Anda di halaman 1dari 382

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Seiring dengan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kedokteran khususnya Ilmu Penyakit Dalam. Perlu adanya panduan/ acuan kerja yang bermutu
dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun material menyangkut pelayanan dan
perawatan kepada pasien di rumah sakit pemerintah dan swasta serta fasilitas kesehatan lainnya di
Indonesia, agar tidak terjadi
kekeliruandalam bertindak yang mengakibatkan kerugian tidak
hanya bagi pasien tetapi juga seluruh praktisi kesehatan yang terlibat di dalamnya. Oleh karena
itu dalam melaksanakan pelayanan dan perawatan kepada pasien seorang dokter penyakit dalam
harus selalu menjunjung tinggi sikap humanism, profesionalisme, bertanggung jawab moral,
memegang teguh etika kedokteran, etika social dan etika nasional.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia (PB PAPDI) berusaha menyusun suatu buku panduan Pelayanan dan Perawatan
Kepada Pasien, sehingga tercapai tujuan pelayanan kesehatan yang optimal, professional dan
dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan material.

1.1 PENGERTIAN DAN TUJUAN


Panduan Pelayanan Medik Penyakit Dalam adalah panduan prosedur standar operasional
dalam pelayanan dan perawatan kepada pasien yang harus diketahui dan dijalankan oleh seorang
dokter penyakit dalam untuk melaksanakan kegiatan pelayanan secara optimal, professional dan
dapat dipertanggung jawabkan.
Panduan Pelayanan Medik Penyakit Dalam ditetapkan oleh PB PAPDI dengan tujuan
memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan dan perawatan kepada pasien secara lebih
optimal, berkesinambungan, professional dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan
material.

1.1 RUANG LINGKUP


Ruang lingkup panduan pelayanan medic penyakit dalam mencakup:
Sepuluh penyakit terbanyak dari setiap divisi penyakit dalam
Penyakit-penyakit yang dianggap penting walaupun angka kejadian kecil
Penyakit-penyakit yang memerlukan tindakan emergensi
Tatalaksana tindakan/prosedur penyakit dalam

1
BAB II

STANDAR PELAYANAN
MEDIK PAPDI

2
2.1

METABOLIK
ENDOKRINOLOGI

3
DIABETES MELITUS
PENGERTIAN
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang diotandai oleh
hiperglikemia akibat defek pada:
1. Kerja Insulin (resistensi insulin) di hati (peningkatan produksi glukosa hepatik) dan di
jaringan perifer (otot dan lemak)
2. Sekresi insulin oleh sel beta pancreas
3. Atau keduanya
Klasifikasi Diabetes Melitus (DM)
I. DM Tipe I (destruksi sel , umumnya diikuti defisiensi insulin absolut):
Immune-mediated,
Idiopatik
II. DM tipe 2 (bervariasi mulai dari predominan resistensi insulin dengan defisiensi insulin
relative sampai predominan defek sekretorik dengan resistensi insulin)
III. Tipe spesifik lain:
Defek genetic pada fungsi sel
Defek genetic pada kerja insulin
Penyakit eksokrin pancreas
Endokrinopati
Diinduksi obat atau zat kimia
Infeksi
Bentuk tidak lazim dari immune mediated DM
Sindrom genetic lain, yang kadang berkaitan dengan DM
IV. DM gestational

DIAGNOSIS
Terdiri dari:
Diagnosis DM
Diagnosis Komplikasi DM
Diagnosis penyakit penyerta
Pemantauan pengendalian DM
Anamnesis:
Keluhan khas DM: Poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan tidak khas DM; lemah, kesemutan, gatal mata kabur, disfungsi ereksi pada
pria, pruritus vulvae pada wanita.
Faktor risiko DM tipe 2:
Usia > 45 tahun,
Berat badan lebih: > 1105 berat badan idaman atau indeks massa tubuh (IMT) > 23
kg/m2
Hipertensi (TD 140/90mmHg)
Riwayat DM dalam garis keturunan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir bayi > 4.000 gram
Riwayat DM gestational
Riwayat toleransi gula terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
Penderita penyakit jantung koroner, tuberculosis, hipertiroidisme
4
Kolesterol HDL 35mg/dL atau trigliserida 250 mg/dL

Pemeriksaan fisik lengkap, termasuk :


Tinggi badan, berat badan, tekanan darah, lingkar pinggang.
Tanda neuropati
Mata( visus, lensa mata dan retina)
Gigi mulut
Keadaan kaki (termasuk rabaan nadi kaki), kulit dan kuku

Kriteria diagnostic DM dan gangguan toleransi glukosa:


1. Kadar glukosa darah sewaktu (plama vena) 200 mg/dL, atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126mg/dL, atau
3. Kadar glukosa plasma 200mg/dL pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO

DIAGNOSIS BANDING
Hiperglikemia reaktif, toleransi glukosa terganggu (TGT), Glukosa darah puasa terganggu
(GDPT)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, laju endap darah
Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan
Urinalisis rutin, proteinuria 24 jam, CCT ukur, kreatinin
SGPT, Albumin/globulin
Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida
A1 C
Albuminuri mikro

Pemeriksaan penunjang lain:


EKG, foto thoraks, funduskopi

TERAPI
Edukasi meliputi pemahaman tentang:
Penyakit DM, makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM, penyulit DM,
intervensi farmakologis dan non-farmakologis, hipoglikemia, masalah khusus yang dihadapi, cara
mengembangkan system pendukung dan mengajarkan keterampilan, cara mempergunakan
fasilitas perawatan kesehatan.
Perencanaan Makan
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:
Karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, dan lemak 20-25%.
Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari
sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA
(Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat 25gr/hari,
diutamakan serat larut.

Jumlah kalori basal per hari:


5
Laki-laki: 30 kal/kgBB Idaman
Wanita: 25 kal/kg BB Idaman
Penyesuaian (terhadap kalori basal/hari):
Status gizi:
- BB gemuk -20%
- BB lebih -10%
- BB kurang +20%
Umur > 40 tahun: -5%
Stres metabolic (infeksi, operasi, dll) + (10s/d 30%)
Aktivitas:
- Ringan +10%
- Sedang +20%
- Berat +30%
Hamil
- Trimester I,II +300kal
- Trimester III/laktasi +500kal

Rumus Broca
Berat badan Idaman = (tinggi badan-100)-10%
Pria < 160cm dan wanita < 150cm, tidak dikurangi 10% lagi.
BB Kurang : < 90 % BB idaman
BB Normal : 90-110%BB idaman
BB Lebih : 110-120% BB idaman
Gemuk : > 120% BB idaman

Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit).
Prinsip : Continous-Rythmical-interval-Progresive-Endurance

Intervensi farmakologis
Obat Hipoglikemia Oral (OHO)
Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): Sulfonilurea, glinid
Penambah sensitifitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
Penghambat absorbsi glukosa : penghambat glukosidase alfa

6
Insulin
Indikasi:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetic
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikema dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
KEhamilan dengan DM/ diabetes mellitus gestational yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan
secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Kalau dengan OHO tunggal sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai, perlu kombinasi dua kelompok obat hipoglikemik oral yang
berbeda mekanisme kerjanya.

Pengelolaan DM tipe 2 Gemuk:


Non-farmakologis Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai: Penekanan kembali tata laksana non-farmakologis
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai: +1 macam OHO
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai: Kombinasi 2 macam OHO, antara:
Biguanid/ penghambat glukosidase /Glitazon
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai: Kombinasi 3 macam OHO
Biguanid + penghambat glukosidase + Glitazon
Atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai:
Kombinasi 4 macam OHO:
Biguanid + penghambat glukosidase + Glitazon+Secretagogue
atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai:
Insulin
Atau
Terapi kombinasi OHO siang hari+insulin malam hari

7
Sasaran terapi kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai:
Insulin
Bila sasaran tercapai: Teruskan terapi terakhir

Pengelolaan DM tipe 2 Tidak Gemuk:


Non-farmakologis Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai: Non-farmakologis + Secretagogue
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai: Kombinasi 2 macam OHO, antara:
Secretagogue+ Biguanid/ penghambat glukosidase /Glitazon
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai: Kombinasi 3 macam OHO
Secretagogue + penghambat glukosidase +Biguanid/Glitazon
Atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):

Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai:


Kombinasi 4 macam OHO:
Secretagogue + penghambat glukosidase +Biguanid + Glitazon,
atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):

Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai:


Insulin, atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam

Sasaran terapi kombinasi 4 OHO + insulin tidak tercapai:


Insulin

Bila sasaran tercapai: Teruskan terapi terakhir

Penilaian hasil terapi


1. Pemeriksaan glukosa darah
2. Pemeriksaan A1C
3. Pemeriksaan glukosa darah mandiri
4. Pemeriksaan glukosa urin
5. Penentuan Benda Kriteria Keton Pengendalian DM (lihat tabel)

8
Tabel: Kriteria Pengendalian DM
Baik Sedang Buruk

GD puasa (mg/dL) 80-109 110-125 126


GD 2 jam PP (mg/dL) 80-144 145-179 180
A1C (%) < 6,5 6,5-8 >8
Kolesterol total (mg/dL) < 200 200-239 240
Kolesterol LDL (mg/dL) < 100 100-129 130
Kolesterol HDL (mg/dL) >45
Trigliserida (mg/dL) < 150 150-199 200
IMT (Kg/m 2) 18,5-22,9 23-25 >25
Tekanan darah (mmHg) <130/80 130-140 >140/90
80-90

Komplikasi
A. Akut:
Ketoasidosis diabetic
Hiperosmolar nonketotik
hipoglikemia
B. Kronik
Makroangiopati:
- Pembuluh koroner
- Vascular perifer
- Vascular otak
Mikroangiopati:
- Kapiler retina
- Kapiler renal
Neuropati
Gabungan:
- Kardiomiopati: penyakit koroner, kardiomiopati
Rentan infeksi
Kaki Diabetik
Disfungsi ereksi

Prognosis
Dubia

Wewenang
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS nonpendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Unit Yang Menangani


RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Metabolik Endokrinologi
RS nonpendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Unit Terkait
9
RS Pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi ginjal hipertensi , Divisi
kardiologi, dan Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Mata dan Gizi.
RS Non pendidikan: bagian Neurologi, Patologi Klinik, Mata dan Gizi

Referensi
1. PERKENI, Konsensus Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.2002
2. PERKENI. Petunjuk Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2.2002
3. The Expert Committee on The Diagnostic and classification of Diabetes Melitus. Report of the Expert
Committee on the diagnostic and Classification of Diabetes Melitus. Diabetes care, jan 2003; 26
9Suppl.I) : s5-20.
4. Suyono S. Type 2 Diabetes Management in Diabetes and its Complications : From Molecular to clinic.
Jakarta, 2-3 Nov 2002. Simposium Current Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta, 11-12
November 2000: 185-99.

10
TIROTOKSIKOSIS

PENGERTIAN
Tirotoksikosis merupakan suatu keadaan dimana didapatkan kelebihan hormone tiroid
karena ini berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokoimia yang ditemukan bila
suatu jaringan memberikan hormone tiroid berlebihan.

Toksikosis dibagi dalam 2 kategori:


1. Kelainan yang berhubungan dengan hipertiroidisme
2. Kelainan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme

Hipertiroidisme adalah keadaan tirotoksikosi sebagai akibat dari produksi tiroid, yang
merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan. Etiologi tersering dari tirotoksikosis ialah
hipertiroidisme karena penyakit graves, struma multinodosa toksik (Plummer), adenoma toksik.
Penyebab lain ialah tiroiditis, penyakit trofoblatik, pemakaian yodium berlebihan, obat hormone
tiroid,dll.

Krisis Tiroid merupakan suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang paling berat dan
mengancam jiwa. Umumnya keadaan ini timbul pada pasien dengan dasar penyakit Graves atau
struma multinodular toksik, dan berhubungan dengan factor pencetus : Infeksi, operasi, trauma,
zat kontras beriodium, hipoglikemia, partus, stress emosi, penghentian obat anti-tiroid, terapi I131,
ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru, penyakit serebrovaskular/strok, palpasi tiroid terlalu
kuat.

DIAGNOSIS
Gejala dan tanda tirotoksikosis: hiperaktivitas, palpitasi, berat badan turun, nafsu makan
meningkat, tidak tahan panas, banyak keringat, mudah lelah, sering buang air besar,
oligomenore/amenore dan libido turun, takikardia, fibrilasi arterial, tremor halus, reflex
meningkat, kulit hangat dan basah, rambut rontok, buit.

Gambaran klinis penyakit Graves: struma difus, tirotoksisitas, ofthalmopati/eksoftalmus,


dermopati local, akropati.

Laboratorium: TSHs rendah, T4 dan fT4 tinggi pada T3 toksisitas; T3 atau fT3 meningkat.

Penderita yang dicurigai krisis tiroid


Anamnesis : Riwayat penyakit hipertiroidisme dengan gejala khas, berat badan turun,
perubahan suasana hati, bingung, diare, amenorea
Pemeriksaan fisik:
- Gejala dan tanda khas hipertiroidisme, karena penyakit Graves atau penyakit lain
- Sistem saraf pusat terganggu: Delirium, koma
- Demam tinggi sampai 400C
- Takikardia sampai 130-200 x/menit
- Dapat terjadi gagal jantung kongestif, ikterus

11
Laboratorium: TSHs sangat rendah, T4 / fT, / T3 tinggi, anemia normositik normokrom,
limfositosis relatif, hiperglikemia, enzim transaminase hati meningkat, azotemia prerenal
EKG: sinus takikardia atau fibrilasi atrial dengan respons ventrikular cepat.

DIAGNOSIS BANDING
Hipertiroidisme primer: penyakit Graves, struma multinodosa toksik, adenoma toksik,
metastasis karsinoma tiroid fungsional, struma ovarii, mutasi reseptor TSH, obat:
kelebihan iodium (fenomena Jod Basedow)
Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme: tiroiditis subakut, tiroiditis silent, destruksi tiroid
(karena amiodarone, radiasi, infark adenoma), asupan hormon tiroid berlebihan
(tirotoksikosis/acft'rfa)
Hipertiroidisme sekunder: adenoma hipofisis yang mensekresi TSH, sindrom resistensi
hormon tiroid, tumor yang mensekresi HCG, tirotoksikosis gestasional

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: TSHs, T4 atau fT4, T3 , atau fT3, TSH RAb, kadar leukosit (bila timbul
infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid)
Sidik Tiroid / thyroid scan: terutama membedakan penyakit Plummer dari penyakit
Graves dengan komponen nodosa
EKG
Foto toraks

TERAPI
Tata laksana Penyakit Graves:
ObatAntitiroid
Propiltiourasil (PTU) dosis awal 300- 600 mg / hari, dosis maksimal 2.000 mg/hari.
Metimazol dosis awal 20 - 30 mg / hari.
Indikasi:
- Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada pasien muda
dengan struma ringan - sedang dan tirotoksikosis
- Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan atau sesudah
pengobatan yodium radioaktif
- Persiapan tiroidektomi
- Pasien hamil, lanjut usia
- Krisis tiroid

Penyekat adrenergik pada awal terapi diberikan, sementara menunggu pasien menjadi
eutiroid setelah 6-12 minggu pemberian antitiroid. Propanolol dosis 40-200 mgdalam4dosis.

Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu. Setelah eutiroid, pemantauan
setiap 3-6 bulan sekali: memantau gejala dan tanda klinis, serta lab. FT4/ T4/T3 dan TSHs.Setelah
tercapai eutiroid, obat antitiroid dikurangi dosisnya dan dipertahankan dosis terkecil yang masih
memberikan keadaan eutiroid selama 12-24 bulan. Kemudian pengobatan dihentikan. dan dinilai
apakah terjadi remisi. Dikatakan remisi apabila setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien
masih dalam keadaan eutiroid, walaupun kemudian hari dapat tetap eutiroid atau terjadi relaps.

12
Tindakanbedah
Indikasi:
Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak respons dengan antitiroid
Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi
Alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima yodium radioaktif
Adenoma toksik, struma multinodosa toksik
Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul

Radioablasi
Indikasi:
Pasien berusia > 35 tahun
Hipertiroidisme yang kambuh setelah dioperasi
Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat antitiroid
Tidak mampu atau tidak mau terapi obat antitiroid
Adenoma toksik, struma multinodosa toksik

Tatalaksana Krisis tiroid: (terapi segera mulai bila dicurigai krisis tiroid)
1. Perawatan suportif:
Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen)
Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit: infus Dextrose 5% dan
NaCl 0,9 %
Mengatasi gagal jantung: 02, diuretik, digitalis

2. Antagonis aktivitas hormon tiroid:


Blokade produksi hormon tiroid: PTU dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO. Alternatif:
Metimazol 20-30 mg tiap 4 jam PO.
Pada keadaan sangat berat: dapat diberikan melalui pipa nasogastrik (NGT) PTU 600 -
1.000 mg atau metimazol 60-100 mg.
Blokade ekskresi hormon tiroid:Solutio Lugol {saturated solution of potas sium
iodida) 8 tetes tiap 6 jam
Penyekat (3: Propanolol 60 mg tiap 6 jam PO, dosis disesuaikan respons (target:
frekuensi jantung < 90 x/m).
Glukokortikoid: Hidrokortison 100-500 mg IV tiap 12jam.
Bila refrakter terhadap terapi di atas: plasmaferesis, dialisis peritoneal.

3. Pengobatan terhadap faktor presipitasi: antibiotik, dll.

KOMPLIKASI
Penyakit Graves: penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati Graves,
infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat antitiroid.
Krisis tiroid: mortalitas

PROGNOSIS
Dubia adbonam.
Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat = 10-15 %.

13
WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalamdan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

SUNITYANG MENANGANI
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi ginjal-hipertensi, divisi
kardiologi, dan Departemen Neurologi, Radiologi/Kedokteran nuklir, Patologi Klinik,
Bedah/tumor.
RS non pendidikan : Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Radiologi, dan Bedah.

REFERENSI

1. Sumual A , Pandelaki K. Hipertiroidisme. In: W aspadji S, et al, eds. Baku A jar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.p. 766-72.
2. Jameson JL, W eetman A P. Disorders of the Thyroid Gland. In Braunwald E, Fauci A S, Kasper DL,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. 15"' ed. New Y ork:
McGraw-HM;2001.p. 2060-84.
3. Suyono S, Subekti I. Krisis Tiroid. Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di
Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 A pril 2000:78-82.
4. Suyono S, Subekti 1. Patogenesis dan Gambaran Klinis Penyakit Graves. Makalah Jakarta
Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.
5. W aspadji S. Pengelolaan medis Penyakit Graves. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003.
Jakarta, 18 Oktober 2003.

14
KETO-ASIDOSIS DIABETIKUM

PENGERTIAN
Ketoasidosis diabetikum adalah kondisi dekompensasi metabolik akibat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius. Gambaran klinis
utama ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah hiperglikemia, ketosis, dan asidosis metabolik,
faktor pencetus: infeksi, infark miokard akut, pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid,
penghentian atau pengurangan dosis insulin.

DIAGNOSIS
Klinis:
Keluhan poliuri, polidipsi
Riwayat berhenti menyuntik insulin
Demam / infeksi
Muntah
Nyeri perut
Kesadaran : kompos mentis, delirium, koma
Pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul)
Dehidrasi (turgor kulit menurun, lidah dan bibir kering)
Dapat disertai syok hipovolemik
Kriteria diagnosis:
Kadar glukosa : >250mg/dL
pH : <7,35
HCO3 : rendah
Anion gap : tinggi
Keton serum : positif dan atau ketonuria

DIAGNOSIS BANDING
Ketosis diabetik, hiperglikemi hiperosmolar non ketotik / hyperglycemic hyperosmolar
state, ensefalopati uremikum, asidosis uremikum, minum alkohol, ketosis alkoholik, ketosis
hipoglikemia, ketosis starvasi, asidosis laktat, asidosis hiperkloremik, kelebihan salisilat, drug-
induced acidosis, ensefalopati karena infeksi, trauma kapitis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan cito: gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin, aseton darah. urin rutin, analisis
gas darah, EKG

Pemantauan:
Gula darah: tiapjam,
Na +, K+, CI": tiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya sesuai keadaan.
Analisis gas darah : bila pH < 7 saat masuk > diperiksa setiap 6 jam s.d. pH > 7,1.
Selanjutnya setiap hari sampai stabil.

Pemeriksaan lain (sesuai indikasi): kultur darah, kultur urin, kultur pus

15
TERAPI
Akses intra vena (iv) 2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way:
II. Cairan:
NaCl 0,9 % diberikan 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu 1L pada jam kedua, lalu 0,5 L
pada jam ketiga dan keempat, dan 0,25 L pada jam kelima dan keenam, selanjutnya
sesuai kebutuhan.
Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 L.
Jika Na+ > 155 mEq/L -4 ganti cairan dengan NaCl 0,45 %.
Jika GD < 200 mg/dL > ganti cairan dengan Dextrose 5 %.

III.Insulin {regular insulin = RI):


Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan
RI bolus 180 mU/kgBB IV, dilanjutkan:
RI drip 90 mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9 %
Jika GD < 200 mg/dL: kecepatan dikurangi RI drip 45 mU/kgBB/jam dalam NaCl
0,9%
Jika GD stabil 200 - 300 mg/dL selama 12 jam - RI drip 1-2 U/jam IV, disertai sliding
scale setiap 6 jam:

GD RI
(mg/dL) (Unit, subkutan)
<200 0
200-250 5
250-300 10
300-350 15
>350 20

Jika kadar GD ada yang < 100 mg/dL: drip RI dihentikan


Setelah sliding scale tiap 6 jam, dapat diperhitungkan kebutuhan insulin sehari
dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum makan (bila pasien sudah makan).

IV. Kalium
Kalium (K CI) drip dimulai bersamaan dengan drip RI, dengan dosis 50 mEq / 6 jam.
Syarat: tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi pada
EKG dan jumlah urine cukup adekuat.
Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua :
<3,5 > dripKCl 75mEq/6jam
3,0-4,5 > dripKCl 50mEq/6jam
4,5 - 6,0 > drip KCJ 25 mEq/6jam
>6,0 > drip dihentikan
Bila sudah sadar, diberikan K+oral selama seminggu.

16
V. Natrium bikarbonat
Drip 100 mEq bila pH <7,0, disertai KC126 mEq drip.
50 mEq bila pH 7,0 - 7,1, disertai KC113 mEq drip.
Juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemi yang mengancam.

VI. TatalaksanaUmum:
OksigenbilaPO,<80mmIIg
Antibiotika adekuat
Heparin: bila ada KID satau hyperosmolar (> 380 mOsm/L) Terapi disesuaikan dengan
pemantauan klinis:
Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, temperatur setiap jam,
Kesadaran setiap jam,
Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam,
Produksi urin setiap jam, balans cairan
Cairan infus yang masuk setiap jam,
Dan pemantauan laboratorik (lihat pemeriksaan penunjang).

KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut, hipoglikemia,
hipokalemia, hiperkloremia, edema otak, hipokalsemia

PROGNOSIS
Dubia ad malam, tergantung pada usia, komorbid, adanya infark miokard akut, sepsis, syok.

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan
konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik
RS non pendidikan: Bagian Patologi Klinik

REFERENSI
1. PERKENl. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2. 2002.
2. W aspadji S. Kegawatanpada Diabetes Melitus. In: Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan
di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, J5-16 A pril 2000:83-8.
3. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In:Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang
limit Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 A pril 2000:89-96.
4. Kitabchi A E, Umpierrez GE, Murphy MB, Barrett EJ, Kreisberg RA , Malone JI, et al. Management of
Hyperglycemic Crises in Patients W ith Diabetes. Diabetes Care, Jan 2001;24(1): 131-51.

17
HIPOGLIKEMIA

PENGERTIAN
Hipoglikemiaadalahkeadaandimanakadarglukosadarah <60 mg/dL, ataukadar glukosa
darah < 80 mg/dL dengan gejala klinis.Hipoglikemia pada DM terjadi karena:
Kelebihan obat / dosis obat: terutama insulin, atau obat hipoglikemik oral
Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun: gagal ginjal kronik, pasca persalinan
Asupan makan tidak adekuat: jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat
Kegiatanjasmaniberlebihan.

DIAGNOSIS
Gejala dan tanda klinis :
Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun
Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sementara
Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar
Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang

Anamnesis:
Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: dosis terakhir, waktu pemakaian
terakhir, perubahan dosis.
Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
Lama menderita DM, komplikasi DM
Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll
Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat adrenergik (3, dll.
Pemeriksaan fisik: pucat, diaphoresis, tekanan darah, frekuensi denyut jantung, penurunan
kesadaran, defisit neurologik fokal transien

Trias Whipple untuk hipoglikemia secara umum:


1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia
2. Kadar glukosa plasma rendah
3. Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat

DIAGNOSIS BANDING
Hipoliglikemia karena
Obat:
- (sering): insulin, sulfonilurea, alkohol,
- (kadang): kinin, pentamidine
- (jarang): salisilat, sulfonamide
Hiperinsulinisme endogen: insulinoma, kelainan sel (3 jenis lain, sekretagogue
(sulfonilurea), autoimun, sekresi insulin ektopik
Penyakit kritis: gagal hati, gagal ginjal, gagal jantung, sepsis, starvasi dan inanisi
Defisiensi endokrin: kortisol, growth hormone, glukagon, epinefrin
Tumor non-sel (3: sarkoma, tumor adrenokortikal, hepatoma, leukemia, limfoma,
melanoma
Pasca-prandial: reaktif (setelah operasi gaster), diinduksi alkohol
18
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kadar glukosa darah (GD), tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, C-peptide

TERAPI
Stadium permulaan (sadar)
Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan
pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung
karbohidrat
Hentikan obat hipoglikemik sementara,
Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL (bila sebelumnya tidak sadar)
Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia):
1. Diberikan larutan Dekstrosa 40 % sebanyak 2 flakon (= 50 mL) bolus intra vena,
2. Diberikan cairan Dekstrosa 10 % per infus, 6 jam per kolf,
3. Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer:
Bila GDs < 50 mg/dL > + bolus Dekstrosa 40% 50 mL IV
Bila GDs < 100 mg/dL >+ bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40 % :
Bila GDs < 50 mg/dL -H> + bolus Dekstrosa 40 % 50 mL IV
Bila GDs < 100 mg/dL -4 + bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV
Bila GDs 100 -200 mg/dL > tanpa bolus Dekstrosa 40 %
Bila GDs > 200 mg/dL > pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa 10%
5. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2 jam,
dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL > pertimbangkan mengganti
infus dengan Dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 %.
6. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4 jam,
dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL > pertimbangkan mengganti
infus dengan Dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 %.
7. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6 jam:

GD RI
(mg/dL) (Unit, subkutan)
<200 0
200-250 5
250-300 10
300-350 15
>350 20

8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin, seperti:


adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5-1 mg IV / IM (bila penyebabnya
insulin)
9. Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dL: Hidrokortison 100 mg per 4 jam selama
12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan Manitol 1,5 -
2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab lain penurunan kesadaran menurun

19
KOMPLIKASI
Kerusakan otak, koma, kematian

PROGNOSIS
Dubia.

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan
konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Medical High Care IICU
RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, ICU

REFERENSI:
1. PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Pipe 2002. W aspadji S.
2. Kegawatan pada Diabetes Melitus. Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan 1
Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000:83-8.
3. CryerPE. Hypoglycemia. InBraunwaldE, FauciAS, KasperDL, MauserSL, LongoDL,
Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. 15"' ed. New Y ork: McGraw-Hill;
2001.p. 2138-43.

20
DISLIPIDEMIA

PENGERTIAN
Dislipidemia merupakan kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh kelainan
(peningkatan atau penurunan) fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah
kenaikan kadar kolesterol total, kenaikan kadar trigliserid serta penurunan kadar kolesterol HDL.
Dalam proses terjadinya aterosklerosis ketiganya mempunyai peran penting danberkaitan,
sehingga dikenal sebagai triad lipid. Secara klinis dislipidemia diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
Hiperkolesterolemia. hipertrigliseridemia, dan campuran hiperkolesterolemia dan
hipertrigliseridemia

DIAGNOSIS
Klasifikasi kadar kolesterol:
Kolesterol LDL: < 100 mg/dL Optimal
100-129 mg/dL Hampir optimal
130- 159mg/dL Borderline tinggi
160- 189mg/dL Tinggi
190mg/dL Sangat tinggi
Kolesterol total: <200mg/dL Idaman
200-239mg/dL Borderline tinggi
240mg/dL Tinggi
Kolesterol HDL < 40 mg/dL Rendah
60 mg/dL Tingi

Untuk mengevaluasi risiko penyakit jantung koroner (PJK), perlu diperhatikan faktor-
faktor risiko lainnya:
Faktor risiko positif:
- Merokok
- Umur (pria 45 tahun, wanita 55 tahun)
- Kolesterol HDL rendah
- Hipertensi (TD 140/90 atau dalam terapi antihipertensi)
- Riwayat penyakit jantung koroner dini dalam keluarga (first degree: pria < 55 tahun,
wanita < 65 tahun)
Faktor risiko negatif:
Kolesterol HDL tinggi: mengurangi 1 faktor risiko dari perhitungan total.

ATP III menggunakan Framingham Risk Score (FRS) untuk menghitung besarnya risiko
penyakit jantung koroner (PJK) pada pasien dengan 2 faktor risiko, meliputi: umur, kadar
kolesterol total, kolesterol HDL, kebiasaan merokok, dan hipertensi. Penjumlahan skor pada FRS
akan menghasilkan angka persentase risiko PJK dalam 10 tahun.
Ekivalen risiko PJK mengandung risiko kejadian koroner mayor yang sebanding dengan
kejadian PJK. yakni > 20 % dalam 10 tahun, terdiri dari:
Bentuk klinis lain dari aterosklerosis: penyakit arteri perifer, aneurisma aorta abdominalis,
penyakit arteri karotis yang simptomatis,
Diabetes
Faktor risiko multipel yang mempunyai risiko PJK dalam 10 tahun > 20 %.
21
Peningkatan kadar trigliserida juga merupakan faktor risiko independen untuk erjadinya
PJK. Faktor yang mempengaruhi tingginya trigliserida:
Obesitas, berat badan lebih
Inakti vitas fisik
Merokok
Asupan alkohol berlebih
Diet tinggi karbohidrat (> 60 % asupan energi),
Penyakit DM tipe 2, gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik
Obat: kortikosteroid, estrogen, retinoid, penghambat adrenergik-beta dosis tinggi
Kelainan genetik (riwayat keluarga)

Kiasifikasi derajat hipertrigliseridemia


Normal : <150mg/dL
Borderline-tinggi : 150-199mg/dL
Tinggi : 200-499mg/dL
Sangat tinggi : 500mg/dL

DIAGNOSIS BANDING
Hiperkolesterolemia sekunder. Karena hipotiroidisme, penyakit hati obstruksi, sindrom
nefrotik, anoreksia nervosa, porfiria intermiten akut, obat (progestin, siklosporin, thiazide)
Hipertrigliseridemia sekunder. karena obesitas, DM, penyakit ginjal kronik, lipodistrofi,
glycogen storage disease, alkohol, bedah bypass ileal, stres, sepsis, kehamilan, obat (estrogen,
isotretinoin, penghambat beta, glukokortikoid, resin pengikat bile-acid, thiazide), hepatitis
akut, lupus eritematosus sistemik, gammopati monoklonal: myeloma multipel, limfoma AIDS:
inhibitor protease
HDL rendah sekunder. karena malnutrisi, obesitas, merokok, penghambat beta-steroid
anabolik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Skrining dianjurkan pada semua pasien berusia 20 tahun, setiap 5 tahun sekali: Kadar
kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida, glukosa darah, tes fungsi hati, urin ;ngkap, tes fungsi
ginjal, TSH, EKG

TERAPI
Untuk Hiperkolesterolemia:
Penatalaksanaan Non-farmakologis (Perubahan Gaya I lidup):
Diet, dengankomposisi:
- Lemakjenuh < 7 % kalori total
- PUFA hingga 10% kalori total
- MUFA hingga 10% kalori total
- Lemak total 25 - 35 % kalori total
- Karbohidrat 50-60% kalori total
- Protein hingga 15 % kalori total
- Serat 20-30 g/hari
- Kolesterol <200 mg/hari

22
Latihan jasmani
Penurunan berat badan bagi yang gemuk
Menghentikan kebiasaan merokok, minuman alkohol

Pemantauan profit lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah tercapai (lihat tabel
target di bawah ini), pemantauan setiap 4-6 bulan.
Bila setelah 6 minggu PGH, target belum tercapai: intensifkan penurunan lemak jenuh dan
kolesterol, tambahkan stanol/steroid nabati, tingkatkan konsumsi serat. dan kerjasama dengan
dietisien.
Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil menurunkan kadar
kolesterol LDL, maka terapi farmakologis mulai diberikan. dengan tetap meneruskan
pengaturan makan dan latihan jasmani.

Terapi Farmakologis:
Golongan statin:
- Simvastatin 5-40 mg
- Lovastatin 10 - 80 mg
- Pravastatin 10-40 mg
- Fluvastatin 20-80 mg
- Atorvastatin 10-80 mg
Golongan bile acid sequestrant:
- Kolestiramin 4-16 g
Golongan nicotinic acid:
- Nicotinic acid (immediate release) 2 x 100 mg s.d. 1,5 - 3 g

Targer Kolesterol LDL (mg/dl) :

Kategori Risiko Target LDL Kadar LEfL Kadar LDL untuk mulai
jrntukjmrlajTGH terapi farmakologis
PJK atau <100 >100 130
Ekivalen PJK (100-129: opsional)
(FRS>20%)
Faktor risiko 2 < 130 >130 >130 (FRS 10-20 %
(FRS 20%) (160-189: opsional)
Faktor risiko 0-1 <160 >160 >190
(160-189: opsional)

Terapi hiperkolesterolemia untuk pencegahan primer, dimulai dengan statin atau bile acid
sequestrant atau nicotinic acid.
Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah tercapai (lihat tabel
target di atas), pemantauan setiap 4-6 bulan. Bila setelah 6 minggu terapi. target belum tercapai:
intensifkan/ naikkan dosis statin atau kombinasi dengan yang lain. Bila setelah 6 minggu
berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi
farmakologis diintensifkan.
Pasien dengan PJK, kejadian koroner mayor atau dirawat untuk prosedur koroner, diberi
terapi obat saat pulang dari RS jika kolesterol LDL > 100 mg/dL.
23
Pasien dengan hipertrigliseridemia:
Penatalaksanaan non farmakologis sesuai di atas.
Penatalaksanaaan farmakologis: Target terapi:
- Pasien dengan trigliserida borderline tinggi atau tinggi: tujuan utama terapi adalah
mencapai target kolesterol LDL.
- Pasien dengan trigliserida tinggi: target sekunder adalah kadar kolesterol non-HDL,
yakni sebesar 30 mg/dL lebih tinggi dari target kadar kolesterol LDL (lihat tabel di
atas).
- Pendekatan terapi obat:
1. Obat penurun kadar kolesterol LDL, atau
2. Ditambahkan obat fibrat atau nicotinic acid. Golongan fibrat terdiri dari:
Gemfibrozil 2 x 600 mg atau 1 x 900 mg
Fenofibrat 1 x 200 mg
Penyebab primer dari dislipidemia sekunder, juga harus ditatalaksana.

KOMPLIKASI
Aterosklerosis, penyakit jantung koroner, strok, pankreatitis akut

PROGNOSIS
Dubia ad Bonam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan peserta PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi
/Divisi Kardiologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi Kardiologi, Departemen Patologi Klinik, Gizi
RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Gizi

REFERENSI
1. PERK EN I. K onsensus Pengelolaan Dislipidemia pada Diabetes Melitus di Indonesia. 1995.
2. Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in A dults. Executive Summary
of the Third Report of the N ational Cholesterol Education Program SCEPt Expert Panel on Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol p. A dults: A dult Treatment Panel III). JA MA , May 16,
2001;285(19):2486-97.
3. Semiardji G N ational Cholesterol Education Program - A dult Treatment Panel III (N CEP-A TP III): A dakah hal
yang baru? Makalah Siang K linik Bagian Metabolik Endokrinologi Bagian llmu Penyakit Dalam, 2002.
4. Ginsberg HN , Goldberg IJ. Disorders of Lipoprotein Metabolism. In Braunw ald E, Fauci A S, K asper DL,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. 15"' ed. N ew Y ork: McGraw -
Hill; 2001.p. 2245-57.
5. Suyono S. Terapi Dislipidemia, Bagaimana Memilihnya dan Sampai K apan? Prosiding Simposium Current
Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta,ll-I2 N ovember 2000:185-99.

24
STRUMA NODOSA NON TOKSIK

PENGERTIAN
Struma nodosa non toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai
suatu nodul, tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme.Berdasarkan jumlah nodul, dibagi:
Struma mononodosa non toksik
Struma multinodosa non toksik

Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif, nodul dibedakan menjadi: nodul


dingin, nodul hangat, nodul panas

Sedangkan berdasarkan konsistensinya, nodul dibedakan menjadi: nodul lunak, odul


kistik, nodul keras, nodul sangat keras

DIAGNOSIS
Anamnesis:
Sejak kapan benjolan timbul
Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
Cara membesarnya: cepat, atau lambat
Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya
pembesaran leher saja
Riwayat keluarga
Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda
Perubahan suara
Gangguan menelan, sesak napas
Penurunan berat badan
Keluhan tirotoksikosis

Pemeriksaan fisik:
Umum
Lokal:
Nodul tunggal atau majemuk, atau difus
Nyeri tekan
Konsistensi
Permukaan
Perlekatan pada jaringan sekitarnya
Pendesakan atau pendorongan trakea Pembesaran kelenjar getah bening regional
Pemberton 's sign

Penilaian risiko keganasan:


Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostik penyakit tiroid r.ik. tetapi
tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid:
Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difusa jinak
Riwayat keluarga dengan tiroditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun.
Gejala hipo atau hipertirodisme.
Nyeri berhubungan dengan nodul.
25
Nodul lunak, mudah digerakkan.
Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan kea rah keganasan tiroid :
Umur <20 tahun atau > 70 tahun
Gender laki-laki
Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan napas
Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu-bulan)
Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa (juga meningkatkan insiden penyakit
nodul tiroid jinak)
Riwayat keluarga kanker tiroid meduler
Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irregular dan sulit digerakkan
Paralisis pita suara
Temuan limfadenopati servikal
Metastasis jauh (paru-paru,dll)

Langkah diagnostic I: TSHs, FT4


Hasil: Non-toksik Langkah diagnostik II: BAJAH nodul tiroid
Hasil: A. Ganas
B. Curiga
C. Jinak
D. Tak cukup/sediaan tak representative (dilanjutkan di kolom Terapi)

DIAGNOSIS BANDING
Struma nodosa yang terjadi pada peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin saat masa
pertumbuhan,pubertas,laktasi,menstruasi,kehamilan,menopause,infeksi, stes lain.
Tiroiditis akut
Tiroiditis subakut
Tiroiditis kronis: limfositik (Hashimoto), fibrous-invasif (Riedel)
Simple goiter
Struma endemic
Kista tiroid, kista degenerasi
Adenoma
Karsinoma tioid primer, metastatic
Limfoma

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium:T4 atay Ft4, T3M dab TSHs
Biosi aspirasi jarum halus (BAJAH) nodul tiroid:
- Bila hasil laboratorium: non-toksik
- Bila hasil lab. (awal) toksik, tetapi hasil scan : cold nedule. Syarat: sudah menjadi eutiroid,
USG tiroid:
- Pemantau kasus nodul yang tidak dioperasi
- Pemandu pada BAJAH
Sidik tiroid:
- Bila klinis: ganas, tetapi hasil sitologi dengan BAJAH (2 kali): jinak,
- Hasil sitologi dengan BAJAH: curiga ganas
Petanda keganasan tiroid (bila ada riwayat keluarga dengan karsinoma tiroid medular, diperiksakan
kalsitonin)
Pemeriksaan antitiroglobulin bila TSHs meningkat, curiga penyakit Hashimoto.
26
TERAPI
Sesuai hasil BAJAH, maka terapi:
A. Ganas
Operasi Tirodektomi near-total
B. Curiga
Operasi dengan lebih dahulu melakukan potong beku (VC):
Bila hasil = ganas Operasi Tiroidektomi near-total.
Bila hasil = jinak Operasi Lobektomi, atau Tiroidektomi near-total.
Alternative:Sidik tiroid. Bila hasil=cold nedule Operasi
C. Tak cukup/sediaan tak representative
Jika nodul Solid (saat BAJAH): ulang BAJAH.
Bila klinis curiga ganas tinggi Operasi Lobektomi
Bila klinis curiga ganas rendah Observasi
Jika nodul Kistik (saat BAJAH):aspirasi.
Bila kista regresi Observasi
Bila kista rekurens,klinis curiga ganas rendah Observasi
Bila kista rekurens,klinis curiga ganas tinggi Operasi Lobektomi
D. Jinak
Terapi dengan Levo-tiroksi (LT4) dosis subtoksis.
Dosis ditirasi mulai 2x25 ug (3 hari),
Dilanjutkan 3x25 ug (3-4 hari),
Bila tidak ada efek samping atau tanda toksis: dosis-menjadi 2x100 ug sampai 4-6 minggu,
kemudian evaluasi TSH (targe 0,1 0,3 ulU/L)
Supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan
Evaluasi TSH dipertahankan selama 6 bulan
Evaluasi dengan USG: apakah nodul berhasil mengecil atau tidak (berhasi bila
mengeci>50% dari volume awal)
- Bila nodul mengecil atau tetap L-tiroksin dihentikan dan diobservasi:
Bila setelah itu struma membesar lagi, maka L-tiroksin dimulai lagi (target TSH
0,1-0,3 ulU/L).
Bila setelah l-tiroksin dihentikan, struma tidak berubah, diobservasi saja.
- Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi obat dihentikan dan operasi
Tiroidektomi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi hasil PA:
Jinak:terapi dengan L-tiroksi:target TSH 0,5-3,0 ulU/L
Ganas terapi dengan L-tiroksin
Individu dengan risiko ganas tinggi:targe TSH<0,02-0,05 ulU/L
Individu dengan risiko ganas rendah:target TSH 0,05-0,1 ul/U/L

KOMPLIKASI
Umumnya tidak ada, kecuali ada infeksi seperti pada tiroiditis akut/subakut.

PROGNOSIS
Tergantung jenis nodul, tipe histopatologis.

WEWENANG
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Metabolik Endokrinologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

27
RS pendidikan: Departemen Patologi Klinik, Radiologi / Radiodiagnostik/ Kedokteran nuklir, Bedah
Tumor, Patologi Anatomik
RS non pendidikan : Bagian Radiologi,Bedah,Patologi Klinik,Patologi Anatomik

REFERENSI
1. Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. In:W aspadji S, et al, eds. Buku A jar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;.p. 757-65.
2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo HA W, Effendy S, Setiati
S, Gani RA , A lwi I, eds. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1997.
Jakrta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam; 1997.p.207-13
3. Subekti 1. Struma Nodosa Non-Toksi (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, A lwi 1, Maryantoro, Gani
RA , Mansjoer A ,eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakrta:Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999.187-9
4. Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003.
Jakarta, 18 Oktober 2003.
5. Jameson JL, W eetman A P. Disorders of the Thyroid Gland. In Braunwald E. Fauci A S. Kasper DL,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Harrison s Principles of Internal Medicine. 15th ed. New Y ork:
McGraw-Hill;2001.p.2060-86.

28
KISTA TIROID
PENGERTIAN
Kista tiroid adalah nodul kistik pada jaringan tiroid, merupakan 10-25% dari seluruh nodul
tiroid.Insidens keganasan pada nodul kistik kurang dibandingkan nodul solid. Pada nodul kistik kompleks
masih mungkin merupakan suatu keganasan. Sebagian nodul kistik mempunyai bagian yang solid.

DIAGNOSIS
Anamnesis
Sejak kapan benjolan timbul
Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
Cara membesarnya:cepat,atau lambat
Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya pembesaran
leher saja
Riwayat keluarga
Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda
Perubahan suara
Gangguan meelan
Sesak napas
Penurunan berat bada
Keluhan tirotoksikosis

Pemeriksaan fisik:
Umum
Lokal:
- Nodus tunggal atau majemuk, atau difus
- Nyeri tekan
- Konsistensi:kistik
- Permukaan
- Perlekatan pada jaringan sekitarnya
- Pendesakan atau pendorongan trakea
- Pembesaran kelenjar getah bening regional
- Pemberton s sign

Penilaian risiko keganasan:


Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostic penyakit tiroid jinak, tetapi tak
sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid:
Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difusa jinak
Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun.
Gejala hipotiroidisme atau hipertiroidisme.
Nyeri berhubungan dengan nodul.
Nodul lunak, mudah digerakkan.
Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan kearah keganasan tiroid:
Umur < 20 tahun atau > 70 tahun
Gender laki-laki
Nodul disertai disfagia,serak,atau obstruksi jalan napas
Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu-bulan)
29
Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa (juga meningkatakan insidens
penyakit nodul tiroid jinak)
Riwayat keluarga kanker tiroid medular
Nodul yang tunggal,berbatas tegas,keras,irregular dan sulit digerakkan paralisis pita suara,
Temuan limfadenopati servikal
Metastasis jauh (paru-paru, dll)

Langkah diagnostik awal: TSHs, FT4


Bila hasil : Non toksik Langkah diagnostik II:
Fungsi aspirasi kista dan BAJAH bagian solid dari kista tiroid

DIAGNOSIS BANDING
Kista tiroid, kista degenerasi, karsinoma tiroid

PEMERIKSAAN PENUNJANG
USG tiroid:
- Dapat membedakan bagian padat dan cair,
- Dapat untuk memandu BAJAH: menemukan bagian solid.
- Gambaran USG kista = kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik sonolusen, dinding tipis.
Sitologi cairan kista dengan prosedur sitospin.
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH): pada bagian yang solid.

TERAPI
Fungsi aspirasi seluruh cairan kista:
Bila kista regresi observasi
Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas rendah fungksi aspirasi dan observasi
Bila kista rekurens, klinis keecurigaan ganas tinggi operasi lobektomi

KOMPLIKASI
Tidak ada.

PROGNOSIS
Dubia ad bonam, tergantung tipe dan jenis histopatologinya.

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Metabolik Endokrinologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Patologi Anatomi, Bedah tumor
RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Patologi Anatomi, Bedah

30
REFERENSI
1. Kariadi SH KS. Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam W aspadji S, et al, eds. Buku A jar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;.p.757-65.
2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo HA W, Effendy S, Setiati
S. Gani RA , A lwi Leditors. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1997.
Jakarta:Departemen Ilmu Penyakit Dalam:1997.p.207-13.
3. Subekti I. Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani
RA , Mansjoer A ,editors. Pedoma Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakrta:Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI:1999.p. 187-9
4. Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003.
Jakarta, 18 Oktober 2003.

31
2.2

KARDIOLOGI

32
BRADIARITMIA

PENGERTIAN
Bradiaritmia adalah perlambatan denyut jantung di bawah 50 kali/menit yang dapat disebabkan
oleh disfungksi sinus node, hipersensitivitas/kelainan system persarafan dengan dan atau adanya gangguan
konduksi atriovetrikular. Dua keadaan yang sering ditemukan:
1. Gangguan pada sinus node (sick sinus syndrome)
2. Gangguan kondusksi atrioventrikular/blok AV (AV block):blok AV derajat satu, blok AV derajat dua,
blok AV total.

DIAGNOSIS
Gangguan pada sius node (sick sinus syndrome)
Keluhan:
Penurunan curah jantung yang bermanifestasi dalam bentuk letih, pening, limbung, pingsan
Kongesti pulmonal dalam bentuk sesak napas
Bila disertai takikardia disebut braditakiaritmia:terdapat palpitasi, kadang-kadang disertai angina
pectoris atau sinkop (pingsan)
Dapat pula menyebabkan kelainan/perubahan kepribadian, lupa ingatan, da emboli sistemik.

EKG:
EKG monitoring baik selama dirawat inap di RS maupun dalam perawatan jalan (ambulatory/holter
ECG monitoring), dapat menemukan kelainan EKG berupa braidikardia sinus persisten.

Blok AV
Blok AV Derajat Satu
Irama teratur dengan perpanjangan interval PR melebih 0,2 detik

Blok AV Derajat dua


- Mobitz tipe I (Wenckebach), Gelombang P bentuk normal dan irama atrium yang teratur,
pemanjangan PR secara progresif lalu terdapat gelombang P yang tidak dihantarkan, sehingga terlihat
interval RR memendek dan kemudian siklus tersebut berulang kembali
- Mobitz tipe II, Irama atrium teratur dengan gelombang P normal. Setiap gelombang P diikuti
gelombang QRS kecuali yang tidak dihantarkan dan bias lebih dari 1 gelombang P berturut-turut yang
tidak dihantarkan. Irama QRS bias teratur atau tidak teratur tergantung pada denyut yang tidak
dihantarkan. Kompleks QRS bias sempit bila hambatan terjadi pada berkas his, namun bias lebar
seperti pada blok cabang berkas bila hambatan ini pada cabang berkas.
- Blok AV Total (Complete AV Block): terjadi hambatan total konduksi antara atrium dan ventrikel.
Atrium dan ventrikel masing-masing mempunyai frekuensi sendiri (frekuensi ventrikel < frekuensi
atrium)
Keluhan : Sinkop,vertigo, denyut jantung (<50 kali/menit)
EKG : Disosisasi attrioventrikular Denyut atrium biasanya lebih cepat.

DIAGNOSIS BANDING
-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG 12 sdapan, Rekaman EKG 24 jam (Holter ECG Monitor), Ekokardiografi, Angiografi koroner,
Pemeriksaan elektrofisiologi (Electrophysiology Study)
33
TERAPI
Gangguan pada sinus node (sick sinus syndrome)
Pada keadaan gawat darurat berikan sulfas atropine (SA) 0,5-1 mg IV (total(0,04 mg/kgBB) jika
tidak ada respos berikan drip isoproterenol mulai dengna dosis I ug/menit sampai 10 ug/kg/menit secara
bertahap. Kemudian lanjutkan dengna pemasangan pacu jantung, sesuai dengan sarana yang tersedia
(transcutaneus temporary pace maker dan transvenous temporary pace maker). Pada penatalaksana
selanjutnya dilakukan pemasangan pacu jantung permanen.

Blok AV
Pengobatan hanya diberikan pada penderita yang simtomatik. Walaupun demikian etiologi
penyakit dan riwayat alamiah penyakut ikut menentukan tindakan selanjutnya. Bila penyebabnya obat-
obatan maka harus dihentikan. Demikian pula bila penyebabnya oleh karena factor metabolic yang
reversible maka factor-faktor tersebut juga harus dihilangkan (seperti hipotiroidisme, asidosis, gangguan
elektrolit dan sebagainya). Bila penyebab yang mendasarinya diketahui dan bila hal itu bersifat jantung
sementara) seperti halnya pada infark miokard akut inferior. Pada penderita yang simptomatik, perlu
dipasang pacu jantung permanen.

Blok AV total
Pada keadaan gawat darurat (simptomatik/asimptomatik) berikan sulfas atropine (SA) 0,5-1 mg IV
(total 0,04 mg/kgBB), atau isoproterenol. Bila obat tidak menolong pasang alat pacu jantung sementara,
selanjutnya dilakukan pemasangan pacu jantung permanen.

KOMPLIKASI
Sinkop, tromboemboli bila disertai takikardia, gagal jantung.

PROGNOSIS
Tergantung penyebab, berat gejala dan respon terapi

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultrasi pada
konsulen Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENGANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Kardiologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Medical High Care/ICCU
RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Patologi Klinik, ICCU

REFERENSI
1. Penggabean MM. Bradiaritmia Dalam In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A ,
editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI;1999.p.161-5.
2. K aro K S. Disritmia. In:Rilantono LI, Baraas F, K aro K S., Roebiono PS, editors. Buku A jar K ardiologi, Jakarta:
Balai Penerbit FK UI:1999.p.275-88.
3. Trisnohadi HB. K elainan Gangguan Iram a Jantung Y ang Spesifik. In: Sjaifoellah N , Waspadji S, Rachman M,
Lesmana LA , Widodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga, Jakarta:
Balai Penerbit FK UI;1996.p.1005-14.

34
EDEMA PARU AKUT (KARDIAK)
PENGERTIAN
Edema paru akut (kardiak) adalah Akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat
peninggian tekanan intravascular.

DIAGNOSIS
Riwayat sesak napas yang bertambah hebat dalam waktu singkat (jam atau hari) disertai gelisah,
batuk dengan sputum berbusa kemerahan.

Pemeriksaan Fisik :
Sianosis sentral.
Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
Ronki basah nyari di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru; kadang-kadang
disertai ronki kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkosparme sehingga disebut asma
kardial.
Takikardia dengan gallop S3.
Murmur bila ada kelainan katup.

Elektrokardiografi
Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab gagal
jantung.
Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bias ditemukan.

Laboratorium
Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.
Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.

Foto toraks
Opasifikasi hilus dan bagian basal paru kemudian makin ke arah apeks paru kadang-kadang timbul
efusi pleura.

Ekokardiografi
Gambaran penyebab gagal jantung: Kelainan katup, hipertrofi ventrikel (hipertensi), segmental
wall motion abnormality (penyakit jantung koroner), dan umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan
atrium kiri.

DIAGNOSIS BANDING
Edema paru akut non kardiak, emboli paru, asma bronkial.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin, ureum, kreatinin, analisis gas darah, elektrolit, urinalisis, foto toraks, EKG, Enzim
jantung (CK-CKMB, Troponin T), ekokardiogafi transtorakal, angiografi koroner.
TERAPI
1. Posisi duduk.
2. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk: pasien makin sesak,
takipnu, ronki bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan
aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan ederma secara adekuat :
dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan ventilator/bipep.
35
3. Infus emergensi.
4. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin per oral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan
darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5 ug/kgBB. Jika tidak
memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan nitroprusid. Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1
ug/kgBB/menit bila tidak memberi respons dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan
perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya
mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-
organ vital.
6. Morfin sulfat : 3-5 mg iv, dapat diulangi tiap 25 menit sampai total dosis 15 mg.
7. Diuretik : furosemid 40-80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau
dilanjutkan drip kontinu sampai dicapai produksi urin 1 ml/kgBB/jam.
8. Bila perlu (tekanan darah turun/tanda hipoperfusi): Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit atau dobutamin 2-10
ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respons klinis atau
keduanya.
9. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
10. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis atau tidak berhasil dengan terapi
oksigen.
11. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
12. Operasi pada komplikasi akut infark jantung akut, seperti regurgitasi, VSD, dan ruptur dinding
ventrikel atau korda tendinae.

KOMPLIKASI
Gagal napas.

PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala, dan respons terapi.

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada
konsulen Penyakit Dalam.
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam.

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Kardiologi.
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam.

36
UNIT TERKAIT
RS pendidikan : ICCU, Departemen Anestesi, Bedah toraks
RS non pendidikan: Bagian Anestesi, ICCU/ICU, Bedah

REFERENSI
Panggabean MM, Suryadipraja RM. Gagal Jantung A kut dan Gagal Jantung Kronik. In: Simadibrata M,
Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , MansjoerA , eds. Pedoman Diagno sis dan Terapi di Bidang llmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 140-
54 .

37
ENDOKARDITIS INFEKTIF

PENGERTIAN
Endokarditis infektif adalah Inflamasi pada endokard yang biasanya melibatkan katup dan
jaringan sekitarnya yang terkait dengan agen penyebab infeksi

DIAGNOSIS
Kriteria Klinis Duke untuk Endokarditis Infektif (EI):

EI definite:
Kriteria Patologis
Mikroorganisme : ditemukan dengan kultur atau histologi dalam vegetasi yang
mengalami emboli atau dalam suatu abses intrakardiak.
Lesi patologis : vegetasi atau terdapat abses intrakardiak yang dikonfirmasi dengan
histologis yang menunjukkan endokarditis aktif.
Kriteria klinis : menggunakan definisi spesifik, yaitu :Dua kriteria mayor atau satu
mayor dan tiga kriteria minor atau lima kriteria minor

Kriteria Mayor:
1. Kultur darah positif untuk endokarditis Infektif (EI)
A. Mikroorganisme khas konsisten untuk EI dari 2 kultur darah terpisah seperti tertulis di
bawah ini:
(i) Streptococci viridans, streptococcus bovis atau grup HACEK atau
(ii) Community acquired Staphylococcus aureus atau enterococci tanpa ada fokus
primer atau
B. Mikroorganisme konsisten dengan EI dari kultur darah positif persisten didefinisikan
sebagai:
(i) > 2 kultur dari sampel darah yang diambil terpisah > 12 jam atau
(ii) Semua dari 3 atau mayoritas dari > 4 kultur darah terpisah (dengan sample awal dan
akhir diambil terpisah > 1 jam).

2. Bukti keterlibatan kardial


A. Ekokardiografi positif untuk EI didefinisikan sebagai:
(i) Massa intrakardiak oscilating pada katup atau struktur yang menyokong, di jalur
aliran jet regurgitasi atau pada material yang diimplantasikan tanpa ada alternatif
anatomi yang dapat menerangkan, atau
(ii) Abses, atau
(iii) Tonjolan baru pada katup prostetik atau
B. Regurgitasi valvular yang baru terjadi (memburuk atau berubah dari murmur yang ada
sebelumnya tidak cukup)

Kriteria Minor:
1. Predisposisi : predisposisi kondisi jantung atau pengguna obat intravena.
2. Demam:suhu>38C.
3. Fenomena vascular : emboli arteri besar. infark pulmonal septik, aneurisma J. perdarahan
konjungtiva, dan lesi Janeway.
38
4. Fenomena imunologis : glomerulonefriti, Osier's nodes, Roth Spots, dan factor rheumatoid.
5. Bukti mirobiologi: kultur darah positif tetapi tidak raemenuhi kriteria mayor seperti tertulis
diatas atau bukti serologis infektif aktif oleh mikroorganisme konsisten dengan EI.
6. Temuan kardiografi: konsisten dengan EI tetapi tidak memenuhi kriteria seperti tertulis di atas.

El possible
Temuan konsisten dengan EI turun dari kriteria definite tetapi tidak memenuhi kriteria
rejected

EI Rejected
Diagnosis alternatif tidak memenuhi manifestasi endokardits atau resolusi manifestasi
endokarditis dengan terapi antibiotik selama < 4 hari atau Tidak ditemukan bukti patologis EI
pada saat operasi atau autopsi setelah terapi antibiotik > 4 hari.

DIAGNOSIS BANDING
Demam rematik akut dengan karditis, sepsis tuberkulosis milier, lupus eritematosus
sistemik, glomerulonefritis pasca streptokokus, pielonefritis,poliarteritis nodos reaksi obat.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin, EKG foto toraks, ekokardiografi, transesofageae ekokardiografi, kulti darah.

TERAPI
Prinsip terapi adalah oksigenasi, cairan intravena yang cukup, antipiretik, antibioti
Regimen yang dianjurkan (AHA)
1. Endokarditis katup asli karena Streptococcus viridans dan Str. Bovis :
Penisilin G kristal 12-28 juta unit/24 jam iv kontinu atau 6 dosis terbagi selar 4 minggu
atau seftriakson 2 g lkali/hari iv atau im selam 4 minggu
Penisilin G kristal 12-28 juta unit/24 jam iv kontinu atau 6 dosis terbagi sela 2 minggu
dengan gentamicin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selan minggu
Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24jam iv dalam 2 dosis terbagi, tic 2g/24 jam
kecuali kadar serum dipantau selama 4 minggu

2. Endokarditis katup asli karena Str. Viridans dan Str. Bovis relatif resisten terhj Penisilin G
Penisilin G kristal 18 juta unit/24 jam iv kontinu atau dalam 6 dosis te selama 4 minggu
dengan gentamicin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap: selama 2 minggu
Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam iv dalam 2 dosis terbagi. tk 2g/24 jam
kecuali kadar serum dipantau selama 4 minggu

3. Endokarditis karena Enterococci


PenisilinGkristal 18-30 juta unit/24 jam iv kontinu atau dalam 6 dosis terbagi selama 4-6
minggu dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 4-6 minggu
Ampisilin 12 g/24 jam/24 jam iv kontinu atau dalam 6 dosis terbagi selama 4 -6 minggu
dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 4-6 minggu
Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam iv dalam 2 dosis terbagi, tidak > 2g/24 jam
selama 4-6 minggu dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 4-6
minggu
39
4. Endokarditis karena Stafilokokus tanpa materi prostetik.
a. Regimen untuk Methicilin Succeptible Staphylococci
Nafsilin atau oksasilin 2 g IV tiap 4 jam selama 4-6 minggu dengan opsional ditambah
gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 3-5 hari

b. Regimen untuk pasien alergi beta laktam


Cefazolin (atau sefalosporin generasi I laian dalam dosis setara) 2 g iv tiap 8 jam selama
4-6 minggu dengan opsional ditambah gentamisin sulfat Img/kgBB imatau iv tiap 8 jam
selama 35 hari
Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam iv dalam 2 dosis terbagi, tidak > 2g/24
jam kecuali kadar serum dipantau selama4-6 minggu

Operasi dilakukan bila


Bakteremia yang menetap setelah pemberian terapi medis yang adekuat, gagal jantung
kongestif yang tidak responsif terhadap terapi medis, vegetasi yang menetap setelah emboli
sistemik, dan ekstensi perivalvular

KOMPLIKASI
Gagal jantung, emboli, aneurisma nekrotik, gangguan neurologi, perikarditis

PROGNOSIS
Tergantung beratnya gejala dan komplikasi

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan
konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi
RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Departemen Bedah
RS non pendidikan : Bagian Bedah

REFERENSI
A lwi I. Diagnosis dan Penatalaksanaan Endokarditis Infektif pada Penyalah guna Obat Intravena. In:
Setiati S, Sitdoyo A W , A lwi I, Ba.waz.ier LA , Soejono CH, Lydia A , et al, editors. Naskah Lengkap
Pertemuan Ilmiah Tahunan limit Penyakit Dalam 2000. Jakarta: Pusat Infonnasi dan Penerbitan Bagian
limit Penyakit Dalam FKUI ;2000. p. 171-86.

40
FIBRILASI ATRIAL

PENGERTIAN
FIBRILASI ATRIAL (FA) adalah Adanya irregularitas kompleks QRS dan gambaran
zelombang "P" dengan frekuensi antara 350-650 per menit.

DIAGNOSIS
Gambaran EKG berupa adanya irregularitas kompleks QRS dan gambaran gelombang P"
dengan frekuensi antara 350-650 per menit

Klasifikasi FA Berdasarkan ada tidaknya penyakit jantung yang mendasari:


1. Primer : bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung dan kelainan sistemik yang dapat
menimbulkan aritmia.
2. Sekunder : bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung tetapi ada kelainan sistemik yang
dapat menimbulkan aritmia

Klasifikasi FA berdasarkan waktu timbulnya Fibrilasi atrial (FA) serta kemungkinan er-
erhasilan usaha konversi ke irama sinus :
1. Paroksismal, bila FAberlangsung kurang dari 7 hari, berhenti dengan sendirinya tanpa
intervensi pengobatan atau tindakan apapun
2. Persisten, bila FA menetap lebih dari 48 jam, hanya dapat berhenti dengan intervensi
pengobatan atau tindakan.
3. Permanen bila FAberlangsung lebih dari 7 hari, dengan intervensi pengobatan AF tetap tidak
berubah

FA dapat pula dibagi menjadi:


1. FA Akut, bila timbul kurang dari 48 jam
2. FA Kronik, bila timbul lebih dari 48 jam

PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG bila perlu gunakan Holter Monitoring pada pasien AF paroksismal.
Foto toraks, ekokardiografi untuk mengetahui adanya penyakit primer
Pemeriksaan elektrofisiologi tidak diperlukan kecuali untuk kepentingan akademik

TERAPI
Fibrilasin Atrial Paroksismal
1. Bila asimptomatik, tidak diberikan obat antiaritmia, hanya diberi penerangan saja.
2. Bila menimbulkan keluhan yang memerlukan pengobatan dan tanpa kelainan jntung atau
disertai kelainan jantung minimal dapat diberi obat penyekat beta itau obat antiaritmia
kelas IC seperti propafenon atau flekainid.
3. Bila obat tersebut tidak berhasil, dapat diberikan amiodaron.
4. Bila dengan obat-obat itu juga tidak berhasil, dipertimbangkan terapi ablasi atau obat-obat
antiaritmia lain.
5. Bila disertai kelainan jantung yang signifikan, amidaron merupakan obat pilihan.

41
Fibrilasi atrial persisten
1. Bila FA tidak kembali ke irama sinus secara spontan kurang dari 48 jam, perlu dilakukan
kardioversi ke irama sinus dengan obat-obatan (farmakologis) atau elektrik tanpa pemberian
antikoagulan sebelumnya. Setelah kardioversi diberikan obat antikoagulan paling sedikit
selama 4 minggu. Obat antiaritmia yang dianjurkan kelas IC (propafenon dan flekainid)
2. Bila FA lebih dari 48 jam atau tidak diketahui lamanya maka pasien diberi obat antikoagulan
secara oral paling sedikit 3 minggu sebelum dilakukan kardioversi farmakologis atau elektrik.
Selama periode tersebut dapat diberikan obat-obat seperti digoksin, penyekat beta, atau
antagonis kalsium untuk mengontrol laju irama ventrikel. Alternatif lain pada pasien tersebut
dapat diberikan heparin dan dilakukan pemeriksaan TEE untuk menyingkirkan adanya
trombus kardiak sebelum kardioversi.
3. Pada FA persisten episode pertama, setelah dilakukan kardioversi tidak diberikan obat
antiaritmia profilaksis. Bila terjadi relaps dan perlu kardioversi pada pasien ini dapat
diberikan antiaritmia profilaksis dengan penyekat beta, golongan kelas IC (propafenon,
flekainid), sotalol atau amiodaron.

Fibrilasi Arial Permanen


1. Kardioversi tidak efektif
2. Kontrol laju ventrikel dengan digoksin, penyekat beta, atau antagonis kalsium.
3. Bila tidak berhasil dapat dipertimbangkan ablasi nodus AV atau pemasangan pacu jantung
permanen.
4. FAresisten, perlu pemberian antitromboemboli

KOMPLIKASI
Emboli, strok, trombus intrakardiak

PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan
konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Departemen Bedah toraks , ICCU, Anestesi
RS non pendidikan : ICCU, Departemen Anestesi, Bedah

42
REFERENSI
1. Ismail D. Fibrilasi A trial: A spek Pencegahan Terjadinya Stmt In: Setiati S, SudoyoA W , A lwi I,
BawazierLA , Kasjmir Y , MansjoerA , editors. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu
Penyakit Dalam 2001. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2000. p.97-114.
2. Karo KS. Disritmia. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo KS, Roebiono PS, editors.Buku A jar
Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI; 1999. p. 275-88.
3. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Y ang Spesifik. In: Sjaifoellah N, W aspadji S,
Rachman M, Lesmana LA , W idodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I,
edisi ketiga. Jakarta; Balai Penerbit FKUI ;1996. p. 1005-14.
4. Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro , Gani RA ,
Mansjoer A , eds. Pedoman Diagnosis dan Tempi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian limit Penyakit Dalam FKUI ;1999. p. 155-60.

43
GAGAL JANTUNG KRONIK

PENGERTIAN
Gagal jantung kronik merupakan Sindrom klinis yang kompleks akibat kelainan fungsi
atau struktural jantung yang mengganggu kemampuan jantung untuk berfungsi sebagai pompa

DIAGNOSIS
Anamnesis :
Dispnea d' effort; orthopnea; paroxysmal nocturnal dispnea; lemas; anoreksia dan mual;
gangguan mental pada usia tua

Pemeriksaan Fisik :
Takikardia, gallop bunyi jantung ketiga, peningkatan/ekstensi vena jugularis, refluks
hepatojugular, pulsus alternans, kardiomegali, ronkhi basah halus di basal paru, dan bisa meluas
di kedua lapang paru bila gagal jantung berat, edema pretibial pada pasien yang rawat jalan,
edema sakral pada pasien tirah baring. Efusi pleura, lebih sering pada paru kanan daripada paru
kiri. Asites sering terjadi pada pasien dengan penyakit katup mitral dan perikarditis konstriktif,
hepatomegali, nyeri tekan, dapat diraba pulsasi hati yang berhubungan dangan hipertensi vena
sistemik, ikterus, berhubungan dengan peningkatan kedua bentuk bilirubin, ekstremitas dingin,
pucat dan berkeringat.

KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria Framingham : Diagnosis ditegakkan bila terdapat paling sedikit satu kriteria
mayor dan dua kriteria minor

Kriteria Mayor Kriteria Minor


Paroxysmal nocturnal dispnea Edema ekstremitas
Distensi vena-vena leher Batuk malam
Peningkatan vena jugularis Sesak pada aktivitas
Ronki Hepatomegali
Kardiomegali Efusi pleura
Edema paru akut Kapasitas vital berkurang 1/3 dari
Gallop bunyi jantung III normal
Refluks hepatojugular positif Takikardia (> 120 denyut per menit)

Mayor atau minor


Penurunan berat badan > 4.5 kg dalam 5 hari terapi

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit paru : pneumonia. PPOK. asma eksaserbasi akut, infeksi paru berat
Penyakit mjal: gagal ginjal kronik. sindrom nefrotik
Penyakit hati: siro&is hepatis

44
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen dada : Pembesaran jantung, distensi vena pulmonaris dan redistribusinya ke
apeks paru (opasifikasi hilus paru bisa sampai ke apeks) , peningkatan tekanan vaskular
pulmonar, kadang-kadang ditemukan efusi pleura.
Elektrokardiografi :Membantu menunjukkan etiologi gagal jantung (infark, iskemia,
hipertrofi, dan Iain-lain) Dapat ditemukan low voltage, T inversi, QS, depresi ST, dan Iain
-lain

Laboratoratorium
1. Kimia darah (termasuk ureum, kreatinin, glukosa, elektrolit), hemoglobin, tes fungsi tiroid,
tes fungsi hati, dan lipid darah
2. Urinalisa untuk mendeteksi proteinuria atau glukosuria.

Ekokardiografi
Dapat menilai dengan cepat dengan informasi yang rinci tentang fungsi dan struktur
antung, katup dan perikard.Dapat ditemukan fraksi ejeksi yang rendah < 35-40% tfau normal,
kelainan katup (stenosis mitral, regurgitasi mitral, stenosis trikuspid itau regurgitasi trikuspid),
hipertrofi ventrikel kiri, dilatasi atrium kiri, kadang-kadang iitemukan dilatasi ventrikel kanan
atau atrium kanan, efusi perikard, tamponade, itau perikarditis

TERAPI
Non farmakologi
Anjuran umum:
a. Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan
b. Akti vitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa. Sesuaikan
kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan
c. Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang
d. Vaksinasi terhadap infeksi influensa dan pneumokokus bila mampu
e. Kontrasepsi dengan IUD pada gagal jantung sedang dan berat, penggunaan hormon dosis
rendah masih dapat dianjurkan.

Tindakan umum :
a. Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal
jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal
jantung ringan.
b. Hentikan rokok
c. Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya
d. Akti vitas fisik (latihan jasmani: jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda
statis 5 kali/ minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal
pada gagal jantung ringan dan sedang)
e. Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut

Farmakologi
a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit diuretik
regular dosis rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis normal dan
45
menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respons
tidak cukup baik dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau kombinasi
loop diuretik dan tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari
dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas
fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.

b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan pada gagal
jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis
rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.

c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian mulai dosis kecil,
kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung.
Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III.
Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metoprolol. Biasa digunakan
bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik.

d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat diguna kan bila ada kontraindikasi penggunaan
penghambat ACE

e. Kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat Memberi hasil yang baik pada pasien
yang intoleran dengan penghambat ACE dapat dipertimbangkan

f. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi sistolik
ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik,
penghambat ACE, penyekat beta.

g. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan em boli serebral


pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan
perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis dan
transient ischemic attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma ventrikel.

h. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau aritmia ventrikel
yang tidak menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali pada aritmia yang
mengancam nyawa. Antiaritmia kelas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk terapi
aritmia atrial dan tidak digunakan untuk mencegah kematian mendadak.

i. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk mengobati


angina atau hipertensi pada gagal jantung.

KOMPLIKASI
Syok kardiogenik, infeksi paru, gangguan keseimbangan elektrolit

PROGNOSIS
Tergantung klas fungsionalnya

46
WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Di visi Kardiologi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : ICCU / medical High Care
RS non pendidikan: ICCU / ICU

REFERENSI
1. PanggabeanMM, SuiyadiprajaRM. GagalJantungA kutdan GagalJantung Kronik. In: Simadibrata M,
Setiati S, A lwi I, Maryantoro , Gani RA , Mansjoer A , eds. Pedoman Diagnosis dan Tempi di Bidang
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
1999.p. 140-54.
2. A CC/A HA . A CC/A HA Guidelines for the Evaluation and Management of Chronic Heart Failure in
A dult: Executive Summary. A Report oj'The A merican College of Cardiology/ -.'nerican Heart
A ssociation Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise the 1995 Guidelines for the
Evaluation and Management of Heart Failure). Circulation ::-Jl: 104:2996-3007.

47
TAKIKARDIA ATRIAL PAROKSISMAL

PENGERTIAN
Takikardia atrial paroksismal adalah takikardia yang terjadi karena perangsangan yang
berasal dari AV node di mana sebagian rangsangan antegrad ke ventrikel sebagianke atrium

DIAGNOSIS
Gelombang P dapat negatif di depan kompleks QRS, terletak di belakang kompleks QRS
atau sama sekali tidak ada karena berada dalam kompleks QRS.Jarak R-R teraturKompleks QRS
langsing, kecuali pada rate ascendent aberrant conduction

PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG 12 sandapan
Rekaman EKG 24 j am
Pemeriksaan Elektrofisiologi
Ekokardiografi
Angiografi koroner
TEE (Transesofageal Echocardiografi)

TERAPI
1. Manipulasi saraf autonom dengan manuver valsava, eye ball pressure, pemijitan sinus
karotikus dan sebagainya
2. Pemberian obat yang menyekat node AV
a. Adenosin atau adenosin Tri Phosphate (ATP) IV. Obat ini harus diberikan secara
intrvena dan cepat (flush)
b. Verapamil intravena
c. Obat penyekat beta
d. Digitalisasi
Pilihan utama adalah ATP dan verapamil.

3. Bila sering berulang dapat dilakukan ablasi dengan terlebih dahulu EPS untuk
menentukan lokasi bypass tract atau ICD (Defibrillator Intra Cardial)

KOMPLIKASI
Emboli, kematian mendadak

PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan
konsultasi kepada dokter konsulen Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

48
UNIT YANG MENANGANI
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Di visi Kardiologi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : ICCU / medical High Care, Departemen Anestesi
RS non pendidikan: ICCU / ICU, Bagian Anestesi

REFERENSI
1. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Y ang Spesifik. In : Sjaifoellah N,
W aspadji S, Rachman M, Lesmana LA, W idodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilidl, edisi ketiga. Jakarta:Balai Penerbit FKUl ;1996. p. 1005-14.
2. Makmun, III. Gangguan Irama Jantung. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro .
Gani KA, MansjoerA, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUl; I999.p.
155-60.

