,
kaki; mengacu pada rekonstruksi dan rehabilitasi yang berorientasi pada pengembalian fungsi. Dikutip dari Grabb
and Smiths Plastic Surgery 1st ed.1971

Prosedur operasi
Dengan keterbatasan donor maupun sarana, pengambilan donor tidak harus selalu
menggunakan dermatom (pisau Humbyatau electric dermatome).
Prosedur eksisi seringkali diikuti penyulit seperti perdarahan. Dengan perdarahan dan
berkumpulnya hematom, perlekatan STSG juga akan terganggu. Oleh karenanya
pengendalian perdarahan sangat mutlak.
Beberapa alternatif dalam upaya hemostatik:
Prinsip pertama dan utama: sebaik-baik sarana hemostasis pada jaringan luka adalah
kulit (misal: graft). Dengan melekatkan graft pada luka, berlangsung proses hemostatik
efektif yang bersifat alami.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 208


Moenadjat

Penggunaan kauter, biasanya tidak efektif karena bersifat difus, selang beberapa
waktu selama dan pasca bedah akan terjadi perdarahan ulang (rembesan)
Aplikasi vasokonstriktor pada kasa lembab yang diletakkan sementara pengambilan
donor (untuk hal ini harus dipertimbangkan dengan baik, karena bahaya toksisitas
vasokonstriktor yang masuk ke dalam pembuluh darah yang terbuka); penulis tidak
menganjurkan prosedur ini.
Penggunaan tie over dan / atau balut tekan yang efektif

Semakin luas luka bakar, semakin harus diusahakan take 100%. Sehingga untuk ini, ada
beberapa petunjuk keberhasilan untuk tindakan skin grafting ini antara lain:
1. Donor setipis mungkin
2. Bed (luka, resipien) cukup responsif, tak perlu menunggu jaringan granulasi (apalagi
jaringan granulasi yang tumbuh berlebuhan membentuk granuloma)
3. Pastikan kontak antara graft dan bed yang baik dan cukup lama, sampai jalinan hubungan
kehidupan terbentuk permanen.
Cegah gerakan atau pergeseran, baik dengan pembalut elastik, tie over atau bahkan
dibiarkan terbuka. 1) Drenase yang baik, 2) Gunakan kasa adsorben

Perawatan pasca prosedur skin grafting


Penilaian hasil prosedur skin grafting sangat ditentukan oleh langkah-langkah yang
dilakukan pada prosedur itu sendiri (penentuan timing operasi, hemostasis, donor tipis, balut
tekan, kasa adsorben, dsb). Bila proses eksudasi tidak berlebihan, biasanya penilaian hasil,
sekaligus penggantian balutan dapat dikerjakan dalam waktu 5-7 hari pasca bedah.
Sebaliknya, dengan eksudasi berlebihan; terlihat sebagai balutan yang jenuh, dalam 24-48
jam pertama pasca bedah dapat dilakukan pergantian balutan; selanjutnya disesuaikan
kebutuhan.
Perawatan luka menerapkan prinsip-prinsip umum perawatan luka.

Pemilihan alternatif metode dalam hal keterbatasan donor.


Luka bakar luas dihadapkan pada masalah keterbatasan donor STSG. Sehingga
diperlukan beberapa alternatif untuk mengatasi hal ini, antara lain :
a Penggunaan metode stamp postage, dengan jarak antar setiap potongan STSG yang
diperkirakan akan dapat mengalami proses epitelisasi spontan, umumnya diyakini
berjarak < 1cm.

Gambar 180. Metode stamp postage (kanan) dibandingkan skingrafingt biasa. Diterapkan
secara sederhana dengan meletakkan skin graft berjarak maksimal 1 cm; jarak yang
diperkirakan dapat mengalami proses epitelisasi spontan pasca prosedur grafting. Foto: koleksi
pribadi

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 209


Moenadjat

b Penggunaan metode mesh grafting, merupakan penerapan sistim jaring-jaring dengan


perbandingan tertentu, (1:1 sampai 1:6) yang memungkinkan pemanfaatan kulit secara
maksimal karena proses ekspansi.

Gambar 181. A. Mesh graft. STSG diekspansi (1:3 sampai dengan 1:6) menggunakan sebuah mesher (gambar
B). Pada gambar C menunjukan mesh graft segera setelah dilekatkan dan gambar D menunjukan proses
epitelisasi setelah 6 (enam) minggu. Foto: koleksi pribadi

c Penggunaan Cultured Epithelial Autograft-cells (CEA) dan artificial skin lainnya yang
diuraikan secara detil pada halaman berikut.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 210


Moenadjat

Cultured Epithelial Autograft cells (CEA)


dan kulit sintetik lainnya

Cultured Epithelial Autograft-cells (CEA) merupakan kulit artifisial yang dikultur


(dikembangkan) in-vitro dari donor sel-sel basal epidermis; ditujukan untuk menutup luka dan
merangsang proses penyembuhan.
Pada penelitian yang dilakukan sekitar tahun 1970-an CEA dapat tumbuh pada media yang
baik untuk skin grafting; pertama kali diuji coba secara klinik pada tahun 1983. Pengembangan
CEA ini didasari upaya-upaya untuk mengatasi kehilangan jaringan (kulit) terutama akibat luka
bakar luas. Pada kondisi keterbatasan donor dan metode ekspansi jaringan, metode
pengembangan CEA ini bermula.

Stem Cell dan Tissue Engineering

CEA merupakan langkah awal dari era tissue engineering yang dimulai sejak awal
tahun 1980-an. Inti dari pengembangan jaringan ini adalah kepada sesuatu yang sangat
mendasar yaitu stem cell.

Stem cell
Stem cell adalah suatu jenis sel yang tidak memiliki struktur tertentu, membentuk
berbagai sel dan jaringan tubuh; dibedahkan menjadi jenis embrional dan tipe dewasa.
Pada tipe embrional, sel ini diperoleh pada blastocyst, membentuk ektoderm, endoderm
dan mesoderm yang berkembang menjadi berbagai bentuk sel dan jaringan. Atas dasar
kesamaan asal, berbagai jenis sel memiliki kesamaan dalam hal struktur dan fungsi,
misalnya sumsum tulang dengan epidermis; oleh karenanya pada apilaksi klinik,
pembentukan epidermis dimungkinkan dibentuk dari sumsum tulang. Tipe dewasa
demikian pula halnya, tergantung tingkat diferensiasi sel: pluripoten, multipoten, progenitor
dan sel itu sendiri. Pembentukan sel-sel baru dimungkinkan mengganti sel yang rusak atau
mengalami perubahan oleh karena suatu penyakit tertentu (misalnya menggantikan sel-sel
jantung yang iinfark, atau mengupayakan regenerasi sel-sel keganasan).
Selanjutnya, berbagai penelitian dilakukan, sebagaimana halnya dengan cloning
membentuk sel-sel, jaringan, bahkan ujud suatu mahluk tertentu. Proses pembentukan
jaringan artifisial melalui proses ini disebut tissue engineering.
Dalam bab penutup luka ini, pembahasan mengenai tissue engineering ini dibatasi
hanya pada pembuatan kulit (epidermis dan dermis) artifisial.

CEA dikembangkan melalui tahapan-tahapan yang secara ringkas diuraikan sebagai


berikut; dimulai dari biopsi dilanjutkan isolasi dan kultur selektif terhadap keratinosit.
Metode Rheinwald dan Green untuk preparasi CEA dilakukan dalam tiga tahap:
a) Preparasi sel-sel penunjang. Pada lempeng berukuran 75cm2 yang dilapisi media
mengandung 10% serum kulit sapi, sel-sel miofibroblas 3T3 yang berasal dari tikus dapat
tumbuh dengan densitas 2.5X104/cm2.
Sebelum proses inokulasi keratinosit, dilakukan prosedur radiasi (sebagai sarana
sterilisasi).
b) Persiapan keratinosit. Dilakukan biopsi keratinosit, kemudian trypsin-EDTA dibubuhkan ke
dalam kultur keratinosit pada media mengandung 10% serum kulit janin sapi; dengan
densitas 1-2X106/cm2 sel per lempeng.

Preparasi graft yang terdiri dari 4-6 lapis sel. Lembar CEA diangkat dari lempeng media
menggunakan enzim protease netral, untuk kemudian siap dilekatkan pada area resipien.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 211


Moenadjat

Dengan dikembangkannya CEA ini diperoleh beberapa keuntungan, khususnya menurunkan


kebutuhan dan morbiditas donor. Namun untuk pengembangannya diperlukan biaya dan
teknologi yang sangat mahal.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhubungan dengan
bidang kedokteran, dihasilkan beberapa jenis CEA; yang mengandung komponen epidermis
dan komponen dermis (composite graft). Pengembangan juga mencakup ke arah penggunaan
komponen allograft, baik dari kadaver maupun dari hewan.
a) Pengembangan bahan yang ekivalen dengan kulit hidup.
b) Kombinasi keratinosit autolog dengan komponen dermis manusia, baik yang hidup
maupun mati.
c) Kombinasi keratinosit autolog dengan matriks makromolekular.

Fisiologi klinik
CEA ini menggantikan epidermis, dan hanya epidermis. Graft keratinocyte demikian tipis,
fragile dan tidak memiliki komponen dermal yang diduga berperanan penting pada proses
penyembuhan.
Aplikasi CEA menghasilkan pertumbuhan lapis epidermis permanen. Dalam waktu 6 hari,
secara klinik tampak sebagai suatu lapisan tipis halus, mengkilat. Secara histologik,
pembentukan dermo-epidermal junction terjadi dalam waktu 3-4 minggu, sedangkan rete pegs
terbentuk dalam waktu 6-12 bulan. Melanosit dapat tumbuh pada CEA ini, namun tidak
berfungsi selama periode waktu yang cukup lama. Sementara regenerasi densitas kulit normal
membutuhkan waktu 4-5 tahun.

Aplikasi klinik
CEA ini diindikasikan pada luka sedalam dermis (deep-partial thickness) yang
membutuhkan skin grafting. Pada luka bakar, diindikasikan pada luka bakar luas; yang
diperkirakan tidak dapat mengalami re-epite;isasi (spontan) dalam waktu 10 hari (lihat eksisi
dini dan skin grafting ).
Pada kesempatan pertama melakukan pencucian luka (kondisi hemodinamik belum stabil)
atau pada prosedur eksisi tangensial (kondisi hemodinamik stabil), diambil sampel epitel untuk
dikembangkan (kultur). Epitel seluas 1 cm2 dikembangkan menjadi satu lempeng (cawan datar
berdiameter 10cm) dan siap dilekatkan ke area resipien setelah 3 (tiga) minggu.

Masalah yang dijumpai pada penggunaan CEA di klinis antara lain:


1. Kesulitan melepaskan CEA dari lempeng media (tipis, rapuh), meskipun menggunakan
enzim protease netral.
2. Penggunaan media yang sekaligus berfungsi sebagai sarana transportasi, yaitu membran
poliuretran yang bersifat hidrofilik (Hydroderm, Wilshire medical, Inc. Dallas, Tx)
3. Lapisan ini lebih mudah take dibandingkan STSG. Namun, oleh karena hanya terdiri dari 4-
6 lapis sel, dan komponen dermis (rete pegs) baru mulai terbentuk dalam waktu 4-6
minggu, CEA ini tidak tahan terhadap gaya gesek maupun tekan; sehingga mudah lepas.
Untuk mengatasi masalah ini diupayakan penggunaan lem fibrin dan atau pemanfaatan
komponen dermis artifisial (misal, AlloDerm dan Integra ). Mudahnya CEA terlepas dari
lapisan dibawahnya juga diduga oleh karena adanya perubahan sifat dari asam hialuronat
pada lapisan epidermis. Asam hialuronat berperan memengaruhi sel dalam hal motilitas,
adhesi dan pelepasan sel; mengalami kerusakan akibat radiasi. Oleh karenanya dipikirkan
untuk tidak melakukan radiasi pada preparasi media (tahap I) dan menambahkan
Fibronektin (zat anti fibrinolitik) dan Growth hormone.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 212


Moenadjat

Berdasarkan masalah-masalah yang dijumpai pada penerapan klinis, penggunaan CEA


akan lebih optimal bila digabung dengan penggunaan mesh grafting dan atau komponen
dermis (baik auto-allo maupun sintetis).

