Selain Kesultanan Yogyakarta, salah satu daerah di Indonesia yang memiliki tradisi minum teh adalah masyarakat Sunda di kaki Gunung Cikuray, Jawa Barat. Masyarakat Cigedug, Garut menyebut tradisi ini dengan nama Nyaneut. Tradisi ini menjadi kebiasaan warga Garut dan sekitarnya untuk menghangatkan tubuh mereka dari dinginnya udara di kaki gunung Cikuray. Dalam Nyaneut, teh yang digunakan adalah Teh Kejek yang merupakan teh khas dari daerah Cigedug. Daerah Garut memang terkenal sebagai salah satu produsen utama teh berkualitas tinggi di Indonesia. Nyaneut berawal dari seorang ilmuwan Belanda yang pada abad ke-19 membuka perkebunan teh di daerah dataran tinggi dengan udara yang sejuk. Karel Frederik Holle, demikian nama ilmuwan tersebut membuka perkebunan teh di Cigedug dan Bayongbong pada abad ke-19. Sejak itu, kawasan dataran tinggi di Garut ini menghasilkan teh berkualitas baik. Tidak heran, teh yang dihasilkan pun adalah teh dengan kualitas terbaik. Nyaneut biasa diawali dengan memasak air di atas anglo (tungku yang terbuat dari tanah liat) dengan menggunakan arang sebagai bahan bakar. Lalu, air yang telah matang akan dipindahkan ke poci tanah liat. Bersama dengan itu, satu sendok makan teh kejek khas Cigedug dimasukkan ke dalam poci lalu didiamkan selama beberapa saat. Untuk menikmatinya, teh akan dituangkan ke dalam cangkir yang terbuat dari batok kelapa atau cangkir seng khas tempo dulu. Prosesi meminum teh akan diawali dengan memutar gelas teh di telapak tangan sebanyak dua kali, lalu aroma teh dihirup sebanyak tiga kali dan barulah teh bisa diseruput. Teh akan dihidangkan dengan talas, kacang tanah, singkong goreng, pisang dan berbagai panganan lokal lainnya yang semuanya dikukus di atas anglo. Yang lebih menarik lagi, makanan tersebut akan disajikan bersama potongan gula merah. Gula merah digunakan sebagai pemanis rasa teh, atau dimakan bersama panganan kukus tersebut. Seiring berjalannya waktu tradisi ini mulai luntur secara perlahan. Untuk mengantisipasinya, pemerintah daerah kerap mengadakan sebuah perayaan bertajuk Festival Nyaneut, sebuah festival minum teh yang diselenggarakan dengan cara yang cukup meriah. Tahun 2016 lalu menjadi tahun ketiga penyelenggaraan festival ini. Selain untuk melestarikan tradisi minum teh ala orang Sunda, festival ini juga kerap membahas isu isu lingkungan dan pelestarian alam. Salah satu yang dibahas dalam festival Nyaneut pada tahun 2016 lalu adalah mengenai alih fungsi lahan hutan yang masif terjadi di Gunung Cikuray. Selain itu, pengubahan lahan perkebunan teh menjadi kebun sayur pun menjadi konsentrasi masyarakat. Sebab, jika dilihat dari sisi konservasi, pohon teh lebih sanggup untuk menahan air dibandingkan dengan tanaman sayur. Pelestarian kebun teh menjadi salah satu fokus utama dari festival tahunan ini.
