NIM : 2123201030
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS KHAIRUN
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Pada makalah ini, penulis akan membahas mengenai
“Perkembangan Arsitektur Timur/Asia : Jepang”. Dengan diselesaikannya makalah ini, penulis
menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis menyadari bahwa
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis senantiasa membuka diri dalam menerima
masukan berupa kritik dan saran dari pembaca guna penyempurnaan makalah ini.
BAB 1 Pendahuluan
Negara Jepang yang terletak di daerah curah hujan yang tinggi, memiliki empat musim,
yaitu: musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Yang dalam jangka waktu relatif
dapat berubah. Alam Jepang selain mendatangkan keuntungan, juga mendatangkan kesengsaraan bagi
penduduknya dengan seringnya terjadi bencana alam seperti gempa bumi, dan angin topan. Oleh
karena itu untuk memilih bahan bangunan rumah tradisional Jepang yang sesuai dengan
perubahan-perubahan iklim dan letak geografis tersebut dan juga dikarenakan berlimpahnya bahan
alam berupa kayu, maka kayu lebih dianjurkan dijadikan bahan dasar bangunan rumah tradisional
Jepang.
Di dalam perbandingannya, kayu lebih peka untuk menerima iklim. Kayu dapat menjadi lebih
dingin dan dapat meresap kelembaban ketika musim panas tiba, dan tidak akan terlalu dingin jika
disentuh pada waktu musim dingin. Selain itu kayu juga lebih cocok dan dapat bertahan pada saat
terjadi gempa bumi di Jepang. (Tadahiro, 1990)
Menurut Gaya Jepang pada Sebuah Hunian dalam Wordpress (2007), pada dasarnya arsitektur
Jepang memiliki ciri kesederhanaan dan natural yang kental. Arsitektur Jepang mengandung filosofi
Zen, yaitu karakter yang berisi. Dalam kesederhanaan, diam, tanpa gerak, dan suasana meditatif,
segalanya menjadi terasa berarti, lebih mendalam, bahkan keheningan itu sendiri merupakan
keagungan. Inilah kesan yang ingin ditimbulkan dalam sebuah arsitektur Jepang. Orang Jepang
mencari keheningan dan ketenangan dengan membangun huniannya menggunakan bahan-bahan
yang sangat ringan, seperti kayu, bambu, jerami, kertas, sutera. Orang Jepang lebih suka pada
sesuatu yang transparan, hemat bahan, seolah-olah rohani tanpa membutuhkan materi.
Selain dari tiang-tiang dan atap rumah yang berbahan dari alam (kayu dan jerami), hampir
seluruh komponen-komponen utama rumah tradisional Jepang berbahan dasar alam. Seperti pada:
tokonoma, tatami, fusuma, shouji, ranma yang hampir keseluruhan bahan dasarnya memakai kayu.
Sangat penting untuk memahami evolusi gaya arsitektur rumah tradisional Jepang agar
mengerti bagaimana interior rumah tradisional Jepang berkembang. Mulai dari zaman Heian
sampai pertengahan zaman Edo (782-1750), ada tiga gaya arsitektur kediamanutama yang
berkembang, yaitu: shinden-zukuri, shoin-zukuri, sukiya-zukuri.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
Jepang adalah sebuah negara kepulauan yang terdiri dari kira-kira 4000 pulau mulai dari Hokkaido
di utara hingga Okinawa di Selatan. Ada empat pulau besar yang memiliki populasi cukup tinggi yaitu
Honshu, Hokkaido, Kyushu, dan Shikoku Jepang beriklim sejuk, cuaca dingin berasal dari utara dan
panas berasal dari Selatan. Hampir seluruh wilayah memiliki empat musim; dingin, gugur, semi dan
panas, terutama di wilayah utara. Area pegunungan meliputi hampir 75% dari seluruh luas wilayahnya
dan termasuk negara yang memiliki gunung berapi yang banyak di dunia sehingga gempa sering terjadi
dan terdapat banyak titik sumber air panas (hotspring). Perkembangan budaya, ekonomi, dan politik
mengalami proses yang panjang sejak dari masa prasejarah hingga sekarang ini.
Berbagai tipe dan fungsi bangunan yang berkembang mulai masa prasejarah, medieval (Nara)
hingga periode Edo dalam arsitektur Jepang, antara lain rumah primitif, bangunan religius: Kuil (Shinto
dan Buddha), istana dan puri, rumah toko (machiya), rumah tinggal prajurit (rumah para samurai), vila
atau paviliun bangsawan, gedung teater kabuki, rumah tinggal petani (minka), sekolah dan rumah tempat
minum teh. Kesemuanya memiliki karakteristik desain tersendiri.
Pertumbuhan kota-kota baru di Jepang dimulai sejak masa Nara. Masuknya Budha pada abad ke-6
telah membuka hubungan perdagangan internasional yang erat dengan Asia khususnya Cina yang
dikuasai oleh Dinasti Tang pada masa itu dan Kerajaan yang menguasai jalan sutra. Hubungan dagang
tersebut telah membawa pengaruh pada ekonomi, sosial politik dan hukum. Sehingga tidak heran bahwa
perencanaan kota Heian (Kyoto) merupakan replika yang lebih kecil dari desain kota Cangan, ibukota
Dinasti Tang. Konsep itu pula sebelumnya telah diadopsi dalam perencanaan kota Naniwa pada tahun
645 (sekarang Osaka), kota Fujiwara pada tahun 694 (sekarang sebelah selatan kota Nara), kota Heijo
pada tahun 710 (Nara), kota Kuni pada tahun 740, kota Nagaoka, dan kota Otsu.
Perencanaan kota-kota tersebut umumnya menggunakan konsep grid. Jalan menjadi pemisah setiap
zona, terdapat satu jalan raya utama menuju kompleks istana Kekaisaran yang memerintah pada masa
itu dan membelah kota menjadi dua bagian disebut Kota sebelah kiri (Sakyo) dan kota sebelah kanan
(Ukyo). Rumah kerabat atau bangsawan berada disekitar komplek istana. Besarnya kota banyaknya zona
ditentukan dari sosial ekonomi dan politik dari pemerintahan pada masa tersebut. Kota Heian lebih besar
dari kota-kota awal Jepang saat itu.
Gambar 1. Lokasi kota – kota di Jepang Gambar 2. Pola grid dalam kota di Jepang
Ciri-ciri dan karakteristik rumah Austronesia tampak pada rumah Jepang pada masa prasejarah.
Pengaruh budaya, iklim dan alam sangat menentukan konsep arsitektur rumah awal Jepang. Bentuk
rumah tenda berdiri diatas tanah yang dilubangi (pit dwelling) merupakan perkembangan dari rumah
gua. Kemudian, sejalan dengan perkembangan peradaban, telah mengakibatkan terjadinya evolusi pada
bentuk dan konsep rumah. Pit dwelling berevolusi menjadi pit dwelling dengan dinding, kemudian
menjadi rumah panggung (raised floor dwelling) dengan struktur kayu dan atap alang-alang. Semua
perangkat dan peralatan yang digunakan mengalami perubahan dan kemajuan. Pada saat itu rumah
bukan lagi semata sebagai tempat berlindung dari panas dan hujan akan tetapi sudah menjadi penanda
status sosial di dalam masyarakat. Pada masa Jomon, pit dwelling dengan dinding banyak didirikan,
Kemudian pada masa Yayoi dan Kofun, rumah panggung (takayuka) yang pada sebelumnya hanya
dibangun sebagai tipikal lumbung menjadi favorit.
Pada masa Kofun, terdapat gap yang lebar antara kaum petani yang
maju dan kaum aristokrat. Antara pertengahan abad ke-4 hingga abad ke-5 muncul satu sistem strata
sosial yang disebut uji-kabane. Kemungkingan sistem strata sosial ini dipengaruhi oleh Kerajaan Silla di
semenanjung Korea. Kemudian agama Budha masuk dari Cina dan Korea, akan tetapi pada masa itu
kepercayaan lokal (Shinto) yang disimbolkan dengan Amaraterasu o-mikami (dewa Matahari) telah
mengakar dan menjadi simbol pemerintahan pada masa itu. Beberapa kuil Shinto yang megah telah
dibangun baik di Ise, Izumo dan Sumiyoshi. Konstruksi ketiga kuil ini menggambarkan konsep
bangunan Austronesia; bangunan yang dinaikan, denah ruang persegi, lantai ruang berada di atas tiang-
tiang yang beralaskan batu, atap pelana, simbol menyilang seperti tanduk kuda di ujung atap. Pada saat
yang bersamaan waktu itu pengaruh Budha datang dari Cina dan Korea. Pengaruh teknik bangunan kuil
Budha sangat besar pada perkembangan kuil Shinto.
Setelah Budha masuk ke daratan Jepang dari Cina dan Korea, pengaruh arsitektur Budha dari Cina
sangat besar. Pada masa itu, orang Cina datang bukan hanya membawa dan menyebarkan agama Budha,
akan tetapi juga membawa atribut yang berhubungan dengan tempat peribadatan agama Budha. Kuil
Budha pertama yang dibangun abad ke-7 yaitu kompleks kuil Horyu-ji, di dekat Nara. Pembangunan
kuil ini memakan waktu sekitar 8 tahun dan selama itu pula telah terjadi transfer teknologi arsitektur
Budha antara para tukang dari Cina yang datang khusus mendirikan bangunan tersebut dengan tukang
Jepang sendiri. Konsep Pagoda bertingkat 5 yang biasanya terdapat pada kuil Budha dari Cina diadopsi
pada kuil ini. Jumlah Pagoda hanya satu dan berada di tengah kompleks kuil. Material bangunan yang
digunakan seperti halnya di Cina, kuil Budha ini terbuat keseluruhan dari kayu, dengan konsep
sambungan balok dan tiang menggunakan pasak dan tekan, bagian sambungan balok atas menggunakan
teknik bracket yang merupakan teknik konstruksi khas kuil Budha di Cina.
Setelah selesai pembangunan kuil Horyu-ji kemudian disambung dengan pembangunan kuil Todai-
ji di sebelah Timur dari kuil Horyu-ji, Nara pada tahun 745 yang memiliki dua buah pagoda tujuh
tingkat didalamnya terdapat patung Budha raksasa. Berikutnya, kuil Budha yang menerapkan konsep
arsitektur Jepang berkembang pada masa Heian. Kuil Budha terkenal pada itu dan mewakili kuil Budha
berarsitektur Jepang yaitu Phoenix Hall di Uji, dekat Kyoto. Awalnya bangunan ini adalah vila
bangsawan, kemudian berubah menjadi kuil. Kuil ini merepresentasikan puncak dari kuil budha dengan
arsitektur Jepang yang kemudian dikenal dengan Fujiwara Style dengan penerapan konsep Pagoda yang
baru berbeda dari yang sebelumnya, disebut dengan hoto. Hoto menerapkan heaven dome dari simbol
Budha pada atap pagoda kemudian digabungkan dengan pent-roof (mokoshi) pada keempat sisinya.
Pada abad ke-13 muncul konsep arsitektur kuil Zen-Budhisme. Konsep denah kuil Jepang melekat
pada konsep simetris pada kuil Cina. Penekanan pada hiasan patung dan eklektisme pada kuil Budha
terus berlangsung hingga pertengahan abad ke-14. Hingga sekarang ini kuil budha memiliki berbagai
macam langgam namun konse pagoda bertingkat mulai ditinggalkan, prototipe kuil Shinto diabadikan
sebagai konsep awal kuil Shinto yang sederhana. Lokasi kuil yang dianggap baik yaitu di atas lahan
berbukit dekat dengan hutan, danau kemudian penataan tata ruang luar yang menunjang bagi proses
meditasi.
Perkembangan perdagangan mulai tampak pada masa Heian. Pembentukan kota-kota awal Jepang
merupakan titik awal perdagangan internasional pada masa itu dengan Asia khususnya Cina. Dalam
perencanaan kota Fujiwara, Heijo dan Heian terdapat dua lokasi pasar yang menjadikan titik tersebut
lokasi komersial dari kota - kota yang direncanakan. Dari perkembangan kota tersebut muncul satu tipe
bangunan komersial yang disebut dengan Machiya (lebih mirip artinya dengan rumah toko di
Indonesia). Machiya adalah sebuah konsep rumah perkotaan/toko (townhouse) yang mulai berkembang
sejak masa Heian sejalan perkembangan perekonomian, konsep perdagangan dan politik yang
membentuk pertumbuhan kota – kota baru. Biasanya rumah tersebut tidak lebar, bagian depan untuk
berdagang dan bagian belakang untuk tinggal, suasana interior dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 6. Interior rumah toko di Jepang
Selain machiya, rumah untuk rakyat biasa (commoners house) yang mengalami pertumbuhan pesat
pada masa Edo yaitu minka. Penekanan perekonomian pada pertanian sejak masa medieval hingga awal
modern telah menyebabkan tumbuh suburnya tipe rumah petani. Minka ini bukan hanya sebagai rumah
petani, tetapi termasuk juga rumah para pedagang-pedagang kaya. Terdapat banyak tipe minka yang
tersebar di seluruh wilayah Jepang seperti tipe Odachi, Sasu, Gassho, Takabei, Bunto, Kudo dan lain
sebagainya. Jika ditinjau dari material dan teknologi bangunan, semua tipe minka menggunakan struktur
kayu, dengan dinding dari plesteran tanah liat, kayu dan bambu, atapnya dari jerami dan alang-alang
serta genteng. Secara garis besar tatanan ruang dalam minka dibagi atas tiga bagian yaitu Doma, ima dan
zashiki. Doma adalah ruang dengan lantai tanah, digunakan sebagai entrance, ruang kerja, dapur dan
kandang ternak. Ima (hiroma/ itanoma) adalah ruang keluarga (living room), dan zashiki adalah ruang
tamu (guest room). Biasanya didalam ruang tamu diberi alas tikar yang disebut tatami, terdapat
tokonoma: sebuah yang ditinggikan lantainya, tempat hiasan lukisan dan rangkaian bunga (ikebana).
Ditinjau dari segi bentuk dan ruangnya maka terdapat beberapa bentuk yaitu persegi (sugoya),
bentuk L (magariya) dan Ch•mon (U-shape). Berdasarkan bentuk atap, terdapat tiga bentuk dasar atap
yaitu atap pelana atau kampung dengan sopi-sopi (kirizuma/gable roof), atap limasan (yosemune/hip
roof), gabungan atap pelana dan limasan (irimoya/hipped and gabled roof). Atap pelana atau kampung
merupakan atap yang banyak digunakan dalam rumah petani. Struktur bangunan bergantung kepda tipe
bangunan dan atap.
Pada akhir abad pertengahan, para tukang menemukan satu sistem ukuran dan proporsi yang
diterapkan untuk seluruh tipe bangunan mulai dari kuil, rumah, pagoda, gerbang, istana dan lain
sebagainya. Sistem tersebut dinamakan Kiwari yang berarti pembagian kayu. Selain untuk menentukan
panjang kayu untuk ruangan, juga menentukan tebal tiang kayu. Standar ukuran rumah yang disebut
dengan satu modul yaitu satu ken atau 6.5 syaku sama dengan 197 cm dan tebal kolom adalah 1/10 dari
ken atau 19.7 cm. Sudut tiang kayu dipotong 450. Sistem ukuran ini masih berlangsung hingga sekarang
ini, dan banyak diterapkan pada pembuatan industry di Jepang.
Dalam perkembangannya, sejak masa Edo hingga saat ini, standar ukuran syaku mengalami
perubahan. Pada saat itu satu syaku sama dengan 6 ken (1 syaku sama dengan 0.303 m, dan 1 ken sama
dengan 1.818 m). Kemudian akhir - akhir ini digunakan satu standar ukuran yang dinamakan tsubo yang
sama besarnya dengan 6 feet square atau 3.3. m2. Akan tetapi, sejak masa heian, untuk ukuran ruang
telah digunakan konsep tatami. Berbagai macam model dan konfigurasi tatami menentukan bentuk
ruang. Hingga saat ini, konsep tatami ini masih digunakan untuk menentukan besaran dan bentuk ruang
walaupun merupakan bangunan dengan langgam barat (western style).
Zaman Edo berlangsung sekitar tahun 1600–1868 ketika Jepang di bawah pemerintahan Sogun
menutup pengaruh dan hubungannya dengan dunia Barat. Keputusan itu tercermin pada pola
perkembangan kota kecil di sepanjang jalur Nakasendo, salah satu di antaranya dapat dilihat di desa
kuno Tsumago yang bangunan rumah tinggalnya tampak jelas didominasi corak arsitektur tradisional
Jepang gaya Edo.
Beberapa jalan kecil berupa gang juga sangat menarik diikuti karena dari jalan kecil tersebut kita
dapat melihat taman gaya Jepang di area halaman belakang dan depan rumah. Taman yang dilengkapi
kolam batu alam dilengkapi bonsai, pancuran air dari bambu, dan kerajinan bambu lain menambah daya
tarik kawasan ini.
Atap yang ditindih batu untuk menahan agar tidak terbang tertiup angin dengan talang air pada sisi
atap dan menyalurkan air ke tanah yang terbuat dari bambu juga menunjukkan kecerdikan dan
pemikiran unsur teknis tukang bangunan masa Edo. Ruangan dengan lantai tanah, tatami, dan fondasi
batu alam yang ditindih bangunan bahan kayu menjadi salah satu ciri khusus.
Dengan struktur bangunan kayu berpintu geser dengan teralis kayu horizontal dan vertikal
memperlihatkan gaya arsitektur tradisional jepang kuno.
Tidak hanya citranya, tetapi konstruksinya pun sederhana sekali “ semakin sedikit, semakin baik”.
Prinsip ini sudah diambil alih dalam seni arsitektur internasional.
Sudah sejak abad ke 18 masyrakat Barat yang sudah diresapi citarasa matematika dan penalaran
segala bidang kehidupan menemukan jepang sebagai negeri selera ningrat dan citarasa yang sangat
cocok dengan dambaan manusia kebudayan industri yakni perpaduan antara yang eksak matematis dan
yang menumbuhkan haru pada segala yang indah. Maka garis-garis dan kepolosan dinding-dinding
geometrik yang menandai seluruh arsitektur jepang mereka jadikan contoh ekspresi.
Interior dan pemilihan bahan rumah Jepang Tradisional ini pun masih sama napas cita rasanya.
Dinding-dinding tipis, nyaris tidak bermateri (kertas pun masih dipakai untuk dinding-dinding ruangan).
Tidak aman memang dan sangat dingin di musim salju,tetapi sikap Shinto satu dengan alam tetap
dimenangkan.
Melalui gambar ini dan seterusnya kita dapat mempelajari dampak dan hikam akrsitekutur
tradisional Jepang yang kontemporer secara lebih terperinci. Tampaklah betapa sangat mungkinlah
modernisasi dengan bahasa kontemporer, tanpa meninggalkan kekhasan pribadi pribumi.
Perhatikan dinding-dinding, lantai dan langit-langit. Semua serba bidang polos, dapat dikatakan
tanpa hiasan apapun. Satu-satunya “hiasan” hanyalah permainan garis-garis lurus dan bidang-bidang
murni. Ditambah gambar bergaya sangat hekmat goresan, kaligrafi sajak satu saja di ruang utama
dengan tokonominya.
4. SHINTO
Arsitektur Shinto merupakan tonggak atau awal dari peradaban Jepang. Shinto adalah kepercayaan
bahwa kami (dewa) tinggal di hampir setiap obyek alam mulai dari gunung berapi dan gunung-gunung,
ke air terjun, batu dan pohon.
Simbol kami ini disimpan di kuil Shinto yang memiliki jalur sejajar dengan gerbang torii. Hal ini
penting bagi Shintoists untuk mempertahankan kemurnian kuil. Kuil memiliki penjaga berupa sepasang
patung singa yang disebut komainu yang ditempatkan di depan ruang utama atau gerbang. Ruang utama
terdiri dari ruang utama sementara dan satu ruang lagi yang memiliki
Arsitektur Shinto merupakan gambaran bagaimana kebudayaan agraris sangat dominan, seperti
misalnya dibangunnya kuil-kuil Shinto adalah dengan maksud mengundang dan menempatkan dewa
yang telah memberikan mereka penghasilan, atau sebagai ucapan terima kasih karena panen mereka
berhasil dengan baik.
5. TATAMI ( PROPORSI )
Arsitektur rumah tradisional Jepang bermaterikan kayu sebagai bahan utamanya, anyaman tikar
( tatami) sebagai penutup lantai dan perpaduan antara kayu dan kertas ( shoji) sebagai dinding
partisinya. Modul perencanaan ruang didasarkan atas ukuran 1 lantai tatami ( 176 x 88 cm ) yang disebut
sebagai 1 jo. Kelipatan dari jo inilah yang menjadi dasar penentu luas suatu ruangan. Ruang berukuran
standart biasanya terdiri dari 6 jo.
Tatami hanya dipasang di ruang. tidur dan ruang. keluarga/ ruang. tamu, selain itu lantai dapur dan
selasar menggunakan bahan vynil/ parquette. Lantai keramik jarang dipergunakan di Jepang kecuali
untuk KM/WC, ruang. exterior dan fasilitas umum. Hal ini karena konstruksi rumah panggung tidak
memungkinkan untuk menggunakan keramik.
Ketebalan tatami sekitar 3cm s/d 6cm, yang terdiri dari particel board yang dilapisi tikar. Konsep
rumah panggung hingga saat ini masih diterapkan di Jepang, untuk mengantisipasi gempa bumi yang
kerap melanda Jepang.
Luas ruangan dihitung dari jumlah tatami yang dipakai, dimana satu tatami sama dengan (3x6)
shaku atau kaki. Selain tatami, masih ada pedoman ukuran lainnya yang disebut dengan Ken yaitu
kurang lebih setara dengan 6 shaku. Dengan demikiam bisa disimpulkan bahwa dasar keindahan
bangunan Jepang terlahir dari kepiawaian menata proporsi yang bersumber dari Tatami.
3 tatami
4 tatami
8 tatami
6. FILOSOFI ZEN
Ruang atau space yang terdapat dalam Zen Budhisme adalah merupakan turunan dari kata sunyata,
salah satu bagian dari ajaran yang diberikan oleh Sidarta Gautama.
Oh murid Shariputra, bentuk tidak berbeda dari kehampaan, kehampaan tidaklah berbeda dari
bentuk; bentuk adalah kehampaan dan kehampaan adalah bentuk; dan juga dengan sensasi, pikiran,
dorongan hati dan kesadaran. Semua benda-benda Shariputra, mempunyai karakter kehampaan,
keduanya lahir atau mati, keduanya kotor dan juga tidak murni, keduanya bertambah dan juga tidak
berkurang.Pengalaman tersebut di atas dikatakan bahwa sunyata dapat diartikan sebagai kehampaan, dan
dengan semua arti yang telah diberikan di atas keseluruhan timbul dari kehampaan, dan kemungkinan
seluruhnya juga diserap di dalam kehampaan. Kehampaan = tidak ada di sana dan di sini. Keadaan yang
tak terhingga sebelum mata kita, demikian dijelaskan pula oleh Sentsang di dalam Hsin Hsin Ming
(Frank 1973:105).
Kehampaan memberikan bentuk yang khusus untuk dapat masuk ke setiap tempat di dalam
kehidupan manusia pada objek yang tak terlihat. Sebenarnya beberapa lukisan Zen Budhisme
mempunyai dasar filosofi tentang ‘tidak ada’ di dalam ruang. Dapat diungkapkan dengan sebuah garis
terlukis di dalam ruang hampa. Di atas garis tersebut, hal yang mutlak adalah aktual dan dunia nyata
hanya toritikal. Di bawah garis tersebut, dunia nyata adalah aktual dan hal yang mutlak hanya toritikal.
Gambar 17. Sebuah lukisan Zen. Artis tersebut telah merubah proporsi dari lajur
dan bentuk untuk mengekspresikan tentang adanya “kesendirian” di dalam Zen.
(Legget 1989).
Untuk itu, ada sesuatu ruang hampa tidak mempunyai arti terletak antara langit dan bumi. Dalam
terminologi Budhisme dapat dikatakan sebagai”kehampaan yang nyata”.
Filosofi Zen adalah karakter kosong. Kosong adalah berisi. Berisi adalah kosong. Zen adalah untuk
memiliki pikiran yang murni dan sederhana, terbuka pada berbagai kemungkinan. Jika Zen dianggap
sebagai sebuah lukisan, maka didalam goresan lukisan zen selalu berakhir dengan titik, dimaksudkan
untuk memberikan ekspresi pada lukisan tersebut. Goresan dari garis-garis merupakan dari karakteristik
yang diturunkan dari filosofi Zen mengenai kehampaan. Apa yang dapat dikatakan menjadi sebuah garis
tak terbatas bertema dari sebuah benda yang berakhir pada beberapa titik.
Maka itu tak heran aspek efisiensi dan ruangan multifungsi dan elemen penting untuk menciptakan
ruangan yang lengang dan sederhana. Aplikasi nyata dari filosofi ini dapat dilihat dari kebiasaan orang
Jepang yang memanfaatkan suatu ruangan dengan fungsi, misalnya sebuah ruangan dipakai sebagai
ruang makan di pagi hari, ruang keluarga di siang hari, dan ruang tidur di malam hari.
Dengan membicarakan mengenai ‘kehampaan’ di atas, kita telah meninggalkan wilayah fenomena
dari arsitektur atau yang lainnya. Kehampaan di dalam faham Budhisme tidaklah merupakan konsep
yang datang dari pemikiran rasional, tetapi suatu ekspresi dari pengalaman individu yang tidak dapat
diberitahukan (Nitschke 1988:38). Kalau kita kembali pada kata ‘hampa’, hal itu dapat terdengar
bergema keseluruh ruang-ruang dalam kuil-kuil Budha yang diucapkan yang diucapkan oleh para bhiksu
selama meditasi. Seperti halnya, ide dari ruang hampa atau sunyata dalam Budhisme telah dibawa
masuk ke dalam arsitektur tradisional Jepang, dan hal tersebut dapat dilihat dalam ruang tempat minum
teh (cha shitsu) dan juga pada penataan dari taman-taman (kare sanzui).
Gambar 19. Ruang minum teh Myoki-an di Kyoto, akhir abad ke-16.
Dapat kita lihat adanya spirit yang sangat dalam dari upacara minum teh ke
dalam filosofi Prajna mengenai kehampaan sebagai bagian dari ajaran Zen.
(Hirotaro 1977).
7. GO DAI ( 5 ELEMEN )
Tradisi Jepang mengenal satu set elemen klasik yang disebut sebagai ‘go dai‘ yang artinya ‘five
great‘ yang dapat diartikan sebagai ‘lima kekuatan‘ atau ‘lima energi alam‘. Kelima energi alam ini
adalah bumi, air, api, udara, dan kehampaan atau surga. Kelima elemen ini bersumber dari keyakinan
agama Buddha, dan juga dominan dalam budaya Jepang, terutama pengaruh dari Neo-Konfusius selama
periode zaman Edo.
1. Dalam membangun rumah tinggal, menentukan lokasi serta penentuan arah sangatlah penting
karena berhubungan dengan kesehatan dan kemakmuran yang menempatinya.
3. Bila persyaratan di atas tidak dapat dipenuhi, maka dapat diganti dengan menenem pohon
seperti :
4. Bentuk bangunan diatur dalam simetri yang seimbang, sehingga skema arah rumah pun
mengikuti konsep tanda tambah (di Bali disebut dengan Tapak Dara ) yakni pertemuan antara
arah angin utara-selatan dan arah matahari timur-barat.
Skema arah dari rumah adalah melalui garis-garis kosmis imajiner sebagai berikut:
Keterangan :
2. Kai- Mon ( Devil’s Gate ) tidak boleh membangun dapur, untuk menutupi rumah dapat dibuat
dinding penutup
Karena keterbatasan lahan di Jepang, rumah menjadi sangat mungil ukurannya, oleh karena itu
sebuah ruangan dapat memiliki fungsi ganda. Pagi dan siang hari untuk rg. keluarga dan rg. makan,
dimalam hari untuk rg. tidur.
Di area entrance biasanya terdapat rg. foyer/ penerima tamu/ genkan. Di ruang ini tamu harus
melepaskan alas kakinya dan menggantinya dengan sandal rumah yang biasanya sudah disediakan,
kebiasaan ini diperlukan untuk menjaga kebersihan dan keawetan dari tatami.
Kamar mandi biasanya dilengkapi bak untuk berendam, yang kedalamannya lebih dalam daripada
bath tub. Sudah menjadi kebiasaan warga Jepang untuk berendam setelah lelah bekerja seharian.
Non minka (rumah bangsawan) : Gaya shnden (masa Heian), gaya shoin (masa moromachi,
momoyama)
Minka (rumah rakyat) : di desa, tanah datar : petani, gunung dan pantai
- logika struktur
- tanpa perabot
- ruang fleksibel : FUYUMA (partisi sorong), SHOJI (pintu sorong), AMADO (tirai gulung)