Skin substitute

Penemuan dan pengembangan artificial skin substitute baik yang berupa allograft maupun
sintetik membawa era baru dalam manajemen luka yang dihadapkan pada permasalahan
terbatasnya donor. Di China, banyak digunakan skin substitute yang bersifat temporer maupun
permanen berasal dari kadaver (allograft) maupun kulit babi (xeno-graft); epithelial layer dan
full thickness component. Tidak diperoleh banyak literatur yang menjelaskan organic skin
substitute ini.
Beberapa artificial synthetic skin substitute dikembangkan dan memberi manfaat, antara
lain Epicel (Dr.Green, Cambridge, Massachusetts) adalah salah satu contoh hasil
pengembangan CEA yang merupakan komponen epidermis yang berasal dari kulit pasien
(autograft). AlloDerm (Dr. Charles Baxter, LifeCell Corp., The Woodlands, Texas) adalah
contoh pengembangan CEA yang mengandung komponen dermis allograft yang berasal dari
kadaver; dan komponen dermis ini telah menjalani proses pengurangan sel-sel yang potensial
dalam reaksi imun. Sedangkan Integra (Marion Laboratories, Kansas City, Missouri)
merupakan hasil penggabungan komponen dermis bovin dengan lembar silikon tipis
menyerupai epidermis. Pemanfaatan artificial skin substitute ini tidak mudah dan digabung
bersama mesh graft atau Epicel dsb.

Skin tissue engineering: produk komersial

Berbagai produk skin tissue engineering dapat dibagi menjadi tiga kategori tergantung
tujuan utamanya. Perbedaan diantara ketiganya adalah lapisan kulit.

1. Cultured epidermal grafts

Merupakan skin substitutes yang terdiri dari (hanya) epidermis. Graft epidermal ini berasal
dari sel-sel kulit pasien sendiri sehingga tidak mengalami penolakan. Dimulai dengan
pengambilan sedikit kulit pasien (2X3cm) untuk kemudian dikembangkan menjadi lapisan kulit
(epidermis) yang diperlukan (mencapai 100% luas permukaan tubuh). Prosenya membutuhkan
waktu 16 hari.
Untuk menghasilkan suatu epidermal graft, sel-sel yang diperoleh melalui biopsi kulit sehat di-
isolasi dan ditempatkan pada sebuah cawan, kebutuhan nutrisi dipenuhi sehingga
memungkinkannya tumbuh menjadi selembar jaringan berukuran 10X12 cm. Bila proses kultur
jaringan selesai, epidermal graft diletakkan pada sehelai surgical dressing material dan dikirim
ke sentrum pelayanan untuk prosedur transplantasi.
Daya tahan hidup sel ini berkisar 24 jam, sehingga memungkinkan pengiriman. Laboratorium
jaringan saat ini tercatat di Amerika Serikat, Eropa, Australia, Jepang, dan Singapore.
Karena termasuk dalam kategori yang merupakan prosedur medik, produknya tidak
memerlukan FDA approval.
Produk
Nama produk : Epicel, Genzyme Biosurgery, Cambridge, MA.
Pertama digunakan : 1987, oleh BioSurface Technology
BioSurface Technology was acquired by Genzyme Tissue Repair 1994.
Indikasi : Epicel digunakan pada kasus-kasus luka bakar derajat tiga dengan luas
sekurang-kurangnya 50%.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 213


Moenadjat

Gambar 182. EpicelTM Dikutip dari spesifikasi produk

2. Dermal replacements

Penyembuhan luka bermula dari sel itu sendiri (stem cells kulit terletak di lapisan dermis,
kolagen dan fibroblas). Dengan demikian, untuk memperoleh kemampuan penyembuhan kulit,
lapisan dermis ini memerlukan restorasi. Lebih lanjut, dengan adanya lapis dermis ini,
pengembalian fungsi epidermis dapat diupayakan melalui pemanfaatan artificial temporary
replacements (misalnya films) yang selanjutnya digantikan oleh STSG yang dapat tumbuh
dengan mudah.
Berdasarkan hal ini, maka para ahli dan pengembang terfokus pada pengembangan
dermal replacement ini. Aplikasinya, dermal replacement dikombinasi dengan epidermal
synthetic layer.Untuk tindakan rekonstruksi, lapis epidermis dibuang dan digantikan dengan
thin skin graft.
Produk
Nama produk : Alloderm, Life cell, Branchburg, NJ.
Pertama kali digunakan : 1994 (FDA approval not needed).
Indikasi : Luka bakar dalam, atau luka lain dengan kedalaman full thickness,
atau penggantian jaringan lunak.

Donor Alloderm berasal dari jaringan manusia yang diproses 17 saat melakukan pembuangan
sel-sel epidermal dan dermal dalam preservasi matriks dermal. Karenanya Alloderm tidak
memiliki lapisan epidermis.

Proses pembuatannya terdiri dari 3 tahap:


Tahap 1: Pembuangan epidermis.
Seluruh lapis epidermis dibuang termasuk bagian yang melekat dengan dermis,
sementara membran basal tetap dipertahankan.
Tahap 2: Solubilisasi sel.
Sel-sel dermis dibuang menggunakan detergen molekul rendah yang tidak
menyebabkan denaturasi sementara matriksnya dipertahankan stabilisasinya dengan
menghambat efek metalloproteinase. Kegagalan pembuangan seluruh sel ditandai
dengan kerusakan / kematian jaringan yang akan menimbulkan proses penolakan
jaringan.

17 Telah melalui screening terhadap infeksi termasuk HIV

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 214


Moenadjat

Tahap 3: Preservasi kering.


Jaringan dikeringkan secara khusus (freeze-dried) dalam upaya preservasi integritas
biologis dermal matrix, eliminasi pembentukan kristal es yang biasa menyertai proses
freeze-drying standar. keseluruhan proses diselenggarakan dibawah supervise US
Tissue Banks, American Association of Tissue Banks (AATB) dan FDA; tidak
memerlukan FDA approval.

Nama produk : Integra Dermal Regeneration Template, Integra Life Science


Corporation, Plainsboro, N.J.
Pertama kali digunakan : Luka bakar: 1996 and Kontraktur luka bakar: 2002.
Indikasi : Luka bakar dalam, rekonstruksi parut kontraktur.

Gambar 183. Teknik aplikasi Integra pada kasus luka bakar seluas 40% disertai cedera
inhalasi. A. Meshed Integra diletakkan di atas fasia setelah prosedur eksisi di lengan (LB
3o) B. Penutupan Integra menggunakan silastic dan 2 minggu kemudian dilakukan
pembuangan lapis silastic digantikan dengan thin epithelial grafts. C.1 minggu setelah
prosedur grafting dengan take >90%. D.Follow-up setelah 4-tahun. Dikutip dari
spesifikasi produk

Integra Dermal Regeneration Template merupakan suatu sistim regenerasi kulit dua-
lapis lapis pertama bagian luar (epidermal) dibuat dari suatu silastic membrane tipis dan lapis
dalam (dermal) merupakan kompleks yang terbentuk dari cross-linked fibers matrix kolagen
tendon bovin dan hiu. Materi yang bersifat porous ini berperan sebagai scaffold untuk
berlangsungnya proses regenerasi sel-sel dermal, yang memungkinkan proses pertumbuhan (-
kembali) lapis dermal fungsional. Sekali lapis dermal mengalami regenerasi, lapis silastic
dipermukaan dibuang dan digantikan oleh epidermal skin graft. Template Integra dapat
digunakan pada kasus-kasus luka bakar yang tergolong life-threatening sementara donor untuk
skin graft tidak diperoleh atau tidak / belum memungkinkan karena kondisi pasien. Integra juga
dapat dimanfaatkan untuk rekonstruksi jaringan parut yang disebabkan luka bakar.
Sejak Juni 1999, Integra secara eksklusif dipasarkan dan didistribusikan ke seluruh dunia
oleh Johnson & Johnson Medical.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 215


Moenadjat

Nama produk : Dermagraft, Smith and Nephew Wound Management, La Jolla, CA.
Pertama : Ulkus: 2001. Dystrophic Epidermolysis Bullosa (DEB): 2003.
digunakan The FDA approved Dermagraft untuk digunakan pada manusia dengan DEB.

Indikasi : Ulkus diabetikum pada tungkai. Ulkus yang tidak melibatkan tendon, otot , kapsul sendi
atau tulang.
Luka-luka pada kasus DEB.

Gambar 184. Dermagraft Dikutip dari spesifikasi produk

Dermagraft dikembangkan oleh Advanced Tissue Sciences, La Jolla, CA. bekerjasama


dengan Smith & Nephew. Advanced Tissue Sciences kemudian menjual sahamnya dalam
bentuk Dermagraft kepada Smith & Nephew di bulan November 2002 karena bangkrut.
Dermagraft diproses melalui cryopreserved human fibroblast-derived dermal substitute yang
terbentuk dari fibroblas, extracellular matrix, dan suatu bioabsorbable scaffold. Dermagraft
tidak memiliki lapis luar dan diproduksi melalui 3 tahapan:
Tahap 1: Sel-sel Human fibroblast dii-ekspan dan ditaburkan (seeded) pada suatu
bioabsorbable polyglactin scaffold. Sel-sel tersebut telah melalui pemeriksaan terhadap
bakteria, virus, fungi, dan mycoplasma.
Tahap 2: Sel-sel yang dilekatkan pada scaffold digandakan untuk mengisi ruang di scaffold.
Tahap 3: Sel-sel mengalami divisi dan tumbuh menghasilkan human growth factors, cytokines,
extracellular matrix protein dan GAGs. Produk akhirnya adalah suatu bentuk human dermal
substitute tiga dimensi melalui proses cryopreservasi mengandung sel-sel yang memiliki
aktivitas metabolisme.

Bila Dermagraft diaplikasikan, luka ditutup dengan suatu non-adherent dressing. Setelah 3-
4 minggu, scaffold larut dan lapis epithel alami tumbuh.
Produk sebelumnya yaitu Dermagraft TC, telah disetujui untuk dipasarkan untuk suatu penutup
luka partial-thickness burns (1997). Dermagraft TC ini terbentuk dari silicone polymer
epidermal layer di bagian atas dan dermal layer yang diuraikan di atas. Telah digunakan untuk
penutupan luka temporer pasca eksisi luka bakar, lapis luar dibuang dan digantikan STSG.

3. Composite grafts
Nama produk : Apligraf, Organogenesis, Canton, MA
FDA approval : Ulkus venosa: 1998, ulkus diabetikum:1998
Indikasi : Pengobatan ulkus dengan kedalaman partial thickness dan full thickness; termasuk
ulkus diabetikum pada tungkai yang mengenai dermis namun tidak pada tendon, otot,
kapsul sendi atau tulang.

Apligraf merupakan suatu living skin substitute dua-lapis yang diproduksi dari human
neonatal foreskin tissue. Lapis dermis terdiri dari fibroblas bovine Type I collagen lattice

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 216


Moenadjat

sementara lapis epidermis dibentuk dari keratinosit yang memiliki sifat well-differentiated
stratum corneum.

Gambar 185. Apligraf Dikutip dari spesifikasi produk

Safety precautions:
Foreskin donors mother itelah menjalani pemeriksaan terhadap virus, termasuk
antibodinya (HIV-1), (HIV-2), (HTLV-1), hepatitis C virus (HCV), hepatitis B surface antigen
(HbsAg), dan syphilis. Bank fibroblas dan keratinosit juga telah menjalani pemeriksaan
terhadap berbagai virus manusia maupun hewan, retrovirus, bakteria, fungi, yeast,
mycoplasma, karyology, isoenzymes, dan tumorigenicity.

Manufacturing process:
Fibroblas ditempatkan pada suatu membran semipermeabel terhadap bovine type I
collagen. Setelah masa inkubasi 6 hari, dimana fibroblas membentuk matriks protein dan saling
melekat dengan filament-filamen kolagen, keratin ditebarkan pada matriks dan menunggu 4-5
hari untuk mencapai masa inkubasinya (10 hari). Setelah 10 hari keratinosit terpapar pada
suatu air-liquid-interface, masih dibutuhkan 11 hari untuk memungkinkan produk ini dipakai,
dan bertahan selama 5 hari dalam kemasan. Apligraf dikemas dalam suatu cawan sirkular
berukuran diameter 75mm dan ketebalan 0.75mm dalam medium agar.

