Anda di halaman 1dari 2

Berapa Persen Standar Keuntungan Berdagang Dalam Islam?

Simak selengkapnya

Sahabat Ummi, seringkali saat membeli sesuatu entah itu berupa baju, sepatu, binatang ternak,
atau bahkan sembako seringkali ada perasaan kecewa tersirat saat mengetahui teman membeli
barang yang sama, bahkan lebih bagus dengan harga yang lebih murah. Juga terkadang kita sebal
melihat ulah pedagang yang menaikkan harga, atau memberi harga seenaknya atau malah tidak
masuk akal dalam mencari keuntungan ditengah situasi yang kurang menguntungkan. Beberapa
orang menyebutnya, mendapatkan keuntungan tak berkah. Lalu, sebenarnya dalam Islam
apakah ada rambu-rambu mengenai keuntungan yang wajar dan layak diambil pada para
pedagang atau orang-orang dibidang perdagangan?

Dan sebenarnya berapa pesen sih standar keuntungan yang diperbolehkan dalam Islam? Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin berkata, Keuntungan itu tidak dibatasi. Boleh saja diambil
keuntungan 10, 20, 25% atau lebih dari itu, asalkan tidak ada pengelabuan dalam jual belinya.
Besarnya keuntungan di sini dibolehkan selama tidak ada ghoban (pengelabuan).

Tentu barang yang dimaksud yang sudah ada standarnya dimasyarakat semisal sembako atau
barang-barang yang banyak dicari dan dibutuhkan masyarakat untuk keperluan sehari-hari.
Bahkan Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz ditanya mengenai standar keuntungan syari
dalam berdagang bolehkah seseorang membeli suatu barang dengan harga 50 riyal lalu ia jual 80
atau lebih dari itu?

Beliau menjawab:

Perlu diketahui bahwa tidak ada batasan keuntungan (menurut syariat). Keuntungan bisa saja
banyak, bisa pula sedikit. Kecuali jika sudah ada batasan harga di pasaran dengan harga tertentu,
maka tidak boleh konsumen dikelabui saat itu. Bahkan sudah sepantasnya si pedagang
memberitahukan pada pelanggannya bahwa barang ini ada dengan harga sekian dan sekian,
namun harga yang ia patok adalah demikian. Jika si pelanggan berminat dengan harga seperti itu,
maka tidaklah masalah. Akan tetapi lebih baik memberikan harga seperti yang telah ada di
pasaran. Adapun jika harga barang tersebut belum ada di pasaran dan belum ada standarnya,
maka ia boleh menjual barang tersebut sesukanya dengan harga yang ia inginkan walau dengan
keuntungan 30%, 50% atau semisal itu. Ini jika barang tersebut tidak ada standar harga.

Bagaimana jika barang tersebut adalah barang kerajianan, barang yang bernilai seni tinggi dan
langka, atau memang hanya ada sedikit sekali jumlahnya didaerah itu? Semisal membuat pakaian
dengan teknik pengerjaan rumit dan sulit, atau harga tanah disuatu wilayah yang cukup strategis
dan lain sebagainya? Maka tentu harganya mengikuti harga kelangkaan atau tingkat
kesulitannya. Bisa jadi harganya akan semakin melambung, karena yang membeli hanya orang
tertentu saja yang membutuhkan atau senang dengan barang itu, dan itu wajar saja.

Ada salah satu kisah menarik yang sering disitir, saat Ali ra diberi uang Fatimah sebanyak 6
dirham, dan memberikan uang yang seharusnya untuk beli roti untuk anak-anak mereka, malah
disedekahkan untuk keperluan orang asing. Dijalan Ali ra, ditawari oleh seseorang untuk
menjualkan untanya, yang di sebutkan harganya 100 dirham, lalu sebelum sampai rumah unta itu
sudah ditawar oleh seseorang dan dibeli seharga 300 dirham. Keuntungan yang fantastis tersebut,
ternyata tidak dipersalahkan oleh Rasulullah, saat Ali ra bercerita kepadanya. Karena, ada yang
yang mengandung unsur dakwah didalamnya, persoalan ikhlas untuk bersedekah karena Allah,
yang ternyata dua orang yang dijumpai Ali itu adalah malaikat yang diutus Allah yang menguji
keteguhan suami istri itu dalam bersedekah dan jual beli dengan Allah.

Kisah diatas menunjukkan sebenarnya tak ada batasan keuntungan itu, jika sama-sama ridha, tak
mengandung unsur penipuan atau rekayasa, pengelabuhan. Apalagi jika jual beli itu memang
diperhitungkan benar oleh penjualnya untuk selain membuat untung juga membantu masyarakat
luas, bahkan yang kurang mampu untuk bisa membeli. Juga saat pedagang mengambil untung
berlipat pada pembeli miskin apalagi mengandung unsur pengelabuan atau rekayasa, tentu itu
tidak diperbolehkan.

Namun sebenarnya, hukum membatasi harga di pasaran itu apakah diperbolehkan? Dalam syariat
Islam dikenal istilah Tasiir yakni membatasi harga barang dipasaran, tidak boleh dijual selain
harga yang ditetapkan. Ada dua jenis tasiir.

1. Bila harga barang dipasaran dibatasi dengan cara zalim, padahal penjual menjualnya dengan
harga yang wajar. Jika ada kenaikan harga, maka terjadi karena terbatasnya stok atau besarnya
permintaan. Pembatasan hal ini termasuk kezaliman karena mengandung unsur paksaan tanpa
jalan yang benar.

Dalam hadits Anas bin Malik disebutkan, Sesungguhnya Allah yang pantas menaikkan dan
menurunkan harga, Dialah yang menahan dan melapangkan rezeki. Aku harap dapat berjumpa
dengan Allah dan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku karena kezaliman pada
darah dan harta.

2. Jika harga barang dipasarkan mendapatkan pembatasan dengan adil, dimana saat masyarakat
sangat butuh barang tersebut lalu barang tersebut oleh tengkulak dipermainkan harganya dan
dijual dengan harga tinggi dan tidak logis, maka pemerintah yang berwewenang berhak untuk
operasi pasar atau memberi batasan harga supaya semuanya terkendali. Pembatasan seperti ini,
untuk kebaikan khalayak luas wajib diikuti.

Dalam hal ini mengandung maksud, jika pemerintah tidak membatasi harga, maka setiap
pedagang atau seseorang bisa saja melakukan jual beli secara bebas, bahkan harga berlipat-lipat
(seperti yang dilakukan Ali ra), namun memang harus mengindahkan beberapa hal seperti
kejujuran, saling ridha, tanpa ada rekayasa atau adanya unsur pengelabuhan dan tanpa
pemaksaan. Utamakan hati nurani untuk jual beli ini, jika Allah Ridha, meski untung sedikit,
namun insyaAllah akan berkah untuk semua.

Anda mungkin juga menyukai