Tim Penyusun:
Dr. Achmad Syahid
Erwan Hermawan
Akmal
Kulsum
Maskanah
Lailil Qomariyah
Retno Dewi Utami
Iin Aulia
Emilia Kristiyanti
Nunu Nurdyana
Alhamdulillah. Segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas karunia
dan nikmat kepada kita semua, sehingga penyusunan Panduan Teknis
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Madrasah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Panduan ini merupakan salah satu bentuk perhatian Kementerian Agama guna
meningkatkan akses, mutu, daya saing dan relevansi pendidikan di madrasah,
termasuk yang menyelenggarakan pendidikan inklusif.
Panduan Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Madrasah ini disusun
berdasarkan kebutuhan, untuk menjadi acuan bagi penyelenggaraan pendidikan inklusif
yang di beberapa madrasah di berbagai propinsi berlangsung sejak 2008. Panduan
teknis ini mengarahkan apa, siapa, mengapa, di mana, kapan dan bagaimana
pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif oleh beberapa madrasah tersebut
dilaksanakan. Landasan normatif yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, landasan
filosofis, dan yuridis dijadikan dasar, di mana konsep implementasi dan manual
pelaksanaan yang termaktub dalam panduan ini terkokeksi dengan pengalaman
madarasah dan praktik baik penyelenggaraan pendidikan inklusif di berbagai negara.
Panduan Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Madrasah ini dapat dibarengi
dengan berbagai kegiatan pengembangan diri secara berkelanjutan oleh pejabat
kementerian agama pusat, provinsi hingga kabupaten/kota; kepala madrasah; guru;
pengawas, tenaga kependikan, dan komite madrasah. Peran profesional orang tua
sangat diharapkan, di samping peran perguruan tinggi, sumber belajar, dunia usaha
dan dunia industri, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh masyarakat. Sinergi
kesemuanya merupakan penguatan bagi para madrasah penyelenggara pendidikan
inklusif untuk dapat melakukan peningkatan akses, mutu, relevansi dan daya saing
pendidikan inklusif secara mandiri namun sinergis secara berkelanjutan. Berdasarkan
data-data hasil pengawasan, evaluasi dan supervisi terhadap penyelenggara
pendidikan inklusif di madrasah, juga perkembangan kesadaran dunia terhadap konsep
dan pelaksanaan pendidikan untuk semua yang semakin membaik, maka kebijakan
tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif yang hingga saat kini ditetapkan sebagai
pelaksana penting untuk diimbaskan kepada madrasah-madrasah lain yang berada di
sekitarnya sebagai pengalaman yang berharga.
Penyelenggara pendidikan inklusif di madrasah merupakan suatu hal yang sulit
diselenggarakan kecuali melalui upaya sinergis berbagai pihak, yaitu Kementerian
Agama pusat, provinsi, kabupaten/kota, para kepala madrasah, dan semua pihak
terkait. Karena itu, partisipasi dan dukungan dari semua pihak merupakan suatu
peluang bagi kita semua untuk mewujudkan pendidikan inklusif yang meningkat akses,
mutu, relevansi dan daya saingnya secara merata. Semoga apa yang diatur dalam
panduan teknis ini dapat dilaksanakan secara efektif melalui peran serta semua pihak.
KATA PENGANTAR………………………………………….……………………….i
HALAMAN PENGHARGAAN……………………………………….……………….ii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………………………
B. Landasan Normatif, Filosofis, Empiris dan Yuridis…………………………………
C. Ruang Lingkup…………………………………………………………………………
D. Sasaran………………………………………………………………………………….
LAMPIRAN
Lampiran 1
Instrumen Identifikasi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus………………………….
Lampiran 2
Contoh Instrumen Asesmen Sosial-Emosi………………………………………………
Lampiran 3
Contoh Instrumen Asesmen Fungsional…………………………………………………
Lampiran 4
Contoh Profil Peserta Didik Berkebutuhan Khusus…………………………………….
Lampiran 5
Contoh Adaptasi Silabus Pembelajaran…………………………………………………
Lampiran 6
Contoh Adaptasi RPP……………………………………………………………………….
Lampiran 7
Contoh Program Pembelajaran Individual (PPI)…………………………………………
Lampiran 8
Contoh RKAM yang Inklusif………………………………………………………………..
Lampiran 9
Contoh Instrumen Supervisi Kegiatan Pembelajaran…………………………………….
Lampiran 10
Contoh Instrumen Supervisi Standar Penilaian…………………………………………...
DAFTAR ISTILAH………………………………………………………………………………...
PROFIL PENULIS………………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………….……………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah” merupakan kata bijak
yang disampaikan oleh Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Kata-kata
tersebut sarat dengan makna bahwa kita hendaknya dapat memastikan pendidikan
dapat dirasakan oleh semua orang tanpa hambatan.
Di dalam keluarga, pengasuhan seorang ibu adalah yang utama. Sebagaimana
kalimat: “Al-ummu madrasat al-ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyib al-a’raq.”
Maknanya: ibu adalah sekolah utama [bagi putera-puterinya], bilamana engkau
mempersiapkannya [dengan baik sejak dini], maka engkau telah mempersiapkan
generasi terbaik.
Ungkapan di atas sejalan dengan pernyataan Undang-Undang Dasar 1945 terkait
dengan hak pendidikan bagi setiap warga negara Indonesia. Dibutuhkan komitmen
dan strategi yang tepat untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia melalui
pendidikan.
Bayhaqi berbunyi:
Sementara yang dimaksud ayat 5 di atas yaitu pembesar-pembesar Quraisy
yang sedang dihadapi Rasulullah S.A.W. yang diharapkannya dapat masuk
Islam.
Menuntut ilmu pengetahuan merupakan kewajiban seluruh kaum muslim, tanpa
pandang usia dan jenis kelamin.
b. Landasan Filosofis
Islam dikenal sebagai agama “agama buku”, al-Qur’an juga menyebut dirinya
buku (kitab). Literasi sangat ditekankan, bahkan merupakan kata pertama yang
diucapkan Malaikat Jibril pada sekitar 610 M kepada Nabi Muhammad adalah
iqra’!. Menurut Al-Attas (1979), pendidikan Islam didasarkan pada basis ontologis
bahwa dunia itu sendiri tanpa nilai (valueless). Al-Qur’an memberi perspektif
normatif sedangkan Sunnah Nabi Muhammad SAW melalui pola dan model
menerapkan Islam rahmatan li al-‘alamin dalam membaca dan mengelola
kehidupan dunia yang sarat dengan godaan setan. Untuk itu, tumbuh kembang
anak memerlukan pendidikan, pelatihan, dan pembiasaan terus menerus, sejak
dalam kandungan hingga ke liang lahat.
Dalam Islam, Al-Attas (1979) dan Gulen (1989) menyebut, pendidikan ditujukan
untuk mengembangkan tiga dimensi individu dalam diri manusia, dimensi pikir
(aqliah), dimensi dzikir (qalb) dan dimensi tubuh (jasadiah). Pembelajaran bukan
hanya berupa transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi agar anak
didik memiliki kekuatan kepribadian dan moralitas yang baik (al-akhlak al-
karimah).
Tantangan yang dihadapi pendidikan Islam bukan hanya dunia modern dan
wajah ilmu pengetahuan yang sekuler, tetapi juga bagaimana madrasah
menghasilkan alumni setara dengan mutu alumni Timur Tengah guna mencapai
abad keemasan Islam (De Bellaigue, 2017). Oleh karena itu, Subhan (2013)
menulis bahwa sejak 1976 madrasah di bawah Kementerian Agama
mengajarkan ilmu agama dengan ilmu non agama, meracik antara dimensi iman
(faith) dengan akal (reason). Apa yang disebut “rational sciences” (al-‘ulum al-
‘aqliyya) atau “the sciences of the ancient” (al-‘ulum al-awa’il atau al-’ulum al-
qadimiyyah) juga diajarkan di madrasah. Ilmu ini terdiri dari tujuh pelajaran
penting: 1) logic (al-mantiq) yang menjadi dasar semua ilmu; 2) arithmetic (al-
arithmatiqi) yang di dalamnya terkandung accounting (hisab); 3) geometry (al-
handasa); 4) astronomy (al-hay’a); 5) music (al-musiki) yang membahas nada,
intonasi dan definisi angka, dll; 6) “the natural sciences” (al-tabi‘iyyat) which was
concerned with the theory of bodies at rest and in motion — human, animal,
plant, mineral and heavenly, important subdivisions of which were medicine (al-
tibb) and agriculture (al-falaha); and 7) metaphysic (‘ilm al-ilahiyyat) (Masood:
2009). Meski variasi pendidikan agama di Indonesia tinggi, umumnya madrasah
(diniyah, sekolah umum berciri keagamaan) di samping mengajarkan ilmu
agama juga mengajarkan ilmu umum seperti ilmu pengetahuan alam dan ilmu
pengetahuan sosial.
c. Landasan Empiris
Sejarah mencatat, madrasah pertama kali berdiri di Sumatra, adalah Madrasah
Adabiyah yang didirikan oleh Abdullah Ahmad pada tahun 1908. Pada jaman
penjajahan Belanda madrasah didirikan untuk semua warga masyarakat tanpa
kecuali, terutama mereka yang tidak bisa masuk Sekolah Rakyat atau Sekolah
Belanda. (https://amirsunankalijogo.wordpress.com/2011/06/18/sejarah-
madrasah-di-indonesia/).
Penyelenggaraan pendidikan inklusif di madrasah di bawah Kementerian Agama
berlangsung sejak 2008, namun baru pada 2013, Kementerian Agama memulai
mengembangkan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di madrasah.
Pada 2015-2016 tercatat 22 madrasah dari provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Banten yang ditetapkan
sebagai penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Dari madrasah–madrasah yang ditunjuk sebagai penyelenggara pendidikan
inklusif diperoleh data bahwa terdapat peserta didik berkebutuhan khusus, baik
yang masuk sebelum adanya penunjukan sebagai madrasah piloting maupun
yang mendaftarkan diri setelah adanya penunjukan.
Madrasah memiliki pengalaman praktis bagaimana menyelenggarakan
pendidikan inklusi. Bersambut dengan pengalaman tersebut maka kemudian
muncul dorongan baik dari internal Kementerian Agama maupun dari pihak luar
agar Kementerian Agama dapat melakukan perluasan program penyelenggaraan
pendidikan inklusif di madrasah, sebab faktanya keberadaan peserta didik
berkebutuhan khusus (PDBK) itu tidak hanya terdapat di 22 madrasah yang
menjadi piloting saja, namun di madrasah–madrasah lainnya juga ada yang
sudah menerima PDBK. Sebagai contoh MTs Negeri 19 Jakarta, di mana sejak
tahun 2015 mereka telah menerima PDBK dengan hambatan penglihatan dan
hambatan gerak. Dengan segala keterbatasan pengetahuan tentang PBDK para
guru berupaya untuk memberikan pelayanan terbaik kepada peserta didiknya
yang berkebutuhan khusus dan hingga saat ini (tahun ajaran 2017) MTs Negeri
19 Jakarta total telah menerima 6 peserta didik berkebutuhan khusus dengan
rincian, hambatan penglihatan 3 peserta didik, hambatan gerak 2 peserta didik
dan 1 peserta didik dengan hambatan intelektual.
Tanggungjawab atas kepercayaan dari masyarakat yang telah mendaftarkan
putra-putrinya yang memiliki kebutuhan khusus diakui kepala MTs Negeri 19
Jakarta sebagai alasan utama mereka menyelenggarakan pendidikan secara
inklusif, untuk mengupayakan peningkatan layanan kepada peserta didiknya
yang berkebutuhan khusus MTs Negeri 19 Jakarta bekerjasama dengan
lembaga professional untuk meningkatkan kapasitas para guru, salah satunya
dengan mengadakan diklat mandiri untuk penulisan braile.
d. Landasan Yuridis
International
1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human Rights);
2. Konvensi Hak Anak 1989 (Convention on the rights of the Child);
3. Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (Education for All)-
Jomtien, Thailand, 1990;
4. Resolusi PBB Nomor 48/96 tahun 1993: Peraturan Standar tentang
Persamaan Kesempatan bagi Penyandang Disabilitas;
5. Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education
(UNESCO), Spanyol, 1994;
6. Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (Resolusi PBB 61/106, 13
Desember 2006);
7. Konvensi International tentang Hak-Hak Asasi Penyandang Disabilitas yang
telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2011 (UNCRPD);
8. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s), Tujuan nomor 4;
Nasional
9. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
10. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional;
11. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlidungan Anak;
12. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan;
14. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang Standar
Nasional Pendidikan;
15. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30 Tahun 2006 tentang Pedoman
Teknis Fasilitas dan Akseibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan;
16. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki
Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa;
17. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor
6 Tahun 2015 tentang Sistem Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak;
18. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementrian Agama sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 16 Tahun 2015;
19. Peraturan Menteri Agama Nomor 90 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Madrasah sebagaimana telah diubah dengan PMA Nomor 60
Tahun 2015;
20. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 3211 Tahun
2016 tentang Penetapan 22 Madrasah Inklusif;
21. Surat Edaran Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud no
1040/D6/KR/2017 tanggal 20 Februari 2017 tentang Hal Penilaian Hasil
Belajar Bagi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus;
22. Surat Edaran Dirjen Pendidikan Dasar dan Menegah Kemendikbud No.
2951/D.D6/HK/2017 Tanggal 2 Mei 2017 tentang Hal Izajah bagi Peserta
Didik Berkebutuhan Khusus di Satuan Pendidikan Umum.
C. Ruang Lingkup
Panduan ini merupakan acuan dalam pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan
inklusif di madrasah dari mulai tingkat RA s/d MA.
Sebagai bagian dari institusi pendidikan madrasah penyelenggara pendidikan
inklusif harus mampu mengakomodasi keberagaman peserta didik dengan
memberikan layanan pembelajaran berdasarkan pada kebutuhan peserta didik.
Dengan demikian madrasah merupakan bagian alat bagi pemerintah untuk
menjamin pemenuhan hak dasar pendidikan bagi semua, melalui penyediaan
layanan dan data yang akurat khususnya PDBK.
D. Sasaran
Sasaran dari hadirnya panduan madrasah penyelenggara pendidikan inklusif ini
adalah:
1. Pejabat pengambil kebijakan di Kementerian Agama Pusat, Kantor Wilayah
Kementerian Agama Propinsi dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota
2. Seluruh penyelenggara pendidikan madrasah dari tingkat RA (PAUD), MI, MTs
(Menengah), MA/K (Tingkat Atas), baik pemerintah maupun masyarakat.
3. Seluruh kepala madrasah dari tingkat RA (PAUD), MI, MTs (Menengah), MA/K
(Tingkat Atas), sebagai satuan pendidikan.
4. Guru dan Tenaga Kependidikan di Madrasah dari tingkat RA (PAUD), MI, MTs
(Menengah), MA/K (Tingkat Atas).
5. Orang tua/wali.
6. Komite Madrasah;
7. Pengawas Madrasah;
8. Ulama dan tokoh masyarakat.
9. Masyarakat.
BAB II
PENDIDIKAN INKLUSIF DAN KEBERAGAMAN PESERTA DIDIK
Pendidikan inklusif di suatu negara dibangun oleh 3 (tiga) pilar yang saling
mempengaruhi satu dengan yang lain, yaitu: (1) budaya; (2) kebijakan; (3)
praktik.
(2) (3)
(1)
Budaya pendidikan inklusif di Indonesia dikenal melalui semboyan ‘Bhinneka
Tunggal Ika’ yang memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Semboyan
ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang telah lama mengenal dan
menjunjung tinggi nilai-nilai inklusifitas. Budaya inklusif yang telah terbangun,
saat ini semakin diperkuat dengan produk kebijakan yang mendukung
terselenggaranya pendidikan inklusif yang dimulai dari tingkat sekolah,
masyarakat, lokal (kabupaten/kota dan provinsi) hingga nasional. Namun,
budaya dan kebijakan-kebijakan yang telah terbangun masih menyisakan
pekerjaan rumah. Yaitu bagaimana semua pihak terutama pendidika dan tenaga
kependidikan dapat memastikan bahwa praktik pembelajaran pada madrasah
sebagai satuan pendidikan itu melibatkan peran keluarga, sejalan dengan
budaya masyarakat setempat dan kebijakan pendidikan inklusif yang ada.
Kebutuhan
khusus yang
berasal dari diri
sendiri
PDBK
Peserta
Didik
(PD) Berdasarkan
Sifat
Non
PDBK
Permanen Temporer
Dari skema di atas dapat dijelaskan bahwa, berdasarkan sifatnya, kebutuhan
khusus dibagi menjadi (1) kebutuhan khusus permanen dan (2) kebutuhan khusus
sementara/temporer. Kebutuhan khusus permanen adalah kebutuhan yang melekat
dan terus ada pada peserta didik, misalnya peserta didik dengan hambatan
pendengaran akan kesulitan dalam berkomunikasi. Namun kebutuhan khususnya
akan teratasi pada saat ia dan lingkungan sekitarnya dapat menggunakan media
komunikasi nonverbal, bahasa isyaratan, dan media komunikasi tulisan. Kebutuhan
khusus yang bersifat temporer, yaitu peserta didik yang memiliki hambatan belajar
tertentu di dalam kelas, misalnya peserta didik mengalami hambatan membaca
karena peserta didik tersebut belum memahami bahasa atau huruf yang digunakan.
Contoh, peserta didik baru kelas 1 Sekolah Dasar yang berkomunikasi sehari-hari
menggunakan bahasa Sunda atau Jawa atau bahasa daerah lainnya selama
mereka berada di rumah, namun saat ia belajar di sekolah terutama ketika belajar
membaca permulaan, mengunakan bahasa Indonesia. Keadaan seperti itu dapat
menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca permulaan dalam
bahasa Indonesia bagi peserta didik tersebut. Oleh karena itu, ia memerlukan
layanan pendidikan yang disesuaikan sehingga kebutuhan khususnya dapat
diminimalisasi atau bahkan dihilangkan. Apabila hambatan belajar membaca akibat
alasan di atas tidak mendapatkan bantuan yang tepat maka ada kemungkinan
peserta didik tersebut akan menjadi peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus
permanen.
Dilihat dari penyebabnya, kebutuhan khusus dapat dibagi dua: yakni (1) kebutuhan
khusus yang berasal dari internal/diri sendiri dan (2) kebutuhan khusus akibat dari
eksternal/lingkungan. Salah satu penyebab munculnya kebutuhan khusus dari diri
sendiri adalah disabilitas. Sedangkan kebutuhan khusus yang berasal dari
lingkungan, misalnya, anak mengalami kesulitan belajar karena tidak dapat
konsentrasi dengan baik. Salah satu penyebabnya misalnya suasana tempat belajar
yang tidak nyaman.
Selain itu, kebutuhan khusus dapat pula dibedakan menjadi (1) kebutuhan khusus
umum; kebutuhan khusus yang secara umum dapat terjadi pada siapapun,
misalnya, karena lapar menyebabkan peserta didik tidak dapat berkonsentrasi; (2)
kebutuhan khusus individu, kebutuhan yang sangat khas yang dimiliki oleh masing-
masing peserta didik, misalnya seseorang tidak dapat belajar tanpa sambil
mendengarkan musik; dan (3) kebutuhan khusus kekecualian, kebutuhan khusus
kekecualian adalah kebutuhan khusus yang ada akibat disabilitas, misalnya
kebutuhan membaca dengan menggunakan huruf braille bagi peserta didik dengan
hambatan penglihatan.
BAB III
MADRASAH PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF
Peserta didik
lainnya
Identifikasi
PDBK
Asesmen
Profil Peserta
Didik
Program
Asesmen
a. Pengertian
Asesmen pendidikan adalah usaha atau proses untuk mendapatkan informasi
mengenai kelebihan, kekurangan, dan kebutuhan peserta didik dengan
berbagai alat dan teknik.
b. Manfaat asesmen
1) Penentuan (determining eligibility).
2) Perencanaan pembelajaran (program planning).
3) Memonitor kemajuan peserta didik (monitoring student programme).
4) Evaluasi program (evaluation of program).
Nama : ………………………
Usia : …………………….
Jenis kelamin : ……………………..
Kelas : …………………….
B. Hasil Asesmen
1. Faktor akademik
Mampu membaca gambar bangun datar
Mampu menghitung perkalian dan pembagian dengan baik
Sering menghilangkan kata pada saat menjawab soal cerita
Tulisan sulit dibaca
Ada kemauan untuk belajar
Kemampuan diatas rata-rata (IQ: 103)
2. Faktor kemandirian
Bangun tidur masih dibangunkan
Makan masih sering disuapi
Menyiapkan kebutuhan sekolah masih perlu dibantu
Senang bermain dengan teman
Bila ada PR anak mau mengerjakan, namun harus selalu dibantu.
3. Faktor kesehatan
Kelahiran normal, jarang sakit
Kebersihan diri cukup, tidak berkaca mata
5. Faktor keluarga
Tinggal bersama orang tua, kakek, nenek, 2 (dua) bersaudara
dalam satu rumah.
Ayahnya bekerja di kontraktor.
Orang tua sangat peduli dan perhatian terhadap perkembangan
anak
C. Analisa Hasil Asesmen
1. Masalah belajar yang dihadapi: selalu ada kata yang tertinggal saat
menulis kalimat.
2. Penyebab masalah belajar yang dihadapi: kesalahan persepsi
3. Rekomendasi pembelajaran: melakukan adaptasi pada media dan
strategi pembelajaran.
B. Akomodasi yang layak dan Aksesibilitas bagi Peserta Didik Dengan Disabilitas
1. Manajemen Kelas
Akomodasi yang layak dan aksesibilitas yang dapat diberikan oleh madrasah
berdasarkan hasil identifikasi dan asesmen pesert didik dengan disiblitas.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,
akomodasi yang layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan
diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi
manusia dan kebebasan fundamental untuk penyandang disabilitas berdasarkan
kesetaraan sedangkan aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk
penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan.
Jalan
Jalan menuju sekolah memiliki lebar minimal 1,6 m untuk memudahkan
pengguna jalan dari kedua arah yang berbeda dilengkapi dengan kelandaian
(curb cuts) di setiap ujung jalan dan pemandu jalur taktil (guiding block)
atau disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik.
Jalur taktil
Halaman Madrasah
Halaman madrasah dengan pintu pagar yang mudah dibuka dan ringan,
jembatan sekolah yang tertutup tanpa lubang-lubang di tengah, lantai yang
rata atau dilengkapi dengan kelandaian.
Pintu
semua ruangan menggunakan pintu dengan ukuran lebar bukaan minimal
80cm, dengan pegangan tidak berbentuk bulat dan mudah dijangkau.khusus
untuk pintu toilet sebaiknya menggunakan pintu geser.
Perpustakaan
Ruang perpustakaan dengan ketinggian rak buku yang mudah dijangkau oleh
seluruh peserta didik.
https://www.google.co.id/search?q=
Laboratorium
Laboratorium dengan ketinggian rak peralatan yang mudah dijangkau oleh
semua peserta didik, penempatan zat-zat kimia yang berbahaya diletakan
pada tempat yang aman.
Arena Olahraga
Arena Olah raga harus rata, tidak ada lubang serta genangan air.
Arena Bermain
Arena bermain dan taman sekolah, lapangan yang rata, letak pohon yang
tidak mengganggu anak untuk gerak, di sekeliling tiang bendera harus ada
pembatas.
Ruang UKS
Ruang UKS, lantai yang rata dan tidak licin, penempatan peralatan yang
mudah dijangkau.
,
Toilet
Letak tombol penyiram air, letak kloset, ketinggian bak pencuci tangan (max:
85 Cm, letak kran air mudah dijangkau oleh semua peserta didik (kran air
diupayakan menggunakan system pengungkit/tidak diputar).
Tangga
Kemiringan tangga tidak curam kurang dari 600 , memiliki pijakan yang sama
besar serta memiliki pegangan dikedua sisi, terdapat petunjuk taktil yang
berwarna terang di mulut tangga.
Contoh tangga dengan kemiringan kurang dari 600
http://yogya.antaranews.com/berita/327751/
Penyebrangan jalan
Penyebrangan jalan menuju sekolah, sebaiknya dapat mengeluarkan suara
atau disesuaikan dengan kebutuhan dan menggunakan rambu-rambu yang
jelas guna membantu peserta didik dengan hambatan pendengaran.
https://news.detik.com/jawabarat/2761043
Wastafel
Ketinggian wastafle disesuaikan dengan pengguna kursi roda (max: 85 Cm)
Menggunakan kran dengan sistem pengungkit
Ruang Sumber
Pintu harus terbuka keluar dan mudah dibuka dan ditutup untuk pengguna
kursi roda
Material pintu ringan
Arah bukaan pintu keluar
Tinggi handle pintu max 90Cm
Handle pintu tidak berbentuk bulat
Ruangan harus mudah diakses oleh pengguna kursi roda
Lantai datar/tidak berundak
Lebar pintu min 90Cm
b) Model modifikasi
Modifikasi artinya merubah untuk disesuaikan. Modifikasi kurikulum bagi
peserta didik berkebutuhan khusus dikembangkan dengan cara merubah
kurikulum standar nasional yang berlaku bagi peserta didik lainnya untuk
disesuaikan dengan kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus.
Dengan demikian, peserta didik berkebutuhan khusus menjalani kurikulum
yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Modifikasi terjadi pada
empat komponen utama pembelajaran, yaitu: tujuan, materi, proses, dan
evaluasi.
c) Model substitusi
Substitusi berarti mengganti. Substitusi kurikulum bagi peserta didik
berkebutuhan khusus berarti mengganti isi kurikulum standar nasional
dengan materi yang lain. Penggantian dilakukan karena isi kurikulum nasional
tidak memungkinkan diberlakukan kepada anak berkebutuhan khusus, tetapi
masih bisa diganti dengan hal lain yang kurang lebih sepadan (memiliki nilai
sama). Substitusi bisa terjadi pada tujuan pembelajaran, materi, proses, atau
evaluasi.
d) Model omisi
Omisi artinya menghilangkan. Model kurikulum omisi berarti menghilangkan
sebagian/keseluruhan isi kurikulum standar nasional karena tidak mungkin
diberikan kepada peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan kata lain omisi
berarti isi sebagian/keseluruhan kurikulum standar nasional tidak diberikan
kepada peserta didik berkebutuhan khusus karena terlalu sulit/tidak sesuai.
Penilaian
Penilaian hasil belajar bagi peserta didik berkebutuhan khusus perlu adanya
penyesuaian dengan jenis hambatan peserta didik. Penyesuaian tersebut meliputi:
a) Penyesuaian waktu
Penyesuaian waktu adalah penambahan waktu yang dibutuhkan oleh peserta
didik berkebutuhan khusus dalam mengerjakan ulangan, ujian, tes, dan tugas
lain yang berhubungan dengan penilaian hasil belajar. Contohnya peserta didik
dengan hambatan penglihatan memerlukan waktu lebih lama dalam
mengerjakan ujian, baik dibacakan oleh orang lain maupun dengan membaca
sendiri dengan menggunakan huruf braile. Bagi peserta didik dengan hambatan
motorik tangan akan memerlukan waktu yang lebih lama ketika menuliskan
jawaban sebuah tes.
b) Penyesuaian cara
Penyesuaian cara adalah pesnyesuaian cara yang dilakukan oleh pendidik
dalam memberikan ulangan, ujian, tes, dan tugas lain yang berhubungan dengan
penilaian hasil belajar bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Contohnya
peserta didik dengan hambatan motorik tangan, hampir tidak mungkin
mengerjakan soal-soal ujian yang jawabannya diminta secara tertulis, maka ujian
dapat dilakukan secara lisan. Bagi peserta didik hambatan pendengaran,
penilaian keterampilan mendengarkan dapat dikompensasikan dengan
keterampilan membaca.
c) Penyesuaian isi
Penyesuaian isi adalah penyesuaian tingkat kesulitan bahan dan penggunaan
Bahasa dalam butir soal yang dilakukan oleh pendidik dalam memberikan
ulangan, ujian, tes, dan tugas lain yang berhubungan dengan penilaian hasil
belajar bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Contohnya peserta didik autis
yang low function, sangat sulit untuk mengikuti pelajaran yang tingkat
kesulitannya sama seperti anak lainnya pada tingkat kelas yang sama. Oleh
karena itu tingkat kesulitan materi ujian disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing peserta didik.
Pengukuran capaian kompetensi hasil belajar peserta didik melalui Ujian Nasional
(UN), Ujian Akhir Madrasah Berstandar Nasional (UAMBN), Ujian Sekolah
Berstandar Nasional (USBN), dan Ujian Madrasah pada madrasah inklusif sebagai
berikut :
1. Pada dasarnya penilaian hasil belajar bagi peserta didik berkebutuhan khusus
yang menempuh pendidikan di madrasah inklusif mengikuti ketentuan yang
berlaku di MI, MTs, dan MA/MAK.
2. Peserta didik berkebutuhan khusus MTs dan MA/MAK dapat mengikuti UN,
UAMBN, dan USBN sesuai ketentuan yang berlaku pada madrasah.
3. Peserta didik berkebutuhan khusus MTs dan MA/MAK yang tidak mengikuti UN,
UAMBN, dan USBN wajib mengikuti UM dengan naskah soal yang dimodifikasi.
4. Peserta didik berkebutuhan khusus MA/MAK yang mengikuti UN diutamakan
bagi peserta didik yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi (Permendikbud
Nomor 3 Tahun 2017 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pemerintah dan
Penilaian Hasil belajar oleh Satuan Pendidikan pasal 6 dan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Nomor 1040/D6/KR/2017 tanggal 20 Februari 2017 hal
Penilaian Hasil Belajar Bagi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus).
Pendidik
(Guru)
Tenaga
Peserta Kependidikan
Didik (PDBK (Kepala
dan Non- Madrasah ,
PDBK) Pengawas, TU
Madrasah dsb)
yang
Inklusif
Orangtua Komite
Madrasah
e) Komite Madrasah
Memberikan masukan guna meningkatkan mutu pendidikan madrasah ;
Membantu madrasah dalam penyediaan sarana dan prasarana serta
layanan pendukung pembelajaran.
Organisa Masyarakat/
si Madrasah DUDI (dunia
yang usaha dan
Masayar Inklusif dunia
akat Sipil indrustri)
Pemer Profesi
intah onal
Pusat
Sumber
a) Pusat Sumber
Memberikan konsultasi dan layanan pendukung bagi madrasah
penyelenggara pendidikan inklusif;
Melakukan pelatihan dan pendampingan bagi guru dan warga madrasah
lainnya di madrasah penyelenggara pendidikan inklusif;
Menjadi sumber belajar.
e) Pemerintah
Menentukan standar pelayanan minimal
Mengambil kebijakan
Melakukan pembiayaan
Menerbitkan pedoman dan panduan
Memberikan pelatihan dan sosialisasi
Melakukan monitoring dan evaluasi
Mengggunakan data pelaksanaan pendidikan inklusif di madrasah
sebagai dasar pengambilan keputusan.
g) Badan Internasional
Advokasi kebijakan
Peningkatan kapasitas sumber daya manusia
Kampanye publik
Pertukaran pengetahuan
Penelitian dan pengembangan
BAB IV
PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN EVALUASI MADRASAH PENYELENGGARA
PENDIDIKAN INKLUSIF
A. Prosedural Standard Pembinaan, Pengawasan, dan Evaluasi oleh Kepala Madrasah
Perencanaan
Tindakan Perbaikan
Pelaksanaan
Umpan
Balik Monitoring
dan Evaluasi
PROGRAM
PENGAWASAN
PENGAWAS
LAPORAN MADRASAH PEMBINAAN
EVALUASI PEMANTAUAN
ANALISIS HASIL
PENGAWASAN
Pengawas adalah guru pegawai negeri sipil yang diangkat dalam jabatan pengawas
madrasah (PP 74 tahun 2008). Pengawasan adalah kegiatan pengawas madrasah
dalam menyusun program pengawasan, melaksanakan program pengawasan,
evaluasi hasil pelaksanaan program, dan melaksanakan pembimbingan dan
pelatihan profesional guru.
Pengawas memiliki peran yang signifikan dan strategis dalam proses dan hasil
pendidikan yang bermutu di madrasah. Dalam konteks ini peran pengawas
madrasah meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan dan tindak lanjut
pengawas yang harus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan (PP 19
Tahun 2005, pasal 55). Peran pengawas setidaknya sebagai teladan bagi madrasah
dan sebagai rekan kerja yang serasi dengan pihak madrasah dalam memajukan
madrasah binaannya.
Selanjutnya menurut Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Pasal 15 ayat (4)
beban kerja guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan adalah
melakukan tugas pembimbingan dan pelatihan profesional guru dan tugas
pengawasan, yang meliputi pengawasan akademik dan manajerial. Tugas
pengawasan pengawasan akademik pengawas madrasah melakukan pembinaan,
pemantauan dan penilaian pada guru agar dapat meningkatkan kualitas proses
pembelajarannya, sedangkan dalam tugas pengawasan manajerial pengawas
madrasah melakukan pembinanaan, pemantauan dan penilaian kepala madrasah
agar dapat mempertinggi kualitas administrasi dan pengelolaan madrasah untuk
terciptanya madrasah yang efektif. Hal ini menunjukkan bahwa pengawas madrasah
memiliki peran yang penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan di madrasah,
khususnya dalam melaksanakan kegiatan supervisi akademik yang
berkaitan dengan peningkatan proses pembelajaran, sebagimana bunyi salah satu
tulisan dari Asosiasi Supervisi dan Pengembangan Kurikulum di Amerika yang
menyebutkan bahwa:
“Almost all writers agree that the primary focus in educational supervision is and
should be the improvement of teaching and learning. The term instructional
supervision is widely used in the literature of embody all effort to those ends. Some
writers use the term instructional supervision synonymously with general
supervision.”
1. Kerangka dasar
Kerangka dasar adalah ide-ide bagaimana mengembangkan pendidikan inklusif
di madrasah. Ide-ide yang dimaksud adalah “
a. Inklusifitas (inclusion)
b. Hambatan-hambatan terhadap pembelajaran dan partipasi (barries to
learning and participation)
c. Sumber-sumber daya yang mendukung pembelajaran dan partisipasi
(resources to support learning and participation)
d. Dukungan untuk keberagaman Peserta Didik (Support for Diversity)
2. Tinjauan kerangka kerja
Tinjauan kerangka kerja dijabarkan menjadi 3 dimensi pokok yaitu :
a. Menciptakan budaya inklusif
b. Membuat kebijakan inklusif
c. Membangun praktik inklusif
Ketiga dimensi tersebut kemudian dijabarkan ke dalam sub- sub dimensi
sebagaimana tabel berikut :
Dimensi Sub-dimensi
A.Menciptakan Budaya A.1.Membangun Komunitas
Inklusif
A.2. Membangun nilai-nilai inklusi
B. Membuat Kebijakan B.1.Mengembangkan sekolah untuk semua
Inklusif
B.2.Mengorganisasikan berbagai bentuk
dukungan atas keberagaman
3. Telaah Material
Proses telaah material adalah perumusan indikator dan pertanyaan yang
dikembangkan berdasarkan tiga dimensi yaitu dimensi budaya, kebijakan dan
praktik inklusifitas. Hal ini dimaksudkan untuk membantu madrasah agar dapat
memahami kondisi inklusifitas pada semua aspek di madrasah. Dan proses
telaah ini dapat mengidentifikasi prioritas pengembangan madrasah karena
perumusan indikator dan pertanyaan disesuaikan dengan kondisi madrasah.
Contoh proses telaah terampir.
4. Proses indeks
Tahap 1
Memulai Indeks
Tahap 2
Menyelidiki Kondisi
Madrasah
Tahap 5 Tahap 3
Membuat rencana
Telaah Proses Indeks
pengembangan Madrasah
inklusif
Tahap 4
Melaksanakan rencana
prioritas
Proses memulai indeks diawali dengan menyiapkan seluruh instrumen yang
akan digunakan untuk menyelidiki madrasah yang akan diniliai. Instrumen yang
disiapkan adalah daftar indikator yang dilengkapi dengan interval nilai.
(terlampir). Penilai menyiapkan daftar pertanyaan kepada responden untuk
menentukan nilai pada setiap indikator tersebut.
Ket : Nilai perolehan adalah jumlah nilai pencapaain dari semua responden
Nilai maksimal adalah jumlah nilai tertinggi semua respoden
Panduan ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan menumbuhkan inovasi
ditingkat madrasah dalam upaya memberikan layanan pendidikan yang berkualitas
kepada setiap peserta didik tanpa terkecuali sesuai dengan prisip-prinsip inklusifitas
yang menempatkan kehadiran bersama, pemerimaan, partisipasi dan capaian sebagai
acuan.
DAFTAR PUSTAKA
Ainscow, Mel and Miles, Susie, Developing Inclusive Education Systems: How Can We
Move Policies Forward. UK: University of Manchester, UK, 2009
Tim Penyusun, Al-Qur’an dan terjemahnya. Jakarta: Kementerian Agama RI, 1999
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, edited Mika'il al-Almany, 2009
Association for Supervision and Curriculum Development-ASCD, 1987
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah:
Hodder & Stoughton, King Abdul Aziz University, 1979
Danim, Sudarwan. Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: Pustaka Setia, 2002
Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (Education for All)- Jomtien,
Thailand, 1990;
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human Rights);
De Bellaigue, Christopher, The Islamic Enlightenment: The Modern Struggle Between
Faith and Reason. London: Pinguin, 2017
Tim Penyusun, Pengembangan Kurikulum dan Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi:
Sosialisais KSPBK. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2003
Friend, M. & W. D. Bursuck. Including Students with Special Needs. Boston: Pearson,
2006
Hersey, P., & Blanchard, K. Management of organizational behavior: Utilizing human
resources (4th ed.). Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1982
Indrafachrudi, Soekarto, Bagaimana Memimpin Sekolah Yang Efektif. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2006
Konvensi Hak Anak 1989 (Convention on the rights of the Child);
Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (Resolusi PBB 61/106, 13 Desember 2006);
Konvensi International tentang Hak-Hak Asasi Penyandang Disabilitas yang telah
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2011 (UNCRPD);
Masood, Ehsan, Science and Islam: A History (London: Icon Books, 2009)
Mercer, Neil. The Guided Construction of Knowledge: talk amongst teachers and
learners. Clevedon: Multilingual Matters, 1995
Mulyasa, H. E. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: Remaja Rosda karya,
2007
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
terutama Pasal 55
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun
2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang Standar Nasional
Pendidikan;
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan;
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis
Fasilitas dan Akseibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan;
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan
Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi
Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa;
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 6 Tahun
2015 tentang Sistem Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;
Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementrian Agama sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Agama Nomor 16 Tahun 2015;
Peraturan Menteri Agama Nomor 90 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan
Madrasah sebagaimana telah diubah dengan PMA Nomor 60 Tahun 2015;
Permendikbud Nomor 3 Tahun 2017 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pemerintah
dan Penilaian Hasil belajar oleh Satuan Pendidikan pasal 6
Permendikbud No. 14 Tahun 2017 tentang Ijazah dan Sertifikat Hasil Ujian Nasional
pasal 4
Resolusi PBB Nomor 48/96 tahun 1993: Peraturan Standar tentang Persamaan
Kesempatan bagi Penyandang Disabilitas;
Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education
(UNESCO), Spanyol, 1994;
Sahertian, Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Aneka Cipta, 2004
Subhan, Arief, Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Abad Ke-20: Pergumulan
Antara Modernisasi dan Identitas (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2009)
Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1040/D6/KR/2017 tanggal 20 Februari
2017 hal Penilaian Hasil Belajar Bagi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor
2951/D.D6/HK/2017 tanggal 2 Mei 2017 hal Ijazah Bagi Peserta Didik
Berkebutuhan Khusus di Satuan Pendidikan Umum
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 3211 Tahun 2016 tentang
Penetapan 22 Madrasah Inklusif;
Surat Edaran Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud no
1040/D6/KR/2017 tanggal 20 Februari 2017 tentang Hal Penilaian Hasil
Belajar Bagi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus;
Surat Edaran Dirjen Pendidikan Dasar dan Menegah Kemendikbud No.
2951/D.D6/HK/2017 Tanggal 2 Mei 2017 tentang Hal Izajah bagi Peserta
Didik Berkebutuhan Khusus di Satuan Pendidikan Umum.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s), Tujuan nomor 4
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlidungan Anak;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Wahjosumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007
Weihrich, H & Koontz, H, Management: A Global Perspective. 11th edn. Singapore:
McGraw Hill, 2005