Anda di halaman 1dari 9

Mengenai Perencanaan Prosedural (Procedural Planning Theory)

Di dalam perencanaan, atau lebih spesifik perencanaan kota, dapatkah kita melakukan pemisahan antara
teori dan praktik? Dalam kenyataannya, pemisahan tersebut sangat sulit untuk dilakukan. Dengan
merentang sejarah perencanaan, John Friedmann dalam bukunya yang monumental Planning in the
Public Domain mengungkapkan definisi perencanaan sebagai pemanfaatan pengetahuan metode dan
teknis untuk mencari solusi dalam jangka waktu tertentu. Praktik tidak dapat dipisahkan dari teori karena
memberikan paradigma dan kerangka untuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu dalam
perencanaan. Dalam hal ini saya mengambil posisi bahwa antara teori dan praktik tidak dapat dipisahkan
sama sekali.

Berawal dari Theory of Planning dan Theory in Planning

Ketegangan antara teori dan praktik sebenarnya sudah muncul ketika Faludi berbicara mengenai
perbedaan antara theory of planning dan theory in planning. Pada pengertian yang pertama,
perencanaan dianggap sebagai serangkaian prosedur untuk mencapai tujuan dalam perencanaan.
Terdapat urutan logis perencanaan yang mesti diikuti untuk menghasilkan rencana.

Theory in planning mengungkapkan hal yang sebaliknya. Pertanyaan yang lebih dahulu mengemuka
adalah: teori atau substansi apa yang perlu diketahui oleh perencana untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Dalam hal ini perencana mencari konsep dan metode yang tepat atau semacam formula
untuk menemukan solusi-solusi.

Theory of planning atau procedural planning dikritik karena terlalu kaku dalam mempraktikkan
perencanaan dalam kenyataannya. Perencana menjalani serangkaian tahapan yang sudah mapan yang
mengarahkan tindakan mereka. Procedural planning umumnya bergantung kepada aspek administratif.
Perencana yang lebih pragmatis akan sangat cepat untuk menyesuaikan dengan gaya perencanaan ini.
Pada konteks sebaliknya, theory in planning atau substantive planning lebih berkutat kepada pemahaman
terhadap konsep dan metode yang sesuai untuk memecahkan persoalan-persoalan yang
dihadapi. Substansive planning memberikan fleksibilitas dalam merumuskan persoalan dan
pemecahannya. Perencana yang cenderung idealis akan sangat menyukai pendekatan ini.

Dalam perkembangan selanjutnya, antara theory of planning dan theory in planning mampu berjalan
beriringan. Selain mengikuti tahapan logis, perencanaan juga diisi oleh sejumlah teori dan konsep yang
diambil dari ilmu-ilmu yang relevan. Selain mengembangkan serangkaian prosedur, perencana juga
melakukan adopsi dan adaptasi terhadap bidang-bidang keilmuan yang terkait.
Menuju Perencanaan Komunikatif

Perkembangan selanjutnya, menurut teori sosial, teori dan tindakan tidaklah dapat dipisahkan.
Dalam Theory of Communicative Action, bahwa gagasan-gagasan yang berkembang di kepala para
ahli, yang terkait kontribusinya terhadap arah perkembangan masyarakat, tidak dapat dapat diterapkan
secara mekanis. Karena para ahli yang bersangkutan perlu menjalani proses komunikatif yang berarti
melihat perspektif yang ragam di dalam masyarakat. Dalam hal ini, sebuah teori tidak berbicara sendiri,
namun menjadi kontekstual bagi suatu komunitas. Para ahli justru menggali lebih lanjut mengenai yang
sesungguhnya terjadi di dalam masyarakat.

Konteks teori komunikasi ini sangat relevan bagi perencanaan. Perencanaan bukanlah ilmu pasti yang
terkait dengan perilaku alam dan keinginan untuk melakukan kontrol, melainkan terkait dengan
pemahaman sosial mengenai cita-cita dan keinginan masyarakat. Partisipasi masyarakat menjadi sangat
penting karena akan menjadi cara untuk menggali aspirasi masyarakat. Tidak hanya itu, seorang
perencana menjadi seorang komunikator yang menyampaikan gagasan-gagasannya, namun bukan pihak
yang dominan dalam prosesnya.

