Anda di halaman 1dari 42

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini prevalensi penyakit diabet melitus cenderung meningkat.
Prevalensi nasional diabetes melitus berdasarkan gejala dan diagnosis
tenaga kesehatan meningkat dari 1,1,% pada tahun 2007 menjadi 2,4%
pada tahun 2013. Peningkatan kasus tersebut tidak lepas dari adanya
faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko timbulnya penyakit tersebut,
salah satunya adalah pola makan yang tidak tepat. Faktor makanan terkait
erat dengan patogenesis diabetes militus karena pengaruhnya terhadap
glukosa darah. Jenis makanan yang dapat mempengaruhi respon glukosa
darah adalah makanan yang kaya karbohidrat.
Karbohidrat merupakan makronutrien yang sangat penting dan
berperan sebagai sumber energi utama bagi tubuh. Jenis makanan yang
mengandung karbohidrat, zat gizi lain yang terkandung didalamnya dan
beberapa sifat fisik makanan yang jumlah karbohidrat dan zat gizi lainnya
berbeda akan menimbulkan respon glukosa darah yang berbeda pula.
Respon glukosa darah ini dapat ditentukan secara kuantitatif melalui
perhitungan indeks glikemik dan beban glikemik. Nilai indeks glikemik dan
beban glikemik yang tinggi dapat meningkatkan risiko diabetes melitus,
sedangkan nilai indeks yang rendah dilaporkan memiliki hubungan positif
terhadap penurunan risiko penyakit diabetes melitus.
Faktor-faktor yang mempengaruhi indeks glikemik pangan adalah
(1) cara pengolahan tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), (2)
perbandingan amilosa dan amilopektin, (3) kadar gula dan daya osmotic,
(4) kadar serat, (5) kadar lemak dan protein, serta (6) kadar zat anti-gizi
pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004). Pengukuran Indeks Glikemik (IG)
pangan dilakukan dengan memberikan pangan uji dengan jumlah yang
setara dengan 50 gram karbohidrat kepada seluruh subyek penelitian
(Miller, 1996). Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan,
analisa Indeks Glikemik dapat dilakukan pada hewan uji tikus. Menurut
Thannoun dan Al-Kubati (2010), pangan uji hewan coba tikus mengandung
0,15 gram karbohidrat.
2

Salah satu jenis makanan ringan yang memiliki kandungan


berbentuk batangan (bar) yang kemudian disebut food bar. Food bar
merupakan pangan berkalori tinggi yang dibuat dari campuran bahan
pangan, dipekaya dengan nutrisi, kemudian dibentuk menjadi bentuk padat
dan kompak. Food bar dapat dikembangkan karena adanya kandungan
gula untuk memberikan kalori yang dibutuhkan, tahan lama atau awet, dan
siap untuk dimakan karena memiliki kandungan kalori sebesar 2100 kkal
yang dengan rincian yaitu 35-45% lemak,10-15% protein, dan 40-50%
karbohidrat (zoumas dkk, 2002)
Pembuatan food bar pada umumnya terbuat dari berbagai macam
campuran tepung seperti tepung kacang merah, tepung kacang hijau,
tepung kacang tanah, kedelai. Pada penelitian pembuatan food bar ini
menggunakan bahan baku lokal yang melimpah dan belum di manfaatkan
salah satunya adalah buah pedada. Buah pedada merupakan salah satu
jenis dari buah mangrove yang tumbuh melimpah di seluruh wilayah pesisir
Indonesia. Umumnya buah ini akan berjatuhan dan berserahkan sekitar
pohon karena belum dimanfaatkan dengan baik. Buah pedada
mengandung sekitar 15,95% karbohidrat, kadar air 77,10%, lemak 0,86%,
abu 3,85 dan protein 2,24% (Hasashiro et al, 2004)
Pemanfaatan buah pedada menjadi tepung belum mendapat
perhatian dikalangan masyarakat umum. Tepung dari buah pedada ini
mengandung antioksidan dan serat kasar yang cukup tinggi, dan terbukti
memiliki sifat hipoglikemik dan hipokolesterolemik (Jariyah dkk, 2014).
Oleh karena itu, pemanfaatan pedada sebagai bahan pangan masih
sangat terbatas dan kurang bervariasi. Rasa dan aroma yang khas serta
tekstur yang lembut membuat pedada dapat diolah menjadi produk pangan
yang dapat dikonsumsi antara lain sirup dan berbagai olahan produk
makanan seperti food bar.
Kacang-kacangan merupakan sumber protein yang baik, dengan
kandungan protein berkisar antara 20-35% (Astawan, 2009). Protein pada
kacang-kacangan terutama digunakan dalam formulasi makanan untuk
melengkapi protein dalam makanan sereal. Disamping kaya akan protein,
kacang-kacangan memiliki sumber karbohidrat yang cukup tinggi, serat,
mineral dan natrium. Pengolahan kacang-kacangan menjadi tepung telah
3

lama dikenal masyarakat, dan dapat meningkatkan daya guna hasil serta
nilai guna. Dimana tepung kacang-kacangan lebih mudah diolah dan
diproses menjadi nilai ekonomi tinggi dan mudah dicampur dengan tepung
dan bahan lainnya. Beberapa penelitian membuktikan bahwa pemanfaatan
tepung kacang-kacangan dapat sebagai pengganti tepung terigu, seperti
penelitian Hanafi (1999) pembuatan mie dan cookies.
Pada penilitian ini pembuatan food bar menggunakan bahan baku
pedada, dan tepung kacang-kacangan (kacang merah, kedelai, kacang
hijau, kacang tanah). Pedada (Sonneratia caseolaris) memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan dengan jenis tanaman mangrove lainnya yaitu
sifat buahnya tidak beracun, dapat dimakan langsung. Rasa asam dan
aroma yang khas serta tekstur buah yang lembut (Abeywickrama and
Jayasooriya, 2010). Menurut beberapa hasil penelitian menyebutkan
bahwa buah pedada memiliki kadar air 84,76%, abu 8,40%, lemak 4,82%,
protein 9,21% dan karbohidrat 77,57% (Manulu, 2011).
Penelitian mengenai pangan darurat dalam bentuk food bar yang
telah dilakukan oleh Almashyuri dkk,(2012) mengembangkan biskuit padat
siap santap untuk makanan darurat berbahan baku tepung terigu dan
tepung tepung kedelai dan tepung kacang tanah sebagai sumber protein.
Dan menurut penelitian Jariyah dan Enny Karti (2017) menggunakan
campuran bahan baku tepung kedelai dan tepung talas dengan campuran
tepung pedada dengan proposi (50:30:20) (40:40:20)(30:50:20). Hasil
terbaik adalah proporsi penambahan tepung kedelai 50 gram dan tepung
talas 50 gram.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pembuatan food bar
formulasi tepung buah pedada dengan empat tepung kacang-kacangan
(tepung kacang kedelai, tepung kacang merah, tepung kacang hijau,
tepung kacang tanah) yang kemudian di analisis Indeks Glikemiknya pada
hewan tikus.
4

B. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui sifat fisikokimia dan sensorik pada produk food
bar dengan formulasi tepung buah pedada dengan penambahan
tepung kacang kedelai, tepung kacang merah, tepung kacang hijau,
tepung kacang tanah.
b. Untuk mengetahui in vivo pada food bar formulasi berbahan baku
tepung buah pedada dengan penambahan tepung kacang kedelai,
tepung kacang merah, tepung kacang hijau, tepung kacang tanah
yang menghasilkan biskuit.
C. Manfaat Penelitian
a. Sebagai diversifikasi terhadap produk olahan tepung buah pedada
dengan penambahan tepung kacang kedelai, tepung kacang
merah, tepung kacang hijau, tepung kacang tanah menjadi produk
pangan baru yaitu food bar.
b. Untuk meningkatkan nilai ekonomis tepung buah pedada, tepung
kacang kedelai, tepung kacang merah, tepung kacang hijau, tepung
kacang tanah didaerah Jawa Timur.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Food bar
Food bar merupakan pangan darurat berbentuk batang dan padat
yang memiliki kecukupan kalori, protein, lemak dan nutrisi lain yang
diburuhkan oleh tubuh dengan syarat kecukupan kalori sebesar 2100 kkal,
kandungan protein 10-15% dari total kalori, dan lemak 35-45%, karbohidrat
sebesar 40-50%(Zoumas, 2002 dalam Ferewati, 2009).
Snack bar merupakan makanan ringan yang berbentuk batangan
berbahan dasar sereal atau kacang-kacangan, memiliki kandungan protein
tinggi yang biasa dikonsumsi disela-sela waktu makan. Snack bar dapat
memenuhi permintaan konsumen akan gizi, kenyaman, dan rasa yang
dapat memnuhi rasa lapar dalam waktu yang singkat sampai menuju
makanan utama berikutnya disantap (Christian, 2011). Snack campuran
kacang dan buah-buahan kering yang saat ini populer di berbagai negara
adalah yang berbentuk bar, lazim disebut snack bar (Astawan, 2010). Jenis
sebutan snack barlain adalah granola bar, energy bar, protein bar, muesli
bar. Muesli bar adalah camilan ringan yang terbuat dari kacang-kacangan
atau buah-buahan kering dengan bentuk dan ukuran yang beragam.
Makanan jenis ini sebaiknya dari buah-buahan yang sudah dipanggang.
Pada umumnya memiliki ukuran yang kecil, karena kandungan kalorinya
kurang dari 600kJ, lemaknya kurang dari 5 gram, dan gulanya kurang dari
9 gram (Achmad, 2010).
Tabel 2.1. Syarat Mutu Food Bar
Kandungan Jumlah
Energi Minimal 233 kkal
Lemak Minimal 9,1 gram
Protein Minimal 7,9 gram
Total karbohidrat Minimal 7-11,7 gram
Warna, rasa dan bau Normal, tidak tengik
Sumber : Zoumas et al, 2002

A. Bahan Baku Pembuatan Food Bar


1. Buah Pedada (Sonneratia caseolaris)
Buah pedada (Sonneratia caseolaris) merupakan salah satu buah
mangrove yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir
6

sebagai makanan. Buah pedada merupakan buah mangrove yang


paling populer dan telah banyak dimanfaatkan karena tidak diperlukan
perlakuan khusus dalam pemanfaatannya. Buah pedada bisa dimakan
secara langsung atau dikonsumsi sebagai minuman misalnya sebagai
jus (Ilman, dkk., 2012).

Gambar 2.1. Buah pedada (Sonneratia caseolaris) (Santoso, dkk, 2005)

Buah pedada banyak ditemui di daerah perairan payau yang


merupakan tempat bertumbuhnya tanaman mangrove. Buah pedada
merupakan buah yang bagian dasarnya terbungkus kelopak bunga,
berbentuk bola, dan ujung buah tersebut bertangkai. Buah pedada tidak
beracun dan langsung dapat dimakan. Buah pedada memiliki rasa yang
asam dan aroma khas yang menjadi daya tarik buah tersebut (Santoso,
dkk, 2005)
Dari segi ketersediaan, buah mangrove pedada sangat melimpah
dan bagi masyarakat pesisir mudah mendapatkan mangrove tanpa
mengeluarkan biaya yang banyak. Dari segi kandunga kimia, selain
mengandung makronutrien buah pedada juga merupakan sumber yang
kaya kan mineral dan serat (Jariyah et al, 2014). Selain itu beberapa
vitamin di antaranya vitamin A sebesar 221,97 IU, vitamin B 5,04 mg,
vitamin B2 2,65 mg dan vitamin C 56,74 (Manalu, 2011).
Menurut Ahmed dkk. (2010), buah pedada juga mengandung
senyawa fitokimia seperti steroid, triterpenod dan flavonoid yang dapat
berperan aktif bagi pencegahan penyakit. Buah ini juga sudah berperan
aktif bagi pencegahan penyakit. Buah ini juga sudah dimanfaatkan di
7

beberapa negara sebagai obat tradisional seperti obat keseleo dan luka
memar. Berikut komposisi gizi buah pedada (Sonneratia caseolaris)

Tabel 2.1 Komposisi Gizi Buah Pedada (Sonneratia caseolaris) per 100
gram bahan
Komponen Tepung Buah Pedada Buah Pedada
Air (%) 11,3 73,55
Karbohidrat (%) - 5,17
Pektin (%) 9,0 -
Protein (%) 6,2 2,41
Lemak (%) 4,7 0,31
Serat tidak larut (%) 53,9 14,67
Serat larut (%) 9,8 1,87
Abu (%) - 2,02
Sumber: Jariyah et al. (2013)
2. Kacang Merah (Phaseolus Vulgaris L)
Kacang Merah termasuk dalam famili Leguminosa genus
Phaseolus dan Spesies Vulgaris. Tanaman kacang merah merupakan
tanaman semak yang tegak dan merambat. Tinggi tanaman ini sekitar 3.5
– 4.5 meter, memiliki warna biji merah tua dan buahnya berbentuk polong
memanjang, sedikit lebih panjang jika dibandingkan dengan buncis.
Jumlah biji kacang merah dalam satu polong terdiri kurang lebih 2-3 biji.
(Zebua, 2009)
Kacang merah kering merupakan sumber protein nabati,
karbohidrat kompleks, serat, vitamin B, tianin, kalsium, fosfor, dan zat besi.
Kacang merah memiliki kandungan lemak dan natrium yang sangat
rendah, mengandung sedikit lemak jenuh serta bebas kolesterol. Manfaat
dari kacang merah dapat diperoleh secara sempurna dengan perlakuan
pendahuluan seperti perebusan dan perendaman. Perebusan dan
perendaman perlu dilakukan untuk menghilangkan kemampuan kacang
merah memproduksi gas dalam usus yang dapat menyebabkan perut
kembung.(Agustina dkk., 2013)
Kacang merah mengandung vitamin B dan asam amino essensial
yang lengkap. Vitamin B yang terdapat dalam kacang merah terdiri dari
thiamin 0.88mg/100g, riboflavin 0.14mg/100g, dan niasin 2.2mg/100g.
Asam amino essensial yang terdapat dalam kacang merah antara lain
metionin dan sistein dengan kandungan yang relatif rendah yaitu sekitar
8

10.56 dan 8.46mg/100g (Salunkhe et al., 1985). Komposisi zat gisi per 100
gram kacang merah dapat dijabarkan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Komposisi Zat Gizi Kacang Merah per 100 gram
Komponen Jumlah
Energi (mg) 336
Protein (g) 22,3
Lemak (g) 1,7
Air (g) 11,75
Karbohidrat (g) 61,2
Kalsium (mg) 260
Fosfor (mg) 410
Zat Besi (mg) 5,8
Vitamin A (SI) 30
Vitamin B1(mg) 0,5
Vitamin B2(mg) 0,3
Sumber: Direktorat gizi, depkes (1992)
Kacang Merah (Phaseolus Vulgaris L) selain digunakan untuk
berbagai makan produk olahan, kandungan nutrisi kacang merahnya juga
unggul. Kacang Merah kaya akan asam folat, kalsium, karbohidrat
kompleks, serat dan protein yang tergolong tinggi. Kandungan karbohidrat
kompleks dan serat yang tinggi dalam kacang merah membuatnya dapat
menurunkan kadar kolesterol darah. Selain itu kadar indeks glik emik
kacang merah juga termasuk rendah sehingga menguntungkan bagi
penderita diabetes. Prinsip penggabungan antara kacang-kacangan dan
biji-bijian dapat memperbaiki keseimbangan asam amino, sehingga tujuan
perbaikan mutu protein dalam suatu produk dapat tercapai. (Muchtadi dkk.,
2000)
3. Kedelai
Kedelai (Glycine max) merupakan golongan kacang-kacangan.
Perbedaan kedelai dengan jenis kacang-kacangan pada umumnya adalah
kandungan zat bermanfaat yang sangat tinggi seperti protein, serat,
phytosterol, dan Isoflavon. Protein yang terkandung dalam kedelai memiliki
kualitas yang tinggi. Globulin merupakan protein yang dominan yaitu
mencapai 90% dari total protein pada kedelai. Selain itu adanya asam
amino esensial yang sangat penting untuk kesehatan manusia menjadikan
kedelai memiliki nilai gizi yang setara dengan protein pada pangan hewani.
Kedelai juga mengandung 35% karbohidrat dalam bentuk biji dan 40% jika
diolah (Asif et al, 2014)
9

Dalam 100 g kedelai mengandung 381 kkal, protein 40,4 g, lemak


6,7 g dan karbohidrat 24,9 g. Selain kandungan makronutrien yang tinggi,
kedelai juga kaya akan mineral diantaranya zat besi 10 g, Fosfor 628 mg
dan kalisum 222 mg. Dengan kandungan asam amino tertinggi lisin hingga
mencapai 68 mg(Mahmud, 2002)
Karbohidrat dalam kedelai hanya sekitar 35%, dari kandungan
karbohidrat tersebut hanya 12-14% yang dapat digunakan tubuh secara
biologis. Karbohidrat pada kedelai terdiri dari golongan oligosakarida dan
polisakarida. Golongan oligosakarida terdiri dari sukrosa dan rafinosa yang
larut air. Sedangkan golongan polisakarida terdiri dari erabinogalaktan dan
bahan-bahan selulosa yang tidak larut dalam air dan alkohol (Santoso,
2005)
Dengan kandungan zat gizi serta bioaktif pada kedelai dapat
memberikan manfaat bagi kesehatan. Beberapa manfaat kedelai bagi
kesehatan diantaranya memiliki peranan penting dalam mengurangi resiko
kanker, penyakit kardiovaskular, diabetes, dan beberapa kelainan syaraf
(Asif et al, 2014)
4. Kacang Hijau
Kacang hijau (Vigna radiata) di India dikenal sebagai choroko
(dalam bahasa Swahil) dan dikenal dengan beberapa nama seperti mungo,
mung bean, green bean dan mung. Di Indonesia sebaran daerah produksi
kacang hijau adalah Nangroe Aceh Darussalam, Sumatra Barat, Sumatera
Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pulau jawa
merupakan penghasil utama kacang hijau di Indonesia, potensi lahan
kering daerah tersebut sesuai untuk ditanami kacang hijau.
Kacang hijau adalah sejenis tanaman budidaya dan palawija yang
dikenal luas di daerah tropis. Tumbuhan yang termasuk suku polong-
polongan memiliki banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari sebagai
sumber bahan pangan berprotein nabati tinggo. Kacang hijau di Indonesia
menempati urutan ketiga terpenting sebagai tanaman pangan legum
setelah kedelai dan kacang tanah.Tanaman kacang hijau berbatang tegak
dengan ketinggian tempat bervariasi antara 30-60 cm, tergantung
varietasnya. Warna batang dan cabangnya ada yang hijau dan ada yang
ungu.
10

Kacang hijau memiliki kandungan protein yang cukup tinggi


sebesar 22%, vitamin dan mineral. Kandungan vitamin yang utama adalah
vitamin B1 dan vitamin B2. Kandungan mineral utama yang terdapat pada
kacang hijau adalah kalsium. Fosfor, besi, natrium dan kalium. Kandungan
kalsium dan fosfor pada kacang hijau bermanfaat untuk memperkuat
tulang. Kacang hijau juga kaya akan serat pangan. Adanya serat dalam
kacang hijau dapat mencegah terjadinya sembelit serta penyakit lainnya
yang berhubungan dengan sistem pencernaan (Siswono, 2004).
Kacang hijau merupakan salah satu penghasil protein nabati.
Berdasarkan jumlahnya, protein adalah penyusun utama kedua setelah
karbohidrat. Kacang hijau mengandung 20-25% protein. Protein kacang
hijau kaya akan asam amino leusin, arginin, isoleusin, valin dan lisin.
Kualitas protein kacang hijau seperti halnya kacang-kacangan yang lain
dibatasi oleh kandungan asam amino bersulfur seperti metionin dan sistein
(Andrianto dan Indarto, 2004). Nilai gizi kacang hijau per 100 gram kacang
hijau dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.3. Nilai gizi Kacang Hijau per 100 gram Bahan
Nilai Gizi Jumlah
Kalori (kal) 323
Protein (g) 22,2
Lemak (g) 1,5
Karbohidrat (g) 56,8
Kalsium (mg) 223
Zat Besi (mg) 7,5
Fosfor (mg) 319
Vitamin A (SI) 157
Vitamin B1 (mg) 0,46
Vitamin C (mg) 10
Air (g) 15,5
Sumber : Purwono (2012)
5. Kacang Tanah
Kacang tanah (Arachis hipogeae L) merupakan salah satu sumber
protein nabati yang cukup penting dalam makanan penduduk. Berdasarkan
luas pertanaman kacang tanah menempati urutan keempat setelah padi,
jagung, dan kedelai dewasa ini pertanaman kacang tanah sudah tersebar
hampir diseluruh pelosok dunia dengan total luas panen sekitar 21 juta ha
dan produktivitas rata-rata 1,10 ton/ha polong kering.
11

Kacang tanah dapat dikonsumsi dalam berbagai bentuk, antara lain


sebagai bahan sayur, saus, dan digoreng atau direbus. Sebagai bahan
industri dapat dibuat keju, mentega, sabun, dan minyak. Saus kacang
tanah dapat digunakan untuk pakan ternak dan pupuk. Hasil sampingan
dari pembuatan minyak, berupa bungkil, dapat dijadikan oncom dengan
bantuan fermentasi jamur. (Suprapto, 1999)
Sebagai bahan pangan dan pakan ternak yang bergizi tinggi,
kacang tanah mrngandung lemak, protein, karbohidrat serta vitamin
(A,B,C,D,E dan K). Disamping itu juga mengandung bahan-bahan mineral
antara lain Ca, Cl, Fe, Mg, P, K, dan S. (Suprapto, 1999)
Tabel 2.4. Nilai gizi Kacang Tanah
Nilai Gizi Jumlah
Kalori (kal) 525
Protein (g) 27,9
Lemak (g) 42,7
Karbohidrat (g) 17,4
Kalsium (mg) 3,5
Zat Besi (mg) 5,7
Fosfor (mg) 456
Vitamin A (SI) 0
Vitamin B (mg) 0,44
Vitamin C (mg) 0
Sumber : Direktorat Gizi, 2015
Kacang tanah memiliki nilai ekonomi tinggi serta mempunyai
peranan besarr dalam mencukupi kebutuhan bahan pangan jenis kacang-
kacangan. Kacang tanah memiliki kandungan protein 25-30%, lemak 40-
50%, karbohidrat 12% serta vitamin B1 dan menempatkan kacang tanah
dalam hal pemenuhan gizi setelah tanaman kedelai. Manfaat kacang tanah
pada bidang industri antara lain sebagai pembuatan margarin, sabun,
minyak goreng dan lain sebagainya. (Suprapto, 1999)

B. Proses Pembuatan Food Bar


Proses pembuatan food bar secara garis besar terdiri dari pencampuran,
pencetakan, dan pemanggangan:
a. Pencampuran
Pencampuran bertujuan untuk meratakan bahan yang digunakan
untuk memperoleh adonan dengan konsistensi halus dan homogen.
12

Adonan yang diperoleh harus bersifat cukup kohesif dan relatif tidak
lengket sehingga mudah dibentuk (Hui, 1992 dalam Umar, 2013).
Cara pembuatan food bar meliputi pembuatan adonan yang
dilakukan dengan mencampur bahan. Pencampuran bahan dilakukan
sesuai spesifikasi makanan padat yang akan dibuat, misalnya untuk
mendapatkan kue yang bertekstur menyerpih didapat dengan
mencampurkan tepung, lemak terlebih dahulu, kemudian ditambahkan
gula cair, garam, dan bahan-bahan lain untuk food bar yang bertekstur
seperti kue pie (Faridi, 1994 dalam Umar, 2013).
Tahap ini terdapat peluang kreasi dan inovasi formula sesuai
produk akhir yang ingin dihasilkan. Pencampuran dilakukan dengan
peralatan sederhana yang dioperasikan dengan tangan apabila jumlah
adonannya sedikit dan bila dalam jumlah besar maka menggunakan
peralatan yang sesuai yaitu mixer (Fellous, 1990 dalam Umar, 2013).
b. Pencetakan
Tahap selanjutnya adalah tahap pembentukan atau tahap
pencetakan adonan yang diperoleh. Pembentukan atau pencetakan
adonan ini dilakukan dengan cara membuat adonan menjadi
lempengan dan menekan cetakan food bar diatasnya.
Fellows dan Hampton (1992 dalam Ardhi, 2006) menyatakan
bahwa, adonan yang diperoleh setelah proses pencampuran, di Roll
dan kemudian dicetak sesuai dengan bentuk dan ukuran yang
diinginkan. Metode yang digunakan pada umumnya tergantung pada
produk yang akan dibuat. Adonan food bar dibuat lembaran-lembaran
(rolling) dan dipotong dengan pisau ataupun alat pencetak food bar.
c. Pemanggangan
Pemanggangan food bar pada umumnya menggunakan oven
dengan suhu berkisar 150oC-180oC selama 30 menit. Untuk
mendapatkan hasil pemanggangan yang sempurna, sebaiknya suhu
oven dapat dinaikkan secara bertahap. Komposisi bahan dan ukuran
food bar juga harus diperhatikan dalam menentukan suhu dan lama
pemanggangan dalam oven (Suryani dkk., 2006 dalam Suryani, 2009).
Suhu dan lama waktu pemanggangan mempengaruhi kadar air
pada food bar. Pada oven sebaiknya tidaklah terlalu panas ketika food
13

bar dimasukkan sebab bagian luar akan terlalu cepat matang. Hal ini
dapat menghambat pengembangan dan permukaan food bar ang
dihasilkan retak-retak (Lasmini, 2002 dalam Suryani, 2009).
C. Bahan Tambahan Pembuatan Food Bar
1. Gula
Gula digunakan sebagai pemanis dalam pembuatan produk olahan
roti. Selain sebagai pemanis, gula juga berperan dalam
penyempurnaan mutu panggang dan warna pada produk roti. Gula
memiliki sifat higroskopis sehingga dapat memperbaiki masa simpan
dari produk pangan (Koswara, 2009). Menurut Buckle et al.(1987), gula
dapat berfungsi sebagai pengawet karena dapat mengurangi aktivitas
air (aw) bahan pangan sehingga dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme.
2. Garam
Garam yang umum dipakai dalam susunan makanan sehari-hari
atau dalam pengolahan makanan ringan adalah garam dapur dengan
nama kimia Natrium Klorida (NaCL). Fungsi garam atau natrium klorida
pada bahan pangan secara umum adalah sebagai pembentuk rasa
asin dan penguat rasa disamping menekan respon rasa manis, asam
dan pahit. Larutan garam pada konsentrasi rendah dapat memberikan
sensasi manis. Hal ini kemungkinan karena susunan molekul air yang
mengelilingi ion natrium memicu rspon manis pada sel reseptor. Ukuran
dan bentuk garam juga berpengaruh pada flavor. Semakin cepat garam
larut semakin cepet pula flavour asin dapat terdekteksi (Wellington,
1993).
Garam ditambahkan dengan kadar 1-2,5% dari berat tepung dan
pada umumnya lebih mendekati 1% daripada 2,5%. Beberapa tujuan
penambahan garam dalam pembuatan produk biskuit antara lain
memberikan cita rasa produk, memperkuat cita rasa bahan dan
menghilangkan cita rasa hambar atau cita rasa yang kurang dari bahan
lain (Wellington, 1993).
3. Margarin
Margarin merupakan pengganti mentega denga rupa, bau,
konsistensi, rasa dan nilai gizi yang hampir sama. Margarin merupakan
14

emulsi air dalam minyak dengan persyaratan mengandung tidak


kurang 80% lemak (Winarno, 2008).
Lemak yang digunakan pada pembuatan margarin berasal dari
lemak hewani atau lemak nabati. Lemak hewani yang digunakan
biasanya lemak babi, lemak sapi, oleo oil, sedangkan minyak nabati
yang sering digunakan adalah minyak kelapa, minyak inti sawit, minyak
biji kapas, minyak kedelai, minyak wijen, minyak jagung.
Lemak dalam margarin pada pembuatan biskuit berfungsi
memperbaiki tekstur, cita rasa serta keremahan biskuit (Desrosier,
1977). Di dalam pembuatan biskuit, lemak tidak terlarut, tapi
terabsorbsi apada permukaan partikel dan permukaan gluten. Pada
permukaan tersebut lemak membentuk lapisam film yang membungkus
dan memisahkan partikel gluten, sehingga membuat terkstur biskuit
menjadi renyah
4. Kuning Telur
Telur merupakan bahan pangan yang berasal dari ternak unggas
dan memiliki nilai gizi cukup tinggi karena telur mengandung protein
yang tinggi dengan susunan asam amino yang lengkap dan seimbang.
Lemak pada kuning telur terdiri dari fosfolipid yang dapat berfungsi
sebagai agen pengemulsi dan pengaerasi (Claudia dkk., 2015).
Penambahan telur dalam pembuatan biskuit berfungsi untuk
memperbesar volume, memperbaiki tekstur, menambah protein yang
dapat memperbaiki kualitas pada biskuit. Menurut Claudia dkk., (2012),
penggunaan kuning telur pada pembuatan biskuit akan menghasilkan
biskuit yang lebih empuk daripada memakai seluruh telur. Hal ini
disebabkan lesitin pada kuning telur mempunyai daya pengemulsi.
Adanya zat pengemulsi ini menjadikan telur dapat memperbaiki tekstur,
memperbesar volume serta menambah kandungan protein (Aini,
2009).
5. Susu skim
Susu adalah suatu emulsi dari bagian-bagian lemak yang sangat
kecil dalam larutan protein cair, gula dan mineral-mineral. Zat padat
susu kering non lemak berfungsi sebagai bahan penguat pada protein
tepung sehingga mengakibatkan volume bertambah (Susanti, 2001).
15

Susu skim mengandung semua makanan dari susu, kecuali lemak dan
vitamin larut dalam lemak, karena susu skim merupakan bagian dari
susu yang tertinggal setelah krimnya diambil sebagian atau seluruhnya.
Adanya laktosa dalam susu dapat membantu memperbaiki warna, rasa
dan menahan penyerapan air. Selain itu juga berfungsi sebagai bahan
pengisi untuk meningkatkan nilai gizi water biscuits.
6. Sirup glukosa
Pemberian rasa manis pada food bar adalah sirup glukosa. Sirup
glukosa (Glucose syrup) merupakan cairan jernih dan kental yang
mengandung D-glukosa, maltose, dan polimer D-glukosa yang
diperoleh dari hidrolisis pati, seperti tapioka, sagu, pati jagung, dan pati
umbi-umbian. Hidrolisis dapat dilakukan dengan cara kimia atau
enzimatis pada waktu dan suhu, dan pH tertentu. Sirup glukosa
mempunyai kelebihan dibandingkan dengan gula sukrosa yaitu tidak
mengkristal dan mempunyai rasa yang alami. Pada kue olahan dapat
menjaga kue tetap segar dan tidak mudah retak (Suripto dkk., 2015).
D. Indeks Glikemik
Rimbawan dan Siagian (2004), menyatakan bahwa Indeks Glikemik
pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula
darah. Pangan yang menaikkan gula darah dengan cepat memiliki Indeks
Glikemik tinggi. Sebaliknya, pangan yang menaikkan kadar gula darah
dengan lambat memiliki Indeks Glikemik rendah. Hal serupa juga
dikemukakan oleh Prijatmoko (2007), Indeks Glikemik adalah sebagai
respon glukosa darah terhadap makanan yang menggandung 50 gram
karbohidrat dalam takaran dan waktu tertentu.
Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama
pencernaan memiliki Indeks Glikemik tinggi. Respon gula darah terhadap
jenis pangan karbohidrat ini cepat dan tinggi. Dengan kata lain, glukosa
dan aliran darah meningkat dengan cepat. Sebaliknya karbohidrat yang
dipecah dengan lambat memiliki Indeks Glikemik rendah (slow release
carbohydrate) sehingga melepaskan glukosa dalam darah dengan lambat.
Indeks Glikemik glukosa murni ditetapkan seratus dan digunakan sebagai
acuan untuk penentuan Indeks Glikemik pangan lain (Rimbawan dan
Siagian 2004)
16

Makanan yang sedikit atau tidak mengandung karbohidrat, seperti


daging, keju dan gajih memiliki Indeks Glikemik mendekati nol. Semakin
sedikit makanan menggandung pati dan gula yang mudah dicerna,
semakin kecil Indeks Glikemiknya. Makanan berserat, meskipun
mengandung karbohidrat, membutuhkan waktu untuk melewati sistem
pencernaan, sehingga cenderung memiliki Indeks Glikemik rendah. Serat
juga membantu memperlambat masuknya gula kedalam airan darah (Wylio
2011).
Pangan dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan indeks
glikemiknya. Kategori pertama, pangan dengan Indeks Glikemik rendah
adalah pangan yang memiliki rentang IG <55. Kategori kedua, pangan
dengan Indeks Glikemik sedang adalah pangan yang berada pada rentang
IG 55-70. Kategori ketiga, pangan dengan Indeks Glikemik tinggi adalah
pangan dengan rentang IG>70 (Miller et al, 1996)
Tabel 2.5. klasifikasi Indeks Glikemik
Klasifikasi Kisaran IG
IG Rendah <55
IG Sedang 56-70
IG Tinggi >70
Sumber : Miller et al, 1996
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan
Faktor-faktor yang mempengaruhi indeks glikemik pangan adalah
(1) cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel),(2)
perbandingan amilosa dan amilopektin, (3) tingkat keasaman dan daya
osmotic, (4) kadar serat, (5) kadar lemak dan protein, serta (6) kadar zat
anti gizi pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004)
a. Proses Pengolahan
Dewasa ini teknik pengolahan pangan menjadikan pangan tersedia
dalam bentuk, ukuran dan rasa yang lebih enak. Proses penggilingan
menyebabkan struktur pangan menjadi halus sehingga pangan
tersebut mudah dicerna dan diserap. Pangan yang mudah cerna dan
diserap menaikkan kadar gula darah dengan cepat. Penumpukan dan
penggilingan biji-bijian memperkecil ukuran partikel sehingga mudah
menyerap air menurut Lijeberg dalam buku Indeks Glikemik Pangan,
makin kecil ukuran partikel maka IG pangan makin tinggi.
17

Butiran utuh srealia, seperti gandum menghasilkan glukosa dan


insulin yang rendah. Namun ketika biji-bijian digiing sebelum direbus,
respon glukosa dan insulin mengalami peningkatan yang bermakna.
Proses pemasakan atau pemanasan akan menyebabkan terjadinya
proses gelatinisasi pada pati sehingga pati akan lebih mudah dicerna
karena enzim pencernaan pada usus mendapatkan tempat bekerja
yang lebih luas. Berdasarkan hal inilah, proses pemasakan atau
pemanasan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan indeks glikemik
pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004).
b. Kadar Amilosa dan Amilopektin
Amilosa adalah polimer gula sederhana yang tidak bercabang.
Stuktur yang tidak bercabang ini membuat amilosa terikat lebih kuat
sehingga sulit tergelatinisasi akibatnya sulit cerna. Sementara
amilopektin-polimer adalah gula sederhana memiliki ukuran molekul
lebih besar dan lebih terbuka sehingga mudah tergelatinisasi akibatnya
mudah dicerna. Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar
amilosa dan amilopketin berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa
darah dan respon insulin lebih rendaj setelah mengkonsumsi pangan
berkadar amilosa tinggi daripada pangan berkadar amilopektin tinggi.
Sebaliknya bila kadar amilopektin pangan lebih tinggi daripaa amilosa,
respon gula darah lebih tinggi (Rimbawan dan Siagian, 2004)
c. Kadar Gula dan Daya Osmotic Pangan
Jenis gula dalam pangan dan kadar osmotic dalam pangan
mempengaruhi Indeks Glikemik pangan tersebut. Salah satu jenis gula
adalah gula pasit (sukrosa). Gula pasir merupakan disakarida yang
dibentuk oleh satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa. Fruktosa
diserap dan diambil langsung ke dalam hatu. Di dalam hati, jika
kandungan fruktosa terlalu tinggi, maka akan diubah secara berlahan
menjadi glukosa. Oleh karena itu respon gula darah terhadap fruktosa
murni sangat kecil (IG = 23).
Pengaruh gula secara alami terdapat di dalam pangan dalam
berbagai porsi terhadap respon gula darah sangat sulit diprediksi. Hal
ini dikarenakan pengosongan lambung diperlambat oleh peningkatan
konsumsi gula ataupun strukturnya (Waspadji, 2003)
18

Beberapa jenis bahan pangan memiliki IG rendah. Sementara yang


lain memiliki IG relative tinggi. Sehingga, semakin tinggi keasaman dan
kekuatan osmotik (jumlah molekul permililiter larutan) pada bahan
pangan maka semakin rendah indeks glikemiknya (IG).
d. Kadar Serat Pangan
Pengaruh serat pangan pada Indeks Glikemik pangan tergantung
pada jenis seratnya. Bila masih utuh serat dapat bertindak sebagai
penghambat fisik pada pencernaan. Akibatnya Indeks Glikemik
cenderung menjadi lebih rendah. Hal ini menjadi salah satu alasan
mengapa kacang-kacangan atau tepung biji-bijian memiliki indeks
glikemik rendah (30-40). Serat kasar mempertebal kerapatan atau
ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan. Hal ini
memperlambat lewatnya makanan pada saluran pencernaan dan
menghambat pererakan enzim. Dengan demikian proses pencernaan
menjadi lambat dan akhirnya respon gula darah menjadi lebih rendah
(Waspadji, 2003).
e. Kadar Lemak dan Protein Pangan
Pangan berkadar lemak dan protein tinggi cenderung
memperlambat laju pengosongan lambung. Dengan demikian laju
pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu
pangan berkadar lemak tinggi cenderung memiliki IG lebih rendah
daripada sejenis berkadar lemak lebih rendah (Rimbawan dan Siagian
2004). Lemak dalam jumlah besar (50 gram lemak) dapat menurunkan
respon glukosa darah dan respon insulin. Pada subjek normal
pemberian 16 gram protein dapat mempengaruhi respon glukosa darah
dan insulin (Wolever et al. 1996). Pada penelitian Maulana (2012)
keripik ubi cilembu yang dikukus dan dipanggang serta memiliki indeks
glikemik terendah.
f. Kadar Anti Gizi Pangan
Beberapa pangan secara alamiah mengandung zat yang dapat
menyebabkan keracunan bila jumlahnya besar. Zat tersebut
dinamakan zat anti gizi. Beberapa zat anti gizi tetap aktif walaupun
sudah melalui proses pemasakan. Zat anti gizi pada biji-bijian dapat
19

memperlambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus. Akibatnya


IG pangan menurun (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Table 2.6. Indeks Glikemik Kacang-kacangan
Jenis Pangan IG
Kedelai 42
Kacang Hijau 56
Kacang Tanah 29-45
Kacang merah 73-97
Kacang Buncis, didihkan 8 menit 24-32
Sumber : Foster-Powell (2002);Marsono (2002)

F. Beban Glikemik
Indeks glikemik menunjukkan kecepatan karbohidrat berubah
menjadi gula darah. Indeks glikemik tidak memberikan informasi mengenai
banyaknya karbohidrat dan dampaknya pada kadar gula darah. Seperti
contohnya pada wortel yang memiliki Indeks Glikemik tinggi (IG=131).
Namun pangan tersebut tidak perlu dihindari karena tidak mungkin orang
tersebut dapat mengkonsumsi 50 g karbohidrat dari wortel dalam sekali
makan. (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Beban glikemik (glicemic load atau GL) digunakan untuk mengukur
dampak potensial makanan terhadap gula darah. Makanan mungkin
memiliki indeks glikemik tinggi tetapi tidak mengandung banyak karbohidrat
per rata-rata penyajian, tidak akan banyak dampaknya pada gula darah.
Perhitungan dari muatan glikemik makanan, yaitu mengalihkan indeks
glikemik dengan jumlah karbohidrat dalam satu porsi, kemudian dibagi
dengan 100. Angka muatan glikemik 20 ke atas dikategorikan tinggi, 10-19
kategori menengah dan kurang dari 10 menunjukan nilai GL yang rendah
(Kindo, 2011)
G. Prinsip Pengukuran Indeks Glikemik
Pengukuran Indeks Glikemik (IG) pangan dilakukan dengan
memberikan pangan uji dengan jumlah yang setara dengan 50 gram
karbohidrat kepada seluruh subyek penelitian. Pangan tersebut diberikan
kepada subyek setelah melakukan puasa selama 10-12 jam (overnight
fasting). Hal ini dilakukan untuk mengurangi cadangan gula darah dalam
tubuh yang dapat digunakan untuk mengasilkan energi sehingga gula
darah yang diukur benar-benar merupakan respon terhadap pangan uji
20

yang diberikan. Setelah itu, subyek diambil darahnya pada menit ke 0


(sebelum diberi pangan uji) 30, 60, 90, dan menit ke 120. Kadar gula yang
ditunjukkan dibuatkan grafik menurut sumbu X dan Y, lalu dihitung luas
daerah di bawah kurva. Nilai yang diperoleh kemudian dibandingkan
dengan luas kurva untuk pangan standar (dalam hal ini digunakan
glukosa murni) untuk mendapatkan nilai indeks glikemik pangan tersebut
(Miller 1996).

Gambar 2.7 Kurva Indeks Glikemik


Beberapa hasil penelitian menunjukkan, analisa Indeks Glikemik
dapat dilakukan pada hewan uji tikus. Pangan uji pada hewan coba tikus
mengandung 0,15 gram karbohidrat (Thannoun dan Al-Kubati, 2010).
Sebelum diberi pakan uji, hewan uji tikus dipuasakan semalam (20.00 –
08.00) setelah diadaptasi selama 7 hari dan diberi makan secara ad
libitum. Untuk mengetahui indeks glikemik pangan yang di ujikan pada
hewan uji tikus, analisa indeks glikemik perlu dibandingkan dengan
pemberian pangan acuan yakni glukosa murni. Pada penelitian
Rachmadani dan Estiasih (2014) pengambilan darah pada hewan coba
tikus untuk analisa kadar gula darah dilakukan secara retro orbital plexus.
H. Analisa keputusan
Keputusan ialah suatu kesimpulan dari sutau proses untuk memilih
tindakan yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada. Pengambilan
keputusan adalah ptoses yang mencakup semua pikiran dan kegiatan yang
diperlukan pilihan yang terbaik (Siagian, 1987).
Analisis keputusan pada dasarnya adalah suatu prosedur yang
logis dan kuantitatif yang tidak hanya menerangkan pengambilan
21

keputusan, tetapi juga merupakan suatu cara untuk membuat keputusan


(Mangkusubroto dan Listiani, 1987)
I. Analisa Finansial
Analisis Finansial adalah suatu cara penilaian investasi modal
dalam suatu proyek yang akan dilaksanakan untuk mengetahuo pakah
proyek tersebut menguntungkan diukur dalam bentuk uang, yaitu
berdasarkan perbandingan seluruh arus penerimaan (streams benefits)
dan arus pengeluaran (streams costs) selama umur proyek (masa
pembangunan dan umur ekonomis) dilihat dari sudut kepentingan pemilik
modal (investor). Arus benefit dan costs dalam kegiatan suatu proyek, yaitu
meliputi semua faktor-faktor benefit dan cost yang dapat dinilai dengan
uang (Sinaga dan Risma, 2013)
Dalam rangka mencari suatu ukuran menyeluruh tentang layak tidaknya
suatu proyek yang dikembangkan, maka digunakan beberapa kriteria yang
digunakan dapat dipertanggung jawabkan penggunaannya adalah :
1. Break Event Point (BEP)
2. Net Present Value (NPV)
3. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio)
4. Payback Period
5. Internal Rate of Return (IRR)

1. Break Event Point (BEP) atau Analisis Impas


Analisis break even adalah suatu teknik analisis untuk mempelajari
hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, keuntungan dan volume
kegiatan yang terjadi di suatu perusahaan. Sementara yang dimaksud
dengan berak even adalah suatu kedaan dimana total revenue persisi
sam dengan total cost. Dengan demikian, dalam kondisi break even
perusahaan tidak memperoleh keuntungan dan tidak pula menderita
kerugian (Halim, A, 2009)

Rumus untuk mencari titik impas adalah sebagai berikut :

a. Biaya Titik Impas


𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝
BEP (unit) = ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑗𝑢𝑎𝑙/𝑢𝑛𝑖𝑡−𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙/𝑢𝑛𝑖𝑡
22

𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝
b. BEP (Rp) = 1−
𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙
𝑝𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛

c. Presentase
𝐵𝐸𝑃 (𝑅𝑝)
BEP % = x 100%
𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛

Hasil perhitungannya menunjukkan bahwa perusahaan tidak


menderita kerugian namun juga belum memperoleh keuntungan, karena
semua penerimaan akann habis untuk menutup biaya variabel dan biaya
tetap yang ditanggung perusahaan (Halim, A. 2009).
2. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) adalah selisih arus penerimaan (streams
benefit) dan pengeluran (stream coast) selama umur proyek (masa
waktu pembangunan proyek ditambah masa operasional selam umur
ekonomisnya) yang sudah dihitung nilainya sekarang (sudah di present
value) dengan menggunakan discount factor (Sinaga, dan Risma, 2013)
Kriteria penggunaan NPV dalam studi kelayakan investasi, dapat
dijelaskan :
a. Apabila total NPV sama tatu lebih kecil dari nol (NPV ≤0), maka
investasi yang akan dilakukan terhadap suatu proyek tidak layak
atau tidak menguntungkan, yang berarti rencana investasi ditolak.
b. Sebaliknya, apabila NPV lebih besar dari 0 (NPV >0) maka investasi
yang akan dilakukan layak untuk dikerjakan (investasi dalam hal ini
menguntungkan) (Sinaga, dan Risma, 2013)

𝐵𝑡−𝐶𝑡−𝐼𝑡
Rumus NPV adalah : NPV = ∑𝑛𝑡=1 (1+𝑖)𝑡

Keterangan:

Bt = benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada


tahun t

Ct = Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t

I = Modal yang digunakan pada periode investasi


23

n = Umur ekonomi dari pada proyek

i = Tingkat discount rate

3. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio)


Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio) merupakan hasil
perbandingan antara arus jumlah penerimaan (streams benefit) dan
pengeluaran (stream coast) selama umur proyek (masa waktu
kontruksi ditambah masa umur ekonomis proyek) yang dihitung
nilainya sekarang (di present value). Berdasarkan kriteria ini, proyek
dianggap layak untuk dikerjakan (menguntungkan),apabila Gross B/C
Ratio lebih besar dari 1 (Gross B/C Ratio> 1), dan sebaliknya apabila
Gross B/C Ratio sama atau lebih keil dan atau sama dengan 1 (Gross
B/C Ratiom≤ 1), berarti proyek yang dimaksud tidak layak untuk
dikerjakan (harus ditolak) (Sinaga, dan Risma, 2013).

𝐵𝑡
∑𝑛
𝑡=1(1+𝑖)𝑡
Nilai B/C Ratio = 𝐶𝑡
∑𝑛
𝑡=1(1+𝑖)𝑡

Keterangan :
Bt = Streams benefits
Ct = Streams cost
I = Tingkat bunga/ Discount factor
n = Tahun
4. Payback Period
Payback Period digunakan untuk mengetahui berapa lama investasi
modal kembali, dilihat dari keuntungan bersih proyek sesudah
diperhitungkan pajak perusahaan (Sinaga, dan Risma, 2013). Rumus
penentuannya adalah sebagi berikut :
𝐼
PP = 𝐴𝑏

Keterangan :
I = Total investasi dalam proyek
Ab = Benefits bersih yang diperoleh setiap tahunnya (sesudah
dikurangkan pajak perusahaan)
5. Internal Rate of Return (IRR)
24

Internal Rate of Return adalah cara untuk menghitung besarnya tingkat


keuntungan rata-rata bersih (Return on Investment) yang dihasilkan
proyek tiap tahun selama umur ekonomis proyek tersebut (Sinaga, dan
Risma, 2013).
𝑁𝑃𝑉 0
IRR = 𝑖𝑜 + (𝑖𝑓 -𝑖𝑜 ) (𝑁𝑃𝑉 + 𝑁𝑃𝑉 )
0 1

Keterangan :
𝑖𝑜 = tingkat bunga yang berlaku dipasar modal social (opportunity cost
of capital )
𝑖𝑜 = tingkat bunga pembanding (discount rate pembanding)
𝑁𝑃𝑉0 = NPV pada 𝑖𝑜
𝑁𝑃𝑉1 = NPV pada 𝑖1
J. Landasan Teori
Indeks Glikemik pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya
terhadap kadar gula darah (Rimbawan dan Siagian 2004). Menurut Regina
(2012), makanan dengan indeks glikemik rendah telah terbukti memperbaiki
kadar glukosa dan lemak pada pasien-pasien diabetes melitus dan
memperbaiki resisten insulin. Selain itu, makanan dengan indeks glikemik
rendah juga membantu mengontrol nafsu makan, memperlambat munculnya
rasa lapar sehingga dapat membantu mengontrol berat badan.
Rimbawan dan Siagian (2004) menyatakan bahwa IG pangan dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu cara pengolahan, daya osmotik pangan, kadar serat,
amilosa, protein, lemak dan keberadaan zat antigizi. Sebagian besar ilmuwan
berpendapat bahwa amilosa dicerna lebih lambat dibandingkan dengan
amilopektin (Miller et al., 1992), karena amilosa merupakan polimer dari gula
sederhana dengan rantai lurus, tidak bercabang. Rantai yang lurus ini
menyusun ikatan amilosa yang solid sehingga tidak mudah tergelatinasi. Oleh
karena itu amilosa lebih sulit dicerna dibandingkan dengan amilopektin yang
merupakan polimer gula sederhana, bercabang dan mempunyai struktur
terbuka. Berdasarkan karakteristik tersebut makanpangan yang mengandung
amilosa tinggi cenderung memiliki aktivitas hipoglikemik lebih tinggi
dibandingkan dengan pangan yang mengandung amilopektin tinggi.
Jenkins et al., (2002) menyebutkan bahwa konsep IG sebenarnya
merupakan pengembangan dari hipotesis serat pangan, yang menyatakan
25

bahwa konsumsi serat pangan akan menurunkan laju masukan nutrien dari
usus. Serat pangan memegang peranan penting dalam memelihara kesehatan
individu. Oleh karena itu, serat pangan merupakan salah satu komponen
pangan fungsional yang dewasa ini mendapat perhatian masyarakat luas. Serta
pangan mempengaruhi asimilasi glukosa dan mereduksi kolesterol darah.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa serat tanaman tertentu
menghambat penyerapan karbohidrat dan menghasilkan postprandial glikemik
yang rendah. Penambahan serat pangan yang berasal dari serelia, kacang-
kacangan dan sayuran sangat bermanfaat bagi penderita diabetes.
Berdasarkan penghambatan penyerapan karbohidrat tersebut, pangan yang
memiliki nilai IG rendah juga membantu dalam mengendalikan kelebihan berat
badan (Ludwig, 2000).
Food bar merupakan pangan berkalori tinggi yang dibuat dari campuran
bahan pangan, diperkaya dengan nutrisi, kemudian dibentuk menjadi bentuk
padat dan kompak. Food bar dapat dikembangkan karena adanya kandungan
gula untuk memberikan kalori yang dibutuhkan, tahan lama atau awet, dan siap
untuk dimakan karena memiliki bentuk mirip dengan biskuit. Food bar yang
diharapkan memiliki kandungan kalori sebesar 2100 kkal yang dengan rincian
yaitu 35-45% lemak, 10-15% protein dan 40-50% karbohidrat (Zoumas dkk.,
2002).
Pemanfaatan buah pedada (Sonneratia caseolaris) menjadi tepung belum
mendapat perhatian kalangan masyarakat umum, oleh karena itu pemanfaatan
buah pedada jenis ini sebagai bahan pangan masih sangat terbatas dan kurang
bervariasi. Pada penilitian ini pembuatan food bar menggunakan bahan baku
pedada, tepung kacang-kacangan (kacang merah, kedelai, kacang hijau,
kacang tanah). Pedada (Sonneratia caseolaris) memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan jenis tanaman mangrove lainnya yaitu sifat buahnya tidak
beracun, dapat dimakan langsung. Rasa asam dan aroma yang khas serta
tekstur buah yang lembut (Abeywickrama and Jayasooriya, 2010). Menurut
beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa buah pedada memiliki kadar air
84,76%, abu 8,40%, lemak 4,82%, protein 9,21% dan karbohidrat 77,57%
(Manulu, 2011). Buah pedada dapat diolah menjadi produk pangan yang dapat
dikonsumsi oleh manusia antara lain sirup dan berbagai produk makanan
ringan seperti cookies dan kue kering (Mangrove Center, 2009).
26

Pencampuran tepung pedada dan tepung kacang-kacangan terjadi


interaksi polisakarida dengan protein. Campuran protein polisakarida
digunakan secara luas dalam industri makanan karena berperan penting dalam
struktur dan tekstur bahan makanan (Dickinson and Merino, 2002).
Keseluruhan tekstur dan struktur produk tidak hanya bergantung pada sifat
individu protein dan polisakarida, tetapi juga sifat alami dan kekuatan interaksi
protein-polisakarida (Ledward, 1994).
Penelitian mengenai pangan darurat dalam bentuk food bar yang telah
dilakukan oleh Almashyuri dkk,(2012) mengembangkan biskuit padat siap
santap untuk makanan darurat berbahan baku tepung terigu dan tepung tepung
kedelai dan tepung kacang tanah sebagai sumber protein. Dan menurut
penelitian Jariyah dan Enny Karti (2017) menggunakan campuran bahan baku
tepung kedelai dan tepung talas dengan campuran tepung pedada dengan
proposi (50:30:20) (40:40:20)(30:50:20). Hasil terbaik adalah proporsi
penambahan tepung kedelai 50 gram dan tepung talas 50 gram.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pembuatan biskuit formulasi
tepung buah pedada dengan 4 tepung kacang-kacangan (tepung kacang
kedelai, tepung kacang merah, tepung kacang hijau, tepung kacang tanah)
yang kemudian di analisis Indeks Glikemiknya pada hewan coba tikus.
K. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian diatas, maka dapat diduga terdapat perbandingan
tepung pengaruh dari perlakuan formulasi tepung buah pedada (Sonneratia
caseolaris) dengan empat varian tepung (kacang merah, kacang tanah,
kedelai, kacang tanah) terhadap karakteristik food bar dan Indeks Glikemik
biskuit.
27

BAB III
BAHAN DAN METODE

A. Tempat Dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Analisa Pangan,
Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan Program Studi Teknologi
Pangan UPN Veteran Jatim dan Laboratorium Nutrisi Universitas Brawijaya
Malang. Waktu pelaksanaan bulan Oktober-Februari 2018

B. Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan foodbar adalah
bahan baku tepung buah peadada, tepung kacang merah, tepung kacang
kedelai, tepung kacang hijau, tepung terigu, margarin, shortening, baking
powder, garam, susu skim dan air dingin.
Bahan untuk analisa Asam Sulfat, Kalium Sulfat, Natrium
Hidroksida, Natrium Karbonat, Asam Klorida , Heksana, Aquades, Reagen
GOD-PAP(glucose peroxsidase) dan glukosa murni. Hewan uji yang
digunakan yaitu tikus galur wistar jantan umur 2 bulan berat berkisar 150-
200 g.

C. Alat
Alat yang digunakan untuk proses pembuatan tepung biji-bijian
antara lain baskom, dandang, sendok, ayakan 80 mesh, kompor, lemari
kabinet, timbangan analitik, blender.
Pembuatan foodbar menggunakan alat-alat seperti mixer,
timbangan digital, loyang, sendok, baskom, mangkuk kecil, kantong plastik,
alat untuk memipihkan adonan berberntuk tabung, cetakan, pisau dan
peralan lainnya.
Alat yang digunakan untuk analisa antara lain timbangan analitik,
desikator, oven listrik, labu kjedahl, desilator, soxhlet, kertas saring, kapas
dan benang kasur.
28

D. Metedologi
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial satu faktor empat level
yakni perlakuan foodbar formulasi tepung buah pedada dengan empat
tepung kacang-kacangan (kedelai, kacang merah, kacang hijau, kacang
tanah) pada analisis proksimat produk yang dilajutkan dengan Uji DMRT.
Kemudian produk formulasi biskuit yang dihasilkan di uji indeks
Glikemiknya pada tikus galur wistar. Perhitungan Indeks Glikemik
menggunakan metode Incremental area under the blood glucose response
curve (IAUC).
Rumus RAL : Yij = µ + ri + tj + €ij
Keterangan : i = 1,2,....., t dan j = 1, 2, ....,r
Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = Rataan umum
ri = Pengaruh kelompok ke - i
tj = Pengaruh perlakuan ke – j
€ij = Pengaruh galat percobaan

Luas daerah dibawah kurva dihitung dengan rumus :


∆30𝑡 (∆30−Δ60)𝑡 (∆60−Δ90)𝑡 (∆90−Δ120)𝑡
L= + Δ60t + + Δ90t + + Δ120t +
2 2 2 2

Keterangan :
L = luas area dibawah kurva
t = interval waktu pengambilan darah (30 menit)
Δ30 = selisih kadar glukosa darah 30 menit setelah beban dengan puasa
Δ60 = selisih kadar glukosa darah 60 menit setelah beban dengan puasa
Δ90 = selisih kadar glukosa darah 90 menit setelah beban dengan puasa
Δ120 = selisih kadar glukosa darah 120 menit setelah beban dengan puasa

1. Peubah Beubah (Formulasi Tepung)


A. Tepung buah pedada dan tepung kacang-kacangan = 0:100
B. Tepung buah pedada dan tepung kacang-kacangan = 10:90
C. Tepung buah pedada dan tepung kacang-kacangan = 20:80
29

D. Tepung buah pedada dan tepung kacang-kacangan = 30:70


2. Peubah Tetap
Adonan :
1. Garam 1%
2. Margarin 30%
3. Kuning telur 8%
4. Gula halus 30%
5. Susu skim 20%
6. Sirup glukosa 20%
7. Baking powder 50%

E. Parameter yang Diamati


Analisa empat Varian Produk Foodbar
1. Analisis Kadar Air, Metode Oven (AOAC 1995)
2. Analisis Kadar Abu, Metode Oven (AOAC 1995)
3. Analisis Kadar Protein, Metode Kjeldahl (AOAC 1995)
4. Analisis Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC 1995)
5. Analisis Kadar Karbohidrat By Difference(AOAC 1995)
6. Analisis Kadar Serat Kasar(Sudarmadji, 1985)
7. In Vivo :
Analisis Indeks Glikemik (Miller, 1994 Modifikasi)
Beban Glikemik (Kindo, 2011)

F. Prosedur Penelitian
a. Proses pembuatan tepung pedada meliputi proses sortasi, pengupasan
kulit, pencucian, blanching, penyaringan, pelumatan buah,
pengeringan, penggilingan, pengayakan, penggilingan.
b. Sebelum proses pembuatan biskuit, dilakukan penelitian pendahuluan
yakni penentuan formulasi terbaik yang akan digunakan pada formulasi
tepung buah pedada dengan empat jenis pati kacang-kacangan yang
berdasarkan rasa dengan uji organoleptik skoring. Penelitian
pendahuluan yang dilakukan yakni pembuatan foodbar formulasi
tepung buah pedada : salah tepung kacang hijau dengan perbandingan
(15:75), (20:80), (25:75), dan (30:70).
30

c. Proses pembuatan foodbar


1. Persiapan bahan-bahan
Tahap-tahap persiapan mulai dengan penimbangan bahan-bahan
antara lain: tepung kacang-kacangan dan tepung pedada dengan
perbandingan (100:0, 90:10, 80:20, 70:30),margarin 30 gram, gula
halus 30 gram, sirup glukosa 20 ml, kuning telur.
2. Proses selanjutnya adalah pencampuran gula halus, margarin, sirup
glukosa di mixer selama 5 menit.
3. Penambahan tepung pedada dan tepung kacang-kacangan, susu
skim kemudian dicampur hingga rata.
4. Setelah tercampur rata, dipipihkan dengan roller kemudian adonan
dicetak dengan menggunakan cetakan.
5. Pemanggangan dilakukan dengan loyang yang telah diolesi
margarin. Pemanggangan dilakukan dengan suhu 1500 C selama 15
menit.
6. Analisa produk akhir
Foodbar yang dihasilkan dilakukan analisa terhadap rendemen,kadar
air, kadar abu, kadar ptotein, kadar lemak, kadar serat kasar, kadar
karbohidrat, indeks glikemik dan beban glikemik.

d. Analisa In Vivo
Sampel penelitian :
1) Jenis kelompok tikus jantan stain Rattus noregicus berumur 2 bulan
2) Sehat, tidak ada luka
3) Banyak gerak (aktif)
4) Makan dan minum secara normal
5) Berat badan antara 150-200 gram.

Kelompok sampel
Tikus sebanyak 25 ekor dibagi menjadi 5 kelompok dengan 1 kelompok berjumlah
5 ekor tikus yaitu :
1. Kelompok 1 : kontrol
2. Kelompok 2 : Foodbar (buah pedada+kedelai)
3. Kelompok 3 : Foodbar (buah pedada+kacang merah)
31

4. Kelompok 4 : Foodbar (buah pedada+kacang hijau)


5. Kelompok 5 : Foodbar (buah pedada+kacang tanah)
Jumlah sample minimal yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari
perhitungan Ferderer, yaitu :
(t-1)(n-1) ≥15
Keterangan : t  jumlah kelompok =5
n  jumlah sample tiap kelompok
Menurut perhitungan rumus Ferderrer, besar sample minimal adalah 5 ekor tikus
tiap kelompok. Dalam penelitian ini membutuhkan minimal 25 ekor tikus dalam 5
kelompok uji coba.
Proses Perlakuan (Treatment) dengan perlakuan terbaik :
a. Tikus ditimbang dan dikelompokkan secara acak. Kemudian diadaptasi
dengan kondisi laboratorium selama 7 hari untuk penyesuaian dengan
lingkungannya.
b. Tikus dipuasakan selama 12 jam sebelum dilakukan percobaan.
c. Kemudian diukur kadar glukosa dara pada tikus.
d. Tikus diberi perlakuan dengan cara diberikan pembebanan glukosa tanpa
foodbar (kelompok kontrol), dan biskuit (A,B,C,D) sesuai dengan dosis
tertentu.
e. Setelah itu diukur kembali glukosa darah tikus pada menit ke30, menit ke
60, menit ke 90, menit ke 120.
32

Buah pedada (Sonneratia caseolans)

Sortasi buah

Pengupasan dan pencucian  Kulit, Tangkai dan Kelopak

Blanching selama 10-15


menit pada suhu 55-800C

Penghancuran dan
penyaringan buah

pengeringan (kabinet dryer


suhu 600c selama 15-18 jam

Penggilingan (blender)

Pengayakan 80 mesh

Tepung Pedada  Analisis:


a. Rendemen
b. Kadar Air (AOAC, 1995)
c. Kadar Abu (AOAC, 1995)
d. Kadar Protein (AOAC, 1995)
e. Kadar Lemak (AOAC, 1995)
f. Kadar Karbohidrat (AOAC, 1995)
g. Serat kasar (Sudarmadji, 1995)
Gambar 3.1. Diagram alir pembuatan tepung buah pedada (Sonneratia
caseolans) (Jariyah dkk, 2014)
33

Gula halus 30%


Margarin 30 %
Kuning telur
Sirup glukosa 20%

Dicampur dengan mixer ±3 Tepung pedada : tepung


menit kacang-kacangan.
Garam 1%, susu 0:100
skim 20% 10: 90
Diaduk dengan kecepatan 20: 80
rendah ±3 menit 30: 70

Aduk adonan secara


homogen

Dipipihkan dan dicetak


dengan cetakan kue (tebal
±3 menit)

Dioven
(T= 1800C, ±15 menit)

Biskuit  Analisis :
a. Rendemen
b. Kadar air (AOAC, 1995)
c. Kadar Abu (AOAC, 1995)
d. Kadar Protein (AOAC, 1995)
e. Kadar Lemak (AOAC, 1995)
f. Kadar Karbohidrat (AOAC, 1995)
g. Kadar Serat Kasar (Sudarmadji,
1995)
h. Indeks Glikemik (Miller, 1994 dan
Modifikasi)
i. Beban Glikemik (Miller, 1994 dan
Modifikasi)
Gambar 3.2. Diagram Alir Pembuatan Foodbar yang termodifikasi
34

Jumlah sample 25 ekor tikus putih galur wistar

5 ekor 5 ekor 5 ekor 5 ekor 5 ekor


Pakan standart Pakan standart Pakan standart Pakan standart Pakan standart

p p p p p
- Adaptasi 7 hari
- Puasa 12 jam
- Pengambilan Darah 0 Menit

5 ekor 5 ekor 5 ekor


5 ekor
5 ekor
Foodbar B Foodbar C Foodbar D
Foodbar A (buah
Kontrol (buah (buah
(buah pedada+kacang pedada+kacang pedada+kacang
pedada+kedelai) tanah) merah) hijau)

Pengambilan Darah 30,60,90 dan 120 menit

Analisa Kadar Gula Darah (GOD-PAP(glucose peroksidase) secara Spektrofotometri)

Perhitungan Hasil

Indeks Glikemik

Gambar 3.3. Diagram Alir Analisa Indeks Glikemik Pada Tikus


35

DAFTAR PUSTAKA
Aini N.2009. Lebih jauh tentang Sifat Fungsional Telur.
http://kulinologi.biz/index.php. Diakses pada tanggal 30 November
2015
Asif et al. 2014. Mechanisms Involved in The Therepeitic Effects of
Soybean(Glyine Max). International Journal of food properties,
17:1332-1354
Andrianto, T.T. dan N. Indarto, 2004. Budidaya dan Analisis Usaha Tani Kedelai,
Kacang Hijau, Kacang Panjang. Absolut, Yogyakarta.
Abey Wickrama, W.S.S. and Jayasooriya, M.C.N.2010. Formulation and Quality
Evaluation of Cordial Based on Kirila (Sonneratia caseolaris) fruit.
Tropical Agricultural Research&Extension. 13(1):16-18
Aprianita,N dan Wijaya,H.2010. Kajian Teknis Standart Nasional Indonesia Biskuit
SNI 01-2973-1992.
Astawan, M dan S.Widawati. 2006. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Ubi
Jalar sebagai Dasar Pengembangan Pangan Fungsinal. Laporan
Penelitian RUSNAS, Bogor.
AOAC, 1990. Official Methods of Analysis, 15th Ed. Associcition og Official
Analytical Chemists, Inc.Vigrinia, USA.
Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., and wotton, M.1987. Ilmu Pangan.
Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press.
Jakarta.
Bennion, M., 1980. The Science of Food, John Wiley & Sons, USA, 314-316.
Desrosier,n.w.1988. Technology of Food Preservation. AVI
Publishing Company Inc. Diterjemahkan oleh Muchjadi Mojohardjo.
Teknologi Pengawetan Pangan.UI.Press Jakarta.
Foster-pawel,K.F,S.H.A. Holt and J.CB Miller. 2002. Internasional Table of
Glicemic Index and Glikemic lood values:2002. Am J Cin Nutr 76:5-
50.
Ilman, M., I.T.C. Wibosono, san I.N.N. Suryadiputra. 2011. State of The art
Information on Mangrove Ecosystem In Indonesia. Wetlands
International-Indonesia Programme, Bogor.
Jariyah, S.b, Widjanarko, Yunianta, T. Estiasih, dan P.A. Sopade. 2014. Pasting
Properties Mixture of Mangrove Fruit Flour (Sonneratia caseolaris)
and starches. International Food Research Jurnal 21(6): 2161-2167.
Kataren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Cetakan
Pertama. Jakarta:UI-Press.
Kindo. 2011. Indeks Glikemik dan Manfaatnya.htto://Indodiabetes.com//apa-itu-
glikemik-indeks-gi-dan manfaatnya. Diakses pada tanggal 20
Agustus 2017.
Kramer, A. Dan Twigg, B.A. 1973. Quality Control for The Food Industry. Vol. 113
edition. USA: st. Paul Minnesetu
Kusumawati, Diah. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta
36

Manley, P.J.R. 1983. Technology of Biscuits, Cracers, and Cookies. Ellis Horwood
Limited, Chicester.
Miller JCB. 1996. The GI Factor: The GI Solution Hodder and Stoughton. Australia:
Hodder Headine Australia Pty Limited.
Mangrove Information Center. 2009. Sonneratia caseolaris.
www.mangrovecenter.com. [27 Agustus 2017]
Muchtadi. D.(2000). Sayur-sayuran;Sumber Serat dan Antioksidan; Mencegah
penyakit Degeneratif Bogor:FATETA
Manulu. 2011. Kadar Beberapa Vitamin pada Buah Pedada (Sonneratia
caseolaris) dan Hasil Olahannya. Skripsi Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian.
Prijatmoko, D. 2007. Indeks Glikemik Satu Jam Postprandial Bahan Makanan
Pokok Jenis Nasi Jagung dan Kentang Cermin Dunia Kedokteran vol
34 No.6/159.
Rimbawan dan A. Siagian, 2004. Indeks Glikemik Pangan, Cara mudah Memilih
Pangan yang Menyehatkan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Santoso, 2005. Modul Teori dan Praktikum Teknologi Pengolahan Kedelai Malang:
Widyagama
Susanti. 2001. Penelitian dan pengembangan Produk Baru di PT. Amott’s
indonesia. Laporan Magang Jurusan teknologi Pangan dan Gizi.
Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
Setyowati, W.T. dan Nisa, F.C. 2014. Formulasi Biskuit Tinggi Serat (Kajian
Proporsi Bekatul Jagung:Tepung terigu dan Penambahan Baking
Powder) Jurnal Pangan dan Agroindustri 2(3):224-231.
Siswono, 2004. Ibu dan Anak Sehat Berkat Vitamin A. http://www.gizi.net/berita.
Diakses tanggal 5 September 2017.
Thannoun, A. M. And Al-Kubati, A. A. M. M. 2010. Blood Glucose Response And
Glycemic Index Of Diets Containing Different Sources of
Carbohydrate in Healty Rats. Mesopotamia J. Of Agric. Vol.(38) No.
(1) 2010
Waspadji, SARWONO. 2003. Asupan Zat Gizi dan Beberapa Zat Gizi pada
Penderita Hiperlipidemia dalam Pengkajian Status Gizi Epidemologi
Balai Penerbit Fakultas Gizi Studi Epidemiologi Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta.
Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi: Edisi Terbaru. Jakarta. Gramedia
Pustaka Utama.
Wellington, 1993. Cereals and Cereal Products, Food Industries Manual 23nd
edition. Blackie Academic Professional. New York.
37

Lampiran 1. Prosedur analisa


1. Analisis Rendemen
Rendemen tepung buah pedada dihitung berdasarkan
perbandingan berat tepung yang diperoleh terhadap berat kacang-
kacangan yang dinyatakan dalam persen. Perhitungan rendemen dihitung
dengan menggunakan rumus :

𝑎
Rendemen tepung = 𝑏
x 100%

Keterangan :

a = berat tepung yang diperoleh (g)

b = berat kacang-kacangan segar (g)

Pengukuran rendemen produk dihitung berdasarkan berat adonan.


Rendemen produk olahan goreng dapat dihitung menggunakan rumus
sebagai berikut :

𝑎
Rendemen tepung = 𝑏
x 100%

Keterangan :

a = berat produk olahan (g)

b = berat adonan (g)

2. Analisis Kadar Air, Metode Oven (AOAC 1995)


Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu
didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sebanyak 4-5 g sampel
ditimbang dalam cawan yang telah diketahui bobot kosongnya, lalu
dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 1050C selama 6 jam. Cawan
dengan isinya kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
Pengeringan dilakukan kembali hingga diperoleh berat konstan. Kadar air
dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal sampel
sebelum dikeringkan dengan berat akhir setelah dikeringkan.

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑠𝑒𝑔𝑎𝑟−𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔)


%Kadar Air = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑠𝑒𝑔𝑎𝑟
x 100%
38

3. Analisis Kadar Abu, Metode Oven (AOAC, 1995)


Cawan porselen dipanaskan dalam oven selama 15 menit, lalu
didinginkan dalam deksikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 g sampel
dimasukkan dalam cawan porselen dan ditimbang, lalu dibakar sampai
tidak berasap lagi dan diabukan dalam tanur bersuhu 5500C sampai
berwarna putih (semua contoh menjadi abu) dan beratnya konstan. Setelah
itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢
%Kadar Abu = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 x 100%

4. Analisis Kadar Protein, metode Kjeldahl (AOAC 1995)


Ditimbang sejumlah kecil sampai (0,2 g) dalam labu Kjeldahl 30 ml.
Ditambahkan 1,9 + 0,1 g K2SO4 dan 2,0 + 0,1 ml H2S04 pekat. Sampel
didestruksi selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Cairan
didinginkan, ditambah 8-10 ml NaOH-NA2S2O3 dan dimasukkan ke dalam
alat destilasi. Di bawah kondensor alat destilasi diletakkan erlenmeyer
berisi 5 ml larutan H3BO3 dan beberapa tetes indikator merah metil. Ujung
selang kondensor harus terendam larutan untuk menampung hasil destilasi
sekitar 15 ml. Dititrasi dengan HCL 0,0235 N samapai terjadi warna abu-
abu. Prosedur yang sama juga dilakukan terhadap blanko (tanpa sampel).
Jumlah titran sampel (a) dan titran blanko (b) dinyatakan dalam ml HCL
0,0235 N.

(𝑎−𝑏)𝑥 𝑁 𝐻𝐶𝐿 𝑥 14.007 𝑥 100


Kadar N (%)= 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 1000
x 100%

Kadar protein (%bk) = kadar N (%) x FP

FP = faktor konversi = 5,70 untuk tepung dan pati serta 6,25 untuk biskuit.

5. Analisis Kadar Lemak, Metode Soxhlet (A0AC, 1995)


Labu lemak dikeringkan dengan oven. Sampel ditimbang sebanyak
5 g dibungkus dengan kertas saring dan ditutup kapas bebas lemak. Kertas
saring berisi sampel tersebut diletakkan dalam alat ekstraksi soxhlet yang
dirangkai dengan kondensor. Pelarut heksana dimasukkan ke dalam labu
lemak lalu direfluks selama minimal 5 jam. Sisa pelarut dalam labu lemak
dihilangkan dengan dipanaskan dalam oven, lalu ditimbang.
39

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑙𝑒𝑚𝑎𝑘
%Kadar Lemak = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 x 100%

6. Analisis Kadar Karbohidrat By Difference (AOAC, 1995)


Pengukuran kadar karbohidrat menggunakan metede by difference
dilakukan dengan cara mengurangkan 100% dengan nilai total dari kadar
air abu (%bk), kadar protein (%bk) dan kadar lemak (%bk).
% Kadar Karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar protein + kadar lemak +
kadar abu)
7. Analisis Kadar Serat Kasar (Sudarmadji, 1995)
Sampel dihaluskan, ditimbang 2 g bahan kering dan bebas
lemaknya. Kemudian ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 2,5% lalu ditutup
dengan pendingin balik dan didihkan selama 30 menit. Suspensi disaring
dan residu dicuci dengan aquades mendidih. Residu dipindahkan secara
kuantitatif dari kertas saring ke erlenmeyer dan sisanya dicuci dengan 200
ml larutan NaOH 2,5% sampai semua residu dimasukkan kedalam
erlenmeyer, tutup dengan pendingin balik dan didihkan selama 30 menit.
Setelah itu, disaring dengan kertas saring kering yang diketahui berat
sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10%. Residu dicuci dengan aquades
mendidih dan 15 ml alkohol 95%. Kemudian kertas saring dikeringkan pada
1100C sampai berat konstan. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan
ditimbang.

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑠𝑒𝑟𝑎𝑡
% Serat Kasar = 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 x 100%

8. Analisis Indeks Glikemik (Miller, 1994 dan Modifikasi)


Biskuit yang akan dilakukan analisis Indeks Glikemik dianalisis
proksimat terlebih dahulu untuk mengatahui jumlah biskuit yang harus
dikonsumsi. Setiap porsi sampel yang akan ditentukan nilai Indeks
Glikemiknya mengandung 50 gram karbohidrat (Thannoun dan Al-Kubati,
2010), diberikan kepada tikus yang telah menjalani puasa penuh (kecuali
air) selama semalam (sekitar pukul 20.00 sampai pukul 08.00 pagi
besoknya).

Rumus Penentuan Porsi Pangan Uji:


40

0,15 𝑔𝑟𝑎𝑚
Porsi = 𝐾𝑎𝑟𝑏𝑜ℎ𝑖𝑑𝑟𝑎𝑡 𝐵𝑦 𝐷𝑖𝑓𝑓𝑒𝑟𝑒𝑛𝑐𝑒 x 100

Sebelum diberi pangan uji, tikus diadaptasi terlebih dahulu selama semingu serta
diberi makan dan minum secara ad libitum. Besar sampel ditetapkan dengan
menggunakan rumus Federer (1997) yaitu:

(t-1)(n-1) ≥15

Keterangan : (t) adalah kelompok perlakuan

(n) adalah jumlah sampel perkelompok perlakuan

(t-1)(n-1) ≥15
(5-1)(n-1) ≥15
4(n-1) ≥15
4n-4 ≥15
4n ≥19
n ≥5
Pada penelitian ini, tikus dibagi dalam satu kelompok kontrol perlakuan (glukosa
murni) dan empat kelompok perlakuan (formulasi empat varian tepung). Jumlah
sampel per kelompok yakni 5 ekor, sehingga didapat jumlah sampel 25 ekor tikus.
Semua pangan uji diberikan secara oral satu kali dalam Aquades. Sesaat sebelum
senyawa uji diberikan, dilakukan pengambilan darah hewan uji. Setelah pemberian
pangan uji, kembali dilakukan pengambilan sampel darah pada waktu 30,60,90,
dan 120 menit. Sampel darah yang telah terpisah kemudian diambil, dipreparasi
untuk kemudian ditambahkan reagen yang mengandung enzim GOD,
aminofenazon dan indikator, kemudian dibuat larutan standar (0,574) dan blanko
(0,246) juga disiapkan untuk perbandingan, larutan standar terdiri dari larutan
glukosa standar dan blanko sebagai reagen pembanding yang dibuat dari
aquades. Preparat sampel disiapkan secara kuantitatif dengan menggunakan
mikropipet dengan volume yang telah ditentukan, yaitu:
a. Sampel terdiri dari : 100 µL sampel + reagen ad 1000 µL
b. Blanko terdiri dari : reagen 1000 µL
c. Standar terdiri dari : 100 µL larutan standar + reagen ad 1000 µL
Masing-masing larutan dalam kuvet dicampurkan dan diinkubasikan
selama 20 menit dalam suhu ruangan (370C). Setelah diinkubasi, kuvet
41

yang berisi larutan-larutan diatas dimasukkan ke instrumen


spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 546 nm sehingga
nantinya akan didapatkan data berupa absorbansi sampel (Brunner and
Suddart, 1997). Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan
perhitungan kadar glukosa dengan rumus sebagai berikut:
absorbansi sampel
= absorbansi standart x konsentrasi standart

Kadar gula darah (pada setiap waktu pengambilan sampel)


diplotkan pada dua sumbu waktu (X) dan kadar gula (Y). Indeks glikemik
ditentukan dengan membandingkan luas daerah di bawah kurva antara
pangan yang diukur IG-nya dengan pangan acuan (glukosa murni)
luas area dibawah kurva respon glikemik sampel
IG = uas area dibawah kurva respon glikemik standar glukosa x 100%

9. Beban Glikemik
Perhitungan dari muatan glikemik makanan, yaitu mengalihkan indeks
glikemik dengan jumlah karbohidrat dalam satu porsi, kemudian dibagi
dengan 100.
Karbohidrat (g)x Indeks Glikemik
BG = 100
42

Lampiran 2. Lembar Kuisioner Organoleptik

KUISIONER
UJI SKORING

Nama Panelis : .................................


Tanggal Pengujian : .................................
Jenis Sampel : Foodbar
Instruksi : Dihadapan saudara terdapat 4(empat)sampel biskuit.
Saudara diminta memberikan penilaian terhadap rasa dari
produk tersebut dengan penilaian sebagai berikut :

Kode Rasa
159
876
542
099

Keterangan :
6 : Amat sangat asam
5 : Sangat asam
4 : asam
3 : Agak asam
2 : Tidak asam
1 : Sangat Tidak asam

Komentar : ...............................................................................................................

Anda mungkin juga menyukai