Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH TUGAS AGAMA ISLAM

“Tokoh Ilmu Tafsir dan Seni Ukir Pada Masa Kejayaan Islam”

XI IPA 4

Kelompok 10 :

1. Aqil Darmawan
2. Shafa Salsabila
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik,serta
hidahnya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah
tentang “Ilmu Tafsir dan Seni Ukir”. Dan tidak lupa Sholawat beserta Salam
tetap kami curahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad S.A.W. yang telah
membawakita dari alam kegelapan menuju alam terang benderang yakni agama Islam.Kami
menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia, apa bila ada kesalahan atau
dari pembaca apa bila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini guna perbaikan dalam
pembuatan makalah kami yang selanjutnya.Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua.
Amin ya rabbal ‘Alamin

Depok,

21 Oktober 2019
Penyusun, Shafa dan Aqil
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................I
KATA PENGANTAR
..............................................................................................................................II
DAFTAR ISI............................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................IV
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................4
1.3 Tujuan .................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tafsir ....................................................................................5
2.2 Tokoh Tafsir ……………............................................10
2.3 Pengertian Seni Ukir dan Tokohnya……………..............................................11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...............................................................................................................14
3.2 Saran................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................15
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak yang menjadi sumber
ajaran Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang memberi petunjuk kepada
jalan yang benar. Ia berfungsi untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia,
baik secara pribadi maupun kelompok. Ia juga menjadi tempat pengaduan dan pencurahan hati
bagi yang membacanya. Al-Qur’an bagaikan samudra yang tidak pernah kering airnya,
gelombangnya tidak pernah reda, kekayaan dan khazanah yang dikandungnya tidak pernah
habis, dapat dilayari dan selami dengan berbagai cara, dan memberikan manfaat dan dampak
luar biasa bagi kehidupan manusia. Dalam kedudukannya sebagai kitab suci dan mukjizat
bagi kaum muslimin, Al-Qur’an merupakan sumber keamanan, motivasi, dan inspirasi,
sumber dari segala sumber hukum yang tidak pernah kering bagi yang mengimaninya. Di
dalamnya terdapat dokumen historis yang merekam kondisi sosio ekonomis, religious,
ideologis, politis, dan budaya dari peradaban umat manusia sampai abad ke VII masehi.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an melalui
penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat besar bagi maju-mundurnya umat, menjamin
istilah kunci untuk membuka gudang simsimpani yang tertimbun dalam Al-Qur’an. Sebagai
pedoman hidup untuk segala zaman, dan dalm berbagai aspek kehidupan manusia, Al-Qur’an
merupakan kitab suci yang terbuka (open ended) untuk dipahami, ditafsirkan dan dita’wilkan
dalam perspektif metode tafsir maupun perspektif dimensi-dimensi kehidupan manusia. Dari
sini muncullah ilmu-ilmu untuk mengkaji Al-Qur’an dari berbagai aspeknya, termasuk di
dalamnya ilmu tafsir. Makalah ini akan membahas tentang ilmu tafsir meliputi tokohnya. Tak
lupa sejak zaman dahulu seni nukan hal yang asing lagi bahkan sudah ada, salah satu tokoh
seni ukir pada masa periode islam akam dibahas.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apakah pengertian Ilmu Tafsir dan Seni Ukir ?

2. Tokoh Ilmu Tafsir dan Seni Ukir?

1.3 TUJUAN
1. Mengetahui pengertian Ilmu tafsir dan Seni Ukir.

2. Mengetahui tokoh dalam Ilmu tafsir dan Seni Ukir.


a. Pengertian Tafsir. Secara etimologi,
tafsirberarti menjelaskan (‫)االيضاح‬, menerangkan (‫)التبيين‬, menampakan (‫)االظهار‬,
menyibak (‫ )الكشف‬dan merinci (‫)التفصيل‬. Tafsir berasal dari isim masdar
dari wajan (‫)تفعيل‬. Kata tafsir diambil dari bahasa arab yaitu‫ فسّر تفسيرا يفسّر‬yang
artinya menjelaskan. Pengertian inilah yang dimaksud di dalam lisan al arab
dengan ‫ ( المغطلى كشف‬membuka sesuatu yang tertutup ). Pengertian tafsir secara
bahasa ditulis oleh Ibnu Mahdzur ialah membuka dan menjelaskan maksud yang
sukar dari suatu lafaz. Pengertian ini pulalah yang diistilahkan oleh para ulama
tafsir dengan ‫ ( التبيين و ايضاح‬menjelaskan dan menerangkan ). Di dalam kamus
bahasa indonesia kata “ tafsir” diartikan dengan keterangan atau penjelasan
tentang ayat-ayat Al-Qur’an. Menurut al-Jurjani dalam at-Ta’rifat, tafsir
adalah "menjelaskan makna al-Qur`an, baik segi urutannya, kisahnya, sebab
turunnya, dengan mengemukakan kalimat yang menunjukkan pada makna secara
terang."

b. Pengertian Ilmu Tafsir. Menurut TM. Hasbi Ash-Shiddiqi Ilmu tafsir adalah "ilmu
yang menerangkan tentang hal nuzulul ayat, keadaan-keadaannya, kisah-kisahnya,
sebab-sebab turunnya, tertib makiyyah dan madaniyyah-nya, muhhkam dan
mutasyabih-nya, mujmal dan mufassal-nya, halal dan haramnya, wa’d dan wa’id-
nya dan amr dan nahi-nya serta i’tibar dan amṡalnya”. Pengajaran Ilmu tafsir
adalah sebuah proses belajar mengajar yang berisi bahan-bahan untuk menafsirkan
al-Qur`an. Dibahas sejumlah teori atau ilmu yang berhubungan dengan berbagai
petunjuk dan ketentuan dalam menafsirkan al-Qur`an. Dengan memahami ilmu
ini, seseorang dapat menafsirkan al-Qur`an atau minimal mengerti langkah-
langkah atau cara-cara mufassir dalam menafsirkan al-Qur`an.
Perbedaan Ilmu Tafsir dan Tafsir
Adapun perbedaan ilmu tafsir dengan tafsir diantaranya ;
1. Dilihat dari segi kedudukan masing-masing, Ilmu Tafsir adalah sebagai ”alat” bagi
mufasir dalam menafsirkan al’Qur’an, sedangkan tafsir adalah
merupakan ”pekerjaan” mufassir di dalam usahanya menafsirkan al-Qur’an atau
2. Ilmu Tafsir : Ilmu yg menerangkan ttg nuzulul ayat, kisah, sebab turunya, makiyah
madaniyah, ِAhkam mutasyabih,mujmal mufassalnya, halal haram, amar nahinya
merupakan ”hasil” dari pekerjaan menafsir itu, yang serupa kitab-kitab tafsir.
3. Dilihat dari segi tujuan mempelajari keduanya,maka tujuan mempelajari Ilmu Tafsir
adalah agar orang dapat menafsirkan al-Qur’an, atau sekurang-kurangnya, mengerti cara
mufassir menafsirkan al-Qur’an, sedangkan tujuan memepelajari tafsir adalah untuk
mengetahui ”apa” (what) maksud atau kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Tujuan
mempelajari Ilmu Tafsir adalah ”bagaimana” (how) untuk memahami kandungan al-
Qur’an.
4. Jika dilihat dari segi kitab-kitabnya atau materinya, kitab-kitab Ilmu Tafsir berupa
kitab-kitab yang memuat Ulumul Qur’an, khususnya unsur-unsur Ilmu Tafsir, sedangkan
kitab-kitab tafsir adalah kitab-kitab yang secara khusus disusun dalam memahami
maksud ayat-ayat al-Qur’an itu.
5. Dilihat dari segi sebab-akibat, menguasai Ilmu Tafsir menyebabkan seseorang
(mufassir) mampu menafsirkan al-Qur’an, Sedangkan menguasai tafsir (karena banyak
membaca kitab-kitab Tafsir) belum tentu menyebabkan seseorang pandai Ilmu Tafsir,
jika belum pernah mempelajarinya, selain mengetahui tentang tafsir ayat menurut Kitab
Tafsir yang dibacanya.
1.2 TOKOH DALAM ILMU TAFSIR

