Bab Tinjauan Umum
Bab Tinjauan Umum
Istilah “tindak pidana” pada hakikatnya berasal dari istilah dalam bahasa
Belanda, yaitu “strafbaar feit.” Meskipun istilah ini terdapat dalam Wetboek van
Strafrecht (WvS) Belanda juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada
penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud strafbaar feit. Oleh karena itu para ahli
hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah tersebut, yang sampai saat ini
undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari
Istilah “delik” secara harfiah sebenarnya tidak ada kaitannya dengan istilah
strafbaar feit, karena istilah ini berasal dari kata delictum (bahasa Latin) yang juga
Secara harfiah, istilah “perbuatan” lebih tepat sebagai terjemahan feit, seperti
yang telah lama dikenal dalam perbendaharaan ilmu hukum Indonesia. Misalnya istilah
1
Satochid Kartanegara, tanpa tahun, Hukum Pidana. Kumpulan Kuliah. Bagian Satu, Balai Lektur
Mahasiswa, Jakarta, hlm. 65.
materieele feit atau formeele feit (feiten een formeele omschrijving, untuk rumusan
perbuatan dalam tindak pidana formil). Demikian juga istilah feit dalam banyak
rumusan norma-norma tertentu dalam WvS Belanda dan WvS Hindia Belanda,
misalnya Pasal 1, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 63 dan Pasal 64 KUHP selalu diterjemahkan
oleh para ahli hukum Indonesia dengan “perbuatan,” dan tidak dengan “tindak” atau
Menurut Vos seperti dikutip E. Utrecht, 2 suatu peristiwa pidana adalah suatu
diberi hukuman; jadi suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan
diancam dengan hukuman. Dalam definisi Vos terlihat anasir-anasir sebagai berikut:
maka di situ telah ada delik. Akibat anasir ini ialah peristiwa dan pembuat tidak dapat
dipisahkan yang satu dari yang lain (feit en dader zijn niet van elkaar te scheiden)
b. “Wesenschau.”
apabila kelakuan itu “dem Wesen nach” yaitu menurut sifatnya cocok dengan
2
E. Utrecht, 1986, Hukum Pidana I. Rangkaian Sari Kuliah, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hlm. 251-262.
Dengan demikian, peristiwa pidana merupakan suatu kelakuan manusia yang
oleh peraturan-undangan (Pasal 1 ayat (1) KUHP) dilarang umum dan diancam
dengan hukuman.
maka tidak semua kelakuan manusia yang melanggar ketertiban hukum adalah suatu
peristiwa pidana. Alasan apakah yang membenarkan atas suatu kelakuan manusia
dijatuhkan suatu hukuman, itulah dijawab oleh teori hukuman yang dianut.
Pengertian istilah “strafbaar feit” adalah suatu kelakuan manusia yang diancam
pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang umumnya dilarang
normovertreding), yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang diancam atau
kesejahteraan umum.
pidana” itu yaitu suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan
Menurut hukum positif, peristiwa itu merupakan peristiwa yang oleh undang-
undang”, adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Pompe membuat
atau anasir bersalah (schuld) bukan anasir mutlak (noodzakelijke eigenschap) peristiwa
pidana. Selanjutnya Pompe mengatakan, hanya pada rupanya (ogenshijnlijk) saja kedua
Teori berpegangan pada asas: tidak dapat dijatuhkan hukuman, bila tidak ada
kelakuan yang bertentangan (melawan) hukum dan yang diadakan karena kesalahan
pembuatnya (“geen straf wordt toegepast, tenzij eraeen wederrechtelijke en aan schuld
te wijten gedraging is”). Hukum positif berpegangan pada asas: tiada kesalahan tanpa
Jadi makna teori ini dapat dirumuskan sebagai berikut: tiada hukuman tanpa kesalahan
(“geen straf zonder schuld”). Asas ini menjadi dasar dari baik hukum positif maupun
teori.
4
Bambang Poernomo, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 91.
2. Definisi panjang atau lebih mendalam memberi pengertian “strafbaar feit”
Jalan pikiran definisi pendek menyatakan, untuk setiap delik yang dapat
pendapat umum yang tidak dapat menentukan lain dari telah ditentukan oleh undang-
undang. Definisi yang panjang menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan
tegas dalam setiap delik, atau unsur tersembunyi secara diam-diam dianggap ada. Bila
dirumuskan secara tegas justru dalam membuktikan unsur-unsur delik akan banyak
persoalan, untuk setiap kali harus dibuktikan yang merupakan beban berat bagi
dibuat uraian anasir-anasir peristiwa pidana dan dari uraian tersebut orang dapat
menarik kesimpulan apakah peristiwa pidana itu. Disinggung pula pendapat Van Der
Hoeven, yang menolak dipakainya istilah “strafbaar feit”, karena yang dihukum
bukan peristiwa tetapi pembuat. Van Der Hoeven menganjurkan dipakai istilah
5
E. Utrecht, Loc.Cit.
dihukum, tetapi tidak dapat dihukum karena undang-undang pidana tidak menyebut
Dalam definisi Van Hattum 6 ada beberapa anasir penting,Pertama, Van Hattum
menegaskan bahwa peristiwa dan pembuat (yang mengadakan peristiwa) sama sekali
tidak dapat dipisahkan (“dat feit en persoon in het strafrecht onafsheidenlijk zijn”).
bahwa seseorang hanya dapat dihukum karena peristiwa (kelakuan) yang ia sendiri
adakan (“een persoon slechts strafbaar kan zijn terzake van een feit, hetwelk hij zelf
heeft begaan”). Seperti dalam turut-serta (deel-neming), jumlah peristiwa pidana adalah
Kedua, sering terjadi ada tidaknya suatu kelakuan yang melawan hukum
pembuat ditempatkan. Oleh sebab itu juga, maka peristiwa dan pembuat tidak dapat
dipisahkan.
itu “eene strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling
van een toerekeningsvatbaar persoon {suatu perbuatan yang (a) oleh hukum diancam
hukuman, (b) bertentangan dengan hukum, (c) dilakukan oleh seorang yang bersalah,
dan (d) orang itu boleh dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya}.”
6
Ibid., hlm 254.
7
Ibid., hlm 255-256.
J.M.van Bemmelen 8 memberi pengertian “perbuatan,” di mana suatu perbuatan
hampir tak pernah hanya terdiri atas satu tingkah laku manusia (bertindak atau
melalaikan), juga beberapa keadaan dalam mana perbuatan itu terjadi, termasuk
aturan pidana dalam menguraikan perbuatan yang dilarang dan yang diancam pidana,
tidak hanya memuat petunjuk tingkah laku dilarang (tindakan delik sebenarnya);
sekaligus beberapa keadaan, dimana tingkah laku itu khusus dilarang. Uraian perbuatan
(tingkah laku dan keadaan yang menyertai), satu jenis tingkah laku, dinamakan uraian
delik.
Isi uraian delik, dibedakan berbagai bagian perbuatan yang diancam pidana.
