Anda di halaman 1dari 8

ADAT ISTIADAT DAN BUDAYA SUKU KALILI

A. Suku Kali
Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami
sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten
Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki,
Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah,
meliputi Kabupaten Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku
Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tsomini yaitu Tinombo,Moutong,Parigi, Sausu, Ampana,
Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir
Pantai Poso.
Untuk menyatakan "orang Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan prefix "To"
yaitu To Kaili. Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili, salah satunya
menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon dan buah Kaili
yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah ini, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk
Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok l.k. 34 km dari letak pantai sekarang,
yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan
karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air
di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut.
Menurut cerita (tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh sebatang pohon
kaili yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi pelaut atau nelayan
yang memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan pada saat itu, Bangga.
Suku Kalili atau etnik Kaili, merupakan salah satu etnik dengan yang memiliki rumpun etnik sendiri.
untuk penyebutannya, suku Kaili disebut etnik kaili, sementara rumpun suku kaili lebih dari 30
rumpun suku, seperti, rumpun kaili rai, rumpun kaili ledo, rumpun kaili ija, rumpun kaili moma,
rumpun kaili da'a, rumpun kaili unde, rumpun kaili inde, rumpun kaili tara, rumpun kaili bare'e,
rumpun kaili doi, rumpun kaili torai, dll.

B. Budaya Suku Kaili


1. Upacara Adat Pernikahan Lembah Kaili Palu
Upacara pernikahan adalah upacara adat yang diselenggarakan dalam rangka menyambut
peristiwa pernikahan. Pernikahan sebagai peristiwa penting bagi manusia, dirasa perlu disakralkan dan
dikenang sehingga perlu ada upacaranya. seperti halnya upacara perkawinan masyarakat Kaili di Palu,
bagi masyarakat Sulawesi Tengah secara keseluruhan, selalu ada upacaranya. Misalnya dimulai sejak
sebelum kelahiran bayi, yakni upacara masa hamil, kemudian adat dan upacara kelahiran, adat dan
upacara sebelum dewasa, adat dan upacara perkawinan dan upacara kematian. Dari sekian banyak
upacara tersebut, maka upacara peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dilakukan sangat
unik.
Beberapa diantaranya adalah nopasoa(orang yang akan mandi uap), Nokolontigi (malam
pacar),Mematua(kunjungan pengantin kepada mertua,dll tetapi pada kesempatan kali ini saya akan
menjelaskan nokolotongi, dan adat mematua.sebagai berikut, tentang upacara perkawinan dan tata
cara perkawinan :
a. Nokolontigi (malam pacar)
Nokolontigi dilaksanakan pada malam hari dirumah calon pengantin perempuan, yang biasanya
dilaksanakan sehari sebelum upacara akad nikah. Tujuan dari upacara adat tersebut antara lain ialah :
1. Memeberikan kekuatan kepada kedua calon pengantin agar tidak mudah dipengaruhi oleh setan
atau roh-roh jahat.
2. Memberikan makna dan arti simbolik bagi keduanya tentang ancaman bilamana terjadi perceraian.
3. Agar kedua calon pengantin dapat panjang umur, murah rezeki, hati tenang, pikiran tajam, dan
banyak anak.
Adapun alat-alat kelengkapan upacara antara lain :
a. Daun pacar (kolontigi) yang sudah ditumbuk halus yang dapat meberi warna merah pada telapak
tangan, kaki, atau kuku calon pengantin.
b. Sebuah baki dengan beberapa mangkok kecil berisi minyak kelapa, kapur sirih, bedak, dan kain
putih untuk membersihkan tangan.
c. Daun siranindi, atau daun pendingin dan sebuah bantal yang beralaskan daun pisang.

Nilai simbolis dari alat-alat perlengkapan tersebut adalah :


o Daun pacar adalah lambang darah (pengorbanan bila mana bercerai)
o Minyak kelapa digosok di kepala, simbol bahwa kepala itu dipotong bilamana berkhianat.
o Kapur sirih dan Bedak sebagai lambang batang leher yang akan disembelih.
o Kain putih adalah lambang dari kain kafan (mayat).