b. Tradisi patehan ala Yogyakarta
Di gedhong Patehan ini para abdi dalem khusus selalu punya tugas untuk membuat hidangan teh bagi Sri Sultan Hamengkubuwono dan keluarga setiap pukul 6 pagi, 11 siang, dan 16 sore. Keluarga Sri Sultan sejak dulu memang punya tradisi minum teh di gedhong Patehan ini dan akhirnya menjadi sebuah upacara minum teh yang disebut dengan Patehan. Proses tradisi minum teh ini hanya boleh dilakukan oleh abdi dalem yang dipercaya khusus. Mulai dari pembuatan tehnya hingga menyajikan kepada Sri Sultan. Abdi dalem harus membuat teh di dapur yang ada di dalam lingkungan Keraton atau lebih tepatnya berada di bagian Keputren. Selain itu, tempat penyajian teh untuk Sultan, anak-anak, cucu, pejabat, hingga para abdi dalem sendiri dibedakan yakni dari penggunaan cangkirnya. Khusus untuk Ngarso Dalem, cangkir yang digunakan adalah cangkir yang sudah dipakai sejah Hamengkubuwono VII. Pembuatan teh untuk disajikan kepada Sri Sultan tidak boleh dilakukan sembarangan. Cita rasa teh harus pas dan komposisinya harus seimbang antara air, teh, dan gulanya. Pun usai teh dibuat tidak boleh langsung diantarkan kepada Sri Sultan melainkan harus diuji dulu oleh seorang penguji rasa teh. Hal ini untuk menjaga cita rasa hidangan teh ala Keraton yang sudah turun temurun sejak dahulu. Teh kemudian diantarkan oleh lima orang abdi dalem wanita yang disebut dengan keparak menuju ke tempat Sri Sultan berada. Menurut keterangan GKR Bendara, tradisi Patehan itu tidak hanya satu versi saja. Ia mengatakan, tradisi Patehan yang dilaksanakan ketika pada acara Lebaran, Ngapem, dan Sungkeman itu berbeda dengan Patehan yang dilaksanakan pada hari-hari biasanya. Pada acara-acara tertentu, tradisi Patehan dilakukan dengan ritual-ritual dan aturan khusus, ujar GKR Bendara. Cangkir yang digunakan oleh Sultan memiliki ukuran yang kecil. Jadi ketika memakainya, sekali minum saja sudah habis. Selain ukuran yang tidak biasa, cangkir tesebut juga memiliki warna merah muda. Cangkir-cangkir itu sendiri juga memiliki corak warna bermacam-macam. Ada yang berwarna merah muda bercorak emas, perak, atau warna yang lainnya. Corak warna-warna tersebut merupakan penanda tingkat jabatan orang-orang di dalam Kraton Yogyakarta. Secara khusus, tradisi Patehan sebenarnya tidak hanya satu versi melainkan tradisi ini juga dilaksanakan pada hari-hari besar seperti lebaran, ngapem, dan sungkeman. Namun, semuanya memiliki prosesi yang berbeda dengan Patehan yang dilaksanakan pada hari-hari biasa. Kekhasan dari teh yang disajikan pada tradisi Patehan adalah teh nasgitel alias panas, legi, kentehl. Komposisi teh semacam ini sangat awam bagi kalangan masyarakat Jawa karena di dalam teh nasgitel terdapat nilai-nilai kehidupan yang baik. Teh nasgitel itu ibarat kehidupan, selalu ada yang pahit, wangi, panas, dan kental. Teh nasgitel yang disajikan dengan gula batu itu diibaratkan sebagai bentuk dari kenikmatan hidup. Namun sebenarnya, tidak dari rasanya saja, tapi filosofi kebahagiaan selalu diperoleh melalui kerja keras dan tempaan waktu. Bila teh yang panas bertemu dengan gula batu yang mencair bersama sehingga menghasilkan rasa yang pas, itulah keseimbangan hidup.
c. Teh poci dan nasgitel dari jawa
Budaya minum teh yang populer di Cirebon, Tegal, Slawi, Pemalang, Brebes, dan sekitarnya ini menggunakan teh wangi melati yang diseduh dalam teko tanah liat (poci) dan disajikan dengan gula batu sebagai pemanis. Saat menikmati teh ini, gula batu tidak boleh diaduk, cukup dengan sedikit menggoyang cangkir teh. Yang pertama kali terasa di lidah saat teh poci diminum ialah rasa sepat atau pahit. Setelah gula batu perlahan-lahan larut, baru muncul rasa manis. Rupanya, proses itu memiliki nilai falsafah tersendiri, yaitu hidup ini memang pahit pada awalnya. Kalau mau bersabar, barulah kita mendapatkan manisnya.