Anda di halaman 1dari 48

A.

Tinjauan Umum Tindak Pidana

Istilah “tindak pidana” pada hakikatnya berasal dari istilah dalam bahasa

Belanda, yaitu “strafbaar feit.” Meskipun istilah ini terdapat dalam Wetboek van

Strafrecht (WvS) Belanda juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada

penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud strafbaar feit. Oleh karena itu para ahli

hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah tersebut, yang sampai saat ini

belum ada keseragaman pendapat.

Istilah-istilah yang pernah dipergunakan baik dalam peraturan perundang-

undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari

istilah strafbaar feit, adalah : 1

1. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-


undangan pidana Indonesia, dalam hampir seluruh peraturan perundang-
undangan menggunakan istilah tindak pidana;
2. Peristiwa pidana;
3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga digunakan
untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit;
4. Pelanggaran pidana;
5. Perbuatan yang boleh dihukum;
6. Perbuatan yang dapat dihukum;
7. Perbuatan pidana.

Istilah “delik” secara harfiah sebenarnya tidak ada kaitannya dengan istilah

strafbaar feit, karena istilah ini berasal dari kata delictum (bahasa Latin) yang juga

dipergunakan dalam perbendaharaan hukum Belanda: delict; namun isi pengertiannya

tidak ada perbedaan prinsip dengan istilah strafbaar feit.

Secara harfiah, istilah “perbuatan” lebih tepat sebagai terjemahan feit, seperti

yang telah lama dikenal dalam perbendaharaan ilmu hukum Indonesia. Misalnya istilah
1
Satochid Kartanegara, tanpa tahun, Hukum Pidana. Kumpulan Kuliah. Bagian Satu, Balai Lektur
Mahasiswa, Jakarta, hlm. 65.
materieele feit atau formeele feit (feiten een formeele omschrijving, untuk rumusan

perbuatan dalam tindak pidana formil). Demikian juga istilah feit dalam banyak

rumusan norma-norma tertentu dalam WvS Belanda dan WvS Hindia Belanda,

misalnya Pasal 1, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 63 dan Pasal 64 KUHP selalu diterjemahkan

oleh para ahli hukum Indonesia dengan “perbuatan,” dan tidak dengan “tindak” atau

“peristiwa” maupun “pelanggaran.”

Menurut Vos seperti dikutip E. Utrecht, 2 suatu peristiwa pidana adalah suatu

kelakuan manusia (menselijke gedraging) yang oleh peraturan perundang-undangan

diberi hukuman; jadi suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan

diancam dengan hukuman. Dalam definisi Vos terlihat anasir-anasir sebagai berikut:

a. Suatu kelakuan manusia , “Tatbestandmassigkeit”.

Makna “tatbestandmassigkeit” merupakan kelakuan yang mencocoki lukisan

(omschrijving) ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan,

maka di situ telah ada delik. Akibat anasir ini ialah peristiwa dan pembuat tidak dapat

dipisahkan yang satu dari yang lain (feit en dader zijn niet van elkaar te scheiden)

b. “Wesenschau.”

Makna “wesenschau”merupakan kelakuan yang mencocoki ketentuan yang

dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka baru merupakan delik

apabila kelakuan itu “dem Wesen nach” yaitu menurut sifatnya cocok dengan

makna/lukisan delik (delictsomschrijving) dari ketentuan yang dirumuskan dalam

undang-undang yang bersangkutan.

2
E. Utrecht, 1986, Hukum Pidana I. Rangkaian Sari Kuliah, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hlm. 251-262.
Dengan demikian, peristiwa pidana merupakan suatu kelakuan manusia yang

oleh peraturan-undangan (Pasal 1 ayat (1) KUHP) dilarang umum dan diancam

dengan hukuman.

Kelakuan yang bersangkutan harus dilarang dan diancam dengan hukuman,

maka tidak semua kelakuan manusia yang melanggar ketertiban hukum adalah suatu

peristiwa pidana. Alasan apakah yang membenarkan atas suatu kelakuan manusia

dijatuhkan suatu hukuman, itulah dijawab oleh teori hukuman yang dianut.

Pengertian istilah “strafbaar feit” adalah suatu kelakuan manusia yang diancam

pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang umumnya dilarang

dengan ancaman pidana. Pompe 3 membedakan pengertian “strafbaar feit” :

a. suatu gambaran teoritis tentang “peristiwa pidana” .


Yaitu suatu pelanggaran kaidah/norma (pelanggaran tatahukum,

normovertreding), yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang diancam atau

harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tatahukum dan menyelamatkan

kesejahteraan umum.

Anasir-anasir peristiwa pidana adalah:

1. Suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan) hukum

(onrechtmatig atau wederrechtelijk);

2. Suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah {aan schuld

(van de overtreder) te wijten};

3. Suatu kelakuan yang dapat dihukum (strafbaar).

b. suatu gambaran menurut hukum positif.


3
Ibid., hlm. 252-253.
Suatu “wettelijk definitie” (definisi menurut undang-undang), tentang “peristiwa

pidana” itu yaitu suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan

sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

Menurut hukum positif, peristiwa itu merupakan peristiwa yang oleh undang-

undang ditentukan sebagai peristiwa yang menyebabkan hukuman. Kata “undang-

undang”, adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Pompe membuat

kesimpulan, menurut hukum positif baik anasir melawan hukum (wederrechtelijkheid)

atau anasir bersalah (schuld) bukan anasir mutlak (noodzakelijke eigenschap) peristiwa

pidana. Selanjutnya Pompe mengatakan, hanya pada rupanya (ogenshijnlijk) saja kedua

gambaran tadi bertentangan.

Teori berpegangan pada asas: tidak dapat dijatuhkan hukuman, bila tidak ada

kelakuan yang bertentangan (melawan) hukum dan yang diadakan karena kesalahan

pembuatnya (“geen straf wordt toegepast, tenzij eraeen wederrechtelijke en aan schuld

te wijten gedraging is”). Hukum positif berpegangan pada asas: tiada kesalahan tanpa

kelakuan yang melawan hukum {“(erbestaat)geen schuld zonder wederrechtelijkheid”}.

Jadi makna teori ini dapat dirumuskan sebagai berikut: tiada hukuman tanpa kesalahan

(“geen straf zonder schuld”). Asas ini menjadi dasar dari baik hukum positif maupun

teori.

J.E. Jonkers 4 memberikan definisi “strafbaar feit”:

1. Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu

kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang;

4
Bambang Poernomo, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 91.
2. Definisi panjang atau lebih mendalam memberi pengertian “strafbaar feit”

adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dengan sengaja

atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Jalan pikiran definisi pendek menyatakan, untuk setiap delik yang dapat

dipidana harus berdasarkan undang-undang yang dibuat pembentuk undang-undang dan

pendapat umum yang tidak dapat menentukan lain dari telah ditentukan oleh undang-

undang. Definisi yang panjang menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan

pertanggungan jawab yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara

tegas dalam setiap delik, atau unsur tersembunyi secara diam-diam dianggap ada. Bila

dirumuskan secara tegas justru dalam membuktikan unsur-unsur delik akan banyak

persoalan, untuk setiap kali harus dibuktikan yang merupakan beban berat bagi

penuntut umum. Di samping itu terhadap kelakuannya (melawan hukum) diancam

dengan pidana, tetapi karena ketiadaan pertanggungjawaban terhadap si pembuatnya

yang melakukan ternyata tidak dapat dikenai pidana.

Hazewinkel-Suringa 5tidak membuat definisi tentang “peristiwa pidana,” tapi

dibuat uraian anasir-anasir peristiwa pidana dan dari uraian tersebut orang dapat

menarik kesimpulan apakah peristiwa pidana itu. Disinggung pula pendapat Van Der

Hoeven, yang menolak dipakainya istilah “strafbaar feit”, karena yang dihukum

bukan peristiwa tetapi pembuat. Van Der Hoeven menganjurkan dipakai istilah

“strafwaardig feit”. “Strafwaardig” adalah sesuatu kelakuan yang seharusnya (patut)

5
E. Utrecht, Loc.Cit.
dihukum, tetapi tidak dapat dihukum karena undang-undang pidana tidak menyebut

sebagai delik (Pasal 1 ayat (1) KUHP).

Dalam definisi Van Hattum 6 ada beberapa anasir penting,Pertama, Van Hattum

menegaskan bahwa peristiwa dan pembuat (yang mengadakan peristiwa) sama sekali

tidak dapat dipisahkan (“dat feit en persoon in het strafrecht onafsheidenlijk zijn”).

Pertimbangan dijatuhkan tidaknya suatu hukuman, tidak boleh dilupakan asas

bahwa seseorang hanya dapat dihukum karena peristiwa (kelakuan) yang ia sendiri

adakan (“een persoon slechts strafbaar kan zijn terzake van een feit, hetwelk hij zelf

heeft begaan”). Seperti dalam turut-serta (deel-neming), jumlah peristiwa pidana adalah

sebanyak jumlah peserta.

Kedua, sering terjadi ada tidaknya suatu kelakuan yang melawan hukum

(wederrechtelijk) barulah dapat diketahui setelah diketahui keadaan di dalamnya

pembuat ditempatkan. Oleh sebab itu juga, maka peristiwa dan pembuat tidak dapat

dipisahkan.

Simons7 membuat definisi “peristiwa pidana” sebagai berikut “peristiwa pidana

itu “eene strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling

van een toerekeningsvatbaar persoon {suatu perbuatan yang (a) oleh hukum diancam

hukuman, (b) bertentangan dengan hukum, (c) dilakukan oleh seorang yang bersalah,

dan (d) orang itu boleh dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya}.”

6
Ibid., hlm 254.
7
Ibid., hlm 255-256.
J.M.van Bemmelen 8 memberi pengertian “perbuatan,” di mana suatu perbuatan

hampir tak pernah hanya terdiri atas satu tingkah laku manusia (bertindak atau

melalaikan), juga beberapa keadaan dalam mana perbuatan itu terjadi, termasuk

perbuatan tersebut. Pengertian “perbuatan” tidak harus mengandung tingkah laku,

aturan pidana dalam menguraikan perbuatan yang dilarang dan yang diancam pidana,

tidak hanya memuat petunjuk tingkah laku dilarang (tindakan delik sebenarnya);

sekaligus beberapa keadaan, dimana tingkah laku itu khusus dilarang. Uraian perbuatan

(tingkah laku dan keadaan yang menyertai), satu jenis tingkah laku, dinamakan uraian

delik.

Isi uraian delik, dibedakan berbagai bagian perbuatan yang diancam pidana.

Yang dalam keseluruhannya harus merupakan uraian delik, disusun secara cermat, jelas

dan lengkap dalam surat dakwaan terhadap perbuatan yang dituduhkan, jika

dikehendaki tuntutan itu akan diadili. Perumusan delik yang mempunyai sejumlah

elemen, di antara para ahli berbeda pendapat. Sebagian pendapat membagi elemen

perumusan delik secara mendasar, pendapat lain membagi elemen perumusan delik

secara terperinci.

