Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Arsitektur adalah seni dalam merancang bangunan. Arsitektur dipengaruhi oleh


sejumlah faktor seperti matematika, budaya dan agama. Ditinjau dari desain arsitektur
ada kalanya suatu bangunan dibentuk berdasarkan ketentuan-ketentuan tertentu.
Masyarakat Hindu di Bali meyakini Asta Kosala Kosali dalam pembuatan bangunan
baik itu bangunan suci Pura maupun rumah. Asta Kosali adalah nama lontar atau buku
tentang ukuran membuat rumah. Sedangkan Asta Kosala adalah nama lontar atau buku
tentang ukuran membuat menara atau bangunan tinggi, wadah, bade, usungan mayat
(Bidja I Made, 2012;3). Asta Kosala Kosali memuat tata cara, tata letak, dan tata
bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali
yang disesuaikan dengan landasan filosofis, etis, dan ritual dengan memperhatikan
konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun serta
pelaksanaan yadnya. Dalam proses pembangunan, ada hal yang unik dari cara
pengukuran tinggi, panjang, lebar bangunan yang disesuaikan dengan pemilik
bangunan.

Dalam desain arsitektur aspek yang biasanya sangat diperhatikan adalah estetika
bangunan. Golden ratio adalah salah satu aturan matematika yang memiliki dampak
signifikan pada desain dan hasil akhir Teori komposisi emas (golden section) yaitu
komposisi yang diyakini ideal dan jika diterapkan dalam seni rupa akan terlihat bagus.
komposisi emas (gold section) yaitu jenis komposisi yang menerapkan sisi-sisinya
memiliki perbandingan antara panjang dan lebar adalah 1 dibanding 1,6. Komposisi ini
telah diterapkan untuk menyusun karya-karya seni rupa klasik sejak zaman Renaisans
seperti pada lukisan, arsitektur dan ragam hias. Pada abad ke-20, komposisi emas ini
pun digunakan oleh Pict Mondrian untuk menyusun elemen bidang-bidang pada
lukisannya (Budiwiwarmamulja Dwi, 2004:53). Berdasar dari landasan teori ini peneliti
mempertanyakan apakah masyarakat Hindu di Bali menggunakan komposisi emas
sebagai landasan dalam memdesain arsitektur bangunan-bangunan di Bali.

1
Pepatraan adalah salah satu jenis ragam hias Bali yang biasanya terukir pada
bangunan-bangunan Bali ataupun karya seni Bali lainnya. Patra Punggel adalah salah
satu macam pepatraan Bali. Yang menarik dari Patra Punggel ini adalah dalam
pembuatannya tidak ada pedoman khusus mengenai ukuran yang digunakan dalam
pembuatannya hanya saja dipersyaratkan ukurannya harmonis dalam artian mampu
memberi kesan estetika. Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana pembuatan Patra
Punggel dengan bantuan golden rectangle (fibonanci ratio) yang seperti dijelaskan
sebelumnya diyakini merupakan rasio yang ideal diterapkan pada seni rupa.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat disusun rumusan masalah sebagai


berikut.

1.2.1 apakah Arsitektur Bali menggunakan komposisi emas sebagai landasan


dalam memdesain arsitektur bangunan-bangunan di Bali?

1.2.2 bagaimana Patra Punggel ditinjau dengan golden rectangle (fibonanci


ratio)?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut.

1.3.1 untuk mengetahui apakah masyarakat Hindu di Bali menggunakan


komposisi emas sebagai landasan dalam mendesain arsitektur bangunan-
bangunan di Bali.

1.3.2 untuk mengetahui bagaimana Patra Punggel ditinjau dengan golden


rectangle (fibonanci ratio).

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.

1.4.1 Bagi Ilmu Pengetahuan

2
Melalui makalah ini dapat diperoleh informasi dan dapat menambah
wawasan mengenai hubungan Golden section dengan Asta Kosala Kosali
pada arsitektur bangunan di Bali.

1.4.2 Bagi Penulisa

Menambah wawasan mengenai teori matematika Golden section dan


hubungannya dengan Asta Kosala Kosali pada arsitektur bangunan di Bali.

1.5 Batasan Masalah

Pembahasan makalah ini terbatas pada bangunan Bali yang diukur dengan satuan
tradisional tunggal berdasarkan Buku Asta Kosala-Kosali yang ditulis oleh I Made
Bidja pada tahun 2012.