49
PERIKARDITIS

PENGERTIAN
Perikarditis peradangan pada perikard parietalis, viseralis atau kedua-duanya, yang dapat
bermanifestasi sebagai : perikarditis akut, efusi perikard tanpa tamponade, efusi perikard dengan
tamponade, perikarditis konstriktif

DIAGNOSIS
Tergantung manifestasi klinis perikarditis :

Perikarditis akut
Sakit dada tiba-tiba substernal atau prekordial, yang berkurang bila duduk dan bertambah
sakit bila menarik napas (sehingga perlu dibedakan dengan pleuritis).Pada pemeriksaan fisik
ditemukan friction rub. EKG menunjukkan ST elevasi cekung (bedakan dengan infark jantung
akut dan repolarisasi dini). Foto jantung normal atau membesar

Tamponade
Pada fase awal terjadi peninggian tekanan vena jugularis dengan cekungan x prominen
dan hilangnya cekungan y (juga terlihat pada kateter vena sentral). Pada fase selanjutnya timbul
tanda Kusmaull (peninggian tekanan vena jugularis pada saat inspirasi), pulsus paradoksus
(penurunan tekanan darah > 12-15 mmHg pada inspirasi, terlihat pada arterial line atau
tensimeter). Penurunan tekanan darah. Umumnya tamponade disertai: pekak hati yang meluas,
bunyi jantung melemah, friction rub, takikardia.Foto toraks menunjukkan :
paru normal kecuali bila sebabnya kelainan paru seperti tumor
Jantung membesar membentuk kendi (bila cairan > 250 ml)
EKG low voltage, elektrikal alternans (gelombang QRS saja, atau P, QRS dan T)
Ekokardiografi : efusi perikard moderat sampai berat, swinging heart dengan kompresi
diastolik vena kava inferior, atrium kanan dan ventrikel kanan
Kateterisasi : peninggian tekanan atrium kanan dengan gelombang x prominen serta
gelombang y menurun atau menghilang. Pulsus paradoksus dan ekualisasi tekanan
diastolik di ke-4 ruang jantung (atrium kanan, ventrikel kanan, ventrikel kiridanPCW)

Perikarditis Konstriktif
Kelelahan, denyut jantung cepat, dan bengkak.
Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda gagal jantung seperti peningkatan tekanan vena
jugularis dengan cekungan x dan y yang prominen. hepatomegali, asites dan edema
Pulsus paradoksus (pada bentuk subakut)
End diastolic sound (knock) (lebih sering pada kronik)
Tanda Kusmaull (peninggian tekanan vena jugularis pada inspirasi) terutama pada yang
kronik.
Foto toraks: kalsifikasi perikard, jantung bisa membesar atau normal.
Echo CT Scan dan MRI bisa mengkonfirmasi foto toraks. Bila CT Scan/MRI
normal maka diagnosis perikarditis konstriktif hampir pasti sudah bisa disingkirkan.
Kateterisasi menunjukkan perbedaan tekanan atrium kanan, diastolik ventrikel kanan,
ventrikel kiri, dan rata-rata PCW < 5 mmHg. Gambaran dip dan platen pada tekanan
ventrikel.
50
DIAGNOSIS BANDING
Perikarditis akut: infark jantung akut, emboli paru, pleuropneumonia, diseksi aorta, akut
abdomen
Efusi perikard/tamponade: kardiomiopati dilatasi atau gagal jantung, emboli paru,
Perikarditis konstriktiva: kardiomiopati restriktif

PEMERIKSAAN PENUNJANG
KG, foto toraks, ekokardiografi (terutama bila tersangka pericardial efusion), Kateterisasi,
CT Scan, MRI

TERAPI
Perikarditis Akut
Pasien harus dirawat inap dan istirahat baring untuk memastikan diagnosis dan diagnosis
banding serta melihat kemungkinan terjadinya tamponade.
Simptomatik dengan aspirin 650 mg/4 jam atau OAINS indometasin 25- 50 mg/6 jam. Dapat
ditambahkan morfm 2-5 mg/6 jam atau petidin 25-50 mg/4jam, hindarkan steroid karena
sering menyebabkan ketergantungan. Bila tidak membaik dalam 72 jam, maka prednison 60-
80 mg/hari dapat dipertimbangkan selama 5-7 hari dan kemudian tapering off.
Cari etiologi/kausal

Efusi Perikard
Sama dengan perikarditis akut, disertai pungsi perikard untuk diagnostik

Tamponade Jantung
Perikardiosentesis perkutan
Bila belum bisa dilakukan perikardiosentesis perkutan, infus normal salin 500 ml dalam
30-60 menit disertai dobutamin 2-10 ug/kgBB/menit atau isoproterenol 2-20 ug/menit
Kalau perlu membuat jendela perikardial dengan :
a. Dilatasi balon melalui perikardiostomi jarum perkutan
b. Pembedahan (dengan mortalitas sekitar 15%) untuk membuat jendela perikardial dapat
dilakukan bila : tidak ada cairan yang keluar saat perikardiosentesis, tidak membaik
dengan perikardiosentesis, kasus trauma

Pembedahan yang dapat dilakukan :


1. Bedah sub-xyphoid perikardiostomi
2. Reseksi perikard lokal dengan bantuan video
3. Reseksi perikard anterolateral jantung

Pengobatan kausal : bila sebabnya antikoagulan, harus dihentikan; antibiotik,


antituberkulosis, atau steroid tergantung etiologi, kemoterapi intraperikard bila
etiologinya tumor.

Perikarditis Konstrikitiva
Bila ringan diberikan diuretika atau dapat dicoba OAINS
Bila progresif, dapat dilakukan perikardiektomi

51
KOMPLIKASI
Perikarditis akut: chronic relapsing pericarditis, efusi perikard, tamponade, perikarditis
konstriktiva
Efusi perikard/ tamponade: henti jantung, aritmia : fibrilasi atrial atau flutter, perikarditis
konstriktiva.
PROGNOSIS
Tergantung beratnya gejala dan komplikasi yang terjadi

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan
konsultasi kepada dokter konsulen Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : ICCU / medical High Care, Departemen Bedah
RS non pendidikan : ICCU / ICU, Bagian Bedah

REFERENSI
1. Ismail D, Panggabean MM. Perikarditis. In: Sjaifoellah N, W aspadji S, Rachman M, Lesmana LA ,
W idodo D, lsbagio H, etal, editors. Baku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisiketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUl ;1996.p. 1077-81.
2. Panggabean MM, Mansjoer H. Perikarditis. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro ,
Gani RA , Mansjoer A , editors. Pedoman Diagnosis dan Tempi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUl; 1999. p. 173-77.

52
SINDROM KORONER AKUT

PENGERTIAN
Sindrom koroner akut suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis
berupa perasaan tidak enak di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat skemia
miokard.Sindrom koroner akut mencakup:
1. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST
2. Infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST
3. Angina pektoris tak stabil (unstable angina pectoris)

DIAGNOSIS
Anamnesis
Nyeri dada tipikal (angina) berupa nyeri dada substernal, retrosternal, dan
prekordial.Nyeri seperti ditekan, ditindih benda berat, rasa terbakar, seperti ditusuk, rasa diperas
ian dipelintir. Nyeri menjalar ke leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula, dan
dapat juga ke lengan kanan. Nyeri membaik atau hilang dengan Kirahat atau obat nitrat, atau
tidak. Nyeri dicetuskan oleh latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Dapat
disertai gejala mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, dan lemas.

Elektrokardiogram
Angina pektoris tidak stabil : depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T,
kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu ada nyeri, tidak dijumpai gelombang Q
Infark miokard ST elevasi: hiperakut T, elevasi segmen ST, gelombang Q inversi
gelombang T
Infark miokard non ST elevasi: depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam.

Petanda Biokimia
CK,CKMB,Troponin-T,dll
Enzim meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal

DIAGNOSIS BANDING
Angina pektoris tak stabil: infark miokard akut
Infark miokard akut: diseksi aorta, perikarditis akut, emboli paru akut, penyakit dinding
dada, Sindrom Tietze, gangguan gastrointestinal seperti: hiatus hernia ian refluks
esofagitis, spasme atau ruptur esofagus, kolesistitis akut, tukak I lambung, dan
pankreatitis akut.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG
Foto rontgen dada
Petanda biokimia: darah rutin, CK, CKMB, Troponin T, dll
Profil lipid, gula darah, ureum kreatinin
Ekokardiografi
Tes Treadmill (untuk stratifikasi setelah infark miokard)
Angiografi koroner

53
TERAPI
Tirah baring di ruang rawat intensif jantung (ICCU)
Pasang infus intra vena dengan Nacl 0,9% atau dekstrosa 5%
Oksigenisasi dimulai dengan 2 liter/menit 2-3 jam, dilanjutkan bila sarurasi oksigen arteri
rendah (< 90%)
Diet: puasa sampai bebas nyeri, kemudian diet cair. Selanjutnya diet jantung.
Pasang monitor EKG secara kontinu

Atasi nyeri dengan


Nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi bila TD sistolik
< 90 mmHg), bradikardia (< 50 kali/menit), takikardia. atau
Morfin 2,5 mg (2-4 mg)intravena, dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis total 20 mg
atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg intravena.

Antitrombotik
Aspirin (160-345 mg), bila alergi atau intoleransi/ tidak responsif diganti dengan
tiklopidin atau klopidogrel.

Trombolitik dengan streptokinase 1,5 juta U dalam 1 jam atau aktivator plasmino gen
jaringan (t-PA) bolus 15 mg, dilanjutkan dengan 0,75 mg/kgBB (maksimal 50 mg) dalam jam
pertama dan 0,5 mg/kgBB (maksimal 35 mg) dalam 60 menit jika elevasi segmen ST > 0,1 mv
pada dua atau lebih sadapan ekstremitas berdampingan atau > 0,2 mv pada dua atau lebih sadapan
prekordial berdampingan, waktu mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam, usia < 75 tahun. Blok
cabang (BBB) dan anamnesis dicurigai infark miokard akut.

Antikoagulan Heparin direkomendasikan untuk pasien yang menjalani revaskularisasi


perkutan atau bedah, pasien dengan risiko tinggi terjadi emboli sistemik seperti infark miokard
anterior atau luas, fibrilasi atrial, riwayat emboli, atau diketahui ada trombus ventrikel kiri yang
tidak ada kontraindikasi heparin. Heparin diberikan dengan target aPTT 1,5-2 kali kontrol.Pada
angina pektoris tak stabil heparin 5000 unit bolus intravena, dilanjutkan dengan drip 1000
unit/jam sampai angina terkontrol dengan menyesuaikan aPTT 1,5-2 kali nilai kontrol. Pada
infark miokard akut yang ST elevasi > 12 jam diberikan heparin bolus intravena 5000 unit
dilanjutkan dengan infus selama rata-rata 5 hari dengan menyesuaikan aPTT 1,5-2 kali nilai
kontrol.

Pada infark miokard anterior transmural luas antikoagulan diberikan sampai saat pulang
rawat. Pada penderita dengan trombus ventrikular atau dengan diskinesi yang luas di daerah
apeks ventrikel kiri antikoagulan oral diberikan secara tumpang tindih dengan heparin sejak
beberapa hari sebelum heparin dihentikan. Antikoagulan oral diberikan sekurang-kurangnya 3
bulan dengan menyesuaikan nilai INR (2-3)

Atasai rasa takut atau cemas


Diazepam 3 X 2-5 mg oral atau IV

54
Pelunak tinja
Laktulosa (laksadin) 2 X 15 ml

Penyekat Beta diberikan bila tidak ada kontraindikasi


Penghambat ACE diberikan bila keadaan menizinkan terutama pada infark miokard akut yang
luas, atau anterior, gagal jantung tanpa hipotensi, riwayat infark miokard Antagonis
Antagonis kalsium : verapamil untuk infark miokard non ST elevasi atau angina rektoris tak
stabil bila nyeri tidak teratasi

Atasi komplikasi:
1. Febrilasi atrium
Kardioversi elektrik untuk pasien dengan gangguan hemodinamik berat atau iskemia
intraktabel
Digitalisasi cepat
Penyekat Beta
Diltiazem atau verapamil bila penyekat beta dikontraindikasikan
Heparinisasi

2. Fibrilasi ventrikel
DC Shock unsynchronized dengan energi awal 200 J, jika tak berhasil harus diberikan
shock kedua 200-300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J.

3. Takikardia ventrikel
VT polimorfik menetap (> 30 detik) atau menyebabkan gangguan hemodinamik : DC
Shock unsynchronized dengan energi awal 200 J, jika gagal harus diberikan shock kedua
200-300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J
VT monomorfik yang menetap diikuti anina, edema paru atau hiptensi harus diterapi
dengan DC shock synchronized energi awal 100 J. Energi dapat ditingkatkan jika dosis
awal gagal.
VT monomorfik yang tidak disertai angina, edema paru atau hipotensi dapat diberikan:
Lidokain bolus 1-15 mg/kg BB. Bolus tambahan 0,5- 0,75 mg/kg BB tiap 5-10 menit
sampai dosis loading total maksimal 3 mg/kgBB. Kemudian loading dilanjutkan dengan
infus 2-4 mg/menit (30-50 ug/kgBB/menit); atau Disopiramid: bolus 1-2 mg.kgBB dalam 5
-10 menit dilanjutkan dosis pemeliharaan 1 mg/kg BB/jam; atau Amiodaron 150 mg infus
selama 10-20 menit atau 5 ml/kgBB20-60 menit dilanjutkan infus tetap 1 mg/menit selama
6 jam dan kemudian infus pemeliha raan 0,5 mg/menit; atau Kardioversi elektrik
synchronized dimulai dosis 50 J (anestesi sebelumnya)

4. Bradiaritmia dan blok


Bradikardia sinus simtomatik (frekuensi jantung < 50 kali/menit disertai hipotensi, iskemia
aritmia ventrikel escape)
Asistol ventrikel
Blok AV simtomatik terjad pada tingkat nodus AV (derajat dua tipe 1 atau derajat tiga
dengan ritme escape kompleks sempit)
Terapi dengan sulfas atropin 0,5-2 mg. Isoproterenol 0,5-4 ug/menit bila atropin gagal,
sementara menunggu pacu jantung sementara
55
5. Gagal jantung akut, edema paru, syok kardiogenik diterapi sesuai standar pelayanan medis
mengenai kasus ini

6. Perikarditis
Aspirin (160-325 mg/hari)
Indometasin,
Ibuprofen
Kortikosteroid

7. Komplikasi mekanik
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel ditatalaksana
operasi.

KOMPLIKASI
1. Angina pektoris tak stabil : payah jantung, syok kardiogenik, aritmia, infark miokard akut.
2. Infark miokard akut (dengan atau tanpa ST elevasi) : gagal jantung, syok kardiogenik, ruptur
korda, ruptur septum, ruptur dinding bebas, aritmia gangguan hantaran, aritmia gangguan
pembentukan rangsang, perikarditis, sindrom dresler, emboli paru.

PROGNOSIS
Tergantung daerah jantung yang terkena, beratnya gejala, ada tidaknya komplikasi

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Kardiologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : ICCU / medical High Care
RS non pendidikan : ICCU / ICU

REFERENSI
1. Harun S, Mansjoer H. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Koroner A kut. In: Bawazier LA , A lwi
I, SyamA F, Gustaviani R, Mansjoer A , editors. Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit
Kardiovaskukir. Jakarta.Pusat Informasidan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKU1; 2001. p.
32-42.
2. Harun S, A lwi I, Rasyidi K. Infark Miokard A kut. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maiyantoro ,
Gani RA , Mansjoer A , editors. Pedoman Diagnosis dan Tempi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian limit Penyakit Dalam FKUI ;1999.p. 165-72.
3. Santoso T. Tatalaksana Infark Miokard A kut. In: Subekti I, LydiaA . Rumende CM, Syan i A F,
Mansjoer A , Suprohaita, editors. Prosiding Simpsosium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang
Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Ilmu Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI:
2000.p. 1-10.
56
RENJATAN KARDIOGENIK

PENGERTIAN
Renjatan kardiogenik adalah kegagalan sirkulasi akut karena ketidakmampuan daya
pompa jantung

DIAGNOSIS
Trias renjatan : tekanan darah < 90 mmHg, takikardia, dan oliguria

Pemeriksaan fisik
1. Tanda-tanda gagal jantung
2. Kemungkinan: komplikasi infark miokard akut seperti ruptur septum interventrikel atau
muskulus papilaris. Infark ventrikel kanan pada infark inferior dimana denyut aritung
rendah karena blok AV, tanda gagal jantung kanan dengan paru yang tidak
kongestif.Murmur : regurgitasi akut aorta, mitral, stenosis aorta berat, atau trombosis
katup prostetik

Elektrokardiografi
1. Tanda iskemia, infark, hipertrofi, low voltage
2. Aritmia: AVblok, bradiaritmia, takiaritmia

Foto toraks
Opsifikasi hilus dan bagian basal paru, kemudian makin ke arah apeks paru. Kadang-:ang
efusi pleura

Ekokardiografi
Kontraktilitas ventrikel kiri atau ventrikel kanan yang buruk, dilatasi ventrikel kiri I JCIU
atrium kiri atau arteri pulmonalis, Regurgitasi katup, Miksoma atrium, Efusi prikard dengan
tamponade, Kardiomiopati hipertrofik, Perikarditis konstriktiva

DIAGNOSIS BANDING
Syokhipovolemik
Syok obstruktif (emboli paru, tension pneumotoraks)
Syok distributif (syok anafilaksis, sepsis, toksik, overdosis obat
Infark jantung kanan

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin, ureum, kreatinin, AGD, elektrolit, foto toraks, EKG, Enzim jantung (CK-E
K.MB, Troponin T), Angiografi koroner

TERAPI
1. Posisi duduk bila ada edema paru kecuali hipotensi berat
2. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk: pasien
makin sesak, takipnu. ronki bertambah, Pa02 tidak bisa dipertahankan > 60 mmlls dangan O,
konsentrasi dan aliran tinagi, retensi CO,, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan
edema secara adekuat: dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan ventilator
57
3. Infus emergensi
4. Bila ada tension pneumotoraks segera diidentifikasi dan ditatalaksana untuk dekompresi
dengan chest tube torakotomi
5. Atasi segera aritmia dengan obat atau DC
6. Jika ada defisit volume yang ikut berperan berikan normal salin 250-500 ml kecuali ada
edema paru akut. Jika terapi cairan gagal pasang kateter Swan Ganz.
7. EKG prekordial kanan untuk deteksi gagal jantung kanan bila ada infark akut inferior
8. Penilaian cukup tidaknya volume paling baik dengan kateter Swan Ganz untuk mendapatkan
PAWP. Jika pemberian cairan kontraindikasi atau tidak efektif berikan vasopressor untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik 100 mmgHg. Dopamin dimulai dengan 5
ug/kgBB/menit dititrasi sampai tercapai target mempertahankan tekanan darah atau sampai 15
ug/kgBB/menit. Tambahkan norepinefrin bila tekanan darah < 80 mmgHg dengan dosis 0,1 -
30 ug/kgBB/ menit. Jika tidak respons dengan dopamin dapat juga ditambahkan dobutamin
dengan dosis titrasi 2,5 -20 ug/kgBB/menit. Atau milrininon/amrinon
9. IABP (Intra Aortic Ballon Pump) bila tidak responsif dengan terapi adekuat I sambil
menunggu tindakan intervensi bedah.
10. Jika tekanan darah sudah stabil dapat diberikan vasodilator untuk mengurangi I afterload dan
memperbaiki fungsi pompa terutama berguna pada : hipertensi berat, edema paru,
dekompensasi katup. Nitrolgliserin sublingual atau intravena.
11. Nitrogliserin peroral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 I mmHg
bisa diberikan nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil
memuaskan maka dapat diberikan nitroprusid. Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/
menit bila tidak memberi respons dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan
klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai
tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ
vital.
12. Bila perlu: Diberikan Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit atau dobutamin 2-10 ug/kgBB/ menit
untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respons klinis
13. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard
14. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis atau tidak berhasil dengan
terapi oksigen
15. 15. Atasi aritmia atau gangguan konduksi .
16. Operasi pada komplikasi akut infark jantung akut seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding
ventrikel atau korda tendinae

KOMPLIKASI
Gagal napas

PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

58
UNIT YANG MENANGANI
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: ICCU / medical High Care, Departemen Bedah toraks / Jantung.
RS non pendidikan: ICCU /ICU, Bagian Bedah, Anestesi

REFERENSI
1. Panggabean MM, Suryadipraja RM. Gagal Jantung Akut dan Gagal Jantung Kronik. In:
Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gam RA, Mansjoer A, editors. Pedoman
Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ,1999. p. 140-54.
2. Trisnohadi HB. Syok kardiogenik. In: Prosiding Simpsosium Penatalaksanaan Kedaruratan di
Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Ilmu Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2000.p. 11-16.
3. Harun S, Mansjoer H. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut. In: Bawazier
LA, Alwi I, Syam AF, Gustaviani R, Mansjoer A, editors. Prosiding Simposium Pendekatan
Holistik Penyakit Kardiovaskular. Jakarta:Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2001. p. 32-42.

59
FIBRILASI VENTRIKULAR

PENGERTIAN
Fibrilasi ventrikular adalah kelainan irama jantung dengan tidak ditemukan depolarisasi
ventrikel yang terorganisasi sehingga ventrikel tidak mampu berkontraksi sebagai suatu kesatuan
dengan irama yang sangat kacau serta tidak terlihat gelombang P, QRS maupun T

DIAGNOSIS
EKG: kompleks QRS sudah berubah sama sekali, amplitudo R sudah mengecil sekali.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG 12 sandapan, rekaman EKG 24 jam, ekokardiografi, angiografi koroner

TERAPI
1. DC shock dengan evaluasi dan shock sampai 3 kali jika perlu dimulai dengan 200 Joule,
kemudian 200-300 Joule dan 360 Joule.
2. Resusitasi jantung paru selama tidak ada irama jantung yang efektif (pulsasi di pembuluh
nadi besar tidak teraba).
3. Bila teratasi penatalaksanaan seperti takikardia ventrikular.

KOMPLIKASI
Emboli paru, emboli otak, henti jantung

PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam -Divisi Kardiologi
RS non pendidikan: Bagian llmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : ICCU / medical High Care ' RS non pendidikan: ICCU /ICU

REFERENSI
1. Trisnohadi MB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Y ang Spesifik. In: Sjaifoellah N, W aspadji S,
Rachman M, Lesmana LA , W idodo D, Isbagio H. et al, editors. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I,
edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUl ;1996. p. 1005-14.
2. Sfakmun LH. Gangguan Iraina Jantung. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maiyantoro, Gain RA ,
MansjoerA , editors. Pedoman Diagnosis dan Tempi di Bidang limit Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI; 1999. p 155-60.

60
TAKIKARDIA VENTRIKULAR

PENGERTIAN
Takikardia ventrikular adalah kelainan irama jantung berupa tiga atau lebih kompleks
yang berasal dari ventrikel secara berurutan dengan laju lebih dari 100 per menit.

DIAGNOSIS
EKG: frekuensi kompleks QRS meningkat, 150-200 kali/menit, kompleks QRS melebar,
hubungan gelombang P dan kompleks QRS tidak tetap

DIAGNOSIS BANDING
Supraventrikular takikardia dengan konduksi aberans

PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG 12 sandapan, Rekaman EKG 24 jam, Ekokardiografi, Angiografi koroner,
Pemeriksaan elektrofisiologi

TERAPI
Atasi penyakit dasar : bila iskemia maka dilakukan revaskularisasi koroner, bila payah
jantung maka diatasi payah jantungnya
Pada keadaan akut:
- Bila mengganggu hemodinamik : dilakukan DC shock
- Bila tidak mengganggu hemodinamik : dapat diberikan antiaritmia dan bila tidak berhasil
dilakukan DC shock

DC Shock diberikan dan dievaluasi sampai 3 kali (200 Joule, 200-300 Joule, 360 Joule
atau bifasik ekuivalen) jika perlu. Antiaritmia yang diberikan : lidokain atau amiodaron. Lidokain
diberikan mulai dengan bolus dosis 1 mg/kgBB (50-75 mg dilanjutkan dengan rumatan 2-4
mg/kgBB). Bila masih timbul bisa diulangi bolus 50mg/kgBB. Untuk amiodaron dapat diberikan
15 mg/kg BB bolus 1 jam dilanjutkan 5 mg/kg BB bolus /drip dalam 24 jam sampai dengan 1000
mg/24jam.

Untuk jangka panjang


Bila selama takikardia tidak terjadi gangguan hemodinamik maka dapat dilakukan
tindakan ablasi kateter dari ventrikel kiri maupun ventrikel kanan. Hal ini terutama untuk
ventrikular takikardia reentran cabang berkas. Bila selama takikardia terjadi gangguan
hemodinamik perlu dilakukan tindakan konversi dengan defibrilator, kalau perlu pemasangan
defibrilator jantung otomatik.

KOMPLIKASI
Emboli paru, emboli otak, kematian

PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi

61
WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNITTERKAIT
RS pendidikan : ICCU / medical High Care
RS non pendidikan: ICCU / ICU

REFERENSI
1. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Y ang Spesifik. In: Sjaifoellah N, W aspadji S,
Rachman M, Lesmana LA , W idodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I,
edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUl; 1996. p. 1005-14.
2. Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi 1, Maryantoro, Jani RA ,
MansjoerA , editors. Pedoman Diagnosis dan Tempi di Bidang Ilmu Penyakit Z'jlam. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam cKUI;1999.p 155-60.

62
EKSTRASISTOL VENTRIKULAR

PENGERTIAN
Ekstrasistol ventrikuler adalah suatu kompleks ventrikel premature timbul secara dini di salah
satu ventrikel akibat cetusan dini dari suatu fokus yang otomatis atau melalui mekanisme reentri.

DIAGNOSIS
P sinus biasanya dalam komleks QRS, segmen ST atau gelombang T,kopleks QRS muncul lebih
awal dari seharusnya,QRS melebar (> 0,12 detik),gambaran QRS wide and bizarre, segmen ST
dan gelombang T berlawanan arah dengan kompleks QRS, bila karena mekanisme reentri maka
interval antara kompleks ekstrasistol ventrikel akan selalu sama. Bila berbeda maka asalnya dari
focus ventrikel yang berbeda

PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG 12 sandapan,rekaman EKG 24 jam,ekokardiografi,angiografi koroner
Terapi
Tidak perlu diobati jika jarang,timbl pada pasien tanpa/tidak dicurigai kelainan organic
Perlu pengobatan bila terjadi pada kedaan iskemiamiokard akut,bigemini,trigemini,atau
multifocal,alvo ventrikel.
Koreksi gangguan elektrolit,gangguan keimbangan asam basa, dan hipoksia
Obat: xilokain intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB dilanjutkan infs 2-4 mg/menit.Obat
alternative: prokainamid,disopiramid,amiodaron,meksiletin.Bila pengobatan tidak perlu
segera, obat-obat ersebut dapat diberikan secara oral

KOMPLIKASI
VT/VF,kematian mendadak

PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi

WEWENANG
RS pendidikan : dOKTERsPESIALIS Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Kardiologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : ICCU/medical High Care
RS non pendidikan: ICCU/ICU

REFERENSI
Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Y ang Spesifik. In: Sjaifoellah N, W aspadji S,
RachmanM, Lesmana LA , W idodo D, Isbagio H,et al, editors. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I,
edisi ketiga, Jakarta: Balai Penerbit FKUI;1996.p.1000-14.

63
2.3

PULMONOLOGI

64
HEMOPTISIS

PENGERTIAN
Hemoptisis adalah ekspektoris darah dari saluran napas. Darah bervariasi dari dahak disertai
bercak/lapisan darah hingga batuk berisi darah saja. Batuk darah masif adalah batu darah lebih
dari 100 mL hingga lebih dari 600 mL darah dalam 24 jam

DIAGNOSIS
Anamnesis
- Batuk, darah bewarna merah segar , bercampur busa
- Batuk sebelumnya,dahak(jumlah,bau penampilan),demam sesak, nyeri ada, riwayat
penyakit paru, penurunan berat badan, anoreksia
- Penyakit komorbid,riwayat penyakit sebelumnya
- Kelainan perdarahan, penggunaan obat antikoagulan/obat yang dapat menginduksi
trombositopenia
- Kebiasaan: merokok
Pemeriksaan fisik
- Orofaring,nasofaring: idak ada sumber perdarahan
- Paru: ronk basah atau kering,pleural friction rub
- Jantung: tanda-tanda hipertensi pulmonal, mitral stenosis, gagal jantung
Laboratorium
- DPL, LED, ureum, kreatinin, urin lengkap
- Hemoptisis(aPTT): bila perlu
- Sputum: pemeriksaan BTA langsung dan kultur, pewarnaan Gram,kultur MOR
Bronkoskopi: Menentukan lokasi sumber perdarahan dan diagnosis
CT scan toraks: Menemukan bronkiektasi, malformasi AV

DIAGNOSIS BANDING
Sumber trakeobronkial:
- Neoplasma ( karsinoma bronkogenik,tumor metastasis endobronkial,dll)
- Bronkitis(akut dan kronik)
- Bronkiektasis
- Bronkiolitiasis
- Trauma
- Benda Asing
Sumber parenkim paru:
- Tuberkulosis paru
- Pneumonia
- Abses paru
- Mycetoma(fungus ball)
- Sindrom Goodpasture
- Granulomatosis Wegener
- Pneumonitis lupus
- Sumber vascular
- Peningkatan tekanan vena pulmonal (stenosis mitral)
65
- Emboli paru
- Malformasi AV
- Hematemesis
- Perdarahan nasofaring
- Koagulopati, pengobatan trombolitik/antikoagulan

Pemeriksaan penunjang
Foto toraks
Laboratorium:
- DPL, LED, ureum, kreatinin, urine lengkap
- Hemostasis: bila perlu
- Sputum: pemeriksaan BTA,pewarnaan Gram, kultur MOR
Bronkoskopi: bila perlu
CT Scan toraks: bila perlu

TERAPI
Hemoptisis massif:
Tujuan Terapi adalah mempertahankan jalan napas, proteksi paruyang sehat, menghentikan
perdarahan
Istirahat baring, kepala direndahkan tubuh miring ke sisi sakit
Oksigen
Infuse,bila perlu transfuse darah
Medikamentosa
- Antibiotikka
- Kodein tablet untuk spresi batuk
- Koreksi koagulopati; Vitamin K intravena
Bronkoskopi: diagnostik dan terapeutik topical(bilas air es,intilasi epinefrin)
Intubasi selektif pada bronkus paru yang tidak berdarah(bila perlu)

Indikasi operasi pada pasien batuk darah massif:


Batuk darah 600cc/24jam, dan pada observasi tidak berhenti
Batuk darah 100-250cc/24jam,hb< 10 g/dL, dan pada observasi tidak berhenti
Batuk darah 100-250 cc/24jam, Hb>10 g/dL, dan pada observasi 48 jam tidak berhenti

Hemoptisis non-masif:
Tujuan terapi adalah mengendalikan penyakit dasar.
Terapi konservatif suatu penyakit dasar

KOMPLIKASI
Asfiksia, atelektasis, anemia

PROGNOSIS
Tergantung pada penyebabnya

66
WEWENANG
RS pendidikan : Dokter spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penakit Dalam
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Paru

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Departemen Bedah/Toraks, Radiologi, Patologi Klinik
RS non pendidikan : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Paru

REFERENSI
1. R Uyainah A . Hemoptisis. In: Simadibrata M,Setiani S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A ,
editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999.p.215-6.
2. A pproach to the patient. In: Fishman A P, Elias JA , Fishman JA . Grippi MA , Kaiser LR, Senior
RM,editors. Fishman s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders 3nd ed.New Y ork: McGraw-
Hill;2002.p. 16-21.
3. W einberg SE, Braunwald E. Cough and Hemoptysis. In: Braunwald E, Fauci A S, Kasper DL, Hauser
SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison s Principles of internal medicine.15th ed. New Y ork: McGraw-
Hill;2001.p.203-7.

67
EFUSI PLEURA

PENGERTIAN
Efusi pleura adalah adanya cairan di rongga pleura>15 ml, akibat ketidakseimbangan gaya
Starling, abnormalitas struktur endotel dan mesotel,drainase limpatik terganggu dan abnormalitas
side of entry( defek diafragma)

Tipe efusi pleura


1. Efusi transudatif: cairan oleura bersifat transudat (kandungan konsentrasi protein atau
molekul besar lain rendah). Efusi transudatif terjadi karena perubahan factor sistemik yang
mempengaruhi pembentukan dan absorbs cairan pleura
Penyebab:
Gagal jantung Kongestif
Sindrom nefrotik
Sirosis hati
Sindrom meigs
Hidronefrosis
Dialysis peritoneal
Efusi pleura maligna/para maligna: karena atelektasis pada obstruksi bronchial, atau
stadium awal obstruksi limfatik
2. Efusi eksudatif: cairan pleura bersifat eksudat (konsentrasi protein lebih tinggi dari transudat).
Efusi eksudatif terjadi karena perubahan factor local yang mempengaruhi pembentukan dan
absorpsi cairan pleura.
Penyebab
Tuberkulosis
Efusi parapneumonia: efusi pada pneumonia
Keganasan: metastasis(karsinoma paru,kanker mammae, limfoma, ovarium,dll),
mesothelioma
Emboli paru
Penyakit abdomen: penyakit pancreas, abses intraabdominal, hernia diafragmatika
Penyakit kolagen(LES,dll)
Trauma
Chylothorax
Uremia
Radiasi
Sindrom Dressler
Pasca CABG
Penyakit Pleura di induksi obat: amiodarone, bromocriptine,
Penyakit pericardium

Chylothoraks : timbul bila terjadi disrupsi ductus thoracicus dan akumulasi chyclus darah tepi
keadaan ini disebabkan trauma atau rupture pembuluh darah atau tumor.
Efusi pleura maligna: dapat ditemukan sel-sel ganas yang terbawa pada cairan pleura atau
ditemukan pada jaringan pleura saat biopsy pleura
Efusi paramaligna: efusi yang disebabkan keganasan, tetapi sel-sel neoplasma tidak dapat
ditemukan pada cairan leura atau jaringan pleura. Efui paramalgna dapat berupa cairan transudat
68
DIAGNOSIS
Anamnesis:
Nyeri, Sesak, Demam

Pemeriksaan Fisik
Restriksi ipsilateral pada pergerakan dinding dada:
Bila>300 mL cairan:
Bagian bawah/daerah cairan:
Perkusi : redup
Fremitus taktil dan fokal : menghilang
Suara napas : melemah s.d. menghilang,fremitus(saat awal)
Trakea : terdorong ke kontralateral
Di atas dari cairan : penekanan paru/konsolidasi

Foto torak
PA: sudut kostofrenikus tumpul (>200mL cairan)
Lateral: sudut kostofrenikus tumpul (>200mL cairan)
PA/lateral: gambaran perselubungan homogeny menutupi struktur paru bawah, biasanya
relative radioopak, permukaan atas cekung

USG: menentukan adanya dan lokasi cairan di rongga pleura, membimbing aspirasi efusi
erlokulasi(terutama bila ketebalan efusi<10mm atau terlokulasi).

CT scan(bila perlu) : menunjukkan efusi yang belum terdeteksi dengan radiologi konvensional,
memperlihatkan parenkim paru, identiikasi penebalan pleura dan kalsifikasi karena paparan
asbestosis, membedakan bses paru perifer dengan empyema terlokulasi

Pungsi pleura(torakosentesis) dan analisis cairan pleura: melihat komposisi cairan pleura dan
membandingkan komposisi cairan pleura dengan darah.
Dinilai secara:
Makroskopis
Transudat = jernih, sedikit kekuningan
Eksudat = warna lebih gelap, keruh
Empiema = opak , kental
Efusi kaya kolesterol = berkilau seperti satin
Efusi chylous = seperti susu
Mikroskopis:
Sel leukosit <1.000/mm 3 : transudat
Sel leukosit meningkat, predominasi limfosit matur: neoplasma, limfoma,TBC
Sel leukosit predominasi PMN: pneumonia,pancreatitis

Kimiawi
69
Potein
LDH
Cairan disebut eksudat bila memenuhi salah satu dari 3 kriteria:
- Rasio kadar protein total cairan pleura/serum>0,5
- Rasio kadar LDH cairan pleura/serum>0,6
- Kadar LDH> 200 IU atau > 2/3 batas atas nilai normal serum
Jika efusi pleura eksudat,selanjutnya diperiksakan
- Kadar glukosa
- Kadar amylase
- PH
- Hitung jenis
- Kadar Lipid: trigliserida
- Pemeriksaan mikrobiologi dan sitologi
- Amilase
- Tes Bakteriologi: pewarnaan Gram,kultur MOR,pemeriksaan BTA langsung dan Kultur
BTA
- Sitologi

DIAGNOSIS BANDING
Transudat,eksudat,chylothorax,empiema(lihat di atas)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks PA, lateral dan lateral dekubitus
Analisis cairan pleura
Pemeriksaan cairan pleura: BTA langsung, kultur BTA, kultur mikroorganisme+ resistensi
Sitologi cairan pleura(dengan atau tanpa cystopin)
USG toraks
CT scan

TERAPI
Efusi karena gagal jantung
Diuretik
Torakosentesis diagnostic bila:
- Efusi menetap terapi diuretik
- Efusi unilateral
- Efusi bilateral, ketinggian caira berbeda bermakna
- Efusi+ febris
- Efusi + nyeri dada pleuritik

Efusi Parapneumonia/empiema
Torakosentesis+ Antibiotika drainase(lihat lampiran algoritme)

Efusi pleura karena pleuritis tuberkulosis


Obat anti tuberculosis (minimal 9 bulan) + kortikosteroid dosis 0,75-1 mg/kgBB/hari selama 2-3
minggu, setelah ada respon diturunkan bertahap + torakosentesis terapeutik, bila sesak atau efusi
>tinggi dari sela iga III.
70
Efusi Pleura Keganasan
Drainase dengan chest tube+ pleurodesis kimiawi. Kandidat yang baik untuk pleurodesis ialah:
- Terjadi rekurens yang cepat
- Angka harapan hidup: minimal beberapa bulan
- Pasien tidak debibilitasi
- Cairan pleura dengan pH>7.30
Alternatif pasien yang tidak dapat dilakukan pleurodesis ialah pleuroperitoneal shunt
Terapi kanker paru(lihat PPM kanker paru)
- Kemoterapi sistemik pada limfoma, kanker mammae dan karsinoma paru small cell
- Radioterapi pada limfoma dan chylothorax limfomatous dengan keteribatan KGB
mediastinum
Pasien dengan lama harapan hidup pendek atau keadaan buruk: torakosentesis terapeutik
periodik

Chylothoraks
Chest tube/thoracostomy sementra, selanjutnya dipasang pleuroperitoneal shunt

Hemotoraks
Chest tube/thoracostomy, Bil perdarahan >200 ml/jam, pertimbangkan torakotomi

Efusi karena penyebab lain;


Atasi penyakit primer

Komplikasi
Efusi pleura berulang, efusi pleura maligna

PROGNOSIS
Dubia : tergantung penyebab,dan penyakit komorbid
Prognosis buruk pada efusi pleura maligna

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen Ilmu penyakit dalam-Divisi Pulmunologi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Paru

71
UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Departemen bedah/toraks, Radiologi, Patologi,Anatomi, Mikrobiologi Klinik

REFERENSI
1. Uyainah A . Efusi Pleura In: Simadibrata M. Setiati S,A lwi I,Maryantoro, Gani RA ,Mansjoer A ,
editors. Pedoman Diagnosis dan terapi di bidang Ilmu Penyakit dalam Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilm Penyaki Dalam FKUI. 1999:210-1.
2. Rosenbluth DB. Pleura Effusions: Nonmalignant anf Malignant. In: Fishman A P, Elias JA , Grippi MA ,
Kaiser LR, Senior RM,editors. Fishman s Manual of Pulmonary Diseases and disorders.3rd ed. New
Y ork: Mc-Graw Hill,2002: 487-506.
3. Light RW . Disorders Of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm. In: Braunwald E, Fauci A S, Kasper
DI, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison s Principles of Internal Medicine.15th ed. New Y ork:
McGraw-Hill,2001: 1513-6.

72
PNEUMOTORAKS

PENGERTIAN
Pneumotoraks adalah akumulasi udara di rongga pleura disertai kolaps paru. Pneumotoraks
spontan: terjadi tanpa trauma atau penyebab jelas:
Pneumotoraks spontan primer: Pada orang sehat.
Faktor risiko : merokok
Penyebab : umumnya rupture bullae
Pneumotoraks spontan sekunder: pada penderita PPOK, tuberculosis paru,asma,cystic fibrosis,
pneumonia pneumocystis carinii,dll.
Pneumotoraks traumatic adalah pneumotoraksyang didahului trauma, termasuk: biopsi
transtorakal, ventilasi mekanik, pemasangan kateter vena sentral,torakosentesis, biopsi
transbronkhial,dll.
Menurut fistulanya, dibagi atas:
1. Pneumotoraks ventil
2. Pneumotoraks terbuka
3. Pneumotoraks tertutup

DIAGNOSIS
Gejala: nyeri dada,akut, terlokalisir, dipsnea(pada pneumotoraks ventil: tiba-tiba, makin hebat),
batuk, hemoptisis
Pemeriksaan Fisik
Takipneu
Sisi terkena(ipsilateral)
- Statis: lebih menonjol
- Dinamis: pergerakan berkurang/tertinggal
- Fremitus: menghilang
- Perkusi: hipersonor
- Auskultasi: suara napas melemah-menghilang
Tanda pneumotoraks tension:
- Keadaan umum sakit berat
- Denyut jantung> 140x/m
- Hipotensi
- Takipneu,pernapasan berat
- Sianosis
- Diaforesis
- Deviasi trakea ke sisi kontralateral
- Distensi vena leher

73
Foto toraks:
Tepi luar pleura viseral terpisah dari pleura parietal oleh ruagan lusen
PA tegak pneumotoraks kecil: tampak ruangan antara paru dan dinding dada pada apeks.
Bila perlu foto saat ekspirasi: mediastinal shift, depresi diafragma, ekspansi rib cage

CT Scan: membedakan pneumotoraks terlokulasi dari kista atau bullae AGD : hipoksemia,
mungkin disertai hipokarbia (karena hiperventilasi) atau hiperkarbia.

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit tromboemboli paru, pneumonia, infark miokardium, PPOK eksaserbasi akut, efusi
pleura, kanker paru

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks CT scan toraks
Analisis gas darah : bila diperlukan

TERAPI
Pneumotoraks unilateral kecil (< 20 %) dan asimtomatik: observasi, foto toraks serial.
Aspirasi: anestesi lokal di sela iga II anterior (garis midklavikula) aspirasi dengan kateter 16F
atau 18F, hingga tidak ada gas lagi keluar.
Jika tidak resolusi dengan aspirasi atau volume udara besar: konsul Bagian Bedah/Subbagian
Bedah Toraks untuk pertimbangan pemasangan thoracostomy tube. Tube disambungkan ke
water sealed chamber, dapat disertai suction untuk 24 jam pertama atau selama masih ada
kebocoran udara. Setelah 24 jam tidak terjadi pneumotoraks lagi: tube dapat dicabut.
Jika pneumotoraks rekurens:
- Pleurodesis kimiawi dengan zat iritan terhadap pleura, atau:
- Konsul Bagian Bedah / Subbagian Bedah Toraks untuk pertimbangan:
Pleurodesis mekanik (abrasi permukaan pleura parietal atau stripping pleura parietal),
atau
Torakoskopi, atau Open thoracotomy.

Indikasi:
- Kebocoran udara memanjang,
- Reekspansi paru tidak sempurna
- Bullae besar
- Risikopekerjaan

Indikasi relatif:
- Pneumotoraks tension
- Hemopneumotoraks
- Bilateral pneumotoraks
- Rekurens ipsilateral / kontralateral

74
KOMPLIKASI
Gagal nafas pneumotoraks tensio, hemopneumotoraks, infeksi/piopneumotoraks, penebalan
pleura, atelektatis, pneumotoraksrekurens, emfisima mediastinu, edema paru reekspansi

PROGNOSIS
Dubia: tergantung tipe penyakit dasar, faktor pemberat/ komorbid.

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dal am - Di visi Pulmonologi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Paru

UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Departemen Bedah / Toraks, Radiologi / Radiodiagnostik
RS non pendidikan: Bagian Bedah, Paru, Radiologi

REFERENSI
1. Bahar A . Pneumothoraks. In Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A ,
editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999.-p.221-2.
2. Rosenbluth DB. Pneumothorax. In Fishman A P, Elias J A , Fishman J A , Grippi MA , Kai ser LR,
Senior RM, editors. Fishman's Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3"1 ed. New Y ork:
McGraw-Hill; 2002.p. 507.
3. Light RW . Disorders of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm. In Braunwald E, Fauci A S, Kasper
DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. 15"' ed. New Y ork:
McGraw-Hill; 2001.p. 1513-6.

75
PNEUMONIA DIDAPAT Dl MASYARAKAT

PENGERTIAN
Pneumonia adalah Inflamasi parenkim paru yang disebabkan mikroorganisme selain
Mikobakterium tuberkulosis.

Pneumonia Didapat Di Masyarakat (Community-acquired Pneumonia, CAP)


Pneumonia pada individu yang menjadi sakit di luar rumah sakit, atau dalam 48 jam sejak
masuk rumah sakit
infeksi akut pada parenkim paru yang berhubungan dengan setidaknya beberapa gejala infeksi
akut, disertai adanya gambaran infiltrat akut pada radiologi toraks atau temuan auskultasi
yang sesuai dengan pneumonia (perubahan suara napas dan atau ronkhi setempat) pada orang
yang tidak dirawat di rumah sakit atau tidak berada pada fasilitas perawatan jangka panjang
selama > 14 hari sebelum timbulnya gejala (IDSA 2000)

Etiologi penyebab
Grup I: rawat jalan, tanpa penyakit kardiopulmonal, tanpa faktor modifikasi
Streptococcus pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Chlamydia pneumoniae (tunggal atau infeksi campuran)
Hemophilus influenzae
Respiratory viruses
Lain: Legionella spp., Mycobacterium tuberculosis, fungi endemik

Grup II: rawat jalan, dengan penyakit kardiopulmonal, dan / atau faktor modifikasi
Streptococcus pneumoniae (termasuk DRSP )
Mycoplasma pneumoniae
Chlamydia pneumoniae
Infeksi campuran (bakteri + patogen atipik atau virus )
Hemophilus influenzae
Enterik gram negatif
Respiratory viruses
Lain: Moraxella catarrhalis, Legionella spp, aspirasi ( anaerob ), Mycobacte rium
tuberculosis, fungi endemik

Grup III: rawat inap Non-ICU


a. Dengan penyakit kardiopulmonal dan / atau faktor modifikasi (termasuk penghuni
pantijompo)
Streptococcus pneumoniae (termasuk DRSP)
Hemophilus influenzae
Mycoplasma pneumoniae
Chlamydia pneumoniae
Infeksi campuran (bakteri + patogen atipik )
Enterik gram negatif
Aspirasi (Anaerob)
Virus
76
Legionella spp
Lain: Mycobacterium tuberculosis,fungi endemik, Pneumocystis carinii

b. Tanpa penyakit kardiopulmonal, tanpa faktor modifikasi


Streptococcus pneumoniae
Hemophilus influenzae
Mycoplasma pneumoniae
Chlamydia pneumoniae
Infeksi campuran (bakteri + patogen atipik)
Virus
Legionella spp
- Lain: Mycobacterium tuberculosis, fungi endemik, Pneumocystis carinii

Grup IV:RawatICU
a. Tanpa resiko infeksi Pseudomonas aeruginosa
- Streptococcus pneumoniae (termasuk DRSP )
- Legionella spp
- Hemophilus influenzae
- Enterik gram negatif
- Staphylococcus aureus
- Mycoplasma pneumoniae
- Respiratory Virus
- Lain:- Chlamydia pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis, fungi endemik

b. Ada resiko infeksi Pseudomonas aeruginosa


- Semua patogen diatas (IV.a)
- + Pseudomonas aeruginosa

DIAGNOSIS
Rencana diagnostik bertujuan :
1. Diagnostik adanya CAP:
- Foto paru terdapat infiltrat baru atau infiltrat yang bertambah
- Terdapat 2 dari 3 gejala berikut: demam, batuk + sputum produktif, leukositosis (pada
penderita usia lanjut: gejala dapat tidak khas/tersamar, seperti lesu, tidak mau makan, dll)
2. Pengkajian awal derajat berat penyakit dengan The Pneumonia PORT prediction rule atau
Pneumonia Severity of Illness Index ( PSl): Berdasarkan proses dua langkah yang
mengevaluasi faktor demografis, penyakit komorbid, remeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan radiologis, pasien distratifikasi menjadi limakelas risiko mortalitas dan
outcome:
- Pasien dengan kondisi berikut dimasukkan dalam kelas risiko II-V
- Usia di atas 50 tahun
- Terdapat riwayat penyakit komorbid:
keganasan
gagal jantung kongestif
penyakit serebrovaskular

77
penyakit ginjal
penyakit hati

- Terdapat kelainan pada pemeriksaan i'isis:


perubahan status mental
nadi > 125 kali/menit
pemapasan > 30 kali/menit
tekanan darah sistolik < 90 mmHg
suhu<30Catau>40C
Selain kondisi di atas pasien dimasukkan dalam kelas risiko I

3. Identifikasi penyebab mikrobiologis (lihat tabel 4):


pewarnaan Gram sputum
kultur sputum
kultur darah
pemeriksaan serologis, pemeriksaan antigen, pemeriksaan polymerase chain reaction
(PCR), dan tes invasif (torakosentesis. aspirasi transtrakheal, bronkoskopi, aspirasi jarum
transtorakal. biopsi paru terbuka dan torakoskopi): bila diperlukan.

DIAGNOSIS BANDING
Tuberkulosis paru, jam ur

PEMERIKSAAN PENUNJANG
foto toraks
pulse oxymetry
Laboratorium Rutin : DPL, hitung jenis, LED. Glukosa darah, Ureum, Creatinin,
SGOT.SGPT
Analisis gas darah, elektrolit
Pewarnaan Gram sputum
Kultur sputum
Kultur darah
Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan antigen
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR).
Tes invasif (torakosentesis, aspirasi transtrakheal. bronkoskopi. aspirasi jarum
transtorakal, biopsi paru terbuka dan thorakoskopi

TERAPI
Tata laksana Umum:
Rawatjalan:
Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat, dan minum banyak cairan
Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan parasetamol
Ekspektoran/mukolitik
Nutrisi tambahan pada penyakit yang berkepanjangan
Kontrol setelah48jam atau lebih awal bila diperlukan
Bila tidak membaik dalam 48 jam dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit atau
78
dilakukan foto thoraks.

Keputusan merawat pasien di RS ditentukan oleh :


- Derajat berat CAP
- Penyakit terkait
- Faktor prognostik lain
- Kondisi dan dukungan orang dirumah
- Kepatuhan, keinginan pasien

Rawat inap di RS :
- Oksigen, bila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen inspirasi.
Tujuannya : mempertahankan PaO2 > 8kPa dan SaO2 > 92 %
- Terapi oksigen pada pasien dengan penyakit dasar PPOk dengan komplikasi gagal napas
dituntut denga pengukuran analisa gas darah berkala
- Cairan : bila perlu dengan cairan intravena
- Nutrisi
- Nyeri pleuritik/ demam diredakan dengan parasetamol
- Ekspektoran/ mukolitik

Foto thorak diulang pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang memuaskan.
Rawat di ICU :
- Bronkoskopi daopat bermamfaat untuk retensi sekret, mengalami sampel untuk kultur
guna penulusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan endobrakial.

Terapi antibiotik :
Pemilihan antibiotik dengan spektrum sesempit mungkin, bedasarkan perkiraan etiologi yang
menyebabkan CAP pada kelompok p[asien rtertentu, sesuai pedoman terapi emp[irik inisial ATS
2001. Syarat untuk alih terapi :
- Berkurangnya keluhan batuk dan sesak nafas
- Suhu afebris ( < 1000F ) opada dua pengukuran yang terpisah 8 jam lamanya, leukosit
berkurang / menjadi normal.
- Saluran gastrointestinal berfungsi baik, masukan oral adekuat.
Syarat untuk pemulangan dapat merujuk pada criteria Weingarten atau Ramirez (lihat table 6).

KOMPLIKASI
- CAP berat :
Bila memenuhi suatu kriterias mayor ( dari dua kriteria modifikasi ) atau dua kriteria minor (
dari # kriteria minor modifikasi )

Kriteria minor yang dikaji saat masuk RS :


1. gagal nafas berat ( PaCO2/ FIO2 < 250 )
2. foto thoraks : pneumonia multilobaris
3. TD sistolik < 90 mmHg.

79
Kriteri mayor yang dikaji saat masuk RS atau dalam perjalanan penyakit :
1. perlunya ventilator mekanis
2. syok sepsis
- Gagal nafas
- sepsis, syok sepsis
- Gagal ginjal akut
- Efusi parapneumonik
- bronkiektasis

PROGNOSIS
Tergantung pada derajat berat penyakit, penyakit komorbid, status imunologis, dll.

WEWENANG
- RS pendididkan : dokter spesialis penyaklit dalam dan PPDS penyakit dalam
- RS non pendidikan : dokter spesialis penyakit dalam

UNIT YANG MENANGANI


- Rs pendidikan : departemen ilmu penyakit dalam- devisi pulmonologi
- Rs non pendidikan : bagian ilmu penyakit dalam.

UNIT TERKAIT
- RS pendidikan : devisi tropic infeksi, Depasrtement Radiologi/ Radiodiagnostik, Patolog
Klinik, Mikrobiologi Klinik, Parasitologi, Anestesia/ ICU
- RS non pendidikan : Bagian paru, patologi klinik, radiologi, parasitlogi, mikrobiologi
klinik, anestesi /ICU

REFERENSI
1. A merican Thoracic Society. Guidelines for Management of A dults with Community A cquired
Pneumonia: Diagnosis, A ssessment of Severity, A nti Microbial Therapy, and Prevention. A n J Respir
Crit Care Med, 2001: 163:1730 54.
2. British Thoracic Society Standard of Care Committee. British Thoracic Society Guidelines for The
Management of Community A cquired Pneumonia in A dults. Thorax 2001:56(SUPPL IV ):1-64.
A vailable at URL:http://Thorax.bmjjournals.com /cgi/content/full/56/suppl_4/.
3. Rhew DC, W eingarten SR, A chieving A Safe and Early Discharge for Patients wit Community
A cquired Pneumonia. Medical Clinics of North A merica, November 2001:85(6):1427-40.
4. Barttlet JG, Dowell SF, Mendell LA , File Jr TM, Musher DM, Fine MJ. Guidelines from Infectious
Diseases Society of A merica: Practice Guidelines for The Management Community A cquired
Pneumonia in A dults. Clinical Infectious Diseases 2000:31:347-82.

80
Table 2. langkah kedua sistem skor rumus prediksi pneumonia

Karakteristik pasien Nilai


Faktor demografik :
Usia
Laki-laki Umur ( tahun )
perempuan Umur (tahun)-10
Penghuni panti jompo + 10
Penyakit ko-morbid :
Neoplasma +30
Penyakit hati +20
Gagal jantung kongestif +10
Penyakit serebrovaskul;ar +10
Penyakit ginjal +10
Temuan pemeriksaan fisik :
Perubahan status mental +20
Frekuensi pernafasan > 30 kali/menit +20
Tekanan darah sistolik < 90 mmHg +20
Suhu < 350C atau > 400 C +15
Frekuensi nadi > 125 kali/menit +10
Hasil laboratorium dan radiologis :
AGD : pH < 7,35 +30
Blood Urea Nitrogen >30 Mg/dl ( 11 mmol/L) +20
Natrium < 130 mmol/L +20
Glukosa > 250 mg/dl +10
Hematokrit < 30 % +10
AGD : PaCO2 < 60 mmHg +10
Efusi pleura +10

Tabel 3. Stretifikasi Pneumoni Bedasarkan Skor Resiko, angka kematian dan rekomendasi
tempat rawat

Mortalitas
Kelas
Jumlah nilai Cohort validasi pneumonia PORT (%) Penatalaksanaan
resiko
Rawat inap Rawat jalan Semua pasien
I 0,5 0,0 0,1 Rawat jalan
II < 70 0,9 0,4 0,6 Rawat jalan
III 71-90 1,2 0,0 0,9 Rawat inap singkat
IV 91-130 9,0 12,5 9,3 Rawat inap
V >130 27,1 0,0 27,0 Rawat inap

81
Table 4. perbandingan pemeriksaan diagnostik CAP

ATS 2001 BTS 2001 CIDS 2000 IDSA 2000


Lab Rutin Rawat jalan : Rawat jalan : Rawat jalan : Rawat inap
Pasien yang masih tak perlu untuk Jika klinis/ro direkomendasikan
mungkin dirawat mayoritas pasien mengarah
RS,>65 th,komorbid. keprognostic buruk,
Rawat inap :
Rawat inap : harus Rawat inap :
semua pasien datang ke IGD ;
direkomendasikan
CRP Rawat inap :
bila tersedia
Pemeriksaan Rawat jalan : Rawat jalan : Rawat jalan : Rawat inap :
oksigenasi : penyakit dasar diperteimbangkan Jika klinis/ro Pasien tertentu
pulse oximetry jantung /paru mengfarah ke
Rawat inap : prognostyi buruk
Rawat inap : semua Rawat inap :
semua direkomendasikan
Pemeriksaan Rawat inap: Rawat inap : Rawat jalan dan Rawat inap :
oksigenasi: Penyakit berat, SaO2< 92%, CAP inap : Pasien tetentu
Analisa gas penyakit paru berat PPOK
darah kronis
Foto thoraks Rawat jalan dan Rawat jalan : Rawat jalan : Rawat jalan dan inap:
inap ; Tak perlu untuk Direkomendasikan Harus
harus mayoritas pasien bila diperlukan

Rawat inap : Rawat inap:


harus harus
Gram sputum Rawat jalan dan Rawat jalan : Rawat jalan : Rawat jalan :
inap : Tak respon Mayoritas tak Optional
Bila dicurigai terhadap AB direkomendasikan
bakteri resisten, empiris, Rawat inap :
atau bakteri tak Rawat inap : Direkomendasikan
sensitive terhadap Rawat inap : direkomendasikan
AB yang biasa CAP berat,
komplikasi (+)
Kultur sputum Rawat jalan dan Rawat jalan : Rawat inap : Rawat jalan :
inap : Tidak respon direkomendasikan Optional
Bila curiga bakteri terhadap Ab
resisten atau bakteri empiris Rawat inap :
tak sensitive Direkomendasikan
terhadap AB biasa Rawat inap :
Bukan CAP
berat,dahak purulen,
belum AB, CAP
berat, tidak respon
terhadap AB
empiris
Kultur darah Rawat inap : Rawat inap : Rawat inap : Rawat inap :
82
Direkomendasikan direkomendasikan Direkomendasikan Direkomendasikan
Tes serologi Rawat inap : Rawat inap: Tidak Tidak
Tidak rutin CAP berat, tidak direkomendasikan direkomendasikan
direkomendasikan respon terhadap
beta lactam, faktor
resiko, wabah
Pneumoco-ccal Rawat ianp : Direkomendasikan
antigen test CAP berat
Tes antigen (A), Rawat inap : Rawat inap : Rawat inap : Rawat inap :
serologi (S), (A) (A,S,K) (A) (A,K), CAP berat, >40
Kultur (K), CAP berat CAP berat, faktor CAP berat Th, tak resp[on
Legionella resiko, wabah terhadap beta lactam,
immunocompromise,
kecurigaan klinis dan
wabah
Pemeriksaan Rawat jalan : Bila klinis Rawat inap :
sputum BTA batuk produktif sesuai,faktir resiko Pasien tertentu, batuk >
langsung persisten 1 bulan

Tatalaksana rawat jalan CAP Tatalaksana rawat

Sakit ringan-sedang Severe CAP


Tanpa penyakit Riwayat
kardiopulmona penyakit
l, tanpa faktor kardiopulmona
Tanpa resiko Tanpa resiko
modifikasi l+ /atau faktor
P.aeruginosa P.aeruginosa
modifikasi

Penyakit Tanpa penyakit


kardiopulmona kardiopulmona
l + /atau faktor l, tanpa faktor
modifikasi modifikasi

Gambar 2. Stratifikasi Pasien CAP ( ATS 2001 )

83
Tabel 5. Rekomendasi Terapi Empiris (ATS 2001)
Grup Karakteristik Antibiotik Pilihan (kedua pilihan ini setingkat)
I Rawat jalan penyakit MAKROLID GENERASI DOXYCYLINE
kardiopulmonal (-) BARU
factor modifikasi (-)
II Rawat jalan, penyakit Lactam Oral: Fluoroquinolon:
kardiopulmonal (+) Cefpodoxime, Amoxc=Icilin antipneumococcus
dan/atau Faktor Dosis Tinggi,
modifikasi (+) Amoxicilin/Clavulanat.
Atau parental:
Cefriaxone, diikuti Cefpodoxime
oral
Dikombinasi dengan: Makrolid
atau doxycycline
III A Rawat inap, penyakit Lactam IV: Fluoroquinolon:
kardiopulmonal (+) Cefotaxime, Cefriaxone, Antipneumococcus IV
dan/atau factor Ampicilin/Sulbactam, Ampicilin
modifikasi (+) dosis tinggi.
Dikombinasi dengan:
Makrolid IV atau oral
Atau doxycyline
III B Rawat inap, penyakit Azithromycin IV Fluoroquinolon:
kardiopulmonal (-) Atau : antipneumococcus
factor modifikasi (-) Doxycycline dan lactam
IV A Rawat ICU. Tanpa Lactam IV:
resiko Ps. Aeruginosa Cefotaxime
Cefriaxone
Dikombinasi Dengan:
Makrolida IV (Azithromycin)
Atau Fluoroquinolon IV
IV B Rawat ICU. Dengan Lactam Antipseudomonas IV Lactam Antipseudomonas
resiko Ps. Aeruginosa Tertentu IV Tertentu
Cefepime Cefepime
Imipenem Imepenem
Meropenem Meropenem
Piperacilin/Tazobactam Piperacilin/Tazobactam
Dikombinasi Dengan : Dikombinasi Dengan:
Quinolon Antipseudomonas IV Aminoglikosid IV
Ciprofloxacin Dikombinasi dengan:
Makrolid IV
(Azithromycin)
Atau
Fluoroquinolon
nonpseudomonas IV

Table 6. Kriteria Alih Terapi Dan Pemulangan Pasien (Weingarten Dan Ramirex)
84
Weingarten Ramirez
Kriteria Tidak ada alasan yang jelas untuk Perbaikan batuk dan sesak nafas
alih terapi tetap dirawat: TD sistolik < 100 Absorpsi gastrointestinal adekuat
mmHg, dehidrasi seperti ditunjukkan Suhu menjadi normal (<37,80C
oleh hipernatremia ( Na > 155 mmol/l), selama minimal 8 jam)
rasio BUN: creatinin > 20 :1, Leukosit menjadi normal
perubahan TD sistolik ortostatik >
20mmHg, perubahan mental akut,
hipoksia (saturasi gas darah arteri pada
udara kamar < 90% atau PO2 <55
mmHg), asidosis respiratorik akut
dengan pH <7,30, ketidakmampuan
minum obat atau cairan per oral,
penjalaran infeksi (meningitis),
penyakit komorbid yang tidak stabil .

Tidak ada pathogen berisiko tinggi:


Stapylococcus aureus, aspirasi pasca
obstruksi, mycobacterial, fungi. Tidak
ada komplikasi fatal selama perawatan:
infark miokard akut, fibrilasi
ventricular, takikardia ventricular,
asystole, blok jantung total, fibrilasi
atrial tak stabil atau baru, takikardia
supraventrikular, pneumotorak, gagal
jantung kongetif

Tidak ada imunosupresi, atau infeksi


Waktu alih Hari ke-3 Jika kriteria alih terapi terpenuhi
terapi
Kriteria Tidak ada Kandidat terapi oral.
pulang Tidak perlu tata laksana kondisi
komorbid (CHF, dll)
Tak perlu tindakan diagnostic
(bronkoskop untuk massa paru)
Tak ada indikasi sosial unutk
melanjutkan perawatan (kondisi
rumah tak stabil)
Waktu Hari ke-4 Jika kriteria pulang terpenuhi
pulang

85
PNEUMONIA ATIPIK

PENGERTIAN
Pneumonia atipik adalah pneumonia yang disebabkan infeksi bakteri, tapi mempunyai gambaran
klinis radiologis tersendiri yang berbeda dari pneumonia umumnya, yakni onset yang insidious,
demam ringan sampai berat, batuk tanpa produksi sputum, dan tidak berespon dengan terapi
antibiotik beta lactam. Etiologi : Mycoplasma pneumonia, Chlamydia pneumonia, legionella spp,
influenza virus tipe A dan B.

DIAGNOSIS
Pada pneumonia tyang disebabkan oleh mokroba atipik, gejala sisten pernapasan dapat tidak khas,
sedangkan gejala sistemik, seperti sakit kepala, nyeri otot atau sendi dapat menonjol.
- Batuk tanpa sputum, kecuali bila penyakit memberat/ infeksi sekunder.
- Demam ringan, dapat dengan cepat meningkat hingga menggigil.
- Malaise, kelemahan seluruh anggota badan.
- Sakit kepala, nyeri otot.
- Nyeri dada, sesak nafas ( buila berat).

PEMERIKSAAN FISIK
- Tanda-tanda radang dan konsolidasi paru : suara nafas bronchial, ronkhi
- Efusi pleura, abses paru
- Gejala gangguan ekstra p[aru ( terutama oleh legionella dan mychoplasma )
Infeksi saluran nafas atas : laryngitis, faringitis, rinnitus.
Saluran gastrointestinal : diare, muntahj, nyerui perut, hepatosplenomegali.
Sistem kardiovaskular : bradikardia relatif, miokarditis, perikarditis.
Gangguan sistem saraf : confusion, ensefalitis, meningguismus, paralisis guilain barre,
kelumpuhan saraf cranial, neuropatio perifer.
Gangguan dermatomuskuloskeletal : rash, eritema, myalgia, artritis, atralgia.
Ganggguan sistem urogenital : glomerulonefritis, gagal ginjal akut, abses tuboovarian.
Mata : bullous myringitis.
Telinga : otitis media.

LABORATORIUM
DPL leukositosis, biiasanya < 15.000/ml, trombositopenia, anemia hemolitik, LED meningkat,
SGOT,SGPT meningkat.

FOTO THORAKS : bervariasi


- Fase awal : infiltrasi paru retikuler dan interstisial
- Unilateral, terutama lobus bawah, segmental atau satu lobus.
- Pemeriksaan KGB hilus.

DIAGNOSA BANDING
Pneumonia didapat dimasyarakat (CAP) bronchitis kronik.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : DPL, retikulosit, LED,SGOT, SGPT, serologi
86
Foto toraks : bervariasi.
Fase awal : infiltrat paru retikuler dan interstitial
Unilateral, terutama lobus bawah, segmental atau satu lobus
Pembesaran KGB hillus

DIAGNOSA BANDING
Pneumonia yang didapat di masyarakat (CAP) bronchitis kronis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : DPL, retikulosit, LED, SGOT, SGPT, Serologis.
Foto thoraks.

TERAPI
Antibiotok : pemilihan antibiotik dengan spektrum sesempit mungkin :
Makrolid :
Eritromisin
Claritomisisin 2x500 mg
Azitromicin 1x500 mg
Roksitromisin 2x500 mg
Doksisiklin
Respiratory- fluorokuinolon
Rifampisin (bila curiga legionella)

Tatalaksana umum penderita pneumonia (=tatalaksana uimun CAP)

RAWAT JALAN
- Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat dan minum banyak cairan
- Nyeri pleuritik/ demam diredakan dengan parasetamol
- Ekspektoran/mukolitik
- Nutria tambahan pada penyakit yang berkepanjangan
- Control setelah 48 jam atau lenih awal buila perlu
- Bila tiodak membaik dalam 48 jam dipertiombangkan untuk dirawat di rumah sakit, atau
dilakukan foto thoraks.

Keputusan merawat pasien di RS ditentukan oleh :


- Derajat berat
- Penyakit terklait
- Faktor prognosis lain
- Kondisi dan dukungan orang dirumah
- Kepatuhan, keinginan pasien

87
Rawat inap di RS
- Oksigen, bila perlu dengan pantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen ibnspirasi.
Tujuannya : mempertahankan PaO2 > 8 kPa dan SaO2 > 92 %.
- Terap[I oksigen pada pasioen dengan penyakit dasar PPOK dengan komplikasi gagal
napas dituntun dengan pengukuran AGD berkala.
- Cairan ; bila perlu dengan cairan intravena.
- Nutrisi
- Nyeri pleuritik/ demam diredakan dengan parasetamol.
- Ekspektoran / miukolitik.
- Foto thoraks diulang pada pasien yang tiofdak menunjukkan perbaikan yang memuaskan.

Rawat di ICU
- Bronkoskopi dapat bermamfaat untuk retensi sekret, mengambil sampel untuk kultur guna
penulusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan endobronkial.

KOMPLIKASI
Efusi pleura, empiema, abses paru, atelektasis, gagal nafas, kor pulmonal, pneumotoraks,
septicemia, herepes labialis, penyakit tromboemboli.

PROGNOSA
Dubia : tergantung derajat berat penyakit, penyakit terkait, faktor prognosyik lain.

WEWENANG
- RS pendidikan : dokter spesialis penyakit dalam dan PPDS penyakiut dalam
- RS non pendidikan: dokterr spesialis penyakit dalam.

UNIT YANG MENANGANI


- RS pendidikan : departemen ilmu penyakit dalam- devisi pulmonologi
- RS non pendidikan : bagian ilmu penyakit dalam.

UNIT TERKAIT
- RS pendidikan : departemen radiologi / radiodiognostik, patologi klinik, mikrobiologi
klinik.
- Rs non pendidikan : bagian patologi klinik, paru, radiologi, mikrobiologi klinik.

88
GAGAL NAPAS

PENGERTIAN
Gagal nafas adalah ketidakmampuan mempertahankan nilai pH ( keasaman ), oksigen, dan
karbondioksida darah arteri supaya tetap dalam batas normal.

ETIOLOGI
- Penyakit saluran nafas : bronchitis kronis, emfisema, asma bronchial, bronkiektasis
- Penyakit paru parenkim : pneumonia, edema paru, aspirasi, inhalasi asap, gas.
- Gangguan hipermeabilitas : edema paru, ARDS
- Penyakit pembuluh darah : emboli paru, syok kardiogenik, Fistula A, V.pulmoner.
- Trauma : dada, leher, kepala.
- Gangguan neuromuscular : poliomyelitis, sindrom tetanus, paralisis diafragma.
- Obat-obatan : barbiturate, narkotik, sedative, obat0-obatan relaksasi.
- Kelainan dinding dada: kifoskoliosis, ankylosing spondylitis
- Lain-lain : hipotermia.

DIAGNOSIS
Sesak nafas berat, batuk, sianosis, pulsus paradoksus, stridor, aritmis, takikardia, kontriksi pupil.
Gagal napas tipe I
- PaCO2 normal atau menigkat
- PO2 turun
- Umumnya kurus
- Warna kulit : pink puffer
- Hiperventilasi
- Pernapasan : purse lips
Gagal napas tipe II
- PCO2 meningkat
- PO2 menurun
- Sianosis
- Umumnya kegemukan
- Hipoventilasi
- Tremor CO2
- Edema

DIAGNOSA BANDING
Edema paru, ARDS

PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Analisa gas darah
- Foto thoraks
- kateter Swan Gans dengan monitor-tekanan kap[iler paru (PCWP)
- EKG

89
TERAPI
Tahap I
- perbaikan gangguan hipoksemia dengan terapi O2
- bronkodilator nebulizer
- Humidifikasi
- Fisioterapi dada
- Antibiotik

Tahap II
- bronkodilator parenteral
- kortikosteroid

Tahap III
- stimulasi pernapasan
- mini trakheostomi bila retensi sputum

Tahap IV
- ventilasi mekanik

KOMPLIKASI
Mortalitas

PROGNOSIS
Malam

WEWENANG
- RS pendidikan :
dokter spesialis penyakit dalam dan PPDS penyakit dalam
- RS non pendidikan
: dokters spesialis penyakit dalam

UNIT YANG MENANGANI


- RS pendidikan :
DEpartemen Ilmu Penyakit dalam- devisis pulmonologi
- RS non pendidikan
: Bagian ilmu penyakit dalam

UNIT TERKAIT
- RS pendidikan :
Departemen Patiologi KLinik, Radiologi, ASnestesi/ICU
- RS non
pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Anestesi /ICU.

90
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK

PENGERTIAN
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya perlambatan
aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible. Perlambatan aliran udaraq umunya bersifat
progressif dan berkaitan dengan respon inflamasi yang bersifat abnormal terhadap partikel dan
gas iritan.

DIAGNOSIS
keluhan : sesak napas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, faktor resiko +, PPOK
ringan dapat tanpa keluhan dan gejala.
Anamnesa riwayat paparan dengan faktor rediko, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat
keluarga PPOK, riwayat eksaserbasi dan perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas, dampak
penyakit terhadap aktifitas, dll. Kemungkinan mengurangi faktor resiko.
Pemeriksaan fisik :
Pernapasan Pursed lipss
Takipnea
dada empisematous atau barrel chest
dengan tampilan fidsik pink puffer atau blue bloater
bunyi napas vesikuler melemah
ekspirasi memanjang
ronki kering atau weexing
bunyi jantung jauh
Diagnosa pasti denga spirometri
FEV1/FVC< 70 %
uji bronkodilator (saat diagnose ditegakkan ) ; FEV1 pasca bronkodilator <80% prediksi.
uji coba kortikosteroid
analisa gas darah pada :
semua pasien dengan VEP1 < 40% prediksi
secara klinis diperkirakan gagal nafas atau payah jantung kanan.

PPOK eksaserbasi akut


Gejala eksaserbasi : bertambah nya sesak nafas, kkadang-kadang disertai mengi,
bertambahnya batuk disertai meningkatnya sputum dan sputum menjadi lebih purulen atau
berubah warna.
Gejala non spesifik : malaise, insomnis, fatique, depresi.
Spirometri : fungsi paru sangat menurun

Etiologi eksaserbasi
Infeksi mukosa tracheobronkial, terutama Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza,
Moraxella catarralish.

91
Kalisifasi PPOK menurut National Heart, Lung and Blood Institute dan WHO
Stadium 0 ; derajat beresiko PPOK ; spirometri normal, kelainan kronik ( batuk, sputum
produktif)
Stadium I : PPOK ringan : VEP1/ KVP < 70%, VEP1> 80% prediktif, dengan atau tanpa
keluhan kronik (batuk, sputum produktif ).
o Stadium II : PPO sedang : VEP1 / KVP< 70%. 30% < VEP1 < 80 % prediktif, dengan
atau tanpa keluhan kronk ( batuk, sputum prediktif ).
Stadium III : PPOK berat : VEP1 / KVP < 70%, VEP1 < 30% prediktif atau VEP1 < 50%
prediktif + gagal napas

DIAGNOSA BANDING
Asa bronchial, bronkiektasis, gagal jantung kongestif, pneumonia.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Spirometri
- Foto thoraks
- Bila eksaserbasi akut ; analisa gas darah, DPL, sputum gram, kultur MOR.

TERAPI
Usaha mengurangi faktor resiko
- Eedukasi motivasi berhenti merokok
- Farmakoterapi stop merokok
Terapi PPOk stabil
Terapi farmakologis
a. Bronkodilator
- Secara inhalasi (MDI), kecuali preparat tak tersedia, tak terjangkau.
- Rutin (bila gejala menetap ) atau hanya bila diperlukan (gejala intermitten)
- 3 golongan :
A gonis beta 2 : fenopterol, salbotamol, albuterol, terbutalin, formoterol,
salmeterol.
Antikolinergik : ipatropium bromide, oksitropium bromide.
Metilxantin : teofilin le[pas lambat, bila kombinasi beta 2 dan steroid belum
memuaskan.
Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis bronkodilator
monoterapi.
b. Steroid pada :
PPOK yang menunjukkan respon pada uji steroid
PPOK dengan FEV1 <50% prediksi
Eksaserbasi akut
c. Obat-obat tambahan lain
- Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) : ambroxol, karbosistein, gliserol iodide
- Antioksidan : N asetil sistein
- Imunoregulator ( imunostimulator, immunomodulator) ; tidak rutin
- Anttusif : tida rutin
- Vaksinasi : influenza, pneumokok
Terapi nonfarmakologis
92
a. Rehabilitasi ; latihan fisik, latihan endurance, latihan pernafasan, rehabilitasi psikososial.
b. Terapi ksigen jangka panjang (> 15 jam sehari) : pada PPOK stadium III, AGD =
- PaO2< 55 mmHg, atau SaO2 < 88% dengan/ tanpa hiperkapni.
- paO2 55-66 mmHg, atau SaO2 < 885 disertai hipertensi pulmonal, edema perifer karena
gagal jantng, polisitemia.
c. Nutrisis
d. Pembedahan : pada PPOk berat, ( bila dapat memperbaiki fungsi paru atau gerakan
mekanik paru ).

Terapi PPOK Eksaserbasi Akut


Penatalaksanaan PPOk eksaserbasi akut dirumah : bronkodilator sepertipada PPOK stabl, dosis 4-
6 kali 2-4 hirup sehari. Steroid oral dapat diberikan selama 10-14 hari. Bila infeksi : diberikan
antibiotic spectrum luas (termasuk pneumonia, H influenza).
Terapi eksaserbasi akut dirumah sakit ;
- Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venture mask.
- Bronkodilator : inhalasi agonis 2 (dosis dan frekuensi ditingkatkan) + antikolinergik.
Pada eksaserbasi akut berat : + aminofilin (0,5 mg/kgbb/jam)
- Steroid : prednisolon 30-40 mg PO selama 10-14 hari. Steroid intra vena : pada keadaan
akut

Antibiotik terhadap S pneumonia, H influenza, M catarralish.


- Ventilasi mekanik pada : gaga; napas akut atau kronik.

KOMPLIKASI
Gagal napas, kor pulmonal, septicemia.

PROGNOSA
Dubia, tergabtubg stage, penyakit paru komorbid, penyakit komorbid lain.

WEWENANG
- Rs pendidikan ; Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PDS Penyakit Dalam
- RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Pulmonologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Departemen Rehabilitasi medik, Radiologi/ Radiodiagnostik, Anestesi/ ICU
RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Anestesi/ ICU

REFERENSI
Uyainah A . Standarisasi Baru dalam Diagnosis dan Terapi PPOK . In: Setiati S, A lwi I, K asjmir Y I, Baw ajer LA ,
Lidya A , Syam A F, et al. editors. Proceeding Simposium Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine
2002. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan bbagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2002, p.55-64.

93
TUBERKULOSIS PARU

PENGERTIAN
Tuberkulosis paru adalah infeksi paru yang menyerang jaringan parenkim paru, disebabkan
bakteri Mycobacterium Tuberculosis berdasarklan hasil pemeriksaan sputum, TB dibagi
dalam:
1. TB paru BTA positif: sekurangnya 2 dari 3 spesimen sputum BTA positif
2. TB paru BTA negative, 3 dari specimen sputum BTA negative, foto thorak positif
Berdasarkan tingkat keparahan penyakit yang ditunjukkan oleh foto thorak, TB paru dibagi
dalam:
1. TB paru dengan kelainan luas
2. TB paru dengan kelainan paru sedikit
Berdasarkan organ selain paru yang terserang, Tb paru dibagi dalam:
1. TB Ekstra Paru Ringan: TB kelenjar limfe, TB tulang non-vertebra, Tb sendi, Tb
adrenal
2. TB Ekstra Paru Berat: meningitis, Tb milier, TB diseminata, perikarditis, pleuritis,
peritonitis, TB vertebra, TB usus, Tb genitourinarius
Berdasarkan riwayat pengobatannya, Tb paru dibagi dalam:
1. Kasus baru
2. Kambuh(Relaps)
3. Drop-out / default
4. Gagal terapi
5. Kronis

DIAGNOSIS
Keluhan (tergantung derajat berat, organ terlibat, dan komplikasi): batuk-batuk 3 minggu, Batuk
berdarah, sesak nafas, nyeri dada, malaise, lemah, berat badan turun, nafsu makan turun, keringat
malam, demam
Gejala yang ditemukan(tergantung derajat berat, organ terlibat, dan komplikasi): keadaan umum
lemas, kakeksia, takipnea, febris, paru: tanda-tanda konsolidasi(redup, fremitus
mengeras/melemah, suara nafas bronchial/melemah, ronkhi basah/kering)

Laboratorium: LED meningkat


Mikrobiologis:
B TA sputum positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS
Kultur Mycobacterium Tuberculosis positif(diagnosis pasti)
Radiologis:
Foto thoraks PA lateral (hasil bervariasi) : infiltrate, pembesaran KGB hilus/KGB
paratrakeal, milier, atelektasis, efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas, destroyed lung
Imuno-serologis:
Uji kulit dengan tuberculin (Mantoux) positif > 15 mmpada orang Indonesia yang
imunokompeten
Tes PAP, ICT-TB : positif
PCR TB dari sputum (hanya menunjang klinis)

DIAGNOSIS BANDING
94
Pneumonia, tumor,/keganasan paru, jamur patu, penyakit paru, akibat kerja

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: LED
Mikrobiologis: BTA sputum, kultur resistensi sputum terhadap M.tuberculosis.
Pada kategoti 1 dan 3: sputum BTA diulangi pada akhir bulan ke 2, 4 dan 6.
Pada kategori 2: sputum BTA diulangi pada akhir bulan ke 2, 5 dan 8.
Kultur BTA sputum diulangi pada akhir bulan ke 2 dan akhir terapi.
Radiologis : foto thoraks PA, lateral pada saat diagnosis awal dan terapi.
Selam terapi : evaluasi foto setelah pengobatan 2 bulan dan 6 bulan.
Imuno-serologis :
Uji kulit dengan tuberculin (Mantoux)
Tes PAP, ICT-TB PCR-Tb dari sputum

TERAPI
Terapi umum: istirahat, stop merokok, hindari polusi, tatalaksanakomorbiditas, nutrisi, vitamin
Medikamentosa obat anti TB (OAT):
Kategori 1 : untuk
Penderita baru TB paru, sputum BTA positif
Penderita Tb paru, sputum BTA negative, rontgen positif dengan kelainan paru luas
Penderita TB ekstra paru berat diterapi dengan
2 RHZE / 4 RH-2 RHZE / 4 R3H3-2 RHZE / 6 HE
Kategori 2 : untuk
Penderita kambuh
Penderita gagal
Penderita after default
diterapi dengan :
- 2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE
- 2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3
Kategori 3 : untuk
Penderita baru TB paru, sputum BTA negative, rontgen positif dengan kelainanparu tidak luas
Penderita TB Ekstra Paru Ringan diterapi dengan:
- 2 RHZ / 4 RH
- 2 RHZ / 4 R3H3
- 2 RHZ / 6 HE
Kategori 4 : untuk
Penderita Tb kronik
Diterapi dengan :
- H seumur hidup
- Bila mampu: OAT lini kedua

95
KOMPLIKASI
Komplikasi paru: atelektasis, hemoptisis, fibrosis, bronkiektasis, pneumothoraks, gagal nafas,
TB ekstra paru : pleuritis, efusi pleura, perikarditis, peritonitis, Tb kelenjar limfe,
Kor pulmonal

PROGNOSIS
Dubia : tergantung derajat berat, kepatuhan pasien, sensitivitas bakteri, gizi, status imun,
komorbiditas

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Pulmonologi
RS non-pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi di Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait dengan keterlibatan
organ/komplikasi TB, Departemen Radiologi / Radiodiagnostik, Patologi Klinik,
Mikrobiologi Klinik, Patologi Anatomi, Bedah/Thoraks dan bagian lain yang terkait dengan
keterlibatan organ/komplikasi TB
RS non pendidikan : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Patologi Anatomi,
Mikrobiologi Klinik dan Bagian lain yang terkait dengan keterlibatan organ/komplikasi TB

96
KARSINOMA PARU

PENGERTIAN
Karsinoma paru umumnya berarti tumor yang berasal dari epitel pernafasan( bronkus,
bronkiolus, alveolus). Tipe sel yang paling sering ditemukan menurut klasifikasi WHO untuk
neoplasma primer :
1. Karsinoma sel skuamosa (epidermoid)
2. Karsinoma sel kecil (oat cell carcinoma)
3. Adenokarsinoma (termasuk bronkioalveolar)
4. Karsinoma sel besar
Faktor risiko:
Merokok (aktif, pasif)
Polusi lingkungan kerja:
- Asbestos (galangan kapal, konstruksi, pertambangan)
- Arsenik (kebun anggur, gembala kambing, tambang emas, pelapis logam)
- Hidrokarbon aromatik polisiklik(industry baja)
- Kromat dan kromium (pekerja industri, pelapis krom)
- Silica(penemuan baja)
- Pabrik gas beracun, penyulingan nikel
- Tambang uranium, radon, dan turunannya
Polusi udara : gas buangan kendaraan bermotor mengandung hidokarbon aromatic
polisiklik
Radiasi non-ionisasi (telepon seluler)
Radisasi prosedur diagnostik

DIAGNOSIS
Gambaran klinis:
Asimptomatis
Klinis lokal: batuk, hemoptisis, wheezing, stridor, abses, atelektasis
Klinis invasi lokal: nyeri dada, dyspnea karena efusi pleura, aritmia (invasi ke
pericardium), sindrom vena cava superior, sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis,
miosis), suara serak (penekanan pada n.Laryngeal recurrent) ,sindrom pancoast (invasi
pleksus brakialis dan saraf simpatis servikalis)
Metastasis : nyeri tulang, sakit kepala, ikterus, perubahan neurologis, suara serak, sulit
menelan, sesak nafas, pembesaran kelenjar getah bening
Sindrom paraneoplastik:
- Gejala sistemik : penurunan berat badan, anoreksia, demam
- Hematologi : leukositosis, anemia, hiperkoagulasi
- Neurologik : demensia, ataksia, tremor, neuropati perifer
- Endokrin : sekresi PTH (hiperkalsemia)
- Dermatologi : eritema multiform, hyperkeratosis, jari tabuh
- Renal : SIADH
- Osteoartropati hipertrofi

97
Diagnostik pada pasien dengan kanker paru terdiri dari:
1. Diagnosis adanya kanker paru
2. Diagnosis tipe histologist kanker paru
3. Staging kanker paru
4. Anatomic staging : penentuan lokasi tumor
5. Physiologic staging : pengkajian kemampuan pasien menerima berbagai terapi anti-
tumor
6. Terutama untuk kanker paru non-small cell : resektabilitas (apakah tumor dapat diangkat
seluruhnya dengan prosedur bedah standar seperti lobektomi atau pneumonektomi) dan
operabilitas (apakah pasien dapat mentoleransi prosedur bedah)

DIAGNOSIS BANDING
Tumor metastasis dari kanker primer di tempat lain. Tumor jinak paru: tersering ialah
adenoma bronchial dan hamartoma. Yang lebih jarang kondroma, fibroma, lipoma,
hemangioma, leiomyoma, teratoma, endometriosis. Infeksi (Tb paru, infeksi non-spesifik),
granuloma.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan sitologi sputum merupakan pemeriksaan rutin pada pasien dengan batuk
dan gambaran klinis dicurigai suatu keganasan.
Pemeriksaan sitologi lain dapat dilakukanpada cairan pleura, aspirasi kelenjar getah
bening, biopsy transthorakal, transbrokhial needle aspiration(TBNA), bilasan bronkus,
sikatan bronkus, biopsy sumsum tulang.
Pemeriksaan histopatologis, merupakan baku emas, dilakukan melaui cara: bronkoskopi,
thorakoskopi, mediastinoskopi, thorakotomi
Foto thoraks: untuk penapisan pasien dengan resiko tinggi, menentukan adanya massa di
paru, melihat adanya efusi pleura
CT Scan thoraks: memastikan adanya lesi di paru, menentukan lokasi dan ukuran lesi
secara tepat, menilai KGB hilus dan mediastinum, mencari metastasis paru suprarenalis
dan hepar dan hepar, menilai respon terapi, mendeteksi kekambuhan terapi.
Pencitraan lain: CT scan Abdomen, USG abdomen, CT kepala, bone scan, bone survey,
angiografi, MRI

Prosedur staging untuk pasien kanker paru:


A. Untuk semua pasien
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik lengkap
Penentuan status tampilan
Laboratorium : DPL, elektrolit, glukosa, kalsium, fosfat, fungsi ginjal, fungsi hati
EKG
Tes kulit untuk tuberculosis
Foto thotaks
CT scan thoraks
CT scan abdomen atau USG abdomen
CT scan otak
Bone scan
Bone survey atau foto daerah tulang yang dicurigai berdasarkan bone scan atau
98
klinis
Foto barium bila ada keluhan esophagus
Fungsi parui/spirometri dan analisia gas darah bila ada gangguan pernapasan
Biopsy dari lesi yang dicurigai kanker yang dapat dijangkau:
- Lesi sentral: bronkoskopi dengan bilasan bronkus, sikatan bronkus, TBNA,
biopsy, forsep
- Lesi perifer: biopsy aspirasi jarum halus transthorakal dengan atau tanpa
bimbingan USG/CT scan, biopsi dengan thorakoskopi
Sitologi cairan pleura bila ada efusi pleura
B. Untuk pasien dengan NSCLC tanpa kontraindikasi untuk pembedahan kuratif atau
radioterapi:
Seperti butir A, ditambah:
Tes koagulasi
Jika rencana bedah: evaluasi mediastinum oleh bagian bedah pada saat
mediastinoskopi atau thorakotomi
C. Untuk pasien SCLC:
Seperti butir A, ditambah:
Aspirasi sumsum tulang dan biopsy

TERAPI
Berdasarkan tipe histopatologis dan staging TNM menurut IUCC 1997:
NSCLC:
Stage I : A-B, II A-B, beberapa III A:
St. I A-B & 2 A-B: Reseksi
St. III A dengan keterlibatan N2 minimalI(ditentukan saat thorakotomi atau
mediastinoskopi):
Reseksi + Diseksi KGB mediastinum lengkap + pertimbangkan kemoterapi neoajuvan
Keterlibatan N2(bila tidaK diberikanKemoterapi Neoajuvan): radioterapi pasca op
Kemoterapi /ajuvan:diskusikan resiko/keuntungan bagi pasien
Non-operabel: radioterapi berpotensi kuratif

Stage II A dengan tipe tertentu dari tumor stage T3:


Invasi dinding dada (T3): reseksi on block tumor + dinding dada yang terlibat, pertimbangkan
radioterapi pasca op
Tumor Pancoast(T3): radioterapi pre-op (30-45Gy) dilanjutkan reseksi en block tumor+dinding
dada yang terlibat, pertimbangkan radioterapi pasca op atau brakiterapi intra op
Keterlibatan saluran napas proksimal(<2 cm dari karina) tanpa KGB mediastinum : reseksi
sleeve(jika mungkin pertahankan paru distal yang normal) atau pneumonektoni

Stage III A lanjut bulky , klinis terbukti N2 pre-op,


Stage III B yang toleran terhadap Radioterapi port: radioterapi potensial kuratif+kemoterapi(jika
status tampilan dan kondisi umum memungkinkan), atau radioterapi saja(bila tidak mungkin
kemoterapi)

99
Stage III A dengan N2 lanjut
Pertimbangkan kemoterapi neoajuvan dan reseksi
Stage III B dengan invasi karina(T4) tanpa adanya N2: pertimbangkan pneumonektomi dengan
reseksi sleeve trakea dan reanastomosis langsung ke bronkus mainstem dan kolateral
Stage IV dan III B yang lebih lanjut:
Radioterapi pada daerah local yang simptomatis
Kemoterapi untuk pasien rawat jalan
Drainase chest tube untuk efusi pleura maligna yang banyak
Pertimbangkan reseksi tumor primer/metastasis untuk kasus metastasis otak atau adrenal yang
terisolasi

SCLC:
Limited stage (status tampilan baik): kemoterapi kombinasi+radioterap thorak
Extensive stage (status tmapilan baik): khemoterapi kombinasi
Respon tumor komplit (semua stage): radioterapi cranial profilaktik
Status tampilan buruk(semua stage):
Kemoterapi kombinasi dengan modifikasi dosis
Radioterapi paliatif

Semua pasien:
Radioterapi untuk:
Metastasis otak
Kompresi medulla spinalis
Lesi litik pada tulang penahan beban
Lesi local simptomatik (paralysis nervus, obstruksi saluran nafas, hemoptisis pada
NSCLC dan SCLC yang tidak respon pada kemoterapi
Diagnosis dan tatalaksana masalah medis lain dan supportive care selama kemoterapi
Mendorong stop merokok

KOMPLIKASI
Obstruksi jalan napas
Gagal napas
Perdarahan/hemoptisis
Abses
Atelektasis
Nyeri kanker
Efusi pleura
Aritmia
Sindrom vena cava superior
Sindrom Horner
Dysphonia
Sindrom Pancoast
Metastasis ke organ: otak, tulang, hepar, limfatik
Sindrom paraneoplastik:
- Penurunan berat badan, anoreksia, demam
100
- Leukositosis, anemia, hiperkoagulasi
- Hiperkalsemia
- SIADH
- Demensia, ataksia, tremor, neuropati perifer

PROGNOSIS
Tergantung tipe histology, staging resektabilitas, dan operabilitas

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPds Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen Ilmu penyakit Dalam-Divisi Pulmonologi Hematologi-
Onkologi Medik
RS non pendidikan: bagian Ilmu penyaki Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Departemen Radiologi/radiodiagnostik/Radioterapi/Patologi Anatomi,
Bedah/Thoraks/Onkologi
RS non pendidikan: Bagian Bedah, Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Patologi Anatomi

REFERENSI
1. Uyainah A .Pendekatan Diagnostik Kanker Paru. In: A lwi I, Setiati S, Kasjmir Y I, Bawazier LA , Syam
A F, Mansjoer A , editors. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan ILmu Penyakit Dalam 2002.
Jakarta:Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2002.p. 91-8.
2. Minna JD. Neoplasm of the lung. In: Braunwald E Fauci A S, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL. Harrison s Principle of Internal Medicine.15th ed New Y ork: McGraw-Hill; 2001.p.562-71.

101
EMBOLI PARU

PENGERTIAN
Emboli paru adalah kelainan jaringan paru yang disebabkan olehembolus pada arteri pulmonalis
paru. Bekuan vena sistemik yang menyangkut di percabangan arteri pulmonalis, merupakan
komplikasi thrombosis vena dalam (DVT) yang umumnya terjadi pada kaki atau panggul. Factor
predisposisi thrombosis vena, dikaitkan dengan Trias Virchow, yaitu:
Stasis: Imobilitas, tirah baring, anestesi, gagal jantung kongestif/kor pulmonal, thrombosis
vena sebelumnya
Hiperkoagulabilitas: keganasan, antibody antikardiolipin, sindrom nefrotik, thrombosis
esensial, terapi estrogen, heparin-induced thrombocytopenia, inflammatory bowel disease
Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, koagulasi intravaskular intravascular diseminata,
defisiensi protein C dan S, defisiensi antitrombin III
Kerusakan dinding pembuluh darah : trauma pembedahan

Manifestasi klinis terbagi atas:


Akut: oklusi massif, infark paru, emboli paru tanpa infark
Kronik: emboli paru unresolved

DIAGNOSIS
Keluhan: sesak nafas, nyeri dada, hemoptisis
Pemeriksaan fisik: takipneu, takikardi, pleural rub, tanda-tanda efusi pleura, tanda-tanda
gagal jantung kanan akut(JVP meningkat, bunyi P2 mengeras, murmur sistolikdaerah
katup pulmonal).
EKG: terutama menyingkirkan penyakit lain, perubahan ST-T tidak spesifik. Inverse
gelombang T di V1-V4, kadang-kadang dijumpai RBBB, AF. Pada emboli paru massif
dapat dijumpai RAD, P pulmonal, SI Q3T3.
Foto thoraks: menyingkirkan penyebab lain berupa emboli paru infiltrate, efusi,
atelektasis, gambaran khas emboli paru Hampton s sign, W estermark
s sign, Palla
s sign,
pada sebagian kasus: tidak tampak kelainan
AGD: Hipoksemia, alkalosis respiratorik
D-dimer plasma: meningkat(sensitive, tidak spesifik). Bila >500 ng/ml, dilanjutkan
dengan pemeriksaan:
Ventilation / Perfusion Lung Scan: (sensitive, tidak spesisik)
- Pada emboli paru: kelainan perfusi tidak disertai kelainan ventilasi, atau kelainan
perfusi lebih menonjol
- Berdasarkan adanya, ukuran, dan hubungan defek ventilasi-perfusi, hasil dibagi atas :
high-probability lung scan, non-high probability lung scan(=low dan intermediate
probability lung scan), normal lung scan.
- USG kompresi kaki. Indikasi : hasil scan menunjukkan non-high probability lung scan,
sedangkan klinis sangat mengarah ke emboli paru.
- Jika hasil scan adalah high-probabilitiy lung scan, atau USG kaki positif DVT:
diterapi sebagai emboli paru.
- Angiografi pulmoner: baku emas. Indikasi: hasil diagnostic lain tidak jelas, dan
dibutuhkan diagnosis pasti(seperti pada pasien yang tidak stabil, atau yang memiliki
resiko tinggi bila diterapi antikoagulan atau trombolitik).
102
DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia, bronchitis, asma bronchial, bronchitis kronik eksaserbasi akut, infark miokard,
edema paru, kanker paru, pneumothoraks, kostokondritis, aorta dissekans, tamponade, fraktur iga,
hipertensi pulmoner primer, nyeri musculoskeletal, anxietas.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Lab: DPL, AGD, D-dimer plasma, hemostasis (PT, aPTT, INR, aktivitas protrombin,
kadar fibrinogen), kadar protein C dan S, ACA, urin lengkap
Ventilation/perfusi lung scan
USG Doppler
EKG
Angiografi pulmoner

TERAPI
Terapi primer
Obat trombolitik diindikasikan pada emboli paru massif yang menyebabkan instabilitas
hemodinamik atau gagal napas, streptokinase: dosis loading 250.000IU drip IV dalam 30 menit.
Dilanjutkan 100.000 IU perjam drip IV, selam total 24 jam.

Terapi preventif
Antikoagulan:
Unfractionated heparin secara intravena, diberikan kontinyu atau intermiten, bolus inisial
IV 80 IU/kgBB atau sekitar 5.000 IU, dilanjutkan dengan drip 18 IU/kgBB/jam IV
- Pemantauan dengan pemeriksaan aPTT setiap 6 jam: target 1,5-2,5 x control. Bila hasil
aPTT> 2,5 x control: dosis diturunkan 100-200 IU/jam, bila hasil aPTT <1,5 x control:
dosis dinaikkan 100-200 IU/jam, bila aPTT 1,5-2,5 x control : dosis dipertahankan.
Pemantauan aPTT hari ke II setiap 12 jam, hari ke III setiap 24 jam.
- Setelah 7 hari heparinisasi: ditambahkan(overlapping) antikoagulan oral selama 5 hari,
hingga tercapat target INR pada 2 kali pemeriksaan berturut-turut.
- Selama pemberian antikoagulan, perlu diperhatikan lesi fokal di tempat lain, prosedur
invasive yang direncanakan, dipantau jumlah trombosit.
Low Molecular W eight Heparin(LMW H) diberikan subkutan tiap 12 jam. Dosis LMWH,
yaitu enoxaparin 1ml/kgBB sedangkan nadroparin 0,1 ml/kgBB. Pada obesitas, BB < 50 kg,
gagal ginjal kronik, kehamilan dapat diperiksakan anti factor Xa: 0,3-0,7 IU.
Antikoagulan oral (warfarin ) dimulai sesudah 7 hari pemberian heparin dengan dosis awal 5
mg/hari. Pemantauan dengan pemeriksaan INR tiap 1-3 hari: target INR 2-3 hari. Bila INR <
2: dosis dinaikkan tablet/hari, bila INR > 3: dosis diturunkan , bila INR 2-3 :dosis
dipertahankan.

103
Terapi Suportif
Oksigen
Infuse cairan
Inotropik: dobutamin drip, bila hipotensi atau tanda-tanda gagal jantung akut yang lain
Vasopresor sesuai indikasi
Anti aritmia sesuai indikasi
Analgetik

KOMPLIKASI
Komplikasi emboli paru : gagal napas , gagal jantung kanan akut, hipotensi/syok kardiogenik.
Komplikasi diagnostic: reaksi alergi terhadap zat kontras. Komplikasi terapi: perdarahan:
termasuk (perdarahan intrakranial), heparin induced thrombocyitopenia, nekrosis kulit, warfarin
embriopati.

PROGNOSIS
Malam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit dalam-Divis Pulmonologi
RS pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT YANG TERKAIT
RS pendidikan: Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Radiologi/Radiodiagnostik,
Patologi Klinik, Bedah/Thoraks
RS non pendidikan: Bagian Bedah, Patologi Klinik, Radiologi

REFERENSI
1. Bahar A . Diagnostik dan Diagnosis Banding Emboli Paru. Prosiding Simposium Cardiovascular Respiratory
Immunology: From Pathogenesis to Clinical A pplication 2003. Jakarta, 2003:16-8.
2. Fishman A P. Pulmonary Thromboembolic Disease. In Fishman A P, Elias JA , Fishman JA , Grippi MA , K aiser
LR, Senior RM(eds). Fishman s Manual of Pulmonary Disease and Disorder.3 nd ed. N ew Y ork: McGraw -
Hill;2002.p. 461-8.
3. Goldhaber SZ. Pulmonary Thromboembolism. In Braunw ald E, Fauci A S, K asper DL, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL, Harrison s Principles of Internal Medicine.15th ed. N ew Y ork: McGraw -Hill;2001.p. 1508-13.
4. Bahar A , Emboli Paru. In : Simadibrata M Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A (eds). Pedoman
Diagnosis dan Terapi di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FK UI; 1999.p.211-2.
5. Tambunan K L. Deteksi dan Tatalaksana Trombosis V ena Dalam. Prosiding Simposium Penatalaksanaan
K edaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam II. Jakarta, 2002:28-33.
6. Goldhaber SZ. Pulmonary Embolism. N Engl J med, July 9, 1998;339(2):93-104
7. A gnelli G. A nticoagulation in the prevention and treatment of Pulmonary Embolism. Chest, Jan
1995;107(1):39S-44S.
8. Hyers TM, A gnelli G, Hull RD, Morris TA , Samama M, Tapson V , et al. antithrombotic Therapy for V enous
Thromboembolic Disease. Sixth A CCP Consensus Conference on A ntithrombotic Therapy. Chest Jan 2001;
119(1): 176-93S.

104
2.4

REUMATOLOGI

105
ARTRITIS PIRAI

PENGERTIAN
Arthritis pirai adalah penyakit yang disebabkan oleh deposisi Kristal-monosodium urat
(MSU) yang terjadi akibat supersaturasi cairan ekstra selular dan megakibatkan satu atau
beberapa manifestasi klinik.

DIAGNOSA
Criteria ACR (977) :
A. Didapatkan Kristal monosodium urat di dalam cairan sendi, atau
B. Didapatkan Kristal monosodium urat di dalam tofus, atau
C. Didapatkan 6 dari criteria berikut :
1. Inflamsi maksimal pada hari pertama
2. Serangan arthritis akut lebih dari 1 kali
3. Arthritis monoartikuler
4. Sendi yang terkena berwarna kemerahan
5. Pembengkakan dan sakit pada sendi MTP I
6. Serangan pada sendi MTP unilateral
7. Serangan pada sendi tarsal unilateral
8. Tofus
9. Hiperurisemia
10. Pembengkakan sendi asimetris pada gambaran radiologic
11. Kista subkortikal tanpa erosi pada gambaran radiologic
12. Kultur bakteri cairan sendi negative

DIAGNOSA BANDING
Pseudogout, arthritis septic, arthritis rheumatoid

PEMERIKSAAN PENUNJANG
LED, CRP
Analisa cairan sendi
Asam urat darah dan urin 24 jam
Ureum, kreatini, CCT
Radiologi sendi

TERAPI
1. Penyuluhan
2. Pengobatan fase akut :
a. Kolkisin. Dosis 0,5 mg diberikan tiap jam sampai terjadi perbaikan inglamasi atau
terdapat tanda-tanda toksik atau dosis tidak melebihi 8 mg/24 jam
b. Obat anti inflamasi non steroid
c. Glukokortikoid dosis rendah bila ada kontraindikasi dari kolkisin dan obat antiinflamasi
ninsteroid
3. Pengobatan hiperurisemia :
a. Diet rendah purin
106
b. Obat penghambat xantin oksidase (untuk tipe produksi berlebih), misalnya allopurinol
c. Obat urikosurik (untuk tipe sekresi rendah) obat antihiperurisemik tidak boleh diberkan
pada stadium akut.

KOMPLIKASI
Tofus
Deformitas sendi
Nefropati gout, gagal ginjal, batu saluran kencing

PROGNOSIS
Bonam

WEWENANG
RS pendidikn : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit DAlam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Rematologi
RS non pendidikan : BAgian Ilmu Penyakit DAlam

UNIT TERKAIT
-

107
ARTRITIS REUMATOID

PENGERTIAN
Artritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi sistemik kronik yang terutama mengenai
sendi diartrodial. Termasuk penyakit autoimun dengan etiologi yang tidak diketahui

DIAGNOSIS
Criteria diagnosis (ACR, 1987) :
1. Kaku pagi, sekurangnya 1 jam
2. Arthritis pada sekurangnya 3 sendi
3. Arthritis pada sendi pergelangan tangan, metacarphalanx (MCP) dan proximal interphalanx
(PIP)
4. Arthritis yang simetris
5. Nodul rheumatoid
6. Factor rheumatoid serum positif
7. Gambaran radiologic yang spesifik
Untuk diagnosis AR diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut diatas. Criteria 1-4 harus minimal
diderita selama 6 minggu.

DIAGNOSA BANDING
Spondiloartropati seronegatif, sindrom Sjorgen

PEMERIKSAAN PENUNJANG
LED, CRP
Factor rheumatoid serum. Hasil positif dijumpai pada sebagian besar kasus (85%), sedangkan
hasil negative tidak menyingkirkan adanya AR
Analisa cairan sendi. dapat terlihat peningkatan jumlah leukosit di atas 2000/mm3. Analisis
ini sekaligus digunakan untuk menyingkirkan adanya artropi Kristal
Radiologi tangan dan kaki. Gambaran dini berupa pembengkakan jaringan lunak, diikuti oleh
osteoporosis juxta-articular dan erosi pada bare area tulang. Keadaan lanjut terlihat
penyempitan celah sendi, osteoporosis difus, erosi meluas sampai daerah subkondral.
Biopsy sinovium/nodul rheumatoid.

TERAPI
Penyuluhan
Proteksi sendi, terutama pada stadium akut
Obat antiinflamasi non steroid
Obat remitif (DMARD), misalnya :
o Klorokuin dengan dosis 1x250 mg/hari
o Metotreksat dosis 7,5-20 mg sekali seminggu
o Salazoprin dosis 3-4x 500mg/hari
o Garam emas per oral dosis 3-9 mg/hari, atau subkutan dosis awal 10 g, dilanjutkan
seminggu kemudian dengan dosis 25 mg/minggu, dan dinaikkan menjadi 50
mg/minggu selama 20 minggu, selanjutnya diturunkan setiap 4 minggu sampai dosis
kumulatif 2 g
Glukokortikoid, dosis seminimal mungkin dan sesingkat mungkin, untuk mengatasi keadaan
108
akut atau kekabuhan. Dapat diberikan prednisone dengan dosis 20 mg dosis terbagi dan
segera tapering off
Bila terdapat peradangan yang terbatas hanya pada 1-2 sendi, dapat diberikan injeksi steroid
intraartikular seperti tiamcinolon acetonide 10 mg atau metilprednisolon 20-40 mg
Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis
Operasi untuk memperbaiki deformitas

KOMPLIKASI
Deformitas sendi (boutonnierre, swan neck, deviasi ulnas)
Sindrom terowongan karpal

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
RS pendidikn : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Rematologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Departemen Bedah-Ortopedi
RS non pendidikan : Departemen Bedah

109
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

PENGERTIAN
Lupus eritematous sistemik adalah penyakit autoiun yang ditandai produksi antibody
terhadapa komponen-komponen inti sel yang mengakibatkan manifestasi klinis yang luas

DIAGNOSIS
Criteria diagnosis ACR 1982, diagnose ditegakkan bila didapatkan 4 dari criteria dibawah ini :
1. Ruam malar
2. Ruam discoid
3. Fotosensitvitas
4. Ulserasi dimulut atau nasofaring
5. Arthritis
6. Serositis (pleuritis atau perikarditis)
7. Kelainan ginjal (proteinuria >0,5 g/hari, atau silinder sel)
8. Kelainan neurologi, kejang-kejang atau psikosis
9. Kelainan hematologi, anemia, hemolitik, atau leucopenia, atau trombositopenia
10. Kelainan imunologik, sel LE positif atau anti DNA positif, atau anti Sm positif, tes serologis
untuk sifilis positif palsu.
11. Antibody antinuclear (ANA) positif

DIAGNOSIS BANDING
Mixed connective tissue disease, sindrom vaskulitis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
LED, CRP
C3 dan C4
ANA, ENA (anti dsDNA dsb)
Comb test, bila ada AIHA
Biopsy kulit

TERAPI
Penyuluhan
Proteksi terhadap sinar matahari, sinar ultraviolet, dan sinar fluoresein
Pada manifestasi non-organ vital (kulit, sendi, fatigue) dapat diberkan klorokuin
4mg/kgBB/hari
Bila mengenai organ vital, berikan prednisone 1-1,5 mg/kgBB/hari selama 6 minggu,
kemudian tapering off
Bila terdapat peradangan terbatas pada 1- sendi, dapat diberikan injeksi sterois intraartikular
Pada kasus berat atau mengancam nyawa dapat diberikan metilprednison 1 gr/hari IV selama
3 hari berturut-turut, lalu prednisone 40-60 mg/hari per oral
Bila pemberian glukokortikoid selama 4 minggu tidak memuaskan, maka dimulai pemberian
imunosupresif lain, missal siklofosfamid 500-1000 mg/m 2 sebulan sekali selama 6 bulan,
kemudian tiap 3 bulan sampai 2 tahun.
Immunosupresan lain yang dapat diberikan dalah azatioprin, siklosporin-A
KOMPLIKASI
110
Anemia hemolitik, thrombosis, lupus serebral, efritis lupus, infeksi sekunder,
osteonekrosis.

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Rematologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Divisi alergi, ginjal, pulmonologi, hematologi dan departemen ilmu
penyakit kulit kelamin
RS non pendidikan :Bagian Kulit-Kelamin.

111
ARTRITIS SEPTIK

PENGERTIAN
Arthritis septic adalah arthritis yang disebabkan oleh adanya infeksi berbagai
mikroorganisme (bakteri,non-gonokokal)

DIAGNOSIS
Nyeri sendi akut, umumnya monoartikular
Umunya terdapat penyakit lain yang mendasari
Ditemukan bakteri dari kultus caitan sendi

DIAGNOSIS BANDING
Arthritis gonokokal, bursitis septic

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Analisis cairan sendi
Pewarnaan Gram dan kultur cairan sendi
Radiografi sendi yang terserang
LED, CRP, leukosit darah
Kultur darah, bila ada anda-tanda sepsis

TERAPI
Aspirasi cairan sendi
Antibiotic bersprektum luas sebelum ada hasil kultur dan diubah setelah hasil kultur
siperoleh
Drainasi sendi yang terinfeksi
indikasi tindakan bedah adalah infeksi koksa pada anak-anak, infeksi mengenai sendi
yang sulit dilakukan drainasi secara adekuat, terdapat bukti osteomielitis, infeksi
berkembang ke jaringan lunak disekitarnya.

KOMPLIKASI
Osteomielitis, sepsis

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
RS pendidikn : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Rematologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Departemen Bedah-Ortopedi
RS non pendidikan : Departemen Bedah
OSTEOARTRITIS
112
PENGERTIAN
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degenerative yang mengenai rawan sendi.
penyakit ini ditandai oleh kehilangan rawan sendi progresif dan terbentuknya tulang baru pada
trabekula subkondral dan tepi tulang (osteofit)

DIAGNOSIS
Osteoatritis sendi lutut :
1. Nyeri lutut, dan
2. Salah satu dari 3 kriteria berikut :
a. Usia > 50 tahun
b. Kaku sendi < 30 menit
c. Krepitasi + osteofit

Osteoatritis sendi tangan :


1. Nyeri tangan atau kaku, dan
2. Tiga dari 4 kriteria berikut :
a. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih dari 10 sendi tangan tertentu (DIP II dan III
kiri dank an, CMC I kid an ka)
b. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih sendi DIP
c. Pembengkakan pada < 3 sendi MCP
d. Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan tertentu

Osteoatritis sendi pinggul :


1. Nyeri pinggul, dan
2. Minimal 2 dari 3 kriteria berikut :
a. LED < 20 mm/jam
b. RAdiologi : terdapat osteofit pada femut atau asetabulum
c. Radiologi : terdapat penyempitan celah sendi (superior, aksial, dan/atau medial)

DIAGNOSIS BANDING
Arthritis rheumatoid, arthritis gout, arthritis septic, spondilitis ankilosa

PEMERIKSAAN PENUNJANG
LED (pada OA inflamatif, LED meningkat)
Analisis cairan sendi
Radiografi sendi yang terserang
atroskopi

TERAPI
penyuluhan
proteksi sendi, terutama pada stadium akut
obat antiinflamasi non steroid, diantaranya : sodium diklofenak 50 mg t.i.d piroksikam 20
mg o.d, meloksikam 7,5 mg o.d dan sebagainya
steroid intraartikular untuk OA inflamasi
fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu diberikan ortosis
113
operasi untuk memperbaiki deformitas

KOMPLIKASI
Deformitas sendi

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
RS pendidikn : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Rematologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Departemen Bedah-Ortopedi
RS non pendidikan : Bagian Bedah

114
SKLEROSIS SISTEMIK

PENGERTIAN
Sklerosis sistemik merupakan penyakit kronik yang mengenai berbagai system organ dan
terutama ditandai dengan penebalan kulit. Penyakit ini dapat difus, terbatas, atau berupa sindrom
tumpang tindih.

DIAGNOSIS
A. Kriteria mayor
Skeloroderma proksimal
B. Kriteria minor
1. Sklerodaktil
2. Pencekungan jaru atau hilangnya substansi jari
3. Fibrosis basal di kedua paru
Diagnosis ditegakkan bila didapat 1 kriteria mayordan 2 kriteria minor atau lebih.

DIAGNOSIS BANDING
Mixed Connective Tissue Disease

PEMERIKSAAN PENUNJANG
LED, CRP. Peningkatan hasil menunjukkan proses inflamasi aktif
ANA, anti topo-I (Scl-70), antibody antisenromer, anti SS-A, anti SS-B, anti RNP.
Diharapkan hasil tersebut positif, terutama anti-toposomerase I, RNA polymerase I,III,
dan U3 RNP
Radiologi tangan, toraks
Uji fungsi paru
Ureum dan kreatinin
Biopsy kulit

TERAPI
Penyuluhan dan dukungan psikososial :
Proteksi terhadap suhu dingin untuk mengatasi fenomena Raynud
Bila terdapat ulkus atau gangrene, harus dirawat dengan baik dan diberikan antiiotik yang
adekuat
Dapat dicoba D-penisilamin 3x250 mg. bila gagal dapat dicoba DMARD lain seperti
metotreksat
Bila didapatkan gangguan gastrointestinal, dapat diberikan H2 antagonis, omeprasol, dan
obat-obat prokinetik
Pada keadaan kirisis renal, dapat diberkan kaptopril. Bila fungsi ginjal memburuk, dapat
dilakukan dialysis.
Pada pneumonitis, dapat diberikan glukokortikoid atau siklofosfamid.

KOMPLIKASI
Hipertensi yang tidak terkontrol, krisis renal, pneumonitis, refluks esofagitis,
divertikulosis

115
PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
RS pendidikn : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Rematologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS Pendidikan :divisi alergi, ginjal, pulmunologi, hematologi dan Departemen Ilmu Kulit
Kelamin
RS non pendidikan : BAgian Kulit Kelamin

116
2.5

TROPIK INFEKSI

117
DEMAM BERDARAH DENGUE

PENGERTIAN
Demam berdarah dengue merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus
dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes Albopticus serta
memenuhi criteria WHO untuk demam berdarah dengue (DBD)

DIAGNOSIS
Criteria diagnosis WHO 1997 untuk DBS harus memenuhi :
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, bisanya bifasik
Terdapat minimal sati dari manifestasi perdarahan berikut :
o Uji tourniquet positif (>20 petekie dalam 2,54 cm2)
o Petekie, ekimosis, atau purpura
o Perdarahan ukosa, saluran cerna, bekas suntikan, atau tempat lain
o Hematemesis atau melena
Trombositopenia (<100.000/mm3)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage
o Hematokrit meningkat >20 dibanding hematokrit rata-rata pada usia, jenis kelamin,
dan poplasi yang sama
o Hematokrit turun hingga >20% dari hematokrit awal, setelah pemberian cairan
o Terdapat efusi pleura, efusi perikard, asites, dan hipoproteinemia

Derajat
I : demam disertai gejala konstitusional yang tidak khas, manifestasi perdarahan hanya berupa uji
tourniquet positif dan/atau mudah memar
II : derajat I disertai perdarahan spontan
III : terdapat kegagalan sirkulasi : nadi cepat dan lemah atau hipotensi, diserti kulit dingn dan
lembab serta gelisah.
IV: renjatan : tekanan darah dan nadi tidak teratur DBD derajat III dan IV digolongkan dalam
sindrom renjatan dengue

DIAGNOSIS BANDING
Demam akut lain yang bermanifestasi trombositopenia

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hb, Ht, leukosit, trombosit, serologi dengue

TERAPI
Nonfarmakologi : tirah baring, makanan lunak
Farmakologis :
Simtomatis : antipiretik : antipiretik parasetamol bila demam
Tatalaksana terinci dapat dilihat pada lampiran protocol tatalaksana DBD
o Cairan intravena : Ringer Laktat atau ringer asetat 4-6 jam/kolf. Koloid/plasma
ekspander pada DBD stadium III dan IV bila diperlukan.
o Tranfusi trombosit dan komponen darah sesuai indikasi
118
o Pertimbangan heparinisasi dapa DBD stadium III dan IV dengan koagulasi
intravascular diseminta (KID)

KOMPLIKASI
Renjatan, perdarahan, KID

PROGNOSIS
Bonam

WEWENANG
RS pendidikn : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Tropik Infeksi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Divisi Hematologi-Onkologi Medik, PMI

119
DEMAM TIFOID

PENGERTIAN
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman
Salmonella thypi dan Salmonella parathypi.

DIAGNOSIS
Anamnesis : demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap
(kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama sore/malam hari, sakit
kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare
Pemeriksaan fisis : febris, kesadaran berkabut, bradikardia relative (peningkatan suhu 1C
tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor ditengah,
tepid an ujung merah, serta tremor), hepatomegali, splenomegali, nyeri abdomen,
sodeolae (jarang pada orang Indonesia)
Laboratorium : dapat ditemukan lekopeni, lekositosis, atau lekosit normal, aneosinofilia,
limfopenia, peningkatan LED, anemia ringan, trombositopenia, gangguan fungsi hati.
Kultur darah (biakan empedu) positif atau pennkatan titer uji widal >4 kali lipat setelah
satu minggu memastikan diagnosis. Kultur darah negative tidak menyingkirkan diagnosis.
Uji widal tunggal dengan titer antibody O 1/320 atau H 1/640 disertai gambaran klinis
khas menyokong diagnosis.

Hepatitis tifosa
Bila emenuhi 3 atau lebih criteria Kholsa (!990) : hepatomegali, ikterik, kelainan
laboratorium ( antara lain : bilirubin >30,6 umol/l, peningkatan SGOT/SGPT, penurunan indeks
PT) kelainan histopatologi.

Tifoid karier
Ditemukannya kuman salmonella thypi dalam biakan feses urin pada seseorang tanpa
tanda infeksi atau pada seseorang setelah 1 tahun pasca demam tifoid

DIAGNOSIS BANDING
Infeksi virus, malaria

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Daraf perifer lengkap, tes fungsi hati, serologi, kultur darah (biakan empedu)

TERAPI
Nonfarmakologis : tirah baring, makanan lunak rendah serat
Farmakologis :
Simtomatis
Antimikroba :
o Pilihan utama : kloramfenikol 4x500 mg sampai dengan 7 hari sebelum bebas demam
Alternative lain :
Tiamfenikol 4x500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan
kloramfenikol)
Kortimoksazol 2x2 tablet selama 2 minggu
120
Sefalosporin generasi III, yang terbukti efektif adalah seftriakson 3-4 gram dalam
dekstrosa 100 cc selama jam perinfus sekali sehari, selama 3-5 hari. Dapat pula
diberikan sefotaksim 2-3 x 1 gram, sefoperazon 2x1 gram
Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang hari IV) :
o Norfloksasin 2x 400 mg/hari selama 14 hari
o Siprofloksasin 2x50 mg/hari selama 6 hari
o Ofloksasin 2x400mg/hari selama 7 hari
o Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
o Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
Pada kasus toksik difoid (demama tifoid sisertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa
kelainan neurologis lainnya dan hasil pemerikasaan cairan otak masih dalam batas normal )
langsung diberikan kombinasi kloramfenikol 4x500 mg dengan ampisilin 4x1 gram dan
deksametason 3x5 mg
Kombinasi antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis atau perforasi,
renajatn septic
Steroid hanya diindikasikan pada toksis tifoid atau demam tifoid yang mengalami tenjatan
septic dengan dosis 3x5 mg

Kasus tifoid karier :


Tanpa kolelitiasis pilihan rejimen terapi selama 3 bulan :
o Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari
o Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari
o Kortimoksazol 2x2 tablet /hari
Dengan kolelitiasis kolesistektomi +regimen tersebut diatas selama 28 hari atau
kolesistektomi + salah satu rejimen berikut :
o Siprofloksasin 2x750 mg/hari
o Norfloksasin 2x400 mg/hari
Dengan infeksi schistosoma haematobium pada traktus urinarius eradikasi schistosoma
haematobium :
o Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau
o Metrifonat 7,5 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2 minggu .
Setelah ereadikasi berhasil, diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier seperti diatas

Perhatian : pada kehamilan fluorokuinolon dan kortimoksazol tidak boleh digunakan.


Kloramfenikol tidak dianjurkan pada rismester III. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trismester I.
obat yang dianjurkan golongan beta laktam : ampisilin, amoksisilin, dan sefalosporin generasi III
(seftriakson)

KOMPLIKASI
Intestinal : perdarahan intestinal, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis.

Ekstra-intestinal : kardiovaskular (kegagalan sirkulasi parifer, miokarditis, thrombosis,


tromboflebitis), hematologik (anemia hemolitik, trombositopenia, KID), paru (pneumonia,
empiema, pleuritis), hematobolier (hepatitis, kolesistitis), ginjal (glomerulonefritis, pielonefritis,
perinefritis), tulang (osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis), neuropsikiatrik (toksik tifoid)

121
PROGNOSIS
Baik. Bila penyakit berat, pengobatan terlambat/ tidak adekuat atau ada komplikasi berat,
prognosis meragukan/ buruk

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Tropik Infeksi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Departemen Bedah digestif
RS non pendidikan : Departemen Bedah

122
LEPTOSPIROSIS

PENGERTIAN
Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh spirokaeta patogen dari famili leptospiraceae

DIAGNOSIS
Anamnesis: demam tinggi, menggigil, sakit kepala, nyeri otot, mual, muntah, diare
Pemeriksaan Fisis: injeksi konjungtiva, ikterik, fotofobia, hepatomegali, splenomegali,
penurunan kesadaran
Laboratorium: dapat ditemukan leukositosis, peningkatan amylase, lipase, dan CK, gangguan
fungsi hati, gangguan fungsi ginjal. Serologi leptospira positif (titer 1/100 atau terdapat
peningkatan 4 kali pada titer ulangan)

DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis tifosa, ikterus obstruktif, malaria, kolangitis, hepatitis fulminan

PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, elektrolit, amylase, lipase, serologi leptospira MAT
(mikoaglutinasi test)

TERAPI
Nonfarmakologis
Tirah baring, makanan/ cairan tergantung pada komplikasi organ yang terlibat

Farmakologis :
Simtomatis
Antimikroba pilihan adalah pilihan utama: penisilin G4 x 1,5 juta unit selama 5-7 hari.
Alternatifnya tetrasiklin, eritromisin, doksisiklin, sefalosporin generasi III, fluorokuinolon

KOMPLIKASI
Gagal ginjal,
pankreatitis, miokarditis, perdarahan massif, meningitis aseptik.

Ekstra-intestinal : kardiovaskular (kegagalan sirkulasi parifer, miokarditis, thrombosis,


tromboflebitis), hematologik (anemia hemolitik, trombositopenia, KID), paru (pneumonia,
empiema, pleuritis), hematobolier (hepatitis, kolesistitis), ginjal (glomerulonefritis, pielonefritis,
perinefritis), tulang (osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis), neuropsikiatrik (toksik tifoid)

PROGNOSIS
Bonam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

123
UNIT YANG MENANGANI
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Tropik Infeksi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Devisi ginjal-hipertensi.

124
SEPSIS DAN RENJATAN SEPTIK

PENGERTIAN
Sepsis merupakan sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS) yang disebabkan oleh infeksi.
Renjatan (syok) septik: sepsis dengan hipotensi, ditandai dengan penurunan TDS < 90 mmHg
atau penurunan > 40 mmHg dan TD awal tanpa adanya obat-obatan yang dapat menurunkan
TD
Sepsis berat :gangguan fungsi organ atau kegagalan fungsi organ termasuk penurunan
kesadaran, gangguan fungsi hati, ginjal, paru-paru, dan asidosis metabolik.

DIAGNOSIS SEPSIS
1. Sirs ditandai dengan 2 gejala atau lebih berikut:
Suhu badan >38C atau < 36C
Frekuensi denyut jantung > 90 x menit
Frekuensi pernafasan > 24 x/menit atau PaCO2 < 32
Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3, atau adanya >10% sel batang
2. Ada fokus infeksi yang bermakna

DIAGNOSIS BANDING
Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, gula darah, AGD, elektrolit, kultur darah dan
infeksi fokal (urin, pus, sputum, dan lain-lain) disertai uji kepekaan mikroorganisme terhadap anti
mikroba, foto toraks.

TERAPI
Eradikasi fokus infeksi
Antimikroba empirik diberikan sesuai dengan tempat infeksi, dugaan kuman penyebab, profil
antimikroba (farmakokinetik dan farmakodinamik), keadaan fungsi ginjal dan fungsi hati

Antimikroba definitif diberikan bila hash kultur mikroorganisme telah diketahui, antimikroba
dapat diberikan sesuai basil uji kepekaan mikroorganisme.
Sportif: resusitasi ABC, oksigenase, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi (sesuai
indikasi) pada renjatan septik diperlukan untuk mendapatkan respons secepatnya
- Resusitasi cairan. Hipovolemia pada sepsis segera diatasi dengan pemberian cairan
kristaloid atau koloid. Volume cairan yang diberikan mengacu pada respons klinis
(respons terlihat dan peningkatan tekanan darah, penurunan frekuensi jantung, kecukupan
isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan perbaikan kesadaran) dan perlu
diperhatikan ada tidaknya tanda kelebihan cairan (peningkatan tekanan vena jugularis,
ronki, galop S,. dan penurunan saturasi oksigen) Sebaiknya dievaluasi dengan CVP
(dipertahankan 8-12 mm Hg), dengan mempertimbangkan kebutuhan kalori per hari
- Oksigenase sesuai kebutuhan. Ventilator diindikasikan pada hipoksemia yang progresif,
hiperkapnia gangguan neurologis, atau kegagalan otot pernafasan
- Bila hidrasi cukup tetapi pasien tetap hipotensi, diberikan vasoaktif untuk mencapai
tekanan darah sistolik 90 mmHg atau MAP 60 mmHg dan urin dipertahankan >30
125
ml/jam. Dapat digunakan vasopresor seperti dopamin dengan dosis >8 g/kgBB/menit,
norepinefrmn 0,03-1,5 mg/kgBB /menit, fenilefrin 0,5-8 mg/kgBB/menit, atau epinefrin
0,1-0,5 tg/kgBB/menit. Bila terdapat disfungsi miokard, dapat digunakan inotropik seperti
dobutamin dengan dosis 2-28 mg/kgBB/menit, dopamin 3-8 mg/kgBB/menit, epinefrin 0,1
-0,5 mg/kgBB/menit, atau fosfodiesterase inhibitor (amrinondanmilrinon)
- Transfusi komponen darah sesuai indikasi
- Koreksi gangguan metabolik: elektrolit, gula darah, dan asidosis metabolik (secara
empiris dapat diberikan bila pH < 7,2 atau bikarbonat serum < 9 mEq/l, dengan disertai
upaya perbaikan hemodinamik)
- Nutrisi yang adekuat
- Terapi suportif terhadap gangguan fungsi ginjal
- Kartikosteroid bila ada kecurigaan insufisiensi adrenal
- Bila terdapat KID dan didapatkan bukti terjadinya tromboemboli, dapat diberikan heparin
dengan dosis 100 IU/kgBB bolus, dilanjutkan 15-25 W/ kgBB/jam dengan infus kontinu,
dosis lanjutan disesuaikan untuk mencapai target aPTT 1,5-2 kali kontrol atau
antikoagulan lainnya.

KOMPLIKASI
Gagal nafas gagal ginjal, gagal hati, KID, renjatan septik ireversibel

PROGNOSIS
Dubia ad malam

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit alam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Tropik Infeksi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Divisi pulmonologi, ginjal-hipertensi, hematologi-onkologi, dan medical high
care / ECU
RS non pendidikan: ECU

126
FEVER OF UNKNOWN ORIGIN

PENGERTIAN
Fever of Unknown Origin (FUO) klasik adalah demam > 38,3C selama lebih dari 3 minggu,
sudah dilakukan pemeriksaan intensif selama 3 hari bila pasien dirawat atau minimal 3 kali
kunjungan pasien rawat jalan tetapi belum dapat ditentukan penyebab demam. Penyebab:
infeksi, neoplasma, penyakit kolagen dan vaskular
FUO pada pasien HIV adalah demam > 38,3C selama 4 minggu atau lebih pada pasien rawat
jalan atau minimal 4 hari pada pasien yang dirawat dengan hasil pertumbuhan
mikroorganisme negatif dan dugaan fokus infeksi. Penyebab: infeksi, obat, sarkoma, limfoma
FUO pada pasien netropenia (jumlah lekosit PMN<500/mm 3) adalah demam > 38,3C, dalam
3 hari perawatan pertumbuhan mikroorganisme masih negatif dan dugaan fokus infeksi.
Penyebab: infeksi
FUO pada geriatri adalah demam > 38,3C, dalam 3 hari perawatan atau minimal 3 kali
kunjungan pasien rawat jalan belum dapat ditentukan penyebab dan demam. Penyebab:
neoplasma, penyakit kolagen, infeksi
FUO pada pasien pediatri (usia<18 tahun) adalah demam > 38,3C selama lebih dari 5 hari,
sudah dilakukan pemeriksaan intensif selama 3 hari bila pasien dirawat atau minimal 3 kali
kunjungan pasien rawat jalan tetapi belum dapat ditentukan penyebab demam. Penyebab:
infeksi, penyakit kolagen, neoplasma
FUO pada pasien nosokomial demam > 38,3C timbul pada pasien yang dirawat di RS dan
pada saat mulai dirawat serta pada masa permulaan perawatan tidak terjangkit infeksi.
penyebab demam tak diketahui dalam waktu 3 hari termasuk hasil pertumbuhan
mikroorganisme negatif dan dengan fokus infeksi. Penyebab: infeksi
FUO iatrogenic adalah demam > 38,3C akibat penggunaan obat: penicillin, sefalosponin,
sulfonamida, atropin, fenitoin, prokainarnida, amfoterisin, interferon, interleukin, rifarnpisin,
INH, makrolida, klindamisin, vankomisin, aminoglikosida, allopurinol

DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis:
riwayat penyakit secara terperinci: pola demam, ada tidaknya infeksi saluran nafas atas,
infeksi saluran nafas bawah, kaku leher, nyeri perut, disuria atau sakit pinggang, diare, abses
atau radang tonsil dan otot, nyeri dan pembengkakan sendi, atau tanpa kelainan spesifik
riwayat pekerjaan, perjalanan, kontak dengan orang sakit atau hewan, trauma fisik atau bedah,
obat-obatan (termasuk rokok, alkohol, narkoba), keadaan kulit pasien, kelenjar getah bening,
lubang orifices pasien
Laboratorium: sesuai mikroorganisme dan organ terkait

DIAGNOSIS BANDING
Infeksi, penyakit kolagen, neoplasma, efek samping obat

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan hematologi, kimia darah, UL, mikrobiologi, immunologi, radiologi, EKG
biopsi jaringan tubuh, pencitraan, sidikan (scanning), endoskopi/peritoneoskopi, angiografi,
limfografi, tindakan bedah (laparatomi percobaan), uji pengobatan
TERAPI
127
Simtounatik
Uji terapeutik dengan antibiotika, kartikosteroid, atau obat anti inflamasi non- steroid tidak
dianjurkan kecuali bila penyakit progresif dan potensial fatal sehingga terapi empirik
diperlukan

KOMPLIKASI
Sepsis, renjatan sepsis

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Tropik Infeksi
RS non pendidikan: Bagian ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Divisi pulmonologi, hematologi-onkologi.
RS non pendidikan: -

128
MALARIA

PENGERTIAN
Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit Plasmodium falciparum,
Plasmodium vivax, Plasmodium ovate, atau Plasmodium malariae dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk anopheles

DIAGNOSIS
Anamnesis: riwayat demam intermiten atau terus menerus, riwayat dan atau pergi ke
daerah endemik malaria, trias malaria (keadaan menggigil yang diikuti dengan demam dan
kemudian timbul keringat yang banyak; pada daerah endemik malaria, trias malaria mungkin
tidak ada, diare dapat merupakan gejala utama)
Pemeriksaan Fisis: konjungtiva pucat, sklera ikterik, splenomegali

Laboratorium: sediaan darah tebal dan tipis ditemukan plasmodium, serologi malaria (+) [sebagai
penunjang]

Malaria berat: ditemukannya P falciparum dalam stadium aseksual disertai satu atau lebih gejala
berikut:
1. Malaria serebral: koma dalam yang tak dapat/sulit dibangunkan dan bukan disebabkan oleh
penyakit lain
2. Anemia berat (normositik) pada keadaan hitung parasit >10.000/ul; (Hb < 5 g/dl atau
hematokrit < 15%)
3. Gagal ginjal akut(urin < 400 ml/24 jam pada orang dewasa, atau < 12 ml/kgBB pada anak-
anak setelah dilakukan rehidrasi disertai kreatinin >3 mg/dl
4. Edema paru/Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
5. Hipoglikemia (gula darah < 40 mg/dl)
6. Gagal sirkulasi atau syok (tekanan sistolik <70 mmHg, disertai keringat dingin atau
perbedaan temperatur kulit-mukosa > 1C)
7. Pendarahan spontan dan hidung, gusi, saluran cerna, dan/atau disertai gangguan koagulasi
intravaskular
8. Kejang berulang lebih dan 2 kali dalam 24 jam setelah pendinginan pada hyperthermia
9. Asidemia (pH 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma <15 mEq/l)
10. Hemoglobinuria mikroskopik oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena efek samping
obat antimalaria pada pasien dengan defisiensi G6PD)
11. Diagnosis pasca-kematian dengan ditemukannya P Falciparum yang padat pada pembuluh
darah kapiler jaringan otak

Beberapa keadaan yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai dengan gambaran klinis
daerah setempat:
1. Gangguan kesadaran
2. Kelemahan otot tanpa kelainan neurologis (tak bisa duduk/jalan)
3. Hiperparasitemia > 5% pada daerah hipoendemik atau daerah tak stabil malaria
4. Ikterus (bilirubin >3 mg/dl)
5. Hyperpyrexia (suhu rektal > 40C)

129
DIAGNOSIS BANDING
Infeksi virus, demam tifoid toksik, hepatitis fulminan, leptospirosis, ensefalitis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah tebal dan tipis malaria, serologi malaria, DPL, tes fungsi ginjal, tea fungsi hati, gula
darab, UL, AGD, elektrolit, hemostasis, rontgen toraks, EKG

TERAPI
A. Infeksi P vivax atau P. ovale
a. Daerah sensitif klorokuin:
Klorokuin basa 150 mg:
Han I : 4 tablet + 2 tablet (6 jam kemudian),
Hari II dan III: 2 tablet atau
Hari I dan II : 4 tablet,
Hari III : 2 tablet
Terapi radikal: ditambah primaquine 1 x 15mg selama 14 hari.
Bila gagal dengan terapi klorokuin, kina sulfat 3 x 400-600 mg/hari selama 7
hari
b. Daerah resisten klorokuin
Kina 3 x 400-600mg selama 7 hari
Terapi radikal: ditambah primaquine 1 x 15 mg selama 14 hari
B. Infeksi P. falciparum ringan/sedang infeksi campur P falciparum dan P vivax
Artemisin
Hari I:4 tablet (200 mg)
Hari II:4 tablet (200 mg)
Hari III:4 tablet (200 mg)
Arnodiaquin
Hari I: 4 tablet (600 mg)
Hari II: 4 tablet (600 mg)
Hari III: 2 tablet (600 mg)
Klorokuin basa 150 mg:
Hari 1 : 4 tablet + 2 tablet (6jam kemudian),
Hari II : 2 tablet
Hari III : 2 tablet atau Hari I : 4 tablet
Hari II : 4 tablet
Hari III : 2 tablet
Bila perlu ditambah terapi radikal: ditambah primaquine 45 mg (3 tablet) (dosis tunggal);
infeksi campur: primaquine 1 x 15 mg selama 14 hari bila resisten dengan pengobatan
tersebut: SP 3 tablet (dosis tunggal) atau kina sulfat 3 x 400-600 mg/hari selama 7 hari
C. Malaria berat
Articulate iv/im 2,4 mg/kgBB diberikan pada jam ke-0, 12, 24, dilanjutkan satu kali per
hari.
Drip kina HCl 500mg (10 mg/kgBB) dalam 250-500 ml D5% diberikan dalam 6 - 8 jam
(maksimum 2000 mg) dengan pemantauan EKG dan kadar gula darah tiap 8 - 12 jam
sampai pasien dapat minum obat per oral atau sampai hitung parasit malaria sesuai target
130
(total pemberian parenteral dan per oral selama 7 hari dengan dosis per oral 10
mg/kgBB/24 jam diberikan 3 kali sehari)
Pengobatan dengan kina dapat dikombinasikan dengan tetrasiklin 94 mg/ kgBB diberikan
4 kali sehari atau doksisiklin 3 mg/kgBB sekali sehari

Perhatian SP tidak boleh diberikan pada bayi dan ibu hamil. Primaquine tidak boleh diberikan
pada ibu hamil, bayi, dan penderita defisiensi G6PD. Klorokuin tidak botch diberikan dalam
keadaan perut kosong. Pada pemberian kina parenteral, bila obat sudah diterima selama 48 jam
tetapi belum ada perbaikan dan atau terdapat gangguan fungsi ginjal, maka dosis selanjutnya
diturunkan sampai 30-50%. Kartikosteroid merupakan kontraindikasi pada malaria serebral.

Pemantauan pengobatan: hitting parasit minimal tiap 24 jam, target hitung parasit pada H1 50%
HO dan H3 < 25% HO. Pemeriksaan diulang sampai dengan tidak ditemukan parasit malaria
dalam 3 kali pemeriksaan berturut-turut.

Pencegahan: klorokuin basa 5 mg/kgBB, maksimal 300 mg/minggu diminum tiap minggu sejak
1 minggu sebelum masuk daerah endemik sampai dengan 4 minggu setelah meninggalkan daerah
endemik atau doksisiklin 1,5 mg/kgBB/hari dimulai 1 (satu) hari sebelum pergi ke daerah
endemis malaria hingga 4 minggu setelah meninggalkan daerah endemis

KOMPLIKASI
Malaria berat, renjatan, gagal nafas, gagal ginjal akut

PROGNOSIS
Malaria falciparum ringan/sedang, malaria vivax, atau malaria ovale: bonam. Malaria berat: duhia
ad malam

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Tropik Infekal
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Pulmonologi dan Departemen Neurologi
RS non pendidikan: Bagian Neurologi

131
INTOKSIKASI OPIAT

PENGERTIAN
Intoksikasi opiat merupakan intoksikasi akibat penggunaan obat golongan opiat yaitu
morfin, petidin, heroin, opium, pentazokain, kodein, loperamid, dekstrometorfan.

DIAGNOSIS
Anamnesis: informasi mengenai seluruh obat yang digunakan, sisa obat yang ada
Pemeriksaan Fisis: pupil miosis-pin point pupil, depresi nafas, penurunan kesadaran, nadi
lemah, hipotensi, tanda edema paru, needle tracksigiz, sionosis, spasme saluran cerna dan
belier, kejang
Laboratorium: opiat urin positif atau kadar dalam darah tinggi

DIAGNOSIS BANDING
Intoksikasi obat sedatif: barbiturat, benzodiazepin, etanol

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Opiat urin/darah, AGD, elektrolit, gula darah, rontgen toraks

TERAPI
A. Penanganan kegawatan: resusitasi A-B-C (airway, breathing, circulation) dengan
memperhatikan prinsip kewaspadaan universal. Bebaskan jalan nafas, berikan oksigen sesuai
kebutuhan, pemasangan infus dan pemberian cairan, sesuai kebutuhan.
B. Pemberian antidotnalokson
1. Tanpa hiperventilasi: dosis awal diberikan 0,4 mg intravena pelan-pelan atau diencerkan
2. Dengan hiperventilasi: dosis awal diberikan 1-2 mg intravena pelan-pelan atau diencerkan
3. Bila tak ada respon, diberikan nalokson 1-2 mg intravena tiap 5 10 menit hingga timbul
respons (perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pernafasan, dilatasi pupil) atau telah
mencapai dosis maksimal 10mg. Bila tetap tak ada respon, diagnosis intoksikasi opiat
perlu dikaji ulang,
4. Efek nalokson berkurang dalam 2O-40 menit dan pasien dapat jatuh ke dalam keadaan
overdosis kembali, sehingga perlu pemantauan ketat tanda vital, kesadaran, dan perubahan
pupil selama 24 jam. Untuk pencegahan dapat diberikan drip nalokson satu ampul dalam
500 ml P5% atau NaCl 0,9% diberikan dalam 4-6 jam
5. Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan foto toraks
6. Pertimbangan pemasangan pipa endo trakeal bila: pernafasan tak adekuat setelah
pemberian nalokson yang optimal, oksigenasi kurang meski ventilasi cukup, atau
hipoventitasi menetap setelah 3 jam pemberian nalokson yang optimal
7. Pasien dipuasakan 6 jam untuk menghindari aspirasi akibat spasme pyloric, bila
diperlukan dapat dipasang NOT untuk mencegah aspirasi atau bilas lambung pada
intoksikasi opiat oral
8. Activated clzarcoal dapat diberikan pada intoksikasi peruraian memberikan 240 ml cairan
dengan 30 gram charcoal, dapat diberikan sampai 100 gram
9. Bila terjadi kejang dapat diberikan diazeparn intravena 5-10 mg dan dapat diulang bila
perlu.

132
Pasien dirawat untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi.

KOMPLIKASI
Aspirasi, gagal nafas. edema paru akut

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Tropik Infeksi
RS non pendidikan: Bagian ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Divisi Psikosomatik, Divisi Pulmonologi dan Departemen Psikiatri,
Departemen Anestesi/ICU
RS non pendidikan: Bagian Psikiatri

133
INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT

PENGERTIAN
Intoksikasi organofosfat merupakan intoksikasi akibat zat yang mengandung organofosfat.

DIAGNOSIS
Anamnesis: riwayat minum/kontak dengan zat yang mengandung organofosfat, muntah
Pemeriksaan Fisis: bradikardia, pupil miosis, penurunan kesadaran, tanda-tanda aspirasi
Laboratorium: pemeriksaan bahan muntah atau darah mengandung organofosfat

PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, elektrolit, rontgen toraks, EKG, pemeriksaan organofosfat

TERAPI
Bilas ambung melalui NGT
Atropinisasi

KOMPLIKASI
Gagal nafas, blok AV

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesial Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen ilmu Penyakit Dalam Divisi Tropik Infeksi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Divisi Pulmonologi, Psikosomatik
RS non pendidikan: Bagian Psikiatri

134
2.6

GINJAL HIPERTENSI

135
PENYAKIT GINJAL KRONIK

PENGERTIAN
Kriteria penyakit ginjal kronik adalah:
1. Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, berupa kelainan struktur atau fungsi
ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), berdasarkan:
kelainan patologik atau
petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan pada komposisi darah atau urin, atau
kelainan pada pemeriksaan pencitraan
2. LFG <60 ml/menit/1,73 m yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal

DIAGNOSIS
Anamnesis: lemas, mual, muntah, sesak nafas, pucat, BAK berkurang
Pemeriksaan Fisis: anemis, kulit kering, edema tungkai atau palpebra, tanda bendungan paru
Laboratorium: gangguan fungsi ginjal

Batasan dan Stadium Penyakit Ginjal Kronik


Dengan Kerusakan
LFG Tanpa Kerusakan Ginjal
Ginjal
(ml/menit/l,7
Dengan Tanpa Dengan Tanpa
3 m)
Hipertensi Hipertensi Hipertensi Hipertensi
> 90 1 1 Hipertensi Normal
60-89 2 2 Hipertensi LFG
30-59 3 3 +1 LFG 3.
15-29 4 4 3. 4
< 15 (atau 5 5 4 5
dialisis) 5

DIAGNOSIS BANDING
Gagal ginjal akut

PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, ureum, kreatinin, UL, tes klirens kreatinin (TTK) ukur, elektrolit (Na, K, Cl, Ca, P, Mg),
profil lipid, asam urat serum, gula darah, AGD, SI,TIBC, feritin serum, hormon PTH, albumin,
globulin, USG ginjal, pemeriksaan immunologi, hemostasis lengkap, foto polos abdomen,
renogram, foto toraks, EKG ekokardiografi, biopsi ginjal, HBsAg, Anti HCV, Anti HIV.

TERAPI
Nonfarmakologis:
Pengaturan asupan protein:
- pasien non dialisis 0,6-0,75 gram/kgBB ideal/hari sesuai dengan CCT dan toleransi pasien
- pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB ideal/hari
- pasien peritoneal dialisis 1,3 gram/kgBB/hari
Pengaturan asupan kalori: 35 Kal/kgBB ideal/hari
136
Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara
asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dan kalori total
Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
Fosfor:5-10mg/kgBB/hari. Pasien HD: 17mg/hari
Kalsium: l400-l600mg/hari
Besi: 10-18 mg/hari
Magnesium: 200-300 mg/hari
Asam folat pasien HD: 5 mg
Air: jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss).
Pada CAPD air disesuaikan dengan jumlah dialisat yang keluar. Kenaikan berat badan di
antara waktu RD <5% BB kering.

Farmakologis:
Kontrol tekanan darah:
- Penghambat ACE atau antagonis reseptor Angiotensin II evaluasi kreatinin dan kalium
serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemi harus
dihentikan
- Penghambat kalsium
- Diuretik
Pada pasien DM. kontrol gula darah hindari pemakaian metformin dan obat-obat
sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 di atas nilai
normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
Kontrol hiperfosfatemi: kalsium karbonat atau kalsium asetat
Kontrol osteodystrophy renal : Kalsitniol
Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/1
Koreksi hiperkalemi
Kontrol dislipidemia dengan target LDL<100 mg/dl, dianjurkan golongan statin
Terapi ginjal pengganti

KOMPLIKASI
Kardiovaskular, gangguan keseimbangan asam basa, cairan, dan elektrolit, osteodistrofi renal,
anemia

PROGNOSIS
Dubia

137
WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Hemodialisis: wewenang Subspesialis Ginjal-Hipertensi dan internist dengan sertifikasi
hemodialisis

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Ginjal-Hipertensi
RS non pendidikan: Bagian ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Unit Hemodialisis, ICU/Medical High Care, Departemen Bedah Urologi
RS non pendidikan: Unit hemodialisis, ICU

138
SINDROM NEFROTIK

PENGERTIAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang
ditandai dengan proteinuria masif > 3,5 gram/24 jam/1,73 m disertai hipoalbuminemia, edema
anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas.

DIAGNOSIS
Anamnesis: bengkak seluruh tubuh, buang air kecil keruh
Pemeriksaan fisis: edema anasarka, asites
Laboratorium: proteinuria masif > 3,5 gram/24 jam/1,73 m, hiperlipidemia, hipoalbuminemia
(<3,5 gram/dl), lipiduria, hiperkoagulabilitas. Diagnosis etiologi berdasarkan biopsi ginjal

DIAGNOSIS BANDING
Edema dan asites akibat penyakit hati atau malnutrisi, diagnosis etiologi SN

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urinalisis, ureum, kreatinin, tes fungsi hati, profil lipid, DPL, elektrolit, gula darah,
hemostasis, pemeriksaan immunologi, biopsi ginjal, protein urin kuantitatif

TERAPI
Nonfarmakologis:
Istirahat
Restriksi protein dengan diet protein 0,8 gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam
urin/24 jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6
gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam
Diet rendah kolesterol < 600 mg/hari
Berhenti merokok
Diet rendah garam, restriksi cairan pada edema

Farmakologis:
Pengobatan edema: diuretik loop
Pengobatan proteinunia dengan penghambat ACE dan/atau antagonis reseptor Angiotensin II
Pengobatan dislipidemia dengan golongan statin
Pengobatan hipertensi dengan target tekanan darah < 125/75 mmHg. Penghambat ACE dan
antagonis reseptor Angiotensin II sebagai pilihan obat utama
Pengobatan kausal sesuai etiologi SN (lihat topik penyakit glomerular)

KOMPLIKASI
Penyakit ginjal kronik, tromboemboli

PROGNOSIS
Tergantung jenis kelainan glomerular

139
WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Ginjal-Hipertensi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Departemen Patologi Anatomik
RS non pendidikan: -

140
PENYAKIT GLOMERULAR

PENGERTIAN
Penyakit Glomerular merupakan penyakit ginjal berupa peradangan pada glomerulus dan
dapat dibedakan menjadi penyakit glomerular primer atau sekunder.

Penyakit glomerular primer:


1. Kelainan minimal
2. Glomerulo skelerosis fokal segmental
3. Olomerulonefritis (GN) difusi:
a. ON membranosa (nefropati membranosa)
b. ON proliferatif (terdapat sedimen aktif pada urinalysis: sedimen eritrosit (+), hematuri):
- ON prohferatif mesangial
- GN proliferatif endokapiler
- ON membranoproliferatif(mes/angiokapiler)
- ON kresentik dan necrotizing
c. ON sclerosing
4. Nefropati IgA

Penyakit glomerular sekunder:


1. Nefropati diabetik
2. Nefritis lupus
3. GN pasca infeksi
4. GN terkait hepatitis
5. GN terkait HIV

Keterangan:
Difus: lesi mencakup > 80% glomerulus.
Fokal: lesi mencakup < 80% glomerulus.
Segmental: lesi mencakup sebagian gelung glomerulus.
Global: lesi mencakup keseluruhan gelung glomerulus.

DIAGNOSIS
Manifestasi klinis penyakit glomerular dapat berupa:
1. Sindrom nefrotik
2. Hematuria persisten
3. Proteinuria persisten
4. Sindrom nefritik (hipertensi, hematuria, azotemia)
5. Rapid progressive glomerulonephritis (RPGN)

DIAGNOSIS BANDING
Etiologi dan penyakit glomerular

141
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urinalisis, ureum, kreatinin, protein urin kuantitatif/24 jam, pemeriksaan immunologi,
biopsi ginjal, gula darah, tes fungsi hati

TERAPI
Sesuai etiologi, penyakit glomerular primer:
1. Kelainan minimal:
Steroid yang setara dengan prednison 60 mg/m (maksimal 80mg) selama 4- 6 minggu
Setelah 4-6 minggu dosis prednison diberikan 40 mg/m selang sehari selama 4-6minggu
- Bila terjadi relaps: dosis prednison kembali 60 mg/m (maksimal 80mg) setiap hari
sampai 3 hari bebas protein dalam urin, kemudian kembali selang sehari dengan dosis
40 mg/m selama 4 minggu
- Bila sering relaps (2 kali): prednison selang sehari ditambah dengan siklofosfamid 2
mg/kgBB atau klorambusil 0,15 mg/kgBB selama 8 minggu. Bila gagal, diberikan
siklosporin 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan
- Bila tergantung steroid (relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam 2
minggu pasca obat sudah dihentikan, 2 kali berturut-turut): siklofosfamid 2 mg/kgBB
selama 8-12 minggu. Bila gagal, diberikan siklosponin 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan
- Bila resisten terhadap steroid, diberikan siklosporin 5 mg/kgBB selama 6- 12 bulan
2. Glomerulonefritis fokal segmental:
Steroid yang setara dengan prednison 60 mg/hari selama 6 bulan.
- Bila resisten atau tergantung steroid: siklosponin 5 mg/kgBB selama 6 bulan
- Bila terjadi remisi, dosis siklosporin diturunkan 25% setiap dua bulan
- Bila gagal, siklosporin dihentikan
3. Nefropati membranosa:
Metil prednisolon bolus intravena 1 gram/hari selama 3 hari
Kemudian diberikan steroid yang setara dengan prednison 0,5 mg/kgBB/hari selama 1
bulan lalu diganti dengan kloambusil 0,2 mg/kgBB/hari atau siklofosfamid 2
mg/kgBB/hari selama 1 bulan
Prosedur kedua diulang kembali sampai seluruhnya dad prosedur kedua sebanyak 3 kali
4. Glomerulonefritis membranoproliferatif
Steroid tidak terbukti efektif pada pasien dewasa.
Dianjurkan pemberian aspirin 325 mg/had atau dipinidamol 3 x 75-100 mg/hari atau
kombinasi keduanya selama 12 bulan. Bila dalam 12 bulan tidak memberikan respon,
pengobatan dihentikan sama sekali
5. Nefropati IgA
Bila proteinuria < 1 gram, hanya observasi
Bila proteinuria 1 - 3 gram, dengan fungsi ginjal normal, hanya observasi. Bila dengan
gangguan fungsi ginjal, diberikan minyak ikan
Bila proteinuria > 3 gram dengan CCT >70 ml/menit, diberikan steroid yang setara
dengan prednison 1 mg/kgBB selama 2 bulan lalu tappering off secara perlahan sampai
dengan 6 bulan. Bila CCT < 70 ml/menit, hanya diberikan minyak ikan
Suplementasi kalsium selama terapi dengan steroid

142
KOMPLIKASI
Penyakit ginjal kronik

PROGNOSIS
Tergantung jenis kelainan glomerular

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Ginjal-Hipertensi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Departemen Patologi Anatomik
RS non pendidikan: -

143
GAGAL GINJAL AKUT

PENGERTIAN
Gagal ginjal akut (GGA) adalah sindrom yang ditandai oleh penurunan laju filtrasi
glomerulus secara mendadak dan cepat (hitungan jam-minggu.) yang mengakibatkan terjadinya
retensi produk sisa nitrogen seperti ureum dan kreatinin. Peningkatan kreatinin serum 0,5 mg/dl
dan nilai sebelumnya, penurunan CCT hitung sampai 50% atau penurunan fungsi ginjal yang
mengakibatkan kebutuhan akan dialisis.

DIAGNOSIS
Terdapat kondisi yang dapat menyebabkan GGA:
1. Pre-renal: akibat hipoperfusi ginjal (dehidrasi, perdarahan, penurunan curah jantung dan
hipotensi oleh sebab lain)
2. Renal: akibat kerusakan akut parenkim ginjal (obat, zat kimia/toksin, iskemi ginjal, penyakit
glomerular)
3. Post-renal: akibat obstruksi akut traktus uninarius/batu saluran kemih, hipertrofi prostat,
keganasan ginekologis)
Fase gagal ginjal akut adalah anuria (produksi urin < 100 mg/24 jam), oligunia (produksi urin <
400 ml/24 jam), poliuria (produksi urin > 3.500 ml/24 jam)

DIAGNOSIS BANDING
Episode akut pada penyakit ginjal kronik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes fungsi ginjal, DPL, urinalysis elektrolit, AGD, gula darah

TERAPI
- Asupan nutrisi
- Kebutuhan kalori 30 Kal/kgBB Ideal/hari pada. GGA tanpa komplikasi; kebutuhan
ditambah 15-20% pada GGA berat (terdapat komplikasi/stres)
- Kebutuhan protein 0,6-0,8 gram/kgBB ideal/hari pada OGA tanpa komplikasi; 1-1,5
gram/kgBB ideal/hari pada GGA berat
- Perbandingan karbohidrat dan lemak 70 : 30
- Suplementasi asam amino tidak dianjurkan
- Asupan cairan tentukan status hidrasi pasien, catat cairan yang masuk dan keluar tiap hari,
pengukuran BB setiap hail bila memungkinkan, dan pengukuran tekanan vena sentral bila ada
fasilitas.
- Hipovolemia: rehidrasi sesuai kebutuhan
- Bila akibat perdarahan diberikan transfusi darah PRC dan cairan Isotonik, hematokrit
dipertahankan sekitar 30% -
- Bila akibat diare, muntah, atau asupan cairan yang kurang dapat diberikan cairan
kristaloid
- Normovolemia: cairan seimbang (input = output)
- Hipervolemia: restriksi cairan (input < output)
- Fase anuria/oligunia: cairan seimbang; Fase poliuria: 2/3 dan cairan yang keluar
Dalam keadaan insensible water loss yang normal, pasien membutuhkan 300- 500 ml
144
electrolyte free water per hari sebagai bagian dan total cairan yang diperlukan
- Koreksi gangguan asam basa
- Koreksi gangguan elektrolit:
Asupan kalium dibatasi <50 mEq/hari. Hindari makanan yang banyak mengandung
kalium, obat yang mengganggu ekskresi kalium seperti penghambat ACE dan diuretik
hemat kalium, dan cairan/nutrisi parenteral yang mengandung kalium
Bila terdapat hipokalsemia ringan diberikan koreksi per oral 34 gram per hari dalam
bentuk kalsium karbonat, bila sampai timbul tetani, diberikan kalsium glukonas 10% IV
Bila terdapat hiperfosfatemia, diberikan obat pengikat fosfat seperti alumunium
hidroksida atau kal1ium karbonat yang diminum bersamaan dengan makan
- Pemberian furosemid bersamaan dengan dopamin dapat membantu pemeliharaan fase
nonoligunik, tapi terapi harus dihentikan bila tidak memberikan hasil yang diinginkan
- Indikasi dialisis:
Oliguria
Anunia
Hiperkalemia (K > 6,5 mEq/l)
Asidosis berat (pH <7,1)
Azotemia (ureum > 200 mg/dl)
Edema paru
Ensefalopati uremikum
Penikarditis uremik
Neuropati/miopati uremik
Disnatremia bera (Na > 160 mEq/l atau < 115 mEq/l)
Hipertermia
Kelebihan dosis obat yang dapat didialisis (keracunan)

KOMPLIKASI
Gangguan asam basa dan elektrolit, sindrom uremik, edema paru, infeksi

PROGNOSIS
Dubia ad bonam

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam Hemodialisis: wewenang Subspesialis
Ginjal-Hipertensi dan internist dengan sertifikasi hemodialisis

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan departemen Ilmu Penyakit DalamDivisi Ginjal-Hipertensi, Unit
hemodialisis
RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam, unit Hemodialisis

UNIT TERKAIT
RS pendidikan ICU, unit dialisis
RS non pendidikan: -
HIPERTENSI
145
PENGERTIAN
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah yang sama atau melebihi 140 mmHg sistolik
dan/atau sama atau melebihi 90 mmHg diastolik pada seseorang yang tidak sedang makan obat
antihipertensi.

Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan Joint National Committee VII:


Klasifikasi TD sistolik (mmHg) TD diastolik (mmHg)
Normal < 120 dan < 80
Pre-hipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi stage 2 160 atau 100

Diagnosis
Klasifikasi berdasarkan hasil rata-rata pengukuran tekanan darah yang dilakukan minimal 2
kali tiap kunjungan pada 2 kali kunjungan atau lebih dengan menggunakan cuff yang meliputi
minimal 80% lengan atas pada pasien dengan posisi duduk dan telah beristirahat 5 menit.
Tekanan sistolik = suara fase 1 dan tekanan diastolik = suara fase 5
Pengukuran pertama harus pada kedua sisi lengan untuk menghindarkan kelainan pembuluh
darah perifer
Pengukuran tekanan darah pada waktu berdiri diindikasikan pada pasien dengan risiko
hipotensi postural (lanjut usia, pasien DM, dan lain-lain)
Faktor risiko kardiovaskular:
- Hipertensi
- Merokok
- Obesitas (IMT > 30)
- Inaktivitas fisik
- Dislipidemia
- Diabetes melitus
- Mikroalbuminuria atau LFG <60 ml/menit
- Usia (laki-laki > 55 tahun, perempuan > 65 tahun)
- Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini (laki-laki <55 tahun atau
perempuan <65 tahun)
Kerusakan organ sasaran:
- Jantung: hipertrofi ventrikel kin, angina atau riwayat infark miokard, riwayat
revaskularisasi koroner, gagal jantung
- Otak: strok atau transient ischemic attack (TIA)
- Penyakit ginjal kronik
- Penyakit arteri perifer
- Retinopati
Penyebab hipertensi yang telah diidentifikasi: sleep apnea, akibat obat atau berkaitan dengan
obat, penyakit ginjal kronik, aldosterinisme primer, penyakit renovaskular, terapi steroid
kronik dan sindrom Cushing, feokromositoma, koarktasi aorta, penyakit tiroid atau paratiroid.

146
DIAGNOSIS BANDING
Peningkatan tekanan darah akibat white coal hypertension, rasa nyeri, peningkatan
tekanan intraserebral, ensefalitis, akibat obat, dan lain-lain.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urinalisis, tes fungsi ginjal, gula darah, elektrolit, profil lipid, foto toraks, EKG; Sesuai
penyakit penyerta: asam urat, aktivitasrenin plasma, aldosteron, katekholamin
urin, USG pembuluh darah besar, USG ginjal, ekokardiografi

TERAPI
Modifikasi gaya hidup dengan target tekanan darah <140/90 mmHg atau <130/ 80 pada
pasien DM atau penyakit ginjal kronis. Bila target tidak tercapai maka diberikan obat inisial.
Obat inisial dipilih berdasarkan:
1. Hipertensi tanpa compelling indication
a. Pada hipertensi stage I dapat diberikan diuretik. Pertimbangkan pemberian
penghambat ACE, penyekat reseptor beta, penghambat kalsium, atau kombinasi.
b. pada hipertensi stage II dapat diberikan kombinasi 2 obat, biasanya golongan diuretik,
tiazid dan penghambat ACE atau antagonis reseptor AII atau penyekat reseptor beta
atau penghambat kalsium.
2. Hipertensi dengan compelling indication. Lihat tabel petunjuk pemilihan obat pada
compelling indication. Obat antihipertensi lain dapat diberikan bila dibutuhkan misalnya
diuretik, antagonis reseptor AII, penghambat ACE, penyekat reseptor beta, atau
penghambat kalsium.
Bila target tidak tercapai maka dilakukan optimalisasi dosis atau ditambahkan obat lain
sampai target tekanan darah tercapai. Pertimbangkan untuk berkonsultasi pada spesialis
hipertensi.
Pada penggunaan penghambat ACE atau antagonis reseptor AII: evaluasi kreatinin dan
kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemi harus
dihentikan.
Kondisi khusus lain:
- Obesitas dan sindrom metabolik (terdapat 3 atau lebih keadaan berikut: lingkar pinggang
laki-laki > 102 cm atau perempuan > 89 cm, toleransi glukosa terganggu dengan gula
darah puasa 110 mg/dl, tekanan darah minimal 130/85 mmHg, trigliserida tinggi 150
mg/dl kolesterol HDL rendah <40 mg/dl pada laki-laki atau <50 mg/dl pada perempuan)
modifikasi gaya hidup yang intensif dengan pilihan terapi utama golongan penghambat
ACE. Pilihan lain adalah antagonis reseptor AII, penghambat kalsium, dan penghambat
- Hipertrofi ventrikel kiri tatalaksana tekanan darah yang agresif termasuk penurunan
berat badan, restriksi asupan natrium, dan terapi dengan semua kelas antihipertensi
kecuali vasodilator langsung, hidralazih dan minoksidil.
- Penyakit arteri perifer semua kelas anti hipertensi, tatalaksana faktor risiko lain, dan
pemberian aspirin
- Lanjut usia, termasuk penderita hipertensi sistolik terisolasi diuretika (tiazid) sebagai
lini pertama, dimulai dengan dosis rendah 12,5 mg/hari. Penggunaan obat antihipertensi
Lain dengan mempertimbangkan penyakit penyerta
- Kehamilan pilihan terapi adalah golongan metildopa, penyekat reseptor , antagonis
kalsium, dan vasodilator. Penghambat ACE dan antagonis reseptor AII tidak boleh
147
digunakan selama kehamilan.

Petunjuk pemilihan obat pada compelling indications


Obat-obat yang Direkomendasikan
Kondisi
Antagoni
Risiko Tinggi
Penghamba s Penghamba Antagonis
Dengan Diureti Penyekat
t Reseptor t Aldostero
compelling k Reseptor
ACE AII Kalsium n
indication
Gagal

Jantung
Pasca Infark

Miokard
Risiko tinggi
Penyakit
Koroner
DM
penyakit
Ginjal
Kronik
Pencegahan
Stroke
Berulang

KOMPLIKASI
Hipertrofi ventrikel kiri, proteinuria dan gangguan fungsi genial, atherosclerosis
pembuluh darah, retinopati, stroke atau TIA, infark miokard, angina pektoris, gagal jantung

PROGNOSIS
Bonam

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen Umum Penyakit Dalam Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi
Kardiologi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: ICCU, Departemen mata, Neurologi
RS non pendidikan: ICCU / ICU, Departemen mata, neurologi

148
KRISIS HIPERTENSI

PENGERTIAN
Krisis hipertensi adalah keadaan hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah
segera karena akan mempengaruhi keadaan pasien selanjutnya. Tingginya tekanan darah
bervariasi, yang terpenting adalah cepat naiknya tekanan darah. Dibagi menjadi dua:
1. Hipertensi emergency: situasi di mana diperlukan penurunan tekanan dara yang segera
dengan obat antihipertensi parenteral karena adanya kerusakan organ target akut atau
progresif
2. Hipertensi urgency: situasi di mana terdapat peningkatan tekanan darah yang bermakna tanpa
adanya gejala yang berat atau kerusakan organ target progresif dan tekanan darah perlu
diturunkan dalam beberapa jam.

DIAGNOSIS
Anamnesis: Riwayat hipertensi dan terapinya, kepatuhan minum obat pasien, tekanan darah
rata-rata riwayat pemakaian obat-obat simpatomimetik dan steroid, kelainan hormonal,
riwayat penyakit kronik lain, gejala-gejala serebral, jantung, dan gangguan penglihatan
Pemeriksaan fisis: Tekanan darah pada kedua ekstremitas, perabaan denyut nadi perifer,
bunyi jantung, bruit pada abdomen, adanya edema atau tanda penumpukan cairan, funduskopi,
dan status neurologis.
Laboratorium: sesuai dengan penyakit dasar, penyakit penyerta, dan kerusakan organ target

DIAGNOSIS BANDING
Penyebab hipertensi emergency:
Hipertensi maligna terakselerasi dan papiledema
Kondisi serebrovaskular: ensefalopati hipertensi, infark otak aterotrombotik dengan hipertensi
berat, perdarahan intraserebral, perdarahan subarahnoid, dan trauma kepala
Kondisi jantung: diseksi aorta akut, gagal jantung kiri akut, infark miokard akut, pasca
operasi bypass koroner
Kondisi ginjal: GN akut hipertensi renovaskular, krisis renal karena penyakit kolagen-
vaskular, hipertensi berat pasca transplantasi ginjal
Akibat katekolamin di sirkulasi: krisis feokromositoma, interaksi makanan atau obat dengan
MAO inhibitor, penggunaan obat simpatomimetik, mekanisme rebound akibat penghentian
mendadak obat antihipertensi, hiperretleksi otomatis pasca cedera korda spinalis
Eklampsia
Kondisi bedah: hipotensi berat pada pasien yang memerlukan operasi segera, hipertensi pasca
operasi, perdarahan pasca operasi dan garis jahitan vaskular
Luka bakar berat
Epistaksis berat
Thrombotic thronibocytopenic purpura

PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, uninalisis, ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, EKG Pemeriksaan khusus sesuai
indikasi: foto toraks, ekokardiografi, aktivitas renin plasma, aldqeron, metanefrin/katekolamin,
USG abdomen, CT scan, dan MRL

149
TERAPI
Target terapi hipertensi emergency sampai tekanan darah diastolik kurang lebih 110
mmHg atau berkurangnya mean arterial blood pressure 25% (pada strok penurunan hanya boleh
20% dan .khusus pada strok iskemik, tekanan darah baru diturunkan secara bertahap bila sangat
tinggi >220/130 mmHg) dalam waktu 2 jam. Setelah diyakinkan tidak ada tanda hipoperfusi
organ, penurunan dapat dilanjutkan dalam 12-16 jam selanjutnya sampai mendekati normal.
Penurunan tekanan darah pada hipertensi urgency dilakukan secara bertahap dalam waktu 24 jam.

KOMPLIKASI
Kerusakan organ target
Hipertensi urgency:
Lama
Obat Dosis Awitan
Kerja
Kaptopril 6,25-50 mg per oral atau sublingual bila tidak 15 menit 4-6 jam
dapat menelan
Klonidin Dosis awal per oral 0,15 mg, selanjutnya 0,15 0,5 - 2 jam 6-8 jam
mg tiap jam dapat diberikan sampai dengan dosis
total 0,9 mg
Labetalol 100 - 200 mg per oral 0,5-2 jam 8-12 jam
Furosemid 20-40 mg per oral 0,5-1 jam 6-8 jam
Diuretik: 20-40 mg, dapat diulang hanya diberikan bila 5-15 2-3jam
Furosemid terdapat retensi cairan Menit
Vasodilator: Infus 5-100 mcg/menit. Dosis awal 5 mcg/menit, 2-5 5-10
- Nitrogliserin dapat ditingkatkan 5 mcg/menit tiap 3-5 menit Menit Menit
- Diltiazem Bolus IV 10 mg (0,25 mg/kgBB), dilanjutkan
infus 5-10 mg/jam
- Klonidin 6 ampul dalam 250 ml cairan infus, dosis
diberikan dengan titrasi
- Nitroprusid Infus 0,25-10 mcg/kgBB/menit, (maksimum 10 Segera 1-2
menit) menit

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Ginjal-Hipertensi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Medical High Care, ICU
RS non pendidikan: ICU

150
INFEKSI SALURAN KEMIH

PENGERTIAN
Infeksi saluran kemih (ISIC) adalah infeksi akibat terbentuknya koloni kuman di saluran
kemih. Kuman mencapai saluran kemih melalui cara hematogen dan asending.

Faktor risiko:
Kerusakan atau kelainan anatomi saluran kemih berupa obstruksi internal oleh jaringan
parut, endapan obat intratubular, refluks, instrumentasi saluran kemih, konstruksi arteri-vena,
hipertensi, analgetik, ginjal polikistik, kehamilan, DM, atau pengaruh obat-obat estrogen.

ISK sederhana/takber komplikasi:


ISK yang terjadi pada perempuan yang tidak hamil dan tidak terdapat disfungsi struktural
ataupun ginjal

ISK berkomplikasi:
ISK yang berlokasi selain di vesika urinaria, ISK pada anak-anak, laki-laki, atau ibu hamil

DIAGNOSIS
Anamnesis: ISK bawah frekuensi, disuria terminal, polakisuria, nyeri suprapubik. ISK atas:
nyeri pinggang, demam, menggigil, mual dan muntah, hematuria
Pemeriksaan fisis: febris, nyeri tekan suprapubik, nyeri ketok sudut kostovertebra
Laboratorium: leukositosis, lekosituria, kultur urin (+): bakteriuria >105/ml urin

DIAGNOSIS BANDING
ISK sederhana, ISK berkomplikasi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, urinalysis, kultur urin dan tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, gula darah, foto
BNO-IVP, USG ginjal.

TERAPI
Nonfarmakologis:
Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik
Menjaga higiene genitalia eksternal

Farmakologis:
Antimikroba berdasarkan pola kuman yang ada; Bila hasil tes resistensi kuman sudah ada,
pemberian antimikroba disesuaikan.

151
Tabel 1.Antimikroba pada ISK bawah tak berkomplikasi
Antimikroba Dosis Lama Terapi
Trimetopnim- Sulfametoksazol 2 x 160/800 mg 3 hari
Trimetopnim 2 x 100mg 3 hari
Siprofloksasin 2 x 100-250 mg 3 hari
Levofloksasin 2 x 250 nig 3 hari
Setlksim 1x400mg 3 hari
Sefjodokshn proksetil 2 x 100 mg 3 hari
Nitrofurantoin makrokristal 4 x 50 mg 7 hari
Nitrofunantoin monobidnat 2 x 100 mg 7 hari
makroknistal
Amoksisilin/klavulanat 2 x 500 mg 7 hari

Tabel 2. Obat parenteral pada ISK atas akut berkomplikasi


Antimikroba Dosis Lama Terapi
Sefepim 1 gram 12 jam
Siprofloksasin 400 mg 12 jam
Levofloksasin 500 mg 24 jam
Ofloksasin 400mg 12 jam
Gentamisin (+ ampisilin) 3-5 mg/kgBB 24 jam
1 mg/kgBB 8 jam
Ampisilin (+gentamisin) 1-2 gram 6 jam
Tikarsilin-klavulanat 3,2 gram 8 jam
Piperasilin-tazobaktam 3,375 gram 2-8 jam
Imipenem-silastatin 250-500mg 6.8 jam

152
ISK pada Perempuan
Perempuan dengan keluhan disuria dan sering
flAK

Pengobatan selama 3 hari

Folow up selama 4-7 hari

Tak Berg ejala Berg ejala

Tak perlu Keduanya Piuria tanpa Piuria dengan


intervensi lebih negatif bakteriuria atau tanpa
lanjut bakteriuria

Observasi, Pengobatan Pengobatan


pengobatan untuk kuman diperpanjang
dengan analgetika
saluran kemih

ISK tak bergejala pada perempuan menopause tidak perlu pengobatan


ISK pada perempuan hamil tetap diberikan pengobatan meski tidak bergejala
Pengobatan untuk ISK pada laki-laki usia < 50 tahun harus diberikan selama 14 hari; usia >
50 tahun pengobatan selama 4-6 minggu
Infeksi jamur kandida diberikan flukonazol 200-400 mg/hari selama l4 hari. Bila infeksi
terjadi pada pasien dengan kateter, kateter dicabut lalu dilakukan irigasi kandung kemih
dengan amfoterisi selama 5 hari.

153
ISK Berulang
Riwayat ISK berulang

Gejala ISK baru

Pengobatan 3 hari

Follow up selama 4-7 hari

Pengobatan berhasil Pengobatan gagal

Pasien dengan reinfeksi Infeksi kuman resistensi Infeksi kuman peka


antimikroba antimikroba

Calon untuk terpakai jangka


panjang dosis rendah Terapi 3 hari untuk kuman Terapi dosis tinggi selama
yang peka 6 minggu

Terapi jangka panjang: trimetopnim-sulfametoksazol dosis rendah (40-200 mg) tiga kali
seminggu setiap malam, fluorokuinolon dosis rendah, nitrofurantoin makrokristal 100 mg tiap
malam. Lama pengobatan 6 bulan dan bila perlu dapat diperpanjang 1-2 tahun lagi.

KOMPLIKASI
Batu saluran kemih, obstruksi saluran kemih, sepsis infeksi kuman yang multiresisten, gangguan
fungsi ginjal

PROGNOSIS
Bonam

WEWENANG
RS pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Daam dan PPDS Pertyakit Dalarn
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Ginjal-Hipertensi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Departemen Radiologi, Departemen Mikrobiologi
RS non pendidikan: Bagian Radiologi, Bagian Mikrobiologi
154
BATU SALURAN KEMIH

PENGERTIAN
Batu saluran kemih adalah batu di traktus urinarius mencakup ginjal, ureter, vesika
urinaria.

DIAGNOSIS
Anamnesis: nyeri/kolik ginjal dan saluran kemih, pinggang pegal, gejala infeksi saluran
kemih, hematuria, riwayat keluarga
Pemeriksaan fisis: nyeri ketok sudut kostovertebra, nyeri tekan perut bagian bawah, terdapat
tanda balotemen
Laboratorium: hematuria, bayangan radio opak pada foto BNO, filling defect path IVP atau
pielografi antegrad/retrograd, gambaran batu di ginjal atau kandung kemih serta hidronefrosis
pada USG

DIAGNOSIS BANDING
Nefrokalsinosis
Lokasi batu: batu ginjal, batu ureter, batu vesika
Jenis batu: asam urat, kalsium, struvite

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urinalisis, kultur urin dan tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, elektrolit darah (kalsium,
fosfor) dan urin 24 jam (kalsium, sitrat, oksalat, asam urat), asam urat darah, hormon paratiroid,
foto BNO-IVP, USG abdomen, pielografi antegrad/retrograd, renogram, analisis batu

TERAPI
Nonfarmakologis:
Batu kalsium: kurangi asupan garam dan protein hewani
Batu urat: diet rendah asam urat
Minum banyak (2,5 1/hari) bila fungsi ginjal masih baik

Farmakologis:
Antispasmodik bila ada kolik
Antimikroba bila ada infeksi
Batu kalsium: kalium sitrat
Batu urat: alopuninol

Bedah:
Pielotomi
ESWL
Nefrostomi

KOMPLIKASI
Kolik, obstruksi, infeksi saluran kemih, gangguan fungsi ginjal

155
PROGNOSIS
Bonam

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen ilmu Penyakit Dalam Divisi Ginjal-Hipertensi
RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Departemen Bedah I Urologi
RS non pendidikan: Bagian Bedah

156
NEFRITIS LUPUS

PENGERTIAN
Lupus eritematosus sistemik (LES) yang disertai keterlibatan ginjal

DIAGNOSIS
Memenuhi kriteria LES menurut ACR 1982,
Diagnosis klinis ditegakkan bila pada pasien LES terdapat proteinuria 1 gram/24 jam
dengan/atau hematuria (> 8 eritrosit/LPB) dengan/atau penurunan fungsi ginjal sampai 30%.
Biopsi ginjal harus dilakukan bila tidak ada kontraindikasi, untuk menentukan pilihan
pengobatan berdasarkan kelas nefritis lupus.

Klasifikasi Nefritis Lupus (WHO 1995)


Nefritis Lupus Histopatologi Gejala Klinis
Kelas I Glomeruli normal Hanya proteinuria, sedimen urin tidak ada
kelainan
Kelas II Perubahan pada mesangial Kelas II a: hanya proteinuria, kelainan sedimen
urin tidak ada Kelas II b: hematuria
mikroskopik dan/atau proteinuria, tanpa
hipertensi, tidak pernah terjadi SN atau
gangguan fungsi ginjal
Kelas III Glomerulonephritis fokal Hematuria dan proteinuria pada seluruh pasien.
segmental Hipertensi, SN, dan penurunan fungsi ginjal
pada sebagian pasien
Kelas IV Glomerulonephritis difus Hematuria dan proteinuria pada seluruh pasien.
Hipertensi, SN, dan penurunan fungsi ginjal
pada hampir seluruh pasien
Kelas V Glomerulonephritis SN pada seluruh pasien, sebagian dengan
membranosa difus hematuria atau hipertensi, namun fungsi ginjal
masih normal atau sedikit menurun
Kelas VI Glomerulonephritis Penurunan fungsi ginjal yang lambat dengan
sklerotik lanjut kelainan urin yang relatif normal

DIAGNOSIS BANDING
Glomerulonephritis oleh sebab lain

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urinalysis, protein urin kuantitatif 24 jam, tes fungsi ginjal, biopsi ginjal, albumin serum,
profil lipid, komplemen C3, C4, anti ds-DNA

TERAPI
Tujuan pengobatan untuk memperbaiki fungsi ginjal atau setidaknya mempertahankan
fungsi ginjal agar tidak bertambah buruk.

157
Penatalaksanaan Umum:
Diet rendah garam bila terdapat hipertensi, rendah lemak bila terdapat dislipidemia atau
sindrom nefritik, renda protein sesuai derajat penyakit
Diuretik dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan
Tatalaksana hipertensi dengan baik
Pemeriksaan rutin periodik meliputi: sedimen urin, protein urin kuantitif 24 jam, tes fungsi
ginjal, albumin serum, komplemen C3,C4 , anti ds-DNA
Monitor efek samping steroid dan immunosuppressant serta komplikasi selama pengobatan.
Suplementasi kalsium untuk mengurangi efek samping osteoporosis karena steroid
Hindari pemberian salisilat dan obat anti-inflamasi nonsteroid yang akan memperberat fungsi
ginjal. Aspirin hanya diberikan selektif bila ada sindrom anti fosfolipid
Hindari kehamilan bila nefritis lupus masih aktif

KOMPLIKASI
Gagal ginjal

PROGNOSIS
Tergantung kelas nefritis lupus. Kelas I dan II prognosis balk. Kelas III dan IV hampir
seluruhnya akan menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Kelas V prognosis cukup baik.

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Ginjal-Hipertensi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Unit hemodialisis, Divisi Rematologi, Divisi Alergi-immunologi,
Departemen Patologi Anatomik
RS non pendidikan: Unit hemodialisis

158
2.7

HEMATOLOGI
ONKOLOGI MEDIK

159
LIMFOMA NON-HODGKIN

PENGERTIAN
Limfoma non-hodgkin merupakan penyakit keganasan primer jaringan limfoid padat.

DIAGNOSIS
Riwayat pembesaran kelenjar getah bening/massa tumor di tempat lain (tulang, intra abdomen,
hidung, lambung dan sebagainya)
Riwayat demam tanpa sebab yang jelas
Penurunan berat badan 10% dalam waktu 1 bulan
Keringat malam banyak, tanpa sebab yang sesuai
Pemeriksaan histopatologi tumor: sesuai dengan limfoma non Hodgkin (LNH)

DIAGNOSIS BANDING
Limfoma Hodgkin, limfaderitis, tuberkulosis, toxoplasmosis, filariasis, tumor padat yang lain.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan sitologi kelenjar/massa tumor untuk mengetahui LNH tersebut serta keterlibatan
kelenjar lain yang membesar
Laboratorium: darah tepi lengkap, gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal
Aspirasi dan biopsi sumsum tulang
CT scan atau USG abdomen untuk mengetahui adanya pembesaran kelenjar
Getah bening (KGB) para aorta abdominal atau KGB lainnya, massa tumor dalam abdomen
Foto toraks untuk mengetahui pembesaran KGB mediastinum
Pemeriksaan telinga hidung tenggorokan (TNT) untuk melihat keterlibatan cincin Waldeyer
Gastroskopi bila perlu untuk melihat keterlibatan lambung
Bone scan atau foto bone survey bila perlu untuk melihat keterlibatan tulang

TERAPI
Derajat keganasan rendah
Kemoterapi obat tunggal atau ganda, peroral.
Radioterapi paliatif

Derajat keganasan menengah


Stadium I s.d. IIa: radioterapi atau kemoterapi parenteral kombinasi.
Stadium IIb s.d. IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk tujuan
paliatif.

Derajat keganasan tinggi


Selalu kemoterapi parenteral kombinasi (lebih agresif)
Radioterapi hanya berperan untuk tujuan paliatif

Reevaluasi hasil penobatan:


Setelah siklus kemoterapi kedua, keempat
Setelah selesai pengobatan lengkap
160
KOMPLIKASI
Akibat langsung penyakitnya:
Penekanan terhadap organ khususnya jalan nafas, usus, dan saraf
Mudah terjadi infeksi, bisa fatal

Akibat efek samping pengobatan:


Aplasia sunisum tulang
Gagal jantung oleh obat golongan antrasiklin
Gagal ginjal oleh obat sisplatinum
Neuritis oleh obat vinkristin

PROGNOSIS
Bergantung pada derajat keganasan, tingkat penyakit, bulky mass. keadaan umum
pasien dan ada tidaknya gangguan organ yang mempengaruhi pengobatan.
Derajat keganasan rendah: Tidak dapat sembuh, namun dapat hidup lama.
Derajat keganasan menengah: Sebagian dapat disembuhkan.
Derajat keganasan tinggi: Dapat disembuhkan, cepat meninggal apabila tidak diobati.

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Departemen THT, Patologi Anatori, Radiologi/Radioterapi
RS non pendidikan: Bagian THT, Patologi Anatomi, Radiologi/Radioterapi

REFERENSI
1. Reksodiputra, AH. Irawan C. Limfoma non Hodgkin. In: Suyono, S. W aspadji, S. Lesmana, L.
Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 11. Edisi II.
Jakarta: Balai Penerbit PKUI:2001.p. 607-21.
2. Non-Hodgkin s Lymfomen Hematologie Klapper. 8thed. Leids Universitair Medisch Centrun,
Leiden. Juni 1999:82-98.
3. Abdulmuthaljb, Limfoma non-Hodgkin, In: Simadibrata M, Setiadi S, Alwi, Oemardi M,
Gani R4, Mansjoer A, editors. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam.
Jakarta. Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM:
1999. p. 113-4.

161
ANEMIA APLASTIK

PENGERTIAN
Anemia aplastik adalah anemia akibat aplasia sumsum tulang di mana jaringan hemopoiesis
diganti oleh jaringan lemak, dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Anemia aphlatik berat
Selularitas sumsum tulang < 25% dan terdapat 2 dan 3 gejala berikut
granulosit <500/ul
trombosit <20.000/ul
retikuiosit< 10%
2. Anemia aplastik
Sumsum tulang hipoplastik
Pansitopenia dengan satu dan tiga pemeriksaan darah seperti pada anemia aplastik berat

DIAGNOSIS
Anamnesis:
- Riwayat paparan terhadap zat toksik (obat, lingkungan kerja, hobi), menderita infeksi
virus 6 bulan terakhir (hepatitis, parvovirus), pernah mendapat transfusi darah
- Gejala anemia: rasa lemas/lemah, pucat, pusing, sesak nafas/gagal jantung, berkunang-
kunang
- Tanda-tanda infeksi: sering demam
- Akibat trombositopenia: perdarahan (menstruasi lama, epistaksis, perdarahan gusi,
perdarahan di bawah kulit, hematunia. buang air besar campur darah, muntah darah)
Pemeriksaan fisik: konjungtiva pucat, takikardi, tanda perdarahan Pemeriksaan penunjang:
darah tepi lengkap ditemukan pansitopenia, serologi virus (hepatitis, parvovirus)
Diagnosis pasti: sitologi dan histopatologi sumsum tulang

DIAGNOSIS BANDING
Mielofibrosis, anemia hemolitik, anemia defisiensi anemia karena penyakit kronik,
anemia karena penyakit keganasan sumsum tulang, hiperspienisme, leukemia akut

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: darah tepi lengkap, serologi virus
Aspirasi dan biopsi sumsum tulang

TERAPI
Terapi penunjang:
Transfusi komponen darah (PRC dan/atau TC) sesuai indikasi (pada topik transfusi darah)
Menghindari dan mengatasi infeksi
Kortikosteroid: prednison 1-2 mg/kgBB/ hari
Androgen: Metenolol asetat 2-3 mg/kgBB/ hari, maksimal diberikan selama 3 bulan
Splenoktomi dilakukan bila tidak respons dengan steroid. Bila pasien menolak splenoktomi
dapat diberikan terapi immunosuppressive:
- Siklosponin 5 mg/kgBB/hari
- ATG (anti thymocyte globulin) 15 mg/ kgBB/ hari intravena selama 5 hari
- Transplantasi sumsum tulang, bila ditemukan HLA yang cocok
162
Respons terapi:
Komplit: granulosit> 1000/ul, trombosit> 100.000/ul, Hb normal
Parsial: granulosit >500/ul, tidak membutuhkan transfusi darah merah dan trombosit
Minimal: granulosit>S00/uf, membutuhkan transfusi darah merah dan trombosit
Tidak berespons: anemia aplastik berat menetap

KOMPLIKASI
Infeksi bisa fatal, perdarahan, gagal jantung pada anemia berat

PROGNOSIS
Dubia, tergantung tingkat hipoplasianya
Pada umumnya pasien meninggal karena infeksi, perdarahan atau komplikasi transfusi darah

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Hematologi - Onkologi Medik
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Departemen Patologi Anatomi
RS non pendidikan: Bagian Patologi Anatomi

REFERENSI:
1. Salonder, H. A nemia aplastic. Dalam: Suyono, S. W aspadji, S. Lexmana, L A lwi, I. Setiati, S. Sundaru,
H. dkk. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2001:501-8.
2. A piastisehe anemie. Hematology Klapper 8 th ed. Leids Universirair Medisch Centrun Leiden. Juni
1999.12-16.
3. W idjanarko A . A nemia aplastik. In: Sintadibrata M, Setiari S. A lwi I, Oemardi M, Gani R,4, Mansjoer
A , edt. Pedoman diagnosis don terapi di bidang ilmu penyakit dalam Jakarta: Pusar Informasi dan
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI RSCM: 1999. p. 102-3.

163
LEUKEMIA AKUT

PENGERTIAN
Leukemia akut merupakan penyakit proliferasi neoplastik yang sangat cepat dan progresif
sehingga susunan sumsum tulang normal digantikan oleh sel primitif dan set induk darah (sel bias
dan atau satu tingkat di atasnya). leukemia akut dibagi dua yaitu: leukemia mieblastik akut,
leukemia limfoblastik akut

DIAGNOSIS
Anamnesis:
- Gejala anemia: rasa lemas/lemah, pucat, pusing, sesak nafas/gagal jantung, berkunang-
kunang
- Tanda-tanda infeksi: sering demam
- Akibat trombositopenia: perdarahan (menstruasi lama, epistaksis, perdarahan gusi,
perdarahan di bawah kulit, hematuria, buang air besar campur darah, muntah darah)
Pemeriksaan fisik: pucat, demam, pembesaran kelenjar getah b1ing (KGB) superfisial,
organomegali, petekie/purpural ekimosis
Pemeriksaan penunjang: Aspirasi sumsum tulang: hitung jenis set bias dari atau progranulosit >
30%

DIAGNOSIS BANDING
Sindrom mielodisptasia (MDS), reaksi leukernoid, leukemia kronis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: darah tepi lengkap (termasuk retikulosit dan hitung jenis), LDH, asam urat,
fungsi ginjal, fungsi hati, serologi virus (hepatitis, HSV, EBV, CMV)
Sitologi aspirasi sumsum tulang, sitogenetik

TERAPI
Perawatan di ruang rawat isolasi imunitas menurun:
Persiapan pengobatan sitoreduksi:
Akses vena sentral
Anti emetik
Profilaksis asam urat (allopurinol sesuai CCT, hidrasi cukup > 2000 ml/24 jam. alkalinisasi
urin dengan natrium bikarbonat oral 4 x 500-1000 mg/hari (target pH urin > 7)
Tunda haid (lynestrenol)
Antibiotika dekontaminasi parsial
Profilaksis streptokokus (henzyipenicilline 4x 1 gr)
Vitamin K 2 kali seminggu 5 mg per oral
Asam folat 1x5 mg/hari dan vit B12 1000 ug/minggu
Leukoferesis untuk mencegah leukostasis jika leukosit > 100.000/uL dikombinasi metil
prednisoton 5 mg/kg/hari

164
Pemeriksaan rutin:
Turn, over rate set tumor (LDH, asam urat)
Elektrolit (Na, K, Ca)
Hemostasis lengkap
Fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
Keasaman urin
Fungsi hari (bilirubin direk/indirek, SGOT/SGPT, ALP)
Gula darah
Serologi virus
Surveillance bakteriologi
Foto dada
Fungsi lumbal diagnostik jangkitan otak

Kuratif:
Sitoreduksi dengan sitostatika mulai dan yang ringan hingga yang agresif dengan
membutuhkan rescue set induk darah pasien clan darah perifer untuk penyelamatan pada
ablasi sumsum tulang
Transplantasi set induk darah alogenik atau/autogenik dan darah perifer, sumsum tulang atau
tali pusar

Paliatif

Respons terapi
Komplit:
Hitung jenis set bias dan atau progranulosit < 5% pada sitologi aspirat sumsum tulang
Pada darah tepi tidak ditemukan bias, leukosit > 3000/ul, granulosit > 1500/ul dan trombosit >
100.000/ul
Partial:
Hitung jenis set bias dan atau progranutosit 5-10% pada sitologi aspirat sumsum tulang
Pada darah tepi dapat ditemukan sel blas
Tidak respon:
Hitung jenis sel bias dan atau progranulosit > 10% pada sitologi aspirat sumsum tulang

KOMPLIKASI
Sindrom lisis tumor, infeksi neutropenia dan perdarahan trombopenia/koagulasi
intravaskular diseminata.

PROGNOSIS
Malam.

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

165
UNIT TERKAIT
RS pendidikan Departemen Patologi Anatomi
RS non pendidikan: Bagian Patologi Anatomi

REFERENSI
1. A cute leukemie algemeen. Hematologie Klapper, 8th ed. Leids Universitair Medisch Centrum: Leiden,
Juni 1999:20.
2. A bdul Muthalib Leukimia akut. In: Simadibraga M, Setiati S, A lwi I Oemardi M, Gani RA , Mansjoer
A , eds. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Departemen: Ilmu Penyakit Dalam FKUIRSCM; 1999, p. 110-3.

166
SINDROM LISIS TUMOR
PENGERTIAN
Sindrom lisis tumor adalah sindrom yang ditandai berbagai kombinasi antara hiperurisemia,
hiperkalemia, hiperfosfatemia, asidosis laktat dan hipokalsemia yang disebabkan oleh
pengrusakan sejumlah besar sel neoplasma yang sedang berproliferasi secara cepat.

DIAGNOSIS
Anamnesis : Riwayat mendapat kemoterapi dalam 1-5 hari terakhir, jenis tumor yang diderita
(limfoma burkitt, leukimia limfoblastik akut, dan limfoma derajat tinggi lainnya)
Pemeriksaan fisik : Tidak khas, sesuai dengan kelainan yang terjadi (misalnya pernapasan
kussmaul pada asidosis laktat, oliguria/anuria bila terjadi gagal ginjal, aritmia ventrikel pada
hiperkalemia)
Laboratorium : Peningkatan LDH, asam urat darah, kalium darah, fosfat darah, penurunan
kalsium darah, analisis gas darah (AGD) menunjukkan asidosis metabolik, urinalisa
menunjukkan pH urin < 7 dan/ terdapat kristal asam urat

DIAGNOSIS BANDING
Gagal ginjal akut karena penyebab yang lain

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : DPL, ureum, kreatinin, LDH, K, F, Ca, asam urat, AGD, urinalisis

TERAPI
Mencegah dan mendeteksi faktor resiko lebih penting
Hidrasi adekuat 5000ml/m 2 per hari
Mempertahankan pH urin > 7 dengan pemberian Na bikarbonat
Allopurinol 300mg/m 2 per hari
Monitor fungsi ginjal, elektrolit, AGD dan asam urat
Bila secara konservatif tidak berhasil dan ditemukan tanda-tanda sebagai berikut (K > 6
meq/dl, kreatinin > 10 mg/dl, F > 10 mg/dl atau semakin meningkat, hipokalsemia simtomatik)
maka dilakukan hemodialisa

KOMPLIKASI
Gagal ginjal akut, aritmia ventrikel, kematian mendadak

PROGNOSIS
Malam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


167
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi - Onkologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
-

IDIOPHATIC THROMBOCYTOPENIA
168
PURPURA
DIAGNOSIS
Untuk menyingkirkan kemungkinan idiophatic thrombocytopenia purpura (ITP) sekunder
Anamnesis :
- Riwayat obat-obatan (heparin, alkohol, sulfonamides, kuinidin/kuinin, aspirin) dan bahan
kimia
- Gejala sistematik ; pusing, demam, penurunan berat badan
- Gejala penyakit autoimun ; artalgia, rash kulit, rambut rontok
- Riwayat perdarahan (lokasi, banyaknya, lamanya), resiko infeksi HIV, status kehamilan,
riwayat transfusi, riwayat pada keluarga (trombisitopenia, gejala perdarahan dan kelainan
autoimun),
- Penyakit penyerta yang dapat meningkatkan resiko perdarahan (kelainan gastrointestinal,
sistem saraf pusat dan Urologi)
- Kebiasaan/hobi : aktivitas yang traumatik
Pemeriksaan fisik :
- Perdarahan (lokasi dan beratnya)
- Jarang ditemukan organomegali, tidak ditemukan jaundice atau sitgmata penyakit hati
kronik
- Tanda infeksi (bakteria/infeksi HIV)
- Tanda penyakit autoimun (artritis, goiter, nefritis, vaskulitis)
Pemeriksaan penunjang :
- Darah tepi : hitung trombosit < 150.000/uL dengan tidak dijumpai sitopenia lainnya,
pemeriksaan morfologi darah tepi dapat dijumpai trombosit muda yang berukuran lebih
besar.
- Laboratorium kimia rutin dan enzim hati
- Pemeriksaan serologi virus (dengue, CMV, EBV, HIV, rubella)
- Pemeriksaan ACA, Coomb s test, C3, C4, ANA, andti dsDNA
- Pemeriksaan imunoelektroforesis protein
- Pemeriksaan hemostasis normal bila tidak ada komplikasi, kecuali masa perdarahan yang
memanjang
- Pemeriksaan pungsi sumsum tulang: megakariosit normal atau meningkat
- Pemeriksaan autoantibodi trombosit.

DIAGNOSIS BANDING
Berkurangnya produksi trombosit/aplasia megakariosit baik yang kongenital atau didapat
Gangguan distribusi trombosit (hipersplenisme, hipotermia)
Peningkatan penghancuran trombosit (ITP sekunder, drug induced, kehamilan dll)
Pseudotrombositopenia akibat EDTA terlalu banyak pada spesimen darah tepi

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : darah tepi lengkap, enzim hati, kimia rutin, ACA, Comb test, C3, C4, ANA,
anti dsDNA, serologi virus, anti HIV, antibodi antitrombosit
Sitologi aspirasi sumsum tulang
TERAPI
ITP akut : (anak-anak, self limiting)
169
Trombosit > 30.000/ul, asimtomatik/ purpura minimal tidak diterapi rutin
Trombosit < 20.000/ul dengan perdarahan bermakna atau < 10.000/ul dengan purpura
minimal Steroid (~ prednison 1-2 mg/kgBB/hari)
Mengingat ITP pada anak bersifat self limiting, maka lama terapi dibatasi selama 21 hari.
Dapat juga diberikan IV Ig 1gr/kg 1 hari
Perdarahan yang mengancam jiwa dirawat, steroid injeksi dosis tinggi (metilprednisolon
30 mg/kg/hari) atau steroid oral dosis tinggi (~ prednison 4-8 mg/kg/hari) dan transfusi
trombosit

ITP kronik (dewasa)


Terapi suportif :
Membatasi aktivitas yang berisiko trauma
Menghindari obat-obat yang mengganggu fungsi trombosit
Transfusi PRC sesuai kebutuhan
Transfusi trombosit bila :
- Perdarahan masif
- Adanya ancaman perdarahan otak/ SPP
- Persiapan untuk operasi besar

Perawatan RS untuk pasien dengan :


Perdarahan berat yang mengancam jiwa
Trombosit < 20.000/ul dengan perdarahan mukosa bermakna
Trombosit > 50.000/ul asimtomatik/ dengan purpura minimal tidak diterapi
Trombosit < 30.000/ul dengan/ tanpa gejala, 30.000-50.000/ul dengan perdarahan bermakna,
kadar trombosit berapa saja dengan perdarahan yang mengancam jiwa diterapi :

Steroid
(~ prednison 1-2 mg/kg/hari), dipertahankan 3-4 minggu lalu tapp down, maksimal selama 6
bulan. Prednison tidak boleh diberikan dalam jumlah tinggi lebih dari 4 minggu pada pasien tidak
respon

Splenektomi
Indikasi :
Gagal remisi dengan terapi steroid dalam 6 bulan observasi
Memerlukan dosis maintenance steroid yang tinggi
Adanya kontraindikasi / intoleransi terhadap steroid

Pilihan terapi yang lain :


Obat-obatan imunosupresan (siklofosfamid, azatioprin, vinkristin)
Preparat androgen (danazol)
Exchange plasmapharesis pada pasien dengan keadaan sakit berat
Hormonal anovulatoir

KOMPLIKASI
Infeksi, ITP berat, DM indeuced steroid, hipertensi, immunocompromised

170
PROGNOSIS
ITP akut : bonam
ITP kronik : dubia ad malam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi - Onkologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
-

REFERENSI
1. Idiopatische trombocytopenische purpura. Hematologie Klapper. 8th ed. Leids Universitair
Medisch Centrum Leiden. Juni 1999:113-7.
2. Djoerban Z. Immune trombocytopenic purpura. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Oemardi
M, Gani RA, Mansjoer A, editors. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-
RSCM: 1999.p. 104-8.

TROMBOSIS VENA DALAM


PENGERTIAN
171
Trombosis vena dalam adalah pembekuan darah di dalam pembuluh darah vena terutama pada
vena tungkai bawah

DIAGNOSIS
Gejala klinik bervariasi (90% tanpa gejala klinis)
Pasien dengan resiko tinggi yaitu apabila :
Riwayat trombosis, stroke
Pasca tindakan bedah terutama bedah ortpedi
Imobilisasi lama terutama paska trauma/penyakit berat
Luka bakar
Gagal jantung akut atau kronik
Penyakit keganasan baik tumor solid maupun keganasan hematologi
Infeksi baik jamur, bakteri maupun virus terutama yang disertai syok
Penggunaan obat-obatan yang mengandung hormon estrogen
Kelainan darah bawaan atau didapat yang menjadi predisposisi untuk trombosis

Anamnesis
Nyeri lokal, bengkak, perubahan warna dan fungsi berkurang pada anggota tubuh yang terkena

Pemeriksaan fisik
Edem, eritem, peningkatan suhu lokal tempat yang terkena, pembuluh darah vena teraba,
Homan s sign (+)
Berdasarkan data tersebut di atas sering ditemukan negatif palsu
Prosedur diagnosis baku adalah pemeriksaan venografi

Pemeriksaan penunjang
Kadar antitrombin III (AT III) menurun (N:85-125%)
Kadar fibrinogen degradation product (FDP) meningkat
Tider D-dimer meningkat

DIAGNOSIS BANDING
Sindrom pasca flebitis, varises, gagal jantung, trauma, refluks vena, selulitis, limfangitis, abses
inguinal, keganasan dengan sumbatan kelenjar limfe atau vena, gout, dermatitits kontak, eritema
nodosum, kehamilan, flebitis superfisial, paralisis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Radiologi : venografi/flebografi, USG vena-B mode atau colour doppler
Laboratorium : kadar AT III, protein C, protein S, antibodi antikardiolipin, profil lipid, agresi
trombosit

Tersangka DVT

Ultrasonografi
172
DVT Ada 3 pilihan

Pertimbangan Klinis D-Dimer


Diagram Pendekatan Diagnosis DVT

TERAPI
Non farmakologis :
Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena untuk melancarkan aliran darah vena
Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskular
Latihan lingkup gerak sendi (range of motion) seperti gerakan fleksi-ekstensi, menggenggam
dll, tindakan ini dapat meningkatkan aliran darah vena di vena-vena yang masih terbuka
(patent)
Pemakaian kaus kaki elastik (elastic stocking), alat ini dapat meningkatkan aliran darah vena

Farmakologis :
1. Antikoagulan
Heparin (unfractionated)
Bolus intravena 100 IU/kg dilanjutkan drip mulai 1000IU/jam
Target ApTT 1,5 - 2,5 x kontrol, bila
- aPTT < 1,5 x kontrol, dosis 100 - 200 IU/jam
- aPTT 1,5 - 2,5 x kontrol, dosis tetap
- aPTT > 2,5 x kontrol, dosis 100 - 200 IU/jam
Hari I : aPTT diperiksa tiap 6 jam
Hari II : aPTT diperiksa tiap 12 jam
Hati III: aPTT diperiksa tiap 24 jam

LMWH (Low Molecular W eight Heparin)


Nadroparin 0,1 ml/kg/12 jam
Enoksaparin 1 mg/kg/12 jam
Tidak perlu pemantauan
Warfarin
Warfarin dapat dimulai segera sesudah pemberian heparin dengan dosis hari 16-10 mg
malam hari, hari II diturunkan.
INR diperiksa setelah 4-5 hari kemudian dengan target 2-3
173
Bila target INR tercapai, heparin dapat dihentikan 24 jam berikutnya
Lama pemberian tergantung ada tidaknya faktor resiko
- Bila tidak ada faktor resiko, dapat distop dalam 3-6 bulan
- Bila ada faktor resiko dapat diberikan lebih lama atau bahkan seumur hidup
Cara penyesuaian dosis INR
- INR 1,1 - 1,4
Hari I naikkan 10-20% dari total dosis mingguan
Mingguan naikkan 10-20% dari total dosis mingguan
Kembali 1 minggu
- INR 1,5 - 1,9
Hari I naikkan 5-10% dari total dosis mingguan
Mingguan naikkan 5-10% dari total dosis mingguan
Kembali 2 minggu
- INR 2,0 - 3,0
Tidak ada perubahan
Kembali 1 minggu
- INR 3,1 - 3,9
Hari I kurangi 5-10% dari dosis total mingguan
Mingguan kurangi 5-10% dari dosis total mingguan
Kembali 2 minggu
- INR 3,9 5,0
Hari I tidak dapat obat
Mingguan kurangi 10-20% dari dosis total mingguan
Kembali 1 minggu
- INR > 5,0
Stop warfarin, pantau sampai INR 3,0
Mulai dengan dosis kurang 20-50%
Kembali tiap hari

2. Trombolisis (streptokinasi, tPA)


Terapi ini dapat dipertimbangkan sampai 2 minggu setelah pembentukan thrombus
(trombosis vena iliaka atau vena femoralis akut atau subakut)
Tidak dianjurkan untuk trombus yang berusia lebih dari 4 minggu
3. Antiagregasi trombosit (aspirin, dipiridamol, sulfinpirazon)
Bukan merupakan terapi utama
Pemakaiannya dapat dipertimbangkan 3-6 minggu setelah terapi standar heparin atau
warfarin

KOMPLIKASI
Perdarahan akibat antikoagulan/ antiagregasi trombosit, trombositopenia akibat heparin,
osteoporosis pada pasien yang mendapat > 6 bulan dengan dosis 10.000U/hari

PROGNOSIS
Tergantung pada penyebab, pada yang tidak disertai komplikasi baik

WEWENANG
174
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Radiologi, Bedah / Vaskular
RS non pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah

REFERENSI
1. Supandiman, I. Trombosis. Dalam: Suyono, S. W aspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Sefiati, S.
Sundaru, H. Dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi III. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta 2000:588-91.
2. Tambunan, KL. Terapi anti koagulan pada trombosis vena dalam. Dalam : Setiadi, S.
Bawazier, LA. Atmakusuma, D. Kasjmir, Y I. Syam, AF. Gustaviani, R. Current Treatment in
Internal Medicine 2000. PIP IPD FKUI Jakarta 2000:19-22.
3. Atmakusuma, D. Perbedaan trombosis vena dalam dan trombosis arter akut dalam hal
diagnosis dan tatalaksanaan. Dalam : Prodjosudjadi, W . Setianti, S. Alwi, I. Pertemuan Ilmiah
Nasional PB PAPDI 2003, therapeutic update and workshop in internal medicine. PIP IPD
FKUI Jakarta 2000:193-205.
4. Tambunan, KL. Peran terapi medicamentosa pada DVT kronik. Dalam: Simadibrata, M. Alwi,
I. Kasjmir, Y I. Bawazier, LA. Syam, AF. Mansjoer, A. Penyakit kronik dan degenaratif,
penatalaksanaan dalam praktek sehari-hari. PIP IPD FKUI Jakarta. 2003:9-13.

KOAGULASI INTRAVASKULAR
DISEMINATA

175
PENGERTIAN
Koagulasi intravaskular diseminata adalah aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis secara
berlebihan dan terjadi pada waktu yang bersamaan.

DIAGNOSIS
Klinis :
Gejala-gejala umum seperti demam, hipotensi, asidosis, hipoksia, proteinuria.
Tanda-tanda perdarahan (petekie, purpura, ekimosis, hematoma, hematemesis-melena,
hematuria, epistaksis)
Manifestasi trombosis gagal organ (paru, ginjal, hati)
KID merupakana akibat dari kausa primer yang lain :
- Bidang obstetri (emboli cairan amnion, kematian janin intra-uterin, abortus septik)
- Bidang hematologi (reksi transfusi, hemolisis berat, leukimia)
- Infeksi (septikemia, gram negatif, gram positif; virus HIV, hepatitis, dengeu; parasit
malaria)
- Trauma, penyakit hati akut, luka bakar

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Kompensasi Hiperkompensasi Dekompensasi
Trombosit N N
PTT N N/
PT N N/
Fibrinogen N N/
D Dimer +/ +/ ++/

Darah tepi : trombositopenia atau normal, burr cell (+)


Pemeriksaan hemostasis pada KID

DIAGNOSIS BANDING
Fibrinolisis primer, penyakit hati berat, pseudo KID

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : DPL, hemostasis lengkap (PT, aPTT, fibrinogen, D-dimer)

TERAPI
Suportif
- Memperbaiki dan menstabilkan hemodinamik
- Memperbaiki dan menstabilkan tekanan darah
- Membebaskan jalan napas
- Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan asam basa
- Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan elektrolit
Mengobati penyakit primer
Menghambat proses patologis
- Antikoagulan
Heparin inytavena bolus tiap 6 jam dosis 5000 IU, evaluasi aPTT dengan target 1,5-2,5 x
kontrol pada jam kedua dan keempat
176
Bila pada jam kedua :
aPTT < 1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U
aPTT 1,5-2,5 x kontrol, dosis heparin tetap
aPTT > 2,5 x kontrol, evaluasi aPTT pada jam keempat, bila
o aPTT < 1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U
o aPTT > 2,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 2500 U
Transfusi sesuai komponen darah sesuai indikasi (PRC, TC, FFP, kriopresipitat)

KOMPLIKASI
Gagal organ, syok/hipoperfusi, trombosis vena dalam, KID fulminan

PROGNOSIS
Malam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

REFERENSI
1. Tambunan, KL. Koagulasi intravasculas diseminata. Dalam : Suyono, S. W aspadji, S.
Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI : 2001:555-64.
2. Tambunan, KL. Diagnosis dan Penatalaksanaan Koagulasi Intravaskular Diseminata. In :
Subekti, I. Lydia, A. Rumende, CM. Syam, AF. Mansjoer, A. Suprohita. Penatalaksanaan
kegawatdaruratan di bidang Ilmu Penyakit Dalam. PIP IPD FKUI Jakarta 2001 : 25-31.

TROMBOSITOSIS PRIMER/SENSIAL
PENGERTIAN
Trombositosis adalah bila jumlah trombosit lebih dari jumlah normal tertinggi (450.000/ul)
177
Trombositosis primer adalah kelainan klonal dari stem sel multipotensial hemopoietik

DIAGNOSIS
Anamnesis :
- Sakit seperti terbakar pada telapak tangan dan kaki serta berdenyut, cenderung timbul
kembali disebabkan panas, pergerakan jasmani dan hilang bila kaki ditinggikan
(eritromialgia).
- Gejala-gejala iskemia serebrovaskular kadang tidak spesifik seperti sakit kepala, pusing,
defisit neurologi fokal, serangan iskemia sepintas, kejang atau oklusi arteri retina.
- Pada wanita hamil ditemukan riwayat abortus berulang, pertumbuhan fetus terlambat
Pemeriksaan fisik :
- Splenomegali (40%), tanda-tanda perdarahan atau trombosis sesuai lokasi yang terkena.
Pemeriksaan laboratorium :
- Jumlah trombosis seringkali > 1 juta/ml
- Laju endap darah normal
- Variasi bentuk trombosis abnormal (raksasa, hipogranular) fragmen trombosit
- Masa perdarahan normal
- Faktor VIII/ von Willebrand normal

DIAGNOSIS BANDING
Trombositosis reaktif, trombositosis sekunder

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, morfologi trombosis, laju endap darah, masa
perdarahan, faktor VIII/ von Willebrand, tes agregasi trombosit dengan epinefrin

TERAPI
Tujuan pengobatan untuk menurunkan jumlah trombosit dan menurunkan fungsi trombosit
Untuk menurunkan trombosit :
1. Hydroxyuria (hydrea) : 15mg/kgBB/hari
2. Anagrelide (agrylin) : 14 kali 1,5-2,5 mg sehari, dimulai dosis rendah dan dinaikkan
secara bertahap tiap minggu
3. Thromboreduction
4. Interferon alfa : 3 juta IU, tiga kali satu minggu
5. Fosforus-32
Untuk menurunkan fungsi trombosit :
6. Aspirin
7. Tiklopidin
8. Klopidogrel

KOMPLIKASI
Perdarahan (memar kebiruan, epistaksis, perdarahan saluran cerna, perdarahan pasca operasi).
Risiko terbesar bila trombosit > 1 juta/ml dan mendapat aspirin.
Trombosis (eritromialgia, iskemia ginjal, infark miokar, stroke, iskemi misentric, infark
plasenta, sindrom Budd Chiari). Resiko terbesa bila sebelumnya ada riwayat trombosis, umur
178
lebih dari 60 juta tahun dan sudah lama mengalami trombositosis.
Trombosis esensial dapat mengalamai transformasi menjadi mielofibrosis (4%), polisitemia
vera (2,7%), leukimia mielositik akut (0,6-5%)

PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad fungsionam : dubia
Ad sanasionam : malam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Gastroenterologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

REFERENSI
1. Tambunan, KL. Trombositosis dan trombositosis esensial. In : Atmakusuma, A. Uyainah, A.
Irawan, C. Suhendro. Current diagnosis adn treatment in internal medicine 2003. PIP IPD
FKUI Jakarta 2003:94-9
2. Essentiele trombocutemie. Hematologie Klapper. 8th ed. Leids Universitair Medisch Centrum
Leiden, Juni 1999:50-1

SINDROM VENA KAVA SUPERIOR


PENGERTIAN
Sindrom vena kava superior adalah kumpulan gejala yang disebabkan obstruksi vena kava
superior oleh sebuah tumor mediastinum

179
DIAGNOSIS
Anamnesis : keluhan sakit kepala, mual, muntah-muntah, gangguan penglihatan, sinkop,
suara serak, sesak napas, disfagia dan sakit punggung
Pemeriksaan fisik : distensi tubuh sebelah atas, edema muka, leher, lengan dan dada atas,
sianosis.
Pemeriksaan penunjang :
- Foto dada menunjukkan massa paratrakeal atau di mediastinum
- CT scan dada membantu memperlihatkan luasnya massa

DIAGNOSIS BANDING
Tumor mediastinum : tumor ganas, teratoma, limfoma malignum
Tumor paru

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan radiologi : foto toraks, CT scan toraks

TERAPI
Radioterapi pada kasus darurat dapat meringankan gejala pada 70% kasus, dosis harian
dimulai dengan dosis tinggi (400 cGy) untuk mendapatkan pengecilan massa tumor yang
dibutuhkan
Pada limfoma malignum atau kanker paru jenis SCLC, kemoterapi akan sama efektifnya
dengan radioterapi.

KOMPLIKASI
Trombosis vena jugularis dan otak

PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia
Ad sanasionam : malam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik,
Pulmonologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedah/toraks
RS non pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah

REFERENSI
1. Djoerban, Z. Kedaruratan onkologi. Dalam : W aspadji, S. Gani, RA. Setiati, S. Alwi, I. Bunga
180
rampai Ilmu Penyakit Dalam penerbit FKUI Jakarta 1996:97-100
2. Kaiser, LR. Putnam, JB. Fishman, JA. Grippi, MA. Kaiser, LR. Senior, RM. Fishman
s
manual of pulmonary disease and disorders. 3 rd ed. McGraw-Hill USA 2002:521-34

HIPERKALSEMIA
PENGERTIAN
Hiperkalsemia merupakan kedaruratan onkologi yang sering terjadi ditemukan sebagai akibat
metabolik dari keganasan

181
DIAGNOSIS
Anamnesis : anoreksia, mual, muntah-muntah, polyuria
Pemeriksaan fisik : penurunan kesadaran
Pemeriksaan penunjang : kadar kalsium serum meningkat

DIAGNOSIS BANDING

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan kadar kalsium darah, fungsi ginjal

TERAPI
Diuresis paksa dengan larutan salin (200-250 ml/jam) dan furosemide disertai monitor ketat
balans cairan dan fungsi kardiopulmoner
Mithramycin 25 ug/kg intravena. Tidak boleh digunakan pada gagal ginjal dan
trombositopenia
Kartikosteroid, efek terapi dicapai setelah 5-10 hari pengobatan. Berguna pada hiperkalsemia
pada limfoma maglinum, mieloma multiple dan karsinoma payudara.
Bisfosfonat (penghambat osteoklas) bila hiperkalsemia refrakter terhadap cara-cara
sebelumnya atau terdapat kontraindikasi
Kunci keberhasilan dalam mengendalikan hiperkalsemia adalah kemoterapi yang efektif

KOMPLIKASI
Gagal ginjal akut

PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanasionam : malam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik
RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik

REFERENSI
Djoerban, Z. Kedaruratan onkologi. Dalam : W aspadji, S. Gani, RA. Setiati, S. Alwi, I. Bunga
rampai Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI 1996:97-110
182
HIPERURISEMIA
PENGERTIAN
Hiperurisemia merupakan kelainan yang terjadi akibat pengobatan pada leukimia, gangguan
mieloproliferatif, limfoma atau mieloma yaitu ketika sel-sel tumor mengalami penghancuran
selama kemoterapi dimana purin akan dilepaskan dalam jumlah banyak untuk kemudian
mengalami katabolisme menjadi asam urat
183
DIAGNOSIS
Uremia, hematuria dan rasa nyeri menandakan adanya batu ginjal
Kadar asam urat melebihi 10mg/dl dan rata-rata 20mg/dl. Oliguria atau anuria dengan atau
tanpa adanya kristal asam urat. Kadar nitrogen darah dan serum kreatinin meningkat
Perbandingan asam urat dengan kreatinin > 1, dihitung menurut sampel acak, mendukung
diagnosis nefropati akibat hiperurisemia

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan kadar asam urat darah, fungsi ginjal, urinalisis

TERAPI
1. Alopurinol, hidrasi dan alkalinisasi urin seperti pada sindrom lisis tumor
2. Hemodialisis jika diperlukan, dapat menurunkan kadar asam urat dan memperbaiki fungsi
ginjal

KOMPLIKASI
Batu ginjal
Gagal ginjal

PROGNOSIS
Ad vitam : malam
Ad fungsionam : malam
Ad sanasionam : malam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
Unit hemodialisis, Departemen Patologi Klinik

REFERENSI
Djoerban, Z. Kedaruratan onkologi. Dalam : W aspadji, S. Gani, RA. Setiati, S. Alwi, I. Bunga
rampai Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI 1996:97-110

184
TERAPI SUPORTIF
PADA PASIEN KANKER
PENGERTIAN
Terapi suportif pada pasien kanker merupakan hal yang amat penting, sehingga tidak jarang lebih
penting daripada pengobatan pembedahan, radiasi maupun kemoterapi karena pengobatan
suportif ini justru sering berkaitan dengan usaha untuk mengatasi masalah-masalah yang dapat

185
mengancam jiwa. Pengobatan suportif ini tidak hanya diperlukan pada pasien kanker yang
menjalani pengobatan kuratif tetapi juga yang pengobatan paliatif.
Pengobatan suportif ini meliputi :
1. Masalah nutrisi dan gangguan saluran cerna
2. Penanganan nyeri
3. Penanganan infeksi
4. Masalah efek samping sitostatika terutama efek mielosupresi

DIAGNOSIS
Masalah Nutrisi
Anamnesis : penurunan berat badan yang cepat
Antropometri : tebal lemak kulit (M. Deltoideusi lengan atas), indeks massa tubuh ( di bawah
1,5 menunjukkan katabolisme berlebihan), penilaian terhadap massa otot
Laboratorium :
- Hitung limfosit (bila menurun berarti ada gangguan respons imun)
- Kadar albumin dan prealbumin (albumin < 3 g/dl dan prealbumin < 1,2 g/dl menunjukkan
malnutrisi)
- Kadar urea nitrogen urin (>24 g/24 jam menunjukkan katabolisme protein berlebihan),
kadar feritin darah

Penanganan Nyeri
Anamnesis : waktu timbul nyeri, lokasinya, intensitasnya dan faktor yang menambah atau
mengurangi nyeri.
Anamnesis yang teliti dapat diketahui jenis nyeri pada pasien, apakah nyeri viseral, somatik,
neuropatik.
Dari anamnesis dapat juga diketahui tingkatan nyeri, menggunakan alat bantu VAS (visual
analog scale) yaitu skala dari nol sampai sepuluh (nol menunjukkan tidak ada nyeri sama
sekali, sepuluh menunjukkan nyeri yang paling hebat).
Angka yang ditunjuk pasien kemudian dapat dibagi menjadi empat kelompok :
- Angka 0 menyatakan tidak ada nyeri
- Angak 1-3 menyatakan nyeri ringan
- Angka 4-6 menyatakan nyeri sedang
- Angaka 7-10 menyatakan nyeri berat

Hal yang paling menentukan untuk memulai pengobatan adalah jenis tingkatan nyeri.

Penanganan Infeksi
Masalah Efek Samping Sitostatika
1. Penekanan sumsun tulang (infeksi neutropenia, trombositopenia, leukopenia, anemia)
2. Mual dan muntah
3. Toksisitas jantung (kardiomiopati, perimokarditis)
4. Toksisitas ginjal (nekrosis tubular ginjal)
5. Ekstravasari
6. Sindrom lisis tumor
186
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Masalah Nutrisi
- Antropometri : tebal lemak kulit, indeks massa tubuh dan massa otot
- Laboratorium : hitung limfosit, albumin, prealbumin darah, urea nitrogen urin, feritin
darah
Penanganan Nyeri
- Pemeriksaan radiologi : foto, USG bone scan, CT scan, MRI untuk mengetahui jenis nyeri
dan lokasinya
Penanganan Infeksi
- Laboratorium darah perifer lengkap dengan hitung jenis, kultur darah, kultur urin, kultur
sputum, swab tenggorok untuk mencari fokus infeksi, pemeriksaan terhadap koloni jamur
- Foto toraks
Masalah Efek Samping Sitostatika
- Pemeriksaan fisik : luas permukaan tubuh, tingkat kemampuan berperan, mencari sumber
infeksi.
- Pemeriksaan Laboratorium : DPL dengan hitung jenis, fungsi ginjal, urinalisis, asam urat
darah, fungsi hati, kultur pada tempat-tempat tertentu secara berkala
- Pemeriksaan radiologi
- Pemeriksaan ekokardiografi

TERAPI
Masalah Nutrisi
Indikasi terapi :
o Pasien tidak mampu mengkonsumsi 1000 kalori per hari
o Bila terjadi penurunan berat badan > 10% BB sebelum sakit
o Kadar albumin serum < 3,5 gr/dl
o Terdapat tanda-tanda penurunan daya tahan tubuh

Perhitungan kebutuhan kalori :


Rumus perhitungan kebutuhan kalori =
Kalori basal + aktivitas sehari-hari + keadaan hiperkatabolik
Kalori basal laki-laki : 27-30 kalori/kgBB ideal/hari
Kalori basal perempuan : 23-26 kalori/kgBB ideal/hari

Perhitungan kebutuhan protein :


Protein yang dibutuhkan adalah 0,6-0,8 g/kgBB idela/hari
Untuk mengganti kehilangan nitrogen tubuh diperlukan tambahan 0,5 g/kgBB ideal/hari
Cara pemberian:
1. Enteral melalui saluran cerna peroral, lewal selang nasogastrik, jejunostomi, gastrostomi
2. Parenteral dberikan bila melalu enteral tidak bisa atau pasien tidak mau dilakukan
gastrostomi/jejunostomi. Nutrisi sebaiknya melalui vena sentral karena dapat diberikan
cairan dengan osmolalitas tinggi dan dalam waktu lama (6 bulan-1 tahun). Hati-hati
terhadap bahaya infeksi dan trombosis

Penanganan Nyeri
187
Pengobatan medikamentosa/farmakologi
- Pada nyeri ringan pengobatan dimulai dengan asetaminofen atau OAINS, kemudian
dievaluasi dalam 24-72 jam, bila masih nyeri ditambahkan amitriptilin 3x25 mg atau opioid
ringan kodein sampai dengan 6x30 mg/hari.
- Pada nyeri sedang pengobatan dimulai dengan opioid ringan kemudian dievaluasi dalam 24
jam, bila masih nyeri obat diganti dengan opioid kuat, biasanya dipakai morfin. Pemberian
morfin intravena dimulai dengan, dosis ditirasi sampai pasien bebas nyeri.
- Pada nyeri berat pengobatan morfin intravena sejak awal dan dievaluasi sampai hitungan jam
sampai nyeri terkendali baik. Setelah didapat dosis optimal maka pemberian morfin intravena
diganti dengan morfin oral masa kerja pendek 4-6 jam dengan perbandingan 1:3, artinya jika
dosis injeksi 20mg/24 jam maka dosis oral sebanyak 3x20 mg/24 jam (60mg), diberikan
6x10mg atau 4x15mg/hari. Bila setelahnya nyeri terkendali baik maka diganti morfin oral
kerja lama dengan dosis 2x30mg/hari. Bila nyeri belum terkendali, morfin dinaikkan dosisnya
menjadi dua kali lipat dan dievaluasi lebih lanjut serta berpedoman pada VAS.
- Obat adjuvan diberikan sesuai pengkajian, bila penyebabnya neuropatik maka selain obat-
obat tersebut ditambahkan GABA (gabapentin), bila nyeri somatik akibat metastasis tulang
sedikit dapat ditambahkan OAINS dan bifosfonat, bila metastasis luas dan multipel maka
pilihan utamanya adalah radioterapi dan dapat ditambahkan bifosfonat.

Pengobatan Non Medikamentosa :


1. Penanganan psikiatris
2. Operasi bedah saraf
3. Blok anestesi
4. Rehabilitasi medik

Penanganan Infeksi
Infeksi oleh bakteri gram negatif
- Kombinasi antibiotik beta laktam dengan aminoglikosida
- Monoterapi dengan seftazidim, sefepim, imipenem, meropenem
Infeksi oleh bakteri gram positif. Staphylococcus epidermidis sering resisten pada berbagai
macam antibiotika, diberikan vankomisin dan teikoplanin
Infeksi jamur. Pemberian Amtoferisin B dianjurkan pada pasien neutropenia dengan demam
berkepanjangan setelah pemberian antibiotika spektrum luas untuk beberapa hari tanpa
adanya bakterimia
Infeksi virus dapat terjadi pada pasien neutropenia tanpa imunosupresi, sehingga beberapa
pusat menganjurkan pemberian asiklovir sejak awal pada pasien yang diperkirakan akan
mengalami neutropenia berat untuk waktu yang lama

Masalah Efek Samping Sitostatika


1. Penekanan sumsum tulang
Pemilihan dan penjadwalan obat sitostatika yang tepat
Pencegahan infeksi pada pasien neutropenia berupa dekontaminasi saluran cerna, kulit dan
rambut bila akan mendapat kemoterapi agresif
2. Mual dan muntah
Meliputi fenotiazin, haloperidol, metoklopropamid, antagonis serotonin (ondansetron,
granisetron dan tropisetron), kortikosteroid, benzodiazepin, nabilon, antihistamin dan
188
kombinasi obat-obat antiemetik di atas. Dianjurkan kombinasi tersebut meliputi deksametason
diikuti antagonis serotonin atau difenhidramin dan metoklopropamid
3. Toksisitas jantung
Pasien dengan resiko tinggi (EF < 50%) harus menjalani ekokardiografi setiap satu atau dua
siklus pengobatan, sedangkan pada yang tidak beresiko tinggi ekokardiografi diulang setelah
dosis kumulatif 350-400 mg/m 2. Hal yang paling penting pada pemantauan adalah dosis
kumulatif (epirubisin 950 mg/m 2, daunorubisin 750 mg/m 2, mitomisin 160 mg/m 2 dan
doksorubisin 550 mg/m 2)
4. Toksisitas ginjal
Kerusakan ginjal dapat dicegah dengan hidrasi adekuat, alkalinisasi urin dengan natrium
bikarbonat dan diuretik
5. Ekstravasasi obat-obat kemoterapi yang bersifat vesikan dapat dicegah dengan memastikan
jalan infus intravena lancar dan setelah kemoterapi diberikan , cairan infus tetap diberikan

6. Sindrom lisis tumor


Untuk mencegah hal ini, mulai 48 jam sebelum kemoterapi sampai dengan 3-5 hari setelahnya
diberikan hidrasi intravena 3000ml/m2, alopurinol 500mg/m 2 per oral, bila kadar asam urat >
7 mg/dl diberikan alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat dengan mempertahankan pH
urin di atas 7

KOMPLIKASI
Hati-hati dengan efek samping morfin

PROGNOSIS
Ad vitam : malam
Ad fungsionam : malam
Ad sanasionam : malam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

REFERENSI
1. Harsal, A. Tatalaksana nyeri kanker. Dalam : Setiati, S. Alwi, I. Kasjmir, Y I. Bawazier, LA.
Lydia, A. Syam, AF. dkk. Current diagnosis and treatment in internal medicine 2002. PIP IPD
FKUI Jakarta 2002:15-20
2. Sutandyo, N. Harryanto, A. Peran nutrisi pada keganasan. Dalam :Setiati, S. Soewondo, P.
Pitoyo, CW . Syam, AF. Mansjoer, A. Pertemuan ilmiah tahunan perkembangan mutakhir IPD.
PIP IPD FKUI Jakarta 2003:130-3
3. Reksodiputro, AH. Sutandyo, N. Nafrialdi. Y unihastuti, E. Beberapa aspek pengobatan
189
suportif pada pasien kanker. Dalam : Alwi, I. Setiati, S. Sudoyo, AW . Bawazier, LA. Kasjmir,
Y I. Mansjoer, A. Pertemuan ilmiah tahunan ilmu penyakit dalam IPD. PIP IPD FKUI Jakarta
2001:123-38

POLISITEMIA VERA
PENGERTIAN
Polisitemia merupakan kelainan sistem hemopoesis yang dihubungkan dengan peningkatan
jumlah dan volume sel darah merah (eritrosit) secara bermakna mencapai 6-10 juta/ml di atas
ambang batas nilai normal dalam sirkulasi darah, tanpa memperdulikan jumlah leukosit dan
trombosit. Disebut polisitemia vera bila sebagian populasi eritrosit berasal dari suatu klon sel
induk darah yang abnormal (tidak membutuhkan eritropoetin untuk proses pematangannya).
190
Berbeda dengan polisitemia sekunder dimana eritropoetin meningkat secara fisiologis sebagai
kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat atau eritropoetin meningkat secara non
fisiologis pada sindrom paraneoplastik sebagai manifestasi neoplasma lain yang mensekresi
eritropoetin. Perjalanan klinis :
1. Fase eritrositik atau fase polisitemia
Berlangsung 5-25 tahun, membutuhkan flebotomi teratur untuk mengendalikan viskositas
darah dalam batas normal.
2. Fase burn out atau spent out
Kebutuhan flebotomi menurun jauh, kesannya seperti remisi, kadang timbul anemia
3. Fase mielofibrotik
Bila terjadi sitopenia dan splenomegali progresif, menyerupai mielofibrosis dan metaplasia
mieloid
4. Fase terminal

DIAGNOSIS
International Polycythemia Study Group II
Diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria
a. A1+A2+A3 atau
b. A1+A2+2 Kategori B

Kategori A
1. Meningkatnya massa sel darah merah diukur dengan krom radioaktif Cr-51. Pada pria
36ml/kg dan pada wanita 32 ml/kg.
2. Saturasi oksigen arterial 92% (pada polisitemia vera, saturasi oksigen tidak menurun)
3. Splenomegali

Kategori B
1. Trombositosis : trombosis 400.000/ml
2. Leukositosis : leukositm 12.000/ml (tidak ada infeksi)
3. Leukosit alkali fosfatase (LAF) score meningkat > 100 (tanpa ada panas/infeksi)
4. Kadar vitamin B12 > 900g/ml atau UB12BC dalam serum 2200g/ml

DIAGNOSIS BANDING
Polisitemia sekunder akibat saturasi oksigen arterial rendah atau eritropoetin meningkat akibat
manifestasi sindrom paraneoplastik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : eritrosit, granulosit, trombosit, kadar B12 serum, NAP, saturasi O2
Pemeriksaan sumsum tulang untuk menyingkirkan kelainan mieoproliferatif yang lain

TERAPI
Prinsip pengobatan :
1. Menurunkan viskositas darah sampai ketingkat normal dan mengendalikan eritropoesis
dengan flebotomi
2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/polisitemia yang belum terkendali
3. Menghindari pengobatan berlebihan
191
4. Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia muda
5. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi sitostatik
pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan :
- Trombositosis persisten di atas 80.000/ml terutama jika disertai gejala trombosis
- Leukositosis progresif
- Splenomegali simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematic
- Gejala sistematik yang tidak terkendali seperti pruritus yang sukar dikendalikan,
penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.