1. Ibnu Jarir Ath-Thabari


Tafsir Al-Qur’an telah tumbuh di masa Nabi Muhammad Saw dan beliaulah mufassir
pertama yang menerangkan maksud-maksud wahyu yang diturunkan kepada-Nya.
Sahabat-sahabat Rasul tidak ada yang berani menafsirkan Al-Qur’an ketika Rasul
masih hidup. Sesudah Rasul wafat, barulah para sahabat yang alim dan mengetahui
rahasia-rahasia Al-Qur’an serta telah mendapatkan petunjuk dari Rasul merasa perlu
menerangkan apa yang mereka ketahui dan menjelaskan apa yang mereka pahami
tentang maksud-maksud Al-Qur’an. Setelah itu tugas mentafsirkan Al-Qur’an
diteruskan ulama-ulama berikutnya.
Sepeninggal para sahabat, para penafsir berikutnya membutuhkan ilmu-ilmu bantu
untuk memahami firman-firman Allah. Karena begitu terasa setelah ditinggal para
sahabat. Dengan berjalannya waktu, dan bermunculan berbagai masalah baru, baik
dalam kenyataan sosial maupun hanya terbatas dalam pikiran masyarakat tabiin,
bertambah banyak pula riwayat-riwayat yang penyampaiannya (para rawinya) sering
tidak mengandalkan ketelitian. Hal ini disebabkan oleh ingatan yang lemah, hal itu
mengakibatkan bercampur baurnya riwayat-riwayat yang shahih (benar) dengan yang
dhaif (lemah atau palsu).
Melihat kenyataan diatas para ulama melakukan seleksi-seleksi yang cukup ketat
antara lain dengan mempelajari biografi para perawi itu. Sehingga pada akhirnya
lahirlah ilmu al-jahr wa al-ta’dil, yaitu satu ilmu yang memberi penilaian positif atau
negative terhadap seorang perawi sehingga riwayatnya dapat terima atau ditolak. Abd
Al-Malik Ibn Juraij (wafat 149) tercatat sebagai ulama pertama atau utama dalam
menghimpun riwayat-riwayat tafsir disusul oleh Yahya Ibn Salim. Kemudian Al-
Thabari melanjutkan rintisan ulama-ulama sebelumya serta memperluas bidang Tafsir
Al-Ma’tsur.

A. Biografi Ibn Jarir At-Thabari

Nama lengkap Ibn Jarir at-Thabari ini adalah Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn
Khalid At-Thabari, ada yang menyatakan Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Katsir Ibn
Galib At-Thalib, ada juga yang menyebut Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Kasir al-Muli
at-Thabari yang bergelar Abu Ja’far At-Thabari lahir di Amul, sebuah wilayah provinsi
Tabaristan pada tahun 224 H/838 M (ada juga yang menyatakan tahun 225 H/839 M),
kemudian ia hidup dan berdomisili di Baghdad hingga wafatnya, yaitu pada tahun 310 H/923
M, pada hari Sabtu, kemudian dimakamkan pada hari Ahad di rumahnya pada hari keempat
akhir Syawal 310 H.

At-Thabari hidup pada masa Islam berada dalam kemajuan dan kesuksesan dalam
bidang pemikiran. Iklim seperti ini secara ilmiah mendorongnya mencintai ilmu semenjak
kecil. At-Thabari juga hidup dan berkembang dilingkungan keluarga yang memberikan
perhatian besar terhadap masalah pendidikan terutama bidang keagamaan. Salah satu prestasi
karena dedikasi yang tinggi terhdap ilmu sejak kecil adalah ia telah menghafal Al-Qur’an
pada usia tujuh tahun.

Jarir Ibn Yazid adalah seorang ulama, dan dialah yang turut membentuk At-Thabari
menjadi seorang yang menggeluti di bidang agama. Ayahnya pula lah yang memperkenalkan
dunia ilmiah kepada At-Thabari dengan membawanya belajar pada guru-guru di daerahnya
sendiri, mulai dari belajar al-Qur’an hingga ilmu-ilmu agama lainnya. Dengan ketekunan
dalam belajar at-Thabari hafal Al-Qur’an pada usia 7 tahun, kemudian pada usia 8 tahun
sering dipercaya masyarakat untuk menjadi imam sholat dan pada umur 9 tahun ia mulai
gemar menulis hadits Nabi. Dia tidak tinggal menetap kecuali setelah usianya mencapai
antara 35-40 tahun. Dalam masa ini, Abu Ja’far At-Thabari hanya memiliki sedikit harta
karena semua hartanya dihabiskan untuk menempuh perjalanan jauh dalam musafir menimba
ilmu, menyalin, dan membeli kitab. Untuk bekal semua perjalanannya, pada awalnya Abu
Ja’far At-Thabari bertumpu pada harta milik ayahnya. Tatkala Abu Ja’far sudah kenyang
menjalani hidup dalam dunia perjalanan mencari ilmu, akhirnya dia pun tinggal menetap.
Tatkala hidupnya terputus dari kegiatan musafir untuk menimba ilmu, maka sisa usianya
difokuskan untuk menulis, berkarya dan mengajar ilmu yang dimilikinya kepada orang lain.
Ilmu telah menyibukkannya dan memberikan kenikmatan dan kelezatan tersendiri yang tidak
pernah dirasakan kecuali bagi yang telah menjalaninya.

