Pemanfaatan Predator Burung Hantu (Tyto Alba) Sebagai Predator Hama Tikus
(Rattus Argentiventer)
Disusun Oleh:
Nama : Sigit Pramono Putra
Nim : 1610311066
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Pemanfaatan
Burung Hantu (Tyto Alba) Sebagai Predator Hama Tikus (Rattus Argentiventer). ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada
Ibu Ir. Oktarina, MP. selaku Dosen mata kuliah Pengendalian Hayati yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai dampak yang ditimbulkan dari sampah, dan juga bagaimana
membuat sampah menjadi barang yang berguna. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun
.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi
perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................................
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................
1.3 Tujuan.................................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................
2.1 Klasifikasi Burung Hantu..................................................................................................
2.2 Pengendalian Hayati..........................................................................................................
2.3 Permasalahan Pengendalian Hayati...
BAB III PENUTUP................................................................................................................
3.1 Kesimpulan.........................................................................................................................
3.2 Saran...................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dari berbagai literature diketahui bahwa hama tikus selalu menimbulkan kerusakan tanaman
pertanian di lapangan dan produk pertanian yang ada di gudang penyimpanan. Petani ataupun
pekebun sangat takut akan kehadiran tikus yang ada di lahan pertaniannya. Berbagai cara
untuk mengendalikan hama tikus ini dilakukan, namun masih sering terjadi peledakan
populasi yang mengakibatkan kegagalan panen dari usaha tani yang dijalankan. Ataupun
kegagalan usaha budidaya tanaman pertanian baik pangan ataupun perkebunan. Hama tikus
sulit untuk dikendalikan,karena pengendalian tikus pada umumnya dilakukan petani secara
individu, tidak serempak dan tidak secara bersama-sama dalam satu hamparan/wilayah.
Petani dalam mengendalikan hama tikus sering terlambat, bila sudah terjadi serangan hama
tikus baru dilakukan pengendalian hama tikus.
Seperti diketahui bahwa tikus dapat berproduksi pada usia 2-3 bulan setelah lahir dan masa
kehamilan hanya membutuhkan waktu 19-21 hari. Seekor tikus betina bisa melahirkan 5-10
ekor setiap kelahiran dan dalam jangka waktu satu tahun mampu melahirkan 5-10 kali
dengan perbandingan jantan dan betina: 50%:50%. Induk tikus akan kawin lagi setelah 48
jam pasca melahirkan. Dapat dibayangkan besarnya populasi tikus yang ada di lahan
pertanian jika tidak ada usaha ataupun tindakan pengendalian. Keturunan tikus akan
berkembang ribuan ekor dalam jangka waktu setiap tahunnya.Tikus juga mampu beradaptasi
terhadap berbagai kondisi alam lingkungan (iklim, topografi, dan vegetasi). Tikus termasuk
binatang yang sangat aktif, cerdik dan berumur relatif panjang. Habitat hidup tikus tidak
menetap karena selalu berimigrasi dari suatu tempat ke tempat lain sesuai dengan
ketersediaan bahan pangan.
Upaya pengendalian dengan berbagai cara harus dilakukan karena habitat tikus yang
komplek. Selain itu pengendalian tikus harus dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan.
Proses reproduksi dan sifat serangan tikus yang relatif sangat cepat, perlu upaya pengendalian
dengan sistim terpadu. Dengan sistim ini diharapkan populasi tikus dapat ditekan. Ternyata di
alam banyak ditemukan berbagai musuh alami hama tikus ini. Salah satu komponen
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah pemanfaatan musuh alami dengan Burung
Hantu Tyto alba. Burung predator Tyto alba ini sering juga disebut dengan nama-nama
spesifik lolal, di Sumatra umumnya disebut Burung Hantu. Pemanfaatan T. alba javanica
(Gmel.) sebagai agen pengendali hayati tikus memberikan harapan cukup baik di sektor
pertanian pangan dan juga perkebunan.
Tikus adalah satu makanan spesifik burung hantu. Burung hantu dewasa dapat memangsa
tikus sebanyak 2-5 ekor tikus setiap harinya. Jika tikus sulit didapat, tak jarang
burung ini menjelajah kawasan berburunya hingga 12 km dari sarangnya. Burung hantu aktif
pada malam hari, hinggap di atas bangunan atau dahan pohon sambil memantau gerakan
mangsanya. Burung hantu mempunyai indera penglihatan yang sangat tajam.
Sistem binokuler-nya yang sangat baik menyebabkan burung hantu dapat memantau
mangsanya tanpa menggerakkan kepala. Dengan gerakan sedikit saja dari mangsanya, ia
telah dapat mendeteksinya. Kemampuan berburu sangat tinggi, tangkas dan handal. Memiliki
daya dengar dan penglihatan yang sangat tajam. Bulunya yang halus tidak menimbulkan
suara di saat terbang hendak mencengkeram mangsanya. Namun saat populasi tikus tinggi,
burung hantu membantai tikus lebih dari yang dia makan. Sehingga burung hantu sangat
efektif untuk mengendalikan hama tikus di lahan pertanian. Keuntungan mengendalikan tikus
dengan burung hantu, yaitu a) mampu menekan populasi tikus secara efektif, b) tidak
berdampak negatif terhadap lingkungan, c) tidak memerlukan biaya dan tenaga yang besar, d)
meningkatkan efisiensi waktu petani dan dapat dimanfaatkan oleh beberapa petani (Boeadi.
1979).
Dari referensi yang ada diketahui bahwa burung predator Tyto alba ini sudah banyak
dimanfaatkan di belahan dunia. Seperti di Israil, burung ini sudah dikembangkan untuk
pengendalian tikus dan jenis hama pengerat lainnya pada lahan/kebun anggur dan juga kebun
kurma. Melihat sejarah yang penjang dan bermanfaat ini, tek heran bila dilakukan
penangkaran burung karena penyebaran Tyto alba sangat tergantung pada ketersediaan
sangkar (Isti, Bambang, 2011).
Pengalaman dalam menerapkan burung predator Tyto alba dilaporkan di berbagai tempat
merupakan hal yang sangat ekonomis untuk petani. Hasil yang ditemukan oleh banyak petani
bahwa adanya burung predator ini lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan racun
kimia, dan petani dapat menyiapkan habitat dengan membuat kandang-kandang baru
(Winardi, 2010).
Keberlanjutan pengelolaan tikus agar tidak menimbulkan kerugian secara ekonomis akan
dapat dilakukan dengan mengelola alam (agro-ekosistem) dengan mengandalkan kombinasi
dari berbagai tindakan pengendalian yang sudah teruji. Keberhasilan pengendalian hama
tikus berbasis kawasan akan sangat mendukung terhadap kestabilan agroekosistem yang akan
berjalan. Untuk mengendalikan tikus dalam rangka pengamanan kawasan perlu dirancang
strategi untuk mengimplementasikannya, agar pencapaian hasilnya akan dapat memuaskan.
Berbagai tahapan yang paling memungkinkan akan meliputi: tahap penjajagan (survey)
keberadaan burung predator; penyediaan sarang (rumah burung predator); perencanaan
distribusi/penyebaran populasi; pembiakan khusus dalam kandang karantina; penempatan
burung hasil pembiakan; dan sosialisasi manfaat dan kehadiran burung predator kepada
seluruh stake-holder (Latief, 2012).
Tahapan awal yakni penjajagan (survey keberadaan burung predator) dilakukan dengan cara
pengamatan langsung dan kunjungan lapangan dengan mendengarkan teriakan-teriakan pada
malam hari dari burung predator; atau mencari pellet di sekitar bangunan-bangunan atau
tempat yang diduga sebagai tempat berbiak secara alami dari burung predator ini;
menanyakan kepada komunitas petani yang pasti lebih mengetahui dengan mencari tempat
bersarang di plafon bangunan ataupun pada rumah atau bangunan tua yang diperkirakan dan
diketahui ditempati oleh burung. Model ini sangat mudah dilakukan dan cukup efisien untuk
mendapatkan lokasi-lokasi burung predator yang sudah ada di lapangan. Jika dikawasan
tersebut telah dijumpai kehadiran burung, maka dapat segera dipersiapkan dan dipasang
kandang burung predator dan diusahakan ditempatkan tidak jauh dari posisi bersarangnya
burung tersebut dan ini merupakan tahap kedua.
Pada tahap kelima yakni penempatan burung predator hasil pembiakan. Hasil proses
pembiakan atau perbanyakan yang dilakukan pada kandang karantina akan segera dapat
ditempatkan atau didistribusikan pada lokasi-lokasi yang telah ditetapkan. Distribusi turunan-
turun (generasi baru) dari hasil perbanyakan ini dapat dibantu dengan menggunakan alat GIS
(Geographic Information System) dalam hal penempatan sesuai hasil pemetaan yang
didapatkan. Adanya penempatan generasi baru dengan menggunakan GIS ini akan sangat
membantu bagi kita dalam menampilkan hasil ataupun kemajuan dalam pengembangannya
kepada berbagai pihak.
Penempatan kandang baru dan turunan baru ini berpedoman pada kondisi tempat yang ada,
misalnya ada pepohonan yang relative tinggi dan tidak terlalu ribut.
Sedang pada tahapan keenam adalah sosialisasi manfaat dan kehadiran burung predator
kepada seluruh stake-holder. Kegiatan ini sangat penting untuk dilakukan dan berbagai
kegiatan untuk menunjang hal tersebut dapat dilakukan. Bila memungkinkan diterbitkannya
peraturan khusus yang dilakukan secara partisipatif di tengah-tengah komunitas kawasan
DAS yang menjadi objek pengembangan. Berbagai aturan hukum yang sudah ada dan dapat
digunakan seperti UU No 5 Tahun 1990 dan PP No 8 Tahun 1999 tentang Pelarangan
Perburuan. Jika memungkinkan dibentuk Peraturan Desa yang disiapkan secara partisipatif.
Sosialisasi dalam bentuk publikasi tentang burung predator ini kepada tokoh-tokoh formal
dan non formal, Pemasangan Papan-Papan Pengumuman di tempat-tempat strategis tentang
Perlindungan Terhadap Burung Predator. Memunculkan komunitas-komunitas pencinta
burung predator dan dukungan aparat pemda khususnya para SKPD dan Petugas Lapangan
yang membidangi pertanian dan kehutanan.
Tahapan akhir yang wajib dilakukan adalah evaluasi kemajuan (perkembangan) yang
dilakukan pada setiap semester. Evaluasi dilakukan terhadap beberapa indikator utama yakni
perkembangan burung predator itu sendiri (populasi dan kandang burung ditempati), dan
tingkat serangan atau kerusakan komoditas pertanian yang ada. Evaluasi akan sangat menarik
jika dapat dilakukan secara partisipatif, sehingga semua stake holder dan komunitas akan
secara bersama-sama mampu memahami perkembangan (kemajuan) yang telah dicapai. Jika
mengalami kegagalan mereka juga akan mampu memberi masukan untuk perbaikannya,
namun jika berhasil keswadayaan komunitas akan bangkit dan terbangun. Proses evaluasi
juga dapat melibatkan para peneliti dari kalangan perguruan tinggi yang memiliki minat
dalam pengembangan pedesaan.
Pengembangan pengendalian tikus berbasis kawasan ataupun jenis kegiatan lain yang
berbasiskan agroekosistem tertentu diharapkan akan mampu menjawab pertanyaan bagi
kawasan yang mendambakan bebas serangan tikus.
Hal ini dapat disesuaikan dengan model pengembangan pertanian pedesaan berbasis inovasi
(M-P3MI) sebagai penterjemahan konsep diseminasi inovasi yang tidak hanya focus dalam
percepatan penyebaran inovasi pertanian, tetapi juga memperluas dan memperbesar spectrum
diseminasi.
1.3 Tujuan
1. Tujuan pembuatan makalah untuk mengetahui tahapan perkembangbiakan burung
hantu agar dapat dimanfaatkan sebagai predator yang efektif untuk mengendalikan
hama tikus.
2. Mengendalikan tikus yang ramah lingkungan.
3. Mengatasi permasalahan-permasalahan pengendalian tikus dengan burung hantu.
BAB II
PEMBAHASAN
Boeadi. 1979. Morphologi tikus. Prosiding Lokakarya Pengendalian Hama Tikus. Direktorat
Perlindungan Tanaman Pangan. Jakarta.
Isti, Bambang, 2011. Burung Hantu Selamatkan Padi & Jagung Petani. Suara
Merdeka.
Latief Imanadi, 2012. Burung Hantu (Tyto alba) Pengendali Tikus yang Ramah Lingkungan.
Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya.
Dalamhttp://portalpertanianjuwiring.blogspot.com/2012/12/burung-hantu-tyto-
albapengendali-tikus_14.html
Winardi. 2010. Atasi Hama Tikus Dengan Pemanfaatan Burung
Hantu.http://berita.kapanlagi.com/pernik/atasi-hama-tikus-warga-bengkulu-manfaatkan-
burung-hantu-m0navgl_print.html