Untuk konteks saat ini di Indonesia, perencana sebagai komunikator masih berada di angan-angan. Para
perencana yang termasuk ke dalam kelompok akademisi memang berperan besar dalam pemahaman-
pemahaman baru baik dalam theory of planning maupun theory in planning, namun dapat dikatakan
masih masih ada jarak dengan masyarakat atau bertindak sebagai komunikator. Meskipun pelaksanaan
pengabdian kepada masyarakat yang menjadi fitrah mereka di kehidupan akademik menjadi sangat
penting untuk dikerjakan, lebih sering merupakan bagian dari pelayanan terhadap kelompok tertentu,
seperti pemerintah maupun pengembang besar. Ada peluang untuk menjadikan perencanaan menjadi
cara-cara untuk memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat sekaligus menjadi lebih dekat dengan
komunitas. Dalam hal ini saya menafsirkan praktik perencanaan sebagai upaya memecahkan masalah
masyarakat sekaligus keberpihakan terhadap mereka.

Dengan perkembangan masyarakat yang ada sekarang yang dipahami sebagai postmodern society,
seorang perencana tidak mungkin bertindak lepas dari paradigma yang memandang bahwa perencanaan
seharusnya tidak menjadi instrumen untuk memproduksi metanarasi (sebuah produk rencana pada
dasarnya adalah sebuah metanarasi karena sifatnya yang mengatasi wacana lain menyangkut
perikehidupan masyarakat, dalam hal ini tata ruang). Perencana pun memiliki tanggung jawab untuk
membentuk masyarakat secara bertanggung jawab yang dilakukan secara diskursif, bukan melalui ego
keahlian. Aspirasi dari seluruh kelompok pun harus dipertimbangkan sebagai perwujudan bahwa
masyarakat memiliki cultureyang ragam.
Perencana sebagai Teoritisi atau Praktisi?

Dengan uraian di atas sesungguhnya tidak relevan lagi menanyakan apakah perencana adalah seorang
teoritisi atau praktisi. Perencana haruslah seseorang yang mampu mengkaitkan antara teori dan metode
untuk memecahkan persoalan-persoalan di dalam masyarakat dengan mempertimbangkan kondisi sosial
ekonomi dan politik yang ada. Bukan pekerjaan yang mudah. Dalam prakteknya, perencana
memanfaatkan paradigma tertentu yang mengarahkan kepada tindakan tertentu. Saya sangat
menyanyangkan apabila terdapat pendapat bahwa antara keduanya dapat dipisahkan. Saya beranggapan
bahwa perencana haruslah orang yang mampu menjebatani antara teori dan metode yang diketahuinya
atau harus diketahuinya untuk memecahkan persoalan.

Saya cenderung melihat bahwa mereka yang terlibat di dalam praktek perencanaan lupa untuk meng-
update teori yang mereka miliki atau setidaknya merenung tentang apa yang mereka telah kerjakan.
Saya memiliki kesan bahwa dengan memasuki dunia praktek, tidak perlu lagi berhubungan dengan teori
maupun metode. Terdapat penyakit yang menghinggapi para praktisi ini, yaitu copy paste dokumen
rencana satu ke rencana yang lainnya, padahal terdapat persoalan yang berbeda antara wilayah yang
satu dengan yang lainnya. Saya menduga hal ini terjadi karena merasa ranah teori maupun metode
bukanlah milik mereka.

Sementara itu, para akademisi perlu berperan dan terlibat dalam tindakan praktis. Mereka dapat menjadi
bagian dari perubahan di dalam masyarakat atau turut melakukan proses perencanaan dapat menjadi
pilihan. Dalam hal ini, perencana yang termasuk ke dalam kelompok akademisi tidak hanya sekedar
berteori melainkan terlibat dalam praktik perencanaan. Dengan demikian, mereka dapat memiliki
kepekaan untuk menentukan mana teori maupun metode yang tepat, serta berkontribusi terhadap
perkembangan keilmuan mereka pada masa mendatang.

