Anda di halaman 1dari 11

1.

METODE PENYIMPANAN ENERGI KIMIA (HIDROGEN)

A. Prinsip Kerja dan Proses Fisis Penyimpanan

Hydrogen merupakan salah satu energy alternatif yang memiliki prospek yang menjajikan untuk
dikembangkan menjadi energi. Prinsip kerja dan proses fisis sistem penyimpanan dalam 3 bentuk yaitu
gas, cair dan padat.

Sistem penyimpanan hydrogen dalam wujud gas


Pada umumnya hydrogen ditempatkan dan dimampatkan dalam sebuah tabung yang terbuat dari
baja pada tekanan 200-350 bar. Tabung baja ini digolongkan dalam kontainer tipe I. Penggolongan tipe
berdasarkan dari jenis material yang digunakan.

Kontainer tipe I tersedia dalam beberapa varian yang mampu menyimpan 34 liter hingga 120 liter
gas hidrogen. Tabel di atas menunjukkan karakteristik masing-masing varian kontainer. Tampak bahwa
volume gas hidrogen yang disimpan nilainya lebih kecil dibanding kapasitas kontainer (tank system
volume)

Sistem Penyimpanan Hidrogen Dalam wujud Cair


Cara yang paling umum untuk menyimpan hidrogen dalam bentuk cair adalah dengan
mendinginkannya pada temperatur kriogenik, yaitu sekitar 250oC atau di bawah titik didih hidrogen.
Proses pendinginan hidrogen dapat dilakukan melaui metode satu tahap menggunakan Helium atau
dalam beberapa tahapan.
Pada metode multi tahap, hidrogen terlebih dahulu dimampatkan hingga tekanan 30 bar.
Selanjutnya gas hidrogen didinginkan menggunakan nitrogen cair hingga suhu 80 K. Hidrogen
selanjutnya didinginkan menggunakan turbin ekspansi hingga suhunya mencapai 30 K. Tahap terakhir
yaitu hidrogen didinginkan hingga mencapai 20 K menggunakan katup Joule-Thomson. Gambar di atas
menunjukkan energi yang diperluan pada proses pendinginan untuk masing-masing tahap.
Sistem penyimpanan hydrogen dalam wujud padat
Pada sistem penyimpanan ini, hidrogen disimpan di dalam material padat. Terdapat beberapa
kelompok material yang digunakan yaitu karbon, logam hidrat, dan alanat serta hidrat ringan. Pada
sistem penyimpanan logam hidrat, molekul-molekul hidrogen terurai menjadi atom-atom hidrogen pada
permukaan logam. Atom-atom ini kemudian menyisip pada kisi-kisi kristal logam.

B. Hubungan Variabel Dalam Menentukan Sistem Kerja

Dikenal ada tiga metode penyimpanan hidrogen untuk kenderaan berbahan bakar fuel cell,
yakni dalam bentuk gas, cair dan padat. Dalam bentuk gas, hydrogen musti disimpan dalam tangki
bertekanan tinggi antara 300-700 bar. Dalam bentuk cair lebih rumit lagi dimana hidrogen harus dijaga
agar tetap dalam keadaan cair atau pada suhu -253 derajat celcius. Kedua teknik di atas dari sisi
keamanan belum menjanjikan.
Sistem penyimpan yang menjanjikan untuk bisa memenuhi persyaratan seperti tersebut di atas
adalah dengan menggunakan teknik penyimpan padat (solid-statestorage), dimana atom-atom H
disimpan di dalam kisi material utamanya. Dalam hal ini hidrogen "disisipkan" pada material tertentu.
Metoda solid storage ini dipicu oleh kenyataan bahwa jika menyimpan hidrogen dalam bentuk gas
harus dalam bentuk tabung dengan tekanan tinggi (700 bar (4.4 MJ/L)) yang secara safety sangat tidak
efisien. Sementara itu, jika disimpan dalam bentuk cair, suhu harus tetap stabil pada -2530C (8 MJ/L).
berdasarkan permasalahan tersebut maka beberapa upaya yang saat ini telah dilakukan untuk mendapat
material terutama yang berskala nanometer dan membentuk komposit dan memenuhi persyaratan bagi
penyimpan hidrogen padat.