Pompe, merumuskan bahwa suatu strafbaar feit sebenarnya tidak lain

daripada suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah

dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”. 9 Vos merumuskan bahwa strafbaar

8
J.M. van Bemmelen, 1984, Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum, Bina Cipta,
Bandung, hlm. 97.
9
P.A.F. Lamintang, 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hlm. 174.
feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-

undangan. 10

R. Tresna menyatakan bahwa sangat sulit merumuskan atau memberi definisi

yang tepat perihal “peristiwa pidana,” namun menarik suatu definisi: “peristiwa pidana

itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan

undang-undang atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap

perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.” Rumusan di muka, tidak

memasukkan unsur atau anasir yang berkaitan dengan pelakunya. Dalam “peristiwa

pidana” itu mempunyai syarat-syarat, yaitu:

1. Harus ada suatu perbuatan manusia;


2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam
ketentuan hukum;
3. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya
harus dapat dipertanggungjawabkan;
4. Perbuatan itu harus belawanan dengan hukum;
5. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam
undang- undang. 11

Syarat-syarat “peristiwa pidana” dalam syarat mana ternyata terdapat syarat

yang telah mengenai diri pelaku, seperti syarat ke-3, jelas syarat itu telah dihubungkan

dengan adanya orang yang berbuat melanggar larangan (peristiwa pidana). Kemampuan

bertanggungjawab melekat pada orangnya dan tidak pada perbuatannya, dilihat dari

sudut pengertian abstrak, artinya memandang tindak pidana tanpa menghubungkan

dengan (adanya) pembuat, atau dapat dipidana pembuatnya. Bertolak dari pandangan

demikian, kemampuan bertanggungjawab bukan menjadi unsur tindak pidana.

10
Martiman Prodjohamidjojo, 1995, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia 1, PT.
Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 16.
11
R. Tresna, 1959, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Tiara, Jakarta, hlm. 27.
Kemampuan bertanggungjawab adalah hal lain dari tindak pidana dalam artian abstrak,

yakni syarat untuk dapat dipidananya pelaku yang terbukti telah melakukan tindak

pidana, atau melanggar larangan berbuat dalam hukum pidana.

Demikian pula syarat ke-2, yakni perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa

yang dilukiskan dalam ketentuan hukum. Ketentuan hukum yang dimaksud adalah

rumusan tindak pidana tertentu dalam peraturan perundang-undangan. Perkataan

“perbuatan,” menunjuk pada kejadian konkrit (oleh seseorang) yang maksudnya,

agar perbuatan itu dapat dipidana harus mencocokkannya terlebih dahulu pada rumusan

dalam undang-undang.

Jika ada persesuaian, orang itu dapat dipidana dan bukan berupa tindak pidana.

Sedangkan kalimat “yang dilukiskan dalam ketentuan hukum” tertentu yang dilarang

oleh undang-undang, adalah rumusan konkrit tentang tindak pidana tertentu; seperti:

Pasal 362 KUHP tentang pencurian, Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, dan

lainnya.

Syarat ke-2, ke-3, dan ke-4 adalah syarat untuk dapat dipidananya

pelaku/pembuat, dan bukan syarat tindak pidana. Hal tersebut berarti bahwa pendapat R.

Tresna yang semula tampak dalam rumusan yang dibuatnya, dengan memisahkan antara

perbuatan dengan orangnya; tetapi kemudian mencampurkan dengan syarat untuk

dipidananya si pembuat (dader) yang disebut sebagai syarat- syarat peristiwa pidana.

Istilah “perbuatan” dipertahankan Moeljatno dan dinilai oleh beliau sebagai

istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan isi pengertian dari strafbaar feit,

walaupun istilah “delik” pernah juga digunakan beliau. Moeljatno menggunakan istilah
“perbuatan pidana,” yang didefinisikan sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu

bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.” Istilah perbuatan pidana lebih tepat,

alasannya:

1. Yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu


kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya
larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sedangkan ancaman pidananya
itu ditujukan pada orangnya;
2. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana
(yang ditujukan pada orangnya) ada hubungan yang erat, dan oleh karena
itu perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang
tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi
ada hubungan erat pula;
3. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka lebih tepat
digunakan istilah “perbuatan pidana,” suatu pengertian abstrak yang
menunjuk pada dua keadaan konkrit, yaitu: pertama adanya kejadian
tertentu (perbuatan), dan kedua adanya orang yang berbuat atau yang
menimbulkan kejadian itu. 12

Di samping mengemukakan istilah yang tepat yakni “perbuatan pidana,”

Moeljatno juga menyatakan bahwa istilah “peristiwa pidana” dan istilah “tindak

pidana” adalah suatu istilah yang tidak tepat, dengan alasan:

1. Untuk istilah “peristiwa pidana,” perkataan “peristiwa” menggambarkan hal


yang konkrit (padahal strafbaar feit sebenarnya abstrak) yang menunjuk
pada kejadian tertentu. Misalnya matinya orang yang tidak penting dalam
hukum pidana, kematian itu baru penting jika matinya orang
dihubungkan dengan atau diakibatkan oleh kelakuan orang lain;

12
Moeljatno, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 54
2. Istilah “tindak pidana,” perkataan “tindak” tidak menunjuk pada hal abstrak
seperti perbuatan, tetapi sama dengan perkataan “peristiwa” yang juga
menyatakan keadaan konkrit, seperti: kelakuan, gerak gerik, atau sikap
jasmani; hal mana lebih dikenal dalam tindak tanduk, tindakan, dan
bertindak. 13

Pandangan Moeljatno terhadap “perbuatan pidana” seperti tercermin dalam

istilah yang digunakan dalam rumusannya, menampakkan bahwa beliau memisahkan

antara perbuatan dengan orang yang melakukan.

Pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan,

sering disebut pandangan dualisme juga dianut banyak ahli misalnya: Pompe, Vos,

Tresna, Roeslan Saleh, dan A. Zaenal Abidin. Hal ini tampak dengan dirumuskannya

alasan tentang ketidakmampuan bertanggungjawab dalam Pasal 44 KUHP, yang

tidak boleh dijatuhi pidana. Dengan berpikir sebaliknya, berarti untuk mempidana

seseorang pelaku tindak pidana, disyaratkan orang itu harus mempunyai kemampuan

pertanggung jawaban pidana. Bukan itu saja, tidak dipidananya pelaku tindak pidana

dapat terjadi karena alasan, perbuatannya kehilangan sifat melawan hukumnya; seperti:

petinju yang memukul lawannya hingga luka-luka bahkan sampai mati.

Jika sebelumnya diuraikan pandangan dualisme, yang memisahkan antara

unsur perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya; ada pandangan lain

yakni pandangan monisme yang tidak memisahkan antara unsur-unsur perbuatan

dengan unsur-unsur diri orangnya. Banyak ahli hukum berpandangan monisme

dalam pendekatan terhadap tindak pidana, antara lain: J.E. Jonkers, Wirjono

Prodjodikoro, H.J. van Schravendijk, Simons dan lainnya.

13
Ibid., hlm. 55.
Rumusan yang mereka buat tentang tindak pidana, yaitu:

1. J.E. Jonkers, merumuskan peristiwa pidana ialah “perbuatan yang

melawan hukum (wederrechtelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan

atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan” 14

2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa “tindak pidana itu adalah

suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana” 15

3. H.J. van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah

“kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum

sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asalkan dilakukan oleh

seorang yang karena itu dapat dipersalahkan” 16

4. Simons, merumuskan strafbaar feit adalah “suatu tindakan melanggar

hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat

dihukum” 17

Berdasarkan keempat rumusan dapat dilihat terutama pada kalimat: (1)

“dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan” (Jonkers), (2) “pelakunya

dapat dikenakan hukuman” (Wirjono), (3) “asal dilakukan oleh seorang yang karena itu

dapat dipersalahkan” (Schravendijk),(4)“dilakukan oleh seseorang yang dapat


14
J.E. Jonkers, 1987, Hukum Pidana Hindia Belanda, Tim Penerjemah Bina Aksara, PT. Bina Aksara,
Jakarta, hlm. 135.
15
Wirjono Prodjodikoro, 1989, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT. Eresco, Jakarta, 1989,
hlm. 50.
16
H.J. van Schravendijk, 1955, Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, J.B. Wolters,
Jakarta-Groningen, hlm. 87.
17
D. Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana, diterjemahkan oleh: P.A.F. Lamintang, Pioner Jaya,
Bandung, tanpa tahun, hlm. 127.
dipertanggungjawabkan atas tindakannya” (Simons); menunjukkan bahwa dalam

membicarakan tindak pidana, selalu dibayangkan telah ada orang yang melakukan, dan

karenanya ada orang yang dipidana.

Penganut monistis tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana

dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku. Unsur yang mengenai diri orangnya bagi

penganut dualisme yakni kesalahan dan adanya pertanggungjawaban pidana sebagai

bukan unsur tindak pidana melainkan syarat untuk dapat dipidananya. Sedangkan

menurut paham monisme adalah juga merupakan unsur tindak pidana. Bagi paham

monisme ini tidak membedakan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk

dapatnya dipidana, syarat dipidananya itu juga masuk dalam dan menjadi unsur

tindak pidana.

Sudarto seperti dikutip Andi Hamzah, 18 berpendapat sama benarnya dan tidak

perlu dipertentangkan. Perbedaan itu ada karena didasarkan pada sudut pandang yang

berbeda. Bagi dualisme yang memandang dari sudut abstrak, bahwa di dalam

memberikan isi pengertian tindak pidana tidak dengan demikian lalu dibayangkan

adanya orang yang dipidana, memandang tindak pidana semata-mata pada perbuatan

dan akibat yang sifatnya dilarang. Jika perbuatan yang sifatnya dilarang itu telah

dilakukan/terjadi (konkrit), baru melihat pada orangnya, yaitu jika orang itu mempunyai

kemampuan bertanggungjawab dan karenanya perbuatan itu dapat dipersalahkan

kepadanya, dengan demikian maka kepadanya dijatuhi pidana.

18
Andi Hamzah, 1994, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 69.
Aliran monistis memandang sebaliknya,strafbaar feit tidak dapat dipisah dengan

orangnya. Dibayangkan dalam strafbaar feit selalu ada si pembuat (orangnya) yang

dipidana. Oleh karena itu unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dapat dipisah

dengan unsur mengenai perbuatan, semuanya unsur tindak pidana.

Unsur tindak pidana (pada perbuatan) dengan syarat dipidana (pada orang), tidak

dipisah sebagaimana menurut paham dualisme. Hanya dalam teori saja perbedaan itu

penting dibicarakan, dalam praktek hukum, tidak. Dalam praktek hukum, yang menjadi

perhatian dan acuan baik ketika penyidikan dilakukan, yakni tidak mengacu pada salah

satu pendapat teoritis (abstrak). Kenyataannya:

1. Dalam rumusan tindak pidana (mengikuti istilah undang-undang) tertentu,

ada rumusan yang mencantumkan tentang unsur-unsur mengenai diri pelaku

(misalnya “sengaja”: Pasal 338, Pasal 406 KUHP, dan lainnya; “maksud”:

Pasal 362, Pasal 406 KUHP, dan lainnya) tetapi pada banyak rumusan yang

lain tidak dicantumkan;

2. Sedangkan mengenai kemampuan bertanggungjawab, tidak pernah

dicantumkan dalam semua rumusan tindak pidana.

Dalam praktik hukum, untuk mempidana terdakwa yang dihadapkan ke

sidang pengadilan dengan dakwaan melakukan tindak pidana tertentu, mutlak

disyaratkan: harus terpenuhinya semua unsur yang terdapat dalam tindak pidana. Jika

yang didakwakan adalah tindak pidana yang dalam rumusan terdapat unsur

kesalahan dan/atau melawan hukum (bersifat subyektif, misalnya Pasal 368, Pasal

369, Pasal 378, dan Pasal 390 KUHP); unsur itu harus terdapat dalam diri pelakunya,
dalam arti harus terbukti. Tetapi jika dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan

tidak dicantumkan unsur diri orangnya (kesalahan), maka unsur itu tidak perlu

dibuktikan. Dalam hal ini tidak berarti bahwa pada diri pelaku tidak terdapat unsur

kesalahan, mengingat dianutnya asas “tidak ada pidana tanpa kesalahan” (geen straf

zonder schuld).

Mengenai kemampuan bertanggungjawab, karena selamanya tidak dicantumkan

dalam semua rumusan tindak pidana, maka tidak perlu dibuktikan. Dalam praktek

hukum, hanya penting terhadap usnur-unsur yang ada dalam rumusan tindak pidana saja

(konkrit). Kemampuan bertanggungjawab penting dalam penjatuhan pidana dan bukan

dalam hal terjadinya tindak pidana (konkrit). Untuk terjadi atau terwujudnya tindak

pidana, sudah cukup dibuktikan semua unsur yang ada pada tindak pidana

bersangkutan.

Kemampuan bertanggungjawab baru menjadi penting, ketika pidana hendak

dijatuhkan. Terwujudnya tindak pidana tertentu tidak dengan demikian diikuti pidana

tertentu. Kemampuan bertanggungjawab adalah mengenai syarat penjatuhan pidana,

bukan syarat untuk terwujudnya tindak pidana.


Elemen atau unsur tindak pidana dapat dibedakan dua sudut pandang, yakni dari

sudut teoritis dan dari sudut undang-undang. Maksud teoritis adalah berdasarkan pendapat

para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan dari sudut undang-

undang, bagaimana kenyataan tindak pidana dirumuskan menjadi tindak pidana

tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.

1. Elemen Tindak Pidana Menurut Doktrin

Berbagai rumusan tindak pidana telah disusun oleh para ahli hukum, baik menurut

paham dualisme maupun paham monisme. Unsur apa yang ada dalam tindak pidana

adalah melihat bagaimana bunyi rumusan yang dibuatnya. Beberapa contoh, diambilkan

dari batasan tindak pidana oleh teoritis disebut di muka, yakni menurut: Moeljatno, R.

Tresna, Vos, Jonkers dan Schravendijk.

Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah:

a. Perbuatan;

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar aturan). 19

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum.

Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, pokok pengertian ada pada peraturan, tetapi

tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan,

tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana.

Pengertian diancam pidana adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya

dijatuhi pidana. Apakah dalam kenyataannya orang yang melakukan perbuatan itu

dijatuhi pidana atau tidak, adalah hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana.

Rumusan R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur:

a. perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);

b. yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

c. diadakan tindakan penghukuman. 20

19
Moeljatno, Loc.Cit.
20
Martiman Prodjohamidjojo, Loc.Cit.
Berdasarkan unsur ke-3, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat

pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti

dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam

pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dijatuhi pidana. Meskipun mempunyai kesan

setiap perbuatan yang bertentangan dengan itu selalu diikuti dengan pidana, namun

dalam unsur itu tidak terdapat kesan mengenai syarat-syarat (subyektif) yang melekat

pada orangnya untuk dapat dijatuhkannya suatu pidana.

Batasan Vos, ditarik unsur tindak pidana:

a. Kelakuan manusia;

b. Diancam dengan pidana;

c. Dalam peraturan perundang-undangan. 21

Unsur-unsur dari ketiga batasan penganut paham dualisme di muka, tidak ada

perbedaan. Bahwa tindak pidana adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam

undang-undang, dan diancam dipidana bagi yang melakukannya.

Dari unsur-unsur yang ada, jelas terlihat bahwa unsur tersebut tidak menyangkut

diri si pembuat atau dipidananya pembuat, tetapi semata-mata mengenai perbuatannya.

Apabila dibandingkan dengan pendapat penganut paham monisme, maka memang

tampak berbeda; misalnya pendapat Jonkers dan Schravendijk. Batasan yang dibuat

Jonkers dapat dirinci unsur tindak pidana adalah:

a. Perbuatan (yang);

b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);

c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);

d. Dipertanggungjawabkan. 22

Schravendijk dalam batasan yang dibuatnya secara panjang lebar, jika dirinci

terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

a. Kelakuan (orang yang);

b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum;

21
R. Tresna, Loc.Cit.
22
J.E. Jonkers, Loc.Cit.
c. Diancam dengan hukuman;

d. Dilakukan oleh orang (yang dapat);

e. Dipersalahkan/kesalahan. 23

Meskipun rincian tiga rumusan di muka tampak berbeda-beda, namun pada

hakekatnya ada persamaan,yaitu tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai

perbuatan dengan unsur mengenai diri orangnya.

Pembagian secara mendasar di dalam melihat perumusan delik hanya mempunyai

dua elemen dasar yang terdiri atas:

Bagian yang objektif menunjuk delik terdiri dari perbuatan (een doen of

naleten) dan akibat, yang merupakan kejadian yang bertentangan dengan hukum positif

sebagai anasir yang melawan hukum (onrechtmatig) yang dapat diancam dengan pidana,

dan bagian subjektif yang merupakan anasir kesalahan daripada delik.

Menurut Apeldoorn, 24 elemen delik terdiri dari elemen objektif berupa adanya

kelakuan yang bertentangan dengan hukum (onrecht-matig/wederrechtelijk) dan elemen

subjektif berupa adanya pembuat (dader) yang bertanggungjawab atau dapat

dipersalahkan (toere-keningsvatbaarheid) terhadap kelakuan yang bertentangan dengan

hukum. Pendapat ini sesuai pendapat van Bemmelen 25 yang menyatakan bahwa elemen

dari strafbaar feit dapat dibedakan menjadi: “Elementen voor de strafbaarheid van het

feit terletak dalam bidang objektif yang pada dasarnya menyangkut tata kelakuan yang

melanggar hukum. Elementen voor de strafbaarheid van de dader terletak dalam

bidang subjektif pada dasarnya menyangkut keadaan/sikap batin orang yang

melanggar hukum, kesemuanya merupakan elemen yang diperlukan untuk menentukan

dijatuhkan pidana sebagaimana diancamkan.”

Menurut Vos, 26 dalam suatu strafbaar feit dimungkinkan adanya beberapa

elemen, yaitu:

a. Elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat
(een doen of een nalaten);

23
Wirjono Prodjodikoro, Loc.Cit.
24
L.J. van Apeldoorn, Op.Cit., hlm. 338-342.
25
J.M. van Bemmelen, Op.Cit., hlm. 70.
26
Bambang Poernomo, Op.Cit., hlm. 104.
b. Elemen akibat dari perbuatan, yang terjadi dalam delik selesai. Elemen akibat
ini dapat dianggap telah ternyata pada suatu perbuatan, dan kadang-kadang
elemen akibat tidak dipentingkan di dalam delik formeel, akan tetapi kadang-
kadang elemen akibat dinyatakan dengan tegas yang terpisah dari
perbuatannya seperti di dalam delik materiel;
c. Elemen kesalahan, yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja (opzet) atau
alpa (culpa);
d. Elemen melawan hukum (wederrechtelijkheid);
e. Dan sederet elemen lain menurut rumusan undang-undang, dibedakan
menjadi segi objektif misalnya dalam Pasal 160 KUHP diperlukan elemen
di muka umum (in het openbaar) dan segi subjektif misalnya Pasal 340
KUHP diperlukan elemen direncanakan lebih dahulu (voorbedachteraad).

Demikian pula menurut Hazewinkel-Suringa 27 di dalam suatu strafbaar feit

dimungkinkan adanya beberapa elemen, yaitu:

1. Elemen kelakuan orang (een doen of een nalaten);

2. Elemen akibat, yang ditetapkan dalam rumusan undang-undang karena

pembagian delik formeel dan materiel;

3. Elemen psikis, seperti elemen dengan oogmerk, opzet, dan nalatifheid

(dengan maksud, dengan sengaja dan dengan alpa);

4. Elemen objektif yang menyertai keadaan delik seperti elemen di muka

umum (in het openbaar);

5. Syarat tambahan untuk dapat dipidananya perbuatan (bijkomende

voorwaarde van strafbaarheid) seperti dalam Pasal 164 dan 165 KUHP

disyaratkan apabila kejahatan terjadi;

6. Elemen melawan hukum (wederrechtelijkheid) sebagai elemen yang

memegang peranan penting, seperti dalam Pasal 167 dan 406 KUHP.

Pompe 28 mengadakan pembagian elemen strafbaar feid atas:


a. wederrechtelijkheid (unsur melawan hukum);

b. schuld (unsur kesalahan); dan

c. subsociale (unsur bahaya/gangguan/merugikan).

Pandangan Pompe masih termasuk golongan pembagian elemen strafbaar feit

yang mendasar, akan tetapi ditambah elemen subsociale yang berasal dari ajaran

baru yang diperkenalkan Vrij. Elemen subsociale itu menambah doktrin di dalam
27
Ibid.
28
Ibid., hlm. 105.
ilmu hukum pidana, karena berusaha menyempurnakan konstruksi pemikiran dasar

penjatuhan pidana pada seseorang di samping melakukan perbuatan melawan hukum

(wederrechtelijkheid) dan dilakukan dengan kesalahan (schuld), masih juga harus

diperhitungkan adanya keadaan yang subsociale.

Subsociale adalah suatu keadaan sosial psikologis yang membawa akibat

masyarakat gelisah, terganggu, kacau, yang diakibatkan terjadinya suatu delik dan

merupakan keadaan yang harus dipertimbangkan dalam menjatuhkan pidana kepada

orang yang melakukan delik.

Hukum pidana harus mempertahankan tertib masyarakat dengan segala aspeknya.

Dasar teori subsosialitas dari Vrij tumbuh karena pertumbuhan asas oportunitas dengan

pertimbangan kemanfaatan di dalam kepentingan hukum akan lebih baik kalau Jaksa

tidak menuntut perkara, sehingga perkara tertentu itu dikesampingkan (deponeeren)

untuk tidak sampai diajukan ke muka pengadilan. Asas opportunitas ini mempunyai

dasar pemikiran dengan tidak menuntut berarti memberikan ketentraman kepada

masyarakat dengan cara yang bijaksana, oleh karena itu apabila keadaan yang

subsosial tidak ada, apa perlunya menuntut dan menjatuhkan pidana. Penentuan suatu

delik itu harus diukur mempunyai keadaan yang subsosial atau tidak. Jika ternyata ada

keadaan subsosial berarti dapat dipidana. Bila tidak ada keadaan subsosial berarti tidak

perlu ada pidana.

2. Elemen Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang

Buku II KUHP memuat rumusan tindak pidana tertentu yang masuk kelompok

kejahatan, Buku III adalah pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu disebut dalam

setiap rumusan, yaitu mengenai tingkah laku/perbuatan; meskipun ada perkecualian

seperti pada Pasal 351 (penganiayaan).

Unsur kesalahan dan melawan hukum kadangkala dicantumkan dan seringkali

tidak dicantumkan. Sama sekali tidak dicantumkan mengenai unsur kemampuan

bertanggungjawab. Namun banyak mencantumkan unsur-unsur lain, baik mengenai

obyek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu.


Ada delapan unsur tindak pidana, sebagai berikut:

a. unsur tingkah laku;

b. unsur melawan hukum;

c. unsur kesalahan;

d. unsur akibat konstitutif;

e. unsur keadaan yang menyertai;

f. unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;

g. unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;

h. unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.

Bertolak dari delapan unsur di atas, dua unsur diantaranya yaitu: kesalahan dan

melawan hukum; termasuk unsur subyektif. Sedangkan selebihnya adalah berupa unsur

obyektif.

Unsur melawan hukum adakalanya bersifat subyektif, misalnya melawan

hukumnya perbuatan mengambil pada pencurian (Pasal 362 KUHP); terletak pada

mengambil, di luar persetujuan atau kehendak pemilik (melawan hukum obyektif). Pasal

251 KUHP, kalimat “tanpa izin pemerintah”. Pasal 253 KUHP, kalimat “menggunakan

cap asli secara melawan hukum” adalah berupa melawan hukum obyektif.

Ada juga melawan hukum subyektif, misalnya melawan hukum dalam penipuan

(oplichtng, Pasal 378 KUHP), pemerasan (afpersing, Pasal 368 KUHP), pengancaman

(afdreiging, Pasal 369 KUHP); di mana disebut maksud untuk menguntungkan diri

sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Juga unsur melawan hukum bersifat

subyektif, artinya terdapat kesadaran bahwa memiliki benda orang lain yang ada dalam

kekuasaannya, merupakan celaan masyarakat. Kapan unsur melawan hukum itu

berupa melawan hukum obyektif atau subyektif, bergantung bunyi redaksi rumusan

tindak pidana bersangkutan.

Unsur yang bersifat obyektif adalah semua unsur yang berada di luar keadaan

batin manusia (si pembuat), yakni semua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan

dan keadaan tertentu yang melekat (sekitar) perbuatan dan obyek tindak pidana. Unsur
yang bersifat subyektif adalah semua unsur mengenai batin atau melekat pada keadaan

batin orangnya.

B. Tinjauan Umum Sifat Melawan Hukum

Dalam dogmatik hukum pidana istilah sifat melawan hukum” tidak selalu berarti

sama. Ada empat makna yang berbeda-beda tetapi yang masing-masing dinamakan sama,

yaitu sifat melawan hukum. Harus ditanya dalam hubungan apa istilah itu dipakai untuk

mengetahui artinya. Untuk itu dibedakan:

a. Sifat melawan hukum umum, yang diartikan sebagai syarat umum untuk
dapat dipidana yang tersebut dalam rumusan penertian perbuatan pidana:
Perbuatan pidana adalah kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan
delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.
b. Sifat melawan hukum khusus, ada kalanya kata “bersifat melawan hukum”
tercantum secara tertulis dalam rumusan delik. Jadi sifat melawan hukum
merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidana. Sifat melawan hukum yang
menjadi bagian tertulis dari rumusan delik dinamakan sifat melawan hukum
khusus.
c. Sifat melawan hukum formal, berarti semua bagian yang tertulis dari
rumusan delik telah dipenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat
dipidana).
d. Sifat melawan hukum materiil, berarti melanggar atau membahayakan
kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-
undang dalam rumusan delik tertentu. 29

Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik dari

undang-undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya

perbuatan, bersumber pada asas legalitas. Dari uraian di muka, ternyata penafsiran sifat

melawan hukum formal mendekati sifat melawan hukum materiil, namun apakah

kedua pengertian itu menyatu ?

Apakah untuk dapat dipidananya delik dengan rumusan formal cukup dengan

adanya sifat melawan hukum formal saja, ataukah disyaratkan adanya sifat melawan

hukum yang materiil ?

Pembentuk undang-undang sesungguhnya bermaksud sama seperti dengan delik

materiil, yaitu menghindarkan dilanggarnya atau dibahayakannya kepentingan-

kepentingan hukum. Sifat melawan hukum umum diartikan sifat melawan hukum sebagai

29
D. Schaffmeister, et.al., Op.Cit., hlm. 39.
syarat tak tertulis, untuk dapat dipidana. Untuk dapat dipidananya suatu perbuatan

dengan sendirinya berlaku syarat bahwa perbuatan bersifat melawan hukum berarti

bertentangan dengan hukum, tidak adil.

Sifat melawan hukum materiil banyak diikuti dan menjadi pendapat hukum

Indonesia. Menurut pikiran para pakar hukum pidana, hukum dan undang-undang

tidaklah sama. Bahkan sebagian besar hukum Indonesia terdiri atas aturan-aturan

tidak tertulis. Hakim terikat kepada sistem hukum yang berlaku. Namun demikian, hakim

Indonesia bebas untuk meninjau secara mendalam apakah penetapan- penetapan yang

diambil pada waktu yang lampau masih dapat dan harus dipertahankan berhubung

dengan adanya perubahan-perubahan dalam masyarakat atau berhubung dengan adanya

pertumbuhan perasaan keadilan yang baru. Jika diketahui pembentukan undang-undang

selalu terbelakang dari pertumbuhan dan perkembangan hukum, bagaimana dapat

mempertahankan pendapat bahwa pengecualian atas sifat melawan hukumnya suatu

perbuatan harus dicantumkan terlebih dahulu dalam aturan perundang-undangan, baru

dapat diterapkan oleh hakim?Masyarakat hidup dan selalu bergerak, berhubung

dengan itu maka rasa keadilan rakyat pun bergerak pula.

Rumusan-rumusan delik hanya fragmen yang dipisahkan dari hubungannya.

Pembuat undang-undang tidak dapat berbuat lain selain hanya secara skema. Perbuatan

yang termasuk rumusan delik merupakan sekumpulan perbuatan yang umumnya diancam

pidana. Karena rumusan yang fragmen dan skema di dalamnya tidak merupakan

perbuatan “tercela atau tidak dibenarkan.”

Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan suatu cara yang dapat menegaskan

bahwa sesuatu perbuatan yang memang termasuk rumusan delik, setelah dilihat

tersendiri, berhubung dengan suatu kejadian khusus, menjadi tidak bersifat melawan

hukum dan juga tidak dapat dipidana. Terhadap yang terakhir ini, hakim tidak boleh

berdiam diri dan menantikan sampai undang-undang pula yang akan membenarkan

perbuatan itu.
Dalam hubungan ini perlu diingat bahwa aturan hukum pidana Indonesia sebagian

terbesar telah dimuat dalam KUHP dan lain-lain perundang-undangan tertulis. Pandangan

mengenai melawan hukum yang materiil hanya mempunyai arti dalam

memperkecualikan perbuatan yang meskipun termasuk dalam rumusan undang-undang

dan karenanya dianggap sebagai perbuatan pidana.

Dengan demikian, suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dapat

dikecualikan oleh hukum tidak tertulis, sehingga tidak menjadi perbuatan pidana.

Biasanya ini disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materiil.

Fungsinya yang positif, yaitu walaupun tidak dilarang oleh undang-undang, tetapi

oleh masyarakat perbuatan itu dipandang tercela dan dengan itu perlu menjadikannya

perbuatan pidana tidak mungkin dilakukan menurut sistem hukum Indonesia, mengingat

bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP.

Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan hukum

pidana itu harus bersifat melawan hukum (wederrechtelijkheid). Terhadap hal ini terdapat

dua macam pendapat atau ajaran mengenai kapankah suatu perbuatan itu dianggap

sebagai perbuatan yang bersifat melawan hukum: 30

1) Sifat melawan hukum formil (formele wederrechtelijkheid).


Perbuatan bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang memenuhi rumusan

undang-undang, kecuali jika diadakan pengecualian-pengecualian yang telah ditentukan

dalam undang-undang pula. Bagi pendapat ini, melawan hukum berarti melawan

undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Dengan demikian, menurut ajaran

sifat melawan hukum formil, apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang

termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada

alasan-alasan pembenar, maka alasan-alasan pembenar tersebut harus juga disebutkan

secara tegas dalam undang-undang.

2) Sifat melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid).

30
Komariah Emong Sapardjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana
Indonesia. Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, PT.
Alumni, Bandung, hlm. 25.
Menurut pendapat ini, belum tentu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-

undang itu bersifat melawan hukum. Bagi pendapat ini yang di namakan hukum itu

bukan hanya undang-undang (hukum yang tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang

tidak tertulis, yaitu kaidah-kaidah atau kenyataan yang berlaku dalam masyarakat.

Dengan demikian, dalam ajaran sifat melawan hukum materil, di samping memenuhi

syarat-syarat formil, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan tindak

pidana, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan masyarakat sebagai perbuatan

tidak patut atau tercela. Ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-

undang. Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak

tertulis.

Wederrechtelijkheid dalam arti formil, sesuatu perbuatan hanya dapat dipandang

bersifat “wederrechtelijk” yaitu apabila perbuatan memenuhi semua unsur yang terdapat

dalam rumusan sesuatu tindak pidana menurut undang-undang.

Menurut ajaran “wederrechtelijkheid dalam arti materil” apakah suatu perbuatan

dapat dipandang bersifat “wederrechtelijkheid” atau tidak, bukan saja harus ditinjau

sesuai ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis, melainkan juga ditinjau menurut

asas-asas hukum umum dari hukum yang tidak tertulis. 31

Perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) dalam hukum pidana, khusus

sebagai kaidah materiil, mempunyai padanan sifat dengan pengertian onrechtmatige daad

dalam hukum perdata yang mencakup perbuatan melawan hukum dari Arrest Hoge Raad

dalam kasus Cohen-Lindenbaum yaitu perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma

atau tata sopan santun masyarakat. Demikian tegasnya sifat melawan hukum secara

materil, diartikan sebagai perbuatan yang melanggar norma atau sopan santun dalam

pergaulan hidup masyarakat, atau dengan pengertian luas sebagai perbuatan yang

dipandang tercela oleh masyarakat. 32

Menurut Hoge Raad, melawan hukum tidak sama dengan melawan undang-

undang. Perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak

31
P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hlm. 351.
32
Indrijanto Senoadji, Op.Cit., hlm 33.
berbuat yang memperkosa hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban

hukum kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain.

Berdasarkan putusan ini, perbuatan melawan hukum adalah setiap perbuatan atau

kelalaian yang menimbulkan pelanggaran terhadap hak orang lain atau bertentangan

dengan kewajiban hukum pelaku atau kesusilaan yang baik dan kepatutan dalam

masyarakat. 33

Dalam hukum pidana, sifat melawan hukum materiil, khususnya yang

bertalian dengan fungsi negatif dari sifat melawan hukum materiil mulai diterapkan

tanggal 20 Februari 1933. Yaitu putusan Hoge Raad yang dikenal dengan Arrest Dokter

Hewan. Menurut Hoge Raad tersebut, dengan adanya Wet mengenai pendidikan dokter

hewan (Undang-undang Kehewanan) maka pemeliharaan kesehatan hewan dan siapa

yang boleh menjalankan pekerjaan dokter hewan telah diatur. Berdasarkan bahwa sifat

melawan hukum perbuatan yang telah dilakukan itu dalam hal ini ternyata tidak ada,

maka pasal yang bersangkutan tidak dapat diterapkan pada perbuatan yang secara

harfiah termasuk dalam rumusan delik, demikian pertimbangan Hoge Raad. 34 Di sini

Hoge Raad memandang sifat melawan hukum sebagai unsur dari perbuatan pidana

yang dirumuskan dalam pasal yang bersangkutan, meskipun dalam naskah pasal tersebut

tidak memberi suatu titik penghubung.

Fungsi negatif ajaran sifat melawan hukum materil yaitu, suatu perbuatan

yang dilarang oleh undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis,

sehingga tidak menjadi perbuatan pidana. Sedangkan fungsi positif ajaran melawan

hukum materil yaitu, walaupun tidak dilarang undang-undang, tetapi oleh masyarakat

perbuatan itu dipandang tercela dan dengan itu perlu menjadikannya perbuatan pidana;

tidak mungkin dilakukan menurut sistem hukum Indonesia mengingat bunyi Pasal 1 ayat

(1) KUHP. 35

33
Rachmat Setiawan, 1991, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum, Bina Cipta, Bandung,, hlm.
10.
34
Roeslan Saleh, 1987, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Bandung, hlm.12
35
Ibid., hlm 18-19.
Fungsi positif sifat melawan hukum yang materil yaitu, perbuatan tidak dilarang

oleh undang-undang tetapi oleh masyarakat perbuatan itu dianggap keliru berhubung

dengan adanya asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) dalam hukum pidana lalu

tidak mungkin. 36

Penemuan hukum dapat diartikan membuat fungsi sifat melawan hukum

materil menjadi positif, sebagai gejala tidak sehat. Yang akan mengurangi kepercayaan

masyarakat terhadap penegakan hukum,berpengaruh pula pada kepercayaan masyarakat

tentang kepastian hukum. 37 Sifat melawan hukum materiel suatu perbuatan pidana terdiri

atas perlakuan terhadap aturan hukum pidana yang bersamaan, merupakan perlakuan

terhadap kepentingan hukum yang bersifat publik, yang dilindungi aturan itu.

Suatu hubungan antara cara yang pantas dan tujuan yang patut tetapi ada di luar

batas lingkup perlindungan undang-undang hukum pidana terhadap kepentingan hukum

bersifat publik, tidak bersifat menentukan sifat melawan hukum materiel yang selalu

terikat kepada struktur yuridis norma perundang-undangan hukum pidana. Berarti,

menentukan sifat melawan hukum materiel juga tidak boleh digunakan norma yang

bersifat di luar yuridis atau tidak yuridis.

Peraturan perundang-undangan pidana didasarkan aturan rencana kerjasama dalam

suatu lapangan yang diterima peserta sebagai aturan. Undang-undang pidana hanya “garis

tindakan-tindakan,” melalui ini hakim bergerak dalam peradilan pidana yang secara

keseluruhan harus didasarkan peranan-peranan sosial dan norma yang digunakan di

dalamnya.

Dengan demikian, menurut ajaran melawan hukum materiil, yang disebut

melawan hukum tidak sekedar bertentangan dengan hukum tertulis, juga dengan hukum

tidak tertulis yaitu di samping memenuhi syarat formal, perbuatan harus benar-benar

dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh dilakukan.

Dalam tindak pidana pembunuhan, ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi

positif dapat diterapkan berdasarkan pertimbangan kondusif, situasif dan kasuistis;

36
Ibid., hlm 18-19.
37
Komariah Emong Sapardjaja, Op.Cit., hlm. 211
dengan kriteria apabila perbuatan pelaku yang tidak termasuk atau tidak memenuhi

rumusan delik, dipandang dari kepentingan hukum ternyata menimbulkan kerugian yang

jauh tidak seimbang bagi masyarakat atau negara dibanding dengan keuntungan yang

disebabkan perbuatannya yang tidak melanggar peraturan perundang- undangan. 38

Mengenai sifat melawan hukum materiil, Loebby Loqman menyatakan

bahwa “melawan hukum materiil harus digunakan secara negatif, ini berarti apabila

terdapat suatu perbuatan nyata-nyata merupakan hal yang melawan hukum secara formil,

sedangkan di dalam masyarakat perbuatan tersebut tidak tercela, jadi secara materiil tidak

melawan hukum, perbuatan tersebut seyogyanya tidak dijatuhi pidana.” 39

Dalam hubungan ini Moeljatno menyatakan bahwa “kiranya tidaklah mungkin

selain daripada mengikuti ajaran yang materiil, sebab orang Indonesia belum pernah ada

saat bahwa hukum dan undang-undang dipandang sama. Penilaian hukum adalah undang-

undang belum pernah kita alami. Bahkan sebaliknya, hampir semua hukum Indonesia asli

adalah hukum yang tidak tertulis.” 40

Bertolak dari kedua pendapat tersebut di atas tampak bahwa dalam rangka

menjamin adanya keadilan dan kebenaran, penerapan sifat melawan hukum materiil

sangat penting. Hal tersebut disebabkan karena di Indonesia tidak hanya berlaku hukum

positif dalam arti undang-undang saja, tetapi berlaku hukum yang tidak tertulis.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, Hakim di dalam memutus suatu perkara guna menegakkan

keadilan di samping harus memperhatikan Pancasila dan ketentuan yang diatur undang-

undang, juga nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Dalam penegakan hukum untuk

menjamin keadilan hakim harus aktif menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat

atau menegakkan ajaran sifat melawan hukum materiil.

Sifat melawan hukum materiil adalah suatu masalah penafsiran perundang-

undangan pidana dan masalah kualifikasi suatu perbuatan menurut hukum pidana.

38
Ibid.
39
Loebby Loqman, 1991, Beberapa Ikhwal Di Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Datacom, Jakarta, hlm. 31.
40
Moeljatno, Op.Cit., hlm. 133.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sifat melawan hukum materiil itu memainkan peranan

pada tiap-tiap penerapan aturan perundang-undangan pidana terhadap kelakuan manusia,

sebab pada akhirnya tiap-tiap norma hukum, juga aturan perundang-undangan pidana,

haruslah ditafsirkan.

Suatu hubungan antara cara yang pantas dan suatu tujuan yang patut tetapi yang

ada di luar lingkup perlindungan undang-undang hukum pidana terhadap kepentingan

hukum yang bersifat publik, tidak bersifat menentukan terhadap sifat melawan hukum

materiil. Sifat melawan hukum materiil selalu terikat kepada struktur yuridis dari

norma perundang-undangan hukum pidana. Ini berarti, untuk menentukan sifat melawan

hukum materiil juga tidak boleh digunakan norma yang bersifat di luar yuridis atau tidak

yuridis.

Istilah “melawan hukum” yang merupakan padanan istilah wederrechtelijk dalam

bahasa Belanda, dapat dilihat dari putusan Hoge Raad tanggal 28 Juni 1911 yang

menyangkut Artikel 326 Ned. WvS (Pasal 378 KUHP), menyatakan: “ … de dader geen

eigen recht op de bevoordeling heeft …” (terdakwa tidak punya hak sendiri untuk

menikmati keuntungan itu). Jadi, keuntungan yang diperoleh menurut cara tersebut Pasal

326 Ned. WvS (Pasal 378 KUHP) atau penipuan, dengan sendirinya berarti melawan

hukum (tidak tertulis).

Dalam literatur hukum pidana, dikenal pengertian “melawan hukum”

(wederrechtelijk) yang saling berbeda seperti:bertentangan dengan hukum, bertentangan

dengan hak orang lain, tanpa hak sendiri (in strijd met het objectieve recht, in strijd met

het subjectieve recht van een ander, zonder eigenrecht) dan yurisprudensi Indonesia

menafsirkan unsur “melawan hukum” secara sosiologis secara negatif, yang meliputi

baik melawan hukum yang formil maupun yang materiil (formele en materiele

wederrechtelijkheid).

Sifat melawan hukum materiil dari suatu perbuatan pidana terdiri atas perlakuan

terhadap aturan hukum pidana yang bersamaan. Dengan itu pula merupakan perlakuan

terhadap kepentingan hukum yang bersifat publik, yang dilindungi oleh aturan tersebut.
Suatu hubungan antara cara yang pantas dan suatu tujuan yang patut tetapi berada

di luar batas lingkup perlindungan undang-undang hukum pidana terhadap kepentingan

hukum yang bersifat publik, tidak bersifat menentukan terhadap sifat melawan hukum

materiil. Sifat melawan hukum materiil selalu terikat kepada struktur yuridis dari norma

perundang-undangan hukum pidana.

Berarti, untuk menentukan sifat melawan hukum materiil juga tidak boleh

digunakan norma-norma yang bersifat di luar yuridis atau tidak yuridis. Perundang-

undangan pidana didasarkan kepada aturan-aturan rencana-rencana kerjasama dalam

suatu lapangan yang diterima oleh peserta-pesertanya sebagai aturan-aturan. Undang-

undang pidana hanyalah suatu “garis tindakan-tindakan,” melalui jalur ini hakim bergerak

dalam peradilan pidana. Yang secara keseluruhannya harus didasarkan pada peranan-

peranan sosial dan norma-norma yang digunakan.

C. Tinjauan Umum Tindak Pidana Pembunuhan

1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan

Tindak pidana pembunuhan dalam KUHP termasuk dalam kejahatan terhadap

jiwa orang, yang diatur dalam Bab XIX yang terdiri dari 13 pasal, yakni Pasal 338

sampai dengan Pasal 350. Secara terminologis pembunuhan adalah perbuatan

menghilangkan nyawa, atau mematikan. Sedangkan dalam KUHP istilah pembunuhan

adalah suatu kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Menurut Lamintang untuk

menghilangkan nyawa orang lain seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu

rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan

bahwa opzet dari pelaku itu harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang

lain.41 Dengan kata lain berdasarkan pada pengertian yang dikemukakan oleh

Lamintang bahwa delik pembunuhan termasuk dalam delik materiil (materieel delict),

yang merupakan suatu delik yang dirumuskan secara materiil, yakni delik yang baru

dapatdianggap telah selesai dilakukan oleh pelakunya apabila timbul akibat yang

41
P.A.F. Lamintang. Opcit, hlm. 1
dilarang (akibat konstitutif atau constitutief-gevolg) yang tidak dikehendaki oleh

Undang-Undang.42

Menurut Adami Chazawi perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat 3

syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 43

1. Adanya wujud perbuatan;

2. Adanya suatu kematian (orang lain); dan

3. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara perbuatan dan

akibat yang ditimbulkan.

Ketiga syarat tersebut merupakan satu kesatuan yang bulat, meskipun dapat

dibedakan akan tetapi apabila salah satu syarat di atas tidak terpenuhi maka delik

pembunuhan dianggap tidak terjadi. Maka dapat disimpulkan bahwa delik pembunuhan

dapat terjadi apabila adanya wujud perbuatan serta adanya kematian (orang lain) dan

keduanya ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dan akibat yang ditimbulkan

yakni kematian. Bahwa akibat dari kematian haruslah disebabkan dari perbuatan

itu apabila tidak ada causal verband antara keduanya yakni suatu perbuatan dengan

akibat yang ditimbulkan yakni matinya orang lain maka delik pembunuhan dianggap

tidak terjadi.

2. Jenis-jenis Tindak Pidana Pembunuhan

Dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana, ketentuan-ketentuan pidana

tentang kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja dimuat dalam Bab

XIX KUHP yang terdiri dari tiga belas Pasal, yaitu dari Pasal 338 sampai dengan Pasal

350 KUHP. Lanjut dalam pengelompokannya kejahatan terhadap nyawa dibedakan

berdasarkan dua kelompok yakni (1) atas dasar unsur kesalahannya, dan (2) atas dasar

objeknya (nyawa). Atas dasar kesalahannya ada dua kelompok kejahatan terhadap

nyawa, ialah:

42
Ibid. Hlm. 1
43
Adami Chazawi. 2013. Opcit, hlm. 57
1. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus

misdrijven), adalah kejahatan yang dimuat dalam BAB XIX KUHP, Pasal

338 sampai dengan Pasal 350.

2. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja (culpose

misdrijven), yang dimuat dalam Bab XXI (khusus pada Pasal 359).

Sedangkan atas dasar objeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka

kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam tiga macam:44

a. Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam

Pasal 338, 339, 340, 344, dan 345.

b. Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah

dilahirkan, dimuat dalam Pasal 341, 342, dan 343.

c. Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih berada di dalam

kandungan ibu (janin), dimuat dalam pasal 346, 347, 348 dan 349.

3. Pembunuhan Dalam Bentuk Pokok

Delik pembunuhan merupakan delik meteriil atau materiil delict yang merupakan

suatu delik yang dirumuskan secara materiil, yakni delik yang baru dapat dianggap telah

selesai dilakukan oleh pelakunya apabila timbul akibat yang dilarang (akibat konstitutif

atau constitutief-gevolg) yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang.45Dalam

perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi,

yaitu: 46

1. Adanya wujud perbuatan;

2. Adanya suatu kematian;

3. Adanya hubungan sebab dan akibat (causal verband) antara perbuatan dan

akibat kematian (orang lain).

44
Adami Chazawi. Opcit. hlm. 55-56
45
P.A.F. Lamintang. Opcit. Hlm. 1
46
Adami Chazawi. Opcit. Hlm. 57
Bahwa delik pembunuhan dalam bentuk pokok atau doodslag diatur dalam Pasal

338 Bab XIX KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa. Adapun rumusan dalam Pasal

338 KUHP adalah sebagai berikut:

Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,diancam karena

pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Adapun rumusan dalam Pasal 338 KUHP diatas terdapat unsur-unsur tindak

pidana yang diantaranya sebagai berikut:

a. Unsur subjektif : Opezettelijk atau dengan sengaja

b. Unsur objektif : Beroven atau Leven atau nyawa Een ander atau orang.

1. Kesengajaan atau Opzettelijk

Menurut memori penjelasan atau Memorie van Toelichting menyatakan bahwa

pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan

perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki. Maka kesengajaan sebagai wiilen en wetten

adalah orang yang menghendaki perbuatan dan akibatnya dan mengetahui, mengerti atau

insyaf akan akibat yang timbul serta unsur-unsur lain yang ada disekitar perbuatannya

itu. Lebih lanjut, memori penjelasan menyatakan bahwa apabila kata/unsur opzettelijk

dicantumkan dalam rumusan suatu tindak pidana, maka harus diartikan bahwa

kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur yang ada dibelakang unsur opzettelijk.

Oleh karena unsur sengaja dirumuskan dalam Pasal 338 KUHP dengan mendahului unsur

perbuatan menghilangkan orang lain, maka sengaja di sini harus diartikan bahwa pelaku

menghendaki untuk mewujudkan perbuatan, dan ia menghendaki terhadap akibat matinya

orang lain. Kehendak dan apa yang diketahui harus sudah terbentuk dalam batinnya

sebelum akibat timbul, dengan kata lain sebelum mewujudkan perbuatan atau setidak-

tidaknya pada saat memulai perbuatan, kehendak dan pengetahuan seperti itu telah

terbentuk dalam alam batin pelaku.47

Menurut ajaran dalam hukum pidana terdapat tiga jenis kesengajaan yang

diantaranya adalah sebagai berikut:

47
Ibid. Hlm. 65-68
a. Sengaja sebagai maksud (opzet als ogmerk) Bahwa yang dimaksud dengan
sengaja sebagai maksud adalah apabila pelaku menghendaki akibat
perbuatannya. Ia tidak pernah melakukan perbuatannya apabila pelaku tersebut
tidak mengetahui bahwa akibat dari perbuatannya tidak akan terjadi.48
b. Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet me bewustheid van
zekerheid of noodzakelijkheid) Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian
terjadi yakni pelaku yakin bahwa akibat yang dimaksudkannya tidak akan
tercapai tanpa terjadinya akibat yang tidak dimaksud.49
c. Sengaja dengan kesadaran kemungkinan (opzet met mogelijkheidsbewustzijn)
Menurut Hezewinkel-Suringa sengaja dengan kemungkinan, terjadi jika pembuat
tetap melakukan yang dikehendakinya walaupun ada kemungkinan akibat lain
(yang sama sekali tidak diinginkan) itu diinginkan daripada menghentikan
perbuatannya, maka terjadi pula kesengajaan.50

2. Menghilangkan Nyawa Orang Lain

Dalam Pasal 338 KUHP unsur menghilangkan nyawa dirumuskan een ander

van het leven beroven yang artinya “menghilangkan nyawa orang lain”. Karena dalam

tindakan atau perilaku menghilangkan nyawa orang lain itu tidak selalu terdapat unsur

kekerasan, sedangkan jika kata beroven diterjemahkan dengan kata merampas maka

tindak tersebut harus dilakukan dengan kekerasan. Dalam Bab kejahatan terhadap nyawa

terdapat beberapa delik yang tindakan menghilangkan nyawa orang lain tilakukan tanda

menggunakan kekerasan, semisal dalam Pasal 344 KUHP tindakan menghilangkan

nyawa orang lain dapat dilakukan atas permintaan korban sendiri, dan Pasal 348 ayat (1)

KUHP dimana perbuatan menyebabkan gugu atau meninggalnya anak dalam

kandungan.51

Maka apabila dikaitkan dengan opzettelijk pelaku harus menghendaki

dilakukannya tindakan menghilangkan nyawa tersebut ia pun harus mengetahui bahwa

tindakannya atau perilakunya adalah tindakan atau perilaku menghilangkan (nyawa orang

lain).52

4. Pembunuhan Dengan Direncanakan Lebih Dulu

Pembunuhan dengan direncanakan lebih dulu yang oleh pembentuk Undang-

undang disebut sebagai moord dan diatur dalam Pasal 340 KUHP yang rumusannya

sebagai berikut ini:

48
Andi Hamzah. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 116
49
Ibid. Hlm. 117
50
Ibid. Hlm. 119
51
P.A.F. Lamintang. Opcit. Hlm. 37
52
Ibid. Hlm. 36
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dulu

menghilangkan nyawa orang lain, karena telah melakukan suatu pembunuhan dengan

direncanakan lebih dulu, dipidana dengan pidana mati atau dipidana penjara seumur

hidup atau dengan pidana penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun. Bahwa

tindak pidana pembunuhan berencana sebagaimana di atur dalam Pasal 340 KUHP

yang telah diuraikan di atas terdapat unsur-unsur delik yang diantaranya :53

a. Unsur subjektif :

1. Opezettelijk atau dengan sengaja.

2. Voorbedachte raad atau direncanakan lebih dulu.

b. Unsur objektif :

1. Beroven atau menghilangkan.

2. Leven atau nyawa.

3. Een ander atau orang lain.

Apabila diperhatikan rumusan dalam Pasal 340 KUHP merupakan pengulangan

kembali dari Pasal 338 KUHP, hanya saja dalam Pasal 340 KUHP ditambahkan unsur

voorbedachte raad atau direncanakan lebih dulu.Oleh karena dalam Pasal 340 mengulang

lagi seluruh unsur dalam Pasal 338, maka pembunuhan berencana dapat dianggap sebagai

pembunuhan yang berdiri sendiri (een zelfstanding misdrijf), lepas dan lain dari
54
pembunuhan dalam bentuk pokok (doodslag). Adapun penjelasan tentang unsur-

unsur di atas akan diuraikan dibawah ini:

1. Opzetilijk atau dengan sengaja

Pada sub-bab sebelumnya telah diuraikan unsur kesengajaan dalam pembunuhan

dalam bentuk pokok, atau doodslag. Maka dalam sub-bab ini hanya disinggung mengenai

sifat pada unsur kesengajaan dalam delik pembunuhan berencana. Dipandang dari

sifatnya opzet atau dolus sebagaimana dimaksud oleh pembentuk Undang-undang

bahwa di dalam rumusan Pasal 340 KUHP merupakan dolus premeditatus yakni

merupakan opzet yang terbentuk karena telah direncanakan terlebih dahulu.Berbeda hal

53
P.A.F. Lamintang, Opcit. hlm. 52
54
Adami Chazawi, Opcit. hlm. 81
dengan ketentuan dalam Pasal 338 KUHP, bahwa opzet atau dolus yang terdapat

dalam rumusan Pasal 338KUHP merupakan dolus impetus, yakni opzet yang telah

terbentuk secara tiba- tiba. Sehingga yang menjadi pembeda antara pembunuhan (biasa)

atau doodslag dengan pembunuhan berencana atau moord terletak pada sifat dari

opzet atau dolus. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa jika opzet atau dolus untuk

menghilangkan nyawa orang lain merupakan suatu dolus impetus, maka opzet untuk

menghilangkan nyawa orang lain tersebut akan menghasilkan doodslag seperti yang

diatur dalam Pasal 338 KUHP, sedangkan jika opzet atau dolus untuk menghilangkan

nyawa orang lain itu merupakan suatu dolus premeditatus, maka opzet untuk

menghilangkan nyawa orang lain tersebut akan menghasilkan moord seperti yang diatur

dalam Pasal 340 KUHP.55

Delik pembunuhan merupakan delik materiil, sehingga dikatakan telah selesai

apabila perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku, menimbulkan akibat yang dilarang

oleh undang-undang. Lebih lanjut,Adami Chazawi berpendapat bahwa perbuatan

menghilangkan nyawa dirumuskan dalam bentuk aktif dan abstrak. Bentuk aktif artinya

mewujudkan perbuatan dengan gerakan dari sebagian anggota tubuh tidak diam atau

pasif walau sekecil apapun. Walaupun dirumuskan dalam bentuk aktif, tetapi dalam

keadaan tertentu di mana seseorang ada kewajiban hukum untuk berbuat, maka perbuatan

diam atau pasif dapat masuk pada perbuatan menghilangkan nyawa, dan apabila ada

maksud membunuh. Misalnya, seorang ibu dengan maksud untuk membunuh bayinya,

sengaja tidak menyusui bayinya itu sehingga kelaparan dan mati.56

2. Direncanakan lebih dulu (voorbedachte raad)

Unsur voorbedachte raad atau direncanakan lebih dulu dalam Pasal 340

KUHP unsur yang membedakan dengan pembunuhan dalam bentuk pokok atau

doodslag sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP. Seperti yang telah dijelaskan

di atas bahwa Pasal 340 KUHP merupakan tindak pidana pembunuhan yang berdiri

sendiri. Dalam Memorie van Toelichting atau memori penjelasan memberikan batasan-

55
P.A.F. Lamintang.Opcit, hlm. 36
56
Adami Chazawi. Opcit, hlm. 58-59
batasan terhadap “unsur direncanakan lebih dulu” yakni een tijdstip van kalm overleg van

bedaard nadenken yang artinya suatu jangka waktu untuk mempertimbangkan secara

tenang dan untuk mempertimbangkan kembali suatu rencana. Menurut Mr. Modderman

perbedaan antara doodslag dan moord bukan terletak pada jangka waktu tertentu antara

waktu pengambilan keputusan dengan waktu pelaksanaan, melaikan pada sikap kejiwaan

(gemoedstoestand) atau pemikiran tentang perilaku selanjutnya dari pelaku setelah pada

dirinya timbul maksud untuk melakukan sesuatu. Sebagai lawan dari voorbedachte raad

adalah bertindak in impetu, dalam hal mana pengambilan keputusan dan pelaksanaan

keputusannya itu sendiri telah dilakukan oleh pelaku dalam pemikiran mengenai perilaku

yang tidak terputus, dan yang menutup kemungkinan bagi dirinya untuk bertindak secara

tenang dalam mengambil keputusan.57

Menurut Adami Chazawi, unsur direncanakan lebih dulu terdapat tiga unsur yang

diantaranya: 58

a. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang;

b. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan

pelaksaan kehendak;

c. Pelaksanaan kehendak dalam suasana tenang.

Memutuskan kehendak dalam suasana tenang, adalah pada saat memutuskan

kehendak untuk membunuh itu dilakukan dalam suasana (batin) yang tenang.

Suasana (batin) yang tenang adalah susana yang tidak tergesa-gesa atau tiba-tiba, tidak

dalam keadaan terpaksa dan emosional yang tinggi. Indikatornya ialah sebelum

memutuskan kehendak untuk membunuh itu, telah dipikirnya dan dipertimbangkannya,

telah dikaji untung dan ruginya. Pemikiran dan pertimbangan seperti ini hanya dapat

dilakukan jika dalam suasana tenang, kemudian akhirnya memutuskan kehendak untuk

berbuat dan perbuatannya tidak diwujudkan ketika itu.59

Ada tenggang waktu yang cukup antara sejak timbulnya niat atau kehendak

sampai pelaksanaan keputusan kehendak itu. Waktu yang cukup ini adalah relatif, dalam
57
P.A.F. Lamintang. Opcit, hlm. 56
58
Adami Chazawi. Opcit, hlm. 82
59
Ibid, hlm. 82
arti tidak diukur dari lama waktu tertentu, melainkan bergantung pada keadaan atau

kejadian konkret yang berlaku. Waktu yang digunakan tidak terlalu singkat. Jika

demikian pelaku tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berpikir- pikir. Begitu pula

waktu yang digunakan tidak boleh terlalu lama. Bila terlalu lama sudah tidak

menggambarkan lagi ada hubungan antara pengambilan keputusan kehendak untuk

membunuh dengan pelaksanaan pembunuhan.60

Dalam tenggang waktu itu masih tampak adanya hubungan pengambilan

putusan kehendak dengan pelaksanaan pembunuhan. Adanya hubungan itu, dapat dilihat

dari indikatornya sebagai berikut:

1. Pelaku masih sempat menarik kehendaknya untuk membunuh;

2. Bila kehendaknya bulat, ada waktu yang cukup untuk memikirkan misal,

cara atau alat yang digunakan untuk melaksanakan tujuannya, cara

menghilangkan jejak, cara menghindari pertanggung jawaban, dll

Mengenai syarat yang ketiga, berupa pelaksanaan pembunuhan dilakukan dalam

suasana batin yang tenang. Maksudnya suasana hati saat melaksanakan pembunuhan itu

tidak dalam suasana yang tergesa-gesa, amarah yang tinggi, rasa takut yang berlebihan

dan lain sebagainya. Tiga unsur/syarat yang telah dikemukakan diatas, bersifat kumulatif

dan saling berhubungan, suatu kebulatan yang tidak dapat dipisahkan. Sebab jika

terpisahkan/terputus maka sudah tidak dapat disebut sebagai direncanakan lebih dulu. 61

2. Penyertaan (Deelneming)

a. Pengertian Penyertaan

Pada umumnya subjek hukum dalam delik-delik sebagaimana terdapat dalam

KUHP dirumuskan dengan “barangsiapa”. Tentunya istilah “barangsiapa” atau hij die

ditujukan pada subjek hukum “orang”.62 Maka telah jelas bahwa yang dimaksud dengan

“barangsiapa” adalah orang dan orang hanya satu. Namun kejahatan tidak melulu

dilakukan oleh seorang pelaku, namun dapat juga dilakukan oleh dua atau lebih orang

60
Ibid, hlm. 82-83
61
Ibid, hlm. 83-84
62
Adami Chazawi. 2014. Opcit. Hlm 67-69
yang dilakukan secara bersekutu dan masing-masing pelaku diikat oleh suatu ikatan

kerjasama.

Sehubungan dengan penyertaan ini, Utrecht mengatakan bahwa pelajaran

umum turut serta ini justru dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang

memungkinkan pembuat melakukan peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu

sendiri tidak memuat semua anasir peristiwa pidana tersebut. Biarpun mereka bukan

pembuat - yaitu perbuatan mereka tidak memuat semua anasir- anasir peristiwa pidana,

masih juga mereka bertanggungjawab atas dilakukannya peristiwa pidana, karena tanpa

turut sertanya mereka sudah tentu peristiwa pidana itu tidak pernah terjadi.63

Penyertaan (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut

serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan

melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-

orang yang terlibat dalam kerjasama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-

masing mereka berbeda satu dengan yang lain, demikian juga tidak bisa sama apa yang

ada dalam batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain.

Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu

hubungan yang sedemikian rupa eratnya, dimana perbuatan yang satu menunjang

perbuatan yang lainnya, yang semuanya mengarah pada satu yakni terwujudnya tindak

pidana.Penyertaan atau deelneming oleh pembentuk undang-undang telah diatur

dalam Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP. Bahwa bila berbicara tentang Pasal 55 dan

Pasal 56 tidak hanya berbicara tentang penyertaan atau deelneming semata melainkan

juga berbicara tentang dader atau pelaku.64 Adapun dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP

dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 55 KUHP

1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

a. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut

serta melakukan perbuatan;

63
Ibid. Hlm. 71
64
Ibid. Hlm. 73
b. Mereka yang memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman

atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau

keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan

perbuatan.

2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah

yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya

Pasal 56 KUHP

Dipidana sebagai pembantu kejahatan:

1. Mereka yang sengaja member bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan

untuk melakukan kejahatan.

Berdasarkan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP,dapatlah diketahui bahwa menurut

KUHP itu dibedakan dalam dua kelompok yaitu: 65

1. Pertama, kelompok orang-orang yang perbuatannya disebabkan oleh Pasal

55 ayat (1), yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat (mededader),

adalah mereka:

a. Yang melakukan (plegen), orangnya disebut dengan pelaku atau

pleger; yang menyuruh melakukan (doen plegen), orangnya disebut

dengan penyuruh atau doen pleger; yang turut serta melakukan

(medeplegen), orangnya disebut dengan pelaku turut serta atau

medepleger yang sengaja menganjurkan (uitlokken), orangnya disebut

dengan penganjur atau uitlokker.

2. Kedua, yakni orang yang disebut dengan pembantu (medeplichtige)

kejahatan, yang dibedakan menjadi dua:

a. Pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan; dan

65
Adami Chazawi. 2014. Opcit. Hlm. 81-82
b. Pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.

Bahwa adapun penjelasan dari bentuk-bentuk penyertaan sebagaimana diuraikan

di atas akan dijelaskan dalam sub-bab berikutnya.

b. Orang Yang Melakukan (pleger)

Plegen dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP dirumuskan dengan zij die het feit plegen

yang artinya “mereka yang melakukan”. Pleger atau orang yang telah melakukan

pada dasarnya orang yang karena perbuatannya melahirkan tindak pidana, tanpa adanya

perbuatan dari pembuat pelaksana tindak pidana itu tidak akan terwujud.66 Maka hal ini

sama dengan dader yang mana pleger juga harus memenuhi semua unsur tindak pidana,

sebagaimana seorang dader.

Adapun yang menjadi pembeda antara dader dengan pleger adalah bagi seorang

pleger masih diperlukan keterlibatan minimal seorang lainnya, baik secara piskis

maupun terlibat secara fisik. Dengan kata lain pleger harus disertai keterlibatan seorang

yang lain dalam melakukan tindak pidana. Tetapi keterlibatan dalam hal sumbangan

peserta lain ini, perbuatannya haruslah sedemikian rupa sehingga perbuatannya itu tidak

semata-mata menentukan untuk terwujudnya tindak pidana yang dituju.67

c. Orang Yang Menyuruh Melakukan (doen pleger)

Di dalam doktrin hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain melakukan

suatu tindak pidana biasanya disebut sebagai seorang middelijke dader atau seorang

mittelbare tater yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia disebut sebagai pelaku

tidak langsung karena ia memang tidak secara langsung melakukan sendiri tindak

pidananya, melainkan dengan perantaraan orang lain. Sedangkan orang lain yang disuruh

melakukan suatu tindak pidana itu, biasanya disebut sebagai seorang materieele dader

atau seorang pelaku material.68

Dalam Memorie van Toelichting atau memori penjelasan KUHP Belanda,

menyatakan bahwa yang menyuruh melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak

pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantara orang lain sebagai
66
Ibid. Hlm 85
67
Ibid. Hlm. 85-86
68
Lamintang II. Opcit. Hlm. 609
alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan

atau tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau

tunduk pada kekerasan.

Dari keterangan dalam M.v.T tersebut di atas dapat ditarik unsur-unsur dari

bentuk penyuruh, yaitu:69

a. Melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di

dalam tangannya;

b. Orang lain berbuat:

1. Tanpa kesengajaan;

2. Tanpa kealpaan;

3. Tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan:

i. Yang tidak diketahuinya;

ii. Karena disesatkan; dan

iii. Karena tunduk pada kekerasan

Adapun penjelasan atas unsur-unsur dalam pada bentuk medeplegen akan

dijelaskan sebagai berikut:

a. Orang Lain sebagai Alat di dalam Tangannya

Dari keterangan dalam M.v.T dapat disimpulkan bahwa penyuruh dalam

medeplegen adalah orang yang menguasai orang lain, sebab orang lain itu sebagai alat,

orang inilah yang sesungguhnya mewujudkan tindak pidana. Sedangkan pembuat

penyuruhnya tidak melakukan sesuatu perbuatan aktif, perbuatan pelaku penyuruh tidak

melahirkan tindak pidana. Oleh karena orang lain itu sebagai alat, maka dia-orang yang

disuruh melakukan itu disebut dengan manus ministra. Sedangkan pelaku penyuruhnya

yang menguasai orang lain sebagai alat, maka orang yang berkualitas demikian disebut

sebagai manus domina yang dalam doktrin disebut dengan middelijke dader.70

69
Adami Chazawi. Opcit. hlm. 88
70
Ibid. Hlm. 89
Bahwa tentang apa yang dimaksud dengan melakukan tindak pidana tidak

secara pribadi tetapi dengan menggunakan orang lain sebagai alat dalam tangannya,

mengandung konsekuensi logis, sebagai berikut:71

i. Terwujudnya tindak pidana bukan disebabkan langsung oleh perbuatan

pelaku penyuruh, tetapi oleh perbuatan orang lain (manus ministra);

ii. Orang lain itu tidak bertanggung jawab atas perbuatannya yang pada

kenyataannya telah melahirkan tindak pidana.Mengenai hal ini telah ditegaskan

sebab-sebabnya oleh MvT sebagaimana pada unsur-unsur pada huruf b. Pihak

bertanggung jawab ada pada pelaku penyuruh (manus domina);

iii. Manus ministra tidak boleh dijatuhi pidana, yang dijatuhi pidana adalah

pelaku penyuruh.

b. Tanpa kesengajaan atau tanpa kealpaan 72

Perbuatan manus ministra pada kenyataannya telah mewujudkan tindak pidana,

namun tidak ada kesalahan di dalamnya baik karena kesengajaan maupun karena

kealpaan. Sebagai contoh tanpa kesengajaan seorang pemilik uang palsu (manus domina)

menyuruh pembantunya berbelanja dengan menggunakan uang palsu dengan

menyerahkan uang sebanyak 10 lembar yang diketahuinya palsu. Bahwa pembantu

tersebut termasuk manus ministra dalam delik mengedarkan uang palsu (245 KUHP).

Bahwa dalam delik mengedarkan uang palsu terkandung unsur kesengajaan. Dalam hal

ini pembantu tidak mengetahui tentang palsunya uang yang dibeanjakannya. Keadaan

ketidaktahuan itu artinya pada dirinya tidak ada unsur kesalahan (dalam bentuk

kesengajaan/opzettelijke).

Karena alasan tanpa kealpaan, contoh seorang ibu membenci seorang pemulung

karena seringnya mencuri benda-benda yang diletakkan dibelakang rumah. Pada suatu

hari ia mengetahui pemulung yang dibencinya itu sedang mencari benda-benda bekas di

bawah jendela rumahnya yang loteng. Untuk membikin penderitaan bagi pemulung itu,

dua menyuruh pembantunya untuk menumpahkan air panas dari jendela, dan mengenai

71
Ibid. Hlm. 90
72
Ibid. Hlm. 91
pemulung tersebut. Pada diri pembantu tidak ada kelalaian, apabila telah diketahuinya

selama ini bahwa, karena keadaan tidaklah mungkin ada dan tidak akan pernah ada

orang yang berada di bawah jendela, dan perbuatan seperti itu telah sering pula

dilakukannya.

c. Karena tersesatkan73

Bahwa yang dimaksud dengan “tersesatkan” adalah kekeliruan atau

kesalahpahaman akan suatu unsur tindak pidana yang disebabkan oleh pengaruh dari

orang lain (in casu manus domina) dengan cara-cara yang isinya tidak benar atau palsu,

yang atas kesalahpahaman itu memutuskan kehendak dan berbuat. Keadaan yang

menyebabkan orang lain timbul kesalahpahaman itu adalah oleh sebab kesengajaan

pembuat penyuruh sendiri. Sehingga apa yang diperbuat oleh orang yang tersesatkanoleh

karenanya dipertanggungjawabkan pada orang yang sengaja menyebabkan keadaan

tersesatkan itu.

d. Karena kekerasan74

Bahwa yang dimaksud dengan kekerasan (geweld) adalah perbuatan yang

menggunakan kekuatan fisik yang besar, yang in casu ditujukan pada orang,

mengakibatkan orang (fisiknya) tidak berdaya. Dalam hal bentuk pembuat penyuruh,

kekerasan ini datangnya dari pembuat penyuruh sendiri yang ditujukan pada fisik orang

lain (manus ministra), sehingga orang yang menerima kekerasan fisik ini tidak mampu

berbuat lain atau tidak ada pilihan lain selain apa yang dikehendaki oleh pelaku

penyuruh.

Dari uraian di atas mengenai tidak dapat dipidananya pelaku materiil dalam

bentuk orang yang menyuruh lakukan menurut keterangan yang termuat dalam MvT,

maka dari sudut perbuatan, manus ministra itu dapat dibeddakan antara lain:75

a) Manus ministra yang berbuat positif. Pada sebab tidak dapat dipidananya

manus ministra atas dasar tanpa kesalahan (baik kesengajaan maupun

73
Ibid. Hlm. 91
74
Ibid. Hlm. 92
75
Ibid. Hlm. 93
kealpaan), tersesatkan, sesuatu sebab dari sikap batinnya sendiri (subjektif).

Disini tindak pidana dapat terwujud adalah atas perbuatannya sepenuhnya.

b) Manus ministra tidak berbuat apapun. Pada sebab tidak dipidananya manus

ministra pembuat materiilnya dasar kekerasan, sesuatu yang dapat

menyebabkan ketidakberdayaan fisik absolut. Di sini manus ministra murni

sebagai alat, laksana sebuah tongkat untuk memukul orang.

d. Orang Yang Turut Serta Melakukan (medepleger)

Bentuk berikutnya dari deelneming atau dadaerschap adalah medeplegen atau

yang turut melakukan, dalam bentuk ini selalu terdapat seorang pelaku dan seorang atau

lebih pelaku yang turut melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya,

maka bentuk deelneming ini juga sering disebut sebagai mededaderschap. Menurut

Simons yang dimaksud dengan medepleger adalah sebagai berikut:76...... Mededaders,

yakni pelaku-pelaku yang tidak melakukan sendiri tindak pidana yang dilakukan oleh

pelaku yang lain.

Menurut M.v.T W.v.S Belanda yang dimaksud dengan medepleger atau orang

turut serta melakukan ialah setiap orang yang sengaja turut berbuat (medoet) dalam

melakukan suatu tindak pidana.77 Bahwa pengertian sebagaimana yang dijelaskan dalam

M.v.T belumlah memberikan penjelasan secara tuntas. Oleh karenanya muncul dua

pandangan terhadap apa yang disebut dengan turut berbuat. Menurut pandangan yang

sempit sebagaimana dianut oleh Van Hamel dan Trapman berpendapat bahwa turut

serta melakukan terjadi apabila perbuatan masing-masing perserta memuat semua unsur

tindak pidana. Pandangan seperti ini lebih condong pada ajaran objektif. Pada awalnya

yang disebut dengan turut berbuat adalah bahwa masing-masing peserta telah melakukan

perbuatan yang sama-sama memenuhi semua rumusan tindak pidana yang

bersangkutan. 78

Sedangkan padangan yang luas tentang pembuat peserta, tidak mensyaratkan

bahwa perbuatan pelaku peserta harus sama dengan perbuatan seorang pembuat,
76
Lamintang II, hlm 615
77
Adami Chazawi. Opcit. Hlm. 99
78
Ibid. Hlm. 99-100
perbuatannya tidak perlu memenuhi semua rumusan tindak pdana, sudahlah cukup

memenuhi sebagian saja dari rumusan tindak pidana, asalkan, kesengajaannya sama

dengan kesengajaan dari pembuat pelaksananya. Pandangan ini lebih mengarah pada

ajaran subjektif.79Bahwa menurut pandangan ini pelaku turut serta tidak harus

memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam

undang-undang, akan tetapi lebihmenekankan pada sudut subjektif yakni kesengajaan

dari pelaku turut serta. Maksudnya disini ialah bahwa pelaku dalam turut serta tidak harus

memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana selayaknya seorang dader melainkan harus

ada kesadaran adanya kerjasama antara para pelaku. disamping itu para pelaku telah

sama-sama melaksanakan tindak pidana yang dimaksudkan.

Dalam suatu Arrest Hoge Raad (29-10-1934) yakni lebih dikenal dengan arrest

hooi.80 Bahwa dalam arrest tersebut Hoge Raad menentukan dua kriteria tentang

adanya bentuk pembuat peserta yang mana dalam arrest ini menganut pandangan yang

luas. Adapun kriteria tentang adanya bentuk pembuat peserta adalah:81

a) Antara para peserta ada kerja sama yang diinsyafi;

b) Para peserta telah sama-sama melaksanakan tindak pidana yang

dimaksudkan.

Hoge Raad dengan Arrest-nya ini telah membentuk suatu pandangan pembuat

peserta yang semula indikatornya harus sama-sama memenuhi semua unsur tindak

pidana, menjadi ada kerjasama yang diinsyafi dan mereka telah melaksanakan tindak

pidana, yang menitikberatkan pada ajaran subjektif dari pada pendapat lama yang

bertitik tolak pada pandangan objektif. Berdasarkan pandangan ini, maka hanya

semata-mata dari sudut perbuatan (objektif), perbuatan pembuat peserta itu boleh

sama dan tidak berbeda dengan perbuatan seorang pembuat pembantu. Bahwa yang

membedakan antara pembuat peserta (medepleger) dengan pembuat pembantu

(medeplichtiger) terletak pada kesengajaannya. Bahwa kesengajaan dari pembuat

pembantu ditujukan pada perbuatan untuk mempermudah dan memperlancar terwujudnya


79
Ibid. Hlm 100
80
Ibid. Hlm. 102
81
Ibid. Hlm. 102-103
kejahatan bagi orang lain. Sedangkan pada pelaku turut serta (medepleger) kesengajaan

ditujukan pada penyelesaian tindak pidana adalah sama dengan kesengajaan dari

pembuat pelaksananya (pleger). Disamping itu adanya kesamaan kepentingan antara

pelaku82 Arrets ini dikenal dengan hooi arrest, yakni ada dua orang A dan B yang

sama-sama bersepakat untuk membakar kandang kuda milik C. Dalam pembelaannya

B bukanlah sebagai orang yang membakar kandang kuda, dia tidak melakukan

pembakaran karena perbuatannya sekedar memegang tangga yang perbuatan mana

tidak memenuhi sebagai pelengkap atau seorang dader. Dia hanya membantu.83 turut

serta (medepleger) dengan pelaku pelaksana (pleger) untuk terwujudnya tindak pidana.

Sehubungan dengan dua syarat yang diberikan oleh Hoge Raad, maka arah

kesengajaan bagi pembuat pesera ditujukan pada dua hal yang tidak dapat dipisahkan

yaitu:

a. Kesengajaan yang ditujukan dalam hal kerjasamanya untuk mewujudkan

tindak pidana, ialah berupa keinsyafan/kesadaran seorang peserta terhadap peserta

lainnya mengenai apa yang diperbuat oleh masing-masing dalam rangka mewujudkan

tindak pidana yang sama-sama dikehendaki.

b. Kesengajaan yang ditujukan dalam hal mewujudkan perbuatannya menuju

penyelesaian tindak pidana. Disini kesengajaan pembuat peserta sama dengan

kesengajaan pembuat pelaksana, ialah sama- sama ditujukan pada penyelesaian tindak

pidana. Pembicaraan mengenai kesengajaan pembuat peserta pada umumnya adalah

mengenai kesengajaan yang kedua ini.

82
Ibid. Hlm. 112
83
Lamintang II. Hlm. 634

Anda mungkin juga menyukai