Mengenai jalannya upacara Nokolontigi adalah sebagai berikut :


1. Minta kesediaan kepada 5 orang, 7 orang atau 9 orang yang dituakan dan hadir pada saat upacara
Nokolontigi berlangsung. Biasanya orang tua yang terpilih adalah biasanya orang tua yang
memiliki status sosial ditengah masyarakat, orang yang murah rezeki, memiliki anak dan cucu,
serta berhasil dalam mebina rumah tangganya. Penetapan 5 orang, 7 orang atau 9 orang terkait
dengan tatus sosial calon pengantin.
2. Oarang tua yang sudah ditetapkan jumlahnya dan mendapat kepercayaan itu meletakkan Kolontigi
itu ( daun pacar yang sudah dihaluskan) sambil menggosok ditelapak tangan calon pengantin
secara bergilir, sebagai simbol untuk memberi warna merah disekitar ditangan. Orang ketujuh atau
kesembilan yang mendapat kesempatan terakhir menutup pemberian Kolontigi dengan cara
mengangkat dan memutar-mutar lilin disekitar muka dan kepala calon pengantin dan setelah itu
menghambur beras kuning kesekujur tubuh calon pengantin.
3. Bagi calon pengantin laki-laki yang turut serta dalam acara Nokolontigi di rumah calon pengantin
perempuan diteruskan dengan cara Nepadupa artinya suatu penghargaan terhadap calon pengantin
laki-laki ditandai dengan pemberian sarung (buya sabe) yang telah dipersiapkan oleh keluarga
calon pengantin perempuan unntuk dipakai pengentin laki-laki pada upacara itu.
4. Kemudian dilanjutkan dengan makanan jajan teradisional sekedarnya sebagai tanda ucapan syukur
atas berlangsungnya upacara tersebut. Akhir dari upacara ini juga memaknai bahwa antara kedua
calon pengantin itu telah terikat oleh ikatan batin. Setelah itu calon pengantin laki-laki diantar
pulang kerumahnya.

b. Mematua (Kunjungan pengantin kerumah mertua)


Mematua adalah kunjungan pengantin perempuan kerumah mertuanya. Tujuan upacara ini
ialah memberi penghargaan dan penghormatan kepada mertuannya. Sebagai pertanda sudah adanya
hubungan kekeluargaan dan sebagai balasan anak laki-lakinya yang sudah menjadi keluarga pihak
wanita. Dengan cara ini maka secara resmi pengantin melaporkan diri pada pihak keluarga suaminya
sudah menjadi anggota dari keluarga dari keluarga pihak suaminya. Juga dengan uapacara ini
menghilangkan rasa keengganan, kekakuan pengantin perempuan dalam penyesuaian diri dalam
lingkungan keluarga suaminya khususnya hubungan dengan mertuanya.
Upacara mematua ini dilaksanakan dirumah pengantin laki-laki dengan sajian kecil-kecilan,
dimana dihadiri oleh seluruh kerabat dekat pihak laki-laki serta tua-tua adat. Biasanya pula sang suami
berkewajiban mengantar sang istri mengunjugi rumah sanak keluarganya satu persatu untuk
memperkenalkan diri secara lebih dekat.
Waktu pelaksanaan ini biasanya 5 sampai 7 hari sesudah pesta perkawinan, dan kadang-kadang
tergantung dari situasi setelah pesta selesai. Dalam mematua ini kedua sang pengantin biasannya
bermalam satu mala, kemudian kembali kerumah pengantin perempuan.
Mengenai jalannya upacara adalah sebagai berikut :
a. Setelah waktu mematua ditentukan dan diberitahukan kepada mertua (orang tua laki-laki), maka
pengantin baru diantar oleh orang tua perempuan dan beberapa orang keluarga dekat kerumah
mertua laki-laki.
b. Setibanya anak mantu dirumah, diadakan acara niingga yaitu pemasangan sejenis gelang yang
terbuat dari manik-manik (botiga) yang dilakukan oleh orang tua perempuan laki-laki (mertua
perempuan) kepada anak mantunya itu. Acara ini memberikan arti simbol bahwa anak mantunya
resmi sebagai anggota keluarga pihak suaminya.
c. Disamping acara niingga tersebut juga oleh mertuanya memberikan kepada anak mantunya sebuah
kalung emas dan cincin emas yang langsung dipasangkan sendiri kepada leher dan jari manis anak
mantunya itu. Pemberian ini sebagai manifestasi kasih sayang dan kegembiraan menyambut
kedatangan anak mantunya yang baru.
d. Selanjutnya diadakan makan bersama sekedarnya meliputi suasana santai, penuh dengan rasa
kekeluargaan yang akrab. Dengan selesainya upacara tersebut maka selesai semua upacara-
upacara dalam rangkaian perkawinan itu.