Tabel 1. Kapasitas hidrogen beberapa media penyimpan

Berdasar Tabel 1, kapasitas penyimpanan hidrogen dan densitas energi dari beberapa jenis
media menunjukkan bahwa kapasitas hidrogen yang mampu disimpan dalam bentuk gas (150 atm) dan
cair (-253 C) lebih banyak dan densitas energinya besar. Namun secara volumetric, terutama dalam
bentuk gas, nilainya rendah. Selanjutnya pada beberapa jenis logam hidrida dengan kapasitas serap
hydrogen yang berbeda. Secara volumetric logam hidrida memiliki kapasitas volumetric yang bagus.
Beberapa jenis logam diyakini memiliki kemampuan menyerap hydrogen dalam jumlah besar.
Material-material ini memiliki potensi untuk diaplikasikan pada sistem penyimpan energi hidrogen.
Dalam banyak kasus masalah utama adalah sulitnya hidrogen pada saat memasuki material. Tangki
hidrogen bertekanan tinggi termasuk dalam kategori penyimpan konvensional dan sangat klasik. Tangki
ini dibuat dari logam dan tekanannya mencapai 300 bar. Tangki bertekanan tinggi yang lebih maju lagi
dibuat dari material komposit serat karbon (carbon-fibre-reinforced composite). Tangki modern ini diisi
gas bertekanan hinggi 600 bar dan biasanya diisi hanya sampai 450 bar untuk keperluan komersial.
Begitupun tangki ini butuh pelapis bagian dalam yang sangat khusus (terbuat dari polimer) untuk
menghindari bahaya tekanan gas yang sangat tinggi itu.Konsekuensinya, harus digunakan tanki
tambahan dari aluminium di dalamnya untuk menjaga interaksi interal antara serat karbon dengan
pelapisnya.
Banyak jenis logam dan paduan memiliki kemampuan menyerap hydrogen dalam jumlah besar
serta reversibel. Molekul hidrogen didisosiasikan pada permukaan sebelum terjadi proses absorpsi, dua
atom H melakukan merekombinasi menjadi H2 pada saat terjadi desorpsi. Logam tertentu mulai
menyerap hidrogen pada keadaan solid solution (- phase). Ketika tekanan tertentu konsentrasi
hidrogen ditingkatkan, interaksi antara atom-atom hidrogen makin terlokalisasi dan muncul nukleasi
disertai pembentukan hidrida (-phase). Di saat dua fasa tersebut terbentuk, pada keadaan isotermis
muncul garis plateu, yang menunjukkan seberapa banyak H2 dapat diserap secara reversible pada
tekanan berbeda. Pada fasa murni, tekanan hidrogen meningkat secara perlahan dengan meningkatnya
konsentrasi. Pada saat tekanan hidrogen makin tinggi, garis plateu dan fasa hidrida berikutnya akan
terbentuk. Kedua daerah fasa itu akan berakhir pada titik kritis Tc, saat mana transisi dari fasa ke
berlanjut. Garis plateau atau tekanan kesetimbangan sangat bergantung pada temperatur, yang
merupakan pangkal penyebab terjadinya perubahan pada H (enthalpy) dan S (entropy). Perubahan
entropi umumnya berkaitan dengan terjadinya perubahan molekul gas hidrogen akibat hidrogen
berdifusi.

C. Efektifitas, Efisiensi dan Ekonomi sistem

Dari hasil pemaparan tempat penyimpanan energy diatas efektifitas, efisien dan ekonomi
kelompok kami memilih penyimpanan gas hydrogen dalam bentuk gas dikarenakan media
penyimpanan yang dibuat.

D. Alternatif Teknologi untuk Meningkatkan Kerja Sistem

Salah satu pendekatan yang umum dipakai untuk memperbaiki kinerja serapan magnesium
hidrida (MgH2). Dikenal beberapa tipe ball milling, dari vibratory mill, shaker mill hingga jenis
planetary ball mill. Menyangkut dengan tipe ball mill tertentu yang akan digunakan, maka akan sangat
berpengaruh terhadap beberapa sifat serapan dan unjuk) adalah dengan metode echanical alloying
menggunakan perangkat ball milling. Teknik ini sangat sederhana dan paling banyak dipakai dalam
preparasi material penyimpan hydrogen berbasis magnesium. Pada sebuah proses miling, campuran
serbuk ditempatkan di dalam sebuah pot miling (milling bowl atau milling vial) dan di dalam pot miling
juga ditempatkan sejumlah bola (milling balls) dengan ukuran dan diameter tertentu. Tumbukan antara
serbuk dengan bola ini akan menghasilkan serbuk dengan ukuran yang sangat halus bahkan bisa
mencapai skala nanometer. Sejumlah parameter, seperti milling mode, waktu, kecepatan (rpm) dan rasio
bola-serbuk (ball to powders ratio atau BPR) sangat berpengaruh dalam memperoleh serbuk berstruktur
nanometer.
2. Metode Penyimpanan Energi Secara Biologi dengan Pati

A. Prinsip kerja dan proses fisis penyimpanan

Berdasarkan struktur kimianya, pati dapat digolongkan menjadi dua jenis, yakni amilosa,
dengan ciri utama memiliki rantai lurus, dan amilopektin, dengan ciri utama memiliki struktur
bercabang, seperti ditunjukkan dalam Gambar 1. Seperti terlihat dalam Gambar 1, kedua jenis pati
memiliki ikatan -(1,4)-D-glikosidik, namun pada amilopektin terdapat percabangan pada posisi -
(1,6)-D-glikosidik.

(a)

Gambar 1. Struktur Kimia Amilosa dan Amilopektin

Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa. Butiran pati
mengandung amilosa berkisar antara 15-30%, sedangkan amilopektin berkisar antara 70-85%.
Perbandingan antara amilosa dan amilopektin akan berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan derajat
gelatinisasi pati (Jane dan Chen, 1992). Adanya perbedaan struktur mengakibatkan perbedaan kelarutan
pati dalam air. Amilosa dapat larut dalam air, sedangkan amilopektin tidak dapat larut dalam air (Aiyer,
2005), sehingga amilosa lebih mudah dihidrolisis daripada amilopektin. Salah satu metode yang
digunakan untuk menetukan kadar pati adalah dengan metode spektroskopi UV-Vis. Pati tidak larut
dalam air dan dalam analisis pati, memberikan warna biru dengan iodium (I3). Reaksi pati dengan
iodium (I3) akan terbentuk kompleks pati dan iodium kompleks, semakin tinggi kadar pati, maka
kompleks iodium yang yang tersisa semakin menurun. Berdasarkan prinsip tersebut penentuan kadar
pati didasarkan pada sisa iodium (I3) yang berlebih menggunakan metode spektroskopi UV-Vis
(Ghazali, 2012).
Pengolahan Bioetanol

Gambar 2 Proses Biotanol Pati

Proses pengolahan biotanol adalah:

1. Hidrolisis
Hidrolisis adalah suatu proses antara reaktan dengan air agar suatu senyawa pecah terurai. Reaksi
Hidrolisis:
(C6H10O5)n + n H2O n C6H12O6

Polisakarida Air Glukosa

Reaksi antara air dan pati berlangsung sangat lambat sehingga diperlukan bantuan katalisator
untuk memperbesar kereaktifan air. Katalisator bisa berupa asam maupun enzim. Katalisator asam
yang biasa digunakan adalah asam klorida, asam nitrat dan asam sulfat. Dalam industri umumnya
digunakan enzim sebagai katalisator.
Salah satu proses hidrolisis yaitu hidrolisis asam, dimana katalisatornya menggunakan asam.
Asam berfungsi sebagai katalisator dengan mengaktifkan air. Di dalam industri asam yang dipakai
adalah H2SO4 dan HCl. HCl lebih menguntungkan karena lebih reaktif dibandingkan H2SO4.
(Groggins,1992)

2. Fermentasi
Fermentasi adalah suatu proses perubahan peubahan kimia dalam suatu substrat organik yang
dapat berlangsung karena aksi katalisator biokimia, yaitu enzim yang dihasilkan oleh mikrobia
mikrobia tertentu. (Tjokroadikoesoemo, 1986). Fermentasi gula oleh ragi, misalnya Saccharomyces
cerevisiae dapat menghasilkan etil alkohol (etanol) dan CO2 melalui reaksi sebagai berikut:

C6H12O6 Saccharomyces cerevisiae 2 C2H5OH + 2 CO2

Glukosa etanol

Reaksi ini merupakan dasar dari pembuatan tape, brem, tuak, anggur minuman, bir, roti dan
lain lain. (Winarno, 1984)
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi:
Keasaman (pH)
Tingkat keasaman sangat berpengaruh dalam perkembangan bakteri. Kondisi keasaman yang baik
untuk pertumbuhan bakteri adalah 4 5. (Winarno, 1984)

Mikroba
Fermentasi biasanya dilakukan dengan menggunakan kultur murni yang dihasilkan di laboratorium.
Kultur ini dapat disimpan dalam keadaan kering atau dibekukan. Berbagai macam jasad renik dapat
digunakan untuk proses fermentasi antara lain yeast. Yeast tersebut dapat berbentuk bahan murni pada
media agar-agar atau dalam bentuk dry yeast yang diawetkan. ( Winarno, 1984 )

Suhu
Suhu fermentasi sangat menentukan macam mikroba yang dominan selama fermentasi. Tiap-tiap
mikroorganisme memiliki suhu pertumbuhan optimal, yaitu suhu yang memberikan pertumbuhan
terbaik dan perbanyakan diri secara tercepat. Pada suhu 30oC mempunyai keuntungan terbentuk alkohol
lebih banyak karena ragi bekerja optimal pada suhu itu. (Winarno, 1984)

Oksigen
Udara atau oksigen selama proses fermentasi harus diatur sebaik mungkin untuk memperbanyak
atau menghambat mikroba tertentu. Setiap mikroba membutuhkan oksigen yang berbeda jumlahnya
untuk pertumbuhan atau membentuk sel sel baru dan untuk fermentasi. Misalnya ragi roti
(Saccharomyces cerevisiae) akan tumbuh lebih baik pada keadaan aerobik, tetapi akan melakukan
fermentasi terhadap gula jauh lebih cepat pada keadaan anaerobik. (Winarno, 1984)

Makanan
Semua mikroorganisme memerlukan nutrient yang akan menyediakan:
Energi biasanya diperoleh dari subtansi yang mengandung karbon.
Nitrogen untuk sintesis protein. Salah satu contoh sumber nitrogen yang dapat digunakan
adalah urea.
Mineral yang dipergunakan mikroorganisme salah satunya adalah asam phospat yang dapat
diambil dari pupuk NPK.
Vitamin, sebagian besar sumber karbon dan nitrogen alami sudah mengandung semua atau
beberapa vitamin yang dibutuhkan mikroorganisme. ( Gaman, 1992)

3. Distilasi
Distilasi adalah suatu proses penguapan dan pengembunan kembali, yang dimaksudkan untuk
memisahkan campuran dua atau lebih zat cair ke dalam fraksi-farksinya berdasarkan perbedaan titik
didih. Pada umumnya, pemisahan hasil fermentasi glukosa/dektrosa menggunakan sistem uap-cairan,
dan terdiri dari komponen komponen tertentu yang mudah tercampur. Umumnya destilasi
berlangsung pada tekanan atmosfer, contoh dalam hal ini adalah sistem alkohol-air, yang pada tekanan
atmosfer memiliki titik didih sebesar 78,6oC. (Tjokroadikoesoemo, 1986)