Produk final
Apligraf tidak mengandung sel-sel Langerhans, melanocytes, macrophages, lymphocytes,
pembuluh darah atau folikel rambut. Apligraf tidak mengandung matriks protein, cytokines dan
growth factors yang terdapat di kulit manusia seperti: TGF-a, TGF-b1, TGF-b2, IL-1,-6, -8, -11,
interferon-a,b, IGF-1 dan PDGF.
Produk final ini telah menjalani pemeriksaan-pemeriksaan terhadap morfologi, viabilitas,
epidermal coverage, sterilitas, mycoplasma, dan physical container integrity.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 217


Moenadjat

PRODUCT INDICATIONS FOR USE CLINICAL CONSIDERATIONS

Cultured Epidermal Grafts

Epicel For treatment of deep dermal - Cultured keratinocytes can be grown in 3 weeks
or full-thickness wounds - Graft take varies from poor to fair
where sufficient donor sites - Process is expensive
are unavailable. - Grafts extremely fragile and may remain so for
months after grafting

Dermal Replacements

AlloDerm For treatment of full-thickness - Immunologically inert


burns and use in plastic and - Allows for immediate wound closure with thin
oral surgery epidermal autografting during same procedure
- Postoperative dressing may remain in place for 14
days or longer

Integra For treatment of life- - Provides immediate postexcisional physiologic


threatening full-thickness or wound closure
deep partial-thickness - Allows the use of a thin epidermal autograft of 0.005
thermal injury where sufficient inch
autograft is not available at - Must remain in place for 21 days before epidermal
the time of excision or not autografting; must be protected against shearing
desirable due to the forces and mechanical dislodgment
physiologic condition of the - Contraindicated in patients with a known
patient hypersensitivity to bovine collagen or chondroitin
materials
- Contraindicated in the presence of infection

Dermagraft For treatment of foot ulcers in - Applied weekly for up to 8 weeks to promote healing
diabetic patients (Canada - Does not require additional autografting
and United Kingdom); clinical
trials ongoing in the United
States for treatment of
diabetic foot ulcers

Composite Grafts

Apligraf For use in conjunction with - Does not require additional autografting
standard compression for - Contradicted for use on clinically infected wounds, in
treatment of noninfected patients with a known allergy to bovine collagen, and
partial- and full-thickness skin in patients with a known hypersensitivity to the
ulcers due to venous contents of the agarose shipping medium
insufficiency of greater than 1
month's duration that have
not adequately responded to
conventional ulcer therapy;
for use with conventional
diabetic foot ulcer care in the
management of diabetic foot
ulcers of greater than 3
weeks' duration

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 218


Moenadjat

Pembalut dan penutup luka lain

Berbagai penutup luka dapat digunakan pada kasus luka bakar; masing-masing memiliki
khasiat khusus, untuk tujuan khusus pula. Umumnya, terdiri dari pembalut yang memiliki daya
absorben untuk luka-luka yang eksudatif dan kurang eksudatif. Selain faktor eksudat, beberapa
khasiat lain kerap ditambahkan, misalnya antibiotika atau zat-zat lain yang diperlukan untuk
stimulasi proses penyembuhan (penutupan) luka. Dari struktur dan materinya, dibedakan
pembalut yang merupakan bahan organik dan sintetik.
Berbagai sarana penutup luka sintetik dikembangkan berkenaan dengan permasalahan
yang dijumpai:
1. Kesulitan (khususnya berkaitan dengan tingginya biaya
2. Kesulitan memperoleh (khususnya berkaitan dengan tingginya biaya) organic maupun
synthetic skin substitute.

Biological dressing

Sebagaimana namanya, penutup biologis merupakan alternatif penutup luka terbaik


setelah kulit, namun tentu tidak sebaik kulit karena masih mungkin timbul atau terjadi
mekanisme penolakan. Penutup biologis yang umum digunakan adalah plasenta; berperan
sebagai: 1) penutup luka dan 2) merangsang pertumbuhan epitel karena mengandung growth
factor.
Plasenta dilekatkan pada raw surface setelah pencucian luka dan diupayakan
kelembabannya terjaga dalam 24 jam sehari. Dalam beberapa hari plasenta mongering dan
perlu diganti.
Beberapa tahun terakhir diupayakan suatu kemasan plasenta siap pakai yang telah melalui
prosedur sterilisasi menggunakan radiasi dan telah dipasarkan di Indonesia oleh Badan
Tenaga Atom Nasional (Batan) dalam berbagai ukuran; memudahkan para klinisi untuk
menerapkan metode ini. Tidak banyak literatur yang mendukung penelitian tentang
pemanfaatan plasenta ini. Namun, dengan adanya kandungan Growth Factor, plasenta
digunakan sebagai suatu sarana penutup yang merangsang peruses penyembuhan.

Kasa: pembalut konvensional

Kasa (gauze) telah lama digunakan sebagai sarana penutup luka dan termasuk metode
konvensional. Kasa dimaksud memiliki kapileritas dan bersifat hidrofilik (adsorben); ditujukan
untuk menyerap eksudat.
Penggantian balutan menjadi suatu fokus perhatian dikaitkan dengan beberapa hal, antara
lain: 1) Serat-serat kasa (kasa dengan kualitas kurang baik) tertinggal di luka dan merupakan
benda asing yang menyebabkan iritasi dan memicu proses inflamasi, 2) perlekatan kasa
dengan luka menyebabkan kesulitan saat pergantian; selain bersifat traumatis terhadap luka
juga menyebabkan nyeri saat pergantian.
Untuk mengatasi kedua permasalahan tersebut, digunakan tulle (grass) yang dibubuhi
vaselin (petroleum product) dan sebagai upaya mengatasi problem infeksi, antimikroba kerap
ditambahkan. Permasalahan lain muncul dengan penggunaan tulle ini, antara lain: 1) resistensi
antimikroba (lihat pemberian antibiotika pada luka bakar), 2) suatu hal yang tanpa disadari
bertentangan dengan prinsip-prinsip proses penyembuhan luka alami. Prinsip dimaksud adalah
sebagaimana dibahas berikut. Prinsip penatalaksanaan luka untuk mengupayakan
penyembuhan adalah menciptakan suasana kondusif; sebagaimana luka basah diperlakukan
dengan cara atau metode basah (lembab), luka kering diperlakukan dengan cara (metode)

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 219


Moenadjat

perawatan kering pula. Perawatan luka basah (eksudatif) menggunakan zat-zat dengan
vehikulum berbasis air (water base) seperti liquid, solution atau krim. Sedangkan perawatan
luka kering menggunakan zat-zat dengan vehikulum berbasis minyak (petroleum product)
seperti salep, ointment dan lainnya. Berbagai produk tulle yang beredar di pasar sampai saat
ini hampir kesemuanya menggunakan vehikulum berbasis petroleum product; vaselin dsb dan
hal ini tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang disebutkan sebelumnya. Disayangkan pula,
bahwa penggunaan tulle ini dianggap sebagai suatu standar perawatan luka. Bahwa sebagai
suatu sarana mencegah perlekatan kasa dengan luka, penggunaan tulle ini merupakan solusi
yang baik; namun penggunaan petroleum product merupakan penerapan yang keliru.

Gambar 186. Berbagai bentuk dan ukuran hydrophyllic gauze (atas) dan tulle (bawah)

Saat ini diyakini bahwa perawatan kelembaban luka (moist dressing) merupakan suatu
metode yang terbaik untuk proses penyembuhan (catatan: lembab, bukan basah). Dengan
kelembaban ini, proses inflamasi diredam, proses fibroplasias dan apitelisasi menjadi lebih
baik. Untuk mengupayakan kelembaban luka, kasa dibasahi kemudian diperas. Saat kasa
mongering, kasa dilembabkan kembali dengan cara menggantinya atau menetesi air
secukupnya.
Kelembaban juga dapat diupayakan dengan aplikasi krim pelembab (moisturizer)
sesering mungkin. Beberapa jenis krim pelembab banyak diperoleh di pasar dapat digunakan
untuk tujuan tersebut.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 220


Moenadjat

Gambar 187. Berbagai krim pelembab di pasar. Berbentuk krim murni, maupun dibubuhkan zat-zat hemostasis
dan antiseptikum (Feracrylum). Dikutip dari spesifikasi produk

Synthetic dressing dan penutup luka lainnya


1. Penyerap eksudat
Banyak produk pembalut yang memiliki khasiat sebagai adsorben. Yang paling sederhana
adalah kasa hidrofil. Produk khusus diperuntukkan bagi luka bersifat eksudatif dan kurang
eksudatif.

Gambar 188. Aquacel Dikutip dari spesifikasi produk

Madu sampai saat ini masih banyak digunakan untuk perawatan luka; review dari
beberapa RCT menunjukan bahwa madu baik untuk proses penyembuhan luka. Selain
menyediakan energi yang diperlukan, madu memiliki khasiat menyerap eksudat.

Gambar 189. Madu masih digunakan untuk perawatan luka dan menunjukan presentasi perbaikan di atas rata-
rata (kontrol) secara bermakna. Dikutip dan disadur dari Namias N. Honey in management of infections. Surgical
infections. Available in website: http://www.medscape.com

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 221


Moenadjat

2. Mengatasi bau tidak sedap


Produk ini memiliki khasiat selain menyerap eksudat, juga menetralisir bau kurang sedap
dari luka, misalnya Lyofoam .

Gambar 190. Lyofoam Dikutip dari spesifikasi produk

3. Mengandung zat autolytic


Beberapa produk dipasar diperoleh merupakan kombinasi dari pembalut adsorben,
dibubuhkan enzim autolitik (kolagenase, protease, dsb) untuk tujuan melepaskan jaringan
nekrosis dari luka (lihat enzymatic debridement)

4. Mengandung zat antiseptik dan atau antibiotika


Beberapa produk dipasar diperoleh merupakan kombinasi dari pembalut adsorben,
dibubuhkan zat antiseptik maupun antibiotika untuk mengatasi problema infeksi.

Acticoat adalah pengembangan suatu jenis synthetic dressing merupakan pembalut yang
berperan sebagai pembawa silver (antimikroba). Dengan sistim nanocrystall-silver dilepas
secara kontinu. Aplikasi pembalut ini mengacu pada moist dressing, perlu dibasahi setiap
waktu. Balutan diganti dalam waktu 3-5 hari.
Catatan mengenai pemanfaatan nanocrystall-silver ini justru menghindari efek negatif dari
sulfadiazine, yaitu terbentuknya metalloproteinase yang menyebabkan terhambatnya
penyembuhan luka.

Gambar 191. Acticoat dengan nano-crystalline-silver. Dikutip dari spesifikasi produk

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 222


Moenadjat

Gambar 192. Acticoat dan khasiat yang ditawarkannya mengungguli Silver Sulfadiazine. Banyak keuntungan
diperoleh dengan pembalut ini sehingga disebut-sebut sebagai smart dressing, sayang harganya cukup mahal.
Dikutip dan disadur dari spesifikasi produk

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 223


Moenadjat

Gambar 193. Vacum Assisted Closure (VAC ) dari KCI. Dikutip dari spesifikasi produk
5. Menggunakan metode vakum
Dalam tahun-tahun terakhir diyakini bahwa kondisi hampa udara pada luka merupakan
sarana penyerap eksudat sehingga tercipta suasana kondusif bagi penyembuhan luka.
Pembalutan menggunakan metode hampa udara ini ditawarkan oleh KCI dengan merk
dagang Vacum Assisted Closure (VAC) . Dengan VAC, luka dipertahankan kelembabannya
(termasuk caian interstisium); materi asing dan zat-zat infektif ditiadakan sehingga tercipta
suasana luka yang uniform, jaringan granulai dipromosi, sehingga berlangsungnya proses
epitelisasi dipermudah.