3
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Golen Ratio

Golden Ratio atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan rasio emas merupakan
perbandingan menarik yang diyakini membawa unsur estetika sehingga banyak
diterapkan dalam arsitektur maupun bidang seni. Dalam ilmu matematika, dua nilai A
dan B berada dalam hubungan rasio emas ( ) , jika rasio antara jumlah kedua nilai itu
terhadap nilai yang lebih besar sama dengan rasio antara nilai besar terhadap nilai kecil.
Misalnya nilai yang lebih besar kita lambangkan dengan A , nilai yang lebih kecil kita
namakan B maka dapat kita tuliskan hubungannya sebagai berikut:

A B A

A B

dimana huruf Yunani phi ( ) melambangkan rasio emas. Dengan nlainya adalah:

A B B 1
1 1
A A

hal ini menunjukkan bahwa,

1
1

1 2
2 1 0

Dengan menggunakan rumus ABC dapat kita temukan akar-akar dari persamaan
kuadrat diatas. Berdasarkan persamaan kuadrat diatas kita dapat ketahui bahwa nilai
a=1, b=-1 dan c=-1. Setelah kita ketahui nilai a, b dan c kita substitusikan nilai-nilai ini
pada rumus ABC sehingga kita temukan akar-akarnya seperti berikut.

b b 2 4ac
1, 2
2a

4
1 (1) 2 4(1)( 1)
1, 2
2(1)

1 5
1, 2
2

Berdasarkan perhitungan diatas nilai yang memenuhi adalah nilai yang positif
A B A
karena bernilai positif yaitu 1,6180339887.... rasio ini dikenal dengan
A B
nama golden ratio atau rasio emas adalah 1:1,6.

Jika dilukiskan secara geometri rasio emas dapat digambarkan sebagai persegi
panjang emas atau golden rectangle yaitu seperti pada Gambar 2.1.
+1

Gambar 2.1

Seperti yang telah dijelaskan diawal bahwa rasio emas banyak diterapkan dalam
arsitektur, sebagai contoh dimana rasio emas digunakan adalah bangunan Parthenon
(Gambar 2.2 (a)), Piramida Mesir (Gambar 2.2 (b), Menara Eiffel (Gambar 2.2 (c) dan
Taj Mahal (Gambar 2.2 (d)).

5
(a) (b)
Sumber:http://countingbeauty.weebly.com/uploads/5/1/1/7/51178 Sumber:http://countingbeauty.weebly.com/uploads/5/1/1/7/51
685/parthenon-golden-ratio2_orig.jpg 178685/great-pyramid-01-25980725-std_orig.jpg

(c) (d)
Sumber:http://s-media-cache- Sumber:http://2.bp.blogspot.com/-
ak0.pinimg.com/originals/11/04/6e/11046e01e40035fb7280c158a 6jHMQZUgBml/VJq4SoUYUol/AAAAAAAAsY/Tr30EGA5qso/
6d5cce3.jpg s1600.jpg

Gambar 2.2

Leonardo Da Vinci menggunakan teori Komposisi Fibonacci dalam lukisan


Monalisa. Deret Fibonacci merupakan serangkaian bilangan dimana suatu bilangan
diperoleh dengan menambahkan dua bilangan yang ada sebelumnya. Dimulai dengan 0
dan 1, deretnya menjadi seperti ini: 0, 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, 34, dan seterusnya. Deret
ini berhubungan erat dengan Golden ratio dimana jika diambil dua angka berturutan,
rasionya sangat dekat dengan Golden Ratio. Semakin tinggi angkanya, rasionya
semakin dekat dengan 1,618. Contohnya: rasio antara 3 dengan 5 adalah 1,666. Namun
rasio antara 13 dengan 21 adalah 1,625. Semakin tinggi angkanya, rasio 144 dengan
233 adalah 1,618.

6
Sumber:https://tse3.mm.bing.net/th?id=OIP. Sumber:https://kitabhenokh.files.wordpress.c
NNOrgYhEC6wcY8TMocmiyADUEs&pid=1 om/2016/11/golden-ratio.jpg
5.1&P=0&w=300&h=300

Gambar 2.3

2.2 Arsitektur Tradisional Bali

Arsitektur tradisional merupakan perwujudan ruang untuk menampung aktivitas


kehidupan manusia dengan pengulangan bentuk dari generasi ke generasi berikutnya
dengan sedikit atau tanpa perubahan yang dilatarbelakangi oleh norma-norma agama
dengan dilandasi oleh adat kebiasaan setempat dijiwai kondisi dan potensi alam
lingkungannya. Arsitektur tradisional Bali adalah arsitektur tradisional yang berlokasi
di Bali, dihuni atau digunakan oleh penduduk Bali yang berkebudayaan Bali,
kebudayaan yang berwajah natural dan berjiwa ritual (Nadia dan Pastika, 2008:1).

Bali dikenal dunia karena keunikannya. Keunikannya terletak pada bidang


kebudayaannya yang meliputi: kesenian, struktur sosial, struktur perumahan, struktur
pertanian dan sebagainya. Secara khusus keunikan struktur dan pola perumahan
arsitektur tradisional Bali adalah sejak dulu telah memiliki ketentuan tentang tata cara
penggarapan bangunan-bangunan Bali (Lontar Asta Kosali) yang berlaku bagi para
undagi yang merupakan sebutan bagi arsitek tradisional Bali.

7
2.3 Arsitektur Bali Berdasarkan Asta Kosala Kosali-Asta Bumi

Asta Kosala Kosali merupakan pustaka suci Hindu yang dirumuskan pada masa
lampau oleh para Resi dan Bagawan Bali. Pustaka ini dijadikan sebagai patokan/
ketetapan dalam arsitektur Bali. Arsitektur adalah seni dalam merancang bangunan.
Menurut Asta Kosala Kosali ada banyak hal yang perlu diperhatikan dalam
melaksanakan pembangunan seperti tata letak juga ukuran bangunan. Setiap bangunan
memiliki aturan yang berbeda. Adapun satuan-satuan pengukuran yang digunakan
menggunakan ukuran tubuh seseorang yang memiliki bangunan tersebut. Satuan-satuan
ukuran disebut dengan sikut baik tinggi maupun luas rumah selalu menggunakan
anatomi tubuh sang pemilik rumah baik itu ukuran jari, lengan dan kaki, seperti ;
telapak kaki (tapak), lengan (depa), jari (lengkat). Dari unsur tangan diperoleh skala
ukuran berbentuk: a lengkat, a cengkang, a celek, a useran, a lek, a kacing, a musti, a
sirang, a gemal, a guli tujuh, a nyari, a rai, a duang nyari, a tampak lima, a petang
nyari, a tebah, tampak lima. Dari unsur lengan diperoleh ukuran berbentuk: tengah
depa agung, tengah depa alit, a hasta. Dari unsur kaki diperoleh : a tampak dan
atampak ngandang.

Gambar 2.4 Satuan tradisonal Bali

2.4 Jenis-jenis Bangunan Arsitektur Tradisional Bali

Bangunan Bali dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu: bangunan rumah
tempat tinggal, bangunan tempat pemujaan (tempat suci/Pura), bangunan umum/
bangunan tempat musyawarah.

8
2.4.1 Rumah Tempat Tinggal

Rumah tempat tinggal merupakan unit-unit perumahan yang diatur dalam


kelompok-kelompok banjar sebagai unit sub lingkungan dalam sebuah desa. Tingkatan-
tingkatan kasta, status sosial, serta peranannya di masyarakat merupakan faktor yang
menentukan perwujudan rumah tempat tinggal yaitu utama, madya, nista (sederhana).
Pengelompokkan rumah-rumah tempat tinggal kedalam tingkatan utama ditinjau dari
luas pekarangan, susunan ruang, bentuk bangunan, bahan dan penyelesaiannya. Berikut
adalah nama/tipe bangunan rumah tempat tinggal.

a. Sakapat, adalah tipe rumah tinggal yang terkecil bertiang empat. Luas sekitar 3
x 2,5 meter, dengan atap kostruksi kompiah atau limasan. Letak sakapat di sisi
timur pekarangan untuk sakapat yang berfungsi sebagai sumanggen.
b. Sakanam, rumah tempat tnggal bertiang enam dengan posisi tiang berjajar tiga-
tiga pada kedua posisi panjang. Luas sakanem sekitar 6 x 2 m. Konstruksi atap
adalah limasan. Letak sakenem adalah disisi timur (kangin) atau selatan (kelod)
pekarangan untuk sakanem yang berfungsi sebagai sumanggen. Bila
difungsikan sebagai dapur (paon) diletakkan disisi kelodkauh.
c. Sakutus, diklasifikasikan sebagai bangunan madya denga fungsi tunggal untuk
tempat tidur yang disebut juga dengan bale meten. Letak dibagian utara (kaja)
menghadap ke selatan (kelod) ke halaman (natah). Bentuk bangunannya
segiempat panjang dengan luas sekitar 5 x 2,5 m.
d. Astasari, bertiang delapan dengan luas sekitar 4 x 5 m.
e. Sakaroras, bertiang dua belas dengan luas sekitar 6 x 6 m, merupakan
bangunan utama untuk perumahan utama.

2.4.2 Bangunan Tempat Pemujaan

Untuk memuja kebesaran Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa)
dan dewa-dewa sebagai manifestasi dari Tuhan dalam berbagai peranannya, dibangun
tempat-tempat pemujaan (tempat suci). Sesuai dengan fungsinya sebagai tempat
pemujaan dalam berbagai manifestasinya ada beberapa macam pura, yaitu: pura untuk
pemujaan keluarga, pura untuk pemujaan desa, pura untuk pemujaan profesi, pura
penunggu dan pura untuk umat dari seluruh wilayah. Pura untuk pemujaan rumah
biasanya dibangun dipekarangan rumah sebelah kajakangin (timur laut).

9
Salah satu tipe bangunan pelinggih adalah Tugu. Kira-kira berukuran 0,6 x 0,6 m
dan tingginya kurang lebih 2 m, fungsi Tugu adalah untuk pelinggih atau penstanakan
sarwa butha, kala, dengan atau roh-roh halus lainnya.

Gambar 2.5 Tugu

2.4.3 Bangunan Umum

Kehidupan masyarakat hindu di Bali diatur dalam ikatan-ikatan mulai dari ikatan
keluarga, ikatan banjar serta ikatan desa yang terbentuk dalam desa pakraman maupun
desa dinas. Sebelum melkukan kegiatan fisik, mereka perlu melakukan perembugan
terlebih dahulu dengan mengambil tempat bangunan umum. Nama-nama bangunan
tempat musyawarah tersebut adalah: Bale Banjar, Bale Pemaksan, Bale Pemaksan,
Wantilan, dll.

2.5 Jenis Ukuran/ Sikut dalam pengerjaan Bangunan di Bali

Dalam pengerjaan bangunan di Bali (bangunan tradisional Bali), ada tiga jenis
ukuran (sikut) pokok, yaitu ukuran dalam mengerjakan pekarangan (sikut pekarangan),
ukuran dalam pengerjaan halaman (natah) untuk menentukan tata letak banunan-
bangunan (sikut natah), dan ukuran untuk mengerjakan konstruksi bangunan (sikut
bale).

2.5.1 Ukuran Pekarangan (Sikut Pekarangan)

a. Jenis ukuran pekarangan yang baik (Hayu)

10
Terdapat empat jenis ukuran yang digunakan antara lain yaitu:

Ukuran Gajah (Hayu):


- dari utara ke selatan 15 depa, dari timur ke barat 14 depa
- dari utara ke selatan 11 depa, dari timur ke barat 10 depa
Ukuran Dwaja (Hayu):
- dari utara ke selatan 13 depa dan dari timur ke barat 12 depa
- dari utara ke selatan 9 depa, dari timur ke barat 8 depa
Ukuran Wreksa (Hayu):
- dari utara ke selatan 12 depa dan dari timur ke barat 11 depa
- dari utara ke selatan 8 depa, dari timur ke barat 7 depa
Ukuran Singa (Hayu):
- dari utara ke selatan 13 depa dan dari timur ke barat 12 depa
- dari utara ke selatan 9 depa, dari timur ke barat 8 depa

b. Penempatan Lokasi Bangunan Suci


Merajan Kemulan, dari pinggir tembok di timur ke barat 7 tampak + 1
tampak ngandang
Tempat Piyasan, dari kemulan ke barat 11 tampak + 1 tampak ngandang
Taksu, dari tengah-tengah antara kemulan dan piyasan tarik ke utara sesuai
dengan keadaan didirikan taksu
c. Penempatan Bangunan Perumahan
Sakutus, dari Piyasan ke barat sejauh 7 tampak + 1 tampak ngandang
Bale Gede (Sakaroras), dari Kemulan ke barat 11 tampak + 1 tampak
ngandang
Dapur, dari Bale Gede sejauh 6 tampak + 1 tampak ngandang ke Barat
Lumbung, jarak 17 tampak + 1 tampak ngandang ke Utara/Timur dari dapur
Kori, untuk pekarangan yang menghadap ke Timur, ukur dari sudut Timur
Laut ke Selatan, panjang pekarangan dibagi 9, sebutan setiap bagian: 1.
Wekasing perih, 2. Kinabakten, 3. Suka mageng, 4. Dana teka, 5.
Kabrahman, 6. Dana wredi, 7. Nohan, 8. Seri jahat, 9. Dirga yusa
Kori, untuk pekarangan yang menghadap ke Selatan, ukur dari sudut
tenggara ke barat, lebar pekarangan dibagi 9, sebutan setiap bagian: 1. Baya

11
agung, 2. Musuh makweh, 3. Wredi emas, 4. Wredi guna, 5. Danawan, 6.
Brahma stana, 7. Suka mageng, 8. Kapiutangan, 9. Karogan kala.
Kori, untuk pekarangan yang menghadap ke utara, ukur dari sudut barat laut
ke timur, lebar pekarangan dibagi 9, sebutan setiap bagian: 1. Tan panak, 2.
Kawikanan, 3. Nohan, 4. Kadalih, 5. Kabrahman, 6. Danawan, 7. Suka
mageng, 8. Kawisesan, 9. Kawigunan
Kori, untuk pekarangan yang menghadap ke Barat, ukur dari sudut barat
daya ke utara, panjang pekarangan dibagi 9, sebutan setiap bagian: 1. Baya
agung, 2. Musuh makuweh, 3. Wredi emas, 4. Wredi Guna, 5. Danawan, 6.
Brahma setana, 7. Kina bakten, 8. Piutangan, 9. Karogan kala

2.6 Ragam Hias Patra Punggel Bali

Pepatraan adalah jenis ragam hias Bali yang ide dasarnya banyak diambil dari
bentuk-bentuk keindahan flora. Ada beberapa jenis Patra Bali diantaranya adalah Patra
Punggel, Patra Cina dan Patra Samblung. Patra Punggel adalah patra yang ide dasarnya
diambil dari potongan tumbuh-tumbuhan menjalar terutamanya ujung paku yang masih
muda.

Gambar 2.6. Patra Punggel

Ragam hias Patra Punggel umumnya terdiri dari beberapa bagian yaitu pusuh,
kuping guling, janggar siap, util, batun poh dan ampas nangka. Lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar 2.7

12
Ampas Nangka

Pusuh

Batun Poh

Kuping Guling

Janggar Siap

Util

Gambar 2.7 Bagian Penyusun Patra Punggel

Dalam membuat sebuag Patra Punggel tidak terdapat patokan ukuran secara
khusus hanya dibuat sedemikian sehingga ukuran yang digunakan harmonis dalam
artian dapat memberi kesan estetika.

13
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Arsitektir Bali Ditinjau Dari Rasio Emas (Golden Ratio)

Berdasarkan kajian teori pada bab sebelumnya dinyatakan bahwa masyarakat


hindu di Bali menggunakan ukuran tubuhnya sebagai proporsi dalam pembangunan.
Seperti yang kita ketahui pula bahwa tidak ada manusia yang identik artinya setiap
manusia memiliki ukuran tubuh yang berbeda, namun dalam pembangunan ukuran/
sikut yang digunakan berpatokan pada satu orang yaitu kepala keluarga sehingga jika
kita ingin mencari proporsi yang digunakan dapat dilakukan secara langsung tanpa
diperlukan konversi satuan tradisional Bali ke satuan modern jika ukuran yang
digunakan sejenis.

Bangunan Bali dibagi menjadi tiga jenis yaitu bangunan tempat tinggal, bangunan
tempat pemujaan dan bangunan umum. Bangunan rumah tempat tinggal di Bali dapat
tibagi menjadi 5 yaitu:

1. Sakapat, adalah tipe rumah tinggal yang terkecil bertiang empat. Luas sekitar
2,5 x 3 meter sehingga perbandingannya lebar dan panjangnya adalah 1:1,2
bangunan ini tidak memenuhi rasio emas.
2. Sakanem, rumah tempat tnggal bertiang enam dengan posisi tiang berjajar tiga-
tiga pada kedua posisi panjang. Luas sakanem sekitar 2 x 6 m sehingga
perbandingannya lebar dan panjangnya 1:3 bangunan ini tidak memenuhi rasio
emas
3. Sakutus, bentuk bangunannya segiempat panjang dengan luas sekitar 2,5 x 5 m
sehingga perbandingannya lebar dan panjangnya 1:2 bangunan ini tidak
memenuhi rasio emas
4. Astasari, bertiang delapan dengan luas sekitar 4 x5 m sehingga perbandingannya
lebar dan panjangnya 1:1,25 bangunan ini tidak memenuhi rasio emas
5. Sakaroras, bertiang dua belas dengan luas sekitar 6 x 6 m, merupakan bangunan
utama untuk perumahan utama sehingga perbandingannya lebar dan panjangnya
1:1 bangunan ini tidak memenuhi rasio emas

14
Bangunan tempat pemujaan salah satunya adalah tugu. Tugu memiliki ukuran
pondasi dasar 0,6 x 0,6 m dan tingginya kurang lebih 2 m. Perbandingan ukuran
pondasi dasarnya adalah 1:1 sehingga pondasi dasar Tugu tidak memenuhi rasio emas
sedangkan perbandingan panjang sisi pondasi dasar dengan tinggi tugu adalah 1:3,33
berdasarkan perhitungan maka sisi pondasi dasar dan tinggi tugu tidak memenuhi
rasio emas.
Bali meyakini bahwa terdapat ukuran-ukuran pekarangan yang dipandang baik
(Hayu) untuk membangun rumah. Dalam mengecek ukuran pekarangan yang dianggap
baik ini tidak perlu melakukan konversi ke satuan cm karena ukuran pekarangan yang
baik ini dinyatakan hanya dengan satu satuan tradisional yaitu depa, sehingga walaupun
tidak lilakukan konversi satuan proporsi panang dan lebar akan tetap sama. Terdapat
empat jenis ukuran yang digunakan lebih jelasnya tertera pada tabel 3.2.

Tabel 3.2 Ukuran Pekarangan Ditinjau Dengan Rasio Emas

Ukuran Panjang
Rasio Keterangan
(Hayu) (depa)
Gajah 15 x 14 1 : 1.07 Tidak memenuhi rasio emas
11 x 10 1 : 1,1 Tidak memenuhi rasio emas
Dwaja 13 x 12 1 : 1,08 Tidak memenuhi rasio emas
9x8 1 : 1,12 Tidak memenuhi rasio emas
Wreksa 12 x 11 1 : 1,09 Tidak memenuhi rasio emas
8x7 1 : 1.14 Tidak memenuhi rasio emas
Singa 13 x 12 1 : 1,08 Tidak memenuhi rasio emas
9x8 1 : 1,12 Tidak memenuhi rasio emas

Pembahasan diatas berdasarkan apa yang tertulis pada buku yang dikarang oleh I
Made Bidja pada tahun 2012. Untuk lebih meyakinkan apakah bangunan suci di Bali
menggunakan rasio emas atau tidak, penulis mengambil 3 buah sampel secara acak
terhadap tempat suci yang terdapat di rumah masyarakat atau yang dalam bahasa Bali
disebut Merajan. Terdapat banyak candi pada Merajan namun pada makalah ini akan
mengkaji terbatas pada candi padmasana, gedong dan lebuh. Pembahasan sebagai
berikut.

a. Padmasana

15
b. Gedong

16
c. Lebuh

17
3.2 Patra Punggel Ditinjau Dengan Golden Rectangle (Fibonanci Ratio)

Dalam menggambar sebuah patra punggel ada beberapa langkah yang dapat
dilakukan seperti yang tertera pada gambar dibawah ini.

(a) Pola 1 (b) Pola 2

(c) Patra Punggel

Gambar 3.2 Langkah-langkah Menggambar Patra Punggel

Dalam membuat sebuah patra punggel seperti pada gambar 3.2 tidak terdapat
patokan ukuran secara khusus namun patra punggel dibuat dengan ukuran yang
harmonis. Ukuran yang harmonis adalah ukuran yang serasi sehingga patra punggel
yang dibuat indah.

Setelah melakukan penelitian penulis menemukan bahwa jika menggambar


sebuah patra punggel dengan golden rectangle sebagai batasan ukuran dapat
menghasilkan patra punggel dengan ukuran yang harmonis. Berikut adalah desain
golden rectangle yang akan digunakan dalam membuat patra punggel dengan ukuran
yang harmonis.

18
Gambar 3.3 Desain Golden rectangle

Golden rectangle diatas dibuat dengan bantuan aplikasi geogebra namun biasanya
seorang seniman membuat gambar sebuah patra punggel diatas kertas gambar atau
kanvas, sehingga penulis akan menjelaskan bagaiman mengkonstruksi golden rectangle
secara manual. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

1. Tentukan ukuran panjang dan lebar golden rectangle tentunya rasio antara
lebar dan panjang adalah 1:1,6. Untuk memilih ukuran panjang dan lebar ini
dapat dipilih dari barisan fibonanci yaitu dua suku berurutannya (mulai dari
suku ke-4).
2. Buatlah golden rectangle dengan panjang dan lebar yang diinginkan. Seperti
persegi empat panjang ABED berikut.

3. Buatlah sebuah persegi dengan panjang sisinya sama dengan lebar golden
rectangle pada golden rectangle yang telah dibuat sbelumnya. Persegi yang
dimaksud adalah persegi ACFD.

19
4. Buatlah persegi dengan panjang sisi yang sama dengan panjang ruas garis FE,
seperti pada gambar berikut. Akan diperoleh BI dan IE berturut-turut
merupakan dua suku berurutan pada baris fibonanci.

5. Buatlah ruas garis yang menghubungkan E dan C. Kemudian cari titik potong
antara ruas garis CE dan HI.

Perhatikan bahwa ME : CE = 1 : 1,6


Bukti:
Perhatikan CBE dan MIE sebangun.
CBE MIE

20
MI IE ME

CB BE CE
Karena BI dan IE berturut-turut merupakan dua suku berurutan pada baris
fibonanci maka BE akan menjadi suku setelah IE pada baris fibonanci. Karena
dua baris berurutan pada baris fibonanci memiliki rasio 1 : 1,6 maka IE : BE =
1 : 1,6 begitu pula ME : CE = 1 : 1,6 (terbukti).
6. Buatlah sebuah titik N pada ruas garis AD dengan rasio panjang ruas garis NA
dengan ruas garis DA adalah 1:1,6 atau pilih dua suku berurutan dari barisan
fibonanci.

7. Buatlah sebuah titik L pada ruas garis FH dengan ketentuan rasio yang
dibentuk oleh LH dengan FH adalah 1:1,6 atau pilih dua suku berurutan dari
barisan fibonanci.

8. Buatlah sebuah titik O pada ruas garis CB dengan ketentuan rasio yang
dibentuk oleh OB dengan CB adalah 1:1,6 atau pilih dua suku berurutan dari
barisan fibonanci.

21
9. Kita telah konstruksi golden rectangle yang dapat kita gunakan untuk
menggambar sebuah patra punggel.
10. Selanjtnya anda dapat menghapus garis-garis pada golden rectangle kita dapat
menggunakan titik-titik pada golden rectangle. Perhatikan catatan berikut:

E akan menjadi titik puncak dari pusuh


I akan menjadi titik puncak dari kuping guling
C akan menjadi util
M akan menjadi util yang dekat dengan batun poh
Bantun poh dibuat melalui titik L dan tidak melewati ruas garis DE.
Titik N adalah sebagai batas dalam menggambar sebuah daun kecil
pada patra
Titik O adalah titik yang dilewati oleh jangar siap
11. Langkah selanjutnya adalah menggambar patra punggel. Menggambar patra
punggel dapat dimulai dari pola 1 hingga menjadi sebuah patra punggel yang
indah.

Contoh:

1. Pada contoh ini penulis mengambil ukuran panjang dan lebar golden rectangle
8cm dan 5cm (diambil suku ke-6 dan ke-5 dari baris fibonanci).
2. ABED adalah persegi panjang dengan lebar 5cm dan panang 8cm

22
3. ACFD adalah sebuah persegi dengan panjang sisi 5cm. Perhatikan bahwa DF :
DE = 5 : 8 = 1 : 1,6 dimana 5 dan 8 berturut-turut adalah suku ke-6 dan ke-7
baris fibonanci

4. FEHI adalah persegi dengan panjang sisi 3cm. Perhatikan bahwa FH : FC = 3 : 5


dimana 3 dan 5 berturut-turut adalah suku ke-5 dan ke-6 baris fibonanci

5. Mencari titik M dengan menghubungkan C dan E sehingga berpotongan dengan


HI di M. Berdasarkan pembuktian yang telah dijelaskan sebelumnya ME : CE =
1 : 1,6.

23
6. Dibuat titik N sehingga NA : DA = 3 : 5 dimana 3 dan 5 berturut-turut adalah
suku ke-5 dan ke-6 baris fibonanci.

7. Telah dibuat titik L sehingga LH : FH = 2 : 3 dimana 2 dan 3 berturut-turut


adalah suku ke-4 dan ke-5 baris fibonanci

8. Telah dibuat titik O sehingga OB : CB = 2 : 3 dimana dimana 2 dan 3 berturut-


turut adalah suku ke-4 dan ke-5 baris fibonanci

24
9. Kita telah konstruksi golden rectangle yang dapat kita gunakan untuk
menggambar sebuah patra punggel.
10. Selanjtnya anda dapat menghapus garis-garis pada golden rectangle kita dapat
menggunakan titik-titik pada golden rectangle. Perhatikan catatan berikut:
E akan menjadi titik puncak dari pusuh
I akan menjadi titik puncak dari kuping guling
C akan menjadi util
M akan menjadi util yang dekat dengan batun poh
Bantun poh dibuat melalui titik L dan tidak melewati ruas garis DE.
Titik N adalah sebagai batas dalam menggambar sebuah daun kecil
pada patra
Titik O adalah titik yang dilewati oleh jangar siap
11. Langkah selanjutnya adalah menggambar patra punggel.
Pola 1

Pola 2

25
Patra Punggel

Lebih jelasnya jika gambar diatas ditempel pada geogebra akan terlihat sepert
gambar berikut.
Pola 1

Pola 2

26
Patra Punggel

BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan

4.1.1 Berdasarkan panduan arsitektur pada Buku Asta Kosala-Kosali yang ditulis
oleh I Made Bidja pada tahun 2012, Bali tidak menerapkan Rasio emas dalam
arsitekturnya.

4.1.2 Golden rectangle dapat diterapkan dalam menggambar sebuah patra punggel
dengan ukuran yang harmonis, yaitu dengan mengaplikasikan dua suku
berurutan dari baris fibonanci sebagai patokan dalam menemukan titik-titik
penting sebagai titik puncak dari pusuh, titik puncak dari kuping guling, titik
util,titik util yang dekat dengan batun poh, dan titik batas daun kecil pada
patra punggel.

27
4.2 Saran

Makalah ini terbatas pada beberapa ukuran bangunan yang dibuat dengan
satuan tradisional yang sejenis seperti satuan depa saja atau alengkat saja sehingga
untuk mengecek apakah diterapkannya rasio emas atau tidak dapat dilakukan
secara langsung tanpa konversi satuan tradisional ke satuan modern, bagi pembaca
dapat mengembangkan untuk bangunan-bangunan Bali yang memiliki patokan
ukuran tidak tunggal.

28
DAFTAR PUSTAKA

Bidja I Made. 2012. Asta Kosala-Kosali Asta Bumi. Denpasar: Pustaka Bali Post

Budiwiwarmamulja Dwi. 2004. Golden Section Pada Ragam Hias Tradisional Melayu.

Nadia I Ketut, Prastika I Nyoman. 2008. Arsitektur Tradisional Bali. Bali: Widya
Dharma

Nediari A., Hartanti Grace. 2014. Pendokumentasian Aplikasi Ragam Hias Budaya
Bali, Sebagai Upaya Konservasi Budaya Bangsa Khususnya Pada Perancangan
Interior.
Parwata I Wayan. 2011. Rumah Tinggal Tradisional Bali dari Aspek Budaya dan
Antropometri.

Winarta I Gusti Nyoman. Beberapa Contoh Pola Seni Hias Bali.

Anda mungkin juga menyukai