Source:

https://gedebudi.wordpress.com/2008/11/10/teori-atau-praktek/

https://www.scribd.com/doc/45240999/Procedural-Normative-and-Substantial-Planning
Advocacy Planning Concept
Emergence of various planning
concepts
With the emergence of town or urban planning the need of research also grew. These
research were an attempt to get a better understanding of the field and led to its
evolution. Different planning theories like rational planning model, advocacy planning
concept, collaborative planning theory, political economic model in urban planning,
critical minimum efforts theory emerged. These shaped the way we know urban
planning today and form a part of planning theory.

History of advocacy planning concept


The concept of advocacy planning was given by Paul Davidoff. In this type of planning,
there are various interest groups. They can be as follows:

1. political parties (in power or in opposition)


2. special interest groups like groups against the caste system (in the Indian context), groups
against racial discrimination, pro or anti civil rights groups, chambers of commerce, labour
organisations, NGOs aiming at protecting the environment, RWA
3. Ad-hoc associations protesting against existing policies e.g. there is a group of architects who
are against the construction of the over ground construction of the Delhi Metro on the grounds
of aesthetics.

Advocacy Planning

These groups have their own needs which they represent through the preparation of
plural plans. This is how public participation is achieved in advocacy planning.
Plural plans is a concept of advocacy planning as opposed to the unitary plan of rational
planning. Rational planning believes that it is possible to prepare a plan by a single
authority with scientific objectivity which tries to takes into account the interests of as
many sections of the society as possible which would enable the society to achieve the
one and only truth. Advocacy planning defies the existence of the concept of value
neutrality and hence the preparation of plural plans with each plan guided by the
ideologies of the people preparing it. Values are an inescapable part of ant rational
decision making process.

Public interest is not given or defined by the planner but constructed through political
process i.e. there has to be representation of diff. Groups which can be done by plural
plans preparation. It believes in relative truth. Proper policy is that which is considered
proper by its formulators. Right course of action is a matter of choice and not a fact.

Planners play the role of advocates, helping those people in preparing plans whose
views match his own. Hence, in advocacy planning the role of the planners is not just
that of a technician like in Rational planning. The planner is provided with the
opportunity to endorse the plan which he believes in. The planner helps his clients
articulate their thoughts in a language which is comprehendible to them, the other
parties and to the decision makers. Instrumental knowledge is also used in advocacy
planning.

The planner defends his plan by highlighting the strengths of his plan and pointing out
the shortcomings of the plans prepared by other groups. This is done to win the political
support for the approval of the planners clients plan which is a prerequisite for the
financing and implementation of their plan. The planner makes his clients aware about
the various institutions and processes involved in planning. The public is told why
certain suggestions were taken and some not. What are the justifications behind the
policies which are implemented?

Plural plans ensure the preparation of high quality plans since the different plans
compete with one another. The plural plans are based on thorough background studies
which is required while defending these plans. They also ensure a healthy rate of
generation of these plans.

The plural plans ensure that no contending party preparing a plan has an undue
advantage of any sort. Rational planning advocates the preparation of alternatives. But
these are more of a mental exercise rather than actual different plans. Advocacy
planning overcomes this shortcoming by the construction of plural plans by different
sections of the society. Advocacy planning facilitates lively political discussion and
opposition to public agency which is required for a healthy democracy and a rational
decision making process.
Other advantages of plural plans:

1. it serves as a means of informing the public about the various alternatives, options and choices
available which are strongly supported by their proponents.
2. It relieves the pressure from the public agency to prepare alternatives.
3. it puts a professional obligation on the planners to defend the plan of their clients.
4. the planning agency will not b in a monopolistic condition and hence will be forced to compete
with the other contending groups. This will force it to prepare better quality plans.
5. it will avoid frivolous criticism. Those who object to the existing plan e.g. master plan will be
forced to prepare a better plan. Hence accountability increases.

Other functions of a planner in advocacy planning

1. he undertakes educational work.


2. he informs his clients about their rights under the various planning laws, the way a city
government functions and the particular programmes which might affect them.
3. he informs the public agencies and other groups about the conditions, outlooks and problems of
the group he represents.
4. the planner points out the nature of biases underlying the information used in other plans.

It is suggested that the federal government should fund the implementation of the plans
and not the local government. The local govt can influence the local bodies executing
the plan which would refer to the implementation of a plan different from the one
chosen.

The different interest groups preparing the plan can ask the federal govt for funding.
Other organisations such as charitable organisations can also fund these groups. The
local govt can charge the plan preparing groups for the information they require. In case
of absence of information, the contending parties would have to spend their own money
to collect the required information.

Over time, advocacy planning has led to

1. Equity planning
2. Social, mutual and trans active learning
3. Community based planning

Source:

https://planningtank.com/planning-theory/advocacy-planning-concept
Indonesia menuju Praktek Perencanaan Pembangunan Advokasi

Konteks Yang Mengharuskan


Mengapa berpartisipasi dalam proses penganggaran penting?
Pertama, kebutuhan untuk menjawab peroblem tingginya tingkat kemiskinan dan banyaknya
kelompok masyarakat yang sebelumnya termarjinalkan dari kue anggaran publik. Tingkat
kemiskinan masih tinggi seiring dengan seringnya goncangan yang diderita warga karena
kenaikan BBM, sementara skema jaminan sosial sebagai peredam kejut belum terlembaga
dan merata ke semua lapisan masyarakat. Anggaran pro orang miskin penting untuk
pembangunan kesejahteraan.

Kedua, di tengah keterbatasan anggaran, selama ini belanja anggaran daerah masih belum
diprioritaskan untuk menjawab kebutuhan masyarakat (miskin) dan belum secara maksimal
ditujukan untuk peningkatan kualitas dan daya cakup pelayanan publik ke semua lapisan
masyarakat, terutama yang sebelumnya termarjinalkan. Cara pandang terhadap APBD
bersifat residual. Yang terjadi, pemerintah daerah di banyak tempat justru mengutamakan
belanja tidak langsung (birokrasi dan elit sebagai beneficiary) dan sisanya (residu) baru
untuk pembangunan dan pelayanan bagi masyarakat. Banyak daerah belum memenuhi
mengalokasikan secara cukup untuk sektor yang berhubungan dengan hak-hak dasar
warganya seperti pendidikan, kesehatan, dan sektor lain yang terkait dengan jaminan
kesejahteraan.

Ketiga, kuatnya kecenderungan birokrasi untuk memaksimalkan alokasi anggaran untuk


dirinya sendiri. Lay (2005: 27) merujuk Dunlvey (1991), menyebut istilah bureu-shaping
yakni kecenderungan bahwa birokrat berupaya memaksimalkan alokasi anggaran untuk
organisasinya sendiri. Para birokrat terlibat aktif dalam perebutan anggaranyang
memunculkan fenomena egoisme sektoraltetapi alpa terhadap kebutuhan publik
kebanyakan. Kecenderungan ini berdampak, antara lain, disintegrasi program internal
pemerintah di mana satu dinas saling overlapping, atau jika pun berbeda tidak signifikan.
Seorang birokrat di Kebumen pernah berujar, suatu dinas mendapatkan alokasi angaran
bukan karena programnya sesuai kebutuhan, melainkan hanya karena dinas tersebut
terlanjur dibentuk dan birokratnya membutuhkan proyek. Bahkan, guna menambah porsi
alokasi untuk organisasi dan personilnya, birokrasi tak segan menggunting belanja tidak
langsung (untuk pembangunan dan pelayanan publik) sebagai honorarium.

Jika diringkas, berpartisipasi dalam penganggaran sedemikian penting dilakukan karena


adanya pemandangan paradoksal di atas: di satu sisi ada kebutuhan mendesak
penanggulangan kemiskinan dan anggaran terbatas, namun di sisi lain birokrasi
menempatkan alokasi anggaran untuk publik secara residual dan cenderung
memaksimalkan anggaran public untuk dirinya sendiri. Resources dan needs tidak bertemu.

Dorongan lain bagi partisipasi anggaran juga muncul dari konteks politik. Pertama,
kebijakan desentralisasi. Sejak lama desentralisasi digadang-gadang baik oleh donor maupun
teoretisi sebagai panacea bagi keburukan sentralisasi: (i) mendekatkan pelayanan publik
lebih dekat ke masyarakat sebab birokrat di level lokal lebih mengenal budaya dan
kebutuhan warga; (ii) memupus jarak politik sebab proses kebijakan menjadi sedemikian
dekat sehingga mudah diakses dan dipengaruhi publik. Jika relasi warga negara dengan
legislatif dan eksekutif (representative institutions) dalam sentralisasi dikritik terlalu jauh, maka
desentralisasi menjanjikan sebaliknya.

Kedua, konteks decentralized governance. Desentralisasi juga membawa konsekuensi


berupa perubahan model tata kelola (governance) yang semakin memungkinkan institusi non
negara berinetraksi dengan institusi negara (Pierre & Peters, 2000: 88). Pendekatan lama
yang tertutup dengan hanya pemerintah sebagai aktor dominan, dinilai oleh aktor-aktor di
luar negara (masyarakat sipil dan sektor swasta) menjadi biang malapraktik administrasi,
kebijakan yang tidak aspiratif, serta sistem yang rentan dibajak oleh rent seekers atau aparat
penjual rente. Titik beratnya pada bagaimana negara bisa secara luas menjalankan peran
pengaturan dan fasilitasi terhadap aktor-aktor penting lain di masyarakat. Karena itu,
filosofi dasar dari governance mencakup nilai kesetaraan, kooperasi, akomodasi, toleransi,
serta pembentukan konsensus di antara sektor negara, privat dan masyarakat sipil (UNDP,
1997).

Konteks desentralisasi maupun governance mengisyaratkan bahwa tata kelola pemerintahan


bukan semata proses penggunaan otoritas negara terhadap rakyat tapi juga penggunaan
hak hak rakyat di hadapan negara (Santoso, 2003). Corak relasi diidealkan tidak lagi melulu
menggunakan instrumen kebijakan yang koersif, kendati negara masih menjadi pusat dari
kekuasaan politik. Implikasinya, sharing power tidak hanya di antara level organisasi pada
lembaga negara, melainkan juga memberikan akses voice terhadap societal actors di dlaam
proses kebijakan (Rondinelli & Cheema, 2007: 10-18). Partisipasi, dengan demikian,
semakin tegas sebagai bagian inheren dalam citizenships. Publik tak semata citizen state
melainkan punya atribut citizenshipsa concept that describes an individual and his or her
relationship (rights and obligations) to the state. Adanya hak-hak politik warga negara ditujukan
untuk melindungi dan mempromosikan kemampuan rakyat untuk mempengaruhi kebijakan,
pengaturan, struktur, dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Dari konteks desentralisasi dan governance di aspek politik, dan penanggulangan


kemiskinan di aras ekonomi dan kesejahteraan, tulisan ini dalam memotret partisipasi
warga dalam proses penganggaran mendudukan partisipasi sebagai hak (rights), yang
dioperasikan dalam kerangka (democratic) co-governance. Co-governance, menurut Gaventa
(2006: 15) yang merujuk Ackerman (2004: 447), merupakan bentuk partisipasi di mana
warga terlibat langsung dengan lembaga negara (eksekutif dan legislatif) di dalam proses
dan penentuan substansi kebijakan. Inovasi co-governance ini menurut Stoker (2006: 187),
merujuk best pracitces Participatory Budgeting di Porto Alegre, Brazil, not one-off opportunities
to engage citizens but on-going ooportunities to take apart in decicion making. Namun dengan
prosesnya yang panjang mengikuti alur penganggaran daerah, demikian Stoker (2006:
188-189) model partisipasi dalam co-gocernance ini membutuhkan komitmen baik dari warga
maupun pemegang otoritas publik. Negara dibutuhkan komitmennya untuk memfasilitasi
partisipasi warga baik dalam hal menyadarkan benefits partisipasi kendati time consuming;
komitmen keterbukaan untuk memberikan dokumen anggaran; hingga komitmen untuk
duduk bersama warga mengingat proses penganggaran bersifat sangat politis dan
teknokratis.

Disini akan mengupas praktik partisipasi oleh kelompok masyarakat sipil di Bantul
dan Kebumen. Sebelumnya, ada beberapa hal penting kenapa kami mengangkat dua
daerah ini sebagai studi kasus. Pertama, kedua daerah tersebut selama ini dikenal sebagai
salah satu pelari cepat dalam governnace reforms, setidaknya sebagaimana yang
dikampanyekan oleh media massa. Bantul dan Kebumen termausk dua dari 14 kabupaten di
Indoesia yang terpilih menjalankan Program Initiative for Local Governance Reform Bank
Dunia (Program Prakarsa Pembaharuan Tata Pemerintahan Daerah atau P2TPD) pada tahun
2002. Ringkasnya, daerah mendapat tawaran skema investasi tapi dengan syarat harus
membuat regulasi yang menjamin partisipasi dan transparansi. Gagasan program P2TPD
adalah mereformasi pemerintah lokal agar memiliki tata kelola pemerintahan yang
akuntabel dengan memfasilitasi partisipasi warga di dalam proses kebijakan publik.
Hasilnya, di Kebumen lahir PERDA No 53 Tahun 2004 Tentang Partisipasi Masyarakat dalam
Pembuatan Kebijakan Publik dan di Bantul lahir Perda PERDA No 7 Tahun 2005 tentang
Transparansi dan Partisipasi Publik.

Kedua, di kedua Kabupaten itu telah terbentuk dua kelompok masyarakat sipil (KMS).
Yakni Rembug Warga Peduli Anggaran (REWANG-Bantul) dan Gabungan Masyarakat Sipil
(GAMPIL-Kebumen).1 Selama 21 bulan sejak 2006-2008, dengan didampingi Institute for
Research and Empowerment sebagai NGO Technical Asistance, dua KMS yang merupakan
jaringan NGO, CBO, ormas, organisasi mahasiswa, kelompok masyarakat sektoral, dan
sejumlah warga desa (spatial based) tersebut, aktif mengorganisir diri dan membangun
kapasitas, untuk kemudian terlibat aktif dalam proses perencanaan, penganggaran, hingga
tracking belanja daerah dan evaluasi pelayanan publik (survey). Tentu saja, untuk
kepentingan makalah ini, kami hanya akan mencuplik praktik partisipasi dalam prosesi
penganggaran.

Dengan asumsi telah terjadi reformasi di aras state, seiring lahirnya jaminan partisipasi
dan transparansi dari dua perda tersebut, menjadi menarik memotret praktik berikut
dinamika dari parisipasi kedua KMS di dua kabupaten tersebut. Tulisan ini dimulai dengan
membahas penganggaran dari kerangka normatif dan praksis, guna mengidentifikasi
masalah bawaan di dalam penganggaran di Bantul dan Kebumen. Sebagai respon terhadap
problem yang ada, bagian kedua membahas praktik partisipasi KMS REWANG dan GAMPIL
berkit capaiannya. Hambatan dan tantangan partitipasi warga tersebutterutama resistensi
stakeholder pemerintah dan lemahnya jaminan regulasikami paparkan di bagian ketiga.
Terkahir, beranjak dari dampak positif dan masih adanya tantangan partisipasi, kami
mengajukan sejumlah gagasan sebagai alternatif solusi.

Source:
Ashari dan Dina, Mendorong Penganggaran Yang Pro-Poor dan Demokratis : Belajar Dari
Keterlibatan Kritis Kelompok Masyarakat Sipil GAMPIL Kebumen dan REWANG Bantul. Peneliti
di Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai