BAB IV (METODE ARTIFICIAL LIFT) Alfa
BAB IV (METODE ARTIFICIAL LIFT) Alfa
BAB IV
METODE ARTIFICIAL LIFT
yang stabil. Gambar 4.3. menunjukkan sumur mati karena tubing intake pressure
tidak memotong kurva IPR. Sumur ini harus dipasang artificial lift untuk
mengubah tubing intake curve sehingga memotong kurva IPR.
Untuk sumur yang masih mampu mengalir secara alami, tidak berarti
artificial lift tidak dipertimbangkan untuk dipasang. Banyak sumur mampu
memproduksi laju alir yang lebih tinggi ketika dipasang artificial lift, dan hal ini
hampir sering dilakukan untuk mempercepat produksi atau ketika terjadi situasi
yang kompetitif.
Gambar 4.1.
Tubing Intake Pressure Untuk Artificial Lift
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Gambar 4.2.
Aliran Stabil
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
166
Gambar 4.3.
Sumur Mati
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Gambar 4.4.
Mekanisme Operasi Continuous Gas Lift
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Dengan demikian dasar dari perencanaan gas lift adalah menentukan Pwf
yang diperlukan supaya sumur dapat berproduksi dengan rate yang diinginkan,
yaitu dengan cara menginjeksikan gas pada kedalaman tertentu di dalam tubing.
Sesuai dengan fungsinya, katup – katup gas lift terdiri dari :
1. Katup unloading, yaitu sebagai jalan masuk dari annulus ke tubing, untuk
mendorong cairan yang semula digunakan untuk mematikan sumur.
2. Katup operasi, yaitu sebagai jalan masuk gas dari annulus ke tubing untuk
mendorong fluida reservoir ke permukaan.
3. Katup tambahan, yaitu sebagai katup operasi jika Ps turun.
Pada tahap pertama, injeksi gas akan mengaktifkan katup-katup unloading
sehingga cairan untuk mematikan sumur akan terangkat ke permukaan dan level
cairan dalam annulus turun. Kemudian katup unloading secara bergantian bekerja
169
dan level cairan dalam annulus akan mencapai katup operasi. Gas injeksi akan
masuk ke dalam tubing secara kontinyu jika tekanan injeksi gas dalam annulus
lebih besar dari tekanan aliran dalam tubing. Oleh karena itu letak katup operasi
ditempatkan pada kedalaman sehingga tekanan alir dalam tubing lebih kecil dari
tekanan injeksi gas di annulus. Penempatan katup operasi ditentukan dari titik
keseimbangan, yaitu titik yang mana tekanan aliran di dalam tubing sama dengan
tekanan injeksi gas di annulus, setelah dikurangi dengan tekanan differensial 100
psi.
Dengan masuknya gas injeksi melalui katup operasi maka perbandingan
gas cairan di atas titik injeksi akan lebih besar daripada perbandingan gas cairan di
bawah titik injeksi. Dengan demikian dasar perencanaan gas lift adalah penentuan
Pwf yang diperlukan agar sumur dapat berproduksi dengan rate yang diinginkan,
yaitu dengan cara menginjeksikan gas pada kedalaman tertentu di dalam tubing.
Diagram tekanan kedalaman seperti terlihat pada Gambar 4.5. memberikan
gambaran yang lebih jelas mengenai continuous gas lift dan merupakan dasar
perencanaan. Umumnya perencanaan continuous gas lift bertolak dari laju
produksi yang diinginkan. Apabila indeks produktivitasnya dan tekanan statik
diketahui, maka tekanan alir dalam sumur yang sesuai dengan laju produksi yang
diinjeksikan dapat dihitung.
Apabila perbandingan gas cairan dari formasi diketahui, maka kurva
gradien tekanan aliran mulai dari dasar sumur dapat digambarkan. Berdasarkan
tekanan injeksi gas yang tersedia, garis gradien dalam annulus dapat digambarkan
dan titik keseimbangan antara tekanan gas dalam annulus dengan tekanan alir
dalam tubing dapat ditentukan. Kemudian letak katup operasi dapat pula
ditentukan pada kedalaman yang mempunyai tekanan alir dalam tubing 100 psi
lebih kecil dari tekanan injeksi gas. Apabila tekanan alir di kepala sumur tertentu,
maka perlu diinjeksikan sejumlah gas tertentu, sehingga memberikan
perbandingan gas cairan titik injeksi yang tepat dan menghasilkan gradien aliran
di atas titik injeksi yang diinginkan. Gradien aliran harus menghasilkan penurunan
tekanan sedemikian rupa sehingga tekanan aliran di permukaan sama dengan
170
Gambar 4.5.
Diagram Kedalaman-Tekanan Untuk Perencanaan Sumur Gas Lift Kontinyu
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Gambar 4.6.
Operasi Unloading-Intermittent Flow Well
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
173
Gambar 4.7.
Grafik Tekanan Dasar Sumur Pada Proses Intermittent Gas Lift
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
dihubungkan dengan manifold. Dari stasiun kompressor ini gas bertekanan tinggi
dikirimkan ke sumur-sumur melalui stasiun distribusi.
3. Stasiun Distribusi
Dalam menyalurkan gas injeksi dari kompressor ke sumur terdapat
beberapa macam cara, yaitu :
o Stasiun Distribusi Langsung
Pada sistem ini gas dari kompressor disalurkan langsung ke sumur
produksi. Sistem ini mempunyai kelemahan yaitu bila kebutuhan gas
untuk masing-masing sumur tidak sama sehingga injeksi tidak efisien.
o Stasiun Distribusi dengan Pipa Induk
Sistem ini lebih ekonomis karena panjang pipa dapat diperpendek. Tetapi
karena sumur yang satu berhubungan dengan sumur yang lain maka
apabila salah satu sumur sedang dilakukan injeksi gas, sumur yang lain
bisa terpengaruh.
o Stasiun Distribusi dengan Stasiun Distribusi
Stasiun ini sangat efektif sehingga sering digunakan. Gas dikirim dari
stasiun pusat kompressor ke stasiun distribusi kemudian dibagi ke sumur-
sumur dengan menggunakan pipa.
4. Alat-alat Kontrol
Beberapa jenis alat control yang digunakan pada operasi gas lift adalah :
o Choke Control dan Regulator
Choke control adalah alat yang digunakan untuk mengatur jumlah gas
injeksi sehingga dalam waktu tertentu (saat valve terbuka) gas tersebut
dapat mencapai suatu harga tekanan yang dibutuhkan. Choke control ini
dirangkai dengan regulator yang berfungsi untuk membatasi jumlah gas
injeksi yang dibutuhkan. Bila gas injeksi telah cukup maka regulator akan
menutup.
o Time Cycle Control
Time Cycle Control adalah alat yang berfungsi untuk mengotrol laju aliran
gas injeksi dalam intermittent gas lift untuk interval waktu tertentu. Time
cycle control dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan.
175
Gambar 4.8.
Fluid Operating Valve
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Gambar 4.9.
Skema Thortling Pressure Valve
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
177
Gambar 4.10.
Tipe Instalasi Gas Lift
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
3. Menghitung tekanan alir dasar sumur berdasarkan laju alir yang diinginkan
(qL) dengan menggunakan persamaan :
Untuk aliran satu fasa :
qL
Pwf Ps ..................................................................................(4-2)
PI
Untuk aliran dua fasa (persamaan Vogel) :
Pwf 0.125Ps ( 1 81 80(q L /q max ) ............................................(4-
3)
4. Memplot titik (Pwh,D)
5. Memilih pressure traverse yang sesuai berdasarkan qL, kadar air, dan diameter
tubing yang digunakan.
6. Memilih garis gradien aliran yang sesuai dengan GLR f. Seringkali harga GLRf
tidak terdapat pada pressure traverse, sehingga perlu diinterpolasi.
7. Menentukan kedalaman eqivalen Pwf pada kurva langkah 6.
8. Meletakkan kertas transparan di atas kertas pressure traverse yang dipilih
dengan titik (Pwf,D) tepat di atas Pwf langkah 7.
9. Menjiplak kurva pilihan di langkah 6 pada kertas transparan.
180
10. Menentukan gradien tekanan gas (Ggi) dengan berdasarkan spesifik gravity gas
injeksi dan tekanan injeksi gas (Pso). Memperhatikan faktor koreksi.
11. Memplot Pso di kedalaman nol pada kertas transparan.
12. Menghitung tekanan gas pada kedalaman X ft, (Px) menurut persamaan :
Px = Pso + X Ggi ..............................................................................(4-4)
13. Memplot titik (Px, X).
14. Menghubungkan titik (Pso,0) dengan titik (Px,X) sampai memotong kurva
langkah 9.
15. Titik injeksi ditentukan dengan menelusuri kurva pada langkah 9 ke atas
dimulai dari titik potong langkah 14 sejarak 50 – 100 psi. Titik injeksi
berkoordinat (Pi,Di). Seperti terlihat pada Gambar 4.5.
b. Penentuan Jumlah Gas Injeksi
Langkah kerja penentuan jumlah gas injeksi adalah sebagai berikut :
1. Memplot titik (Pwh,0).
2. Menghitung jumlah gas injeksi, yaitu :
Qgi = qL (GLRt - GLRf ).................................................................(4-5)
3. Mengkoreksi harga Qgi pada temperatur titik injeksi, yaitu ;
a. Menentukan temperatur di titik injeksi :
Tpoi = (Ts + Gt Di) + 4600 .............................................................(4-6)
b. Menghitung faktor koreksi :
Corr = 0.0054 γgiTpoi .................................................................(4-7)
c. Volume gas injeksi terkoreksi adalah sebesar :
Qgicorr = Qgi Corr.........................................................................(4-8)
c. Penentuan Kedalaman Katup-katup Sembur Buatan
Langkah kerja penentuan kedalaman katup-katup adalah sebagai berikut :
1. Siapkan data dan grafik penunjang :
a. Kertas transparan hasil penentuan titik injeksi dan jumlah gas injeksi.
b. Tekanan differential (Pd).
c. Tekanan kick off (Pko).
d. Gradien statik fluida dalam sumur (Gs).
181
b. Dari perpotongan garis tersebut buat garis gradien tekanan statik yaitu
garis yang sejajar gradien statik di langkah 7.
c. Memperpanjang dari langkah 9b sampai memotong garis gradien tekanan
gas yang dibuat melalui (Pso,0).
d. Titik potong tersebut adalah letak katup berikut dengan koordinat (P2,D2).
e. Kembali ke langkah 9a dan mengulangi langkah kerja sampai 9d untuk
memperoleh letak katup-katup berikutnya. Pengulangan ini dihentikan
setelah diperoleh letak katup sembur buatan yang lebih dalam dari titik
injeksi (P1,D1).
10. Penentuan Letak Katup Di Daerah Bracketing Envelope
Langkah kerja penentuan katup di daerah Bracketing Envelope sebagai berikut:
a. Memplot titik (Pso – Pd), 0).
b. Dari titik tersebut, membuat garis yang sejajar dengan garis gradien
tekanan gas yang melalui (Pso,0).
c. Memperpanjang garis tersebut sampai memotong kurva terpilih di butir b
langkah 3.
d. Menghitung Paa = (1 + BE) Pbe
Pbb = (1 – BE) Pbe
BE = % Bracketing Envelope
= 10 – 20 %
e. Berdasarkan harga Pwh, menghitung :
Pa = (1 + BE) Pwh
Pb = (1 – BE) Pwh
f. Menghubungkan titik (Paa,Y) dengan titik (Pa,0). Titik potong antara garis
ini dengan garis gradien gas dari langkah 10b.Titik potong ini adalah batas
atas dari Bracketing Envelope.
g. Menghubungkan titik (Pbb,Y) dengan titik (Pb,0). Memperpanjang garis
ini sampai memotong garis gradien gas dari langkah 10b. Titik potong ini
adalah batas bawah dari Bracketing Envelope.
183
h. Dari langkah 2 telah dihitung jarak maksimum antara katup gas lift (Dv).
Berdasarkan harga ini, mulai dari batas atas Bracketing Envelope katup-
katup gas lift dapat dipasang sejarak Dv batas bawah Bracketing Envelope.
4.1.4.2. Perencanaan Dan Perhitungan Intermittent Gas Lift
Perencanaan sumur intermittent gas lift meliputi : penentuan jumlah gas
injeksi penetuan spasi katup dan penetuan tekanan katup di bengkel (kondisi
standar).
a. Penentuan Spasi Valve
Penentuan spasi valve dapat secara analitis dan secara grafis.
Langkah –langkah yang harus dilakukan untuk perencanaan spasi valve
secara grafis adalah sebagai berikut :
1. Pada kertas grafik kartesian buat
system sumbu koordinat dengan kedalaman sebagai sumbu tegak dan tekanan
sebagai sumbu datar.
2. Plot titik (Pso,0), Pso = Tekanan yang
tersedia - 50
3. Tentukan gradient gas
dengan grafik (Gambar 4.11 dan Gambar 4.12) dan buat garis gradient gas
dalam sumur mulai dari titik (Pso,0) dan perpanjang garis tersebut sampai di
dasar sumur.
Px Pso XGg ………………………………………………..........(4-11)
4. Plot tekanan tubing di
permukaan (untuk intermittent gas lift, tekanan ini sama dengan tekanan
separator)
5. Tentukan gradient
unloading dengan menggunakan grafik (Gambar 4.13 dan Gambar 4.14)
sesuai dengan ukuran tubing dan rate yang diinginkan.
Ptu Psep GsD ……………………………...............................…(4-12)
7. Tentukan tekanan
penutup yang konstan di permukaan, yaitu :
Psc = Pso – 100 ………………………………………………….…..(4-13)
8. Tentukan gradien gas
dengan grafik (Gambar 4.11 dan Gambar 4.12) dan buat garis gradien gas
dalam sumur mulai dari titik (Psc,0) dan perpanjang garis tersebut sampai di
dasar sumur.
Pcv = Psc+DGg ……………………………………………………...(4-14)
9. Tarik garis kill fluid
dengan gradient 0.4 psi/ft – 0.5 psi /ft dari Psep. Perpanjang garis tersebut
sampai memtong garis Pso, perpotongan ini merupakan letak titik valve (1)
10. Dari perpotongan
tersebut (langkah 9), buat garis horizontal ke kiri sampai memotong garis
unloading.
11. Dari perpotongan
(langkah 10), buat garis sejajar dengan gradien fluida yang mematikan sumur
(langkah 9) sampai memotong garis gradient gas yang berawal dari titik
(Psc,0), titik ini merupakan letak dari valve (2)
12. Dari perpotongan
tersebut (langkah 11), buat garis horizontal ke kiri sampai memotong garis
unloading.
13. Lakukan langkah 11
dan 12 untuk mendapatkan latak katup Dv3, Dv4, dst lanjutkan sampai dasar
sumur
Sedangkan penetuan spasi katup secara analitis dapat dilakukan dengan
menggunakan persamaan berikut :
Pko Pwh
Dv1
Gs
Pso1, so 2.... Pwh Dv1, v 2...(Gu )
Dv 2, v3... Dv1, v 2.. ………...
Gs
.(4-15)
185
Keterangan :
Dv1, v2… = Kedalaman katup 1, 2, dst, ft
Pso1, Pso2… = Tekanan buka permukaan 1, 2, dst, psi
Pwh = Tekanan kepala sumur, psi
Gs = Gradient kill fluid, psi/ft
Gu = Gradient unloading, psi/ft
Gu didapatkan dari grafik (Gambar 4.13 dan Gambar 4.14)
b. Penentuan Jumlah Gas Injeksi
Gas yang diperlukan untuk mengangkat slug cairan dari dasar sumur ke
permukaan adalah volume gas yang diperlukan untuk mengisi tubing pada
tekanan gas rata-rata bawah slug dari dasar sumur ke permukaan. Langkah-
langkah untuk menentukan besarnya gas injeksi adalah :
1. Siapkan data penujangnya sebagai
berikut :
a. Kedalaman katup operasi (umumnya di ujung tubing)
b. Tekanan buka katup operasi (Pv), di hitung dengan
rumus :
Pv Pso Ggi.D …………………………………………....(4-
16)
Keterangan :
Pv = Tekanan buka katup operasi pada kedalaman, psi
Pso = Surface operating pressure, psi
Ggi = Gradient tekanan gas injeksi, psi/ft
D = Kedalaman, ft
2. Pilih grafik yang sesuai dengan ukuran
tubing dan tekanan separator
3. Plot kedalaman katup pada sumbu
kedalaman
4. Dari titik tersebut tarik garis horizontal
ke kanan sampai memotong sumbu volume gas
186
Tabel IV-2.
“R values”
Bellow Area and Seat Area Relationship for Ab = 0.77 in2 for 1 ½”
Valve and 0.29 in2 for 1” Valve
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Diameter of Spread For 1“ O.D Valves For 1 ½” O.D Valves
Control Seat (in) R 1–R R 1–R
3 0.0863 0.9137 0.0359 0.9641
16
¼ 0.1534 0.8466 0.0638 0.9362
9 0.1942 0.8058 - -
32
187
19)
Ct didapat dari Tabel V.3.
9. Hitung tekanan setting di work shop (Ptro) pada temperature 60oF,
dengan persamaan :
Pd @ 60
Ptro ………………………………………….………(4-20)
1 R
188
Tabel IV-3.
Temperatur Correction Factor (Ct) for Nitrogen Based on 60oF
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
189
Gambar 4.11.
Weight of Gas Column Chart
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
190
Gambar 4.12.
Weight of Gas Column Chart
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
191
Gambar 4.13.
Unloading Gradient Chart
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
192
Gambar 4.14.
Unloading Gradient Chart
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
193
Gambar 4.15.
Penentuan Ukuran Port
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
194
Gambar 4.16.
Penentuan Ukuran Port
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
4.1.5. Optimasi Continuous Gas Lift
195
Tujuan dari injeksi gas pada operasi continuous gas lift adalah untuk
memperkecil besarnya gradien tekanan alir di dalam tubing sehingga dengan
demikan tekanan yang dibutuhkan untuk mengangkat fluida juga menjadi lebih
kecil, akibatnya, juga menjadikan harga Pwf turun. Dengan menurunnya harga
Pwf, maka drawdownnya akan semakin besar. Akan tetapi pada kenyataan di
lapangan tidak selalu seperti itu. Hal ini dikarenakan pada keadaan tertentu
dengan bertambahnya laju injeksi gas bukan memperkecil gradien tekanan aliran
tetapi justru sebaliknya, karena adanya laju gas yang terlalu besar maka
kecepatannya juga semakin besar sehingga gesekan yang terjadi ikut bertambah
yang akhirnya akan memperbesar gradien tekanan alirannya disamping
dimungkinkan juga adanya tekanan balik. Dengan semakin besarnya gradien
tekanan aliran menyebabkan mengecilnya drawdown tekanan yang akan
menurunkan laju produksi.
Pada sub bab ini akan mengoptimasi harga GLR total maupun besar laju
injeksi yang optimum untuk mendapatkan laju produksi yang maksimum.
Pengertian GLR optimum adalah suatu harga dimana penambahan gas lebih lanjut
tidak akan menaikkan laju produksi, tetapi sebaliknya.
Persoalan sumur-sumur gas lift akan menjadi lebih sulit, hal ini
dikarenakan di dalam penyelesaian menggunakan variabel yang berbeda. Untuk
suatu harga laju produksi tertentu, perhitungan gradien tekanan aliran fluida di
dalam pipa digunakan dengan menggunakan parameter GLR formasi, yaitu
perhitungan dimulai dari tekanan dasar sumur sampai operating valve serta dari
reservoir sampai lubang sumur. Sedangkan untuk laju produksi yang sama
perhitungan gradien tekanan aliran fluida dengan menggunakan parameter GLR
total, yaitu diatas titik injeksi sampai ke kepala sumur yang divariasikan dengan
berbagai harga laju produksi total.
Metode Optimasi Continuous Gas Lift
Dalam melakukan optimasi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Membuat kurva inflow performance (IPR).
196
2500
IPR
GLR 663
GLR 800
2000
GLR 1000
GLR 1600
GLR 2000
GLR 2500
GLR 3000
1500
GLR 3500
Tekanan, Psi
GLR 4000
1000
500
0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800
Laju Produksi, stb/d
Gambar 4.17.
Kurva IPR dan GLR Asumsi
1220
1200
1180
Laju Produksi Total
1160
1140
1120
1100
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500
GLR Total, scf/stb
Gambar 4.18.
Gas Lift Performance Curve
198
Gambar 4.19.
Beam Pumping System
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Gambar 4.20.
Macam-macam Pompa Sucker Rod
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
199
Gambar 4.21.
Mekanisme Kerja Sucker Rod
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
200
d. Crank Shaft
Merupakan poros crank yang berfungsi untuk mengikat crank pada gear
reducer. Gerak rotasi dari gear reducer diteruskan ke crank, sedangkan crank
shaft sebagai poros/tetap.
e. Crank
Merupakan sepasang tangkai yang menghubungkan crank shaft pada gear
reducer dengan counterbalance. Pada crank ini terdapat lubang-lubang tempat
pitman bearing. Besar kecilnya langkah atau stroke pemompaan yang diinginkan
dapat diatur disini, dengan cara mengubah-ubah pitman bearing. Apabila
kedudukan pitman bearing ke posisi lubang mendekati counterbalance, maka
langkah pemompaan menjadi bertambah besar atau sebaliknya.
f. Counterbalance
Adalah sepasang pemberat yang fungsinya :
- Untuk mengubah gerak berputar dari prime mover menjadi gerak naik
turun.
- Menyimpan tenaga prime mover pada saat down-stroke atau pada saat
counterbalance menuju ke atas, yaitu pada saat kebutuhan tenaga kecil
atau minimum
- Membantu tenaga prime mover pada saat up-stroke (saat counterbalance
bergerak ke bawah) sebesar tenaga potensialnya, karena kerja prime mover
yang terbesar adalah pada saat up-stroke (pompa bergerak ke atas) yang
mana sejumlah minyak ikut terangkat ke atas permukaan.
g. Pitman
Adalah penghubung antara walking beam pada equalizer hearing dengan
crank. Lengan pitman merubah gerakan berputar dari counterbalance menjadi
gerakan naik turun pada walking beam.
h. Walking Beam
Merupakan tangkai horizontal di bawah horse head. Fungsinya merupakan
gerak naik turun yang dihasilkan oleh pasangan pitman-crank-counterbalance, ke
rangkaian pompa di dalam sumur melalui rangkaian rod.
202
i. Horse Head.
Menurunkan gerak dari walking beam ke unit pompa di dalam sumur
melalui bridle, polish rod dan sucker string atau merupakan kepala dari walking
beam yang menyerupai kepala kuda.
j. Bridle
Merupakan nama lain dari wire line hanger, yaitu merupakan sepasang
kabel baja yang disatukan pada carrier bar. Bridge berfungsi sebagai tenaga
angkat dari rangakaian peralatan bawah permukaan.
k. Carrier Bar
Merupakan alat yang berfungsi sebagai tempat bergantungnya rangkaian
rod dan polished rod. Carrier bar ini sebagai penyangga dari polished rod clamp
menjaga agar rod tidak jatuh.
l. Polished Rod Clamp
Komponen yang bertumpu pada carrier bar yang fungsinya untuk
mengeraskan kaitan polish rod pada carrier bar. Polished rod clamp juga sebagai
tempat dimana dinamometer diletakkan.
m. Polished Rod
Polished rod adalah rod yang berukuran lebih pendek. Polished rod
merupakan bagian teratas dari rangkaian rod yang muncul dipermukaan. Sebagai
fungsinya untuk menyesuaikan panjang rod dengan kedalaman yang diinginkan
n. Stuffing Box
Dipasang di atas kepala sumur (casing atau tubing head) untuk
mencegah/menahan minyak agar supaya tidak keluar bersama naik turunnya
polish rod. Dengan demikian seluruh aliran minyak hasil pemompaan akan
mengalir ke flowline lewat crosstee. Disamping itu juga berfungsi sebagai tempat
kedudukan polish head rod sehingga dengan demikian polish rod dapat bergerak
naik turun dengan bebas.
o. Sampson Post
Merupakan kaki- kaki penyangga atau penopang walking beam. Beratnya
walking beam bertumpu pada sampson post. Untuk menjaga kestabilan
203
ketinggian pada setiap kaki-kaki sampson post, maka sampson post diletakkan
pada bidang yang datar.
p. Saddle Bearing
Alat ini sebagai penghubung walking beam dengan sampson post bagian
teratas sehingga walking beam tetap bergerak pada posisinya. Alat ini bekerja
dengan cara sebagai poros pada gerakan walking beam, dan menjaga kedudukan
walking beam.
q. Equalizer
Adalah bagian atau dari pitman yang dapat bergerak secara leluasa
menurut kebutuhan operasi pemompaan minyak berlangsung. Equalizer
diletakkan diantara crank shaft dan pitman crank. Sebagai penyelaras dengan
gerakkan crank disetiap sisi.
r. Brake
Brake di sini berfungsi untuk mengerem gerak pompa jika dibutuhkan,
misalnya pada saat akan dilakukan reparasi sumur atau unit pompanya sendiri.
Prime mover dimatikan dan dengan adanya brake yang diletakkan di gear reducer
dapat memposisikan head horse pada tinggi maksimum atau tinggi minimum
untuk mempermudah ketika perawatan.
b. Plunger
Merupakan bagian dari pompa yang terdapat di dalam barrel dan dapat
bergerak naik turun yang berfungsi sebagai penghisap minyak dari formasi masuk
ke barrel yang kemudian diangkat ke permukaan melalui tubing.
c. Tubing
Seperti halnya pada peralatan sembur alam, tubing digunakan untuk
mengalirkan minyak dari dasar sumur ke permukaan setelah minyak diangkat oleh
plunger pada saat up stroke.
d. Standing Valve
Merupakan bola yang ikut bergerak naik turun menurut gerakan plunger
dan berfungsi mengalirkan minyak dari working barrel masuk ke plunger dan hal
ini terjadi pada saat plunger bergerak ke atas dan selanjutnya standing valve
membuka. Pada saat plunger bergerak ke bawah standing valve akan menutup
untuk mencegah fluida keluar ke annulus.
e. Traveling Valve
Merupakan bola yang ikut bergerak naik turun menurut gerakan plunger
dan berfungsi mengalirkan minyak dari working barrel masuk ke plunger dan hal
ini terjadi pada saat plunger bergerak ke bawah serta menahan minyak keluar dari
plunger pada saat plunger bergerak ke atas.
f. Gas Anchor
Merupakan komponen pompa yang dipasang dibagian bawah dari pompa
yang berfungsi untuk memisahkan gas dari minyak agar gas tersebut tidak ikut
masuk ke dalam pompa bersama-sama dengan minyak, untuk menghindari
masuknya pasir atau padatan ke dalam pompa, dan mengurangi atau menghindari
terjadinya tubing stretch.
Gas ini dialirkan masuk ke annulus dan dilepaskan ke permukaan melalui
Ada dua macam type Gas Anchor, yaitu :
- Poorman type
Larutan gas dalam minyak yang masuk ke dalam anchor akan melepaskan
diri dari larutan (bouyancy effect). Minyak akan masuk ke dalam barrel
melalui suction pipe, sedangkan gas yang telah terpisah akan dialihkan
205
Gambar 4.22.
Peralatan Bawah Permukaan Sucker Rod
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
207
Gambar 4.23.
Klasifikasi Pompa menurut API
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
22)
Keterangan :
Wr = Berat rod
g = Percepatan gravitasi
a = Percepatan maksimum yang terdapat pada sucker rod string
208
Faktor percepatan atau faktor dimana bobot mati dari rod harus dikalikan
dengan faktor kecepatan ini untuk mendapatkan beban percepatan yang maksimal,
dinyatakan sebagai :
a
..................................................................................................(4-23)
g
Keterangan :
a = Percepatan maksimum yang terdapat pada sucker rod string
g = Percepatan gravitasi
α = Faktor percepatan
Suatu study terhadap gerakan yang ditransmisikan dari prime mover ke
sucker rod menunjukkan bahwa gerakan sucker rod hampir merupakan gerak
beraturan yang sederhana. Gerak beraturan ini dapat dinyatakan sebagai proyeksi
suatu partikel yang bergerak melingkar pada garis tengah lingkaran tersebut.
Gambar 4.24.
Sistem Gerakan Sucker Rod
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Apabila hal tersebut diatas dihubungkan dengan sistem sucker rod, maka :
1. Diameter lingkaran menyatakan panjang langkah polished rod.
2. Waktu untuk sau kali putaran dari partikel yang melingkar sama dengan waktu
untuk satu kali siklus pemompaan.
209
Percepatan maksimum dari pada sistem sucker rod terjadi pada awal up stroke dan
awal down stroke, yaitu pada saat titik proyeksi mempunyai jarak yang jauh dari
pusat gerak melingkar. Pada saat tersebut percepatan dari pada proyeksi sama
dengan percepatan gerak melingkar, yaitu :
2
Vp
a = .................................................................................................(4-
re
24)
Keterangan :
Vp = Kecepatan partikel
re = Jari-jari lingkaran
Apabila waktu untuk satu kali putaran, maka :
2re
Vp = ..............................................................................................(4-
25)
Apabila N = jumlah putaran persatuan waktu :
Vp = 2 re N.........................................................................................(4-26)
Keterangan :
N = 1/, jika persamaan 4-24 dan 4-26 disubstitusikan pada persamaan 4-23
didapat :
2
Vp 4 2 re N 2
...................................................................................(4-
re g g
27)
Untuk sumur pompa :
N = Kecepatan pemompaan
re = Dapat dihubngkan dengan polished rod, stroke length yaitu :
re = S/2
Dengan demikian persamaan 4-27 menjadi :
2 2 SN
= ...........................................................................................(4-
g
28)
210
Panjang langkah polished rod biasanya dinyatakan dalam inchi, dan kecepatan
pemompaan dalam stroke per menit (SPM), maka :
2 2 SN 2 in / min 1 ft 1 min
=
32,2 ft / sec 12in 3600 sec 2
2
SN 2
= ............................................................................................(4-
70500
29)
4.2.2.2. Sucker Rod String
Sucker rod string didapati pada sumur-sumur yang dalam, dan tidak hanya
terdiri dari satu macam diameter, merupakan tappered rod (makin ke atas makin
besar diameternya, karena membawa beban yang lebih berat). Dengan anggapan
bahwa stress disetiap bagian sama (pada puncak masing-masing interval).
Pada Tabel V.4, R1, R2, R3, dan seterusnya adalah fraksi panjang dari
seluruh rod, dan karena umumnya suatu potongan rod mempunyai panjang 25 ft,
maka pembulatan selalu 25 ft.
Tabel IV-4.
Kombinasi Untuk Sucker Rod
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Ukuran rod pada Harga R sebagai fungsi Luas Plunger
string (Ap)
(in) Catatan : R1 adalah yang bawah atau
terkecil
R1 = 0,759 – 0,0896 Ap
5/8 – ¾ R2 = 0,241 + 0,0896 Ap
R1 = 0,786 – 0,0566 Ap
¾ - 7/8 R2 = 0,214 + 0,0566 Ap
R1 = 0,814 – 0,0375 Ap
7/8 – 1 R2 = 0,186 + 0,0375 Ap
5/8 – ¾ - 7/8 R1 = 0,627 – 0,1393 Ap
R2 = 0,199 + 0,0737 Ap
R3 = 0,175 + 0,0655 Ap
R1 = 0,644 – 0,0894 Ap
¾ - 7/8 – 1 R2 = 0,181 + 0,0478 Ap
R3 = 0,155 + 0,0146 Ap
R1 = 0,582 – 0,1110 Ap
¾ - 7/8 – 1 – 1 1/8 R2 = 0,159 + 0,0421 Ap
R3 = 0,137 + 0,0364 Ap
R4 = 0,123 + 0,0325 Ap
211
520GDAL
=
EA
Persamaan 4-37 di atas merupakan persamaan umum. Persamaan tersebut
dapat untuk menghitung perpanjangan dari suatu benda yang mengalami
pembebanan.
Berdasarkan persamaan 4-37, maka :
1. Perpanjangan tubing (et) adalah :
et = 5,20 G D Ap L / E At.....................................................................(4-38)
2. Perpanjangan rod string (er) adalah :
er = 5,20 G D Ap L / E Ar....................................................................(4-39)
Keterangan :
et = Perpanjangan tubing, in
er = Perpanjangan rod, in
G = Specific gravity fluida
D = Working fluid level, ft
L = Kedalaman letak pompa, ft
Ap = Luas penampang plunger, sq-in
At = Luas penampang tubing, sq-in
Ar = Luas penampang rod, sq-in
E = Modulus elastisitas = 30 x 106
Bila dipasang anchor pada tubing, maka bentuk L/A, dapat diabaikan.
Besarnya Ar, At, Ap dari masing-masing ukuran rod, tubing atau plunger
dapat dilihat pada Tabel IV-5, IV-6 dan IV-7 berikut :
Tabel IV-5.
Data Sucker Rod
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Rod Size, Area Plunger Rod Weight Konstanta, K
in (in2) (lb/ft)
½ 0.196 0.72
5/8 0.307 1.13 0.046
¾ 0.442 1.63 0.066
7/8 0.601 2.22 0.102
1 0.785 2.90 0.117
1 1/8 0.994 3.67 0.148
214
Tabel IV-6.
Data Tubing
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Normal Size Outside Weight Wall
(in) Diameter (lb/ft) Area
(in) (sq-in)
1½ 1.900 2.90 0.800
2 2.375 4.7 1.304
2½ 2.875 6.50 1.812
3 3.500 9.30 2.59
3½ 4.000 11.00 3.077
4 4.500 12.75 3.601
Tabel IV-7.
Data Plunger Pompa
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Diameter Area Pump Content
in Aq-in Bbl/day/in/spm
1 0.785 0.116
11/16 0.886 0.131
1¼ 1.227 0.182
1½ 1.767 0.262
1¾ 2.405 0.357
1 25/32 2.448 0.369
2 3.142 0.466
2¼ 3.976 0.590
2¼ 4.909 0.728
2¾ 5.940 0.881
3¾ 11.045 1.639
4 3/4 17.721 2.630
215
43)
dan perpanjangan pada waktu upstroke, adalah :
12(Wr Wr ) L / 2
eu = .........................................................................(4-
EAr
44)
Dari persamaan 4-43 dan 4-44 dapat ditentukan perpanjangan yang disebabkan
oleh beban percepatan, yaitu :
12Wr L
ep = e d – e u = ...........................................................................(4-
EAr
45)
Sedang berat rod string, adalah :
216
r LAr
Wr = ..........................................................................................(4-
144
46)
Keterangan :
= Faktor percepatan
r = Density rod, lb/cuft 490 lb/cuft untuk baja.
Maka :
12 L 490 LAt 40,8 L2
ep = ............................................................(4-
EAr 144 E
47)
Keterangan :
E = Modulus young besi = 30 x 106 Psi
Persamaan 5-47 digunakan untuk untappered rod string, sedangkan untuk
tappered rod string dilakukan pendekatan dengan persamaan berikut ;
ep = (32,8 L2) / E...............................................................................(4-48)
Keterangan :
Ep = Plunger overtravel, in
L = Panjang rod, ft
= Faktor percepatan = S N2 /70500
S = Panjang langkah, in
N = langkah/menit, SPM
Persamaan 4-48 akan memberikan perbedaan sekitar 25% tetapi hal in
tidak berpengaruh banyak dalam effective plunger stroke. Dengan demikian
effective plunger stroke adalah panjang langkah (polished rod stroke) dikurangi
dengan perpanjangan rod ditambah dengan (rod & tubing stretch) sebagai akibat
beban fluida ditambah dengan plunger overtravel, maka :
Sp = S + ep – (et + er)............................................................................(4-49)
Keterangan :
Keterangan :
T = Gaya puntiran, Lbs
W = Beban polished rod, Lbs
We = Counterweight, Lbs
e = Jarak dari crankshaft ke pitman bearing
d = Jarak dari crankshaft ke pusat titik O, in
= Posisi kedudukan crankshaft
= Sudut yang dibentuk oleh crank dengan bidang vertikal, derajat
Apabila geometri dari peralatan permukaan diabaikan, yaitu jarak dari
“saddle bearing” ke “tail bearing” serta “struktural unbalance” dari instalasi
permukaan, maka akan diperoleh persamaan untuk :
Ci = 2 Wc d /S......................................................................................(4-57)
Keterangan :
C = Crank counterbalance, lbs
Wc = Berat counterbalance, lbs
S = Panjang langkah, in
T = W (S/2) sin C (S/2) sin
= (W –C) (S/2) sin ..........................................................................(4-58)
Harga maksimum untuk variabel-variabel W dan sin masing –masing
adalah Wmax dan sin = 1 atau = 90, dengan demikian puntiran maksimum
(peak torque) adalah :
Tp = (Wmax –C) (S/2)............................................................................(4-59)
Keterangan :
Tp = Peak torque maksimum, Lbs
Dalam perhitungan harga peak torque (C) diasumsikan 95% dari harga
idealnya (Ci), maka persamaan 4-59 menjadi :
Tp = (Wmax – 0,95 Ci) (S/2)...............................................................(4-60)
4.2.2.7. Kapasitas Pompa (Pump Displacement)
Dengan prinsip torak (piston), maka volume teoritis pemompaan (pump
displacement) adalah :
220
65)
Density fluida yang dipindahkan 62,4 G (dimana G = Specific gravity)
lb/cuft. Gaya ke atas yang bekerja pada rod, adalah berat fluida yang dipindahkan
yaitu :
Wr
Gaya ke atas = x 62,4G
490
= -0,127 Wr G...............................................................(4-66)
Beban fluida yang digunakan dalam perhitungan beban polished rod
adalah berat kolom fluida yang ditahan oleh plunger, volume dari kolom fluida
dari plunger dan setinggi rod string adalah :
LAP
Volume = cuft..............................................................................(4-
144
67)
Volume fluida dapat diperoleh dari persamaan 4-67 dikurangi persamaan
4-65.
LAP Wr
Volume = - cuft....................................................................(4-
144 490
68)
Beban fluida Wf adalah :
222
= 6,31 x 10 -7 Wr S N : hp..............................................................(4-77)
Keterangan :
Wr = Berat rod string, lb
S = Panjang stroke, in
N = Jumlah stroke permenit, spm
Selanjutnya besarnya brake horse power (BHP) merupakan penjumlahan
hidraulic dan friction horse power. Untuk mengatasi tekanan yang tidak dapat
diperkirakan dalam peralatan dipermukaan maka diambil faktor keselamatan
sebesar 1,5. brake horse power dituliskan :
BHP = 1,5 (Hb + Hf).............................................................................(4-78)
4.2.2.12. Penentuan Efisiensi Total Pompa
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa efisiensi total pompa adalah
merupakan hasil kali dari dua efisiensi, yaitu efisiensi permukaan (above ground
efficiency) dan efisiensi bawah permukaan (bellow ground efficiency). Above
224
PRHP
=
BHP
Hydraulic horsepower
Bellow Ground Efficiency = Polished rod horsepower
HHP
= , Hp
PRHP
Keterangan :
H = Kedalaman sumur dari permukaan sampai top perforasi, ft
Pwf = Tekanan dasar sumur, Psi
Gf = Gradient formasi, psi/ft
S = Submergence, berkisar antara 60 – 100 ft
2. Displacement pompa
PD = Q / .............................................................................................(4-80)
Ketarangan :
PD = Pump Displacement, Bbl/day
Q = Laju alir, Bbl/day
= Densitas
-
menghitung αmaks
PPRL
maks
Atr
-
menghitung MPRL
231
MPRL = Wr – 0.1 Wr – α2 Wr
=0.9Wr–α2 Wr
-
menghitung αmin
MPRL
min
Atr
Menghitung effisiensi volumetric yang baru dengan S = “stroke
maksimum pompa terpasang”, in. N = “y”, spm. Dan q = “x” bpd,
adalah :
-
menghitung α1
SN 2
70500
-
menghitung Plunger Overtravel (ep).
Untuk Untappered
40.8.L2 .
ep
E
Untuk Tappered
46,5 L2
ep =
E
-
menghitung Perpanjangan Rod (er).
untuk jenis Untappered
5,20GDApL
er =
EAr
untuk jenis Tappered
5,20GDAp L1 L 2 L3
er = .....
E A1 A2 A3
-
menghitung Pump Displacement (V).
V = K Sp N
-
menghitung effisiensi volumetric sumur yang baru (setelah di
redesign)
q
Ev x100%
V
Dari prosedur perhitungan beberapa harga S dan N, yang kemudian diplot juga
dengan kurva IPR actual, maka akan didapatkan grafik seperti dibawah ini :
232
Gambar 4.26.
Perpotongan Kurva IPR dengan (N vs q) dan (S vs q)
Dari hasil perpotongan antara outflow dan inflow tersebut lalu diplot lagi
antara flow rate (q) terhadap panjang langkah (S) maupun kecepatan pemompaan
(N).
233
Gambar 4.27.
Perpotongan kurva hubungan (N vs q) dan (S vs q)
Dari grafik ini maka bisa ditentukan harga S dan N yang optimum.
4.3. Electric Submersible Pump
Electric Submersible Pump adalah pompa yang dimasukkan ke dalam
lubang sumur yang digunakan untuk memproduksi minyak secara artificial lift
(pengangkatan buatan) dan digerakkan oleh motor listrik. Peralatan pompa listrik
submersible terdiri dari pompa sentrifugal, protector dan motor listrik. Unit ini
ditenggelamkan di cairan, disambung dengan tubing dan motornya dihubungkan
dengan kabel ke permukaan yaitu switcboard dan transformator.
Pompa ESP terdiri dari pompa sentrifugal bertingkat banyak berputar
3,475 – 3,500 RPM, 60 Hz dengan motor listrik induksi sinkron kutub 3 fase,
berbentuk sangkar, instalasi ESP dapat dilihat pada Gambar 4.28. Pompa ESP
biasanya dipakai untuk laju produksi 200 – 2,500 STB/ day, walaupun dapat
digunakan untuk produksi sampai 95,000 STB/day. Pompa ESP umumnya
digunakan pada sumur miring di daerah lepas pantai. Didaratan hanya digunakan
untuk laju produksi tinggi yaitu di atas 2,000 STB/day, karena sucker rod pump
akan lebih ekonomis untuk sumur dengan laju produksi rendah.
234
Gambar 4.28.
Instalasi Electric Submersible Pump
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Prinsip Kerja ESP
Prinsip kerja ESP adalah berdasarkan pada prinsip kerja pompa sentrifugal
dengan sumbu putarnya tegak lurus. Pompa sentrifugal adalah motor hidrolik
yang dapat memompakan cairan, dengan jalan memutar cairan yang melalui
impeler pompa. Cairan masuk ke dalam impeler pompa menuju poros pompa,
dikumpulkan oleh diffuser dan kemudian akan dilempar keluar. Tenaga mekanis
motor oleh impeler dirubah menjadi tenaga hidrolik. Impeler terdiri dari dua
piringan yang di dalamnya terdapat sudu-sudu. Pada saat impeler diputar dengan
kecepatan sudut , cairan yang ditampung dalam rumah pompa kemudian
dialirkan melalui diffuser dan sebagian tenaga kinetik dirubah menjadi tenaga
potensial berupa tekanan, karena cairan dilempar keluar maka akan terjadi proses
penghisapan.
235
Gambar 4.29.
Skema Impeler dan Diffuser
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
d. Transformer
Berfungsi sebagai perubah tegangan primer yang tinggi menjadi tegangan
sekunder yang rendah sesuai yang dibutuhkan motor. Adanya tegangan tinggi
yang masuk ke motor akan merusak pompa. Sehingga diperlukan transformer
untuk menyesuaikan tegangan tersebut.
4.3.1.2. Peralatan Di Bawah Permukaan Electrical Submersible Pump
a. Motor listrik
Motor listrik yang digunakan adalah motor induk tiga fase, dua katup,
squirrel cage. Fungsi dari motor ini adalah untuk menggerakkan shaft pompa
sehingga impeller-impeller-nya berputar. Putaran motor listrik umumnya
dirancang dengan kecepatan 3500 putaran per menit (RPM), dengan frekwuensi
60 Hz. Motor diisi dengan minyak yang tahan terhadap tegangan listrik yang
tinggi. Motor didesain untuk tegangan yang dapat dipakai antara 230 sampai 5000
volt, dengan satuan listrik 12 sampai 125 Ampere. Penambahan daya HP dari
motor dilakukan dengan merangkai panjang motornya.
Rangkaian motor ESP (bertingkat) dapat mencapai 750 HP dengan
panjang sekitar 90 ft. selain ukuran motor, yang perlu diperhatikan adalah horse
power dan seri motor. Jenis seri menunjukkan diameter motor yang harus sesuai
dengan diameter dalam casing sumur.
237
Gambar 4.30.
Motor Pompa ESP
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
b. Kabel
Kabel dipakai sebagai sarana penghantar daya listrik dari permukaan ke
motor yang letaknya di dalam sumur. Kabel selain tahan temperatur dan tekanan
238
fluida, serta kedap terhadap resapan liquid dari sumur. Untuk itu kabel harus
memiliki bagian seperti :
- Konduktor
- Isolasi
- Sarung
Ada dua jenis kabel yang biasa dipakai round cable atau flat cable. Jenis –
jenis kabel dapat dilihat pada Gambar 4.31. Biasanya kabel jenis round
mempunyai usia pakai lebih lama dari pada jenis flat, tetapi memerlukan ruang
penempatan yang lebih besar. Bila digunakan flat kabel seluruhnya maka
kehilangan tenaga listrik akan bertambah 8 %. Juga flat kabel mudah rusak dalam
pemasangannya.
Kabel listrik terdiri dari tiga kabel yang diisolir satu sama lain dengan
pembalut dari karpet. Ketiganya terbungkus oleh suatu pelindung yang terbuat
dari baja penampang kawat tembaga berubah-ubah fungsi tegangan arus dari
motor dan biasanya dipilih antara 16,25 aau 35 mm 2. Hubungan antara tubing dan
kabel dilakukan dengan pertolongan kabel clamp.
Gambar 4.31.
Kabel
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
c. Seal Section (Protector)
Protector diletakkan di antara motor dan pompa. Fungsinya :
239
Gambar 4.32.
240
Gambar 4.33.
Gas Separator atau Intake Section
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
241
e. Pompa Sentrifugal
Pompa submersible adalah tipe pompa centrifugal multi tingkat. Setiap
tingkat terdiri dari bagian yang bergerak yaitu impeller dan bagian yang stasioner
(tidak bergerak) yaitu diffuser. Tipe dan ukuran dari tiap tingkat menentukan
volume dari fluida yang dapat diproduksi. Jumlah tingkatnya menentukan jumlah
head yang dihasilkan, apabila dikalikan dengan daya (HP) pert ingkat dan spesiic
gravity-nya, maka jumlah HP motor yang dibutuhkan dapat ditentukan.
Pompa tandem adalah beberapa single pump (pompa tunggal) yang
disusun seri baik secara hydraulic untuk memberikan total head dari pompa yang
dibutuhkan untuk keperluan tertentu. Komponen ini, seperti halnya poros pompa
dibuat khusus yang tahan korosi, scale, temperatur tinggi, pasir dan jumlah
tingakat yang digunakan untuk ukuran tertentu tergantung pada head
pengangkatan.
f. Motor Lead Cable
Motor lead cable disebut juga motor lead extension dan berbentuk flat
(pipih). Panjangnya dibuat sepanjang pothead pada motor sampai dengan bagian
atas dari pompanya, yang kemudian disambungkan dengan power kabelnya.
Seal section, gas separator dan pompa dengan flat cable ini dimasukkan
agar total diameter luar rangkaian pompa dan motor lead cable tidak terlalu besar
untuk dimasukkan sumur, terutama pada sumur yang menggunakan liner yang
ukurannya lebih besar dari diameter casing. Motor lead cable diberi pelindung
(cable guards) untuk mencagah kerusakan pada waktu dimasukkan ke dalam
sumur.
Keterangan :
N = jumlah tingkat, stage
Gf = gradien fluida, psi/ft
H = head, ft/stage
4.3.2.3. Pemilihan Motor
Pemilihan ukuran motor yang dibutuhkan berdasarkan pada :
- Tegangan listrik yang tersedia
- Ukuran casing sumur
- Besarnya horse power yang dibutuhkan
Ukuran motor juga dibatasi oleh ukuran minimum casing yang dipakai
seperti halnya pompa. Untuk seri motor yang dipilih disesuaikan dengan seri
pompa yang telah dipilih. Besarnya horse power motor dihitung dengan
persamaan :
HP = SGxNxhp…………………………………………….………………(4-97)
243
Keterangan :
SG = Spesific gravity fluida
Hp = Horse power motor untuk tiap stage, HP/stage
Apabila besarnya hp yang dibutuhkan motor dari hasil perhitungan tidak
sama dengan hp yang tersedia maka dipilih motor yang dimiliki hp yang lebih
besar dan yang paling mendekati.
Vsx Im x1.73
T = ……………………...…………………………….(4-
1000
100)
Keterangan :
T = Ukuran transformer, KVA
Vs = Surface Voltage, volt
Im = Ampere motor, ampere
9. Pilih jenis dan ukuran dari katalog perusahaan pompa bersangkutan dan
gambar yang menunjukkan effisiensi maksimum untuk laju produksi yang
diperoleh di langkah 4. baca harga head capacity (HC) dan daya kuda motor
(HP motor) pada laju produksi tersebut.
10. Hitung jumlah stages atau tingkat
246
TDH
Jumlah stages = ……………………………………....………….(4-
HC
106)
11. Hitung daya kuda yang diperlukan :
HP = HP motor x jumlah stages………………………..……………….(4-107)
12. Tentukan jenis motor pada tabel yang memenuhi HP tersebut.(pada Gambar 4-
35).
13. Untuk masing-masing jenis motor hitung kecepatan aliran di annulus motor
0.0119 xQtotal
(FV) :FV =
( IDca sin g ) 2 (ODmotor ) 2
Jenis motor dan OD motor terkecil yang memberikan PV > 1 ft/dtk adalah
pasangan yang harus dipilih.
14. Baca harga arus listrik (A) dan tegangan listrik (Vmotor) yang dibutuhkan
untuk jenis motor yang bersangkutan.
15. Dari harga arus listrik tersebut pilih jenis kabel pada gambar (dianjurkan
memilih jenis kabel yang mempunyai kehilangan tegangan di bawah atau
sekitar 30 volt tiap 1000 ft.
V kabel = (HS- 50) x V/ 1000 ft……………………..………………(4-108)
16. Memilih transformator dan switchboard
a. Hitung tegangan yang diperlukan motor dan kabel
(Vtotal) = V motor + V kabel
b. Hitung KVA = 1,37 x Vtot xA/1000
c. Dari tabel tentukan transformator yang memenuhi hasil perhitungan 16 b
karena aliran 3 fasa maka transformator yang dipilih adalah sepertiga dari
hasil hitungan 16.b.
d. Dari tabel tentukan switcboard yang sesuai
17. Lakukan perhitungan total tegangan pada waktu start sebagai berikut :
a. Kebutuhan tegangan untuk start = 20,35 x voltage rating
b. Kehilangan tegangan selama start = 3 x kehilangan tegangan biasa
247
18. Bandingkan apakah total tegangan pada waktu start tidak melebihi tegangan
yang dikeluarkan oleh switcboard. Apabila tidak melebihi, berarti perencanaan
telah betul, apabila melebihi ulangi langkah 16.
248
Gambar 4.34.
Chart Kehilangan Tekanan Dalam Pipa
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Tabel IV-8.
Jenis Motor ESP
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
249
250
Gambar 4.36.
Chart Kehilangan Tegangan
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
1.85 1.85
100 Qt
2.083
Friction Loss (F) = C 34.3
ID 4.8655
Kemudian menghitung Tubing Friction Loss (Hf).
Tubing Friction Loss (Hf) = F x PSD (MD)
4. Menentukan Tubing Head (HT)
Tubing Pr essurex 2.31 ft / psi
Tubing Head (HT) =
G
5. Menentukan Total Dynamic Head (TDH)
Total Dynamic Head (TDH) = HD + HF + HT
d. Penentuan Effisiensi Volumetris (% Ev)
1. Menentukan Head per Stage, (ft/stage) dengan persamaan ;
TDH
Head per Stage, (ft/stage) = Stages
Gambar. 4.37.
Grafik Friction Loss William-Hazen
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Gambar. 4.38.
Recommended Operating Range Pump Performance Curve untuk A-30 50Hz
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Pc
PSDmaks = Dmidperforasi Gf
Gambar 4.39.
Grafik Hasil Perencanaan PSD Berubah dengan Tipe dan Stage Tetap.
γfsc = (ρfsc/350)
3. Mengasumsikan laju produksi bervariasi,
kemudian menentukan head/stage dari Pump Performance Curve
dan menghitung tekanan intake pompa (P3), setelah mengetahui
harga tekanan discharge Pompa (P2) masing-masing maka
dilakukan perhitungan laju produksi.
4. Memplot laju produksi terhadap tekanan intake
dari tiap stage asumsi pada kurva IPR.
255
Gambar 4.40.
TIP pada Tubing 2.441 inches Kurva IPR Pudjo Sukarno
256
Gambar 4.41.
Grafik Hasil Perencanaan PSD Tetap denganTipe dan Stage Pompa Berubah
c. Pump Setting Depth Berubah dengan Tipe dan Stage Pompa Berubah
Dalam perencanaan electical submersible pump (ESP) untuk PSD berubah
dengan Tipe dan Stage pompa juga berubah, langkah perhitungannya sama seperti
perhitungan pada dua bab sebelumnya. Langkah-langkahnya adalah sebagai
berikut :
1. Mengasumsikan PSDobs yang berada dalam range
PSDmin dan PSDmaks.
2. Memilih tipe pompa yang sesuai dengan
produktivitas formasinya dengan langkah perhitungan yang sama
seperti pada bab sebelumnya.
3. Menentukan Total Dynamic Head (TDH) dan Head
Pompa pada PSDobs dengan mengasumsikan beberapa harga laju
produksi dan jumlah stages (SPS stok).
4. Mengulangi langkah 1 sampai 3 untuk PSD asumsi
lainnya.
5. Memilih pompa PSD pada asumsi yang
menghasilkan laju produksi yang berada dalam batas (range) pompa
yang direkomendasikan dan sesuai dengan produktivitas formasi.
Secara keseluruhan prosedur perhitungan optimasi dengan merubah PSD
sekaligus tipe dan stage pompa, merupakan kombinasi antara perencanaan PSD
tetap, tipe dan stage pompa berubah dengan PSD berubah, tipe dan stage tetap.
Seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.42 maka harga laju produksi yang
memberikan harga lebih besar dengan PSD yang semakin dalam, dan
menggunakan stage pompa yang semakin besar.
257
Gambar. 4.42.
Grafik Hasil Perencanaan Evaluasi ESP dengan PSD Berubah Tipe dan
Stage Pompa Berubah.
4.4. Progressive Cavity Pump (PCP)
Progressive Cavity Pump (PCP) merupakan salah satu jenis pompa putar
(rotary pump) yang terdiri dari rotor berbentuk ulir yang digerakkan oleh
penggerak melalui rod dan drive head, serta berputar didalam stator yang
merupakan bagian diam dari pompa yang dihubungkan kepermukaan oleh tubing.
Prime mover umumnya menggunakan motor listrik yang dipasang dipermukaan
didekat wellhead yang dihubungkan dengan perantara v-belt drive ke drive
assembly-nya. Stator pompa biasanya dihubungkan dengan tubing produksi
dipermukaan (pada tubular PCP) dan stator pompa dimasukkan dalam tubing
(pada insertabel PCP).
PCP terdiri dari dua komponen utama, yaitu stator yang diam berbentuk
pipa selubung yang bagian dalamnya terbuat dari bahan elastomer yang berbentuk
“double threaded helical” dan rotor yang bergerak secara rotary dan dalam
keadaan normal akan memompa fluida dan mendorongnya kepermukaan secara
positif (positive displacement pump). Arti positif disini adalah bahwa fluida yang
telah masuk kedalam pompa seluruhnya akan didorong kepermukaan tanpa
adanya fluida yang mengalir balik seperti yang terjadi pada pompa ESP. Dalam
keadaan normal clearance antara rotor dan stator yang membentuk cavities tidak
terbuka (ada celah) sehingga fluida yang mengisi cavities akan didorong
258
Gambar 4.43.
Progressing Cavity Pump
259
(SPE 110479., ”World’s First Metal PCP SAGD Field Test Shows Promising
Artificia-Lift Technology for Heavy-Oil Hot Production: Joslyn Field Case”,
2007)
Prinsip Kerja Progressive Cavity Pump
Pada PCP prinsip yang bekerja yaitu proses pemindahan rongga-rongga
yang terbentuk antara rotor dan stator yang berlangsung secara terus-menerus
dimana motor yang berputar dalam stator. Pada waktu rotor berputar secara
eksentris di dalam stator serangkaian rongga-rongga (cavities) yang terpisah 180o
satu sama lain bergerak maju dari sisi sebelah bawah naik menuju sisi pompa
sebelah atas. Pada saat rongga yang satu mengecil, rongga yang bersebelahan
akan membesar dengan kecepatan yang sama sehingga terjadi aliran fluida tanpa
kejutan-kejutan, karena tidak ada katup (valve) seperti pada pompa sucker rod
sehingga tidak ada gas yang terperangkap (gas lock) yang dapat mengurangi
efisiensi pompa dan aliran yang ada berlangsung secara kontinyu dengan
kecepatan rendah yang konstan (low velocity non-pulsating positive
displacement). Pompa jenis ini mampu menahan tekanan tersekat masing-masing
rongga satu sama lain oleh suatu seal yang terbentuk seperti garis (seal line)
antara rotor dan stator atau tepatnya pada bagian elastomernya.
Elastomer merupakan bagian dari stator berbentuk karet yang sangat
penting perannya dalam pertimbangan penggunaan pompa PCP ini. Elastomer
reaktif terhadap fluida produksi (minyak) dan mefmbentuk clearance antara rotor
dan stator.
Gambar 4.44.
Prinsip Kerja PCP
260
(SPE 110479., ”World’s First Metal PCP SAGD Field Test Shows Promising
Artificia-Lift Technology for Heavy-Oil Hot Production: Joslyn Field Case”,
2007)
Beberapa kelebihan PCP antara lain :
− Mampu memproduksikan fluida yang viskositasnya tinggi (>5000 cp)
− Mampu memproduksikan fluida yang banyak mengandung padatan/pasir
tetapi tahan tehadap abrasi
− Toleran terhadap adanya kandungan gas bebas
− Tidak punya katup balik (bagian yang bergerak dimana dapat menyebabkan
macet/aus)
− Harganya relatif murah dan rendah pemakaian energi listriknya
− Rendah internal shear rate-nya (kecil kemungkinan terjadi emulsi akibat
agitasi)
− Sederhana instalasinya dan operasinya, tidak menimbulkan suara tubing
− Mudah perawatan dan pemeliharannya
− Tidak memerlukan cabut tubing (work over) saat mengganti pompa pada
insertable PCP
3. V-belt System
V-belt adalah tali kipas yang menghubungkan roda dari prime mover
(Prime Mover Sheave) dengan roda dari drive (Drive Sheave), dimana tali kipas
ini tidak boleh teralu kencang dan tidak boleh terlalu kendur untuk mencapai
putaran yang optimal.
4. Drive Head Assembly
Adalah rangkaian peralatan yang meneruskan tenaga dari prime mover
dengan V-belt untuk memutar rod dan pompa ulir. Letaknya diatas well head yang
dilengkapi dengan well head frame untuk disambungkan ke well head, terdiri dari
komponen-komponen sebagai berikut :
A. Backstop Break Assembly
Alat ini disebut juga “Roller-Ramp Overruning Clutch” yang berfungsi
sebagai alat pengaman bagi seluruh peralatan progressing cavity pump. Break
akan bekerja pada waktu drive shaft berusaha akan berputar balik atau
berputar berlawanan arah dengan jarum jam. Hal ini dapat terjadi apabila
263
mesin penggeraknya stall (macet atau mati). Bila mesin penggerak berhenti
pada saat keadaan normal, fluida dalam tubing akan turun melalui elemen
pompa. Ketika itu terjadi, rotor pompa dan rod-string akan berputar balik.
Torqeu (gaya puntir) dibangkitkan oleh motor listrik dan dipindahkan ke
rod-string dan kekuatan dari mesin penggeraknya. Bila mesin penggeraknya
berhenti, rod-string akan berusaha berputar balik untuk menghilangkan
torque-nya. Pada waktu rod-string bergerak balik ini, perbedaan ukuran dari
roda gigi penurunan putaran berubah menjadi mempercepat dan memindahkan
kecepatan putaran pada sheave yang bekerja secara potensial dan
membahayakan. Tugas dari backstop break adalah untuk mencegah rod-string
dan komponen lainnya berputar balik, dengan demikian torque yang tersimpan
dapat direndam secara terkendali. Prinsip kerja backstop break assembly
adalah terdiri dari roller-ramp overruning clutch yang dipasakkan kepada
drive shaft dan dikelilingi oleh break and assy (sabuk rem) yang seluruh
bagian yang bekerja ditempatkan pada housing dan diberi penutup.
Overruning clutch menggunakan roller ramp yang dirancang dapat
bergerak bebas pada arah putaran satu dan bekerja pada arah sebaliknya. Pada
waktu bekerja normal dimana drive shaft-nya berputar searah jarum jam, alat
ini tidak bekerja dan roller-roller akan mengembang dan bergulir bebas. Akan
tetapi bila drive shaft berusaha untuk berputar balik maka roller-roller dengan
segera terjepit diantara ramp putar dan silinder yang diam dan ditahahan oleh
sabuk remnya. Kekuatan cengkeraman remnya dilepaskan dengan
mengendorkan sedikit ikatan baut penegang (tension bolt) sehingga daya
cengkeramnya berkurang. Alat ini terutama terdiri dari sebuah overruning
clutch yang didalamnya terdapat satu outer race seal dan ditempatkan
diatasnya, serta satu lip seal yang ditempatkan dibawahnya.
B. Drive Shaft
Ujung bawah dari drive shaft disambungkan dengan pony-rod dan
selanjutnya disambungkan dengan rangkaian sucker rod sampai ke ujung
rotor pompa.
C. Spiral Bevel gear Reducer Assembly
264
Susunan roda gigi bevel ini gunanya adalah selain untuk mengurangi
kecepatan putaran, juga untuk mengubah arah putarannya secara menyiku
sesuai dengan rotasi dari rotor pompa.
D. Stuffing Box Assembly
Merupakan bagian aas dari drive head assembly, digunakan sebagai
penyekat kebocoran terdiri dari housing yang didalamnya berisi satu set ring-
ring packing. Pada bagian terbawah dari packing housing dipasang packing
washer. Diatas washer dipasang dua susun ring packing dan diantaranya
dipasang lantern rings (ring-ring lantera) tempat memasukkan grease
(pelumas). Pada bagian paling atas dipasang packing gland penekan packing
yang terdiri dari dua belahan yang diikat secukupnya agar tidak terjadi
kebocoran antara drive shaft yang berputar dan packing-nya.
Gambar 4.45.
Susunan Progressive Cavity Pump
265
3. Centralizer
Merupakan alat tambahan yang dipasang pada tubing yang berfungsi
untuk menjaga tubing tetap berada di tengah-tengah lubang bor dan mencegah
gesekan langsung antara tubing dengan dinding casing. Biasanya centralizer ini
diaplikasikan pada sumur bersudut (deviated well) dengan kemiringan yang kecil.
4. Stator
Terletak diatas gas anchor yang dihubungkan dengan tubing produksi dan
berfungsi sebagai dudukan dari rotor. Stator terbuat dari bahan campuran
synthetic elastomer dengan steel tube yang tahan terhadap korosi dan abrasi.
Adapun spesifikasi dari stator adalah :
a) Medium High Acrylonitrile, digunakan dengan kondisi :
SG minyak < 30 oAPI
Fluida dengan GOR rendah
Jika ada CO2
Temperatur maksimum 200o F
b) Ultra High Acrylonitrile, digunakan dengan kondisi :
266
Tabel IV-9.
Spesifikasi Elastomer
(www.dyna-drill.com, ”Dyna-Lift Progressing Cavity Pumps”, 2006)
Elastomer Tipe Elastomer Keterangan Batas Ketahanan Ketahanan Ketahanan
Temperatur H2S CO2 Pasir
(ºC)
NBR-1A Medium-High Sangat baik digunakan pada 90 ºC Cukup Baik Baik
Acrylonitrile daerah yang abrasi, Baik untuk
NBR viskositas minyak diatas 25
ºAPI, toleran terhadap 2% H2S,
dan 2-3% volume pasir
NBR-OR High Sangat baik digunakan pada 125 ºC Sangat Sangat Baik
Acrylonitrile daerah yang abrasi, Baik untuk Baik Baik
NBR viskositas minyak diatas 35
ºAPI, toleran terhadap 3-5%
H2S, dan 2-3% volume pasir
NBR-SR Medium-High Sangat baik digunakan pada 85 ºC Cukup Sangat Sangat
Acrylonitrile daerah yang abrasi, Baik untuk Baik Baik
NBR viskositas minyak diatas 25
ºAPI, toleran terhadap 2% H2S,
dan 5% volume pasir
HSN-38 Medium-High Sangat baik digunakan pada 150 ºC Sangat Sangat Baik
Acrylonitrile daerah yang abrasi, Baik untuk Baik Baik
NBR viskositas minyak diatas 25-30
ºAPI, toleran terhadap 3-5%
267
5. Rotor
Rotor ini bentuknya seperti ulir dan merupakan salah satu bagian dari PCP
yang berputar. Komponen ini dimasukkan kedalam tubing dan dihubungkan
dengan rod diatasnya. Rotor ini dibuat dari bahan stainless atau chrome yang
tahan terhadap korosi dan abrasi. Adapun spesifikasi dari rotor adalah :
a. Chrome Plate (Alloy Steel), digunakan untuk sumur-sumur yang cairannya
banyak mengandung faktor abrasi (pasir).
b. Non Plated (Stainless Steel), digunakan untuk sumur-sumur yang cairannya
banyak mengandung asam seperti H2S.
Dalam memilih rotor selain pertimbangan diatas, juga sangat dipengaruhi
oleh viscositas fluida dan BHT (Bottom Hole Temperature) reservoir.
Stator
Rotor
Gambar 4.46.
Stator Dan Rotor Progressive Cavity Pump
(SPE 110479., ”World’s First Metal PCP SAGD Field Test Shows Promising
Artificia-Lift Technology for Heavy-Oil Hot Production: Joslyn Field Case”,
2007)
6. Sucker Rod
Merupakan penghubung antara rotor dengan peralatan penggerak yang ada
di permukaan. Fungsinya adalah melanjutkan gerak berputar dari drive shaft atau
268
gear reducer yang ada didalam drive head ke rotor. Umumnya panjang satu
single sucker rod berkisar antara 25-30ft.
7. Pony Rod
Merupakan sucker rod yang mempunyai ukuran panjang lebih pendek.
Fungsinya adalah melengkapi panjang dari sucker rod apabila panjang dari sucker
rod tidak mencapai panjang yang dibutuhkan. Panjang pony rod adalah 2, 4, 6, 8,
10, dan 12 ft.
1. Hydraulic Skids
Adalah suatu unit perlatan yang mentrasmisikan tenaga dari prime mover
ke drive head dengan sisem Hydraulic Power Transmision Unit (HPTU). Alat ini
dilengkapi denga peralatan monitor tenaga putar dan penutup aliran (Torque
Monitoring dan Shutdown Assembly) yang berfungsi memutuskan aliran atau
tenaga dari prime mover dan menghentikannya bila terjadi putaran tinggi,
sehingga drive dan rod tidak rusak.
2. Tubing On-Off Tools
Alat ini berfungsi sebagai penyambung tubing pada beberapa titik rawan,
sehingga tubing terjaga agar tidak terlepas, karena alat ini dapat membebaskan
tegangan pada tubing dan meredam putaran yang berlawanan arah (berlawanan
arah jarum jam). Dan bila dikombinasikan dengan anchor atau catcher akan lebih
menstabilkan kedudukan tubing.
3. Sucker Rod Centralizers
Alat ini berfungsi untuk menjaga agar rangkaian rod tetap berada
ditengah-tengah (centralizing) tubing, sehingga memberikan putaran yang
maksimum selain mencegah rangkaian rod menempel pada tubing yang dapat
269
mengesek dan mengikisnya. Pada fluida produksi yang mengandung pasir, bahan
elastomer dari sleeve dapat menahan dan melindungi peralatan dari pengikisan
tersebut. Selain itu sucker rod centralizer juga meminimalkan friction loss yang
dapat mengurangi laju produksi, karena dirancang tidak bergerak dan mempunyai
baling-baling.
Alat ini terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu:
a. Centralizer Shaft: terbuat dari baja yang diberi lapisan chrome,
sehingga dapat menaahan abrasi yang tinggi serta mempunyai lubang
ditengah-tengah rod yang ditengahkan.
b. Centralizer Sleeve: terbuat dari nitrile dengan baling-baling yang akan
melekatkan shaft pada tubing.
Gambar 4.47.
Grafik Performance Pompa.
(Pedoman Pertamina, “Teknik Produksi” Jakarta, 2003)
273
Tabel IV-11.
Spesifikasi Pompa.
(Pedoman Pertamina, “Teknik Produksi” Jakarta, 2003)
274
Tabel IV-12.
Pemilihan Drive Type dan Accessories Pompa.
(Pedoman Pertamina, “Teknik Produksi” Jakarta, 2003)
Dimana :
SFL = Static fluid level, ft
WFL = Working fluid level, ft
Ps = Tekanan statik sumur, psi
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psi
q = Rate produksi, B/D
Dmid perf = Kedalaman mid perforasi, ft
Pc = Casing head pressure, psi
Gf = Gradient fluida, psi/ft
Pump Setting Depth Minimum
Posisi minimum dalam waktu yang singkat akan terjadi pump off, oleh
karena ketinggian fluida level di atas pompa relatif sangat kecil atau pendek. Pada
kondisi ini pump intake pressure (PIP) akan menjadi kecil. Jika PIP mencapai
harga di bawah tekanan bubble point (Pb), maka akan terjadi penurunan efficiency
volumetric dari pompa (disebabkan terbebasnya gas dari larutan). Pump setting
depth (PSD) minimum dapat ditulis dengan persamaan :
PSD min = WFL + Pb/Gf + Pc/ Gf, ft………………………………(4-122)
Dimana :
PSDmin = Pump setting depth minimum, ft.
WFL = Working fluid level, ft
277
124)
Sehingga apabila kedalaman level fluid pada kondisi operasi WFL
diketahu, maka kedalaman pompa dapat ditentukan dengan persamaan :
PSD opt =WFL + Hfop……………………………………………..,,(4-125)
Dimana :
PSD opt = Pump setting depth optimum, ft
WFL = Working fluid level, ft
Hfop = tinggi kolom fluida di atas pompa (submerger), ft
Pump Setting Depth Maksimum
Pompa pada keadaan maksimum, juga kedudukan yang kurang
menguntungkan. Karena dalam keadaan ini memungkinkan terjadinya overload
(pembebanan berlebihan), yaitu pengangkatan beban kolom fluida yang terlalu
berat. Kedalaman pump setting depth (PSDmax) dapat didefinisikan :
Pb Pc
PSDmax = D mid perf - Gf Gf , feet ………………………………..(4-126)
Dimana :
Dmid perf = Kedalaman mid perforasi, ft
278
Keterangan :
EV = volumetric pumping efficiency (%)
Qactual = actual flow rate (bbl/day, atau m3/day)
Qtheory = theoritical flow rate (bbl/day atau m3/day)
Prinsip kerja pompa jet adalah berdasarkan transfer momentum antara dua
aliran power fluid bertekanan tinggi yang dialirkan melalui suatu nozel dan energi
potensial (tekanan) diubah ke energi kinetis dalam bentuk kecepatan tinggi atau
jet. Fluida produksi bercampur dengan power fluid di pipa pencampuran yang
disebut throat. Dengan bercampurnya power fluid dengan fluida produksi maka
momentum dipindahkan ke fluida produksi sehingga energinya akan meningkat.
Dengan dilakukannya pencampuran tersebut (pipa melebar dengan sudut sekitar
6o) maka kecepatan fluida (terutama power fluid) akan berkurang dan sebagian
energinya diubah kembali ke energi potensial (tekanan) yang cukup untuk
mengirim campuran (power fluid balik dan produksi) tersebut ke permukaan
(Gambar 4.48.).
Gambar 4.48.
Casing Tipe Jet Pump
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Power Fluid
281
Power fluid adalah fluida yang digunakan sebagai media penghantar untuk
mentransfer energi yang diberikan dari permukaan ke fluida sumur. Energi
diberikan pada fluida ini adalah dengan memompakan fluida ke dalam sumur
melalui tubing dengan tekanan injeksi tertentu.
Kualitas power fluid, baik minyak maupun air yaitu viskositas dan
terutama jumlah partikel padat merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
umur pompa. Untuk itu power fluid harus bersih dari partikel-partikel dan dapat
berfungsi sebagai pelumas. Partikel padat yang diijinkan adalah 10-15 ppm untuk
minyak dengan berat jenis 30-40 °API, ukuran partikel tidak lebih dari 15 mikron
dengan kadar garam maksimum sebesar 12 lb/1000 bbl minyak dari lapangan
yang bersangkutan harus di proses dan dibersihkan agar dapat digunakan sebagai
power fluid. Pemilihan minyak atau air sebagai fluida kerja tergantung pada
beberapa faktor, yaitu :
Air lebih aman terhadap bahaya kebakaran dan polusi.
Pompa untuk air memerlukan pelumas dan penyekat pada toraknya,
sedangkan untuk minyak tidak.
Biaya pemeliharaan dan operasi pompa minyak lebih kecil.
Bila digunakan air sebagai fluida kerja maka tekanan kerja pompa lebih
besar karena air lebih berat daripada minyak.
Bila fluida formasi termasuk minyak berat, fluida kerja miyak lebih mudah
bercampur dan mengalir ke permukaan.
Untuk operasi Jet Pump, tersedia 2 jenis sistem power fluid, yaitu:
a. CPF (close power fluid), di mana power fluid yang
mengalir kembali ke permukaan terpisah dari fluida produksi. Sistim ini
hanya bisa dilakukan untuk pompa piston hidrolik (Gambar 4.49.)
b. OPF (open power fluid), di mana power fluid
bercampur dengan fluida produksi dan sebagian dari campuran ini akan
diproses dan dibersihkan dan sebagian kembali ke tangki penyimpan
power fluid untuk diinjeksikan kembali ke sumur-sumur. Sistem OPF
dapat untuk pompa piston hidrolik maupun jet. (Gambar 4.50.)
282
Gambar 4.49.
Fasilitas Permukaan Pada Sistem Closed Power Fluid
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Gambar 4.50.
Fasilitas Permukaan Pada Sistem Open Power Fluid
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
4.5.1. Peralatan Jet Pump
283
Peralatan jet pump dibagi menjadi dua macam, yaitu peralatan di atas
permukaan dan peralatan di bawah permukaan. Peralatan-peralatan tersebut saling
berhubungan selama kelancaran proses jet pump.
4.5.1.1. Peralatan Di Atas Permukaan Jet Pump
Pada dasarnya fasilitas peralatan permukaan dari jet pump sama dengan
peralatan permukaan umumnya. Separator, heater treater, manifold adalah contoh
peralatan permukaan yang umum dipermukaan, tetapi didalam jet pump dikenal
juga peralatan khusus yang digunakan, yakni peralatan yang jarang dijumpai pada
peralatan permukaan umumnya.
1. Gas Boot
Peralatan ini berfungsi untuk melepaskan fluida dari molekul-molekul gas
yang terkandung didalamnya. Mekanisme kerja dari peralatan ini dengan cara
gravity setling.
2. Power Fluid Tank
Tank ini berfungsi sebagai tempat menampung power fluid. Pencampuran
power fluid dengan fluida produksi dipisahkan dahulu di separator, treater, dan
gas boot. Hasil pemisahan menghasilkan fluida produksi yang ditampung dalam
production tank dan power fluid yang ditampung dalam power fluid tank. Power
fluid disimpan sebagai stock untuk diinjeksikan kembali ke bawah permukaan.
3. Surface Pump
Surface pump didesain khusus untuk memompakan power fluid ke bawah
permukaan. Peralatan surface pump ini juga harus dilengkapi oleh relief valve,
pressure gauge, dan safety switches untuk mengontrol tekanan dipompa.
Discharge line dari relief valve dan back pressure control valve seharusnya tidak
disambungkan secara langsung dengan suction line pompa, tetapi disambungkan
dengan separate line yang mengalir kembali ke tank. Hal ini dikarenakan ketika
minyak mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, gas akan lepas dari
minyak (solution). Jika gas masuk ke pompa, gas ini akan mengurangi effisiensi
volumetric dari pompa. (Gambar lagi 4.51.)
284
Gambar 4.51.
Triplex Pump
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
Throat
Nozzle
Gambar 4.52.
Throat Dan Nozzle Pada Jet Pump
(SPE 59021., ”Test of Hydraulic Jet Pump in The Balam 91 Well”, 2000)
3. Diffuser
Diffuser di jet pump berfungsi sebagai tempat fluida campuran mengalir ke
combined fluid return yang selanjutnya menuju kepermukaan. Diameter diffuser
lebih besar dan throat.
Tabel IV-13.
Luas Dan Diameter Nozzel Dan Throat
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
4.5.2.2. Cavitation
Faktor lain yang harus diperhatikan pula adalah kavitasi (cavitation), yaitu
keadaan di mana kecepatan fluida yang masuk terlalu cepat, sehingga tekanan
turun di bawah tekanan titik gelembung (bubble point pressure), sehingga
gelembung gas yang keluar dari larutan akan mengakibatkan getaran (shock wave)
yang dapat mengikis dinding throat. Kerusakan pompa dapat terjadi dalam waktu
relatif singkat (beberapa jam atau beberapa hari saja setelah kejadian tersebut).
4.5.3. Perencanaan Jet Pump
287
Asm Qs 1
691
Gs
1 WC GOR
Ps
.......................(4-129)
24650Ps
3. Dari Tabel "Nozzle and Throat Annulus Area" Tabel 4-13 pilih suatu
kombinasi nozzle dan throat yang luas anulusnya lebih besar, yang terdekat
dengan harga Asm.
4. Anggap tekanan kerja pompa di atas permukaan Pt, yang minimum besarnya
antara 2000 - 4000 psi.
5. Hitung tekanan di nozzle (Pn)
Pn Pt G n D Pfn D ........................................................................(4-130)
7. Hitung laju alir fluida (campuran fluida produksi dan power fluid) yang
kembali ke permukaan, Qd, dengan menggunakan persamaan berikut
Qd Qn Qs ..........................................................................................(4-133)
11. Hitung GLR (gas liquid ratio, perbandingan gas-cairan) fluida yang kembali :
GLR Qs 1 WC GOR / Qd ...................................................................(4-
138)
12. Jika GLR lebih besar dari 10 SCF/STB, tentukan kehilangan tekanan fluida
yang kembali Pfd dengan menggunakan korelasi aliran multifasa vertikal dan
lanjutkan ke langkah 13.
13. Jika GLR kurang dari 10 SCF/STB, tentukan viskositas fluida campuran yang
kembali ke permukaan (μd) menggunakan persamaan (4-138) dan selanjutnya
hitung kehilangan tekanan fluida yang kembali (Pfd) menggunakan persamaan
(3). Dalam hal ini Pf = Pfd x D dan Q = Qd.
d Wcd w 1 Wcd o ...................................................................(4-139)
Harga viskositas campuran ( μd) yang dihitung persamaan (4-138), dengan
anggapan bahwa campuran minyak - air tidak menghasilkan emulsi dan, bila
power fluid digunakan adalah minyak maka viskositasnya sama dengan
viskositas minyak yang diproduksi.
14. Tentukan tekanan discharge pompa (Pd), yaitu jumlah dari tekanan
hidrostatika di pipa balik, kehilangan tekanan karena friksi (Pfd) dan tekanan
kepala sumur (THP atau Pwh).
Pd Gd D Pfd D Pwh .....................................................................(4-138)
289
C 2 R 1 2 R M R
2 2
1 R 2 1 K td 2 1 M 2 ............................(4-140)
Pada persamaan (4-139) dan (4-140) harga Ktd dan Kn didapat secara
empiris. Guiberson menggunakan angka Kn = 0,03, untuk National Kn = 0,06
dan untuk Kobe Kn = 0,07 dalam PK ini digunakan angka Kn = 0,03 (dengan
anggapan bahwa pipa nozzle sangat licin). Selain itu harga Ktd = 0,20.
Gambar 4.53. digunakan untuk mencari harga N untuk pompa National.
Untuk pompa lain lakukan interpolasi.
17. Hitung N dari persamaan (4-141) dan bandingkan dengan harga N dari
langkah 14. Jika perbedaan harga N kurang dari 0,5 %, lanjutkan ke langkah
18. Bila lebih dari 0,57 hitung tekanan di nozzle Pn yang baru menggunakan
persamaan (17) dan ulangi langkah 6 sampai dengan 17 hingga didapat
perbedaan harga N kurang dari 0,5 %.
Pd Ps
N ...........................................................................................(4-141)
Pn Pd
Gambar 4.53.
Dimensionless Characteristics Curve (National Pump)
(Pedoman Pertamina, “Teknik Produksi” Jakarta, 2003)