Anda di halaman 1dari 55

EKSTRAKSI SENYAWA TANIN DAN SAPONIN DARI

TANAMAN SERTA EFEKNYA TERHADAP FERMENTASI


RUMEN DAN METANOGENESIS IN VITRO

PRISTIAN YULIANA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ekstraksi Senyawa Tanin
dan Saponin dari Tanaman serta Efeknya terhadap Fermentasi Rumen dan
Metanogenesis In Vitro adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014

Pristian Yuliana
NIM D152114011
RINGKASAN

PRISTIAN YULIANA. Ekstraksi Senyawa Tanin dan Saponin dari Tanaman


serta Efeknya terhadap Fermentasi Rumen dan Metanogenesis In Vitro.
Dibimbing oleh ERIKA BUDIARTI LACONI dan ANURAGA JAYANEGARA
dan ELIZABETH WINA.

Metana merupakan kontributor terbesar kedua setelah CO2 terhadap gas


rumah kaca di lapisan atmosfer dan memiliki kemampuan meretensi panas 25 kali
lipat lebih besar dari CO2. Sektor peternakan khususnya ruminansia merupakan
salah satu kontributor akumulasi gas metana anthropogenic (sekitar 28%).
Tanaman asal tropis merupakan tanaman yang tinggi akan kandungan senyawa
metabolit sekunder seperti polifenol (tanin) dan saponin. Tanin dan saponin dapat
dimanfaatkan sebagai aditif alami dalam upaya meningkatkan efisiensi produksi
ternak, termasuk untuk menurunkan emisi metana. Sumber tanin yang digunakan
pada penelitian ini adalah Mahoni (Swietenia mahagoni) sebagai sumber tanin
terkondensasi dan Harendong (Clidemia hirta) sebagai sumber tanin terhidrolisis
(Jayanegara et al. 2011). Tanaman mahoni dan harendong memiliki kandungan
tanin terkondensasi (86g/kg bahan kering) dan tanin terhidrolisis (202 g/kg bahan
kering) paling tinggi berturut-turut dibandingkan 27 tanaman lainnya. Sumber
saponin yang digunakan pada penelitian ini adalah buah lerak (Sapindus rerak)
kandungan saponin tinggi (26.95%). Hijauan sebagai substrat pada penelitian ini
adalah campuran dari Brachiaria humidicola dan Indigofera sp (1:1 w/w) sebagai
sumber serat dan protein. Tujuan penelitian ini adalah melakukan optimasi proses
ekstraksi tanaman tanin terkondensasi dari daun mahoni, tanin terhidrolisis daun
harendong dan saponin dari buah lerak dengan menggunakan larutan berbeda dan
menginvestigasi efek antara senyawa tanin dan saponin dalam methanogenesis in
vitro mitigasi dan fermentasi rumen in vitro.
Ekstraksi tanin dan saponin dilakukan secara terpisah menggunakan
perbedaan campuran larutan seperti pada perlakuan, yaitu ; P1 (100% air), P2
(75% air + 25% methanol), P3 (50% air + 50% methanol), P4 (25% air + 75%
methanol), P5 (100% methanol), P6 (75% air + 25% aseton), P7 (50% air + 50%
aseton, P8 (25% air + 75% aseton) dan P9 (100% aseton). Ekstrak tanin dan
saponin ditambahan pada botol inkubasi yang mengandung rumput Brachiaria
humidicola dan legum Indigofera sp. (1:1 w/w) dengan perlakuan sebagai berikut
(dalam empat ulangan): R1 Substrat (control), R2 (Substrat + ekstrak tanin 0.5
mgml-1), R3 (Substrat + ekstrak tanin 1 mgml-1), R4 (Substrat + ekstrak saponin
0.5 mgml-1), R5 (Substrat + ekstrak saponin 1 mgml-1), R6 (Substrat + ekstrak
tanin 0,5 mgml-1 + ekstrak saponin 0.5 mgml-1) dan R7 (Substrat + ekstrak tanin 1
mgml-1 + ekstrak saponin 1 mgml-1 cairan rumen). Parameter yang diukur total
fenol, total tanin, total saponin, produksi gas, produksi dan konsentrasi metana,
populasi total bakteri, populasi total protozoa, produksi amonia, Kecernaan bahan
kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO).
Hasil menunjukkan bahwa kombinasi 75% air + 25% metanol yang terbaik
untuk ekstraksi tanin terkondensasi dari daun mahoni sedangkan kombinasi 25%
air + 75% aseton yang terbaik untuk ekstraksi tanin terhidrolisis dari daun
harendong. 100% metanol yang terbaik untuk ekstraksi saponin dari buah lerak.
Produksi gas tertinggi ditunjukkan oleh penambahan substrat + ekstrak saponin 1
mgml-1 dan kombinasi ekstrak tanin 1 mgml-1 + ekstrak saponin 1 mgml-1 cairan
rumen. Penurunan emisi metana terbaik pada penambahan kombinasi ekstrak
tanin 1 mgml-1 + ekstrak saponin 1 mgml-1 cairan rumen. Populasi protozoa
cenderung diturunkan oleh perlakuan dan populasi protozoa terendah ditemukan
pada kombinasi ekstrak tanin dan saponin, tetapi populasi bakteri tidak
berpengaruh oleh perlakuan. Produksi amonia, KCBK dan KCBO tidak
berpengaruh signifikan oleh perlakuan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ekstraksi
tanin dan saponin dari tanaman sangat dipengaruhi oleh komposisi pelarut yang
digunakan untuk mengekstraknya. Pelarut yang optimal untuk ekstraksi tanin
terkondensasi adalah 25% air + 75% metanol, sedangkan untuk ekstraksi tanin
terhidrolisis adalah 25% air + 75% aseton. Pelarut yang optimal untuk ekstraksi
saponin adalah 100% metanol. Pemberian tanin dan saponin secara bersamaan
sebanyak 1 mgml-1 larutan inkubasi in vitro mampu menurunkan metana sebesar
17% tanpa mengurangi tingkat kecernaan pakan 60% dan amonia 25.50 mM dan
bertindak sebagai agen defaunasi.

Kata kunci: fermentasi rumen, in vitro, metana, saponin, tanin


SUMMARY

PRISTIAN YULIANA. Extractions of Tannin and Saponin Compounds from


plants and their Effects on Methanogenesis and Fermentation In Vitro. Supervised
by ERIKA BUDIARTI LACONI and ANURAGA JAYANEGARA and
ELIZABETH WINA.

Methane is the second largest contributor after CO2 toward the greenhouse
gas in the upper atmosphere and have the ability to retain heat 25 times greater
than CO2. Ruminant livestock sector in particular was one of the contributors to
the accumulation of anthropogenic methane (about 28%). Plants of tropical origin
are plant that have high content of secondary metabolites compounds such as
polyphenolics (tannins) and saponins. Tannins and saponins can be used as natural
additives in order to improve the efficiency of livestock production, including to
reduce methane emissions. Source of tannins used in this study were Mahogany
(Swietenia mahogany) leaves as a source of condensed tannins and Harendong
(Clidemia hirta) leaves as a source of hydrolyzed tannins. These plants Mahogany
and Harendong contain condensed tannins (86g/kg dry matter) and hydrolyzable
highest (202 g/kg dry matter), compared to respectively 27 other plants. Source of
saponin used in this study was lerak (Sapindus rarak) fruit, which has high
saponin content (26.95%). Forage as a substrate in this study was a mixture of
Brachiaria humidicola and Indigofera sp (1:1 w/w) as fiber and protein source.
The study aimed obtain to the optimize the extraction process of condensed tannin
from mahogany leaves, hydrolyzed tannins from harendong leaves and saponins
from lerak fruit and using different solvents to investigate the effects of tannins
and saponins compounds on in vitro methanogensis and rumen fermentation.
Tannins and saponins extraction, were done separately using different
solvents mixture as treatments, namely; P1 (100% water), P2 (75% water + 25%
methanol), P3 (50% water + 50% methanol), P4 (25% water + 75% methanol), P5
(100% methanol), P6 (75 % water + 25% acetone), P7 (50% water + 50%
acetone, P8 (25% water + 75% acetone) and P9 (100% acetone). Tannin and
saponin extracts were added into each incubation bottle containing Brachiaria
humidicola grass and Indigofera sp. legume (1:1 w/w) according to the following
treatments (in four replicates): R1: substrate (control), R2: substrate + 0.5 mgml-1
tannin extract, R3: substrate + 1 mgml-1 tannin extract, R4: substrate + 0.5 mgml-1
saponin extract, R5: substrate + 1 mgml-1 saponin extract, R6: substrate + 0.5
mgml-1 tannin extract + 0.5 mgml-1 saponin extract, and R7: substrate + 1 mgml-1
tannin extract + 1 mgml-1 saponin extract. Parameters measured total phenol, total
tannins, total saponins, total gas production, methane production and concentrate,
total bacteria population, total protozoa population, ammonia production, Dry
Matter Digestibility (DMD), Organic Matter Digestibility (OMD).
The results revealed that combination of 75% water + 25% methanol was
best solvent mixture for extracting condensed tannins from mahogany leaves
while mixture of 25% water + 75% acetone was the best for hydrolyzed tannin
extraction from the harendong leaves. 100% methanol was the best for extraction
of saponins from fruit lerak. The highest gas production was shown by adding
substrate + saponin extract 1 mgml-1 and combination of tannin extract 1 mgml-1
+ saponin extract 1 mgml-1 rumen fluid. The highest reduction in methane
emissions was achieved by adding combination of tannin extract 1 mgml-1 +
saponin extract 1 mgml-1 rumen fluid. Protozoa population tended to be reduced
by treatments and the lowest protozoa population was found in combination of
tanin extract dan saponins, however the bacteria population was not affected by
treatments. Ammonia product, DMD and OMD were not affected significant by
treatments. It can be concluded that the extraction of tannins and saponins from
plants was strongly influenced by composition of the solvent used to extract them.
Optimal solvent for the extraction of condensed tannins was 25% water + 75%
methanol, whereas for hydrolyzed tannin extraction was 25 % water + 75%
acetone. Optimal solvent for the extraction of saponins was 100% methanol.
Provision of tannins and saponins simultaneously as many as 1 mgml-1 in vitro
incubation solution reduced methane emission by 17% without reducing the level
of feed digestibility of 60% and 25.50 mM ammonia and acted as defaunating
agent.

Keywords: in vitro, methane, rumen fermentation, saponins, tannins


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EKSTRAKSI SENYAWA TANIN DAN SAPONIN DARI
TANAMAN SERTA EFEKNYA TERHADAP FERMENTASI
RUMEN DAN METANOGENESIS IN VITRO

PRISTIAN YULIANA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Dewi Apri Astuti, MS
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Ekstraksi Senyawa Tanin dan Saponin dari Tanaman serta Efeknya
terhadap Fermentasi Rumen dan Metanogenesis In Vitro
Nama : Pristian Yuliana
NIM : D152114011

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Erika B. Laconi, MS


Ketua

Dr Anuraga Jayanegara, SPt , MSc Dr Elizabeth Wina, MSc


Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Nutrisi Pakan

Dr Ir Dwierra Evvyernie A MS, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 26 Juni 2014 Tanggal Lulus: 26 Juni 2014


(tanggal pelaksanaan ujian tesis) (tanggal penandatanganan
tesis oleh Dekan Sekolah
Pascasarjana)
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian adalah mitigasi gas metana, dengan judul Ekstraksi
Senyawa Tanin dan Saponin dari Tanaman serta Efeknya Terhadap Fermentasi
Rumen dan Metanogenesis In Vitro. Penelitian dilakukan sejak bulan Mei 2013
sampai Oktober 2013 di BPTP Ciawi, Bogor, Jawa Barat.
Sebagian data dari hasil penelitian akan di publish journal The Indonesian
Tropical Animal Agriculture (JITAA) dengan judul “Extractions of Tannis and
Saponins From Plants Sources and their Effect on Methanogenesis and Rumen
Fermentation In Vitro”. Saat ini sampai tahap penalaahan oleh mitra bestari
JITAA.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Erika Budiarti Laconi
MS, Bapak Dr Anuraga Jayanegara S Pt MSc dan Dr Elizabeth Wina MSc selaku
pembimbing dan Prof Dr Ir Dewi Apri Astuti MS sebagai penguji yang telah
banyak memberi saran dan masukan untuk penyempurnaan isi thesis ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, saudara kembar
Pristian Yuliani serta seluruh keluarga dan teman satu penelitian, atas segala do’a,
bantuan dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2014

Pristian Yuliana
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR LAMPIRAN v
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
METODE 3
Bahan 4
Prosedur Analisis Data 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
Hasil 9
Pembahasan 9
SIMPULAN DAN SARAN 26
Simpulan 26
Saran 27
DAFTAR PUSTAKA 27
LAMPIRAN 33
RIWAYAT HIDUP 37
DAFTAR TABEL
1 Komposisi nutrisi bahan pakan sebagai subtrat pakan in vitro 10
2 Kandungan total fenol dan total tanin dari daun mahoni (Swietenia
mahagoni) menggunakan komposisi pelarut yang berbeda dalam
ekstraksinya (n=3) 12
3 Kandungan total fenol dan total tanin dari daun harendong (Clidemia
hirta) menggunakan komposisi pelarut yang berbeda dalam
ekstraksinya (n=3) 13
4 Kandungan total saponin dari buah lerak (Sapindus rarak)
menggunakan komposisi pelarut yang berbeda dalam ekstraksinya
(n=3) 13
5 Produksi total gas, konsentrasi gas metana dan penurunan konsentrasi
gas metana 15
6 Pengaruh perlakuan terhadap populasi bakteri, protozoa dan konsentrasi
N-NH3 19
7 Pengaruh perlakuan terhadap rataan kecernaan bahan kering dan
kecernaan bahan organik 24

DAFTAR GAMBAR
1 Kinetika produksi total gas (ml) in vitro dari subtrat yang ditambahkan
ekstrak tanin dan/atau saponin 14
2 Kinetika produksi gas metana (ml) in vitro dari substrat yang
ditambahkan ekstrak tanin dan/atau saponin 16
3 Kinetika konsentrasi gas metana dalam total gas (%) in vitro dari
substrat yang ditambahkan ekstrak tanin dan/atau saponin 18
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pemanasan global merupakan gejala alam yang mulai secara intensif
diteliti sejak tahun 1980-an. Gejala alam ini disebabkan oleh efek gas rumah
kaca (green house effect) yang terjadi akibat peningkatan akumulasi gas
karbondioksida (CO2) dan beberapa jenis gas lainnya (CH4, N2O, CFC) di
lapisan atmosfer. Peningkatan ini merupakan akibat negatif dari aktivitas
industri, sisa pembakaran bahan bakar minyak bumi, serta kegiatan
pertanian dan peternakan, terutama ternak ruminansia (Thorpe 2009).
Metana merupakan kontributor terbesar kedua setelah CO2 terhadap
gas rumah kaca di lapisan atmosfer dan memiliki kemampuan meretensi
panas 25 kali lipat lebih besar dari CO2 (Vlaming 2008). Sektor peternakan
khususnya ruminansia merupakan salah satu kontributor akumulasi gas
metana anthropogenic (sekitar 28%) (Beauchemin et al. 2008). Selain
berdampak pada pemanasan global, emisi gas metana dari ternak ruminansia
juga mengakibatkan terjadinya kehilangan energi pakan yang seharusnya
dapat digunakan untuk menunjang produktivitas. Jumlah energi yang hilang
dari ternak ruminansia sekitar 8 – 14% dari total energi tercerna (Cottle et
al. 2011). Oleh karena itu diperlukan upaya untuk meminimalisasi produksi
gas metana dari ternak ruminansia.
Salah satu pendekatan meminimalisasi emisi gas metana pada ternak
ruminasia adalah melalui strategi pemberian pakan. Hal ini bermanfaat pada
jangka panjang untuk mengurangi laju akumulasi gas rumah kaca dan
jangka pendek untuk mengurangi kehilangan energi pada ternak ruminansia.
Berbagai upaya telah dilakukan dan terbukti efektif dalam menurunkan
emisi gas metana pada ternak ruminansia. Salah satunya dengan
menggunakan antibiotik seperti monensin (Fuller and Johnson 1981;
Grainger et al. 2008). Namun, penggunaan antibiotik sebagai feed additif
memiliki efek negatif terhadap ternak (Jayanegara 2009). Oleh karena itu
diperlukan senyawa alami yang dapat menggantikan antibiotik untuk
mereduksi gas metana.
Tanaman asal tropis merupakan tanaman yang tinggi akan kandungan
senyawa metabolit sekunder seperti polifenol (tanin) dan saponin. Tanin
adalah suatu senyawa polifenol yang berasal dari tumbuhan, berasa pahit
dan kelat, yang bereaksi dengan dan menggumpalkan protein, atau berbagai
senyawa organik lainnya termasuk asam amino dan alkaloid. Tanin adalah
senyawa polifenolik larut dalam air yang merupakan anti nutrisi bagi
ruminansia dengan membentuk kompleks dengan protein (Goel et al.,
2005). Menurut Patra (2010) tanin memiliki berat molekul relatif yang
tinggi dan mampu membentuk kompleks dengan protein karena adanya
sejumlah gugus hidroksil fenolik. Tanin terdapat pada buah-buahan, legume
dan semak, serealia dan biji-bijian. Saponin merupakan glikosida steroid
atau triterpenoid yang banyak terdapat pada tanaman. Saponin memiliki
kemampuan untuk membentuk senyawa stabil yaitu seperti busa sabun
dalam larutan air. Saponin terdiri atas gula yang biasanya mengandung
glukosa, galaktosa, asam glukoronat, xylosa, rhamnosa atau methylpentosa
yang berikatan membentuk glikosida dengan hydrophobic aglycone
2

(sapogenin) yang membentuk triterpenoid atau steroid (Francis et al. 2002).


Buah lerak (Sapindus rerak) telah dikenal lama oleh masyrakat karena
dapat dipakai sebagai bahan pencuci emas. Senyawa aktif yang yang
terdapat di dalam buah lerak adalah senyawa-senyawa dari golongan
saponin dan sesquiterpene (Wina et al. 2005).
Sumber tanin yang digunakan pada penelitian ini adalah Mahoni
(Swietenia mahagoni) sebagai sumber tanin terkondensasi dan Harendong
(Clidemia hirta) sebagai sumber tanin terhidrolisis (Jayanegara et al. 2011).
Tanaman ini dibandingkan 27 tanaman lainnya dan terbukti memiliki
kandungan tanin terhidrolisis paling tinggi yaitu sebesar 202 g/kg bahan
kering (Jayanegara et al. 2011). Oleh karena itu, tanaman ini dipakai sebagai
sumber tanin terhidrolisis pada penelitian ini. Sumber saponin yang
digunakan pada penelitian ini adalah buah lerak (Sapindus rerak). Bentuk
buah lerak bundar seperti kelereng kalau sudah tua/masak warnanya coklat
kehitaman, permukaan buah licin/mengkilat. Bijinya bundar dan berwarna
hitam memiliki kandungan saponin tinggi yaitu 26.95% (Wina et al. 2005).
Hijauan yang digunakan sebagai substrat pada penelitian ini adalah
campuran dari Brachiaria humidicola dan Indigofera sp. Tujuan
menggunakan kedua hijauan ini sebagai pakan ternak yaitu karena
diharapkan kedua hijauan tersebut saling melengkapi sebagai sumber serat
dan protein, selain itu diharapkan total kecernaan bahan ini tinggi.
Campuran kedua hijauan ini memiliki kandungan nutrisi masih cukup baik
yaitu protein 16.38%. Tanin dan saponin dapat dimanfaatkan sebagai aditif
alami dalam upaya meningkatkan efisiensi produksi ternak, termasuk untuk
menurunkan emisi metana (Mueller-Harvey 2006; Makkar et al. 2007).
Kandungan tanin dari beberapa tanaman memiliki kemampuan untuk
mengurangi emisi metana secara in vitro (Jayanegara et al. 2009). Indikasi
reduksi emisi metana juga terlihat melalui penggunaan senyawa saponin
yang terkadung dalam tanaman (Hess et al. 2003; Goel et al. 2008).
Beberapa penelitian melaporkan bahwa suplementasi saponin dan
tanin terbukti efektif dalam menurunkan produksi gas metana. Namun,
penggunaan ke dua senyawa ini secara bersamaan (kombinasi) untuk
menurunkan emisi gas metana enterik belum banyak diteliti. Penggunaan
kombinasi senyawa tanin dan saponin berpotensi untuk dapat bersinergi
dalam menurunkan metana secara lebih efektif, karena kedua senyawa
tersebut memiliki mekanisme kerja yang berbeda dalam menurunkan emisi
gas metana. Kombinasi hijauan yang digunakan sebagai ransum dalam in
vitro adalah rumput Brachiaria humidicola sebagai dan legume Indigofera
sp.
Pemanfaataan senyawa tanin dan saponin yang terdapat pada berbagai
tanaman memerlukan suatu proses ekstraksi untuk menghasilkan senyawa
tanin dan saponin yang terpisah dari senyawa-senyawa lain (serat kasar,
lemak) yang ada di dalam tanaman. Ekstraksi perlu dilakukan agar tanin dan
saponin yang diperoleh dari tanaman lebih tinggi kandungannya. Setiap
tanaman sumber tanin dan saponin memiliki karakteristik kimia yang
memiliki tingkat polaritas yang berbeda, sehingga untuk mendapatkan
eksktrak tanin dan saponin secara optimal diperlukan suatu larutan dengan
level dan jenis yang berbeda. Larutan yang biasa digunakan untuk
3

mengekstrak tanin dan saponin tanaman adalah aquades, campuran aquades


dan etanol, metanol dan aseton (Sun dan Ho 2005).
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka diperlukan suatu
penelitian untuk mencari kombinasi level dan jenis larutan pengekstrak
tanin dan saponin yang mampu menghasilkan ekstraksi tertinggi. Hasil
ekstraksi tanin dan saponin terbaik dari beberapa tanaman perlu diteliti
efektifitasnya secara tunggal dan kombinasi sebagai feed aditif dalam
ransum ternak ruminansia berbasis hijauan untuk menurunkan emisi metana
dan pola fermentasi dalam rumen.

Tujuan Penelitian

1. Melakukan optimasi proses menghasilkan ekstrak sumber tanaman tanin


terkondensasi dari daun mahoni, tanin terhidrolisis dari daun harendong
dan saponin dari buah lerak.
2. Mengevaluasi potensi adanya efek antara senyawa tanin dan saponin
dalam mitigasi emisi gas metana serta pengaruhnya terhadap pola
fermentasi rumen in vitro.

Hipotesis

1. Daun mahoni, daun harendong dan buah lerak mempunyai kandungan


tanin dan saponin tertinggi pada kombinasi level dan jenis larutan.
2. Penggunaan ekstrak kaya tanin dan saponin pada tanaman memberikan
pengaruh secara nyata dalam menurunkan emisi gas metana.
3. Penggunaan kombinasi ekstrak tanin dan saponin dalam ransum mampu
memberikan efek dalam mereduksi emisi gas metana asal ternak
ruminansia

Manfaat

1. Untuk mendapatkan metode ekstraksi dengan tingkat recovery tertinggi


dalam mengekstrak tanin dan saponin dari beberapa sumber tanaman
2. Utilisasi efek dalam mitigasi emisi gas metana.
3. Berkontribusi terhadap upaya menurunkan efek gas rumah kaca sertata
meningkatkan efisiensi penggunaan energi pada ternak ruminansia.

MATERI DAN METODE

Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pakan, Balai Penelitian


Peternakan (BALITNAK), Ciawi Bogor pada bulan Mei sampai bulan
Oktober 2013.
4

Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari tepung daun
Mahoni (Swietenia mahagoni) sebagai tanaman sumber tanin terkondensasi,
daun Harendong (Clidemia hirta) sebagai tanaman sumber tanin
terhidrolisis dan buah lerak (Sapindus rarak) sebagai tanaman tinggi
saponin, metanol, aseton, H2SO4, folin, aquades, cairan rumen, vaselin,
larutan buffer, asam borat, asam sulfat, vanillin etanol, tepung rumput
Brachiaria humidicola dan Indigofera sp.

Metode Penelitian

Penelitian Tahap 1

Optimasi proses ekstraksi


Ekstraksi menggunakan perlakuan gelombang ultrasonik (dengan alat
berupa sonicator) pada suhu ruang selama 2 × 20 menit. Beberapa tanaman
potensial yang tinggi tanin atau saponin yang digunakan yaitu tanaman
tinggi tanin daun Mahoni (Swietenia mahagoni) sebagai sumber tanin
terkondensasi, Harendong (Clidemia hirta) sebagai sumber tanin hidrolisis
(Jayanegara 2011), dan daun tanaman tinggi saponin yaitu buah lerak
(Sapindus rarak) sebagai sumber Saponin (Wina 2012).
Beberapa pelarut yakni air, metanol dan aseton beserta campurannya
digunakan untuk mengekstrak tanin dan saponin dari sumber-sumber
tanaman tersebut. Perlakuan pelarut (masing-masing 1 ulangan yang
dilakukan triplo untuk masing-masing ulangan):
P1: 100% air
P2: 75% air + 25% metanol
P3: 50% air + 50% metanol
P4: 25% air + 75% metanol
P5: 100% metanol
P6: 75% air + 25% aseton
P7: 50% air + 50% aseton
P8: 25% air + 75% aseton
P9: 100% aseton

Ekstraksi dan Kuantifikasi Tanin Terkondensasi pada Daun Mahoni


(Swietenia mahagoni) dan Tanin Terhidrolisis pada Daun Harendong
(Clidemia hirta)
Ekstraksi dan kuantifikasi tanin dilakukan dengan metode Makkar
(2003). Larutan dimasukkan kedalam tabung reaksi yang sudah berisi
setengah gram sampel sebanyak 10 ml, kemudian dimasukkan ke dalam
gelas kimia yang sudah diisi air dan diletakan dalam water bath ultrasonic
(Barnstead/Lab Line Aqua Wave 9377, E60H, Germany) yang sudah diberi
ice box dan diultrasonik selama 20 menit pada temperatur ruang. Setiap
sampel perlakuan di centrifuge dengan cetrifuge (Thermo Scientific, IEC
Centra CL2 Centrifuge, Fisher Scientific Pte Ltd, Singapore) selama 10
5

menit pada 3000 gravitasi dan suhu 40C. Supernatan yang dihasilkan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi lain. Sisa substrat yang ada kemudian
ditambahkan sebanyak 5 ml larutan sesuai perlakuan dan diproses sesuai
prosedur sebelumnya. Analisa tanin menggunakan metode Makkar (2003)
dan dikalibrasi dengan menggunakan larutan standart 0.1 mgml-1 tanin acid
(Merck). Total fenol dan total tanin diukur dengan metode Makkar (2003)
yang sudah dimodifikasi Folin-Ciocalteu menggunakan polyvinyl-
polypyrrlidone (PVPP) untuk memisahkan phenol tanin dari NTP kemudian
dibaca menggunakan UV-Vis spektrofotometer (UV-vis spectrophotometer,
U-1800, 5930482, High Technology Corporation, Tokyo, Japan) dengan
panjang gelombang 724 nm.

Ekstraksi dan kuantifikasi saponin pada Buah Lerak (Sapindus rarak)


Ekstraksi dan kuantifikasi saponin dilakukan dengan metode Hiai dan
Oura (1976). Larutan dimasukkan kedalam tabung reaksi yang sudah berisi
setengah gram sampel sebanyak 10 ml. Tabung reaksi dimasukkan ke dalam
gelas piala yang sudah diisi air, diletakan dalam water bath ultrasonic
(Barnstead/Lab Line Aqua Wave 9377, E60H, Germany) yang sudah diberi
ice box dan di ultrasonik selama 20 menit pada temperatur ruang. Setiap
sampel perlakuan di centrifuge dengan centrifuge (Thermo Scientific, IEC
Centra CL2 Centrifuge, Fisher Scientific Pte Ltd, Singapore) selama 10
menit pada 3000 gravitasi dan suhu 40 C. Supernatan yang dihasilkan
dikumpulkan pada tabung reaksi lain.
Analisa total saponin dilakukan dengan menggunakan metode Hiai
dan Oura (1976) dan dikalibrasi dengan menggunakan larutan standart 0.01
gram Diosgenin (Sigma-Aldrich D1634, Diosgenin Approx 95%, Sigma
Aldrich Chemie GmbH, Steinheim, Germany). Sampel sebanyak 0.2 ml
ditambahkan 0.25 ml vanillin etanol fresh, kemudian ditambahkan 2.5 ml
H2SO4 72%, divorteks dan kemudian dipanaskan pada waterbath (Watson
Victor LTD, Bw6t, Watson Victor Limited, New Zealand, Australia) suhu
600C selama 10 menit. Sampel didinginkan dan kemudian dibaca dengan
UV-Vis spektrofotometer (UV-vis spectrophotometer, U-1800, 5930482,
High Technology Corporation, Tokyo, Japan) dengan panjang gelombang
544 nm.

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis statistik dengan analisis Sidik Ragam
ANOVA menggunakan SPSS 16.0. Apabila berbeda nyata maka akan
dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel and Torrie 1993). Data yang outlier
dikeluarkan berdasarkan justifikasi statistik agar sebaran data normal.
dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3
ulangan.
6

Model matematika dari rancangan yang digunakan sebagai berikut :


Yij = μ + τi + εij

Keterangan :
Yij = nilai pengamatan pada perlakuan aktivitas tanin dan saponin ke-
i dan ulangan ke- j
μ = nilai tengah umum
i = banyaknya perlakuan ( A, B, C dan D )
j = banyaknya ulangan ( 1, 2, 3, dan 4 )
τi = pengaruh perlakuan ke- i
εij = pengaruh sisa dari percobaan

Penelitian Tahap 2

Preparasi Sampel in vitro


Produk tanin dan sasponin tertinggi dari hasil ekstraksi digunakan
untuk uji in vitro. Pelarut organik dihilangkan dengan menggunakan
rotavapor (Büchi Rotavapor R-200, Germany). Sampel tanin dan saponin
dikering bekukan (liofilisasi) dengan menggunakan freeze dryer selama 24
jam untuk mendapatkan ekstrak kering dari tanin dan saponin. Hasil ekstrak
tanin dan saponin kemudian digunakan sebagai aditif pada uji in vitro.
Substrat yang digunakan terdiri dari rumput Brachiaria humidicola
dan leguminosa Indigofera sp. dengan perbandingan 50% : 50%. Sampel
hijauan dikeringkan dalam oven bersuhu 600 C, digiling dan disaring
menggunakaan alat penyaring berukuran 1 mm. Larutan inkubasi
menggunakan cairan rumen sapi dan larutan buffer yang terdiri dari
bicarbonat, makromineral, mikromineral, resazurine, reduction solution,
aquades. Sebanyak 1100 ml larutan buffer disiapkan dari 385.6 ml
bicarbonat, 193.6 ml makromineral, 0.256 ml mikromineral, 0.975
resazurine, 36.8 ml reduction solution, 579 ml aquades, dan 404.8 ml
rumen.

Inkubasi in vitro
Sampel diinkubasi in vitro berdasarkan metode Theodorou et al
(1994). Substrat dimasukkan kedalam botol inkubasi sebanyak 1000 mg.
Hasil ekstrak tanin dan saponin ditambahkan sebanyak 0.5 ml, 1 ml dan 2
ml (0.5 mg, 1 mg, 2 mg) sesuai perlakuan. Inkubasi in vitro menggunakan
cairan rumen dan larutan buffer. Cairan rumen diambil pada pagi hari dari
sapi Friesian Holstein sebelum diberi makan dengan metode stomach tube.
Setelah dikoleksi, cairan rumen dibawa ke laboratorium ditambahkan pada
buffer tereduksi. Larutan rumen-buffer dialirkan gas CO2 selama proses
sebelum sebelum dimasukkan ke dalam tabung untuk menjamin kondisi
anaerob dalam reaksi. Larutan buffer-rumen dimasukan ke dalam masing-
masing botol inkubasi sebanyak 100 ml dan langsung ditutup rapat dengan
tutup karet. Setiap botol in vitro dimasukkan ke dalam water bath (Lab
master, Anax-Pty, Limited) bersuhu 39oC dan diinkubasi selama 48 jam.
7

Inkubasi dilakukan dalam 4 ulangan menggunakan rancangan acak


kelompok, dengan perbedaan antar inkubasi (cairan rumen) sebagai faktor
kelompoknya. Perlakuan yang diberikan adalalah sebagai berikut :
R1: Substrat
R2: Substrat + ekstrak tanin 0.5 mgml-1 cairan rumen
R3: Substrat + ekstrak tanin 1 mgml-1 cairan rumen
R4: Substrat + ekstrak saponin 0.5 mgml-1 cairan rumen
R5: Substrat + ekstrak saponin 1 mgml-1 cairan rumen
R6: Substrat + ekstrak tanin 0.5 mgml-1 + ekstrak saponin 0.5 mgml-
1
cairan rumen
R7: Substrat + ekstrak tanin 1 mgml-1 + ekstrak saponin 1 mgml-1
cairan rumen

Peubah yang diamati


Peubah yang diamati pada tahap penelitian ini adalah : total gas,
metana, pakan tidak dicerna, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan
organik (KCBK & KCBO), protozoa total, bakteri total, amonia.

Pengukuran Gas Total


Pengukuran gas total dilakukan dengan metode Fievez et al. (2005).
Produksi gas diamati pada jam ke 4, 6, 9, 12, 24, 30, 36, dan 48 waktu
inkubasi dengan menggunakan syringe gas (Sigma-Aldrich Z314382-1EA,
Poulten & Graf GmbH Wertheim, Germany) dengan menyuntikkan jarum
(BD Precision Glide TM Needle REF 302008, Singapore) ke tutup karet
botol in vitro. Syringe dikunci setelah semua gas mengalir. Perubahan
angka pada syringe gas merupakan nilai total gas.

Pengukuran Metana
Pengukuran gas metana dilakukan dengan metode Fievez et al.
(2005). Gas total yang diperoleh pada syringe (Sigma-Aldrich Z314382-
1EA, Poulten & Graf GmbH Wertheim, Germany) kemudian, gas dialirkan
ke dalam selang sistem konektor T yang terhubung dengan larutan NaOH 5
N dan syringe pengukur metana. CO2 terikat oleh larutan NaOH 5 N dan
metana mengalir ke syringe ke 2. Volume syringe menunjukkan nilai total
metana.

Perhitungan Bakteri Total


Analisis jumlah bakteri dilakukan menurut metode Ogimoto and Imai
(1981). Media pengencer disiapkan sebanyak 4.5 ml/botol inkubasi dan
media agar rumen fluid glucose cellobiose agar (RGCA) sebanyak 2.5 ml.
Cairan rumen dimasukkan ke dalam media pengencer sebanyak 0.5 ml, dan
diencerkan hingga 7 kali pengenceran. Dari pengenceran ke 7 diambil 0.5
ml ditambahkan atau ditanam ke dalam media agar RGCA, kemudian
diputar dengan roller agar media merata pada dinding tabung reaksi, lalu
dialirkan CO2 dikerjakan di laminar flow. Sampel diinkubasi selama 21 hari.
Penghitungan bakteri dilakukan pada hari ke 5, 14 dan 21.
8

Perhitungan Protozoa Total


Perhitungan protozoa total dilakukan dengan metode Ogimoto dan Imai
(1981) dengan menggunakan bahan berupa larutan Methylgreen Formal-
Salin (MFS) terdiri dari 100 ml formaldehyde 35%, aquades 9000ml 0.6
gram methylgreen dan 0.8 gram NaCl dalam 1 liter. Alat yang digunakan
Hemocytometer (alat penghitung sel darah merah), dengan miskroskop
(Primo Star Zeiss, Carl Zeiss Microscopy GmBH, 37081, Gottingen,
Germany) pembesaran 400 kali. Cairan rumen sebanyak 0.5 ml
dicampurkan dengan 4.5 ml larutan MFS. Cara perhitungan protozoa
dilakukan dengan menggunakan 25 buah kotak kecil pada hemocytometer,
satu kotak besar berukuran panjang 1/5 mm, lebar 1/5 mm, dan tinggi 1/10
mm, sehingga mempunyai volume 1/250 mm3. Volume kotak kecil 25 x
1/250 mm3 = 1/10 mm3 atau 10-1x 10-6 = 10-7 dm atau 10-7 liter atau 10-4
ml.Jika di dalam 25 kotak kecil terdapat protozoa sebanyak B, artinya dalam
10-4 ml cairan rumen terdapat protozoa sebanyak B x 101 (pengenceran)
sehingga B x 105.

Pengukuran Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik


Pengukuran kecernaan bahan kering dilakukan setelah 48 jam
inkubasi. Sinterglass dikeringkan terlebih dahulu dengan oven 1050 C
selama 24 jam dan ditimbang untuk mengetahui berat awal masing-masing.
Sampel pada botol in vitro disaring menggunakan sinterglass dan di
vakum. Residu inkubasi dikeringkan dengan oven 1050 C selama 24 jam
untuk pengehitungan kecernaan bahan kering dan kemudian residu diabukan
dengan tanur pada suhu 5500 C untuk penghitungan kecernaan bahan
organik (Blümmel et al. 1997).
Perhitungan :

KCBK = bahan kering sampel-(berat kering residu-berat blanko) x 100 %


Bahan kering sampel

KCBO = Berat organik sampel – (berat organik residu-berat blanko) x 100%


Berat organik sampel

Penentuan konsentrasi Amonia

Penentuan konsentrasi amonia menggunakan metode Conway


(1950). Larutan asam borat 3 % dimasukkan ke dalam bagian tengah cawan
Conway sebanyak 3 ml dan diberi 2-3 tetes indikator brom kresol hijau :
merah metil (3:1). Larutan supernatan (sampel) dan NaOH 20% dimasukkan
masing-masing sebanyak 1 ml pada bagian alur cawan yang berbeda (kiri
dan kanan). Tutup cawan yang telah diberi olesan vaselin dipasang hingga
menutup rapat cawan. Cawan digoyangkan perlahan hingga sampel bereaksi
dengan NaOH dan dibiarkan selama 24 jam pada suhu ruang. Setelah 24
jam, larutan asam borat dititrasi menggunakan HCL 0.0089 N hingga
larutan berubah dari biru menjadi merah muda. Percobaan ini dilakukan 4
pengulangan.
9

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis statistik dengan analisis Sidik Ragam
ANOVA menggunakan SPSS 16.0. Data yang berbeda nyata diuji lanjut
dengan Uji Duncan (Steel and Torrie 1993). Data outlier dikeluarkan
berdasarkan justifikasi statistik agar sebaran data normal. Percobaan
dirancang menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4
kelompok sebagai ulangan. Kelompok merupakan perbedaan antar inkubasi
(cairan rumen).
Model matematika dari rancangan yang digunakan sebagai berikut :
Yij = µ + Ki + Pj + єij
Keterangan:
Yij : Pengamatan Kelompok ke-i dan Perlakuan ke-j
i = 1, 2, 3,…………,k
j = 1, 2, 3,…………,p
µ : Rataan Umum
Ki : Pengaruh Kelompok ke-i
Pj : Pengaruh Perlakuan ke-j dan
Єij : Galat Kelompok ke-i dan Perlakuan ke-j

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Nutrien dalam Pakan


Hijauan tropis yang digunakan merupakan hijauan yang sudah biasa
digunakan peternak sebagai pakan ternak, yaitu Brachiaria humidicola dan
legum Indigofera sp. Brachiaria humidicola merupakan hijauan tropis yang
palatable serta dapat digunakan sebagai rumput potongan dan rumput
penggembalaan. Rumput ini mempunyai kemampuan menekan
pertumbuhan gulma, kurang adaptif terhadap pengairan, toleran terhadap
penggembalaan berat, dan membutuhkan kesuburan tanah rendah, sehingga
mempunyai peranan yang cukup besar bagi pengembangan dan penyediaan
hijauan di tropik (Mannetje dan Jones 2000). Hijauan tropis yang digunakan
pada penelitian ini memiliki kandungan nutrisi yang bervariasi. Hasil
analisis komposisi kimia pakan secara tunggal yang digunakan sebagai
substrat pada fermentasi in vitro terdapat pada Tabel 1. Hijauan Brachiaria
humidicola ini dapat digunakan sebagai sumber serat, namun mengandung
protein 7.15% yang rendah. Kandungan NDF dinilai cukup tinggi dan
diduga mempengaruhi kandungan NDF ransum (substrat) dan nilai
kecernaan. Kandungan NDF substrat pada penelitian ini adalah 67.90%.
Sebagian besar dari NDF merupakan fraksi selulosa dan lignin yang
biasanya membentuk ikatan lignoselulosa dan sulit dicerna oleh
mikroorganisme rumen. Selain mempengaruhi kecernaan, kandungan NDF
juga berpengaruh terhadap emisi gas metana. Kandungan metana meningkat
seiring dengan meningkatnya kandungan NDF (Jayanegara et al. 2009).
Indigofera sp. memiliki protein yang tinggi yaitu 25.60%. Indigofera
sp. merupakan salah satu hijauan tropis berupa legum yang biasa digunakan
sebagai sumber protein bagi ternak ruminansia. Walaupun Indigofera sp.
10

memiliki kandungan PK paling tinggi, hijauan tersebut mengandung ADF


yang tinggi sehingga kemungkinan mempengaruhi kecernaan (Abdullah
2010).
Hijauan yang digunakan sebagai substrat pada penelitian ini adalah
campuran dari Brachiaria humidicola dan Indigofera sp. Tujuan
menggunakan kedua hijauan ini sebagai pakan ternak yaitu karena
diharapkan kedua hijauan tersebut saling melengkapi sebagai sumber serat
dan protein, selain itu diharapkan total kecernaan bahan ini tinggi.
Campuran kedua hijauan ini memiliki kandungan nutrisi masih cukup baik
yaitu protein 16.38%. Berdasarkan hal tersebut diharapkan dapat
menurunkan kandungan metana dalam proses fermentasi di rumen.
Tabel 1 Komposisi nutrisi bahan pakan sebagai subtrat pakan in vitro
Nutrisi Brachiaria humidicola1) Indigofera sp.1) Ratio*
BK (%BK) 93.40 90.31 91.86
Abu (%BK) 5.44 6.24 5.84
Protein Kasar (%BK) 7.15 25.60 16.38
Eter Ekstrak (%BK) 1.25 2.51 1.88
NDF (%BK) 82.14 53.66 67.90
ADF (%BK) 38.04 49.05 43.55
Lignin(%BK) 3.81 9.49 6.65
GE(Kal/g) 4366 3579 3973
TDN** 59.18 46.62 52.89
Ratio Brachiaria humidicola : Indigofera sp. ; BK (%), Bahan Kering ; PK, Protein Kasar ;
EE, Eter Ekstrak ; NDF, Neutral Detergent Fiber ; ADF, Acid Detergent Fiber ; GE, Gross
Energi.
1)Analisa Proksimat Laboratorium Pakan Kampus IPB
*) Hasil perhitungan rata-rata Brachiaria humidicola : Indigofera sp.
**) 4.808+89.796 x (1.0876-0.0127 x ADF) (Owens et al. 2010)

Ekstraksi Tanin dan Saponin


Mahoni (Swietenia mahagoni) merupakan tanaman tropis sebagai
sumber tanin terkondensasi (Jayanegara et al. 2011). Mahoni mengandung
protein kasar yaitu 11.71% dan memiliki kandungan NDF 47.50%.
Tanaman ini dibandingkan 27 tanaman lainnya memiliki kandungan tanin
terkondensasi paling tinggi sebesar 86g/kg bahan kering (Jayanegara et al.
2011). Oleh karena itu, Mahoni digunakan sebagai sumber tanin
terkondensasi pada penelitian ini.
Harendong (Clidemia hirta) merupakan tanaman tropis sebagai
sumber tanin terhidrolisis yang memiliki kandungan protein kasar (PK)
9.94%. Tanaman ini memiliki kandungan NDF paling tinggi yaitu sebesar
88.25%. Tanaman ini dibandingkan 27 tanaman lainnya memiliki
kandungan tanin terhidrolisis paling tinggi yaitu sebesar 202 g/kg bahan
kering (Jayanegara et al. 2011). Oleh karena itu tanaman ini dipakai sebagai
sumber tanin terhidrolisis pada penelitian ini.
Lerak (Sapindus rarak) merupakan tanaman tropis sebagai sumber
saponin. Lerak mengandung protein kasar (PK) 7.81% BK, kandungan NDF
11

23.96%BK. Sapindus rarak memiliki kandungan saponin sebesar 26.95%


(Wina 2005).
Hasil ekstraksi polifenol dari daun mahoni menggunakan sejumlah
kombinasi pelarut tersaji pada Tabel 2. Kandungan total fenol didapatkan
hasil yang paling kecil yaitu 100% aseton dan yang paling tinggi adalah
75% air + 25% aseton dan 25% air + 75% metanol. Menurut Iqbal (2012),
bahwa dengan penggunaan larutan polaritas tinggi, total fenol juga
ditingkatkan dan konsentrasi fenol tertinggi ditemukan pada ekstraksi
menggunakan metanol. Kandungan total tanin terkondensasi yang paling
kecil didapatkan yaitu ekstraksi dengan menggunakan pelarut 100% aseton.
Kandungan total tanin paling tinggi didapatkan dengan menggunakan
kombinasi pelarut yaitu 25% air + 75% metanol, 25% air + 75 aseton dan
50% air + 50% aseton. Kandungan total tanin terkondensasi dari hasil yang
diekstrak dengan menggunakan air, dan aseton berbeda dengan yang lain.
Namun hasilnya lebih tinggi pada metanol 75% walaupun tidak berbeda
nyata dengan 25% aseton, 50% aseton dan 75% aseton. Hal ini dilihat dari
total tanin terkondensasi yang didapatkan pada 75% metanol lebih tinggi
dibandingkan dengan yang lainnya selain itu aseton lebih mahal
dibandingkan larutan metanol.
Aseton kurang bisa dipakai untuk ekstraksi tanin terkondensasi karena
hasilnya sangat rendah. Hal ini sama dengan Iqbal (2012). Aseton
merupakan pelarut yang kurang polar. Campuran pelarut ekstraksi yang baik
adalah campuran baik air dan metanol maupun air dan aseton. Tanin yang
terdapat pada mahoni adalah senyawa polifenol karena ada senyawa
campuran di dalamnya. Hal ini tidak berbeda jauh dengan Makkar (2003).
Oleh karena itu, ekstraksi lebih baik dengan menggunakan pelarut
kombinasi campuran polar dan kurang polar (bukan non polar). Hal ini juga
sama yang dilakukan (Wina 2010) menggunakan campuran pelarut antara
air dan pelarut organik (aseton, metanol) yang kurang polar. Pelarut tersebut
optimal dalam mengekstraksi tanin terkondensasi dikarenakan struktur
molekul tanin yang terdiri dari baik gugus polar maupun non-polar
(Mueller-Harvey 2006). Pada beberapa studi, jumlah ekstraksi fenol
menunjukkan korelasi yang kuat dengan polaritas larutan yang digunakan,
pelarut dengan polaritas tertinggi menjadi yang terbaik untuk ekstraksi (Hart
1983).
Hasil ekstraksi polifenol dari daun Harendong menggunakan sejumlah
kombinasi pelarut tersaji pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3. terlihat bahwa
total fenol ekstraksi dari daun Harendong yang paling kecil yaitu 25%
aseton. Hal ini berhubungan dengan kemampuan pelarut metanol dalam
mengekstrak senyawa fenol. Menurut Hart (1983) metanol merupakan
pelarut yang bersifat polar sehingga dapat mengekstrak fenol dengan baik.
Kandungan total fenol yang tertinggi adalah 25% air + 75% aseton.
Kandungan total tanin terhidrolisis yang paling kecil didapatkan dengan
menggunakan kombinasi pelarut air dan aseton. Sementara kandungan tanin
terhidrolisis yang paling tinggi adalah 25% air + 75% aseton. Hal ini
berbeda dengan mahoni mungkin disebabkan karena kepolaritasan pada
struktur tanin terhidrolisis pada daun Harendong berbeda dengan tanin
terkondensasi.
12

Komposisi pelarut optimal dalam mengekstraksi tanin di dalam


penelitian ini tidak jauh berbeda dengan rekomendasi komposisi pelarut
oleh Makkar (2003) 30% air + 70% aseton dan Iqbal (2012) metanol.
Efisiensi larutan berbeda untuk ekstraksi fenol ditemukan pada metanol >
air > etanol > aseton > chloroform > heksan (Iqbal 2012). Oleh karena itu
diperlukan kombinasi larutan polar dan non polar dalam mengekstraksi
tanin. Dalam hal ini kombinasi air dan metanol lebih baik kandungan total
tanin terkondensasi, karena tanin lebih larut dengan larutan polar. Gugus
hidroksil yang terdapat pada struktur fenol senyawa tanin merupakan bagian
yang bersifat polar (hidrofilik), sedangkan struktur aromatik fenolik
khususnya pada tanin terkondensasi merupakan bagian non-polarnya
(hidrofobik). Oleh karena itu dalam mengekstraksi tanin diperlukan tidak
hanya pelarut polar atau pelarut kurang polar (non-polar) saja, melainkan
merupakan gabungan dari keduanya. Dengan demikian campuran pelarut
tersebut dapat mengekstraksi baik komponen polar maupun komponen non-
polar yang terdapat pada tanin, sehingga kandungannya menjadi optimum.

Tabel 2 Kandungan total fenol dan total tanin dari daun mahoni (Swietenia
mahagoni) menggunakan komposisi pelarut yang berbeda dalam
ekstraksinya (n=3)

Perlakuan Total fenol* Total tanin*


(% BK) (% BK)
P1 26.6b 19.0b
P2 30.4bc 22.0bc
P3 31.7bcd 18.2b
P4 41.6cde 29.9c
P5 31.0bcd 17.1b
P6 43.1de 26.7bc
P7 39.0cde 25.7bc
P8 39.9cde 26.9bc
P9 3.7a 2.3a
SEM 0.92 1.76
Nilai P <0.001 <0.001
*angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji 0.05 (menggunakan uji Duncan) ; SEM (Standard Error Mean)
didapatkan perpeubah; P-Value (Tingkat Signifikansi) ; BK (Bahan Kering), P1: 100%, P2:
75% air + 25% metanol, P3: 50% air + 50% metanol, P4: 25% air + 75% metanol, P5:
100% metanol, P6: 75% air + 25% aseton, P7: 50% air + 50% aseton, P8: 25% air + 75%
aseton, P9: 25% air + 75% aseton.

Hasil ekstraksi saponin dari buah lerak (Sapindus rarak)


menggunakan sejumlah kombinasi pelarut tersaji pada Tabel 4. Berdasarkan
Tabel 4. terlihat bahwa kandungan total saponin yang paling kecil pada
aseton 100%. Sementara pelarut terbaik yang menghasilkan ekstraksi total
saponin tertinggi dari buah lerak adalah 100% metanol (Tabel 4). Nilai total
saponin dari buah lerak yang diekstrak menggunakan 100% metanol lebih
tinggi sekitar dua kali lipat atau lebih dibandingkan pelarut-pelarut lainnya
(P<0.05).
13

Tabel 3 Kandungan total fenol dan total tanin dari daun harendong
(Clidemia hirta) menggunakan komposisi pelarut yang berbeda
dalam ekstraksinya (n=3)

Perlakuan Total fenol* Total tanin*


(% BK) (% BK)
P1 19.81abc 12.14b
P2 25.95cd 19.03c
P3 42.36e 36.32d
P4 28.30d 20.93c
P5 16.78ab 12.57b
P6 14.71a 4.73a
P7 23.55bcd 3.05a
P8 58.60f 44.07e
P9 17.72ab 16.12bc
SEM 2.77 2.53
Nilai P <0.001 <0.01
*angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji 0.05 (menggunakan uji Duncan) ; menggunakan uji Duncan SEM
(Standard Error Mean) didapatkan perpeubah; P-Value (Tingkat Signifikansi) ; BK (Bahan
Kering), P1: 100%, P2: 75% air + 25% metanol, P3: 50% air + 50% metanol, P4: 25% air +
75% metanol, P5: 100% metanol, P6: 75% air + 25% aseton, P7: 50% air + 50% aseton,
P8: 25% air + 75% aseton, P9: 25% air + 75% aseton.
.
Tabel 4 Kandungan total saponin dari buah lerak (Sapindus rarak)
menggunakan komposisi pelarut yang berbeda dalam ekstraksinya
(n=3)

Perlakuan Total saponin*


(% BK)
P1 19.57b
P2 22.64b
P3 23.35b
P4 22.50b
P5 44.13c
P6 20.43b
P7 18.78b
P8 24.04b
P9 12.56a
SEM 3.30
Nilai P <0.001
*angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji 0.05 (menggunakan uji Duncan) ; SEM (Standard Error Mean) ; SEM
(Standard Error Mean) didapatkan perpeubah ; P-Value (Tingkat Signifikansi) ; BK
(Bahan Kering), P1: 100%, P2: 75% air + 25% metanol, P3: 50% air + 50% metanol, P4:
25% air + 75% metanol, P5: 100% metanol, P6: 75% air + 25% aseton, P7: 50% air + 50%
aseton, P8: 25% air + 75% aseton, P9: 25% air + 75% aseton.

Ekstrak saponin akan lebih banyak dihasilkan jika diekstraksi


menggunakan metanol karena saponin bersifat polar sehingga akan lebih
mudah larut daripada pelarut lain. Kandungan saponin yang didapat pada
14

penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Skhirtladze et al. (2011)
dengan menggunakan 80% metanol pada tanaman yucca.
Hal ini dikarenakan struktur saponin dan bahan yang digunakan
berbeda. Oleh karena itu pelarut-pelarut tersebut digunakan untuk
mengekstrak kandungan polifenol/tanin atau saponin dari mahoni,
harendong dan lerak. Efek ekstrak tanaman yang tertinggi tersebut
digunakan pada tahapan penelitian selanjutnya yaitu sistem fermentasi
rumen in vitro. Jenis tanin yang terdapat dalam daun harendong adalah jenis
tanin terhidrolisis atau hydrolysable tannin (Jayanegara et al. 2011) yang
dapat menyebabkan toksisitas dan bahkan kematian pada ternak (Makkar et
al. 2007), maka dalam proses ekstraksi selanjutnya hanya daun mahoni yang
digunakan dalam uji in vitro. Jenis tanin yang terdapat dalam daun mahoni
adalah jenis tanin terkondensasi atau condensed tannin yang relatif aman
dikonsumsi oleh ternak.

Produksi Gas dan Emisi Metana In Vitro


Produksi gas yang dihasilkan menunjukkan terjadinya proses
fermentasi pakan oleh mikroba. Laju produksi total gas dari penambahan
ekstrak tanin dan/atau saponin terhadap substrat pakan basal dari sistem
fermentasi rumen secara in vitro selama 48 jam disajikan pada Gambar 1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa supplementasi tanin dan atau saponin
tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap produksi gas. Total produksi gas
pada semua perlakuan meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu
inkubasi.

200.00
180.00
160.00
140.00 R1
R2
Total gas(ml)

120.00
100.00 R3
80.00
R4
R5
60.00
R6
40.00
R7
20.00
0.00
0 10 20 30 40 50 60
Waktu inkubasi (jam)

Gambar 1 Kinetika produksi total gas (ml) in vitro dari substrat yang ditambahkan
ekstrak tanin dan/atau saponin ; R1: Substrat, R2: Substrat + ekstrak tanin 0.5
mgml-1 cairan rumen, R3: Substrat + ekstrak tanin 1 mgml-1 cairan rumen,
R4: Substrat + ekstrak saponin 0.5 mgml-1 cairan rumen, R5: Substrat +
ekstrak saponin 1 mgml-1 cairan rumen, R6: Substrat + ekstrak tanin 0.5
mgml-1 + ekstrak saponin 0.5 mgml-1, R7: Substrat + ekstrak tanin 1 mgml-1 +
ekstrak saponin 1 mgml-1.
15

Gas yang diproduksi oleh mikroba rumen selama inkubasi


sebagiannya merupakan produk hasil metabolisme mikroba dalam mencerna
dan memfermentasi pakan atau substrat, sedangkan sebagian lainnya adalah
dari hasil proses buffering larutan saliva buatan (larutan Buffer) terhadap
asam lemak terbang yang dihasilkan (Getachew et al. 1998).
Gambar 1 menjelaskan bahwa kecepatan atau laju produksi gas
semakin lambat dengan semakin lamanya waktu inkubasi. Kondisi semakin
sedikitnya substrat yang dapat dicerna dengan semakin lamanya waktu
inkubasi menjadi penyebab semakin lambatnya kecepatan produksi gas
tersebut (Jayanegara et al. 2010). Fisroni (2005) menyatakan bahwa,
produksi gas yang dihasilkan menunjukkan terjadinya proses fermentasi dan
degradasi yang terjadi didalam rumen dan merupakan gambaran banyaknya
bahan organik yang dapat dicerna di dalam rumen. Gas yang terbentuk dari
proses fermentasi terdiri dari 56% CO2, 32% metana (CH4), 8.2% N2 dan
3.5% O2 (Arora 1989).
Pada Tabel 5 secara numerik terlihat bahwa produksi gas total
mengalami peningkatan pada setiap perlakuan yaitu berkisar antara 6.10%-
12%. Perlakuan ekstrak saponin 1 mgml-1 (R5) dan perlakuan kombinasi
ekstrak tanin dan saponin pada level 1 mgml-1 (R7) lebih tinggi
meningkatkan produksi gas pada waktu inkubasi yang lebih lama yakni 48
jam dibandingkan dengan perlakuan kontrol yaitu sebesar 13.91% pada R5
dan 13.18% pada R7.
.
Tabel 5 Produksi total gas, konsentrasi gas metana dan penurunan
konsentrasi gas metana

Perlakuan Total Gas (ml) CH4 (%) Penurunan


CH4 (%)
24 Jam 48 Jam 24 Jam 48 Jam 24 Jam 48Jam
R1 111.6 153.7 26.3 25.2
R2 119.6 169.9 23.2 22.0 11.9 12.7
R3 114.0 163.7 24.4 22.6 7.4 10.0
R4 127.2 171.4 23.1 22.3 12.1 11.5
R5 119.8 175.1 22.2 21.2 15.6 15.9
R6 110.3 163.1 22.3 21.5 15.1 14.6
R7 114.1 173.9 22.6 20.9 14.0 17.0
SEM 2.06 2.49 0.76 0.59
Nilai P 0.16 0.25 0.31 0.07
Superskrip tidak berbeda nyata pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada taraf (P>0.05) menggunakan uji Duncan; SEM (Standard Error Mean) didapatkan
perpeubah; P-value (tingkat signifikansi); R1: Substrat, R2: Substrat + ekstrak tanin 0.5
mgml-1 cairan rumen, R3: Substrat + ekstrak tanin 1 mgml-1 cairan rumen, R4: Substrat +
ekstrak saponin 0.5 mgml-1 cairan rumen, R5: Substrat + ekstrak saponin 1 mgml-1 cairan
rumen, R6: Substrat + ekstrak tanin 0.5 mgml-1 + ekstrak saponin 0.5 mgml-1, R7: Substrat
+ ekstrak tanin 1 mgml-1 + ekstrak saponin 1 mgml-1.

Hal ini mengindikasikan bahwa produksi gas lebih tinggi dengan


penambahan 1 mgml-1 ekstrak tanaman baik pada R5 dan R7 karena ada
kaitannya dengan terlepasnya gula dan terdegradasinya senyawa saponin
(Wina et al. 2005). Pada studi Śliwiński et al. (2002); Patra et al. (2010)
16

juga melaporkan hal serupa bahwa meningkatnya produksi gas oleh ekstrak
tanaman yang mengandung saponin disebabkan oleh meningkatnya gula
mudah larut dari ekstrak tanaman iniMetana merupakan hasil dari
fermentasi oleh mikroba rumen terhadap komponen pakan. Kinetika
produksi gas metana pada gambar 3 mengikuti pola kinetika produksi total
gas pada gambar 1. Gas metana yang terbentuk semakin banyak dengan
semakin lamanya waktu inkubasi, namun dengan kecepatan gas metana
yang terbentuk semakin berkurang. Satuan yang lebih relevan dalam
mempresentasikan hasil mengenai upaya mitigasi gas metana adalah
konsentrasi secara relatif terhadap total produksi gas, adalah dalam satuan
%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa supplementasi tanin dan atau
saponin cenderung berpengaruh nyata (P<0.1) terhadap menurunkan
konsentrasi gas metana. Kinetika konsentrasi gas metana (%) dalam total
gas ditampilkan pada Gambar 2. Secara umum pada semua perlakuan tidak
memberikan efek peningkatan konsentrasi gas metana pada awal inkubasi,
kemudian mulai menurun pada jam ke-8, dan stabil pada jam ke-24 hingga
jam ke-48. Hal ini diduga terjadi karena pada awal inkubasi metana yang
dihasilkan merupakan hasil fermentasi substrat dan buffering larutan buffer
diperkirakan sudah berhenti pada jam ke-8 sehingga inkubasi setelahnya
murni fermentasi substrat.
45.00
40.00
35.00
R1
30.00
R2
CH4 (ml)

25.00
R3
20.00
R4
15.00
R5
10.00
R6
5.00
R7
0.00
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54
Waktu inkubasi (jam)

Gambar 2 Kinetika produksi gas metana (ml) in vitro dari substrat yang ditambahkan
ekstrak tanin dan/atau saponin; R1: Substrat, R2: Substrat + ekstrak tanin 0.5
mgml-1 cairan rumen, R3: Substrat + ekstrak tanin 1 mgml-1 cairan rumen,
R4: Substrat + ekstrak saponin 0.5 mgml-1 cairan rumen, R5: Substrat +
ekstrak saponin 1 mgml-1 cairan rumen, R6: Substrat + ekstrak tanin 0.5
mgml-1 + ekstrak saponin 0.5 mgml-1, R7: Substrat + ekstrak tanin 1 mgml-1 +
ekstrak saponin 1 mgml-1.

Penambahan ekstrak tanin daun mahoni dan ekstrak saponin buah


lerak, baik secara tunggal (R2-R5) maupun kombinasi (R6-R7) cenderung
berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (R1) dalam menurunkan
konsentrasi gas metana dapat dilihat pada Tabel 5. Namun demikian secara
numerik seluruh perlakuan terlihat menurunkan persentase metana dan yang
17

paling tinggi penurunannya ditunjukkan oleh perlakuan R7 (suplementasi


kombinasi ekstrak tanin dan saponin pada level masing-masing 1 mgml-1),
yaitu sebesar 17%. Penurunan konsentrasi metana/gas ini terjadi diduga
karena kandungan tanin dan saponin pada perlakuan ini lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
Lebih tingginya tingkat penurunan emisi gas metana pada pemberian
kombinasi tanin dan saponin daripada pemberian secara tunggal
menunjukkan bahwa kedua komponen memiliki potensi efek atau pengaruh
dari kedua ekstrak senyawa tersebut keduanya dalam menurunkan
konsentrasi gas metana tetapi perlu diuji lebih lanjut.
Pada prinsipnya, pembentukan gas metana di dalam rumen terjadi
melalui reduksi CO2 oleh H2 yang dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan
oleh bakteri metanogenik. Penambahan ekstrak tanin daun mahoni dan
ekstrak saponin buah lerak, baik secara tunggal (R2-R5) maupun kombinasi
(R6-R7) tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (R1) dalam hal
konsentrasi gas metana pada waktu inkubasi 24 jam (Tabel 5). Namun
secara numerik pada perlakuan kombinasi ekstrak tanin dan saponin pada
level masing-masing 1 mgml-1 (R7) terjadi penurunan konsenstrasi gas
metana tertinggi pada 48 jam yaitu sebesar 17%.
Mekanisme tanin dapat mengurangi emisi gas metana adalah melalui
eliminasi langsung sejumlah populasi metanogen (Bhatta et al. 2009).
Sedangkan mekanisme saponin dalam mengurangi emisi metana adalah
melalui eliminasi populasi protozoa rumen. Aktivitas saponin dalam
mengurangi jumlah protozoa rumen terkait dengan kapasitas saponin dalam
berikatan dengan sterol yang terdapat pada membran sel protozoa, sehingga
menyebabkan lisis sel protozoa tersebut (Beauchemin et al. 2008).
Eliminasi protozoa rumen meningkatkan jumlah bakteri amilolitik,
karena protozoa berukuran besar merupakan predator bakteri amilolitik.
Dengan berkurangnya populasi protozoa maka aktivitas bakteri amilolitik
dalam rumen meningkat, sehingga menghasilkan lebih banyak asam
propionat dan lebih sedikit gas metana. Sejumlah bakteri metanogen dalam
rumen hidup dan menempel pada permukaan di dinding sel protozoa
(Francis et al. 2002). Dengan berkurangnya populasi protozoa bakteri
metanogen menurun karena kehilangan habitatnya, sehingga produksi
metana menurun.
Pada uji statistik kombinasi pemberian tanin dan saponin dalam
perlakuan (R6) Substrat + ekstrak tanin 0.5 mgml-1 + ekstrak saponin 0.5
mgml-1, (R7) Substrat + ekstrak tanin 1 mgml-1 + ekstrak saponin 1 mgml-1
memberikan pengaruh cenderung dalam menurunkan emisi gas metana
dalam rumen (P<0.1). Hal ini dapat disebabkan oleh pemberian dosis atau
konsentrasi zat aditif pada tepung ekstrak mahoni tanin dan tepung ekstrak
lerak saponin dalam perlakuan belum pada keadaan optimal. Hal ini sesuai
dengan penelitian Pen et al. 2007 menggunakan ekstrak yucca (mengandung
8-10% saponin) pada studinya secara relatif dihubungkan pada dosis tinggi
(13.8 g/kg pakan) dan didapati penurunan tidak berbeda nyata (11.7%)
dalam melepaskan metana pada domba. Hal lain yang dapat mempengaruhi
gas metana ialah jenis hijauan dan perlakuan yang berbeda (Jayanegara et
18

al. 2008). Hal serupa juga dapat dipengaruhi oleh keadaan biologis atau pH
rumen pada saat terjadi fermentasi.

35.00

30.00 R1
CH4(% total gas)

R2

R3
25.00
R4

R5
20.00 R6

R7

15.00
0 10 20 30 40 50
Periode inkubasi (jam)
Gambar 3 Kinetika konsentrasi gas metana dalam total gas (%) in vitro dari substrat
yang ditambahkan ekstrak tanin dan/atau saponin; R1: Substrat, R2: Substrat
+ ekstrak tanin 0,5 mgml-1 cairan rumen, R3: Substrat + ekstrak tanin 1 mgml-
1
cairan rumen, R4: Substrat + ekstrak saponin 0,5 mgml -1 cairan rumen, R5:
Substrat + ekstrak saponin 1 mgml-1 cairan rumen, R6: Substrat + ekstrak
tanin 0,5 mgml-1 + ekstrak saponin 0,5 mgml-1, R7: Substrat + ekstrak tanin 1
mgml-1 + ekstrak saponin 1 mgml-1.

Meskipun perlakuan memberikan cenderung pengaruh nyata (P<0.1)


namun ada indikasi bahwa secara numerik dapat pada data ini menunjukkan
bahwa suplementasi hijauan yang mengandung tanin cenderung dapat
menurunkan emisi metana dari sistem fermentasi rumen secara in vitro, hal
ini juga telah dilaporkan oleh Carulla et al. (2005), Puchala et al. (2005),
dan Jayanegara et al. (2008) dengan menggunakan jenis hijauan dan
perlakuan yang berbeda. Mekanisme penghambatan produksi metana pada
ternak ruminansia telah digagas oleh Tavendale et al. (2005), yakni (1)
secara tidak langsung melalui penghambatan pencernaan serat yang
mengurangi produksi H2, dan (2) secara langsung menghambat pertumbuhan
dan aktivitas metanogen. Lebih lanjut Jayanegara (2008) menambahkan
bahwa tanin terkondensasi menurunkan metana melalui mekanisme pertama
yang digagas oleh Tavendale et al. (2005), sedangkan tanin yang mudah
terhidrolisis lebih berperan pada mekanisme yang kedua. Di samping itu,
tanin juga menghambat pertumbuhan protozoa yang menjadi salah satu
inang utama metanogen (Patra and Saxena 2009a). Hal ini serupa dengan
pemberian penambahan ekstrak tanin yang diberikan menggunakan tanin
terkondensasi pada penelitian ini.
19

Fraksi senyawa polifenol yang secara nyata menurunkan produksi gas


metana adalah total fenol (yang terdiri atas senyawa fenol tanin dan
senyawa fenol bukan tanin) dan total tanin, sedangkan tanin terkondensasi
tidak terbukti menurunkan metana pada penelitian ini. Data ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Jayanegara et al. (2008),
bahwa total fenol, total tanin mampu menurunkan produksi metana
sedangkan tanin terkondensasi tidak. Berlawanan dengan hasil ini, tanin
terkondensasi secara signifikan dapat menurunkan emisi metana (Puchala et
al. 2005; Animut et al. 2008). Berdasarkan hal tersebut efek tanin
terkondensasi terhadap produksi metana masih belum konsisten, apakah
dapat menurunkan atau tidak. Hal ini sangat bergantung pada tanaman
sumber tanin terkondensasi tersebut, karena struktur senyawa tanin
terkondensasi sangat bervariasi antara satu tanaman dengan tanaman
lainnya.
Pemberian tanin atau saponin secara tunggal maupun secara kombinasi
mengindikasikan cenderung dapat menurunkan emisi gas metana.
Penurunan emisi gas metana sebesar 10.05% sampai 17.03% diikuti
menurunnya populasi protozoa terhadap perlakuan yang diberikan sebesar
7% sampai 20% sebagaimana tersaji pada Tabel 6. Dengan demikian,
inhibisi metana oleh saponin diprediksi sebagian besar terjadi karena
penurunan populasi protozoa. Sejumlah bakteri metanogen dalam rumen
hidup dan menempel pada permukaan di dinding sel protozoa (Francis et al.
2002).

Tabel 6 Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Bakteri, Protozoa dan


Konsentrasi N-NH3

Perlakuan Bakteri Protozoa N-NH3


(Log cfu/ml) (Log sel/ml) mM
R1 10.15 7.17 30.89
R2 9.92 7.08 26.30
R3 10.05 7.11 27.38
R4 9.98 7.15 25.93
R5 9.91 7.10 24.92
R6 9.92 7.15 25.22
R7 9.93 7.03 25.50
SEM 0.02 0.02 0.80
Nilai P 0.59 0.07 0.31
Superskrip tidak berbeda nyata pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada taraf (P>0.05) menggunakan uji Duncan; SEM (Standard Error Mean) didapatkan
perpeubah; P-value (tingkat signifikansi); R1: Substrat, R2: Substrat + ekstrak tanin 0.5
mgml-1 cairan rumen, R3: Substrat + ekstrak tanin 1 mgml-1 cairan rumen, R4: Substrat +
ekstrak saponin 0.5 mgml-1 cairan rumen, R5: Substrat + ekstrak saponin 1 mgml-1 cairan
rumen, R6: Substrat + ekstrak tanin 0.5 mgml-1 + ekstrak saponin 0.5 mgml-1, R7: Substrat
+ ekstrak tanin 1 mgml-1 + ekstrak saponin 1 mgml-1.

Dengan berkurangnya populasi protozoa, bakteri metanogen menurun


karena kehilangan habitatnya, sehingga produksi metana menurun. Wina et
20

al. (2006) melaporkan dalam penelitiannya saponin ekstrak daging buah


lerak yang diberikan pada domba fistula secara signifikan menurunkan
populasi protozoa pada percobaan jangka panjang. Thalib et al. (1996)
menambahkan bahwa ekstrak metanol dari buah lerak menyebabkan 57%
penurunan jumlah protozoa.
Disamping itu, penurunan aktivitas produksi metana oleh saponin
memberikan pengaruh terhadap inhibisi metana yang berbeda-beda antara
penelitian. Hal ini disebabkan oleh jenis pakan yang digunakan, cairan
rumen yang digunakan dan konsentrasi saponin dalam masing-masing
penelitian.
Populasi protozoa dalam rumen berbanding langsung dengan produksi
gas metana, artinya produksi gas metana berkurang bila protozoa dalam
rumen menurun (Thalib 2008). Hal serupa juga terjadi pada populasi
bakteri metanogen terhadap perlakuan yang diberikan dapat menurunkan
emisi gas metana. Ketika keduanya dikombinasikan, maka populasi
metanogen sebagai agen metanogenesis serta populasi protozoa sebagai
penyuplai hidrogen terhadap metanogen dieliminasi secara simultan yang
kemudian menurunkan emisi gas metana asal rumen. Pengaruh penurunan
populasi protozoa ini disebabkan terjadinya mekanisme gangguan terhadap
protozoa sebagai akibat terjadinya ikatan antara saponin dengan sterol yang
terdapat pada membran protozoa. Mekanisme ini tidak terjadi pada bakteri
karena bakteri tidak memiliki sterol pada membrannya (Francis et al. 2002).

Mikroba Rumen
Populasi bakteri dan protozoa dari fermentasi rumen in vitro pada
masing-masing perlakuan bila dilihat secara trendline cenderung dapat
menurun seperti terlihat pada Tabel 6 yang secara statistik tidak berbeda
nyata (P>0.05). Meskipun pemberian ektraksi tanin dan atau saponin pada
perlakuan tidak memberikan pengaruh secara nyata pada populasi bakteri
(P>0.05) dan cenderung menurunkan populasi protozoa (P>0.1). Pada tanin
dapat terlihat bahwa pemberian ekstrak tanin secara numerik terjadi
penurunan bakteri sebesar 2.22% dan 0.95% (R2-R3). Pada saponin terjadi
penurunan bakteri sebesar 1.67% dan 2.40% (R3-R4). Pada kombinasi
ekstrak tanin dan saponin terjadi penurunan sebesar 2.23% dan 2.17% (R6-
R7). McSweeney et al. (2001) melaporkan bahwa tanin menghambat
pertumbuhan bakteri sellulolitik dan bakteri proteolitik. Hal ini terjadi
karena tanin langsung menghambat pada pertumbuhan bakteri metanogen.
Tanin berperan sebagai antimetanogenik sehingga berdampak langsung
pada metanogen cerna rumen dan efek tidak langsung pada produksi
hidrogen akibat penurunan kualitas pakan yang lebih rendah. Hal ini
berbeda dengan dengan penelitian ini, hal ini disebabkan oleh jenis tanin
yang digunakan oleh penelitian ini adalah tanin terkondensasi dari daun
mahoni sementara pada Mcsweeny et al. (2001) adalah tanin hidrolisis.
Pada saponin dapat terlihat bahwa pemberian ekstrak saponin diindikasikan
tidak menurunkan bakteri (R4-R5). Hal ini dapat disebabkan karena
protozoa memakan bakteri, terutama bakteri amilolitik karena protozoa
21

merupakan predator atau bersifat pagosit dari bakteri. Protozoa memerlukan


makanan protein, serat, pati. Apabila protozoa tidak tercukupi pakannya
menyebabkan protozoa memakan bakteri. Dengan semakin banyaknya
jumlah protozoa dan tidak terpenuhi makanannya maka menyebabkan
bakteri yang dimakan oleh protozoa semakin banyak. Sementara untuk
pemberian kombinasi ekstrak tanin dan saponin 1 mgml-1 terjadi penurunan
bakteri sebesar 2.17%.
Dengan demikian, pemberian dengan kombinasi pada dosis lebih
tinggi cenderung lebih baik dilihat dari populasi protozoa. Populasi protozoa
menurunkan 2.05% pada kombinasi tanin dan saponin 1 mgml-1 (P<0.1)
ditunjukkan pada Tabel 6. Protozoa sensitif terhadap saponin karena
membran sterolnya mengikat dengan saponin. Terjadinya defaunasi
protozoa dengan pemberian ekstrak saponin karena pada kasus saponin,
pengaruh ini terlihat dipengaruhi oleh kapasitas saponin untuk bagian
kompleks yang tidak dapat dirubah dengan kolesterol pada sel membran
protozoa yang menyebabkan merusak membran sel, lisis sel dan mati
(Francis et al. 2002).

Produksi Amonia
Kadar amonia diperoleh dari hasil fermentasi protein dalam pakan.
Protein dalam pakan yang masuk ke dalam rumen akan didegradasi dan
difermentasi menjadi oligopeptida, asam amino, asam lemak bercabang dan
menjadi amonia. Kecepatan deaminasi biasanya lebih lambat daripada
kecepatan pada proses proteolisis, oleh karena itu terdapat konsentrasi asam-
asam amino dan peptida yang lebih besar setelah makan, kemudian diikuti
oleh konsentrasi amonia sekitar 3 jam setelah makan. Hasil utama degradasi
asam amino adalah asam lemak bercabang dan amonia. Amonia yang
dibebaskan dimanfaatkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya dan
membentuk protein tubuh. Kandungan amonia atau N-NH3 rumen
merupakan pencerminan dari aktivitas degradasi protein pakan dan
endogenous protein oleh mikroba rumen melalui mekanisme keseimbangan
N dari tubuh ternak. Pengaruh tanin dan saponin terhadap produksi amonia
ditunjukkan pada Tabel 6.
Penambahan ektrak tanin dan atau saponin secara tunggal maupun
kombinasi pada perlakuan tidak berbeda secara nyata (P>0.05) menurunkan
kandungan N-NH3. Amonia merupakan sumber nitrogen utama bagi
mikroba rumen karena amonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian
dimanfaatkan oleh mikroba untuk sintesis protein mikroba (Arora 1989).
Sekitar 3.5-14 mM amonia (NH3) digunakan oleh mikroba rumen sebagai
sumber N untuk proses sintesis selnya. Sementara McDonald et al. (2002)
menyatakan bahwa konsentrasi NH3 yang optimum untuk menunjang
sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar
antara 6-21 mM. Konsentrasi N-NH3 yang dihasilkan pada perlakuan
penambahan ekstrak tanin dan/saponin berkisar 24.92 hingga 30.89 mM
yang ditunjukkan pada Tabel 6 dan nilai tersebut masih optimal untuk
pertumbuhan mikroba rumen. Hal ini belum menunjukkan efek negatif
terhadap amonia walaupun secara numerik menurunkan sebesar 11.37-
22

19.31%. Artinya cukup memenuhi amonia. Dilain pihak ada yang


menyatakan terjadi penurunan amonia karena tanin membentuk ikatan
kompleks tanin-protein tidak mudah larut sehingga menurunkan
degradabilitasnya selanjutnya menekan konsentrasi amonia.
Konsentrasi NH3 pada ransum kontrol lebih tinggi dari konsentrasi N-
NH3 substrat dan perlakuan penambahan ekstrak tanin dan saponin. Hal
tersebut disebabkan karena dalam ransum kontrol hanya terdiri dari substrat
yang berupa rumput Brachiaria humidicola dan legume Indigofera sp. tanpa
tambahan ekstrak tanin atau saponin, pengambilan sampel untuk analisis
amonia dilakukan pada inkubasi ke 48 jam bukan pada jam 3, selain itu
larutan buffer yang digunakan untuk in vitro terdapat kandungan
ammonium. Hal ini dapat diindikasikan sebagai salah satu faktor
penyumbang tingginya nilai konsentrasi amonia, kemudian dengan
pengambilan sampel pada saat inkubasi ke 48 jam dapat dindikasikan sudah
banyaknya proses degradasi protein namun tidak ada penyerapan protein
dari bakteri sehingga amonia yang ada kemudian diambil lagi untuk
didegradasi sebagai amonia oleh bakteri.
Meskipun pemberian perlakuan tersebut tidak memberikan pengaruh
secara nyata namun ada indikasi bahwa pada masing-masing perlakuan
cenderung menurunkan amonia (N-NH3). Hal ini ditunjukkan pada tabel 6
bahwa terjadinya penurunan kandungan amonia sebesar 11.37% sampai
19.31%. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas bakteri proteolitik tidak
terpengaruh oleh penambahan tanin dan atau saponin. Hal ini diindikasikan
karena jenis tanin, konsentrasi, aktivitas tanin.
Produksi amonia dipengaruhi oleh kandungan protein dalam pakan,
hal ini terjadi karena amonia diproduksi dari berbagai sumber protein dan
pembentukannya bergantung kepada besarnya sumber protein pada pakan
tersebut. Faktor utama yang mempengaruhi produksi amonia adalah
ketersediaan karbohidrat dalam ransum sebagai sumber energi (rantai
karbon) untuk pembentukan protein mikroba. Adanya karbohidrat yang
mudah dicerna (memiliki rantai karbon yang lebih sederhana)
memungkinkan mikroba mendapatkan energi yang lebih banyak untuk
membentuk protein tubuhnya. Menurut Widyobroto et al. (2007), bahwa
sintesis protein mikroba sangat dipengaruhi oleh ketersediaan NH3 dan
ketersediaan energi hasil fermentasi degradasi karbohidrat yang harus sesuai
dengan kecepatan degradasi protein, sehingga akan mempengaruhi sintesis
protein mikroba.
Faktor yang mempengaruhi konsentrasi amonia adalah kadar protein
pakan, kelarutan protein, sumber dan proporsi kabohidrat terlarut (Ranjhan
1980). Faktor penambahan ekstrak tanin mahoni secara tunggal (R2-R3)
maupun kombinasi (R6-R7). Secara relatif jika dilihat pada perlakuan
penambahan ekstrak tanin secara tunggal pada konsentrasi 0.5 mgml-1 dan 1
mgml-1 memiliki konsentrasi N-NH3 lebih tinggi dapat dikaitkan dengan
lebih tingginya kandungan protein kasar pada tanaman atau konsentrasi
tanin yang lebih rendah daripada konsentrasi minimum yang dibutuhkan
untuk memproduksi inhibisi maksimum proteolisis. Sementara penurunan
konsentrasi pada perlakuan dapat disebabkan karena tanin membentuk
ikatan kompleks tanin-protein dan selanjutnya menekan konsentrasi amonia.
23

Hal ini sesuai dengan pendapat Meissner et al. (1993), bahwa fermentasi
pakan yang mengandung tanin di dalam rumen menghasilkan konsentrasi
amonia yang lebih rendah dibandingkan dengan pakan yang tidak
mengandung tanin.
Penurunan konsentrasi amonia disebabkan oleh tanin ekstrak daun
mahoni membentuk kompleks dengan protein Brachiaria humidicola,
Indigofera sp. dan menjadikan senyawa kompleks tanin-protein tersebut
tidak mudah larut sehingga menurunkan degradabilitasnya. Menurut Utomo
(2005), adanya kompleks protein-tanin di dalam rumen menyebabkan
bakteri kesulitan mendegradasi protein menjadi amonia, yang dibutuhkan
untuk sintesis protein mikroba, sehingga kecernaan protein dalam rumen
menurun. Sementara penambahan ekstrak saponin secara tunggal (R4-R5)
maupun kombinasi (R6-R7) tidak memberikan pengaruh berbeda nyata
(P>0.05) dalam menurunkan konsentrasi amonia, namun secara kuantitas
diindikasikan dapat menurunkan nilai amonia dibandingkan kontrol (R1).
Hal ini disebabkan karena beberapa saponin menyebabkan penurunan
konsentrasi amonia di rumen (Lu and Jorgensen 1987; Lu et al. 1987;
Makkar et al. 1998). Saponin menurunkan protozoa karena protein rendah.
Pemberian saponin dapat menekan produksi amonia pada inkubasi 48 jam.
Hal ini mengindikasikan bahwa pada awal jam fermentasi, degradasi protein
pakan terjadi tanpa adanya penundaan dan juga tidak adanya inhibasi
aktivitas deaminasi pada saponin (Koening et al. 2000). Penurunan pada
produksi amonia pada fermentasi akhir seharusnya lebih kepada perbedaan
komposisi mikroba sebagai hasil defaunasi. Komunitas mikroba dengan
hadirnya level tinggi metabolit sekunder saponin mengurangi banyak
protozoa, dan oleh karena itu selama protozoa lisis pada fermentasi tahap
selanjutnya, kurangnya memproduksi amonia karena protozoa
menyumbang 10-40% total rumen nitrogen (Van Soest 1994).

Kecernaan

Pada penelitian ini pada masing-masing perlakuan bila dilihat dari


kecernaannya memberikan respon yang sama tidak berbeda nyata
menurunkan kecernaan atau dengan kata lain dapat mempertahankan
kecernaan (P>0.05). Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel 7. Nilai
kecernaan bahan kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO) menunjukkan
pada pakan kontrol (R1) dan pemberian ekstrak tanin dan atau saponin
secara tunggal maupun kombinasi tidak berbeda nyata, dan masih dalam
batas normal.
Kecernaan zat-zat makanan merupakan salah satu ukuran dalam
menentukan kualitas dari pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering
maka semakin tinggi juga peluang nutrisi yang dapat dimanfaatkan ternak
untuk pertumbuhannya. Kecernaan pakan dipengaruhi oleh pencampuran
pakan, cairan rumen dan inokulasi, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu
fermentasi, lama waktu inkubasi, ukuran sampel dan larutan penyangga
(Selly 1994).
24

Nilai kecernaan bahan kering ransum kontrol adalah 67.20%.


Suplementasi tanin ke dalam ransum dengan konsentrasi 0.5 mgml-1 dan 1
mgml-1 secara tunggal maupun kombinasi menurunkan kecernaan 4.73%
sampai 11.85%. Hal tersebut disebabkan karena adanya kandungan tanin
dalam ekstrak lerak. Tanin dapat berikatan dengan protein pakan sehingga
mengakibatkan protein sulit didegradasi oleh mikroba rumen. Kecernaan
bahan kering juga dapat dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena
setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang
berbeda-beda (Sutardi 1980).
Adanya kecenderungan semakin tinggi dosis pemberian tanin dan
saponin secara tunggal maupun kombinasi maka semakin tinggi penurunan
KCBK dan KCBO. Tetapi walaupun penurunan sampai 23% tidak berbeda
nyata. Hal ini disebabkan karena sistem yang dilakukan sistem batch.

Tabel 7. Pengaruh Perlakuan terhadap Rataan Kecernaan Bahan Kering dan


Kecernaan Bahan Organik

Perlakuan KCBK KCBO


(%) (%)
R1 67.20 67.10
R2 64.02 63.79
R3 53.32 52.62
R4 59.96 59.39
R5 51.66 57.75
R6 64.06 64.79
R7 59.24 59.15
SEM 1.99 2.19
Nilai P 0.28 0.60
KCBK Kecernaan Bahan Kering ; KCBO Kecernaan Bahan Organik; Superskrip tidak
berbeda nyata pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf (P>0.05)
menggunakan uji Duncan; SEM (Standard Error Mean) didapatkan dari perpeubah; P-
value (tingkat signifikansi); R1: Substrat, R2: Substrat + ekstrak tanin 0.5 mgml-1 cairan
rumen, R3: Substrat + ekstrak tanin 1 mgml-1 cairan rumen, R4: Substrat + ekstrak saponin
0.5 mgml-1 cairan rumen, R5: Substrat + ekstrak saponin 1 mgml-1 cairan rumen, R6:
Substrat + ekstrak tanin 0.5 mgml-1 + ekstrak saponin 0.5 mgml-1, R7: Substrat + ekstrak
tanin 1 mgml-1 + ekstrak saponin 1 mgml-1.

Batch 1 dan batch 2 dilaksanakan pada hari yang sama dengan


perbedaan waktu 2 jam dengan cairan rumen yang sama. Hal ini
menyebabkan variasi dalam perlakuan cukup besar. Sistem batch yaitu
dalam satu kali pengerjaan dilakukan pengambilan cairan rumen sekali
tetapi dibagi dalam dua botol. Botol pertama dilakukan in vitro untuk batch
1. Setelah hampir dua jam dilakukan untuk batch 2 dengan menggunakan
cairan rumen botol kedua. Hal ini kemungkinan menyebabkan aktivitas
bakteri dalam batch ke dua sudah berubah. Secara teoritis adanya hubungan
meningkatnya jumlah bakteri menyebabkan jumlah aktivitas bakteri yang
aktif dalam proses mendegradasi pakan pun meningkat, sehingga
menghasilkan produksi enzim yang tinggi dalam mencerna pakan, dengan
25

demikian menyebabkan tingginya kecernaan. Namun pada penelitian ini


pemberian supplementasi tanin dan atau saponin diindikasikan dapat
mempertahankan kecernaan pakan. Hal ini sesuai dengan sebuah penelitian
yang memaparkan bahwa ektrak saponin atau tanaman yang mengandung
saponin tidak mempengaruhi kecernaan, tetapi menurunkan produksi
metana (Santoso et al. 2004; Wang et al. 2009). Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Sutardi et al. (1980) bahwa meningkatnya populasi
mikroba sehingga bertambah pula enzim yang dihasilkan untuk
metabolisme zat-zat makanan sehingga kecernaan bahan organik akan
meningkatkan.
Pengaruh pemberian saponin pada penelitian ini sama dengan
penelitian Hess et al. (2003) yang menyatakan bahwa kecernaan bahan
organik ransum yang disuplementasi ekstrak Sapindus saponaria sebanyak
100 mg/g BK (kandungan saponin 120 mg/g BK) ke dalam ransum
menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan kontrol. Hal yang sama juga
ditunjukkan pada penelitian Thalib (2004), menyatakan bahwa suplementasi
ekstrak metanol lerak dalam bentuk serbuk (80 mg/ 100 ml dengan kadar
saponin 15%) pada ransum domba menunjukkan nilai kecernaan yang tidak
berbeda dengan kontrol. Dengan hasil penelitian bahwa KCBO tidak
berpengaruh nyata maka kemungkinan populasi mikroba tidak bertambah
sehingga enzim-enzim yang dihasilkan untuk metabolisme zat-zat makanan
juga tidak bertambah. Disamping itu, menurunnya populasi bakteri dalam
rumen cenderung tidak menyebabkan terjadinya penurunan kecernaan
pakan.
Kandungan kecernaan dalam pakan masih dalam batas normal yang
ditunjukkan pada Tabel 7. Hal Ini disebabkan penurunan bakteri yang
terjadi dalam rumen bukan merupakan bakteri kecernaan melainkan
eliminasi populasi bakteri metanogen sebagai agen matanogenesis (Bhatta et
al. 2009). Meskipun inhibisi protozoa oleh saponin berpengaruh untuk
menekan kecernaan, beberapa studi tidak menyatakan adanya pengaruh
dalam kecernaan. Pada sebuah studi oleh Hess et al. (2003), S. saponaria
pada rusitec tidak mempengaruhi degradasi bahan kering meskipun
mereduksi 54% jumlah protozoa, dan mereduksi 20% dalam produksi
metana. Sementara pemberian ekstrak tanin secara tunggal (R2-R3) bila
dilihat sedikit menurun daripada kecernaan subtrat (kontrol), namun ini
masih dalam batas normal. Tanin menggunakan aksi anti-mikrobial dalam
rumen (Patra and Saxena 2009b), yang mungkin ditunjukkan pengaruh
fermentasi rumen dan kecernaan pakan. Beberapa studi melaporkan bahwa
ekstrak tanin-tanaman yang mengandung tanin keduanya menurunkan
kecernaan pakan pada batas normal dalam in vitro (Patra et al. 2006; Bhatta
et al. 2009). Beberapa artikel yang ada menyatakan kemampuan tanin untuk
menurunkan kecernaan pakan (Patra et al. 2006; Bhatta et al. 2009).
Sebagian besar tanin menggunakan pengaruh ini pada protein, tetapi tanin
juga mempengaruhi komponen pakan lain untuk derajat berbeda (Kumar
and Singh 1984).
Dengan kandungan protein demikian maka mempengaruhi dalam
proses degradasi protein dan hasil akhir kecernaan pakan bila dihubungkan
dengan populasi bakteri dan protozoa. Dengan semakin sedikitnya protein
26

yang terkandung didalam pakan maka populasi bakteri menjadi sedikit,


karena protein merupakan sumber makanan bagi bakteri dan protozoa.
Dengan sedikitnya jumlah protein maka sumber makanan bagi protozoa
berkurang sehingga bakteri dimakan oleh protozoa, dengan demikian
populasi bakteri berkurang, yang mengakibatkan tetap atau turunnya nilai
kecernaan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Goel et al. 2008 bahwa bakteri
ruminal sensitif pada saponin, karena respon yang diberikan menurunkan
populasi untuk suplementasi saponin. Tanin juga menghambat pertumbuhan
bakteri sellulolitik dan bakteri proteolitik (McSweeney et al. 2001).
Pengaruh ini dihubungkan dengan berat molecular (Okuda et al. 1985).
Sebagai contoh, tanin dengan berat molecular rendah memiliki pengaruh
sebagai inhibitor lebih tinggi pada mikroba rumen (McAllister et al. 2005;
Patra and Saxena 2011). Mekanisme tanin terhadap menurunkan populasi
bakteri yaitu tanin memiliki afinitas terhadap protein. Struktur membran
bakteri terdiri dari protein, sehingga dinding sel pada bakteri lisis/pecah
sehingga menyebabkan penurunan bakteri.
Aktivitas antibakterial tanin dipengaruhi oleh formasi kompleks
dengan dinding sel membrane bakteri yang menyebabkan pertukaran
morfologi dan sekresi enzim ekstraseluler (Smith et al. 2005).Tanin juga
dapat mengikat enzim, yang menyebabkan perubahan dalam metabolisme
mikroba (McSweeney et al. 2001). Dengan adanya formasi kompleks
dengan protein dan karbohidrat mengakibatkan nutrisi ini tidak dapat
didegradasi oleh mikroorganisme (Mangan 1988; Mueller-Harvey and
McAllan 1992). Tanin juga sebagai agen pengikat, dan ini juga dapat
menurunkan kecernaan. Kecernaan bahan kering juga dapat dipengaruhi
oleh kandungan protein pakan, karena setiap sumber protein memiliki
kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda (Sutardi 1980).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Ektraksi tanin dan saponin dari tanaman sangat dipengaruhi oleh jenis
maupun komposisi pelarut yang digunakan untuk mengekstraknya. Pelarut
yang optimal untuk ekstraksi tanin terkondensasi dari daun mahoni adalah
25% air + 75% metanol, sedangkan untuk ekstraksi tanin terhidrolisis dari
daun harendong adalah 25% air + 75% aseton. Pelarut yang optimal untuk
ekstraksi saponin dari buah lerak adalah 100% metanol. Pemberian tanin
dan saponin secara bersamaan sebanyak 1 mg/ml larutan inkubasi in vitro
mampu menurunkan metana sebesar 17% tanpa mengurangi tingkat
kecernaan pakan 60% dan amonia 25.50 mM serta bertindak sebagai agen
defaunasi.

.
27

Saran

Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan observasi lebih lanjut
mengenai proporsi optimal dari masing-masing ekstrak dalam menurunkan
emisi gas metana (di dalam penelitian ini proporsi ekstrak tanin dan saponin
yang diujikan hanya tunggal, yakni 1:1 w/w). Perlu juga diuji lebih lanjut
mengenai efek asosiatif tersebut pada kondisi substrat yang berbeda, yakni
tinggi hijauan atau tinggi konsentrat, mengingat proses pemberian pakan
ternak pada tataran aplikatifnya dapat berbasis salah satu di antara kedua
pemberian pakan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah L. 2010. Herbage production and quality of shrub Indigofera


treated by different concentration of foliar fertilizer. Med Pet. 33
(3):169-175.doi: 10.5398/medpet.2010.33.3.169
Animut G, Puchala R, Goetsch AL, Patra AK, Sahlu T, Varel VH, Wells J.
2008. Methane emission by goats consuming diets with different
levels of condensed tannins from lespedeza. Anim Feed Sci Technol.
144: 212-227.
Arora SP. 1989. Pencernaan mikroba pada ruminansia. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Beauchemin KA, Kreuzer M, O’Mara F, McAllister TA. 2008. Nutritional
management for enteric methane abatement: a review. J Aust of
Exper Agric 48: 21-27.
Blümmel M, Steingass H, Becker H. 1997. The relationship between in vitro
gas production, in vitro microbial biomass yield and 15N
incorporated and its implication for the prediction of voluntary feed
intake of roughages. Br J Nutr. 77: 911-921.
Bhatta R, Uyeno Y, Tajima K, Takenaka A, Yabumoto Y, Nonaka I, Enishi
O, Kurihara M. 2009. Difference in the nature of tannins on in vitro
ruminal methane and volatile fatty acid production and on
methanogenic archaea and protozoal populations. J Dairy Sci. 92:
5512–5522.
Carulla JE, Kreuzer M, Machmüller A, Hess HD. 2005. Supplementation of
Acacia mearnsii tannins decreases methanogenesis and urinary
nitrogen inforage-fed sheep. Aust J Agric Res. 56: 961–970.
Conway EJ. 1950. Microdiffusion Analysis and Volumetric Error. 3rd Ed.
Crosby Lokswood and Soms, Ltd. London.
Cottle DJ, Nolan JV, Wiedemann SG. 2011. Ruminant enteric methane
mitigation: a review. Anim Prod Sci 51: 491-514.
Fievez V, Babeyemi OJ, Demeyer D. 2005. Estimation of direct and indirect
gas production in syringes: A tool to estimate short chain fatty acid
production that requires minimal laboratory facilities. Anim Feed Sci
Technol. 123, 197–210.
Fisroni. 2005. Manfaat Tepung Daun kelor (Moringa oleifera, Lam) dan
Gliciridia (Gliciridia Sepium,Jacq) sebagai Sumber Protein dalam
28

Urea Molases Blok (UMB) terhadap metabolisme pakan secara In


Vitro dan produksi susu sapi perah. [Tesis]. Malang (ID):Program
Pascasarjana. Universitas Brawijaya.
Francis G, Kerem Z, Makkar HPS, Becker K. 2002. The biological action
of saponins in animal systems: a review. Br. J. Nutr. 88: 587–605.
Fuller JR, Johnson DE. 1981. Monensin and lasalocid effects on
fermentation in vitro. J Anim Sci 53: 1574–1580.
Getachew G, Blummel M, Makkar HPS, Becker K. 1998. In vitro gas
measuring techniques for assessment of nutritional quality of feeds:
a review. Anim Feed Sci Technol 72: 261-281.
Goel G, Makkar HPS, Becker K. 2008. Effects of Sesbania sesban and
Carduus pycnocephalus leaves and Fenugreek (Trigonella foenum-
graecum L.) seeds and their extracts on partitioning of nutrients from
roughage- and concentrate-based feeds to methane. Anim Feed Sci
Technol 147: 72-89.
Grainger C, Auldist M J, Clarke T, Beauchemin KA, McGinn SM, Hannah
MC, Eckard RJ, Lowe LB. 2008. Use of monensin controlled-release
capsules to reduce methane emissions and improve milk production
of dairy cows offered pasture supplemented with grain. Dairy Sci 91:
1159-1165.
Hart H. 1983. Kimia Organik. Houngton Mifflin Co. Michigan State
University. USA. Alih bahasa Dr. Suminar Achmadi Ph.D. Penerbit
Erlangga. Jakarta(ID).
Hess HD, M Kreuzer TE, Diaz CE Lascano JE, Carulla Carla L, Soliva
and A Machmuller. 2003. Saponon rich tropical fruits affect
fermentation and methagonesis in faunated and defaunated rumen
fluid. Anim Feed Sci Technol 109: 79-94.
Hess HD, Monsalve LM, Lascano CE, Carulla JE, Diaz TE, Kreuzer M.
2003. Supplementation of a tropical grass diet with forage legumes
and Sapindus saponaria fruits: effects on in vitro ruminal nitrogen
turnover and methanogenesis. Aust J Agric Res. 54:703–713.
Hiai S, Oura H Nakajima T. 1976. Color Reaction of some sapogenins and
saponins with vanillin and sulfuric acid. Planta Med. 29:116-122.
Iqbal S, Younas U, Chan KW, Zia-Ul-Haq M, Ismail M. 2012. Chemical
composition of Artemisia annua L.leaves and antioxidant potential
of extract as function of extraction solvents. J Mol.176020-
6032.doi10.3390/molecules17056020.
Jayanegara A, Togtokhbayar N, Makkar HPS, Becker K. 2008. Tannins
determined by various methods as predictors of methane production
reduction potential of plants by an in vitro rumen fermentation
system. Anim Feed Sci Technol.
doi:10.1016/j.anifeedsci.2008.10.011.
Jayanegara A, Makkar HPS, Becker K. 2009. Methane reduction effect of
simple phenolic acids evaluated by in vitro Hohenheim gas production
method. Proc Soc Nutr Physiol. 18:98.
Jayanegara A, Sabhan T, Takyi AK, Salih AO, Hoffmann EM. 2010.
Ruminal fermentation kinetics of Moringa and Peltiphyllum
29

supplements during early incubation period in the in vitro reading


pressure technique. J Develop Trop Anim. 35: 165-171.
Jayanegara A, Wina E, Soliva CR, Marquardt S, Kreuzer M, Leiber F. 2011.
Dependence of forage quality and methanogenic potential of tropical
plants on their phenolic fractions as determined by principal
component analysis. Anim Feed Sci Technol 163: 231-243.
Kumar R, Singh M. 1984. Tannins: their adverse role in ruminant nutrition.
J Agr Food Chem 32: 447-453.
Koenig KM, Newbold CJ, McIntosh FM., Rode, L.M., 2000. Effects of
protozoa on bacterial nitrogen cycling in the rumen. J Anim Sci. 78:
2431–2445.
Lu CD, Jorgensen NA. 1987. Alfalfa saponins affect site and extent of
nutrient digestion in ruminants. J Nutr. 117: 919–927.
Lu CD, Tsai LS, Schaefer DM, Jorgensen NA. 1987. Alteration of
fermentation in continuous culture of mixed rumen bacteria by
isolated alfalfa saponins. J Dairy Sci. 70: 799–805.
Makkar HPS, Becker K. 1996. Effect of Quillaja saponins on in vitro rumen
fermentation. In:Saponins Used in Food and Agriculture, G. R. Waller
& Y. Yamasaki, editors. Plenum Press, New York. pp. 377-386
Makkar HPS. 2003. Quantification of Tannins in Tree and Shrub Foliage. A
Laboratory Manual. Kluwer AcademicPublishers, Dordrecht, The
Netherlands, 102 pp.
Makkar HPS, Francis G, Becker K. 2007. Bioactivity of phytochemicals in
some lesser-known plants and their effects and potential applications
in livestock and aquaculture production systems. Animal 1: 1371–
1391.
Mangan JL. 1988. Nutritional effects of tannins in animal feeds. Nutr Res
Rev 1: 209-231.
Mannetje L, Jones. 2000. Introduction to the conference on silage making in
the tropics. L.‘t Mannetje (ed.) Proc. of the FAO Electronic
Conference on Tropical Silage. September 1- December 15, 1999. pp.
1-4Mascarelli A L. 2009. A sleeping giant? Nat. Rep. 3: 46–49.
www.nature.com/reports/climatechange.
McAllister TA, Martinez T, Bae HD, Muir AD, Yanke LJ, Jones GA. 2005.
Characterization of condensed tannins purified from legume forages:
chromophore production, protein precipitation and inhibitory
effectsoncellulose digestion. J Chem Ecol. 31: 2049–2068.
McDonald P, Edwards R, Greenhalgh J. 2002. Animal Nutrition. 6th
Edition.New York.
McSweeney C, Palmer B, Bunch R, Krause D. 2001. Effect of the tropical
forage calliandra on microbial protein synthesis and ecology in the
rumen. J Appl Microbiol. 90: 78–88.
Meissner HHM, Smith WA, Niekerk. 1993. Rumen ammonia
concentrations and non ammonia nitrogen passage to and apparent
absorbtion from the small intestine of sheep ingesting subtropical and
temperate tannin containing forage. J Anim Sci. 23 : 92-97.
Mueller-Harvey I. 2006. Unravelling the conundrum of tannins in animal
nutrition and health. J. Sci. Food Agric. 86: 2010–2037.
30

Mueller-Harvey I, Mcallan AB, 1992. Tannins.Their Biochemistry and


Nutritional Properties. In:Advances in plant cell biochemistry and
biotechnology,Vol. 1 (Morrison I.M., ed.). JAI Press Ltd., London
(UK), pp. 151-217.
Ogimoto Keiji and Imai Soichi. 1981. Atlas of rumen microbiology, Japan.
Okuda T, Mori K, Hatano T. 1985. Relationship of the structures of tannins
to the binding activities with hemoglobin and methylene blue. Chem.
Pharm. Bull. (Tokyo) 33: 1424–1433.
Owens FN, Sapienza DA, Hassen AT.2010. Effect of nutrient composition
of feeds on digestibility of organic matter by cattle : A review. J Anim
Sci. 88: E151-E169.doi:10.2527/jas.2009-2559
Patra AK, Kamra DN, Agarwal N, 2006. Effect of plants containing
secondary metabolites on in vitro methanogenesis, enzyme profile and
fermentation of feed with rumen liquor of buffalo. Anim Nutr Feed
Technol. 6: 203–213.
Patra AK, Saxena J. 2009a. Dietary phytochemicals as rumen modifiers: a
review of the effects on microbial populations. Anton. van Leeuwen.
96: 363-375.
Patra AK, Saxena J. 2009b. A review of the effect and mode of action of
saponins on microbial population and fermentation in the rumen and
ruminant production. Nutr Res. Rev. 22: 204–219.
Patra AK, Kamra DN, Agarwal N. 2010. Effects of extracts of spices on
rumen methanogenesis, enzyme activities and fermentation of feeds in
vitro. J Sci Food Agric. 90: 511–520.
Patra AK, Kamra DN, Saxena J. 2010. A new persepective on the use of
plant secondary metabolites to inhibit methanogenesis in rumen. J
Sci Phytochem. 71:1198-1222.
Patra AK, Saxena J. 2011. Exploitation of dietary tannins to improve rumen
metabolism and ruminant nutrition. J Sci Food Agric. 91: 24–37.
Pen B, Takaura K, Yamaguchi S, Asa R, Takahashi J. 2007. Effects of
Yucca schidigera and Quillaja saponaria with or without b-1, 4
galactooligosaccharides on ruminal fermentation, methane production
and nitrogen utilization in sheep. Anim Feed Sci Technol. 138: 75–88.
Puchala R, Min BR, Goetsch AL, Sahlu T. 2005. The effect of a condensed
tannin-containing forage on methane emission by goats. J Anim Sci.
83: 182-186.
Ranjhan SK. 1980. Animal Nutrition in Tropic. 2nd Edition. Vikas
Publishing House. Pvt. Ltd, New Delhi.
Santoso B, Mwenya B Sar, Gamo YG, Kobayashi T, Morikawa, Kimura K,
Mizukoshi H, Takahashi J. 2004. Effects of supplementing
galactooligosaccharides, Yucca schidigera and nisin on rumen
methanogenesis, nitrogen and energy metabolism in sheep. Livest.
Prod Sci. 91: 209–217.
Selly. 1994. Peningkatan kualitas pakan serat bermutu rendah dan amoniasi
dan inokulan digesta rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor
Skhirtladze A, Perrone A, Montoro P, Benidze M, Kemertelidze E, Pizza C,
et al. (2011). Steroidal saponins from Yucca gloriosa L. rhizomes:
31

LC–MS profiling, isolation and quantitative determination.


Phytochem, 72: 126–135.
Sliwinski BJ, Solvia CR, Machmuller A, Kreuzer M, 2002. Efficacy of plant
extracts rich in secondary constituents to modify rumen
fermentation. Anim Feed Sci Technol. 101: 101–114.
Smith AH, Zoetendal E, Mackie R I. 2005. Bacterial mechanisms to
overcome inhibitory effects of dietary tannins. Microb Ecol. 50:
197–205.
Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip & Prosedur Statistika. Suatu
Pendekatan Biometrik. Terjemahan: B. Sumantri. PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Sun T, Ho C. 2005. Antioxidant activities of buckwheat extracts. Food
Chem. 90: 743–749.
Sutardi T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Tavendale MH, Meagher LP, Pacheco D, Walker N, Attwood GT,
Sivakumaran S. 2005. Methane production from in vitro rumen
incubation with Lotus pedunculatus and Medicago sativa, and
effects of extractable condensed tannin fractions on methanogenesis.
Anim Feed Sci Technol. 123/124: 403-419.
Thalib A, Winugroho M, Sabrani M, Widiawati Y, Suherman D.1994. The
use of metanol extracted Sapindus rarak fruit as a defaunating
agent of rumenprotozoa. Ilmu dan Peternakan.7: 17-21
Thalib A, Widiawati Y, Hamid DH, Suherman, Sabrani M. 1996. The
effects of saponin from Sapindus rarak fruit on rumen microbes and
performance of sheep. JITV. 2: 17-20.
Thalib A. 2004. Uji efektivitas saponin buah Sapindus rarak sebagai
inhibitor metanogenesis secara in vitro pada sistem pencernaan
rumen. JITV 9(3): 164-171.
Thalib A, Widiawati Y. 2008. Efek pemberian bakteri Acetoanaerobium
noterae terhadap performans dan produksi gas metana pada ternak
domba. JITV 13(4): 273 – 278.
Theodorou MK, Williams BA, Dhanoa MS, McAllan AB, France J. 1994. A
simple gas production method using a pressure transducer to
determine the fermentation kinetics of ruminant feeds. Anim Feed
Sci Technol. 48: 185–197.
Thorpe A. 2009. Enteric fermentation and ruminant eructation: the role (and
control?) of methane in the climate change debate. Climate Change
93: 407-431.
Utomo NM. 2005. Pengaruh Tanin Ampas Teh terhadap Kecernaan Protein
Pakan dan Populasi Protozoa Rumen Secara In Vitro. Universitas
Diponegoro, Semarang. (Skripsi Sarjana Peternakan)
Van Soest PJ. 1994. Nutritional Ecology of the ruminant, 2nd ed. Cornell
University Press, USA.
Vlaming JB. 2008. Quantifying variation in estimated methane emission
from ruminants using the SF6 tracer fechnique. A Thesis of Doctor
of Phylosophy in Animal Science. Massey University, Palmerston
North, New Zealand.
32

Wang CJ, Wang SP, Zhou H. 2009. Influences of flavomycin, ropadiar, and
saponin on nutrient digestibility, rumen fermentation, and methane
emission from sheep. Anim Feed Sci Technol. 148: 157–166.
Widyobroto BP, Budhi SP , Agus A. 2007. Pengaruh aras undegraded
protein dan energi terhadap kinetik fermentasi rumen dan sintesis
protein mikrobia pada sapi perah. Jurnal Pengembangan Peternakan
Tropis (Journal of the Indonesia Tropical Animal Agriculture) 32
(3): 194-200.
Wina E, Susana IWR, Tangendjaja B. 2010. Biological activity of tannins
from Acacia mangium bark extracted by different solvents. Med.
Pet.103-107.
Wina E, Muetzel S, Hoffman E, Makkar HPS, Becker K. 2005. Saponins
containing metanol extract of Sapindus rarak affect microbial
fermentation, microbial activity and microbial community structure
in vitro. Anim Feed Sci Technol. 121: 159–174.
Wina E, Muetzel S, Becker K. 2006. The dynamics of major fibrolytic
microbes and enzyme activity in the rumen in response to short and
long term feeding of Sapindus rarak Saponins. J Appl Microbiol. 100:
114-122.
33

LAMPIRAN

Lampiran 1 Analisis Total Fenol Mahoni

Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F Hitung Sig


Kuadrat Bebas Tengah
Antara Kelompok 3509.306 8 438.663 13.343 .001
Dalam Kelompok 591.783 18 32.877
Total 4101.089 26

Lampiran 2 Analisis Total Tanin Mahoni

Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F Hitung Sig


Kuadrat Bebas Tengah
Antara Kelompok 1640.575 8 205.072 6.913 .001
Dalam Kelompok 534.001 18 29.667
Total 2174.576 26

Lampiran 3 Analisis Total Fenol Harendong

Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F Hitung Sig


Kuadrat Bebas Tengah
Antara Kelompok 5144.118 8 643.015 37.428 .001
Dalam Kelompok 309.238 18 17.180
Total 5453.356 26

Lampiran 4 Analisis Total Tanin Harendong

Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F Hitung Sig


Kuadrat Bebas Tengah
Antara Kelompok 4206.537 8 525.817 33.257 .001
Dalam Kelompok 284.596 18 15.811
Total 4491.133 26

Lampiran 5 Analisis Total Saponin

Jumlah Derajat Kuadrat F Hitung Sig


Kuadrat Bebas Tengah
Antara Kelompok 7116.724 8 889.590 28.170 .001
Dalam Kelompok 568.420 18 31.579
Total 7685.144 26
34

Lampiran 6 Analisis ragam produksi gas total

Jumlah Derajat Kuadrat F Hitung Sig


Kuadrat Bebas Tengah
Faktor Terkoreksi 6594.398a 16 412.150 2.472 .013
Intercept 1444877.419 1 1444877.419 8.6653 .000
Perlakuan 2374.663 13 182.666 1.096 .394
Kelompok 2949.966 3 1316.655 7.896 .000
Error 5835.914 35 166.740
Total 1494696.935 52
Total terkoreksi 12430.313 51

Lampiran 7 Analisis ragam produksi gas metana

Jumlah Derajat Kuadrat F Hitung Sig


Kuadrat Bebas Tengah
Faktor Terkoreksi 203.7756a 16 127.298 7.644 .000
Intercept 71645.092 1 71645.092 4.3023 .000
Perlakuan 80.822 13 6.217 .373 .970
Kelompok 1872.670 3 624.223 37.483 .000
Error 616.184 37 16.654
Total 74048.000 54
Total terkoreksi 2652.958 53

Lampiran 8 Analisis ragam konsentrasi gas metana

Jumlah Derajat Kuadrat F Hitung Sig


Kuadrat Bebas Tengah
Faktor Terkoreksi 875.304a 16 54.707 10.895 .000
Intercept 27683.661 1 27683.661 5.55133 .000
Perlakuan 119.403 13 9.185 1.829 .073
Kelompok 755.901 3 251.967 50.178 .000
Error 195.836 39 5.021
Total 28754.801 56
Total terkoreksi 1071.140 55

Lampiran 9 Analisis ragam populasi bakteri

Jumlah Derajat Kuadrat F Hitung Sig


Kuadrat Bebas Tengah
Faktor Terkoreksi 676a 24 .028 1.088 .382
Intercept 8202.571 1 8202.571 3.1695 .000
Perlakuan .487 21 .023 .895 .597
Kelompok .175 3 .058 2.257 .090
Error 1.656 64 .026
Total 8887.428 89
Total terkoreksi 2.332 88
35

Lampiran 10 Analisis ragam populasi protozoa

Jumlah Derajat Kuadrat F Hitung Sig


Kuadrat Bebas Tengah
Faktor Terkoreksi .796a 17 .047 8.766 .000
Intercept 3124.758 1 3124.758 5.85005 .000
Perlakuan .131 14 .009 1.754 .078
Kelompok .668 3 .223 41.708 .000
Error .240 45 .005
Total 3188.099 63
Total terkoreksi 1.036 62

Lampiran 11 Analisis ragam N-NH3 (amonia)

Jumlah Derajat Kuadrat F Hitung Sig


Kuadrat Bebas Tengah
Faktor Terkoreksi 242.486a 9 26.943 2.052 .093
Intercept 19805.222 1 19805.222 1.5093 .000
Perlakuan 101.788 6 16.965 1.292 .310
Kelompok 140.698 3 46.899 3.572 .035
Error 236.320 18 13.129
Total 20284.028 28
Total terkoreksi 478.806 27

Lampiran 12 Analisis ragam KCBK (Kecernaan Bahan Kering)

Jumlah Derajat Kuadrat F Hitung Sig


Kuadrat Bebas Tengah
Faktor Terkoreksi 1237.908a 9 137.545 1.409 .256
Intercept 100545.413 1 100545.413 1.030E3 .000
Perlakuan 796.890 6 132.815 1.360 .283
Kelompok 441.018 3 147.006 1.506 .247
Error 1757.455 18 97.636
Total 103540.777 28
Total terkoreksi 2995.364 27

Lampiran 13 Analisis ragam KCBO (Kecernaan Bahan Organik)

Jumlah Derajat Kuadrat F Hitung Sig


Kuadrat Bebas Tengah
Faktor Terkoreksi 1360.982a 9 151.220 1.205 .350
Intercept 103017.922 1 103017.922 820.907 .000
Perlakuan 581.109 6 96.851 .772 .602
Kelompok 779.873 3 259.958 2.071 .140
Error 2258.871 18 125.493
Total 106637.775 28
Total terkoreksi 3619.854 27
36

Lampiran 14 Komposisi media pengencer populasi bakteri

1) Mineral Solution I/100ml


a) K2HPO4 0.6 g
b) Aquades 100 ml

2) Mineral Solution II/100ml


a) (NH4)2 SO4 1.2 g
b) KH2PO4 0.6 g
c) CaCl2 0.12g
d) MgSO4 7H2O 0.25g
e) Aquadest 100 ml
37

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjungpinang pada tanggal 31 Juli 1988 sebagai


salah satu pasang kembar anak pertama dari pasangan Tularji dan Hartini.
Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-Kanak (TK) Mutiara
Indonesia, Jakarta. Selanjutnya Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 dan
Sekolah Menengah Atas Katolik Santa Maria. Pendidikan sarjana ditempuh
di Program Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas
Andalas (UNAND) Padang pada tahun 2007 melalui jalur SPMB hingga
memperoleh gelar Sarjana Peternakan (SPt) pada tahun 2011.
Pada Tahun 2012, penulis diterima di Program Studi Ilmu Nutrisi dan
Pakan Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2014.

Anda mungkin juga menyukai