Yang dalam keseluruhannya harus merupakan uraian delik, disusun secara cermat, jelas
dan lengkap dalam surat dakwaan terhadap perbuatan yang dituduhkan, jika
dikehendaki tuntutan itu akan diadili. Perumusan delik yang mempunyai sejumlah
elemen, di antara para ahli berbeda pendapat. Sebagian pendapat membagi elemen
perumusan delik secara mendasar, pendapat lain membagi elemen perumusan delik
secara terperinci.
dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”. 9 Vos merumuskan bahwa strafbaar
8
J.M. van Bemmelen, 1984, Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum, Bina Cipta,
Bandung, hlm. 97.
9
P.A.F. Lamintang, 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hlm. 174.
feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-
undangan. 10
yang tepat perihal “peristiwa pidana,” namun menarik suatu definisi: “peristiwa pidana
itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan
memasukkan unsur atau anasir yang berkaitan dengan pelakunya. Dalam “peristiwa
yang telah mengenai diri pelaku, seperti syarat ke-3, jelas syarat itu telah dihubungkan
dengan adanya orang yang berbuat melanggar larangan (peristiwa pidana). Kemampuan
bertanggungjawab melekat pada orangnya dan tidak pada perbuatannya, dilihat dari
dengan (adanya) pembuat, atau dapat dipidana pembuatnya. Bertolak dari pandangan
10
Martiman Prodjohamidjojo, 1995, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia 1, PT.
Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 16.
11
R. Tresna, 1959, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Tiara, Jakarta, hlm. 27.
Kemampuan bertanggungjawab adalah hal lain dari tindak pidana dalam artian abstrak,
yakni syarat untuk dapat dipidananya pelaku yang terbukti telah melakukan tindak
Demikian pula syarat ke-2, yakni perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa
yang dilukiskan dalam ketentuan hukum. Ketentuan hukum yang dimaksud adalah
agar perbuatan itu dapat dipidana harus mencocokkannya terlebih dahulu pada rumusan
dalam undang-undang.
Jika ada persesuaian, orang itu dapat dipidana dan bukan berupa tindak pidana.
Sedangkan kalimat “yang dilukiskan dalam ketentuan hukum” tertentu yang dilarang
oleh undang-undang, adalah rumusan konkrit tentang tindak pidana tertentu; seperti:
Pasal 362 KUHP tentang pencurian, Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, dan
lainnya.
Syarat ke-2, ke-3, dan ke-4 adalah syarat untuk dapat dipidananya
pelaku/pembuat, dan bukan syarat tindak pidana. Hal tersebut berarti bahwa pendapat R.
Tresna yang semula tampak dalam rumusan yang dibuatnya, dengan memisahkan antara
dipidananya si pembuat (dader) yang disebut sebagai syarat- syarat peristiwa pidana.
istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan isi pengertian dari strafbaar feit,
walaupun istilah “delik” pernah juga digunakan beliau. Moeljatno menggunakan istilah
“perbuatan pidana,” yang didefinisikan sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu
bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.” Istilah perbuatan pidana lebih tepat,
alasannya:
Moeljatno juga menyatakan bahwa istilah “peristiwa pidana” dan istilah “tindak
12
Moeljatno, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 54
2. Istilah “tindak pidana,” perkataan “tindak” tidak menunjuk pada hal abstrak
seperti perbuatan, tetapi sama dengan perkataan “peristiwa” yang juga
menyatakan keadaan konkrit, seperti: kelakuan, gerak gerik, atau sikap
jasmani; hal mana lebih dikenal dalam tindak tanduk, tindakan, dan
bertindak. 13
sering disebut pandangan dualisme juga dianut banyak ahli misalnya: Pompe, Vos,
Tresna, Roeslan Saleh, dan A. Zaenal Abidin. Hal ini tampak dengan dirumuskannya
tidak boleh dijatuhi pidana. Dengan berpikir sebaliknya, berarti untuk mempidana
seseorang pelaku tindak pidana, disyaratkan orang itu harus mempunyai kemampuan
pertanggung jawaban pidana. Bukan itu saja, tidak dipidananya pelaku tindak pidana
dapat terjadi karena alasan, perbuatannya kehilangan sifat melawan hukumnya; seperti:
unsur perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya; ada pandangan lain
dalam pendekatan terhadap tindak pidana, antara lain: J.E. Jonkers, Wirjono
13
Ibid., hlm. 55.
Rumusan yang mereka buat tentang tindak pidana, yaitu:
dipertanggungjawabkan” 14
hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat
dihukum” 17
“dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan” (Jonkers), (2) “pelakunya
dapat dikenakan hukuman” (Wirjono), (3) “asal dilakukan oleh seorang yang karena itu
membicarakan tindak pidana, selalu dibayangkan telah ada orang yang melakukan, dan
Penganut monistis tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana
dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku. Unsur yang mengenai diri orangnya bagi
bukan unsur tindak pidana melainkan syarat untuk dapat dipidananya. Sedangkan
menurut paham monisme adalah juga merupakan unsur tindak pidana. Bagi paham
monisme ini tidak membedakan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk
dapatnya dipidana, syarat dipidananya itu juga masuk dalam dan menjadi unsur
tindak pidana.
Sudarto seperti dikutip Andi Hamzah, 18 berpendapat sama benarnya dan tidak
perlu dipertentangkan. Perbedaan itu ada karena didasarkan pada sudut pandang yang
berbeda. Bagi dualisme yang memandang dari sudut abstrak, bahwa di dalam
memberikan isi pengertian tindak pidana tidak dengan demikian lalu dibayangkan
adanya orang yang dipidana, memandang tindak pidana semata-mata pada perbuatan
dan akibat yang sifatnya dilarang. Jika perbuatan yang sifatnya dilarang itu telah
dilakukan/terjadi (konkrit), baru melihat pada orangnya, yaitu jika orang itu mempunyai
18
Andi Hamzah, 1994, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 69.
Aliran monistis memandang sebaliknya,strafbaar feit tidak dapat dipisah dengan
orangnya. Dibayangkan dalam strafbaar feit selalu ada si pembuat (orangnya) yang
dipidana. Oleh karena itu unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dapat dipisah
Unsur tindak pidana (pada perbuatan) dengan syarat dipidana (pada orang), tidak
dipisah sebagaimana menurut paham dualisme. Hanya dalam teori saja perbedaan itu
penting dibicarakan, dalam praktek hukum, tidak. Dalam praktek hukum, yang menjadi
perhatian dan acuan baik ketika penyidikan dilakukan, yakni tidak mengacu pada salah
(misalnya “sengaja”: Pasal 338, Pasal 406 KUHP, dan lainnya; “maksud”:
Pasal 362, Pasal 406 KUHP, dan lainnya) tetapi pada banyak rumusan yang
disyaratkan: harus terpenuhinya semua unsur yang terdapat dalam tindak pidana. Jika
yang didakwakan adalah tindak pidana yang dalam rumusan terdapat unsur
kesalahan dan/atau melawan hukum (bersifat subyektif, misalnya Pasal 368, Pasal
369, Pasal 378, dan Pasal 390 KUHP); unsur itu harus terdapat dalam diri pelakunya,
dalam arti harus terbukti. Tetapi jika dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan
tidak dicantumkan unsur diri orangnya (kesalahan), maka unsur itu tidak perlu
dibuktikan. Dalam hal ini tidak berarti bahwa pada diri pelaku tidak terdapat unsur
kesalahan, mengingat dianutnya asas “tidak ada pidana tanpa kesalahan” (geen straf
zonder schuld).
dalam semua rumusan tindak pidana, maka tidak perlu dibuktikan. Dalam praktek
hukum, hanya penting terhadap usnur-unsur yang ada dalam rumusan tindak pidana saja
dalam hal terjadinya tindak pidana (konkrit). Untuk terjadi atau terwujudnya tindak
pidana, sudah cukup dibuktikan semua unsur yang ada pada tindak pidana
bersangkutan.
dijatuhkan. Terwujudnya tindak pidana tertentu tidak dengan demikian diikuti pidana
sudut teoritis dan dari sudut undang-undang. Maksud teoritis adalah berdasarkan pendapat
para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan dari sudut undang-
Berbagai rumusan tindak pidana telah disusun oleh para ahli hukum, baik menurut
paham dualisme maupun paham monisme. Unsur apa yang ada dalam tindak pidana
adalah melihat bagaimana bunyi rumusan yang dibuatnya. Beberapa contoh, diambilkan
dari batasan tindak pidana oleh teoritis disebut di muka, yakni menurut: Moeljatno, R.
a. Perbuatan;
Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum.
Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, pokok pengertian ada pada peraturan, tetapi
Pengertian diancam pidana adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya
dijatuhi pidana. Apakah dalam kenyataannya orang yang melakukan perbuatan itu
dijatuhi pidana atau tidak, adalah hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana.
19
Moeljatno, Loc.Cit.
20
Martiman Prodjohamidjojo, Loc.Cit.
Berdasarkan unsur ke-3, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat
pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti
pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dijatuhi pidana. Meskipun mempunyai kesan
setiap perbuatan yang bertentangan dengan itu selalu diikuti dengan pidana, namun
dalam unsur itu tidak terdapat kesan mengenai syarat-syarat (subyektif) yang melekat
a. Kelakuan manusia;
Unsur-unsur dari ketiga batasan penganut paham dualisme di muka, tidak ada
perbedaan. Bahwa tindak pidana adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam
Dari unsur-unsur yang ada, jelas terlihat bahwa unsur tersebut tidak menyangkut
tampak berbeda; misalnya pendapat Jonkers dan Schravendijk. Batasan yang dibuat
a. Perbuatan (yang);
d. Dipertanggungjawabkan. 22
Schravendijk dalam batasan yang dibuatnya secara panjang lebar, jika dirinci
21
R. Tresna, Loc.Cit.
22
J.E. Jonkers, Loc.Cit.
c. Diancam dengan hukuman;
e. Dipersalahkan/kesalahan. 23
Bagian yang objektif menunjuk delik terdiri dari perbuatan (een doen of
naleten) dan akibat, yang merupakan kejadian yang bertentangan dengan hukum positif
sebagai anasir yang melawan hukum (onrechtmatig) yang dapat diancam dengan pidana,
Menurut Apeldoorn, 24 elemen delik terdiri dari elemen objektif berupa adanya
hukum. Pendapat ini sesuai pendapat van Bemmelen 25 yang menyatakan bahwa elemen
dari strafbaar feit dapat dibedakan menjadi: “Elementen voor de strafbaarheid van het
feit terletak dalam bidang objektif yang pada dasarnya menyangkut tata kelakuan yang
elemen, yaitu:
a. Elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat
(een doen of een nalaten);
23
Wirjono Prodjodikoro, Loc.Cit.
24
L.J. van Apeldoorn, Op.Cit., hlm. 338-342.
25
J.M. van Bemmelen, Op.Cit., hlm. 70.
26
Bambang Poernomo, Op.Cit., hlm. 104.
b. Elemen akibat dari perbuatan, yang terjadi dalam delik selesai. Elemen akibat
ini dapat dianggap telah ternyata pada suatu perbuatan, dan kadang-kadang
elemen akibat tidak dipentingkan di dalam delik formeel, akan tetapi kadang-
kadang elemen akibat dinyatakan dengan tegas yang terpisah dari
perbuatannya seperti di dalam delik materiel;
c. Elemen kesalahan, yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja (opzet) atau
alpa (culpa);
d. Elemen melawan hukum (wederrechtelijkheid);
e. Dan sederet elemen lain menurut rumusan undang-undang, dibedakan
menjadi segi objektif misalnya dalam Pasal 160 KUHP diperlukan elemen
di muka umum (in het openbaar) dan segi subjektif misalnya Pasal 340
KUHP diperlukan elemen direncanakan lebih dahulu (voorbedachteraad).
voorwaarde van strafbaarheid) seperti dalam Pasal 164 dan 165 KUHP
memegang peranan penting, seperti dalam Pasal 167 dan 406 KUHP.
yang mendasar, akan tetapi ditambah elemen subsociale yang berasal dari ajaran
baru yang diperkenalkan Vrij. Elemen subsociale itu menambah doktrin di dalam
27
Ibid.
28
Ibid., hlm. 105.
ilmu hukum pidana, karena berusaha menyempurnakan konstruksi pemikiran dasar
masyarakat gelisah, terganggu, kacau, yang diakibatkan terjadinya suatu delik dan
Dasar teori subsosialitas dari Vrij tumbuh karena pertumbuhan asas oportunitas dengan
pertimbangan kemanfaatan di dalam kepentingan hukum akan lebih baik kalau Jaksa
untuk tidak sampai diajukan ke muka pengadilan. Asas opportunitas ini mempunyai
masyarakat dengan cara yang bijaksana, oleh karena itu apabila keadaan yang
subsosial tidak ada, apa perlunya menuntut dan menjatuhkan pidana. Penentuan suatu
delik itu harus diukur mempunyai keadaan yang subsosial atau tidak. Jika ternyata ada
keadaan subsosial berarti dapat dipidana. Bila tidak ada keadaan subsosial berarti tidak
Buku II KUHP memuat rumusan tindak pidana tertentu yang masuk kelompok
kejahatan, Buku III adalah pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu disebut dalam
c. unsur kesalahan;
Bertolak dari delapan unsur di atas, dua unsur diantaranya yaitu: kesalahan dan
melawan hukum; termasuk unsur subyektif. Sedangkan selebihnya adalah berupa unsur
obyektif.
hukumnya perbuatan mengambil pada pencurian (Pasal 362 KUHP); terletak pada
mengambil, di luar persetujuan atau kehendak pemilik (melawan hukum obyektif). Pasal
251 KUHP, kalimat “tanpa izin pemerintah”. Pasal 253 KUHP, kalimat “menggunakan
cap asli secara melawan hukum” adalah berupa melawan hukum obyektif.
Ada juga melawan hukum subyektif, misalnya melawan hukum dalam penipuan
(oplichtng, Pasal 378 KUHP), pemerasan (afpersing, Pasal 368 KUHP), pengancaman
(afdreiging, Pasal 369 KUHP); di mana disebut maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Juga unsur melawan hukum bersifat
subyektif, artinya terdapat kesadaran bahwa memiliki benda orang lain yang ada dalam
berupa melawan hukum obyektif atau subyektif, bergantung bunyi redaksi rumusan
Unsur yang bersifat obyektif adalah semua unsur yang berada di luar keadaan
batin manusia (si pembuat), yakni semua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan
dan keadaan tertentu yang melekat (sekitar) perbuatan dan obyek tindak pidana. Unsur
yang bersifat subyektif adalah semua unsur mengenai batin atau melekat pada keadaan
batin orangnya.