A. Flebotomi
Pada PV tujuan prosedur flebotomi adalah mempertahankan hematokrit 42% pada wanita dan
47% pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan shear rate. Indikasi
flebotomi terutama untuk semua pasien pada permulaan penyakit dan yang masih dalam usia
subur.
Indikasi :
1. Polisitemia vera fase polisitemia
2. Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55% (target Ht 55%)
3. Polisitemia sekunder nonfisiologis bergantung pada derajat beratnya gejala yang
ditimbulkan akibat hiperviskositas dan penurunan shear rate

B. Kemoterapi sitostatika
Tujuannya adalah sitoreduksi
Indikasi :
Hanya untuk polisitemia rubra primer (PV)
Flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan > 2 kali sebulan
Trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis
Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin
Splenomegali simtomatik/ mengancam ruptur limpa

Cara pemberian
Hidroksiurea 800-1200 mg/m 2/hari atau 10-15 mg/kg/kali diberikan dua kali sehari. Bila
tercapai target dilanjutkan pemberian secara intermiten untuk pemeliharaan
Klorambusil dengan dosis induksi 0,1-0,2 mg/kg/hari selama 3-6 minggu dan dosis
pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4 minggu
Busulfan 0,06 mg/kgBB/hari atau 1,8 mg/m 2/hari. Bila tercapat target dilanjutkan
pemberian secara intermiten untuk pemeliharaan

C. Fosfor radioaktif
P32 pertama kali diberikan dengan dosis 2-3 mCi/m 2 intravena, bila per oral dinaikkan 25%.
Selanjutnya bila setelah 3-4 minggu pemberian P32 pertama :
Mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Dapat diulang jika diperlukan
Tidak berhasil, dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama, diberikan setelah10-12
minggu dosis pertama
Pasien diperiksa setiap 2/3 bulan setelah keadaan stabil

192
D. Kemoterapi biologi (sitokin)

E. Pengobatan suportif
Hiperurisemia : allopurinol 100-699 mg/hari
Pruritus dengan urtikaria : antihistamin, PUVA
Gastritis/ulkus peptikum : antagonis reseptor H2
Antiagregasi trombosit anagrelid

KOMPLIKASI
Trombosis, perdarahan, mielofibrosis

PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad fungsionam : malam
Ad sanasionam : malam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Hematologi - Onkologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

REFERENSI
1. Abdul Muthalib, Effendy, S. Polisitemia vera. Dalam : Suyono, S. W aspdji, S. Lesmana, L.
Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. Dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi III.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI:2001.p.541-6.
2. Polycythemia vera. Hematologie Klapper. 8th ed. Leids Universitair Medisch Centrum Leiden.
Juni 1999:48-9.

193
2.8

GERIATRI

194
PENGKAJIAN GERIATRI PARIPURNA/
COMPREHENSIVE GERIATRIC ASSESSMENT (CGA)
Pendekatan dalam evaluasi medis bagi pasien berusia lanjut (berusia 60 tahun atau lebih) berbeda
dengan pasien dewasa muda. Pasien geriatri memiliki karakteristik multipatologi, daya cadangan
faali yang rendah, gejala dan tanda klinis yang menyimpang, menurunnya status fungsional, dan
gangguan nutrisi. Selain itu, perbaikan kondisi medis kadangkala kurang dramatis dan lebih
lambat timbulnya.
Karakteristik pasien geriatrik yang pertama adalah multipatologi, yaitu pada satu pasien terdapat
lebih dari satu penyakit yang umumnya bersifat kronik degeneratif. Kedua adalah menurunnya
cadangan faali, yang menyebabkan pasien geriatri amat mudah jatuh dalam kondisi gagal pulih
(failure to thrive). Hal ini terjadi akibat penurunan fungsi berbagai organ atau sistem organ
sesuai dengan bertambahnya usia, yang walaupun normal untuk usianya namun menandakan
menipisnya daya cadangan faali. Ketiga adalah penyimpangan gejala dan tanda penyakit dari
yang klasik, misalnya pada pneumonia mungkin tidak akan dijumpai gejala khas seperti batuk,
demam dan sesak, melainkan terdapat perubahan kesadaran atau jatuh. Keempat adalah
terganggunya status fungsional pasien geriatri. Status fungsional adalah kemampuan seseorang
untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Status fungsional menggambarkan kemampuan
umum seseorang dalam memerankan fungsinya sebagai manusia yang mandiri, sekaligus
menggambarkan kondisi kesehatan secara umum. Kelima adanya gangguan nutrisi, gizi kurang,
atau gizi buruk. Gangguan nutrisi ini secara langsung akan mempengaruhi proses penyembuhan
dan pemulihan.
Jika karena suatu hal pasien geriatri mengalamai kondisi akut seperti pneumonia, maka pasien
geriatri juga seringkali muncul dengan gangguan fungsi kognitif, depresi, instabilitas, imobilisasi,
inkontinensia (sindrom geriatri). Kondisi tersebut akan semakin kompleks jika secara psikososial
terdapat hendaya seperti pengabaian (neglected) atau kemiskinan (masalah finansial).
Berdasarkan uraian di ataas tidak dapat disangkal lagi bahwa pendekatan dalam evaluasi medis
bagi pasien geriatri mutlak harus bersifat holistik atau paripurna yang tidak semata-mata dari sisi
biopsiko-sosial saja, namun juga harus senantiasa memperhatikan aspek kuratif, rehabilitatif,
promotif dan prenventif. Komponen dari pengkajian paripurna pasien geriatri meliputi status
fungsional, status kognitif, status emosional, dan status nutrisi. Selain itu, anamnesis yang
dilakukan adalah anamnesis sistem organ yang secara aktif ditanyakan oleh dokter (mengingat
seringkali pasien geriatri memiliki hambatan dalam menyampaikan atau tidak menganggap hal
tersebut sebagai suatu keluhan) dan pemeriksaan fisik lengkap yang mencakup pula pemeriksaan
neurologis dan muskuloskeletal.

STATUS FUNGSIONAL
Pendekatan yang dilakukan untuk menyembuhkan kondisi akut pasien geriatri tidak akan cukup
untuk mengatasi permasalahan yang muncul. Meskipun kondisi akutnya sudah teratasi, tetapi
pasien tetap tidak dapat dipulangkan karena belum mampu duduk, apalgi berdiri dan berjalan,
pasien belum mampu makan dan minum serta membersihkan dari tanpa bantuan. Pengkajian
status fungsional untuk mengatasi berbagai hendaya menjadi penting, bahkan sering kali menjadi
prioritas penyelesaian masalah. Nilai dari kebanyakan intervensi medis pada orang usia lanjut
dapat diukur dari pengaruhnya pada kemandirian atau status fungsionalnya. Kegagalan mengatasi
195
hendaya maupun gejala yang muncul akan mengakibatkan kegagalan pengobatan secara
keseluruhan.
Mengkaji status fungsional seseorang berarti melakukan pemeriksaan dengan instrumen tertentu
untuk membuat penilaian menjadi objektif, antara lain dengan indeks aktivitas kehidupan sehari-
hari (activity of daily living/A DL ) Barthel dan Katz. Pasien dengan status fungsional tertentu
akan memerlukan berbagai program untuk memperbaiki status fungsionalnya agar kondisi
kesehatan kembali pulih, mempersingkat lama rawat, meningkatkan kualitas hidup dan kepuasan
pasien.

STATUS KOGNITIF
Pada pasien geriatri, peran dari aspek selain fisik justru terlihat lebih menonjol terutama saat
mereka sakit. Faal kognitif yang sering terganggu pada pasien geriatri yang dirawat inap karena
penyakit akut antara lain memori segera dan jangka pendek, perspesi, proses pikir, dan fungsi
eksekutif. Gangguan tersebut dapat menyulitkan dokter dalam pengambilan data anamnesis,
demikian pula dalam pengobatan dan tindak lanjut adanya gangguan kognitif tentu akan
mempengaruhi kepatuhan dan kemampuan pasien untuk melakasanakan program yang telah
direncanakan sehingga pada akhirnya pengelolalaan secara keseluruhan akan terganggu juga.
Gangguan faal kognitif bisa ditemukan pada derajat ringan (mild cognitive impairment/MCI dan
vascular cognitive impairment/VCI) maupun yang lebih berat (demensia ringan, sedang dan
berat). Hal tersebut tentunya memerlukan pendekatan diagnosis dan terapeutik tersendiri.
Penapisan adanya gangguan faal kognitif secara objektif antara lain dapat dilakukan dengan
pemeriksaan neuropsikiatrik seperti Abbreviated Mental Test, The Mini Mental State
Examination (MMSE), The Global Deterioration Scale (GDS), dan Clinical Dementia Ratings
(CDR).

STATUS EMOSIONAL
Kondisi psikologik, seperti gangguan penyesuaian dan depresi juga dapat mempengaruhi hasil
pengelolaan. Pasien yang depresi akan sulit untuk diajak bekerja sama dalam kerangka
pengelolalaan secara terpadu. Pasien cenderung bersikap pasif atau apatis terhadap berbagai
program pengobatan yang akan diterapkan. Hal ini tentu akan menyulitkan dokter dan paramedik
untuk mengikuti dan mematuhi berbagai modalitas yang diberikan. Keinginan bunuh diri secara
langsung maupun tidak, cepat atau lambat akan mengancam proses penyembuhan dan pemulihan.
Instrumen untuk mengkaji status emosional pasien misalnya Geriatric Depression Scale (GDS)
yang terdiri atas 15 atau 30 pertanyaan. Instrumen ini bertujuan untuk menapis adanya gangguan
depresi atau gangguan penyesuaian. Pendekatan secara profesional dengan bantuan psikiater amat
diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti.

STATUS NUTRISI
Masalah gizi merupakan masalah lain yang mutlak harus dikaji pada pasien geriatri. Gangguan
nutrisi akan mempengaruhi status imun dan keadaan umum pasien. Adanya gangguan nutrisi
sering kali terabaikan mengingat gejala awal seperti rendahnya asupan makanan disangka sebagai
kondisi normal yang terjadi pada pasien geriatri. Sampai kondisi staturs gizi turun menjadi gizi
buruk baru tersadar bahwa memang ada masalah di bidang gizi. Pada saat tersebut biasanya
sudah terlambat atau setidaknya akan amat sulit menyusun program untuk mengobati status gizi
buruk.
Pengkajian status nutrisi dapat dilakukan dengan anamnesis gizi (anamnesis asupan),
196
pemeriksaan antropometrik, maupun biokimia. Dari anamnesis harus dapat dinilai berapa
kilokalori energi, berapa gram protein, dan berapa gram lemak yang rata-rata dikonsumsi pasien.
Juga perlu dievaluasi berapa gram serat dan mililiter cairan yang dikonsumsi. Jumlah vitamin
dan mineral biasanya dilihat secara lebih spesifik sehingga memerlukan perangkat instrumen lain
dengan bantuan seorang ahli gizi. Pemeriksaan antropometrik yang lazim dilakukan adalah
pengukuran indeks massa tubuh dengan memperhatikan perubahan tinggi tubuh dibandingkan
saat usia dewasa muda. Rumus tinggi lutut yang disesuaikan dengan ras Asia dapat dipakai untuk
kalkulasi tinggi badan orang usia lanjut. Pada pemeriksaan penunjang dapat diperiksa
hemoglobin dan kadar albumin plasma untuk menilai status nutrisi secara biokimiawi.

Instrumen untuk mengkaji status fungsional, kognitif, dan emosional dapat dilihat pada lampiran.

197
LAMPIRAN I

INDEKS AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI-HARI BARHTEL


(AKS BARTHEL)
No. Fungsi Skor Keterangan Nilai
Skor
1. Mengendalikan 0 Tak terkendali/tak teratur (perlu pencahar)
rangsang 1 Kadang-kadang tak terkendali (1 x seminggu)
pembuangan tinja 2 Terkendali teratur
2. Mengendalikan 0 Tak terkendali atau pakai kateter
rangsang berkemih 1 Kadang-kadang tak terkendali (hanya 1x/24jam)
2 Mandiri
3. Membersihkan diri 0 Butuh pertolongan orang lain
(seka muka, sisir 1 Mandiri
rambut, sikat gigi)
4. Penggunaan jamban, 0 Tergantung pertolongan orang lain
masuk dan keluar 1 Perlu pertolongan pada beberapa kegiatan tetapi
(melepaskan, dapat mengerjakan sendiri beberapa kegiatan
memakai celana, 2 Mandiri
membersihkan,
menyiram)
5. Makan 0 Tidak mampu
1 Perlu ditolong memotong makanan
2 Mandiri
6. Berubah sikap dari 0 Tidak mampu
berbaring ke duduk 1 Perlu banyak bantuan untuk bisa duduk
(2 orang)
2 Bantuan minimal 1 orang
3 mandiri
7. Berpindah/ berjalan 0 Tidak mampu
1 Bisa (pindah) dengan kursi roda
2 Berjalan dengan bantuan 1 orang
3 Mandiri
8. Memakai baju 0 Tergantung orang lain
1 Sebagian dibantu (misalnya mengancing baju)
2 Mandiri
9. Naik turun tangga 0 Tidak mampu
1 Butuh pertolongan
2 Mandiri
10. Mandi 0 Tergantung orang lain
1 Mandiri
TOTAL SKOR
Keterangan : skor AKS BARTHEL
20 : Mandiri 5-8 : Ketergantungan berat
12-19 : Ketergantungan ringan 0-4 : Ketergantungan total
198
9-11 : Ketergantungan sedang
LAMPIRAN 2
ABBREVIATED MENTAL TEST (AMT)
Status Mental Nilai
A. Umur ..................... tahun 0. Salah 1. Benar
B. Waktu / jam sekarang ..................... 0. Salah 1. Benar
C. Alamat tempat tinggal .................... 0. Salah 1. Benar
D. Tahun ini ................... 0. Salah 1. Benar
E. Saat ini berada di mana ................... 0. Salah 1. Benar
F. Mengenali orang lain (dokter, perawat, penanya) 0. Salah 1. Benar
G. Tahun kemerdekaan RI ................... 0. Salah 1. Benar
H. Nama Presiden RI ................... 0. Salah 1. Benar
I. Tahun kelahiran pasien atau anak terakhir ................ 0. Salah 1. Benar
J. Menghitung terbalik (20 s.d. 1) .................... 0. Salah 1. Benar
K. Perasaan hati (afeksi) A. Baik B. Labil
C. Depresi D. Gelisah
E. Cemas
Total Skor :
(diisi oleh petugas)

Keterangan :
Skor AMT
0-3 : Gangguan ingatan berat
4-7 : Gangguan ingatan sedang
8-10 : Normal

199
LAMPIRAN 3
MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)
Nama Responden : Nama pewawancara :
Umur Responden : Tanggal Wawancara :
Pendidikan : Jam Mulai :
Nilai Nilai
Maksimum Responden
ORIENTASI
5 ( ) Sekarang (hari-tanggal-bulan-tahun) dan musim apa?

5 ( ) Sekarang kita berada dimana? (nama rumah sakit dan instansi, jalan,
nomor rumah, kota, kabupaten, propinsi)
REGISTRASI
5 ( ) Pewawancara menyebutkan nama tiga buah benda, misalnya :
Satu detik untuk tiap benda. Kemudian mintalah responden mengulang
ke tiga nama benda tersebut
Berilah nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar, bila masih salah, ulangi
menyebutkan ke tiga nama benda tersebut sampai responden dapat
mengatakannya dengan benar :
(bola, kursi, sepatu)
Hitunglah jumlah percobaan dan catatlah : kali
ATENSI DAN KALKULASI
5 ( ) Hitunglah berturut-turut selang 7 angka mulai dari 100 ke bawah.
Berhenti setelah 5 kali hitungan (93-86-79-72-65). Kemungkinan lain,
ejalah kata dengan lima huruf, misalnya DUNIAdari akhir ke awal /
dari kanan ke kiri :
AINUD

Satu (1) nilai untuk setiap jawaban yang benar


MENGINGAT
3 ( ) Tanyakan kembali nama ke tiga benda yang telah disebut di atas.
Berikan nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar.
BAHASA
9 ( ) a. Apakah nama benda ini? Perlihatlanlah pinsil dan arloji (2 nilai)
b. Ulangi kalimat berikut:JIKA TIDAK DAN ATAU TAPI(1 nilai)
c. Laksanakanlah 3 buah perintah ini :
peganglah selembar kertas dengan tangan kananmu, lipatlah kertas itu
pada pertengahan dan letakkan di lantai. (3 nilai)
d. Bacalah dan laksanakan perintah berikut :
PEJAMKAN MATA ANDA (1 nilai)
e. Tulislah sebuah kalimat ! (1 nilai)
f. Tirulah gambar ini ! (1 nilai)
Jumlah nilai : ( ) Tandailah tingkat kesadaran responden pada garis absis di bawah
ini dengan huruf
X
SADAR SOMNOLEN STUPOR KOMA

Jam selesai :
Tempat wawancara :

200
Lembar Lampiran MMSE (BAHASA) :
BACALAH DAN LAKSANAKANLAH PERINTAH BERIKUT :
PEJAMKAN MATA ANDA!
TULISLAH SEBUAH KALIMAT !

..
TIRULAH GAMBAR INI !

201
LAMPIRAN 4
GERIATRIC DEPRESSION SCALE (GDS)
No. Pertanyaan Jawaban
1. Apakah anda sebenarnya puas dengan kehidupan anda? YA TIDAK
2. Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan minat atau YA TIDAK
kesenangan anda?
3. Apakah anda merasa kehidupan anda kosong? YA TIDAK
4. Apakah anda sering merasa bosan? YA TIDAK
5. Apakah anda sangat berharap terhadap masa depan? YA TIDAK
6. Apakah anda merasa terganggu dengan pikiran bahwa anda tidak YA TIDAK
dapat keluar dari pikiran anda?
7. Apakah anda merasa mempunyaio semangat yang baik setiap saat? YA TIDAK
8. Apakah anda merasa takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi YA TIDAK
pada diri anda?
9. Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian hidup anda? YA TIDAK
10. Apakah anda sering merasa tidak berdaya? YA TIDAK
11. Apakah anda sering merasa resah dan gelisah? YA TIDAK
12. Apakah anda merasa sering berada di rumah dari pada pergi ke luar YA TIDAK
rumah dan melakukan hal-hal yang baru?
13. Apakah anda sering merasa khawatir terhadap masa depan anda? YA TIDAK
14. Apakah anda merasa memiliki banyak masalah dengan daya ingat YA TIDAK
anda dibandingkan kebanyakan orang?
15. Apakah menurut anda hidup anda sekarang menyenangkan? YA TIDAK
16. Apakah anda sering merasa sedih? YA TIDAK
17. Apakah anda merasa saat ini tidak berharga? YA TIDAK
18. Apakah anda sangat mengkhawatirkan masalalu anda? YA TIDAK
19. Apakah anda merasa hidup ini sangat menarik dan menyenangkan? YA TIDAK
20. Apakah sulit bagi anda untuk memulai suatu hal yang baru? YA TIDAK
21. Apakah anda merasa penuh semangat? YA TIDAK
22. Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak punya harapan? YA TIDAK
23. Apakah anda merasa orang lain memiliki keadaan yang lebih baik YA TIDAK
daripada anda?
24. Apakah anda sering merasa sedih dengan hal-hal kecil? YA TIDAK
25. Apakah anda sering merasa ingin menangis? YA TIDAK
26. Apakah anda bermasalah dalam berkonsentrasi? YA TIDAK
27. Apakah anda merasa senang ketika bangun dipagi hari? YA TIDAK
28. Apakah anda lebih memilih tidak mengikuti peretmuan-pertemuan YA TIDAK
social/ bermasyarakat?
29. Apakah mudah bagi anda untuk membuat keputusan? YA TIDAK
30. Apakah pikiran anda secerah biasanya? YA TIDAK
Skor : hitung jumlah jawaban yang bercetak tebal
Setiap jawaban yang bercetak tebal mempunyai nilai 1
Skor antara 5-9 menunjukkan kemungkinan besar depresi
Skor 19 atau lebih menunjukkan depresi

202
SINDROM DELIRIUM AKUT
PENGERTIAN
Sindrom delirium akut (acute confusional statel ACS) adalah sindrom mental organic yang
ditandai dengan gangguan kesadaran dan atensi serta perubahan kognitif atau gangguan persepsi
yang timbul dalam jangka pendek dan berfluktuasi.

DIAGNOSA
Kriteria diagnosis menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-
TR) meliputi gangguan kesadaran yang disertai penurunan kemampuan untuk memusatkan,
mempertahankan, atau mengalihkan perhatian, perubahan kognitif (gangguan daya ingat,
disorientasi, atau gangguan berbahasa) atau timbulnya gangguan persepsi yang bukan akibat
demensia, akibat gangguan tersebut timbul dalam jangka pendek (jam atau hari) dan
cenderung berfluktuasi sepanjang hari, serta terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
atau pemeriksaan penunjang bahwa gangguan tersebut disebabkan kondisi medis umum
maupun akibat intoksikasi, efek samping, atau putus obat/ zat.
Harus dicari faktor pencetus dan faktor risikonya
- Pencetus yang sering : gangguan metabolic (hipoksia, hiperkarbia, hipo atau
hiperglikemia, azotemia), infeksi (sepsis, pneumonia, infeksi saluran kemih), penurunan
cardiac output (dehidrasi, kehilangan darah akut, infark miokard akut, gagal jantung
kongestif), strok (korteks kecil), obat-obatan (terutama antikolinergik), intoksikasi
(alcohol,dll), hipo atau hipertermia, lesi sistemsaraf pusat, psikosis akut, pemindahan ke
lingkungan yang baru/tidak familiar, impaksi fekal, dan retensi urin
- Faktor risiko : riwayat gangguan kognitif, berusia lebih dari 80 tahun, mengalami fraktur
saat masuk perawatan, infeksi yang simtomatik, jenis kelamin pria, mendapat obat
antipsikotik atau analgesic narkotik, penggunaan pengikat, malnutrisi, penambahan 3 atau
lebih obat, dan penggunaan kateter urin.

DIAGNOSIS BANDING
Demensia, psikosis fungsional, kelainan neurologis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis; menemukan penyebab/ pencetus :
Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi deficit neurologis fokal, adakah cerebro
vascular disease atau transient ischemic attack; lakukan brain CT scan jika ada indikasi
Darah perifer lengkap
Elektrolit (terutama natrium), ureum, kreatinin, dan glukosa darah
Analisis gas darah
Urin lengkap dan kultur resistensi urin
Foto toraks
EKG

203
TERAPI
Berikan oksigen, pasang infuse dan monitor
Segera dapatkan hasil pemeriksaan penunjang untuk memandu langkah selanjutnya;
tujuan utama terapi adalah mengatasi faktor pencetus
Jika khawatir aspirasi dapat dipasang pipa naso-gastrik
Kateter urin dipasang terutama jika terdapat ulkus dekubitus disertai inkontinensia urin
Awasi kemungkinan imobilisasi
Hindari sebisa mingkin pengikat tubuh untuk mencegah imobilisasi. Jika memang
diperlikan, gunakan dosis terendah obat neuroleptik dan atau benzodiazepine dan monitor
status neuroligisnya; pertimbangkan penggunaan antipsikotik antipikal. Kaji ulang
intervensi ini setiap hari; targetnya adalah penghentian obat anti psikotik dan pembatasan
penggunaan obat tidur secepatnya
Kaji status hidrasi secara berkala
Ruangan tempat pasien harus berpenerangan cukup, terdapat jam dan kalender yang besar
dan jika memungkunkan diletakkan barang-barang yang familiar bagi pasien dari rumah,
hindari stimulus berlebihan, keluarga dan tenaga kesehatan harus berupaya sesering
mungkin mengingatkan pasien mengenai hari dan tanggal, jika kondisi klinis sudah
memungkinkan pakai alat bantu dengar atau kacamata yang biasa digunakan oleh pasien
sebelumnya, motivasi untuk berinteraksi sesering mungkin dengan keluarga dan tenaga
kesehatan, evaluais strategi orientasi realitas; beritahu pasien bahwa dirinya sedang
binggung dan disorientasi namun kondisi tersebut dapat membaik.

KOMPLIKASI
Fraktur, hipotensi sampai renjatan, thrombosis vena dalam, emboli paru, sepsis

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit dalam dan Konsultan Geriatri

UNIT YANG MENANGANI


Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
Divisi Di Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait dengan keterlibatan etiologi ACS,
Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen Psikiatri, Instalasi gizi, Instalasi Farmasi, Bidang
keperawatan, Departemen Neurologi.

204
INSTABILITAS DAN JATUH

PENGERTIAN
Adanya instabilitas membuat seseorang berisiko untuk jatuh. Kemampuan untuk mengontrol
posisi tubuh dalam ruang merupakan suatu interaksi kompleks system saraf dan musculoskeletal
yang dikenal sebagai system control postural. Jatuh terjadi manakala system control postural
tubuh gagal mendeteksi pergeseran dan tidak mereposisi pusat gravitasi terhadap landasan
penopang (kaki, saat berdiri) pada waktu yang tepat untuk menghindari hilangnya keseimbangan.
Kondisi ini seringkali merupakan keluhan utama yang menyebabkan pasien datang berobat
(keluhan utama dari penyakit-penyakit yang juga bias mencetuskan sindrom delirium akut)

DIAGNOSIS
Subjektif: terdapat keluhan perasaan seperti akan jatuh, disertai atau tanpa dizziness, vertigo,
rasa bergoyang, rasa tidak percaya diri untuk transfer atau mobilisasi mandiri; atau terdapat
riwayat jatuh
Objektif: terdapat faktor risiko instrinsik dan ekstrinsik untuk terjadinya jatuh. Faktor instrinsik
terdiri atas faktor local dan faktor sistemik. Faktor instrinsik local: osteoarthritis genu/ vertebra
lumbal, plantar fasciitis, kelemahan otot kuadrisep femoris, gangguan pendengaran, gangguan
penglihatan, gangguan pada alat keseimbangan seperti vertigo yang dapat ditimbulkan oleh
gangguan aliran darah ke otak akibat hiperkoagulan, hiperagregasi, atau spondiloartrosis servikal.
Faktor instrinsik sistemik: penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, infark miokard
akut, gagal jantung, infeksi saluran kemih, gangguan aliran darah ke otak (hiperkoagulasi, strok,
dan TIA/ transient ischemic attact), diabetes mellitus, dan atau hipertensi (terutama jika tak
terkontrol), paresis inferior, penyakit atau sindrom Parkinson, demensia, gangguan saraf lain serta
gangguan metabolic seperti hiponatremia, hipoglikemia atau hiperglikemia, dan hipoksia. Faktor
risiko ekstrinsik/ lingkungan antara lain: alas kaki yang tidak sesuai, kain/ pakaian bagian bawah
tubuh yang terjuntai, lampu ruangan yang kurang teran, lantai yang licin, basah dan tidak rata,
furniture yang terlalu rendah dan tinggi, tangga yang taka man, kamar mandi dengan bak mandi/
closet terlalu rendah atau tinggi dan tidak memiliki alat bantu untuk berpegangan, tali atau kabel
yang berserakan di lantai, karpet yang terlipat, dan benda-benda di lantai yang mmbuat seseorang
terantuk.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan seperti the timed up-and-go test (TUG), uji menggapai fungsional
(functional reach test), dan uji keseimbangan Berg (the Berg balance sub-scale of the mobility
index) dapat untuk mengevaluasi fungsi mobilitas sehingga dapat mendeteksi perubahan klinis
bermakna yang menyebabkan seseorang berisiko untuk jatuh atau timbul disabilitas dalam
mobilitas.
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu mengidentifikasi faktor risiko; menemukan
penyebab/ pencetus :
Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi deficit neurologi fokal, adakah cerebro
vascular disease atau transient ischemic attack; lakukan brain CT scan jika ada indikasi
Darah perifer lengkap
Elektrolit (terutama natrium kalium), ureum, creatinin, dan glukosa darah
Analisa gas darah
Urin lengkap dan kultur resistensi urin
205
Hemostase darah dan agregasi thrombosis
Foto toraks, vertebra, genu, dan pergelangan kaki (sesuai indikasi)
EKG
Identifikasi faktor demosili (lingkungan tempat tinggal)

Tabel 1. Penyebab Jatuh


Penyebab Jatuh Keterangan
Kecelakaan Kecelakaan murni (terantuk, terpleset, dll)
Interaksi antara bahaya di lingkungan dan faktor yang meningkatkan kerentanan
Sinkop Hilangnya kesadaran mendadak
Drop attack
Dizziness dan atau Kelemahan tungkai bawah mendadak yang menyebabkan jatuh tanpa kehilangan
vertigo kesadaran
Hipotensi Ortostatik Penyakit vestibular, penyakit system saraf pusat
Obat-obatan Hipovolemia atau kardiak output yang rendah, disfungsi otonom, gangguan
aliran darah balik vena, tirah baring lama, hipotensi akibat obat-obatan,
hipotensi postprandial
Proses penyakit Diuretika, antihipertensi, antidepresi golongan trisiklik, sedative, antipsikotik,
hipoglikemia,alcohol
Berbagai penyakit akut
Kardiovascular: aritmia, penyakit katup jantung (stenosis aorta), sinkop sinus
carotid
Neurologis: TIA, strok akut, gangguan kejang, penyakit Parkinson, spondilosis
lumbal atau servikal (dengan kompresi pada korda spinalis atau cabang saraf),
penyakit serebelum, hidrosefalus tekanan normal (gangguan gaya berjalan), lesi
system saraf pusat (tumor, hematom subdural)
Idiopatik Tak ada penyebab yang dapat diidentifikasi

Table 2. Evaluasi pada Pasien Usia Lanjut yang Jatuh


Evaluasi Keterangan
Anamnesis
Riwayat medis umum
Tingkat mobilitas
Riwayat jatuh sebelumnya
Obat-obatan yang dikomsumsi Terutama obat antihipertensi dan psikotropika
Apa yang dipikirkan pasien Apakah pasien sadar bahwa akan jatuh?, Apakah kejadian jatuh
sebagai penyebab jatuh? tersebut sama sekali tak terduga?, Apakah pasien terpeleset atau
terantuk?
Lingkungan sekitar tempat Waktu dan tempat jatuh; saksi; kaitannya dengan perubahan postur,
jatuh batuk, buang air kecil, memutar kepala
Gejala yang terkait Kepala terasa ringan, dizziness, vertigo; palpitasi, nyeri dada, sesak;
gejala neurologis fokal mendadak (kelemahan, gangguan sensorik,
disartria, ataksia, bingung, afasia); aura; inkontinensia urin atau alvi
Hilangnya kesadaran Apakah yang langsung diingat segera setelah jatuh?
Apakah pasien dapat bangkit kembali setelah jatuh dan jika
dapat, berapa lama waktu yang diperlukan untuk dapat
bangkit setelah jatuh?
Apakah adanya kehilangan kesadaran dapat dijelaskan oleh
saksi?
206
Pemeriksaan Fisik:
Tanda vital Demam, hipotermia, frekuensi pernapasan, frekuensi nadi, dan
tekanan darah saat berbaring, duduk, dan berdiri
Kulit Turgor, trauma, pusat
Mata Visus
Kardiovascular Aritmia, bruit karotis, tanda stenosis aorta, sensitivitas sinus
karotis
Ekstremitas Penyakit sendi degenerative, lingkup gerak sendi, deformitas,
fraktur, masalah pediatric (kalus, bunion, ulserasi, sepatu yang
tidak sesuai, kesempitan/ kebesaran, rusak)
Neurologis Status mental, tanda fokal. Otot (kelemahan, rigiditas,
spastisitas), saraf perifer (terutama sensasi posisi),
proprioseptif, reflex, fungsi saraf cranial, fungsi serebelum
(terutama uji tumit ke tulang kering), gejala ekstrapiramidal:
tremor saat istirahat, bradikinesia, gerakan involunter lain,
keseimbangan dan cara berjalan dengan mengobservasi cara
pasien berdiri dan berjalan (uji get up and go)

Table 3. Penilaian klinis dan Tatalaksana yang direkomendasikan bagi Orang Usia Lanjut
yang Berisiko Jatuh
Penilaian dan Faktor Risiko Tatalaksana
Lingkungan saat jatuh sebelumnya Perubahan lingkungan dan aktivitas untuk
mengurangi kemungkinan jatuh berulang
Konsumsi obat-obatan Review dan kurangi konsumsi obat-obatan
- Obat-obatan berisiko tinggi (Benzodiazepin,
obat tidur lain, neuroleptik, antidepresan,
antikonvulsi, atau antiaritmia kelas IA)
- Konsumsi 4 macam obat atau lebih
Penglihatan Penerangan yang tidak menyilaukan; hindari
- Visus <20/60 pemakaian kacamata multifocal saat berjalan;
- Penurunan persepsi kedalaman (depth rujuk ke dokter spesialis mata
perception)
- Penurunan sensitivitas terhadap kontras
- katarak
Tekanan darah postural (setelah 5 menit Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika
dalam posisi berbaring/ supine, segera setelah memungkinkan; review dan kurangi obat-
berdiri, dan 2 menit setelah berdiri) tekanan obatan; modifikasi dari restriksi daram; hidrasi
sistolik turun 20 mmHg (atau 20 %), yang adekuat; strategi kompensasi (elevasi
dengan atau tanpa gejala, segera atau setelah 2 bagian kepala tempat tidur, bangkit perlahan,
menit berdiri atau latihan doksofleksi); stoking kompresi;
terapi farmakologis jika strategi di atas gagal
Keseimbangan dan gaya berjalan Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika
- laporan pasien atau observasi adanya memungkinkan; kurangi obat-obatan yang
ketidakstabilan mengganggu keseimbangan; rujuk ke
- gangguan pada penilaian singkat (uji get up rehabilitasi medic untuk alat bantu dan latihan
ang go atau performance-oriented keseimbangan dan gaya berjalan
207
assessment of mobility)
Pemeriksaan neurologis Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika
- gangguan proprioseptif memungkinkan; tingkatkan input proprioseptif
- gangguan kognitif (dengan alat bantu atau alas kaki yang sesuai,
- penurunan kekuatan otot berhak rendah, dan bersol tipis); kurangi obat-
obatan yang mengenai deficit kognitif; kurangi
faktor mengganggu fungsi kognitif;
kewaspadaan pendamping resiko lingkungan;
rujuk ke RM untuk latihan berjalan,
keseimbangan dan kekuatan
Pemeriksaan musculoskeletal : Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika
Pemeriksaan tungkai (sendi dan gerakan sendi) memungkinkan; rujuk ke RM untuk latihan
dan pemeriksan kaki kekuaran, lingkup gerak sendi, gaya berjalan,
dan keseimbangan serta untuk alat bantu;
gunakan alas kaki yang sesuai; rujuk ke
pediatric
Pemeriksaan kardiovaskular Rujuk ke konsultan kardiologi; pemijatan sinus
- sinkop karotis (pada kasus sinkop)
- aritmia (jika telah diketahui adanya
penyakit kardiovaskular, EKG abnormal,
dan sinkop)
Evaluasi terhadap bahayadi rumah setelah Rapikan karpet yang terlipat dan gunakan
pulang dari rumah sakit lampu malam hari, bathnast yang tidak licin,
dan pegangan tangga; intervensi lain yang
diperlukan

TERAPI
Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah
identifikasi faktor risiko instrinsik dan ekstrinsik, mengkaji dan mengobati trauma fisik
akibat jatuh; mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh;
memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguat otot, alat
bantu, sepatu atau sandal yang sesuai; mengubah lingkungan agar lebih aman seperti
pencahayaan yang cukup; pegangan; lantai yang licin; dan sebagainya
Latihan desensitisasi faal keseimbangan, latihan fisik (penguat otot, fleksibilitas sendi,
dan keseimbangan) latihan Thai Chi, adaptasi perilaku (bangun dari duduk perlahan-lahan,
menggunakan pegangan atau perabot untuk mencegah morbiditas akibat instabilitas dan
jatuh berikutnya
Perubahan lingkungan sangat penting dilakukan untuk mencegah jatuhnya berulang
karena lungkungan tempat orang usia lanjut tinggal seringkali tidak aman sehingga upaya
perbaikan diperlukan untuk perbaiki keamanan mereka agar kejadian jatuh dapat dihindari

208
KOMPLIKASI
Fraktur, memar jaringan lunak, isolasi dan depresi, imobilisasi

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
Dokter Spesialis Ilmu penyakit dalam, Konsultan Geriatri, Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik

209
GANGGUAN KOGNITIF RINGAN DAN DEMENSIA

PENGERTIAN
Antara fungsi kognitif yang normal untuk usia lanjut dan demensia yang jelas, terdapat suatu
kondisi penurunan fungsi kognitif ringan yang disebut dengan mild cognitive impairment (MCI)
dan vascular cognitive impairment (VCI), yang sebagian akan berkembang menjadi demensia,
baik penyakit Alzheimer maupun demensia tipe lain.

Mild cognitive impairment (MCI) merupakan suatu kondisi sindrom predemensia(kondisi


transisi fungsi kognisi antara penuaan normal dan demensia ringan), yang pada berbagai studi
telah dibuktikan sebagian akan berlanjut menjadi demensia (terutama demensia Alzheimer) yang
simtomatik.

Vascular cognitive impairment (VCI) merujuk pada keadaan penurunan fungsi kognitif ringan
dan dihubungkan dengan iskemia serta infark jaringan otak akibat penyakit vascular dan
aterosklerosis.

Demensia adalah gangguan fungsi intelektual (berpikir abstrak, penilaian, kepribadian, bahasa,
praksis, dan visuospasial) dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak
berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran, sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan
social secara bermakna.
Demensia Alzheimer merupakan demensia yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer, munculnya
gejala perlahan-lahan namun progresif. Demensia vascular merupakan demensia yang terjadi
berhubungan dengan serangan strok (biasanya terjadi 3 bulan pasca strok), munculnya gejala
biasanya bertahap sesuai serangan strok yang mendahului (step ladder). Pada satu p[asien pasca
strok bisa terdapat dua jenis ini (tipe campuran). Pada kedua tipe jenis ini lazim terdapat faktor
resiko seperti: hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, dan faktor resiko ateroskerosis lain.
Demensia dapat disertai behavioral and psychological symptom of dementia (BPSD) yang lazim
disebut sebagai perubahan perilaku dan kepribadian. Gejala BPSD dapat berupa depresi,
wandering/pacing, pertanyaan berulang atau mannerism, kecemasan, atau agresivitas.

DIAGNOSIS
Tabel 1. Kriteria Diagnosis untuk MCI dan VCI

Mild Cognitive Impairment (MCI)

Keluhan memori yang diperkuat oleh informan


Fungsi memori yang tidak sesuai untuk umur dan pendidikan
Fungsi kognitif umum masih baik
Aktivitas sehari-hari masih baik
Tidak demensia

210
Vascular Cognitive Impairment (VCI)

Gangguan kognitif ringan sampai sedang, terutama fungsi eksekutif


Tidak memenuhi kriteria demensia
Mempunyai penyebab vascular berdasarkan adanya tanda iskemia atau infark jaringan
otak
Bukti lain adanya ateroskerosis
Hachinski Ischemic Score (HIS) yang tinggi

Tabel 2. Kriteria Diagnosis untuk Demensia (Sesuai dengan DSM IV)


A. Munculnya defisit kognitif multipel yang bermanifestasi pada kedua keadaan berikut
1. Gangguan memori (ketidakmampuan untuk mempelajari informasi baru atau untuk
mengingat informasi yang baru saja dipelajari)
2. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut
a. Afasia (gangguan berbahasa)
b. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas motorik walaupun fungsi
motorik masih normal)
c. Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda walaupun
fungsi sensorik masih normal)
d. Gangguan fungsi eksekutif (seperti merencanakan, mengorganissasi, berpikir
runut, berpikir abstrak)
B. Defisit kognitif yang terdapat pada kriteria A1 dan A2 menyebabkan gangguan
bermakna pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang
bermakna dari fungsi sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat
timbulnya delirium.

DIAGNOSIS BANDING
Acute confusional state, depresi, penyakit Parkinson

Catatan: demensia sering terdapat bersamaan dengan depresi dan/atau Penyakit Parkinson

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan neuropsikiatrik dengan the Mini-Mental state Examination (MMSE), the Global
Deterioration Scale (GDS), dan The Clinical Dementia Ratings (CDR)
Nilai MMSE dipengaruhi oleh umur dan tingkat pendidikan, sehingga pemeriksa harus
mempertimbangkan hal-hal tersebut dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan MMSE.
Fungsi tiroid, hati, dan ginjal
Kadar vitamin B12
Kadar obat dalam darah (terutama yang bekerja pada susunan saraf pusat)
CT scan, MRI

Tabel 3. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer menurut the National Institute
of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer s
211
Disease and Related Disorder Association (ADRDA)

1. Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup:


Demensia yang ditegakkan oleh pemeriksaan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat
dengan pemeriksaan the mini-mental test, Blessed Dementia scale, atau pemeriksaan
sejenis, dan dikonfirmasi oleh tes neuropsikologis
Defisit pada dua atau lebih area kognitif
Tidak ada gangguan kesadaran
Awitan antara umur 40 dan 90, umumnya setelah umur 65 tahun
Tidak ada kelainan sitemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit
progresif pada memori dan kognitif
2. Diagnosis probable penyakit Alzhemeir didukung oleh:
Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia, apraksia, dan agnosia
Gangguan aktivitas sehari-hari dan perubahan pola perilaku
Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama, terutama bila sudah dikonfirmasi secara
neuropatologi
Hasil laboratorium yang menunjukkan
Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar
Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG, seperti peningkatan aktivitas
slow-wave
Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh
pemeriksaan serial
3. Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer, setelah
mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer:
Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)
Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi, insomnia, inkontinensia, delusi,
halusinasi, verbal katastorik, emosional, gangguan seksual, dan penurunan berat badan
Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien, terutama pada penyakit tahap lanjut
seperti peningkatan tonus otot, mioklonus, dan gangguan melangkah (gait disorder)
Kejang pada penyakit yang lanjut
Pemeriksaan CT normal untuk usianya
4. Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak cocok
adalah:
Onset yang mendadak dan apoplectic.
Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, gangguan sensorik, defisit
lapangan pandang, dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit, dan kejang atau gangguan
melangkah pada saat awitan atau tahap awal perjalanan penyakit
5. Diagnosis possible penyakit Alzheimer adalah:
Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia, tanpa adanya gangguan neurologis,
psikiatrik, atau sistemik lain yang dapat menyebabkan demensia, adanya variasi pada
awitan, gejala klinis, atau perjalanan penyakit
Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk
menyebabkan demensia, namun penyebab primernya bukanmerupakan penyebab
demensia
6. Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah:
Kriteria klinis
7. Klasifikasi untuk
penyakit probableuntuk
Alzheimer penyakit Alzheimer
tujuan penelitian dilakukan bila terdapat gambaran
khusus
Bukti yang mungkinyang
histopatologi merupakan subtype
didapat dari penyakit
biopsy Alzheimer, seperti:
atau autopsi
Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama 212
Awitan sebelum umur 65 tahun
Adanya trisomi-21
Tabel 4. Penatalaksanaan terhadap Faktor Risiko Timbulnya Gangguan Kognitif pada
Usia Lanjut
Faktor Risiko Penatalaksanaan Keterangan

Hipertensi Kurangi asupan garam Rekomendasi JNC VII dan


Obat hipertensi awal dengan diuretic, dapat penelitian ALLHATT
dikombinasi dengan ACEI, ARB, Penyekat B
atau antagonis kalsium
Target TDS< 130mmHg,TDD <80mmHg
Dislipidemia Kurangi asupan makanan berlemak Konsensus pengendalian
Obat antidislipidemia dislipidemia yang dikeluarkan
Target: trigliserida <150 mg/dl, HDL>40 oleh PERKENI dan NCEP-ATP
mg/dl, LDL<100mg/dl III
Beberapa penulis melaporkan
statin dapat menurunkan
fungsi kognitif
Diabetes Melitus 5 pilar penatalaksanaan DM: edukasi, Konsensus penatalaksanaan
perencanaan makanan, latihan fisik, obat DM tipe 2 oleh PERKENI
hipoglikemik oral, dan insulin Penggunaan insulin sering
Perhatian pada pemilihan OHO dan insulin menimbulkan efek
disesuaikan dengan penurunan fungsi organ hipoglokemik pada usia
Target: GDP< 120mg/dl, pada usia lanjut lanjut yang dapat
GDP< 160 mg/dl masih diterima bermanifestasi gangguan
kognitif
Obesitas Penatalaksanaan sejak usia dini
Target IMT<25kg/m2
Gagal jantung, Identifikasi etiologi yang bisa dikoreksi
fibrilasi atrium, Terapi farmakologis dan nonfarmakoilogis
hiperkoagulasi, yang sesuai untuk mengendalikan dan
mengatasinya
Rujuk ke konsultan yang sesuai pada
keadaan khusus

213
Tabel 5. Obat-obatan yang Dipergunakan untuk Menghambat Penurunan dan
Memperbaiki Fungsi Kognitif pada Demensia dan Gangguan Kognitif Ringan

TERAPI
Libatkan seorang usia lanjut pada kehidupan sosial yang lebih intensif serta partisipasi pada
aktivitas yang mennstimulus fungsi kognitif dan menstimulasi mental maupun emosional
yang menurunkan faktor resiko Alzheimer dan memperlambat munculnya manifestasi klinis
gangguan kognitif
Latihan memori multifaset dan latihan relaksasi
Penyampaian informasi yang benar kepada keluarga, latihan orentasi realitas, rehabilitas,
dukungan keluarga, manipulasi lingkungan, program harian untuk pasien, reminiscene, terapi
music, psikoterapi, modifikasi perilaku, konsultasi untuk pramuwerdha, jaminan nutrisi yang
optimal
Pemberian obat pada BPSD ditujukan untuk target gejala tertentu dengan pembatasan waktu.
Tentukan target yang hendak diobati, identifikasi pencetus gejala, psikoterapi dan konseling
diberikan bersama dengan obat (risperidon, sertralin, atau haloperidol, sesuai gejala yang
muncul)
Tatalaksana pada demensia baerat terutama modalitas non-farmakologis
Tatalaksana faktor risiko gangguan kognitif

214
Pasien usia lanjut dengan keluhan memori subjektif/ dilaporkan keluarga

Faktor Resiko:

Anamnesis : Hipertensi Gagal jantung L aboratorium:


DM Hiperkoagulasi
L ama keluhan Dislipidemia Hiperagregasi Fungsi tiroid Kelelola faktor
Awitan Merokok trombosit Fungsi hati resiko
Progresivitas Obesitas Neurosifilis & Fungsi ginjal sesegera &
Aktivitas sehari-hari PPOK HIV Kadar vitamin B12 seoptimal
Riwayat keluarga K adar obat dalam darah mungkin
Penggunaan obatan
dan alcohol
Modifikasi/terapi bila ada
Riwayat CABG Terapi sesuai penyebab Optimalkan
bila abnormal pengelolaan
faktor resiko

MMSE <24 MMSE 24-28 MMSE >28


L anjutkan pengelolaan
faktor resiko:

Terapi hipertensi
Edukasi Edukasi Evaluasi Injeksi/obat
fung si hipoglikemik
R ujuk SpKJ/Konsultan Inhibitor kolinestrase ( masih kog nitif tiap 6 Obat penurun kadar
g eriatri kontroversi) bulan lemak
Antikoagulan
Skor MMSE Skor MMSE Olahraga
tetap/turun meningkat Suplemen asam folat dan
Evaluasi 6 bulan vit.B12
Serat larut air
Asupan kalori yang baik

Gambar 1. Algoritme Evaluasi dan Penatalaksanaan Pasien Usia Lanjut dengan Penurunan Fungsi
Kognitif

KOMPLIKASI
Jatuh, rusaknya struktur sosial keluarga, isolasi, malnutrisi

PROGNOSIS
Tergantung stadium diagnosis

WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Geriatri, Psikiater-Geriatri, Neurolog-Geriatri

215
UNIT YANG MENANGANI
Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Psikiatri-Geriatri Departemen Psikiatri,
Departemen Neurologi

UNIT TERKAIT
Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Psikiatri-Geriatri Departemen Psikiatri,
Departemen Neurologi, Departemen Rehabilitasi Medik, Instalasi Gizi, Instalasi Farmasi,
Perawat Gerontik

216
IMOBILISASI

PENGERTIAN
Mobilisasi tergantung pada interaksi yang terkoordinasi antara fungsi sensorik persepsi,
keterampilan motorik, tingkat kognitif, dan kesehatan premorbid, serta variabel eksternal seperti
keberadaan sumber-sumber komunitas, dukungan keluarga, adanya halangan arsitektural (kondisi
lingkungan), dan kebijaksanaan institusional.
Imobilisasi didefinisikan sebagai kehilangan gerakan anatomic akibat perubahan fungsi fisiologis
yang dalam praktek sehari-hari dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas mobilitas di tempat tidur, transfer, atau ambulasi selama lebih dari 3 hari. Imobilisasi
menggambarkan sindrom degenerasi fisiologis yang diakibatkan penurunan aktivitas dan
deconditioning.

FAKTOR RESIKO
Berbagai faktor fisik, psikologis dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada pasien usia
lanjut.

Tabel 1. Penyebab Umum Imobilisasi pada Usia Lanjut

Gangguan musculoskeletal Artritis


Osteoporosis
Fraktur
Problem kaki
Lain-lain
Gangguan neurologis strok
Penyakit Parkinson
Lain-lain
Penyakit kardiovaskular Gagal jantung kongestif
Penyakit jantung koroner
Penyakit vascular perifer
Penyakit paru Penyakit Paru Obstruksi kronis
Faktor sensorik Gangguan penglihatan
Takut
Penyebab lingkungan Imobilisasi yang dipaksakan
Alat bantu mobilisasi yang tidak adekuat
Nyeri akut atau kronik
Lain-lain dekondisi
Malnutrisi
Penyakit sistemik berat
Depresi
Efek samping obat
Perjalanan lama yang menyebabkan seseorang tidak
bergerak

217
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pengkajian geriatric paripurna diperlukan dalam mengevaluasi pasien usia lanjut yang mengalami
imobilitas meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, evaluasi status fungsional, status mental, status
kognitif, dan tingkat mobilitas, serta pemeriksaan penunjang sesuai indikasi.

Tabel 2. Evaluasi Pasien Usia Lanjut yang Mengalami Imobilisasi


Evaluasi Keterangan
Anamnesis - riwayat dan lama imobilisasi
- kondisi medis yang merupakan faktor resiko dan
Penyebab Imobilisasi
-kondisi premorbid
- nyeri
- obat-obatan yang dikonsumsi
-dukungan pramuwerdha
-interaksi sosial
-faktor psikologis
-faktor lingkungan
Pemeriksaan fisik status kardiopulmonal
Kulit
Musculoskeletal: kekuatan, tonus, lingkup gerak,
lesi,
Deformitas
Neurologis: kelemahan fokal, evaluasi persepsi dan
sensorik
Gastrointestinal
Genitourinarius
Status fungsional AKS Barthel
Status mental Pemeriksaan GDS
Status kognitif Pemeriksaan MMSE, AMT
Tingkat mobilitas mobilitas di tempat tidur, kemampuan transfer, mobilitas di
Kursi roda, keseimbangan saat duduk dan berdiri,
cara
berjalan, nyeri saat bergerak
Pemeriksaan penunjang penilaian berat ringan kondisi medis penyebab imobilisasi

TERAPI

Tatalaksana Umum
Kerjasama tim medis interdisiiplin ilmu dengan partisipasi pasien, keluarga, dan
pramuwerdha.
Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan
bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari sendiri, semampu pasien
Dilakukan pengkajian geriatric paripurna, perumusan target fungsional, dan pembuatan
rencana terapi yang mencakup pula perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target
terapi
218
Temu kenali dan tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang
mungkin terjadi pada kasus imobilisasi serta penyakit/kondisi peneyrta lainnya
Evaluasi seluruh obat yang dikonsumsi, obat yang dapat menyebabkan kelemahan atau
kelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentikan jika mungkin
Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang mengandung serat serta
vitamin dan mineral
Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis terjadi meliputi
latihan mobilitas di tempat tidur, latihan lingkup gerak sendi, latihan penguatan otot, latihan
koordinasi/keseimbangan, transfer dengan bantuan dan ambulasi terbatas.
Bila diperlukan sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan ambulasi.
Manajemen miksi dan defekasi termasuk penggunaan komod atau toilet

Tatalaksana Khusus
Tatalaksana faktor resiko
Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi
Pada keadaan khusus, konsultasikan kondisi medic kepada dokter spesialis yang kompeten
Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien-pasien yang mengalami sakit atau
riwayat di rumah sakit dan panti werdha untuk mencegah imobilisasi lanjut
Upayakan dukungan lingkungan dan ketersediaan alat bantu untuk mobilisasi yang adekuat
bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas permanen.

KOMPLIKASI
Imobilisasi dapat menyebabkan proses degenerasi yang terjadi pada hampir semua sistem organ
sebagai akibat berubahnya tekanan gravitasi dan berkurangnya fungsi motorik.

PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada penyakit yang mendasari imobilisasi dan komplikasi yang
ditimbulkannya. Perlu dipahami, imobilisasi dapat memperberat penyakit dasarnya bila tidak
ditangani sedini mungkin, bahkan dapat menimbulkan kematian.

Tabel 3. Efek imobilisasi pada Berbagai Sistem Organ


Organ/Sistem Perubahan yang Terjadi akibat Imobilisasi
Muskuloskeletal Osteoporosis, penurunan masa tulang, hilangnya kekuatan otot,
penurunan area potong lintang otot, kontraktur, degenerasi rawan sendi,
ankilosis, peningkatan tekanan intraartikular, berkurangnya volume sendi
Kardiopulmonal Peningkatan denyut nadi istirahat,penurunan perfusi miokard intoleran
dan Pembuluh terhadap ortostatik, penurunan pengambilan oksigen maksimal, penurunan
darah volume plasma, perubahan uji fungsi paru, atelektasis paru, pneumonia,
peningkatan statis vena, agregasi trombosit dan hiperkoagulasi
Integument peningkatan ulkus dekubitus dan maserasi kulit
Metabolik dan keseimbangan nitrogen negatif, hiperkalsiuria, natriuresis, dan deplesi
Endokrin natrium, resistensi insulin, hiperlipidemia, serta penurunan absorpsi dan
metabolism vitamin/mineral
Neurologi dan depresi dan psikosis, atrofi korteks motorik dan sensorik, gangguan
psikiatri keseimbangan, penurunan fungsi kognitif, neuropati kompresi, dan
rekrutmen neuromuscular yang tidak efesien
219
Traktus inkontinensia urin dan alvi, infeksi saluran kemih, pembentukan batu
gastrointestinal kalsium, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna dan distensi
dan Urinarius kandung kemih, impaksi feses, dan konstipasi, penurunan motilitas usus,
refluks esophagus, aspirasi saluran nafas, dan peningkatan resiko
perdarahan gastrointestinal

WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Geriatri, Dokter Spesialis Rehabilitasi

UNIT YANG MENANGANI


Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi Medik

UNIT TERKAIT
Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam,Divisi Psikiatrik-Geriatri Departemen Psikiatri,
Departemen Rehabilitasi Medik, Instalasi Gizi, Instalasi Farmasi, Bidang Keperawatan

220
INKONTINENSIA URIN

PENGERTIAN
Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga menimbulkan
masalah hygiene dan sosial. Inkontinensia urin merupakan masalah yang sering dijumpai pada
pasien geriatric dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial seperti dekubitus, jatuh,
depresi, dan isolasi sosial.
Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau persisten. Inkontinensia urin yang akut dapat
diobati bila masalah yang mendasari diatasi seperti infeksi saluran kencing, gagguan
kesadaran, vaginitis atrofik, obat-obatan, masalah psikologik, dan skibala. Inkontinensia urin
yang persisten biasanya dapat pula dikurangi dengan bebagai modalitas terapi.

DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis perlu diketahui penyebab dan tipe inkontinensia urin. Terdapat 2
masalah dalam sistem saluran kemih yang dapat memberikan gambaran inkonteninsia urin yakni
masalah saat pengosongan kandung kemih dan masalah saat pengisian kandung kemih.
Untuk inkontinensia urin akut, perlu diobati penyakit yang mendasari, seperti infeksi
saluran kemih, obat-obatan, gangguan kesadaran, skibala, prolaps uteri. Biasanya pada
inkontinensia urtin yang akut, dengan mengatasi penyebabnya, inkontinensianya juga
akan teratasi.
Inkontinensia urin yang kronik dapat dibedakan atas beberapa jenis: inkontinensia tipe
urgensi atau overactive bladder, inkontenensia tipe stress, dan inkontinensia urin tipe
overflow
Inkontinensia tipe urgensi dicirikan oleh gejala adanya sering berkemih, keinginan
berkemih yang tidak tertahankan, sering berkemih di malam hari, dan keluarnya urin yang
tidak terkendalikan yang didahului oelh keinginan berkemih yang tidak tertahankan
Inkontinensia urin tipe stress dicirikan oleh keluarnya urin yang tidak terkendali pada saat
tekanan abdomen meningkat saat bersin, batuk, dan tertawa.
Inkontinensia urin tipe overflow dicirikan oleh menggelembungnya kandung kemih
melebihi volume yang seharusnya dimiliki kandung kemih, post void residu>100cc.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urin lengkap, dan kultur urin, PVR, kartu catatan berkemih, gula darah, kalsium darah dan urin,
perineometri, urodynamic study.

TERAPI
Terapi untuk inkontinensia urin tergantung pada penyebab inkontinensia urin.
Untuk inkontinensia urin tipe urgensi dan overactive bladder, diberikan latihan otot dasar
panggul, baldder training, schedule toileting, dan obat yang bersifat antimuskarinik seperti
tolterodin atau oksibutinin. Obat antimuskarinik yang dipilh seyogyanya yang bersifat
uroselektif.
Untuk inkontinensia tipe stress, latihan otot dasar panggul merupakan pilihan utama, dapat
dicoba bladder training dan obat agonis alfa.
Untuk inkontinensia tipe overflow, perlu diatasi penyebabnya. Bila ada sumbatan, perlu
diatasi sumbatannya.

221
KOMPLIKASI
Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet pada area bokong
sampai dengan dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh dan fraktur akibat terpleset oleh urin
yang tercecer.

PROGNOSIS
Inkontinensia urin tipe stress biasanya dapatr diatasi dengan latihan otot dasar
panggul,prognosis cukup baik
Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive bladder umumnya dapat diperbaiki dengan
obat-obatan golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik
Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya 9misalnya dengan mengatasi
sumbatan/retensi urin)

WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Geriatri, Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik ,
Dokter Spesialis Urologi, Dokter Spesialis Uroginekologi

UNIT YANG MENANGANI


Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi Medik, Urologi,
Divisi Uroginekologi Departemen Obstetri dan Ginekologi

UNIT TERKAIT
Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi Medik, Urologi,
Bidang Keperawatan, Divisi Uroginekologi Departemen Obstetri dan Ginekologi.

222
DEHIDRASI

PENGERTIAN
Dehidrasi adalah berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa hilangnya air lebih banyak dari
natrium ( dehidrasi hipertonik ), atau hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama (
dehidrasi isotonic ), atau hilangnya natrium yang lebih banyak daripada air ( dehidrasi hipotonik).
Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar natrium serum ( lebih dari 145 mmol/liter)
dan peningkatan osmolaritas efektif serum ( lebih dari 285 mosmol/ liter). Dehidrasi isotonic
ditandai dengan normalnya kadar natrium serum ( 135-145 mmol/liter) dan osmolaritas efektif
serum ( kurang dari 270 -285mosmol/ Liter). Dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya
kadar natrium serum ( kurang dari 135 mmol/ Liter) dan osmolaritas efektif serum ( kurang dari
270 mosmol/ Liter).
Penting diketahui perubahan fisiologis pada usia lanjut. Secara umum, terjadi penurunan
kemampuan homeostatic seiring dengan bertambahnya usia. Secara khusus, terjadi penurunan
respon rasa haus terhadap kondisi hipovolemik dan hiperosmilaritas. Di samping itu juga terjadi
penurunan laju filtrasi glomerulus, kemampuan fungsi konsentrasi ginjal, renin, aldosteron, dan
penurunan respon ginjal terhadap vasopressin.

DIAGNOSA
Gejala dan tanda klinis dehidrasi pada usia lanjut tak jelas, bahkan bisa tidak ada sama sekali.
Gejala klasik dehidrasi seperti haus, lidah kering, penurunan turgor, dan mata cekung sering tidak
jelas.gejala klinis yang dapat dievaluasi adalah penurunan berat badan akut lebih dari 3%. Tanda
klinis obyektif lainnya yang dapat membantu mengidentifikasi kondisi dehidrasi adalah hipotensi
ortostatik. Berdasarkan studi di Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM,
bila ditemukan aksila lembab/ basah, suhu tubuh meningkat dari suhu basal, dieresis berkurang,
berat jenis (BJ) urin lebih dari atau sama dengan 1,019 ( tanpa adanya glukosuria dan proteinuria),
serta rasio Blood Urea Nitrogen/ kreatinin lebih dari atau sama dengan 16,9 ( tanpa adanya
perdarahan aktif saluran cerna ) maka kemungkinan terdapat dehidrasi pada usia lanjut adalah
81%. Kriteria ini dapat dipakai dengan syarat: tidak menggunakan obat obat sitostatik, tidak
ada perdarahan saluran cerna, dan tidak ada kondisi overload (gagal jantung kongestif, sirosis
hepatis dengan hipertensi portal, penyakit ginjal kronik stadium terminal, sindrom nefrotik).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kadar natrium plasma darah
Osmolaritas serum
Ureum dan kreatinin darah
BJ urin
Tekana vena sentral ( central venous pressure)

223
TERAPI
Lakukan pengukuran keseimbangan (balans) yang masuk dan keluar secara berkala sesuai
kebutuhan .
Pada dehidrasi ringan, terapi cairan dapat diberikan secara oral sebanyak 1500-2500 ml/24
jam (30ml/kg berat badan /24 jam )untuk kebutuhan dasar, ditambah dengan penggantian
deficit cairan dan kehilangan cairan yang masih berlangsung. Menghitung kebutuhan cairan
sehari, termasuk jumlah insensible water loss sangat perlu dilakukan setiap hari. Perhatikan
tanda tanda kelebihan cairan seperti ortopnea, sesak napas, perubahan pola tidur, atau
confusion. Cairan yang diberikan secara oral tergantung jenis dehidrasi.
Dehidrasi hipertonik: cairan yang dianjurkan adalah air atau air dengan kandungan sodium
rendah, jus buah seperti apel, jeruk dan anggur.
Dehidrasi isotonic: cairan yang dianjurkan selain air dan suplemen yang menganduung
sodium (jus tomat), juga dapat diberikan larutan isotonic yang ada di pasaran.
Dehidrasi hipotonik cairan yang dianjurkan seperti di atas tetapi dibutuhkan kadar sodium
yang lebih tinggi.
Pada dehidrasi sedang sampai berat dan pasien tidak dapat minum peroral, selain
pemberian cairan enteral, dapat diberikan rehidrasi parenteral, jika cairan tubuh yang hilang
terutama air, maka jumlah cairan rehidrasi yang dibutuhkan dapat dihitung dengan rumus:
Deficit cairan (liter)= Cairan badan total (CBT) yang diinginkan CBT saat ini

CBT yang diinginkan =


CBT saat ini ( pria ) = 50% x berat badan (kg)
CBT saat ini ( peremepuan) = 45% x berat badan (kg)
Jenis cairan kristaloid yang digunakan untuk rehidrasi tergantung dari jenis dehidrasinya.
Pada dehidrasi isotonic dapat diberikan cairan Na Cl 0,9% atau Dekstrosa 5% dengan kecepatan
25-30% dari deficit cairan total perhari. Pada dehidrasi hipertonik digunakan cairan NaCl 0,45%.
Dehidrasi hipotonik ditatalaksana dengan mengatasi penyebab yang mendasari, penambahan diet
natrium, dan bila perlu pemberian cairan hipertonik.

KOMPLIKASI
Gagal ginjal , sindrom delirium akut

PROGNOSIS
Dubia ad bonam

WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan geriatric

UNIT YANG MENANGANI


Divisi Geriatri department Ilmu penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
Divisi di Departemen Penyakit Dalam yang terkait dengan keterlibatan etiologi dehidrasi , bidang
keperawatan

224
KONSTIPASI

DEFINISI
Konstipasi merupakan suatu keluhan, bukan penyakit. Konstipasi sulit didefinisikan
secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan antara individu.
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar (BAB), biasanya kurang
dari 3 kali seminggu dengan feses yang kecil kecil dank eras, serta kadangkala disertai
kesulitan sampai rasa sakiit saat BAB.
Batasan dari konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah besar
feses memenuhi ampula rekti pada colok dubur, dan atau timbunan feses pada kolon, rectum, atau
keduanya yang tampak pada foto polos abdomen.

DIAGNOSIS
Konstipasi menurut Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan di bawah ini dan terjadi
dalam waktu 3bulan:
a. Konsistensi feses yang keras
b. Mengejan dengan keras saat BAB
c. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB
d. Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.
Konstipasi menurut international workshop on constipation dapat dilihat pada tabel berikut:
TIPE KRITERIA
1. Konstipasi fungsional ( akibat waktu Dua akibat lebih dari keluhan ini ada paling
perjalanan lambat dari feses) sedikit dalam 12 bulan
Mengejan keras 25% dari BAB
Fese yang keras 25% dari BAB
Rasa tidak tuntas 25% dari BAB
BAB kurang dari 2 kali perminggu

2. Penundaan pada muara rectum ( terdapat Hambatan pada anus lebih dari 25%BAB
disfungsi ano-rektal) Waktu untuk BAB lebih lama
Perlu bantuan jari jari untuk
mengeluarkan feses

PEMERIKASAAN PENUNJANG
Darah tepi
Glukosa dan elektrolit ( terutama kalium dan kalsium) darah
Fungsi tiroid
CEA
Anuskopi (dianjurkan dilakukan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi untuk
menemukan adakah fisura, ulkus, hemoroid, dan keganasan )
Foto polos abdomen harus dikerjakan pada pasien konstipasi, terutama yang terjadinya untuk
mendeteksi akut untuk mendeteksi adanya impaksi fese yang dapat menyebabkan sumbatan
dan perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon. Dapat dianjurkan dengan barium
enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan.
Pemeriksaan yang intensif dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan pengobatan konstipasi
kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat pusat pengelolaan konstipasi tertentu.
225
Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomis (enema, proktosigmoidoskopi, kolonoskopi)
atau fisiologi ( waktu singgah di kolon, sinedefekografi, manometri, dan elektromiografi).
Proktosigmoidoskopi biasanya dikerjakan pada konstipasi yang baru terjadi sebagai
prosedur penapisan adanya keganasan kolon rectum. Bila ada penurunan berat badan
,anemia, keluarnya darah dari rectum atau adanya riwayat keluarga dengan kanker kolon
perlu dikerjakan kolonoskopi.
Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak kolon dapat diikuti dengan melakukan
pemeriksaan radiologis seteah menelan bahan tersebut. Bila timbunan zat ini terutama
ditemukan di rectum menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan bila di kolon
menunjukkan kelemahan yang menyeluruh.
Sinedefecografi adalah pemeriksaan radiologis daerah anorektal untuk menilai evakuasi
feses secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal melalui dan mengevaluasi
kontraksi serta relaksasi otot rectum.uji ini memakai semacam pasta yang konsistensinya
mirip feses, dimasukkan ke dalam rectum. Kemudian penderita duduk pada toilet yang
diletakkan dalam pesawat sinar X. penderita diminta mengejan untuk mengeluarkan
pasata tersebut. Dinilai kelainan anorektal saat proses berlangsung.
Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rectum dan saluran anus saat
istirahat dan pada berbagai rangsang untuk menilai fungsi anorektal.
Pemeriksaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan fungsi saraf
pudendus, adakah atrofi saraf yang dibuktikan dengan respons sfingter yang terhambat.
Pada kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan anatomis maupun fungsional, sehingga
penyebab dari konstipasi disebut sebagai non- spesifik.

TERAPI
Aktivitas dan olahraga teratur
Asupan cairan dan serat (25-30 gram/hari ) yang cukup
Latihan usus besar; penderita menganjurkan mengadakan waktu secara teratur tiap hari untuk
memanfaatkan gerakan usus besarnya. Dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan,
sehingga dapat memanfaatkan refleks gastro- kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini
dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda tanda dan rangsang untuk BAB, dan
tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
Jika modifikasi perilaku kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologi, dan biasanya
dipakai obat obatan golongan pencahar.
Ada 4 tipe golongan obat pencahar:
a. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain:\
- Cereal
- Methyl selulose
- Psilium
b. Melunakkan dan melicinkan feces, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan
permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air.contohnya antara lain :
- Minyak kastor
- Golongan docusate

226
c. Golongan osmotic yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya
pada penderita gagal ginjal, antara lain:
- Sorbitol
- Lactulose
- Glyserin
d. Merangsang peristaltic, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang
banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bila dipakai untuk
jangka panjang, dapat merusak pleksus mesentrikus dan berakibat dismotilitas kolon.
Contohnya antara lain:
- Bisakodil
- Fenolpatelin
Bila dijumapai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara cara tersebut di
atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Pada umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan
karena massa atau adanya volvulus , tidak dilakukan tindakan pembedahan.

KOMPLIKASI
Sindrom delirium akut, aritmia, ulserasi sterkoraseus, perforasi usus, retensio urin,
hidronefrosis bilateral, gagal ginjal, inkontinensia urin, inkontinensia alvi, dan volvulus daerah
sigmoid akibat impaksi feses, serta prolaps rectum.

PROGNOSIS
Dubia Ad bonam

WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit Dalam , Konsultan Geriatri, dan Konsultan Gastro Enterologi

UNIT YANG MENANGANI


Divisi / Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


Departemen Rehabilitasi Medik. Bidang Keperawatan, Instalasi Gizi, Instalasi Farmasi

227
PNEUMONIA PADA GERIATRI

PENGERTIAN
Pneumonia adalah infeksi parenkim paru yang disebabkan oleh berbagia jenis bakteri
(Gram-positif maupun Gram- negatif, tipikal maupun atipikal ), virus, jamur dan parasit. Terdapat
beberapa jenis pneumonia sesuai dengan tempat didapatnya infeksi: pneumonia komunitas (
community-acquired pneumonia, CAP), pneumonia yang didapat di rumah sakit (hospital-
acquired pneumonia, HAP), dan pneumonia yang didapat di ICU ( ventilator- associated
pneumonia, VAP).

DIAGNOSIS
Infiltrate baru atau perubahan infiltrate progresif pad foto toraks, dengan disertai sekurang
kurangnya 1 gejala mayor atau 2 gejala minor berikut:
Gejala mayor :
1. Batuk
2. Sputum produktif
3. Demam (Suhu >37,8 C)
Gejala minor :
1. Sesak napas
2. Nyeri dada
3. Konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4. Jumlah leukosit >12.000/L
Pneumonia pada usia lanjut seringkali memberikan gejala yang tidak khas. Selain batuk
dan demam pasien tidak jarang datang dengan keluhan gangguan kesadaran ( delirium ), tidak
mau makan, jatuh dan inkontinensia akut.

DIAGNOSIS BANDING
Emboli paru, gagal jantung, tuberculosis paru

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah lengkap dengan hitung jenis, ureum dan kreatinin, analisis gas darah dan saturasi
oksigen, c-reactive protein, albumin, foto toraks, EKG, kultur sputum mikroorganisme dan
resistensi.

TERAPI
Suportif: oksigen, cairan, nutrisi, mukolitik- ekspektoran, bronkodilator.
Farmakologis:
- Antibiotika emperik segera diberikan sejak awal sesuai dengan jenis pneumonia yang
terjadi (CAP, HAP, atau VAP). Pada CAP dapat dinberikan antibiotika golongan b-
laktam/ anti b-laktamase dan sefalosporin generasi II atau III yang dikombinasi dengan
makrolid atau doksisiklin, atau fluorokuinolon saluran napas ( levofloksain, gatifloksasin,
moksifloksasin) sebagai obat tunggal. Pada HAP atau VAP dipilih antibiotic yang bekerja
terhadap kuman Pseudomonas dan kuman nosokomial lain, seperti sefalosporin generasi
III anti-pseudomonas, sefalosporin generasi IV, piperacilin tazobactam, kuinolon anti
pseudomonas (ciproploksasin), atau aminoglikosida.
- Antibiotika spesifik diberikan setelah didapatkan hasil pemeriksaan biakan kuman dan uji
228
resistensi.
- Pemilihan antibiotika juga harus memperlihatkan penurunan fungsi organ yang mungkin
sudah terjadi pada usia lanjut.
Program rehabilitasi medic (fisioterapi dada dan program lain yang terkait).

KOMPLIKASI
Empiema , efusi pleura, gagal nafas, sepsis sampai syok sepsis

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Geriatri

UNIT YANG MENANGANI


Divisi geriatri Ilmu Penyakit dalam

UNIT TERKAIT
Divisi Pulmonologi departemen Ilmu Penyakit dalam, Departemen Rehabilitasi Medik,
Bidang keperawatan , Departemen Gigi-Mulut

229
INFEKSI SALURAN KEMIH

PENGERTIAN
Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang melibatkan struktur saluran kemih, yaitu dari
epitel glomerulus tempat mulai dibentuk urin sampai dengan muara urin di meatus urethrae
externus.secara mikrobiologi definisi infeksi saluran kemih (ISK) adalah terdapatnya
mikroorganisme pada struktur saluran kemih dan baru dapat dipastikan setelah didapatkan bukti
adanya koloni mikroorganisme dalam pemeriksaan kultur urin. ISK pada usia lanjut, seperti
inkontinensia urin dan hipertrofi prostat yang memerlukan pemakaian kateter menetap,
imobilisasi, dan penurunan fungsi imunitas baik non- spesifik maupun spesifik.

DIAGNOSIS
Meningkatkan kecurigaan adanya ISK bila didapatkan kondisi kondisi akut pada usia lanjut
tanpa memperhatikan gejala khas dari ISK atau mengenali faktor faktor risiko ISK pada
usia lanjut adalah merupakan pendekatan diagnosis yang tepat. Hal tersebut dapat dijadikan
dasar untuk memeriksakan sampel urin untuk dialisis dan dibiak serta melakukan
pemeriksaan penunjang lain guna mengetahui adanya kalianan anatomic maupun structural.
Kriteria diagnosis bakteriuria berdasarkan gambaran klinis dan cara pengambilan sampel urin;
- 102 Colony Forming Unit (CFU) coliform/ml urin atau > 105 CFU non-coliform/ml
urin, pada wanita dengan gejala ISK
- 103 CFU bakteri/ml urin, pada pria dengan gejala ISK
- 105 CFU bakteri/ml urin (2 kali pemeriksaan dengan jarak 1 minggu), pada wanita
dan pria tanpa gejala ISK
- 102 CFU bakteri/ml urin, pada pasien dengan kateter
- Berapapun jumlah CFU bakteri/ml urin, pada pasien dengan gejala ISK dengan
pengambilan sampel urin dari kateterisasi suprapubik.

PEMERIKSAAN FISIK
A. Laboratorium
Darah tepi lengkap
Urin lengkap
Biakan urin dengan tes resistensi kuman
Fungsi ginjal (ureum, kreatinin, bersihan kreatinin)
Gula darah
B. Non laboratorium
BNO/IVP
USG ginjal

TERAPI
Non farmakologi
Banyak minum bila fungsi ginjal masih bagus
Menjaga kebersihan daerah genetalia bagian luar.

230
Farmakologi
Antibiotika sangat dianjurkan dan perlu segera diberikan pada ISK simtomatik, sesuai dengan
tes resistensi kuman atau pola kuman yang ada atau secara emperis yang dapat mencakup
echerechia coli dan gram negative lainnya.
Pada ISK asimtomatik antibiotika hanya diberikan pada pasien dengan risiko tinggi untuk
terjadinya komplikasi yang serius (seperti transplantasi ginjal atau pasien dengan
granulositopenia ) dan pasien yang akan menjalani pembedahan .
Antibiotic oral direkomendasikan untuk ISK tak berkomplikasi dengan lama pemberian 7-10
hari pada perempuan dan 10-14 hari pada laki laki. Antibiotika parenteral untuk ISK
berkomplikasi dengan lama pemberian tidak kurang dari 14 hari.
Antibiotika golongan flurokuinolon masih digunakan sebagai pengobatan pilihan pertama.
Kadang pengobatan kombinasi masih digunakan pada infeksi yang sulit dikendalikan ,
terutama infeksi karena enterococcocusi dan pseudomonas. Golongan lain yang biasa
digunkaan adalah aminoglikosida, sefalosporin generasi ke 3 dan ampisilin.
Kebersihan pengobatan pada ISK simtomatik ditentukan oleh hilangnya gejala dan bukan
hilangnya bakteri.
Evaluasi ulang dengan kecurigaan adanya kelaianan anatomi atau structural dapat mulai
dipertimbangkan bila terjadi ISK berulang 2 kali dalam waktu 6 bulan.

KOMPLIKASI
Sepsis, gagal ginjal, pielonefritis akut, inkontinensia urin, ISK berulang.

PROGNOSIS
Baik bila tidak ada komplikasi

WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


Unit / Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
Departemen Rehabilitasi medic, Bidang Keperawatan, Urologi, Departemen Obsterti dan
Ginekologi

231
ULKUS DEKUBITUS

PENGERTIAN
Ulkus dekubitus adalah lesi yang disebabkan oleh tekanan yang menimbulkan kerusakan
jaringan di bawahnya.

DIAGNOSIS
Biasanya terdapat faktor faktor risiko: imobilisasi, inkontinensia, fraktur, defisiensi
nutrisi (terutama vitamin C dan albumin), kulit kering, peningkatan suhu tubuh, meningkatnya
tekanan darah, usia lanjut.

Stadium Klinis:
Stadium 1: respon inflamasi akut terbatas pada epidermis, tampak sebagai daerah eritema
indurasi yang kulit masih utuh atau lecet.
Stadium 2: luka meluas ke dermis hingga lapisan subkutan tampak sebagai ulkus dangkal
dengan tepi yang jelas dan perubahan warna pigmen kulit, biasanya sembuh dalam waktu
beberapa hari sampai beberapa minggu.
Stadium 3: ulkus lebih dalam, menggaung, perbatasan dengan fascia dan otot otot.
Stadium 4: perluasan ulkus menembus otot hingga tampak tulang di dasar ulkus yang dapat
mengakibatkan infeksi pada tulang dan sendi.
Luka tekan biasa terjadi di daerah tulang yang menonjol seperti sacrum dan kalkaneus
karena posisi telentang, trokanter mayor dan maleolus karena posisi miring Sembilan derajat, dan
tuberositas iscia karena posisi duduk.

DIAGNOSIS BANDING
Pada ulkus dekubitus stadium IV, bila luka tidak membaik, foto tulang terdapat kalianan,
hitung lekosit >15.000/L, atau LED 120 mm/jam kemungkinan 70% sudah ada osteomielitis
yang mendasari .

PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, kultur plus (MOR), kadar albumin serum, foto tulang di region yang dengan ulkus
dekubitus dalam.

TERAPI
Umum
Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan mencegah terjadinya dekubitus dengan
mengenali faktor faktor risiko untu terjadinya dekubitus serta eliminasi faktor faktor
tersebut.
Perhatikan status nutrisi pada semua stadium ulkus dekubitus. Pemberian asam askorbat
500mg 2 kalisehari dapat mengurangi luas permukaan luka sebesar 84%. Asupan protein juga
merupakan predictor untuk membaiknya luka dekubitus.
Antibiotic sistemik diberikan bila terdapat bukti selulitis, sepsis, atau osteomielitis.
Klindamisin dan gentamisin dapat berpenetrasi ke dalam jaringan di sekitar ulkus. Pemberian
antibiotic spekturm luas untuk batang gram negative dan positif, anaerob, dan kokus gram
positif dilakukan pada pasien sepsis karena ulkus dekubitus.
Debridement semua jaringan nekrotik harus dilakukan untuk membuang sumber bakteremia
232
pada posisi tersebut.
Tempat tidur khusus: penggunaan kasur dekubitus yang berisis udara serta reposisi 4 kali
sehari menurunkan angka kejadian ulkus dekubitus dibandingkan penggunaan tempat tidur
biasa dengan reposisi setiap 2 jam.
Perawatan luka: tujuan perawatan luka adalah untuk mengurangi jumlah bakteri agar proses
penyembuhan tidak terlambat. hal ini dapat dilakukan dengan debridement jaringan nekrotik
secara pembedahan dengan menggunakan kompres kasa dengan Na Cl dua hingga tiga kali
sehari. Antiseptic seperti povidin iodine, asam asetat, hydrogen peroksida, dan sodium
hipoklorit (larutan dakin) bersifat sitotoksik terhadap fibroblast sehingga mengganggu proses
penyembuhan. Antibiotik topical seperti silver sulfadiazine dan genamisin tidak menunjukkan
sifat sitotoksik. Bia sangat dibutuhkan seperti pada luka dengan pus atau sangat bau,
antiseptic dapat digunakan dalam waktu singkat dan segera dihentikan begitu luka bersih. Zat
zat inipembersih enzimatik seperti kolagenase, fibrinolisin, dan deoksiribonuklease serta
streptokinase sterptodornase bisa membantu untuk debridement jaringan nekrotik namun
zat zat ini juga akan merusak proses penyembuhan bila digunakan setelah luka bersih.
Bila luka telah bersih, harus dipelihara suasana luka yang lembab untuk merangsang
penyembuhan. Dari penelitian diketahui bahwa kompres yang tertutup rapat dapat membantu
penyembuhan pada luka superficial tapi tidak pada luka yang dalam. Kompres ini harus
dibiarkan selama beberapa hari untuk memfasilitasi migrasi epidermis (epitelisasi). Luka
dalam yang bersih harus dikompres kasa steril yang dibasahi dengan larutan NaCl atau RL.
Kasa lembab ini harus dijauhi dari jaringan kulit sekitar luka agar jaringan normal tidak
teratasi.
Tindakan medic berdasarkan derajat ulkus;
a. Dekubitus derajat I: kulit yang kemerahan dibersihkan dengan air hangat dan sabun,
diberi lotion, kemudian dimasase 2-3 kali/hari.
b. Dekubitus derajat II: perawatan luka memperhatikan syarat- syarat aseptic dan antiseptic.
Dapat diberikan salep topical. Pergantian balut dan salep jangan terlalu sering karena
dapat merusak pertumbuhan jaringan yang diharapkan.
c. Dekubitus derjat III: usahakan luka selalu bersih dan eksudat dapat mengalir ke luar.
Balutan jangan terlalu tebal dan sebaiknya transparan sehingga udara keluar.balutan
jangan terlalu tebal dan sebaiknya transparan sehingga udara dapat masuk dan penguapan
berjalan baik. Dengan menjaga luka agar tetap basah akan mempermudah regenerasi sel
sel kulit.
d. Semua langkah di ats tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik harus dibersihkan karena
akan mengahalangi epitelisasi
Penilaian tindak lanjut diulang minimal seminggu sekali. Evaluasi yang diperlukan adalah
mengenai lokasi, stadium, ukuran, dan karakteristik lainnya yang perlu dicatat. Dalam waktu
2 hingga 4 minggu ulkus harus menunjukkan perbaikan. Berurangnya ukuran ulkus dalam
waktu 2 minggu member gambaran akan terjadinya penyembuhan luka sempurna.

KOMPLIKASI
Sepsis

233
PROGNOSIS
Dubia ad bonam

UNIT YANG MENANGANI


Unit / Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi medik, Bedah
orthopedi, Bedah Plastik, Bedah Vaskular

UNIT TERKAIT
Bidang Keperawatan, Departemen Kulit dan Kelamin

234
MALNUTRISI

PENGERTIAN
Malnutrisi energy-protein adalah keadaan yang disebabkan ketidakseimbangan antara asupan
kalori dan protein dengan kebutuhan tubuh. Pada orang usia lanjut, malnutrisi sulit dikenali
karena terjadi berbagai perubahan fisiologis seiring peningkatan usia, termasuk perubahan akan
kebutuhan zat gizi, serta adanya berbagai penyakit kronik. Malnutrisi yang terjadi pada usia
lanjut serin dipengaruhi berbagai hal seperti keadaan gigi-geligi, gangguan menelan, masalah
neuropsikologis (depresi, demensia), keganasan, dan imobilisasi.

DIAGNOSIS
Komponen penilaian status gizi pada usia lanjut mencakup: anamnesis, pemeriksaan fisik dan
antropometrik, serta laboraturium. Komponen-komponen tersebut tidak selalu dapat menentukan
ada-tidaknya malnutrisi, namun setidaknya dapat menentukan apakah seorang lanjut usia berisiko
atau diduga mengalami malnutrisi.
Anamnesis: Asupan gizi sehari-hari (food recall), penurunan berat badan, gangguan
mengunyah, gangguan menelan, status fungsional (aktivitas hidup sehari-hari terutama yang
berhubungan dengan penyiapan dan proses makanan), penyakit kronis yang diderita
(termasuk ada-tidaknya diare kronik), adanya depresi atau demensia, serta penggunaan obat-
obatan.
Pemeriksaan fisik: Higieni rongga mulut, status gigi-geligi, status neurologis (gangguan
menelan), kulit yang kering/bersisik, rambut kemerahan, massa otot, edema tungkai.
Antropometrik: Lingkar lengan atas, lingkar betis, tebal lipatan kulit triseps, indeks massa
tubuh.
Laboratorium: Hemoglobin, jumlah limfosit, albumin, prealbumin, kolesterol darah, kadar
vitamin/mineral dalam darah.
Saat ini tersedia beberapa instrument pengkajian status nutrisi pada usia lanjut yang
mengobyektifkan paduan komponen tersebut di atas, seperti The Mini Nutritional Assessment
(MNA, Nutrition Screening Index (NSI), atau Subjective Global Assessment (SGA).

DIAGNOSIS BANDING
-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah perifer lengkap dengan hitung jenis leukosit, serum albumin, prealbumin, kadar kolesterol,
kadar vitamin/mineral, elektrolit, bioelectrical impendance analysis.

TERAPI
Evaluasi umum dan kebutuhn nutrisi
Evaluasi penyebab dan factor timbulnya malnutrisiyang pada usia lanjut umumnya
merupakan kombinasi dari berbagai penyebab, mulai dari factor sosial-ekonomi
(kemiskinan, pengetahuan rendah), neuropsikologis (adanya demensia, depresi), dan
kondisi fisik-medik (gangguan fungsi organ pencernaan serta adanya penyakit-penyakit
akut dan kronis).
Evaluasi status fungsional, terutama yang berhubungan dengan penyiapan dan proses
makan.
235
Menentukan jumlah energi dan komposisi zat gizi yang akan diberikan. Jumlah
kebutuhan energy dapat ditentukan dengan menghitung total energy expenditure (TEE).
Selain jumlah kalori, kebutuhan cairan, protein/asam amino, serta mineral dan vitamin
perlu juga ditentukan. Penentuan kebutuhan dan komposisi nutrisi dan cairan ini juga
memerlukan evaluasi kondisi medik termasuk penurunan fungsi organ yang terjadi
(adanya gagal jantung, penyakit ginjal kronik, hepatitis kronis dan sirosis hati, diabetes
mellitus, keganasan, dan fungsi absorbsi saluran cerna).

Terapi/dukungan nutrisi
Secara umum, dukungan nutrisi pada usia lanjut yang mengalami malnutrisi dapat dilakukan
melalui cara enteral atau parenteral.
Dukungan nutrisi enteral harus menjadi pilihan utama, mengingat hal ini merupakan cara
yang fisiologis. Pemberian nutrisi secara enteral akan mempertahankan fungsi mencerna,
absorbs, dan barier imunologis saluran cerna. Bila berbagai factor risiko dan kondisi medic
dapat diatasi, umumnya pasien diharpakan dapat makan secara normal. Pada usia lanjut yang
dapat makan secara normal, jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi setiap hari penting
untuk dipantau karena mereka cendrung untuk mengurangi makananya. Pada beberapa
keadaan, nutrisi enteral dapat diberikan melalui pipa nasogastrik, pipa nasoduodenum, pipa
nasoileum, maupun dengan gastrosnomi. Dukungan nutrisi enteral semacam ini umumnya
berupa makanan cair, sehingga overload cairan harus menjadi pertimbangan (misalnya
dengan mengentalkan).
Dukungan nutrisi parenteral dipilih bila secara enteral nutrisi tidak mngkin dilakukan.
Umumnya di gunakan pada pasien usia lanjut di rumah sakit yang dalam keadaan akut atau
sakit berat (critically ill), dimana fungsi saluran cerna terganggu atau terdapat kontraindikasi
pemberian nutrisi enteral (seperti adanya pendarahan saluran cerna, pancreatitis, atau ileus).
Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa dukungan nutrisi parenteral dilakukan untuk
jangka panjang dan dilakukan di rumah atau fasilitas perawatan jangka panjang lain. Saat ini
telah banyak tersedia berbagai jenis dan komposisi zat nutrisi (kalori, asam amino, lipid,
mineral/vitamin) dalam bentuk cairan parenteral. Penggunaan dukungan nutrisi parenteral
memerlukan tekhnik khusus dan pemantauan yang ketat.

Terapi Lain
Pada pasien-pasien keganasan atau keadaan lain dimana terdapat anoreksia, dapat diberikan
peningkat nafsu makan (appetite stimulant) seperti megesterol asetat

KOMPLIKASI
Status imunitas menurun, pemulihan dari penyakit menjadi lambat.

PROGNOSIS
Dubia

UNIT YANG MENANGANI


Unit/Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Gizi Klinik.

UNIT TERKAIT
Instalasi gizi, bidang keperawatan
236
2.9

PSIKOSOMATIK

237
DEPRESI

PENGERTIAN
Depresi merupakan gangguan afektif yang ditandai adanya mood depresi (sedih), hilang minat,
dan mudah lelah. Pada umumnya pasien dating ke klinik penyakit dalam dengan keluhan somatic.

DIAGNOSIS
Gejala A
Perasaan sedih (depresif), tidak bisa menikmati hidup
Kurang atau tidak ada perhatian pada lingkungan
Mudah lelah
Gejala B
Konsentrasi dan perhatian kurang
Harga diri dan kepercayaan diri kurang
Perasaan bersalah/ tidak berguna
Pandangan masa depan suram/ pesimis
Tidur terganggu
Nafsu makan kurang/ bertambah

Diagnosis ditegakkan apabila ada gejala-gejala tersebut dengan atau tanpa gejala somatic. Derajat
depresi:
1. Ringan : 2 gejala A dan 2 gejala B
2. Sedang : 2 gejala A dan 3 gejala B
3. Berat : 3 gejala A dan 4 gejala B

DIAGNOSIS BANDING
Gangguan campuran ansietas dan depresi, ansietas, gangguan somatisasi, kelainan organ yang
ditemukan (koinsidensi)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hb, Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap
AGD, K, Na, Ca, T3, T4, TSH, sesuai indikasi
Foto toraks bila perlu
EKG, elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu
Endoskopi, kolonoskopi, USG, bila perlu

TERAPI
Nonfarmakologis : edukasi, reassurance, psikoterapi
Farmakologis :
Antidepresan : maprotilin, amineptin; moklobemid; dan obat golongan SSRI seperti
sertralin, paroksetin dan lain-lain
Simptomatik, sesuai indikasi

238
KOMPLIKASI
Kurang / tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (bekerja), bunuh diri

PROGNOSIS
Bonam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : semua sub-bagian di lingkungan departemen ilmu penyakit dalam
RS non pendidikan

REFERENSI
1. Mudjaddid E, Shatri H. Depresi Berorientasi Organ. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro,
Gani RA , Mansjoer A , Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 193-4.
2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical of Psycho physiologic Reaction. 3rd Edition.
London 1957.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th edition. A merican Psychiatric A ssosiation.
W ashington 1994.
4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4th Edition. 1991.
5. Neuroimmunomodulation : Molecular aspects, integrarive system and clinical advances. In: McCann
SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW , Smith CC editors. A nnal of New Y ork
A cademy of Sciences. 1998; 840.

239
DISPEPSI FUNGSIONAL

PENGERTIAN
Dispepsi funsional adalah perasaan dyspepsia tanpa disertai adanya kelainan organik.

DIAGNOSIS
Rasa sakit dan tidak enak di ulu hati
Perih, mual, kembung, cepat kenyang, muntah, sering bersendawa, regurgitasi
Keluhan dirasakan terutama berhubungan / dicetuskan dengan adanya stress
Berlangsung lama dan sering kambuh
Sering disertai gejala-gejala ansietas dan depresi
Pemerksaan endoskopi normal

DIAGNOSIS BANDING
Dispepsia oleh sebab oraganik misalnya ulkus peptikum, gastritis erosif dsb
Gangguan pada system hepato-bilier
Dispepsi yang disebabkan penyakit kronik lain misalnya Gagal ginjal, diabetes mellitus
dsb

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hb, Ht, leukosit, kreatinin, ureum, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap.
Radiologis : Foto lambung dan duodenum dengan kontras
Endoskopi
Pemeriksaan labolatorium lain sesuai indikasi untuk menyingkirkan diagnosis banding

TERAPI
Simptomatik diberikan antasida, obat-obatan H2 antagonis, seperti : simetidin, ranitidine,
famotidin, penghambat pompa proton seperti omeprazol dan obat-obatan prokinetik.
Bila jelas terdapat ansietas atau depresi diberikan ansiolitik atau anti depresan yang sesuai
Psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku

KOMPLIKASI
Dehidrasi bila muntah berlebihan, gangguan gizi.

PROGNOSIS
Dubia ad Bonam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
240
RS pendidikan : Divisi Gastroenterologi
RS non pendidikan : -

REFERENSI
1. Mudjaddid E, Shatri H. Depresi Berorientasi Organ. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro,
Gani RA , Mansjoer A , Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 197-8
2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical of Psycho physiologic Reaction. 3rd Edition.
London 1957.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th edition. A merican Psychiatric A ssosiation.
W ashington 1994.
4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4th Edition. 1991.
5. Neuroimmunomodulation : Molecular aspects, integrarive system and clinical advances. In: McCann
SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW , Smith CC editors. A nnal of New Y ork
A cademy of Sciences. 1998; 840.

241
SINDROM LELAH KRONIK

PENGERTIAN
Sindrom lelah kronik adalah rasa lelah yang berlangsung lama dan tidak hilang dengan istirahat
tanpa penyebab organik yang jelas.

DIAGNOSIS
Gejala utama: rasa lelah kronis yang dirasakan terus menerus atau berulang. Rasa lelah
bertambah bila melakukan aktivitas atau saat mengalami stress emosi dan tidak pulih
sepenuhnya dengan istirahat.
Gejala tambahan yang dapat menyertai ialah mialgia, sefalgia, nyeri sendi, nyeri tenggorokan
(faringitis), demam, limfadenopati terutama daerah leher atau aksila. Juga didapat adanya
gejala-gejala neuropsikologis seperti depresi, kecemasan, insomnia.
Gejala utama dalam 6 bulan atau lebih disertai minimal 4 gejala tambahan dan tidak didapatkan
penyakit kronis lain yang spesifik.

DIAGNOSIS BANDING
Chronic fatique, fibromalgia, keganasan, infeksi kronis, penyakit autoimun, penyalahgunaan obat
(drug abuse)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik
Pemeriksaan penunjang sesuai dengan gejala yang dominan dan bila diperlukan untuk
menyingkirkan diagnosis

TERAPI
Terapi simtomatik sesuai gejala yang dominan
Antidepresan
Latihan (rehabilitasi) psikis dan fisik
Terapi penunjang lain, diet rendah lemak, vitamin, tidak merokok, tidak minum alcohol

KOMPLIKASI
Isolasi sosial, tidak mampu bekerja

PROGNOSIS
Bonam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

242
UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Semua sub-bagian di lingkungan departemen ilmu penyakit dalam
RS non pendidikan : -

REFERENSI
1. Mudjaddid E, Shatri H. Depresi Berorientasi Organ. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro,
Gani RA , Mansjoer A , Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 198-9
2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical of Psycho physiologic Reaction. 3rd Edition.
London 1957.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th edition. A merican Psychiatric A ssosiation.
W ashington 1994.
4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4th Edition. 1991.
5. Neuroimmunomodulation : Molecular aspects, integrarive system and clinical advances. In: McCann
SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW , Smith CC editors. A nnal of New Y ork
A cademy of Sciences. 1998; 840.

243
ANSIETAS

PENGERTIAN
Ansietas merupakan kecemasan yang berlebihan dan lebih bersifat subyektif. Pada umumnya
pasien dating ke poliklinik penyakit dalam dengan keluhan somatik.

DIAGNOSIS
1. Perasaan cemas berlebihan, subyektif, tidak realistis
2. Terdapat keluhan dan gejala-gejala dsb :
Ketegangan motorik: kedutan otot, kaku, pegal, sakit dada, sakit persendian
Hiperaktif otonom : sesak nafas, jantung berdebar, telapak tangan basah, mulut kering,
rasa mual, mules, diare dan lain-lain.
Bila ditemukan adanya kelainan organis pada umumnya keluhan tidak sebanding
dengan kelainan organ yang ditemukan.
Kewaspadaan berlebihan dan daya tangkap berkurang : mudah terkejut, cepat
tersinggung sulit konsentrasi, sukar tidur dan lain-lain.
3. Aktifitas sehari-hari terganggu : kemampuan kerja menurun, hubungan sosial terganggu,
kurang merawat diri, dan lain-lain.

DIAGNOSIS BANDING
Gangguan campuran ansietas dan depresi, deptresi, gangguan somatisasi, kelainan organ yang
ditemukan (koinsidensi)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hb, Ht, leukosit, ureum, kretinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap
Analisis gas darah, K, Na, Ca, T3, T4, TSH, sesuai indikasi
Foto toraks, bila perlu
EKG, elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu
Endoskopi, kolonoskopi, USG, bila perlu

TERAPI
Nonfarmakologis : edukasi, reassurance, psikoterapi

Farmakologis :
Benzodiazepin: Diazepam, Alprazolam, clobazam
Non benzodiazepim : Buspiron, penyekat beta bila gejala hiperaktivitas otonom menonjol
Sintomatik, sesuai indikasi

KOMPLIKASI
Kurang/tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (bekerja)

PROGNOSIS
Bonam

244
WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Semua sub-bagian di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RS non pendidikan : -

REFERENSI
1. Mudjaddid E, Shatri H. Depresi Berorientasi Organ. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro,
Gani RA , Mansjoer A , Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 192-3
2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical of Psycho physiologic Reaction. 3rd Edition.
London 1957.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th edition. A merican Psychiatric A ssosiation.
W ashington 1994.
4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4th Edition. 1991.
5. Neuroimmunomodulation : Molecular aspects, integrarive system and clinical advances. In: McCann
SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW , Smith CC editors. A nnal of New Y ork
A cademy of Sciences. 1998; 840.

245
SINDROM HIPERVENTILASI

PENGERTIAN
Sindrom hiperventilasi adalah sesak nafas disertai adanya takhipnu tanpa kelainan organik

DIAGNOSIS
1. Sesak nafas tidak khas
2. Merasa adanya kekurangan udara sehingga harus menarik nafas panjang
3. Sering disertai adanya takhipneu dan rasa sempit di dada
4. Kadang-kadang disertai adanya keluhan pada jantung
5. Parestesi
6. Badan terasa enteng, melayang, penglihatan kabur
7. Gejala-gejala fisik lain yang tidak khas
8. Kejang pada tangan dan kaki seperti keadaan histerik
9. Adanya gangguan emosional terutama rasa takut
10. Stresor psikososial

DIAGNOSIS BANDING
Angina pectoris, terutama pada orang tua, proses local di otak, gangguan elektrolit dan asam-basa,
hipoparatiroidisme, tetanus, ansietas panic

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hb, Ht, leukosit, ureum, kretinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap
AGD, K, Na, Ca
Foto toraks, EKG, sesuai diagnosis banding
Hormon paratiroid

TERAPI
Nonfarmakologis: istirahat: istirahat, psikoterapi suportif
Farmakologis:
1. Sungkup dan oksigen nasal
2. Ansiolitik golongan benzodiazepine
3. Koreksi bila ada gangguan elektrolit dan asam-basa
4. Simptomatik sesuai keperluan

KOMPLIKASI
Sesuai dengan penyakit organic yang menyertai

PROGNOSIS
Bonam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

246
UNIT YANG MENANGANI
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi pulmonologi, Kardiologi
RS non pendidikan : -

REFERENSI
1. Shatri H. Sindrom Hiperventilasi. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA ,
Mansjoer A , Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi
dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 195-6
2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical of Psycho physiologic Reaction. 3rd Edition.
London 1957.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th edition. A merican Psychiatric A ssosiation.
W ashington 1994.
4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4th Edition. 1991.
5. Neuroimmunomodulation : Molecular aspects, integrarive system and clinical advances. In: McCann
SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW , Smith CC editors. A nnal of New Y ork
A cademy of Sciences. 1998; 840.

247
NYERI PSIKOGENIK

PENGERTIAN
Nyeri psikogenik adalah keluhan nyeri yang penyebabnya bukan penyebab penyakit organik

DIAGNOSIS
1. Adanya nyeri tanpa kelainan organic yang jelas, misalnya nyeri kepala, migren, mialgia,
artralgia, kolik abdomen dll
2. Stresor psikososial (+)
3. Sering disertai adanya gejala-gejala depresi atau antesias

DIAGNOSIS BANDING
Nyeri organik sesuai dengan lokasi nyeri

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hb, Ht, Leukosit, hitung jenis, urin lengkap
Foto roontgen, EKG dll sesuai diagnosis banding nyeri organic

TERAPI
Nonfarmakologis : istirahat, psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku

Farmakologis :
Analgetik, NSAID, antispasmodic, antisiolitik, dan anti depresan simtomatik lain bila perlu,
analgetik narkotik, obat yang menghambat saraf local.

KOMPLIKASI
Kurang/tidak mampu melakukan aktifitas sehari-hari (bekerja), bunuh diri

PROGNOSIS
Bonam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Semua sub-bagian di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RS non pendidikan : -

248
REFERENSI
1. Shatri H. Sindrom Hiperventilasi. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA ,
Mansjoer A , Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi
dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 195-6
2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical of Psycho physiologic Reaction. 3rd Edition.
London 1957.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th edition. A merican Psychiatric A ssosiation.
W ashington 1994.
4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4th Edition. 1991.
5. Neuroimmunomodulation : Molecular aspects, integrarive system and clinical advances. In: McCann
SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW , Smith CC editors. A nnal of New Y ork
A cademy of Sciences. 1998; 840.

249
SINDROM KOLON IRITABEL

Pengertian
Sakit perut disertai gangguan buang air besar tanpa dijumpai kelainan organic

Diagnosis
Rasa nyeri/ tidak enak di perut disertai diare dan atau konstipasi
Perut kembung yang tampak dengan jelas
Rasa nyeri di perut hilang setelah buang air besar
Buang air besar lebih sering pada saat timbulnya rasa sakit
Keluhan-keluhan psikis menonjol seperti gejala-gejala ansietas atau depresi
feses lembek pada saat timbulnya rasa sakit
feses campur lendir dan tidak berdarah
penurunan berat badan tidak lebih dari 5% dalam satu tahun terakhir
pemeriksaan feses tidak ditemukan parasit
pemeriksaan barium enema maupun kolonoskopi normal

Diagnosis Banding
penyakit kolon inflamasi (colitis)
laktosa intolerans
karsinoma kolon

Pemeriksaan Penunjang
laboratorium rutin: Hb, leukosit, hitung jenis, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati
feses lengkap (cacing, amuba)
barium enema
kolonoskopi

Terapi
diet tinggi serat untuk memperbaiki konstipasi, sedangkan laksatif diberikan bila perlu
dan hanya dalam jangka pendek
untuk nyeri yang mengganggu dapat diberikan antispasmodic seperti mebeverin
hidroklorid, atau obat-obat anti kolinergik
keluhan diare diobati dengan loperamid 2-4 mg empat kali sehari
bila gejala psikis menonjol dibarikan ansiolitik atau anti depresan yang sesuai
psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku

Komplikasi
rasa sakit yang sulit dikendalikan sehubungan faktor psikis yang menonjol
sosial: kurang atau tidak mampu melakukan pekerjaan sehari-hari

Prognosis
Bonam

Wewenang
250
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Unit yang menangani


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Unit terkait
RS pendidikan: semua sub-bagian di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RS non pendidikan:-

Referensi
1. Mudjaddid E. sindrom kolon irritable. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA ,
Mansjoer A . Pedoman Diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta; pusat informasi
dan penerbitan bagian ilmu penyakit dalam FKUI, 1999:197-8.
2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic medicine: A clinical of psychophysiologic reaction. 3th edition.
London 1957.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4 th edition. A merican psychiatric association.
W ashington 1994.
4. Carlson NR. Physiology of behavior. 4th edition. 1991.
5. Neuroimmunomodulation: molecular aspects, integrative system and clinical advances. McCann SM,
Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, gold PW , smith CC editor. A nnal of new Y ork academy of
sciences. 1998;840.

251
PENYAKIT JANTUNG FUNGSIONAL (NEUROSIS KARDIAK)

Pengertian
Penyakit jantung fungsional (neurosis kardiak) adalah kelainan dengan keluhan seperti penyakit
jantung tanpa disertai kelainan organic.

Diagnosis
Nyeri dada menyerupai angina pectorisbiasanya dicetuskan oleh suatu stressor tertentu
Berdebar-debar/palpitasi, sesak napas atau napas terasa berat
Adanya keluhan-keluhan vegetative seperti kesemutan, tremor, sakit kepala, tidak bias
tidur, dsb
Terdapat keluhan psikis seperti rasa takut, risau/waswas, gelisah dsb
Keluhan-keluhan umum lainnya seperti pandangan mata gelap, berkunang-kunang, lemas
Stressor psikososial (+)
Pemeriksaan EKG, ekaokardiografi maupun tes treadmill normal

Diagnosis banding
Penyakit jantung koroner (angina pectoris, infark miokard)

Pemeriksaan penunjang
Elektrokardiografi, ekokardiografi dan tes treadmill

Terapi
Analgetik untuk rasa nyeri
Pemberian ansiolitik yang sesuai, biasanya untuk ansietas panic
Psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku

Komplikasi
Meras memiliki penyakit jantung organic sehingga menghindari aktivitas/ kerja sehari-
hari
Pada orang tua dengan factor psikis yang menonjol dapt mensetusakn timbulnya penyakit
jantung organic
Timbulnya aritmia

Prognosis
Dubia ad bonam

Wewenang
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Unit yang menangani


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

252
Unit terkait
RS pendidikan: divisi kardiologi
RS non pendidikan:-

Referensi
1. Shatri H. penyakit jantung fungsional (functional heart disease). In: simadibrata M, setiati S, A lwi I,
Maryantoro, Gani RA , mansjoer A , editors. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit
dalam. Jakrta: pusat informasi dan penerbita bagian ilmu penyakit dalam FKUI; 1999.p. 194-5.
2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic medicine: A clinical of psychophysiologic reaction. 3th edition.
London 1957.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4 th edition. A merican psychiatric association.
W ashington 1994.
4. Carlson NR. Physiology of behavior. 4th edition. 1991.
5. Neuroimmunomodulation: molecular aspects, integrative system and clinical advances. McCann SM,
Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, gold PW , smith CC editor. A nnal of new Y ork academy of
sciences. 1998;840.

253
2.10

ALERGI IMMUNOLOGI

254
INFEKSI HIV/AIDS

Pengertian
Pasien dinyatkan terbukti terinfeksi HIV bila dari pemeriksaan penunjang

Diagnosis
Adanya factor resiko penularan
Diagnosis HIV: tes ELISA 3 kali raktif dengan reagen yang berbeda
Stadium WHO:
Stadium 1: asimtomatik, loimfadenopati generalisata
Stadium 2:
- Berat badan turun<10%
- Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur kuku,
ulkus oral rekuren, cheilitis angularis)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Infeksi saluran napas atau rekuren
Stadium 3:
- Berat badan turun >10%
- Diare yang tidak diketahui penyebabnya, >1 bulan
- Demam berkepanjangan (intermitena atau kponstan), >1 bulan
- Kandidiasis oral
- Oral hairy leukoplakia
- Tuberculosis paru
- Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)
Stadium 4:
- HIV wasting syndrome
- Pneumonia pneumocytis carinii
- Toksoplasma serebral
- Kriptosporidiosis dengan diare>1 bulan
- Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau kelenjar getah bening
(misalnya retinitis CMV)
- Infeksi herpes simpleks, mukokutan (>1 bulan) atau visceral
- Progressive multifocal leucoencephalopaty
- Mikosis endemic diseminata
- Kandidiasis esophagus, trakea, dan bronkus
- Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
- Septicemia salmonella non-tifosa
- Tuberculosis ekstrapulmonal
- Limfoma
- Sarcoma Kaposi
- Ensefalopati HIV

255
Diagnosis banding
Penyakit imunodefisiensi primer
Pemeriksaan penunjang
Anti-HIV ELISA
Anti-HIV western blot
Antigen p-24
Hitung CD4
Jumlah virus HIV dengan RNA-PCR
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis infeksi oportunistik

Terapi
Konseling
Terapi suportif
Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi oportunistik
Terapi antiretrovirus kombinasi, efek samping dan penangannnya
Vaksinasi pada penderita HIV/AIDS
Terapi paska paparan HIV (post-exposure prophylaxis)
Penatalaksannnan infeksi HIV pada kehamilan
Penatalaksannaaan koinfeksi HIV dengan hepatitis C dan hepatitis B

Komplikasi
infeksi oportunistik, kanker terkai HIV, dan manifestasi HIV pada organ lain

Prognosis
tergantung stadium penyakit

Wewenang
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Unit yang menangani


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi alergi-imunologi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Unit terkait
RS pendidikan: divisi pulmonologi, kardiologi, tropic infeksi, ICU/medical high care,
kelompok studi khusus (pokdisus) AIDS
RS non pendidikan: ICU

Referensi
1. Bartlett JG, gallant JE. 2004 medical management of HIV infection. Maryland: john Hopkins
university school of medicine, 2004.
2. Goldman L, ausiello D, editors. Cecil textbook of medicine, 22nd edition. Philadelphia:saunders, 2004.
3. W HO. Scaling up antiretroviral therapy in resource-limited settings; treatment guidelines for a public
health approach, 2003 revision.
RENJATAN ANAFILAKSIS
256
Pengertian
Renjatan anafilaksis adalah keadaan gawat darurat yang ditandai dengan (hipotensi) penurunan
tekanan darah sistolik<90mmHg akibat respons hipersensitivitas tipe 1 (adanay reaksi antigen
dengan antibody IgE)

Diagnosis
Hipotensi, takikardia, akral dingin, oliguria yang dapat disertai gejala klinis lain berupa:
Reaksi sistemik ringan: rasa geli/gatal serta hangat, rasa penuh dimulut dan tenggorokan,
hidung tersumbat dan terjadi edema di sekitar mata, kulit gatal, mata berair, bersin-bersin,
onset biasanya 2 jam setelah paparan antigen.
Reaksi sistemik sedang: seperti reaksi sistemik ringan, ditambah spasme bronkus dan atau
edema saluran napas, sesak, batuk, mengi, angioedema, urtikaria menyeluruh, mual,
muntah, gatal, badan terasa hangat, gelisah, onset seperti reaksi anafilaksis ringan.
Reaksi sistemik berat: terjadi mendadak, seperti reaksi sistemik ringan dan sedang yang
bertambah berat. Spasme bronkus, edema laring, suara serak, stridor, sesak napas, sianosis,
henti napas. Edema dan hipermotilitas saluran cerna sehingga sakit menelan, kejang perut,
diare dan muntah. Kejang uterus, kejang umum. Gangguan kardiovaskular, aritmia
jantung, koma.

Diagnose banding
Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik

Pemeriksaan penunjang
Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, analisis ga sdarah, EKG

Terapi
A. Untuk renjatan:
1. Adrenalin larutan 1:1000, 0,3-0,5 ml subkutan/intramuscular pada lengan atas atau paha.
Bila renjatan anafilaksis disebabkan sengatan serangga berikan suntikan adrenalin kedua
0,1-0,3 ml pada tempat sengatan kecuali bila srngatan di kepala, leher, tangan, dan kaki.
Terapi dapat dilanjutkan dengan infuse adrenalain 1 ml (1mg) dalam dextrose 5% 250cc
dimulai dengan kecepatan 1 ug/menit dapat ditingkatkan sampai 4 ug/menit sesuai
keadaan tekanan darah. Hati-hati pada orang tua dengan kelainan jantung atau gangguan
kardiovaskular lainnya.
2. Pasang tourniquet proksimal dari suntikan atau sengatan serangga, dilongarkan 1-2 menit
setiap 10 menit
3. Oksigen bila sesak, mengi, sianosis 3-4 l/menit dengan sungkup atau kanul nasal
4. Antihistamin intravena, intramuscular atau oral
Rawat pasien di ICU bila dengan tindakan diatas tidak membaik, dilanjutkan dengan
terapi:
1. IVFD dekstrose 5% dalam 0,45%NaCl 2-3 l/m 3 permukaan tubuh
2. Dopamine 0,3-1,2 mg/kg BB/jam bila tekanan darah tidak membaik
3. Kortikosteroid 7-10 mg hidrokortison/kg BB intravena dilanjutkan 5 mg/kg BB
tiap 6 jam, yang dihentikan setelah 72 jam.

257
B. Bila disertai spasme bronkus maka pada pasien diberikan inhalasi beta 2-agonis, jika
spasme bronkus menetap aminofilin 4-6 mg/kg BB dilarutkan dalam NaCl 0,9% 10ml
diberikan perlahan-lahan dalam 20 menit, bila perlu dilanjutkan dengan infuse aminofilin
0,2-1,2 mg/kg BB/jam.
C. Bila disertai edema hebat saluran napas atas maka pada pasien dilakuakn intubasi dan
trakeostomi.
D. Pemantauan paling sedikit 24 jam

Komplikasi
Renjatan irreversible, kegagalan multi organ failure

prognosis
tergantung organ yang terlibat dan beratnya gejala

Wewenang
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Unit yang menangani


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi alergi-imunologi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Unit terkait
RS pendidikan: ICU/medical high care
RS non pendidikan: ICU

Referensi
1. Djauzi S. syok anafilaktik. In: subekti I, Lydia A , rimende CM, syam A F, suprohaita, mansjoer A ,
editors. Penatalaksanaan kedaruratan dibidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: pusat informasi dan
penerbitan bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2000.p.97-100.
2. Mahdi A . syok anafilaktik.in:setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , mansjoer A , editors. Pedoman
diagnosis dan terapi di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:pusat informasai dan penerbitan bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 1999.p.8-10.

258
ASMA BRONCHIAL

Pengertian
Asma bronchial adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai dengan obstruksi
jalan napas yang dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan akibat hiperreaktivitas bronkus
terhadap berbagai rangsangan yang melibatkan sel-sel dan elemen selular teruatama mastosit,
eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan epitel

Diagnosis
Episode berulang sesak napas, dengan atau tanpa mengi dan rasa berat didada akibat factor
pencetus. Asma bronchial dibagi menjadi:
1. Asma intermiten, gejala asma<1 kali/minggu, asimptomatik, APE diantara serangan
normal, asma malam 2 kali/bulan, APE 80%, variabilitas <20%
2. Asma persisten ringan, gejala asma 1 klai/minggu, <1 kali/hari, asma malam >2
kali/bulan, APE 80%, variabilitas 20-30%
3. Asma persisten sedang, gejala asma tiap hari, tiap hari menggunakan beta 2 agonis kerja
singkat, aktivitas terganggu saat serangan, asma malam>1 kali/minggu, APE>60% dan
<80% prediksi atau variabilitas >30%
4. Asma persisten berat, gejala asma terus menerus, asma malam sering, aktivitas terbatas,
dan APE 60% prediksi atau variabilitas >30%. Asma eksaserbasi akut dapat terjadi apda
semua tingkatan derajat asma.

Diagnosis banding
Penyakit paru obstruksif kronik (PPOK), gagal jantung

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium: jumlah eosinofil darah dan sputum, foto thoraks, spirometri, uji tusuk kulit (skin
prick test/SPT), uji bronkodilator atas indikasi, uji provokasi bronkus atas indikasi, analisis gas
darah atas indikasi

Terapi
1. Asma intermiten tidak memerlukan opbat pengendali
2. Asma persisten ringan memerlukan obat pengendali kortikosteroid inhalasi (500 ug BDP atau
ekuivalennya) atau pilihan lainnya: teofilin lepas lambat, kromolin, antileukotrien.
3. Asma persisten sedang memerlukan obat pengendali berupa kortikosteroid inhalasi (200-1000
ug BDP atau ekuivalennya) ditambah dengan beta-2 agonis aksi lama (LABA) atau
pilihanlain kortikosteroid inhalasi (500-1000 ug BDP atau ekuivalennya) + teofilin lepas
lambat atau kortikosteroid inhalasi (500-1000 ug BDP atau ekuivalennya) + LABA oral atau
kortikosteroid inhalasi dosis ditinggikan (>1000 ug BDP atau ekuivalennya) atau
kortikosteroid inhalasi 500-1000 ug BDP atau ekuivalennya) + antileukotrien.
4. Asma persisten berat memerlukan kortikosteroid inhalasi (>1000 ug BDP atau ekuivalennya)
+ LABA inhalasi + salah satu pilihan berikut:
Teofilin lepas lambat
Antileukotrien
LABA oral
BDP= Budesonide propionate
259
Sedangkan untuk penghilang sesak pada pasien diberikan inhalasi beta- 2 agonis kerja singkat
tetapi tidak boleh lebih dari 3-4 kali sehari. Inhalasi antikolinergik agonis beta 2 kerja singkat
oral dan teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai pilihan lain selai agonis beta 2 kerja singkat
inhalasi. Bila terjadi eksaserbasi akut maka tahap penatalaksanaannya sebagai berikut:
1. Oksigen
2. Inhalasi agonis beta 2 tiap 20 menit sampai 3 kali selanjutnya tergantung respons terapi
awal
3. Inhalasi antikolinergik (ipatropium bromide) setiap 4-6 jam terutama pada obstruksi berat
( atau dapat diberikan bersama-sama dengan agonis beta 2)
4. Kortikosteroid oral atau parenteral dengan dosis 40-60 mg/hari setara prednisone
5. Aminofilin tidak dianjurkan (bila diberikan dosisi awal 5-6 mg/kg BB dilanjutkan infuse
aminofilin 0,5-0,6 mg/kg BB/jam
6. Antibiotic bila ada infeksi sekunder
7. Pasien di observasi 1-3 jam kemudian dengan pemberian agonis beta 2 tiap 60 menit. Bila
setelah masa observasiterus membaik, pasien dapat dipulangkan dengan pengobatan (3-5
hari): inhalasi agonis beta 2 diteruskan, steroid oral diteruskan, penyuluhan dan
pengobatan lanjutan, antibiotic diberikan bila ada indikasi, perjanjian control berobat
8. Bila setelah observasi 1-2 jam tidak ada perbaikan atau pasien termasuk golongan resiko
tinggi: pemeriksaan fisik tambah berat, APE (arus puncak ekspirasi) >50% dan <70% dan
tidak ada perbaikan hipoksemia (dari analisis gas darah) pasien harus dirawat.
Pasien dirawat di ICU bila tidak berespons terhadap upaya pengobatan di unit gawat darurat atau
bertambah beratnya serangan/ buruknya keadaan setelah perawatan 6-12 jam, adanya penurunan
kesadaran atau tanda-tanda henti napas, hasil pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan
hipoksemia dengan kadar pO2 < 60 mmHg dan/atau pCO2> 45 mmHg walaupun mendapat
pengobatan oksigen yang adekuat.

Komplikasi
Penyakit paru obstruksif kronik (PPOK), gagal jantung. Pada keadaan eksaserbasi akut dapat
terjadi gagal napas dan pneumothoraks

prognosis
tergantung beratnya gejala

Wewenang
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Unit yang menangani


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi alergi-imunologi, divisi
pulmonologi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Unit terkait
RS pendidikan: ICU/medical high care
RS non pendidikan: ICU

260
URTIKARIA KARENA OBAT

Pengertian
Urtikaria karena obat adalah kelainan kulit dan mukosa yang diinduksi obat berupa papul
kemerahan yang cepat berubah menjadi lepuhan

Diagnosis
Riwayat minum obat sebelumnya yang dapat menginduksi penyakit, missal: OAINS, sulfonamide,
antikonvulsan, penisilin, dan tetrasiklin.
Gejala prodromal berupa gejala radang saluran napas atas :demam, batuk, sakit kepala, malaise,
nyeri menelan. Papul kemerahan yang cepat berubah menjadi lepuhan. Dalam beberapa hari
terjadi erosi multiple pada membrane mukosa, lepuhan, macula purpura. Daerah yang terkena
lepuhan dan pelepasan kulit 10%.

Diagnose banding
Toxic epidermal necroticans (TEN), eritema multiformis

Pemeriksaan penunjang
Hitung eosinofil, elektrolit, foto toraks, kultur pus dari kulit, kultur sputum.
Terapi
1. Hentikan obat penyebab
2. Rawat di pusat luka bakar, skin graft dini untuk mencegah invasi bakteri
3. Monitor cairan dan elektrolit, termasuk monitor jumlah urin
4. Monitor infeksi sekunder dengan melakukan kultur berkala dari darah dan mukokutan
5. Pemberian makanan tinggi kalori
6. Penggantian cairan dan elektrolit
7. Suction, postural drainage, nebulizer, terapi infeksi paru segera
8. Konsultasi mata
9. Irigasi mata dengan salin hangat, cairan lubrikan mata
10. Antasida cairan dan antagonis H2 bila ada ulserasi gastrointestinal
11. Antibiotika tergantung hasil kultur

Komplikasi
Sepsis, syok hipovolemik, syok septic

Prognosis
Tergantung beratnya gejala

Wewenang
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Unit yang menangani


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi alergi-imunologi, divisi
pulmonologi
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
261
Unit terkait
RS pendidikan: ICU/medical high care, unit luka bakar, departemen kulit-kelamin
RS non pendidikan: ICU, unit luka bakar, departemen kulit-kelamin

262
2.11

GASTROENTEROLOGI

263
ULKUS PEPTIKUM

PENGERTIAN
Ulkus peptikum adalah salah satu penyakit saluran cerna bagian atas yang kronis

DIAGNOSIS
Faktor Resiko : umur, penggunaan obat-obatan aspirin atau OAINS, kuman Helicobacter
pylori
Anamnesis : terdapat nyeri epigastrium, dispepsia, nausea, vomitus, anoreksa dan kembung.

DIAGNOSIS BANDING
Ulkus gaster, ulkus duodenum, dispepsia non ulkus

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Barium dobel kontras
Endoskopi saluran cerna bagian atas

TERAPI
Tanpa Komplikasi
Suportif : nutrisi
Memperbaiki / menghindari faktor resiko
Pemberian obat-obatan : antasida, antagonis reseptor H2, proton pump inhibitor, pemberian
obat-obatan untuk mengikat asam empedu, prokinetik, pemberian obat untuk eradikasi kuman
Helicobacter pylori, pemberian obat-obatan untuk meningkatkan faktor defensif.

Dengan Komplikasi
Pada tukak peptik yang berdarah dilakukan penatalaksanaan umum atau suportif sesuai dengan
penatalaksanaan hematemis melena secara umum

Penatalaksanaan / tindakan khusus :


Tindakan / terapi hemostatik per endoskopi dengan adrenalin dan etoksisklerol atau obat
fibrinogen trombin atau tindakan hemostatik dengan heat probe atau terapi laser atau terapi
koagulasi listrik untuk bipolar probe.
Pemberian obat somatostatin jangka pendek.
Terapi embolisasi arteri melalui arteriografi.
Terapi bedah atau operasi, bila setelah semua pengobatan tersebut dilaksanakan tetap masuk
dalam keadaan gawat I s.d. II maka pasien masuk dalam indikasi operasi

KOMPLIKASI
Perdarahan ulkus, perforasi

PROGNOSIS
Dubia

264
WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Gastroenterologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : ICU / Medical High Care, Departemen Bedah Digestif
RS non pendidikan : ICU, Departemen Bedah

265
DISPEPSIA

PENGERTIAN
Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri atas nyeri ulu hati, mual
kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa

DIAGNOSIS
Anamnesis terdapatnya kumpulan gejala tersebut di atas

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit refluks gastroesofageal
Irritable Bowel Syndrome
Karsinoma saluran cerna bagian atas
Kelainan pankreas dan kelainan hati

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Endoskopi saluran cerna bagian atas dan biopsi, pemeriksaan terhadap adanya infeksi
Helicobacter pylori, pemeriksaan fungsi hati, amilase dan lipase, fosfatase alkali dan gamma GT,
USG Abdomen

TERAPI
Suportif : nutrisi
Pengobatan empirik selama 4 minggu
Pengobatan berdasarkan etiologi

KOMPLIKASI
Tergantung etiologi dispepsia

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Gastroenterologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi Psikosomatik (RS tertentu)
RS non pendidikan : -

266
KARSINOMA KOLON

PENGERTIAN
Karsinoma kolon merupakan keganasan pada saluran cerna bagian atas (kolon)

DIAGNOSIS
Perubahan pola defekasi, konsistensi, seringkali didapatkan hematokezia, dapat dijumpai
adanya tanda obstruksi saluran cerna bawah baik parsial maupun total.
Berat badan turun tanpa sebab
Pemeriksaan fisik : tidak ada yang spesifik.
Laboratorium : Feses lengkap dan tes benzidin
Berat badan kurang.
Pemeriksaan colok dubur untuk melihat adanya perdarahan saluran cerna bagian bawah.

DIAGNOSIS BANDING
Polipkolitis, karsinoma rekti, hemoroid

PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, analisis feses lengkap, petanda tumor, endoskopi saluran cerna bagian bawah dan biopsi,
USG Abdomen

TERAPI
Berdasarkan staging : kemoterapi atau bedah

KOMPLIKASI
Obstruksi saluran cerna, metastasis, perdarahan

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Gastroenterologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi Hematologi Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical
High Care
RS non pendidikan : ICU

267
KARSINOMA REKTI

PENGERTIAN
Karsinoma rekti merupakan keganasan pada rektum

DIAGNOSIS
Perubahan pola defekasi, berat badan turun tanpa sebab, seringkali pada pemeriksaan colok dubur
didapatkan massa

DIAGNOSIS BANDING
Hemoroid, polip

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan DPL, feses lengkap, endoskopi saluran cerna bagian bawah dan biopsi

TERAPI
Berdasarkan staging, kemoterapi atau bedah

KOMPLIKASI
Obstruksi saluran cerna bagian bawah, perdarahan

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Gastroenterologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi Hematologi Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical
High Care
RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah

268
KARSINOMA GASTER

PENGERTIAN
Karsinoma gaster merupakan keganasan pada lambung

DIAGNOSIS
Anamnesis dapat ditemukan adanya sindrom dispepsia, rasa tidak enak pada perut bagian atas
yang bersifat difus, cepat kenyang, sampat nyeri yang hebat dan terus-menerus. Anoreksia yang
disertai dengan mual sering dikeluhkan namun tidak selalu. Keluhan sulit menelan dapat pula
terjadi. Berat badan turun tanpa penyebab. Pemeriksaan fisik : pada awal penyakit, biasa tidak
didapatkan kelainan apapun. Pada keadaan lanjut didapatkan adanya pembesaran pada
pemeriksaan abdomen.

DIAGNOSIS BANDING
Karsinoma esofagus, esofagitis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, endoskopi saluran cerna bagian atas dan biopsy, USG Abdomen. CT scan abdomen

TERAPI
Berdasarkan staging, bedah atau kemoterapi

KOMPLIKASI
Obstruksi saluran cerna bagian atas

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Gastroenterologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi Hematologi Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical
High Care
RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah

269
HEMATEMESIS MELENA

PENGERTIAN
Hematemesis adalah muntah darah berwarna hitam ter yang berasal dari saluran cerna bagian atas.
Melena adalah buang air besar (BAB) berwarna hitam ter yang berasal dari saluran cerna bagian
atas. Yang dimaksud dengan saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas (proksimal)
ligamentum Treitz , mulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster dan esofagus.

DIAGNOSIS
Muntah dan BAB darah warna hitam dengan sindrom dispepsia, bila ada riwayat makan obat
OAINS, jamu pegal linu, alkohol yang menimbulkan erosi/ulkus peptikum, riwayat sakit
kuning/hepatitis. Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, dapat disertai gangguan
kesadaran (prekoma/koma hepatikum), dapat terjadi syok hipovolemik

DIAGNOSIS BANDING
Hemoptoe, hematoskezia

PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, hemostasis lengkap atau masa perdarahan, masa pembekuan, masa protrombin, elektrolit
(Na, K, Cl), pemeriksaan fungsi hati (cholinesterase, albumin/globulin, SGOT/SGPT, petanda
hepatitis B dan C), endoskopi SCBA diagnostik atau foto rontgen OMD, USG hati.

TERAPI
Nonfarmakologis : tirah baring, puasa, diet hati/lambung, pasang NGT untuk dekompresi, pantau
perdarahan
Farmakologis :
Transfusi darah PRC (sesuai perdarahan yang terjadi dan Hb). Pada kasus varises transfusi
sampai dengan Hb 10gr%, pada kasus non varises transfusi sampai dengan Hb12gr%.
Sementara menunggu darah dapat diberikan pengganti plasma (misalnya dekstran/hemacel)
atau NaCl 0,9% atau RL
Untuk penyebab non varises :
1. Injeksi antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton
2. Sitoprotektor : Sukralfat 3-4 x 1 gram atau Teprenon 3 x 1 tab
3. Antasida
4. Injeksi vitamin K untuk pasien dengan penyakit hati kronis atau sirosis hati
Untuk penyebab varises :
5. Somatostatin bolus 250 ug + drip 250 g/jam intravena atau okreotide (sandostatin) 0,1
mg/2 jam. Pemberian diberikan sampai perdarahan berhenti atau bila mampu diteruskan 3
hari setelah skleroterapi/ligasi varises esofagus.
6. Propanolol, dimulai dosis 2 x 10 mg dosis dapat ditingkatkan hingga tekanan diastolik
turun 20 mmHg atau denyut nadi turun 20% (setelah keadaan stabil hemetemesis
melena (-)
7. Isosorbid dinitrat/mononitrat 2 x 1 tablet/hari hingga keadaan umum stabil
8. Metoklopramid 3 x 10 mg/hari
Bila ada gangguan hemostasis obati sesuai kelainan
Pada pasien dengan pecah varises/penyakit hati kronik/sirosis hati diberikan :
270
9. Laktulosa 4 x 1 sendok makan
10. Neomisin 4 x 500 mg
Obat ini diberikan sampai tinja normal.

KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, aspirasi pneumonia, gagal ginjal akut, sindrom hepatorenal, koma hepatikum,
anemia karena perdarahan

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Gastroenterologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi Hematologi Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical
High Care
RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah

271
DIARE KRONIK

PENGERTIAN
Diare kronik adalah Diare yang berlangsung lebih dari 15 hari sejak awal diare

DIAGNOSIS
Diare dengan lama lebih dari 15 hari

DIAGNOSIS BANDING
Kelainan pankreas, kelainan usus halus dan usus besar, kelainan PEM dan tirotoksikosis, kelainan
hati, sindrom kolon iritabel tipe diare

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan darah : DPL, kadar feritin, SI-IBC, kadar vitamin B12 darah, kadar asam folat
darah, albumin serum, eosinofil darah, serologi amuba (IDT), widal, pemeriksaan
imunodefisiensi (CD4, CD8), feses lengkap dan darah samar
Pemeriksaan anatomi usus : Barium enama/colon in loop (didahului BNO),Kolonoskopi,
ileoskopi, dan biopsi, barium follow through atau enteroclysis, ERCP, USG abdomen, CT
Scan abdomen
Fungsi usus dan pankreas : tes fungsi ileum dan yeyunum, tes fungsi pankreas, tes Schilling,
CEA dan Ca 19-9

TERAPI
Non farmakologis : diet lunak tidak merangsang, tinggi kalori, tinggi protein, bila tidak tahan
laktosa diberikan rendah laktosa, bila maldigesti lemak diberikan rendah lemak. Bila penyakit
Crohn dan kolitis ulserosa diberikan rendah serat pada keadaan akut. Pertahankan minum
yang baik, bila perlu infus untuk mencegah dehidrasi
Farmakologis :
Bila sesak napas dapat diberikan oksigen, infus untuk memberikan cairan dan elektrolit.
Antibiotika bila terdapat infeksi
Bila penyebab amuba/parasit/giardia dapat diberikan metronidazol.
Bila alergi makanan/obat/susu, diobati dengan menghentikan makanan/obat penyebab
alergi tersebut
Keganasan/polip diobati dengan pengangkatan kanker/polip
TB usus diobati dengan OAT
Diare karena kelainan endokrin, diobati dengan kelainan endokrin-nya
Mal-absorbsi diatasi dengan pemberian enzim
Kolitis diatasi sesuai jenis kolitis

KOMPLIKASI
Dehidrasi sampai syok hipovolemik, sepsis, gangguan elektrolit, dan asam basa/gas darah, gagal
ginjal akut, kematian

272
PROGNOSIS
Dubia ad bonam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Gastroenterologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care
RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah

273
PANKREATITIS AKUT

PENGERTIAN
Pankreatitis akut adalah reaksi peradangan pankreas yang akut

DIAGNOSIS
Keadaan umum pasien seperti dispepsia sedang sampai berat, gelisah kadang disertai
gangguan kesadaran
Demam, ikterus, gangguan hemodinamik, syok dan takikardia, bising usus menurun (ileus
paralitik)
Penyakit penyerta yang meningkatkan risiko : batu empedu, trauma, tindakan bedah di
abdomen, diabetes melitus, hipertiroidisme, alkoholisme, ulkus peptikum, leptospirosis,
demam berdarah dengue

DIAGNOSIS BANDING
Perforasi ulkus peptikum, kolangitis akut, kolesistitis akut, apendisistis akut, nefrolitiasis kanan
akut, infark miokard akut inferior.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, amilase serum, lipase serum, gula darah, kalsium serum, LDH serum, fungsi ginjal,
SGOT/SGPT, analisis gas darah, elektrolit

TERAPI
Non farmakologis : Puasa dan pemasangan infus untuk nutrisi parentral total sampai amilase dan
lipase serum normal/mendekati normal dan pada selang nasogastrik cairan lambung < 300 cc, dan
pasien tak merasakan nyeri ulu hati.

Farmakologis :
Analgesik dan sedatif, infus cairan, pasang selang lambung
Antibiotika bila ada infeksi
Penghambat sekresi enzim pankreas
Prosedur bedah pada infeksi berat berupa drainase cairan

KOMPLIKASI
Pseudokista pankreas, abses pankreas, peradangan hemoragik, nekrosis organ sekitar,
pembentukan fistel, ulkus duodenum, ikterus obstruksi, asites, sepsis

PROGNOSIS
Dubia ad bonam (tergantung berat ringannya pankreatitis akut, gunakan kriteria RANSON)

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

274
UNIT YANG MENANGANI
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Gastroenterologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care
RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah

275
ILEUS PARALITIK

PENGERTIAN
Ileus paralitik adalah keadaan abdomen akut berupa kembung/distensi usus karena usus tidak
dapat bergerak (mengalami dismotilitas), pasien tidak dapat buang air besar.

DIAGNOSIS
Perut kembung (distensi), bising usus menurun dan menghilang
Muntah, bisa disertai diare, tak bisa buang air besar
Dapat disertai demam
Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bisa disertai penurunan kesadaran, syok
Pada colok dubur : rektum tidak kolaps, tidak ada konstraksi
Adanya penyakit yang meningkatkan risiko : batu empedu, trauma, tindakan bedah di
abdomen, DM, hipokalemia, obat spasmolitik, pankreatitis akut, pneumonia, dan semua jenis
infeksi tubuh

Pemeriksaan fisik : Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bisa disertai penurunan
kesadaran, demam, tanpa dehidrasi, syok. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan distensi, bising
usus yang menurun sampai hilang.

DIAGNOSIS BANDING
Ileus obstruktif

PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, amilase-lipase, gula darah, kalium serum, dan analisis gas darah, foto abdomen 3 (tiga)
posisi

TERAPI
Non farmakologis :
- Puasa dan nutrisi parenteral total sampai bising usus positif atau dapat buang angin
melalui dubur
- Pasang selang lambung dan dekompresi
- Pasang kateter urin
Farmakologis :
- Infus cairan, rata-rata 2,5 3 liter/hari disertai elektrolit
- Natrium dan kalium sesuai kebutuhan / 24 jam
- Nutrisi parenteral yang adekuat sesuai kebutuhan kalori basal ditambah kebutuhan lain
Terapi etilogi

KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, septikemia sampai dengan sepsis, malnutrisi

PROGNOSIS
Dubia ad bonam

276
WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Gastroenterologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care
RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah

277
HEMATOSKEZIA

PENGERTIAN
Hematoskezia adalah buang air besar berupa darah segar berwarna merah yang berasal dari
saluran cerna bagian bawah

DIAGNOSIS
Buang air besar berupa darah merah segar sampai merah tua
Demam bila penyebabnya infeksi usus
Nyeri perut di atas umbilikus seperti kejang/kolik, atau perut kanan bawah yang hilang timbul
dapat akut atau kronik, dapat ditemukan massa
Dapat disertai diare sampai dehidrasi, dapat terjadi syok hipovolemik
Bising usus menurun dan menghilang
Berat badan dapat menurun
Ada riwayat kontak dengan pasien lain, memakan makanan yang tidak biasanya, mendapat
terapi antibiotik, penyakit kardiovaskular, dapat disertai gejala ekstraintestinal seperti
kelainan kulit, sendi dan radang mata.

DIAGNOSIS BANDING
Melena, hemoroid, infeksi usus, penyakit usus inflamatorik
Divertikulosis kolon dan/atau usus halus, angiodiplasia, tumor kolon dan/atau usus halus,
kolitis iskemik, kolitis radiasi

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium :
- DPL tiap 6 jam, analisis gas darah, elektrolit
- Pemeriksaan hemostasis lengkap
- Pemeriksaan etiologi : Kultur Widal-Gall, serologi amuba, serologi IDT amuba, kultur
Salmonella-Shigella feses-urin, pemeriksaan mikroskopik parasit di feses.
Kolonoskopi, ileoskopi, jejunoskopi dan biopsi. Pada demam tifoid kolonoskopi sebaiknya
dilakukan bila demam sudah menghilang dan keadaan umum membaik
Foto abdomen 3 posisi
Colon in loop kontras ganda
USG abdomen
CT Scan abdomen / foto usus halus
Foto dada
EKG

TERAPI
Non farmakologis : puasa, perbaikan hemodinamik. Jika hemodinamik stabil dapat nutrisi
enteral
Farmakologis :
- Transfusi darah PRC/WB sampai dengan Hb > 10gr%
- Infus cairan

278
- Pengobatan infeksi sesuai penyebab
Bila ada kelainan hemostasis diobati sesuai penyebabnya

KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, gagal ginjal akut, anemia karena perdarahan

PROGNOSIS
Dubia ad bonam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Gastroenterologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi Hematologi Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical
High Care
RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah

279
2.12
HEPATOLOGI

280
SIROSIS HATI

PENGERTIAN
Sirosis hati merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya neksosis,
pembentukan jaringan ikat disertai nodul

DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik : stigmata sirosis (palmar eritema, spider nevi) vena kolateral dinding perut,
ikterus, edema pretibial, asites, splenomegali
Laboratorium : rasio albumin dan globulin terbalik

DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis kronik aktif

PEMERIKSAAN PENUNJANG
(DPL, SGOT, SPGT, fosfatase alkali, albumin, kolin esterase, PT, seromaker hepatitis), USG,
biopsi hati, endoskopi saluran cerna bagian atas, analisis cairan asites

TERAPI
Istirahat cukup
Diet seimbang (tergantung kondisi klinis)
Roboransia
Mengatasi komplikasi

KOMPLIKASI
Hipertensi portal, peritonitis bakterial spontan, hemetemesis melena, sindrom hepatorenal,
gangguan hemostasis, ensefalopati hepatikum

PROGNOSIS
Dubia ad bonam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hepatologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi Gastroenterologi, Hematologi Onkologi dan Departemen Bedah
Digestif
RS non pendidikan : Departemen Bedah

281
HEPATOMA

PENGERTIAN
Hepatoma merupakan tumor ganas hati primer

DIAGNOSIS
Anamnesis : penurunan berat badan, nyeri perut kanan atas, anoreksia, malaise, benjolan
perut kanan atas
Pemeriksaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol, stigmata penyakit hati kronik.
Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, fosfatase alkali USG: lesi fokal/difus di hati

DIAGNOSIS BANDING
Abses hati

PEMERIKSAAN PENUNJANG
AFP, PIVKA II, fosfatase alkali, SGOT, SGPT, seromarker hepatitis
USG: lesi fokal/difus
CT scan, biopsi hati

TERAPI
Pembedahan/reseksi tumor (bila tumor mengenai 1 lobus, ukuran < 3 cm)
Injeksi etanol perkutan dengan tuntunan USG (bila tumor < 3 buah, ukuran < 3 cm, tumor
yang residif pasca reseksi hati, tumor residual pasca embolisasi)
Transplantasi hati
Kemoembolisasi pada a. hepatika

KOMPLIKASI
Ensefalopati hepatikum, ruptur tumor spontan, hematemesis melena, kegagalan hati

PROGNOSIS
Malam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hepatologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi Gastroenterologi, HematologiOnkologi dan Departemen Bedah
Digestif
RS non pendidikan : Departemen Bedah

HEPATITIS VIRUS AKUT


282
PENGERTIAN
Hepatitis virus akut inflamasi hati akibat infeksi virus hepatitis yang berlangsung selama < 6
bulan

DIAGNOSIS
Anamnesis : mual, malaise, anoreksia, urin berwarna gelap
Pemeriksaan fisik : ikterus, hepatomegali
Laboratorium : ALT dan AST meningkat > 3 kali normal

DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis akibat obat, hepatitis alkoholik, penyakit saluran empedu, leptospirosis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : SGOT, SGPT, fosfatase alkali, bilirubing/seromarker (IgM anti HAV, HbsAg,
IgM anti HBc, anti HCV, Ig M anti HEV)

TERAPI
Tirah baring, diet seimbang, pengobatan suportif

KOMPLIKASI
Hepatitis fulminan, kolestasis berkepanjangan, hepatitis kronik

PROGNOSIS
Bonam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hepatologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi Gastroenterologi, HematologiOnkologi dan Departemen Bedah
Digestif
RS non pendidikan : Departemen Bedah

283
HEPATITIS VIRUS KRONIK

PENGERTIAN
Hepatitis virus kronik adalah suatu sindrom klinis dan patologis yang disebabkan oleh bermacam-
macam etiologi, ditandai oleh berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hati.

DIAGNOSIS
Anamnesis : umumnya tanpa keluhan
Pemeriksaan fisik : bisa ditemukan hepatomegali
Laboratorium : petanda virus hepatitis B atau C positif
USG : hepatitis kronik
Biopsi hati : peradangan dan fibrosis pada hati

DIAGNOSIS BANDING
Perlemakan hati

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium seperti pada hepatitis akut
USG hati
Biopsi hati

TERAPI
Hepatitis B kronik : lamivudin
Hepatitis C kronik : interferon + ribavirin

KOMPLIKASI
Sirosis hati, karsinoma hepatoselular

PROGNOSIS
20% akan berkembang menjadi sirosis hati

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hepatologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
-

284
ABSES HATI

PENGERTIAN
Abses hati adalah rongga patologis berisi jaringan nekrotik yang timbul dalam jaringan hati
akibat amuba atau bakteri

DIAGNOSIS
Anamnesis : demam, perasaan nyeri perut kanan atas
Pemeriksaan fisik : ikterus, hepatomegali yang nyeri tekan, nyeri tekan perut kanan atas
Laboratorium : leukositosis, gangguan fungsi hati
USG : rongga dalam hati
Aspirasi : pus (+)

DIAGNOSIS BANDING
Hepatoma, kolesistitis, tuberkulosis hati, aktinomikosis hati

PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, SGPT, bilirubin, serologi amuba; USG, kultural cairan pus

TERAPI
Tirah baring, diet tinggi kalori tinggi protein
Pada abses amuba : metronidazol 4 x 500-750 mg/hari selama 5-10 hari. Pada abses piogenik :
antibiotika spektrum luas atau sesuai hasil kultur kuman. Pada abses campuran : kombinasi
metronidazol dan antibiotika
Drainase cairan abses terutama pada kasus yang gagal dengan terapi konservatif atau bila
abses berukuran besar (>5 cm)

KOMPLIKASI
Ruptur abses (ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit), perdarahan dalam
abses, sepsis

PROGNOSIS
Bonam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hepatologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif
RS non pendidikan : Departemen Bedah
KOLESISTITIS AKUT
285
PENGERTIAN
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi kandung empedu akibat infeksi bakterial akut yang
disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas badan

DIAGNOSIS
Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang dapat menjalar ke daerah skapula
kanan, demam
Pemeriksaan fisik : Teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda
peritonitis lokal, tanda Murphy (+), ikterik biasanya menunjukkan adanya batu di saluran
empedu ekstrahepatik
Laboratorium : leukositosis
USG : penebalan dinding kandung empedu, sering ditemukan pula sludge atau batu

DIAGNOSIS BANDING
Angina pektoris, infark miokard akut, apendisitis akut retrosaekal, tukak peptik perforasi,
pankreatitis akut, obstruksi intestinal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : DPL, SGOT, SGPT, fosfatase alkali, bilirubin, kultur darah
USG hati

TERAPI
Tirah baring
Puasa sampai nyeri berkurang / hilang
Pengobatan suportif (antipiretik, analgetik, pemberian cairan infus dan mengoreksi kelainan
elektrolit)
Antibiotika parenteral
Kolesistektomi bila diperlukan

KOMPLIKASI
Gangren / empiema kandung empedu, perforasi kandung empedu, fistula, peritonitis umum, abses
hati, kolesistitis kronik

PROGNOSIS
Bonam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hepatologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
286
RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif
RS non pendidikan : Departemen Bedah

287
PERLEMAKAN HEPATITIS
NON ALKOHOLIK

PENGERTIAN
Perlemakan hepatitis non alkoholik merupakan suatu sindrom klinis dan patologis akibat
perlemakan hati, ditandai oleh berbagai tingkat perlemakan, peradangan dan fibrosis pada hati

DIAGNOSIS
Anamnesis : rasa mengganjal di perut kanan atas
Pemeriksaan fisik : kelebihan berat badan, hepatomegali
USG : gambaran bright liver
Biopsi hati : ditemukan perlemakan hati, peradangan lobulus, kerusakan hepatoselular, hialin
Mallory dengan atau tanpa fibrosis.

DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis virus kronik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : gula darah, profil lipid, SGOT, SGPT, fosfatase alkali, gamma GT,
seromarker hepatitis, ANA, anti ds DNA
Biopsi hati

TERAPI
Mengoreksi faktor resiko (penurunan berat badan, kontrol gula darah, memperbaiki profil lipid
dan olah raga)

KOMPLIKASI
Sirosis hati

PROGNOSIS
Bonam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hepatologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
-

288
BAB III

STANDAR PROSEDUR
TINDAKAN PAPDI

289
3.1

KARDIOLOGI

290
KARDIOVERSI

PENGERTIAN
Kardioversi adalah upaya konversi secara elektrik pada aritmia arterial atau ventrikular
memakai DC (Direct Current) shock yang synchronized dan DC shock nonsynchronized yang
juga disebut defibrillation. Saat kejutan yang synchronized yaitu pada awal gelombang T kira-
kira 30 ms sebelum apeks gelombang T.

TUJUAN
Menghentikan aritmia yang mengancam menjadi irama sinus yang normal

INDIKASI
Fibrilasi ventrikular, fluter arterial atau fibrilasi atrial yang menyebabkan gangguan
hemodinamik dan tak responsif dengan terapi farmakologis
Takikardia supraventrikular yang menyebabkan gangguan hemodinamik dan tak responsif
dengan obat antiaritmia atau manuver vagal
Takikardia ventrikular yang menyebabkan gangguan hemodinamik dan tak responsif dengan
obat antiaritmia

KONTRAINDIKASI
Fibrilasi artrial kronik pada stenosis mitral atau regurgitasi mitral dan tirotoksikosis
Fibrilasi atrial dengan slow ventricular rate
Hipokalemia
Keracunan digitalis

PERSIAPAN
1. Penjelasan seperlunya kepada pasien dan keluarga
2. Alat kardioversi dan monitor jantung berfungsi baik
3. Sebaiknya puasa untuk menghindari regurgitasi/asfiksia
4. Pemakaian digitalis dihentikan 1-2 hari sebelum tindakan
5. Kadar elektrolit serum harus optimal
6. Oksigen terpasang
7. Premedikasi meperidin 100 mg atau diazepam 5 mg IV

PROSEDUR TINDAKAN
Fluter atrial dimulai dengan dosis 20 Joule bila gagal diulang memakai 50 atau 100 Joule.
Fibrilasi atrial diawali dengan dosis 100 Joule bila gagal bisa 200-300 Joule. Sehari
sebelumnya pasien diberi kuinidin oral tiap 6 jam kadangkala obat ini diperlukan untuk
jangka waktu lama. Prokainamid dapat dipakai bila pasien tak toleran dengan kuinidin.
Takikardia supraventrikular 10 Joule biasanya efektif. 100 Joule hampir selalu efektif
Fibrilasi ventrikular dosis awal 200 Joule bila gagal segera pakai 360 Joule.

291
PENILAIAN
-

LAMA TINDAKAN
-

KOMPLIKASI
Bradiaritmia atau asistol sehingga perlu disiapkan atropin, isoproterenol, dan pacu jantung
sementara
Takiaritmia ventrikular atau fibrasi ventrikular, pasien perlu dimonitor kira-kira 8 jam pasca
tindakan.

WEWENANG
RS pendidikan : Internist Cardiologist / Cardiologist PPDS Penyakit Dalam / Kardiologi yang
sedang / sudah melalui Divisi Kardiologi dengan konsultasi kepada konsultan Divisi
Kardiologi
RS non pendidikan : Internist / Kardiolog

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam / Divisi Kardiologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam / Kardiolog

UNIT TERKAIT
-

REFERENSI
Gumiwang I. Kardioversi. In: Sumaryono, A lwi I, Sudoyo A W . Simadibrata M, Setiati S, Gani RA ,
Mansjoer A , editors. Prosedur Tindakan Di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI:2001 p. 149-50

292
KATETERISASI JANTUNG DAN
ANGIOGRAFI KORONARIA

PENGERTIAN
Kateterisasi jantung adalah tindakan memasukkan kateter kedalam arteri arteri atau vena
perifer sampai ke jantung untuk mendapatkan gambar arteri koronaria dan ruang jantung, juga
untuk mengukur tekanan ruang jantung dan pembuluh darah (hemodinamik kardiak). Angiografi
koroner adalah tindakan menyuntikkan kontras ke dalam arteri koronaria untuk
memvisualisasikan dan membuat gambar arteri koronaria dan cabang-cabangnya untuk keperluan
diagnostik serta perencanaan strategi pengobatan lanjut.

TUJUAN
Mendapatkan gambaran arteri koronaria dan ruang jantung
Mengukur tekanan ruang jantung dan pembuluh darah (hemodinamik kardiak).
Memvisualisasikan dan membuat gambar arteri koronaria dan cabang-cabangnya untuk
keperluan diagnostik serta perencanaan strategi pengobatan lanjut.

INDIKASI
Dugaan penyakit jantung koroner :
- angina awitan baru
- angina pektoris tidak stabil
- evaluasi preoperative tindakan bedah mayor
- iskemia silent
- positive ETT
- atypical chest pain
Infark jantung :
- angina pasca infark,
- kegagalan trombolisis
- renjatan
- defek sentrum ventrikel
- ruptur m. Papilaris.
Sudden cardiac death
Penyakit katup jantung
Penyakit jantung bawaan
Diseksi aorta
Perikarditis konstriktif dan tamponade
Kardiomiopati
Persiapan dan pasca transplantasi jantung

KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi absolut : fasilitas dan peralatan laboratorium yang tidak memadai
Kontraindikasi relatif :
Gagal jantung yang belum terkontrol,
Tekanan darah tinggi, dan
Aritmia
Penyakit serebrovaskular (kurang dari 1 tahun)
293
Demam atau infeksi yang belum diketahui penyebabnya
Ketidakseimbangan elektrolit
Anemia dan perdarahan gastrointestinal
Kehamilan
Pengobatan dengan antikoagulan (diatesis hemoragik yang sudah diketahui)
Pasien yang tidak kooperatif
Intoksikasi obat (digitalis, fenotiazin)

PERSIAPAN
Bahan dan alat :
Unit kateterisasi yang terdiri dari fluoroskopi U, atau C arm, meja kateterisasi, dan monitor
TV
Alat perekam data fisiologis (EKG, tekanan intrakardiak, transduser, kertas perekam dan lain
-lain)
Injektor kontras
Defibrilator dan perlengkapan resusitasi kardiopulmonar (Air Viva O2 dan obat-obat
emergensi)
Perlengkapan tindakan operasi steril

Pasien :
Identifikasi pasien dan izin operasi dengan penerangan tujuan, cara dan risiko
Puasa 4-6 jam sebelum kateterisasi, obat-obat penting diteruskan, Profilaksis antibiotik.
Resume klinis, laboratorium, EKG, foto dada, laboratorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya :
- Riwayat alergi, obat-obatan yang digunakan saat ini
- Pemeriksaan jasmani
- Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium : Hb, leukosit,
- Ureum, kreatinin, masa protrombim, dan masa tromboplastin parsial, natrium, kalium dan
gula darah
- Bila mendapat insulin diberikan hanya setengah dosis
- Foto dada
- EKG istirahat maupun hasil test treadmill. Bila ada, hasil ekokardiografi atau hasil
kateterisasi sebelumnya

PROSEDUR TINDAKAN
1. Kateterisasi dilakukan di ruangan kateterisas
2. Memasang pemantaun EKG
3. Infus emergensi tangan kiri
4. Premedikasi : petidin 25 mg IM, antistin 1 ampul IM
5. Proteksi radiasi (apron Pb tebal 0,50 mm atau yang setara menutup badan sampai lutut dan
leher) bagi operator atau pada pasien hamil serta badge pengukur radiasi yang diperiksa setiap
bulan
6. Aseptik dan antiseptik serta prosedur steril seperti pada tindakan operasi (bagi operator
maupun pasien)
7. Pungsi pembuluh darah atau arteriotomi untuk akses pembuluh darah. Pungsi vena/arteri
dengan jarum perkutan dengan teknik Seldinger paling sering dilakukan. Guidewire
294
dimasukkan ke dalam pembuluh darah melalui jarum pungsi disusul oleh sheat. Heparin 2500
-5000 unit disuntikkan melalui sheat ke dalam pembuluh darah. Kateter dapat dimasukkan
dalam pembuluh darah dengan mudah dan aman melalui sheat. Arteri/vena femoralis paling
sering digunakan, namun pembuluh brachialis atau radialis juga dapat digunakan. Arteriotomi
dan venaseksi (membuka arteri dan vena serta menjahit kembali) saat ini sudah jarang
dilakukan
8. Pengukuran tekanan intrakardiak, pengambilan sampel saturasi darah dan penyuntikkan
kontras pada proyeksi tertentu
9. Evaluasi hasil sementara kateterisasi
10. Setelah dianggap cukup maka sheat dicabut, melakukan hemostatik dan pembalut mencegah
perdarahan.
11. Mengisi formulir hasil sementara dan instruksi pasca kateterisasi yang berisi :
Istirahat di tempat tidur (tidak menggerakkan daerah kateterisasi selama 8 jam),
Tekanan darah dan nadi setiap 15 menit selama 4 jam, dan selanjutnya setiap jam selama 8
jam,
Hipotensi biasanya disebabkan oleh diuresis akibat kontras.
Takikardia akibat perdarahan harus dilaporkan pada operator.
Periksa adanya hematoma pada pembuluh yang mengalami pungsi, hilangnya denyut nadi
pada bagian distal
Ekstremitas yang dingin bisa karena trombus, spasme atau vasokonstriksi.
Bila ada trombus dapat diberi aspirin 325 mg dan heparin bolus 5000 U dilanjutkan drip
1000 U/jam.
Bila ada iskemia ekstremitas, perlu intervensi bedah vaskular.
Mencatat produksi urin (sekitar 30 ml/jam)
12. Menyimpulkan hasil akhir kateterisasi dan mendiskusikannya dengan pasien

PENILAIAN
-

LAMA TINDAKAN
-

KOMPLIKASI
Kematian, infark jantung, strok, aritmia ventrikel yang serius, trombosis, perdarahan yang
memerlukan transfusi, pseudoaneurisma, diseksi aorta, perforasi jantung, tamponad, reaksi
kontrasm anafilaksis/nefropati, reaksi protamin, infeksi, gagal jantung, reaksi vasovagal

WEWENANG
RS pendidikan : Internist-Cardiologist dengan keahlian khusus dan didampingi oleh tim
kateterisasi yang terdiri dari dua-tiga perawat terlatih dan seorang penata rontgen, PPDS
Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Kardiologi : mempersiapkan dan
membantu pelaksanaan
RS non pendidikan : Internist / Kardiolog yang telah mempunyai sertifikasi

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi
295
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam / Kardiolog

UNIT TERKAIT
-

REFERENSI
Panggabean M. Kateterisasi Jantung Kiri dan Kanan dan A ngiografi Koronaria. Dalam : Sumaryono, A lwi
I, Sudoyo A W . Simadibrata M, Setiati S, Gani RA , Mansjoer A , editors. Prosedur Tindakan Di Bidang
Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI:2001 p. 151-
61

296
PACU JANTUNG SEMENTARA

PENGERTIAN
Pacu jantung sementara merupakan teknik memberikan rangsangan listrik pada jantung
kanan dengan elektroda endokardial perkutan

TUJUAN
Terapeutik
Diagnosis penatalaksanaan siaga pada infark miokard akut, kateterisasi jantung dan tindakan
bedah.

INDIKASI
Terapeutik
Bradikardia simptomatik pada kondisi : sick sinus syndrome, fibrilasi atau fluter atrial dengan
blok AV derajat tinggi, blok AV total
Takikardia simptomatik pada takikardia ventricular intermitem, fibrilasi ventrikular
intermitem yang memerlukan obat-obatan yang potensial menimbulkan bradiaritmia.
Malfungsi pacu jantung permanen
Sinkop sinus karotis

Diagnostik
Penelitian fungsi jaras His
Penelitian fungsi nodus SA
Identifikasi ritme pada analisis aritmia

Indikasi pencegahan dan penatalaksanan siaga :


Infark miokard akut dengan kondisi : asistol, bradikardia simptomatik, BBB bilateral, blok
fasikular baru atau tidak tergantung usia (RBBB dengan LAFB atau LPFB) dengan blok AV
derajat satu, Blok AV derajat dua Mobilitz tipe II
Selama operasi dengan kondisi : bradikardia berat (frekuensi jantung < 40 kali/menit),
bradikardia sinus (frekuensi jantung < 60 kali/menit) dengan penurunan respons nodus SA
treadmill test dan/atau atropin IV (laju sinus meningkat < 90 kali/menit setelah bolus SA 1 mg
IV), Blok AV Mobitz II atau blok AV total, blok fasikular kronik yang dihubungkan dengan
sinkop, angina tidak stabil atau infark miokard akut.

KONTRAINDIKASI
Masa perdarahan dan pembekuan yang memanjang

PERSIAPAN
1. Periksa EKG dan foto dada
2. Periksa hitung trombosit, PT dan APTT
3. Pasang IV line
4. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien termasuk risiko penyulit serta informed
consent
5. Akses vena : jalur femoral : jarum Potts-Cournand, set kateter, scalpel nomor 11, klem
mosquito. P
297
6. Pacemaker : elektroda pacu bipolar (5-7 F) dan generator, fluoroskop portable dan lead
aprons
7. Desinfektan dan duk steril : solusio antiseptik, sarung tangan steril, masker, tutup kepala, dan
kasa steril
8. Anestesi : lidokain (1% 10 ml, siring 10 ml dan jarum 23 G
9. Resusitasi : defibrillator, oksigen

PROSEDUR TINDAKAN
1. Pasien pada posisi telentang dengan kaki sedikit abduksi
2. Identifikasi anatomi vena femoralis yang akan dilakukan pungsi vena. Letaknya medial dari A.
Femoralis dan sekitar 1 atau 2 inchi di bawah lipat inguinal.
3. A dan antisepsis daerah pungsi dan sekitarnya
4. Anestesi kulit dan jaringan subkutan sekitar tempat pungsi
5. Lakukan pungsi vena. Buat insisi kecil pada kulit dengan pisau scalpel nomor 11. Masukkan
jarum Potts-Cournand dengan membentuk sudut 60 derajat. Aspirasi untuk memastikan
daerah vena
6. Kanulasi vena dengan menggunakan teknik seldinger
7. Masukkan elektroda pacu jantung
8. Alur posisi fluoroskopi mengikuti elektroda. Kateter terus didorong sampai vena kava inferior
kemudian masuk atrium kanan. Selanjutnya kateter akan melalui permukaan atas katup
trikuspid dan masuk ke ventrikel kanan.
9. Hubungan elektroda distal dengan bagian negatif generator dan elektroda proksimal dengan
bagian positif generator.
10. Tentukan threshold (ambang) pacu jantung. Nilai threshold adalah miliamper terendah
dimana pacu jantung akan pace. Setelah wire pada posisinya maka :
Tahap 1 : set miliamper pada 5 mA
Tahap 2 : Putar mode pacu jantung tetap pada rate lebih tinggi dari rate pasien
Tahap 3 : putar miliamper turun 1 maA sampai irama pacing hilang. Kemudian miliamper
dinaikkan sampai timbul irama pacing. Level ini menunjukkan ambang.
Tahap 4 : set mA 2 kali ambang
11. Buat dokumen EKG 12 sadapan untuk melihat gambaran LBBB; jika terlihat gambaran
RBBB berarti posisi elektroda tidak tepat

PENILAIAN
-

LAMA TINDAKAN
-

KOMPLIKASI
Infeksi, flebitis, emboli udara, hidrotoraks, pneumotraks, perforasi mikokard, kegagalan
pacing (pacing failure) dislokasi lead endokardial, stimulasi diafragma

298
WEWENANG
RS pendidikan : Internist-Cardiologist dengan keahlian khusus dan didampingi oleh tim
kateterisasi yang terdiri dari dua-tiga perawat terlatih dan seorang penata rontgen, PPDS
Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Kardiologi : mempersiapkan dan
membantu pelaksanaan
RS non pendidikan : Internist / Kardiolog yang telah mempunyai sertifikasi

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam / Divisi Kardiologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam / Kardiolog

UNIT TERKAIT
Bedah vaskular, Pulmonologi bila terjadi komplikasi

REFERENSI
Harun S. A lwi I, Rasjidi K. Pacu Jantung Sementara. Dalam : Sumaryono, A lwi I, Sudoyo A W .
Simadibrata M, Setiati S, Gani RA , Mansjoer A , editors. Prosedur Tindakan Di Bidang Penyakit Dalam.
Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI:2001 p. 162-5

299
PERIKARDIOSENTESIS
(PUNGSI PERIKARD)

PENGERTIAN
Perikardiosentesis (pungi perikard) adalah tindakan aspirasi efusi perikard

TUJUAN
Konfirmasi dan mencari etiologi
Terapi

INDIKASI
Efusi perikard

KONTRAINDIKASI
Masa perdarahan dan pembekuan yang memanjang

PERSIAPAN
1. Penjelasan kepada pasien tentang tujuan, cara dan risiko tindakan disertai inform consent
2. Pemeriksaan PT dan APTT
3. EKG
4. Xilocain 2%
5. Spuit 20 atau 50 ml
6. Jarum pungsi nomor 16-18
7. Trokar

PROSEDUR TINDAKAN
1. Pasien disandarkan pada sadapan dengan sudut 450
2. Dilakukan dengan ekokardiografi untuk melihat posisi cairan perikard
3. Dilakukan a dan antisepsis pada lokasi pungsi (sudut antara prosesus sifoideus dengan arkus
iga kiri atau sela iga 5, kira-kira 2 cm medial dari perkusi pekak atau sela iga 5 atau 6 garis
sternal kiri atau sela iga 4 kanan, kira-kira 1 cm medial dari perkusi pekak, sela iga 5-6 garis
sternal kanan atau sela iga 7-8 belakang, garis midskapula kiri)
4. Anestesi dengan xilocain 2% atau prokain 2% di lokasi pungsi
5. Jarum nomor 16-18 dihubungkan dengan spuit 20-50 ml dihubungkan dengan jarum EKG
(sadapan prekordial) melalui aligator atau hemostat, diarahkan ke posterosefalad, membentuk
sudut 450 dengan permukaan dinding dada
6. Jarum ditusukkan dengan mantap 2-4 cm sampai terasa tahanan. Bila jarum pungsi menembus
perikard dan kontak dengan otot jantung akan timbul elevasi segmen ST (injury) dan
ekstrasistol ventrikel dengan amplitudo tinggi. Bila hal ini terjadi, maka jarum pungsi harus
ditarik sedikit dan diarahkan ke tempat lain.
7. Apabila cairan perikard, dapat dipakai trokar yang lebih besar.
8. Pada pungsi di sela iga depan diusahakan agar tusukan jarum tepat di atas iga agar terhindar
dari arteri interkostal yang berada tepat di bawah oiga yang berada di atasnya.
9. Apabila tidak diperoleh cairan yang mengalir, jarum ditarik perlahan-lahan dan ditusuk
kembali ke arah lain atau lebih dalam sedikit. Hindarkan tusukan yang tiba-tiba, kasar, atau
pemindahan arah tusukan secara kasar.
300
10. Perubahan arah tusukan harus dilakukan secara perlahan-lahan tapi konstan sambil diisap
secara kontinyu. Pada aspirat berdarah sering sulit dibedakan dengan tusukan intraventrikula
oleh karena itu periksa hematokrit, mekanisme pembekuan cairan aspirat dan darah arterial
bersamaan. Bisa juga diperiksa analisis gas darah.

PENILAIAN
-

LAMA TINDAKAN
-

KOMPLIKASI
Laserasi dinding ventrikel, pneumotoraks, laserasi arteri mammaria interna

WEWENANG
RS pendidikan : Internist-Cardiologist dengan keahlian khusus dan didampingi oleh tim
kateterisasi yang terdiri dari dua-tiga perawat terlatih dan seorang penata rontgen, PPDS
Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Kardiologi : mempersiapkan dan
membantu pelaksanaan
RS non pendidikan : Internist / Kardiolog yang telah mempunyai sertifikasi

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam / Divisi Kardiologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam / Kardiolog

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi Pulmonologi dan Departemen Bedah/Toraks
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Bedah, Pulmonologi

REFERENSI
Ismail D, Panggabean MM. Perikarditis.. Dalam : Noer S, W aspadji A , Rachman M, Lesmana LA ,
W idodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, Balai
Penerbit FKUI: p.1077-81.

301
MANAJEMEN PERIOPERATIF
PADA OPERASI NONKARDIAK

PENGERTIAN
Manajemen perioperatif pada operasi nonkardiak adalah usaha untuk menilai. memonitor
dan memperbaiki kondisi jantung sebelum, saat maupun setelah operasi nonkardiak guna
mengurangi risiko operasi terhadap jantung

TUJUAN
Mengevaluasi status kesehatan pasien terkini
Membuat rekomendasi tentang evaluasi, manajemen dan risiko masalah jantung selama
periode operasi
Memberikan profil risiko klinik sehingga pasien, dokter, anestesiologi, dan ahli bedah
dapat membuat keputusan penatalaksanaan yang berpengaruh pada jantung jangka pendek
maupun jangka panjang
Identifikasi pemeriksaan dan strategi penalataksanaan yang paling sesuai untuk
mengoptimalkan perawatan pasien
Memberikan pengkajian risiko jantung jangka pendek dan jangka panjang
Menghindari pemeriksaan yang tidak perlu

INDIKASI
Operasi nonkardiak

KONTRAINDIKASI

PERSIAPAN
Penilaian preoperative
1. Anamnesis untuk menilai riwayat penyakit
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan EKG
4. Pengkajian:
Identifikasi kelainan jantung yang serius : penyakit jantung koroner (misJ infark miokard
akut dan angina pektoris, gagal jantung, aritmia simptomatik. adanya pacemaker atau
defibrilator yang ditanam, atau riwayat intoleria ortostatik, adanya anemia.
Menilai berat penyakit, stabilitas penyakit dan terapi sebelumnya
Kapasitas fungsional
Usia
Kondisi komorbid (diabetes melitus, penyakit pembuluh darah perifea disfungsi ginjal,
dan penyakit paru kronik)
Tipe operasi : (prosedur vaskular dan prosedur yang lama, prosedur surf dada. perut.
kepala dan leher risiko lebih tinggi)

5. Pengkajian tentang prediktor klinik peningkatan risiko kardiovaskular perioperatif (infark


miokard, gagal jantung, kematian)

Mayor:
302
Sindrom koroner tak stabil
- Infark miokard akut atau recent dengan bukti risiko iskemia yang penting baik simptom
maupun pemeriksaan non invasif
- Angina tak stabil atau angina berat {Canadian Clas III atau IV
Gagal jantung dekompensata
Aritmia bermakna
BlokAVderajattinggi
Aritmia ventrikular simptomatik dengan dasar
penyakit jantung
Aritmia supraventrikular dengan rate vetrikel yang tidak terkontrol.
Penyakit katup berat

Intermediate :
Angina pektoris ringan (Canadian Class I atau II)
Infark miokard lama diketahui dengan anamnesis atau adanya Q patologis
Gagal jantung sebelumnya atau kompensata
Diabetes melitus (terutama yang tergantung insulin)
Insufisiensi ginjal

Minor:
Usia lanjut
EKG abnormal (LVH, left bundle-branch block, abnormalitas ST-T)
Irama selain sinus (misal fibrilasi atrial)
Kapasitas fungsional yang rendah (misal : tidak mampu memanjat tangga dengan tas
punggung)
Riwayat strok
Hipertensi sistemik tidak terkontrol

6. Pengkajian stratifikasi risiko jantung untuk prosedur operasi nonkardiak Tinggi (risiko
jantung yang dilaporkan selalu> 5%)
Operasi mayor emergensi (terutama pada usia lanjut)
Operasi aorta atau operasi pembuluh darah besar lainnya
Operasi pembuluh darah perifer
Prosedur operasi yang diantisipasi memanjang sehubungan dengan hilangnya darah dan
atau pergantian cairan dalam jumlah besar

Intermediate (Risiko jantung yang dilaporkan < 59c)


Endarterektomi karotis
Operasi leher dan kepala
Operasi intratoraks dan intraperitoneal
Operasi ortopedi
Operasi prostat

303
Rendah (Risiko jantung yang dilaporkan umumnya < 1%)
Prosedur endoskopi
Prosedur superfisial
Operasi katarak
Operasi payudara

7. Penilaian kapasitas fungsional


Dengan memperkirakan energi yang dibutuhkuan untuk berbagai aktivitas
1 MET
Merawat diri
Makan, berpakaian, menggunakan toilet
Berjalandalamrunah
Berjalan satu blok atau dua tingkat dengan kecepatan 3,2 sampai 4,8 km per jamatau2
-3 mph

4 MET
Bekerja di sekitar rumah seperti mencuci atau membersihkan debu

4 MET
Memanjat tangga atau berjalan ke bukit
Berjalan datar dengan kecepatan 4 mph atau 6,4 km per jam
Bekerja berat di rumah seperti membersihkan lantai atau mengangkat atau
menggerakkan furnitur yang beratlkut serta dalam aktivitas rekreasi yang sedang
seperti golf, bowling, dansa, tenis ganda atau melempar bola basket atau bola sepak
bola

> 10 MET
Ikut dalam olahraga seperti berenang, tenis tunggal, sepak bola, bola basket, atau ski

Risiko jantung dan jangka panjang perioperatif meningkat pada pasien yang tidak dapat
mencapai 4 MET pada waktu kebanyakan aktivitas normal sehari-hari

PROSEDUR TINDAKAN
Tahap 1. Apakah operasi nonkardiak merupakan sesuatu yang urgensi? Jika keadaan
emergensi maka tidak ada waktu untuk evalusi jantung preoperatif. Stratifikasi risiko
postoperatif sesuai untuk pasien yang tidak dinilai sebelumm a.
Tahap 2. Apakah pasien menjalani revaskularisasi koroner 5 tahun terakhir ? JikJ ya dan jika
status klinik tetap stabil tanpa gejala rekuren/tanda-tanda iskemia. ujri jantung lebih jauh
secara umum tidak dibutuhkan.
Tahap 3. Apakah pasien telah menjalani evaluasi koroner 2 tahun terakhir? Jika risiko koroner
telah dikaji secara adekuat dan penemuannya memuaskan, biasanya, tidak diperlukan uji ulang
kecuali pasien mempunyai pengalaman perubahia atau gejala baru iskemia koroner sejak
evaluasi sebelumnya.
Tahap 4. Apakah pasien mempunyai sindrom koroner tak stabil atau risilJ prediktor klinik
mayor? Ketika operasi nonkardiak elektif dipertimbangkin, adanya penyakit koroner tak stabil,
gagal jantung dekompensasi, aritmij simtomatik. dan atau penyakit jantung katup yang berat
304
biasanya menuiKB operasi sampai masalah teridentifikasi dandiobati
Tahap 5. Apakah pasien mempunyai risiko prediktor klinik intermediate! Ada atau tidak
adanya infark miokard sebelumnya dari riwayat atau EKG, angina pektoris, gagal jantung
terkompensasi atau gagal jantung sebelumnya, kreatinin preoperatif > 2 mg/dl, dan atau
diabetes melitus membantu untuk tnenstratifikasi risiko kejadian koroner perioperatif lebih
jauh lagi. Pertimbangan kapasitas fungsional dan tingkat risiko operasi spesifik memberi
pendekatan rasional untuk mengidentifikasi pasien untuk mencapai manfaat dari uji noninvasif
yang lebih jauh.
Tahap 6. Pasien tanpa prediktor risiko klinik mayor tapi intermediate dan kapasitas fungsional
moderat atau baik dapat menjalani operasi risiko intermediate dengan sedikit risiko kematian
atau infark miokard perioperatif. Sebaliknya, uji noninvasif selalu dipertimbangkan untuk
pasien dengan kapasitas fungsional yang buruk atau moderat tapi operasi risiko lebih tinggi,
terutama untuk pasien dengan 2 atau lebih prediktor risiko intermediate.
Tahap 7. Operasi non kardiak umunya aman untuk pasien tanpa prediktor risiko klinik mayor
atau intermediate dan kapasitas fungsional moderat atau baik (4 METs atau lebih). Uji
tambahan mungkin dipertimbangkan secara individual untuk pasien tanpa petanda klinik tapi
kapasitas fungsionalnya buruk yang terpajan dengan risiko operasi yang lebih tinggi, terutama
untuk mereka dengan beberapa prediktor risiko klinik minor yang dijadualkan menjalani
operasi vaskular.
Tahap 8. Hasil uji noninvasif dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan uji tambahan
preoperatif dan pengobatan. Pada beberapa pasien dengan CAD, risiko intervensi koroner atau
operasi koreksi jantung mungkin mendekati atau melebihi risiko operasi nonkardiak.
Pendekatan ini sesuai, meskipun tidak secara signifikan memperbaiki prognosis jangka
panjang.

PENILAIAN
-

LAMATINDAKAN
-

KOMPLIKASI
Bradiaritmia atau asistol sehingga perlu disiapkan atropin, isoproterenol, dan pacu jantung
sementara.
Takiaritmia(TVatauFV)
Emboli (Pasien perlu dimonitor kira-kira 8 jam pasca tindakan)

WEWENANG
RS Pendidikan : Internist-cardiologist dan PPDS Penyakit Dalam .
RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Di visi Kardiologi
RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
305
Tiap Departemen / Bagian / Divisi pelaksana operasi: Bedah, Kebidanan, THT.
BedahSarafdll.

REFERENSI
Eagle KA , Berger PB, Calkins H, Chaitman BR, Ewy GA , Fleischmann KE, et al. Perioperav: >
Cardiovascular Evaluation For Cardiac Surgery Update. A Report of the A merican College of
Cardiology/A merican Heart A ssociation Task Force on Practice Guidelines (Committee I Update the 1996
Guidelines on Perioperative Cardiovascular Evaluation for Noncardic: Surgery)

306
PERCUTANEUS TRANSLUMINAL
CORONARY ANGIOPLASTY

PENGERTIAN
Percutaneus transluminal coronary angioplasty adalah Tindakan revaskularisasi koroner di
mana lesi stenotik dilebarkan dengan menggunakan balon

TUJUAN
Melebarkan lesi stenotik dengan menggunakan balon

INDIKASI
Single vessel disease :
- angina persisten, kapasitas jasmaninya rendah, tidak dapat bekerja normal,
dibutuhkan pengobatan polifarmasi jangka panjang

Multivessel disease :
- gejala simtomatik dengan angina kelas II-IV yang tak dapat dikontrol dengan obat-
obatan atau bila pasien tidak dapat mentoleransi obat
- Bila tidak mempunyai keluhan, indikasi bila ada daerah iskemia miokardium luas
(dengan tes non invasif) disertai salah satu dari: iskemia berat pada tes noninvasif,
pasca resusitasi henti jantung atau takikardia ventrikel tanpa adanya infark, pasien
hams menjalani operasi nonkardiak risiko tinggi, adanya riwayat infark jantung,
hipertensi dan depresi ST pada EKG

Sindrom koroner akut, termasuk infark jantung akut

KONTRAINDIKASI
Alergi zat kontras, aspirin
Kardiovaskular: gagal jantung berat (syok kardiogenik akibat infark jantung akut kadang-
kadang justru merupakan indikasi), hipertensi berat, aritmia mayor, seperti takikardia
ventrikel yang berulang. takikardia atrium dengan respons ventrikel cepat.
Diabetes mellitus berat tak terkontrol
Gangguan elektrolit: hipokalemia, hiponatremia
Gastrointestinal: hepatitis akut. perdarahan saluran cerna
Hematologi: trombositopenia < 50000/dl. leukositosis tanpa sebab jelas, Hb < 10 g/dl)
Neurologis : penyakit serebrovaskular dalam 2-4 bulan
Renal: gagal ginjal
Sistemik : infeksi bakterial, demam tanpa sebab yang jelas
Persiapan
Evaluasi adanya indikasi dan kontraindikasi
Laboratorium rutin : darah lengkap. ureum. kreatinin, elektrolit, gula darah,.
EKG dibuat pada hari yang sama sebelum Percutaneus Transluminal Coronary
Angioplasty (PTCA)
Bila ada kecurigaan gagal jantung atau kelainan paru perlu dibuat foto dada
Film angiografi terakhir hams dinilai sebelum menentukan strategi tindakan
Aspirin dan tiklopidin diberikan minimal 3 hari sebelum tindakan.
307
PROSEDUR TINDAKAN
5. Akses pembuluh darah dapat melalui arteri femoralis atau radialis
6. Akses melalui arteri brakhialis jarang dilakukan
7. Heparin (150 U/kgBB) diberikan intravena atau intraarteri dan selanjutnya diberikan tiap
jam 2500 U untuk mempertahankan nilai ACT > 300 detik
8. Pemasangan alat pacu jantung sementara tidak rutin dilakukan dan dilakukan bila
dikhawatirkan akan terjadi penyulit gangguan hantaran atrioventrikular yang berat
9. Melalui kateter (guiding catheter) dimasukkan kawat penuntun (guidewire) melewati lesi.
Dipilih balon dengan diameter sesuai dengan pembuluh yang akan didilatasi. Balon
dikembangkan dengan alat indeflator sampai stenosis terbuka
10. Balon dikempiskan dan ditarik. Dinilai dengan penyuntikan kontras, apakah dilatasi telah
cukup
11. Bila hasil masih suboptimal atau terjadi diseksi dapat dilakukan dilatasi ulang atau
dipasang stent
12. Pada akhir tindakan hams diyakini bahwa pasien secara klinis stabil dan angio gram
memperlihatkan hasil optimal dengan stenosis residual < 20%, aliran lancar. tak ada
diseksi bermakna atau trombus.
13. Selama tindakan PTCA, nitrat atau verapamil dapat diberi intrakoroner bila ] diperlukan.
Abciximab dapat diberikan pula
14. Pasca tindakan pasien dipantau di ICCU, minimal sehari.
15. Sheath ditarik pada hari yang sama bila waktu pembekuan darah normal atai
ACTkurangdari 150 detik.
16. Heparin tidak rutin diberikan pasca PTCA. Tiklopidin dibeirkan terutama bi dilakukan
pemasangan stent
17. Aspirin diberikan setemsnya bila tidak ada kontraindikasi
18. Obat-obat antiiskemik seperti nitrat dan antagonis kalsium umumnya diberika kecuali bila
ada kontraindikasi obat-obat tersebut. Bila tidak ada penyulit pas:e dipulangkan 2 hari
pasca PTCA.

PENILAIAN
-

LAMA TINDAKAN
-

KOMPLIKASI
Bila ada nyeri dada berulang, teliti apakah hal tersebut bukan angina dan j apakah ada
perubahan EKG
Hipotensi karena : dehidrasi, perdarahan, obat-obatan (nitrat, sedatif, antagc kalsium).
tamponade jantung (jarang sekali), infark jantung akut akibat
akut pembuluh yang didilatasi atau sepsis.
Insufisiensi ginja! akut
Fistula AV
Pseudoaneurisma
Hematoma
Oklusi trombotik
308
Diseksi
Gangguan neurologis
Infeksi

WEWENANG
RS Pendidikan : Internist-cardiologist/cardiologist dengan keahJian khusus dan
didampingi oleh tim PTC A. PPDS Penyakit Dalam / Kardiologi yang sedang / sudah
melalui Divisi Kardiologi: mempersiapkan dan membantu pelaksanaan.
RS Non Pendidikan : Internist /Cardiologist yang telah mempunyai sertifikasi

UNIT YANG MENANGANI


RS Pendidikan : Departemen Penyakit Dalam Di visi Kardiologi
RS Non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam / Kardiologi

UNIT TERKAIT
Bedah Jantung

REFERENSI
Santoso T. Pemasangan StentIntrakoroner. In: Sumaryono, A lwil, SudoyoA W . Simadibrata M,
Setiati S, GaniRA , MansjoerA , editors. Prosedur Tindakan Di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian limn Penyakit Dalam FKUI; 2001. p. 166-8

309
TES TREADMILL

PENGERTIAN
Tes treadmill merupakan salah satu modalitas noninvasif yang digunakan untuk menilai
pasien dengan dugaan atau terbukti menderita penyakit jantung.

TUJUAN
Memperkirakan prognosis dan menentukan kapasitas fungsional.

INDIKASI
Untuk diagnosis penyakit jantung koroner.
Penilaian risiko dan prognosis pada pasien dengan gejala atau riwayat penyakit jantung
koroner sebelumnya.
Pada pasien dengan IMA untuk menilai prognosis, toleransi aktivitas, evaluasi terapi
medis dan rehabilitasi jantung.
Evaluasi pasien dengan gejala berulang yang disertai iskemia pasca revaskularisasi.

KONTRA INDIKASI
Absolut:
Infark miokard akut.
Angina pektoris tidak stabil yang belum stabil dengan terapi medis
Aritmia yang tidak terkendali yang menyebabkan keluhan atau gangguan
hemodinamik.
Stenosis aorta berat simtomatik.
Gagal jantung simtomatik yang belum terkendali.
Emboli paru akut atau infark paru.
Miokarditis atau perikarditis akut.
Diseksi aorta akut.

Relatif:
Stenosis arteri koroner "left main ".
Penyakit jantung katup stenotik moderat.
Gangguan elektrolit.
Hipertensi berat.
Bradiaritmia dan takiaritmia.
Kardiomiopati hipertropik dan bentuk obstruksi "outflow tract".
Penurunan fisik dan mental yang menyebabkan ketidakmampuan melakui latihan secara
adekuat.
BlokAVderajattinggi.

PERSIAPAN
Pasien tidak makan atau merokok sekurang-kurangnya 2 jam sebelum tes.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menyingkirkan kontraindikasi tes.
Menanyakan obat-obat yang masih diminum.
EKG 12 standar pasien terlentang dan berdiri sebelum dilakukan tes .
310
PROSEDUR TINDAKAN
1. Perekaman elektrokardiografi dilakukan sebelum, selama dan setelah tes tread mill
diakhiri
2. Sebelum tes treadmill, perekaman EKG dilakukan pada pasien dengan posisi tidur, posisi
yang sesuai dengan posisi saat tes treadmill, dan setelah pasien diminta untuk bernapas
dalam dan cepat (hiperventilasi).
3. Selama tes treadmill gambaran EKG diambil melalui osiloskop, sedangkan perekamannya
dikerjakan 10-30 detik terakhir dari setiap beban tes treadmill, setelah tes treadmill
diakhiri, dan dalam interval-interval tertentu selam 6 menit berikutnya atau setelah
abnormalitas menghilang.
4. Biasanya minimal dikerjakan 1 perekaman baku dengan exploring electrode diletakkan di
posisi V5, sedangkan reference electrode disesuaikan dengan posisi listrikjantung.
5. Indikasi penghentian tes

Absolut:
Tekanan darah sistolik turun (menetap di bawah baseline) walaupun dengan peningkatan
beban latihan.
Nyeri dada angina baru atau meningkat.
Gejala susunan saraf pusat (pusing, hampir sinkop, ataksia).
Tanda perfusi perifer menurun (sianosis atau pucat).
Aritimia serius (ventrikular derajat tinggi seperti multiform, triplet, dan VT/SVT).
Kesulitan teknis dalam pemantauan EKG atau tekanan darah sistolik.
Pasien mintaberhenti.

Relatif:
Perubahan ST atau QRS seperti perubahan segmen ST > 3-4 mm, depresi junctional atau
perubahan aksis QRS.
Peningkatan rasa tidak enak di dada.
Lelah, sesak napas, wheezing.
Target HR 100% sudah tercapai.

LAMA TINDAKAN
-

KOMPLIKASI
Penurunan tekanan darah.
Angina sedang sampai berat.
Pusing, sinkop sebagi akibat peningkatan gejala sistem saraf.
Sianosis atau pucat.
Takikardia ventrikular.
Aritmia.
Gangguan konduksi.
Iskemia miokard.

311
WEWENANG
RS Pendidikan : dokter spesialis penyakit dalam/PPDS Penyakit Dalam yang sudah
melalui Divisi Kardiologi dengan supervisi dari konsultan kardiovaskular
RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
ICCU

REFERENSi :
Sugiri. Elektrokardiograft Pada Uji Latih Jantung. In: Noer S, W aspadji A, Rachaman
M.Lesmana LA, W idodoD, lsbagioH, etal, editors. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I,
edisi ketiga, Jakarta, Balai PenerbitFKUI ;1996. p.934-8.
ChaiRman. Exercise Stress Testing. In : Braunwald E, eds. Heart Disease, 6th ed.

312
3.2

PULMONOLOGI

313
PUNGSI CAIRAN PLEURA

PENGERTIAN
Pungsi cairan pleura adalah tindakan aspirasi cairan pleura dari rongga pleura dengan
jarum perkutan (= torakosentesis)

TUJUAN
Diagnostik efusi pleura atau terapeutik / drainase.

INDIKASI
Efusi pleura

KONTRA INDIKASI
Keadaan sepsis

PERSIAPAN
1. Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga,
indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul, serta kemungkinan yang akan terjadi bila
tidak dilakukan prosedur tersebut.
2. Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga menigisi dan menandatangani suratijin
tindakan.
3. Pemeriksaan hemodinamik (tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, suhu).
4. Menentukan lokasi cairan pleura dengan klinis dan radiologis. Efusi pleura yang sedikit
diperiksa foto toraks lateral dekubitus, bila mungkin dengan ultrasonografi yang lebih
baik membedakan cairan yang mengambang bebas dan terlokulasi.
5. Menyediakan alat dan bahan yang diperlukan: Lidocain 2 % ampul (4 ampul), Spuit (5 ml,
20 ml, 50 ml), Abocath no 16 G/ no 14 G, three way, dan blood set.

PROSEDUR TINDAKAN
1. Pasien berada dalam posisi duduk tegak, kedua lengan ke depan, sebaiknya kepala dan
kedua lengan ditopang meja.
2. Lokasi yang akan dipungsi diperiksa ulang dan diberi tanda dengan pen. Lokasi harus
bebas dari penyakit lokal. Untuk efusi yang besar, lokasi pungsi ialah di satu iga di bawah
batas atas perkusi pekak, di linea aksilaris posterior atau media. Pendapat lain ialah di sela
iga VI atau VII linea aksilaris posterior atau media. Pada efusi yang kecil, sebaiknya
dengan dibimbing USG.
3. Menggunakan sarung tangan steril.
4. A dan antisepsis daerah kulit di atas efusi pleura.
5. Bila aspirasi diagnostik hanya akan mengambil sedikit cairan, anestesi lokal umumnya
tidak diperlukan. Pada pasien yang tidak gemuk, digunakan jarum untuk pungsi vena
ukuran 21-G dengan syringe 50 ml.
6. Jarum ditusukkan tegak lurus terhadap dinding dada, sedikit superior dari tepi atas tulang
iga (- di bagian bawah ruang inter-kosta) untuk menghindari berkas neurovaskular. Seraya
menusukkan jarum, dilakukan penghisapan dengan syringe sampai cairan pleura
teraspirasi. Lalu ujungjarum diarahkan ke inferior.
314
7. Bila volume cairan lebih besar akan dikeluarkan, digunakan anestesi lokal ( Lidocaine 2 %
2-4 ml), three-way tap, dan kanul intravena (Abocath) 16-G.
8. Luka bekas pungsi ditutup kassa steril yang ditetesi iodium povidone (Betadine).
9. Contoh cairan dikirim untuk pemeriksaan analisis cairan pleura,, ^sitologi. mikrobiologi
sesuai indikasi.
10. Hemodinamik dimonitor sesuai dengan banyaknya cairan yang diambil, dan reaksi tubuh
pasien terhadap prosedur.

LAMATINDAKAN
Tergantung tujuan dan volume cairan: untuk diagnostik : 5 menit, terapeutik : 15 - 60 menit

KOMPLIKASI
Pneumotoraks, hemotoraks, edema paru re-ekspansi (terutama bila drainase terlalu cepat,
dan > 1 L cairan dikeluarkan pada satu saat), emboli udara.

WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam j yang
sedang dan sudah melalui Divisi Pulmonologi .PPDS Penyakit Dalam tahap I I dengan
pengawasan PPDS tahap II atau III atau supervisor
RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS Pendidikan : Departemen Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi, Departeri
Pulmonologi
RS Non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam, Pulmonologi

UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Departemen Radiologi / Radiodiagnostik, Departemen Bed Bedah Toraks
RS Non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah

REFERENSI
1. Rosenbluth DB. Pleural Effusions: Nonmalignant and Malignant. In Fishman A P,, J A , Fishman J A ,
Grippi MA , Kaiser LR, Senior RM (eds). Fishman's Pulmonary eases and Disorders.3rd ed. New Y ork:
McGraw-Hill; 2002.p. 487-506.
2. Colt HG, Mathur PN. Manual of Pleural Procedures. Philadelphia: Lippincott W ill & W ilkins; 1999.p.
155-161.
3. Light RW . Disorders of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm. In: Braunwak Fauci A S, Kasper DL,
Mauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Princ Internal Medicine. 15"' ed. New Y ork: McGraw-
Hill; 2001.p. 1513-6.
4. W oodcock A , V iskum K. Pleural and other investigations. In Brewis RA L, Conr0 Geddes DM,
Gibson GJ (eds). Respiratory Medicine. 2'"' ed. London: W B Saw:. 1995.p. 383-91.
5. Karlinsky JB, Lau J, Goldstein RH. Decision making in Pulmonary Medicine. Phi pliia: BC Decker;
1991.p. 12-3.
6. Sahn SA . Pleural diseases. In A merican College of Chest Physicians. IV 1 ' Nations Pulnwnarx Board
Review. Illinois: A CCP, 1996:243-53.

315
BIOPSI ASPIRASI JARUM HALUS

PENGERTIAN
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) atau fine needle aspiration biopsy (FNAB) adalah
pengambilan material jaringan kelenjar getah bening untuk dilakukan pemeriksaan sitologi dan
mikrobiologi. Kelenjar getah bening yang dimaksud di sini ialah kelenjar getah bening (KGB)
daerah submandibula, leher, atau supraklavikula.

TUJUAN
Mengambil bahan jaringan kelenjar getah bening untuk pemeriksaan sitologi dan
mikrobiologi.

INDIKASI
Pembesaran kelenjar getah bening di daerah submandibula, leher, supraklavikula, dengan
kecurigaan kelainan paru yang berhubungan dengan KGB tersebut.

KONTRAINDIKASI
Mutlak : tidak ada.
Relatif: gangguan koagulasi berat.

PERSIAPAN
Persiapan pasien:
1. Pemeriksaan DPL, masa perdarahan, masa pembekuan
2. Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga,
indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul,
3. Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga menandatangani surat ijin tindakan.
4. Dilakukan pemeriksaan hemodinamik (TD, nadi, frekuensi pernapasan, suhu).
5. Pasien diminta untuk buang air besar/kecil sebelum mulai tindakan

Bahan dan alat:


1. Jarum suntikukuran23G atau 25G
2. Syringe 2,5 mL atau 5 mL tanpa jarum
3. Kaca obyek 3 buah
4. Kasa steril
5. Larutan povidon iodine
6. Sarung tangan steril

PROSEDUR TINDAKAN
1. Memakai sarung tangan steril
2. Daerah benjolan/KGB, dan sekitarnya. dibersihkan dengan kasa steril yang telah dibasahi
dengan antiseptik, secara sentrifugal
3. Benjolan difiksasi dengan tangan kiri ( bila pemeriksa merupakan pengguna tangan kanan)
.
4. Jarum tanpa syringe ditusukkan ke benjolan dari pinggir ke tengah benjolan.
5. Setelah jarum masuk, ditarik sedikit lalu ditusukkan lagi ke arah kiri dan kanan arah
sebelumnya, kira-kira 3-7 kali tusukan
316
6. Jarum ditarik keluar sambil menutup lubang pangkal jarum
7. Syringe tanpa jarum mengaspirasi udara bebas
8. Jarum dipasangkan kepada syringe
9. Dekatkan ujung jarum ke tengah kaca obyek, lalu disemprotkan ( syringe dikosongkan)
10. Kaca obyek yang ada bahan aspirasi ditempelkan kepada kaca obyek bersih. sehingga
didapatkan 2 buah kaca obyek dengan bahan aspirasi
11. Kedua kaca obyek dibiarkan mengering di udara, lalu diberi tanda identitas dan segera
dikirim ke laboratorium
12. Bekas luka tusukan jarum ditutup dengan kasa steril yang telah dibubuhi cairan antiseptik

LAMATINDAKAN
5-10menit

KOMPLIKASI
Perdarahan

WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang
sedang dan sudah melalui Divisi Pulmonologi .PPDS Penyakit Dalam tahap I dengan
pengawasan PPDS tahap II atau III atau supervisor
RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi Departemen
Pulmonologi
RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi
UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Patologi Anatomi, Mikrobiologi
RS Non Pendidikan : Bagian Patologi Anatomi, Mikrobiolgi

REFERENSI
Syafei S, Prayogo N. Biopsi A spirasi Jarum Halus (BA JA H). In: Sumaryono, A lwi I, Sua A W ,
Simadibrata M, Setiati S, Gani RA , Mansjoer A , editors. Prosedur Tindakan di Bidj Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat lnfonnasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Da^. FKUl:1999.p.l03-4 .

317
PLEURODESIS

PENGERTIAN
Penyatuan permukaan pleura viseralis dan parietalis, secara permanen dengan cara
kimiawi, mineral, atau mekanik. Pleurodesis disebut jugapleural sclerosis.

TUJUAN
1. Mencegah berulangnya efusi pleura,
2. Menghindari torasentesis berikutnya, menghindari diperlukannya insersi chest tube
berulang,
3. Terapi simptomatisjangkapanjang,
4. Menghindari morbiditas yang berkaitan dengan efusi pleura atau pneumotoraks berulang
(trapped lung, atelektasis, pneumonia, insufisiensi respirasi, tension pneumothorax ),
5. Meningkatkan kualitas hidup dan aktitvitas kehidupan sehari-hari.

INDIKASI
1. Efusi pleura keganasan atau non-keganasan yang cepat berulang walaupun telah dilakukan
torasentesis volume besar, atau tidak respons terhadap terapi sistemik. Kandidat ideal
mempunyai tingkat tampilan yang memuaskan ( skor Karnofsky > 40 ), memiliki
perkiraan kesintasan > 3 bulan, dan menunjukkan perbaikan gejala setelah thoracentesis
sebelumnya.
2. Pneumotoraks spontan atau sekunder yang berulang, atau pneumotoraks pertama kali pada
pasien dengan risiko tinggi untuk rekurens atau dimana pneumotoraks berikutnya dapat
mengakibatkan morbiditas atau mortalitas yang bermakna

KONTRA INDIKASI
1. Pasien dengan perkiraan kesintasan < 3 bulan,
2. Tidak ada gejala yang ditimbulkan oleh efusi pleura,
3. Pasien tertentu yang masih mungkin membaik dengan teerapi sistemik (kanker mammae,
dll),
4. Pasien yang menolak dirawat di RS atau keberatan terhadap rasa tidak nyaman di dada
karena slang torakostomi.
5. Pasien dengan re-ekspansi paru yang tidak sempurna setelah pengeluaran semua cairan
pleura (trapped lung ).

PERSIAPAN
Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga,
indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul,
Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga mengisi dan menandatangani suratijin
tindakan.
Foto toraks dilakukan sebelum pleurodesis untuk memastikan bahwa paru-paru telah
mengembang sepenuhnya. Mediastinum dilihat untuk menilai tekanan pleura pada sisi
efusi dan kontra lateral,
Bila memungkinkan dilakukan bronkoskopi sebelum pleurodesis untuk menilai adakah
obstruksi di bronkus yang memerlukan radioterapi atau terapi laser.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik ulang
318
Dilakukan pemeriksaan hemodinamik (tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, suhu).
Hasil laboratorium dilihat ulang
Insersi chest tube bila belum terpasang. Semua cairan pleura dibiarkan keluar sampai
habis, atau produksi cairan maksimal 100 cc per 24 jam. Idealnya slang berada pada posisi
posterior-inferior.
Alat-alat:
- Klem chest tube 2 buah, catheter tip syringe (60 mL) 1 buah, mangkuk steril 1 buah,
sarung tangan steril, drape/duk steril, kassa steril,

Bahan-bahan:
- Larutanpovidon-iodine, 10 ampullidocaine2 %, 1 ampul pethidin50mg. cairan NaCl 0,
9 % steril,
Bahan sclerosing ( salah satu ):
- Agen sitotoksik: bleomisin 40 - 80 unit, atau mitoxantron 30 mg (20 mg/nvi.
dicampur dengan 30 -100 mL NaCl 0,9 %,
- Tetrasiklin dan turunannya: tetrasiklin 1.000 mg (35 mg/kgBB) atau minosiklin 300
mg ( 7 mg/kgBB) atau doksisiklin 500-1.000 mg, dicampur dengan 30 -100 mL NaCl
0,9 % dan 20 mL lidokain 2 %,
- Talk: 3 -10 g bubuk talk steril dilarutkan dalam 100 mL NaCl 0,9 % steril. Talc
disterilkan dengan radiasi sigma atau dalam autoclave dengan suhu 270F. Bubuk
dimasukkan dalam kolf NaCl 0,9 %, dikocok , lalu dituang dalam mangkuk steril.

PROSEDUR TINDAKAN
Tindakan dilakukan di ruangan pasien.
Dipasang jalur infus NaCl 0,9 %
Disiapkan O,
Posisi pasien setengah lateral dekubitus pada sisi kontra-lateral (sisi yang a,
chest tube berada di atas), tempatkan handuk di antara pasien dan tempat tidurj
Petidin 50 mg IM, 15-30 menit sebelum memasukkan zat pleurodesis
Chest tube di-klem dengan 2 klem, lalu dilepaskan dari adaptor / WSD
Klem dibuka sesaat, agar paru sedikitkolaps dalam rongga pleura
Lidokain 2 % 20 mL diinjeksikan melalui chest tube, kemudian klem kemb.
dipasang. Posisi pasien diubah-ubah agar merata di seluruh permukaan pleu
Dengan menggunakan teknik steril, agen sclerosing dicampur dengan larut
salin di mangkuk steril. Campuran diaspirasi dengan syringe
Syringe dipasangkan pada chest tube, kedua klem dibuka, larutan diinjeksii
melalui chest tube. Bilas dengan NaCl 0,9 %
Pasien diminta bernapas beberapa kali agar larutan tertarik ke rongga pleura
Klem segera dipasang kembali dan chest tube dihubungkan dengan adaptor
WSD
Hindari suction negatif selama 2 jam setelah pleurodesis. Pasien diubah-u
posisinya (supine, decubitus lateral kanan-kiri) selama 2 jam, lalu klem dicata^
Rongga pleura dihubungkan dengan suction bertekanan - 20 cmH,0

319
Pasca tindakan:
- Dilakukan foto toraks AP ulang untuk meyakinkan reekspansi paru, bila perlu setiap
hari
- Awasi tanda vital
- Monitor drainase chest tube harian
- Monitor kebocoran udara
- Perban diganti tiap 48 jam
- Kendalikan nyeri dengan analgetik Bila perlu spirometri insentif
- Mobilisasi bertahap, cegah thrombosis vena dalam
- Pertimbangkan mencabut chest tube bila drainase pleura harian < 100 mL atau tidak
terlihat lagi fluktuasi pada botol WSD

LAMA TINDAKAN
3 jam

KOMPLIKASI
Nyeri
Takikardia, takipnea, pneumonitis atau gagal napas (terutama setelah pemberian talc
slurry), edema paru reekspansi. Umumnya reversibel.
Demam. Berkaitan dengan pleuritis, hilang dalam < 48 jam.
Ekspansi paru inkomplit dan partially trapped lung.
Reaksi terhadap obat
Syok neurogenik

WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang
dan sudah melalui Divisi Pulmonologi. PPDS Penyakit Dalam tahap I dengan pengawasan
PPDS tahap II atau III atau supervisor
RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi. Departemen
Pulmonologi
RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi

UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Departemen Bedah/Toraks.
RS Non Pendidikan : Bagian Bedah

REFERENSI
1. Colt HG, Matlntr PN. Manual of Pleural Procedures. Philadelphia: Lippincott W lllunm
&W ilkins;1999.p. 155-161.
2. Rasmin M, Rogayah R, W ihastuti R, Fordiastiko, Zubaedah. Elisna S. Prosedur Bidang Paru dan
Pernapasan: Diagnostikdan Tempi. Jakarta: Bag. Pulmo 2001.p. 91-2.

320
BRONKOSKOPI

PENGERTIAN
Bronkoskopi merupakan proses visualisasi langsung dari percabangan trakeo-bronkial,
menggunakan alat bronkoskop flexible atau rigid.
Bilasan bronkus (Bronchial washing) = tindakan membilas daerah bronkus dan cabang-
cabangnya dengan cairan normal saline via bronkoskop, pada permukaan lesi.
Bronchoalveolar lavage (BAL) merujuk pada pengambilan sampel dari daerah yang tidak
tervisualisasi - parenkim paru yang lebih distal - dengan ujung bronkoskop menutup suatu
saluran subsegmental, kemudian normal sa line diinjeksikan untuk mendapatkan sel dan
organisme dari ruang alveolar.
Sikatan bronkus (Bronchial brushing) = tindakan menyikat daerah bronkus yang dicurigai
terdapat kelainan.
Biopsi forsep = tindakan biopsi dengan menggunakan alat biopsi forsep melalui
bronkoskop.
Biopsi aspirasi jarum transbronkial (transbronchial needle aspiration ITBNA | = tindakan
biopsi menembus trakeobronkus dengan jarum melalui bronkoskop untuk lesi/kelainan
yang menekan trakeobronkial.
Pengangkatan benda asing = pengambilan benda asing dalam saluran napas menggunakan
bronkoskop.
Biopsi Paru Transbronkial (Transbronchial Lung Biospy/TBLB ) karena membutuhkan
fluoroskopi C-arm, terapi laser, atau pemasangan stent trakeobronkial tidak dimasukkan
disini.

TUJUAN
TujuanUmum:
1. menilai keadaan percabangan bronkus
2. mengambil spesimen untuk diagnostik
3. melakukan tindakan terapeutik

Tujuan Khusus:
Bilasan bronkus : untuk mendapatkan spesimen untuk diagnostik ( sitologi dan
mikrobiologi) dan membersihkan bronkus dari sekret, darah, atau bekuan darah
Sikatan bronkus : untuk mendapatkan spesimen untuk pembuatan sediaan apus
sitologi dan pemeriksaan mikrobiologi.
Biopsi forsep : untuk mengambil spesimen dari mukosa trakeobronkial untuk
pemeriksaan histopatologi.
TBNA : untuk mendapatkan spesimen sitologi dari lesi yang menekaaJ
trakeobronkial.
Pengangkatan benda asing : untuk membebaskan saluran napas

321
INDIKASI
Diagnostik:
1. Nodul paru soliter
2. Penyakit kanker paru
3. Penyakitparuinterstisial(ILD)
4. TB endobronkial
5. Batuk menetap atau terdapat keluhan perubahan sputum
6. Kelainan foto toraks yang belum jelas penyebabnya
7. Pneumotoraks: bila paru tidak mengembang
8. Hemoptisis
9. Sputum sitologi positif, tetapi foto toraks normal
10. Pengambilan spesimen pasien dengan ventilasi mekanik
11. Paralisis n. recurrens / diafragma
12. Suara serak yang belum jelas penyebabnya
13. Wheezing lokal
14. Cedera inhalasi akut
15. Perioperatif

Terapeutik:
1. Lavage
2. Pengeluaran benda asing
3. Penanganan hemoptisis masif
4. Abses paru
5. Terapi paliatifuntuk kanker

Bilasan bronkus:
- Diagnostik : penyakit paru infeksi, penyakit paru kerja, ILD, keganasan
- Terapeutik : evakuasi bahan yang ter-aspirasi / inhalasi Pasca operasi

Sikatan bronkus:
- Kelainan di daerah trakeobronkial: jaringan infiltratif Curiga TB endobronkial Infeksi
saluran napas bawah

Biopsi forsep:
- Kelainan di daerah trakeobronkial: massa keganasanjaringan granulomatosa-Benda
asing kecil

TBNA:
- Lesi yang mendesak dari Iuar trakea dan bronkus utama atau pembesaran KGB
paratrakea, subkarina, tetapi tidak ditemukan lesi intralumen
- Karina tumpul karena desakan dari luar
- Tumor intralumen yang mudah berdarah, atau tidak memberikan hasil dengan sikatan
bronkus.

Pada sebagian besar kasus, digunakan bronkoskop flexible. Bronkoskop rigid untuk kasus
dimana diperlukan patensi saluran napas dan ventilasi yang lebih baik (saluran napas yang kecil),
322
pengambilan darah/ sekret/ jaringan tumor/ benda asing.

KONTRA-INDIKASI
(relatif):
1. Hipoksemia ireversibel (PO, <60mmHg)
2. Aritmia
3. Penyakitjantung iskemik
4. Asma
5. Obstruksi vena cava superior
6. Diathesis perdarahan, termasuk thrombositopenia dan gagal ginjal kronik
7. pasien tidak kooperatif

PERSIAPAN
Pasien:
Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga,
indikasi, dan komplikasi yang mungkin tirabul,
Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga menandatangani surat ijin tindakan.
Pemeriksaan DPL, BT, CT, ureum, elektrolit, AGD
Foto toraks PA dan lateral
Spirometri
EKG
Pada pasien asma diberikan nebulisasi dengan beta 2 agonis 30 menit sebelum
- tindakan.
Pasien dengan gangguan perdarahan/pembekuan diberikan trombosit atau FTP
- segera sebelum tindakan.
Puasa, minimal 4 jam sebelum tindakan.
PasanglVFD.
Pemeriksaan hemodinamik (tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, suhu).

Ruangan:
Dilakukan di ruang tindakan Divisi Pulmonologi, kecuali darurat.
Alat:
1 set peralatan bronkoskopi
Sumber O, dengan aparatusnya
Mouth piece
Larutan povidon iodine diencerkan untuk membersihkan bronkoskop
Kassa steril
Kain penutup mata pasien
Pulse oxymeter
Mucus corrector I Wadah penampung cairan bilasan
Untuk Sikatan bronkus: sikat tanpa selubung, sikat dengan selubung, sikat kateter
ganda tertutup polietilenglikol, gelas obyek 6 buah, alkohol 96 %
Untuk Biopsi forsep: alat biopsi forsep, wadah berisi formalin 40 %
Untuk TBNA: alat jarum TBNA, syringe 10 ml, syringe 20 mL, wadah berisi formalin 40 %
Bahan:
Sulfas atropin (SA) 0,25 mg, 1-2 ampul
323
Diazepam 5 mg. 1 ampul
Lidokain 2 %, 2 ampul @ 20 mL
Syringe 5 cc. 3 buah
Syringe 20 cc, 3 buah
CairanNaC10,9%
Xilokain spray 10 %
Obat resusitasi: Adrenalin ampul, dexamethason ampul, SAampul, Na-bikarbonat ampul,
bronkodilator ampul).

PROSEDUR TINDAKAN
Periksa tanda vital, status paru dan jantung
Premedikasi dengan Sulfas Atropin 0,25 - 0,5 mg IM, 1 jam sebelum bronkoskopi
Sesaat sebelum tindakan: Diazepam 5 mg IM
Anestesi lokal:
- Kumur tenggorok dengan lidokain 2 % 5 mL selama 5 menit dalam posisi duduk
- Xilokain spray 10 % 5 - 7 semprot daerah laringo-faring dan pita suara ( menggunakan
kaca laring)
- Bila via hidung: semprotkan 30 mg lidokain 4 % atau 10 % ke ostium nasal Instilasi
lidokain 2 % 2 mL ke trakea via pita suara
Pasien terlentang, tubuh bagian atas / punggung disangga, membentuk sudut 45
Ditempatkan bantal di belakang kepala, supaya otot leher menjadi lemas
Bronkoskopi diinspeksi dan kejernihan gambar diperiksa
Sensor oxymeter ditempelkan pada jari telunjuk pasien
0,3-4 L/mmelaluikanul nasal
Kedua mata pasien ditutup dengan kain penutup untuk mencegah terkena larutan lidokain /
cairan pembilas
Diletakkan mouth piece di antara gigi atas dan bawah untuk melindungi bronkoskop
Bronkoskop mulai dimasukkan melalui celah mouthpiece
Faring diinspeksi
Instrument dimasukkan ke dorsal/epiglottis, mobilitas pita suara dilihat pada saat pasien
menyebutkan "ii"
Pita suara diinstilasi dengan lidokain 1-2 mL melalui saluran di bronkoskop. Sebelum
diinstilasi, pasien diberitahu bahwa hal itu dapat merangsang batuk. Instilasi lidokain dengan
jumlah yang sama dapat diulangi bila pasien terbatuk selama dilakukan tindakan. Lidokain
yang berlebihan diaspirasi dari sekitar laring
Instrument dimasukkan melalui bagian terlebar dari glotis pada saat inspirasi tanpa
menyentuh pita suara. Sebelumnya pasien diberitahu bahwa hal ini dapat menimbulkan
sensasi tercekik yang segera hilang
Trakea, karina, dan percabangan bronkus dinilai dan dianestesi dengan lidokain 2 % 2 mL,
maksimal 6 kali. Lobus superior paru kanan dan kiri dianestesi dengan injeksi langsung
lidokain (dosis maksimal instilasi lidokain 400 mg)
Inspeksi menyeluruh dilakukan pada semua percabangan bronkus sampai bronkus
subsegmental
Bila pandangan terhalang oleh sekret pada lensa distal, semprot dengan 5 mL NaCl 0,9 9c
yang diaspirasi kembali saat pasien batuk. Alternatif adalah mem-fleksikan ujung bronkoskop
dan dengan hati-hati diusapkan pada mukosa trakea atau bronkus
324
Untuk bilasan bronkus:
setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai, dimasukkan cairan NaCl
0,9 % hangat 5 mL,
cairan segera diaspirasi lagi dan ditampung dalam wadah penampung khusus yang
dipasang pada alat bronkoskop.
Tindakan ini diulangi sampai cukup bersih atau didapat spesimen

Untuk sikatan bronkus:


setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai terdapat kelainan. alat
sikat dimasukkan melalui bronkoskop
dilakukan sikatan beberapa kali sampai dirasa cukup
setelah selesai melakukan sikatan, alat sikat ditarik ke dalam kanal bronkoskop dan
dikeluarkan dari trakeobronkial bersama bronkoskop
setelah berada di luar, sikat dikeluarkan dari ujung bronkoskop sepanjang 5 cm,
kemudian sikat dijentikkan pada gelas obyek dan dibuat sediaan apus (bila sikat tanpa
selubung, untuk pemeriksaan kanker paru) atau ujung sikat digunting dan dimasukkan ke
dalam pot steril berisi media transpor / media kultur (sikat kateter ganda untuk
pemeriksaan mikroorganisme)
sediaan apus untuk pemeriksaan sitologi direndam dalam wadah berisi alkohol 96 %

Untuk biopsi:
setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai terdapat kelainan. ujung
bronkoskop ditempatkan 4 cm di atas daerah tersebut
alat biopsi forsep dimasukkan melalui manouver channel sampai terlihat keluar dari ujung
bronkoskop.
Asisten membuka forsep, lalu forsep didorong sampai terbenam di massa,
forsep ditutup, lalu ditarik sambil melihat jaringan yang didapat (jaringan nekrotik
dihindari)
setelah biopsi selesai, forsep bersama material yang didapat ditarik keluar dari
bronkoskopi spesimen direndam dalam wadah berisi cairan formalin 40 %
bronkoskop dilanjutkan untuk evaluasi, bila ada perdarahan harus diatasi. Setelah tidak
ada masalah lagi, bronkoskop dikeluarkan

Untuk TBNA:
Setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai terdapat kelainar.. I ujung
bronkoskop ditempatkan + 4 cm di atas daerah tersebut.
Alat biopsi jarum dimasukkan melalui manouver channel sampai terlihat keluar I dari
ujung bronkoskop
Jarum dikeluarkan dari selubungnya, bronkoskop didorong ke sasaran sampail jarum
menembus mukosa bronkus atau menembus bronkus pada lesi vanjM menekan bronkus
Operator melakukan biopsi dengan cara menekan dan menarik jarum, sementara I asisten
melakukan aspirasi dari ujung proksimal jarum dengan syringe 10 - M mL beberapa kali
Bila sediaan dianggap cukup, pengisapan dengan semprit dihentikan dan jaruiJ
dimasukkan kembali ke dalam selubungnya
Jarum dikeluarkan dari bronkoskop
325
Setelah berada di luar, jarum dikeluarkan dari selubungnya dan ditempatkan di atas gelas
obyek dan dengan menggunakan syringe 10-20 mL yang dihubungkan dengan ujung
jarum TBNA, material didorong ke gelas objek untuk dibuat sediaan apus
Sediaan apus direndam dalam wadah berisi cairan formalin 40 %
bronkoskop dilanjutkan untuk evaluasi, bila ada perdarahan harus diatasi. Setelah tidak
ada masalah lagi, bronkoskop dikeluarkan

Untuk Pengambilan benda asing,


digunakan:
- Grasping forceps untuk mengeluarkan benda pipih atau tipis anorganik (pin), atau
organik tapi keras (tulang)
- Basket untuk benda berukuran besar dan bulky
- Magnet untuk benda logam yang kecil, jarum, klip

Setelah spesimen sitologi, mikrobiologi dan biopsi atau benda asing diambil, sekret
berlebihan diaspirasi, hemostasis diyakinkan, dan instrumen dicabut
Pasca tindakan diterangkan kepada pasien kemungkinan adanya sedikit darah saat batuk,
yang akan hilang dalam 48 jam. Dianjurkan tidak makan atau minum selama 2 jam setelah
tindakan karena efek anestesi topikal

LAMA TINDAKAN
ljam

KOMPLIKASI
Yang berhubungan dengan premedikasi: depresi pernapasan, hipotensi transien, sincope,
hipereksitabilitas.
Yang berhubungan dengan analgesia topikal (jarang dengan lidocaine ):Henti napas, konvulsi,
kolaps kardiovaskular, laryngospasme, metHemoglobinemia.
Yang berhubungan dengan bronkoskopi :Laryngospasme, respiratory compro-mwe/depresi
napas, bronkospasme, demam pasca bronkoskopi, epistaksis (bila via nasal), henti jantung,
aritmia, syncope, pneumonia, infeksi silang.
Yang berhubungan dengan biopsi transbronkiakpneumotoraks, perdarahan.
Yang berhubungan dengan lavage / BAL : demam.

WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam Divisi Pulmonologi dan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam dengan sertifikasi
PPDS Penyakit Dalam membantu persiapan dan pelaksanaan.
RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi. Pulmonologist.
UNIT YANG MENANGANI
RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi. Departemen
Pulmonologi

326
RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI

UNIT TERKAIT
RS Pendidikan: Departemen Radiologi / Radiodiagnostik Departemen Bedah / Bedah
Toraks, Patologi Anatomi
RS Non Pendidikan: Bagian Radiologi, Bedah, Patologi Anatomi

REFERENSI
1. Halpin D, Collins J. Invasive Techniques: Bronchoscopy and Lavage. In Brewis RA L, Corrin B,
Geddes DM, Gibson GJ (eds). Respiratory Medicine. 2'"' ed. London: W B Saunders; 1995.p.362-73.
2. Rasrnin M, Rogayah R, W ihastuti R, Fordiastiko, Zubaedah, Elisna S. Prosedur Tindakan Bidang Paru
dan Pernapasan: Diagnostik dan Tempi. Jakarta: Bag. Pulmonologi FKUI; 200Lp. 2-15.
3. Sternum DH. Bronchoscopy, Transthoracic Needle A spiration, and Related Procedures. InFishmanA P,
EliasJA , FishmanJA , GrippiMA , KaiserLR, SeniorRM(eds). Fishman's Manual of Pulmonary Diseases
and Disorders.3"' ed. New Y ork: McGraw-Hill; 2002.p. 75-91.
4. W einberger SE, Drazen JM. Diagnostic Procedures in Respiratory Disease. In: Braunwald E, Fauci
A S, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine.15'1 '
ed. New Y ork: McGraw-Hill; 2001.p. 1455.

327
SPIROMETRI

PENGERTIAN
Spirometri adalah pemeriksaan untuk mengukur volume paru static dan dinamik dentgan alat
spirometer. Volume udara total di paru0paru tebgai atas kompartemen (volume) dan kapasitas (kombinasi
dari 2 atau lebih volume).
Volume adalah keadaan statis :
Tidal volume = TV
Ekspiratory reserve volume = ERV
Inspiratory reserve volume = IRV
Residual volume = RV
Vital capacity = VC
Force vital capacity = FVC
Inspiratory capacity = IC
Functional residual capacity = FRC
Total lung capacity = TLC
Volume Dinamik :
Volume expired in the first second = FEVI
Maximal voluntary ventilation = MVV

Interpretasi : klasifikasi pola abnormal terdiri atas :


1. Pola obstruksi (karena penyempitan jalan nafas, dan perlambatan arus udara)..
2. Pola restriksi ( karena penyakit parenkim paru, dinding dada, rongga pleuran, neuromuscular yang
mengurangi kapasitas vital, dan volume-volume paru).
3. Pola campuran obstruksi restriksi (karena proses patologis yang mengurangi volume udara,
kapasitas vital, dan arus udara, dan termasuk penyempitan jalan nafas).
4. Transfer udara abnormal (abnormaitas membrane alveolus kapiler)

Katagori Obstruksi berdasarkan pengukuran FEVI/FFC%:


Normal : nilai FEVI/FVC% > 69%
Obstruksi Ringan : 61 - 69 %
Obstruksi Sedang : 45 - 60%
Obstruksi Berat : < 45%
Katagori Restriksi berdasarkan rasio VC didapat /VC prediksi :
Normal : VC% 81%
Restriksi Ringan : 66 - 80 %
Restriksi Sedang : 51 - 65%
Restriksi Berat : 45%

Tujuan
1. Menilai status faal baru : norma, hiper inflasi, obstruksi, restriksi, atau campuran
2. Menilai manfaat intervensi/pengobatan
3. Evaluasi perkembangan penyakit
4. Menentukan prognosis
5. Menentukan toleransi tindakan bedah :
- Menentukan resiko ringan, sedang, atau berat
- Menentukan apakah dapat dilakukan reseksi paru

INDIKASI
1. Penderita sesak napas
328
2. Penderita asma dalam keadaan stabil untuk mendapatkan nilai dasar, selanjutnya setiap 6 bulan
3. Penderita PPOK dalam keadaan stabil untuk mendapatkan nilai dasar PPOK dan penyakit obstruksi
lainnya, selanjutnya setiap 3-6 bulan
4. Penderita asma dan PPOK setelah pemberian bronkodilator untuk melihat efek pengobatan
5. Penderita yang akan mengalami tindakan bedah dengan anestesi umum
6. Penderita yang akan mengalami tindakan torakotomi
7. Pemeriksaan berkala pada orang-orang yang merokok : sekali setahun

KONTRA INDIKASI
Absolut : tidak ada
Relatif : hemoptitis, pneumotoraks, infark miokard, emboli paru, status kardiovaskular
tidak stabil, pasca bedah mata, infeksi viral (2-3 minggu terakhir)
PERSIAPAN
Alat :
Spirometri
Mouth piece 1 buah

Penderita
Tidak menggunakan obat bronkodilator minimal 8 jam (kerja singkat) atau 24 jam (ketja panjang)
Tidak merokok atau makan kenyang dalam 2 jam sebelum pemeriksaan
Tidak berpakaian ketat
Diterangkan tujuan dan cara pemeriksaan, serta contoh cara melakukan pemeriksaan
Diukur tinggi badan, berat badan

PRUSEDUR TINDAKAN
Posisi berdiri tegak, kecuali jika tidak memungkinkan : dalam posisi duduk
Penderita menghirup udara semaksimal mungkin, kemudian meniup melalui mouth piece sekuat-
kuatnya dan semua udara dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya, dengan tidak ada udara yang
bocor melalui celah antara bibir dan mouth piece
pemeriksaan dilakukan untuk mendapatkan 3 nilai yang reproduksibel (beda antara 2nilai terbesar
dari ketiga percobaan 5% atau 100mL)

LAMA TINDAKAN
10 menit

KOMPLIKASI
Pneumotoraks, peningkatan tekanan intracranial, sinkope, sakit kepala, pusing, nyeri dada, batuk,
infeksi nosokomial, desaturasi oksigen.

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter spesialis Penyakit dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan
sudah melalui Divisi Pulmonologi, Divisi Alergi Imunologi
RS non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Penyakit dalam Divisi Pulmonologi, Divisi Alergi Imunologi
RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam, Pulmonologi
UNIT TERKAIT
-

329
REFERENSI
1. Grippi MA , Bellini LM. Pulmonary Function & Cardiopulmonary Exercise Testing.
Philadelphia : Lippincott W illiams & W illkins ; 2002.p.31-40
2. Y unus F. Pemeriksaan Spirometri. Prosiding W orkshop on Respiratory Physiology and Its Clinical
A pplication. Jakarta, 28-29 Juni 1997
3. Rasmin M, Rogayyah R, W ihastuti R, Fordiastiko, Zubaedah, Elisna S. Prosedur tindaka Bidang Paru
Dan Pernapasan : Diagnostik dan Terapi. Jakarta :Bag. Pulmonologi FKUI;2001.p.28-32

330
BIOPSI PLEURA
PENGERTIAN
Biopsi Pleura adalah tindakan untuk mengambil specimen jaringan pleura parietal secara trans
toraka

TUJUAN
Untuk mendiagnosis penyakit-penyakit pleura, seperti tuberpulosis dan keganasan

INDIKASI
Bila torasentesis sebelumnya tidak memberikan hasil diagnostic yang diaharapkan
Untuk meningkatkan ketepatan diagnostic pada saat torasentesis inisial pada pasien dengan efusi
pleura yang belum dapat diterangkan atau penebalan pleura, terutama jika dicurigai karsinomatosis
pleura atau tuberklosis

KONTRA INDIKASI
Gangguan fungsi koagulasi yang belum teratasi, pneumotoraks, pasien tidak kooperatif, pasien
yang mendapatkan positive pressure ventilation (PPV)

PERSIAPAN
Bahan dan Alat
Jarum diopsi
Scalpel no. 11
Klem Kelly
Cairan anti septik, sarung tangan steril, kasa, handuk steril
Lidokain 1% 20ml
Spuit 2cc & 10cc
Jarum no.25.
Tempat specimen dengan larutan formalin 10%

Persiapan pasien :
1. Pemeriksaan DPL, DT, CT
2. Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan krpada pasien dan keluarga, indikasi, dan
komplikasi yang mungkin timbul
3. Setelah mengerti dan setuju, pasien pasien dan keluarga menandatangani surat ijin tindakan
4. Dilakukan pemeriksaan Hemodinamik (tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, suhu)

PROSEDUR TINDAKAN
1. Pasien duduk dengan posisi santai
2. Tetapkan lokasi biopsio, pada sela iga linea aksilaris posterior
3. Gunakan sarung tangan steril dan latih penggunaan jarum Abrams
4. Asepsis dan antisepsis daerah tindakan
5. Anestesi daerah tindakan dengan jarum No. 25 untuk bagian luar, dan jarum no. 20 untuk bagian
dalam
6. Dilakukan sayatan 3mm dengan scalpel pada kulit atau jaringan interkostal yang dipilih
7. Dorong jarum Abrams dengan gerakan memutar dalam posisi tertutup sampai terasa ada hambatan.
Putar alat kedalam posisi terbuka dan aspirasi dengan spuit. Adanya cairan membuktikan
pemotongan berada diruang pleura
8. Letakkan pemotongan diposisi jam 6. Pemotongan dikeluarkan bila pleura parietal telah diperoleh,
jarum pemotong diputar diposisi tertutup dan keluarkan
331
9. Letakkan specimen pada kaldu untuk M.Tuberkulosis dan Kultur jamur, sedangkan yang lainnya
diletakkan dalam formalin 10% untuk pemeriksaan histology
10. Ulang prosedur ini sampai 5kali dengan jarum pemotong dan di arahkan kebawah abtara posisi
jam 2 dan jam 10. Jarum pemotong jangan diarahkan keatas oleh Karen dapat merusak saraf, dan
pembuluh darah interkostal
11. Jika ingin mengeluarkan cairan pleura, gunakan jarum torakosentesis atau jarum Abrams
12. Luka ditutp dengan perban dan jika diperlukan dapat diajhit

Tehnik memakai jarum cope


1. Pasien duduk dengan posisi santai dan nyaman
2. Tetapkan lokasi biopsy, pada sela iga linea aksilaris posterior
3. Gunakan sarung tangan steril dan latih penggunaan jarum cope
4. Asepsis dan antisepsis daerah tindakan
5. Anestesi daerah tindakan
6. Buat insisi pada kulit sepanjang 3mm
7. Masukkan ujung stoker kedalam kanula luar, tusukkan kedinding dada dan tarik stoker dengan
gerakan memutar sampai cairan teraspirasi
8. Keluarkan trokar dari kanula luar dan masukkan kaitan trokar biopsy dalam. Untuk mencegah
udara memasuki ruangan pleura ketika trokar dikeluarkan dari kanula luar pasien dianjurkan untuk
menahan napas
9. Tempatkan pemotong kait trokar biopsy antara 2 jam dan 10 jam, gunakan penutup metal pada
proksimal trokar biopsy sebagai tuntunan jika inging mengeluarkan cairan p;lbiopsy
10. Cabut perlahan-lahan trokar biopsy dan kanula bersama-sama sampai kait trokar terangkat
11. Masukkan kanula luar kedalam dada dengan gerakan memutar sambil tetap berusaha menarik
trokar biopsy. Tarik trokar biopsy dari kanula luar dan keluarkan hasil biopsy
12. Trokar dapat dimasukkan ulang kedalam kanula luar dan dapat dilakukan biopsy tambahan. 3
sampai 6 spesimen dapat diperoleh dari kait biopsy dengan arah yang berbeda-beda. Letakkan 1
jaringan specimen pada kaldu M. Tuberkulosis dan kultur jamur
13. Sedangkan lainnya dapat diletakkan pada cairan formalin 10% untuk pemeriksaan histology
14. Jika ingin mengeluarkan cairan pleura, dapat melalui kanula luar
15. Tutup tempat fungsi dengan perban. Jika perlu dapat dijahit

Evaluasi pasca Biopsi Pleura


Observasi tanda-tanda pneumotorak
Foto dada PA

LAMA TINDAKAN
10 15 mnt

KOMPLIKASI
Pneumotoraks, pendarahan, kerusakan saraf interkostal dengan gejala nyeri sisa dan berkurangnya
sensibilitas, nodul tuberculosis pada lokasi, emfisema subkutan, reaksi vasovagal

WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit dalam Subspesialis pulnomologi. PPDS Penyakit
Dalam membantu persiapan dan pelaksanaan
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam , Pulnomologi

332
UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Departemen Radiologi / Radiagnostik Departemen Bedah/ Bedah Toraks,
Patologi, Anatomi
RS non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah, Patologi Anatomi

333
3.3

REUMATOLOGI

334
PENYUNTIKAN INTRA ARTIKULLAR

PENGERTIAN
Penyuntikan intra artikullar merupakan suatu terapi local dengan tujuan memberikan analgesic
anti inflamasi di daerah sendi

TUJUAN
Memberikan efek analgesic antiinflamasi di daerah sendi

INDIKASI
1. Aspirasi cairan sendi : tindakan ini penting dalam rangka memastikan diagnosis jika penyebab efusi
sendi berupa sepsis, deposit Kristal atau pendarahan. Juga berguna dalam membedakan kelainan sendi
inflamatif atau non inflamatif. Aspirasi juga mempunyai arti terapeutik denagn jalan mengeluarkan
darah, pus, cairan sendi yang terlalu banyak atau yang mengandung Kristal
2. Suntikan/ pemberian obat : penyuntikan bahan tertentu kedalam ruang sendi merupakan prosedur
terapeutik, dan dilakukan dalam keadaan-keadaan sebagai berikut, dengan syarat infeksi harus telah
disingkirkan :
a) Hanya 1 atau beberapa sendi yang meradang
b) Hanya 1 atau beberapa sendi yang lebih meradang dari yang lain
c) Jika terapi sistemik dikontra-indikasikan
d) Sebagai pelengkpa terapi sistemik terhadap kelainan/keradangan sendi yang sulit diatasi
e) Membantu mobilisasi dan mencegah deformitas sendi, bersama-sama dengan program
rehabilitasi
f) Keluhan reumatik ekstra-artikular : bursitis, tenosinovitis, nerve entrapement syndhrome dsb
g) Menghilangkan nyeri dengan cepat
h) Biasanya tidak diberikan pada osteoarthritis, kecuali pada kasus tertentu yaitu untuk
menghilangkan nyeri pada osteoarthritis yang menunjukkan inflamasi local

KONTRAINDIKASI
1. Infeksi local
2. Hipersensifitas terhadap bahan yang disuntikkan
3. Diathesis henoragik
4. Sendi yang tidak stabil
5. Fraktur intra-artikular
6. Sendi yang tidak dapat dicapai
7. Osteo[orosis juksta-artikular yang berat
8. Kegagalan suntikan terdahulu
9. Tidak ada indikasi yang tepat
10. Lesi yang mungkin tidak akan memberikan respons terhadap suntikan
11. Psikologis : penderita neurosis mungkin akan bergantung kepada suntikan
12. Pasien yang takut disuntik

PERSIAPAN
Semua perlengkapan yang dipakai harus steril. Umumnya dipakai spuit dan jarum yang diposable.
Ukuran jarum yang dipakai disesuaikan dengan besar sendi yang akan disuntik. Juga tidak boleh
dilupakan botol kecil tempat menampung aspirat guan pemeriksaan cairan sendi lebih lanjut.

335
PROSEDUR TINDAKAN
Sebaiknya penyuntikan dilakukan dalam lingkungan yang aseptic. Hendaklah ditimbulkan kesan
pada penderita bahwa prosedur ini bukanlah prosedur yang sulit. Jarang diperlukan obat penenang.
Penentuan tempat yang tepat sangat penting. Keberhasilan suntikan local sangat bergantung kepada
pengetahuan antomis daerah yang bersangkutan. Sebelum melakukan penyuntikan, dokter harus
mempunyai gambaran yang jelas tentang tempat yang akan disuntik dan jaluir yang akan dilakui oleh
jarum suntik. Penderita harus dalam posisi sedemikian rupa sehingga struktur disekitar sasaran suntikan
dalam keadaan rileks. Kemudian dilakukan pembersihan serta tindakan asepsis dan antisepsis pada tempat
yang akan disuntik. Draping hanya diperlukan pada penderita imunokompromis atau jika diperkirakan
prosedur akan berlangsung lama atau sulit. Tindakan untuk mengurangi sensasi tusukan jarum (misalnya
semprotan etilklorida atau anestesi local atau infiltrasi lidokain menuju jarum yang sangat halus) kadang-
kadang diperlukan.

KOMPLIKASI
Komplikasi suntikan local :
1. infeksi, dengan insidens 1 dari 1000-16000 pada dokter yang berpengalaman
2. pendarahn, jika merata harus dicurigai trauma atau gangguan mekanisme perdarahan. Lalu
lakukan aspirasi dan jangan lakukan penyuntikan
3. kerusakan rawan sendi, dapat terjadi akibat trauma oleh ujung jarum suntik.
4. nekeosis aseptic, terjadi akibat infark tulang subkhondral
5. atrofi kulit, dan jaringan subkutan
6. sinovitis Kristal
7. rupture tendo/ligament
8. supresi korteks adrenal

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam yang sedang/sudah melalui divisi Rematologi
RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit - Divisi Reumatologi
RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Departemen Bedah / Ortopedi
RS Non Pendidikan : Bagian Bedah

336
ASPIRASI CAIRAN SENDI/ARTROSENTESIS

PENGERTIAN
Aspirasi cairan sendi/artrosentesis merupakan tindaka yang sering dilakukan dibidang reumatologi.
Tindakan aspirasi dan analisis cairan sendi sangat penting artinya dalam diagnosis dan tata laksana
beberapa penyakit sendi seperti artritis septik dan artritis gout. Sendi-sendi tertentu seperti sendi lutut lebih
sering mengalami afusi daripada sendi lainnya.

TUJUAN

INDIKASI
Diagnostik
1. Membantu diagnosis artritis
2. Memberikan konfirmasi diagnosis klinik
3. Selama pengobatan arthtritis septik, dilakukan secara serial untuk menghitung jumlah leukosit,
pengecatan gram, dan kultur cairan sendi
Terapeutik
1. Artrosentesis evakuasi kristal untuk mengurangi inflamasi pada pseudogout akut dan crystal
induced artritis yang lain evakuasi serial pada arthtritis septik untuk mengurangi destruksi
(drainase)
2. Pemberin kortikosteroid intraartikular mengontrol inflamasi steril pada sendi-sendi secara
maksimal merupaka kunci dimana obat anti inflamasi nonsteroid telah gagal, kemungkinan akan
gagal atau merupakan kontraindikasi-mempersingkat periode kesakitan, pada inflamasi yang self
limited (gout)-menghilangkan nyeri inflamasi dengan cepat-membantu terapi fisik pada kontraktur
sendi.

KONTRAINDIKASI
Diagnostik : infeksi jaringan lunak yang menutupi sendi, bakteremia, anatomis tidak bisa dilakukan,
pasien tidak kooperatif
Terapeutik : kontraindikasi diagnostik, instabilitas sendi, nekrosis avaskular, artritis septik, osteonekrosis,
sendi neurotropik

PERSIAPAN
Bahan dan alat :
SPUIT SESUAI KEPERLUAN
JARUM SPUIT : No.25 untuk sendi kecil, No. 21 untuk sendi lain, No. 15-18 untuk efusi yang
padat (pus)
Disinfektan iodine (betadine), alkohol
Kasa steril
Anestesi lokal
Sarung tangan
Pulpen (untuk penanda)
Plester
Tabung gelas
Tabung steril untuk kultur
Lain-lain sesuai kebutuhan : media kultur, kortikosteroid

337
PROSEDUR TINDAKAN
Umum :
1. Sebelum melakukan aspirasi cairan sendi, lakukan pemeriksaan fisis sendi dan bila diperlukan
periksa foto sendi yang akan dilakukan aspirasi, harus dikuasai anatomi regional sendi yang akan
diaspirasi untuk menghindari kerusakan struktur-struktur vital seperti pembuluh darah dan saraf.
Hati-hati jangan sampai mencongkel rawan sendi karena tidak dapat sembuh sendiri
2. Harus dilakukan teknik yang steril untuk menghidari terjadinya arthtritis septik. Untuk disinfeksi
perlu dipakai iodine dan alkohol. Dokter harus memakai sarung tangan untuk menghindari kontak
dengan darah dan cairan sendi pasien
3. Untuk mengurangi nyeri dapat digunakan semprotan etilklorida. Bila diperlukan, dapat digunakan
prokain untuk anestesi lokal
4. Selama dilakukan prosedur aspirasi, harus diingatkan kepada pasien untuk selalu rileks dan tidak
banyak menggerakkan sendi

Khusus :
1. Sendi lutut, pada efusi yang besar, tusukan dari lateral secara langsung pada tengah-tengah
benjolan supra patella lebih mudah dan lebih enak untuk pasien. Tonjolan pada kantung supra
patella ini dapat diperjelas dengan menekan ke lateral dari bagian medial. Dengan ujung bulpen
dilakukan pemberian tanda pada daerha target yaitulebih kurang pada tepi atas patella (chepallad
border of patella) tanda ini masih akan terlihat dalam aktu yang cukup untuk melakukan disinfeksi,
anestesi dan artrosentesis. Pada efusi sendi yang sedikit, lebih baik dilakukan tusukan dari medial
bawah titik tengah patella.
2. Bahu, pada pasien duduk, lakukan palpasi pada tonjolan korakoid. Pada 45 derajat inferior dan
lateral dari tonjolan tersebut akan di dapadatkan sendi glenuhumeral. Pada lokasi tersebut tusukan
jarum lurus ke posterior ke ruang sendi.
3. Subtalar, pada pasien posisi terlentang kaki 90 derajat terhadap tungkai bawah, tusukan jarum
secara horizontal ke ruang sendi di inferior dari ujung maleolus lateral dan posterior dari sinus
tarsus.
4. Metatarsofalangeal, untuk mengidentifikasi garis sendi ini dapat dilakukan dengan fleksi dan
ekstensi sendi. Untuk mempermudah memasuki sendi ini di lakukan tarikan dan plantar fleksi 30
derajat. Tusukan jarum pada garis sendi pada posisi 90 derajat.
5. Pergelangan tangan, sendi pergelangan tangan terlatak di antara prosesus stiloideus radius dan
ulna. Ruang sendi ini dapat dicapai melalui salah satu sisi pada bagian dorsal yaitu sedikit di
sebelah distal radius atau sedikit distal ulna.

LAMA TINDAKAN
15 menit
KONPLIKASI
Infeksi iatrogenetik, pendarahan pada tempat aspirasi, hemartrosis, luka pada rawan sendi, episode
vasovagel pada saat atau seteah tindakan.
WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang / sudah
melalui Devisi Rematologi.
RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam.
UNIT YANG MENANGANI
RS Pendidikan : departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Reumatologi
RS Non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Departemen Bedah/ Ortopedi
RS Non Pendidikan : Bagian Bedah

338
3.4

GINJAL HIPERTENSI

339
BIOPSI GINJAL

PENGERTIAN
Biopsy ginjal adalah pengambiloan contoh jaringan ginjal

TUJUAN
1. Untuk mengevaluasi dan mengikuti perjalanan penyakit diduga mempunyai sindrom glomerular,
interstisial, atau vascular seperti:
a) Sindrom nefrotik
b) Proteinuria dan hematuria yanag tidak jelas penyebabnya
2. Gagal ginjal akut yang tidak jelas penyebabnya atau perjalanan penyakitnya cepat
3. Penyakit sistemi8k yang diduga melibatkan ginjal (lupus eritematosus sistemik)
4. Resipien transplantasi ginjal yang mengalami rejeksi atau penyakit yang rekuren

KONTRAINDIKASI
1. Kelainan pembekuan darah
2. Ginjal tidak berfungsi atau ginjal melisut
3. Hipertensu yang tidak terkontrol
4. Penderita tidak kooperatif
5. Kecurigaan adanya tumor ginjal
6. Infeksi saluran kemih
7. Uremia
8. Deformitas tulang vertebrata berat
9. Ginjal tunggal

PERSIAPAN
1. Ijin tindakan medic tertulis
2. Dokter ruanagn mengisis formulir biopsy ginjal sebagai syarat penjadwalan biopsi. Bila formulir
ini tidak diisi, maka biopsy tidak bisa dijadwalkan
3. Buat perjanjian jadwal biopsy di subbagian Ginjal Hipertensi
4. Periksa hitung trombosit, bleeding time, clotting time, prthrombine time, dan activated patial
prothrombine time
5. Pinjam termos dan es kering ke bagian patologi anatomi
6. Jarum suntik 5cc, jarum eksplorasi, jarum biopsy USG (Tru-Cut needle), duks steril, kasa steril,
plester, botol untuk penyimpanan jaringan biopsy
7. Lidokain 2%, alcohol, betadine, formalin 10%, gel untuk fiksasi pemeriksaan imunoflouresensi
jaringan ginjal
8. Isi status biopsy ginjal divisi Ginjal-Hipertensi dan catat pada buku biopsy
9. Isi formulir PA untuk dikirim ke Patologi Anatomi

340
PERITONEAL DIALISIS AKUT
PENGERTIAN
Peritoneal dialysis akut adalah salah satu bentuk dialysis dimana membrane peritoneal digunakan
sebagai membran semipermiabel pada pasien dengan gagal ginjal

TUJUAN
Dialysis dalam keadaan darurat

INDIKASI
Pasien gagal ginjal dengan keadaan umum buruk yang memerlukan tindakan dialysis segera

KONTRA INDIKASI
Pasca-oprasi organ abdomen, ileus, hernia
Penyakit paru yang menimbulkan hipoksia berat
Gangguan pembekuan darah
Tidak kooperatif

PERSIAPAN
Pasien :
Penjelasan mengenai peritoneal
Informed consent
Alat :
Set bedah minor, kateter dialysis peritoneal, cairan perisolution dan giving set, heparin, antibiotika,
lidokain 2%, KCI injeksi, blood set, besturi, jarum suntik diposable (3cc, 5cc)m sarung tangan

PROSEDUR TINDAKAN
1. Siapkan 2 kolf (1kolf = 1l) cairan perisolution, hangatkan dengan direndam dalam air panas
sampai suhu 37 C
- Kolf I : tambah 500 unit heparin, 3 mEq KCI, dan 10mg Gentamisin
- Kolf II : tambah 250 unit heparin, 3 mEq KCI, dan 10mg Gentamisin
2. Operator menggunakan sarung tangan
3. A dan antisepsis lapangan operasi : daerah umbilicus dan sekitarnya dibersihkan dengan betadine
kemudian alcohol 70%
4. Pasang duk steril
5. Anestesi local dengan lidokain 2ml sekitar 2cm dibawah umbilicus : kutis subkutis, peritoneum
6. Kiri-kira 2cm dibawah umbilicus insisi membujur dengan besturi sesuai diameter kateter
7. Bebaskan jaringan dengan klem arteri secara tumpul samoai teraba lapisan peritoneal
8. Bila peritoneal sudah diacapai :
- Ambil jarum infuse dari blood set, tusuk sampai menembus peritoneum
- Ambil konektor karet dari blood set, hubungkan dengan jarum yang tertanam pada rongga
peritoneum, ujung yang satu lagi dihubungkan dengan kateter cairan perisolution yang telah
disiapkan pada tiang infuse
9. Isi Rongga peritoneum dengan cairan perisolution 1 liter (kolf). Bila tepat masuk rongga
peritoneum aliran akan lancer.
10. Cabut jarum dari rongga peritoneum.
11. a. kateter peirtorenialialisis dengan stilet : tembus dinding peritoneal dengan hati-hati, kemudian
belokkan menyusur dinding peritoneum kearah SIAS sampai mentok
b. kateter peritonealdialisis tanpa stilet : ujung kateter ini tumpul, terlebih dahulu dibuat insisi
kecil pada dinding peritoneum dengan besturi sesuai diameter kateter
341
12. Bila posisi kateter dinilai sudah betul, tes dulu dengan memasukkan cairan pada kolf II dan mengel
uarannya sedikit. Bila cairan lancar berarti posisi kateter sudah baik.
13. Jahit kulit sekitar kateter, benang diikat ada kateter sedemikian rupa sehingga kateter tertanam
cukup baik.
14. Tutup luka dengan kasa yang diberikan betadine

INSTRUKSI PASCA TINDAKAN


1. Siapkan siklus terdiri dari 2 kolf (1 kolf = 1 liter cairan perisolution)
2. Sebelum digunakan, cairan peritonealdialisis direndam dalam air panas sampai suhu 37 C. tiap
kolf (1 Liter) ditambahkan heparin 250 unit, KCI 3 mEq, dan gentamisin 10mg
3. Setelah cairan masuk semua, diamkan didalam rongga peritoneum selama 30mnt. Setelah itu
cairan dikeluarkan, jadi setiap siklus akan memerlukan waktu selama 60menit dengan perincian :
- Memasukkan cairan 2liter : 10menit
- Lama cairan tinggal di rongga : 30menit
- Mengeluarkan cairan : 20 menit
4. Lakukan tindakan 1-3 siklus XII
5. Catat jam masuk dan keluar cairan serta jumlah cairan yang masuk dan keluar pada formulir
balans cairan
6. Pada silus XII, cairan yang dikeluarkan hanya 1 liter, sisakan 1 liter dalam rongga peritoneum
7. Buat balans cairan dialysis peritoneal setiap hari. Balans ini ikut diperhitungkan dengan balans
keseluruhan
8. Keesokan harinya ulang tindakan 1-7

LAMA TINDAKAN
Satu siklus memakan waktu 60 menit, dilakukan 12 siklus setiap hari

KOMPLIKASI
Peritonitis, exit site infection, perdaraan, hernia, hidrotoraks

WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam Suspesialis Ginjal Hipertensi, Dokter
Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi . PPDS Penyakit Dalam untuk membantu persiapan
dan pelaksanaan

UNIT YANG MENANGANI


RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Ginjal Hipertensi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Departemen Bedah Divisi Bedah Urologi
RS Non Pendidikan : Bagian Bedah

342
PERITONEAL DIALISIS MANDIRI BERKESINAMBUNGAN

PENGERTIAN
Peritoneal dialysis mandiri berkesinambungan atau continous ambulatory peritoneal dialysis
(CAPD) adalah proses dialysis berkesinambungan yang menggunakan selaput peritoneal sebagai
membrane alami yang dilakukan secara mandiri.

TUJUAN
Dialysis yang adekuat

INDIKASI
Paien gagal ginjal terminal, terutama yang mengalami :
- DM dengan komorbiditas tinggi
- Kei\tidakstabilan kardiovaskular akibat penyakit kadiovaskular atau usia lanjut dengan
hemodinamik tidak stabil
- Kesulitan/kegagalan pembentukan akses vascular karena proses ateroklerosis dan lain-lain
pada pasien HD
- Kecendrungan pendarahan (trombosito penia/trombopati)
- Strok baru
- Alergi terhadap bahan dialisat / asetat
- Pasien gagal ginjal terminal dengan HD regular yang mengalami gangguan serebral akut
(pendarahan itraknial), gagal jantung kongestif, kardiomiopati, penyakit jantung iskemik berat,
atau gangguan irama jantung dengan kelainan hemodinamik.

KONTRAINDIKASI
Mutlak :
Permukaan selaput peritoneum sempit (akibat adhesi peritoneal yang berlebihan/peritonitis berulang)
Relatif :
Ostomi, (kolostomi, ileostomi, nefrostomi)
Peritonitis local (tuberculosis jamur)
Sangat gemuk
Ginjal polikistik massif (rongga perut sempit akibat masa tumor)
Fistel abdominal/sepsis abdominal
Ketidakmampuan pasien untuk menjalankan program sendiri (buta,
hemiparesis/kuadriplagia)
Retardasi mental/psikosis
Motivasi rendah

PERSIAPAN
Bahan dan Alat ;
Larutan dialysis
Volume larutan 1-2 liter
Susunan elktrolit tergantung pabriknya
Konsentrasi dektrosa
Cairan transfer set
Variasi sambungan untuk CAPD
Modifikasi konektor pada CAPD
Kateter peritoneum (yang bisa dipakai di Indonesia)
343
Standard doble-cuff tenckhoff
1. Obat-obatan harus diberikan intraperitoneal selama 10-14 hari sebagai tindakan
pencegahan penyulit :
- Heparin (1000 unit untuk setiap kantong dialisat)
- Antimikroba (biasanya golongan aminoglikosida/sefalosporin 100mg untuk setiap
kantong dialisat)
2. Resep program CAPD
- Volume cairan dialysis : pengganti cairan 4 kali sehari, masing-masing 2 liter
- Jam pertukaran :08.00, 12.00, 16.00, 22.00, dan 24.00 (sebelum tidur)
- Ultrafiltrasi . untuk 3 kali pertukaran pertama, dialisat standar (1,5%), untuk
malam sebelum tidur, dialisat hipertonis (4,25%)
- Komposisi cairan dialisat : Na 132mEq/l, Cl 98mEq/l, Ca 3,5 mEq/l, Mg 0,5
mEq/l, laktat 40 mEq/l
- Urea klirens yang diharapkan perminggu : 47 liter klirens

PROSEDUR TINDAKAN
Perawatan exit site
Perawatan tempat lubang ke;luarnya kateter tenckhoff dilakukan setiap hari oleh pasien
sendiri atau bantuan anggota keluarga, untuk mencegah infeksi. Alat dan obat yang dibutuhkan :
kasa steril, plester, gunting, immobilizer untuk kateter, betadine/NaCl 0,9%

344
3.5

HEMATOLOGI
ONKOLOGI MEDIK

345
AFERESIS

PENGERTIAN
Aferesis adala prosedur pemisahan komponen datah seseorang secara langsung dengan
menggunakan mesin pemisah komponen darah

TUJUAN
Mengeluarkan sebagian komponen darah, dapat berupa sel (cytopheresis) atau plasma
(plasmaferesis/plasma exchange0

INDIKASI
Terapeutik :
Sitoferesis
Eritristoferesi : sickle cell anemia, malaria dengan parasitemia
Tromboferesis : Trombositemia amtomatik
Leukoferesis : Leukimia dengan Hiperleukositosis, arthtritis rheumatoid (dalam keadaan tertentu)
Plasmaferesis : kelainan para protein (sindrom hiperviskositas, krioglobulinemia, penyakit cold
agglutinin), kelainan akibat metabolic toksik (penyakit refsum, penyakit fabri, hiperkoleterolemia
familial), kelainan imunologis (sindrom goodpasture, miastenia grais, sindrom eaten lambert,
sindrom guilain barre, pemfigus, ITP, granulomatosis wagener), defisiensi factor plasma (TTP),
keracunan obat atau bahan racun lainnya
Donor :
Untuk memenuhi kebutuhan komp[onen darah pasien :
- Trombofrresis
- Plasmaferesis
- Leukoferesis, untuk mendukung program PBSCT

KONTRA INDIKASI
Aferesis terapeutik
Pasien dengan kondisi buruk dan gangguan hemodinamik
Aferesis donor
Kadar trombosit/leukosit/hemoglobin/hematokrit dibawah nnormal
Golongan ABO-Rh tidak cocok, cross matching hasil (+)
Mengandung HbsAg/antiHCV/HIV/VDRL dan malaria
Berat badan kurang, usai tua, anak-anak
Menderita penyakit jantung, paru-paru, gagal ginjal kronik atau penyakit akut lainnya

PERSIAPAN
Bahan dan Alat :
mesin aferesis
set aferesis disposable, set trombaferesis, set plasmaferesis, set leukaferesis, set eritositaferesis
antikoagulan ACD-A
akses intra vena
AV fistula
Heparin injeksi infuse salin 0.9%
Albumin (untuk plasmeferesis)
Obat-obat darurat : injeksi Ca Glukonas, inj adrenalin, inj kortikosteroid, inj antihistamin, infuse
salin, plasma expander, oksigen, alat resusitasi dan obat darurat untuk resusitasi
Pasien :
346
Penjelasan mengenai prosedur yang akan dijalani
Pemeriksaan fisik, hemodinamik, berat badan, dan tinggi badan
Laboratorium gol. Darah : ABO-Rh, cross-matching, DPL, HbsAg, Anti HCV
Informed consent
Menelan tablet kalsium sehari sebelumnya

PROSEDUR TINDAKAN
Mesin aferesis dihidupkan dan dinilai apakah layak beroprasi, memasang set aferesis
disposable (set tunggal atau ganda) pada mesin aferesis, beserta infuse NsCl 0,9%,
antigoakulan ACD-A
Melakukan koleksi komponen darah dari donor via vena di lengan kanan, kiri (set ganda)
atau satu lengan, mengisi data donor pada computer mesin, menghubungkan computer
mesin dengan mesin set aferesis disposable dengan donor, memulai prosedur
Prosedur donor trombosit dsan plasm berlangsung selama 100 menit,. Sedangkan prosedur
donor donor sel asal darah dalam darah tepi berlangsung 4-8 jam.
Bila prosedur telah selesai dilakukan, start rinseback mode, kemudian lepaskan set
eferesis dari donor, trombosit yang dikoleksi segera diberikan kepada pasien atau bila
disimpan harus diatas blood rotator (yang bergoyang) selama maksimal 5 hari
Selama prosedur aferesis berjalan, dokter dan perawat harus mengatasi keluhan dan bila
perlu menilai hemodinamik

LAMA TINDAKAN
-

KOMPLIKASI
Hipokalselmia (kesemutan bibir dan jari tangan, dada rasa tertekan, pandangan gelap),
gangguang hemodinamik dan penurunan kesadaran

347
PUNGSI SUMSUM TULANG

TUJUAN
Diagnosis sitomorfologi / evaluasi produk pematangan sel asal darah (stem cell)
Penilaian terhadap simpanan besi
Pengumpulan colony forming unit pada tranplantasi sumsum tulang
Mendapatkan specimen untuk pemeriksaan bakteriovirologis (biakan mikrobiologi)

INDIKASI
Anemia dan sitopenia lainnya yang tidak dapat diterangkan
Leukositosos dantrombositosis yang tidak dapat diterangkan
Dugaan leukemia atau mieloptitis

KONTRA INDIKASI
Bahan dan alat
Bahan tindakan antiseptic
Povidone iodine
Kapas lidi steril dan kapas steril
Prokain/lidokain 3%, dan spuit 5cc, spuit 20cc dan jarum hipodermik 23-25 gaus
Sarung tangan steril, dan duk steril
Set jarum aspirasi sumsum tulang (14-16G) yang sesuai dengan tempat yang akan dilakukan dan
spuit yang sesuai dengan jarum aspirasi sumsum tulang

Tenpat aspirasi
Spina iliaka posterior superior (SIPS)
Krista iliaka
Spina iliaka anterior superior (SIAS)
Sternum diantara 2 iga dan 3 garis mid sterna atau sedikit di kanannya (jangan lebih dari 1cm)
Spina dorsalis/prosesus spinosus vertebra lumbalis (jarang dilakukan karena alatnya tidak ada)

PROSEDUR TINDAKAN
Pasien diminta untuk buang air kecil atau besar sebelum tindakan
Periksa kelengkapan dan kelayakan bahan dan alat
Cuci tangan yang bersih dan keringkan
Pakai sarung tangan steril
Periksa kelengkapan dan kesesuaian jarum aspirasi spuitnya. Isi spuit untuk aspirasi tersebut
dengan sedikit anti koagulan titriplex?EDTA untuk pemeriksaan sitologi dan imunologi atau
heparin tanpa pengawet untuk siotogenetik
Lakukan tindakan a, dan antiseptic daerah eindakan dan prosedur terjaga aseptic
Tentukan titik tindakan

348
BIOPSI SUMSUM TULANG
TUJUAN
Menilai selularitas sumsum tulang
Menentukan adanya keganasan hematologi dan nonhematologi (metastasis)
Menentukan adanya fibrosis tulang

INDIKASI
Kecurigaan adanya gangguan produksi sel darah, menentukan stadium keganasan nonhematologi

KONTRA INDIKASI
Tidak ada kontraindikasi mutlak
Pada trombositopenia berat (<20, 000) pemberian transfusi trombosit sebelum tidakan akan lebih
baik
Melakukan biopsi sumsum tulang pada sternum

PERSIAPAN
Bahan dan alat
Jarum biopsi jamshidi atau sejenis
Pelengkap standar minor set sederhana yaitu antiseptic, alkohol 70%, kapas, lidi, duk bolong, serit
5 cc, lidokain, sarung tangan steril, kasa steril, plester, botol kaca, formalin 10 %.

PROSEDUR TINDAKAN
Pasien diminta untuk buang air kecil/ besar sebelum tindakan dimulai
Pasien pada posisi tengkurap
A dan antisepsis pada daerah sekitar lokasi yaitu Krista iliaka superior posterior
Setiap tindakan dilakukan secara steril
Pasang duk bolong
Anestesi dengan lidokain 2 % pada krista iliaka posterior 3-6 cc sampai mencapai periosteum
Suntikan jarum biopsi dengan cara twisting morion sambil melakukan penekanan sampai terasa
menembus tulang dan dilanjutkan sepanjang 1-2 cm
Melakukan gerakan 4 arah ( atas, bawah, kiri, kanan) setelah itu jarum di angkat
Luka biopsi ditutup dengan kasa steril yang dibasahi povindone iodine dan tidak boleh dibasahi
selama 3 hari
Pembuatan preparat
Gosokan bahan / jaringan sumsum tulang yang didapat pada kaca obyek (slide) sebanyak 2-3 buah dan
biarkankering dengan pewarnaan. Pewarnaan bisa berupa pewarnaan wright atau giemsa.
LAMA TINDAKAN
-
KOMPLIKASI
Rs Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam, PPDS Penyakit Dalam Tahap yang Asedang
/Sudah Melalui Kepaniteraan Hematologi
RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS Pendidikan : Departemaen Penyakit Dalam-Divisi Hematogi-Onkologi
Rs Non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
TRs Pendidikan / RS Non Pendidikan : Patologi Anatomi
TRANSFUSI DARAH
349
PENGERTIAN
Transfusi darah adalah tindakan memasukkan sel darah merah (darah segatr, pack red cell ) ke
dalam tubuh melalui vena

TUJUAN
Memberikan kebutuhan sel darah merah sesuai indikasi

INDIKASI
Sesuai dengan komponen yang ditransfusikan :
Darah lengkap ( whole blood ) 250-300 cc/unit : meningkatkan volumedarah merah dan volume
plasmna pada pendarahan akut dan pada kehilangan darah >25 % volume darah total
Darah merah pekat ( packed red blood cells ) 150-250 cc/ unit : meningkatkan masa sel darah
merah dan kapasitas oksigen pada anemia normovolemik simtomatik termasuk anemia kronik
pada kelainan ginjal kronik dan kanker

350
PEMASANGAN NUTRICATH
INDIKASI
Kebutuhan akses vena jangka lama untuk terapi atau nutrisi
Pengukuran tekanan vena sentral

KONTRA INDIKASI
Gangguan hemostatis yang beresiko perdarahan massif apabila dilakukan tindakan
(misalnya koagulasi intravascular diseminata berat, defisiensi faktor pembekuan tingkat
sedang-berat)
Trombositopenia (< 50.000/ul : absolute, 50.000-100.000/ul: relatif)
Kelainan lokal disekitar vena subklavia: massa tumor, paska radioterapi karena seringkali
terjadi penekanan vena subklavia sehingga menjadi sempit).
Kelainan (tidak utuhnya) permukaan kulit ditempat insersi kateter (misalnya pada luka
bakar/infeksi local, (sindrom Steven Johnson).

PERSIAPAN
Alat yang diperlukan :
Kateter vena sentral dengan diameter lumen yang sesuai untuk usia dan bentuk tubuh
pasien.
Benang jahit, misalnya prolene no 2,0, Lidokain 2%, 10-20 cc
Heparin
Beberapa alat suntik: spuit 5 cc 1 buah, spuit 20 cc 2 buah
Pinset sirugis, 2 buah kom kecil dan satu buah bengkok (kidney basin)
Klem anatomis kecil (dengan ujung yang membengkok)
Mata pisau bedah
Kain steril (duk), ukuran minimal 60 cm x 60 cm, berlubang memanjang di bagian tengah
Larutan infuse NaCl, infuse set three way 2buah rubber slopper 2 buah, extension tube 1
buah
Jenis-jenis kateter vena sentral untuk vena subklavia:
Pada umumnya berukuran panjang 30-35 cm
Untuk yang dipasang dengan guide wire berukuran panjang 20 cm Nutricath (merk vygon)
no 16 atau 14
Pemilihan lokasi vena subklavia
Diutamakan sebelah kanan, Karena kemungkinan penyulit lebih kecil daripada kiri.
Apabila ada kelainan paru yang sedang sampai berat (infeksi, efusi pleura, tumor dll) pada
satu sisi atau bila paska bedah MRM/ axillary dissection, dipilih vena subklavia
kontralateral)

PROSEDUR TINDAKAN
Posisi pasien terlentang, dengan letak kepala datar tanpa bantal dan menoleh kea rah yang
berbeda dengan lokasi pemasangan kateter.
Dilakukan tindakan a dan antisepsis di daerah sekitar klavikula
Siapkan NaCl 0,9% sekitar 100-200 cc
Isi alat suntik 10 cc (sekitar 2 buah) dengan larutan NaCl 0,9% hingga terisi setengahnya,
agar masih ada ruang untuk melakukan aspirasi
351
Pada kulit kira-kira 1 cm di sebelah bawah pertengahan klavikula yang dipilih, dilakukan
penyuntikan lidokain 2% berturut-turut secara subkutan, masuk mengenai tulang
klavikula, kemudian menyusur tepi bawah tulang klavikula sampai jarum suntik masuk
habis ke dalam kulit. Ingat tiap kali menyuntik lidokain diaspirasi dulu, keluar darah atau
tidak. Pada waktu jarum menyisir tepi bawah klavikula tersebut, alat suntik didorong pada
posisi mendatar dengan mengarah ke tepi proksimal dari ujung medial klavikula, sambil
melakukan aspirasi, sehingga apabila ujung jarum masuk ke dalam vena akan diketahui
dengan adanya darah vena yang teraspirasi ke dalam alat suntik.
Pasang kanula plastik dengan dengan jarum logam didalamnya ( merupakan bagian dari
set CVP) pada alat suntik yang berisi NaCl 0,9%
Masukkan ujung jarum tersebut dengan cara dan arah yang sama seperti yang telah
diterangkan sebelumnya sampai menyentuh tulang klavikula, kemudian mulai menyusur
tepi bawah klavikula sambil melakukan aspirasi. Apabila ujung jarum masuk ke dalam
vena, akan ditandai terhisapnya darah vena ke dalam jarum suntik. Pada tahap ini
masukkan kanula plastic dengan mendorong sejauh 0,5 cm sambil menahan pangkal
jarum logamnya, dengan demikian maka ujung kanula diharapkan sudah berada di dalam
vena.
Tariklah pangkal jarum logam ke luar kanula, kemudian pasang alat suntik berisi heparin
dan lakukan aspirasi. Apabila darah masuk ke dalam alat suntik, berarti ujung kanula telah
berada di dalam vena. Pada saat ini posisi pasien kembali melihat ke depan, tidak menoleh
lagi, hal ini untuk mengurangi kemungkinan kateter nanti masuk ke vena jugularis.
Masukkan kateter CVP/ nutricath ke dalam kanula tersebut sejauh yang diperlukan yaitu
dengan ujung kateter mencapai atrium kanan.
Untuk prosedur pemasangan CVP cukup sampai disini, sedangkan untuk pemasangan
nutricath setelah prosedur ini dilanjutkan dengan tunelisasi subkutis yaitu memasang
kateter di bawah kulit sejauh kira-kira 10 cm, baru kemudian dilakukan prosedur
selanjutnya.
Tunelisasi subkutis :
- Lakukan sayatan menggunakan mata pisau bedah sepanjang 0,75 cm kea rah
lateral, dengan kedalaman 0,3 cm dimulai dari lokasi kateter ke luar dari kulit.
- Longgarkan jaringan bawah kulit secara tumpul menggunakan klem anatomis
berukuran kecil, lebih baik bila ujungnya agak bengkok. Bebaskan jaringan ikat di
sekitar kateter sehingga kateter dapat digerakkan longgar di lubang tersebut.
- Suntikkan secara subkutan, lidokain 10 cc pada titik sejauh 10 cm di bawah
sayatan tersebut, kea rah bawah (untuk menjahit kepala kateter nantinya) dan ke
arah atas menuju lokasi sayatan untuk memasang kanula nanti.
- Masukkan kanula (beserta jarum logam di dalamnya) di titik penyuntikan lidokain
tadi, kemusian kea rah atas (lokasi sayatan) secara subkutan sampai menembus
lubang sayatan pada posisi lateral dari kateter.
- Cabut jarum logam, tinggalkan kanula ditempatnya
Masukkan kateter ke dalam kanula dari arah atas sehingga keluar pada ujung kanula
setelah bawah. Lakukan penjahitan luka sayatan tadi.
Lakukan jahitan fiksasi kateter tepat di tempat keluarnya dari kulit sengan jahitan fiksasi
kepala kateter (yang akan disambungkan dengan T-way) dan selang infuse).
Sambungkan kepala kateter dengan selang infuse ataupun ectension tube dengan perantara
T-way.
352
LAMA TINDAKAN
-

KOMPLIKASI
Pneumotoraks, rupture vena subklavia

WEWENANG
RS pendisikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam, PPDS Penyakit Dalam tahap yang
sedang / sudah melalui kepaniteraan Hematologi
RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi Onkologi
RS Non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


-

353
FLEBOTOMI

PENGERTIAN
Suatu tindakan menurunkan volume darah dengan cara mengeluarkannya melalui pembuluh vena
secara bertahap dan cepat.

TUJUAN
Menghilangkan gejala-gejala distress dan fletora

INDIKASI
Polisitemia vera, eritrositosis, hemokromatosis, porfiria cutane tarda

KONTRA INDIKASI
Gagal jantung

PERSIAPAN
Bahan dan alat
Tensimeter dan stetoskop untuk memantau status hemodinamik sebelum, selama dan
sesudah tindakan dan juga untuk membendung vena pada vena seksi
Tempat tidur untuk berbaring pasien
Set donor
Botol (plaboof) atau kantong penampung darah dengan skala volume
Set infuse/kateter intravena dan cairan plasma atau dekstran (sebagai persiapan) terutama
pada pasien di atas usia 65 tahun atau adanya penyakit/penyulit kardiovaskuler atau gejala
-gejala hiperviskositas.
Perangkat standar antiseptic antara lain gauge steril, providone iodine, alcohol dan plester.

PROSEDUR TINDAKAN
Pasien diminta untuk buang air besar atau kecil sebelum tindakan.
Pasien dalam posisi berbaring dilakukan evaluasi status hemodinamik, sedang untuk
pasien di atas usia 65 tahun sebaiknya pemeriksaan tekanan darah dilakukan dalam posisi
duduk/berdiri karena mencerminkan tekanan darah sebenarnya.
Bila status hemodinamik stabil, pasien berbaring di tempat tidur.
Dilakukan tindakan a dan antisepsis pada lengan vena seksi yang dilanjutkan dengan
pembendungan vena dengan tensimeter tekanan 60 mmHg (atau antara sistolik dan
diastolik)
Pada orang tua di atas 65 tahun atau pasien dengan kecenderungan penyakit
kardiovaskuler, di sisi lengan yang satunya dipasang infuse set dengan cairan pengganti
plasma (plasma expander) atau dekxtran yang dimulai secara bersamaan dengan tindakan
flebotomi dengan jumlah yang sama dengan darah yang dikeluarkan.
Kebanyakan pasien dapat menerima pengeluaran darah sebanyak 3 unit (kira-kira 450-600
cc) per minggu, bahkan ada yang melakukan sebanyak 500 cc dengan interval 1-3 hari.
Untuk usia lanjut dan pasien dengan penyakit kardiovaskuler dianjurkan sekitar 200-300
cc.
Setelah tercapai target pengobatan yaitu hematokrit antara 40-50%, maka kekerapan
354
flebotomi biasanya dapat diturunkan antara 1 atau 2 kali tiap 3-4 bulan tergantung
evaluasi rutin yaitu nilai hematokrit atau serum feritin dalam batas normal rendah 10-40
ug/ml untuk pasien-pasien dengan hemokromaosis.

LAMA TINDAKAN
-

KOMPLIKASI
Perdarahan/hematom, gangguan hemodinamik

WEWENANG
RS pendisikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam, PPDS Penyakit Dalam tahap yang sedang
/ sudah melalui kepaniteraan Hematologi
RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi Onkologi
RS Non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


-

355
3.6

ALERGI IMUNOLOGI

356
TES TUSUK (SKIN PRICK TEST)

PENGERTIAN
Tes tusuk (skin prick test) adalah tes kulit yang pada umumnya dilakukan di bagian volar
lengan bawah dengan memasukkan allergen melalui tusukan di kulit.

TUJUAN
Mengetahui adanya sensitisasi terhadap allergen.

INDIKASI
Pasien asma, rhinitis, konjungtivitis alergi, dermatitis atopsi, dan urtikaria.

KONTRAINDIKASI
Pasien dalam serangan asma, pasien yang sedang minum obat antihistamim dan steroid.

PERSIAPAN
Bahan dan alat : Ekstrak allergen yang sering menimbulkan alergi, jarum khusus skin prick
test atau dapat juga jarum G 26 X 0,5, kapas dan alkohol 70%.
Pasien : tidak minum antihistamin dan steroid, tes dilakukan setelah wash out period (3 hari
sampai 1 bulan tergantung dari jenis obat yang diminum)

PROSEDUR DAN TINDAKAN


Tes dilakukan di voler lengan bawah.
Bersihkan bagian bawah yang akan dites dengan alkohol 70% tunggu sampai kering.
Gambar batas tiap allergen dengan pulpen sebanyak jumlah allergen yang akan dites.
Teteskan allergen ditempat yang telah ditandai.
Jarak tiap tetesan allergen 1,5-2,5 cm untuk menghindari bercampurnya dua allergen yang
kemungkinan bereaksi positif.
Tes dibaca setelah 15 menit.

PENILAIAN
(-) tak ada reaksi
+ indurasi 1-2 mm
++ indurasi 3-5 mm
+++ indurasi 6-9 mm
++++ indurasi > 9 mm

LAMA TINDAKAN
15-30 menit

KOMPLIKASI
-

357
WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alergi-Imunologi (konsulen)
dan PPDS Penyakit yang sedang dan sudah melalui Divisi Alergi-Imunologi dibawah
bimbingan konsulen.
RS Non Pendidikan : Dokter spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Alergi-Imunologi.

UNIT YANG TERKAIT


Departemen Kulit dan Kelamin

REFERENSI
Rengganis 1. Tes Tempel (Patch Test), Dalam : Sumaryono. A lwi 1, Sudoyo A , Simadibrata M. Setiati S,
Gani RA , Mansjoer A . Editors. Prosedur tindakan di bidang penyakit dalam. Jakarta : pusat informasi dan
penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI : 2001.p.10-1.

358
TES PROVOKASI BRONKUS

PENGERTIAN
Tes provokasi bronkus adalah tes untuk mengetahui adanya hiperreaktivitas bronkus

TUJUAN
Mendiagnosis asma bronchial

INDIKASI
Pasien asma bronchial yang tidak terdiagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan non invasive.

KONTRAINDIKASI
Adanya obstruksi saluran nafas.

PERSIAPAN
Bahan dan Alat :
Histamine dalam konsentrasi 5% : 2,5 % : 0,625% NaCI 0,9%
Spirometri
Obat Bronkodilator (adrenalin, beta -2 agonis, aminofilin)
Tabung oksigen

Pasien : pasien bebeas asma selama 12 jam

PROSEDUR TINDAKAN
1. Pasien menjalani pengukuran spirometri pertama
2. Kemudian diminta membuka mulut lebar-lebar dan disemprotkan ke dalamnya NaCI 0,9%
sebanyak 3-5 kali semprot lalu dihisap kedalam paru-paru.
3. Ditunggu selama1 menit lalu dilakukan spirometri kedua
4. Ulang kembali spirometri ketiga setelah 1 menit kemudian
5. Tunggu beberapa saat (1-2 menit) ulangi tindakan nomor 2-4 dengan menggunakan
histamine 0,625%
6. Lakukan hal yang sama pada konsentrasi histamine 1,25% dan seterusnya sampai dicapai
konstentrasi histamine yang memberikan hasil provokasi positif.

PENILAIAN
Positif : bila pada pengukuran menilai FEV1 setelah dilakukan provokasi dengan histamine
dosisi tertentu terdapat perbedaan sebesar > 20% disbanding FEV1 awal
Negatif : bila pada pengukuran spirometri setelah dilakukan provokasi dengan histamine sampai
konsentrasi 5% tidak didapatkan perbedaan FEV1 sebesar >20% dibandingkan dengan spirometri
awal.

LAMA TINDAKAN
30-60 menit

359
KOMPLIKASI
Serangan asma bronchial

WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alergi Imunologi (konsulen)
dan PPDS yang sedang dan sudah melalui Divisi Alergi di bawah bimbingan konsulen Alergi
Imunologi.

UNIT YANG MENANGANI


RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Alergi-Imunologi

UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Divisi Pulmonologi
RS Non Pendidikan : Bagian Paru, Penyakit Dalam, ICU.

REFERENSI
Karjadi TH. Tes Provokasi Bronkus. In : Sumaryono, A lwi I, Sudoyo A W , Simadibrata M. Setiati S. Gani
RA . Mansjoer A . Penyunting. Prosedur tindakan di bidang penyakit dalam Jakarta : Pusat Informasi dan
penerbitan bagian ilmu penyakit dalam FKUI : 2001-p, 3-4.

360
TES PROVOKASI OBAT

PENGERTIAN
Tes provokasi obat adalah tes yang dilakukan mulai dengan memberikan obat dengan
dosis yang lebih kecil dari dosis yang diduga akan menimbulkan reaksi berat, kemudian dosis
ditingkatkan dan diberikan jarak tertentu sampai tercapai dosis penuh sesuai dengan yang
diharapkan.

TUJUAN
Mengetahui adanya sensitivias terhadap obat tersebut. Bila terjadi reaksi, masih dalam
tahap ringan sehingga prosedur dihentikan dan gejala dapat diobati. Biasanya digunakan untuk
menguji obat anestesi local sebelum digunakan dosis penuh.

INDIKASI
Jika dalam riwayat penyakit ada tanda-tanda yang mengarah ke alergi obat.

KONTRAINDIKASI
Pasien yang sudah jelas diketahui alergi terhadap obat tertentu tidak perlu dilakukan tes lagi
Pasien yang sedang minum obat antihistamin dan steroid
Pasien penyakit jantung dan penyakit berat lainnya.

PERSIAPAN
Bahan dan Alat : Kit anafilaksis, infuse set, obat/bahan yang akan dites
Pasien : tidak minum obat antihistamin dan steroid, tes dilakukan setelah wash out period.

PROSEDUR TINDAKAN
Tes dilakukan dengan jumlah yang sesuai dengan kadar yang akan digunakan dan jangan
menggunakan bahan yang mengandung epinefrin.
Mula-mula dilakukan prick test dengan anestesi yang tidak diencerkan sebanyak satu tetes.
Bila negative, lanjutkan dengan 0,1 ml larutan 1:100 subkutan
Bila negative, lanjutkan dengan 0,1 ml larutan 1:10 subkutan
Bila negative, lanjutkan dengan 0,5 ml tidak diencerkan subkutan
Bila negative, lanjutkan dengan 1 ml larutan tidak diencerkan subkutan
Bila negative, lanjutkan dengan 2 ml larutan tidak diencerkan subkutan
Suntikan diberikan dengan jarak 15 menit.

PENILAIAN
Dianggap negative bila pasien telah menerima 3 ml anestesi local tanpa reaksi yang
berarti, tidak menunjukkan resiko yang lebih besar dibandingkan dengan populasi dalam
masyarakat.

LAMA TINDAKAN
-2 Jam

361
KOMPLIKASI
Reaksi alergi ringan, sedang, berat. Anafilaksis sampai kematian

WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alergi Imunologi (konsulen)
dan PPDS yang sedang dan sudah melalui Divisi Alergi di bawah bimbingan konsulen Alergi
Imunologi.

UNIT YANG MENANGANI


RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Alergi-Imunologi

UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Divisi Pulmonologi
RS Non Pendidikan : Bagian Paru, Penyakit Dalam, ICU.

REFERENSI
Rengganis I, Tes provokasi obat. Dalam : Sumaryono. A lwi I. Sudoyo A W , Simadibrata M, Setiati S, Gani
RA ,Mansjoer A . Penyunting. Prosedur tindakan dibidang penyakit dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2001 : 149-50

362
3.7

GASTROENTEROLOGI

363
SKLEROTERAPI DAN LIGASI
VARISES ESOFAGUS

PENGERTIAN
Skleroterapi dan ligasi varises esophagus merupakan prosedur invasive dengan
menggunakan endoskopi yang dimasukkan ke dalam saluran cerna dilanjutkan dengan pengikatan
dan penyuntikan varises pada esophagus/gaster.

TUJUAN
Melakukan eradikasi varises esophagus dengan cara melakukan prosedur berulang dengan
rata-rata sebanyak 3-4 kali.

INDIKASI
Perdarahan akibat pecahnya varises esophagus/gaster.

KONTRAINDIKASI
Gagal jantung akut, infark jantung akut, gangguan hemodinamik, syok hipovolemik,
gangguan pernapasan (respiratory distress), koagulasi intravascular diseminata akut
(gangguan hemostatis).
Prekoma dan koma hepatikum merupakan kontraindikasi relative.

PERSIAPAN
DPL, masa perdarahan, masa pembekuan
Puasa 6-8 jam

PROSEDUR TINDAKAN
Prosedur ini harus dilakukan secara legeartis oleh tenaga yang terampil dan berpengalaman.
Sebab resiko tindakan nini akan meningkat bila dilakukan oleh operator yang tidak
berpengalaman dan sebaliknya resiko akan menjadi kecil atau tanpa resiko bila dikerjakan
oleh operator yang berpengalaman.
Sifat prosedur ini bias elektif atau emergensi. Khususnya untuk prosedur emergensi
persiapan sebelum tindakan dilakukan dengan sebaik mungkin, dengan memperhatikan
resiko yang dapat terjadi pada saat tindakan maupun sesudah tindakan.
Langkah-langkah tindakan Skleroterapi :
1. Pasien telah dijelaskan dan dimotivasi sehingga menyetujui tindakan untuk mendapatkan
hasil yang optimal.
2. Pemeriksaan fungsi, hemostatis, HBsAg dam anti HCV
3. Kadar haemoglobin diusahakan lebih dari 10 gr%
4. Puasa minimal 6 jam sehari sebelum tindakan
5. Pagi hari sebelum skleroterapi dianjurkan untuk pasang infuse cairan.
6. Premedikasi :
a. Sediasi berupa diazepam i.v. 5-10mg atau midazolam 5mg, 15 menit sebelum
tindakan.
b. Gascon 15cc per oral 5-10 menit sebelum tindakan
c. Spray xilokain 10% merata keseluruh faring, sekitar uvula, dan hipofaring 5-10 menit
364
sebelum pemeriksaan.
d. Hyoscine-N-butylbromide (buscopan) i.m 1-2 ampul (20-40mg)
7. Alat yang dipakai :
a. Endoskopi dengan pandangan samping maupun depan.
b. Jarum khusus untuk skleroterapi serta obat sklerosan yang bisa dipakai :
i. Polidocanol (ethxysclerol) 1%, 2% dan 3%
ii. Etanolamin 5%
iii.Sodium tetradesil sulfat 0,5-1,5 % (trombovar)
iv. Kinin
v. Dextrose 50%
vi. Alkohol absolute 96%
vii. Jumlah sampai total sebanyak 5-30ml untuk setiap skleroterapi

Langkah-langkah tindakan ligasi :


1. Pemeriksaan fungsi hati, hemostatis. HbsAg dan anti HCV
2. Kadar haemoglobin diusahakan lebih dari 10 gr%
3. Puasa minimal 6 jam sehari sebelum tindakan.
4. Premedikasi :
a. Sedasi berupa diazepam i.x. 5-10 mg atau midazolam 5mg. 15 menit sebelum
tindakan
b. Gascon 15 cc per oral 5-10 menit sebelum tindakan
c. Spray xilokain 10% merata ke seluruh faring. Sekitar uvula, dan hipofaring 5-10
menit sebelum pemeriksaan
d. Hyoscine-N-butylbromide (buscopan) i.m. 1-2 ampul (20-40mg)
5. Persiapan alat :
a. Endoskopi pandan depan (GIF IT20.Evi GIF 100)
b. Ligator endoskopik Stiegmann-Goff yang terdiri dari beberapa bagian :
i. Overtube panjang 25 cm
ii. Adaptor ukuran kecil dan besar (friction-fit adaptor)
iii. Inner cylinder
iv. Ligator dari karet berbentuk
o
v. Tali pengait (trip wire)

Evaluasi : hasil prosedur ini harus dilakukan evaluasi secara klinis dan endoskopi. Prosedur
endoskopi dilakukan tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu satu minggu (untuk
skleroterapi) dan tenggang waktu dua minggu (untuk tindakan ligasi). Setelah itu satu bulan
setelah prosedur ke tiga dan selanjutnya dengan tenggang waktu 1-6 bulan tergantung hasil
evaluasi endoskopi.
Tindakan ini dapat dilakukan diluar jadwal bila terdapat tanda-tanda klinis perdarahan dalam
bentuk melena dengan atau tanpa hematemesis, penurunan Hb akibat perdarahan samar,
disfagia akibat striktur pasca skleroterapi.

KOMPLIKASI
Hipoksia, refleks vagal, perdarahan ulang, demam, pleuritis, empiema dan disfagia

LAMA TINDAKAN
365
30 menit

WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikat Endoskopis, PPDS
Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi membantu persiapan
dan pelaksanaan.
RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikat Endoskopis.

UNIT YANG MENANGANI


RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Gastroenterologi
RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


RS Pendidikan : Departemen Bedah/Digestif
RS Non Pendidikan : Bagian Bedah

366
SKLEROTERAPI HEMOROID

PENGERTIAN
Skleroterapi hemoroid adalah prosedur tindakan terapetik untuk mengobati hemoroid
dengan cara menyuntikkan obat sklerosan dengan bantuan anoskop/endoskopi dan jarum suntik.

TUJUAN
Mengobati hemoroid menjadi sklerotik
Menghentikan perdarahan aktif hemoroid

INDIKASI
Hemoroid interna derajat I-II dengan keluhan perdarahan, benjolan

KONTRAINDIKASI
Infeksi akut/abses pada hemoroid
Pasien tidak kooperatif
Keadaan umum buruk

PERSIAPAN
DPL. Masa perdarahan, masa pembekuan
Diazepam 5-10 mg IV dan tidur dengan posisi miring ke kiri (posisi Sim
s) (tidak diberikan
secara rutin).

PROSEDUR TINDAKAN
Cara I :
- Setelah dioleskan jeli, kolonoskop dimasukkan ke dalam anus
- Untuk melihat posisi skop dapat langsung lurus foreward view atau melalui U turn. Kanul
jarum sklerosing ditempelkan ke hemoroid interna sasaran di atas linea dentate, jarum
dikeluarkan dan obat etoksisklerol disuntikkan sebanyak 0,5-1cc intra hemoroid
- Jarum dicabut atau dimasukkan dan kanul tetap pada hemoroid selama 1-2 menit
- Setiap hemoroid dapat di suntik obat etoksisklerol dengan cara yang sama. Penyuntikan
etoksisklerol sebaiknya jangan diberikan para/peri hemoroid karena dapat menimbulkan
stenosis/striktur anus.

Pasca tindakan : selama 5 hari harus diberikan antibiotika oral, obat hemoroid
suppositoria/ointment dan obat penghilang rasa sakit dubur. Tindakan ini diulang 1-2 minggu
sampai hemoroid sklerotik.

Cara II :
- Setelah dioleskan jeli pada anus dan anuskopnya, lalu anuskop dimasukkan ke dalam anus.
- Jarum suntik berisi etoksisklerol ditusukkan ke dalam hemoroid. Setelah di suntik, bekas
suntikan di tekan dengan kasa steril yang telah dicelupkan betadin selama 1-2 menit.
- Hemoroid lain dilakukan tindakan yang sama. Penyuntikan etoksisklerol sebaiknya jangan
diberikan para/peri hemoroid, karena dapat menimbulkan stenosis/striktur anus.

Pasca tindakan : selama 5 hari harus diberikan antibiotika oral, obat hemoroid
367
supositoria/ointment dan obat penghilang rasa sakit dubur. Tindakan ini diulang tiap 1-2 minggu
sampai hemoroid sklerotik. Evaluasi : tigapuluh menit sesudah tindakan harus dipastikan bahwa
tidak ada perdarahan peranum. Tujuh hari kemudian dilakukan endoskopis ulang untuk hasil
skleroterapi.

KOMPLIKASI
Perdarahan, abses anus, demam, rasa sakit di dubur, bakteremia, ulkus ano-rektal,
stenosis/striktur anus.

LAMA TINDAKAN
15 menit

WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi PPDS Penyakit Dalam
yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi membantu persiapan dan
pelaksanaan.
RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi

UNIT YANG MENANGANI


RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Gastroenterologi
RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


RS Pendidikan : Departemen Bedah/Digestif
RS Non Pendidikan : Bagian Bedah

368
BUSINASI

PENGERTIAN
Businasi adalah tindakan dilatasi esophagus

TUJUAN
Dilatasi striktur esophagus

INDIKASI
Striktur esophagus, spasme esophagus, akalasia

KONTRAINDIKASI
Keadaan umum buruk

PERSIAPAN
Puasa 6-8 jam

PROSEDUR TINDAKAN
Dilatasi dengan menggunakan busi

KOMPLIKASI
-

LAMA TINDAKAN
30 Menit

WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang
dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi.
RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam.
UNIT YANG MENANGANI
RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Gastroenterologi
RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
-

369
KOLONOSKOPI

PENGERTIAN
Kolonoskopi adalah suatu tindakan untuk mengadakan observasi keadaan lumen usus
besar secara langsung dengan menggunakan endoskop.

TUJUAN
Identifikasi lesi dalam lumen usus besar

INDIKASI
Mengevaluasi kelainan yang didapat pada pemeriksaan Colon in loop
Perdarahan peranum yang tidak diketahui penyebabnya
Diare kronik
Obstipasi
Menegakkan diagnosis keganasan kolon / untuk mendapatkan jaringan biopsy dari kolon
Evaluasi pasca anastomosis
Surveillance : kelompok resiko tinggi untuk kanker kolon, tindak lanjut sesudah operasi
pengangkatan polip atau kanker.
Terapeutik : polipektomi, pengambilan benda asing, terapi laser.

KONTRAINDIKASI
Mutlak : Pasien tidak kooperatif, perforasi usus, peritonitis, kehamilan trimester III, infark
jantung baru, pasien dalam keadaan syok.
Relatif : semua proses peradangan akut dan berat yang akan memperbesar kemungkinan
perforasi.
Diverticulitis akut dengan gejala sistemik
Kehamilan trimester I dan penyakit peradangan panggul
Penyakit anal dan perianal akut
Obstruksi intestinal / distensi perut akut
Demam
Aneurisma aorta abdominal atau aneurisma iliakal
Baru menjalani operasi
Visualisasi terganggu : perdarahan akut gastrointestinal massif, persiapan tidak baik.

PERSIAPAN
Informed concent
Persiapan usus besar :
1. Sejak 2 hari sebelum tindakan, pasien makan bubur kecap atau makanan cair, minum
yang banyak 2-3 liter/hari. Jika sulit buang air besar minum laktulosa 2 x 1 sendok
makan atau bisacodyl 2 x 1 tab/hari.
2. Malam hari sebelum tindakan, puasa. Makan terakhir jam 20.00, setelah itu puasa tetapi
minum tetap boleh kecuali susu. Pukul 21.00 minum garam Inggris 30 gram atau
Dulcolax x 4 tab.
3. Pukul 05.00 pagi (3 jam sebelum tindakan) dilakukan klisma (untuk pasien yang dirawat)
atau bisacodyl 1 buah suppositoria atau larutan enema 1 botol.

370
PROSEDUR TINDAKAN
1. Meniup (inflasi) udara diusahakan seminimal mungkin
2. Sedapat mungkin harus melihat lumen kolon dengan baik dengan menarik alat atau
memutarnya ke kiri atau ke kanan serta menghindari timbulnya loops. Kadang-kadang alat
perlu di dorong menyusuri dinding kolon tanpa melihat lumennya. Hal ini dapat dilakukan
tanpa resiko selama alat tersebut menyusur dengan mudah tanpa paksaan. Bila ada tahanan,
apalagi pasien merasa sakit, sebaiknya alat ditarik mundur.
3. Rasa sakit merupakan suatu tanda bahwa kita harus hati-hati menarik alat dan memendekkan
kolon dengan cara menghisap merupakan salah satu cara keberhasilan mencapai caecum.
Langkah-langkah tindakan :
1. Surat persetujuan tindakan
2. Persiapan kolon
3. Memakai celana khusus yang mempunyai lobang berukuran ( 14 cm) untuk jalannya skop

KOMPLIKASI
Gangguan kardiovaskular dan pernapasan, perforasi kolon, perdarahan, distensi pasca
kolonoskopi, reaksi vasovagal, flebitis, infeksi,volvulus

LAMA TINDAKAN
30-60 menit

WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi, PPDS Penyakit Dalam
yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi membantu persiapan dan
pelaksanaan.
RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi.

UNIT YANG MENANGANI


RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Gastroenterologi
RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Departemen Bedah / Digestif
RS Non Pendidikan : Bagian Bedah

371
PEMASANGAN SELANG NASOGASTRIK

PENGERTIAN
Pemasangan selang nasogastrik (NGT/flocare) ke dalam lambung melalui hidung pada
keadaan pasien tidak dapat menelan makanan oleh berbagai sebab untuk menjamin pemberian
nutrisi enteral. Pemasangan NGT juga dilakukan pada pasien dengan perdarahan saluran cerna
bagian atas, pancreatitis akut ileus paralitik/obstruksi untuk dekompresi.

TUJUAN
Pemberian nutrisi enteral pada pasien yang tidak dapat menelan oleh berbagai sebab.
Dekompresi / menyalurkan cairan lambung keluar pada ileus paralitik/obstruktif dan
pancreatitis akut.
Bilas lambung pada perdarahan SCBA

INDIKASI
Pasien tidak dapat menelan oleh berbagai sebab, perdarahan saluran cerna bagian atas,
pancreatitis akut, ileus obstruktif/paralitik.

KONTRAINDIKASI
Pasien tidak kooperatif

PERSIAPAN
-

PROSEDUR TINDAKAN
1. Pasien posisi terlentang atau miring ke kiri/kanan dengan kepala sedikit di tekuk ke depan.
2. Selang dimasukkan ke hidung setelah ujungnya diberi jeli
3. Setelah mencapai lambung, biasanya pada tanda 3 strip hitam yaitu kira-kira 50 cm dari
lambung dimasukkan udara melalui selang. Hal ini bisa menimbulkan suara yang dapat di
dengar dengan stetoskop yang ditempelkan kira-kira di atas lambung (perut kiri atas/sedikit
di atas epigastrium). Jika terdapat banyak cairan lambung, biasanya cairan lambung keluar
melalui selang.

KOMPLIKASI
Erosi pada esophagus dan lambung

LAMA TINDAKAN
15 menit

WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang
dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi dibantu oleh perawat terlatih.
RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam.

372
UNIT YANG MENANGANI
RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Gastroenterologi
RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Departemen Bedah /Digestif
RS Non Pendidikan : Bagian Bedah

373
ESOFAGO-GASTRO-DUODENOSKOPI

PENGERTIAN
Esofago-gastro-duodenoskopi adalah pemeriksaan intralumen esophagus, gaster, dan
duodenum dengan menggunakan alat endoskop (serat optic atau EVIS).

TUJUAN
Identifikasi lesi mucosal intralumen di esophagus, gaster, dan duodenum

INDIKASI
Dispepsia, disfagia, perdarahan gastrointestinal, konfirmasi abnormalitas pada
pemeriksaan radiologi, penapisan keganasan saluran cerna bagian atas, muntah hebat, berat badan
turun tanpa sebab, dispepsi yang menetap setelah terapi empiric, occult bleeding, anemia tidak
diketahui penyebabnya.

INDIKASI
Terapeutik : Ligasi /STE varises esophagus, mengambil benda asing

KONTRAINDIKASI
Mutlak : tak kooperatif atau psikotik, infark miokard akut
Relatif : kesadaran menurun, divertikulum Zenker, gagal jantung, pneumonia berat, asma akut,
aneurisma aorta torakal, gastritis korosif akut

PERSIAPAN
Persiapan psikologis dan penjelasan tentang tujuan (informed concent)
Puasa 6-8 jam sebelum tindakan
Persiapan alat :
1. Memastikan semua tombol-tombol berfungsi baik. Baik itu air feeding, water feeding,
dan suction (knop).
2. Pompa isap
3. Botol air cukup isinya
4. Sumber cahaya
5. Alat foto tersedia dan cairan formalin (5-10%) serta botol-botol kecil apabila
direncanakan biopsy.

PROSEDUR TINDAKAN
1. Melalui mouth piece, ujung skop diinsersikan ke dalam mulut, faring, sfingter, esophagus
superior dan masuk ke dalam esophagus.
2. Esophagus di evaluasi, kemudian melalui sfingter esophagus bawah, skop dimasukkan ke
dalam gaster
3. Evaluasi dilakukan di daerah kardia, fundus, korpus dan antrum
4. Melalui pylorus skop dimasukkan ke dalam bulbus dan pars desenden duodenum
5. Skup ditarik kembali sambil melihat keadaan mokusa dengan mengisap udara dan cairan
selama ditarik

374
KOMPLIKASI
Refleks vasovagal, perdarahan, aspirasi, perforasi

LAMA TINDAKAN
30 menit

WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi. PPDS Penyakit Dalam
yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi membantu persiapan dan
pelaksanaan.
RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi.

UNIT YANG MENANGANI


RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Gastroenterologi
RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Departemen Bedah / Digestif
RS Non Pendidikan : Bagian Bedah

375
3.8

HEPATOLOGI

376
BIOPSI ASPIRASI JARUM HALUS

PENGERTIAN
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) atau fine needle aspiration biopsy (FNAB) adalah
suatu tindakan untuk menetapkan diagnosis jaringan dengan menggunakan jarum halus tanpa
melalui prosedur pembedahan.

TUJUAN
Untuk menetapkan diagnosis lesi-lesi maligna organ intra abdomen seperti hati, pancreas dan
limpa
Untuk menentukan stadium suatu keganasan

INDIKASI
Terdapat lesi fokal di hati
Terdapat dugaan adanya keganasan pada korpus dan kauda pancreas
Limfadenopati peripankreatik atau para aorta

KONTRAINDIKASI
Gangguan hemostatis, pasien tidak kooperatif, asites

PERSIAPAN
Bahan dan Alat :
Alat USG yang dilengkapi dengan probe yang khusus digunakan sebagai penuntun biopsy
aspirasi
Jarum chiba no. 22 G-23 G dengan panjang 15 atau 20 cm
Gelas obyek
Lidokain 2% 5 ampul
Alcohol 96%
Spuit Betadine disposable 10 cc dan 20 cc masing-masing 1 buah
Aspirator
Sarung tangan steril
Kain handuk steril

Pasien :
Pasien rawat inap
Pasien tidak dipuasakan
Diperiksa masa perdarahan, masa pembekuan dn masa protrombin
Vitamin K 10 mg intra muscular mulai 1 hari sebelum tindakan
Terpasang infuse NaCI 0,9% atau Dextrose 5%
Surat persetujuan tindakan

377
PROSEDUR TINDAKAN
Tindakan dilakukan secara lege artis meliputi :
1. Persiapan periksa kembali kelengkapan bahan dan alat periksa pasien tidak ada
kontraindikasi sudah ada persetujuan tindakan
2. Teknik puncture
a dan antisepsis lapangan kerja dengan larutan betadine
tentukan titik puncture USG
infiltrasi anestesi local dengan lidokain 2% 6-10 cc dari titik puncture yang ditentukan
sampai daerah kapsul hati atau peritoneum
lakukan puncture dengan jarum chiba dengan dipandu USG sampai ke daerah sasaran.
3. Teknik aspirasi
Setelah jarum mencapai sasaran yang dituju lepaskan mandarin di dalamnya
Lakukanlah aspirasi dengan spuit disposable 20 cc dengan cara membuat tekanan negative
serta menarik dan mendorong jarum ke atas dan ke bawah
Setelah didapat aspirat, tekanan negative spuit dinetralkan kembali dan jarum kemudian
ditarik.
4. Pembuatan slide
Keluarkan aspirat dari jarumnya dengan mendorongnya dengan mandrin atau spuit
disposable ke atas gelas obyek
Buatlah sediaan apus preparat direndam dalam alkohol 96% selama 5 menit
5. Pengawasan pasca tindakan
Setelah luka dirawat periksa tekanan darah dan pulsasi.

LAMA TINDAKAN
30 menit

KOMPLIKASI
Perdarahan, nyeri daerah tusukan, peradangan, seeding sepanjang tract jarum

WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam yang sudah mendapat sertifikasi. PPDS
Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Hepatologi : mempersiapkan dan
membantu pelaksanaan.
RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam.

UNIT YANG MENANGANI


RS Pendidikan : Departemen Penyakit Dalam-Divisi Hepatologi
RS Non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
-

378
PARASENTESIS ABDOMEN

PENGERTIAN
Parasentesis abdomen adalah suatu tindakan untuk mengeluarkan cairan asites

TUJUAN
Untuk membantu menegakkan diagnosis
Sebagai terapi, bila pengobatan dengan medikamentosa tidak member respons

Indikasi
Diagnostic : untuk memastikan penyebab asites atau menentukan asites yang terinfeksi
seperti SBP pada pasien sirosis hati.
Untuk mengatasi distensi abdomen atau sesak napas akiba tekanan asites.

KONTRAINDIKASI
Gangguan pembekuan darah, masa protrombin memanjang > 5 detik control, trombosit <
50.000/mm. ileus obstruktif, infeksi pada dinding perut
Relative : pasien tidak kooperatif, riwayat operasi laparotomi berulang

PERSIAPAN
Bahan dan alat :
Sarung tangan steril
Betadine, alkohol
Kasa steril
Kain duk steril
Lidokain 1% (10 cc)
Spuit disposable 10 cc (2 buah), 50 cc (2 buah)
IV cath no. 14 atau 16
Blood set
Tabung steril

Pasien :
Diperiksa darah perifer lengkap, masa perdarahan, masa pembekuan dan masa protrombin
(paling lama 48 jam terakhir)
Surat persetujuan tindakan

PROSEDUR TINDAKAN
Vesika urinaria harus kosong
Pasien tidur berbaring dengan posisi kepala 45-90
Identifikasi tempat aspirasi : hindari vena-vena kolateral, pembuluh darah epigastrika inferior,
lokasi bekas operasi dan limpa yang membesar
Pakai sarung tangan steril
Bersihkan lokasi tindakan dengan antiseptic
Pasang duk steril
Anestesi local dengan likodain 1% sampai dengan peritoneum
Pasang IV-cath no 14 atau 16 secara zigzag, sedot cairan dengan spuit 10 cc dan 50 cc untuk
379
pemeriksaan.
Untuk tujuan terapi pasang set infuse, lalu alirkan cairan keluar
Tidka ada batas pasti jumlah maksimal yang boleh dikeluarkan, rata-rata 3-4 liter masih
cukup aman
Pada pasien sirosis hati sebaiknya ditambahkan 6-8 g albumin intraven untuk setiap liter
cairan asites yang dikeluarkan.

LAMA TINDAKAN
Parasentesis diagnosis : 15 menit
Parasentesis terapeutik : tergantung jumlah cairan asites yang dikeluarkan

KOMPLIKASI
Local : perdarahan, infeksi dinding perut, peritonitis, perforasi usus atau vesika urinaria
Umum : Hipovolemia, hipotensi, gagal ginjal, ensefalopati portosistemik.

WEWENANG
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang /
sudah melalui Divisi Hepatologi.
RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam.

UNIT YANG MENANGANI


RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Hepatologi
RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
-

380
BAB IV

PENUTUP

381
PENUTUP

Sebagaimana kita ketahui kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam bidang kedokteran/kesehatan khususnya ilmu penyakit dalam, sedemikian cepat dan luas
seiring dengan pertambahan jumlah penduduk di Indonesia yang semakin banyak serta kemajuan
dan perubahan pola pikir masyarakat tentang pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, dengan
adanya Buku Standar Pelayanan Medik Penyakit Dalam PAPDI ini dapat membantu sejawat
dalam memberikan pelayanan dan perawatan kesehatan kepada masyarakat secara lebih optimal,
berkesinambungan, professional dan dapat dipertanggungjawabkan.

Standar Pelayanan Medik Penyakit Dalam ini meliputi standar operasional yang bermutu
dalam pelayanan dan perawatan kesehatan kepada masyarakat yang diperuntukkan bagi semua
sarana pelayanan kesehatan yang telah dan akan menggunakan standar pelayanan medic ini.

Apabila ada kekurangan dalam penyusunan Standar Pelayanan Medik Penyakit Dalam
PAPDI ini kami menerima masukan dari sejawat untuk revisi selanjutnya.

382

Anda mungkin juga menyukai