Anda di halaman 1dari 18

TUGAS KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG 2

“BANGUNAN BERTINGKAT TRADISIONAL TAHAN


GEMPA DI JEPANG (PAGODA)”

Nama : Dwi Novisetyawati


NIM : 1115050011
Kelas : 1-MK

PROGRAM STUDI MANAJEMEN KONSTRUKSI


JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI JAKARTA
DEPOK
2016
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangunan bertingkat adalah istilah untuk menyebut suatu bangunan yang


memiliki struktur tinggi. Berdasarkan beberapa standard, suatu bangunan biasa disebut
sebagai bangunan tinggi jika memiliki ketinggian antara 75 kaki dan 491 kaki (23 m
hingga 150 m). Bangunan yang memiliki ketinggian lebih dari 492 kaki (150 m) disebut
sebagai pencakar langit. Tinggi rata-rata satu tingkat adalah 13 kaki (4 meter).

Struktur bangunan tinggi memiliki tantangan desain untuk pembangunan


struktural dan geoteknik, terutama bila terletak di wilayah seismik atau tanah liat
memiliki faktor risiko geoteknik seperti tekanan tinggi atau tanah lumpur. Di dalam
geoteknik diperdalam pembahasan mengenai permasalahan kekuatan tanah dan batuan
serta hubungannya dengan kemampuan menahan beban bangunan yang berdiri di atasnya.
Selain itu suatu bangunan bertingkat juga harus diperhitungkan jika sewaktu-waktu
terjadi gempa bumi. Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di
permukaan bumi akibat pelepasan energi dari dalam secara tiba-tiba yang menciptakan
gelombang seismik. Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng
bumi). Saat gempa bumi terjadi bangunan bertingkat sangat rentan terhadap ketahanan
gempa bumi tersebut. Bangunan bertingkat beresiko tinggi untuk terjadi
kerusakan/kehancuran/rusak/runtuh yang dapat diakibatkan kurangnya perencanaan
maupun perhitungan yang tepat terhadap bagian penting yaitu bagian strktural suatu
bangunan.

Namun ketika bencana gempa bumi mengguncang Jepang, pagoda- pagoda yang
berdiri di sana tetap berdiri tegar, tanpa mengalami kerusakan yang berarti. Hal ini,
sebagaimana ditulis oleh Veda Atsushi dalam majalah Nipponia. Jepang, memang
merupakan negara yang mengalami banyak gempa bumi serius. Tetapi, tidak ada catatan
tentang sebuah pagoda yang runtuh, selama terjadi gempa tersebut. Gempa bumi Hanshin
Awaji pada tahun 1995, misalnya, telah banyak meruntuhkan bangunan tinggi dan
modern di Kobe. Namun, tidak satu pun dari 13 pagoda bertingkat tiga di sekitar provinsi
Hyogo yang rusak.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa pagoda-pagoda di Jepang bisa tahan terhadap gempa sedangkan bangunan
tinggi dan modern lainnya banyak yang runtuh?
2. Sistem konstruksi apa yang arsitek Jepang terapkan dalam membangun pagoda yang
tahan gempa tersebut?

C. Tujuan
1. Agar kita dapat mengantisipasi terjadinya kerusakan/kehancuran/rusak/runtuh pada
bangunan bertingkat saat terjadinya gempa.
2. Agar kita dapat menjadikan struktur yang diterapkan dalam membangun pagoda
menjadi pedoman dalam membangun bangunan bertingkat tahan gempa atau sebagai
pengetahuan mengetahui bangunan tahan gempa.
BAB II

ISI

PENGGUNAAN PROPORSI DAN UKURAN PADA KUIL-KUIL BUDHA

Pada tahun 552 AD, Budhisme masuk ke Jepang melalui Korea (melalui kerajaan
Paekche), dan kemudian berkembang pesat terutama di kota Nara. Tipe-tipe bangunan yang
ada pada waktu itu merupakan hasil sentuhan para tukang bangunan/kayu yang berasal dari
Korea. Pada awal periode tersebut, ada dua tipe bangunan, yaitu pagoda (to) untuk
menempatkan peninggalan-peninggalan Budha, dan golden hall / main hall (kondo) untuk
menempatkan lukisan-lukisan atau patung-patung Budha. Bangunan-bangunan tersebut di
kelilingi oleh koridor beratap (kairo) dengan sebuah gerbang (mon) yang sangat menonjol,
dan juga terdapat beberapa bangunan-bangunan pendukungnya. Kuil-kuil yang paling awal
adalah Asuka-dera dan Shitenno-ji, keduanya mengikuti pola simetris dan kaku, serta prototip
dari China dan Korea. Di dalam bangunannya terdapat berbagai macam detail, namun pada
komposisinya lebih tegas, yaitu dengan adanya pagoda yang menjulang tinggi, hal ini
dinyatakan bahwa peninggalan-peninggalan Budha adalah betul-betul lebih dipertimbangkan
dari patung-patung yang ditempatkan di dalam bangunan kondo. Denah bangunan-bangunan
kuil relatif sederhana, hal ini disebabkan, karena keterbatasan di dalam menentukan sistem
struktur pada balok dan kolom (post and lintel). Panjangnya kemungkinan berubah walaupun
lebarnya terbatas, tergantung pada jarak balok melintang yang dapat menjangkau tanpa
diberikan tambahan.

Kuil yang paling terkemuka adalah Horyu-ji, di Nara, didirikan pada tahun 607 AD
oleh pangeran Shotoku. Pada halaman tengah dari kuil ini terdapat bangunan dengan struktur
kayu yang paling tua di dunia, yang dibangun kembali setelah mengalami kebakaran. Desain
yang dinamis dari bangunan kuil ini telah ditampilkan dengan baik sekali, akan tetapi prinsip
pola simetris yang sama persis seperti dari negara asalnya sama sekali tidak ambil dengan
bebasnya oleh para tukang bangunan/kayu di Jepang. (Gambar 1)
Gambar 1. Pola penataan bangunan pada komplek kuil Horyu-ji di kota Nara Jepang. (Suzuki, 1980)

Pada kasus bangunan kondo di kuil Horyu-ji, terbagi ke dalam 5 trave panjangnya,
tetapi masing-masing ukuran dari 3 trave di tengah masing-masing dengan 9 koma-jaku (unit
standard ukuran berasal dari kerajaan Koguryo di Korea, kurang lebih sama dengan 35 cm),
dan 2 trave terakhir masing-masing dengan 6 shaku, dengan demikian rationya menjadi 1:1.5
(Suzuki, 1980:51). (Gambar 2)

Gambar 2. Denah, tampak depan, dan potongan dari kondo (golden hall/main hall) kuil Horyu-ji. (Kidder, 1972)
Dalam mendirikan pagoda, tukang bangunan/kayu memakai modul (standar dimensi
ruang) dengan ukuran 75 koma-jaku. Trave di tengah dari lantai pertama mempunyai ukuran
lebar 10 unit; dua sisi trave masing-masing adalah 7 unit, total luas menjadi 24 unit, atau 18
koma-jaku (kurang lebih 6.4 m). Untuk bagian atas lebar total dari rangka masing-masing
lantai berkurang dengan 3 unit modul. Pada lantai ke dua trave di tengah ukurannya 9 unit;
dua sisi trave masing-masing 6 unit, pada lantai ke tiga berturut-turut adalah 6 unit dan 5 unit;
pada lantai ke empat adalah 4 unit dan 7 unit; lantai ke lima lebarnya adalah 2 trave, masing-
masing trave menjadi 6 unit. Dari permukaan bidang masing-masing lantai berkurang, seperti
satu naik ke atas, akan tetapi ukuran sistem penyangga dan kayu sedikit berubah, dan rangka
kayunya menjadi lebih tidak teratur. Hal ini, disebabkan dengan ketidakteraturan pada lantai
ke lima yang terbagi 2 trave, dan resolusinya adalah, detail-detail menjadi tidak seimbang.
Pertimbangan diberikan dengan sungguh-sungguh adalah adanya keseimbangan menyeluruh
pada strukturnya, dan hal ini merupakan salah satu karakteristik arsitektur periode T’ang dari
China di abad ke-8. (Gambar 3)

Gambar 3. Tampak depan dan potongan gojo no to (pagoda lima lantai) pada kuil Horyu-ji. (Nishi & Hozumi,1986)
Tipe-tipe konstruksi dan teknik dasar yang digunakan semenjak periode Nara
(646~793), dilanjutkan pada periode Heian (794~1185), dan akhirnya sampai pada periode
medieval. Skala dari sebuah bangunan dinyatakan dalam ken, atau jumlah bay (trave), dan
men atau jumlah hishashi. (Parent, 1985:11) Istilah bay atau trave menandakan jarak antara
dua kolom (hashira) yang teratur dari tengah kolom ke kolom berikutnya. (Suzuki, 1980:22)

Sebagai contoh, denah bangunan 3 trave panjang dan 2 trave lebar dapat dituliskan
dengan 3 x 2, arah panjangnya selalu diberikan di pertama. Selain itu, lebar dari trave
mungkin berubah dari bangunan ke bangunan atau pun juga dengan bangunan yang sama.
(Gambar 4) Kembali mengambil contoh struktur bangunan 3 x 2, jika deretan kolom
ditambah satu, dua, tiga atau pada kesemua sisinya, maka bangunan tersebut dapat bertambah
satu trave. Ruang (space) yang tercipta membentuk semacam gang, dan dalam bahasa
Jepangnya dinamakan hisashi. Sebagai pusat ruang, adalah inti dari bangunan yang
dinamakan moya. Untuk menjelaskan sebuah bangunan yang hishasinya telah ditambah
dengan memberikan jumlah dari trave pada moya, maka jumlah dari hishashi menjadi
bertambah. Dengan demikian, 3 trave, 4 sisi berarti moya dengan panjang 3 trave dengan
hishashi bertambah di sekeliling moya. (Suzuki, 1980:22)

Gambar 4. Denah struktur bangunan. Bangunan dengan trave 3 x 2. (Suzuki, 1980)


Pada kuil Yakushi-ji yang didirikan tahun 718 AD di kota Nara, sangat menarik untuk
diperhatikan, ditandai dengan komposisi simetris oleh dua pagoda yang tingginya 33 m,
mengapit bangunan kondo. Sebuah aransemen yang merefleksikan image tambahan bagi
pemujaan sebagai penghormatan dari peninggalan-peninggalan Budha. Pagoda sebelah barat
berisi relics (tulang-tulang peninggalan Budha), sedangkan di sebelah timur terlihat sebagai
elemen keindahan. Di kuil Yakushi-ji, eksisting pagoda di sebelah timur memberikan
keseluruhan informasi yang sangat penting untuk merekonstruksi kembali sebuah bangunan,
tidak hanya pada pagoda di sebelah barat, tetapi juga bangunan lainnya yang terdapat di
halaman utama tersebut. Seperti data informasi tentang hubungan antara tinggi dan lebar
kolom, antara tinggi kolom dan ukuran dari kumimono (bracket complexes), dan antara jarak
dari lantai utama, detail-detail, bidang lengkung dan dekorasi. (Gambar 5)

Gambar 5. Denah, potongan dan detail bracket complex (kumimono) pada pagoda tiga lantai (sanju no to) di bagian
timur dari kompleks kuil Yakushi-ji. (Hirotaro, 1992; Brown, 1989)
Awal dari investigasi menunjukkan, bahwa pola kuil Yakushi-ji secara keseluruhan
telah ditentukan oleh sebuah sistem proporsi yang sederhana berdasar pada ketinggian dari
satu bangunan pagoda. Ketinggian pagoda, 120 shaku (shaku adalah standard ukuran Jepang
yang berbeda dari setiap periode ke periode, dan dari masing-masing daerah juga berbeda,
tetapi kira-kira sama dengan satu kaki). Ketentuan jarak dari pagoda meliputi dimensi dari
koridor yang mengelilingi, dan perletakkan dari bangunan lainnya di dalam halaman kuil.
(Brown, 1989:46) (Gambar 6) Hal itu diperjelas oleh Kidder, (1972:84), bahwa awal dari
bangunan kuil-kuil yang didirikan di Jepang menggunakan komashaku atau Korea foot
sebagai unit ukuran. Kemudian sedikit membesar dibanding ukuran shaku Jepang, ialah 1.158
dari ukuran Inggris foot.

Gambar 6. Diagram proporsi pada kompleks kuil Yakushi-ji. Lingkaran-lingkaran menunjukkan faktor utama yang
sangat menentukan, adalah 120 shaku atau dalam ukuran “feet” (jarak dari pondasi sampai ke finial pagoda
yang di sebelah timur). (Brown, 1989)
METODE KIWARI DAN TEKNIK KIKU

Pada periode Asuka (552~645), Nara dan Heian, para tukang bangunan/kayu
menggunakan teknik kiku yang berbeda untuk menentukan lengkungan dan pertemuan dari
rangka atap. Kesempurnaan bentuk dari bangunan hampir pasti tepat, bila menggunakan
metode kiwari (sistem proporsi) dan teknik kiku (teknik desain untuk bagian atap dan
penempatan dari usuk) dalam desainnya. Khususnya dalam sejarah teknik desain –metode
kiwari dan teknik kiku– adalah elemen paling penting dalam perjalanan sejarah arsitektur
Jepang (Larsen, 1994:164). Istilah kiwari untuk sistim proporsi arsitektur Jepang telah
diperkenalkan sejak periode Momoyama (1574~1614), ki mempunyai arti kayu, dan wari
berarti membelah atau membagi. Kiwari adalah sebagai pengertian dasar mengenai ukuran
standard, dan tukang bangunan/kayu dapat menentukan ukuran untuk keseluruhan rangka
bangunan, proyeksi dari lengkungan atap, tinggi atap, dan lain sebagainya. Proporsi tersebut
dituliskan dalam sebuah buku dinamakan kiwarisho, dan bila perancang bangunan mengikuti
arahan tersebut dengan benar, maka dia telah menghasilkan struktur yang sangat berguna.
Sebagai contoh, (Gambar 7) ilustrasi kiwarisho yang menunjukkan proporsi Nagare-zukuri.
Style dari bangunan kuil Shinto ini sebenarnya dibangun dengan menggunakan beberapa
ukuran. Akan lebih berhasil bila sepanjang proporsi dari unsur yang paling utama, yaitu
struktur rangka bangunan saling berhubungan antara satu dengan lainnya ditata seterusnya
dalam satu diagram. (Nishi & Hozumi,1986)

Dalam praktek tradisional, konstruksi dari bangunan tidak didasarkan pada gambar-
gambar detail arsitektur yang ditentukan oleh teori-teori tertulis, tetapi pada modul-modul
mendasar di dalam praktek tradisional (Coldrake, 1990:24).

Gambar 7. Ilustrasi dari buku proporsi (kiwarisho). (Nishi & Hozumi,1986)


Bagaimana pun juga, kiwari tidak dapat eksis secara bebas, tetapi harus mempunyai
hubungan dengan konstruksi. Rangka bangunan harus dipotong dalam dimensi-dimensi yang
cukup untuk dapat mengambil beban yang ditetapkan dan mendukung kekuatan lateral.
Untuk itu, hal yang penting adalah, bahwa tukang bangunan/kayu harus mempunyai
pengalaman untuk mampu menentukan ukuran kerangka bangunan yang berhubungan
dengan struktur. Sebagai tambahan mereka harus mempunyai pengetahuan mengenai sistem
proporsi. Ada beberapa sistem standard dari kiwari, berdasar pada: 1) diameter dari kolom; 2)
jarak dari trave antara kolom ke kolom; dan 3) jarak antara as usuk (rafters, shi) ke as usuk
berikutnya, atau jarak bagian tepi dari satu usuk sampai ke tepi bagian usuk yang sama
berikutnya.

Lebih lanjut, teknik kiku memperbolehkan tukang bangunan/kayu untuk


merekonstruksi rangka dari garis lengkung atap dan bagian atap dengan tepat. Metode dengan
model proporsi dan perhitungan geometris ini berkembang cepat mulai abad ke-12. Sebagai
contoh, penggaris berbentuk L (kane-jaku atau sashi-gane) dari bahan baja yang digunakan
oleh tukang kayu/bangunan Jepang, adalah merupakan alat yang utama digunakan untuk
merancang atap dengan menggunakan teknik kiku (Larsen, 1994:111). Sejak dahulu alat ini
telah digunakan di Jepang, dan nama kane-jaku diambil dari dokumen di abad ke-8.

Sistem yang terakhir, telah diperkenalkan pada periode Kamakura (1186~1333), yaitu
dengan sistem roku-shi-gake atau sistem “6 dalam 1”, dan erat hubungannya dengan
perkembangan dari teknik kiku. (Gambar 8)

Gambar 8. Salah satu contoh dari metode kiwari. Proporsi diameter kolom dan ketinggiannya. (Brown, 1989)
Pada periode Kamakura, usuk (rafters) yang terlihat, adalah usuk pada bagian dasar
(jidaruki) dan usuk yang menopang di atasnya (hiendaruki), mempunyai jarak yang sama
pada seluruh bagian dari atap. Usuk-usuk tersebut diletakkan dalam satu posisi yang telah
ditetapkan sebelumnya yang semuanya berhubungan dengan penempatan kolom. Enam usuk
ditata dengan dua usuk, yang masing-masing diposisikan di atas tiga blok bantalan (bearing
block atau makito) kecil dari satu bracket complex yang disangga oleh satu blok bantalan
yang besar (daito) di atas kolom. Metode untuk membuat jarak dari usuk ini dinamakan
dengan system roku-shi-gake. Sistem ini pertama diperkenalkan pada konstruksi tiga lantai
bangunan pagoda Ichijo-ji di tahun 1171. (Gambar 9)

Hal ini, bukanlah suatu kejadian kebetulan, bahwa sistem “6 dalam 1” adalah untuk
memberikan jarak usuk yang pertama muncul dalam konstruksi pagoda, tetapi disebabkan
bahwa pagoda merupakan tipe bangunan yang paling rumit untuk di desain. Lebih lanjut
untuk memperbaiki desain dari pagoda, tukang bangunan/kayu di Jepang pada periode
medieval telah memperkenalkan, yaitu jumlah usuk dari atap lantai satu ke atap lantai di
atasnya berkurang (gradual upwards-decreasing). Hal ini, digunakan untuk pagoda dengan
dua lantai dan lima lantai. Metode ini dinamakan isshi-ochi. Normalnya, sebuah pagoda
mempunyai tiga trave, dan pada trave di tengah lebih lebar dibandingkan dua trave di sisi
kanan-kirinya. Idealnya, jumlah dari usuk sebaiknya berkurang dengan dua dari lantai satu
keberikutnya pada trave di tengah, dan dengan satu usuk setiap trave ke dalam sisi trave-
travenya.

Gambar 9. Sistem roku-shi-gake dan isshi-ochi. (Larsen, 1994; Hirotaro, 1992)


Ada beberapa pedoman untuk tukang bangunan/kayu dan dikenal dengan berbagai
macam di antaranya seperti, hidensho (“secret hereditary writings”), hinagata-bon (“pattern
books”) dan gijutsusho (“technique books”), dan kesemuanya itu bukan pedoman untuk
“bagaimana membangun” dalam arti ketrampilan dan keamatiran, namun buku tersebut
sampai saat ini digunakan sebagai petunjuk dan sangat familiar. (Coldrake, 1990:38)
Pedoman tersebut dikemukakan dalam tulisan dan bentuk-bentuk diagramatis sistem
proporsi, atau dikenal dengan kiwari, yang menjadi dasar pekerjaan tradisionil untuk desain
bangunan. Pedoman didasarkan pada kearifan dan pengalaman yang terus-menerus dari
generasi para tukang bangunan/kayu di dalam mengkonstruksi bangunan. Sebenarnya, pada
abad ke-18 dan ke-19 pertimbangan estetik dari proporsi telah menjadi lebih penting
dibandingkan dengan strukturnya.

Buku pedoman yang lain, adalah buke hinagata (pedoman untuk arsitektur rumah
tinggal bagi para samurai) pertama kali dipublikasikan pada tahun 1655, merupakan salah
satu pedoman penting yang menetapkan standard untuk desain arsitektur serta memberikan
pengetahuan dan pendekatan desainnya kepada para tukang bangunan/kayu. Bagian ini,
menjelaskan munekado, sebuah lengkungan pada atap (gable-roof) pada pintu gerbang yang
digunakan oleh para aristokrat (bangsawan) dan para bhiksu, yang mengungkapkan tipikal
blok-blok bangunan dan metode desainnya. Sebagai contoh, apa yang secara harafiah tertulis
di dalamnya, seperti: lebar dari kedua kolom harus sudah diperhitungkan dengan sun. Kolom-
kolom yang digunakan adalah bulat. Balok lintang yang utama dan balok lintang tambahan
tingginya adalah, 51/2 bu. Permukaan yang terendah (lebarnya) adalah, 1/3 dari diameter
kolom. (Coldrake, 1990:38)

Istilah sun dan bu adalah dikenal sebagai modul blok-blok bangunan, ruang antara
kolom betul-betul dipertimbangkan modul lebarnya menjadi 1 shaku, lebar kolomnya
menjadi 1/10 dari trave. Oleh karena itu, tukang bangunan/kayu telah mengetahui: “ke dua
kolom bulat harus sudah diperhitungkan sebagai 1/10 dari lebar travenya. Tinggi dari balok
lintang utama dan tambahan adalah 0.55 dari diameter kolom utama, dan lebarnya adalah
0.34 dari diameter kolom”.

Di Jepang, modul utama dari kolom dan balok adalah trave, kemudian dibagi ke
dalam 6 unit bagian yang dinamakan shaku (feet), lebih lanjut masing-masing dibagi ke
dalam 10 sun (inches). Masing-masing sun terdiri dari 10 bu, dan masing-masing bu terdiri
dari 10 rin. Shaku ukuran yang ditandai dengan unit sun dan bu aslinya masih tersimpan di
Shosho-in, di kota Nara. Panjang 29.6 cm, lebar 3.53 cm dan tebalnya 1 cm. (Kidder, 1972)
(Gambar 10)

Gambar 10. Ukuran shaku pada saat ini. (Brown, 1989)

Oleh karena itu, sebuah kolom lebarnya barangkali 1 shaku, atau 1/6 dari lebar trave,
pada beberapa bangunan panjangnya mungkin berbeda, tergantung dari tradisi bengkel,
fungsi bangunan, atau ukuran dan ketersediaan jenis kayunya. (Coldrake, 1990:25) Instruksi
untuk pedoman bagi para tukang bangunan/kayu di dalam menetapkan lengkungan dari atap,
tertulis sebagai berikut: untuk membuat lengkungan atap, membagi panjang dari lengkungan
ke dalam 10 unit (bu), seperti terlihat dalam diagram. Membagi lebar dari list plank (barge
board) ke dalam 8 unit bagian di bagian tengah, kemudian naik 10 unit ke ujung tepi dari unit
1, kemudian turunkan lengkungan menjadi 5 unit pada ujung unit ke-5. (Shoke Hinagata,
1856) (Gambar 11)

Gambar 11. Pedoman untuk menentukan lengkungan roof


gable pada pintu masuk tempat tinggal para
Samurai. (Coldrake, 1990)
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pintu gerbang adalah di desain
menggunakan dua proporsi yang berhubungan dengan modul, lebar dari trave dan
diameter dari kedua kolom. Umumnya, di dalam praktek ukuran-ukuran yang pasti sangat
bervariasi menurut strukturnya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam perencanaan bangunan bertingkat kita dapat mencontoh struktur dari bangunan
pagoda tahan gempa di Jepang. Sebab selama terjadi gempa di Jepang, dalam catatan
belum ada sebuah pagoda yang runtuh namun telah banyak bangunan tinggi dan modern
yang telah runtuh.

Berikut beberapa kelebihan dan kelemahan pada bangunan pagoda :

1. Bahan yang digunakan merupakan kayu sebagai setiap bagian struktur dari pagoda.
a. Kayu yang bersifat fleksibel (apabila mengalami gaya, kayu akan
melengkung/memilin sehingga tak mudah patah dan saat gaya hilang, kayu akan
kembali ke bentuk semula) dapat menyerap dengan baik gaya yang diakibatkan
oleh gempa.
b. Pada bagian sambungan struktural kayu dikunci bersama-sama (tidak
menggunakan paku sama sekali) menggunakan sistem lock and key. Dengan
memasukkan bagian ujung yang dipahat lebih tipis dan sempit ke dalam lubang.
Dengan begitu apabila terjadi gempa, permukaan kayu di dalam sambungan
tersebut akan terpilin dan saling bergeser dan mencegah tidak tersalurnya gaya
gempa ke bagian atas.
c. Bagian struktural yang merupakan elemen yang penting pada bangunan,
kebanyakan dari bahan kayu memiliki kelemahan mudah lapuk terhadap air dan
juga rentan terhadap rayap.

2. Struktur pagoda yang seperti mangkok-mangkok terbalik ditumpuk dan dikunci


bersama-sama dengan sambungan pin kemudian dibuat lubang bagian bawah setiap
mangkok dan dimasukkan sumpit panjang dan menguncinya secara vertikal. Sehingga
apabila terjadi gempa dan terdapat salah satu mangkok yang bergeser ke kiri / kanan,
sumpit panjang (tiang kokoh) akan mengembalikannya ke tengah.
3. Pada Bangunan Pagoda penentuan / penambahan ruang berdasarkan pada kolom.
Pertama menentukan moya (pusat ruangan), kemudian untuk menambahkan hisashi
(ruang), perencana hanya perlu menambahkan kolom dan memperhitungkan jarak
antar kolom (trave).

4. Metode kiwari digunakan untuk menentukan ukuran keseluruhan rangka bangunan,


proyeksi dari lengkungan atap, tinggi atap, dan lain sebagainya. Sistem standar dari
kiwari berdasarkan pada:
a. Diameter dari kolom.
b. Jarak dan trave antara kolom ke kolom.
c. Jarak antara as usuk (rafters, shi) ke as usuk berikutnya, atau jarak bagian tepi dari
satu usuk sampai ke tepi bagian usuk yang sama berikutnya.

5. Teknik kiku digunakan untuk merancang atap dengan merekonstruksi rangka dari
garis lengkung atap dan pertemuan dari rangka bagian atap bangunan dengan tepat
menggunakan alat berupa penggaris berbentuk L dari bahan baja biasanya digunakan
oleh tukang kayu/bangunan jepang

6. Pada bangunan pagoda usuk (rafters) yang terlihat adalah usuk bagian dasar dan usuk
yang menopang diatasnya, mempunyai jarak yang sama pada seluruh bagian dari atap.
Semua usuk berhubungan dengan penempatan kolom. Pemasangan usuk
menggunakan sistem 6 dalam 1 /roku-shi-gake. Dimana enam usuk ditata dengan dua
usuk, yang masing-masing diposisikan diatas tiga blok balok (bearing block) kecil
dari satu bracket complex yang disangga oleh satu blok bantalan yang besar di atas
kolom.
SUMBER

 http://cv-yufakaryamandiri.blogspot.co.id/2012/10/metode-dan-struktur-bangunan.html
 http://www.perencanaanstruktur.com/2010/08/pagoda-tahan-gempa.html
 http://kontemporer2013.blogspot.com/2013/09/gaya-arsitektur-cina.html

Anda mungkin juga menyukai