2. Adat Kehamilan Pada Suku kaili


Asal-Usul
Kesehatan bayi dalam kandungan harus selalu dijaga. Salah satu cara agar bayi dalam
kandungan senantiasa sehat adalah dengan menjaga kesehatan si ibu yang mengandung si bayi.
Sebelum dikenal adanya dokter yang mampu memeriksa dan mengobati seorang ibu yang sedang
hamil, masyarakat tradisional mempunyai cara khusus untuk mengupayakan kesehatan si ibu yang
sedang mengandung. Salah satu suku di Indonesia yang mempunyai cara khusus untuk
menyembuhkan seorang ibu hamil yang sedang sakit adalah Suku Kaili yang berada di Sulawesi
Tengah, Indonesia.

1. Upacara selamatan kandungan pada masa hamil pertama (Nolama Tai)


Upacara ini adalah upacara selamatan kandungan pada kehamilan anak yang pertama apabila
kandungan berusia 7 bulan. Upacara ini sering dinamakan No jemparaka manu (memisah-misahkan
bagian daripada daging ayam) atau biasa disebut mantale (membuat sesajian). Nama-nama itu
ditonjolkan sesuai dengan penonjolan dari bagian upacara ini yaitu memenggal bagian daging ayam
untuk upacara sebagai sesajian utama dalam upacara Nolama Tai. Upacara ini bagi masyarakat Kaili
berbeda kualitas dan kuantitasnya sesuai dengan kedudukan sosial seseorang atau Vati seseorang
dalam masyarakat.
a. Maksud Penyelengaraan Upacara
Tujuan upacara ini adalah dimaksudkan agar kelahiran sang bayi dapat berlangsung dengan
selamat tanpa cacat jasmani dan rohani, serta keselamatan ibu yang akan melahirkan, dan juga agar ibu
terhindar dari gangguan-gangguan rate.
Dari mantera-mantera sando (dukun) diketahui bahwa tujuan upacara ini adalah agar anak yang
lahir kelak tidak tuli, kudisan, bodoh, nakal, penyakitan, dan sebagainya. Menurut kepercayaan
masyarakat Kaili bahwa leluhur mereka yang disebut rate selalu mengganggu dan menjadi sebab
berbagai penyakit tersebut di atas, dan bagi bayi dalam kandungan apabila upacara diabaikan.
b. Waktu Penyelenggaraan Upacara
Upacara ini dilakukan pada siang hari sebelum matahari condong ke barat. Hal ini sebagai
suatu simbol bahwa bayi yang akan lahir kelak memiliki sumber kekuatan dan tenaga serta murah
rezeki. Usia kandungan yang diupacarakan berkisar antara 7 sampai 9 bulan dan pantang untuk bulan
ke 8 karena dianggap bulan yang kurang baik. Penetapan waktu ditetapkan dengan seksama melalu
ilmu Kotika dengan cara menghitung hari bulan di langit yang dianggap sebagai hari baik dan
disepakati oleh dua belah pihak orang tua suami istri dan sando.
c. Tempat Penyelenggaraan Upacara
Upacara diselenggarakan di rumah dan tempat-tempat tertentu yang dianggap berkaitan dengan
kekuatan magis religius, atau tempat yang dianggap dikuasai oleh kekuatan roh halus dan dihuni oleh
rate di dalam dan di luar rumah. Di dalam rumah upacara ini dilaksanakan di beranda depan, yaitu di
depan pintu rumah (tambale), sedangkan kalau di luar rumah disiapkan tempat tertentu sebagai tempat
sesajian sesuai kondisi lingkungan desa bersangkutan.
d. Penyelenggaran Teknis Upacara
Upacara ini dipimpin oleh seorang dukun wanita (sando) yang dapat berkomunikasi dengan
mahluk halus dan telah berusia lanjut. Tidak kurang peranannya ialah orang tua kedua belah pihak
yang menyediakan korban upacara seperti kambing atau domba bagi keluarga bangsawan dan ayam
bagi keluarga biasa.
e. Jalannya Upacara
Dalam upacara nolama bagi keluarga bangsawan, pertama ialah mengadakan undangan
(pegaga), yaitu suatu undangan dengan jalan mengundang langsung dari rumah ke rumah jauh sebelum
upacara diadakan. Bila telah tiba hari yang ditentukan, undangan-undangan dijemput kembali (neala)
dari rumah ke rumah. Kegiatan ini disebut peonggotaka (suatu penghormatan dari keluarga yang
berpesta) kepada orang tua adat.
Pada hari upacara diadakan penyembelihan kambing/domba yang disembelih tersebut
dibakar/dipanggang di atas api (nilambu), sehingga seluruh bulu-bulunya habis terbakar. Maksudnya
agar kulitnya dapat diproses menjadi bahan makanan. Sebelum dagingnya dipotong-potong hatinya
diambil lebih dahulu yang biasa disebut nompesule (mengambil hati) dan langsung ditusuk dan
dibakar sebagai bahan sesajian atau nilanjamaka (dijadikan sesajian).

2. Pengobatan Ibu Hamil


Upacara Novero (upacara pengobatan apabila sang ibu yang hamil kurang sehat)
moh dika dwijaya