Ketika usia telah mencapai 35-40 tahun dan tersibukkan dalam majlis ilmu, maka
keinginan menikah menjadi semakin hilang. Beliau manfaatkan waktunya untuk mempelajari
kitab-kitab yang berjilid-jilid dan berlembar-lembar serta untuk berkarya. At-Thabari
menganut aliran Ahlussunnah wal Jamaah. Karyanya yang berkaitan dengan aliran ini adalah
Sharih As-sunnah. Disamping itu ia mendukung madzhab ulama salaf dalam bidang tafsir.
Sementara itu, berkaitan dengan sanad riwayat yang dikutip dalam tafsir, pada umumnya At-
Thabari tidak menyertakan penjelasannya tentang sanad yang shahih dan dha’if. Adapun
berkaitan dengan hukum fiqih yang disampaikan menyertakan pendapat ulama dan
mazhabnya, serta memilih salah satu pendapat lalu mentarjihnya.

Tafsir At-Thabari menjadi rujukan awal para mufassir yang berkecimpung di bidang
tafsir bil atsar, Ibnu Jarir menyebutkan tafsir dengan sanad yang terhubung hingga sahabat,
tabi’in, dan pengikut para tabiin, membahas pendapat-pendapat lalu mentarjih diantaranya.
Para ulama yang menjadi acuan sepakat bahwa tak seorang pun menulis di bidang tafsir yang
sebanding dengannya. Keistimewaan yang dimiliki Ibnu Jarir adalah membuat kesimpulan
dan mengisyaratkan I’rab yang sulit. Sehingga tafsir At-Thabari berada di atas tafsir-tafsir
lainnya. Ibnu Katsir sering kali menukil dari Ibnu Jarir.

At-Thabari memiliki kemampuan untuk berijtihad sehingga ia dikenal sebagai mujtahid


mutlak. Tidak jarang para mufassir merujuk kepada pendapatnya. Oleh sebab itu, ia disebut
bapak para mufassir. Dari segi qiraah, ia sangat antusias untuk menjelaskan arti pentingnya,
sekaligus menolak bacaan yang keluar dari kaidah serta pengaruh yang ditimbulkan, baik dari
segi perubahan maupun penggantian yang merusak makna. Kitab tafsir At-Thabari memiliki
andil yang sangat besar dalam bidang ilmu Bahasa dan nahwu. Ia mengemukakan pendapat
para ahli bahasa termasuk mengutip syair Arab Jahiliyah, kemudian bertarjih.

B. Guru dan Murid Ibn Jarir At-Thabari

Dalam bidang ilmu hadis ia berguru kepada ulama hadis dimana Imam Bukhori (ahli
hadis terkemuka) berguru, sedang dalam bidang sejarah, kitabnya yang kenamaan Tarikh al
Umam wa Al Muluk yang menceritakan sejarah kemanusiaan sejak Adam A.s sampai dengan
masa Islam termasuk peperangan-peperangan yang terjadi setelah masa Rasul Saw.

Silih berganti guru yang di datanginya dengan tujuan menimba ilmu. Para guru Ibn
Jarir at-Thabari sebagaimana disebutkan Adz-Dzahabi yaitu: Muhammad bin Abdul Malik
bin Abi asy-Syawarib, Ismail bin Musa as-Sanadi, Ishaq bin Abi Israel, Muhammad bin Abi
Ma’syar, Muhammad bin Hamid ar-Razi, Ahmad bin Mani’, Abu Kuraib Muhammad bin
Abd al-A’la Ash-Shan’ani, Muhammad bin al Mutsanna, Sufyan bin Waqi’, Fadhl bin Ash-
Shabbah, Abdah bin Abdullah Ash-Shaffar, dan lain-lain.

Sedangkan muridnya yaitu: Abu Syu’aib bin al Hasan al Harrani, Abu al Qasim at-
Thabrani, Ahmad bin Kamil Al-Qadhi, Abu Bakar AsySyafi’i, Abu Ahmad Ibn Adi,
Mukhallad bin Ja’far al Baqrahi, Abu Muhammad Ibn Zaid al-Qadhi, Ahmad bin al-Qasim
al-Khasysyab, Abu Amr Muhammad bin Ahmad bin Hamdan, Abu Ja’far bin Ahmad bin Ali
al-Katib, Abdul Ghaffar bin Ubaidillah al Hudhaibi, Abu al Mufadhdhal Muhammad bin
Abdillah Asy-Syaibani, Mu’alla bin Said, dan lain-lain.

C. Karya Ibn Jarir At-Thabari

Ath-Thabari dapat dikatakan sebagai ulama multi talenta dan menguasai berbagai
disiplin ilmu. Tafsir, qira’at, hadits, ushul al-din, fiqih perbandingan, sejarah, linguistik,
sya`ir dan `arudh (kesusateraan) dan debat (jadal) adalah sejumlah disiplin ilmu yang sangat
dikuasainya. Namun tidak hanya ilmuilmu agama dan alat, Ath-Thabari pandai ilmu logika
(manthiq), berhitung, al-Jabar, bahkan ilmu kedokteran.

Karya-karya At-Thabari meliputi banyak bidang keilmuan, ada sebagian yang sampai
ke tangan kita, namun terdapat karya yang tidak sampai pada kita. Karya-karya ini menjadi
bukti konkrit tentang kejeniusan dan keluasan keilmuannya. Dr. Abdullah bin Abd al Muhsin
al Turkiy, dalam Muqaddimah Tahqiq Tafsir al-Thabary menyebutkan 40 lebih karya Ibn
Jarir al-Thabari. Diantara karyanya di bidang hukum, Adab al Manasik, al Adar fi al Ushul,
Basith al Qaul fi Ahkam Syara’i al Islam (belum sempurna ditulis), khafif, lathif al Qaul fi
Ahkam Syara’i al Islam dan telah diringkas dengan judul Al Khafif Fi Ahkami Syara’i al
Islam, Radd ‘Ala Ibn ‘Abd al Hakam ‘Ala Malik, Adab alQudhah al-Radd ‘Ala Dzi al Asfar
(berisi bantahan terhadap Ali Dawud bin Ali al-Dhahiry), Ikhtiyar min Aqawil Fuqaha.
Dalam bidang Al-Qur’an dan tafsirnya, Fashl Bayan Fi Tafsir al-Qur’an, Tafsir Jami’ al-
Bayan fi Ta’wil Qur’an, dan kitab al Qira’at. Dalam bidang hadits, kitab Fi ‘Ibarah al Ru’ya
Fi al Hadits, Al Musnad al-Mujarad, Musnad Ibn ‘Abbas, Syarih al-Sunnah. Dalam bidang
teologi, Dalalah, Fadhail Ali ibn Abi Thalib, al Radd ‘Ala al Harqussiyah, Syarih dan
Tabsyir atau al Basyir Fi Ma’alim al Din. Dalam bidang etika keagamaan, Adab al Nufus al-
Jayyidah wa al-Akhlaq Wa al-Nafisah, Adab al-Tanzil (berupa risalah). Dalam bidang
sejarah, Dzayl al-Mudzayyil, Tarikh al-Umam wa al Muluk dan Tahdzib al Ashar. Tarikhul
rijal wa ikhtilaful fuqaha.
D. Latar Belakang Penyusunan

Dalam beberapa keterangan menyebutkan latar belakang penulisan Tafsir Jami’ al-
Bayan fi Ta’wil Qur’an adalah karena Ath-Thabari sangat prihatin menyaksikan kualitas
pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an. Ath-Thabari berinisiatif menunjukkan berbagai
kelebihan Al-Qur’an.

e. Karakteristik Tafsir

Ath-Thabari menggunakan metode ilmiah yang memiliki unsur-unsur yang jelas dan
sempurna. Ia menggabungkan antara riwayat, dirayat, ashalah (keotentikan). Satu hal yang
mempertajam sisi dirayat-nya adalah karena ia pandai ilmu jadal (perdebatan), yaitu ilmu
yang menjadi sarana untuk mengadu dalil dan argumentasi, dimana Thabari adalah pakarnya.

E. Sumber Penafsiran

Sumber-sumber penafsiran at-Thabari menurut Khalil Muhy al-Din al-Misi di dalam


Muqaddimah Jami’ al Bayan ini meliputi riwayat atau al ma’surat dari Rasulullah saw,
kemudian pendapat sahabat atau tabi’in, juga penafsiran bi al ma’tsur dari kalangan ulama
pendahulunya khususnya dalam merujuk persoalan nahwu, bahasa atau pun qiraah . Mashadir
lainnya adalah pendapat fuqaha dengan mensikapinya secara kritis, kemudian dalam bidang
sejarah menggunakan kitab-kitab tarikh seperti karya Ibn Ishaq dan lainnya. Walaupun dalam
tafsir At-Thabari terdapat penalaran yang digunakan, namun tafsir at-Thabari termasuk yang
menggunakan corak bil-ma’tsur yang sebagian besarnya menggunakan riwayat.

F. Penilaian Terhadap Imam At-Thabari

Imam Thabari bukan berasal dari keluarga yang mapan atau kaya. Hal ini bisa
dibuktikan dengan bekal dari orang tuanya yang ketika dicuri ia tidak dapat menggantinya
lagi. Begitujuga kisah kelaparan yang dia alami selama di Mesir dan kiriman orang tuanya
yang dikirim terlambat, sehingga ia terpaksa menjual pakaiannya.Namun dengan
keterbatasan ekonomi tersebut tidak lantas melunturkan semangat Imam Thabari dalam
menuntut ilmu. Beliau telah mengumpulkan ilmu-ilmu yang tidak penah ada seorang pun
yang melakukannya semasa hidupnya. Beliau adalah seorang Hafidz, pandai ilmu Qira’at,
ilmu Ma’ani faqih tehadap hukum-hukum Al-Qur’an.
Ibnu Atiyyah Al- Andalusy

1.BIOGRAFI IBN ‘ATIYYAH AL-ANDALUSY


Ibn ‘Atiyyah Al- Andalusy memiliki nama
lengkap AlQadhiAbuMuhammad Abd AlHaq Ibn Ghalib Ibn Abdurrahman Ibn Ghalib Ib
n Athiyyah Al-Muharibi. Ialahir di Granada.Ada dua versi tahun kelahiran Ibnu ‘Aṭiyyah.
Versi Syamsuddin al-Dāwūdī[6] dan Muhammad Husain al-Dhahabī, Ibnu ‘Aṭiyyah lahir
tahun 481 H.Sedangkan versi Syamsuddin al- Dhahabī Dan al-Suyūṭī tahun
kelahiran Ibnu ‘Aṭ Iyyah adalah 480 H. Ibnu ‘Aṭiyyah meninggal di Lorca, Murcia, salah
satu propinsi diSpanyol sekarang, pada 25 Ramadhan 541 H.Syamsuddin al-
Dāwūdī dan al -Suyūṭī sependapat dengan Syamsuddin al-Dhahabī yang menetapkan
tahun kematian Ibnu‘Aṭ Iyyah pada tahun 541 H. Tetapi Husain al-Dhahabī demikian pula
Ḥājī Khalīfah berpendapat bahwa Ibnu ‘Aṭiyyah meninggal pada tahun 546 H.Ia
dibesarkan di tengah keluarga yang sangat mencintai ilmu pengetahuan.Ayahnya adalah
seorang ulama hadis terkemuka yang hafal beribu-ribu hadis. Dariayah inilah ia mendapat
pendidikan dasar agama Islam. Di bawah asuhan intelektualayahnya, Ibnu ‘Aṭ Iyyah
mengawali persinggungannya dengan dunia keilmuan.Ia dikenal cerdas dan rakus
membaca buku. Di samping belajar dari ayahnya,ia juga menimba ilmu dari Abu Ali al-
Ghassānī , Muhammad bin al-Faraj, Abu al-Ḥ usain Yahya bin Abu Zaid dan banyak
guru lain. Karena itu tidak mengherankan jika Ibnu ‘Aṭ Iyyah tumbuh dan berkembang
menjadi sosok intelektual yang menguasai berbagai bidang ilmu. Ia mahir di bidang tafsir,
hadis, fikih, bahasa, dan sastra. Tidaktanggung-tanggung Abu Hayyan menyebutnya
sebagai penulis tafsir palingterkemuka.Perjalanan intelektualnya sempat
mengantarkannya menduduki jabatan hakim(qāḍi) di Almeria pada tahun 529 H.
Kepandaiannya juga menjadi lentera bagi ulamasemasanya. Beberapa nama yang
beruntung mendapatkan pencerahan dari Ibnu‘Aṭ iyyah di antaranya adalah Abu al-Qāsim
bin Ḥ ubaysh al-Ḥāfidh, Abu Muhammadbin Ubaidillah, Abu Ja’far bin Maḍā` Abdul
Mun’im bin al –Faras dan Abu Ja’far bin Hakam. Bukan hanya ulama semasanya,
generasi berikutnya pun dapat menyerapilmunya melalui karya-karyanya. Ada dua karya
Ibnu ‘Aṭ Iyyah yang terekam oleh para pencatat biografi dan sampai ditangan
generasi sekarang, yaitu Al-Muḥarrar al-Wajīz di bidang tafsir dan Fihris Ibnu
‘Aṭ iyyah yang mencatat biografi dankarya paraulama.
D. Masa Penulisan
Ibnu ‘Aṭiyyah menulis al-Muḥarrar ketika ayahnya masih hidup. Abu Ja’far al-Ḍabbī
menceritakan, “ Abu Bakar Ghalib terkadang membangunkan putranya, Abu Muhammad
Abdul Haq, dua kali semalam dan berkata kepadanya, ‘Bangunlah anakku! Tulislah ini dan
ini di tempat ini dalam tafsirmu’…”[14]. Penuturan al-Ḍabbī menunjukkan bahwa
penulisan al-Muḥarrar dilakukan Ibnu ‘Aṭiyyah di bawah bimbingan ayahnya, dan karenanya
penulisan dilakukan ketika ayahnya masih hidup. Seperti dituturkan Syamsuddin al-Dhahabī,
ayah Ibnu‘Aṭiyyah, Abu Bakar Ghalib, meninggal pada tahun 518 H[15]. Jika Ibnu ‘Aṭiyyah
lahir pada 480 H, berarti al-Muḥarrar telah ditulis ketika ia berusia 30-an.
Tidak ada informasi yang pasti tentang kapan penulisan al-Muḥarrar berakhir. Ibnu ‘Aṭiyyah
hanya menyebutkan bahwa ia menghabiskan waktu yang cukup panjang untuk
menyelesaikan al-Muḥarrar[16].
A. Sumber Penafsiran
Ada tiga terminologi terkait sumber penafsiran, yaitu: bi al-Ma`thūr, bi al-Ra`yi dan bi al-
Iqtirān. Untuk mengklasifikasikan sebuah tafsir ke dalam salah satu kategori di atas, perlu
ada pembatasan terukur pada masing-masing terminologi.

KARYA-KARYA IBN ‘ATIYYAH AL-ANDALUSY


Adapun karya-karya Ibnu ‘Atiyyah Al -Andalusy yaitu sebagai berikut.
1)Al-Muharrir al-Wajiz fi Tafsir Al-Qur’anal -Aziz ,dimana karyanya ini
mampumembangkitkan nasionalisme Arab. Melalui tafsir itu, ia tak henti-hentinyamemberi
semangat kepada generasi muda untuk bersatu dan memandangkehidupan dengan penuh
optimistis.
2)Al-Barnamij.

3. As Suda Muqatil bin Sulaiman


Memiliki nama lengkap Muqatil bin Sulaiman bin Basyir al-Balkhi al-Adzi. Ulama
kelahiran kota Balkh, sebuah kota yang berada di Khurasan ini kerap disapa dengan
nama kunyah Abu al-Hasan al-Balkhi. Tidak banyak yang mengetahui kapan beliau
lahir, namun dalam sebuah riwayat Sulaiman bin Ishaq dikatakan bahwa beliau tidak
pernah bertemu dengan al-Dahhak. Jika demikian, maka Muqatil lahir pada tahun 109
H karena al-Dahhak wafat pada tahun 105 H.
Sedangkan dalam riwayat Ubaid bin Sulaiman disebutkan bahwa Muqatil sempat
bertemu dan banyak merujuk pada al-Dahhak, terutama dalam tafsirnya. Maka
kemungkinan beliau lahir pada tahun 60-70 H, jika demikian maka al-Dahhak wafat
ketika Muqatil berusia 42 tahun.
Muqatil bin Sulaiman mencari ilmu sekaligus menghabiskan masa kecilnya di tanah
kelahirannya yaitu kota Balkh, Khurasan. Tidak hanya berhenti disitu, beliau juga
merantau ke daerah Marwa yang masih berada di Khurasan. Selanjutnya, beliau pindah
ke Irak dan menetap di Basrah kemudian pindah lagi ke Baghdad. Tidak lama
kemudian beliau kembali lagi ke Basrah dan menetap hingga wafat di sana.
Selama perjalananya mencari ilmu, beliau mempunyai beberapa guru, diantaranya:
Sabit al-Banani, Zaid bin Aslam, Sa’id al-Maqburi, Syurahbil bin Sa’ad, al-Dahhak
Ibn Muzahim, Ubaidillah bin Abi Bakr bin Anas bin Malik, ‘Ata bin Abi Rabah,
Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri, Nafi’ Maula ibn Umar, Mujahid bin
Jabar al-Makki, Muhammad bin Sirin, Abu Ishaq al-Sabi’i, Abu Zabir al-Makki.
Disamping itu, beliau juga mempunyai beberapa murid, diantaranya: ‘Ismail bin ‘Iyas,
Saad bin al-Salt, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Muhammad al-Muharibi,
‘Abd Razzaq bin Hammam, al-Walid bin Muslim, Abu Nashir Sa’dal, Ibnu Sa’id al-
Balkhi, Abu Hayah Syarih bin Barid, Abu Nasir Mansur bin Abdul Hamid, al-
Bawardzi, Abu al-Junaid ad-Dharir, Abdurrahman bin Sulaiman bin Abi al-Jaun, ‘Isa
bin Abu Fatimah, ‘Isa bin Yunus, Harami bin Umarah bin Abi Hanifah, Hammad bin
Muhammad al-Fazary, Hamzah bin Ziyad al-Tusy, Nasr bin Hammad al-Warraq,
Yahya bin Syibl, Yusuf bin Khalid al-Samti, al-Walid bin Mazid.
Muqatil wafat pada tahun 150 H/767 M, beliau meninggalkan banyak karya dalam
bentuk tulisan, terutama dalam bidang tafsir, diantaranya: Tafsir al-Kabir, Nawadir at-
Tafsir, an-Nasikh wa al-Mansukh, al-Rad ala al-Qadariyah, al-Wujuh wa an-Nadzair fi
al-Qur’an, Tafsir Khomsumiati Ayat Min al-Qur’a al-Karim, al-Aqsam wa al-Lughoh,
al-Ayat wa al-Mutasyabihat.
Muqatil bin Sulaiman merupakan salah satu ulama tafsir yang dikenal melalui karya
monumentalnya berjudul Tafsir al-Kabir. Perihal latar belakang penulisannya,
barangkali tidak tercantum secara tersurat. Akan tetapi, secara tersirat telah tercantum
di dalam muqaddimahnya. Konon apa yang beliau ketahui tentang al-Quran, tidak
hanya dapat bermanfaat bagi dirinya, melainkan juga bagi umat Islam secara luas.
Beliau berharap bahwa umat Islam dapat membaca Al-Qur’an sekaligus memahami
kandungannya.
Berangkat dari hal tersebut, kemudian lahirlah sebuah kitab yang ditulis secara
individu bernama Tafsir al-Kabir atau lebih dikenal dengan sebutan Tafsir Muqatil.
Tujuan penulisannya tak lain adalah untuk menafsirkan dan juga menta’wilkan ayat al-
Qur’an agar dapat dipahami oleh umat Islam.
Lebih lanjut, metode yang digunakan dalam Tafsir Muqatil adalah metode Tahlili.
Sebuah metode yang penyusunannya mengikuti mushaf utsmani yaitu dari al-Fatihah
sampai an-Nas serta menafsirkan al-Qur’an secara lengkap 30 juz. Sedangkan sumber
penafsirannya, menggunakan dua sumber, yaitu bi al-ma’tsur (riwayat) dan bi al-Ray’i
(nalar). Konon, tafsir Muqatil merupakan tafsir yang pertama kali menggabungkan
antara bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi.
Perihal sistematika penulisannya, tafsir Muqatil ditulis secara lengkap 30 juz al-Qur’an
dan dibagi menjadi lima jilid, setiap jilidnya berisi seperempat surat al-Qur’an. Jilid
pertama terdiri dari 601 halaman, dimulai dari al-Fatihah sampai al-An’am. Jilid kedua
terdiri dari 790 halaman, dimulai dari al-A’raf sampai Maryam. Jilid ketiga terdiri dari
956 halaman, dimulai dari Taha sampai al-Jasiyah. Jilid keempat terdiri dari 1061
halaman, dimulai dari al-Ahqaf sampai an-Nas. Sedangkan jilid terakhir terdiri dari
279 halaman, berisi biografi dan metode penafsiran Muqatil yang ditulis langsung oleh
‘Abdullah Mahmud Syahatah.

Pada akhirnya, beliau mendapatkan pujian sebagaimana riwayat dari Imam Asy-Syafi’i
R.A: “Manusia berhajat pada tiga orang yaitu Muqatil bin Sulaiman dalam tafsir, Zuhair
bin Abu Salma dalam syair dan Abu Hanifah dalam fiqih”. Disamping itu, beliau juga
mendapatkan kritikan dari Muhammad Husain az-Zahabi, menurutnya: “Orang-orang
yang memuji tafsir Muqatil, secara umum melemahkannya”.

Diantara karya Maqatil bin Sulaiman adalah:

1. Ayat-ayat mutasyabihat
2. Al-Aqsam wa al-Lughat
3. Tafsir al-Khomsumi’ah ayat min qur’an
4. Tafsir Maqatil bin Sulaiman
5. Al-Taqdim wa al-Ta’khir
6. Al-Jawabat fi alqur’an
7. Al-raddu’ala al-Qadariyah
8. Al-Qiraat
9. Al-Nasikh wa al-Mansukh
4. Muhammad bin Ishaq
Biofrafi Ibnu Ishaq
Ibnu Ishaq lahir di Madinah diperkirakan 85 tahun setelah Hijrah ke Madinah. Jadi
merupakan salah seorang Tabi'in. Ia berada di Madinah sampaiBani
AbbasiyahmenggantikanBani Umayyah dalam kekhalifahan(750). Setelah itu
dilaporkan ia berada di berbagai tempat antara Iraqdan Iran, ia meninggal
di Baghdad tahun 768.3Muhammad bin Ishaq bin Yasar, adalah nama lengkap dari
Ibnu Ishaq adalahtermasuk sejarawan muslim yang pertama. Lahir pada tahun 85 H
/704M danmeninggal pada tahun 151 H / 768M. Ia yang pertama kali menulis
Sirat Rasulullah ,yang merupakan
biografiRasulullah pertama yang paling komprehensif.IbnuSa'ad berkata tentang Ibnu
Ishaq,"Ia merupakan yang pertama mengumpulkan sejumlah ekspedisi dari Utusan
Allah( Muhammad ) dan mencatatnya." .4 Seperti yang di katakan Ibnu Sa’ad bahwa
Ibnu Ishaq adalah penulis pertamayang menulis Sirat Rasulullah / Biografi Nabi
Muhammad.5 Dipertegas kemabli dalamsebuah buku karya Jafri yang berjudul Dari
Safiqah sampai Imamah: Awal dan SejarahPerkembangan Islam Syi’ah, dijelaskan
bahwa Ibnu Ishaq ialah orang yang pertama kalimenulis Sirat Rasulullah yang
merupakan Biografi Rasulullah pertama yang palingkomprehensif. Ibnu Sa’ad berkata
tentang Ibnu Ishaq, “ia merupakan yang pertama mengumpulkan sejumlah ekspedisi
dari Utusan Allah (Muhammad) dan mencatatnya.

Sebagaimana hadits, penulisan sejarah Nabi Muhammad baru dimulai pada paruh kedua abad
pertama hijriyah. Generasi awal penulis sirah nabi adalah Urwah bin Zubair bin Awwam (w.
92 H). Setelah masa cucu dari Abu Bakar itu, tradisi penulisan sirah dilanjutkan oleh Utsman
bin Affan al-Madani (w. 105 H).

Kemudian, memasuki abad kedua hijriyah, mulai marak penulis yang mengupas sejarah putra
Abdullah tersebut. Satu diantara penulis sirah nabi yang paling masyhur pada abad kedua
tersebut, Muhammad bin Ishak. Akrab disebut Ibnu Ishaq.

Ibnu Ishaq lahir di Madinah pada 85 H. Dari jalur ayahnya, ia masih berdarah Iraq. Kakeknya
yang bernama Yasir berasal dari ‘Ain at-Tamar, sebuah kota kuno yang tak jauh dari Kuffah.
Yasir, saat masih kanak-kanak, menjadi tawanan perang Khalid bin Walid saat berperang
dengan Raja Persia, Kisra. Kemudian kakeknya tersebut, tinggal di Madinah.

Masa remaja Ibnu Ishaq dihabiskan di Madinah. Kemudian pada 115 H, ia berkelana ke
Alexandria, Mesir. Di sini ia meriwayatkan hadits-hadits yang berasal dari Ubaidillah bin
Mughirah, Yazid bin Hubaib, Tsamamah bin Syafi’i dan lainnya. Setelah itu, ia melanjutkan
perjalanannya ke Kuffah, al-Jazirah, Ray, Hirah hingga Baghdad. Di tempat terakhir inilah, ia
menetap dan memulai kerja-kerja intelektualnya.

Khalifah Al-Manshur, penguasa Baghdad kala itu, mendengar kecerdasan Ibnu Ishaq. Sang
raja pun mengundangnya ke istana. Dalam sebuah riwayat, terjadi dialog antara keduanya.

“Apakah engkau mengenal siapa anak ini wahai Ibnu Ishaq?” tanya Al-Manshur sembari
menujukkan anaknya.

“Ya aku mengenalnya, dia anak Amirul Mu’minin.”


“Pergilah kepadanya dan karanglah baginya sebuah kitab yang berisi tentang kisah sejak
zaman Nabi Adam Alaihi Salam hingga hari ini,” perintah sang raja kepada Ibnu Ishaq.

Ibnu Ishaq pun menyelesaikan tugas Khalifah al-Manshur tersebut. Sebuah karya yang
monumental berjudul Sirah Nabawiyah.

Kitab tersebut, terbagi dalam tiga bahasan utama. Pertama, tentang awal mula kehidupan
Nabi Muhammad (mubtada‘). Lalu bagian tatkala dibangkitkannya Nabi Muhammad sebagai
Nabi dan Rasul (mab’ats). Dan terakhir, tentang peperangan yang terjadi dan yang diikutinya
(maghazi).

Karya Ibnu Ishak

Ibnu Ishak mempunyai satu karya yang berjudul Al-Maghazi. Karya beliau ini tidak dijumpai
dengan sempurna sehingga hari ini, namun sebahagian dari kitab ini telah dicetak di Maghribi
beserta tahkik Dr. Muhammad Hamidullah Al-Haidar Abadi, kemudian dicetak buat kali
kedua di timur tengah beserta tahkik Dr. Suhail Zukar. Boleh jadi kitab ini akan dijumpai
dengan sempurna pada masa hadapan. Walaupun kitab ini tidak sampai ke tangan kita dengan
sempurna, tetapi kita telah mendapat intipati kitab ini melalui Ibn Hisyam (218H) yang telah
meriwayatkan kitab ini melalui perantaraan murid Ibn Ishak; Ziyad Al-Bakkaai (183H) dan
kemudiannya mengumpulkan isi penting kitab ini dan menambah baik kekurangannya.

Jika kita meneliti maklumat-maklumat berkaitan kitab Al-Maghazi ini yang terdapat dalam
kitab Tarikh At-Thobari, kitab Tarikh Makkah karangan Al-Azraqi, dan kitab Thabaqat Ibn
Saad, serta kitab-kitab ahli hadis yang menceritakan tentang sirah nabawiyah, kita dapat
membuat kesimpulan bahawa kitab Ibnu Ishak ini terbahagi kepada tiga bahagian; Al-
Mubtada’ (permulaan), Al-Mab’ats (pengutusan), dan Al-Maghazi (peperangan).

Bahagian pertama kitab ini iaitu Al-Mubtada’ mengumpulkan kisah kejadian-kejadian, kisah
rasul-rasul, dan kisah wahyu sebelum Islam. Sumber pengambilan Ibnu Ishak dalam bab ini
adalah Wahab Bin Munabbah, Kaab Al-Ahbar, kitab-kitab yahudi dan nasrani yang sampai
ke tangan arab dan umat Islam, begitu juga khabar-khabar yang diceritakan oleh ahli kitab
yang memeluk Islam. Beliau juga ada menceritakan dalam bab ini sejarah kabilah-kabilah
arab dan kejadian yang berlaku di tengah kehidupan mereka. Josef Horovitz berkata: “Secara
keseluruhannya, sanad dan jalan periwayatan amat sukar ditemui pada bahagian pertama; Al-
Mubtada’.”

Bahagian kedua pula (Al-Mab’ats) merangkumi kisah hidup Nabi Muhammad Shollallahu
‘Alaihi Wasallam di Mekah dan kisah Hijrah Baginda. Kebiasaannya pada bahagian ini Ibnu
Ishak meriwayatkan kisah-kisah beserta sanad, terkadang kisah tersebut didatangkan secara
mursal atau tanpa disebutkan sanad. Pada bahagian ini juga, beliau telah menjadi satu-satunya
perawi yang meriwayatkan kisah perjanjian yang termaterai antara Nabi dan musyrikin serta
yahudi yang menetap di Madinah.

Pada bahagian ketiga pula Ibnu Ishak memberi tumpuan khusus berkenaan kisah-kisah
peperangan Nabi. Beliau juga ada menceritakan secara am kejadian-kejadian yang berlaku
dalam umat Islam pada zaman Nabi, sehinggalah kisah Nabi sakit dan kewafatan Baginda.
Pada bahagian ini beliau membahagi dan menyusun peristiwa-peristiwa yang berlaku
mengikut urutan tahun, beliau juga menjelaskan sanad kisah-kisah dan nama-nama
perawinya. Ibnu Ishak juga mempunyai metod yang khusus dalam penyampaian beliau
berkenaan kisah-kisah peperangan Rasulullah. Beliau akan memulakan pembicaraan dengan
gambaran umum dan kesimpulan ringkas yang mengumpulkan isi-isi utama kisah tersebut,
kemudian beliau akan menyebut khabar-khabar yang diriwayatkan oleh ramai perawi
bermula dengan perawi yang kuat kehujahannya seperti Az-Zuhri, Humaid At-Thowil,
‘Ashim Bin Umar, dan Abdullah Bin Abu Bakar. Setelah itu, dituruti oleh khabar-khabar
yang diriwayatkan secara perseorangan yang beliau kumpulkan dari sumber-sumber yang
lain.

Kelemahan Ibnu Ishak

Ibnu Ishak merupakan seorang sejarawan yang amat menitikberatkan maklumat-maklumat


sejarah yang bertulis atau yang dihafal oleh para gurunya dan ulama’ yang hidup sezaman
dengannya. Beliau amat gemar mencari maklumat berkaitan ilmu sejarah dan suka bertanya
tentangnya, sehingga beliau dikenali dengan hal tersebut. Oleh hal yang demikian, banyak
orang yang datang berjumpa dengannya untuk memberitahu dan menceritakan kisah
kemuliaan nenek moyang mereka. Mereka juga membacakan syair-syair yang memuji
keturunan mereka. Kemudian Ibnu Ishak menukil syair-syair ini dalam kitab beliau.

Hal inilah yang menjadi penyebab beliau dikritik oleh Muhammad Bin Salam Al-Jumahi
(231H) dan ulama’ lain. Ini kerana kebanyakan syair tersebut tidak sohih, dan kerana beliau
mendakwa sebahagian syair tersebut dinukil dari syair yang dibaca pada zaman kaum Aad
dan Tsamud serta zaman-zaman lampau. Oleh sebab ini, Ibnu Hisyam telah meninggalkan
kebanyakan syair tersebut kerana ia menjadi penyebab tohmahan kepada Ibnu Ishak. Namun
begitu, Ibnu Ishak tidak sepatutnya dipersalahkan dan dicela dengan sebab ini kerana beliau
bukanlah alim dalam bidang syair.