Bahan Bacaan
1. Wright JB, Kan Lam, Buret AG, Olson ME. Burrell RE. Early healing events in a porcine model of
contaminated wounds: effects of nanocrystalline silver on matrix metalloproteinases, cell apoptosis, and
healing Wound Repair and Regeneration 2002: 10(1); p.141-151.
2. Graham JS, Chilcott RP, Rice P, Milner SM, Hurst CG and Maliner BI. Wound Healing of Cutaneous Sulfur
Mustard Injuries: Strategies for the Development of Improved Therapies. Journal of Burns and Wounds [serial
line] 2004:4(1)1. Available from url://www.journalofburnsandwounds.com
3. Demling RH, The Role of Anabolic Hormones for Wound Healing in Catabolic States. Journal of Burns and
Wounds [serial online] 2005;3(1):11. Available from: URL: http://www.journalofburnsandwounds.com
4. Danielson, JR and Walter, RJ, Case Studies: Salicylic Acid (Avosil) and Hydrogel (Avogel) may be Useful
in Limiting Scar Formation. Journal of Burns and Wounds [serial online] 2005:4(6):119. Available from: URL:
http://www.journalofburnsandwounds.com
5. Poindexter BJ, Immunofluorescence, Deconvolution Microscopy and Image Reconstruction of Human
Defensins in Normal and Burned Skin. Journal of Burns and Wounds [serial online] 2005:4(7):128.Available
from: URL: http://www.journalofburnsandwounds.com]
6. Riley KN and Herman IM, Collagenase Promotes the Cellular Responses to Injury and Wound Healing in
vivo. [serial online] 2005:4(8):141. Available from: URL: http://www.journalofburnsandwounds.com
7. Heimbach D, Mann R, Engrav L. Evaluation of the Burn Wound. Management Decisions. Total Burn Care
1996;81-86.
8. Janzekovic Z. A new concept in the early excision and immediate grafting of burns. J Trauma 1970:10 1103-8
9. Janzekovic Z. The burn wound from the surgical point of view. J Trauma 1975:15 42-61
10. Herndon DN, Barrow RE, Rutan RL, et all : Comparison of conservative versus early excision. Ann Surg
1989; 209:547553
11. Still Jr. Joseph M, Edward J. Decreasing length of hospital stay by early excision and grafting of burns.
Southern Medical Journal, Jun 96 Vol 89 Issue6, p578
12. Wood F. Early burn excision. Oral presentation at the Indonesian surgeon association congress. Bali,
Indonesia, July 1996.
13. Wolfe RR, Desai MH, Herndon DN. Metabolic response to excision therapy, The art and science of burn care,
Ch.19, p:145
14. Perdanakusuma DS, Sudjatmiko G. Immediate atau delayed skin grafting? Bagian ilmu bedah FKUI / RSUPN
Dr Cipto Mangunkusumo, Jakata, 1995.
15. Tamba RP, Moenadjat Y. Skin grafting pada kasus trauma: evaluasi selama lima tahun. Bagian Ilmu Bedah
FKUI / RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakata, 1998

Skin grafting
1 Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM. Grabb & Smith's plastic surgery. Philadelphia: Lipincott Raven, 1997;
161.
2 Cohen M, Goldwyn, RM. Mastery of surgery, mastery of plastic and reconstructive surgery, vol.I. Boston:
Little Brown and Company, 1994; 403.
3 Converse, JM, McCarthy, JG, Littler, JW. Reconstructive plastic surgery, 2nded. vol. I. Philadelphia: WB
Saunders Company, 1977; 483.
4 Dimick AR. Burn and cold injury. In: Hardys textbook of surgery. Philadelphia: JB Lippincott company, 1983;
177
5 Janzekovic Z. A new concept in the early excision and immediate grafting of burns, J Trauma 1970:10 1103-
8
6 Janzekovic Z. The burn wound from the surgical point of view, J Trauma 1975:15 42-61

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 224


Moenadjat

7 Klasen HJ. Early care of the burn patient. Oral presentation in Burn symposium and workshop. Jakarta:
Unpublished, 1995.
8 MacGill KA. Overview of burn reconstruction. Oral Presentation in Pediatric Plastic Surgery. Melbourne:
Royal Childrens Hospital, Unpublished, 1977.
9 Perdanakusuma DS, Sudjatmiko G. Immediate atau delayed skin grafting?, Jakarta: Bagian Ilmu Bedah
FKUI / RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Unpublished, 1995.
10 Sauer EW. Surgical treatment of burn wounds. Oral presentation in Burn symposium and workshop. Jakarta:
Unpublished, 1995.
11 Settle JAD. Principles and practice of burn management. NewYork: Churchill Livingstone, 1996; 275.
12 Tamba RP, Moenadjat Y. Skin grafting pada kasus trauma, evaluasi selama lima tahun. Jakata: Bagian Ilmu
Bedah FKUI / RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Unpublished, 1998.
13 Holmes JH, Honari S, Gibran NS. Excision and Grafting of the Large Burn Wound. in Soper NJ. Problems in
General Surgery: Burns. 2003, 20(1): p47-54

CEA
1. Aston SJ, Beasley, RW, Thorne CHM. Grabb & Smith's plastic surgery. Philadelphia: Lipincott Raven, 1997;
161.
2. Cohen M, Goldwyn, RM. Mastery of surgery, mastery of plastic and reconstructive surgery, vol.I. Boston:
Little Brown and Company, 1994; 403.
3. Fei X, Seah CS, Lee ST. Human keratinocytes for burn patients a preliminary report, J Trauma, July 1991,
vol 20 No.4.
4. Lee ST. Cultured epithelial autograft and skin equivalent. Oral presentation in Pediatric Plastic Surgery.
Melbourne Royal Childrens Hospital, Unpublished, 1977.
5. MacGill KA. Overview of burn reconstruction. Oral presentation in Pediatric Plastic Surgery. Melbourne: Royal
Childrens Hospital, Unpublished, 1977
6. Wood FM. Early burn excision. Oral presentation at the Indonesian Surgeons Association Congress. Bali:
Unpublished, 1996.
7. Settle JAD. Principles and practise of burn management. NewYork: Churchill Livingstone, 1996; 345.
8. Wolf SE. Cultured Cells and Their Utility in Massive Burn. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing
Society (Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug
2005

Skin Substitute dan tissue engineering


1. Skin substitutes. Available in website http://www.burnsurgery.org
2. Synthetic skins. Available in website http://www.ameriburn.org
3. Drossou A, Fallabela A, Kirsner RS. Antiseptics on wound: an area of controversy. Wounds
4. Enoch S, Harding K. Wound Bed Preparation: The Science behind the Removal of Barriers to Healing.
Wounds 15(7):213-229, 2003. 2003 Health Management Publications, Inc.
5. Demling RH, DeSanti L. Closure of Partial-Thickness Facial Burns With a Bioactive Skin Substitute in the
Major Burn Population Decreases the Cost of Care and Improves Outcome. Wounds 14(6):230-234, 2002.
2002 Health Management Publications, Inc.
6. Barrandon Y. Multipotent Cells and the Reconstructyion of the Skin. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound
Healing Society (Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore,
Aug 2005
7. Lane EB. How Keratin Filaments Contribute to Stress Resistance. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound
Healing Society (Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore,
Aug 2005
8. Phan TT. Isolation, Cultivation, Characterization and Utilization of Umbilical Cord Membrane-derived
Epithelial and Mesenchymal Stem/Progenitor Cells; A Noval Source of Stem Cells for Regenerative Medicine,
Cell-based Therapy and Tissue Engineering. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing Society
(Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005
9. Raghunath M. Matrix Enhancement: Novel Strategies to increase Extracellular Matrix Content of Engineered
Tissue. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells & Tissue
Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005

Dressing
1. Burrell RE, Heggers JP, Davis GP. Efficacy of Silver-coated dressing as Bacterial barriers in a rodent burn
sepsis model. Wounds: 1999, 11(4);64-71.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 225


Moenadjat

2. Wright JB, Kan Lam, Buret AG, Orlon ME, Burrell RE. Early healing events in a porcine model of
contaminated wounds: effects of nanocrystalline silver on matrix metalloproteinases, cell apoptosis, and
healing. Wound Rep Reg 2002;10:141151
3. Kirsner RS, Orsted H, Wright JB. The role of Silver in wound healing: Matrix metalloproteinases in normal and
impaired wound healing, the potential role of nanocrystalline silver . Wounds 2003: 13(3) May/June Suppl. C
4. Wright JB, Kan Lam, Buret AG, Orlon ME, Burrell RE. Is Antimicrobial Efficacy Sufficient? A Question
Concerning the Benefits of New Dressings. Wounds 2003;15(5):133142
5. Dow G. Et al. Infection in chronic wounds; controversies in diagnosis and treatment. Ostomy / Wound
Management 1999;45(8):23-40.
6. Sibbald RG. Et al. Preparing the Wound Bed - Debridement, Bacterial Balance, and Moisture Balance.
Ostomy/Wound Management 2000;46(11):14-35.
7. Staiano-Coico L. Et al. Wound Fluids: A Reflection of the State of Healing. Ostomy / Wound Management
2000;46(Suppl 1A);85S-93S
8. Exeter NH. Study Shows Acticoat Dressings Anti-fungal Effectiveness. Am J of Infection Control Aus-Sep
2001
9. Greenhalgh DG. Frontiers in wound healing. in Soper NJ. Problems in General Surgery: Burns. 2003, 20(1):
p70-79
10. Argenta, LC, Morykwas, MJ. Vacuum assisted closure: A new method for wound control and treatment:
Clinical experience. Annals of Plastic Surgery, 1997; 38(6): 563-77.
11. Joseph, E., et al. A prospective randomized trial of vacuum assisted closure versus standard therapy of
wound.
12. KCI Medical Asia PTE.Ltd. VAC Therapy Workshop. 3rd Meeting of Wound Healing Society (Singapore):
Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005
13. Monaro S. Nanocrystalline Silver in Wound Care. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing Society
(Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005
14. Perdanakusuma D. A New Strategy in Scar Management. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing
Society (Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug
2005

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 226


Moenadjat

Bab VII

3. Perawatan Luka
Yefta Moenadjat
David S. Perdanakusuma

P erawatan luka bukan suatu hal yang mudah, sangat tergantung pada kondisi klinik luka.
Beberapa kasus memerlukan perawatan luka tertutup, sebagian memerlukan perawatan
terbuka, tidak dapat ditentukan secara pasti metode mana yang terbaik.
Perawatan luka tebuka menyebabkan proses penguapan (evaporative heat loss) berlebihan,
luka sangat mudah terkontaminasi; karenanya memerlukan ruang isolasi dengan pengaturan
suhu ruangan (berkisar 27-30oC, kelembaban minimal). Sebaliknya, dengan perawatan luka
tertutup proses penguapan memang dapat dicegah sampai dengan kl 30%; tetapi penggantian
balutan dihadapkan pada permasalahan lain seperti nyeri, potensi timbul infeksi (yang tidak
langsung terlihat) dan sebagainya. Penggantian balutan harus disesuaikan dengan kebutuhan
(kondisi luka); saat balutan dipenuhi eksudat (karena efek kapiler kasa/balutan) sehingga
mencapai titik jenih, maka itulah saat penggantian balutan. Selain bersifat adsorben, kasa
harus cukup tebal (bulky) sesuai tujuan pembalutan itu sendiri (lihat pembalut dan penutup
luka).
Pengaturan posisi perlu diperhatikan selama proses perawatan, dikaitkan dengan
penatalaksanaan prosedur penggantian, penekanan bagian tubuh tertentu, dan tujuan
rehabilitasi.

Gambar 194. Perawatan luka pada tangan seringkali dihadapkan pada beberapa permasalahan, antara lain
kesulitan prosedur penggantian balutan dan hasil akhir proses penyembuhan (kontraktur, dsb). Pemanfaatan
fiksatur eksternal melingkarsebagaimana pada gambar di atas sering digunakan pada perawatan luka di tangan.
Foto: koleksi pribadi

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 227


Moenadjat

Gambar 195. Perawaatan luka tidak terlepas dari masalah rehabilitasi. Penerapan perawatan mengunakan fiksasi
eksternal dan pengaturan posisi bagian tubuh tertentu sangat diperlukan untuk proses penyembuhan dan
restorasi fungsi. Foto: koleksi pribadi

Pencucian luka merupakan suatu hal yang mutlak dikerjakan, dikaitkan dengan proses
dilusi dalam upaya minimalisasi kemungkinan infeksi, pembersihan luka dari produk-produk
jaringan mati, dsb. Pencucian ini dilakukan setiap kali melakukan penggantian balutan, tidak
ada batasan berapa kali dalam sehari atau berapa hari sekali namun tergantung kebutuhan
klinis. Selain alasan proses dilusi, kebersihan luka mutlak dijaga untuk memperoleh lingkungan
luka sehat yang diperlukan untuk berlangsungnya proses penyembuhan.
Dalam hal perawatan luka khususnya luka eksudatif, penggunaan bidai terbuat dari gips
kerap kali dihadapkan pada masalah terutama infeksi karena bahan mudah terkontaminasi dan
sulit dibersihkan (sekali pakai harus dibuang). Perawatan luka menjadi lebih rumit karenanya,
disamping aroma yang tidak menyenangkan karena bahan gips menyerap eksudat, darah dsb.
Untuk itu, penggunaan bidai terbuat dari bahan plastik sintetik atau alumunium menjadi lebih
efisien karenanya. Bidai dapat dicuci dan digunakan kembali setelah pencucian luka.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 228


Moenadjat

Gambar 196. Pemanfaatan bidai terbuat dari bahan sintetis menunjukan efisiensi dibandingkan bidai terbuat dari
gips. Pencucian mudah dilakukan dan memperkecil potensi infeksi, dapat dibentuk kembali sesuai kebutuhan.
Foto: koleksi pribadi

Bahan Bacaan
1. Demling RH. Burn Modules: Wound Management. Available in website: http://www.bursurgery.org
2. Richard R, Johnson M. Rehabilitation of the Burned Patient. in Soper NJ. Problems in General Surgery:
Burns. 2003, 20(1): p88-96
3. Wolf SE. Modern Management of Burn Injuries. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing Society
(Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005
4. Banwell K. Modern Wound Care. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing Society (Singapore):
Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 229


Moenadjat

Bab IX

Permasalahan Lanjut:
Rekonstruksi Luka Bakar
Yefta Moenadjat
David S. Perdanakusuma

asalah parut akibat luka bakar merupakan tantangan yang memerlukan perhatian
M khusus. Umumnya parut luka bakar dihadapkan pada permasalahan berkenaan dengan
gangguan fungsi dan penampilan; parut hipertrofik (menimbul) atau bahkan hipotrofik (cekung),
keloid dan kontraktur.
Kesemua jenis permasalahan parut yang dihadapi ini terjadi karena proses penyembuhan
luka yang lebih rumit dan lebih lama dibandingkan proses penyembuhan luka karena sebab
lain; menjadi karakteristik luka bakar. Proses penutupan luka (epitelisasi) yang berlangsung
lebih dari 3 (tiga) minggu memiliki potensi sangat besar (75-80%) terjadinya permasalahan
sebagaimana disebutkan. Dapat dimengerti mengapa permasalahan parut merupakan hal
yang lazim pada kasus luka bakar.

Parut hipertrofik dan Keloid


Pada proses penyembuhan, penimbunan kolagen yang cukup banyak menyebabkan parut
menimbul (atau hipertrofik) bahkan mungkin penimbunan ini demikian hebatnya melebihi batas
/ ukuran luka asal dikenal sebagai keloid. Entitas keduanya secara klinis hampir sama, namun
keloid hampir selalu tumbuh berlebihan disertai nyeri yang tidak dijumpai pada parut hipertrofik.
Pada kedua jenis parut ini distribusi kolagen pada fase fibroplasia tidak seimbang dengan
resopsi pada fase maturasi, pada parut hipertrofik umumnya tidak sehebat keloid. Beberapa
teori menjelaskan etiologi parut hipertrofik dan keloid, tidak ada satu teoripun yang dapat
menerangkan dengan tegas. Teori-teori tersebut antara lain menjelaskan hubungan sebab
akibat antara: jenis-jenis luka dikaitkan dengan proses penyembuhan, intervensi pada luka
termasuk penggunaan modalitas terapi, dan intervensi pada proses maturasi dengan timbulnya
masalah parut ini.
Luka yang mengalami proses penyembuhan lebih lama terpapar pada kemungkinan
timbulnya parut hipertrofik dan keloid. Proses inflamasi yang berjalan demikian hebat dan
memakan waktu lama untuk proses penyembuhan sebagaimana luka bakar dalam sangat
mungkin berakhir dengan keloid. Demikian pula halnya luka yang terinfeksi dan melibatkan
respons jaringan berupa proses inflamasi.. Proses inflamasi diperberat akibat kontak dengan
beberapa zat yang bersifat iritatif seperti berbagai jenis antiseptik (povison iodin, klorheksidin,
Silver Sulfadiazine, dsb). Berbagai jenis materi asing yang tertinggal di jaringan, demikian pula
dengan penggunaan materi jahit (benang) berukuran besar dan menimbulkan reaksi jaringan
(benang kromik, benang sutera, dan beberapa jenis benang diserap lainnya) memicu proses
inflamasi yang kerap berakhir dengan timbulnya keloid.
Proses inflamasi hebat dan fase maturasi terhambat, merupakan karakteristik yang sangat
potensial terhadap timbulnya keloid. Berdasarkan hal tersebut, luka bakar (dalam) merupakan
suatu jenis kasus yang memiliki potensi besar terhadap timbulnya keloid.
Proses inflamasi menyebabkan peningkatan kadarTGF (khususnya tipe R1 dan R2) dan
Smad3 yang meningkatkan proliferasi fibroblast berlebihan (sintesis kolagen) pada

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 230


Moenadjat

patogenesis keloid. Vitamin C yang selama berpuluh tahun diyakini sebagai suatu zat
mikroelemental mutlak diperlukan untuk berlangsungnya proses penyembuhan luka, ternyata
berperan besar dalam peristiwa timbulnya keloid. Suasana luka dengan suasana asam (pH
rendah) juga berperan besar pada patogenesis keloid.
Peran zat pigmen (melanin) ditunjang fakta bahwa prevalensi keloid sangat besar pada ras
berkulit hitam (negroid) sementara hampir tidak pernah dijumpai pada ras berkulit putih
(kaukasus).

Penatalaksanaan

Karena tidak banyak diketahui penyebabnya, maka penatalaksanaan parut ini tidak ada
yang tuntas, dan karenanya inti penatalaksanaan adalah pencegahan.
Prinsip penatalaksanaan keloid diuraikan sebagai berikut:
1. Penekanan (pressure)
2. Medikamentosa
3. Radiasi
4. Operatif

Penekanan adalah modalitas pertama dan utama diyakini sampai saat ini, meskipun dalam
satu dua tahun terakhir ada yang meragukan efektivitasnya. Penekanan ini dilakukan secara
kontinu dalam 2-3 minggu pertama dan dilanjutkan dengan penekanan di malam hari sampai
terjadi maturasi (kl berlangsung 6-8 bulan). Beberapa metode penekanan dapat diterapkan,
antara lain:
- Penggunaan plaster fiksasi, misalnya dengan Micropore buatan 3M
- Perban elastik, untuk daerah-daerah yang berbentuk sirkumferensial misalnya lengan
dan tungkai.
- Penggunaan garment khusus
- Silicones sheet, misalnya Cica Care buatan Smith and Nephew, USA

Gambar 197. Penggunaan garment untuk tangan dan Silicones sheet sebagai
upaya mencegah timbulnya keloid. Foto: koleksi pribadi

Penggunaan medikamentosa menempati urutan berikutnya. Beberapa jenis obat-obatan


dapat digunakan untuk mencegah, menghambat dan mengobati keloid antara lain steroid,
ekstrak beberapa zat alami.

Triamsinolon asetonid.
Triamsinolon asetonid adalah suatu jenis steoid yang kerap digunakan untuk tujuan terapi
keloid. Triamsinolon asetonid ini merupakan steroid yang bekerja intraseluler, memengaruhi
metabolisme tropokolagen secara negatif (lihat gambar 199). Triamsinolon asetonid tersedia
dalam bentuk topikal (krim dan ointment) serta bentuk injeksi. Preparat topikal digunakan

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 231


Moenadjat

setiap hari selama beberapa bulan (umumnya 2-3 bulan), sedangkan preparat injeksi
digunakan antara 2-4 minggu sekali.
Teknik penyuntikan Triamsinolon asetonid:

Gambar 198. Teknik penyuntikan Triamsinolon asetonid. Gunakan semprit kecil dengan bevel
jarum menghadap ke permukaan. Mulai dengan jaringan paling permukaan. Dikutip dari
Wiratmadja M. Teknik penyuntikan keloid. KPPIK FKUI 1969.

Triamsinolon asetonid disuntikkan ke jaringan parut (keras) menggunakan semprit kecil


dengan bevel jarum menghadap ke permukaan. Gunakan semprit dengan jarum menyatu,
hindari penggunaan luer type syringe karena mudah terlepas (tekanan tinggi saat
penyuntikan).

Gambar 199. Fase maturasi dengan sintesis kolagen intrasel yang dipengaruhi oleh steroid. Dikutip dari
Moenadjat Y. Proses penyembuhan luka; 1994. Unpublished.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 232


Moenadjat

Bentuk injeksi tidak dianjurkan pada anak-anak, ada beberapa pertimbangan mengenai hal
ini. Penyuntikan intralesi membutuhkan ketenangan dan koordinasi dengan pasiennya,
sehingga tidak dimungkinkan melakukan penyuntikan pada anak-anak yang tidak atau kurang
kooperatif kecuali dalam pembiusan umum (narkose). Selain itu, pemberian steroid perinjeksi
perlu diperhitungkan dampak efek sistemiknya.

Ekstrak Cantella Asiatica


Ekstrak Cantella Asiatica (Madecassol ) dan allium cepa (Mederma ) dikembangkan
untuk memperhalus parut, tidak ditunjang oleh data ilmiah mengenai efektivitas
penggunaannya pada keloid.

Penekan pigmen.
Dalam penelitian-penelitian terakhir, dijealskan peran pigmen warna kulit (melanin) dalam
terbentuknya keloid. Berdasarkan teori tersebut, penggunaan zat-zat penekan pigmen seperti
hydroquinon 1-4% digunakan untuk mencegah timbulnya keloid.

5 Fluoro-Uracyl
5 Fluoro-Uracyl dengan khasiat anti-kanker menekan angiogenesia dan proliferasi
fibroblast yang berperan dalam patogenesis keloid dilaporkan memberikan hasil baik. Demikian
pula halnya dengan upaya mempertahankan suasana luka yang bersifat lebih basa.

Radiasi
Radiasi diberikan secara serial dengan dosis 6000rad, selama 5 (lima) hari berturut-turut.
Ada beberapa hal perlu diperhatikan pada pemanfaatan metode ini, antara lain efek terhadap
pertumbuhan baik jaringan lunak maupun tulang sehingga metode ini tidak diterapkan pada
anak-anak dalam usia pertumbuhan. Hal lain menyangkut dampak radiasi pada kehamilan dsb
patut diperhatikan.

Operasi
Operasi kadang efektif untuk parut hipertrofik tetapi pada keloid penerapan metode ini
tidak menjamin timbulnya rekurensi.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 233


Moenadjat

Gambar 200. Eksisi keloid dilanjutkan dengan prosedur penutupan (Full Thickness Skin Graft) dirangkaikan
dengan prosedur penekanan kontinu, penggunaan bidai, pemberian triamsinolon asetonid dan hydroquinone.
Foto: koleksi pribadi.
Mutimodalitas terapi
Pencegahan diyakini merupakan suatu cara efektif. Namun bila parut ini sudah timbul,
beberapa metode diterapkan secara simultan untuk mencapai hasil optimal. Kadang diperlukan
prosedur pembedahan dilanjutkan penekanan kontinu, penggunaan medikamentosa (baik
bentuk topikal maupun injeksi). Baik parut hipertrofik dan atau keloid sebaiknya menunggu
proses maturasi; prosedur operasi tidak dikerjakan segera atau pada kesempatan pertama.
Namun bila keloid demikian besar atau kerasnya, modalitas lain memang diragukan
efektivitasnya.

Kontraktur

Kontraksi (tepi) luka merupakan suatu hal yang diperlukan pada proses fibroplasia,
sebagai upaya tubuh memperkecil luas permukaan sehingga penutupan luka (epitelisasi)
dimungkinkan berlangsung. Namun bila proses fibroplasia berlangsung lama dan menghadapi
permasalahan yang demikian rumit, proses kontraksi ini akan berlangsung lebih progresiv dan
berlangsung lebih lama pula (meskipun pada fase maturasi), menyebabkan kontraktur.
Tergantung kedalaman luka, proses kontraktur akan melibatkan struktur di bawah kulit
seperti fasia, tendon dan ligamentum bahkan sendi-sendi.

Gambar 201. Berbagai kontraktur di tangan, ketiak dan kaki yang sangat umum dijumpai. Kondisi ini sebetulnya
dapat dicegah dengan perawatan luka yang baik sampai fase maturasi. Foto: koleksi pribadi.

Kontraktur pada tubuh atau bagian tubuh tertentu jelas menimbulkan masalah sehari-hari
yang berkaitan dengan gangguan fungsi dan penampilan; sehingga menimbulkan
permasalahan psiko-sosial. Permasalahan ini tidak jarang berakhir dengan gangguan kejiwaan
bagi penderitanya, bukan hanya keterbatasan dalam melakukan kegiatan sehari-hari, namun
dikaitkan dengan penampilan yang memberi kesan menyeramkan.

Penatalaksanaan

Mengatasi permasalahan kontraktur bukan hal yang mudah, oleh karenanya perlu
ditekankan pentingnya pencegahan dan pengendalian hingga dicapai maturasi parut. Upaya
pencegahan dikerjakan sejak awal (luka, raw surface) yang dilakukan perawatan konservatif
maupun prosedur operatif. Perawatan ini dilakukan sampai dengan fase maturasi (kl
berlangsung 6-8 bulan atau lebih). Baik menggunakan perban elastis maupun bidai atau
keduanya, mulanya (kl selama 2-3 bulan pertama) dilakukan secara kontinu, selebihnya dapat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 234


Moenadjat

dilakukan hanya pada malam hari. Penerapan multimodalitas terapi juga berlaku untuk
kontraktur.

Gambar 202. Kecacadan akibat luka bakar dalam pada muka dan kepala menyebabkan
gangguan fungsi bagian tubuh tertentu (kelopak mata, rongga mulut, dan leher ) serta gangguan
penampilan yang memberikan kesan menyeramkan. Foto: koleksi pribadi.

Bila kontraktur sudah terjadi, prosedur operatif menjadi pilihan. Prosedur ini dikerjakan
seawal mungkin, tidak menunggu maturasi jaringan karena kontraktur akan menyebabkan
gangguan fungsi. bahkan pertumbuhan Gangguan fungsi yang berkelanjutan akan
menimbulkan perubahan anatomi bahkan struktur anatomi seperti tendo, tulang dan lainnya
yang menyebabkan kecacadan permanen.

Berbagai metode dapat diterapkan dalam penatalaksanaan kontraktur ini, antara lain:
1. Pembebeasan kontraktur sederhana (linier) dikerjakan dengan teknik Z-plasty atau W-
plasty.
2. Pembebeasan kontraktur yang lebih kompleks atau luas. Jaringan kontraktur harus
dibebaskan seluruhnya, raw surface yang timbul akibat pembebasan ini ditutup
dengan modalitas yang ada seperti skin graft (baik split thickness maupun full
thickness) dan flap (baik secara konvensional misalnya flap lokal-random, aksial-
island, atau muskulokutan; maupun aplikasi bedah mikro)
Kadang diperlukan strategi untuk mengatasi kontraktur ini. Karena tingkat kesulitan yang
tinggi misalnya kontraktur fleksi pada lutut yang melibatkan kontraktur sendi dalam waktu
cukup lama dan melibatkan pemendekan struktur jaringan lunak (tendo, ligamentum poplitea);
prosedur operatif dapat didahului oleh suatu peregangan bertahap. Pada kesempatan pertama
dilakukan pelepasan kontraktur dengan melakukan sayatan kulit. Setelah kontraktur
dibebaskan, dilakukan peregangan sendi secara bertahap menggunakan traksi selama
beberapa waktu (kadang diperlukan waktu sampai 3 minggu); untuk kemudian baru dilakukan
pembebasan dan penutupan memanfaatkan modalitas yang ada.

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 235


Moenadjat

Pada setiap kesempatan melakukan pelepasan kontraktur, latihan sendi dikerjakan


selama prosedur pembiusan.

Gambar 203. Z dan atau W plasty untuk melepas kontraktur, dilanjutkan dengan penjahitan (penutupan
primer). Foto: koleksi pribadi.

Gambar 204. Penilaian kedalaman luka dalam menentukan alternatif penutup. Dikutip dan disadur dari Grabb and
Smith Plastic Surgery 1st ed. 1971

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 236


Moenadjat

Gambar 205. Kontraktur aksila dilepaskan dan ditutup dengan flap, flap diutamakan untuk rekonstruksi kubah
yang dapat diandalkan untuk menutupi struktur penting dibawahnya dan mencegah kontraktur lebih lanjut. Foto:
koleksi pribadi.
Pada kasus sulit, rekonstruksi baik dalam pengembalian fungsi maupun penampilan sulit
diperoleh dalam satu-dua tahapan. Dalam hal ini, setiap peningkatan taraf perbaikan yang
dicapai oleh suatu prosedur rekonstruksi harus dianggap sebagai suatu keberhasilan.

Gambar 206. Beberapa kasus sulit yang memerlukan demikian banyak tahapan rekonstruksi.
Foto: koleksi pribadi.

Gambar 207. Kontraktur leher. Pelepasan kontraktur dilanjutkan rekonstruksi memanfaatkan flap dari skapular
dengan pedikel di daerah servikal (A) dan setelah flap ditempatkan (B). Beberapa saat kemudian, parut hipertrofik

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 237


Moenadjat

dan keloid pada dagu-pipi dibuang dan ditutup memanfaatkan full thickness skin graft. Penggunaan kasa tie over
dan bidai menjadi mutlak. Foto: koleksi pribadi.
Pasca pelepasan kontraktur, fiksasi, penekanan dalam upaya pencegahan terjadinya
kontraktur kembali mutlak dikerjakan; demikian pula halnya dengan rehabilitasi fungsi.

Gambar 208. Proses rehabilitatif mutlak diperlukan setelah suatu prosedur rekonstruksi.
Foto: koleksi pribadi.

Bahan Bacaan
1. Cohen M, Goldwyn RM. Mastery of surgery: Mastery of plastic and reconstructive surgery, vol. I. Boston:
Little Brown and Company, 1994.
2. Converse JM, McCarthy JG, Littler JW. Reconstructive plastic surgery, 2nd ed. vol. I. Philadelphia: WB
Saunders company, 1977.
3. Watson J, McComack RM. Operative Surgery. Fundamental International Techniques: Plastic Surgery.
London: Butterworths; 1979.
4. Clinics in Plastic Surgery. An International Quarterly 17(14), 1990.
5. Sabapathy K. JNK Signaling During Development and Tissue Regeneration. Proceeding book: 3rd Meeting of
Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries.
Singapore, Aug 2005
6. Phan TT. Smad3 Signaling Plays important Role in Keloid Pathogenesis via Epithelial-masenchymal
Intersection. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells & Tissue
Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005
7. Hung H. Paracrine Interaction Between Keloid Keratinocyte (KK) and Keloid Fibroblast (KF) is Required for
Vascular Endothelial Growth Factor (VGEF) Secretion. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing
Society (Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug
2005
8. Richard R, Johnson M. Rehabilitation of the Burned Patient. in Soper NJ. Problems in General Surgery:
Burns. 2003, 20(1): p88-96

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana 238


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Identitas

Nama : Yefta Moenadjat


Jenis kelamin : Laki-laki
Tempat/tanggal : Jakarta, 9 Juni 1958
lahir
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Status : Menikah
perkawinan
Istri : Ernani Rosanti
Anak : 1. Alifa Dimanti
2. Yadita Wira Pasra

Riwayat Pendidikan

a. Pendidikan formal :
1965-1971 SD Yayasan Perguruan Cikini, Jakarta
1972-1974 SMP Negri I Jakarta
1975-1977 SMA Negri IV Jakarta
1978-1979 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta
1979-1987 Fakultas Kedokteran Univ. YARSI, Jakarta
1993-1997 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

b. Pendidikan non formal :


1990 Kursus Metode Kontrasepsi Efektif, Departemen Kesehatan R.I. / BKKBN
Bandar Lampung
1990 Kursus Metode Kontrasepsi Mantap Pria Vasektomi, BKKBN Palembang
1990 Kursus Jabatan Struktural di Departemen Kesehatan, Bandar Lampung
1991 Kursus Sistem Rujukan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I., Bandar
Lampung
1991 Kursus Tehnik Fungsional Kepala Puskesmas Departemen Kesehatan R.I.,
Bandar Lampung
1991 Kursus Kepemimpinan Tahun 2000 / ( Kesehatan Bagi Semua di Tahun 2000 ),
Departemen Kesehatan R.I., Bandar Lampung
1992 Kursus Eliminasi Tetanus Neonatorum, Departemen Kesehatan R.I., Bandar
Lampung
1993 Kursus Sistem Manajemen Rumah Sakit di RSCM, Departemen Kesehatan R.I.
Jakarta
1993 Kursus Metode Riset dan Penelitian Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I.
Jakarta
1994 Kursus Mikrofotografi & Mikroskop Elektron, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Jakarta
1994 Kursus Post Graduate pada Ilmu Bedah Spinal, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Jakarta
1995 Kursus Program Video Dokumentasi Medik, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Jakarta
1995 Kursus Advanced Trauma Life Support , RSUPN dr Cipto Mangunkusumo,
Jakarta
1996 Kursus Dasar Bedah Mikro, Department of Experimental Surgery Singapore
General Hospital
Pendalaman Penatalaksanaan Luka Bakar, Department of Plastic and
Reconstructive Surgery, Singapore General Hospital
1996 Kursus Bedah Tangan, Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta
1997 Kursus Bedah Plastik Pediatrik, Royal Children Hospital, Melborne, Australia
1997 Pendalaman Ilmu Bedah Kraniomaksilofasial: 6bulan di Royal Children Hospital,
Melbourne, Australia dan 1 bulan di Royal Adelaide Hospital, Adelaide, Australia
2003 Basic Surgical Skill. Kolegium Ilmu Bedah. Perhimpunan Ahli Bedah Indonesia
(IKABI).
2003 TOT. Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSCM Jakarta
2005 Total Nutritional Therapy (TNT) Course. CME FK Universitas Padjajaran
Bandung-PT Abbott Indonesia. Jakarta
2005 TOT (Course for Instructor) TNT Course CME FK Universitas Padjajaran
Bandung-PT Abbott Indonesia. Jakarta
2005 Kursus Unilock Internal Fixation dan Endoscopic for Mandibular Reconstruction.
Chang Gung Memorial Hospital, Taiwan.

Kongres / Simposium:
1. Simposium Penatalaksanaan Kasus Gawat Darurat, Bandar Lampung, 1990, peserta
2. Simposium Pendekatan Multidisipliner Pengobatan Antibiotika Secara Rasional, Bandar
Lampung, 1990, peserta
3. Simposium Hipertensi, Bandar Lampung, 1991, peserta
4. Simposium Penatalaksanaan Trauma Vaskular, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, 1993, peserta
5. Simposium Penyakit Infeksi dan Peran Antibiotika, Masalah dan Solusi, 1993, peserta
6. Pertemuan Ilmiah Tahunan IKABI IX, Semarang, 1994, peserta
7. Kongres Nasional IV PERAPI, Semarang, 1994, peserta, pembicara
8. Pertemuan Ilmiah Tahunan IKABI X, Denpasar, 1995, peserta
9. 10th Bienniel Congress Asian Surgical Association, Denpasar, 1995, peserta
10. Muktamar IKABDI IV, Palembang, 1995, pembicara
11. 3rd Asian Congress on Oral Maxillofacial Surgery, Kuching, Sarawak, Malaysia, 1996,
peserta
12. Muktamar IKABI XII, Surabaya, 1996, pembicara
13. Pertemuan Ilmiah Tahunan PERAPI, Jakarta, 1997, pembicara
14. Burn symposium, Jakarta 1997, pembicara
15. Pertemuan Ilmiah Tahunan IKABI, Bandung, 1997, pembicara
16. Peran Nutrisi / Zat Gizi pada Penatalaksanaan Luka Bakar, Simposium Gizi, kerjasama
Asosiasi Dietisien Indonesia (AsDI ), dengan RS. MMC, Jakarta, 1999, pembicara
17. Pertemuan Ilmiah Tahunan PERAPI III, Surabaya, 1999, pembicara
18. Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak ( KONIKA III ), Jakarta, 1999, pembicara
19. Muktamar IKABI ( MABI ) XIII, Jakarta, 1999, pembicara
20. Kongres dan Pertemuan Ilmiah Tahunan IV Perapi, Bandung, 2000, pembicara
21. 4th Scientific Congress, University Surgeons of Asia, Singapore, June 2000, peserta
22. Pelatihan Sirkumsisi, PLD FKUI, Jakarta, Juli 2000, pembicara
23. Basic Surgial Skill, Royal College of Surgeons in collaboration with Indonesian College of
Surgeons, Jakarta, Agustus 2000 , instruktur
24. Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Keperawatan, Ikatan Perawat Bedah FKUI/RSUPN dr
Cipto Mangunkusumo Jakarta bekerjasama dengan Perhimpunan Ahli Bedah Plastik
Indonesia (PERAPI), Jakarta, Agustus 2000, pembicara
25. Teaching the Teacher, Kursus untuk Staf Pengajar Bagian Ilmu Bedah FKUI/SRUPN dr
Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 2000, peserta
26. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT ) IKABI, Surabaya, 2000, pembicara
27. Kemitraan Bedah Plastik dengan Penyelenggara Jasa Kecantikan, Simposium Bedah Plastik
Untuk Awam, Jakarta, 2000, pembicara, panitia
28. Clinical Nutrition Update, Bagian Ilmu Gizi Klinik FKUI, Jakarta, Mei 2001, pembicara
29. Kursus Bedah Minor, FKUI, 11-12 Agustus 2001, pembicara
30. Temu Ilmiah Akbar FKUI, Workshop on Liposuction, Jakarta, April 2002
31. Temu Ilmiah Akbar FKUI, Course on Basic Surgical Skill, Jakarta, April 2002, panitia,
pembicara
32. Burn Update, Bagian Ilmu Bedah FK Universitas Sam Ratulangie, Manado, Mei 2002,
pembicara
33. Simposium Penanggulangan Nyeri, IKABI Jaya, Jakarta, 18 Mei 2002, panitia
34. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IKABI ke XIII, Denpasar, Bali, Juli 2002, pembicara,
panitia
35. Recent Advances in Critical Care & Management of Trauma Cases, RSPAD Gatot Subroto,
20-21 Juli 2002, pembicara
36. The 2nd International Workshop on Surgical Techniques in Cleft Lip & Palate, Taipei,
Taiwan, 4-6 Juli 2002, peserta
37. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) VI dan Konferensi kerja PERAPI, Kuta-Bali, 7 Oktober
2002, pembicara, panitia
38. 8th OSAPS meeting, Kuta-Bali 8-11 Oktober 2002, panitia
39. Working group on metabolism and clinical nutrition, panitia, pembicara
40. Pertemuan Ilmiah Tahunan I Perhimpunan Ahli Patobiologi, Surabaya, Januari 2003,
peserta
41. 4th Jakarta Antimicrobial Update, Jakarta, April 2003, pembicara
42. Nutri Indonesia 2003, pembicara
43. Indonesian Surgical Technology Expo, Jakarta, Mei 2003, pembicara, panitia
44. Muktamar PERAPI,Jakarta, Juli 2003, pembicara, panitia
45. Workshop on Liposuction, Jakarta, Juli 2003, panitia
46. Workshop on Botox Injection, Jakarta, Juli 2003, peserta
47. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XIV IKABI, Jakarta, Juli 2003, panitia
48. Simposium Keperawatan Ikatan Perawat Emergensi Indonesia, Jakarta, Juli 2003,
pembicara
49. 2nd Recent Advances in Critical Care & Management of Trauma Cases, RSPAD Gatot
Subroto, 18-20 Juli 2003, pembicara
50. 13th International Congress of the International Confederation for Plastic Reconstructive
and Aesthetic Surgery Society (IPRAS) 2003 meeting, Sydney Australia, 10-15 Aug 2003,
peserta.
51. Symposium on Perioperative Nutrition, Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition,
Jakarta, 27 Sep 2003, panitia, pembicara.
52. 13th ASEAN Congress of Anesthesiologists: Education for the future of anesthesiology,
Surabaya, 14-19 Oktober 2003, moderator.
53. Semiloka Luka Bakar: Penyusunan Standar Pelayanan dan Protokol Luka Bakar. Jakarta:
DepKes RI. 2003.
54. Basic Surgical Skill Course. Royal College of England in coordination with Indonesian
College of Surgeon. FKUI-RSCM. 26-31 Januari 2004.
55. 36th American Burn Association Annual meeting. Vancouver Canada, 22-26 Maret 2004,
member, peserta.
56. Advanced Burn Life Support (ABLS). Providers course: peserta.Vancouver, 22 Maret 2004
57. Respiratory care Education Symposium. Pada penyelenggaraan 36th American Burn
Association Annual meeting. Vancouver Canada, 22-26 Maret 2004, peserta
58. Difficult cases symposium. 36th American Burn Association Annual meeting. Vancouver
Canada, 22-26 Maret 2004, peserta
59. Hypertonics or Colloids in Burn Resuscitation, symposium. 36th American Burn Association
Annual meeting. Vancouver Canada, 22-26 Maret 2004, peserta.
60. Konsensus Nutrisi Enteral. Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition. Grand
Angkasa Medan, 11 September 2004. Pembicara
61. Konsensus Nutrisi Enteral. Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition. Hotel
Borobudur Jakarta, 25 September 2004. Pembicara
62. Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Ahli Bedah Umum Indonesia (PABI). Surabaya,
8-11 Desember 2004. Pembicara
63. Seminar Luka Bakar. Lab/KSMF Bedah Plastik RSUD dr Sutomo/Universitas Airlangga,
Surabaya. 12 Desember 2004. Pembicara.
64. Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran (KPPIK) FKUI-2005: Kursus Gangguan
Keseimbangan Asam-Basa 18 Februari 2005. Pembicara, moderator.
65. Total Nutritional Therapy (TNT) Course III. Continuing Medical Education Faculty of
Medicine Universitas Padjajaran Hasan Sadikin General Hospital. Jakarta: 15-16 April 2005,
Peserta.
66. Total Nutritional Therapy (TNT) Training of The Trainer (TOT). Continuing Medical
Education Faculty of Medicine Universitas Padjajaran Hasan Sadikin General Hospital.
Jakarta: 17 April 2005, Peserta.
67. PIT IKABI XV, Jakarta 13-16 Juli 2005, Panitia.
68. Kongres Nasional Perhimpunan Dokter ICU Indonesia (Perdici). Semarang, 22-25 Juli 2005.
Peserta.
69. Total Nutritional Therapy (TNT) Course IV. Continuing Medical Education (CME) Faculty of
Medicine Universitas Padjajaran Hasan Sadikin General Hospital bekerjasama dengan
Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Indonesia (IKABI). Jakarta 13-14 Juli 2005,
Instruktur.
70. Inhouse Training. Perawat IGD RSCM. 3 Agustus 2005. Luka Bakar: Penatalaksanaan
Resusitasi. Pembicara.
71. Inhouse Training. Perawat IGD RSCM. 3 Agustus 2005. Luka Bakar: Penatalaksanaan Luka.
Pembicara.
72. 3rd Meeting og the Wound Healing Society (Singapore). Stem Cells & Tissue Engineering in
Wound Healing & Burn Injuries. Singapore 5-7 Agustus 2005. Peserta
73. Kursus Perawat Gawat Darurat. RSCM 8 Agustus 2005. Penatalaksanaan Resusitasi Luka
Bakar. Pembicara.
74. AO Craniomaxillofacial (CMF) Asia Meeting. Taiwan 26 Agustus 2005. Faculty Member.
75. AO ASIF CMF Seminar Taiwan: Advances in Craniomaxillofacial Trauma and Surgery With
Endoscopic Workshop Focus on Mandibular Reconstruction and Minimal Invasive Surgery.
Aug. 27 28, 2005, Chang Gang Memorial Hospital, Linko. Taiwan. Peserta.
76. Lokakarya Luka Bakar. Yayasan Perdhaki, Jakarta, 9-10 September 2005. Panitia,
pembicara.
77. Pengembangan Profesi Bedah Berkelanjutan ke-4, Makassar 8-10 Desember 2005,
Pembicara.
78. The 3rd Perioperative Nutrition symposium. The Working Group on Metabolism and Clinical
Nutrition, Jakarta 21 Januari 2006, Panitia, Pembicara.
79. AO Craniomaxillofacial Principles Course, Ryadh 27 Februari-3Maret 2006, International
Faculty.

Riwayat Pekerjaan :
1989 Jabatan Fungsional Dokter di RSU Kalianda, Lampung Selatan
1990 Kepala Puskesmas Banyumas, Kecamatan Sukohardjo, Lampung Selatan
1993 Asisten Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, sampai
dengan 1995
1995 Asisten Ilmu Bedah Plastik FKUI/RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, sampai
dengan 1997
1998 Staf Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Staf Unit Luka Bakar RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, sejak Maret 1998
Anggota Tim Nosokomial RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, sejak Mei 1998
1999 Anggota Tim Koordinator Penelitian pada Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPN dr Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Tim Audit pada Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Staf Unit Pelayanan Khusus Luka Bakar RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta
2000 Anggota Tim Perencana / Pelaksana perencanaan Pembangunan Central Medical Unit
(CMU) RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Koordinator Penelitian pada sub Bagian Bedah Plastik FKUI / RSUPN dr Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, sampai dengan 2003
Wakil koordinator Penelitian pada Bagian ilmu Bedah FKUI / RSUPN dr Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, sampai dengan Juli 2004.
Wakil Kepala Unit Pelayanan Khusus Luka Bakar (UPK LB) RSUPN dr Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
2003 Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah Plastik FKUI RSUPN dr Cipto Mangunkusumo
Jakarta, sejak Mei 2003, mengundurkan diri Februari 2004.
2004 Kepala UPK Luka Bakar RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Organisasi :
1. Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Pusat.
2. Anggota Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI), cabang Jakarta
3. Wakil Ketua CME Kepengurusan IKABI Jaya, Periode 2000-2003
4. Anggota Perhimpunan Spesialis Bedah Plastik Indonesia (PERAPI)
5. Anggota Tim CME (Continuing Medical Education) Perhimpunan Spesialis Bedah Plastik
Indonesia (PERAPI), Periode 1997-2000
6. Anggota Kolegium Ilmu Bedah Plastik Indonesia Periode 1997-2003 (diangkat), sejak
2001
7. Ketua Tim CME (Continuing Medical Education) Perhimpunan Spesialis Bedah Plastik
Indonesia (PERAPI), Periode 2000-2003
8. Majelis Pendidikan Berkelanjutan Pengurus IKABI Pusat, sejak Agustus 2002
9. Wakil Ketua Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition, sejak Agustus 2002
10. Anggota steering committee pada consensuses in enteral nutrition, sejak April 2003
11. Ketua Tim CME (Continuing Medical Education) Perhimpunan Spesialis Bedah Plastik
Indonesia (PERAPI), Periode 2003-2006
12. Sekretaris Kolegium Ilmu Bedah Plastik Indonesia, sejak Juli 2003
13. Anggota American Burn Association (ABA) sejak 2004
14. Indonesian Representative untuk AO-Craniomaxillofacial (CMF) East Asia. sejak 2004
15. Anggota International Society for Burn Injuries (ISBI) sejak 2004
16. Pengurus Indonesian Shock Society sejak 2005
17. Ketua Komite Medik Asosiasi Luka Bakar Indonesia (ALBI)
18. Ketua Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition, sejak Juli 2004
19. Anggota Tim Majelis Pendidikan Berkelanjutan Pengurus Pusat IKABI, sejak Juli 2004.
20. Anggota Indonesian Association of Parenteral and Enteral Nutrition (INASPEN), sejak
April 2005
21. Ketua Indonesian Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition, 2005-2007
22. Anggota Kelompok Ilmiah Perhimpunan Ahli Bedah Indonesia (IKABI). Bencana Masal
dan Luka Bakar. Sejak 2005
23. Anggota Komite Trauma IKABI, 2005
24. Pengurus Indonesian Association of Parenteral and Enteral Nutrition (INASPEN) Periode
2005-2008 (Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan)
25. Pengurus Indonesian Shock Society Periode 2005-2008. Pengembangan Organisasi.
26. Sekretaris Working Gourp on Metabolism and Clinical Nutrition FKUI/RSCM. Sejak 2005.
27. Faculty Member AO-Craniomaxillofacial (CMF) East Asia. sejak 2005
28. International Faculty Member AO-CMF, sejak 2006

