Anda di halaman 1dari 5

Makindo menyatakan tagihan tersebut dikenakan untuk tahun buku 1996 yang sudah

berselang 10 tahun lebih. Dalam pembahasan RUU Pajak yang tengah berlangsung di DPR,
batas kedaluwarsa diperpendek menjadi lima tahun. Sehingga jika UU ini kelak diberlakukan
mulai 1 Januari 2008, maka surat pemberitahuan pajak untuk tahun pajak 2008 akan menjadi
lampau pada 1 Januari 2014. Tapi untuk tahun pajak 2007, menjadi kedaluwarsa pada 1
Januari 2018. Sebab kewajiban pajak 2007 masih mengikuti UU Pajak 2000 yang masa
kedaluwarsanya 10 tahun.

Makindo mendapat SKP kurang bayar pada 31 Oktober 2006 dan jatuh tempo pembayaran
adalah 30 November 2006. Jangka waktu kedaluwarsa dihitung sesudah berakhirnya tahun
pajak. Sehingga argo mulai jalan per 1 Januari 1997 [bukan 1 Januari 1996]. Jika ditarik ke
10 tahun kemudian maka batas kedaluwarsa adalah 31 Desember 2006. Artinya, penetapan
SKP atas Makindo ini memang sudah masuk injury time, tapi masih dalam jangka waktu 10
tahun. Secara formal penerbitan SKP tersebut tetap sah.

Ditjen Pajak Layangkan Surat Paksa ke Makindo

JAKARTA: Ditjen Pajak telah menerbitkan surat paksa kepada PT Makindo Tbk, sementara
kuasa hukum perusahaan itu menyatakan angka-angka tagihan pajak tidak benar, karena hasil
rekayasa dari hitungan pendapatan usaha yang bukan pendapatan perseroan sebagai
perusahaan sekuritas dan underwriter.

Seorang pejabat Ditjen Pajak mengungkapkan Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk
Bursa (KPP PMB) telah menerbitkan surat paksa sebagai bentuk penagihan aktif atas utang
pajak PT Makindo senilai hampir Rp500 miliar.

"Meski surat paksa telah diterbitkan, soft collection tetap dilakukan sambil menunggu
penyelesaian keberatan," ujar pejabat itu kepada Bisnis, kemarin.

Kepala KPP PMB Yoyok Satiotomo membenarkan, atas tagihan pajak PT Makindo Tbk telah
diterbitkan surat paksa. "Ya, surat paksa sudah diterbitkan beberapa waktu lalu," katanya
singkat. Namun, Yoyok enggan berkomentar lebih jauh.

Seperti diberitakan sebelumnya, PT Makindo Tbk menunggak pajak senilai Rp494,06 miliar
yang seharusnya dibayarkan paling lambat 30 November 2006. (Bisnis, 23 Februari 2006).

Hasil rekayasa

Kuasa hukum PT Makindo Tbk Hotman Paris Hutapea dalam somasi yang dikirim ke Bisnis,
Jumat (23 Februari), menyatakan perhitungan angka-angka tagihan pajak yang disebutkan
dalam pemberitaan harian ini tidak benar. Ini karena perhitungan tersebut merupakan hasil
rekayasa dari hitungan pendapatan usaha yang bukan pendapatan PT Makindo Tbk sebagai
perusahaan sekuritas dan underwriter, serta jumlah dana, IPO, private placement, dan
transaksi bursa jelas bukan pendapatan usaha.

"Makindo telah melaksanakan kewajibannya sebagai wajib pajak sesuai dengan peraturan
dan undang-undang tentang perpajakan yang berlaku," tulis Hotman, yang bertindak untuk
dan atas nama PT Makindo Tbk berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 23 Februari 2007.

Selain itu, menurut dia, PT Makindo Tbk telah menerima tax clearance dari Ditjen Pajak pada
1997 yang menyatakan bahwa tagihan pajak perseroan tersebut pada 1996 dan ke belakang
adalah nihil.

Hotman dalam somasi itu juga menduga pemberitaan tersebut telah melanggar Pasal 34 UU
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal ini mengatur tentang larangan bagi
pejabat pajak maupun tenaga ahli yang ditunjuk oleh Ditjen Pajak untuk memberitahukan
kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh WP
dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.

Surat paksa

Namun, seorang pejabat senior di Ditjen Pajak menyatakan terhadap tagihan pajak yang
sudah dikeluarkan surat paksa (SP), unsur rahasia jabatan menjadi hilang.

"Bahkan surat paksa dapat dipublikasikan di media massa jika WP atau penanggung pajak
tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usahanya, atau tempat kedudukannya," tutur
pejabat yang enggan disebut namanya itu.

Dia menjelaskan surat paksa diterbitkan bila penanggung pajak tidak melunasi utang pajak,
meskipun telah diterbitkan surat teguran.

"Surat ini berdasarkan Pasal 7 UU Penagihan Pajak dengan surat paksa mempunyai kekuatan
eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap," ujarnya tadi malam.

Surat paksa terhadap badan diberitahukan oleh jurusita pajak kepada antara lain pengurus,
pemilik modal atau pegawai di tempat kedudukan badan atau tempat tinggal mereka
selasa, 27 Februari 2007
Gunawan Yusuf: Tunggakan Pajak Makindo Nihil

[Republika] - Makindo mengaku telah menyelesaikan semua kewajiban pajaknya. Hal itu
ditegaskan Dirut Makindo, Gunawan Yusuf, dalam laporan keterbukaan informasi yang
dikirimkannya ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) kemarin.

Dalam laporan tersebut, Gunawan Jusuf menjelaskan, perseroan menerima tax clearance dari
Dirjen Pajak pada 1997 silam. Berdasarkan surat itu, tagihan pajak pada 1996 dan tahun
sebelumnya, nihil.

Laporan keuangan Makindo tahun buku 1996 menyebutkan, PPh badan yang harus dibayar
besarnya Rp 11,443 miliar. ''Dan kewajiban itu sudah selesai,'' kata Gunawan.

Laporan itu juga melampirkan Surat Keterangan Fiskal (SKF) tertanggal 23 Juni 1997. SKF
itu menyebutkan bahwa tidak ada tunggakan PPh sampai surat dibuat.

Terkait tagihan pajak itu, kuasa hukum Makindo, Hotman Paris Hutapea, menyatakan,
pihaknya secara resmi telah melayangkan surat ke Dirjen Pajak. ''Tapi belum ada jawaban
dari Dirjen Pajak,'' kata Hotman, Senin. Semua kewajiban Makindo sudah diselesaikan,
sehingga kliennya itu tidak memiliki tunggakan sejak 10 tahun lalu. Keringanan pajak pada
1997 lalu, diberikan sesuai dengan hasil pemeriksaan.

Jika masih ada kewajiban pajak dari pihak atau badan tertentu, menurut Hotman, semestinya
dialamatkan langsung ke pihak bersangkutan. Sementara, tagihan pajak yang ditujukan ke
Makindo sudah melampaui batas waktu karena 10 tahun lalu.

Sebelumnya, seperti dikutip Bisnis Indonesia, Ditjen Pajak telah menerbitkan surat paksa
kepada PT Makindo Tbk. Surat ini sebagai bentuk penagihan aktif atas utang pajak Makindo
senilai hampir Rp 500 miliar. ''Surat paksa sudah diterbitkan beberapa waktu lalu,'' kata
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa (KPP PMB), Yoyok Satiotomo,
kepada Bisnis.

Makindo menunggak pajak sebesar Rp 494,06 miliar. Tunggakan pajak ini seharusnya
dibayarkan paling lambat 30 November 2006. (Bisnis, 23 Februari 2007).