A. PENGERTIAN SENI UKIR

Seni ukir atau ukiran merupakan gambar hiasan dengan bagian-bagian


cekung (kruwikan) dan bagian-bagian cembung (buledan) yang menyusun suatu gambar yang
indah.
Pengertian ini berkembang hingga dikenal sebagai seni ukir yang merupakan seni
membentuk gambar pada kayu, batu, atau bahan-bahan lain.

B. AWAL MULA SENI UKIR

Setelah agama Hindu,


Budha, Islam masuk ke Indonesia, seni ukir mengalami perkembangan yang sangat pes
at, dalam bentuk desain produksi, dan motif. Ukiran banyak ditemukan pada badan-badan
candi dan prasasti-prasasti yang di buat orang pada masa itu untuk memperingati para raja-
raja.
Bentuk ukiran juga ditemukan pada senjata-senjata, seperti keris dan tombak, batu nisan,
masjid, keraton, alat-alat musik, termasuk gamelan dan wayang. Motif ukiran, selain
menggambarkan bentuk, kadang-kadang berisi tentang kisah para dewa, mitos kepahlawanan,
dll.

Pada masa sekarang ukir kayu dan logam tidak hanya mengalami perkembangan pesat namun
juga sudah bergeser dari motif dan
kegunaannya. Dahulu ukiran dimaksudkan sebagai simbol pesan dalam kaitannya deng
an kepercayaan, sekarang telah berubah menjadi seni hiasan yang cenderung hanya un
tuk mempercantik dan memperindah ruangan atau tempat dimana ukiran itu diadakan
. Namun demikian pakem corak masing-masing daerah masih banyak dipertahankan.

Pada masa perkembangan Islam di zaman madya, berkembang ajaran seni ukir, patung, dan
melukis makhluk hidup, apalagi manusia secara nyata, tidak diperbolehkan. Di Indonesia
ajaran tersebut ditaati. Hal ini menyebabkan seni patung di Indonesia pada zaman madya,
kurang berkembang. Padahal pada masa sebelumnya seni patung sangat berkembang, baik
patung-patung bentuk manusia maupun binatang.
Akan tetapi, seni pahat atau seni ukir terus berkembang. Para seniman tidak ragu-ragu
mengembangkan seni hias dan seni ukir dengan motif daun-daunan dan bunga-bungaan
seperti yang telah dikembangkan sebelumnya. Kemudian juga ditambah seni hias dengan
huruf Arab (kaligrafi).

Banyak sekali bangunan-bangunan Islam yang dihiasi dengan berbagai motif ukir-ukiran.
Misalnya, ukir-ukiran pada pintu atau tiang pada bangunan keraton ataupun masjid, pada
gapura atau pintu gerbang. Dikembangkan juga seni hias atau seni ukir dengan bentuk tulisan
Arab yang dicampur dengan ragam hias yang lain.

C. FUNGSI SENI UKIR PADA ZAMAN ISLAM

Karya seni ukir memiliki macam-macam fungsi antara lain:

1. Fungsi hias, yaitu ukiran yang dibuat semata-


mata sebagai hiasan dan tidak memiliki makna tertentu.

2. Fungsi magis, yaitu ukiran yang mengandung simbol-


simbol tertentu dan berfungsi sebagai benda magis berkaitan dengan kepercayaan dan spiritual.

3. Fungsi simbolik, yaitu ukiran tradisional yang selain sebagai hiasan juga berfungsi menyimbolkan
hal tertentu yang berhubungan dengan spiritual.

4. Fungsi konstruksi, yaitu ukiran yang selain sebagai hiasan juga berfungsi sebagai pendukung
sebuah bangunan.

5. Fungsi ekonomis, yaitu ukiran yang berfungsi untuk menambah nilai jual suatu benda.
Nama Beliau
Beliau bernama Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin bin Hamd al-Abbad al-Badr. Beliau
adalah putra seorang ulama besar kota Madinah dan ahli hadits Madinah yang hidup
hingga sekarang yaitu Syaikh al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad.[2]
Kelahiran dan Pertumbuhan Beliau
Beliau dilahirkan di kota Zulfi, Saudi Arabia (300 km dari utara Riyadh) pada hari Rabu,
22 Dzulqa’dah 1382 H yang bertepatan dengan 17 April 1963 M. Beliau tumbuh dan
dewasa di desa ini dan belajar baca tulis di sekolah yang diasuh oleh ayah beliau
sendiri. Beliau mengambil pendidikan hingga sampai kepada tingkatan doktoral dalam
bidang aqidah. Sekarang beliau menjadi profesor dan guru besar serta staf pengajar
Pascasarjana di Islamic University of Madinah jurusan Aqidah dan pengajar di Masjid
Nabawi sampai hari ini.
Guru-Guru Beliau
Beliau menimba ilmu dari beberapa ulama dan masyayikh, di antaranya adalah:
1. Ayah beliau sendiri, al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad hafizahullah
2. Syaikh al-Muhaddits Hammad al-Anshari
3. Syaikh Ali Nashir al-Faqihi hafizahullah, beliau adalah pembimbing Syaikh untuk tesis
S2 yang berjudul “Syaikh Abdurrahman as-Sa’di wa Juhudu fi Taudhihil Aqidah”.[3]
4. Syaikh Abdullah al-Ghunaiman hafizahullah. Beliau bersama Syaikh Shalih al-Fauzan
adalah penguji tesis beliau.
5. Dan selain mereka, semoga Allah menjaga mereka dan membalas mereka semua dengan
kebaikan yang berlimpah.

Pujian Ulama Kepada Beliau


Beliau memiliki kedudukan di mata para ulama karena ilmu dan karya-karyanya yang
sangat berharga. Sebagai bukti, banyak para ulama besar yang memberikan pujian dan
rekomendasi serta pengantar terhadap sebagian buku-buku beliau, di antaranya:

Akhlak dan Kepribadian Beliau[12]


Di antara keistimewaan Syaikh Abdurrazzaq yang sangat menonjol adalah perhatian
beliau terhadap masalah akhlak dan mengamalkan ilmu yang telah didapatkan. Mungkin
beberapa kisah berikut bisa sebagai contoh:

1. Perhatian terhadap masalah akhlak dan adab

2. Perhatian pada mengamalkan ilmu

3. Disiplin waktu

4. Beliau terkadang bercanda dan memberikan hadiah untuk menyenangkan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai