Anda di halaman 1dari 5

Penguasaan Bahasa Arab dan Strategi Islam Nusantara

Oleh Ahmad Baso

Adakah alasan selain untuk mendalami agama Islam, mengapa penduduk Nusantara
belajar bahasa Arab? Dalam Sajarah Melayu disebut: Hatta maka tersebutlah perkataan
sayyidi Ali Ghiyatsuddin muwafakat di negeri Samudera [Pasai, Aceh Utara, di masa
pemerintahan Sultan al-Maliku-z-Zhahir awal abad 14] dengan segala menteri yang tua-
tua; ia berbuat sebuah kapal dan membeli dagangan Arab, karena segala orang Samudera
pada zaman itu semuanya tahu bahasa Arab.1 Meski penduduk Samudera sendiri sehari-
harinya berbahasa Melayu (disebut bahasa Jawi), namun mereka toh bisa
berkomunikasi dalam bahasa Arab. Ini bisa dibandingkan dengan bahasa Inggris dalam
konteks masyarakat Bali kini yang relasinya dengan turis asing begitu rapat, sehingga
tukang ojek saja bisa berbahasa Inggris!
Kemudian, pada abad 16 ada terjemahan Kitab al-Burdah oleh al-Bushiri tentang puji-
pujian kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dalam bahasa Melayu.
Sejumlah kosa kata bahasa Arab tetap dipertahankan dalam teks tersebut. Ini
menunjukkan bahwa orang-orang Nusantara masa itu sudah familiar dengan istilah dan
kosa kata Arab tersebut.2 Dengan kata lain, proses masuknya Islam bersamaan dengan
penerimaan orang-orang Nusantara mempelajari bahasa Arab.
Sekali lagi, saya akan bertanya, adakah alasan lain? Selain untuk mengenal dasar-dasar
tauhid dan fiqih atau untuk mendalami agama Islam?
Sejak masuknya Islam ke Nusantara, berbahasa Arab membantu orang-orang Nusantara
memaknai bahasa secara berbeda dari cara orang-orang Hindu-Budha dulu. Sebelumnya,
bahasa merupakan mantra atau yantra, yaitu sebagai alat untuk menfokuskan pikiran
dan perasaan dalam semedi (meditasi) atau sebagai reseptakulum. Yakni berupa mantra-
mantra atau ungkapan-ungkapan khusus dalam bahasa Sansekerta yang tertulis di atas
yantra (teks-teks, lambang-lambang atau bahan-bahan tulisan yang bisa menimbulkan
bunyi atau getaran). Alat-alat yantra ini pada hakikatnya menggambarkan bentuk-bentuk
pikiran yang melambangkan Sang Hyang Widi.
Ini bisa kita lihat misalnya pada pembuka teks-teks para pujangga dari masa Majapahit.
Om Awighnam Astu namas siddham, adalah kalimat pembuka yang sering dipakai,
seperti yang kita lihat dalam Pararaton.3 Artinya, Tuhan, Pencipta, semoga tidak ada
halangan, dalam pelaksanaan ibadahku ini; sujudku sesempurna-sempurnanya. Ibadah
di sini dalam arti pembacaan teks bersangkutan. Jadi, dari Pararaton ini, membaca dan
memahami suatu teks dikaitkan dengan kelancaran pelaksanaan ibadah, seperti
bermeditasi atau dalam melantunkan kidung-kidung tertentu.

1 Sedjarah Melaju (Menurut Terbitan Abdullah ibn Abdulkadir Munsji) (ed. T.D. Situmorang & A. Teeuw)
(Jakarta & Amsterdam: Djambatan, 1952), hal. 66. Syekh Sayid Ali Ghiyatsuddin adalah salah seorang
fuqaha yang disebut berasal dari Persia, kemudian menjadi wazir di Kesultanan Pasai. Lihat J.M. dos
Santos Alves, Princes contre marchands au crpuscule de Pasai (c. 1494-1521). Archipel, vol. 47, tahun
1994, hal. 142.
2 Lihat G.W.J. Drewes, The Study of Arabic Grammar in Indonesia, dalam Acta Orientalia Neerlandica

(Leiden: E.J. Brill, 1971), hal. 62.


3 J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography (The Hague: Martinus Nijhoff, 1968), hal. 613;

dan, Dojosantosa, Unsur Religius dalam Sastra Jawa (Semarang: Aneka Ilmu, 1989), hal. 19-23. Namun
demikian, dalam bukunya ini, J.J. Ras keliru menyebut ungkapan pembuka wabihi nastain yang
biasa dipakai penulis-penulis santri-mustami -- sebagai padanan atas Om Awighnam Astu. Soal ini
akan dibahas dalam Bab 6.
Setelah kedatangan Islam, bahasa mulai bertransformasi. Berkat pengaruh bahasa Arab,
berbahasa mulai identik dengan cara menafsirkan dengan tepat. Para Wali Songo dan
generasi pelanjutnya mengangkat istilah patitis kang mardikani semakna dengan
pengertian tafsir atau tawil dalam literatur Islam.4 Dalam konteks perubahan yang
revolusioner ini, kekuatan magis dari kata ataupun suatu karya sastra, sudah
ditinggalkan. Manfaat atau faidah suatu karya sastra lebih terletak pada istifadahnya,
yakni pemahaman dan penafsiran yang dilakukan oleh para khalayaknya. Pergeseran ini
bisa dipahami kalau diingat bahwa dalam budaya Islam ilmu tafsir atas Quran dan Hadith
dijunjung tinggi, tulis Sudewa tentang pengaruh bahasa Arab ini.5
Ini dicontohkan Sudewa pada perdebatan antara Kiai Cebolek (Syekh Ahmad
Mutamakkin) dengan Katib Anom, ulama dari Kudus. Dalam soal berbahasa ini, ada satu
poin yang merupakan akar perdebatan, yakni pada soal resepsi yang berbeda dari kedua
belah pihak terhadap teks Serat Dewaruci. Di satu sisi ada yang memahaminya sebagai
yantra. Yakni sebagai alat untuk menfokuskan pikiran dalam samadi, yang sifatnya
individual, dan tidak berimplikasi sosial. Sementara yang lainnya, seperti pihak Katib
Anom, memahaminya sebagai sebuah teks yang membutuhkan tafsir, sebagaimana yang
berkembang dalam tradisi Aswaja.

Ketib Anom menerapkan penafsiran Serat Dewaruci pada ceritera wayang yang
lain, tentang pekerjaan budi, dan caranya mencetuskan budi yang telah
mengandung kehendak baik. Dengan kata lain, sang pujangga [Yosodipuro]
dengan kata-katanya yang diletakkan pada diri tokohnya, Ketib Anom,
menghendaki suatu proses penafsiran yang memenuhi kaidah-kaidah
penafsiran yang berlaku pada jaman itu.6

Jadi, dari kasus Serat Cebolek ini kita mengamati adanya perubahan dalam cara istifadah
atau dalam mengambil faidah dari berbahasa. Itu dimulai dari pengenalan mereka atas
bahasa Arab.
Kekuatan apa yang dimiliki bahasa Arab sehingga mengubah pendekatan mereka
terhadap teks dari obyek meditasi ke obyek tafsir? Kita lihat hal itu pada ungkapan
patitis kang mardikani, seperti disebut dalam satu bait Serat Cebolek:

Punapa malih rasaning kawi


Bima Suci kalawan Wiwaha
Pan sami keh sasmitane
Ngenting rasaning ngelmu
Yen patitis kang mardikani
Kadyangga Kawi Rama
Punika tesawuf

(Esensi buku-buku kawi [dalam bahasa Jawa Kuno]


Seperti buku Bima Suci dan [Arjuna] Wiwaha
Diungkap dalam bahasa-bahasa kiasan
Yang menguasainya bisa mendalami ngelmu

4 Tentang hal ini lihat misalnya Alexander Sudewa, Kawi dan Pujangga: Studi Kasus Serat Dewaruci,
dalam Sulastin Sutrisno, dkk. (editor), Bahasa, Sastra, Budaya: Ratna Manikam Untaian Persembahan kepada
Prof. Dr. P.J. Zoetmulder (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), cet. 2, hal. 336-53.
5 Sudewa, Kawi, hal. 350.
6 Ibid., hal. 352.
Asalkan menafsirkannya dengan titis dan mardika
Demikian pula buku Rama dalam bahasa Kawi
Semua teks itu berkaitan masalah tasawuf)7

Dalam Serat Surya Raja, yang dikarang oleh Hamengkubuwono II, juga diungkap sesuatu
yang bermakna titis ini:

Dira Sang Narpa Putra kapya maudyana ing Surya Raja antyan, kita puniki titis
tan mantreng wikara pratignya tuhu jiwa mayongga lir tan, jrak ing sagara.

(Yang mulia Putra Mahkota [kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono II],


ketika membuat taman keceriaan ini dalam Serat Surya Raja, kami sangat
cermat [titis], tetap setia dan tidak lalai kepada sumpah dan janji kami, dan
tetap bertekad bulat tak tergoyahkan sedikitpun [dalam melaksanakan tugas
dan kewajiban menyalin dan menuangkan semua isi naskah ini dari beliau]).8

Apa arti titis dan mardika sebetulnya, sehingga menandai satu revolusi dalam cara
berbahasa Arab orang-orang pesantren?
Dalam Javaansch Woordenboek (1847), yang disusun oleh Taco Roorda, titis berarti
nyata, benar dan jelas. Sedangkan patitis berarti menjadi jelas, nyata, benar; atau,
membuatnya jadi jelas, nyata, benar. Matitis berarti berujar dan bercakap dengan jelas,
terang dan fasih.9 Sedangkan mardika berarti orang-orang yang bebas, merdeka dan
tidak bergantung atau tunduk pada siapapun. Roorda dalam kamusnya menghubungkan
pengertian ini dengan keberadaan dan posisi kalangan agamawan [maksudnya, orang-
orang pesantren]. Sebutan perdikan, yakni tanah yang diberikan untuk kalangan agama
dalam mengurus makam dan pendidikan pesantren tanpa beban pajak atau rodi, berasal
dari kata ini.10
Jadi, bisa dikatakan, titis dan mardika merupakan satu bentuk atau model kerja
penafsiran yang dipakai oleh orang-orang pesantren dan mustami-nya dalam menulis
dan memberi makna secara tepat dan benar. Pengertian patitis sebetulnya
menunjukkan istifadah orang-orang pesantren atas cara kerja bayan-nya bahasa Arab,
seperti dijelaskan di bawah. Sementara makna mardikani mencerminkan hakikat posisi
orang-orang pesantren sebagai orang-orang independen, yakni yang tidak terikat dengan
kekuasaan kraton. Sehingga mereka dikenal dengan sebutan pandito mardiko. Artinya,
dalam menafsir serta dalam segenap kegiatan kultural lainnya (seperti tulis-menulis),
mereka tidak boleh tunduk kepada nafsu dan kepentingan penguasa; mereka adalah
orang-orang yang berdaulat dalam proses pemaknaan. Pengertian titis ini akan saya
hubungkan dengan cara orang-orang pesantren beristifadah dengan bahasa Arab.
Titis adalah cara orang-orang pesantren mengolah beragam pengetahuan, yang
bertumpu pada cara menafsirkan. Kekuatan ini mereka adaptasi dari bahasa Arab. Inti
kekuatan tersebut, tiada lain, adalah bayan. Cara kerja ini pertama kali diberlakukan oleh

7 Soebakin Soebardi, The Book of Cabolek: A Critical Edition with Introduction, Translation and Notes (A
Contribution to the Study of the Javanese Mystical Tradition) (The Hague: Martinus Nijhoff, 1975), hal. 114.
8 Ricklefs, Jogjakarta, hal. 196-7. Dalam Serat Centhini, disebut juga: Ttp uwus manjing agama

Islamu/ttp tatas naratas tyas/tumts sampurna titis. Serat Centhini Latin (ed. Kamajaya) (Yogyakarta:
Yayasan Centhini, 1988-1992), Jilid 2, hal. 179; versi Latin teks dimuat dalam www.sastra.org. Diakses
8 Mei 2012.
9 Taco Roorda, Javaansch Woordenboek (1847), cetakan pertama, hal. 269.
10 Lihat Ibid., hal. 481, 582, dan 596.
al-Imam asy-Syafii dalam bukunya yang terkenal, ar-Risalah. Pendiri Mazhab Syafii yang
dominan di Nusantara ini merumuskan soal Ma-l-Bayan? (Apa itu arti Bayan) berdasar
pada cara orang-orang Arab sendiri dalam mengolah bahasa mereka, baik sebagai
sumber pengetahuan maupun sebagai mekanisme berpikir. Bayan secara literal berarti
jelas, nyata, dan benar. Singkatnya, semakna dengan titis. Pengertian ini terkandung
dalam logika bahasa Arab itu sendiri, dengan berbagai sistem semantik dan
gramatikanya. Bayan oleh al-Imam asy-Syafii dijadikan kunci memahami teks-teks,
untuk menafsirkan. Hampir semua kegiatan bernalar dalam tradisi Aswaja sebelum al-
Ghazali terfokus pada kegiatan menafsirkan dan memahami wacana atau teks (tafsiru-l-
khithab). Qiyas atau analogi misalnya merupakan satu bentuk berijtihad yang terpaku
pada teks. Kalau tidak ada teksnya, maka ijtihad itu dianggap tidak sah. al-Ghazali
kemudian memperkenalkan logika atau manthiq untuk menutupi kekurangan
pendekatan tekstualis ala asy-Syafii ini. Manthiq lalu diintegrasikan ke dalam ilmu ushul
fiqih, dan menjadi pilar kekuatan bernalar tradisi Mazhab Syafii pada masa-masa
berikutnya hingga kini.11
Dalam nalar bayani ini, berbagai konstruksi berbahasa dalam bahasa Arab dipakai
sebagaimana halnya logika dalam bangunan filsafat Aristoteles. Inspirasinya dimulai dari
konstruksi kebahasaan al-Quran. al-Quran turun ke bumi untuk memuji-muji sifat
akliyah, kekuatan penjelas dan pembicaraan rasional dalam bahasa. Ia dengan tegas
menyatakan dirinya sebagai kitab yang jelas tanda-tandanya; pembicaraannya jelas,
tertib dan teratur (kitabun fushshilat ayatuh); dan nalar manusia pun bisa menangkapnya
dengan sempurna. Dalam menyampaikan pesannya, al-Quran menggunakan bahasa Arab
yang lugas, tidak rumit dan tidak bengkok (ghaira dzi iwajin). Konstruksi bahasa seperti
ini memosisikan al-Quran sebagai al-bayan (kitab penjelasan), sebagai sesuatu yang jelas
dan menjelaskan (mubin), dan dengan sendirinya membuktikan diri (bayyinah).
Ini kemudian memunculkan satu bentuk nalar yang disebut oleh Muhammad Abed al-
Jabiri sebagai al-aqlu-l-bayani, nalar bayani. Bahasa Arab dengan segenap cara dan
struktur berpikir internalnya dianggap identik dengan logika itu sendiri. Seperti kata
orang-orang Arab, nahwu adalah logika orang-orang Arab (an-nahwu manthiqu-l-
arabiyyah).12 Kalau ingin menafsirkan, pedomani dulu al-Quran. Setelah itu, kalau tidak
ada di sana, baru berpedoman kepada hadis; kalau tidak ada baru menggunakan nalar
qiyas (analogi), yakni berijtihad sambil mengacu kepada teks-teks otoritatif
(mutabarah). Setelah itu ijma atau kesepakatan para ulama. Keempat dasar bernalar ini
lalu menjadi fondasi bermazhab dalam tradisi Aswaja. Dalam tradisi bermazhab ini, kalau
Anda tidak bisa mengerti bahasa Arab (mulai dari nahwu, sharaf hingga balaghah-nya),
berarti tidak punya logika atau cara bernalar. Dan, kalau tidak punya cara bernalar,
berarti tidak akan diakui untuk menafsir dan mengolah pengetahuan keislaman dan
kutub mutabarah. Oleh karena itu, bahasa Arab dengan segenap perangkatnya tersebut
lalu dipatok sebagai ilmu-ilmu alat dalam mengolah kutub mutabarah.
Cara bernalar ini kemudian diperkenalkan dalam mendekati teks-teks manapun. Tafsir
dengan nalar bayani atau patitis menjadi metode yang disepakati untuk membaca dan
memaknai teks. Karena hanya dengan metode ini, cara kita memaknai satu teks bisa
diukur dan diuji. Apakah jelas, nyata, benar, realistis, sesuai dengan nalar manusia atau
tidak. Dan kalangan awam pun bisa menangkapnya dengan baik.

11 Lihat Muhammad Abed al-Jabiri, Fikrul-Ghazali: Mukawwinatuhu wa Tanaqudhatuhu, dalam at-


Turats wa-l-Hadatsah: Dirasah wa Munaqasyah (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1991).
12 Lihat Muhammad Abed al-Jabiri, Takwinu-l-Aqli al-Arabi (Pembentukan Nalar Arab) (Seri Kritik

Nalar Arab vol. I) (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, 1998), cet. 7.
Penutup

Ini ada racikan ulama-ulama Islam Nusantara yang menggagas istilah halal bi halal dalam bahasa Arab!
Tapi orang-orang Arab sendiri tidak paham maksudnya. Hingga pernah diceritakan, beberapa ulama dan
sarjana Al-Azhar Kairo datang ke Dr. Quraish Shihab di Jakarta bertanya soal ini: Allimna ya Doktor an
mana halalin bihalalin (Ajarkan kami Wahai Pak Doktor tentang arti halal bihalal)!

Anda mungkin juga menyukai