Diposkan oleh Conglomerate Monitor Network (CMM) di 04.45 Tidak ada komentar:

Jumat, 23 Februari 2007


Makindo dililit pajak Rp494 miliar

[Info Pajak] - PT Makindo Tbk menunggak pajak senilai total Rp494,06 miliar yang
seharusnya dibayarkan paling lambat 30 November 2006, sementara otoritas pasar modal
menegaskan realisasi go private tidak menghapuskan kewajiban emiten itu.

Utang pajak itu diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa
pada 31 Oktober 2006 berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan untuk tahun pajak
1996. Tagihan pajak tersebut meliputi pajak penghasilan (PPh) sebesar Rp358,57
miliar, pajak pertambahan nilai Rp119,25 miliar, surat tagihan PPN Rp16,11 miliar,
PPh Pasal 21 Rp66,07 juta, dan PPh Pasal 23 Rp68,92 juta

Tagihan PPh badan itu berasal dari perhitungan penghasilan bersih Makindo sebesar
Rp859,29 miliar, penghasilan kena pajak Rp859,29 miliar, sehingga pajak
penghasilan yang terutang Rp257,77 miliar ditambah sanksi administrasi Rp116,29
miliar. Dalam laporan itu, Makindo baru membayar Rp15,5 miliar yang berasal dari
PPh Pasal 25 sebesar Rp4,05 miliar dan PPh pasal 29 sebesar Rp11,44 miliar.

Dalam SKPKB PPN, menurut perhitungan KPP Perusahaan Masuk Bursa, terlihat
perbedaan yang nyata antara perhitungan yang dibuat Makindo dan kantor pajak.
Misalnya dasar pengenaan pajak yang dilaporkan emiten sebesar Rp78,47 miliar,
sementara kantor pajak menetapkan Rp884,08 miliar.

Berdasarkan laporan keuangan Makindo per September 2006, disebutkan utang


pajak yang harus dibayarkan perseroan mencapai Rp219,13 juta. Jumlah ini turun
dibandingkan dengan periode yang sama 2006, yaitu Rp1,68 miliar.

Bisnis berusaha menghubungi Dirut Makindo Gunawan Jusuf untuk meminta


konfirmasinya. Namun, telepon seluler Gunawan yang dihubungi sejak Selasa
malam belum tersambung. Bahkan pesan singkat yang dikirimkan ke telepon
tersebut juga tidak dibalas.

Pada Rabu dan Kamis, Bisnis mendatangi kantor Makindo di Wisma GKBI guna
mendapatkan tanggapan seputar tunggakan pajak tersebut. Namun, menurut
sekretaris dirut Makindo dan sekretaris perusahaan sedang bertugas di luar kota.
Sekretaris itu berjanji menghubungi redaksi harian ini, tetapi hingga berita ini
diturunkan, Makindo belum memberikan penjelasan secara resmi.

Dijerat sanksi

Bapepam-LK memastikan Makindo tetap dijerat sanksi jika perseroan itu terbukti
melanggar ketentuan pasar modal, meski nanti berstatus sebagai perusahaan
tertutup. "Mereka masih bisa ditindak kalau memang di masa mendatang ada
temuan baru mengenai pelanggaran peraturan pasar modal ketika masih berstatus
terbuka," tuturnya kepada Bisnis, Rabu.

Menyangkut dugaan tunggakan pajak, Fuad menjelaskan hal itu bukan wewenang
Bapepam-LK, tetapi Ditjen Pajak. Bapepam-LK, jelas dia, tidak bisa menggunakan
alasan itu untuk menolak go private Makindo.

Dia mengatakan berdasarkan laporan resmi yang disampaikan manajemen Makindo,


keputusan go private disetujui dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) dan
tidak ada penolakan dari pemegang saham minoritas.

"Menurut laporan mereka, tidak ada penolakan pemegang saham minoritas


menyangkut persetujuan go private. Namun, kami akan melihat lagi jika nanti ada
laporan baru," tutur Fuad.
Direktur Pencatatan BEJ Eddy Sugito mengatakan tunggakan pajak itu seharusnya
dilaporkan sebagai keterbukaan informasi kepada bursa. Namun, hingga kini BEJ
belum menerima pemberitahuan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai