Anda di halaman 1dari 57

BAB 1

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Jepang adalah Negara kepulauan yang terletak disebelah timur


benua asia, dengan pulau yang memanjang lebih dari 45 o LU dan 20o LS.
Luas wilayah Jepang adalah 378.000 km. Negara Jepang terdiri dari 4
pulau yaitu Honshu, Shikoku, Kyushu, dan Hokaido. Serta 300 pulau kecil
yang ada didekatnya. Kepulauan Jepang ditutupi oleh wilayah
pegunungan. Hanya 15% wilayah Jepang dapat ditanami dari wilayah
daratan 25%. Selebihnya yaitu 75% adalah pegunungan yang bervariasi
bentuk dan ragamnya. Diantara pegunungan yang memanjang di
kepulauan itu terdapat gunung berapi dalam jumlah yang besar dan
beragam. Ini merupakan kekhasan dari negeri ini. Gunung yang tertinggi
adalah gunung Fuji (Fujisan). Diluar negeri gunung Fuji terkenal dengan
nama Fujiyama dengan tinggi 3..776 meter, yang terletak di kepulauan
Honshu. Negara Jepang juga terletak di daerah curah hujan yang tinggi
dengan memiliki 4 musim, yaitu : musim semi, musim panas, musim
gugur, dan musim dingin. Serta dalam jangka waktu yang relative singkat
dapat berubah. Alam Jepang selain mendatangkan keuntungan, juga
mendatangkan kesengsaraan bagi penduduknya dengan seringnya terjadi
bencana alam seperti gempa bumi dan angina topan. Oleh karena itu
bentuk serta bahan yang digunakan dalam rumah tradisional Jepang
menyesuaikan dengan perubahan – perubahan iklim dan letak geografis
wilayahnya.

Perkembangan sejarah arsitektur Jepang secara singkat


diperkirakan mulai sejak awal periode prasejarah (3000 SM - 2000).

Arsitektur Jepang - Minka 1


Kemudian dilanjutkan dengan beberapa periode yaitu asuka-nara (550 –
794 M), periode Heian (794 – 1185 M), periode kamakura – muromachi
(1185 – 1573 M), periode momoyama (1573 – 1863 M), periode edo (1573
– 1868 M), restorasi meiji(1687 – 1911 M), periode taisho (1912 -1926 M),
periode Showa (1927 – 1988 M) dan periode heisei (1989 - sekarang).
Perjalanan periode – periode tersebut memberikan banyak tradisi
berbudaya dalam bangunan tempat tinggal, temuan hasil rekonstruksi
arsitektur dan arkeologi yang masih mempunyai bentuk keasliaannya,
yang sampai saat ini masih bisa dilacak keberadaannya. Arsitektur dari
bangunan tempat tinggal tersebut memberi corak tradisi perkembangan
awal peradaban Jepang dalam membentuk lingkungan permukiman
tradisionalnya, tradisi dan budaya ini berkembang menjadi dasar pijakan
awal perkembangan arsitektur dan kepercayaan asli bangsa Jepang.
Seiring berjalannya period ke periode memberikan gaya arsitektur
tersendiri dan kepercayaan masyakat pun ikut berkembang dari Shito (the
Way of God) suatu kepercayaan asli (primitif) dengan sifat universal
hingga kepercayaan agama budha yang masuk ke Jepang melalui Korea
dan Cina. Kepercayaan yang dimiliki masyarakat Jepang memberikan
pengaruh terhadap bentuk – bentuk arsitektur bangunannya.

Minka merupakan rumah tradisional Jepang sebagai tempat tinggal


rakyat bukan dari kalangan bangsawan ( tempat tinggal petani, pengrajin,
dan pedangan ). Rumah – rumah ini sudah ada sebelum akhir tahun 1800.
Keindahan arsitektur minka terletak pada keharmonisan antara bentuk
dan bahan – bahan bangunan yang dipergunakan seperti tanah, kayu,
dan batu yang berasal dari pegunungan dan hutan – hutan yang berada di
sekeliling rumah. Minka juga memiliki keanekaragaman gaya arsitektur
bangunannya, terkait dengan tuntutan geografi setempat, iklim, dan
industri. Sehingga setiap daerah di Jepang memiliki gaya arsitektur
bangunan yang khas. Misalnya Minka di Jepang Utara yang berbeda
dengan Minka di Jepang Selatan. Tipe rumah tradisional Jepang atau

Arsitektur Jepang - Minka 2


Minka secara luas terdiri dari dua macam yaitu rumah petani (nouka) dan
rumah perkotaan (machiya). Minka terdiri dari beberapa ruangan utama,
yaitu Washitsu (ruang serba guna yang dapat digunakan sebagai ruang
tamu, kamar tidur, dan ruang keluarga), Genka (area pintu masuk), dapur,
Washiki (toilet), dan Roka (lantai menggunakan kayu, mirip dengan
lorong).

Ciri estetika bangunan Jepang yaitu : kesederhanaan, kepolosan,


kelurusan, dan ketenangan batin. Kepercayaan orang – orang Jepang
yang dicerminkan melalui bangunan adalah harmoni, keseimbangan dan
keheningan indah. Sifat dari arsitektur Jepang antara lain : Memiliki sifat
ringan dan halus. Konstruksi kayu lebih menonjol dan diolah sangat halus
dengan bentuk-bentuk lengkung dan kesederhanaan. Bentuk bangunan
diatur dalam simetris yang seimbang. Arsitektur tanaman, naturalis dan
tidak dapat dipisahkan dengan design bangunan (satu kesatuan). Terlihat
kesederhanaan bentuk dan garis. Pada pengolahan taman lebih wajar,
dan tidak banyak pengolahan tangan manusia (lebih wajar). Penghematan
terhadap ruang lebih terlihat. Sedikit penggunaan warna, kecendrungan
ke arah warna politur dan lak.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa itu Minka atau rumah tradisional Jepang ?
2. Bagaimana tipe – tipe Minka ?
3. Mengapa Minka berbeda disetiap wilayahnya ?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang Minka atau rumah tradisional Jepang secara
jelas dan lengkap.
2. Untuk mengetahui tipe – tipe Minka secara luas

Arsitektur Jepang - Minka 3


3. Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi perbedaan
Minka disetiap wilayahnya

1.4. Manfaat
1. Mengetahui secara jelas tentang Minka atau rumah tradisional Jepang
2. Mengetahui tipe – tipe Minka secara luas
3. Mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi perbedaan Minka
disetiap wilayahnya

Arsitektur Jepang - Minka 4


BAB 2

LANDASAN TEORI DAN PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Perkembangan Arsitektur Jepang

Perkembangan arsitektur Jepang dibagi dalam beberapa


periode antara lain :

2.1.1. Periode Prasejarah (3000 SM - 2000)


Dalam periode ini diawal zaman Yomon yaitu adanya
bangunan Pit Dwelling (bangunan tempat tinggal di dalam tanah).
Kemudian berlanjut pada zaman Yayoi masyarakat masih
menggunakan bangunan Pit Dwelling ditambah dengan adanya
bangunan Tropis. Dan zaman selanjutnya adalah Tomb atau Kofun
adanya kuburan bangsawan, model rumah tropis, dan
pertumbuhan kuil Shito. Shito (the Way of God). Mereka menyebut
Tuhan mereka sebagai kami, karena itu kami dapat diartikan pula
sebagai dewa atau Tuhan. Sitho merupakan kepercayaan asli
(primitif) dengan sifat universal. Bentuk bangunan kuilnya
merupakan ciri khas dari arsitektur tradisional Jepang (native
architecture). Struktur dan konstruksi bangunannya massih asli dan
sangat sederhana tanpa adanya detail ornamen serta warna.
Bentuk dan tampilan tampilan bangunannya belum mempunyai
karakter jernih, tanpa ada polesan apapun. Keasliannya
memberikan cermin akan kesederhanaan karakter dan budaya
yang melekat pada tradisi waktu itu yang akhirnya dibawa ke dalam
era modern sekarang ini. Dari bentuk bangunannya, belum nampak
adanya pengaruh dari arsitektur manapun dalam hal ini Budisme.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada masa tersebut agama /
kepercayaan dan arsitektur yang berkembang pada waktu itu belum

Arsitektur Jepang - Minka 5


terpengaruh dari manapun. Karena pada periode tersebut agama
Buda dan segela bentuk budayanya belum masuk dan menyebar
ke Jepang, baik yang melalui Korea maupun Cina.

Gambar 2.1. Bangunan Pit Dwelling

2.1.2. Periode Asuka – Nara (550 – 794 M)


Budisme masuk ke Jepang melalui Korea (melalui kerajaan
Paekche). Pada waktu itu Budisme berkembang sangat pesat
terutama di Kota Nara, dan perkembangan tersebut meliputi agama
(dengan munculnya enam aliran di dalam agama Budha),
kebudayaan, arsitektur, seni, dan sebagainya. Pola dan bentuk
bangunan kuil-kuilnya pengaruh dari arsitektur dan budaya Cina
sangat kuat sekali, baik dari struktur bangunannya maupun bentuk
tampilannya. Perkembangan Budisme diawali sejak periode Asuka
(552 - 645) dan dilanjutkan pada periode Nara (646 - 793). Dari
perjalanan kedua periode tersebut, arsitektur kuil berkembang
pesat, dan style yang muncul pada waktu itu, adalah wayou (native
style = Japanese style architecture). Merupakan style dengan
keaslian bentuk dan tampilannya mencirikan awal dari
berkembangnya arsitektur Budhis di Jepang. Dengan berbagai
macam aliran dalam Budisme yang berkembang di Kota Nara,
berkembang pula berbagai macam bangunan kuil mulai pagoda
sampai pada permukimannya. Dengan bentuk dan detail-detail

Arsitektur Jepang - Minka 6


arsitekturnya menjadikan awal dari perkembangan arsitektur
bangunan kuil-kuil di Jepang.

Gambar 2.2. Kuil Horyuji

Gambar 2.3. Pagoda Budha

2.1.3. Periode Heian (794 – 1185 M)


Terdapat dua sekte besar yang banyak berperan di dalam
pengembangannya. Kedua sekte tersebut adalah, sekte Shingon
dan sekte Tendai. Kedua sekte ini mengembangkan ajaran tentang
esoterik Budisme (dari aliran Mahayana) dengan mandalanya
(kosmik diagram). Untuk sekte Shingon mempunyai kompleks
kegiatan yang berpusat di atas gunung Koya di propinsi

Arsitektur Jepang - Minka 7


Wakayama. Sedangkan sekte Tendai berpusat di atas gunung Hie
yang terletak di perbatasan antara propinsi Kyota dan Shiga. Pada
periode ini perkembangan dari style untuk kuil-kuil Budha, masih
bertahan dengan wayou (Japanese style). Bangunan-bangunan kuil
dengan pola perletakan kompleks kuilnya menjadi ciri khas pada
periode tersebut. Demikian juga dengan lukisan-lukisan dengan
konsep mandalanya berkembang dengan pesat, dan menjadi ciri
dari periode tersebut.

Gambar 2.4. Phoenix Hall di Byodo-in, Uji, Kyoto dibangun


pada tahun 1053

2.1.4. Periode Kamakura – Muromachi (1185 – 1573 M)


Muncul beberapa sekte baru dalam agama Budha,
diantaranya Zen Budhisme yang berkembang pesat di Jepang.
Waktu itu perkembangannya melalui dua sekte besar, yaitu sekte
Rinzai dan sekte Soutou. Kedua sekte ini dibawa oleh biksu-biksu
dari Jepang yang belajar ke Cina. Membawa filosofi baru dalam
Budisme yang akhirnya berkembang keseluruh bagian dari
kehidupan masyarakat Jepang, terutama dalam bidang seni dan
budaya. Periode ini campur tangan dari pemerintah militer
mempunyai peran besar, terutama dalam perkembangan dari sekte
Rinzai. Dapat dikatakan, bahwa kedua sekte yang mereka bawa

Arsitektur Jepang - Minka 8


dari Cina dapat masuk ke dalam kehidupan masyarakat, termasuk
arsitektur Zen yang terlihat pada bangunan kuil maupun huniannya.
Selain sekte yang berkembang melalui Zen Budisme, ada,
beberapa sekte lain dari agama Buda yang juga berkembang, di
antaranya sekte Judou, sekte Joudou-shin dan sekte Nichiren.
Meskipun demikian, pada awalnya Japanese style (wayou) masih
bertahan, namun dalam proses perjalanannya style baru yang
masuk dibawa dari Cina Zen style (zenshuyou) atau juga disebut
karayou (Chinese style), mengalami perkembangan pesat. Style ini
berkembang terutama pada bangunan-bangunan kuil, pola lay out
bangunan ataupun detail-detail arsitektur menjadikan ciri khas
bangunan Zen Budisme di Jepang. Di samping style-style tersebut,
ada beberapa kuil yang di dalam perkembangannya menggunakan
atau mengadopsi lebih dari dari satu macam style, yang diwujudkan
ke dalam sebuah bangunan. Diantaranya penggabungan dari
beberapa macam style, yaitu “wayou” + “zenshou/karayou” +
“daibutsuyou”. Penggabungan dari berbagai macam style ini juga
dinamakan setchuyou (mix style/hybrid style). ebenarnya, pada
periode Kamakura ini, style yang berkembang hanya ada dua, yaitu
zenshuyou dan daibutsuyou (great Buddha style)/tenjikuyou (Hindu
style). Sebenernya pada periode Kamakura ini, style yang
berkembang hanya ada dua, yaitu zenshuyou dan daibutsuyou
(great Buddha style) / tenjikuyou (Hindu style). Sedangkan
daibutsuyou muncul pertama kali saat Chogen melakukan restorasi
bangunan Nandaimon, yaitu pintu gerbang, yang terdapat dibagian
selatan dari kuil Toudai-ji di kota Nara. Dalam periode Morumachi
ini, style dari zenshuyou maupun karayou masih berkembang
dengan pesatnya. Terutama pada art of garden (seni penataan
taman) dengan bentuk penataan mempunyai ciri khas dari filosofi
Zen. Seni taman ini banyak terlihat pada vihara-vihara sekte Rinzai,
yang terdapat di dalam kompleks kuil – kuil besar Zen yang berada

Arsitektur Jepang - Minka 9


di kota Kyoto. Perkembangan lain yang terjadi adalah residential
architecture (rumah tinggal), terlihat pada bangunan bangunan kuil,
vila, dan rumah para samurai dengan sentuhan detail detail
arsitektur yang khas dari Zen Budisme.

Gambar 2.5. Butsuden dari Kozan-ji, Shimonoseki,


Yamaguchi, dibangun pada tahun 1320

2.1.5. Periode Momoyama ((1573 – 1863 M)


Ada tiga shogun besar yang mempersatukan Jepang di
antaranya adalah Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan
Tokugawa Ieasu. Style yang berkembang pada periode ini masih
bertahan pada zenshuyou / karayou, sedangkan pada bagian lain
adalah Zen painting (seni lukis) nampak berkembang sangat pesat.
Pada bagian lain dari periode ini yang juga berkembang pesat
adalah bangunan castle, perkembangan-nya hampir terdapat di
seluruh Kota yang ada di Jepang. Sebagian dari bangunan castle
tersebut sampai saat ini masih bertahan dan dilestarikan sebagai
cagar budaya. Ada beberapa bangunan yang sudah mengalami
perubahan baik dengan cara restorasi maupun rekonstruksi, dan
bahkan menggunakan teknologi modern, karena dengan kondisi
bangunan yang ada sekarang sudah tidak mungkin lagi untuk
dipertahankan sesuai dengan struktur dan konstruksi aslinya.

Arsitektur Jepang - Minka 10


Gambar 2.6. Istana Himeji di Himeji, Hyogo, selesai pada
1618

2.1.6. Periode Edo (1573 – 1868 M)


Merupakan penerusan dan Perkembangan dari periode
sebelumnya (Momoyama). Dalam periode ini terlihat adanya
penekanan pada detail-detail bangunan, warna, dan ukiran baik
untuk kuil maupun hunian rumah tinggal. Machiya (rumah di
perkotaan) berkembang pesat hampir di semua kota, menjadi awal
peradaban hunian kota yang sebagian besar masih bertahan
sampai saat ini di Jepang. Akhir periode ini menjadi awal dari
pelestarian cagar budaya bagi bangunan-bangunan yang di bangun
periode sebelum sampai akhir periode Edo.

Gambar 2.7. Hondo dari Kiyomizu-dera, Kyoto, dibangun


pada tahun 1633

Arsitektur Jepang - Minka 11


2.1.7. Restorasi Meiji (1687 – 1911 M) dan Periode Taisho (1912 -
1926)
Pengaruh dari western style (arsitektur barat) di antaranya
renaissance, gothic dan romanesque masuk ke Jepang. Style-style
tersebut banyak dikembangkan untuk bangunan-bangunan
universitas, museum, peribadatan, dan kantor. Pengaruh dari style-
style peninggalan periode Meiji dan Taisho sampai saat ini masih
dapat dilihat di Kota-Kota besar di Jepang sebagai warisan budaya
masa lalu. Dipertahankan sebagai bagian dari bangunan cagar
budaya mereka. Bahkan para arsitek Jepang yang menghasilkan
karyanya pada waktu itu hampir kesemuanya menggunakan style-
style tersebut sebagai bagain dari desain bangunannya.

2.1.8. Periode Showa (1927 – 1988 M)


Babak baru dari dunia arsitektur berkembang dengan pesat
hampir keseluruh daratan Jepang, terutama di kota – kota besar.
Bnayak arsitek Jepang yang belajar ke Amerika dan Eropa
memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan arsitektur di
Jepang. Seperti Maekawa Kunihiro yang disebut sebagai bapak
arsitektur modern Jepang yang belajar ke Prancis di bawah arsitek
Le Corbusier. Pengaruh besar dari hasil belajarnya di Prancis
memberikan suasana baru di Jepang dalam desain bangunannya.
Kemudian arsitek lain seperti, Kenzo Tange juga banyak
memberikan ungkapan-ungkapan baru di dalam rancangannya.
Sangat berbeda dengan native arsitektur yang tmbuh dan
berkembang di Jepang sendiri.

Arsitektur Jepang - Minka 12


Gambar 2.8. Museum Nasional Nara di Nara, Tokuma
Katayama, dibangun pada tahun 1894

Gambar 2.9. Yoyogi National Gymnasium dibangun pada


1964

2.1.9. Periode Heisei (1989 - sekarang)


Dimana post-modern mulai berkembang di Jepang (sebenar-
nya post-modern di Jepang berkembang awal tahun 1980-an) dan
hal ini muncul akibat dari bubble economic. Perkembangan desain
dari arsitektur post-modern memberikan perubahan dalam
perjalanan arsitektur Jepang dalam memberikan segala macam
bentuk-bentuk arsitekturnya. Dengan sedemikian rupa penjelajahan

Arsitektur Jepang - Minka 13


nya memberikan ungkapan yang sukar untuk diduga ke mana arh
ide dan gagasannya. Bermunculan bagai cendawan di musim hujan
bersanding secara kontradiktif dengan ketradisionalan yang mereka
punyai. Style-style telah mengabaikan tradisi, budaya, bentuk,
bahan dan ungkapannya. Menjadi tempat berlombanya para arsitek
Jepang dalam menemukan ide-de dan gagasan baru dalam
berkreasi untuk menciptakan bentuk-bentuk barunya. Ini menjadi
ciri khas berakhirnya arsitektur post-modern di Jepang.

Gambar 2.10. Sendai Mediatheque dibangun pada tahun


2001

2.2. Jenis – Jenis Arsitektur Rumah Tinggal di Jepang

Arsitektur rumah tinggal di Jepang ada dua yaitu : Non minka


(rumah bangsawan) misalnya Gaya shnden (masa Heian), gaya shoin
(masa moromachi, momoyama). Minka (rumah rakyat) di desa dan tanah
datar seperti petani, gunung dan pantai. Rumah tinggal ini memiliki ciri –
ciri antara lain : atap tebal dan ringan, sederhana, jelas, jujur, tanpa
ornament, logika struktur, tidak memiliki kesan megah (kesan horisontal),

Arsitektur Jepang - Minka 14


meyatu dengan alam, kebiasaan duduk di lantai, langit-langit rendah,
tanpa perabot. Ruang fleksibel : Fuyuma (partisi sorong), Shoji (pintu
sorong), Amando (tirai gulung). Sistem modular : Tatami, Kyoma (sistem
Kyoto), Inakama (sistem pedalaman).

2.3. Sejarah Minka atau Rumah Trasisional Jepang


Di zaman Jepang kuno, ada dua jenis rumah, yang pertama adalah
apa yang dikenal sebagai rumah didalam tanah, yang kedua adalah
rumah yang ada diatas permukaan tanah. Gaya rumah dengan lantai
tinggi dikatakan telah datang ke Jepang dari Asia Tenggara dan jenis
bangunan rupanya digunakan untuk menyimpan makanan biji – bijian dan
lainnya sehingga tidak akan rusak karena panas dan lembab. Minka
adalah nama umum dengan arsitektur tradisional, dan merupakan tempat
kediaman rakyat bukan kalangan orang berkuasa. Rumah – rumah ini
sudah ada sebelum akhir tahun 1800. Evolusi dari gaya arsitektur juga
sangat penting untuk memahami bagaimana interior berevolusi. Dari
periode Heian melalui periode Edo pertengahan (792 - 1750) ada 3 style
arsitektur perumahan yang berevolusi antara lain :

2.3.1. Shinden-zukuri
merupakan tempat tinggal bangswan pertama yang muncul
pada periode Heian. Shinden mengambil contoh dari ruang ibadah
kuil Budha yang diambil dari dinasti Tang struktur bisymme watrical.
Lorong – lorong terhubung satu sama lain oleh long beratap.
Interior gaya Shinden juga seperti ruang ibadah yang terbuka
kecuali untuk tiang bulat. Pusat ruang utama disebut Moya dan
dikelilingi oleh dua set pilar. Ruang ini berisi byobu, tirai buluh,
sudare, dan tirai kicho. lantai papan kayu. Ada sebuah ruangan
kecil yang disebut nurigome digunakan untuk tidur atau tempat
penyimpanan. Gaya ini di gunakan oleh para bangsawan dan

Arsitektur Jepang - Minka 15


samurai peringkat tinggi melalui pertengahan abad 15.
Ketika kita melihat lukisan Tale of Genji kita dapat melihat gaya
shinden-zukuri. Saat ini tidak ada contoh yang lebih tua dari gaya
ini, yang terdekat dapat ditemukan adalah versi abad ke-19 dari
Istana Kekaisaran di Kyoto.

2.3.2. Shoin-zukuri
Shoin awalnya nama yang diberikan kepada kepala biara
tempat tinggal di sebuah kuil Zen. Shoin berarti perpustakaan atau
belajar. Contoh tertua zukuri adalah ruang Dojinsai di Togudo di
Ginkakuji (Silver Pavilion). Kamar kecil ini dibangun oleh Ashikaga
Yoshimasa pada tahun 1486. Gaya shoin berevolusi dari gaya
shinden selama dua abad. Gaya shoin akhirnya menjadi besar dan
pengaturan dimaksudkan untuk kebesaran dari para panglima
perang feodal. Pemanfaatan pilar dipotong persegi (yang
bertentangan dengan gaya putaran shinden) diperbolehkan kusen
dan lintels untuk dapat dengan mudah dipasang di antara mereka.
Hal ini, pada gilirannya, memperluas cara ruang interior dapat
dipartisi melalui penggunaan shoji dan panel fusuma. Tatami
digunakan untuk menutup seluruh luas lantai dan beberapa kamar
lebih dari seratus tatami dalam berbagai ukuran. Sebuah contoh
yang ada gaya shoin adalah Hall Ninomaru dari Nijo Castle di
Kyoto. Gaya shoin dewasa ini menggabungkan semua elemen.
Mengenal interior tradisional Jepang: shoji, fusuma, tatami sebagai
meliputi lantai, tokomona, chigaidana, dan tsukeshoin.

Arsitektur Jepang - Minka 16


Gambar 2.11. The karamon main gate to Ninomaru Palace

2.3.3. Sukiya-zukuri
Gaya sukiya berasal dari upacara minum teh, sebenarnya kata
sukiya mengacu pada bangunan di mana dilakukan upacara minum
teh. Gaya sukiya yang berkembang dari periode Azuchi-
Momoyama dan gaya shoin, sangat kontras langsung dan
pengaturan yang luar biasa besar dari-shoin zukuri. Dalam sukiya,
semakin kecil dan sederhana dianggap sebagai desain terbaik.
Beberapa pondok teh terdiri dari enam tatami. Penggabungan dari
sukiya dengan shoin dikembangkan menjadi sukiya-zukuri. Gaya ini
menjadi gaya yang populer bagi warga kota yang tinggal di
pertengahan hingga akhir zaman Edo (1750 -1867).Hal ini juga
gaya yang telah berkontribusi pada ruang kehidupan Jepang.
Contoh klasik sukiya-zukuri adalah Katsura Imperial Villa (Terpisah
Istana) dibangun pada pertengahan 1600-an. Zaman Edo
berlangsung sekitar tahun 1600–1868 ketika Jepang di bawah
pemerintahan Sogun menutup pengaruh dan hubungannya dengan
dunia Barat. Keputusan itu tercermin pada pola perkembangan kota
kecil di sepanjang jalur Nakasendo, salah satu di antaranya dapat
dilihat di desa kuno Tsumago yang bangunan rumah tinggalnya
tampak jelas didominasi corak arsitektur tradisional Jepang gaya

Arsitektur Jepang - Minka 17


Edo. Beberapa jalan kecil berupa gang juga sangat menarik diikuti
karena dari jalan kecil tersebut kita dapat melihat taman gaya
Jepang di area halaman belakang dan depan rumah. Taman yang
dilengkapi kolam batu alam dilengkapi bonsai, pancuran air dari
bambu, dan kerajinan bambu lain menambah daya tarik kawasan
ini. Di antara jalan-jalan setapak, ada banyak rumah-rumah yang
menampilkan eksterior taman gaya Jepang. Taman tidak hanya di
depan rumah namun juga di belakang rumah. Taman-taman ini
banyak dihias kolam batu alam beserta bonsai, pancuran air dari
bambu, dan kerajinan bambu. Melangkah ke dalam, kita akan
melihat bangunan utama yang terbuat dari papan. Bila kita lihat
lebih jauh, rumah-rumah papan ini identik dengan kegiatan warga
Jepang zaman Shogun yang bermata pencarian bertani,
berdagang, dan bisnis jasa. Atap rumah Jepang umumnya ditindih
batu untuk menahan agar tidak terbang tertiup angin. Atap ini
dilengkapi juga dengan talang air pada sisinya, yang berfungsi
menyalurkan air ke tanah. Talang ini terbuat dari bambu yang
menunjukkan kecerdikan dan pemikiran unsur teknis tukang
bangunan masa Edo. Ruangan dengan lantai tanah, tatami, dan
pondasi batu alam yang ditindih bangunan bahan kayu juga
menjadi salah satu ciri khusus. Konstruksinya sederhana, dengan
menerapkan prinsip “semakin sedikit, semakin baik”. Prinsip ini
sudah banyak diserap dalam seni arsitektur modern. Dinding-
dinding rumah Jepang cenderung polos dengan garis-haris
geometrik. Dinding dibangun tipis, nyaris tidak bermateri. Bahkan
kertas pun masih dipakai untuk dinding-dinding ruangan. Tidak
aman memang dan sangat dingin di musim salju, tetapi ini dibuat
untuk membuat penghuninya tetap menyatu dengan alam. Dinding-
dinding, lantai, dan langit-langit dibiarkan polos tanpa hiasan
apapun. Satu-satunya hiasan hanyalah permainan garis-garis dan
kotak-kotak lurus. Pada ruang utama tempat penerimaan tamu,

Arsitektur Jepang - Minka 18


dibuat panggung kecil yang berdinding mundur sebagai tempat
keramat. Bagian ini adalah suatu fokus tempat orientasi diri
psikologis si pemilik rumah, yang disebut tokonoma. Ada beberapa
lukisan pemandangan atau bunga, namun kadang-kadang lukisan
diganti dengan pajangan seni kaligrafi yang indah, berisi syair atau
puisi yang mengandug nilai kearifan atau pengetahuan budaya.
Denah rumah tradisional Jepang terbagi dalam ruang-ruang
sederhana yaitu berbentuk kotak atau persegi. Kesederhanaan ini
tercermin dalam desain minimalis yang banyak digandrungi saat ini.
Namun kenyataannya, budaya arsitektur yang tersohor itu
sebenarnya sudah dikerjakan selama berabad-abad oleh para
arsitek-arsitek zaman Shinto. Perumahan terus berkembang di era
Meiji (1868-1912) Beberapa kota telah rumah yang dibangun
dengan gaya kura-zukuri, yang menampilkan eksterior Jepang
yang dibuat dari bahan tahan api, biasanya memiliki lorong
panjang melalui tengah rumah dengan kamar di setiap sisi,
dikatakan untuk menggabungkan budaya asing dengan gaya
rumah disukai oleh samurai.

Gambar 2.12. Villa Katsura Imperial Villa


di musim semi

Arsitektur Jepang - Minka 19


2.4. Minka di Tiap Prefektur

2.4.1. Hokkaido

Di daerah kabupaten, yang paling utara dan paling dingin, industri


beras dimulai sekitar 300 tahun yang lalu. Dalam era Meiji (1868-1912)
banyak orang yang datang dari bagian daerah yang lain di Jepang
maupun tempat lain untuk membantu dalam pemurnian beras atau kerja
ladang. Para imigran ini membawa berbagai budaya dan gaya konstruksi
bangunan. Sebagai hasil dari perluasan Sdan perdagangan terbuka,
bahkan konstruksi gaya barat dapat ditemukan.

2.4.2. Aomori-Ken

Wilayah ini banyak dipengaruhi oleh suasana feodalisme. Ada


banyak pertempuran dengan kaum feodal lokal di sini, yang pada
gilirannya menerapkan peraturan ketat pada bangunan rumah. Karena
wilayah barat dan timur memiliki iklim yang berbeda, bahkan dalam
prefektur yang sama, maka ada 2 jenis bangunan d daerah ini. Di Aomori,
minka yang berada di sebelah barat(pantai Laut Jepang) memiliki atap
sangat tajam dengan Kemu-dashi (cerobong mini) untuk mengeluarkan
asap dari hasil kegiatan memasak dan unit pemanas (Kamado dan Irori).
Sebaliknya, minka di sebelah timur (pantai Samudera Pasifik) memiliki
atap datar dan sederhana tanpa cerobong asap.

2.4.3. Akita-Ken
Gaya minka di sini merupakan gaya minka dengan harmoni yang
menyenangkan dan desain unik berupa garis yang melengkung. Peneliti
desain arsitektur menunjukkan bahwa kecanggihan dari minka di daerah
ini dapat dijelaskan. Selama era Edo (1603-1867) perdagangan
berkembang di pantai Laut Jepang, terutama dalam ekspor beras dan

Arsitektur Jepang - Minka 20


benih hana (Red Dye). Dengan faktor kekayaan, desainer khusus dan
arsitek pembangun dibawa dari kota Kyoto untuk menghasilkan karya seni
yang baru.

2.4.4. Iwate-Ken
Dalam waktu 1.000 tahun lamanya daerah ini telah terkenal dengan
kuda yang sangat baik. Hal ini dikenal sebagai "Iwate-ken kuda-tumbuh".
Banyak rumah yang dirancang dengan sayap pada sudut 90 derajat untuk
memungkinkan kuda-kuda untuk hidup bersama dengan keluarga. Rumah
ini sangat khusus disebut "Nanbu/ lekukan rumah" (Nanbu menjadi distrik
prefektur di rumah-rumah karena lazim). Lewae bangunan minka kita bisa
tahu, terlihat betapa banyak cinta dari sang pemilik rumah dalam
memberikan kasih sayang untuk kuda-kuda mereka dan bagaimana
mereka memperlakukan hewan-hewan ini sebagai bagian dari keluarga.

2.4.5. Niigata-Ken
Minka di prefektur sangat memungkinkan kondisinya saat ada
angin kecang, salju dan dingin. Di musim dingin, daerah ini tidak dilindungi
oleh pegunungan. Oleh karena itu prefektur ini menghadapi angin dingin
langsung dari Siberia. Hal ini terjadi karena Niigata terletak di bagian
tengah dari pulau utama Jepang dan menerima salju terlebat, mencapai 7
meter. Dengan salju yang begitu lebatnya, modifikasi di rumah-rumah
termasuk pintu masuk lantai dua, jendela yang sempit, dan kolam di
sekitar rumah dijadikan untuk pembuangan salju.

2.4.6. Sattaima, Gunma, Yamanashi-Ken


Ini adalah prefektur yang memproduksi sutra, mulai dari bagian
akhir dari zaman Edo (1603-1867) ke Meiji-era (1868-1912) dan zaman
Taisho (1912-1926). Minka telah diubah agar sesuai dengan
pemeliharaan ulat sutera dan rumah pengolahan berikutnya dari sutra
mentah. Yang terpenting dari rancangan minka ini adalah memiliki

Arsitektur Jepang - Minka 21


ventilasi yang baik dan cukup sinar matahari. Rumah-rumah di daerah ini
menunjukkan penekanan di rumah-rumah di mana sutra adalah cara
utama mencari nafkah.

2.4.7. Gifu-Ken
Daerah ini merupakan daerah pegunungan sisi dalam yang telah
ditetapkan sebagai "situs warisan budaya dunia". Pemeliharaan ulat juga
dilakukan di sini, tapi karena keterbatasan lahan, yang disebabkan adat
yang dilakukan di rumah-rumah besar sebagai keluarga besar, karena ada
undang-undang melarang bangunan tambahan. Sebuah rumah besar
mungkin telah mengakomodasi 2 sampai 3 generasi bersama di bawah
satu atap . Meskipun sebagian besar bangunannya berupa kayu, rumah di
daerah ini bahkan memiliki tinggi hingga 4 sampai 5 meter. Karena
tingginya ini minka disebut sebagai "Gasho-Zukuri”. Karena itu banyak
orang yang mengakui dan menyimpulkan bahwa inilah yang telah
menghasilkan gaya minka paling indah di Jepang.

2.4.8. Kyoto-Fu
Meskipun daerahnya kecil, ibukota Jepang selama periode
pembangunan budaya terbesar, Kyoto, merupakan daerah yang kaya dan
berkuasa dalam arsitekturnya. Dengan demikian minka adalah beberapa
bangunan paling cantik, termasuk di dunia. Terhindar dari pengeboman
Perang Dunia II, keindahan minka masih dapat dilihat di kota yang penuh
seni ini.

2.4.9. Nara-Ken
Di dalam Prefektur ini terdapat Kota Nara, sebuah ibukota kuno
Jepang 1500 tahun yang lalu (sebelumnya Kyoto). Nara pada waktu itu
disebut "Yamato", nama yang juga berarti semua bangsa Jepang. Di
dalam rumah ditambahkan atap tertentu dalam konstruksi bangunannya
(Yamato Mune) yang tidak ditemukan di tempat lain di Jepang. Konstruksi

Arsitektur Jepang - Minka 22


bubungan atapnya dapat ditemukan juga di daratan Cina dan Korea dan
kemungkinan berasal dari daerah tersebut. Selama abad pertengahan
tanggul digali di sekitar rumah besar atau di sekitar desa untuk melindungi
dari serangan dari tuan-tuan lain atau penjarahan oleh kelompok-
kelompok pencuri.

2.4.10. Saga-Ken
Prefektur ini adalah daerah bagian selatan pulau utama Jepang, di
mana pada musim gugur penduduknya harus bertahan hidup dari bahaya
"Taifu" (harfiah "angin besar dan hujan, dalam bahasa Inggris sama
artinya dengan topan ). Karena ini merupakan ancaman setiap tahun,
minka di desain lebih rendah dengan atapnya, disebut "Kudori Tsukuri",
yang bentuknya mirip dengan kamado yang dapat ditemukan di dapur
rumah itu. Tuan feodal menuntut banyak larangan dan kontrol pada cara
pembangunan rumah. Di samping itu, rumah mungkin telah dibangun
lebih rendah karena kayu tinggi sudah sulit tersedia di daerah ini akibat
keterbatasan lahan subur.

2.5. Karakteristik Minka

2.5.1. Kepercayaan Arsitektur Jepang

Zaman Edo berlangsung sekitar tahun 1600–1868 ketika Jepang di


bawah pemerintahan Sogun menutup pengaruh dan hubungannya
dengan dunia Barat. Keputusan itu tercermin pada pola perkembangan
kota kecil di sepanjang jalur Nakasendo, salah satu di antaranya dapat
dilihat di desa kuno Tsumago yang bangunan rumah tinggalnya tampak
jelas didominasi corak arsitektur tradisional Jepang gaya Edo. Beberapa
jalan kecil berupa gang juga sangat menarik diikuti karena dari jalan kecil
tersebut kita dapat melihat taman gaya Jepang di area halaman belakang
dan depan rumah. Taman yang dilengkapi kolam batu alam dilengkapi

Arsitektur Jepang - Minka 23


bonsai, pancuran air dari bambu, dan kerajinan bambu lain menambah
daya tarik kawasan ini.

Gambar 2.13. Gang dan Taman di Jepang


Kebanyakan bangunan utama di kawasan ini terbuat dari papan
yang bila kita lihat lebih jauh menunjukkan kedekatan kehidupan Tsumago
dengan pertanian, perdagangan, dan bisnis jasa yang menjadi mata
pencarian utama penduduk pada masa Sogun. Atap yang ditindih batu
untuk menahan agar tidak terbang tertiup angin dengan talang air pada
sisi atap dan menyalurkan air ke tanah yang terbuat dari bambu juga
menunjukkan kecerdikan dan pemikiran unsur teknis tukang bangunan
masa Edo. Ruangan dengan lantai tanah, tatami, dan fondasi batu alam
yang ditindih bangunan bahan kayu menjadi salah satu ciri khusus.
Dengan struktur bangunan kayu berpintu geser dengan teralis kayu
horizontal dan vertikal memperlihatkan gaya arsitektur tradisional jepang
kuno.

Gambar 2.14. Struktur Rumah

Arsitektur Jepang - Minka 24


Tidak hanya citranya, tetapi konstruksinya pun sederhana sekali “
semakin sedikit, semakin baik”. Prinsip ini sudah diambil alih dalam seni
arsitektur internasional. Sudah sejak abad ke 18 masyrakat Barat yang
sudah diresapi citarasa matematika dan penalaran segala bidang
kehidupan menemukan jepang sebagai negeri selera ningrat dan citarasa
yang sangat cocok dengan dambaan manusia kebudayan industri yakni
perpaduan antara yang eksak matematis dan yang menumbuhkan haru
pada segala yang indah. Maka garis-garis dan kepolosan dinding-dinding
geometrik yang menandai seluruh arsitektur jepang mereka jadikan contoh
ekspresi. Interior dan pemilihan bahan rumah Jepang Tradisional ini pun
masih sama napas cita rasanya. Dinding-dinding tipis, nyaris tidak
bermateri (kertas pun masih dipakai untuk dinding-dinding ruangan). Tidak
aman memang dan sangat dingin di musim salju, tetapi sikap Shinto satu
dengan alam tetap dimenangkan. Melalui gambar ini dan seterusnya kita
dapat mempelajari dampak dan hikam akrsitekutur tradisional Jepang
yang kontemporer secara lebih terperinci. Tampaklah betapa sangat
mungkinlah modernisasi dengan bahasa kontemporer tampa
meninggalkan kekhasan pribadi pribumi. Perhatikan dinding-dinding, lantai
dan langit-langit. Semua serba bidang polos, dapat dikatakan tanpa
hiasan apapun. Satu-satunya “hiasan” hanyalah permainan garis-garis
lurus dan bidang-bidang murni. Ditambah gambar bergaya sangat hekmat
goresan, kaligrafi sajak satu saja di ruang utama dengan tokonominya.

Gambar 2.15. Interior Rumah

Arsitektur Jepang - Minka 25


Dalam ruang utama, tempat penerimaan tamu, dibuat panggung
kecil yang berdinding mundur sebagai tempat keramat, suatu fokus,
tempat orientasi diri psikologis dalam rumah, yang disebut tokonoma.
Kadang-kadang lukisan diganti dengan yang lain, atau dipajang satu syair
dengan seni kaligrafi indah, demi percakapan tenbtang puisi atau tukar-
menukar kearifan, pengetahuan budaya.

Gambar 2.16. Ruang tempat menerima tamu

Denah Rumah tradisional Jepang dengan pembagian ruang yang


berbentuk sederhana yaitu kotak atau persegi.

Gambar 2.17. Denah Rumah Tradisional Jepang

Arsitektur Jepang - Minka 26


2.5.2. Shito

Arsitektur Shinto merupakan tonggak atau awal dari peradaban


Jepang. Shinto adalah kepercayaan bahwa kami (dewa) tinggal di hampir
setiap obyek alam mulai dari gunung berapi dan gunung-gunung, ke air
terjun, batu dan pohon. Simbol kami ini disimpan di kuil Shinto yang
memiliki jalur sejajar dengan gerbang torii. Hal ini penting bagi Shintoists
untuk mempertahankan kemurnian kuil. Kuil memiliki penjaga berupa
sepasang patung singa yang disebut komainu yang ditempatkan di depan
ruang utama atau gerbang. Ruang utama terdiri dari ruang utama
sementara dan satu ruang lagi yang memiliki fungsi berbeda. Arsitektur
Shinto merupakan gambaran bagaimana kebudayaan agraris sangat
dominan, seperti misalnya dibangunnya kuil-kuil Shinto adalah dengan
maksud mengundang dan menempatkan dewa yang telah memberikan
mereka penghasilan, atau sebagai ucapan terima kasih karena panen
mereka berhasil dengan baik.

2.5.3. Tatami (Proporsi)

Arsitektur rumah tradisional Jepang bermaterikan kayu sebagai


bahan utamanya, anyaman tikar ( tatami) sebagai penutup lantai dan
perpaduan antara kayu dan kertas ( shoji) sebagai dinding partisinya.
Modul perencanaan ruang didasarkan atas ukuran 1 lantai tatami ( 176 x
88 cm ) yang disebut sebagai 1 jo. Kelipatan dari jo inilah yang menjadi
dasar penentu luas suatu ruangan. Ruang berukuran standart biasanya
terdiri dari 6 jo. Tatami hanya dipasang di ruang. tidur dan ruang.
keluarga/ ruang. tamu, selain itu lantai dapur dan selasar menggunakan
bahan vynil/ parquette. Lantai keramik jarang dipergunakan di Jepang
kecuali untuk KM/WC, ruang. exterior dan fasilitas umum. Hal ini karena
konstruksi rumah panggung tidak memungkinkan untuk menggunakan
keramik. Ketebalan tatami sekitar 3cm s/d 6cm, yang terdiri dari particel
board yang dilapisi tikar. Konsep rumah panggung hingga saat ini masih

Arsitektur Jepang - Minka 27


diterapkan di Jepang, untuk mengantisipasi gempa bumi yang kerap
melanda Jepang. Luas ruangan dihitung dari jumlah tatami yang dipakai,
dimana satu tatami sama dengan (3x6) shaku atau kaki. Selain tatami,
masih ada pedoman ukuran lainnya yang disebut dengan Ken yaitu
kurang lebih setara dengan 6 shaku. Dengan demikiam bisa disimpulkan
bahwa dasar keindahan bangunan Jepang terlahir dari kepiawaian
menata proporsi yang bersumber dari Tatami.

Gambar 2.18. Ragam susunan tatami

2.5.4. Shoji

Shoji, partisi geser antara ruang saat ini sudah jarang yang
bermaterikan kertas, digantikan oleh kaca buram yang dapat bertahan
lebih lama. Konstruksinya yang praktis membuat shoji dapat "buka
pasang" setiap saat jika diperlukan. Lemari ( oshiire ) yang dilengkapi
dengan pintu geser ( fusuma ) dan dilapisi wallpaper, memiliki kedalaman
75cm, karena sebagai tempat menyimpan kasur gulung ( futon ), jika
sedang tidak dipergunakan.

2.5.5. Filosofi Zen

Ruang atau space yang terdapat dalam Zen Budhisme adalah


merupakan turunan dari kata sunyata, salah satu bagian dari ajaran yang
diberikan oleh Sidarta Gautama. Shariputra bentuk tidak berbeda dari
kehampaan, kehampaan tidaklah berbeda dari bentuk; bentuk adalah

Arsitektur Jepang - Minka 28


kehampaan dan kehampaan adalah bentuk; dan juga dengan sensasi,
pikiran, dorongan hati dan kesadaran. Semua benda-benda Shariputra,
mempunyai karakter kehampaan, keduanya lahir atau mati, keduanya
kotor dan juga tidak murni, keduanya bertambah dan juga tidak
berkurang.Pengalaman tersebut dikatakan bahwa sunyata dapat diartikan
sebagai kehampaan, dan dengan semua arti yang telah diberikan di atas
keseluruhan timbul dari kehampaan, dan kemungkinan seluruhnya juga
diserap di dalam kehampaan. Kehampaan = tidak ada di sana dan di sini.
Keadaan yang tak terhingga sebelum mata kita, demikian dijelaskan pula
oleh Sentsang di dalam Hsin Hsin Ming (Frank 1973:105). Kehampaan
memberikan bentuk yang khusus untuk dapat masuk ke setiap tempat di
dalam kehidupan manusia pada objek yang tak terlihat. Sebenarnya
beberapa lukisan Zen Budhisme mempunyai dasar filosofi tentang ‘tidak
ada’ di dalam ruang. Dapat diungkapkan dengan sebuah garis terlukis di
dalam ruang hampa. Di atas garis tersebut, hal yang mutlak adalah aktual
dan dunia nyata hanya toritikal. Di bawah garis tersebut, dunia nyata
adalah aktual dan hal yang mutlak hanya toritikal.

Gambar 2.19. Lukisan Zen

Artis tersebut telah merubah proporsi dari lajur dan bentuk untuk
mengekspresikan tentang adanya “kesendirian” di dalam Zen. (Legget
1989). Untuk itu, ada sesuatu ruang hampa tidak mempunyai arti terletak
antara langit dan bumi. Dalam terminologi Budhisme dapat dikatakan
sebagai”kehampaan yang nyata”.

Arsitektur Jepang - Minka 29


Gambar 2.20. Pilar aksial menyangga pemisahan langit dan bumi
untuk membuka ruang tengah. Hal ini menjelaskan adanya ruang hampa
di antara langit dan bumi. (Snodgrass 1985).

Filosofi Zen adalah karakter kosong. Kosong adalah berisi. Berisi


adalah kosong. Zen adalah untuk memiliki pikiran yang murni dan
sederhana, terbuka pada berbagai kemungkinan. Jika Zen dianggap
sebagai sebuah lukisan, maka didalam goresan lukisan zen selalu
berakhir dengan titik, dimaksudkan untuk memberikan ekspresi pada
lukisan tersebut. Goresan dari garis-garis merupakan dari karakteristik
yang diturunkan dari filosofi Zen mengenai kehampaan. Apa yang dapat
dikatakan menjadi sebuah garis tak terbatas bertema dari sebuah benda
yang berakhir pada beberapa titik. Maka itu tak heran aspek efisiensi dan
ruangan multifungsi dan elemen penting untuk menciptakan ruangan yang
lengang dan sederhana. Aplikasi nyata dari filosofi ini dapat dilihat dari
kebiasaan orang Jepang yang memanfaatkan suatu ruangan dengan
fungsi, misalnya sebuah ruangan dipakai sebagai ruang makan di pagi
hari, ruang keluarga di siang hari, dan ruang tidur di malam hari. Dengan
membicarakan mengenai ‘kehampaan’ di atas, kita telah meninggalkan
wilayah fenomena dari arsitektur atau yang lainnya. Kehampaan di dalam
faham Budhisme tidaklah merupakan konsep yang datang dari pemikiran
rasional, tetapi suatu ekspresi dari pengalaman individu yang tidak dapat
diberitahukan (Nitschke 1988:38). Kalau kita kembali pada kata ‘hampa’,
hal itu dapat terdengar bergema keseluruh ruang-ruang dalam kuil-kuil
Budha yang diucapkan yang diucapkan oleh para bhiksu selama meditasi.
Seperti halnya, ide dari ruang hampa atau sunyata dalam Budhisme telah

Arsitektur Jepang - Minka 30


dibawa masuk ke dalam arsitektur tradisional Jepang, dan hal tersebut
dapat dilihat dalam ruang tempat minum teh (cha shitsu) dan juga pada
penataan dari taman-taman (kare sanzui).

Gambar 2.21. Ruang minum the Myoki di Kyoto, akhir abad ke-16.

Dapat kita lihat adanya spirit yang sangat dalam dari upacara minum teh
ke dalam filosofi Prajna mengenai kehampaan sebagai bagian dari ajaran
Zen. (Hirotaro 1977).

Gambar 2.22. Sebuah komposisi taman di vihara Ryoan-ji yang


disusun dari batu. Akhir abad ke-15.

Ini merupakan contoh klasik dari taman kare sansui.

2.5.6. Go Dai (5 Elemen)

Tradisi Jepang mengenal satu set elemen klasik yang disebut


sebagai ‘go dai‘ yang artinya ‘five great‘ yang dapat diartikan sebagai ‘lima

Arsitektur Jepang - Minka 31


kekuatan‘ atau ‘lima energi alam‘. Kelima energi alam ini adalah bumi, air,
api, udara, dan kehampaan atau surga. Kelima elemen ini bersumber dari
keyakinan agama Buddha, dan juga dominan dalam budaya Jepang,
terutama pengaruh dari Neo-Konfusius selama periode zaman Edo.

 Elemen Kehampaan, yaitu elemen yang paling tinggi,


melambangkan surga
 Elemen Udara melambangkan benda atau energi yang bergerak
 Elemen Api melambangkan benda atau energi yang dapat hancur
 Elemen Air melambangkan benda atau energi yang berbentuk cair
 Elemen Bumi melambangkan benda atau energi yang berbentuk
padat

Arsitektur pagoda atau kuil Buddha di Jepang seringkali berbentuk 5


tingkat, yang menunjukkan 5 tingkatan energi ini.

2.5.7. Dasar Penentuan Lokasi dan Arah Rumah

Dalam membangun rumah tinggal, menentukan lokasi serta


penentuan arah sangatlah penting karena berhubungan dengan
kesehatan dan kemakmuran yang menempatinya.

Site yang ideal untuk itu, adalah yang memiliki :

 Sungai kecil di sebelah kiri (timur) disebut Green Dragon


 Jalan yang memanjang di sebelah kanan (barat) dikenal sebagai
White Tiger
 Kolam di bagian depan (selatan) dkenal sebagai Shojako (sejenis
Phoenix)
 Bukit pada bagian belakang (utara) disebut sebagai Cenbu (Kura-
kura dililit ular)

Arsitektur Jepang - Minka 32


Keempat simbol tersebut melukiskan Dewa yang melindungi Buddha
di empat arah.

Bila persyaratan di atas tidak dapat dipenuhi, maka dapat diganti


dengan menenem pohon seperti :

 7 pohon Willow (tumbuh dekat sungai) sebagai pengganti sungai


 7 pohon Paulownia sebagai pengganti kolam
 7 pohon Plum sebagai pengganti jalan
 7 pohon Enju sebagai pengganti sebuah bukit

Bentuk bangunan diatur dalam simetri yang seimbang, sehingga


skema arah rumah pun mengikuti konsep tanda tambah (di Bali disebut
dengan Tapak Dara ) yakni pertemuan antara arah angin utara-selatan
dan arah matahari timur-barat.

Skema arah dari rumah adalah melalui garis-garis kosmis imajiner


sebagai berikut:

Gambar 2.23. Skema arah

Keterangan :

1. Ten-Mon (Heaven’ gate ) untuk sumur dan gudang

Arsitektur Jepang - Minka 33


2. Kai-Mon ( Devil’s Gate ) tidak boleh membangun dapur, untuk menutupi
rumah dapat dibuat dinding penutup

3. Chi-Mon / Fu- Mon (Earth’ Gate / Wind’ Gate )

4 Ji-Mon ( Man’s Gate )

Karena keterbatasan lahan di Jepang, rumah menjadi sangat mungil


ukurannya, oleh karena itu sebuah ruangan dapat memiliki fungsi ganda.
Pagi dan siang hari untuk rg. keluarga dan rg. makan, dimalam hari untuk
rg. Tidur. Di area entrance biasanya terdapat rg. foyer/ penerima tamu/
genkan. Di ruang ini tamu harus melepaskan alas kakinya dan
menggantinya dengan sandal rumah yang biasanya sudah disediakan,
kebiasaan ini diperlukan untuk menjaga kebersihan dan keawetan dari
tatami. Kamar mandi biasanya dilengkapi bak untuk berendam, yang
kedalamannya lebih dalam daripada bath tub. Sudah menjadi kebiasaan
warga Jepang untuk berendam setelah lelah bekerja seharian.

2.6. Tata Ruang Minka

2.6.1. Genka

Salah satu ciri rumah Jepang adalah genkan. Genkan adalah


tempat di mana orang melepas sepatu mereka. Ketika mereka
melepaskan sepatu mereka, orang-orang melangkah naik ke lantai yang
lebih tinggi 40-50 cm (15-19 inci) dari genkan. Disamping genkan terdapat
sebuah rak atau lemari disebut Getabako di mana orang dapat
menyimpan sepatu mereka. Sandal untuk dipakai di rumah juga tersimpan
di sana.

Arsitektur Jepang - Minka 34


Gambar 2.24. Genka

2.6.2. Wahitsu

Washitsu adalah ruang beralaskan tatami dalam bangunan


tradisional Jepang. Ada beberapa aliran dalam menyusun tatami sebagai
alas lantai. Dari jumlah tatami yang dipakai dapat diketahui ukuran luas
ruangan. Dari sejumlah washitsu yang ada di dalam bangunan (rumah)
terdapat satu washitsu utama. Setiap ruangan bisa menjadi ruang tamu,
ruang makan, belajar, atau kamar tidur. Hal ini dimungkinkan karena
semua perabotan diperlukan adalah portabel, yang disimpan dalam
oshiire (bagian kecil dari rumah yang digunakan untuk penyimpanan).
Fungsi washitsu berubah bergantung kepada alat rumah tangga yang
dipakai. Washitsu berubah menjadi ruang belajar bila diletakkan meja.
Washitsu menjadi ruang tidur bila diletakkan futon (matras tidur). Meja
besar dikeluarkan bila washitsu ingin digunakan untuk jamuan makan.
Ada dua macam benda yang dapa digunakan untuk memberikan sekat-
sekat pada washitsu, yaitu fusuma dan shoji. Fusuma adalah panel
berbentuk persegi panjang yang dipasang vertikal pada rel dari kayu,
dapat dibuka atau ditutup dengan cara didorong. Kegunaannya sebagai
pintu dorong atau pembatas ruangan pada washitsu. Seperti halnya shoji,
fusuma dipasang di antara rel kayu, rel bagian atas disebut kamoi dan rel

Arsitektur Jepang - Minka 35


bagian bawah disebut shikii. Rangka dibuat dari kayu dan kedua sisi
permukaannya dilapis dengan washi, kain (serat alami atau serat sintetis),
atau vinil.Bila kertas pelapis sudah rusak atau sekadar ingin berganti
suasana, kertas lama bisa dilepas dan diganti dengan kertas baru. Kedua
belah permukaan fusuma dipasangi hikite yang berfungsi seperti
pegangan pintu sewaktu mendorong fusuma. Perbedaan antara fusuma
dan shoji adalah fusuma tidak dapat ditembus cahaya sedangkan shoji
dapat ditembus cahaya.Sandal rumah harus dilepas sebelum memasuki
washitsu. Lantai washitsu berupa tatami. Tatami adalah semacam tikar
yang berasal dari Jepang yang dibuat secara tradisional. Tatami dibuat
dari jerami yang sudah ditenun, namun saat ini banyak Tatami dibuat dari
styrofoam. Tatami mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam, dan
sekelilingnya dijahit dengan kain brokade atau kain hijau yang polos. Pada
mulanya, Tatami adalah barang mewah yang dapat dimiliki orang kaya.
Saat itu kebanyakan rumah orang miskin tidak memiliki lantai, melainkan
tikar. Tatami kemudian menjadi populer diabad ke-17.

Gambar 2.25. Wahitsu

Arsitektur Jepang - Minka 36


Gambar 2.26. Oshiire

Gambar 2.27. Futon

Gambar 2.28. Fusuma

Arsitektur Jepang - Minka 37


Gambar 2.29. Shoji

Gambar 2.30. Tatami

2.6.3. Daidokoro (Dapur)

Ada dua jenis dapur di rumah tradisional Jepang, yang pertama


dengan tungku dan yang kedua dengan cara digantung. Kedua cara ini
sama-sama menggunakan kayu bakar

Arsitektur Jepang - Minka 38


Gambar 2.31. Dapur menggunakan Tungku

Gambar 2.32. Dapur dengan digantung

2.6.4. Washiki (Toilet)

Toilet tradisional jepang (washiki) adalah kloset jongkok juga


dikenal sebagai kloset Asia. Kebanyakan kloset jongkok di Jepang terbuat
dari porselen. Para pengguna toilet di Jepang kebalikan dari Indonesia
dimana mereka menghadap ke dinding di belakang toilet pada gambar
terlihat di sebelah kanan. Kloset jongkok dibagi menjadi dua jenis: kloset
yang berada di permukaan lantai, dan kloset yang berada di bagian lantai
yang ditinggikan sekitar 30 cm.

Arsitektur Jepang - Minka 39


Gambar 2.33. Toilet Zaman Dahulu

Gambar 2.34. Toilet Modern

Gambar 2.35. Cara Penggunaan Toilet

Arsitektur Jepang - Minka 40


2.6.5. Roka

Di pinggir rumah terdapat Roka (bagian berlantai kayu, yang mirip


dengan lorong-lorong).

Gambar 2.36. Roka

2.6.6. Taman

Dalam taman Jepang tidak dikenal garis-garis lurus atau simetris.


Taman Jepang sengaja dirancang asimetris agar tidak ada satu pun
elemen yang menjadi dominan. Bila ada titik fokus, maka titik fokus
digeser agar tidak tepat berada di tengah.Taman Jepang berukuran besar
dilengkapi dengan bangunan kecil seperti rumah teh, gazebo, dan
bangunan pemujaan (kuil). Di antara gedung dan taman kadang-kadang
dibangun ruang transisi berupa beranda sebagai tempat orang duduk-
duduk. Dari beranda, pengunjung dapat menikmati keindahan taman dari
kejauhan. Walaupun elemen-elemen dasar dan prinsip yang mendasari
desain taman dapat berbeda-beda, tema-tema tertentu dapat dijumpai di
berbagai jenis taman.Tema-tema yang umum adalah kombinasi dari
elemen-elemen dasar seperti batu-batu, pulau kecil, dan pepohonan untuk
melambangkan kura-kura dan burung jenjang yang keduanya merupakan
lambang umur panjang di Jepang. Pulau kecil di tengah kolam dibangun

Arsitektur Jepang - Minka 41


seperti bentuk kura-kura atau diletakkan batu yang melambangkan kura-
kura di tepian. Tema lain yang populer adalah Gunung Fuji atau miniatur
lanskap-lanskap terkenal di Jepang. Taman jepang memiliki elemen dasar
antara lain. air (melambangkan kesucian dan kehidupan), Tanaman
(melambangkan keabadian), dan Batu (melambangkan alam). Batu
adalah elemen terpenting dalam taman karena dapat dipakai untuk
melambangkan pegunungan, garis pantai, dan air terjun.

Gambar 2.37. Taman

2.7. Tipe – tipe Minka

Minka datang dalam berbagai gaya dan ukuran, sebagian besar


sebagai akibat dari perbedaan kondisi geografis dan iklim serta gaya
hidup penduduk, tetapi sebagian besar umumnya jatuh ke dalam salah

satu dari dua kelompok utama: pertanian rumah nouka (农家)

dan machiya (町屋). Ada juga gaya rumah pertanian yang ditemukan

desa-desa nelayan, yang disebut gyoka (渔家).

Perbedaan gaya arsitektur Minka disetiap daerah karena


penyesuaian terhadap letak geografi /iklim setempat, dan keperluan
industri. Misalnya, Minka di daerah Jepang bagian utara, bangunannya
dirancang untuk dapat beradaptasi terhadap musim dingin yang panjang

Arsitektur Jepang - Minka 42


dan hujan salju. Atap jerami dengan bubungan yang terjal memungkinkan
udara di dalam ruangan cukup hangat. Bukaan berupa jendela kecil hanya
ada di bubungan tersebut untuk menghindari banyaknya angin masuk
kedalam rumah. Disamping itu juga dirancang khusus untuk keperluan
memelihara ulat sutra. Sedangkan di daerah Jepang bagian selatan,
terdiri dari sekelompok rumah-rumah yang relatif kecil, rendah dengan
rumah panggung agar memperoleh ventilasi semaksimal mungkin dan
mengurangi bahaya tiupan angin taifun. Rumah panggung ini dirancang
untuk meredam gunjangan gempa. Selain penyesuaian terhadap letak
geografi, iklim dan gaya hidup, Minka dapat juga dibagi menjadi dua tipe,
yaitu :

2.7.1. Rumah Petani (農家/ Nouka)

Pengaturan ruang di dalam rumah orang Jepang disebut


dengan madori. Denah standar rumah para petani Jepang dari permulaan
abad ke-19 terdiri dari empat ruang, di samping ruang utama yang
memiliki memiliki perapian (doma). Pembagian ini disebut dengan
yamadori (pengaturan empat ruang). Di dalam rumah jenis ini terdapat
pintu kayu sorong besar yang disebut odo, untuk memasuki ruang utama.
Pintu ini merupakan pintu utama untuk memasuki rumah petani. Doma
merupakan ruang utama pada nouka. Doma mengambil sepertiga dari
luas denah rumah. Fungsi doma adalah tempat melakukan kegiatan
pertanian dan memasak, sehingga tersedia oven tanah dan tempat
mencuci yang terbuat dari kayu yang didirikan di belakang doma. Selain
itu juga terdapat perapian yang berukuran satu meter persegi. Di perapian
ini kayu dibakar untuk memanaskan ruang, sekaligus sebagai penera-
ngan. Seluruh anggota keluarga berkumpul di perapian ini, khususnya
pada waktu makan. Selain doma, empat ruang pada nouka ini adalah :
Dua ruangan yang terletak paling dekat dengan doma, digunakan sebagai
tempat melakukan kegiatan harian para penghuni rumah. Ruang kecil

Arsitektur Jepang - Minka 43


bersifat dekoratif disebut dengan tokonoma. Ruangan ini menempel pada
dinding ruang depan yang berfungsi sebagai tempat memamerkan lukisan
atau bunga. Ruang depan berfungsi sebagai tempat menerima tamu pada
keadaan – keadaan formal. Ruang tamu ini disebut dengan zashiki atau
dei. Di depan ruang tamu ini terdapat serambi panjang dan sempit yang
disebut dengan engawa.
Salah satu daerah yang terkenal dengan rumah tradisionalnya
adalah Desa Shirakawago. Desa Shirakawago terkenal akan rumah
tradisionalnya yang berusia lebih dari 200 tahun yaitu model rumah
Gassho-zukuri, atau “konstruksi tangan berdoa” dicirikan dengan bentuk
atap rumah yang miring dan melambangkan tangan orang yang sedang
berdoa. Desa Shirakawago adalah salah satu Situs Warisan Dunia yang
berada di Jepang. Situs ini terletak di lembah sungai Shokawa di
perbatasan Prefektur Gifu. Kawasan ini merupakan salah satu tempat
yang menerima paling banyak hujan salju di Jepang. Sebagian besar
(95,7%) wilayahnya tertutup oleh hutan. Desain rumah ini sangat kuat dan
memiliki bahan atap yang unik yang menjaga kekokohan bangunannya
karena desa ini akan diliputi salju yang sangat tebal pada musim dingin.
Rumah desa Shirakawa-go sangat besar, dengan 3 sampai 4 tingkat di
bawah atap yang sangat rendah, sehingga menjadi tempat yang cukup
untuk satu keluarga besar. Semua atap rumah di Desa Shirakawago
menghadap ke timur dan barat. Ini bertujuan salju yang menumpuk segera
bisa mencair ketika terkena matahari. Karena atap menghadap arah
matahari, semua ventilasi yang terletak di loteng mengarah ke selatan dan
utara. Dengan begitu aliran udara dan angin bebas keluar masuk
sehingga menciptakan sistem ventilasi yang terbaik. Seperti kebanyakan
rumah tradisional Jepang lainnya, rumah gassho-zukuri menggunakan
kayu. Uniknya, untuk menyatukan antara bagian satu dengan yang lain
tidak satupun paku yang digunakan. Semua disatukan dengan tali yang
terbuat dari jerami yang dijalin atau neso, istilah untuk menyebut cabang
pohon yang dilunakkan.

Arsitektur Jepang - Minka 44


Gambar 2.38. Kawasan Desa Shirakawago

Gambar 2.39. Lingkungan sekitar Desa Shirakawago

Arsitektur Jepang - Minka 45


Gambar 2.40. Eksterior Rumah Petani atau Nouka di Desa Shirakawago

Gambar 2.41. Interior Rumah Petani atau Nouka di Desa Shirakawago

Pemandangan paling terkenal di Shirakawa-go adalah saat malam


hari di musim dingin. Saat itu seluruh desa tertutup salju tebal. Begitu juga
dengan atap setiap rumah. Cahaya lampu yang muncul dari jendela setiap
rumah menciptakan pemandangan yang sangat indah. Otoritas pariwisata
menetapkan tujuh hari tertentu pada bulan Januari hingga Februari untuk
menyaksikan pemandangan yang indah itu. Ribuan wisatawan domestik
dan mancanegara berbondong – bondong menyaksikannya dari atas
bukit. Dengan arus wisatawan yang terus meningkat, terjadi perubahan
pola sosial di desa itu. Penduduknya tidak lagi melulu bertani. Sebagian
memanfaatkan keunikan rumah tradisional itu untuk dijadikan penginapan
atau toko souvenir

Arsitektur Jepang - Minka 46


Gambar 2.42. Desa Shirakawago saat musim salju

Gambar 2.43. Desa Shirakawago saat musim salju di malam hari

Sejak Desember 1995 lalu, Shirakawa-go, bersama dua desa


serupa di Gokayama, ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh Unesco
sehingga warga Shirakawa tidak bisa sembarangan merenovasi rumah
mereka. Pemerintah membuat peraturan untuk mempertahankan
kelestarian rumah-rumah di desa ini. Penggantian atap (yang biasanya
dilakukan tiap 20 atau 30 tahun sekali) juga menjadi tradisi tersendiri yang
disebut yui. Pemilik rumah tidak bekerja sendiri untuk mengganti atap
karena semua penduduk desa berpartisipasi. Acara penggantian atap ini
juga bisa mendatangkan turis yang tidak sekadar menonton, tetapi juga
berpartisipasi di dalamnya. Orang yang berpartisipasi sedikitnya 200
orang. Dilakukan dengan cepat, maksimal dua hari harus selesai. Supaya
penghuni rumah bisa segera beraktivitas seperti biasa. Bagi warga
Shirakawa-go, tradisi yui yang menunjukkan kebersamaan dan gotong
royong itulah yang menyebabkan desa itu masih bertahan hingga kini.
Dan nilai-nilai itu juga yang menjadi salah satu poin penting yang
menjadikan Shirakawa-go berstatus Warisan Dunia.

Arsitektur Jepang - Minka 47


Gambar 2.44. Tradisi Penggantian Atap di Desa Shirakawago

2.7.2. Rumah di Perkotaan (町屋/Machiya)

Terbatasnya luas tanah di daerah perkotaan membuat rumah-


rumah yang didirikan di sana cenderung berbentuk empat persegi
panjang. Di belakang ruang utama (omoya) terletak ruang tempat
menyimpan (kura/dozou) harta benda milik keluarga. Selain itu untuk
menyimpan harta benda keluarga bisa juga digunakan zashiki, yang
terletak terpisah dari ruangan utama. Untuk dapat memasuki ruangan ini,
dibuatkan pintu pada ruang doma menuju ke pekarangan belakang. Di
sekitar ruang doma terdapat tiga baris ruang. Ruang yang paling dekat
dengan jalan disebut dengan mise. Di sinilah barang-barang dagangan
dipamerkan, dan transaksi perdagangan dilakukan. Ruang yang terletak di
bagian tengah, dipergunakan sebagai kantor, dan juga tempat anggota
keluarga menerima tamu. Ruang yang terletak di bagian paling belakang
menghadap ke arah taman tertutup. Ruang ini dibuat menyerupai zashiki,
lengkap dengan tokonoma, yang berfungsi sebagai tempat melakukan
kegiatan harian dari anggota rumah tangga tersebut. Adanya ruang di
loteng yang disebut dengan zushi. Ruang ini terdiri dari dua bagian, yaitu
bagian yang dekat dengan jalan mempunyai langit-langit rendah berfungsi
sebagai gudang. Bagian kedua adalah bagian belakang yang
dipergunakan sebagai kamar tidur.

Machiya merupakan rumah perkotaan tradisional Jepang yang


menggunakan bahan dasar kayu, dapat ditemukan di seluruh Jepang.
Dan keberadaannya menjadi bagian dari Kyoto, kota masa lampau.
Machiya berasal dari awal periode Heian dan terus berkembang hingga
zaman Edo dan bahkan ke periode Meiji. Machiya menjadi rumah khas
pekotaan yang multi fungsi ; sebagai rumah pedagang perkotaan dan
pengrajin.

Arsitektur Jepang - Minka 48


Gambar 2.45. Machiya di kota Kyoto

Gambar 2.46. Denah Machiya

Arsitektur Jepang - Minka 49


Gambar 2.47. Detail Bangunan Machiya

Gambar 2.48. Sirkulasi Udara dalam Banguna Machiya

Arsitektur Jepang - Minka 50


Jumlah machiya (rumah bandar tradisional dari kayu) yang masih
dalam bentuk aslinya terus menurun, dan di antaranya sangat sedikit yang
terbuka untuk umum. Kinmata merupakan salah satu machiya terbaik
yang terpelihara di Kyoto, contoh khas Kyo-machiya yang berasal dari
Periode Meiji, yang indah dihiasi dengan kisi-kisi kayu dan dengan lampu
gas bergaya Kyoto yang terkenal. Didirikan pada tahun 1801, Kinmata
terdaftar sebagai benda budaya nasional berwujud dan terletak di dekat
dengan pintu masuk ke Nishiki Market, tepat di sebelah salah satu daerah
yang paling banyak dikunjungi dari Kyoto, Jepang.

Gambar 2.49. Bangunan Kinmata di kota Kyoto

2.8. Material pada Arsitektur Tradisional Jepang

Bahan-bahan yang digunakan dalam membuat rumah tradisional


Jepang terlihat sulit ditemukan. Namun setelah diteliti lebih baik, ternyata
bahan yang digunakan merupakan bahan alami dari alam dan mudah
untuk didapatkan terlebih lagi bagi masyarakat di tempat agraris. Berikut

Arsitektur Jepang - Minka 51


adalah penjelasan mengenai bahan-bahan yang digunakan dalam
membangun rumah tradisional Jepang, antara lain :

2.8.1. Bambu
Di Jepang, bambu merupakan bahan yang dianggap paling
istimewa untuk membuat rumah. Karena memiliki tingkat kestabilan
yang tinggi dengan bobot yang rendah dan terlihat cantik karena
kealamiannya. Pada zaman primitif, bambu digunakan sebagai
kerangka untuk membuat tembok yang diisi dengan tanah liat.
Namun penggunaannya dalam pembuatan rumah tradisional
sekarang bambu sebagai bagian dari kerangka bangunan,
dekorasi, dan membuat saluran air. Bambu sebagai bagian
kerangka bangunan biasanya untuk membuat penyangga, usuk
dan lain-lain. Selain itu juga sebagai terali dalam membuat jendela,
pagar, atau sebagai plafon. Sedangkan untuk membuat dekorasi,
bambu dibuat seperti tirai yang menggantung di beranda rumah,
atau sebagai pemisah ruangan dna sejenisnya. Ada dua jenis
bambu yang sering digunakan yaitu asli Jepang dan mengimpor
dari China. Namun sekarang bambu-bambu dari negara Asia
lainnya juga digunakan.

2.8.2. Kayu
Kayu merupakan bahan yang terpenting dalam pembuatan rumah
karena hampir semua ruang terbuat dari kayu. Mulai dari kerangka,
tembok, pintu, dan jendela menggunakannya.
Ada beberapa jenis kayu yang digunakan antara lain hinoki (sejenis
pohon eru yang tidak begitu halus), asunaro (sejenis hinoki yang
agak lebih halus), akamatsu (pohon pinus merah), kuromatsu
(pinus hitam), tsuga (sejenis pohon cemara), sugi (pohon
tusam/sejenis pinus), keyaki (pohon zelkova yang biasanya dibuat
dengan bentuk balok), dan kiri (kayu yang sangat bagus dan

Arsitektur Jepang - Minka 52


mahal, berasal dari pohon paulownia dan sering digunakan dalam
pengerjaan lemari). Terkadang kayu jenis momiji (pohon maple)
dan kuwa (mullberry) juga digunakan.

2.8.3. Kertas
Unik sekali karena kertas digunakan sebagai bahan utama
membuat rumah ini. Maka sepantasnya jika bahan ini pantas dijaga
keberadaannya karena hanya sedikit tempat atau negara yang
menggunakan kertas sebagai bahan utama membuat rumah.
Kertas pun di Jepang hanya digunakan untuk membangun rumah
tradisional. Tentu saja kertas yang digunakan bukan kertas biasa
yang sering digunakan orang – orang menulis. Sekitar abad ke-6,
Jepang mulai menggunakan kertas sebagai bahan utama untuk
membuat rumah dan menggunakan kertas impor dari China dan
Korea yang mahal. Jadi hanya kaum bangsawan yang mengguna-
kannya. Agar penggunaannya merata, akhirnya Jepang membuat
pertemuan. Mereka menemukan bahan kertas baru yang semula
tidak tembus pandang, kini dapat tembus pandang atau disebut
shouji-gami dan harganya cukup murah. Ada dua jenis kertas yang
hingga sekarang digunakan oleh masyarakat Jepang. Yaitu kertas
asli Jepang dan impor. Kertas asli Jepang biasanya terbuat dari
pohon murbei dan semak-semak berduri atau tumbuhan perdu.
Mereka biasanya menyebutnya dengan nama “hand filtered paper”.
Sedangkan kertas impor biasanya terbuat dari pohon cemara dan
sering disebut “machine filtered paper”.

2.8.4. Batu
Bahan ini tidak begitu banyak penggunaannya. Bahkan untuk
membuat tembok pagar, masyarakat lebih menyukai menggunakan
kayu daripada batu. Mereka memiliki alasan sendiri lebih memilih
kayu dibandingkan batu yang lebih kuat. Itu karena di negara

Arsitektur Jepang - Minka 53


Jepang sering terjadi gempa sehingga untuk menghindari akibat
yang fatal, maka mereka tidak menggunakan batu sepenuhnya.
Maka mereka menggunakan batu sebagai penghias dalam
membuat taman, penghias samping-samping pagar dan untuk
menghubungkan antara rumah yang terletak agak di atas dengan
tanah untuk jenis rumah seperti rumah panggung. Batu-batu
terbatas juga dipergunakan untuk fondasi rumah, tidak pernah
digunakan sebagai dinding.

2.8.5. Kaca
Masyarakat Jepang menggunakan kaca sebagai bahan untuk
membangun rumah, baru saja ketika abad ke-19. Saat itu hanya
orang-orang barat yang menggunakan. Kemudian mereka
mengenalkannya kepada masayarakat Jepang dan digunakan
sebagai jendela maupun pintu. Biasanya kaca digunakan untuk
membuat pintu geser berkaca (glass shoji), pintu kaca sebagai
pintu masuk atau beranda paling luar, dan jendela kaca yang
bervariasi.

2.8.6. Tanah liat


Meskipun tanah liat sulit ditemukan di Jepang, namun mereka tetap
menggunakannya sebagai bahan membuat atap atau penutup
rumah dan membuat tembok (komai kabe). Untuk pembuatan
tembok biasanya berkerangka bambu dan diisikan lima kali
penempelan hingga menjadi tembok. Dengan tanah liat,
kekurangan komai kabe tak hanya rentan dari cuaca yang panas,
tetapi juga turunnya hujan maka ini dilindungi oleh papan kayu
yang tipis.

Arsitektur Jepang - Minka 54


BAB 3

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Minka merupakan rumah rakyat Jepang pada jaman sebelum


akhir tahun 1800 yang digunakan oleh hampir semua masyara-
kat Jepang. Di zaman Jepang kuno, ada dua jenis rumah. Sedangkan
pada periode Heian melalui Periode pertengahan Edo (792 – 1750)
ada tiga jenis rumah.

Pengertian Minka sendiri merupakan nama umum untuk rumah


tradisional Jepang dan merupakan hunian untuk rakyat biasa. Bahan
bangunan yang dipergunakan antara lain balok kayu besar, bambu,
tanah liat, rumput dan atau jerami.

Tata ruang Minka terdiri dari Genkan, Washitsu, Washiki (toilet),


Daidokoro (dapur), Roka (seperti lorong), dan untuk memperindah
dibuat sebuah taman. Selain itu ada juga desain khas yang menjadi
karakteristik Minka. Rumah Minka terdiri dari 2 jenis yaitu Nouka dan
Machiya.

3.2. Saran

Bentuk rumah tinggal harus dapat beraptasi dengan lingkungan


sekitar. Sehingga hal tersebut akan membuat suatu bangunan
menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Penggunaan material
bangunan yang mudah diperoleh dari daerah maupun lingkungan
sekitar akan terlihat sederhana dan alami. Sebuah bangunan tempat
tinggal yang terlihat serasi dengan lingkungan sekitarnya akan

Arsitektur Jepang - Minka 55


memberi kesan nyaman yang lebih pada orang yang mendiami rumah
tersebut. Melihat bagiamana bangunan Minka atau rumah tradisional
Jepang dapat menjadi panutan untuk membuat suatu bangunan yang
membuat semua orang merasakan ketenangan, keseimbangan
dengan lingkungan, keheningan yang indah, serta ketenangan batin
dalam menikmati bangunan tersebut.

Arsitektur Jepang - Minka 56


DAFTAR PUSTAKA

1. http://misakiyuuki.blogspot.co.id/2011/06/minka-rumah-tradisional-
jepang.html (diakses pada tanggal 04 februari 2016
2. http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ARSITEKTU
R/197709192008012-
DIAH_CAHYANI_PERMANA_SARI/sejarah%20arsitektur/Jepang%2
01.pdf (diakses pada tanggal 9 januari 2016)
3. http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab1/LMM2006-63-
Bab1.pdf (diakses pada tanggal 28 january 2016)
4. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/55766/3/Chapter%20
II.pdf (diakses pada tanggal 15 februari 2016)
5. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/55766/3/Chapter%20
II.pdf (diakses pada tanggal 15 februari 2016)
6. http://aelinlin37.blogspot.co.id/2014/06/v-behaviorurldefaultvmlo.html
(diakses pada tanggal 15 februari 2016)
7. http://kontemporer2013.blogspot.com/2013/09/rumah-tradional-
jepang-minka.html (diakses pada tanggal 15 februari 2016)
8. http://samtjahajoe.tumblr.com/post/51797154104/machiya-rumah-
tradisional-jepang (diakses pada tanggal 15 februari 2016)
9. http://sukajepang.com/desa-shirakawago-desa-tradisional-nan-indah-
di-jepang/ (diakses pada tanggal 15 februari 2016)
10. http://japanesestation.com/kinmata-machiya-yang-terkenal-dari-
kyoto/ (diakses pada tanggal 15 februari 2016)
11. http://miasiibungsu.blogspot.co.id/2013/02/sejarah-perkembangan-
dan-konsep.html (diakses pada tanggal 20 Januari 2016)

Arsitektur Jepang - Minka 57

Anda mungkin juga menyukai