Referat GER
Referat GER
REFLUKS GASTROESOFAGEAL
Disusun Oleh:
11.2016.100
Pembimbing :
dr. Melani Rakhmi Mantu, Sp.A, M.Kes
BAB I
1
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Refluks Gastroesofageal (RGE) (GER) adalah suatu keadaan, dimana terjadi disfungsi
sfingter esofagus bagian bawah sehingga menyebabkan regurgitasi isi lambung ke dalam
esofagus. Makanan yang kembali dari lambung ke esogafus tersebut, mungkin masuk
kembali ke dalam lambung atau dikeluarkan melalui mulut menyerupai muntah. 1 Refluks
ini secara klinis dibagi menjadi dua kelompok, yaitu refluks fisiologis dan patologis. Refluks
fisiologis dapat terjadi berulang-ulang sepanjang hidup, terutama pada anak, tetapi umumnya
tanpa mengakibatkan suatu kelainan yang berarti, sedangkan refluks patologis dapat
mengakibatkan berbagai kelainan respiratorik akibat aspirasi asam lambung. Refluks yang
terjadi patologis ini di panggil Gastroesophageal reflux disease (GERD)2.
EPIDEOMOLOGI
RGE dapat terjadi pada semua usia, dengan prevalens tertinggi pada bayi kemudian
menurun dan menghilang pada usia 12-15 bulan.2
Refluks gastroesofageal fisiologis biasanya terjadi setelah makan (33% pada dua jam
pertama setelah makan), dan kadang-kadang terjadi ketika tidur. Refluks gastroesofageal
yang patologis, GERD jarang terjadi yaitu (0,3% dari seluruh refluks, umumnya terjadi dua
jam setelah makan ) , dan sebagian kecil terjadi ketika tidur.2,11
Prevalensi GERD juga meningkat pada anak yang mempunyai riwayat kelainan
neurologis, asma, bronkopulmonar dysplasia dan batuk kronis.11
ETIOLOGI
3
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya refluks, yaitu : penurunan
kompetensi sfingter esofagus bagian bawah, pengembalian bahan refluks dari esofagus yang
tidak efisien, dan gangguan fungsi tamping (reservoir) lambung. Berbagai kelainan yang
dapat menyebabkan timbulnya refluks akan bekerja melalui ketiga hal tersebut2.
Refluks fisiologis
Makan/minum berlebihan
Refluks patologis
Esofagitis kronis
TIK meningkat
Gangguan neurologis
Miopati
Toksin
4
Esofagus berasal dari primitive fore gut yang dalam perkembangannya membentuk 2
celah laringotrakheal sepanjang dinding lateral yang kemudian bersatu dan memisahkan
esofagus primitive dari trakea bagian depan. Keadaan ini berlangsung pada usia janin minggu
ke 3-6. Pada manusia 1/3 bagian atas dinding atas esofagus terdiri atas otot lirik, sedangkan
2/3 bagian bawah adalah otot polos. Pada waktu istirehat ujung atas tertutup oleh sfingter
krikofaring (sfingter esofagus atas = SEA ) dan di bagian bawah oleh sfingter esofagus
bawah (SEB). Tonus kedua sfingter ini mencegah udara masuk dari atas dan mencegah
refluks makanan dari lambung. SEA melemas waktu menelan dan SEB-pun melemas ketika
peristaltik mencapai sfingter tersebut1,9.
Dimulai di faring sewaktu menelan, bergerak melalui sfingter krikofaring ke bawah ke arah
esofagus. Pada sikap tegak, cairan dan makanan yang agak cair masuk ke esofagus dan
lambung karena gaya berat, mendahului gelombang peristaltik primer1.
Sisa makanan yang tidak terdorong oleh peristaltik primer menimbulkan reflex vago-vagal
dan reflex mienterik yang menimbulkan gelombang peristaltik sekunder. Gelombang
peristaltik primer maupun sekunder di esofagus terutama dikendalikan oleh reflex vagus,
sedangkan reflex mienterik kurang penting peranannya1.
5
Fungsi sfingter esofagus bagian bawah yang utuh mncegah terjadinya refluks. Penurunan
kompetensi sfingter bagian bawah merupakan penyebab refluks tersering. Fungsi sfingter ini
pada dasarnya ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: tekanan atau tonus sfingter, panjang seluruh
sfingter, dan panjang dari bagian sfingter yang terletak di dalam rongga abdomen.2
1. Tonus sfingter
Tonus yang rendah dapat memudahkan terjadinya refluks. Penurunan tonus hingga di
bawah 6 mmHg dilaporkan dapat menimbulkan kejadian refluks hingga 79,2%. Tonus
sfingter dapat menurun karena berbagai sebab, misalnya relaksasi esofagus bawah yang
sementara (transient lower esophageal relaxation), relaksasi kronis karena esofagitis
berat, beberapa jenis obat seperti aminofilin dan -blocker, dll2.
2. Panjang sfingter
Panjang sfingter normal adalah 2,5-3 cm (75% terletak didalam rongga abdomen).
Semakin pendek sfingter maka semakin kurang kemampuannya dalam mencegah
refluks2.
Tekanan positif dari rongga abdomen dapat membantu meningkatkan kompetensi sfingter
secara mekanis. Semakin pendek bagian sfingter yang terletak di dalam rongga abdomen,
maka semakin besar kemungkinan terjadinya refluks. Bila panjang bagian sfingter ini
kurang dari 2 cm, prevalens refluks menjadi kurang lebih 80%2.
Sfingter bagian bawah esofagus ini akan semakin matur, demikian pula tonus
intrinsiknya. Tekanan sfingter ini mencapai titik puncak pada bayi lahir, kemudian
menurun dengan meningkatnya usia2.
5. Faktor anatomis
Selain tekanan atau tonus sfingter, panjang seluruh sfingter, dan panjang dari bagian
sfingter yang terletak di dalam rongga abdomen, faktor anatomis secara mekanik juga
berperan dalam terjadinya refluks. Bentuk anatomi esofagus lambung ternyata merupakan
faktor penting yang dapat mencegah refluks secara mekanik. Pada bayi baru lahir,
angulus His (sudut antara bagian distal esofagus dan bagian kardia lambung ) masih
6
tumpul. Dengan berkembangnya bagian kardia, sudut ini semakin tajam, sehingga
terbentuk lipatan mukosa yang berfungsi sebagai katup (flap valve) yang dapat mencegah
terjadinya refluks secara mekanis ketika kardia mengalami distensi. Selain itu, lubang
keluar esofagus distal dalam keadaan kolaps membentuk huruf H, dan berperan sebagai
katup penyumbat ( choke valve ). Otot polos esofagus yang berjalan melingkar juga turut
berperan, karena dapat mengatur besar kecilnya diameter penampang esofagus 2.
Sebagian sfingter esofagus distal yang terletak di dalam rongga abdomen dipengaruhi
tekanan intraabdomen yang positif. Akibatnya, sfingter menjadi lebih kuat dalam
menghalangi makanan yang sudah masuk ke dalam lambung kembali kedalam esofagus.
Jepitan diafragma meningkatkan kompetensi sfingter. Sebaliknya, kompetensi sfingter
esofagus dapat berkurang karena radang kronis atau fibrosis karena esofagitis, dan pada
hernia difragmatika karena sfingter berada di dalam rongga dada dengan tekanan
negative2.
FISIOLOGIS REFLUKS
Sfingter esofagus tidak selalu berada dalam keadaan kontraksi. Pada saat menelan,
sebelum gerak peristaltik mencapai sfingter, sfingter mengalami relaksasi terlebih dahulu
karena pengaruh nervus vagus, sehingga memungkinkan terjadinya refluks. Asam
lambung yang masuk ke dalam esofagus akibat refluks yang patologis, pada keadaan
normal umumnya tidak akan menimbulkan kelainan yang berarti pada esofagus. Dalam
keadaan normal, bahan yang masuk kedalam esofagus akibat refluks dapat dikembalikan
lagi ke dalam lambung oleh gelombang peristaltik primer yang diawali dengan proses
menelan, atau dapat dikembalikan oleh gelombang peristaltik sekunder akibat distensi
esofagus karena makanan.2,9,10
7
GEJALA KLINIS
Gejala klinis biasanya hanya muntah tidak projektil, sehingga kebanyakan orang tua
menganggapnya suatu hal yang normal, dan tidak merisaukan keadaan bayinya kecuali
jika muntah nya terus menerus. Gejala klinis lainnya yaitu adanya infeksi paru berulang
tanpa adanya gejala muntah yang menonjol.1
Gejala lain yang sering ditemukan pada kasus RGE adalah gagal tumbuh kembang
(failure to thrive). Gagal tumbuh kembang ini terjadi karena muntah yang berat dan
terus menerus sehingga makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan bayi terbuang
percuma. Keadaan ini merupakan problem utama pada bayi dan jarang ditemukan pada
anak yang lebih besar.1
8
Manifestasi klinis Refluks Gastroesofagus secara umum2 :
Sering
Sering muntah
Kolik
Wheezing
Pneumonia berulang
Esofagitis
Jarang
Apnea
Gagal tumbuh
Stridor
Sangat Jarang
Suara parau
Hemoptisis
Anemia
Fibrosis paru
9
GER GERD
Regurgitasi dengan berat badan normal Regurgitasi dengan berat badan kurang
Tidak ada tanda dan gejala esofagitis Rewel, nyeri pada anak
Disfagia
Batuk Kronis
Stridor
Disgafia, odinofagia
DIAGNOSIS
Diambil dari gelaja muntah, dapat dibagi menjadi 3, yaitu pada bayi, anak 4.
Atresis duodenum
Mekoneum ileus
Malrotasi
Overfeeding
Sepsis
Meningitis
Bulimia
Obstruksi intestinal
Infeksi esofagitis
Pill esofagitis
Eosinofilik esofagitis
PENATALAKSANAAN
Pada 80% pasien, gejala teratasi dengan intervensi minimal, tanpa memerlukan
pengobatan medikamentosa. Tujuan pengobatan termasuk eliminasi gejala, penyembuhan
esofagitis, manajemen komplikasi, dan mempertahankan remisi. Pilihan terapi termasuk
perubahan gaya hidup, terapi farmakologi, dan pembedahan anti refluks. Juga sangat
11
penting pemberian edukasi kepada pasien atau keluarga dan melakukan tindakan yang
tepat pada bayi mengalami refluks gastroesofagus tanpa komplikasi.1,3,8
Terapi Konservatif
ASI yang mempunyai sifat easy in easy out harus terus diberikan karena :
2. Formula hipoalergenik1,2,3,8,11
Formula hipoalergenik dapat dicoba selama 1-2 minggu pada bayi yang mendapat
formula yang mengalami muntah, karena beberapa orang bayi memiliki alergi
terhadap susu sapi.
3. Penambahan sereal1,2,3,8,11
Sebagai agen untuk mengentalkan formula. Formula ini memberikan kalori tambahan
juga dapat mengurangkan regurgitasi yang berlebihan, frekuensi dan volume muntah
dibandingkan dengan formula yang tidak menggunakan agen pengental.3
4. Terapi posisi1,2,3,7,8,11
Tujuan diberikan adalah untuk menunjukkan efikasi yang baik pada populasi pasien,
mengurangi volume dan asiditas refluks, meningkatkan kompetensi LES, meningkatkan
klirens esofagus, meningkatkan resistensi mukosa esofagus, tidak ada efek yang
merugikan, dan aman serta biaya yang rendah1,3.
1. Obat prokinetik
13
Obat ini secara kompetitif menghambat aksi histamin pada reseptor histamin H2 pada
sel parietal lambung. Obat ini sangat selektif pada reseptor histamine H2 dan
memiliki sedikit atau tanpa efek pada reseptor histamine H1. Makanya, obat ini
menghambat sekresi asam yang dihasilkan oleh reseptor histamin, tapi tidak memiliki
efek pada sekresi asam yang disebabkan oleh asetilkolin atau gastrin. Obat yang
termasuk golongan ini adalah Cimetidin, Ranitidin, Famotidin dan Nizatidin.
Obat ini terikat dengan hydrogen/potassium adenosine triphosphate, suatu enzim yang
berperan sebagai pompa proton pada sel parietal, karena itu dapat menghambat
pertukaran ion yang merupakan langkah akhir pada sekresi asam hidroklorida.
Sehingga kini, tidak ada PPI yang dibenarkan penggunaannya pada bayi < 1 tahun.
Diantara obat, omeprasol, lansoprasol, pantoprasol, rabeprasol dan esomeprasol.
Omeprasol dan lansoprasol telah dibenarkan oleh FDA pasa pasien anak-anak. Obat
yang lain masih belum dibenarkan penggunaannya.
14
KOMPLIKASI
PROGNOSIS
Bagi infantil, prognosis GER adalah baik, dengan kebanyakan pasien memberi respon
terhadap pengobatan konservatif dan non farmakologik 6. Gejala yang berlanjutan
sehingga > 18 bulan berkemungkinan untuk mendapat GER yang kronis. Sekiranya kasus
dengan komplikasi, perlunya tindakan bedah. Prognosis untuk pembedahan adalah baik 6.
Bagi anak yang mempunyai masalah perkembangan dan kelainan pada motorik ,
manajemen untuk GER biasanya susah dengan adanya disfungsi pada reflex menghisap
dan menelan6.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Gastroesofageal reflux (GER) adalah suatu keadaan, dimana terjadi disfungsi sfingter
esofagus bagian bawah sehingga menyebabkan regurgitasi isi lambung ke dalam
esofagus. Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah gejala-gejala atau kerusakan
16
jaringan yang terjadi sekunder akibat refluks isi lambung Diagnosis ditegakkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik tidak
banyak yang khas. Namun terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat
membantu menegakkan diagnosis. Pilihan terapi GERD termasuk perubahan gaya hidup
(misalnya, modifikasi diet, posisi tubuh yang benar selama dan setelah makan), terapi
farmakologi, dan operasi antirefluks
DAFTAR PUSTAKA
2. Rahajoe NN, Supriyatno B dkk. Buku Ajar Respiratologi Anak. Kelainan Sistem Respiratorik
akibat Refluks Gastroesofagus. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010. Edisi 1, Cetakan Kedua.
Jakarta. Bab 7. H; 384-397.
17
3. Hegar Badriul, Vandenplas Yvan. Paediatrica Indonesiana. Gastroesophageal Reflux in
Children. Vol 51. P: 361-371.
4. Strange GR, Abramo JT, Deis NJ. Pediatric Emergency Medicine. 3 rd edition. McGraw Hill.
In Gastroesophageal reflux. Chapter 73. USA 2009. Page: 609-613.
5. Kleigman MR, et al. Nelson textbook of pediatrics. 18th edition : WB Saunders Co.2007.
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Chapter 320. Page : 1547-1550
6. Schwarz MS, Cuffari C et al. Pediatric Gastroesophageal Reflux. Updated: Jun 14, 2012 at
www.medicine.medscape.com
7. Christopher Boey CM. Acid reflux in Children. Malaysian Paediatric Association (MPA).
Updated 5 June 2012 at www.mpaweb.org.my
8. Shaw Vannesa, Lawson Margaret. Clinical Paediatric Dietetic. 3 rd edition. Gastroenterology;
Gastro-oesophageal reflux. Page 115-118.
9. Price AS, Wilson ML. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Volume
1. Penerbit Buku Kedokteran EGC 2003. Cetakan 1, 2006. Gangguan Esofagus; Bab 23. H:
404-416.
10. Mayo Clinic. Infant Acid Reflux. Last review on August 21, 2010. Accessed at
http://www.mayoclinic.com
11. Jung DA. Gastroesophageal Reflux in Infant and Children. American Family Physician.
Volume 64, Number 11. December 1, 2001. Page : 1853-1860.
18