Anda di halaman 1dari 18

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

REFLUKS GASTROESOFAGEAL

Disusun Oleh:

Bryan Eliezer Situmorang

11.2016.100

Pembimbing :
dr. Melani Rakhmi Mantu, Sp.A, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN
PERIODE 4 SEPTEMBER-11 NOVEMBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA
2017

BAB I
1
PENDAHULUAN

Refluks Gastroesofageal (GER) adalah suatu keadaan, dimana terjadi disfungsi


sfingter esofagus bagian bawah sehingga menyebabkan regurgitasi isi lambung ke dalam
esofagus. Makanan yang kembali dari lambung ke esofagus tersebut, mungkin masuk
kembali ke dalam lambung atau dikeluarkan melalui mulut menyerupai muntah. Beberapa
istilah di masyarakan yang dapat disamakan dengan GER adalah olab (Sunda), gumoh
(Jawa) , meluah (Bali) dan menduga (Minang). 1
Insiden GER di Indonesia yang pasti sampai saat ini belum diketahui, tetapi menurut
beberapa ahli, GER terjadi pada 50% bayi baru lahir dan merupakan suatu keadaan yang
normal. Secara klinis kadang-kadang sulit membedakan refluks dari muntah. Refluks terjadi
secara pasif karena katup antara esofagus dan lambung belum berfungsi baik, baik karena
hipotonia, maupun karena posisi sambungan esofagus dan kardia atau belum berfungsi
sebagaimana lazimnya, sedangkan muntah adalah pengeluaran isi mulut melalui mulut
dengan paksa. 1
GER juga harus dibedakan dari : (a) Possetting yaitu pengeluaran isi lambung sehabis
makan, biasanya meleleh keluar dari mulut, sering didahului dengan bersendawa dan (b)
Rumination yaitu keluarnya isi lambung ke dalam mulut, kemudian mengunyah dan
menelannya kembali. Keluarnya isi lambung kadang-kadang dirangsang secara sadar dengan
mengorek faring dengan jari. Keadaan ini tidak berbahaya, tetapi merupakan kebiasaan yang
sulit dihilangkan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2
Refluks Gastroesofageal (RGE) (GER) adalah suatu keadaan, dimana terjadi disfungsi
sfingter esofagus bagian bawah sehingga menyebabkan regurgitasi isi lambung ke dalam
esofagus. Makanan yang kembali dari lambung ke esogafus tersebut, mungkin masuk
kembali ke dalam lambung atau dikeluarkan melalui mulut menyerupai muntah. 1 Refluks
ini secara klinis dibagi menjadi dua kelompok, yaitu refluks fisiologis dan patologis. Refluks
fisiologis dapat terjadi berulang-ulang sepanjang hidup, terutama pada anak, tetapi umumnya
tanpa mengakibatkan suatu kelainan yang berarti, sedangkan refluks patologis dapat
mengakibatkan berbagai kelainan respiratorik akibat aspirasi asam lambung. Refluks yang
terjadi patologis ini di panggil Gastroesophageal reflux disease (GERD)2.

EPIDEOMOLOGI

RGE dapat terjadi pada semua usia, dengan prevalens tertinggi pada bayi kemudian
menurun dan menghilang pada usia 12-15 bulan.2

Refluks gastroesofageal fisiologis biasanya terjadi setelah makan (33% pada dua jam
pertama setelah makan), dan kadang-kadang terjadi ketika tidur. Refluks gastroesofageal
yang patologis, GERD jarang terjadi yaitu (0,3% dari seluruh refluks, umumnya terjadi dua
jam setelah makan ) , dan sebagian kecil terjadi ketika tidur.2,11

Prevalensi GERD juga meningkat pada anak yang mempunyai riwayat kelainan
neurologis, asma, bronkopulmonar dysplasia dan batuk kronis.11

ETIOLOGI

3
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya refluks, yaitu : penurunan
kompetensi sfingter esofagus bagian bawah, pengembalian bahan refluks dari esofagus yang
tidak efisien, dan gangguan fungsi tamping (reservoir) lambung. Berbagai kelainan yang
dapat menyebabkan timbulnya refluks akan bekerja melalui ketiga hal tersebut2.

Penyebab refluks pada bayi2 :

Refluks fisiologis

Tonus sfingter menurun

Makan/minum berlebihan

Batuk dan lain-lain

Refluks patologis

Esofagitis kronis

Batuk kronis : asma, dysplasia bronkopulmonar

Pengaruh obat : aminofilin, - blocker

Kelainan anatomis saluran cerna : malrotasi, stenosis pylorus

Infeksi : Gastroeneteritis akut, otitis media, infeksi saluran kemih

TIK meningkat

Gangguan neurologis

Miopati

Penyakit ginjal kronis

Gangguan metabolisme sejak lahir

Toksin

Alergi/intolerensi makanan: kedelai, susu sapi dan lain-lain.

ANATOMI DAN FISIOLOGI ESOFAGUS

4
Esofagus berasal dari primitive fore gut yang dalam perkembangannya membentuk 2
celah laringotrakheal sepanjang dinding lateral yang kemudian bersatu dan memisahkan
esofagus primitive dari trakea bagian depan. Keadaan ini berlangsung pada usia janin minggu
ke 3-6. Pada manusia 1/3 bagian atas dinding atas esofagus terdiri atas otot lirik, sedangkan
2/3 bagian bawah adalah otot polos. Pada waktu istirehat ujung atas tertutup oleh sfingter
krikofaring (sfingter esofagus atas = SEA ) dan di bagian bawah oleh sfingter esofagus
bawah (SEB). Tonus kedua sfingter ini mencegah udara masuk dari atas dan mencegah
refluks makanan dari lambung. SEA melemas waktu menelan dan SEB-pun melemas ketika
peristaltik mencapai sfingter tersebut1,9.

Ada 2 jenis gelombang perilstatik yang terjadi waktu menelan, yaitu 1:

1. Gelombang peristaltik primer

Dimulai di faring sewaktu menelan, bergerak melalui sfingter krikofaring ke bawah ke arah
esofagus. Pada sikap tegak, cairan dan makanan yang agak cair masuk ke esofagus dan
lambung karena gaya berat, mendahului gelombang peristaltik primer1.

2. Gelombang peristaltik sekunder

Sisa makanan yang tidak terdorong oleh peristaltik primer menimbulkan reflex vago-vagal
dan reflex mienterik yang menimbulkan gelombang peristaltik sekunder. Gelombang
peristaltik primer maupun sekunder di esofagus terutama dikendalikan oleh reflex vagus,
sedangkan reflex mienterik kurang penting peranannya1.

KOMPETENSI SFINGTER ESOFAGUS BAGIAN BAWAH

5
Fungsi sfingter esofagus bagian bawah yang utuh mncegah terjadinya refluks. Penurunan
kompetensi sfingter bagian bawah merupakan penyebab refluks tersering. Fungsi sfingter ini
pada dasarnya ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: tekanan atau tonus sfingter, panjang seluruh
sfingter, dan panjang dari bagian sfingter yang terletak di dalam rongga abdomen.2

1. Tonus sfingter

Tonus yang rendah dapat memudahkan terjadinya refluks. Penurunan tonus hingga di
bawah 6 mmHg dilaporkan dapat menimbulkan kejadian refluks hingga 79,2%. Tonus
sfingter dapat menurun karena berbagai sebab, misalnya relaksasi esofagus bawah yang
sementara (transient lower esophageal relaxation), relaksasi kronis karena esofagitis
berat, beberapa jenis obat seperti aminofilin dan -blocker, dll2.

2. Panjang sfingter

Panjang sfingter normal adalah 2,5-3 cm (75% terletak didalam rongga abdomen).
Semakin pendek sfingter maka semakin kurang kemampuannya dalam mencegah
refluks2.

3. Panjang bagian sfingter yang terletak di dalam rongga abdomen.

Tekanan positif dari rongga abdomen dapat membantu meningkatkan kompetensi sfingter
secara mekanis. Semakin pendek bagian sfingter yang terletak di dalam rongga abdomen,
maka semakin besar kemungkinan terjadinya refluks. Bila panjang bagian sfingter ini
kurang dari 2 cm, prevalens refluks menjadi kurang lebih 80%2.

4. Tekanan intrinsik sfingter

Sfingter bagian bawah esofagus ini akan semakin matur, demikian pula tonus
intrinsiknya. Tekanan sfingter ini mencapai titik puncak pada bayi lahir, kemudian
menurun dengan meningkatnya usia2.

5. Faktor anatomis

Selain tekanan atau tonus sfingter, panjang seluruh sfingter, dan panjang dari bagian
sfingter yang terletak di dalam rongga abdomen, faktor anatomis secara mekanik juga
berperan dalam terjadinya refluks. Bentuk anatomi esofagus lambung ternyata merupakan
faktor penting yang dapat mencegah refluks secara mekanik. Pada bayi baru lahir,
angulus His (sudut antara bagian distal esofagus dan bagian kardia lambung ) masih
6
tumpul. Dengan berkembangnya bagian kardia, sudut ini semakin tajam, sehingga
terbentuk lipatan mukosa yang berfungsi sebagai katup (flap valve) yang dapat mencegah
terjadinya refluks secara mekanis ketika kardia mengalami distensi. Selain itu, lubang
keluar esofagus distal dalam keadaan kolaps membentuk huruf H, dan berperan sebagai
katup penyumbat ( choke valve ). Otot polos esofagus yang berjalan melingkar juga turut
berperan, karena dapat mengatur besar kecilnya diameter penampang esofagus 2.

Sebagian sfingter esofagus distal yang terletak di dalam rongga abdomen dipengaruhi
tekanan intraabdomen yang positif. Akibatnya, sfingter menjadi lebih kuat dalam
menghalangi makanan yang sudah masuk ke dalam lambung kembali kedalam esofagus.
Jepitan diafragma meningkatkan kompetensi sfingter. Sebaliknya, kompetensi sfingter
esofagus dapat berkurang karena radang kronis atau fibrosis karena esofagitis, dan pada
hernia difragmatika karena sfingter berada di dalam rongga dada dengan tekanan
negative2.

FISIOLOGIS REFLUKS

Sfingter esofagus tidak selalu berada dalam keadaan kontraksi. Pada saat menelan,
sebelum gerak peristaltik mencapai sfingter, sfingter mengalami relaksasi terlebih dahulu
karena pengaruh nervus vagus, sehingga memungkinkan terjadinya refluks. Asam
lambung yang masuk ke dalam esofagus akibat refluks yang patologis, pada keadaan
normal umumnya tidak akan menimbulkan kelainan yang berarti pada esofagus. Dalam
keadaan normal, bahan yang masuk kedalam esofagus akibat refluks dapat dikembalikan
lagi ke dalam lambung oleh gelombang peristaltik primer yang diawali dengan proses
menelan, atau dapat dikembalikan oleh gelombang peristaltik sekunder akibat distensi
esofagus karena makanan.2,9,10

7
GEJALA KLINIS

Gejala klinis biasanya hanya muntah tidak projektil, sehingga kebanyakan orang tua
menganggapnya suatu hal yang normal, dan tidak merisaukan keadaan bayinya kecuali
jika muntah nya terus menerus. Gejala klinis lainnya yaitu adanya infeksi paru berulang
tanpa adanya gejala muntah yang menonjol.1

Gejala lain yang sering ditemukan pada kasus RGE adalah gagal tumbuh kembang
(failure to thrive). Gagal tumbuh kembang ini terjadi karena muntah yang berat dan
terus menerus sehingga makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan bayi terbuang
percuma. Keadaan ini merupakan problem utama pada bayi dan jarang ditemukan pada
anak yang lebih besar.1

8
Manifestasi klinis Refluks Gastroesofagus secara umum2 :

Sering

Sering muntah

Kolik

Batuk malam hari

Wheezing

Pneumonia berulang

Otitis media berulang

Esofagitis

Jarang

Apnea

Gagal tumbuh

Stridor

Kelainan posisi kepala, leher dan toraks (Sindrom Sandifer)

Sangat Jarang

Suara parau

Hemoptisis

Anemia

Fibrosis paru

Gejala klinis yang membedakan GER dan GERD11 :

9
GER GERD

Regurgitasi dengan berat badan normal Regurgitasi dengan berat badan kurang

Tidak ada tanda dan gejala esofagitis Rewel, nyeri pada anak

Disfagia

Hematemesis dan Anemia Defisiensi Besi


Tidak ada gejala saluran pernafasan yang Apneu, sianosis pada infant
signifikan
Wheezing

Aspirasi dan Pneumonia rekuren

Batuk Kronis

Stridor

Disgafia, odinofagia

DIAGNOSIS

Untuk mendiagnosis RGE diperlukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan laboratorium


dan pemeriksaan klinik. Pemeriksaan yang bisa dilakukan adalah :

1. Fluoroskopi dengan kontras barium1,3,9 : Dilaksanakan secara bersiri dengan


mengamati refleks barium dari lambung ke esofagus.

2. Pemantauan pH esogafus : dapat menentukan apakah pH penderita RGE dalam


keadaan normal atau mengalami perubahan. Pada keadaan normal pH esogafus
berkisar antara 5-6. Dasar dari perubahan pH adalah terjadinya refluks asam dari
cairan lambung.1,3,9

3. Keterlambatan waktu pengosongan lambung : Diduga karena terdapat


ketidakmampuan otot fundus lambung untuk mengadakan kontraksi, untuk
mengosongkan lambung. Waktu pengosongan lambung dievaluasi 3-4 jam setelah
makan.1
10
DIAGNOSIS BANDING

Diambil dari gelaja muntah, dapat dibagi menjadi 3, yaitu pada bayi, anak 4.

Bayi Stenosis pylorus

Atresis duodenum

Mekoneum ileus

Malrotasi

Overfeeding

Alergi susu protein

Sepsis

Meningitis

Anak dengan muntah kronis TIK meningkat

Bulimia

Obstruksi intestinal

Anak dengan nyeri epigastrium dan Ulkus peptikum


disfagia
Achalasia

Infeksi esofagitis

Pill esofagitis

Eosinofilik esofagitis

PENATALAKSANAAN

Pada 80% pasien, gejala teratasi dengan intervensi minimal, tanpa memerlukan
pengobatan medikamentosa. Tujuan pengobatan termasuk eliminasi gejala, penyembuhan
esofagitis, manajemen komplikasi, dan mempertahankan remisi. Pilihan terapi termasuk
perubahan gaya hidup, terapi farmakologi, dan pembedahan anti refluks. Juga sangat

11
penting pemberian edukasi kepada pasien atau keluarga dan melakukan tindakan yang
tepat pada bayi mengalami refluks gastroesofagus tanpa komplikasi.1,3,8

Terapi Konservatif

Pemberian ASI/SF dan perubahan posisi bayi1,2,3,8,11

1. ASI dan susu formula

ASI yang mempunyai sifat easy in easy out harus terus diberikan karena :

- ASI hipoalergenik dan lebih mudah dicerna

- Pengosongan lambung 2x lebih cepat dari susu formula

- Pemberian ada libitum, volumenya lebih sedikit daripada susu formula

2. Formula hipoalergenik1,2,3,8,11

Formula hipoalergenik dapat dicoba selama 1-2 minggu pada bayi yang mendapat
formula yang mengalami muntah, karena beberapa orang bayi memiliki alergi
terhadap susu sapi.

3. Penambahan sereal1,2,3,8,11

Sebagai agen untuk mengentalkan formula. Formula ini memberikan kalori tambahan
juga dapat mengurangkan regurgitasi yang berlebihan, frekuensi dan volume muntah
dibandingkan dengan formula yang tidak menggunakan agen pengental.3

4. Terapi posisi1,2,3,7,8,11

Memposisikan daerah esofagus-lambung lebih tinggi dengan meninggikan kepala.


Refluks pada anak normal jarang terjadi saat tidur, tetapi pada refluks yang patologis,
justru lebih sering terjadi ketika anak sedang tidur. Oleh karena itu, pengaturan posisi
perlu dilakukan hampir sepanjang hari. Posisi yang dianggap paling efektif adalah
berbaring telungkup (pronasi) dengan kepala ditinggikan 30. Pada anak usia diatas 8-
10 bulan dalam keadaan tejaga sebaiknya kepala ditegakkan, dan pada waktu tidur
dibaringkan dengan kepala ditinggikan. Setelah minum ASI/SF, bayi digendong
setinggi payu dara ibu, dengan muka menghadap dada ibu. Hal ini menyebabkan bayi
tenang, sehingga mengurangi refluks.
12
Farmakoterapi

Tujuan diberikan adalah untuk menunjukkan efikasi yang baik pada populasi pasien,
mengurangi volume dan asiditas refluks, meningkatkan kompetensi LES, meningkatkan
klirens esofagus, meningkatkan resistensi mukosa esofagus, tidak ada efek yang
merugikan, dan aman serta biaya yang rendah1,3.

Obat-obat yang tersedia antaranya 1,3,11:

1. Obat prokinetik

Tujuan digunakan untuk memperbaiki peristaltik esofagus, dan mempercepat


pengosongan lambung. Obat ini juga dapat mengurangi frekuensi refluks. Antara lain
yang banyak dipakai :

- Betanikol : merupakan obat yang bersifat parasimpatomimetik, dan dapat


diberikan pada bayi dengan refluks. Betanikol berkerja pada sfingter esofagus
bagian bawah dengan meningkatkan tekanan sfingter pada saat istirehat.

- Metaklopramid : Obat ini dapat meningkatkan tekanan sfingter esofagus-bawah


dan mempercepat pengosongan lambung dengan cara meningkatkan kontraksi
antrum. Hanya perlu diingat efek samping metaklopramid terjadi pada 10-20%
kasus berupa gangguan pada susunan saraf pusat.

- Domperidon : Dapat meningkatkan tonus sfingter esofagus-bawah dan motilitas


antrum sehingga pengosongan lambung menjadi lebih cepat. Obat ini tidak
melewati sawar darah-otak, sehingga efek sampingnya lebih sedikit daripada
metaklopramid.

- Cisaprid : Obat yang memberikan manfaat lain yang menguntungkan, seperti


mengurangi batuk yang timbul pada malam hari akibat refluks. Obat ini dapat
menyebabkan aritmia jantung yang serius sehingga pemberian pada anak-anak
sangat terbatas.

2. Antagonis reseptor histamine H2

13
Obat ini secara kompetitif menghambat aksi histamin pada reseptor histamin H2 pada
sel parietal lambung. Obat ini sangat selektif pada reseptor histamine H2 dan
memiliki sedikit atau tanpa efek pada reseptor histamine H1. Makanya, obat ini
menghambat sekresi asam yang dihasilkan oleh reseptor histamin, tapi tidak memiliki
efek pada sekresi asam yang disebabkan oleh asetilkolin atau gastrin. Obat yang
termasuk golongan ini adalah Cimetidin, Ranitidin, Famotidin dan Nizatidin.

3. Inhibitor Pompa Proton (PPI)

Obat ini terikat dengan hydrogen/potassium adenosine triphosphate, suatu enzim yang
berperan sebagai pompa proton pada sel parietal, karena itu dapat menghambat
pertukaran ion yang merupakan langkah akhir pada sekresi asam hidroklorida.
Sehingga kini, tidak ada PPI yang dibenarkan penggunaannya pada bayi < 1 tahun.
Diantara obat, omeprasol, lansoprasol, pantoprasol, rabeprasol dan esomeprasol.
Omeprasol dan lansoprasol telah dibenarkan oleh FDA pasa pasien anak-anak. Obat
yang lain masih belum dibenarkan penggunaannya.

Pembedahan Anti Refluks

Pembedahan anti refluks mungkin perlu dilakukan bagi anak-anak dengan


GER berat yang masih belum berhasil dengan pengobatan medikamentosa dan
komplikasi berat. Prosedur pembedahan yang paling umum dilakukan adalah the
nissen fundoplication. Prosedur ini melibatkan penjahitan lipatan fundus (bagian
paling atas lambung) di sekitar esofagus. Komplikasi masih tetap bisa terjadi setelah
pembedahan antirefluks yaitu jika penjahitan tidak kencang gejala sama masih bisa
berulang, tetapi jika terlalu kencang anak mungkin mengalami perut kembung dan gas
yang berlebihan1,3,10,11.

Manajemen GER dan GERD secara skematik 11 :

14
KOMPLIKASI

Anak bisa mengalami kedua-dua komplikasi esofageal dan ekstraesofageal GERD.


Komplikasi yang paling sering terjadi kepada anak yang mempunyai defisit neurologi dan
gangguan menelan4.
15
Komplikasi esofageal Komplikasi Pulmonal Komplikasi THT

Erosi Esophagitis Apneu atau ALTE Sinusitis


Striktura Esofageal Batuk Kronis Otitis media
Barrets esofagus Asma Laringitis
Adenokarsinoma Aspirasi Pneumonia Dental erosi

PROGNOSIS

Bagi infantil, prognosis GER adalah baik, dengan kebanyakan pasien memberi respon
terhadap pengobatan konservatif dan non farmakologik 6. Gejala yang berlanjutan
sehingga > 18 bulan berkemungkinan untuk mendapat GER yang kronis. Sekiranya kasus
dengan komplikasi, perlunya tindakan bedah. Prognosis untuk pembedahan adalah baik 6.
Bagi anak yang mempunyai masalah perkembangan dan kelainan pada motorik ,
manajemen untuk GER biasanya susah dengan adanya disfungsi pada reflex menghisap
dan menelan6.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Gastroesofageal reflux (GER) adalah suatu keadaan, dimana terjadi disfungsi sfingter
esofagus bagian bawah sehingga menyebabkan regurgitasi isi lambung ke dalam
esofagus. Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah gejala-gejala atau kerusakan
16
jaringan yang terjadi sekunder akibat refluks isi lambung Diagnosis ditegakkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik tidak
banyak yang khas. Namun terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat
membantu menegakkan diagnosis. Pilihan terapi GERD termasuk perubahan gaya hidup
(misalnya, modifikasi diet, posisi tubuh yang benar selama dan setelah makan), terapi
farmakologi, dan operasi antirefluks

DAFTAR PUSTAKA

1. Suraatmaja Sudaryat. Kapita Selekta. Gastroenterologi anak. Refluks Gastroesofageal


(RGE).CV Sagung Seto. Jakarta,2007. H ; 229-241.

2. Rahajoe NN, Supriyatno B dkk. Buku Ajar Respiratologi Anak. Kelainan Sistem Respiratorik
akibat Refluks Gastroesofagus. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010. Edisi 1, Cetakan Kedua.
Jakarta. Bab 7. H; 384-397.

17
3. Hegar Badriul, Vandenplas Yvan. Paediatrica Indonesiana. Gastroesophageal Reflux in
Children. Vol 51. P: 361-371.

4. Strange GR, Abramo JT, Deis NJ. Pediatric Emergency Medicine. 3 rd edition. McGraw Hill.
In Gastroesophageal reflux. Chapter 73. USA 2009. Page: 609-613.

5. Kleigman MR, et al. Nelson textbook of pediatrics. 18th edition : WB Saunders Co.2007.
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Chapter 320. Page : 1547-1550
6. Schwarz MS, Cuffari C et al. Pediatric Gastroesophageal Reflux. Updated: Jun 14, 2012 at
www.medicine.medscape.com
7. Christopher Boey CM. Acid reflux in Children. Malaysian Paediatric Association (MPA).
Updated 5 June 2012 at www.mpaweb.org.my
8. Shaw Vannesa, Lawson Margaret. Clinical Paediatric Dietetic. 3 rd edition. Gastroenterology;
Gastro-oesophageal reflux. Page 115-118.
9. Price AS, Wilson ML. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Volume
1. Penerbit Buku Kedokteran EGC 2003. Cetakan 1, 2006. Gangguan Esofagus; Bab 23. H:
404-416.
10. Mayo Clinic. Infant Acid Reflux. Last review on August 21, 2010. Accessed at
http://www.mayoclinic.com
11. Jung DA. Gastroesophageal Reflux in Infant and Children. American Family Physician.
Volume 64, Number 11. December 1, 2001. Page : 1853-1860.

18

Anda mungkin juga menyukai