Tulisan / Publikasi :
1. Penatalaksanaan Perforasi tifoid di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Evaluasi 1990-
1995
2. Lipektomi abdominal, Tinjauan kepustakaan dan laporan 1 kasus, 1995
3. Penyembuhan luka, Tinjauan kepustakaan, 1996
4. Peran Eikosanoids, Sitokin, Radikal bebas dan Faktor pertumbuhan pada Proses
penyembuhan luka, Tinjauan kepustakaan, 1996
5. Hematom dan Radikal bebas, Tinjauan kepustakaan, 1996
6. Rekonstruksi Hidung dengan Flap lokal, Tinjauan kepustakaan, 1996
7. Penggunaan Komputer dalam Ilmu Bedah Plastik, Editorial, dalam PROKOLEGA, Majalah
Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, 1996
8. Rekonstruksi Mandibula, Evaluasi Penatalaksanaan 1995-1997, Tulisan akhir pada Program
Pendidikan Dokter Spesialis ( PPDS ) ilmu bedah plastik, FKUI, Jakarta, 1997
9. Penatalaksanaan Anomali Kraniofasial, Kuliah Staf,
disampaikan dihadapan seluruh staf Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPN Dr Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, Juni 1998,
disampaikan dihadapan seluruh staf UPF Bedah FK Universitas Sam Ratulangie / RSUP
Malalayang, Manado, Juli 1999
10. Penatalaksanaan Anomali Kraniofasial, Protokol di Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPN Dr Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, 1998
11. Penatalaksanaan Hipertelorism, Protokol di Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPN Dr Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, 1998
12. Standard of Procedure (SOP) Ilmu Bedah Plastik, Pelayanan Kesehatan Masyarakat RSUPN
Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 1999
13. Anomali kraniofasial, Bahan Pengantar Kuliah Mahasiswa dalam bidang Ilmu Bedah, FKUI
/RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 1999
14. Kelainan Telinga, Bahan Pengantar Kuliah Mahasiswa dalam bidang Ilmu Bedah, FKUI
/RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 1999
15. Luka Bakar, Bahan Pengantar Kuliah Mahasiswa dalam bidang Ilmu Bedah, FKUI /RSUPN Dr
Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 1999
16. Peran Nutrisi / Zat Gizi pada Penatalaksanaan Luka Bakar, disampaikan pada Simposium
Gizi, kerjasama Asosiasi Dietisien Indonesia ( AsDI ), dengan RS. MMC, Jakarta, April 1999.
17. Penatalaksanaan Problema Cacat Kepala pada Sindroma Apert dan Crouzon, Laporan
Pendahuluan, dimuat dalam ROPANASURI, Majalah Ilmu Bedah Vol XXVI No.1-2, Januari-
Juni 1998; disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan PERAPI ke-III, Surabaya, Juni
1999 dan Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) ke-III, Jakarta, Juli 1999;
disampaikan pada penyelenggaraan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IKABI, Yogyakarta, 4-
7 Juli 2001
18. Masalah pada Penatalaksanaan Hipertelorism, disampaikan pada Pertemuan Ilmiah
Tahunan PERAPI ke-II, Surabaya, Juni 1999
19. Resusitasi pada Luka Bakar, disampaikan pada Pendidikan Ilmu Kedokteran Berkelanjutan
Perhimpunan Kedokteran Gawat Darurat ( PKGDI ), Jakarta, Agustus 1999.
20. Metabolic and Nutritional Management of Burn, Bahan presentasi pada Clinical Expert
meeting, Singapura, September 1999.
21. Sumbing Bibir dan Langitan Bilateral, Hipotesis penyebab, Protokol Penatalaksanaan dan
Permasalahannya, Bahan Makalah untuk Simposium sehari mengenai Sumbing Bibir dan
Langitan Bilateral, Jakarta, Oktober 1999.
22. Problema Penatalaksanaan Cacat Kepala pada Sindroma Apert dan Crouzon, Evaluasi
beberapa kasus, dibacakan pada Kongres dan Pertemuan Ilmiah Tahunan IV Perapi,
Bandung, 2000; disampaikan pada Simposium Kongenital Anomali PIT Yogyakarta, Juli
2001
23. Sindrom Respons Inflamasi Sistemik (SRIS), Sindrom Disfungsi Organ Multipel (SDOM) dan
Sepsis pada kasus Luka Bakar, dibacakan pada Kongres dan Pertemuan Ilmiah Tahunan IV
Perapi, Bandung, 2000, Bahan untuk Journal Perhimpunan Spesialis Bedah Indonesia IKABI
(ROPANASURI); disampaikan pada Clinical Nutrition Update, Bagian Ilmu Gizi Klinik FKUI,
Jakarta, Mei 2001
24. Sindrom Respons Inflamasi Sistemik (SRIS), Sindrom Disfungsi Organ Multipel (SDOM),
Sepsis dan pemberian Nutrisi Enteral Dini (NED) pada kasus Luka Bakar, bersama Thedeus
OHP, Samuel Oetoro, Fistuti Witjaksono, FKUI, Jakarta 2000.
25. Luka Bakar, Pengetahuan Klinis Praktis, Jakarta, Farmedia, 2000
26. Bahan Ilmu Bedah Kapita Selekta Kedokteran,Edisi ketiga, Media aesculapius, FKUI, 2000
27. Faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas pada kasus luka bakar berat : evaluasi selama
lima tahun di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dibacakan pada Pertemuan Ilmiah
Tahunan IKABI, Surabaya, 2000.
28. Prinsip dasar pengelolaan luka bakar, disampaikan pada Kursus Penyegar dan Penambah
Ilmu Keperawatan, Ikatan Perawat Bedah FKUI/RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta
bekerjasama dengan Perhimpunan Ahli Bedah Plastik Indonesia (PERAPI), Jakarta, Agustus
2000
29. Bedah Plastik: hal-hal yang perlu diketahui oleh masyarakat awam. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2001
30. Luka Bakar, Pengetahuan Klinis Praktis, Edisi Revisi,. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001
31. Penatalaksanaan stress ulcer di UPK Luka Bakar RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta,
disampaikan pada Simposium Trauma PIT IKABI Yogyakarta, Juli 2001
32. Sumbing Bibir dan Langitan, Bahan Workshop Palatoplasti pada PIT V PERAPI, Yogyakarta,
Juli 2001
33. Prognosis dan Sistim Skoring pada kasus Luka Bakar, disampaikan pada PIT V PERAPI
Yogyakarta, Juli 2001; dimuat dalam Journal Perhimpunan spesialis Bedah Indonesia IKABI
(ROPANASURI), 2001
34. Dasar penatalaksanaan Kasus Luka Bakar, Kuliah staf, disampaikan dihadapan Staf Bagian
Ilmu Bedah FKUI/RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Mei, 2001
35. The strategy in management of facial trauma, Indonesian Journal of Plastic Surgery, vol 1
No 1, October 2002
36. Experiences in managing 11 male-to-female and 3 female-to-male transsexual cases,
Indonesian Journal of Plastic Surgery, vol 1 No 1, October 2002
37. Luka Bakar, Pengetahuan Klinis Praktis, Edisi Revisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2003
38. Bagaimana memiliki tubuh ideal. Jakarta: Gramedia, 2003
39. The irrational use of antibiotics in burn: an obsession that could be fatal. Indonesian
Journal of Plastic Surgery, vol 1 No 2, March 2003
40. Penggunaan antibiotik irasional pada kasus luka bakar: suatu fenomena. Disampaikan pada
4th Antimicrobial update. Jakarta 2003. dan Kuliah Staf Bagian Ilmu Bedah FKUI RSUPN dr
Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Maret 2003
41. Burn: the new paradigm of wound management. Presented and available in proceeding
book of IAPS meeting, July 2003
42. Burn: the exhaustion and the role of nutritional support. Presented and available in
proceeding book of IAPS meeting, July 2003
43. Immune compromise in critically illness. Makalah, disampaikan pada Symposium on
Perioperative Nutrition, Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition, Jakarta, 27
Sep 2003
44. Pro & Con of Arginine. Makalah, disampaikan pada acara Nutri Indonesia 2004. Jakarta 15
Februari 2004.
45. Burn Infection. Makalah, disampaikan pada KPPIK FKUI 2004. Jakarta. Maret 2004.
46. Kontraktur Luka Bakar. Makalah, disampaikan pada kuliah pleno acara PIT PABI I.
Bandung. Maret 2004.
47. Luka Bakar Berat: Tatalaksana pra Rumah Sakit. Makalah, disampaikan pada Pekan
Kegawat-daruratan Tim Bantuan Medis FKUI. April 2004.
48. Diagnosis dan evaluasi pasien luka bakar berat: konsep terkini. Makalah, disampaikan pada
acara Healthcare and wellness in 24 hours. Jakarta, April 2004
49. Diagnosis dan evaluasi pasien luka bakar berat: konsep terkini. Artikel pada Media
Aeskulapius. Jakarta: FKUI 2004.
50. Masalah infeksi pada luka bakar: Pemilihan antimikroba yang tepat. Makalah, disampaikan
pada acara Jakarta Antimikrobial update 2004. Jakarta, Mei 2004.
51. SIRS dan MODS. Makalah, disampaikan pada National Burn Symposium, Medan, Mei 2004.
52. Resusitasi Luka Bakar: Pro dan Con. Makalah, disampaikan pada 1st National Scientific
Meeting on Surgical Critical Care, Bandung, Agustus 2004
53. Manajemen Luka Bakar Fase Akut: Tatalaksana Resusitasi. Kuliah Staf Bagian Ilmu Bedah
FKUI/RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta. Disampaikan dihadapan forum Bagian Bedah
FKUI, 12 November 2004.
54. Resusitasi Cairan dan Terapi Nutrisi pada Luka Bakar. Makalah, disampaikan pada
Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Ahli Bedah Umum Indonesia (PABI), Surabaya 8-
11 Desember 2004.
55. Systemic Inflammatory Response Syndrome. Makalah, disampaikan pada Seminar Luka
Bakar: Lab/KSMF Bedah Plastik RSUD dr Sutomo/Universitas Airlangga, Surabaya. 12
Desember 2004.
56. Mekanisme kompensasi tubuh terhadap gangguan keseimbangan asam-basa. Makalah,
disampaikan pada Kursus Gangguan Keseimbangan Asam-Basa KPPIK-FKUI Jakarta, 18
Februari 2005.
57. The gut: a central focus on Acute Severe Burn Injury. Available in proceeding book of The
1st Indonesian Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition and the 3rd Indonesian
Association of Parenteral and Enteral Nutrition Congress and Scientific meeting. Jakarta 15-
17 April 2005.
58. Surgical Nutrition: today and tomorrow. Available in proceeding book of The 1st Indonesian
Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition and the 3rd Indonesian Association of
Parenteral and Enteral Nutrition Congress and Scientific meeting. Jakarta 15-17 April 2005.
59. The consensuses on Enteral Nutrition. The Symposium on Enteral Nutrition. Available in
proceeding book of The 1st Indonesian Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition
and the 3rd Indonesian Association of Parenteral and Enteral Nutrition Congress and
Scientific meeting. Jakarta 15-17 April 2005.
60. Luka Bakar: Dasar-dasar dan Tatalaksana Resusitasi pada Fase Akut. Jakarta: Asosiasi Luka
Bakar Indonesia. 2005
61. Petunjuk Praktis Tatalaksana Kasus Luka Bakar. Jakarta: Asosiasi Luka Bakar Indonesia.
2005
62. Organisasi Manajemen Luka Bakar. Jakarta: Asosiasi Luka Bakar Indonesia. 2005
63. Luka Bakar: Dasar dan Tatalaksana. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2005
64. Permasalahan dan Resusitasi Luka Bakar. Makalah, disampaikan pada Lokakarya Luka
Bakar. Yayasan Perdhaki, Jakarta, 9-10 September 2005.
65. The AO Implants and Instrumentation. AO Craniomaxillofacial Principles Course, Ryadh 27
Februari-3Maret 2006.
66. Occlusion and the maxillary-mandibular fixation. AO Craniomaxillofacial Principles Course,
Ryadh 27 Februari-3Maret 2006.
67. Fixation in Complex Midface fracture: the treatment sequences. AO Craniomaxillofacial
Principles Course, Ryadh 27 Februari-3Maret 2006.
68. Maxillofacial injuries in growing skeleton. AO Craniomaxillofacial Principles Course, Ryadh
27 Februari-3Maret 2006.
69. Abdominal Compartment Syndrome in Burn Patients. Trauma, Emergency and Critical
Update. 2006
70. The Cytokines and Mediator System. Trauma, Emergency and Critical Update. 2006
71. Early Enteral Nutrition in Critically Ill Patients: How early? Controversion in Critically Illness.
The Sepsis Champaign, Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia - Perdici. 2006

Karya Lainnya
1. Penyusunan, pembuatan dan peluncuran Situs Web Perhimpunan Bedah Plastik Indonesia
PERAPI (http://www.perapi.com), 2000 dan renovasinya (http://www.perapisurgeon.com)
selanjutnya bertindak sebagai webmaster dalam situs web dimaksud.
2. Redaksi dan Editor Warta PERAPI, Buletin Perhimpunan Ahli Bedah Plastik Indonesia,
PERAPI.
3. Redaksi dan Editor Berita IKABI Jaya, Buletin Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah
Indonesia Cabang Jakarta, IKABI Jaya.
4. Anggota Editor Indonesian Journal of Plastic Surgery.
5. Penyusunan Buku Panduan Program Studi Ilmu Bedah Plastik 2001, bersama dr Bisono,
KPS Program Studi Ilmu Bedah Plastik FKUI.
6. Revisi Buku Panduan Program Studi Ilmu Bedah Plastik 2003, bersama staf lainnya.
7. Penyusunan SOP dan Buku Panduan Pelayanan Terpadu Sumbing Bibir dan langit-langit
FKUI/RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta, 2003
8. Penyusunan Buku Consensuses on Enteral Nutrition, Working Group on Metabolism and
Clinical Nutrition, 2003.
9. Penyusunan Standarisasi Pelayanan Luka Bakar, bersama Bidang Pelayanan Medik
Spesialis, Departemen Kesehatan RI, 2003
10. Pembentukan Asosiasi Luka Bakar Indonesia. Bersama Menteri Kesehatan RI dan Perapi
mulai dari Persiapan awal sampai deklarasi pembentukan, 30 April 2004.
11. Penyusunan Buku Organisasi Manajemen Luka Bakar, Resusitasi: Dasar-dasar Manajemen
Luka Bakar fase akut dan Petunjuk Praktis Penatalaksanaan Luka Bakar (Asosiasi Luka
Bakar Indonesia, Jakarta: 2005)

Penelitian
1. The safety and efficacy of ferracrylum as compared to silver sulfadiazine in the
management of second degree burn, RSCM, 2005.
2. The safety and efficacy of calcium alginate tulle and calcium alginate with placenta tulle as
compared to standard tulle used in the management of second degree burn, RSCM, 2006
3. Profil Gangguan Metabolisme pada Luka Bakar di UPK Luka Bakar RSCM. Pengamatan
retrospektif pada kasus-kasus di RSCM selama 5tahun.

Last Updated: 3/17/06

Anda mungkin juga menyukai