Upacara ini dapat juga dilaksanakan bagi ibu yang tidak hamil, namun ada perbedaan-perbedaan yang
tidak berarti.
1. Maksud Penyelenggaraan Upacara
Novero (mengobati penyakit) atau moragi ose (memberi warna warni beras) bertujuan untuk
menyembuhkan ibu hamil dari penyakit yang dideritanya karena nilindo nuviata (diganggu mahluk
halus).
2. Waktu Penyelenggaraan Upacara
Upacara ini sering dilaksanakan serentak dengan upacara nolama, yaitu bila ibu hamil
kelihatannya kurang sehat. Perbedaannya ialah nolama lebih dekat kepada pemujaan arwah nenek
moyang, sedangkan novero lebih berorientasi kepada mahluk-mahluk halus yang dianggap jahat.
3. Tempat Penyelenggaraan Upacara
Tempat upacara diadakan di luar rumah, di tempat yang dipercayai sebagai tempat hunian
mahluk halus, seperti di tepi sungai, tepi pantai, di pohon-polion besar, dan sebagainya. Dan di sini
pula dibuat suampela, sebuah tempat penyimpangan sesajian yang dibuat dari kayu bertiang tiga. Pada
bagian atas dibuat sebuah anyaman dari ranting kayu atau bambu tempat sesajian itu disimpan, dan
kulili (kayu yang dibuat seperti model parang, yang diberi warna belang hitam putih). Ketiganya
(suampela, kulili, dan berbagai jenis makanan) merupakan perlengkapan upacara novero tersebut
termasuk ose ragi (beras yang telah diberi warna-warni) seperti disebutkan di atas.
4. Penyelenggara Teknis Upacara
Yang berperan dalam upacara ini ialah seorang dukun wanita sejak awal sampai dengan
upacara ini selesai. Pihak-pihak lain yang terlibat terbatas dalam lingkungan keluarga terdekat saja,
yang mempersiapkan perlengkapan upacara adat lainnya.
5. Persiapan dan Perlengkapan Upacara
Perlengkapan-perlengkapan selain yang telah disebutkan di atas ialah membuat pekaolu nuvayo
(tempat berlindungnya bayangan), maksudnya tempat roh kita berlindung bila mendapat gangguan
mahluk halus. Juga perlengkapan yang disebut toge, yang dibuat semacam janur dari daun kelapa
seperti bentuk tombak, kepala kuda yang berkepala dua dan berkepala sebelah dan lain-lain. Pada
bagian bawah janur tersebut bersusun 4-5 dan yang terakhir inilah yang disebut pekaolu nuvayo.
Perlengkapan lainnya ialah tuvu mbuli seperti yang telah disebutkan terdahulu.
Di dalam rumah disiapkan mbara-mbara (barang perhiasan/pakaian adat) yaitu vuya (sarung),
baju, dan bulava (emas). Ketiganya disimpan di atas dula palangga (dulang berkaki).
Selanjutnya diadakan acara noronde (dialog dukun dengan orang-orang yang ada dalam
rumah). Dialog tersebut terjadi sebagai berikut:
Dukun : "Nolompemo yanu!!" (Si Anu sudah sembuh). Orang di rumah menjawab : "Yo
nalompemo" (Ya sudah), eva apu nitulaka uve (seperti api kena air), eva kuni niboli toila (seperti
kunyit diberi kapur). Dukun naik ke rumah sambil berkata kepada ibu hamil: "niratakumo vayo miu,
naialaku riviata, rikarampua, rirate njae, rirate vou" (saya sudah menemukan sumber kekuatan hidup
yang hilang dari viata (setan/jembalang) dari para dewa dan roh-roh nenek moyang yang telah lama
dan baru meninggal).
Acara terahir ialah noave ose niragi, bila ibu telah melahirkan dengan selamat, maka ose niragi
(beras 4 warna) yang disebutkan di atas valas suji (semacam rakit kecil). Noave (mengalirkan) barang
tersebut mengandung arti nompakatu (mengirimkan sesajian) tersebut kepada pue ntasi (penghuni laut)
diiringi pula dengan mantera-mantera yang isinya minta segera ibu hamil yang sakit segera sembuh,
dan karena penyakit sudah terbawa ke laut, pergi bersama penyakit.
Dengan selesainya acara ini, selesailah upacara novero tersebut bagi seorang ibu hamil yang
kurang sehat.

3. Upacara penyembuhan masyarakat dan tradisi lainnya


a. Balia: Upacara Penyembuhan Penyakit Etnik Kaili
Etnik Kaili melakukan penyembuhan penyakit melalui dukun bila ada orang sakit yang
dianggap ditegur oleh makhluk halus. Orang sakit itu diobati dengan suatu upacara yang disebut
"Nobalia" atau "Novurake". Upacara Nobalia, yaitu: dukun membaca mantera-mantera kemudian ia
menjadi kesurupan. Ketika dukun tersebut kesurupan maka menari-nari di atas bara api, yang
kemudian ia melawan/mengusir makhlus halus supaya kembali ke tempat-nya atau berhenti
mengganggu orang yang sakit. (anehnya belum satupun fotografer berhasil mengabadikan dukun
menari diatas api)
Secara etimologi Balia berasal dari bahasa Kaili Nabali ia artinya berubah ia. Perubahan
yang dimaksud dalam pengertian ini adalah ketika seseorang pelaku Balia telah dimasuki oleh roh
halus, maka segala perilaku, gerak, perbuatan, cara berbicara sampai pada cara berpakaian orang
tersebut akan berubah. Salah satu contoh, seorang pelaku Balia wanita, bila roh yang masuk ke dalam
tubuhnya adalah laki - laki, maka ia pun langsung merubah cara berpakainnya seperti memakai sarung,
kemeja, kopiah dan merokok. Gerak, tingkah laku dan cara berbicaranya pun tak ubahnya laki-laki.
Sebaliknya, hal ini juga berlaku pada pelaku Balia pria yang dimasuki oleh roh halus wanita, dalam
bahasa Kaili disebut Bayasa ( laki-laki yang berperilaku wanita ).
Pengertian lain tentang kata Balia adalah bali ia atau robah dia. Dalam pengertian ini,
kata robah dia lebih dikonotasikan pada penyakit yang diderita seseorang yang diupacarakan agar
disembuhkan. Sederhananya dapat diartikan merubah seseorang yang sakit menjadi sembuh.
Seperti diketahui bahwa nilai budaya merupakan konsep - konsep mengenai apa yang hidup
dan alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai,
berharga, penting, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi
kepada kehidupan para warga masyarakat tersebut.
Demikian halnya dengan upacara ritual penyembuhan Balia. Dari pengertian kebudayaan
serta unsur - unsurnya secara umum, Balia merupakan salah satu sistem kepercayaan etnis Kaili.
Meskipun sebagian besar etnis Kaili ( To Kaili ) memeluk agama Islam, namun sampai saat ini masih
memiliki kepercayaan yang berkaitan dengan animisme dimana segala sesuatu yang terjadi di alam
semesta ini, baik buruknya, semua ada yang mengaturnya yaitu Tuhan Yang Maha Esa (bahasa Kaili:
Tupu Taala). Selain kekuatan Tuhan, orang Kaili juga mempercayai adanya hal-hal gaib, kekuatan
roh yang dapat mendatangkan petaka, musibah, penyakit, bila murka akan perilaku manusia.
Di kalangan etnis Kaili, kekuatan - kekuatan gaib itu dipercaya ada di mana-mana, dalam
pengertian bahwa langit dan bumi serta segala isinya di dunia ini memiliki penghuni / penjaga.
Kekuatan gaib di langit disebut karampua dan pemilik kekuatan gaib di bumi / tanah disebut
anitu. Selain itu segala isi alam seperti batu, pohon, laut, gua, gunung, bukit, dan lain - lain, juga
diyakini berpenghuni.
Kelalaian, pelanggaran dari perilaku manusia dalam kehidupannya membuat para penghuni dan
pemilik kekuatan gaib tersebut murka dan memberikan azab bagi manusia berupa bencana atau
penyakit. Konsekwensi dari segala kejadian tersebut, manusia diwajibkan untuk bertobat, memohon
kepada Penguasa alam agar dijauhkan dari malapetaka, disembuhkan dari penyakit yang diderita.
Wujud pertobatan itulah yang dilakukan oleh orang Kaili melalui upacara ritual Balia dengan
memberikan sesajian sebagai persembahan seraya memohon kesembuhan dan keselamatan bagi umat
manusia.
Mempelajari sejarah orang Kaili dari sudut antropologi, menurut legenda, cikal bakal orang
Kaili berasal dari bambu kuning, erat kaitannya dengan Sawerigading Savi = lahir / timbul
rigading = di bambu kuning ( bahasa Makassar ), artinya sama dengan bahasa Kaili Topebete
ribolovatu mbulava atau orang yang lahir / muncul dari bambu kuning. Sawerigading diyakini oleh
orang Kaili sebagai nenek moyang mereka, sehingga apa yang dilakukan oleh Sawerigading diikuti
oleh oleh keturunannya, termasuk Balia.
Berdasarkan keterangan - keterangan dari tokoh - tokoh pelaku upacara ritual Balia, bahwa
yang pertama - tama mempertunjukan Balia adalah Sawerigading. Balia yang dilakukan oleh
Sawerigading berupa gerak - gerak tari seperti orang yang kesurupan sampai mengalami trance. Kala
itu banyak orang yang datang menonton Balia, termasuk orang yang sakit. Anehnya ketika
menyaksikan Balia, orang - orang yang sakit ketika sampai dirumahnya pulang menonton Balia, ia
menjadi sembuh.
Dari peristiwa itulah, Balia mulai dilakukan oleh orang Kaili. Namun diyakini bahwa penyakit
yang diderita tentu ada penyebabnya, hal ini sangat erat kaitannya dengan keyakinan dan kepercayaan
kepada kekuatan gaib dan penghuni / penjaga alam semesta. Kaitan keterangan sejarah singkat orang
Kaili seperti yang telah disebutkan bahwa antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan
semua apa yang dikerjakannya ( Ralfh L Beas dan Harry Hoijen:1954:2 ).
Ditengah perkembangan dan kemajuan peradaban dewasa ini, Balia sebagai salah satu media
penyembuhan orang sakit, masih dilaksanakan oleh orang Kaili. Tak jarang dijumpai dalam pola hidup
orang Kaili, bila ada anggota keluarga yang sakit, sudah dibawa ke dokter, diinapkan di rumah sakit,
tapi tak kunjung sembuh, sebagai upaya penyembuhan secara adat istiadat diupacarakan dengan ritual
Balia.
Pelaksanaan upacara ritual Balia umumnya dilaksanakan di tempat terbuka, seperti lapangan
atau halaman rumah yang luas, terdapat sebuah bangunan besar tidak permanen yang dibangun secara
gotong royong oleh keluarga yang akan melaksanakan upacara, dibantu oleh masyarakat sekitarnya.
Bangunan ini disebut Bantaya atau balai pertemuan, tempat berkumpulnya para pelaku upacara
selama prosesi upacara berlangsung. Waktu pelaksanaan upacara pada malam hari selama 3 - 4 hari
berturut - turut. Penetapan waktu pelaksanaannya ditentukan oleh tokoh adat setempat, disesuaikan
dengan hari baik menurut kepercayaan orang Kaili. Dalam upacara Balia instrumen musik berupa
gendang, gong, lalove (suling panjang khas Kaili) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses
pelaksanaannya. Instrumen music ini dimainkan untuk mengiringi para pelaku Balia yang menari - nari
(bahasa Kaili: Notaro) karena telah kesurupan roh halus.
Bila upacara Balia digelar, selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat. Ritual ini menjadi sebuah
media pertemuan masyarakat dari segala tingkatan usia dan strata sosial. Selain sebagai sebuah bentuk
upacara tradisi, Balia telah menjadi konsumsi hiburan masyarakat bahkan menjadi pasar kecil - kecilan
karena masyarakat lainnya juga memanfaatkan momen ritual ini dengan menggelar dagangan makanan
kecil seperti : kacang, pisang, kue-kue, minuman, dan lain - lain.
Balia adalah salah satu sistem kepercayaan etnis Kaili yang masih terpelihara, membentuk
sebuah nilai, norma, etika, tatanan sosial orang Kaili di Sulawesi Tengah yang hingga kini belum ada
satu pihak pun menolak keberadaannya. Terlepas dari ajaran Islam sebagai agama yang dianut oleh
mayoritas etnis Kaili, Balia memiliki nilai seni yang tinggi sebagai salah satu local genius ( kearifan
lokal ), wujud dari sebuah kebudayaan yang telah diakui oleh masyarakat Sulawesi Tengah sebagai
culture icon ( ikon budaya ).
Apresiasi dan penghargaan, itulah yang sangat diharapkan terhadap ke - Bhinneka - an
kebudayaan negeri ini. Menjaga, merawat, memelihara dan melestarikan kebudayaan sebagai perekat
pemersatu bangsa, tentunya menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama sebagai pemilik
kebudayaan tersebut. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai kebudayaannya.

B.Upacara Masa Kanak-kanak pada Suku Kaili (Nosuna / khitan)


Upacara ini sudah menjadi adat dan tradisi di kalangan masyarakat Kaili sejak masuknya Islam
hingga dewasa ini, secara turun temurun. Upacara nosuna (khitan) dilaksanakan pada anak laki-laki
dan perempuan. Namun pada bahagian ini hanya diuraikan khusus pada upacara nosuna bagi anak
laki-laki yang dilakukan menjelang anak berumur sekitar 7 sampai 8 tahun, yaitu pada anak-anak yang
belum memasuki puber atau balig (nabalego).

Maksud dan Tujuan Upacara


Upacara ini dilaksanakan karena mempunyai maksud dan tujuan tertentu menurut adat dan
kepercayaan masyarakat setempat, yaitu :
Mentaati perintah agama (sunah Nabi) yang disebut Noinpataati Parenta Nabita (mengikuti perintah
Nabi Muhammad SAW).

Nompakavoe koro (mensucikan diri) .


Nompataati ada (mematuhi adat kebiasaan masyarakat agar sang anak tersebut (yang disunat) terlepas
dari dosa, di samping anak itu terhindar dari berbagai penyakit (perkembangan yang tidak normal baik
psikhis maupun phisik).

Waktu Penyelenggaraan Upacara


Upacara ini memerlukan persiapan-persiapan yang cukup selain bahan yang dibutuhkan untuk upacara
juga menentukan pula adanya kesiapan waktu yang baik untuk diselenggarakannya upacara ini, karena
soal waktu adalah faktor menentukan suksesnya kelangsungan hidup anak yang disunat; keadaan
waktu yang tidak baik merupakan pantangan timbulnya suatu kecelakaan pada diri sang anak. Menurut
kepercayaan adat setempat bahwa pelaksanaan upacara ini hendaknya jatuh pada bulan ke 1, 4, 7, 10,
13, 16, 19, 22, 25, serta ke 28 bulan di langit (Nopalakia) telapak tangan, yakni diawali dari telapak
tangan bagian dalam, jari kelingking, jari manis, jari tengah kemudian jari telunjuk lalu ibu jari. Setiap
bulan yang jatuh pada bagian dalam telapak tangan dan jatuh pada jari tengah bagian dalam akan
mempunyai arti yang baik, serta mendapatkan keselamatan, rezeki bagi anak dan semua
keluarganya.
Adapun hari-hari yang baik dalam melaksanakan upacara ini menurut palakia (buku
perhitungan bulan), yaitu hendaknya jatuh pada hari Senin, Minggu, dan hari Jum'at yang sedianya
dilaksanakan pada siang hari jam 2 sampai jam 4, dengan alasan bahwa pada saat itu merupakan
waktu yang menguntungkan untuk menuju keselamatan.
DAFTAR PUSTAKA
http://nagaya.net16.net Situs Nagaya Powered by Mambo Generated:6 April, 2011, 02:
http://melayuonline.com/ind/culture/dig/1891/novero
http://hiburan.kompasiana.com/buku/2010/04/12/buku-orang-kaili-gelisan-kata-pengantar-dari-
penulis/
http://www.anneahira.com/suku-kaili-7441.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Kaili
http://isramrasal.wordpress.com/2009/10/23/mengenal-lebih-dekat-upacara persemayaman-
jenazah-suku-kaili-di-sulawesi-tengah/
http://3snanaru.multiply.com/journal/item/9
Justus M. van der Kroef (1951). The Term Indonesia: Its Origin and Usage. Journal of the
American Oriental Society
Kristanto, Budi. 2002. Suku Bangsa Kaili Dari Sejarah Hingga Budayanya. BKSNT Manado.
Koran Sulteng.blogspot.com/2009/12/kenalkan-kalkula-alat-musik-etnik-suku.html
Epuilibrian.blogspot.com
Mika-punya.blogspot.com
Kaililand.blogspot.com
http://Google.coM
http://dikadwijaya.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai