Anda di halaman 1dari 128

164

BAB IV
METODE ARTIFICIAL LIFT

Apabila suatu sumur minyak sudah tidak mampu lagi memproduksi


minyak dengan tenaga reservoir yang dimilikinya maka untuk memproduksi
minyak dari dalam sumur menuju ke permukaan perlu diberikan tenaga buatan
yang disebut artificial lift atau pengangkatan buatan. Prinsip kerja dari artificial
lift tersebut ialah mengubah tenaga yang dihasilkan oleh sistem peralatan
artificial lift tersebut menjadi tenaga yang mengangkat fluida reservoir ke
permukaan. Dalam pemilihan peralatan yang digunakan untuk keperluan artificial
lift diperlukan suatu perencanaan secara teliti dan pemilihan jenis peralatan yang
tepat, sehingga rate produksi fluida atau minyak yang diinginkan akan tercapai.
Bermacam – macam jenis peralatan pengangkatan buatan, namun dalam bab ini
akan dijelaskan lima jenis artificial lift yang banyak digunakan di lapangan
minyak yaitu: gas lift, sucker rod pump, electric submersible pump, progressive
cavity pump, dan jet pump.
Desain artificial lift untuk sebuah sumur, direkomendasikan bahwa pada
awalnya sumur dianggap sebagai sumur natural flow, oleh karena itu harus
disiapkan sistem produksi untuk melihat sumur tersebut dapat mengalir dan pada
laju alir berapa. Tujuan dari artificial lift adalah untuk menetapkan tubing intake
pressure sehingga reservoir merespon dan memproduksi laju alir yang diharapkan.
Desain dan analisa dari berbagai artificial lift dapat dibagi menjadi dua
bagian, yang pertama adalah komponen reservoir (inflow performance
relationship) yang menggambarkan kemampuan sumur untuk memproduksikan
fluida. Komponen yang kedua menggambarkan seluruh pipa dan sistem artificial
lift. Tubing intake pressure lalu dapat ditentukan untuk laju alir yang berubah-
ubah dan ketika kurva intake ini terletak pada plot yang sama dengan kurva IPR,
laju alir untuk metode pengangkatan dapat ditentukan.
Gambar 4.1. menunjukkan laju alir untuk masing-masing metode artificial
lift yang berbeda. Sedangkan Gambar 4.2. menunjukkan laju alir sumur alami
dengan kondisi yang stabil, tubing intake pressure memotong kurva IPR pada titik
165

yang stabil. Gambar 4.3. menunjukkan sumur mati karena tubing intake pressure
tidak memotong kurva IPR. Sumur ini harus dipasang artificial lift untuk
mengubah tubing intake curve sehingga memotong kurva IPR.
Untuk sumur yang masih mampu mengalir secara alami, tidak berarti
artificial lift tidak dipertimbangkan untuk dipasang. Banyak sumur mampu
memproduksi laju alir yang lebih tinggi ketika dipasang artificial lift, dan hal ini
hampir sering dilakukan untuk mempercepat produksi atau ketika terjadi situasi
yang kompetitif.

Gambar 4.1.
Tubing Intake Pressure Untuk Artificial Lift
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Gambar 4.2.
Aliran Stabil
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
166

Gambar 4.3.
Sumur Mati
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

4.1. Gas Lift


Ditinjau dari cara penginjeksian gasnya ke dalam sumur, injeksi gas dapat
dibedakan menjadi dua cara, yaitu :
1. Continuous Gas Lift, dimana gas diinjeksi secara terus menerus ke dalam
annulus dan melalui valve yang dipasang pada tubing, gas masuk ke dalam
tubing tersebut.
2. Intermittent Gas Lift, dimana gas hanya diinjeksikan pada setiap selang waktu
tertentu sehingga injeksi gas merupakan suatu siklus injeksi.
Tabel IV-1
Kriteria Penentuan Sistem Injeksi
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

PI BHP Sistem Injeksi


>0,5 Mampu mengangkat kolom cairan minimum 70% Continuous
dari dasar sumur
>0,5 Mampu mengangkat kolom cairan yang kurang Intermittent
dari 70% atau minimum 40% dari dasar sumur.

<0,5 Mampu mengangkat kolom cairan minimum 70% Intermittent


dari dasar sumur
<0,5 Mampu mengangkat kolom cairan yang kurang Intermittent
dari 70% atau minimum 40% dari dasar sumur.
167

4.1.1. Tipe Gas Lift


4.1.1.1. Continuous Flow Gas Lift
Continuous Gas Lift merupakan proses pengangkatan fluida dari suatu
sumur dengan cara menginjeksikan gas yang bertekanan relatif lebih tinggi secara
terus menerus ke dalam tubing dengan maksud untuk meringankan kolom cairan
yang ada di dalam tubing. Karena penginjeksian dilakukan secara kontinyu, maka
memerlukan kesetimbangan aliran minyak dari formasi ke dalam lubang sumur
dengan rate yang cukup tinggi. Gambar 4.4. menunjukkan suatu operasi dari
continuous gas lift.
Apabila dapat diperkirakan besarnya gradien tekanan aliran rata-rata di
bawah dan di atas titik injeksi, maka Pwf dapat dihitung dengan persamaan :
Pwf = Pwh + Gfa L + Gfb (D – L).............................................................(4-1)
Keterangan:
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psi
Pwh = Tekanan pada well head, psi
Gfa = Gradien tekanan rata-rata di atas titik injeksi, psi/ft
Gfb = Gradien tekanan rata-rata di bawah titik injeksi, psi/ft
L = Kedalaman titik injeksi, ft
D = Kedalaman sumur total, ft
168

Gambar 4.4.
Mekanisme Operasi Continuous Gas Lift
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Dengan demikian dasar dari perencanaan gas lift adalah menentukan Pwf
yang diperlukan supaya sumur dapat berproduksi dengan rate yang diinginkan,
yaitu dengan cara menginjeksikan gas pada kedalaman tertentu di dalam tubing.
Sesuai dengan fungsinya, katup – katup gas lift terdiri dari :
1. Katup unloading, yaitu sebagai jalan masuk dari annulus ke tubing, untuk
mendorong cairan yang semula digunakan untuk mematikan sumur.
2. Katup operasi, yaitu sebagai jalan masuk gas dari annulus ke tubing untuk
mendorong fluida reservoir ke permukaan.
3. Katup tambahan, yaitu sebagai katup operasi jika Ps turun.
Pada tahap pertama, injeksi gas akan mengaktifkan katup-katup unloading
sehingga cairan untuk mematikan sumur akan terangkat ke permukaan dan level
cairan dalam annulus turun. Kemudian katup unloading secara bergantian bekerja
169

dan level cairan dalam annulus akan mencapai katup operasi. Gas injeksi akan
masuk ke dalam tubing secara kontinyu jika tekanan injeksi gas dalam annulus
lebih besar dari tekanan aliran dalam tubing. Oleh karena itu letak katup operasi
ditempatkan pada kedalaman sehingga tekanan alir dalam tubing lebih kecil dari
tekanan injeksi gas di annulus. Penempatan katup operasi ditentukan dari titik
keseimbangan, yaitu titik yang mana tekanan aliran di dalam tubing sama dengan
tekanan injeksi gas di annulus, setelah dikurangi dengan tekanan differensial 100
psi.
Dengan masuknya gas injeksi melalui katup operasi maka perbandingan
gas cairan di atas titik injeksi akan lebih besar daripada perbandingan gas cairan di
bawah titik injeksi. Dengan demikian dasar perencanaan gas lift adalah penentuan
Pwf yang diperlukan agar sumur dapat berproduksi dengan rate yang diinginkan,
yaitu dengan cara menginjeksikan gas pada kedalaman tertentu di dalam tubing.
Diagram tekanan kedalaman seperti terlihat pada Gambar 4.5. memberikan
gambaran yang lebih jelas mengenai continuous gas lift dan merupakan dasar
perencanaan. Umumnya perencanaan continuous gas lift bertolak dari laju
produksi yang diinginkan. Apabila indeks produktivitasnya dan tekanan statik
diketahui, maka tekanan alir dalam sumur yang sesuai dengan laju produksi yang
diinjeksikan dapat dihitung.
Apabila perbandingan gas cairan dari formasi diketahui, maka kurva
gradien tekanan aliran mulai dari dasar sumur dapat digambarkan. Berdasarkan
tekanan injeksi gas yang tersedia, garis gradien dalam annulus dapat digambarkan
dan titik keseimbangan antara tekanan gas dalam annulus dengan tekanan alir
dalam tubing dapat ditentukan. Kemudian letak katup operasi dapat pula
ditentukan pada kedalaman yang mempunyai tekanan alir dalam tubing 100 psi
lebih kecil dari tekanan injeksi gas. Apabila tekanan alir di kepala sumur tertentu,
maka perlu diinjeksikan sejumlah gas tertentu, sehingga memberikan
perbandingan gas cairan titik injeksi yang tepat dan menghasilkan gradien aliran
di atas titik injeksi yang diinginkan. Gradien aliran harus menghasilkan penurunan
tekanan sedemikian rupa sehingga tekanan aliran di permukaan sama dengan
170

tekanan di kepala sumur. Berdasarkan perbandingan gas cairan yang diperoleh


tersebut serta GLRf, maka jumlah gas yang diinjeksikan dapat dihitung.

Gambar 4.5.
Diagram Kedalaman-Tekanan Untuk Perencanaan Sumur Gas Lift Kontinyu
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Pada keadaan sebenarnya, pressure traverse yang digunakan tidak selalu


tepat dengan hasil pengukuran gradien aliran di dalam sumur. Kesalahan dapat
berkisar antara 10 -20%. Dengan demikian akan terjadi pula kesalahan dalam
menempatkan katup operasi. Untuk mengatasi kesalahan ini perlu ditambah
katup-katup pada selang di atas dan di bawah katup opersai. Selang ini disebut
dengan Bracketing Envelope. Perencanaan continuous gas lift meliputi :
 Penentuan titik injeksi.
 Penentuan jumlah gas injeksi.
 Penentuan kedalaman katup-katup sembur buatan.

4.1.1.2. Intermittent Flow Gas Lift


171

Proses pengangkatan cairan pada intermittent gas lift berbeda dengan


continuous gas lift. Pada continuous gas lift, kolom cairan dicampur dengan gas
injeksi untuk mengurangi gradien kolom cairan sehingga tekanan aliran di dalam
tubing turun. Sedangkan pada intermittent gas lift, gas diinjeksikan dengan
tekanan tinggi (lebih besar dari tekanan kolom cairan), sehingga cairan terangkat
akibat pengembangan dan pendorongan gas injeksi, seperti yang ditunjukkan
dalam Gambar 4.6.
Intermitent gas lift merupakan proses yang berulang dan dapat dibagi
dalam tiga periode (seperti yang terlihat dalam Gambar 4.7), yaitu :
1. Periode Aliran masuk
Ditunjukkan oleh Gambar 4.7. distribusi tekanan dari awal sampai titik A,
selama periode ini cairan mengalir dari reservoir masuk ke dalam lubang
sumur dan terkumpul dalam tubing di atas katup (valve) operasi. Selama
periode ini valve dalam keadaan tertutup. Kenaikan tekanan yang
ditunjukkan dalam kurva diakibatkan oleh bertambahnya cairan yang
masuk ke dalam tubing.
2. Periode Pengangkatan
Ditunjukkan oleh Gambar 4.7. mulai dari titik A sampai titik D. bila cairan
yang terkumpul dalam tubing sudah cukup, valve akan terbuka dan gas
yang bertekanan tinggi masuk ke dalam tubing untuk mengangkat slug
cairan ke permukaan. Dari kurva tersebut terlihat pada saat valve terbuka
terjadi kenaikan tekanan dalam tubing yang tajam sehingga mencapai
maksimum (kurva BC) kemudian turun (kurva CD). Turunnya tekanan ini
disebabkan oleh penurunan tekanan dalam casing dan pengembangan gas
dalam tubing.
3. Periode Penurunan Tekanan
Ditunjukkan oleh kurva DE yang mana setelah valve tertutup slug
terangkat ke permukaan, maka pengaruh tekanan injeksi hilang. Pada
kurva terlihat bahwa penurunan tekanan sedikit demi sedikit dan hal ini
disebabkan oleh cairan yang tidak ikut terangkat ke permukaan jatuh
kembali ke dasar sumur sehingga menimbulkan tekanan balik. Tekanan
172

tubing mencapai minimum pada titik E, kemudian proses berulang ke


inflow performance (periode aliran masuk).

Gambar 4.6.
Operasi Unloading-Intermittent Flow Well
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
173

Gambar 4.7.
Grafik Tekanan Dasar Sumur Pada Proses Intermittent Gas Lift
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

4.1.2. Peralatan Gas Lift


Peralatan gas lift dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu peralatan di atas
permukaan dan peralatan di bawah permukaan. Peralatan-peralatan tersebut saling
berhubungan dalam kelancaran proses gas lift.
4.1.2.1. Peralatan Di Atas Permukaan Gas Lift
Peralatan di atas permukaan adalah semua peralatan yang diperlukan
untuk proses injeksi gas ke dalam sumur yang terletak di permukaan. Peralatan-
peralatan tersebut meliputi :
1. Well Head dan Gas Lift Christmas Tree
Well head bukan merupakan alat khusus pada operasi gas lift, tetapi
digunakan pada metode sembur alam. Alat ini berfungsi sebagai tempat
menggantungkan casing dan tubing serta merupakan tempat dudukan christmas
tree. Sedangkan christmas tree sendiri berfungsi untuk mengatur laju produksi dan
menjaga tekanan reservoir. Gas lift X-mastree dipakai untuk sumur-sumur gas lift
yang dalam dan produksi hariannya cukup besar.
2. Stasiun Kompressor
Alat ini berfungsi untuk menaikkan tekanan gas injeksi sesuai dengan
keperluan. Di dalam stasiun kompressor terdapat beberapa buah kompressor yang
174

dihubungkan dengan manifold. Dari stasiun kompressor ini gas bertekanan tinggi
dikirimkan ke sumur-sumur melalui stasiun distribusi.
3. Stasiun Distribusi
Dalam menyalurkan gas injeksi dari kompressor ke sumur terdapat
beberapa macam cara, yaitu :
o Stasiun Distribusi Langsung
Pada sistem ini gas dari kompressor disalurkan langsung ke sumur
produksi. Sistem ini mempunyai kelemahan yaitu bila kebutuhan gas
untuk masing-masing sumur tidak sama sehingga injeksi tidak efisien.
o Stasiun Distribusi dengan Pipa Induk
Sistem ini lebih ekonomis karena panjang pipa dapat diperpendek. Tetapi
karena sumur yang satu berhubungan dengan sumur yang lain maka
apabila salah satu sumur sedang dilakukan injeksi gas, sumur yang lain
bisa terpengaruh.
o Stasiun Distribusi dengan Stasiun Distribusi
Stasiun ini sangat efektif sehingga sering digunakan. Gas dikirim dari
stasiun pusat kompressor ke stasiun distribusi kemudian dibagi ke sumur-
sumur dengan menggunakan pipa.
4. Alat-alat Kontrol
Beberapa jenis alat control yang digunakan pada operasi gas lift adalah :
o Choke Control dan Regulator
Choke control adalah alat yang digunakan untuk mengatur jumlah gas
injeksi sehingga dalam waktu tertentu (saat valve terbuka) gas tersebut
dapat mencapai suatu harga tekanan yang dibutuhkan. Choke control ini
dirangkai dengan regulator yang berfungsi untuk membatasi jumlah gas
injeksi yang dibutuhkan. Bila gas injeksi telah cukup maka regulator akan
menutup.
o Time Cycle Control
Time Cycle Control adalah alat yang berfungsi untuk mengotrol laju aliran
gas injeksi dalam intermittent gas lift untuk interval waktu tertentu. Time
cycle control dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan.
175

4.1.2.2. Peralatan Di Bawah Permukaan Gas Lift


Peralatan di bawah permukaan untuk operasi gas lift adalah valve (katup) gas
lift. Valve-valve ini dipasang pada tubing dan berfungsi untuk :
o Mengosongkan sumur dari fluida workover atau kill fluid supaya fluida
dapat mencapai titik optimum di dalam tubing.
o Mengatur aliran injeksi gas ke dalam tubing, baik pada proses unloading
(pengosongan sumur) maupun pada proses pengangkatan fluida.
1. Jenis-jenis Valve Gas Lift
Berdasarkan macam tekanan (tekanan casing atau tekanan tubing) yang
berpengaruh terhadap operasi valve, maka valve gas lift dapat dibagi dalam tiga
kelompok, yaitu :
a. Casing Pressure Operating Valve
Valve ini bekerja karena tekanan casing dan biasanya disebut pressure
valve. Valve ini dalam posisi tertutup sensitif (50 – 100 %) terhadap tekanan
casing dan 100 % terhadap tekanan casing dalam keadaan terbuka. Ini berarti
untuk membuka valve diperlukan kenaikan tekanan dalam casing dan untuk
menutup valve diperlukan adanya penurunan tekanan dalam casing.
b. Fluid Operated Valve
Valve ini bekerja karena tekanan fluida dalam tubing. Dalam posisi
tertutup valve ini (50 – 100 %) sensitif terhadap tekanan dalam tubing dan dalam
posisi terbuka 100 % sensitif terhadap tekanan dalam tubing. Ini berarti valve akan
membuka apabila tekanan dalam tubing naik dan valve akan menutup bila tekanan
dalam tubing menurun. Operasi valve ini dapat dilihat dalam Gambar 4.8.
c. Thortling Pressure Valve (Valve Kontinyu)
Valve ini disebut dengan valve yang proposional atau valve aliran
kontinyu. Dalam posisi tertutup valve ini sama dengan pressure valve, tetapi
apabila dalam posisi terbuka, valve ini sensitif terhadap tekanan dalam tubing.
Berarti untuk membuka valve diperlukan tekanan dalam casing dan untuk
menutup valve diperlukan penurunan tekanan dalam tubing atau casing. Gambar
4.9. menunjukkan skema valve gas lift aliran kontinyu.
176

Gambar 4.8.
Fluid Operating Valve
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Gambar 4.9.
Skema Thortling Pressure Valve
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
177

4.1.3. Instalasi Gas Lift


Secara umum macam instalasi secara prinsip dipengaruhi oleh apakah
sumur itu akan ditempatkan sebagai aliran intermittent atau aliran continyu, juga
pemilihan jenis valve tergantung pada sumur yang akan ditempatkan sebagai
sumur intermittent gas lift atau sebagai sumur continuous gas lift. Dalam
menentukan tipe instalasi awal harus bertitik tolak dari kemampuan sumurnya
termasuk tekanan dasar sumur dan Productivity Index (PI).
4.1.3.1. Instalasi Terbuka (Opened Installations)
Pada installasi ini tubing dipasang dalam sumur tanpa packer dan standing
valve, gas diinjeksikan melalui casing-tubing annular dan fluida diproduksikan
melalui tubing. Tipe ini baik untuk continuous gas lift, yang mana packer tidak
dipasang dengan suatu alasan seperti gas tidak dapat menyembur di sekitar tubing.
Jika instalasi ini digunakan pada intermittent gas lift maka pada saat shut-down
time fluida akan ke annulus casing (Gambar 4.10.).
4.1.3.2. Instalasi Setengah Terbuka (Semi Closed Installations)
Instalasi setengah tertutup mirip dengan intallasi terbuka, bedanya pada
installasi ini dipasang packer dan tidak menggunakan standing valve Installasi ini
cocok untuk continuous flow gas lift dan intermittent flow gas lift.
4.1.3.3. Instalasi Tertutup (Closed Installations)
Installasi tertutup mirip dengan instalasi setengah tertutup hanya pada
installasi tertutup dipasang packer dan standing valve. Standing valve diletakan
dibawah valve yang paling bawah atau pada ujung tubing string, dimaksudkan
untuk mencegah masuknya gas yang diinjeksikan ke dalam sumur. Standing valve
ini dipasang pada installasi intermittent gas lift dan dengan pemasangan ini akan
menaikan laju produksi.
178

Gambar 4.10.
Tipe Instalasi Gas Lift
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

4.1.4. Perencanaan Gas Lift


4.1.4.1. Perencanaan dan Perhitungan Continous Gas Lift
Perencanaan instalasi gas lift bertujuan untuk mendapatkan hasil yang
maksimal dari perolehan minyak. Adapun metode yang digunakan adalah metode
grafis berdasarkan pressure traverse dan gradien tekanan gas di annulus.
a. Penentuan Titik Injeksi
Langkah kerja penentuan titik injeksi :
1. Menyiapkan data penunjang :
a. Kedalaman sumur (D)
b. Ukuran tubing (dt) dan casing (dc)
c. Laju produksi cairan yang diinginkan (qL)
d. Kadar air (KA)
179

e. Perbandingan gas cairan sebelum instalasi sembur buatan di pasang


f. Tekanan statik (Ps)
g. PI untuk aliran satu fasa atau kurva IPR untuk aliran dua fasa
h. Tekanan kepala sumur (Pwh)
i. Tekanan injeksi gas (Pso)
j. Temperatur dasar sumur (TD), temperatur di permukaan (T s) dan gradien
thermal (Gt)
k. API minyak, spesifik gravity air (w), spesifik gravity gas injeksi (gi)
2. Menyiapkan kertas transparan
Membuat sumbu kartesian berskala yang sesuai dengan skala pressure
traverse. Menggambarkan tekanan pada sumbu datar dan kedalaman pada
sumbu tegak dengan titik asal (nol) di sudut kiri kertas.

3. Menghitung tekanan alir dasar sumur berdasarkan laju alir yang diinginkan
(qL) dengan menggunakan persamaan :
 Untuk aliran satu fasa :
qL
Pwf  Ps  ..................................................................................(4-2)
PI
 Untuk aliran dua fasa (persamaan Vogel) :
Pwf  0.125Ps ( 1  81  80(q L /q max ) ............................................(4-
3)
4. Memplot titik (Pwh,D)
5. Memilih pressure traverse yang sesuai berdasarkan qL, kadar air, dan diameter
tubing yang digunakan.
6. Memilih garis gradien aliran yang sesuai dengan GLR f. Seringkali harga GLRf
tidak terdapat pada pressure traverse, sehingga perlu diinterpolasi.
7. Menentukan kedalaman eqivalen Pwf pada kurva langkah 6.
8. Meletakkan kertas transparan di atas kertas pressure traverse yang dipilih
dengan titik (Pwf,D) tepat di atas Pwf langkah 7.
9. Menjiplak kurva pilihan di langkah 6 pada kertas transparan.
180

10. Menentukan gradien tekanan gas (Ggi) dengan berdasarkan spesifik gravity gas
injeksi dan tekanan injeksi gas (Pso). Memperhatikan faktor koreksi.
11. Memplot Pso di kedalaman nol pada kertas transparan.
12. Menghitung tekanan gas pada kedalaman X ft, (Px) menurut persamaan :
Px = Pso + X Ggi ..............................................................................(4-4)
13. Memplot titik (Px, X).
14. Menghubungkan titik (Pso,0) dengan titik (Px,X) sampai memotong kurva
langkah 9.
15. Titik injeksi ditentukan dengan menelusuri kurva pada langkah 9 ke atas
dimulai dari titik potong langkah 14 sejarak 50 – 100 psi. Titik injeksi
berkoordinat (Pi,Di). Seperti terlihat pada Gambar 4.5.
b. Penentuan Jumlah Gas Injeksi
Langkah kerja penentuan jumlah gas injeksi adalah sebagai berikut :
1. Memplot titik (Pwh,0).
2. Menghitung jumlah gas injeksi, yaitu :
Qgi = qL (GLRt - GLRf ).................................................................(4-5)
3. Mengkoreksi harga Qgi pada temperatur titik injeksi, yaitu ;
a. Menentukan temperatur di titik injeksi :
Tpoi = (Ts + Gt Di) + 4600 .............................................................(4-6)
b. Menghitung faktor koreksi :
Corr = 0.0054 γgiTpoi .................................................................(4-7)
c. Volume gas injeksi terkoreksi adalah sebesar :
Qgicorr = Qgi  Corr.........................................................................(4-8)
c. Penentuan Kedalaman Katup-katup Sembur Buatan
Langkah kerja penentuan kedalaman katup-katup adalah sebagai berikut :
1. Siapkan data dan grafik penunjang :
a. Kertas transparan hasil penentuan titik injeksi dan jumlah gas injeksi.
b. Tekanan differential (Pd).
c. Tekanan kick off (Pko).
d. Gradien statik fluida dalam sumur (Gs).
181

e. Kesalahan korelasi pressure traverse terhadap hasil pembuatan pressure


traverse di lapangan setempat, besarnya antara 10 – 20 %.
2. Menghitung jarak katup maksimum di sekitar titik injeksi menurut
persamaan
Pd
Dv  ...............................................................................................(4-9)
Gs
3. Menggambarkan garis perencanaan tekanan tubing dengan tubing line sebagai
berikut :
a. Menghitung : P1 = Pwf + 0.20 Pso
P2 = Pwf + 200 ................................................................(4-10)
b. Memilih harga terbesar dari P1 dan P2, misalkan P1 > P2 maka pilih P1.
Memplot (P1,0) pada kertas transparan. Hubungkan titik (P1,0) dengan titik
injeksi (Pi,Di). Garis ini disebut garis perencanaan tekanan tubing.
4. Menentukan gradien tekanan gas berdasarkan harga Pko dan specific gravity
gas injeksi.
5. Memplot titik (Pko,0) pada kertas transparan dan membuat garis gradien
tekanan gas, mulai dari Pko dengan menggunakan gradien tekanan gas yang
diperoleh dari langkah 3.
6. Memplot titik (Pso,0) pada kertas transparan, mulai dari (Pso,0) membuat garis
gradien tekanan sejajar dengan gradient pada langkah 4.
7. Dari titik (Pwh,0), membuat garis gradien statik dalam sumur berdasarkan
harga gradien statik yang diketahui.
8. Penentuan letak katup sembur pertama :
a. Memperpanjang garis gradien statik dalam sumur sampai memotong garis
gradien tekanan gas yang melewati titik (Pko,0) langkah 5.
b. Letak katup injeksi pertama ditentukan dengan menelusuri garis gradien
statik di atas mulai dari titik potong langkah 8a sejauh 50 psi. Titik katup
injeksi pertama berkoordinat ( P1,D1).
9. Penentuan letak katup berikutnya :
a. Membuat garis horisontal ke kiri dari titik (P1,D1) sampai memotong garis
perencanaan tekanan tubing di langkah 3.
182

b. Dari perpotongan garis tersebut buat garis gradien tekanan statik yaitu
garis yang sejajar gradien statik di langkah 7.
c. Memperpanjang dari langkah 9b sampai memotong garis gradien tekanan
gas yang dibuat melalui (Pso,0).
d. Titik potong tersebut adalah letak katup berikut dengan koordinat (P2,D2).
e. Kembali ke langkah 9a dan mengulangi langkah kerja sampai 9d untuk
memperoleh letak katup-katup berikutnya. Pengulangan ini dihentikan
setelah diperoleh letak katup sembur buatan yang lebih dalam dari titik
injeksi (P1,D1).
10. Penentuan Letak Katup Di Daerah Bracketing Envelope
Langkah kerja penentuan katup di daerah Bracketing Envelope sebagai berikut:
a. Memplot titik (Pso – Pd), 0).
b. Dari titik tersebut, membuat garis yang sejajar dengan garis gradien
tekanan gas yang melalui (Pso,0).
c. Memperpanjang garis tersebut sampai memotong kurva terpilih di butir b
langkah 3.
d. Menghitung Paa = (1 + BE) Pbe
Pbb = (1 – BE) Pbe
BE = % Bracketing Envelope
= 10 – 20 %
e. Berdasarkan harga Pwh, menghitung :
Pa = (1 + BE) Pwh
Pb = (1 – BE) Pwh
f. Menghubungkan titik (Paa,Y) dengan titik (Pa,0). Titik potong antara garis
ini dengan garis gradien gas dari langkah 10b.Titik potong ini adalah batas
atas dari Bracketing Envelope.
g. Menghubungkan titik (Pbb,Y) dengan titik (Pb,0). Memperpanjang garis
ini sampai memotong garis gradien gas dari langkah 10b. Titik potong ini
adalah batas bawah dari Bracketing Envelope.
183

h. Dari langkah 2 telah dihitung jarak maksimum antara katup gas lift (Dv).
Berdasarkan harga ini, mulai dari batas atas Bracketing Envelope katup-
katup gas lift dapat dipasang sejarak Dv batas bawah Bracketing Envelope.
4.1.4.2. Perencanaan Dan Perhitungan Intermittent Gas Lift
Perencanaan sumur intermittent gas lift meliputi : penentuan jumlah gas
injeksi penetuan spasi katup dan penetuan tekanan katup di bengkel (kondisi
standar).
a. Penentuan Spasi Valve
Penentuan spasi valve dapat secara analitis dan secara grafis.
Langkah –langkah yang harus dilakukan untuk perencanaan spasi valve
secara grafis adalah sebagai berikut :
1. Pada kertas grafik kartesian buat
system sumbu koordinat dengan kedalaman sebagai sumbu tegak dan tekanan
sebagai sumbu datar.
2. Plot titik (Pso,0), Pso = Tekanan yang
tersedia - 50
3. Tentukan gradient gas
dengan grafik (Gambar 4.11 dan Gambar 4.12) dan buat garis gradient gas
dalam sumur mulai dari titik (Pso,0) dan perpanjang garis tersebut sampai di
dasar sumur.
Px  Pso  XGg ………………………………………………..........(4-11)
4. Plot tekanan tubing di
permukaan (untuk intermittent gas lift, tekanan ini sama dengan tekanan
separator)
5. Tentukan gradient
unloading dengan menggunakan grafik (Gambar 4.13 dan Gambar 4.14)
sesuai dengan ukuran tubing dan rate yang diinginkan.
Ptu  Psep  GsD ……………………………...............................…(4-12)

6. Plot garis gradient


unloading berdasarkan Gu dari langkah 5 mulai dari tekanan separator di
permukaan dan perpanjang garis tersebut sampai dasar sumur.
184

7. Tentukan tekanan
penutup yang konstan di permukaan, yaitu :
Psc = Pso – 100 ………………………………………………….…..(4-13)
8. Tentukan gradien gas
dengan grafik (Gambar 4.11 dan Gambar 4.12) dan buat garis gradien gas
dalam sumur mulai dari titik (Psc,0) dan perpanjang garis tersebut sampai di
dasar sumur.
Pcv = Psc+DGg ……………………………………………………...(4-14)
9. Tarik garis kill fluid
dengan gradient 0.4 psi/ft – 0.5 psi /ft dari Psep. Perpanjang garis tersebut
sampai memtong garis Pso, perpotongan ini merupakan letak titik valve (1)
10. Dari perpotongan
tersebut (langkah 9), buat garis horizontal ke kiri sampai memotong garis
unloading.
11. Dari perpotongan
(langkah 10), buat garis sejajar dengan gradien fluida yang mematikan sumur
(langkah 9) sampai memotong garis gradient gas yang berawal dari titik
(Psc,0), titik ini merupakan letak dari valve (2)
12. Dari perpotongan
tersebut (langkah 11), buat garis horizontal ke kiri sampai memotong garis
unloading.
13. Lakukan langkah 11
dan 12 untuk mendapatkan latak katup Dv3, Dv4, dst lanjutkan sampai dasar
sumur
Sedangkan penetuan spasi katup secara analitis dapat dilakukan dengan
menggunakan persamaan berikut :
Pko  Pwh
Dv1 
Gs
Pso1, so 2....  Pwh  Dv1, v 2...(Gu )
Dv 2, v3...  Dv1, v 2..  ………...
Gs
.(4-15)
185

Keterangan :
Dv1, v2… = Kedalaman katup 1, 2, dst, ft
Pso1, Pso2… = Tekanan buka permukaan 1, 2, dst, psi
Pwh = Tekanan kepala sumur, psi
Gs = Gradient kill fluid, psi/ft
Gu = Gradient unloading, psi/ft
Gu didapatkan dari grafik (Gambar 4.13 dan Gambar 4.14)
b. Penentuan Jumlah Gas Injeksi
Gas yang diperlukan untuk mengangkat slug cairan dari dasar sumur ke
permukaan adalah volume gas yang diperlukan untuk mengisi tubing pada
tekanan gas rata-rata bawah slug dari dasar sumur ke permukaan. Langkah-
langkah untuk menentukan besarnya gas injeksi adalah :
1. Siapkan data penujangnya sebagai
berikut :
a. Kedalaman katup operasi (umumnya di ujung tubing)
b. Tekanan buka katup operasi (Pv), di hitung dengan
rumus :
Pv  Pso  Ggi.D …………………………………………....(4-

16)
Keterangan :
Pv = Tekanan buka katup operasi pada kedalaman, psi
Pso = Surface operating pressure, psi
Ggi = Gradient tekanan gas injeksi, psi/ft
D = Kedalaman, ft
2. Pilih grafik yang sesuai dengan ukuran
tubing dan tekanan separator
3. Plot kedalaman katup pada sumbu
kedalaman
4. Dari titik tersebut tarik garis horizontal
ke kanan sampai memotong sumbu volume gas
186

5. Baca volume gas injeksi yang


diperlukan (qgi, MMCF)
c. Penentuan Tekanan Buka Katup
Prosedur menetukan tekanan buka katup adalah sebagai berikut :
1. Dari hasil spasi katup, buat skala temperatur yang berhimpitan
dengan sumbu tekanan
2. Plot titik (Ts,0) dan (Tb,D) kemudian hubungkan kedua titik
tersebut
3. Baca temperature untuk setiap kedalaman katup (Tv)
4. Baca tekanan tubing untuk setiap kedalaman katup (Pt).
5. Baca tekanan tutup katup setiap kedalaman (Pvc), Pvc = Pd
6. Tentukan ukuran port yang diperlukan, sebagai berikut :
a. Tentukan perubahan tekanan dalam casing (ΔPd) berdasarkan
jumlah gas yang diinjeksikan serta ukuran casing dan tubing.
b. Hitung harga R untuk setiap katup :
Pd
R ……………………………………..............(4-17)
Pvc  Pd  Pt
c. Tentukan ukuran port masing-masing katup dengan
membandingkan harga R dari langkah b dengan harga R dari ukuran pada
Tabel V.2.

Tabel IV-2.
“R values”
Bellow Area and Seat Area Relationship for Ab = 0.77 in2 for 1 ½”
Valve and 0.29 in2 for 1” Valve
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Diameter of Spread For 1“ O.D Valves For 1 ½” O.D Valves
Control Seat (in) R 1–R R 1–R
3 0.0863 0.9137 0.0359 0.9641
16
¼ 0.1534 0.8466 0.0638 0.9362
9 0.1942 0.8058 - -
32
187

5 0.2397 0.7603 0.0996 0.9004


16
11 0.2900 0.7100 - -
32
3 0.3450 0.6550 0.1434 0.8566
8
7 0.4697 0.5303 0.1952 0.8048
16
½ - - 0.2562 0.7438
9 - - 0.3227 0.6773
16

7. Hitung tekanan buka katup (Pvo) pada setiap kedalaman katup


Pvc
Pvo   Pt (TEF ) ………………………………………….(4-
1 R
18)
8. Tentukan tekanan dome (Pd) untuk setiap valve pada temperature
60oF, menurut persamaan :
Pd @ 60  Ct ( Pd ) ……………………………………………….(4-

19)
Ct didapat dari Tabel V.3.
9. Hitung tekanan setting di work shop (Ptro) pada temperature 60oF,
dengan persamaan :
Pd @ 60
Ptro  ………………………………………….………(4-20)
1 R
188

Tabel IV-3.
Temperatur Correction Factor (Ct) for Nitrogen Based on 60oF
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
189

Gambar 4.11.
Weight of Gas Column Chart
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
190

Gambar 4.12.
Weight of Gas Column Chart
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
191

Gambar 4.13.
Unloading Gradient Chart
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
192

Gambar 4.14.
Unloading Gradient Chart
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
193

Gambar 4.15.
Penentuan Ukuran Port
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
194

Gambar 4.16.
Penentuan Ukuran Port
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
4.1.5. Optimasi Continuous Gas Lift
195

Tujuan dari injeksi gas pada operasi continuous gas lift adalah untuk
memperkecil besarnya gradien tekanan alir di dalam tubing sehingga dengan
demikan tekanan yang dibutuhkan untuk mengangkat fluida juga menjadi lebih
kecil, akibatnya, juga menjadikan harga Pwf turun. Dengan menurunnya harga
Pwf, maka drawdownnya akan semakin besar. Akan tetapi pada kenyataan di
lapangan tidak selalu seperti itu. Hal ini dikarenakan pada keadaan tertentu
dengan bertambahnya laju injeksi gas bukan memperkecil gradien tekanan aliran
tetapi justru sebaliknya, karena adanya laju gas yang terlalu besar maka
kecepatannya juga semakin besar sehingga gesekan yang terjadi ikut bertambah
yang akhirnya akan memperbesar gradien tekanan alirannya disamping
dimungkinkan juga adanya tekanan balik. Dengan semakin besarnya gradien
tekanan aliran menyebabkan mengecilnya drawdown tekanan yang akan
menurunkan laju produksi.
Pada sub bab ini akan mengoptimasi harga GLR total maupun besar laju
injeksi yang optimum untuk mendapatkan laju produksi yang maksimum.
Pengertian GLR optimum adalah suatu harga dimana penambahan gas lebih lanjut
tidak akan menaikkan laju produksi, tetapi sebaliknya.
Persoalan sumur-sumur gas lift akan menjadi lebih sulit, hal ini
dikarenakan di dalam penyelesaian menggunakan variabel yang berbeda. Untuk
suatu harga laju produksi tertentu, perhitungan gradien tekanan aliran fluida di
dalam pipa digunakan dengan menggunakan parameter GLR formasi, yaitu
perhitungan dimulai dari tekanan dasar sumur sampai operating valve serta dari
reservoir sampai lubang sumur. Sedangkan untuk laju produksi yang sama
perhitungan gradien tekanan aliran fluida dengan menggunakan parameter GLR
total, yaitu diatas titik injeksi sampai ke kepala sumur yang divariasikan dengan
berbagai harga laju produksi total.
Metode Optimasi Continuous Gas Lift
Dalam melakukan optimasi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Membuat kurva inflow performance (IPR).
196

2. Menghitung distribusi tekanan sepanjang tubing hingga mencapai titik injeksi


dari tekanan kepala sumur untuk berbagai harga GLR total asumsi (scf/stb),
untuk setiap harga laju produksi.
3. Menghitung distribusi tekanan sepanjang tubing dari titik injeksi sampai dasar
sumur pada Pwf untuk setiap laju produksi asumsi dengan menggunakan
kurva gradien tekanan pada GLR formasi.
4. Hasil perhitungan distribusi tekanan pada berbagai harga GLR kemudian
diplot terhadap kurva IPR hasil perhitungan pada langkah 1 seperti
ditunjukkan pada Gambar 4.17.
5. Dari Gambar 4.17. dapat ditentukan kondisi optimum sumur tersebut, yang
kemudian hasil dari langkah 4 dapat dibuat suatu grafik yang disebut dengan
kurva performance gas lift (Gambar 4.18).
Berdasarkan data-data di atas, maka dapat dilakukan perhitungan sehingga
didapatkan kurva IPR yang dipotongkan dengan kurva Tubing Intake dengan
menggunakan senitivitas GLR. Hasil dari sensitivitas GLR tersebut akan
diplotkan pada kurva hidrolik (GLR Vs Rate). Dengan demikian akan dapat
diketahui berapa besarnya GLR optimum dan laju produksi maksimum sebelum
penambahan injeksi gas lebih lanjut akan menurunkan rate produksi.
197

2500

IPR
GLR 663
GLR 800
2000
GLR 1000
GLR 1600
GLR 2000
GLR 2500
GLR 3000
1500
GLR 3500
Tekanan, Psi

GLR 4000

1000

500

0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800
Laju Produksi, stb/d

Gambar 4.17.
Kurva IPR dan GLR Asumsi

1220

1200

1180
Laju Produksi Total

1160

1140

1120

1100
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500
GLR Total, scf/stb

Gambar 4.18.
Gas Lift Performance Curve
198

4.2. Sucker Rod Pump


Sucker rod pump atau sering juga disebut beam pumping ialah salah satu
metode artificial lift yang memanfaatkan gerakan naik- turun dari plunger untuk
mendorong fluida reservoir ke permukaan.

Gambar 4.19.
Beam Pumping System
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Gambar 4.20.
Macam-macam Pompa Sucker Rod
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
199

Prinsip Kerja Pompa Sucker Rod


Gerak rotasi dari prime mover diubah menjadi gerak naik turun oleh
sistem pitman-crank assembly, kemudian gerak naik turun ini oleh horse head,
dijadikan gerak lurus naik turun (angguk) untuk menggerakan plunger melalui
rangkaian rod. Pada saat upstroke plunger bergerak ke atas menyebabkan tekanan
di bawah turun. Karena tekanan dasar sumur lebih besar dari tekanan dalam
pompa, akibatnya standing valve terbuka dan minyak masuk ke dalam barrel.
Pada saat downstroke beban fluida yang ada di dalam barrel dan tekanan yang
diakibatkan oleh naiknya plunger, maka standing valve menutup sedangkan
travelling valve pada plunger terbuka akibat tekanan minyak yang tidak di dalam
barrel, selanjutnya pada saat upstroke maksimum minyak akan dipindahkan ke
dalam tubing. Proses ini dikakukan secara berulang-ulang, sehingga minyak dapat
mengalir ke permukaan.

Gambar 4.21.
Mekanisme Kerja Sucker Rod
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
200

4.2.1. Peralatan Sucker Rod Pump


Peralatan sucker rod pump dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu
peralatan di atas permukaan dan di bawah permukaan. Peralatan-peralatan
tersebut saling berhubungan dalam kelancaran sucker rod pump.
4.2.1.1. Peralatan di Atas Permukaan Sucker Rod Pump
Peralatan di atas permukaan ini memindahkan energi dari suatu prime
mover ke sucker rod. Selain itu peralatan ini juga mengubah gerak berputar dari
prime mover menjadi suatu gerak bolak balik dan juga mengubah kecepatan
prime mover menjadi langkah pemompaan yang sesuai.
a. Prime mover
Merupakan penggerak utama, dimana prime mover akan memberikan
gerakan putar yang diubah menjadi gerak naik turun pada polish rod dan sucker
rod untuk diteruskan ke peralatan bawah permukaan. Prime mover dapat berupa
mesin gas, diesel, motor bakar dan listrik. Prime mover ini disesuaikan dengan
tersedianya sumber tenaga tersebut. Jadi pemilihan motor diusahakan mempunyai
daya yang cukup untuk mengangkat fluida dan rangkaian rod dengan kecepatan
yang diinginkan.
b. V-Belt
V-belt terletak diantara prime mover dan gear reducer. V-belt berfungsi
untuk meneruskan gerakan rotasi prime mover. Gerakan rotasi prime mover akan
menggerakkan v-belt, sehingga v-belt bisa meneruskan gerakan rotasi tersebut ke
gear reducer.
c. Gear Reducer
Berfungsi mengubah kecepatan putar dari prime mover menjadi langkah
pemompaan yang sesuai. Gear reducer juga merupakan transmisi yang berfungsi
untuk mengubah kecepatan putar dari prime mover, gerak putaran prime mover
diteruskan ke gear reducer dengan menggunakan belt. Yang mana belt ini
dipasang engine pada prime mover dan unit sheave pada gear reducer.
201

d. Crank Shaft
Merupakan poros crank yang berfungsi untuk mengikat crank pada gear
reducer. Gerak rotasi dari gear reducer diteruskan ke crank, sedangkan crank
shaft sebagai poros/tetap.
e. Crank
Merupakan sepasang tangkai yang menghubungkan crank shaft pada gear
reducer dengan counterbalance. Pada crank ini terdapat lubang-lubang tempat
pitman bearing. Besar kecilnya langkah atau stroke pemompaan yang diinginkan
dapat diatur disini, dengan cara mengubah-ubah pitman bearing. Apabila
kedudukan pitman bearing ke posisi lubang mendekati counterbalance, maka
langkah pemompaan menjadi bertambah besar atau sebaliknya.
f. Counterbalance
Adalah sepasang pemberat yang fungsinya :
- Untuk mengubah gerak berputar dari prime mover menjadi gerak naik
turun.
- Menyimpan tenaga prime mover pada saat down-stroke atau pada saat
counterbalance menuju ke atas, yaitu pada saat kebutuhan tenaga kecil
atau minimum
- Membantu tenaga prime mover pada saat up-stroke (saat counterbalance
bergerak ke bawah) sebesar tenaga potensialnya, karena kerja prime mover
yang terbesar adalah pada saat up-stroke (pompa bergerak ke atas) yang
mana sejumlah minyak ikut terangkat ke atas permukaan.
g. Pitman
Adalah penghubung antara walking beam pada equalizer hearing dengan
crank. Lengan pitman merubah gerakan berputar dari counterbalance menjadi
gerakan naik turun pada walking beam.
h. Walking Beam
Merupakan tangkai horizontal di bawah horse head. Fungsinya merupakan
gerak naik turun yang dihasilkan oleh pasangan pitman-crank-counterbalance, ke
rangkaian pompa di dalam sumur melalui rangkaian rod.
202

i. Horse Head.
Menurunkan gerak dari walking beam ke unit pompa di dalam sumur
melalui bridle, polish rod dan sucker string atau merupakan kepala dari walking
beam yang menyerupai kepala kuda.
j. Bridle
Merupakan nama lain dari wire line hanger, yaitu merupakan sepasang
kabel baja yang disatukan pada carrier bar. Bridge berfungsi sebagai tenaga
angkat dari rangakaian peralatan bawah permukaan.
k. Carrier Bar
Merupakan alat yang berfungsi sebagai tempat bergantungnya rangkaian
rod dan polished rod. Carrier bar ini sebagai penyangga dari polished rod clamp
menjaga agar rod tidak jatuh.
l. Polished Rod Clamp
Komponen yang bertumpu pada carrier bar yang fungsinya untuk
mengeraskan kaitan polish rod pada carrier bar. Polished rod clamp juga sebagai
tempat dimana dinamometer diletakkan.
m. Polished Rod
Polished rod adalah rod yang berukuran lebih pendek. Polished rod
merupakan bagian teratas dari rangkaian rod yang muncul dipermukaan. Sebagai
fungsinya untuk menyesuaikan panjang rod dengan kedalaman yang diinginkan
n. Stuffing Box
Dipasang di atas kepala sumur (casing atau tubing head) untuk
mencegah/menahan minyak agar supaya tidak keluar bersama naik turunnya
polish rod. Dengan demikian seluruh aliran minyak hasil pemompaan akan
mengalir ke flowline lewat crosstee. Disamping itu juga berfungsi sebagai tempat
kedudukan polish head rod sehingga dengan demikian polish rod dapat bergerak
naik turun dengan bebas.
o. Sampson Post
Merupakan kaki- kaki penyangga atau penopang walking beam. Beratnya
walking beam bertumpu pada sampson post. Untuk menjaga kestabilan
203

ketinggian pada setiap kaki-kaki sampson post, maka sampson post diletakkan
pada bidang yang datar.
p. Saddle Bearing
Alat ini sebagai penghubung walking beam dengan sampson post bagian
teratas sehingga walking beam tetap bergerak pada posisinya. Alat ini bekerja
dengan cara sebagai poros pada gerakan walking beam, dan menjaga kedudukan
walking beam.
q. Equalizer
Adalah bagian atau dari pitman yang dapat bergerak secara leluasa
menurut kebutuhan operasi pemompaan minyak berlangsung. Equalizer
diletakkan diantara crank shaft dan pitman crank. Sebagai penyelaras dengan
gerakkan crank disetiap sisi.
r. Brake
Brake di sini berfungsi untuk mengerem gerak pompa jika dibutuhkan,
misalnya pada saat akan dilakukan reparasi sumur atau unit pompanya sendiri.
Prime mover dimatikan dan dengan adanya brake yang diletakkan di gear reducer
dapat memposisikan head horse pada tinggi maksimum atau tinggi minimum
untuk mempermudah ketika perawatan.

4.2.1.2. Peralatan Di Bawah Permukaan Sucker Rod Pump


Untuk peralatan pompa di bawah permukaan (subsurface pump
equipment) terdiri dari empat komponen utama, yaitu : working barrel, plunger,
travelling valve dan standing valve.
a. Working Barrel
Merupakan tempat plunger dapat bergerak naik turun sesuai dengan
langkah pemompaan dan menampung minyak terisap oleh plunger pada saat
bergerak ke atas (up stroke).
1. Working barrel yang terdiri dari sejumlah liner yang diselubungi oleh
jacket (biasanya diberi simbol L)
2. Working barel yang terdiri dari satu bagian utuh dan kuat (diberi simbol H
atau W).
204

b. Plunger
Merupakan bagian dari pompa yang terdapat di dalam barrel dan dapat
bergerak naik turun yang berfungsi sebagai penghisap minyak dari formasi masuk
ke barrel yang kemudian diangkat ke permukaan melalui tubing.
c. Tubing
Seperti halnya pada peralatan sembur alam, tubing digunakan untuk
mengalirkan minyak dari dasar sumur ke permukaan setelah minyak diangkat oleh
plunger pada saat up stroke.
d. Standing Valve
Merupakan bola yang ikut bergerak naik turun menurut gerakan plunger
dan berfungsi mengalirkan minyak dari working barrel masuk ke plunger dan hal
ini terjadi pada saat plunger bergerak ke atas dan selanjutnya standing valve
membuka. Pada saat plunger bergerak ke bawah standing valve akan menutup
untuk mencegah fluida keluar ke annulus.
e. Traveling Valve
Merupakan bola yang ikut bergerak naik turun menurut gerakan plunger
dan berfungsi mengalirkan minyak dari working barrel masuk ke plunger dan hal
ini terjadi pada saat plunger bergerak ke bawah serta menahan minyak keluar dari
plunger pada saat plunger bergerak ke atas.
f. Gas Anchor
Merupakan komponen pompa yang dipasang dibagian bawah dari pompa
yang berfungsi untuk memisahkan gas dari minyak agar gas tersebut tidak ikut
masuk ke dalam pompa bersama-sama dengan minyak, untuk menghindari
masuknya pasir atau padatan ke dalam pompa, dan mengurangi atau menghindari
terjadinya tubing stretch.
Gas ini dialirkan masuk ke annulus dan dilepaskan ke permukaan melalui
Ada dua macam type Gas Anchor, yaitu :
- Poorman type
Larutan gas dalam minyak yang masuk ke dalam anchor akan melepaskan
diri dari larutan (bouyancy effect). Minyak akan masuk ke dalam barrel
melalui suction pipe, sedangkan gas yang telah terpisah akan dialihkan
205

melalui annulus. Apabila suction pipe terlalu panjang atau diameternya


terlalu kecil, maka akan terjadi pressure loss yang cukup besar sehingga
menyebabkan terjadinya penurunan PI sumur pompa. Sedangkan apabila
suction pipe terlalu besar akan menyebabkan annulus antara dinding
anchor dengan suction pipe menjadi lebih kecil, sehingga kecepatan aliran
minyak besar dan akibatnya gas masih terbawa oleh butiran-butiran
minyak. Diameter gas anchor yang terlalu besar akan menyebabkan
penurunan PI sumur pompa.
- Packer type
Minyak masuk melalui ruang antara dinding anchor dan suction pipe,
kemudian minyak jatuh di dalam annulus antara casing dan gas anchor dan
ditahan oleh packer, selanjutnya minyak masuk ke pompa melalui suction
pipe. Disini minyak yang masuk ke dalam annulus sudah terpisah dari
pompa.
g. Tangkai Pompa
Tangkai pompa (sucker rod string) terdiri dari :
- Sucker rod
- Pony rod
- Polished rod
Sucker rod
Merupakan batang/rod penghubung antara plunger dengan peralatan di
permukaan. Fungsi utamanya adalah melanjutkan gerak naik turun dari horse
head ke plunger. Berdasarkan konstruksinya, maka sucker rod dibagi menjadi 2
(dua) :
a. Berujung box-pin
b. Berujung pin-pin
Untuk menghubungkan antara dua buah sucker rod digunakan sucker rod
coupling. Umumnya panjang satu single dari sucker rod yang sering digunakan
berkisar antara 20-30 ft. Terdapat beberapa macam ukuran sucker rod, seperti
pada tabel di bawah ini, di mana ukuran-ukuran tersebut merupakan standart API.
Dalam perencanaan sucker rod selalu diusahakan atau yang dipilih yang ringan,
206

artinya memenuhi kriteria ekonomis, tetapi dengan syarat tanpa mengabaikan


kelebihan (allowable stress) pada sucker rod tersebut. Sucker rod yang dipilih dari
permukaan, sampai unit pompa di dasar sumur (plunger) tidak perlu sama
diameternya, tetapi dapat dilakukan/dibuat kombinasi dari beberapa type dan
ukuran rod. Sucker string yang merupakan kombinasi dari beberapa type dan
ukuran tersebut. Disebut Tappered Rod String.
Poni rod
Merupakan rod yang mempunyai panjang yang lebih pendek dari panjang
rod umumnya (25 feet). Fungsinya adalah untuk melengkapi panjang dari sucker
rod, apabila tidak mencapai kepanjangan yang dibutuhkan ukurannya adalah : 2,
4, 6, 8, 12 feet.
Polished rod
Adalah tangkai rod yang berada di luar sumur yang mengubungkan sucker
rod string dengan carrier bar dan dapat naik turun di dalam stuffing box.
Diameter stuffing box lebih besar daripada diameter sucker rod, yaitu : 1 1/8, 1 ¼,
1 ½, 1 ¾. Panjang polished rod adalah :8,11,16, 22 feet.

Gambar 4.22.
Peralatan Bawah Permukaan Sucker Rod
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
207

Gambar 4.23.
Klasifikasi Pompa menurut API
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

4.2.2. Analisa Peralatan Sucker Rod Pump


Komponen-komponen peralatan pompa sucker rod merupakan suatu
gabungan yang komplek dan menyatu, dengan kata lain akan saling ketergantung
satu dengan yang lain. Oleh karena itu penting dilakukannya analisa peralatan
pompa untuk menjaga effisiensi pompa mengangkat fluida naik ke permukaan.
4.2.2.1. Analisa Gerakan Rod
Apabila sucker rod digantung pada polished rod atau bergerak naik turun
pada kecepatan konstan, maka gaya yang bekerja pada polished rod adalah berat
dari sucker rod, WR, dalam hal ini sucker rod mengalami percepatan. Polished
rod akan menderita beban tambahan yaitu beban percepatan.
Wr
 a .................................................................................................(4-
g

22)
Keterangan :
Wr = Berat rod
g = Percepatan gravitasi
a = Percepatan maksimum yang terdapat pada sucker rod string
208

Faktor percepatan atau faktor dimana bobot mati dari rod harus dikalikan
dengan faktor kecepatan ini untuk mendapatkan beban percepatan yang maksimal,
dinyatakan sebagai :
a
  ..................................................................................................(4-23)
g

Keterangan :
a = Percepatan maksimum yang terdapat pada sucker rod string
g = Percepatan gravitasi
α = Faktor percepatan
Suatu study terhadap gerakan yang ditransmisikan dari prime mover ke
sucker rod menunjukkan bahwa gerakan sucker rod hampir merupakan gerak
beraturan yang sederhana. Gerak beraturan ini dapat dinyatakan sebagai proyeksi
suatu partikel yang bergerak melingkar pada garis tengah lingkaran tersebut.

Gambar 4.24.
Sistem Gerakan Sucker Rod
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Apabila hal tersebut diatas dihubungkan dengan sistem sucker rod, maka :
1. Diameter lingkaran menyatakan panjang langkah polished rod.
2. Waktu untuk sau kali putaran dari partikel yang melingkar sama dengan waktu
untuk satu kali siklus pemompaan.
209

Percepatan maksimum dari pada sistem sucker rod terjadi pada awal up stroke dan
awal down stroke, yaitu pada saat titik proyeksi mempunyai jarak yang jauh dari
pusat gerak melingkar. Pada saat tersebut percepatan dari pada proyeksi sama
dengan percepatan gerak melingkar, yaitu :
2
Vp
a = .................................................................................................(4-
re
24)
Keterangan :
Vp = Kecepatan partikel
re = Jari-jari lingkaran
Apabila waktu untuk satu kali putaran, maka :
2re
Vp = ..............................................................................................(4-

25)
Apabila N = jumlah putaran persatuan waktu :
Vp = 2 re N.........................................................................................(4-26)
Keterangan :
N = 1/, jika persamaan 4-24 dan 4-26 disubstitusikan pada persamaan 4-23
didapat :
2
Vp 4 2 re N 2
 ...................................................................................(4-
re g g
27)
Untuk sumur pompa :
N = Kecepatan pemompaan
re = Dapat dihubngkan dengan polished rod, stroke length yaitu :
re = S/2
Dengan demikian persamaan 4-27 menjadi :
2 2 SN
 = ...........................................................................................(4-
g

28)
210

Panjang langkah polished rod biasanya dinyatakan dalam inchi, dan kecepatan
pemompaan dalam stroke per menit (SPM), maka :
2 2 SN 2 in / min 1 ft 1 min
=
32,2 ft / sec 12in 3600 sec 2
2

SN 2
 = ............................................................................................(4-
70500
29)
4.2.2.2. Sucker Rod String
Sucker rod string didapati pada sumur-sumur yang dalam, dan tidak hanya
terdiri dari satu macam diameter, merupakan tappered rod (makin ke atas makin
besar diameternya, karena membawa beban yang lebih berat). Dengan anggapan
bahwa stress disetiap bagian sama (pada puncak masing-masing interval).
Pada Tabel V.4, R1, R2, R3, dan seterusnya adalah fraksi panjang dari
seluruh rod, dan karena umumnya suatu potongan rod mempunyai panjang 25 ft,
maka pembulatan selalu 25 ft.

Tabel IV-4.
Kombinasi Untuk Sucker Rod
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Ukuran rod pada Harga R sebagai fungsi Luas Plunger
string (Ap)
(in) Catatan : R1 adalah yang bawah atau
terkecil
R1 = 0,759 – 0,0896 Ap
5/8 – ¾ R2 = 0,241 + 0,0896 Ap
R1 = 0,786 – 0,0566 Ap
¾ - 7/8 R2 = 0,214 + 0,0566 Ap
R1 = 0,814 – 0,0375 Ap
7/8 – 1 R2 = 0,186 + 0,0375 Ap
5/8 – ¾ - 7/8 R1 = 0,627 – 0,1393 Ap
R2 = 0,199 + 0,0737 Ap
R3 = 0,175 + 0,0655 Ap
R1 = 0,644 – 0,0894 Ap
¾ - 7/8 – 1 R2 = 0,181 + 0,0478 Ap
R3 = 0,155 + 0,0146 Ap
R1 = 0,582 – 0,1110 Ap
¾ - 7/8 – 1 – 1 1/8 R2 = 0,159 + 0,0421 Ap
R3 = 0,137 + 0,0364 Ap
R4 = 0,123 + 0,0325 Ap
211

4.2.2.3. Effective Plunger Stroke (Sp)


Jumlah volume minyak yang diperoleh selama pemompaan tidak
tergantung pada panjang polished rod, tetapi tergantug pada gerakan relatif
plunger terhadap working barrel yang disebut effective plunger stroke. Pada
dasarnya langkah ini berbeda dengan polished rod stroke. Perbedaan ini
disebabkan oleh :
1. Adanya rod stretch dan tubing stretch.
2. Adanya plunger over travel yang disebabkan adanya percepatan.
Dengan demikian perlu diperkirakan adanya rod stretch dan tubing stretch
serta over travel. Yang mana hal ini telah dikembangkan oleh Marsh dan Coberly.
Pada saat down stroke, standing valve tertutup dan travelling valve terbuka, beban
fluida bekerja pada tubing yang menyebabkan elongasi pada tubing tersebut. Pada
awal up stroke, travelling valve tertutup, menimbulkan perpanjangan pada rod dan
pembukaan pada standing valve menyebabkan tubing mengalami stretch.
Kembalinya tubing ke panjang semula menyebabkan working barrel bergerak
lebih ke atas.
Perpanjangan rod menyebabkan plunger bergerak ke bawah. Dengan
demikian effective plunger stroke berkurang sebesar jumlah perpanjangan rod dan
tubing yang disebabkan oleh beban fluida. Untuk suatu deformasi elastik, terdapat
perbandingan antara stress yang bekerja pada suatu benda dengan strain yang
dihasilkan oleh stress tersebut yang besarnya konstan, yaitu :
Stress
E = ............................................................................................(4-
Strain
30)
Keterangan :
E = modulus elastisitas, tergantung pada beban yang dipergunakan
Sedangkan stress merupakan gaya persatuan luas, maka :
Stress = F/ A.........................................................................................(4-31)
Dan strain adalah fraksi perubahan panjang, yaitu :
Strain = e /L.........................................................................................(4-32)
212

Gaya (F) dinyatakan dalam Lb, penampang (A) dinyatakan dalam in 2.


perpanjangan (e) dan panjang mula-mula (L) dinyatakan dalam satuan sama.
Umumnya besarnya perpanjangan dalam in. Sedangkan panjang dalam ft, dengan
demikian persamaan 4-32 berubah menjadi :
e
Strain = .........................................................................................(4-33)
12 L
Kemudian disubstitusikan kedalam persamaan 4-30 menjadi :
F/A 12 FL
E= 
e / 12 L eA
12 FL
e = ..............................................................................................(4-
EA
34)
Gaya yang disebabkan oleh beban fluida yang disebabkan adanya
perbedaan tekanan sepanang plunger, dan bekerja pada luas permukaan Ap,
adalah:
F = P x Ap..........................................................................................(4-35)
Apabila dianggap bahwa pompa dipasang pada working fluid level,
perbedaan tekanan (P) pada plunger adalah tekanan kolom fluida dengan
specific gravity G, sepanjang L (kedalaman pompa).
P = 0,433 G L.....................................................................................(4-36)
Untuk suatu hal yang umum, dimana working fluid level terletak pada
kedalaman D, tekanan C (dibawah plunger) yang disebabkan oleh kolom fluida
didalam casing setinggi (L –D) harus diperhitungkan.
Dengan demikian :
P = 0,433 G L – 0,433 G (L –D)....................................................... (4-37)
P = 0,433 G D
Dari persamaan 4-34 :
12 FL
e =
EA
12 x0,433GDAP L
=
EA
213

520GDAL
=
EA
Persamaan 4-37 di atas merupakan persamaan umum. Persamaan tersebut
dapat untuk menghitung perpanjangan dari suatu benda yang mengalami
pembebanan.
Berdasarkan persamaan 4-37, maka :
1. Perpanjangan tubing (et) adalah :
et = 5,20 G D Ap L / E At.....................................................................(4-38)
2. Perpanjangan rod string (er) adalah :
er = 5,20 G D Ap L / E Ar....................................................................(4-39)
Keterangan :
et = Perpanjangan tubing, in
er = Perpanjangan rod, in
G = Specific gravity fluida
D = Working fluid level, ft
L = Kedalaman letak pompa, ft
Ap = Luas penampang plunger, sq-in
At = Luas penampang tubing, sq-in
Ar = Luas penampang rod, sq-in
E = Modulus elastisitas = 30 x 106
Bila dipasang anchor pada tubing, maka bentuk L/A, dapat diabaikan.
Besarnya Ar, At, Ap dari masing-masing ukuran rod, tubing atau plunger
dapat dilihat pada Tabel IV-5, IV-6 dan IV-7 berikut :
Tabel IV-5.
Data Sucker Rod
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Rod Size, Area Plunger Rod Weight Konstanta, K
in (in2) (lb/ft)
½ 0.196 0.72
5/8 0.307 1.13 0.046
¾ 0.442 1.63 0.066
7/8 0.601 2.22 0.102
1 0.785 2.90 0.117
1 1/8 0.994 3.67 0.148
214

Tabel IV-6.
Data Tubing
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Normal Size Outside Weight Wall
(in) Diameter (lb/ft) Area
(in) (sq-in)
1½ 1.900 2.90 0.800
2 2.375 4.7 1.304
2½ 2.875 6.50 1.812
3 3.500 9.30 2.59
3½ 4.000 11.00 3.077
4 4.500 12.75 3.601

Tabel IV-7.
Data Plunger Pompa
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Diameter Area Pump Content
in Aq-in Bbl/day/in/spm
1 0.785 0.116
11/16 0.886 0.131
1¼ 1.227 0.182
1½ 1.767 0.262
1¾ 2.405 0.357
1 25/32 2.448 0.369
2 3.142 0.466
2¼ 3.976 0.590
2¼ 4.909 0.728
2¾ 5.940 0.881
3¾ 11.045 1.639
4 3/4 17.721 2.630
215

Untuk Tappered rod string, perpanjangan rod dicari untuk masing-masing


bagian, yaitu :
e1 = 5,20 G D Ap L1 / E A1...................................................................(4-40)
e2 = 5,20 G D Ap L2 / E A2...................................................................(4-41)
Keterangan :
e1 = Perpanjangan rod bagian pertama dengan panjang L1
e2 = Perpanjangan rod bagian kedua dengan panjang L2
Dari gabungan persamaan diatas, perpanjangan rod total adalah :
5,20GDAP  L1 L2 
er =    ... .............................................................(4-
E  A1 A2 
42)
Rod mengalami perpanjangan akibat berat rod itu sendiri dan beban
percepatan. Untuk tappered rod, beban rod bervariasi secara uniform dari harga
nol (yaitu dari bagian bawah rod) sampai sebesar W r (yaitu puncak dari rod).
Rata-rata berat dari rod yang menyebabkan perpanjangan adalah Wr/2, apabila
dipusatkan pada L/2. Perpanjangan rod yang mengakibatkan berat rod dan beban
percepatan, tidak sama besarnya pada waktu upstroke ataupun downstroke.
Pada akhir downstroke, perpanjangan rod, adalah :
12(Wr  Wr  ) L / 2
ed = ........................................................................(4-
EAr

43)
dan perpanjangan pada waktu upstroke, adalah :
12(Wr  Wr  ) L / 2
eu = .........................................................................(4-
EAr

44)
Dari persamaan 4-43 dan 4-44 dapat ditentukan perpanjangan yang disebabkan
oleh beban percepatan, yaitu :
12Wr L
ep = e d – e u = ...........................................................................(4-
EAr

45)
Sedang berat rod string, adalah :
216

 r LAr
Wr = ..........................................................................................(4-
144
46)
Keterangan :
 = Faktor percepatan
r = Density rod, lb/cuft  490 lb/cuft untuk baja.
Maka :
12 L 490 LAt 40,8 L2
ep =  ............................................................(4-
EAr 144 E

47)
Keterangan :
E = Modulus young besi = 30 x 106 Psi
Persamaan 5-47 digunakan untuk untappered rod string, sedangkan untuk
tappered rod string dilakukan pendekatan dengan persamaan berikut ;
ep = (32,8 L2) / E...............................................................................(4-48)

Keterangan :
Ep = Plunger overtravel, in
L = Panjang rod, ft
 = Faktor percepatan = S N2 /70500
S = Panjang langkah, in
N = langkah/menit, SPM
Persamaan 4-48 akan memberikan perbedaan sekitar 25% tetapi hal in
tidak berpengaruh banyak dalam effective plunger stroke. Dengan demikian
effective plunger stroke adalah panjang langkah (polished rod stroke) dikurangi
dengan perpanjangan rod ditambah dengan (rod & tubing stretch) sebagai akibat
beban fluida ditambah dengan plunger overtravel, maka :
Sp = S + ep – (et + er)............................................................................(4-49)

Penggabungan persamaan 4-38, 4-42, 4-47, dan 4-49 didapatkan persamaan


sebagai berikut :
217

40,8 L2 5,20GDAP  L1 L2 


Sp = S +     ...  ....................................(4-
E E  A1 A2 
50)

Dalam hal ini tappered rod string, persamaan 4-50 menjadi :

40,8 L2 5,20GDAP  1 1 


Sp = S +     ...........................................(4-
E E  At Ar 
51)

Keterangan :

L1, L2, L3, ...adalah panjang-panjang rod (bila diameternya berbeda-beda


untuk sistem tersebut), ft

A1, A2, A3,...adalah luas penampang masing-masing bagian rod yang


berbeda-beda untuk, inch2.
Catatan :
Dalam hal tubing dipasang anchor, maka At dapat diabaikan dan persamaan 4-50
tidak mengandung At.
4.2.2.4. Kecepatan Pompa
Akibat pemompaan akan timbul getaran yang dialami oleh rod string.
Getaran yang dialami rod tersebut adalah merupakan resultan dari getaran aslinya
(transmitted wave) dengan getaran yang dipantulkan (reflected wave). Apabila
transmitted wave dan reflected wave terjadi serempak (syncronous), maka
akibatnya akan terjadi resultan getaran yang maksimum (saling menguatkan).
Akan tetapi bila antara kedua macam tidak terjadinya saling bergantian (non-
syncronous), maka resultannya merupakan getaran yang saling melemahkan.
Maka dapatlah dimengerti bahwa kecepatan pemompaan setiap menit harus tidak
boleh menimbulkan getaran yang maksimum, karena hal tersebut dapat
membahayakan rod string (menyebabkan putus). Sehingga dibuat supaya getaran
yang terjadi adalah getaran yang saling melemahkan.
218

Secara teoritis, dengan ketentuan kecepatan getaran pada baja sama


dengan 15800 fps, maka akan terjadi getaran non-syncronous, jika :
N = 237.000 / n L.................................................................................(4-52)
Keterangan :
N = Kecepatan pemompaan, SPM
L = Panjang sucker rod string, ft
N = Bilangan tidak bulat
Jadi menentukan N dari pemompaan harus dipilih supaya harga n tidak
bulat. Dihindarkan harga n = 1, 2, 3, ...dst, karena harga n bulat akan terjadi
getaran yang syncronous.
4.2.2.5. Perhitungan Counterbalance
Fungsi utama counterbalance adalah menyimpan tenaga pada waktu
upstroke dan waktu downstroke serta melepaskan tenaga pada waktu upstroke.
Secara teoritis counterbalance effect ideal (Ci) harus sedemikian rupa sehingga
prime mover akan membawa beban rata-rata yang sama besarnya baik pada waktu
upstroke ataupun pada waktu downstroke, yang dinyatakan sebesar :
Wmax – Ci = Ci – W min.........................................................................(4-53)
Counterbalance yang ideal adalah :
Ci = 0,5 (Wmax + Wmin).........................................................................(4-54)
Dengan menggunakan parameter Wmax dan Wmin yang didapat dari hasil
perhitungan polished rod load, maka akan diperoleh counterbalance effect ideal
sebesar :
Ci = 0,5 We Wr ( 1- 0,127 G)...............................................................(4-55)
4.2.2.6. Perhitungan Torsi (Puntiran)
Perhitungan torsi sangat erat hubungannya dengan perencanaan
counterbalance, karena pumping unit harus bekerja tidak boleh melebihi puntiran
yang diijinkan pada gear reducer yang telah ditentukan oleh pabrik
pembuatannya. Besarnya beban polished rod (W) ditransmisikan ke crank melalui
pitman yang bergerak dengan arah vertikal. Dari gambar tersebut puntiran bersih
terhadap VCXF dinyatakan (Craft-Holden, 1962), sebagai berikut:
T = Wr sin – We d sin.......................................................................(4-56)
219

Keterangan :
T = Gaya puntiran, Lbs
W = Beban polished rod, Lbs
We = Counterweight, Lbs
e = Jarak dari crankshaft ke pitman bearing
d = Jarak dari crankshaft ke pusat titik O, in
 = Posisi kedudukan crankshaft
 = Sudut yang dibentuk oleh crank dengan bidang vertikal, derajat
Apabila geometri dari peralatan permukaan diabaikan, yaitu jarak dari
“saddle bearing” ke “tail bearing” serta “struktural unbalance” dari instalasi
permukaan, maka akan diperoleh persamaan untuk :
Ci = 2 Wc d /S......................................................................................(4-57)
Keterangan :
C = Crank counterbalance, lbs
Wc = Berat counterbalance, lbs
S = Panjang langkah, in
T = W (S/2) sin  C (S/2) sin 
= (W –C) (S/2) sin ..........................................................................(4-58)
Harga maksimum untuk variabel-variabel W dan sin  masing –masing
adalah Wmax dan sin  = 1 atau  = 90, dengan demikian puntiran maksimum
(peak torque) adalah :
Tp = (Wmax –C) (S/2)............................................................................(4-59)
Keterangan :
Tp = Peak torque maksimum, Lbs
Dalam perhitungan harga peak torque (C) diasumsikan 95% dari harga
idealnya (Ci), maka persamaan 4-59 menjadi :
Tp = (Wmax – 0,95 Ci) (S/2)...............................................................(4-60)
4.2.2.7. Kapasitas Pompa (Pump Displacement)
Dengan prinsip torak (piston), maka volume teoritis pemompaan (pump
displacement) adalah :
220

Stroke 1440menit / hari


V = Ap (in2) x Sp (in / stroke) x N x
menit 9702in 3 bbl
= 0,1484 Ap Sp N bbl / hari ..............................................................(4-61)
Peramaan 4-61 di atas harga 0,1484 Ap merupakan konstanta untuk suatu
diameter plunger tertentu dan dinotasikan dengan K yang disebut sebagai
konstanta pompa :
V = K Sp N bbl / hari............................................................................(4-62)
Untuk mencari harga rate produksi yang sebenarnya dari pump
displacement perlu diketahui “effisiensi volumetris” dari pompa tersebut, Ev
Jadi :
q = V/ Ev...............................................................................................(4-63)
Keterangan :
Q = Rate produksi, bbl/hari
V = Pump displacement, bbl/hari
Ev = Efisiensi volumetris antara 25 – 100% tergantung dari gas di
sumur tersebut, umumnya diambil antara 75-80%
4.2.2.8. Efisiensi Total Sucker Rod Pump
Dengan mengetahui besarnya horse power, maka akan dapat ditentukan
efisiensi total dari pompa sucker rod. Efisiensi total pompa adalah hasil kali dari
dua efisiensi, yaitu efisiensi permukaan (above ground efficiency) dan efisiensi
bawah permukaan (bellow ground efficiency). Besarnya horse power yang perlu
diketahui disini adalah :
 Polished rod horse power (PRHP)
 Hidroulic horse power (HHP)
 Power input (power yang dibutuhkan prime mover selama pemompaan
berjalan) atau brake horse power (BHP)
4.2.2.9. Perhitungan Beban Polished Rod (Polished Rod Load)
Dalam hal ini yang diabaikan beban getaran dan beban percepatan
sehubungan dengan fluida yang diangkat. Selama siklus pemompaan terdapat lima
faktor yang mempengaruhi beban bersih (net load) polished rod yaitu :
a. Beban fluida
221

b. Beban mati dari pada rod


c. beban percepatan dari pada sucker rod
d. Gaya ke atas pada sucker rod yang tercelup dalam fluida
e. Gaya gesekan
Berat tappered rod string adalah :
Wr = M1L1 +M2L2 +......+ MnLn.......................................................................(4-64)
Keterangan :
M1 = berat rod section pertama dari tappered rod, lb/ft
L1 = panjang rod, section pertama, ft
Dengan menganggap density rod 490 lb /cuft, volume rod string sama
dengan fluida yang dipindahkan rod string adalah :
berat W
Volume =  r cuft ...............................................................(4-
density 490

65)
Density fluida yang dipindahkan 62,4 G (dimana G = Specific gravity)
lb/cuft. Gaya ke atas yang bekerja pada rod, adalah berat fluida yang dipindahkan
yaitu :
Wr
Gaya ke atas = x 62,4G
490
= -0,127 Wr G...............................................................(4-66)
Beban fluida yang digunakan dalam perhitungan beban polished rod
adalah berat kolom fluida yang ditahan oleh plunger, volume dari kolom fluida
dari plunger dan setinggi rod string adalah :
LAP
Volume = cuft..............................................................................(4-
144
67)
Volume fluida dapat diperoleh dari persamaan 4-67 dikurangi persamaan
4-65.
LAP Wr
Volume = - cuft....................................................................(4-
144 490
68)
Beban fluida Wf adalah :
222

Wf = 62,4 G  ( LAP / 144)  (Wr / 490) .................................................(4-


69)
Wf = 0,433 G  ( LAP  0,294Wr ) .........................................................(4-
70)
Beban fluida tersebut hanya bekerja pada polished rod pada waktu
upstroke. Selanjutnya beban gesekan tidak dapat diturunkan secara matematis,
tetapi beban ini dapat diperkirakan secara empiris dengan dynamometer tes.
Sedangkan untuk keperluandesign, gesekan ini dapat dinyatakan sebagai + F, pada
waktu upstroke dan – F pada waktu downstroke. Jadi, beban polished rod
maksimum yang terjadi pada waktu upstroke adalah :
Wmax = Wf + Wr + Wr  + F.................................................................(4-71)
Beban polished rod minimum yang terjadi saat downstroke :
Wmin = Wf – Wr -  - 0,127 Wr G – F...................................................(4-72)
Jika persamaan 4-71 digunakan untuk menghitung beban maksimum, suku
yang terakhir diabaikan, oleh karena itu beban gesekan tidak dapat dihitung
dengan tepat.
Wmax = Wf + Wr (1 - ).........................................................................(4-73)
Dengan cara yang sama, perhitungan beban minimum juga dengan
mengabaikan beban gesekan.
Wmin = Wr (1 -  - 0,127 G)...............................................................(4-74)
4.2.2.10. Hydraulic Horse Power
Hydraulic Horse Power (HHP) adalah besarnya horse power yang
diperlukan pompa untuk mengangkat sejumlah fluida secara vertikal saat
pemompaan berlangsung. Hal penting di dalam penentuan horse power ini adalah
net lift (LN), pengertian net lift yaitu, jarak angkat efektif pompa dalam satuan ft.
Besarnya net lift, dapat ditentukan dengan persamaan dibawah :
 W fm 
LN = L x  , ft ...............................................................................(4-75)

 W fc 
Keterangan :
L = Panjang rod string, ft
223

Wfm = Berat rod + fluida – berat rod, Lbs


Wfc = Berat fluida, Lb
Selanjutnya besarnya horse power dapat ditentukan dengan persamaan :
HHP = 7,36 x 106 x q G LN, hp............................................................(4-76)
Keterangan :
q = Rate produksi,BPD
G = Specific gravity fluida
LN = Net lift, ft
4.2.2.11. Brake Horse Power (Power Input)
Power input ini menunjukkan besarnya horse power yang dibutuhkan oleh
prime mover pada operasi pompa sucker rod ada dua power load yang harus
dipertimbangkan selama terjadi gerakan fluida dari pompa ke permukaan, yaitu
pertama adalah hidraulic horse power seperti telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya, dan kedua adalah friction horse power diberi simbol H, harga
friction horse power dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :
0,25Wr .S .N .in  lb / min
Hf =
12in / ftx33000 ft  lb / min/ hp

= 6,31 x 10 -7 Wr S N : hp..............................................................(4-77)
Keterangan :
Wr = Berat rod string, lb
S = Panjang stroke, in
N = Jumlah stroke permenit, spm
Selanjutnya besarnya brake horse power (BHP) merupakan penjumlahan
hidraulic dan friction horse power. Untuk mengatasi tekanan yang tidak dapat
diperkirakan dalam peralatan dipermukaan maka diambil faktor keselamatan
sebesar 1,5. brake horse power dituliskan :
BHP = 1,5 (Hb + Hf).............................................................................(4-78)
4.2.2.12. Penentuan Efisiensi Total Pompa
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa efisiensi total pompa adalah
merupakan hasil kali dari dua efisiensi, yaitu efisiensi permukaan (above ground
efficiency) dan efisiensi bawah permukaan (bellow ground efficiency). Above
224

ground efficiency yaitu efisiensi pompa yang berhubungan dengan keperluan


horse power oleh prime mover di permukaan, dan besarnya dinyatakan dengan
perbandingan antara polished rod horse power terhadap power input pada prime
mover (brake horse power). Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :

Polished rod horsepower


Above Ground Efficiency = Brake horse power

PRHP
=
BHP

Bellow ground effisiensi yaitu effisiensi yang berkaitan dengan peralatan


bawah permukaan di dalam mengangkat fluida permukaan, besarnya efisiensi ini
dinyatakan dengan perbandingan antara horse power terhadap polished rod horse
power dan secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :

Hydraulic horsepower
Bellow Ground Efficiency = Polished rod horsepower

HHP
= , Hp
PRHP

Sehingga besarnya efisiensi total pompa adalah :


Effisiensi total = Efisiensi permukaan x Efisiensi bawah permukaan
PRHP HHP
= x , Hp
BHP PRHP

4.2.3. Perencanaan Sucker Rod Pump


Perencanaan sucker rod pump (sucker rod) bertujuan untuk mendapatkan
parameter-parameter pompa secara optimal sesuai dengan potensi sumur. Sebelum
dilakukan perencanaan pompa perlu dilakukan analisa perhitungan perilaku
pompa. Tujuan dari analisa perhitungan pompa sucker rod ini adalah untuk
mendapatkan perilaku yang efisien dari peralatan yang tersedia. Adapun langkah-
langkah perencanaan pompa sucker rod adalah sebagai berikut :
1. Setting Depth Pompa (L)
L =H – (Pwf/Gf) +S...............................................................................(4-79)
225

Keterangan :
H = Kedalaman sumur dari permukaan sampai top perforasi, ft
Pwf = Tekanan dasar sumur, Psi
Gf = Gradient formasi, psi/ft
S = Submergence, berkisar antara 60 – 100 ft
2. Displacement pompa
PD = Q / .............................................................................................(4-80)
Ketarangan :
PD = Pump Displacement, Bbl/day
Q = Laju alir, Bbl/day
 = Densitas

3. Panjang Langkah (stroke)


Berdasarkan L dan PD, maka dari chart pump unit section diperoleh
- API size dan Stroke
4. Penentuan Diameter Plunger, Tubing, Rod SPM
- Berdasarkan API size pada langkah “c” dan kedalaman L maka dari tabel
design data diperoleh :
 Diameter plunger
 Diameter tubing
 Ukuran rod
 Kecepatan Pemompaan (SPM)
5. Acceleration Faktor
 = SN2 / 70500...................................................................................(4-81)
Keterangan :
S = Panjang langkah, inchi
N = Kecepatan pemompaan, SPM
6. Panjang Langkah Plunger Efektif
226

40,8 L2 5,20GDAP  L1 L2 


SP = S +     ...  ...................................(4-
E E  A1 A2 
82)
Atau :
40,8 L2 5,20GDAP  1 1 
SP = S +     ..........................................(4-
E E  At Ar 
83)
Keterangan :
SP = Panjang langkah efektif plunger, in.
 = Acceleration faktor.
L = Setting depth pompa, ft.
E = Modulus elastisitas, besarnya tergantung dari bahan.
D = Working fluid level, ft.
Ap = Luas penampang plunger, sq. In.
Sg = Specific gravity fluida
At = Luas penampang tubing, sq. In.
At = Luas penampang rod, sq. In.
Lt = Panjang tubing, ft.
Lr = Panjang rod, ft.
7. Estimasi Displacement Pompa
Q = K Sp N...........................................................................................(4-84)
Keterangan :
Q = Estimasi displacement pompa, Bbl/day
K = Konstanta plunger tertentu
Sp = Panjang langkah plunger efektif, in.
N = kecepatan pemompaan, SPM
8. Berat Rod String
Wr = L x m...........................................................................................(4-85)
Keterangan :
Wr = Berat rod string, lb.
L = Setting depth pompa, ft.
227

m = Berat rod, lb/ft


L & m = Dapat dilihat pada tabel
9. Berat Fluida
Wf = 0,433 Sg (L Ap – 0,294 Wr).......................................................(4-86)
Keterangan :
Wf = Berat fluida, lb
Sg = Specific gravity fluida
L = Setting depth pompa, ft
Ap = Luas penampang plunger, sq.in.
Wr = Berat rod string, lb
10. Beban Polished Rod
Wmax = Wf + Wr ( 1 +  ).................................................................(4-87)
Wmin = Wr (1-  - 0,127 Sg)……………………………………….(4-88)
11. Rod Stress
Stress maks = Wmaks / Ar, Psi........................................................(4-89)
Stress min = Wmin / Ar, Psi..........................................................(4-90)
Keterangan :
Ar = Luas Penampang rod, sq.in.
12. Counterbalance
Ci = 0,5 Wf + Wr ( 1- 0,127 Sg), lb.....................................................(4-91)
13. Torque
(Wmaks  0,95Ci ) S
Tp = , lb-in............................................................(4-
2
92)
14. Tenaga Motor
Hh = 7,36 x 10-6 Q Sg L, Hp................................................................(4-93)
Hf = 6,31 x 10-7 Wr S N, Hp................................................................(4-94)
Hb = 1,5 (Hh + Hf), Hp........................................................................(4-95)
Keterangan :
Hh = Hydraulic horse power to lift fluida
Hf = Subsurface frictional power loss
228

Hb = Brake horse power


Motor Rating = Hb / 0,75, Hp
Diameter engine sheave prime mover :
D = (N x R x dis) /RPM

4.2.4. Optimasi Sucker Rod Pump


Yang akan dibahas pada sub bab ini, adalah mengenai optimasi Sucker
Rod yang telah digunakan. Maksud optimasi pada sub bab ini adalah menganalisa
pengaruh dari harga kecepatan pemompaan (N) dan panjang langkah (S) terhadap
efisiensi volumetris dari pompa sucker rod. Secara keseluruhan, prosedur untuk
melakukan optimasi pompa sucker rod ini meliputi beberapa langkah, yakni :
a) Perhitungan perencanaan Sucker Rod Pump.
b) Perhitungan Inflow Performance Relationship (IPR).
c) Perhitungan Re-design Sucker Rod Pump berdasarkan stroke
maksimum pompa terpasang.

a). Prosedur Perencanaan Sucker Rod Pump


Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu dasar prosedur perhitungan
desain sucker rod. Langkah-langkah perhitungan yang dilakukan untuk
mengetahui effisiensi volumetris (% Ev) dari sucker rod pump dan perhitungan
terhadap beban pada sumur seperti yang terdapat pada sub bab sebelumnya.
b). Perhitungan Inflow Performance Relationship aktual.
Perhitungan kurva IPR sebenarnya sudah dibahas pada bab sebelumnya.
Sesuai dengan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa pembuatan
grafik IPR dengan menggunakan metoda-metoda perhitungan kinerja aliran fluida
dari formasi ke lubang sumur dapat dikelompokkan berdasarkan kriteria sebagai
berikut :
1. Jumlah fasa yang mengalir
2. Pengaruh skin
3. Pengaruh turbulensi
229

c). Prosedur Optimasi Pompa Sucker Rod.


Dengan memperhatikan ukuran pompa, kemudian dicari harga kecepatan
pemompaan (N) yang optimum berdasarkan panjang stroke (S) maksimum pompa
terpasang untuk mendapatkan laju (q) yang optimal.
Prosedur dalam melakukan desain ulang sucker rod pump berdasarkan
panjang langkah (S) maksimum pompa terpasang adalah sebagai berikut ;
1. Menghitung Ap (in2) , K, Wr (lb), dan Wf (lb).
-
Ap = 0.25π d2
-
Ar = 0.25π d2
-
K = 0.1484Ap
-
Wr untuk Tappered Rod String.
Wr = M1L1+M2L2+……+MnLn
Wr untuk Untappered Rod String
Wr = MxL
Berat kolom fluida (Wf)
Wf = 0.433 G L Ap
2. Menghitung konstanta “a”.
1  T 
a = Wf  (0.9  0.5063SF )Wr  SF . Atr 
Ap  4 
Menghitung konstanta “b”.
WrN  c
b = (1  0.5625SF  (1  0.5625SF ) 
56.400 K . Ap  p

Menghitung konstanta “c”.


Wr  c
c = 2 1  0.5625SF  (1  0.5625SF ) 
45120.K . Ap.S  p

3. Menentukan persamaan Pump Intake untuk N.


P = a + bv
Menentukan persamaan Pump Intake untuk S.
P = a +c v2

4. Berdasarkan persamaan yang diperoleh pada langkah (5), dihitung


untuk satu harga N, dengan mengasumsikan beberapa harga q sehingga
230

diperoleh harga P, kemudian diplot pasangan data (q,P) untuk satu


harga N pada grafik IPR sumur.
5. Berdasarkan persamaan yang diperoleh pada langkah (6), dihitung
untuk satu harga S, dengan mengasumsikan beberapa harga q sehingga
didapat harga P, kemudian diplot pasangan data (q,P) untuk satu harga
S pada grafik IPR sumur.
6. Dari kurva yang didapat akan menghasilkan perpotongan antara kurva
Pump Intake dengan kurva IPR, dimana untuk satu kurva Pump Intake
yang memotong kurva IPR akan mendapatkan pasangan data (N,q)
atau (S,q) sesuai dengan jenis kurva Pump Intake nya.
7. Memplot pasangan data (N,q) dan (S,q) menjadi kurva sehingga akan
didapatkan kurva hubungan (N vs q) dan (S vs q).
8. Dari kurva hubungan antara S, N dan q akan didapatkan laju produksi
dengan menggunakan sucker rod pump berdasarkan stroke maksimum
pompa terpasang.
9. Menghitung beban dengan diketahui stroke maksimum pompa
terpasang (S), laju produksi (q = “x”, bpd), N (N = “y”, spm) dan P
(P = “z”,psi, dari kurva IPR).
-
menghitung α1
SN 2  c
α1= 1  
70500  p
-
menghitung α2
SN 2  c
α2= 1  
70500  p
-
menghitung PPRL
PPRL =Wf+0.9Wr+Wr+α1.Wr– P.Ap

-
menghitung αmaks
PPRL
 maks 
Atr
-
menghitung MPRL
231

MPRL = Wr – 0.1 Wr – α2 Wr
=0.9Wr–α2 Wr
-
menghitung αmin
MPRL
 min 
Atr
Menghitung effisiensi volumetric yang baru dengan S = “stroke
maksimum pompa terpasang”, in. N = “y”, spm. Dan q = “x” bpd,
adalah :
-
menghitung α1
SN 2
 
70500
-
menghitung Plunger Overtravel (ep).
Untuk Untappered
40.8.L2 .
ep 
E
Untuk Tappered
46,5 L2
ep =
E
-
menghitung Perpanjangan Rod (er).
untuk jenis Untappered
5,20GDApL
er =
EAr
untuk jenis Tappered
5,20GDAp  L1 L 2 L3 
er =     .....
E  A1 A2 A3 
-
menghitung Pump Displacement (V).
V = K Sp N
-
menghitung effisiensi volumetric sumur yang baru (setelah di
redesign)
q
Ev  x100%
V
Dari prosedur perhitungan beberapa harga S dan N, yang kemudian diplot juga
dengan kurva IPR actual, maka akan didapatkan grafik seperti dibawah ini :
232

Gambar 4.26.
Perpotongan Kurva IPR dengan (N vs q) dan (S vs q)
Dari hasil perpotongan antara outflow dan inflow tersebut lalu diplot lagi
antara flow rate (q) terhadap panjang langkah (S) maupun kecepatan pemompaan
(N).
233

Gambar 4.27.
Perpotongan kurva hubungan (N vs q) dan (S vs q)
Dari grafik ini maka bisa ditentukan harga S dan N yang optimum.
4.3. Electric Submersible Pump
Electric Submersible Pump adalah pompa yang dimasukkan ke dalam
lubang sumur yang digunakan untuk memproduksi minyak secara artificial lift
(pengangkatan buatan) dan digerakkan oleh motor listrik. Peralatan pompa listrik
submersible terdiri dari pompa sentrifugal, protector dan motor listrik. Unit ini
ditenggelamkan di cairan, disambung dengan tubing dan motornya dihubungkan
dengan kabel ke permukaan yaitu switcboard dan transformator.
Pompa ESP terdiri dari pompa sentrifugal bertingkat banyak berputar
3,475 – 3,500 RPM, 60 Hz dengan motor listrik induksi sinkron kutub 3 fase,
berbentuk sangkar, instalasi ESP dapat dilihat pada Gambar 4.28. Pompa ESP
biasanya dipakai untuk laju produksi 200 – 2,500 STB/ day, walaupun dapat
digunakan untuk produksi sampai 95,000 STB/day. Pompa ESP umumnya
digunakan pada sumur miring di daerah lepas pantai. Didaratan hanya digunakan
untuk laju produksi tinggi yaitu di atas 2,000 STB/day, karena sucker rod pump
akan lebih ekonomis untuk sumur dengan laju produksi rendah.
234

Gambar 4.28.
Instalasi Electric Submersible Pump
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Prinsip Kerja ESP
Prinsip kerja ESP adalah berdasarkan pada prinsip kerja pompa sentrifugal
dengan sumbu putarnya tegak lurus. Pompa sentrifugal adalah motor hidrolik
yang dapat memompakan cairan, dengan jalan memutar cairan yang melalui
impeler pompa. Cairan masuk ke dalam impeler pompa menuju poros pompa,
dikumpulkan oleh diffuser dan kemudian akan dilempar keluar. Tenaga mekanis
motor oleh impeler dirubah menjadi tenaga hidrolik. Impeler terdiri dari dua
piringan yang di dalamnya terdapat sudu-sudu. Pada saat impeler diputar dengan
kecepatan sudut , cairan yang ditampung dalam rumah pompa kemudian
dialirkan melalui diffuser dan sebagian tenaga kinetik dirubah menjadi tenaga
potensial berupa tekanan, karena cairan dilempar keluar maka akan terjadi proses
penghisapan.
235

Gambar 4.29.
Skema Impeler dan Diffuser
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

4.3.1. Peralatan Electrical Submersible Pump


Peralatan pompa electical submersible pump dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu : peralatan di bawah permukaan dan peralatan di atas permukaan.
Peralatan-peralatan tersebut saling berhubungan dalam kelancaran electrical
submersible pump.
4.3.1.1. Peralatan Di Atas Permukaan Electrical Submersible Pump
a. Tubing Head
Kepala sumur harus dilengkapi dengan tubing head atau system pack-off.
Tubing head untuk pompa reda sedikit berbeda dengan tubing head biasa.
Perbedaannya terletak pada adanya kabel yang melalui tubing head tersebut.
Adapun fungsi dari tubing head ini adalah sebagai penyokong rangkaian tubing
tempat keluarnya kabel dan untuk menutup ruang antara casing dengan tubing.
b. Junction Box
Diperlukan sebagai tempat menghubungkan kabel dari berbagai sumur
dari switchboard. Kabel tersebut perlu dipisahkan untuk memberi kesempatan gas
dalam kabel keluar terlepas ke atmosfer. Junction box terletak antara well head
dan switchboard.
c. Switchboard
Merupakan panel kontrol yang dilengkapi dengan push button (on/off)
untuk over atau under load protection, fuse, ammater recording, lampu signal,
intermitting timer dan remote control. Switchboard berfungsi sebagai pengontrol
kerja pompa (mengontrol operasi arus listrik yang dibutuhkan oleh motor).
236

Fungsi peralatan yang ada pada switchboard adalah :


- Start/stop panel, yang berfungsi untuk menghidupkan atau mematikan
motor.
- Breaker, sebagai pemutus aliran listrik saat dilakukan reparasi pompa.
- Sekering, merupakan pengaman jika terjadi hubungan singkat pada arus
listrik atau terjadi over voltage.
- Recording ammater, sebagai pencatat besarnya arus yang digunakan motor.

d. Transformer
Berfungsi sebagai perubah tegangan primer yang tinggi menjadi tegangan
sekunder yang rendah sesuai yang dibutuhkan motor. Adanya tegangan tinggi
yang masuk ke motor akan merusak pompa. Sehingga diperlukan transformer
untuk menyesuaikan tegangan tersebut.
4.3.1.2. Peralatan Di Bawah Permukaan Electrical Submersible Pump
a. Motor listrik
Motor listrik yang digunakan adalah motor induk tiga fase, dua katup,
squirrel cage. Fungsi dari motor ini adalah untuk menggerakkan shaft pompa
sehingga impeller-impeller-nya berputar. Putaran motor listrik umumnya
dirancang dengan kecepatan 3500 putaran per menit (RPM), dengan frekwuensi
60 Hz. Motor diisi dengan minyak yang tahan terhadap tegangan listrik yang
tinggi. Motor didesain untuk tegangan yang dapat dipakai antara 230 sampai 5000
volt, dengan satuan listrik 12 sampai 125 Ampere. Penambahan daya HP dari
motor dilakukan dengan merangkai panjang motornya.
Rangkaian motor ESP (bertingkat) dapat mencapai 750 HP dengan
panjang sekitar 90 ft. selain ukuran motor, yang perlu diperhatikan adalah horse
power dan seri motor. Jenis seri menunjukkan diameter motor yang harus sesuai
dengan diameter dalam casing sumur.
237

Gambar 4.30.
Motor Pompa ESP
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

b. Kabel
Kabel dipakai sebagai sarana penghantar daya listrik dari permukaan ke
motor yang letaknya di dalam sumur. Kabel selain tahan temperatur dan tekanan
238

fluida, serta kedap terhadap resapan liquid dari sumur. Untuk itu kabel harus
memiliki bagian seperti :
- Konduktor
- Isolasi
- Sarung
Ada dua jenis kabel yang biasa dipakai round cable atau flat cable. Jenis –
jenis kabel dapat dilihat pada Gambar 4.31. Biasanya kabel jenis round
mempunyai usia pakai lebih lama dari pada jenis flat, tetapi memerlukan ruang
penempatan yang lebih besar. Bila digunakan flat kabel seluruhnya maka
kehilangan tenaga listrik akan bertambah 8 %. Juga flat kabel mudah rusak dalam
pemasangannya.
Kabel listrik terdiri dari tiga kabel yang diisolir satu sama lain dengan
pembalut dari karpet. Ketiganya terbungkus oleh suatu pelindung yang terbuat
dari baja penampang kawat tembaga berubah-ubah fungsi tegangan arus dari
motor dan biasanya dipilih antara 16,25 aau 35 mm 2. Hubungan antara tubing dan
kabel dilakukan dengan pertolongan kabel clamp.

Gambar 4.31.
Kabel
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
c. Seal Section (Protector)
Protector diletakkan di antara motor dan pompa. Fungsinya :
239

 Tempat menyimpan bahan pelumas untuk pompa.


 Tempat menyimpan minyak untuk pompa.
 Menjaga tekanan dalam pompa dan motor agar selalu lebih besar dari
tekanan luar pompa.
 Mencegah masuknya cairan ke dalam motor.
Protector terdiri dari dua kamar yaitu kamar atas dan kamar bawah.
Keduanya dipisahkan oleh piston. Tekanan hidrostatis cairan dalam pompa sumur
masuk ke dalam protector melalui orifice dan bekerja pada piston. Karena
tegangan di dalam kamar atas, tekanan dijaga agar lebih besar tekanan di luar
pompa. Di dalam kamar atas dimasukkan minyak pelumas pompa, sedangkan di
dalam kamar bawah permukaan dimasukkan minyak motor.

Gambar 4.32.
240

Seal Section atau Protector


(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

d. Intake Section (Separator Gas)


Gas separator dipasang antara bagian protector dan pompa. Gas yang akan
dipisahkan dari cairannya dibuang ke annulus. Pada prinsipnya bekerja secara
gravitasi atau sentrifugal, dimana jika terjadi putaran, maka gas akan mengalir di
tengah dan dikirim ke annulus. Sedangkan minyak akan terlempar ke pinggir oleh
gaya sentrifugal dan dialirkan ke inlet pompa.
Pada sumur-sumur yang tidak banyak mengandung gas, cukup
menggunakan pump intake saja. Tetapi pada sumur-sumur GOR tinggi, gas
separator dapat disambungkan pada pompa guna memberikan effisiensi pompa.
Dalam hal ini gas separator berfungsi antara lain :
 Mencegah penurunan head capacity yang dihasilkan pompa
 Mencegah terjadinya fluktuasi beban pada motor
 Mengurangi surging pressure.

Gambar 4.33.
Gas Separator atau Intake Section
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
241

e. Pompa Sentrifugal
Pompa submersible adalah tipe pompa centrifugal multi tingkat. Setiap
tingkat terdiri dari bagian yang bergerak yaitu impeller dan bagian yang stasioner
(tidak bergerak) yaitu diffuser. Tipe dan ukuran dari tiap tingkat menentukan
volume dari fluida yang dapat diproduksi. Jumlah tingkatnya menentukan jumlah
head yang dihasilkan, apabila dikalikan dengan daya (HP) pert ingkat dan spesiic
gravity-nya, maka jumlah HP motor yang dibutuhkan dapat ditentukan.
Pompa tandem adalah beberapa single pump (pompa tunggal) yang
disusun seri baik secara hydraulic untuk memberikan total head dari pompa yang
dibutuhkan untuk keperluan tertentu. Komponen ini, seperti halnya poros pompa
dibuat khusus yang tahan korosi, scale, temperatur tinggi, pasir dan jumlah
tingakat yang digunakan untuk ukuran tertentu tergantung pada head
pengangkatan.
f. Motor Lead Cable
Motor lead cable disebut juga motor lead extension dan berbentuk flat
(pipih). Panjangnya dibuat sepanjang pothead pada motor sampai dengan bagian
atas dari pompanya, yang kemudian disambungkan dengan power kabelnya.
Seal section, gas separator dan pompa dengan flat cable ini dimasukkan
agar total diameter luar rangkaian pompa dan motor lead cable tidak terlalu besar
untuk dimasukkan sumur, terutama pada sumur yang menggunakan liner yang
ukurannya lebih besar dari diameter casing. Motor lead cable diberi pelindung
(cable guards) untuk mencagah kerusakan pada waktu dimasukkan ke dalam
sumur.

4.3.2. Analisa Peralatan Electrical Submersible Pump


Komponen-komponen peralatan electrical submersible pump merupakan
suatu gabungan yang komplek dan menyatu, dengan kata lain saling tergantung
satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu penting dilakukannya analisa peralatan
pompa untuk menjaga effisiensi pompa mengangkat fluida naik ke permukaan.
4.3.2.1. Pemilihan Jenis dan Ukuran Pompa
242

Tipe pompa diklasifikasikan atas : cycle power supply, ukuran casing


minimum dan laju produksi yang dianjurkan. Pemilihan tipe pompa harus
didasarkan pada besar laju produksi yang diharapkan, pada head pengangkatan
yang sesuai. Ukuran casing juga diperhitungkan di dalam pompa, sehingga
diusahakan seekonomis mungkin, yaitu dengan memilih seri yang tertinggi dan
mempunyai diameter terbesar selama ukuran casing memungkinkan.
Dalam memilih tipe pompa yang akan dipergunakan, pertimbangkan laju
produksi tersebut, yaitu dalam range optimum (yang direkomendasikan), sehingga
dicapai effisiensi yang tinggi. Jika dari hasil pemilihan pompa berdasarkan
kapasitas dan ukuran casing terdapat dua tipe yang memenuhi syarat, maka
pertimbangan lainnya untuk memilih adalah :
- Besarnya horsepower yang dibutuhkan dipilih terkecil.
- Perbedaan harga tipe-tipe pompa tersebut, dipilih yang termurah.
4.3.2.2. Penentuan Jumlah Tingkat Pompa
Stage pompa ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :
TDH
N = GfH …………………………………………………………...(4-96)

Keterangan :
N = jumlah tingkat, stage
Gf = gradien fluida, psi/ft
H = head, ft/stage
4.3.2.3. Pemilihan Motor
Pemilihan ukuran motor yang dibutuhkan berdasarkan pada :
- Tegangan listrik yang tersedia
- Ukuran casing sumur
- Besarnya horse power yang dibutuhkan
Ukuran motor juga dibatasi oleh ukuran minimum casing yang dipakai
seperti halnya pompa. Untuk seri motor yang dipilih disesuaikan dengan seri
pompa yang telah dipilih. Besarnya horse power motor dihitung dengan
persamaan :
HP = SGxNxhp…………………………………………….………………(4-97)
243

Keterangan :
SG = Spesific gravity fluida
Hp = Horse power motor untuk tiap stage, HP/stage
Apabila besarnya hp yang dibutuhkan motor dari hasil perhitungan tidak
sama dengan hp yang tersedia maka dipilih motor yang dimiliki hp yang lebih
besar dan yang paling mendekati.

4.3.2.4. Pemilihan Kabel Listrik


Untuk pemilihan kabel listrik ditentukan oleh besarnya arus listrik yang
mengalir, penurunan voltage serta clearance antara tubing dan colar dengan
casing. Dianjurkan memilih kabel yang mempunyai penurunan voltage di bawah
atau sekitar 30 volt/1000 ft. Panjang kabel ditentukan berdasarkan kedalaman
setting depth pump ditambah 100 ft untuk keperluan di permukaan.
4.3.2.5. Pemilihan Ukuran Transformer dan Switchboard
Di dalam menentukan switchboard yang akan dipakai perlu diketahui
terlebih dahulu berapa besarnya voltage yang akan bekerja pada switchboard
tersebut. Besarnya tegangan yang bekerja pada switchboard dapat dihitung dari
persamaan berikut :
Vs = Vm + Vc……………………………………………..………..(4-98)
Vc = (L/100) x Voltage Drop………………….……………………(4-99)
Keterangan :
Vs = Surface voltage, volt
Vm= Motor voltage, volt
Vc = Correction voltage, volt
L = Panjang kabel, ft
Voltage Drop = Kehilangan voltage, volt/1000 ft
Untuk menentukan besarnya tegangan transformer yang diperlukan dihitung
dengan persamaan berikut :
244

Vsx Im x1.73
T = ……………………...…………………………….(4-
1000
100)
Keterangan :
T = Ukuran transformer, KVA
Vs = Surface Voltage, volt
Im = Ampere motor, ampere

4.3.3. Perencanaan Electical Submersible Pump


Merencanakan suatu pemilihan unit ESP untuk suatu sumur adalah
merupakan hal yang sangat penting karena akan menentukan efisinensi pompa
terhadap laju alir fluida. Sebelum memilih jenis ESP yang akan dipasang untuk
suatu sumur terlebih dahulu harus kita tentukan kemampuan produksi dari sumur
tersebut dengan test produksi. Sesudah itu barulah kita dapat melakukan
perhitungan-perhitungan yang cukup panjang untuk menentukan jenis pompa
yang cocok dipasang pada sumur tesebut. Dalam perhitungan perencanaan ESP ini
perlu ditunjang adanya data-data lengkap dan akurat agar pemilihan pompanya
bisa efisien dan ekonomis. Berikut ini adalah urutan data-data yang diperlukan
untuk perencanaan ESP.
Metode yang digunakan adalah metode analitis dengan bantuan gambar
dan table sesuai merek dagang terpilih. Persyaratan perencanaan ini berlaku untuk
lubang sumur tegak (vertikal).
Langkah kerja :
1. Data yang diperlukan (data sumur, reservoir, dan fluida). Unit ESP dibuat
dengan bermacam-macam ukuran diameter housing-nya (OD). Ukuran casing
pada umumnya dinyatakan dari diameter luarnya (OD) sedangkan berat casing
akan bisa menentukan diameter dalamnya (ID) yang merupakan tempat untuk
dilewati rangkaian ESP. jadi dengan mengetahui ID casing akan bisa
menentukan serie (OD) ESP yang akan dipasang.
2. Hitung berat jenis rata-rata dan gradien tekanan fluida produksi menurut :
1xSG min yak  WORxSGair
SGrata-rata = …………………….…..……(4-101)
1  WOR
245

Gradien fluida (GF) = 0,433 x SG rata-rata


Bila mengandung gas kurangi GF sekitar 10%
3. Tentukan kedudukan pompa (HPIP) kurang lebih 100 ft di atas lubang
perforasi teratas. Jarak antara motor dan lubang perforasi teratas (HS) kurang
lebih 50 ft. Hal ini dilakukan untuk mencegah abrasi pada peralatan pompa.
4. Tentukan laju produksi diinginkan dengan cara memilih kemudian mencoba
harga Pwf untuk menghitung harga laju total menurut persamaan :
QTotal = (Ps-Pwf) x PI………………………………..…………………(4-102)
Hitung laju yang diinginkan (Qo) menurut persamaan :
1
Qo = xQtot …………………………………..……….……....(4-
1  WOR
103)
Apabila harga tersebut belum sesuai, ulangi memilih harga Pwf dengan coba-
coba.
5. Hitung Pump Intake Pressure (PIP) menurut persamaan :
PIP = Pwf – GF x (HS – HPIP)………………………….……………(4–104)
Harga PIP harus lebih besar dari BPP (tekanan jenuh), bila tidak terpenuhi
ulangi langkah 4 dan 5 dengan laju produksi yang lebih rendah.
6. Hitung harga Zf1 menurut persamaan :
Pwf
Zf1 = HS - Gf

7. Tentukan kehilangan tekanan sepanjang tubing (Hf) dengan menggunakan


Gambar 4.34.
8. Hitung Total Dynamik Head (TDH) menurut persamaan :
THP
TDH = Gf + Zf1 +H………………………….……………………..(4-105)

9. Pilih jenis dan ukuran dari katalog perusahaan pompa bersangkutan dan
gambar yang menunjukkan effisiensi maksimum untuk laju produksi yang
diperoleh di langkah 4. baca harga head capacity (HC) dan daya kuda motor
(HP motor) pada laju produksi tersebut.
10. Hitung jumlah stages atau tingkat
246

TDH
Jumlah stages = ……………………………………....………….(4-
HC
106)
11. Hitung daya kuda yang diperlukan :
HP = HP motor x jumlah stages………………………..……………….(4-107)
12. Tentukan jenis motor pada tabel yang memenuhi HP tersebut.(pada Gambar 4-
35).
13. Untuk masing-masing jenis motor hitung kecepatan aliran di annulus motor

0.0119 xQtotal
(FV) :FV =
( IDca sin g ) 2  (ODmotor ) 2

Jenis motor dan OD motor terkecil yang memberikan PV > 1 ft/dtk adalah
pasangan yang harus dipilih.
14. Baca harga arus listrik (A) dan tegangan listrik (Vmotor) yang dibutuhkan
untuk jenis motor yang bersangkutan.
15. Dari harga arus listrik tersebut pilih jenis kabel pada gambar (dianjurkan
memilih jenis kabel yang mempunyai kehilangan tegangan di bawah atau
sekitar 30 volt tiap 1000 ft.
V kabel = (HS- 50) x V/ 1000 ft……………………..………………(4-108)
16. Memilih transformator dan switchboard
a. Hitung tegangan yang diperlukan motor dan kabel
(Vtotal) = V motor + V kabel
b. Hitung KVA = 1,37 x Vtot xA/1000
c. Dari tabel tentukan transformator yang memenuhi hasil perhitungan 16 b
karena aliran 3 fasa maka transformator yang dipilih adalah sepertiga dari
hasil hitungan 16.b.
d. Dari tabel tentukan switcboard yang sesuai
17. Lakukan perhitungan total tegangan pada waktu start sebagai berikut :
a. Kebutuhan tegangan untuk start = 20,35 x voltage rating
b. Kehilangan tegangan selama start = 3 x kehilangan tegangan biasa
247

18. Bandingkan apakah total tegangan pada waktu start tidak melebihi tegangan
yang dikeluarkan oleh switcboard. Apabila tidak melebihi, berarti perencanaan
telah betul, apabila melebihi ulangi langkah 16.
248

Gambar 4.34.
Chart Kehilangan Tekanan Dalam Pipa
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Tabel IV-8.
Jenis Motor ESP
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
249
250

Gambar 4.36.
Chart Kehilangan Tegangan
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

4.3.4. Optimasi Electical Submersible Pump


Optimasi Electric Submergible Pump (ESP) dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui perbandingan antara produktivitas formasi dengan kapasitas
pompa yang terpasang. Sebelumnya perlu diketahui terlebih dulu prosedur untuk
mengetahui effisiensi volumetris dari ESP terpasang pada suatu sumur, yakni
sebagai berikut :
a. Penentuan Specific Gravity Fluida
1. Spec. Gravity Campuran (G) :WCx Gair + (1-WC) x Gminyak
2. Gradien Fluida (Gf) : G x 0.433 psi / ft
b. Penentuan Pump Intake Pressure (PIP)
1. Perbedaan Kedalaman dari middle perforation sampai pada
PSD (TVD) = Mid Perforasi – Pump Setting Depth (TVD)
2. Perbedaan Tekanan = Perbedaan kedalaman x Gf
3. Pump Intake Pressure = Pwf – Perbedaan Tekanan .
c. Kedalaman Total Dynamic Head (TDH)
1. Menentukan Fluid Over Pump (FOP)
PIPx 2.31 ft / psi
FOP 
G
2. Menentukan Vertical Lift (HD)
Vertical Lift (HD) = Pump Setting Depth (TVD) – FOP
3. Menentukan Tubing Friction Loss (Hf)
Dalam menentukan besarnya harga Friction Loss (F) dapat
digunakan Grafik Friction Loss seperti yang ditunjukkan pada
gambar. 4.37. atau dapat juga menggunakan persamaan
berikut;
251

1.85 1.85
 100   Qt 
2.083   
Friction Loss (F) =  C   34.3 
ID 4.8655
Kemudian menghitung Tubing Friction Loss (Hf).
Tubing Friction Loss (Hf) = F x PSD (MD)
4. Menentukan Tubing Head (HT)
Tubing Pr essurex 2.31 ft / psi
Tubing Head (HT) =
G
5. Menentukan Total Dynamic Head (TDH)
Total Dynamic Head (TDH) = HD + HF + HT
d. Penentuan Effisiensi Volumetris (% Ev)
1. Menentukan Head per Stage, (ft/stage) dengan persamaan ;
TDH
Head per Stage, (ft/stage) = Stages

2. Berdasarkan Head per Stage tersebut kemudian dari Grafik


Pump Performance Curve seperti yang ditunjukkan pada
Gambar. 4.38. dan 4.39. untuk tipe pompa terpasang diperoleh
harga produksi (Qtheoritical) dalam Bpd.

3. Menentukan Effisiensi Volumetris (% Ev)


Qactual
% Ev = x100%
Qtheoritical
252

Gambar. 4.37.
Grafik Friction Loss William-Hazen
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Gambar. 4.38.
Recommended Operating Range Pump Performance Curve untuk A-30 50Hz
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Perencanaan Optimasi Electical Submersible Pump


Optimasi dilakukan dengan pengaturan dan penyesuaian kembali tipe
pompa, jumlah stage, motor dan lain-lain berdasarkan data produksi yang
diinginkan sesuai dengan produkitivitas formasi dalam status periode tertentu,
sehingga diperoleh laju produksi (QL) yang optimum. Dasar perencanaan optimasi
suatu unit pompa electical submersible pump dibagi menjadi tiga metode. Pertama
253

dilakukan perencanaan ulang terhadap electical submersible pump untuk, Pump


Setting Depth (PSD) berubah dengan Tipe dan Stage Pompa tetap. Yang kedua,
dengan PSD tetap namun Tipe dan Stage Pompa berubah dan yang ketiga baik
Pump Setting Depth, Tipe dan Stage pompa berubah semuanya.
a. Pump Setting Depth Berubah
dengan Tipe dan Stage Pompa Tetap
Optimasi Pump Setting Depth (PSD) dilakukan dengan mengubah
kedalaman tersebut dari PSD minimum sampai dengan PSD maksimum, dimana
pada evaluasi tersebut menggunakan tipe dan stage yang telah terpasang.
Prosedur penentuan laju produksi (QL) optimum pada berbagai variasi
PSD dengan tipe dan stage pompa tetap :
1. Menentukan PSD minimum dan PSD maksimum dengan
menggunakan Persamaan
Pc
PSDmin = WFL  Gf

Pc
PSDmaks = Dmidperforasi  Gf

2. Menentukan PSD observasi (PSDmin < PSDobs < PSDmax)


3. Menentukan Pwf berdasarkan Q assumsi dan menentukan Total
Dynamic Head pada setiap kedalaman dan Q assumsi.
4. Membaca harga Head Capacity dan Pump Performance Curve
berdasarkan harga laju produksi assumsi dan menghitung Head.
5. Mengulangi langkah (2) sampai (5) untuk harga PSD untuk masing-
masing assumsi.
Berdasarkan langkah-langkah di atas, maka dapat mengubah kedalaman
pompa sumur. Dari hasil perhitungan, didapatkan hasil yang jika ditunjukkan
dengan grafik adalah sebagai berikut.
254

Gambar 4.39.
Grafik Hasil Perencanaan PSD Berubah dengan Tipe dan Stage Tetap.

b. Pump Setting Depth Tetap dengan


Tipe dan Stage Pompa Berubah
Merupakan optimasi dengan mengubah-ubah tipe dan jumlah tingkat
(stage) pompa pada Pump Setting Depth tetap. Pemilihan pompa dibatasi oleh
pemilihan Casing (Check Clearances) dan laju produksi yang diinginkan dimana
laju tersebut seharusnya masih berada dalam kapasitas laju produksi yang
direkomendasikan. Untuk meningkatkan effisiensi pengangkatan, dilakukan
evaluasi jumlah tingkat pompa.
Prosedur untuk membuat kurva intake yang digunakan untuk mendapatkan
jumlah tingkat (stage) pompa yang paling tepat, yaitu :
1. Memilih pompa yang sesuai dengan ukuran casing
dan laju produksi yang diinginkan.
2. Menghitung ρfsc dan γfsc

ρfsc = 350WC x γwsc + 350 (1-WC) γosc

γfsc = (ρfsc/350)
3. Mengasumsikan laju produksi bervariasi,
kemudian menentukan head/stage dari Pump Performance Curve
dan menghitung tekanan intake pompa (P3), setelah mengetahui
harga tekanan discharge Pompa (P2) masing-masing maka
dilakukan perhitungan laju produksi.
4. Memplot laju produksi terhadap tekanan intake
dari tiap stage asumsi pada kurva IPR.
255

5. Membaca laju produksi sebagai hasil perpotongan


dari kurva IPR dan tekanan Intake.
Plot grafik IPR yang telah dibuat, diplot dengan tekanan intake untuk
masing-masing stage asumsi menunjukkan bahwa, dengan semakin banyak
tingkatan (stage) pompa yang dipakai akan semakin besar pula kemampuan untuk
mengangkat fluida. Seperti yang ditunjukkan Gambar 4.41.

Gambar 4.40.
TIP pada Tubing 2.441 inches Kurva IPR Pudjo Sukarno
256

Gambar 4.41.
Grafik Hasil Perencanaan PSD Tetap denganTipe dan Stage Pompa Berubah

c. Pump Setting Depth Berubah dengan Tipe dan Stage Pompa Berubah
Dalam perencanaan electical submersible pump (ESP) untuk PSD berubah
dengan Tipe dan Stage pompa juga berubah, langkah perhitungannya sama seperti
perhitungan pada dua bab sebelumnya. Langkah-langkahnya adalah sebagai
berikut :
1. Mengasumsikan PSDobs yang berada dalam range
PSDmin dan PSDmaks.
2. Memilih tipe pompa yang sesuai dengan
produktivitas formasinya dengan langkah perhitungan yang sama
seperti pada bab sebelumnya.
3. Menentukan Total Dynamic Head (TDH) dan Head
Pompa pada PSDobs dengan mengasumsikan beberapa harga laju
produksi dan jumlah stages (SPS stok).
4. Mengulangi langkah 1 sampai 3 untuk PSD asumsi
lainnya.
5. Memilih pompa PSD pada asumsi yang
menghasilkan laju produksi yang berada dalam batas (range) pompa
yang direkomendasikan dan sesuai dengan produktivitas formasi.
Secara keseluruhan prosedur perhitungan optimasi dengan merubah PSD
sekaligus tipe dan stage pompa, merupakan kombinasi antara perencanaan PSD
tetap, tipe dan stage pompa berubah dengan PSD berubah, tipe dan stage tetap.
Seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.42 maka harga laju produksi yang
memberikan harga lebih besar dengan PSD yang semakin dalam, dan
menggunakan stage pompa yang semakin besar.
257

Gambar. 4.42.
Grafik Hasil Perencanaan Evaluasi ESP dengan PSD Berubah Tipe dan
Stage Pompa Berubah.
4.4. Progressive Cavity Pump (PCP)
Progressive Cavity Pump (PCP) merupakan salah satu jenis pompa putar
(rotary pump) yang terdiri dari rotor berbentuk ulir yang digerakkan oleh
penggerak melalui rod dan drive head, serta berputar didalam stator yang
merupakan bagian diam dari pompa yang dihubungkan kepermukaan oleh tubing.
Prime mover umumnya menggunakan motor listrik yang dipasang dipermukaan
didekat wellhead yang dihubungkan dengan perantara v-belt drive ke drive
assembly-nya. Stator pompa biasanya dihubungkan dengan tubing produksi
dipermukaan (pada tubular PCP) dan stator pompa dimasukkan dalam tubing
(pada insertabel PCP).
PCP terdiri dari dua komponen utama, yaitu stator yang diam berbentuk
pipa selubung yang bagian dalamnya terbuat dari bahan elastomer yang berbentuk
“double threaded helical” dan rotor yang bergerak secara rotary dan dalam
keadaan normal akan memompa fluida dan mendorongnya kepermukaan secara
positif (positive displacement pump). Arti positif disini adalah bahwa fluida yang
telah masuk kedalam pompa seluruhnya akan didorong kepermukaan tanpa
adanya fluida yang mengalir balik seperti yang terjadi pada pompa ESP. Dalam
keadaan normal clearance antara rotor dan stator yang membentuk cavities tidak
terbuka (ada celah) sehingga fluida yang mengisi cavities akan didorong
258

kepermukaan dengan cara pemindahan cavities yang terbentuk secara terus-


menerus sesuai dengan prinsip PCP sendiri.
Bila tekanan absolut dari cairan pada suatu titik didalam pompa berada
dibawah tekanan gelembung pada temperatur cairan, maka gas yang semula
terlarut didalam cairan akan terbebaskan. Gelembung-gelembung gas ini akan
mempunyai tekanan lebih tinggi, dimana gelembung akan mengecil lagi secara
tiba-tiba yang mengakibatkan shock yang besar pada dinding didekatnya.
Fenomena ini disebut cavitasi (cavitation). Kejadian ini berhubungan dengan
kondisi pengisapan. Bila kondisi berada diatas tekanan gelembung, maka kavitasi
tidak akan terjadi. Pada PCP ini justru sistem kerjanya membuat kavitasi,
sehingga pengaruh tekanan gelembung dapat diabaikan, tetapi pengesetan pompa
tetap perlu diperhitungkan.

Gambar 4.43.
Progressing Cavity Pump
259

(SPE 110479., ”World’s First Metal PCP SAGD Field Test Shows Promising
Artificia-Lift Technology for Heavy-Oil Hot Production: Joslyn Field Case”,
2007)
Prinsip Kerja Progressive Cavity Pump
Pada PCP prinsip yang bekerja yaitu proses pemindahan rongga-rongga
yang terbentuk antara rotor dan stator yang berlangsung secara terus-menerus
dimana motor yang berputar dalam stator. Pada waktu rotor berputar secara
eksentris di dalam stator serangkaian rongga-rongga (cavities) yang terpisah 180o
satu sama lain bergerak maju dari sisi sebelah bawah naik menuju sisi pompa
sebelah atas. Pada saat rongga yang satu mengecil, rongga yang bersebelahan
akan membesar dengan kecepatan yang sama sehingga terjadi aliran fluida tanpa
kejutan-kejutan, karena tidak ada katup (valve) seperti pada pompa sucker rod
sehingga tidak ada gas yang terperangkap (gas lock) yang dapat mengurangi
efisiensi pompa dan aliran yang ada berlangsung secara kontinyu dengan
kecepatan rendah yang konstan (low velocity non-pulsating positive
displacement). Pompa jenis ini mampu menahan tekanan tersekat masing-masing
rongga satu sama lain oleh suatu seal yang terbentuk seperti garis (seal line)
antara rotor dan stator atau tepatnya pada bagian elastomernya.
Elastomer merupakan bagian dari stator berbentuk karet yang sangat
penting perannya dalam pertimbangan penggunaan pompa PCP ini. Elastomer
reaktif terhadap fluida produksi (minyak) dan mefmbentuk clearance antara rotor
dan stator.

Gambar 4.44.
Prinsip Kerja PCP
260

(SPE 110479., ”World’s First Metal PCP SAGD Field Test Shows Promising
Artificia-Lift Technology for Heavy-Oil Hot Production: Joslyn Field Case”,
2007)
Beberapa kelebihan PCP antara lain :
− Mampu memproduksikan fluida yang viskositasnya tinggi (>5000 cp)
− Mampu memproduksikan fluida yang banyak mengandung padatan/pasir
tetapi tahan tehadap abrasi
− Toleran terhadap adanya kandungan gas bebas
− Tidak punya katup balik (bagian yang bergerak dimana dapat menyebabkan
macet/aus)
− Harganya relatif murah dan rendah pemakaian energi listriknya
− Rendah internal shear rate-nya (kecil kemungkinan terjadi emulsi akibat
agitasi)
− Sederhana instalasinya dan operasinya, tidak menimbulkan suara tubing
− Mudah perawatan dan pemeliharannya
− Tidak memerlukan cabut tubing (work over) saat mengganti pompa pada
insertable PCP

Beberapa batasan dan kesulitan dalam pengoperasian PCP :


− Batas laju produksi maksimum 3150 bbl/day atau 500 m3/day
− Kedalaman maksimum 6550 ft atau 2000 m
− Temperatur maksimum 200o F
− Efisiensi akan berkurang jika sumur produksi banyak mengandung gas
− Pada rod string tidak terdapat tempat untuk mengatasi problem parafin
− Pump stator akan cenderung rusak jika tidak ada fluida yang dipompakan
− Masih memerlukan cabut tubing (work over) saat mengganti pompa pada
tubular PCP
− Untuk kecepatan tinggi dapat menimbulkan getaran pada rod string, maka
diperlukan tubing anchor dan stabilizer.
261

4.4.1. Type-Type Progressive Cavity Pump


4.4.1.1. Tubular Progressive Cavity Pump
Jenis tubular PCP ini terdiri dari beberapa jenis yang kesemuanya itu
tergantung dari kebutuhan yang diperlukan, karena penggunaan PCP ini haruslah
disesuaikan dengan kapasitas produksi pompa yang digunakan dengan
kemampuan dari reservoir itu sendiri untuk mensuplai fluida produksi dari
reservoir ke lubang sumur. Laju produksi yang dihasilkan oleh PCP jenis ini lebih
besar dibandingkan dengan jenis Insertable PCP. Penggunaan turbular PCP ini
biasanya lebih banyak pada sumur onshore dikarenakan saat pemasangannya
diperlukan penyambungan antara tubing dengan stator yang sudah tentu lebih
mudah dilakukan di onshore.
4.4.1.2. Insertable Progressive Cavity Pump
Jenis Insertable PCP ini juga terdiri dari beberapa jenis yang kesemuanya
juga tergantung dari kebutuhan yang diperlukan. Laju produksi yang dihasilkan
oleh PCP jenis ini lebih kecil dibandingkan jenis tubular PCP dikarenakan saat
pemasangannya, stator dan rotor dimasukkan langsung kedalam tubing yang
otomatis akan memperkecil volume fluida yang di produksikan. Penggunaan
insertable PCP ini mempunyai kelebihan yaitu lebih mudah untuk memasangnya
tanpa harus disambung dengan tubing. Oleh karena itu PCP jenis ini cenderung
banyak digunakan pada sumur di offshore.

4.4.2. Peralatan Progressive Cavity Pump


Secara umum peralatan Progressive Cavity Pump (PCP) dibagi menjadi
dua bagian, peralatan bawah permukaan dan peralatan atas permukaan. Peralatan-
peralatan tersebut saling berhubungan dalam kelancaran progressive cavity pump.
4.4.2.1. Peralatan Atas Permukaan Progressive Cavity Pump
Peralatan diatas permukaan berfungsi sebagai penggerak peralatan bawah
permukaan, dimana pergerakannya berupa putaran (rotary system). Peralatan atas
permukaan progressing cavity pump terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut :
1. Prime Mover
262

Penggerak pompa utama pada umumnya digunakan motor listrik yang


dipasang dipermukaan dekat well head. Kekuatan dari motor listrik disesuaikan
dengan kebutuhan daya untuk pengangkatan fluida dari dalam sumur. Jenis motor
ini dapat digunakan electric motor, gas engine, gasoline engine atau diesel engine
tergantung kondisi lapangan dan sumber tenaga yang ada.
Pemasangan kedalaman pompa (Pump Setting Depth) merupakan fakor
yang menentukan pada daya listrik (motor voltage) yang nantinya berpengaruh
terhadap besarnya putaran motor (RPM), karena semakin dalam semakin besar
pula RPM yang dibutuhkan.
2. Well Head
Well head adalah bagian utama sumur yang berguna untuk mematikan dan
menghidupkan produksi / aliran dari sumur. Well head dilengkapi dengan :
- Tubing Head Adapter
- Tubing Head dan Tubing Hanger
- Blow Out Preventer

3. V-belt System
V-belt adalah tali kipas yang menghubungkan roda dari prime mover
(Prime Mover Sheave) dengan roda dari drive (Drive Sheave), dimana tali kipas
ini tidak boleh teralu kencang dan tidak boleh terlalu kendur untuk mencapai
putaran yang optimal.
4. Drive Head Assembly
Adalah rangkaian peralatan yang meneruskan tenaga dari prime mover
dengan V-belt untuk memutar rod dan pompa ulir. Letaknya diatas well head yang
dilengkapi dengan well head frame untuk disambungkan ke well head, terdiri dari
komponen-komponen sebagai berikut :
A. Backstop Break Assembly
Alat ini disebut juga “Roller-Ramp Overruning Clutch” yang berfungsi
sebagai alat pengaman bagi seluruh peralatan progressing cavity pump. Break
akan bekerja pada waktu drive shaft berusaha akan berputar balik atau
berputar berlawanan arah dengan jarum jam. Hal ini dapat terjadi apabila
263

mesin penggeraknya stall (macet atau mati). Bila mesin penggerak berhenti
pada saat keadaan normal, fluida dalam tubing akan turun melalui elemen
pompa. Ketika itu terjadi, rotor pompa dan rod-string akan berputar balik.
Torqeu (gaya puntir) dibangkitkan oleh motor listrik dan dipindahkan ke
rod-string dan kekuatan dari mesin penggeraknya. Bila mesin penggeraknya
berhenti, rod-string akan berusaha berputar balik untuk menghilangkan
torque-nya. Pada waktu rod-string bergerak balik ini, perbedaan ukuran dari
roda gigi penurunan putaran berubah menjadi mempercepat dan memindahkan
kecepatan putaran pada sheave yang bekerja secara potensial dan
membahayakan. Tugas dari backstop break adalah untuk mencegah rod-string
dan komponen lainnya berputar balik, dengan demikian torque yang tersimpan
dapat direndam secara terkendali. Prinsip kerja backstop break assembly
adalah terdiri dari roller-ramp overruning clutch yang dipasakkan kepada
drive shaft dan dikelilingi oleh break and assy (sabuk rem) yang seluruh
bagian yang bekerja ditempatkan pada housing dan diberi penutup.
Overruning clutch menggunakan roller ramp yang dirancang dapat
bergerak bebas pada arah putaran satu dan bekerja pada arah sebaliknya. Pada
waktu bekerja normal dimana drive shaft-nya berputar searah jarum jam, alat
ini tidak bekerja dan roller-roller akan mengembang dan bergulir bebas. Akan
tetapi bila drive shaft berusaha untuk berputar balik maka roller-roller dengan
segera terjepit diantara ramp putar dan silinder yang diam dan ditahahan oleh
sabuk remnya. Kekuatan cengkeraman remnya dilepaskan dengan
mengendorkan sedikit ikatan baut penegang (tension bolt) sehingga daya
cengkeramnya berkurang. Alat ini terutama terdiri dari sebuah overruning
clutch yang didalamnya terdapat satu outer race seal dan ditempatkan
diatasnya, serta satu lip seal yang ditempatkan dibawahnya.
B. Drive Shaft
Ujung bawah dari drive shaft disambungkan dengan pony-rod dan
selanjutnya disambungkan dengan rangkaian sucker rod sampai ke ujung
rotor pompa.
C. Spiral Bevel gear Reducer Assembly
264

Susunan roda gigi bevel ini gunanya adalah selain untuk mengurangi
kecepatan putaran, juga untuk mengubah arah putarannya secara menyiku
sesuai dengan rotasi dari rotor pompa.
D. Stuffing Box Assembly
Merupakan bagian aas dari drive head assembly, digunakan sebagai
penyekat kebocoran terdiri dari housing yang didalamnya berisi satu set ring-
ring packing. Pada bagian terbawah dari packing housing dipasang packing
washer. Diatas washer dipasang dua susun ring packing dan diantaranya
dipasang lantern rings (ring-ring lantera) tempat memasukkan grease
(pelumas). Pada bagian paling atas dipasang packing gland penekan packing
yang terdiri dari dua belahan yang diikat secukupnya agar tidak terjadi
kebocoran antara drive shaft yang berputar dan packing-nya.

Gambar 4.45.
Susunan Progressive Cavity Pump
265

(SPE 30271., ”Progressive Cavity Pump Systems Applications in Heavy Oil


Production”, 1995)

4.4.2.2. Peralatan Bawah Permukaan Progressive Cavity Pump


1. Gas Anchor
Komponen ini merupakan peralatan tambahan dan dipasang pada bagian
bawah. Alat ini diletakkan diantara seal (penyekat) dan pompa. Fungsinya untuk
memisahkan gas dari minyak agar gas tidak ikut masuk kedalam pompa, karena
adanya gas akan mengurangi efisiensi pompa. Gas anchor ini bila diperlukan saja
dipasang, yakni pada sumur yang memiliki kandungan gas tinggi.
2. Tubing Anchor
Merupakan tambahan yang dipasang pada bagian bawah rangkaian pompa.
Fungsinya untuk meredam getaran pda tubing saat pompa dioperasikan/
dijalankan pada putaran (RPM) tertentu.

3. Centralizer
Merupakan alat tambahan yang dipasang pada tubing yang berfungsi
untuk menjaga tubing tetap berada di tengah-tengah lubang bor dan mencegah
gesekan langsung antara tubing dengan dinding casing. Biasanya centralizer ini
diaplikasikan pada sumur bersudut (deviated well) dengan kemiringan yang kecil.
4. Stator
Terletak diatas gas anchor yang dihubungkan dengan tubing produksi dan
berfungsi sebagai dudukan dari rotor. Stator terbuat dari bahan campuran
synthetic elastomer dengan steel tube yang tahan terhadap korosi dan abrasi.
Adapun spesifikasi dari stator adalah :
a) Medium High Acrylonitrile, digunakan dengan kondisi :
 SG minyak < 30 oAPI
 Fluida dengan GOR rendah
 Jika ada CO2
 Temperatur maksimum 200o F
b) Ultra High Acrylonitrile, digunakan dengan kondisi :
266

 SG minyak > 30 oAPI


 Fluida dengan sedikit dalam larutan (GLR ≈ 0)
 Temperatur maksimum 200o F
c) Very High Acrylonitrile, digunakan dengan kondisi :
 Bila terdapat kandungan asam (H2S) dengan maksimum konsentrasi 15,00
ppm atau 1,5 % dalam larutan
 Banyak terdapat faktor abrasi (pasir kasar)
 Bila terdapat Iron Sulfide dan Hydrogen Sulfide dengan maksimum
konsentrasi 20,00 ppm atau 20 % dalam larutan
 Temperatur maksimum 200o F.
Mengingat bahwa elastomer mempunyai keterbatasan dan sangat
berperanan penting dalam pompa PCP ini, maka perlu juga diperhatikan batasan-
batasannya, sehingga nantinya didapat jenis elastomer yang tepat untuk kandidat
sumur. Berikut adalah beberapa contoh elastomer yang sering digunakan :

Tabel IV-9.
Spesifikasi Elastomer
(www.dyna-drill.com, ”Dyna-Lift Progressing Cavity Pumps”, 2006)
Elastomer Tipe Elastomer Keterangan Batas Ketahanan Ketahanan Ketahanan
Temperatur H2S CO2 Pasir
(ºC)
NBR-1A Medium-High Sangat baik digunakan pada 90 ºC Cukup Baik Baik
Acrylonitrile daerah yang abrasi, Baik untuk
NBR viskositas minyak diatas 25
ºAPI, toleran terhadap 2% H2S,
dan 2-3% volume pasir
NBR-OR High Sangat baik digunakan pada 125 ºC Sangat Sangat Baik
Acrylonitrile daerah yang abrasi, Baik untuk Baik Baik
NBR viskositas minyak diatas 35
ºAPI, toleran terhadap 3-5%
H2S, dan 2-3% volume pasir
NBR-SR Medium-High Sangat baik digunakan pada 85 ºC Cukup Sangat Sangat
Acrylonitrile daerah yang abrasi, Baik untuk Baik Baik
NBR viskositas minyak diatas 25
ºAPI, toleran terhadap 2% H2S,
dan 5% volume pasir
HSN-38 Medium-High Sangat baik digunakan pada 150 ºC Sangat Sangat Baik
Acrylonitrile daerah yang abrasi, Baik untuk Baik Baik
NBR viskositas minyak diatas 25-30
ºAPI, toleran terhadap 3-5%
267

H2S, dan 2-3% volume pasir

5. Rotor
Rotor ini bentuknya seperti ulir dan merupakan salah satu bagian dari PCP
yang berputar. Komponen ini dimasukkan kedalam tubing dan dihubungkan
dengan rod diatasnya. Rotor ini dibuat dari bahan stainless atau chrome yang
tahan terhadap korosi dan abrasi. Adapun spesifikasi dari rotor adalah :
a. Chrome Plate (Alloy Steel), digunakan untuk sumur-sumur yang cairannya
banyak mengandung faktor abrasi (pasir).
b. Non Plated (Stainless Steel), digunakan untuk sumur-sumur yang cairannya
banyak mengandung asam seperti H2S.
Dalam memilih rotor selain pertimbangan diatas, juga sangat dipengaruhi
oleh viscositas fluida dan BHT (Bottom Hole Temperature) reservoir.

Stator

Rotor

Gambar 4.46.
Stator Dan Rotor Progressive Cavity Pump
(SPE 110479., ”World’s First Metal PCP SAGD Field Test Shows Promising
Artificia-Lift Technology for Heavy-Oil Hot Production: Joslyn Field Case”,
2007)
6. Sucker Rod
Merupakan penghubung antara rotor dengan peralatan penggerak yang ada
di permukaan. Fungsinya adalah melanjutkan gerak berputar dari drive shaft atau
268

gear reducer yang ada didalam drive head ke rotor. Umumnya panjang satu
single sucker rod berkisar antara 25-30ft.
7. Pony Rod
Merupakan sucker rod yang mempunyai ukuran panjang lebih pendek.
Fungsinya adalah melengkapi panjang dari sucker rod apabila panjang dari sucker
rod tidak mencapai panjang yang dibutuhkan. Panjang pony rod adalah 2, 4, 6, 8,
10, dan 12 ft.

4.4.2.3. Peralatan Tambahan


Peralatan tambahan (Accessory Screwpump Tools) berguna untuk
menunjang operasi perlatan utama agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Adapun perlatan tersebut adalah:

1. Hydraulic Skids
Adalah suatu unit perlatan yang mentrasmisikan tenaga dari prime mover
ke drive head dengan sisem Hydraulic Power Transmision Unit (HPTU). Alat ini
dilengkapi denga peralatan monitor tenaga putar dan penutup aliran (Torque
Monitoring dan Shutdown Assembly) yang berfungsi memutuskan aliran atau
tenaga dari prime mover dan menghentikannya bila terjadi putaran tinggi,
sehingga drive dan rod tidak rusak.
2. Tubing On-Off Tools
Alat ini berfungsi sebagai penyambung tubing pada beberapa titik rawan,
sehingga tubing terjaga agar tidak terlepas, karena alat ini dapat membebaskan
tegangan pada tubing dan meredam putaran yang berlawanan arah (berlawanan
arah jarum jam). Dan bila dikombinasikan dengan anchor atau catcher akan lebih
menstabilkan kedudukan tubing.
3. Sucker Rod Centralizers
Alat ini berfungsi untuk menjaga agar rangkaian rod tetap berada
ditengah-tengah (centralizing) tubing, sehingga memberikan putaran yang
maksimum selain mencegah rangkaian rod menempel pada tubing yang dapat
269

mengesek dan mengikisnya. Pada fluida produksi yang mengandung pasir, bahan
elastomer dari sleeve dapat menahan dan melindungi peralatan dari pengikisan
tersebut. Selain itu sucker rod centralizer juga meminimalkan friction loss yang
dapat mengurangi laju produksi, karena dirancang tidak bergerak dan mempunyai
baling-baling.
Alat ini terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu:
a. Centralizer Shaft: terbuat dari baja yang diberi lapisan chrome,
sehingga dapat menaahan abrasi yang tinggi serta mempunyai lubang
ditengah-tengah rod yang ditengahkan.
b. Centralizer Sleeve: terbuat dari nitrile dengan baling-baling yang akan
melekatkan shaft pada tubing.

4.4.3. Perencanaan Progressive Cavity Pump


Perencanaan terdiri atas pengujian didalam usaha untuk menentukan suatu
bentuk sistem yang optimal untuk suatu aplikasi tertentu. Prosedur perhitungan
perencanaan penggunaan PCP terdiri dari :
- Penentuan Tipe Pompa
- Efisiensi Volumetris Pompa
A. Penentuan Tipe Pompa
Adapun langkah-langkah dalam perencanaan PCP sebagai berikut :
1. Mempersiapkan data-data yang diperlukan seperti : data sumur, data produksi,
data pompa, dan data lainnya.
2. Mempersiapkan pembuatan kurva IPR
Menggunakan Metode Pudjo Sukarno dengan asumsi :
- Faktor skin sama dengan nol
- Minyak, air dan gas berada pada satu lapisan dan mengalir
secara radial
- Water cut (WC) tinggi
270

a. Menentukan SG minyak (SGoil), SG campuran (SGmix), Gradient Fluida


(GF)
b. Menentukan konstanta P1 dan P2
c. Menentukan WC @ Pwf  Ps
d. Menghitung konstanta A0, A1, A2
e. Menentukan laju produksi total cairan maksimum (Qt max)
f. Menghitung harga Qo, WC, Qw serta Qtotal berdasarkan harga Qt max
(pada Pwf asumsi  Ps)
g. Mentabulasikan nilai hasil perhitungan (terutama nilai Qo, WC, Qw dan
Qt)
h. Plot antara (Pwf vs Qo), (Pwf vs Qw), (Pwf vs Qtot)
3. Menentukan Pump Setting Depth
a. Mempersiapkan data sumur
b. Menentukan Pump Intake Pressure (PIP)
PIP = Pwf – Gf (mid depth perforasi – pump intake pressure) ........(4-109)
Catatan :
Untuk perhitungan optimasi dengan asumsi Pwf berubah :
PIP = Pwf – Gf (mid depth perforasi – pump intake -  P) ..............(4-
110)
Pwf  PwfAsumsi
P  ..................................................................(4-111)
Gf

c. Menentukan Setting Depth Pompa


PIP  Pc
PSD optimum = WFL + Gf
..................................................(4-112)

4. Menentukan Lifting Capacity (TNL) dengan asumsi Pflowline


TNL = (pump setting depth terpasang x Gf ) + Pflowline ..........................(4-113)
5. Menentukan Tipe Pompa yang Digunakan
Berdasarkan lifting capacity dan rate produksi yang diinginkan (dari IPR)
dapat ditentukan tipe pompa yang digunakan berdasarkan Quick Selection
Guide. (Tabel IV-10)
6. Menentukan RPM Pompa
271

Menggunakan kurva performance dari tipe pompa yang digunakan dapat


diperoleh RPM pompanya berdasarkan plot Q vs TNL (Gambar 4.52.)
7. Menghitung Torque
TNL (m) x Q pump displacement
Torque =  friction torque ............(4-
125
114)
* harga friction torque antara 50 – 200 lb/ft diambil 100 -120.
8. Menghitung Horse Power Motor (HP motor)
RPMxTorque
HPpolish rod = .....................................................................(4-115)
5252
Q (m3/D) x PSD optimum (m)
HPhydraulic = ...........................................(4-
4360
116)
Hpmotor = HPpolish rod + HPhydrulic ...............................................................(4-117)
9. Menentukan Jenis Drive Head
Menggunakan tabel jenis drive head berdasarkan spesifikasi pompa (Tabel IV-
11.)
10. Memilih Ukuran V-belt, Diameter Sheave Pump dan Diameter Sheave Motor
Menggunakan (Tabel IV-12.), yang disesuaikan dengan pump speed yang
digunakan.
Tabel IV-10.
Pedoman Pemilihan Quick Selection Guide
(Pedoman Pertamina, “Teknik Produksi” Jakarta, 2003)
272

Gambar 4.47.
Grafik Performance Pompa.
(Pedoman Pertamina, “Teknik Produksi” Jakarta, 2003)
273

Tabel IV-11.
Spesifikasi Pompa.
(Pedoman Pertamina, “Teknik Produksi” Jakarta, 2003)
274

Tabel IV-12.
Pemilihan Drive Type dan Accessories Pompa.
(Pedoman Pertamina, “Teknik Produksi” Jakarta, 2003)

4.4.4. Analisa Peralatan Progressive Cavity Pump


275

4.4.4.1. Kondisi Suction


Pada waktu pompa dimasukkan ke dalam fluida sumur dan pompa
dijalankan, maka level fluida akan turun dari posisi statiknya (Static Fluid Level).
Suction Head didefinisikan sebagai jarak antara ubang masuk pompa (Pump
Intake) dengan permukaan level fluida kondisi operasi (Operation Fluid Level/
Working Fluid Level).
Hs =PIP / Gf, feet…………………………………………………...(4-118)
Dimana :
Hs = Suction Head, feet
PIP = Pump intake pressure, psi
Gf = Gradient fluida, psi/ft
4.4.4.2. Kondisi Discharge
Pada kondisi operasi, kerja yang dibutuhkan pompa untuk menaikkan dari
level energi ke level lainnya disebut Total Dynamic Head (TDH). TDH juga
dinyatakan sebagai pressure total, dimana pompa bekerja dan TDH dinyatakan
sebagai head. TDH dirumuskan sebagai berikut:
TDH = OFL + (Pt x 2,31/SG) + Hf, head…………........................(4-119)
Dimana :
OFL = Operation Fluid Level (Working Fluid Level), feet
Pt =Tekanan tubing dipermukaan, psi
SG = Specific Gravity
HF = Kehilangan tekanan karena friksi, ft
4.4.4.3. Penentuan Pump Setting Depth
Suatu batasan umum untuk menentukan letak kedalaman pompa dalam
suatu sumur adalah bahwa harus ditenggelamkan di dalam fluida sumur. Sebelum
perhitungan perkiraan Pump Setting Depth dilakukan, terlebih dahulu diketahui
parameter yang menentukannya, yaitu static fluid level (SFL) dan working fluid
level (WFL) untuk menentukannya digunakan alat sonolog atau dengan operasi
wireline, bila sumur tersebut tidak menggunakan packer. Jika sumur
menggunakan packer, maka penentuan SFL dan WFL dilakukan dengan :
A. Static Fluid Level (SFL, ft)
276

Apabila sumur dalam keadaan mati (tidak diproduksikan), sehingga tidak


ada aliran, maka tekanan di depan perforasi sama dengan tekanan statik sumur
(Ps). Sehingga kedalaman permukaan fluida di annulus (SFL, ft) adalah :
 Ps Pc 
SFL = D mid perf -    , feet…………………………………..(4-120)
 Gf Gf 
B. Working Fluid Level / Operating Fluid Level (WFL, ft)
Bila sumur diproduksikan dengan rate produksi sebesar q (bbl/D), dan
tekanan alir dasar sumur adalah Pwf (psi), maka ketinggian (kedalaman bila
diukur dari permukaan) fluida di annulus adalah :
 Pwf Pc 
WFL = D mid perf -   , feet ………………………………(4-121)
 Gf Gf 

Dimana :
SFL = Static fluid level, ft
WFL = Working fluid level, ft
Ps = Tekanan statik sumur, psi
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psi
q = Rate produksi, B/D
Dmid perf = Kedalaman mid perforasi, ft
Pc = Casing head pressure, psi
Gf = Gradient fluida, psi/ft
Pump Setting Depth Minimum
Posisi minimum dalam waktu yang singkat akan terjadi pump off, oleh
karena ketinggian fluida level di atas pompa relatif sangat kecil atau pendek. Pada
kondisi ini pump intake pressure (PIP) akan menjadi kecil. Jika PIP mencapai
harga di bawah tekanan bubble point (Pb), maka akan terjadi penurunan efficiency
volumetric dari pompa (disebabkan terbebasnya gas dari larutan). Pump setting
depth (PSD) minimum dapat ditulis dengan persamaan :
PSD min = WFL + Pb/Gf + Pc/ Gf, ft………………………………(4-122)
Dimana :
PSDmin = Pump setting depth minimum, ft.
WFL = Working fluid level, ft
277

Pb = Tekanan buble point, psi


Pc = Casing head pressure, psi
Gf = Gradient fluida, psi/ft
Pump Setting Depth Optimum
Untuk menentukan kedalaman pompa optimum dapat dipergunakan
persamaan sebagai berikut :
Pfop = PIP – Pc………………………………………………….….(4-123)
Dimana :
Pfop = Tekanan kolom fluida di atas pompa, psi
PIP = Pump intake pressure, psi
Pc = Casing head pressure, psi
Apabila gradien fluida (Gf) diketahui, maka dapat ditentukan tinggi kolom
fluida di atas pompa, yaitu :
Pfop
Hfop = Gf
……………………………………………………......(4-

124)
Sehingga apabila kedalaman level fluid pada kondisi operasi WFL
diketahu, maka kedalaman pompa dapat ditentukan dengan persamaan :
PSD opt =WFL + Hfop……………………………………………..,,(4-125)
Dimana :
PSD opt = Pump setting depth optimum, ft
WFL = Working fluid level, ft
Hfop = tinggi kolom fluida di atas pompa (submerger), ft
Pump Setting Depth Maksimum
Pompa pada keadaan maksimum, juga kedudukan yang kurang
menguntungkan. Karena dalam keadaan ini memungkinkan terjadinya overload
(pembebanan berlebihan), yaitu pengangkatan beban kolom fluida yang terlalu
berat. Kedalaman pump setting depth (PSDmax) dapat didefinisikan :
Pb Pc
PSDmax = D mid perf - Gf  Gf , feet ………………………………..(4-126)

Dimana :
Dmid perf = Kedalaman mid perforasi, ft
278

Pc = Casing head pressure, psi


Gf = Gradient fluida, psi/ft
Pb = Tekanan buble point, psi

4.4.5. Optimasi Progressive Cavity Pump


Laju produksi optimum atau yang diinginkan dapat ditentukan dari kurva
IPR sumur atau kapasitas dalam barrel dari fluida yang diproduksikan per hari per
psi drawdown (PI). Setelah itu dilakukan pemilihan jenis pompa dengan kapasitas
yang diperlukan sesuai dengan kemampuan reservoir.
Dalam optimasi PCP dapat dilakukan dengan mengatur pump setting depth
(PSD) dan kecepatan pompa untuk berputar. Perlu diketahui setiap sumur
memiliki PI reservoir yang bervariasi sehingga PSD dan kecepatan pompa diatur
menyesuaikannya. Letak PSD sendiri masih harus terletak dalam batas PSD maksimum
dan PSDminimum. Dengan mengatur PSD hingga didapat kondisi optimum saja
hanya akan berpengruh kepada kenaikkan efisensi pompa yang kecil. Pengaturan
kecepatan pompa juga perlu dilakukan. Namun setiap jenis pompa memiliki
batasan kapasitasnya, termasuk kecepatan putar pompa maksimum. Jika melebihi
kecepatan tersebut, putaran akan menyebabkan pompa tersebut bergetar. Keadaan
ini akan menyebabkan tubing bisa saja terkikis dan rusak. Oleh karena itu,
pemilihan jenis pompa dengan kapasitasnya menjadi hal penting dalam optimasi
PCP.
Evaluasi Effisiensi Volumetris
Penentuan efisiensi volumetrik pompa PCP dilakukan dengan maksud
untuk mengetahui keefektifan kerja dari pompa yang direncanakan. Suatu
penggantian tipe pompa atau perubahan unit dapat dilakukan agar didapatkan
kapasitas produksi yang diinginkan. Besarnya efisiensi volumetrik pompa
diperoleh dengan membandingkan rate produksi aktual dari sumur terhadap rate
produksi teoritis.
Qtheory = V . N .......................................................................................(4-127)
Keterangan :
Qtheory = theoritical flow rate (bbl/day atau m3/day)
V = pump displacement (bbl/day/RPM atau m3/day/RPM)
279

N = rotation speed (RPM)


Sehingga persamaan volumetric didapat :
Q actual
EV = Qtheory x100% ...........................................................................(4-128)

Keterangan :
EV = volumetric pumping efficiency (%)
Qactual = actual flow rate (bbl/day, atau m3/day)
Qtheory = theoritical flow rate (bbl/day atau m3/day)

4.5. Jet Pump


Jet pump adalah perkembangan dari hydraulic pump unit (HPU). Jet pump
telah dikembangkan sejak tahun 1930. Jet pump mulai popular pada tahun 1970 di
industri minyak dan sangat populer digunakan di perumahan untuk memompa air.
Jet pump cukup baik untuk memproduksi minyak dengan laju cukup besar, karena
biaya operasi rendah, tidak mudah rusak karena tidak ada bagian metal yang
bergerak, toleran terhadap pasir dan sedikit gas (gas tersebut dapat membantu
mengangkat minyak ke atas bila GOR 400-500 SCF/STB) mengimbangi
kehilangan efisiensi pompanya. Laju produksinya 50-12000 B/D. Daya kuda
triplex 6-275 hp dan kedalaman pemasangan > 8000 ft. Jet pump merupakan salah
satu dari hanya dua kemungkinan artificial lift yang dapat digunakan di subsea
offshore, karena pipa salur di dalam laut radius putarannya kecil, sehingga hanya
gas lift valve dan jet pump yang bisa lewat.
Kelemahan dari jet pump antara lain :
1. Membutuhkan daya kuda relatif besar dan efisiensinya rendah, hanya disekitar
25-35% maksimum
2. Untuk menghindari cavitasi, dibutuhkan penenggelaman pompa cukup dalam
dan tekanan isap (suction intake, Pps) yang besar
3. Harga pemasangannya cukup mahal sekitar $225000 (termasuk triplex)

Prinsip Kerja Jet Pump


280

Prinsip kerja pompa jet adalah berdasarkan transfer momentum antara dua
aliran power fluid bertekanan tinggi yang dialirkan melalui suatu nozel dan energi
potensial (tekanan) diubah ke energi kinetis dalam bentuk kecepatan tinggi atau
jet. Fluida produksi bercampur dengan power fluid di pipa pencampuran yang
disebut throat. Dengan bercampurnya power fluid dengan fluida produksi maka
momentum dipindahkan ke fluida produksi sehingga energinya akan meningkat.
Dengan dilakukannya pencampuran tersebut (pipa melebar dengan sudut sekitar
6o) maka kecepatan fluida (terutama power fluid) akan berkurang dan sebagian
energinya diubah kembali ke energi potensial (tekanan) yang cukup untuk
mengirim campuran (power fluid balik dan produksi) tersebut ke permukaan
(Gambar 4.48.).

Gambar 4.48.
Casing Tipe Jet Pump
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Power Fluid
281

Power fluid adalah fluida yang digunakan sebagai media penghantar untuk
mentransfer energi yang diberikan dari permukaan ke fluida sumur. Energi
diberikan pada fluida ini adalah dengan memompakan fluida ke dalam sumur
melalui tubing dengan tekanan injeksi tertentu.
Kualitas power fluid, baik minyak maupun air yaitu viskositas dan
terutama jumlah partikel padat merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
umur pompa. Untuk itu power fluid harus bersih dari partikel-partikel dan dapat
berfungsi sebagai pelumas. Partikel padat yang diijinkan adalah 10-15 ppm untuk
minyak dengan berat jenis 30-40 °API, ukuran partikel tidak lebih dari 15 mikron
dengan kadar garam maksimum sebesar 12 lb/1000 bbl minyak dari lapangan
yang bersangkutan harus di proses dan dibersihkan agar dapat digunakan sebagai
power fluid. Pemilihan minyak atau air sebagai fluida kerja tergantung pada
beberapa faktor, yaitu :
 Air lebih aman terhadap bahaya kebakaran dan polusi.
 Pompa untuk air memerlukan pelumas dan penyekat pada toraknya,
sedangkan untuk minyak tidak.
 Biaya pemeliharaan dan operasi pompa minyak lebih kecil.
 Bila digunakan air sebagai fluida kerja maka tekanan kerja pompa lebih
besar karena air lebih berat daripada minyak.
 Bila fluida formasi termasuk minyak berat, fluida kerja miyak lebih mudah
bercampur dan mengalir ke permukaan.
Untuk operasi Jet Pump, tersedia 2 jenis sistem power fluid, yaitu:
a. CPF (close power fluid), di mana power fluid yang
mengalir kembali ke permukaan terpisah dari fluida produksi. Sistim ini
hanya bisa dilakukan untuk pompa piston hidrolik (Gambar 4.49.)
b. OPF (open power fluid), di mana power fluid
bercampur dengan fluida produksi dan sebagian dari campuran ini akan
diproses dan dibersihkan dan sebagian kembali ke tangki penyimpan
power fluid untuk diinjeksikan kembali ke sumur-sumur. Sistem OPF
dapat untuk pompa piston hidrolik maupun jet. (Gambar 4.50.)
282

Gambar 4.49.
Fasilitas Permukaan Pada Sistem Closed Power Fluid
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Gambar 4.50.
Fasilitas Permukaan Pada Sistem Open Power Fluid
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
4.5.1. Peralatan Jet Pump
283

Peralatan jet pump dibagi menjadi dua macam, yaitu peralatan di atas
permukaan dan peralatan di bawah permukaan. Peralatan-peralatan tersebut saling
berhubungan selama kelancaran proses jet pump.
4.5.1.1. Peralatan Di Atas Permukaan Jet Pump
Pada dasarnya fasilitas peralatan permukaan dari jet pump sama dengan
peralatan permukaan umumnya. Separator, heater treater, manifold adalah contoh
peralatan permukaan yang umum dipermukaan, tetapi didalam jet pump dikenal
juga peralatan khusus yang digunakan, yakni peralatan yang jarang dijumpai pada
peralatan permukaan umumnya.
1. Gas Boot
Peralatan ini berfungsi untuk melepaskan fluida dari molekul-molekul gas
yang terkandung didalamnya. Mekanisme kerja dari peralatan ini dengan cara
gravity setling.
2. Power Fluid Tank
Tank ini berfungsi sebagai tempat menampung power fluid. Pencampuran
power fluid dengan fluida produksi dipisahkan dahulu di separator, treater, dan
gas boot. Hasil pemisahan menghasilkan fluida produksi yang ditampung dalam
production tank dan power fluid yang ditampung dalam power fluid tank. Power
fluid disimpan sebagai stock untuk diinjeksikan kembali ke bawah permukaan.
3. Surface Pump
Surface pump didesain khusus untuk memompakan power fluid ke bawah
permukaan. Peralatan surface pump ini juga harus dilengkapi oleh relief valve,
pressure gauge, dan safety switches untuk mengontrol tekanan dipompa.
Discharge line dari relief valve dan back pressure control valve seharusnya tidak
disambungkan secara langsung dengan suction line pompa, tetapi disambungkan
dengan separate line yang mengalir kembali ke tank. Hal ini dikarenakan ketika
minyak mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, gas akan lepas dari
minyak (solution). Jika gas masuk ke pompa, gas ini akan mengurangi effisiensi
volumetric dari pompa. (Gambar lagi 4.51.)
284

Gambar 4.51.
Triplex Pump
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

4.5.1.2. Peralatan Bawah Permukaan Jet Pump


1. Nozzle
Nozzle berfungsi untuk menyemprotkan power fluid dari permukaan ke
throat. Tenaga untuk menyemprotkan ini berasal dari tekanan injeksi pompa yang
digunakan dipermukaan. Pada nozzle yang paling kecil (diameter = 0.06869 inch)
dapat mengalir power fluid dengan laju alir sekitar 200 sampai 300 bpd, dan pada
nozzle yang paling besar (diameter = 0.57220) dapat mengalir power fluid dengan
laju alir sekitar 16000 sampai 18000 bpd.
2. Throat
Throat berfungsi sebagai pipa tempat bercampurnya power fluid yang
disemprotkan oleh nozzle dan fluida produksi yang didorong oleh tekanan dari
dasar sumur. Mekanisme pencampuran di throat ini dengan cara spread
(menyebar) power fluid ke fluida produksi.
285

Throat

Nozzle

Gambar 4.52.
Throat Dan Nozzle Pada Jet Pump
(SPE 59021., ”Test of Hydraulic Jet Pump in The Balam 91 Well”, 2000)

3. Diffuser
Diffuser di jet pump berfungsi sebagai tempat fluida campuran mengalir ke
combined fluid return yang selanjutnya menuju kepermukaan. Diameter diffuser
lebih besar dan throat.

4.5.2. Analisa Peralatan Jet Pump


4.5.2.1. Analisa Ukuran Nozzle Dan Throat
Ukuran nozzle dan throat mempengaruhi laju aliran sedangkan perbandingan
luas nozzle dan throat mempengaruhi head yang terjadi selain juga laju aliran
yang berhubungan dengan head itu seperti juga pada ESP. Makin besar
perbandingan nozzle terhadap throat maka makin besar pula head yang bisa
didapat, karena laju produksi yang didapat berkurang dan berarti bahwa makin
besar momentum yang bisa diserap oleh produksi tadi dan ini sesuai dengan
pompa yang relatif lebih dalam dengan produksi kecil. Karena ukuran throat dan
nozzle bermacam-macam, maka diperlukan grafik ulah (performance curves)
pompa jet dalam jumlah yang banyak. Untuk mengatasi hal ini Gosline dan
O'Brien telah menurunkan beberapa persamaan untuk kelakuan jet pump, yang
286

selanjutnya dikembangkan oleh Cunningham. Dengan persamaan-persamaan ini,


dan dengan mengetahui geometri pompanya, maka kelakuan jet pump tersebut
dapat ditentukan. Persamaan-persamaan yang diturunkan tanpa dimensi, dapat
digunakan untuk setiap ukuran pompa. Oleh karena selama operasi harga Reynold
Number cukup besar, maka pengaruh viskositas dapat diabaikan.

Tabel IV-13.
Luas Dan Diameter Nozzel Dan Throat
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

4.5.2.2. Cavitation
Faktor lain yang harus diperhatikan pula adalah kavitasi (cavitation), yaitu
keadaan di mana kecepatan fluida yang masuk terlalu cepat, sehingga tekanan
turun di bawah tekanan titik gelembung (bubble point pressure), sehingga
gelembung gas yang keluar dari larutan akan mengakibatkan getaran (shock wave)
yang dapat mengikis dinding throat. Kerusakan pompa dapat terjadi dalam waktu
relatif singkat (beberapa jam atau beberapa hari saja setelah kejadian tersebut).
4.5.3. Perencanaan Jet Pump
287

1. Siapkan data pendukung : Laju aliran di lubang masuk (Qs), Tekanan di


lubang masuk (Ps), Gas-Oil Ratio (GOR), Water cut (WC), Gradien fluida
produksi (Gs), Panjang tubing (L), Viskositas (μd, μo, μw), Gradien fluida (Gd,
Go, Gs, Gw), Diameter dalam casing atau tubing (D1), Diameter luar tubing
(D2), Tekanan permukaan power fluid (Pt).
2. Dari data laju produksi Qs, tekanan isap Ps dan GOR, hitung luas anulus
minimum Asm agar tidak terjadi kavitasi.


Asm  Qs  1  
691
Gs
   1  WC  GOR 
Ps  
  .......................(4-129)
24650Ps   
 
3. Dari Tabel "Nozzle and Throat Annulus Area" Tabel 4-13 pilih suatu
kombinasi nozzle dan throat yang luas anulusnya lebih besar, yang terdekat
dengan harga Asm.
4. Anggap tekanan kerja pompa di atas permukaan Pt, yang minimum besarnya
antara 2000 - 4000 psi.
5. Hitung tekanan di nozzle (Pn)
Pn  Pt  G n  D   Pfn  D  ........................................................................(4-130)

Menurut Coberly kehilangan tekanan di anulus atau tubing Pf dapat dihitung


dengan persamaan :
 
 202  10 L 8 2 0.21 
 D1  D2 
2
 U  
Pf   
0.1 
   o 0.21Gn Q1.79 ..
D D
 D1  D2   D12  D22  2  D1  D  D    1 2    o
 G  
  1 2  
(4-131)
dimana Q = Qn (ambil sembarang Qn) dan Pf = Pfn (D). Selain dengan
menggunakan persamaan (3), harga Pf dapat ditentukan dari Grafik 1.
6. Hitung laju power fluida Qn menggunakan persamaan (4-132). Apabila Qn
tidak sama dengan anggapan Qn di langkah 4, maka ulangi perhitungan Pfn
sampai mendapat harga Qn yang sesuai.
Pn  Ps
Qn  832 An .............................................................................(4-132)
Gn
288

7. Hitung laju alir fluida (campuran fluida produksi dan power fluid) yang
kembali ke permukaan, Qd, dengan menggunakan persamaan berikut
Qd  Qn  Qs ..........................................................................................(4-133)

8. Hitung gradien suction pompa (gradien fluida produksi)


G s   G w  WC   1  WC  Go .................................................................(4-134)

9. Hitung gradien fluida campuran yang kembali ke permukaan


Gd   G s  Qs  Gn  Qn  / Qd .................................................................(4-135)

10. Hitung persen kadar air fluida campuran WCD.


WCD  Qs  WC / Qd ..............................................................................(4-136)

Apabila power fluid adalah air, maka


WCD   Qn  Qs  WC  / Qd ...................................................................(4-137)

11. Hitung GLR (gas liquid ratio, perbandingan gas-cairan) fluida yang kembali :
GLR  Qs 1  WC  GOR / Qd ...................................................................(4-

138)
12. Jika GLR lebih besar dari 10 SCF/STB, tentukan kehilangan tekanan fluida
yang kembali Pfd dengan menggunakan korelasi aliran multifasa vertikal dan
lanjutkan ke langkah 13.
13. Jika GLR kurang dari 10 SCF/STB, tentukan viskositas fluida campuran yang
kembali ke permukaan (μd) menggunakan persamaan (4-138) dan selanjutnya
hitung kehilangan tekanan fluida yang kembali (Pfd) menggunakan persamaan
(3). Dalam hal ini Pf = Pfd x D dan Q = Qd.
 d  Wcd   w  1  Wcd   o ...................................................................(4-139)
Harga viskositas campuran ( μd) yang dihitung persamaan (4-138), dengan
anggapan bahwa campuran minyak - air tidak menghasilkan emulsi dan, bila
power fluid digunakan adalah minyak maka viskositasnya sama dengan
viskositas minyak yang diproduksi.
14. Tentukan tekanan discharge pompa (Pd), yaitu jumlah dari tekanan
hidrostatika di pipa balik, kehilangan tekanan karena friksi (Pfd) dan tekanan
kepala sumur (THP atau Pwh).
Pd  Gd  D   Pfd  D   Pwh .....................................................................(4-138)
289

15. Hitung N dari persamaan (4-139)


C
N
 1  K n   C  ..................................................................................(4-139)

C  2 R  1  2 R  M R
2 2

1  R  2  1  K td  2 1  M  2 ............................(4-140)
Pada persamaan (4-139) dan (4-140) harga Ktd dan Kn didapat secara
empiris. Guiberson menggunakan angka Kn = 0,03, untuk National Kn = 0,06
dan untuk Kobe Kn = 0,07 dalam PK ini digunakan angka Kn = 0,03 (dengan
anggapan bahwa pipa nozzle sangat licin). Selain itu harga Ktd = 0,20.
Gambar 4.53. digunakan untuk mencari harga N untuk pompa National.
Untuk pompa lain lakukan interpolasi.
17. Hitung N dari persamaan (4-141) dan bandingkan dengan harga N dari
langkah 14. Jika perbedaan harga N kurang dari 0,5 %, lanjutkan ke langkah
18. Bila lebih dari 0,57 hitung tekanan di nozzle Pn yang baru menggunakan
persamaan (17) dan ulangi langkah 6 sampai dengan 17 hingga didapat
perbedaan harga N kurang dari 0,5 %.
Pd  Ps
N ...........................................................................................(4-141)
Pn  Pd

18. Hitung tekanan nozzle Pn yang baru.


Pd  Ps
Pn  Pd  ...................................................................................(4-142)
N
19. Tentukan tekanan pompa permukaan Pt yang baru.
Pt  Pn  G n  D   Pfn  D  ........................................................................(4-143)

20. Hitung laju aliran maksimum Qsc tanpa terjadi cavitasi.


Qs  At  An 
Qsc 
Asm ............................................................................(4-144)
21. Hitung daya kuda pompa permukaan, HP, dengan menganggap bahwa
efisiensi sebesar 90%.
Q n Pt
HP  .................................................................................(4-
52910
145)
290

Gambar 4.53.
Dimensionless Characteristics Curve (National Pump)
(Pedoman Pertamina, “Teknik Produksi” Jakarta, 2003)

4.5.4. Optimasi Jet Pump


Optimasi jet pump dilakukan dengan mencari laju produksi optimum atau
laju produksi yang diinginkan terlebih dahulu. Laju produksi tersebut dapat
ditentukan dari kurva IPR sumur. Setelah itu dilakukan pemilihan jenis pompa
dipermukaan dengan kapasitasnya dan pemilihan ukuran nozzle dan throat yang
diperlukan sesuai dengan kemampuan reservoir.
Dalam optimasi jet pump dilakukan dengan merubah tekanan pompa
dipermukaan dan merubah diameter ukuran nozzle dan throat. Tekanan pompa
dipermukaan dan diameter ukuran nozzle dan throat berhubungan langsung
dengan laju alir power fluid dan hasil pencampuran power fluid dengan fluida
291

produksi. Setiap jenis pompa dipermukaan memiliki kapasitas tekanan maksimum


operasi, sedangkan ukuran nozzle dan throat yang tersedia hanya terbatas.

Anda mungkin juga menyukai