B. Hubungan variabel untuk menentukan kinerja sistem

Variabel dalam pembuatan biotanol ini adalah substrat dan waktu fermentasi

1. Pengaruh Konsentrasi Substrat dan Waktu Fermentasi terhadap Kadar Bioetanol.


Dengan adanya substrat yang lebih banyak maka glukosa yang terkonversi oleh enzim
meningkat, serta pertumbuhan mikroba akan lebih baik karena kebutuhan nutrisinya yang semakin
terpenuhi, sehingga yang terkonversi menjadi bioetanol juga semakin banyak.
Dengan adanya penambahan substrat membuat jumlah selulosa yang akan dikonversi menjadi
glukosa semakin banyak pula, sehingga kadar etanol semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan
pendapat Winarti (1996) yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi substrat atau gula
reduksi yang dapat dipecah oleh sel khamir menjadi etanol maka semakin tinggi pula konsentrasi
etanol yang dihasilkan

2. Pengaruh Waktu Fermentasi terhadap Kadar Bioetanol yang dihasilkan.


Waktu fermentasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh Saccharomyces cerevisiae mengubah
atau memfermentasi glukosa menjadi bioetanol. Pada proses fermentasi, waktu fermentasi
mempengaruhi kadar bioetanol yang dihasilkan. Semakin lama waktu fermentasi maka semakin
tinggi kadar bioetanol yang dihasilkan hingga tercapai kadar etanol optimum.
Menurut Sari, dkk [2008], menyatakan bahwa lama fermentasi yang paling optimal untuk
proses pembuatan bioetanol dengan yeast saccharomyces cerevisiae adalah 3 hari. Jika fermentasi
dilakukan lebih dari 3 hari, justru kadar alkoholnya dapat berkurang. Berkurangnya kadar alkohol
disebabkan karena alkohol telah dikonversi menjadi senyawa lain, misalnya ester. Menurut
Kunaepah [2008] semakin lama waktu fermentasi maka jumlah mikroba semakin menurun, dan
akan menuju ke fase kematian karena alkohol yang dihasilkan semakin banyak dan nutrient yang
ada sebagai makanan mikroba semakin menurun.

C. Efisiensi, efektivitas dan ekonomis sistem

Waktu fermentasi terbaik untuk menghasilkan kadar bioetanol tertinggi adalah 72 jam. Karena
diperoleh konsentrasi gula sisa terendah, ini disebabkan glukosa yang terkonversi saat proses hidrolisis
tinggi dan dengan penggunaan jumlah mikroorganisme yang banyak, sehingga menyebabkan banyak
gula yang dikonsumsi oleh mikroorganisme dan menyebabkan konsentrasi gula sisa yang diperoleh
semakin rendah, menurut Rahman [1989] semakin rendahnya konsentrasi glukosa berarti etanol yang
terkonvensi tinggi. Biotanol mampu memeproduksi etanol dengan kadar 80% lebih efektif digunakan
sebagai bahan bakar karena lebih ekonomis

D. Alternatif untuk mningkatkan kerja sistem

Ultrasonikasi adalah metode yang menggunakan gelombang ultrasonik yaitu gelombang akustik
dengan frekuensi lebih besar dari 20 kHz. Ultrasonik bersifat non-destructive dan non-invasive,
sehingga dapat dengan mudah diadaptasikan ke berbagai aplikasi, terutama dalam proses biologi
dan kimia (McClements, 1995). Berdasarkan rentang frekuensinya, ultrasonikasi dibagi menjadi
tiga, yaitu power ultrasonikasi (16100 kHz), ultrasonikasi frekuensi tinggi (100 kHz1 mHz), dan
ultrasonikasi diagnostik (110 MHz) (Patist and Bates, 2008).
Gelombang ultrasonik lebih tinggi dibandingkan panjang gelombang molekul-molekul
sehingga dapat terjadi interaksi di dalam medium cairan. Intensitas gelombang ultrasonik yang
menjalar di dalam medium cair akan menurun karena adanya penyerapan energi terhadap medium
dan menimbulkan adanya perbedaan tekanan sehingga dapat menimbulkan gelembung kecil dalam
cairan. Ketika gelembung mencapai volume yang maksimal dan tidak mampu menyerap energi
lagi, maka akan terjadi peristiwa kavitasi. Kavitasi adalah peristiwa pembentukan, pertumbuhan,
dan meledaknya gelembung di dalam cairan yang terjadi pada rentang frekuensi antara 20 kHz10
MHz, dan melibatkan sejumlah
Energi yang sangat besar. Peristiwa meledaknya gelembung menghasilkan efek panas yang
menyebar secara konveksi dalam medium akibat kenaikan temperatur yang sangat tinggi (5.000 K
pada tekanan 1.000 atm dengan laju pemanasan dan pendinginan 1.010 K/s). Pada kondisi tertentu,
tekanan yang dihasilkan pun meningkat dan peristiwa ini terjadi berulang dalam waktu yang sangat
singkat (dalam skala nano detik) seiring dengan bertambahnya waktu ultrasonikasi (Camarena and
Martinez, 2006).
Beberapa keunggulan dari metode ultrasonikasi adalah tidak membutuhkan penambahan bahan
kimia lainnya, prosesnya cepat, mudah, dan murah, serta tidak mengakibatkan perubahan yang
signifikan pada struktur kimia, partikel, dan senyawa-senyawa bahan yang digunakan (Lida, 2002).
Penggunaan ultrasonikasi sebagai metode praperlakuan hidrolisis telah banyak dipelajari dan
menghasilkan kesimpulan yang sama bahwa perlakuan ultrasonikasi dapat meningkatkan rendemen
gula reduksi. Pada penelitian ini ultrasonikasi tidak dilakukan sebagai metode praperlakuan, tetapi
dimanfaatkan untuk menghidrolisis umbi talas taro secara langsung. Artinya, proses hidrolisis
dilakukan di bawah pengaruh ultrasonikasi dengan harapan metode ini mampu meningkatkan
rendemen gula reduksi secara signifikan.

3. Metode Penyimpanan Elektrokimia

A. Prinsip Kerja dan Proses Fisis Sistem Penyimpanan

Baterai adalah alat yang dapat menyimpan energi kimia dan dapat diubah menjadi energi listrik.
Baterai dapat berupa susunan beberapa sel atau satu sel saja. Tiap sel dari baterai terdiri atas elektroda
positid (anoda), elektroda negatif (katoda), dan larutan elektrolit. Baterai digunakan sebagai sumber
penghasil arus searah atau DC. Baterai banyak dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari misalnya
sebagai sumber energi benda-benda elektronik. Di industri, baterai digunakan sebagai sumber tenaga
motor, trafo, alarm, dan relay proteksi.

Gambar 1. Susunan Dasar Baterai

Listrik yang dihasilkan dari baterai muncul akibat adanya perbedaan potensial listrik kedua
buah elektrodanya yang dikenal dengan Gaya Gerak Listrik (GGL). Perbedaan baterai generasi awal
dan sekarang adalah terletak pada ukurannya. Pada generasi awal ukurannya cenderung besar,
sedangkan pada generasi sekarang relatif kecil. Selain itu, baterai generasi sekarang sebagian besar
komponennya padat sehingga lebih aman. Dari segi kapasitas energi, baterai sekarang mempunyai rasio
energi terhadap massa yang jauh lebih besar dibandingkan baterai generasi awal.
Berdasarkan kemampuannya untuk dikosongkan (discharged) dan diisi ulang (recharged),
baterai dibagi menjadi dua yaitu Baterai Primer dan Baterai Sekunder. Kemampuan sebuah baterai
untuk diisi ulang terletak pada reaksi kimiawi dalam baterai tersebut. Definisi mengisi ulang adalah
membalikkan reaksi kimia yang terjadi dalam sebuah baterai dengan menerapkan arus listrik pada
potensial tertentu. Berikut ini adalah uraian mengenai Baterai Primer dan Baterai Sekunder:
1. Baterai Primer
Baterai primer adalah baterai yang tidak dapat diisi ulang. Setelah kapasitas baterai habis
(fully discharged), baterai tidak dapat digunakan kembali. Contoh baterai jenis ini adalah
baterai Seng-Karbon (Baterai Kering) dan baterai Alkalin.
2. Baterai Sekunder
Baterai sekunder adalah baterai yang dapat diisi ulang. Kemampuan isi ulangnya bervariasi
antara 100 500 kali (satu siklus adalah satu kali pengisian dan pengosongan). Contoh baterai jenis
ini adalah baterai Lithium-Ion dan baterai Ni-MH.

Berdasarkan kapasitasnya, baterai dibedakan menjadi:


1. Baterai Kapasitas Rendah/Menegah
Besarnya kapasitas baterai sampai 235 Ah, dengan lama pengosongan selama 8 jam pada
suhu 25C. Biasanya baterai jenis ini digunakan untuk alat kontrol, proteksi, penerangan
darurat, dan telekomunikasi,
2. Baterai Kapasitas Tinggi
Baterai ini mempunya kapasitas 235 Ah sampai 450 Ah dengan lama pengosongan 5 jam
pada suhu 25C. Biasanya digunakan sebagai sumber DC untuk menjalankan motor listrik.
B. Hubungan Variabel dalam Menentukan Kinerja Sistem

Beberapa parameter penting dalam baterai adalah:

1. Kerapatan Energi
Kerapatan energi menunjukkan jumlah energi yang dapat disediakan oleh baterai berbanding massa
atau volume baterai tersebut. Sebagai contoh, sebuah baterai dengan kerapatan energi dua kali baterai
lain, secara teoritis mempunyai waktu aktif dua kali lebih lama untuk pemakaian pada beban yang sama.
Berikut ini adalah gambar kerapatan energi pada berbagai jenis baterai:

Gambar 1. Kerapatan Energi Berbagai Jenis Baterai

2. Profil Potensial Terhadap Waktu


Kurva ini menjelaskan hubungan potensial yang dihasilkan suatu baterai terhadap waktu sejak
dikosongkan atau diisi ulang. Pada baterai primer, potensial berkurang secara bertahap hingga
kapasitasnya habis. Potensial ini berkurang sejalan dengan proses kimia dalam baterai yang lajunya
mengecil dan menurun secara gradual. Baterai dengan profil seperti ini dapat digunakan pada alat
seperti lampu senter, kamera, dan radio.
Selain itu, terdapat jenis lainnya yaitu profil datar seperti pada baterai Ni-Cd. Sejak pengosongan
baterai hingga 2/3 kapasitasnya, potensial baterai relatif stabil. Namun sisanya, potensial menurun
drastis hingga mendekati nol. Kelemahan baterai jenis ini adalah baterai harus segera diganti jika
menunjukkan penurunan potensial.

Gambar 3. Profil Datar dan Profil Gradual

3. Laju Pengosongan Diri


Setiap baterai jika tidak digunakan dalam waktu yang lama, dapat mengalami penurunan kapasitas
walaupun tidak digunakan. Kelembapan udara dan kontak dengan benda lain dapat dijadikan konduktor
bagi baterai sehingga pengosongan terjadi. Proses ini dinamakan Laju Pengosongan Diri (LPD) yang
nilainya berbeda-beda pada setiap jenis baterai.

4. Temperatur Operasi
Pada umumnya baterai mengalami penurunan kinerja pada suhu lebih besar dari 25C. Penurunan
yang lebih drastis terjadi pada suhu 55C.

5. Siklus Hidup
Siklus hidup menunjukkan jumlah pengisian-pengosongan (satu siklus) yang dapat diterima oleh
sebuah baterai sekunder sebelum baterai tidak efektif lagi dalam muatan listrik.

C. Efektivitas , Efisiensi, dam Ekonomis Sistem

Efisiensi baterai dinyatakan dengan sebagai perbandingan antar kapasitas pengosongan dengan
kapasitas pengisian sehingga dapat dirumuskan:


= 100%

Sedangkan untuk energi listriknya adalah:

Dimana:
W = Energi listrik (Joule)
V = Tegangan uji (Volt)
Q = Muatan listrik (Coulomb)
DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/549/jbptitbpp-gdl-arsandiwid-27421-3-2007ta-2.pdf diakses pada 4


Oktober 2017.
http://www.elektro.undip.ac.id/el_kpta/wp-content/uploads/2012/05/L2F007004_MKP.pdf

Anda mungkin juga menyukai