Dalam dogmatik hukum pidana istilah sifat melawan hukum” tidak selalu berarti
sama. Ada empat makna yang berbeda-beda tetapi yang masing-masing dinamakan sama,
yaitu sifat melawan hukum. Harus ditanya dalam hubungan apa istilah itu dipakai untuk
a. Sifat melawan hukum umum, yang diartikan sebagai syarat umum untuk
dapat dipidana yang tersebut dalam rumusan penertian perbuatan pidana:
Perbuatan pidana adalah kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan
delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.
b. Sifat melawan hukum khusus, ada kalanya kata “bersifat melawan hukum”
tercantum secara tertulis dalam rumusan delik. Jadi sifat melawan hukum
merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidana. Sifat melawan hukum yang
menjadi bagian tertulis dari rumusan delik dinamakan sifat melawan hukum
khusus.
c. Sifat melawan hukum formal, berarti semua bagian yang tertulis dari
rumusan delik telah dipenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat
dipidana).
d. Sifat melawan hukum materiil, berarti melanggar atau membahayakan
kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-
undang dalam rumusan delik tertentu. 29
Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik dari
undang-undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya
perbuatan, bersumber pada asas legalitas. Dari uraian di muka, ternyata penafsiran sifat
melawan hukum formal mendekati sifat melawan hukum materiil, namun apakah
Apakah untuk dapat dipidananya delik dengan rumusan formal cukup dengan
adanya sifat melawan hukum formal saja, ataukah disyaratkan adanya sifat melawan
kepentingan hukum. Sifat melawan hukum umum diartikan sifat melawan hukum sebagai
29
D. Schaffmeister, et.al., Op.Cit., hlm. 39.
syarat tak tertulis, untuk dapat dipidana. Untuk dapat dipidananya suatu perbuatan
dengan sendirinya berlaku syarat bahwa perbuatan bersifat melawan hukum berarti
Sifat melawan hukum materiil banyak diikuti dan menjadi pendapat hukum
Indonesia. Menurut pikiran para pakar hukum pidana, hukum dan undang-undang
tidaklah sama. Bahkan sebagian besar hukum Indonesia terdiri atas aturan-aturan
tidak tertulis. Hakim terikat kepada sistem hukum yang berlaku. Namun demikian, hakim
Indonesia bebas untuk meninjau secara mendalam apakah penetapan- penetapan yang
diambil pada waktu yang lampau masih dapat dan harus dipertahankan berhubung
Pembuat undang-undang tidak dapat berbuat lain selain hanya secara skema. Perbuatan
yang termasuk rumusan delik merupakan sekumpulan perbuatan yang umumnya diancam
pidana. Karena rumusan yang fragmen dan skema di dalamnya tidak merupakan
Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan suatu cara yang dapat menegaskan
bahwa sesuatu perbuatan yang memang termasuk rumusan delik, setelah dilihat
tersendiri, berhubung dengan suatu kejadian khusus, menjadi tidak bersifat melawan
hukum dan juga tidak dapat dipidana. Terhadap yang terakhir ini, hakim tidak boleh
berdiam diri dan menantikan sampai undang-undang pula yang akan membenarkan
perbuatan itu.
Dalam hubungan ini perlu diingat bahwa aturan hukum pidana Indonesia sebagian
terbesar telah dimuat dalam KUHP dan lain-lain perundang-undangan tertulis. Pandangan
dikecualikan oleh hukum tidak tertulis, sehingga tidak menjadi perbuatan pidana.
Biasanya ini disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materiil.
Fungsinya yang positif, yaitu walaupun tidak dilarang oleh undang-undang, tetapi
oleh masyarakat perbuatan itu dipandang tercela dan dengan itu perlu menjadikannya
perbuatan pidana tidak mungkin dilakukan menurut sistem hukum Indonesia, mengingat
Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan hukum
pidana itu harus bersifat melawan hukum (wederrechtelijkheid). Terhadap hal ini terdapat
dua macam pendapat atau ajaran mengenai kapankah suatu perbuatan itu dianggap
dalam undang-undang pula. Bagi pendapat ini, melawan hukum berarti melawan
sifat melawan hukum formil, apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang
termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada
30
Komariah Emong Sapardjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana
Indonesia. Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, PT.
Alumni, Bandung, hlm. 25.
Menurut pendapat ini, belum tentu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-
undang itu bersifat melawan hukum. Bagi pendapat ini yang di namakan hukum itu
bukan hanya undang-undang (hukum yang tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang
tidak tertulis, yaitu kaidah-kaidah atau kenyataan yang berlaku dalam masyarakat.
Dengan demikian, dalam ajaran sifat melawan hukum materil, di samping memenuhi
syarat-syarat formil, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan tindak
tidak patut atau tercela. Ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-
undang. Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak
tertulis.
bersifat “wederrechtelijk” yaitu apabila perbuatan memenuhi semua unsur yang terdapat
dapat dipandang bersifat “wederrechtelijkheid” atau tidak, bukan saja harus ditinjau
sebagai kaidah materiil, mempunyai padanan sifat dengan pengertian onrechtmatige daad
dalam hukum perdata yang mencakup perbuatan melawan hukum dari Arrest Hoge Raad
atau tata sopan santun masyarakat. Demikian tegasnya sifat melawan hukum secara
materil, diartikan sebagai perbuatan yang melanggar norma atau sopan santun dalam
pergaulan hidup masyarakat, atau dengan pengertian luas sebagai perbuatan yang
Menurut Hoge Raad, melawan hukum tidak sama dengan melawan undang-
undang. Perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak
31
P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hlm. 351.
32
Indrijanto Senoadji, Op.Cit., hlm 33.
berbuat yang memperkosa hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban
hukum kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain.
Berdasarkan putusan ini, perbuatan melawan hukum adalah setiap perbuatan atau
kelalaian yang menimbulkan pelanggaran terhadap hak orang lain atau bertentangan
dengan kewajiban hukum pelaku atau kesusilaan yang baik dan kepatutan dalam
masyarakat. 33
bertalian dengan fungsi negatif dari sifat melawan hukum materiil mulai diterapkan
tanggal 20 Februari 1933. Yaitu putusan Hoge Raad yang dikenal dengan Arrest Dokter
Hewan. Menurut Hoge Raad tersebut, dengan adanya Wet mengenai pendidikan dokter
yang boleh menjalankan pekerjaan dokter hewan telah diatur. Berdasarkan bahwa sifat
melawan hukum perbuatan yang telah dilakukan itu dalam hal ini ternyata tidak ada,
maka pasal yang bersangkutan tidak dapat diterapkan pada perbuatan yang secara
harfiah termasuk dalam rumusan delik, demikian pertimbangan Hoge Raad. 34 Di sini
Hoge Raad memandang sifat melawan hukum sebagai unsur dari perbuatan pidana
yang dirumuskan dalam pasal yang bersangkutan, meskipun dalam naskah pasal tersebut
Fungsi negatif ajaran sifat melawan hukum materil yaitu, suatu perbuatan
yang dilarang oleh undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis,
sehingga tidak menjadi perbuatan pidana. Sedangkan fungsi positif ajaran melawan
hukum materil yaitu, walaupun tidak dilarang undang-undang, tetapi oleh masyarakat
perbuatan itu dipandang tercela dan dengan itu perlu menjadikannya perbuatan pidana;
tidak mungkin dilakukan menurut sistem hukum Indonesia mengingat bunyi Pasal 1 ayat
(1) KUHP. 35
33
Rachmat Setiawan, 1991, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum, Bina Cipta, Bandung,, hlm.
10.
34
Roeslan Saleh, 1987, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Bandung, hlm.12
35
Ibid., hlm 18-19.
Fungsi positif sifat melawan hukum yang materil yaitu, perbuatan tidak dilarang
oleh undang-undang tetapi oleh masyarakat perbuatan itu dianggap keliru berhubung
dengan adanya asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) dalam hukum pidana lalu
tidak mungkin. 36
materil menjadi positif, sebagai gejala tidak sehat. Yang akan mengurangi kepercayaan
tentang kepastian hukum. 37 Sifat melawan hukum materiel suatu perbuatan pidana terdiri
atas perlakuan terhadap aturan hukum pidana yang bersamaan, merupakan perlakuan
terhadap kepentingan hukum yang bersifat publik, yang dilindungi aturan itu.
Suatu hubungan antara cara yang pantas dan tujuan yang patut tetapi ada di luar
bersifat publik, tidak bersifat menentukan sifat melawan hukum materiel yang selalu
menentukan sifat melawan hukum materiel juga tidak boleh digunakan norma yang
suatu lapangan yang diterima peserta sebagai aturan. Undang-undang pidana hanya “garis
tindakan-tindakan,” melalui ini hakim bergerak dalam peradilan pidana yang secara
dalamnya.
melawan hukum tidak sekedar bertentangan dengan hukum tertulis, juga dengan hukum
tidak tertulis yaitu di samping memenuhi syarat formal, perbuatan harus benar-benar
Dalam tindak pidana pembunuhan, ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi
36
Ibid., hlm 18-19.
37
Komariah Emong Sapardjaja, Op.Cit., hlm. 211
dengan kriteria apabila perbuatan pelaku yang tidak termasuk atau tidak memenuhi
rumusan delik, dipandang dari kepentingan hukum ternyata menimbulkan kerugian yang
jauh tidak seimbang bagi masyarakat atau negara dibanding dengan keuntungan yang
bahwa “melawan hukum materiil harus digunakan secara negatif, ini berarti apabila
terdapat suatu perbuatan nyata-nyata merupakan hal yang melawan hukum secara formil,
sedangkan di dalam masyarakat perbuatan tersebut tidak tercela, jadi secara materiil tidak
selain daripada mengikuti ajaran yang materiil, sebab orang Indonesia belum pernah ada
saat bahwa hukum dan undang-undang dipandang sama. Penilaian hukum adalah undang-
undang belum pernah kita alami. Bahkan sebaliknya, hampir semua hukum Indonesia asli
Bertolak dari kedua pendapat tersebut di atas tampak bahwa dalam rangka
menjamin adanya keadilan dan kebenaran, penerapan sifat melawan hukum materiil
sangat penting. Hal tersebut disebabkan karena di Indonesia tidak hanya berlaku hukum
positif dalam arti undang-undang saja, tetapi berlaku hukum yang tidak tertulis.
keadilan di samping harus memperhatikan Pancasila dan ketentuan yang diatur undang-
undang, juga nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Dalam penegakan hukum untuk
menjamin keadilan hakim harus aktif menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
undangan pidana dan masalah kualifikasi suatu perbuatan menurut hukum pidana.
38
Ibid.
39
Loebby Loqman, 1991, Beberapa Ikhwal Di Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Datacom, Jakarta, hlm. 31.
40
Moeljatno, Op.Cit., hlm. 133.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sifat melawan hukum materiil itu memainkan peranan
sebab pada akhirnya tiap-tiap norma hukum, juga aturan perundang-undangan pidana,
haruslah ditafsirkan.
Suatu hubungan antara cara yang pantas dan suatu tujuan yang patut tetapi yang
hukum yang bersifat publik, tidak bersifat menentukan terhadap sifat melawan hukum
materiil. Sifat melawan hukum materiil selalu terikat kepada struktur yuridis dari
norma perundang-undangan hukum pidana. Ini berarti, untuk menentukan sifat melawan
hukum materiil juga tidak boleh digunakan norma yang bersifat di luar yuridis atau tidak
yuridis.
bahasa Belanda, dapat dilihat dari putusan Hoge Raad tanggal 28 Juni 1911 yang
menyangkut Artikel 326 Ned. WvS (Pasal 378 KUHP), menyatakan: “ … de dader geen
eigen recht op de bevoordeling heeft …” (terdakwa tidak punya hak sendiri untuk
menikmati keuntungan itu). Jadi, keuntungan yang diperoleh menurut cara tersebut Pasal
326 Ned. WvS (Pasal 378 KUHP) atau penipuan, dengan sendirinya berarti melawan
dengan hak orang lain, tanpa hak sendiri (in strijd met het objectieve recht, in strijd met
het subjectieve recht van een ander, zonder eigenrecht) dan yurisprudensi Indonesia
menafsirkan unsur “melawan hukum” secara sosiologis secara negatif, yang meliputi
baik melawan hukum yang formil maupun yang materiil (formele en materiele
wederrechtelijkheid).
Sifat melawan hukum materiil dari suatu perbuatan pidana terdiri atas perlakuan
terhadap aturan hukum pidana yang bersamaan. Dengan itu pula merupakan perlakuan
terhadap kepentingan hukum yang bersifat publik, yang dilindungi oleh aturan tersebut.
Suatu hubungan antara cara yang pantas dan suatu tujuan yang patut tetapi berada
hukum yang bersifat publik, tidak bersifat menentukan terhadap sifat melawan hukum
materiil. Sifat melawan hukum materiil selalu terikat kepada struktur yuridis dari norma
Berarti, untuk menentukan sifat melawan hukum materiil juga tidak boleh
digunakan norma-norma yang bersifat di luar yuridis atau tidak yuridis. Perundang-
undang pidana hanyalah suatu “garis tindakan-tindakan,” melalui jalur ini hakim bergerak
dalam peradilan pidana. Yang secara keseluruhannya harus didasarkan pada peranan-
jiwa orang, yang diatur dalam Bab XIX yang terdiri dari 13 pasal, yakni Pasal 338
adalah suatu kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Menurut Lamintang untuk
menghilangkan nyawa orang lain seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu
rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan
bahwa opzet dari pelaku itu harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang
lain.41 Dengan kata lain berdasarkan pada pengertian yang dikemukakan oleh
Lamintang bahwa delik pembunuhan termasuk dalam delik materiil (materieel delict),
yang merupakan suatu delik yang dirumuskan secara materiil, yakni delik yang baru
dapatdianggap telah selesai dilakukan oleh pelakunya apabila timbul akibat yang
41
P.A.F. Lamintang. Opcit, hlm. 1
dilarang (akibat konstitutif atau constitutief-gevolg) yang tidak dikehendaki oleh
Undang-Undang.42
Ketiga syarat tersebut merupakan satu kesatuan yang bulat, meskipun dapat
dibedakan akan tetapi apabila salah satu syarat di atas tidak terpenuhi maka delik
pembunuhan dianggap tidak terjadi. Maka dapat disimpulkan bahwa delik pembunuhan
dapat terjadi apabila adanya wujud perbuatan serta adanya kematian (orang lain) dan
keduanya ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dan akibat yang ditimbulkan
yakni kematian. Bahwa akibat dari kematian haruslah disebabkan dari perbuatan
itu apabila tidak ada causal verband antara keduanya yakni suatu perbuatan dengan
akibat yang ditimbulkan yakni matinya orang lain maka delik pembunuhan dianggap
tidak terjadi.
tentang kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja dimuat dalam Bab
XIX KUHP yang terdiri dari tiga belas Pasal, yaitu dari Pasal 338 sampai dengan Pasal
berdasarkan dua kelompok yakni (1) atas dasar unsur kesalahannya, dan (2) atas dasar
objeknya (nyawa). Atas dasar kesalahannya ada dua kelompok kejahatan terhadap
nyawa, ialah:
42
Ibid. Hlm. 1
43
Adami Chazawi. 2013. Opcit, hlm. 57
1. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus
misdrijven), adalah kejahatan yang dimuat dalam BAB XIX KUHP, Pasal
misdrijven), yang dimuat dalam Bab XXI (khusus pada Pasal 359).
b. Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah
kandungan ibu (janin), dimuat dalam pasal 346, 347, 348 dan 349.
Delik pembunuhan merupakan delik meteriil atau materiil delict yang merupakan
suatu delik yang dirumuskan secara materiil, yakni delik yang baru dapat dianggap telah
selesai dilakukan oleh pelakunya apabila timbul akibat yang dilarang (akibat konstitutif
perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi,
yaitu: 46
3. Adanya hubungan sebab dan akibat (causal verband) antara perbuatan dan
44
Adami Chazawi. Opcit. hlm. 55-56
45
P.A.F. Lamintang. Opcit. Hlm. 1
46
Adami Chazawi. Opcit. Hlm. 57
Bahwa delik pembunuhan dalam bentuk pokok atau doodslag diatur dalam Pasal
338 Bab XIX KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa. Adapun rumusan dalam Pasal
Adapun rumusan dalam Pasal 338 KUHP diatas terdapat unsur-unsur tindak
b. Unsur objektif : Beroven atau Leven atau nyawa Een ander atau orang.
perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki. Maka kesengajaan sebagai wiilen en wetten
adalah orang yang menghendaki perbuatan dan akibatnya dan mengetahui, mengerti atau
insyaf akan akibat yang timbul serta unsur-unsur lain yang ada disekitar perbuatannya
itu. Lebih lanjut, memori penjelasan menyatakan bahwa apabila kata/unsur opzettelijk
dicantumkan dalam rumusan suatu tindak pidana, maka harus diartikan bahwa
kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur yang ada dibelakang unsur opzettelijk.
Oleh karena unsur sengaja dirumuskan dalam Pasal 338 KUHP dengan mendahului unsur
perbuatan menghilangkan orang lain, maka sengaja di sini harus diartikan bahwa pelaku
orang lain. Kehendak dan apa yang diketahui harus sudah terbentuk dalam batinnya
sebelum akibat timbul, dengan kata lain sebelum mewujudkan perbuatan atau setidak-
tidaknya pada saat memulai perbuatan, kehendak dan pengetahuan seperti itu telah
Menurut ajaran dalam hukum pidana terdapat tiga jenis kesengajaan yang
47
Ibid. Hlm. 65-68
a. Sengaja sebagai maksud (opzet als ogmerk) Bahwa yang dimaksud dengan
sengaja sebagai maksud adalah apabila pelaku menghendaki akibat
perbuatannya. Ia tidak pernah melakukan perbuatannya apabila pelaku tersebut
tidak mengetahui bahwa akibat dari perbuatannya tidak akan terjadi.48
b. Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet me bewustheid van
zekerheid of noodzakelijkheid) Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian
terjadi yakni pelaku yakin bahwa akibat yang dimaksudkannya tidak akan
tercapai tanpa terjadinya akibat yang tidak dimaksud.49
c. Sengaja dengan kesadaran kemungkinan (opzet met mogelijkheidsbewustzijn)
Menurut Hezewinkel-Suringa sengaja dengan kemungkinan, terjadi jika pembuat
tetap melakukan yang dikehendakinya walaupun ada kemungkinan akibat lain
(yang sama sekali tidak diinginkan) itu diinginkan daripada menghentikan
perbuatannya, maka terjadi pula kesengajaan.50
Dalam Pasal 338 KUHP unsur menghilangkan nyawa dirumuskan een ander
van het leven beroven yang artinya “menghilangkan nyawa orang lain”. Karena dalam
tindakan atau perilaku menghilangkan nyawa orang lain itu tidak selalu terdapat unsur
kekerasan, sedangkan jika kata beroven diterjemahkan dengan kata merampas maka
tindak tersebut harus dilakukan dengan kekerasan. Dalam Bab kejahatan terhadap nyawa
terdapat beberapa delik yang tindakan menghilangkan nyawa orang lain tilakukan tanda
nyawa orang lain dapat dilakukan atas permintaan korban sendiri, dan Pasal 348 ayat (1)
kandungan.51
tindakannya atau perilakunya adalah tindakan atau perilaku menghilangkan (nyawa orang
lain).52
undang disebut sebagai moord dan diatur dalam Pasal 340 KUHP yang rumusannya
48
Andi Hamzah. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 116
49
Ibid. Hlm. 117
50
Ibid. Hlm. 119
51
P.A.F. Lamintang. Opcit. Hlm. 37
52
Ibid. Hlm. 36
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dulu
menghilangkan nyawa orang lain, karena telah melakukan suatu pembunuhan dengan
direncanakan lebih dulu, dipidana dengan pidana mati atau dipidana penjara seumur
hidup atau dengan pidana penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun. Bahwa
tindak pidana pembunuhan berencana sebagaimana di atur dalam Pasal 340 KUHP
yang telah diuraikan di atas terdapat unsur-unsur delik yang diantaranya :53
a. Unsur subjektif :
b. Unsur objektif :
kembali dari Pasal 338 KUHP, hanya saja dalam Pasal 340 KUHP ditambahkan unsur
voorbedachte raad atau direncanakan lebih dulu.Oleh karena dalam Pasal 340 mengulang
lagi seluruh unsur dalam Pasal 338, maka pembunuhan berencana dapat dianggap sebagai
pembunuhan yang berdiri sendiri (een zelfstanding misdrijf), lepas dan lain dari
54
pembunuhan dalam bentuk pokok (doodslag). Adapun penjelasan tentang unsur-
dalam bentuk pokok, atau doodslag. Maka dalam sub-bab ini hanya disinggung mengenai
sifat pada unsur kesengajaan dalam delik pembunuhan berencana. Dipandang dari
bahwa di dalam rumusan Pasal 340 KUHP merupakan dolus premeditatus yakni
merupakan opzet yang terbentuk karena telah direncanakan terlebih dahulu.Berbeda hal
53
P.A.F. Lamintang, Opcit. hlm. 52
54
Adami Chazawi, Opcit. hlm. 81
dengan ketentuan dalam Pasal 338 KUHP, bahwa opzet atau dolus yang terdapat
dalam rumusan Pasal 338KUHP merupakan dolus impetus, yakni opzet yang telah
terbentuk secara tiba- tiba. Sehingga yang menjadi pembeda antara pembunuhan (biasa)
atau doodslag dengan pembunuhan berencana atau moord terletak pada sifat dari
opzet atau dolus. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa jika opzet atau dolus untuk
menghilangkan nyawa orang lain merupakan suatu dolus impetus, maka opzet untuk
menghilangkan nyawa orang lain tersebut akan menghasilkan doodslag seperti yang
diatur dalam Pasal 338 KUHP, sedangkan jika opzet atau dolus untuk menghilangkan
nyawa orang lain itu merupakan suatu dolus premeditatus, maka opzet untuk
menghilangkan nyawa orang lain tersebut akan menghasilkan moord seperti yang diatur
apabila perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku, menimbulkan akibat yang dilarang
menghilangkan nyawa dirumuskan dalam bentuk aktif dan abstrak. Bentuk aktif artinya
mewujudkan perbuatan dengan gerakan dari sebagian anggota tubuh tidak diam atau
pasif walau sekecil apapun. Walaupun dirumuskan dalam bentuk aktif, tetapi dalam
keadaan tertentu di mana seseorang ada kewajiban hukum untuk berbuat, maka perbuatan
diam atau pasif dapat masuk pada perbuatan menghilangkan nyawa, dan apabila ada
maksud membunuh. Misalnya, seorang ibu dengan maksud untuk membunuh bayinya,
Unsur voorbedachte raad atau direncanakan lebih dulu dalam Pasal 340
KUHP unsur yang membedakan dengan pembunuhan dalam bentuk pokok atau
doodslag sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP. Seperti yang telah dijelaskan
di atas bahwa Pasal 340 KUHP merupakan tindak pidana pembunuhan yang berdiri
sendiri. Dalam Memorie van Toelichting atau memori penjelasan memberikan batasan-
55
P.A.F. Lamintang.Opcit, hlm. 36
56
Adami Chazawi. Opcit, hlm. 58-59
batasan terhadap “unsur direncanakan lebih dulu” yakni een tijdstip van kalm overleg van
bedaard nadenken yang artinya suatu jangka waktu untuk mempertimbangkan secara
tenang dan untuk mempertimbangkan kembali suatu rencana. Menurut Mr. Modderman
perbedaan antara doodslag dan moord bukan terletak pada jangka waktu tertentu antara
waktu pengambilan keputusan dengan waktu pelaksanaan, melaikan pada sikap kejiwaan
(gemoedstoestand) atau pemikiran tentang perilaku selanjutnya dari pelaku setelah pada
dirinya timbul maksud untuk melakukan sesuatu. Sebagai lawan dari voorbedachte raad
adalah bertindak in impetu, dalam hal mana pengambilan keputusan dan pelaksanaan
keputusannya itu sendiri telah dilakukan oleh pelaku dalam pemikiran mengenai perilaku
yang tidak terputus, dan yang menutup kemungkinan bagi dirinya untuk bertindak secara
Menurut Adami Chazawi, unsur direncanakan lebih dulu terdapat tiga unsur yang
diantaranya: 58
b. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan
pelaksaan kehendak;
kehendak untuk membunuh itu dilakukan dalam suasana (batin) yang tenang.
Suasana (batin) yang tenang adalah susana yang tidak tergesa-gesa atau tiba-tiba, tidak
dalam keadaan terpaksa dan emosional yang tinggi. Indikatornya ialah sebelum
telah dikaji untung dan ruginya. Pemikiran dan pertimbangan seperti ini hanya dapat
dilakukan jika dalam suasana tenang, kemudian akhirnya memutuskan kehendak untuk
Ada tenggang waktu yang cukup antara sejak timbulnya niat atau kehendak
sampai pelaksanaan keputusan kehendak itu. Waktu yang cukup ini adalah relatif, dalam
57
P.A.F. Lamintang. Opcit, hlm. 56
58
Adami Chazawi. Opcit, hlm. 82
59
Ibid, hlm. 82
arti tidak diukur dari lama waktu tertentu, melainkan bergantung pada keadaan atau
kejadian konkret yang berlaku. Waktu yang digunakan tidak terlalu singkat. Jika
demikian pelaku tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berpikir- pikir. Begitu pula
waktu yang digunakan tidak boleh terlalu lama. Bila terlalu lama sudah tidak
putusan kehendak dengan pelaksanaan pembunuhan. Adanya hubungan itu, dapat dilihat
2. Bila kehendaknya bulat, ada waktu yang cukup untuk memikirkan misal,
suasana batin yang tenang. Maksudnya suasana hati saat melaksanakan pembunuhan itu
tidak dalam suasana yang tergesa-gesa, amarah yang tinggi, rasa takut yang berlebihan
dan lain sebagainya. Tiga unsur/syarat yang telah dikemukakan diatas, bersifat kumulatif
dan saling berhubungan, suatu kebulatan yang tidak dapat dipisahkan. Sebab jika
terpisahkan/terputus maka sudah tidak dapat disebut sebagai direncanakan lebih dulu. 61
2. Penyertaan (Deelneming)
a. Pengertian Penyertaan
KUHP dirumuskan dengan “barangsiapa”. Tentunya istilah “barangsiapa” atau hij die
ditujukan pada subjek hukum “orang”.62 Maka telah jelas bahwa yang dimaksud dengan
“barangsiapa” adalah orang dan orang hanya satu. Namun kejahatan tidak melulu
dilakukan oleh seorang pelaku, namun dapat juga dilakukan oleh dua atau lebih orang
60
Ibid, hlm. 82-83
61
Ibid, hlm. 83-84
62
Adami Chazawi. 2014. Opcit. Hlm 67-69
yang dilakukan secara bersekutu dan masing-masing pelaku diikat oleh suatu ikatan
kerjasama.
umum turut serta ini justru dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang
sendiri tidak memuat semua anasir peristiwa pidana tersebut. Biarpun mereka bukan
pembuat - yaitu perbuatan mereka tidak memuat semua anasir- anasir peristiwa pidana,
masih juga mereka bertanggungjawab atas dilakukannya peristiwa pidana, karena tanpa
turut sertanya mereka sudah tentu peristiwa pidana itu tidak pernah terjadi.63
serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan
orang yang terlibat dalam kerjasama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-
masing mereka berbeda satu dengan yang lain, demikian juga tidak bisa sama apa yang
ada dalam batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain.
Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu
hubungan yang sedemikian rupa eratnya, dimana perbuatan yang satu menunjang
perbuatan yang lainnya, yang semuanya mengarah pada satu yakni terwujudnya tindak
dalam Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP. Bahwa bila berbicara tentang Pasal 55 dan
Pasal 56 tidak hanya berbicara tentang penyertaan atau deelneming semata melainkan
juga berbicara tentang dader atau pelaku.64 Adapun dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP
Pasal 55 KUHP
63
Ibid. Hlm. 71
64
Ibid. Hlm. 73
b. Mereka yang memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
perbuatan.
Pasal 56 KUHP
55 ayat (1), yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat (mededader),
adalah mereka:
65
Adami Chazawi. 2014. Opcit. Hlm. 81-82
b. Pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.
Plegen dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP dirumuskan dengan zij die het feit plegen
yang artinya “mereka yang melakukan”. Pleger atau orang yang telah melakukan
pada dasarnya orang yang karena perbuatannya melahirkan tindak pidana, tanpa adanya
perbuatan dari pembuat pelaksana tindak pidana itu tidak akan terwujud.66 Maka hal ini
sama dengan dader yang mana pleger juga harus memenuhi semua unsur tindak pidana,
Adapun yang menjadi pembeda antara dader dengan pleger adalah bagi seorang
pleger masih diperlukan keterlibatan minimal seorang lainnya, baik secara piskis
maupun terlibat secara fisik. Dengan kata lain pleger harus disertai keterlibatan seorang
yang lain dalam melakukan tindak pidana. Tetapi keterlibatan dalam hal sumbangan
peserta lain ini, perbuatannya haruslah sedemikian rupa sehingga perbuatannya itu tidak
Di dalam doktrin hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain melakukan
suatu tindak pidana biasanya disebut sebagai seorang middelijke dader atau seorang
mittelbare tater yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia disebut sebagai pelaku
tidak langsung karena ia memang tidak secara langsung melakukan sendiri tindak
pidananya, melainkan dengan perantaraan orang lain. Sedangkan orang lain yang disuruh
melakukan suatu tindak pidana itu, biasanya disebut sebagai seorang materieele dader
menyatakan bahwa yang menyuruh melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak
pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantara orang lain sebagai
66
Ibid. Hlm 85
67
Ibid. Hlm. 85-86
68
Lamintang II. Opcit. Hlm. 609
alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan
atau tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau
Dari keterangan dalam M.v.T tersebut di atas dapat ditarik unsur-unsur dari
dalam tangannya;
1. Tanpa kesengajaan;
2. Tanpa kealpaan;
medeplegen adalah orang yang menguasai orang lain, sebab orang lain itu sebagai alat,
penyuruhnya tidak melakukan sesuatu perbuatan aktif, perbuatan pelaku penyuruh tidak
melahirkan tindak pidana. Oleh karena orang lain itu sebagai alat, maka dia-orang yang
disuruh melakukan itu disebut dengan manus ministra. Sedangkan pelaku penyuruhnya
yang menguasai orang lain sebagai alat, maka orang yang berkualitas demikian disebut
sebagai manus domina yang dalam doktrin disebut dengan middelijke dader.70
69
Adami Chazawi. Opcit. hlm. 88
70
Ibid. Hlm. 89
Bahwa tentang apa yang dimaksud dengan melakukan tindak pidana tidak
secara pribadi tetapi dengan menggunakan orang lain sebagai alat dalam tangannya,
ii. Orang lain itu tidak bertanggung jawab atas perbuatannya yang pada
iii. Manus ministra tidak boleh dijatuhi pidana, yang dijatuhi pidana adalah
pelaku penyuruh.
namun tidak ada kesalahan di dalamnya baik karena kesengajaan maupun karena
kealpaan. Sebagai contoh tanpa kesengajaan seorang pemilik uang palsu (manus domina)
tersebut termasuk manus ministra dalam delik mengedarkan uang palsu (245 KUHP).
Bahwa dalam delik mengedarkan uang palsu terkandung unsur kesengajaan. Dalam hal
ini pembantu tidak mengetahui tentang palsunya uang yang dibeanjakannya. Keadaan
ketidaktahuan itu artinya pada dirinya tidak ada unsur kesalahan (dalam bentuk
kesengajaan/opzettelijke).
Karena alasan tanpa kealpaan, contoh seorang ibu membenci seorang pemulung
karena seringnya mencuri benda-benda yang diletakkan dibelakang rumah. Pada suatu
hari ia mengetahui pemulung yang dibencinya itu sedang mencari benda-benda bekas di
bawah jendela rumahnya yang loteng. Untuk membikin penderitaan bagi pemulung itu,
dua menyuruh pembantunya untuk menumpahkan air panas dari jendela, dan mengenai
71
Ibid. Hlm. 90
72
Ibid. Hlm. 91
pemulung tersebut. Pada diri pembantu tidak ada kelalaian, apabila telah diketahuinya
selama ini bahwa, karena keadaan tidaklah mungkin ada dan tidak akan pernah ada
orang yang berada di bawah jendela, dan perbuatan seperti itu telah sering pula
dilakukannya.
c. Karena tersesatkan73
kesalahpahaman akan suatu unsur tindak pidana yang disebabkan oleh pengaruh dari
orang lain (in casu manus domina) dengan cara-cara yang isinya tidak benar atau palsu,
yang atas kesalahpahaman itu memutuskan kehendak dan berbuat. Keadaan yang
menyebabkan orang lain timbul kesalahpahaman itu adalah oleh sebab kesengajaan
pembuat penyuruh sendiri. Sehingga apa yang diperbuat oleh orang yang tersesatkanoleh
tersesatkan itu.
d. Karena kekerasan74
menggunakan kekuatan fisik yang besar, yang in casu ditujukan pada orang,
mengakibatkan orang (fisiknya) tidak berdaya. Dalam hal bentuk pembuat penyuruh,
kekerasan ini datangnya dari pembuat penyuruh sendiri yang ditujukan pada fisik orang
lain (manus ministra), sehingga orang yang menerima kekerasan fisik ini tidak mampu
berbuat lain atau tidak ada pilihan lain selain apa yang dikehendaki oleh pelaku
penyuruh.
Dari uraian di atas mengenai tidak dapat dipidananya pelaku materiil dalam
bentuk orang yang menyuruh lakukan menurut keterangan yang termuat dalam MvT,
maka dari sudut perbuatan, manus ministra itu dapat dibeddakan antara lain:75
a) Manus ministra yang berbuat positif. Pada sebab tidak dapat dipidananya
73
Ibid. Hlm. 91
74
Ibid. Hlm. 92
75
Ibid. Hlm. 93
kealpaan), tersesatkan, sesuatu sebab dari sikap batinnya sendiri (subjektif).
b) Manus ministra tidak berbuat apapun. Pada sebab tidak dipidananya manus
yang turut melakukan, dalam bentuk ini selalu terdapat seorang pelaku dan seorang atau
lebih pelaku yang turut melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya,
maka bentuk deelneming ini juga sering disebut sebagai mededaderschap. Menurut
yakni pelaku-pelaku yang tidak melakukan sendiri tindak pidana yang dilakukan oleh
Menurut M.v.T W.v.S Belanda yang dimaksud dengan medepleger atau orang
turut serta melakukan ialah setiap orang yang sengaja turut berbuat (medoet) dalam
melakukan suatu tindak pidana.77 Bahwa pengertian sebagaimana yang dijelaskan dalam
M.v.T belumlah memberikan penjelasan secara tuntas. Oleh karenanya muncul dua
pandangan terhadap apa yang disebut dengan turut berbuat. Menurut pandangan yang
sempit sebagaimana dianut oleh Van Hamel dan Trapman berpendapat bahwa turut
serta melakukan terjadi apabila perbuatan masing-masing perserta memuat semua unsur
tindak pidana. Pandangan seperti ini lebih condong pada ajaran objektif. Pada awalnya
yang disebut dengan turut berbuat adalah bahwa masing-masing peserta telah melakukan
bersangkutan. 78
bahwa perbuatan pelaku peserta harus sama dengan perbuatan seorang pembuat,
76
Lamintang II, hlm 615
77
Adami Chazawi. Opcit. Hlm. 99
78
Ibid. Hlm. 99-100
perbuatannya tidak perlu memenuhi semua rumusan tindak pdana, sudahlah cukup
memenuhi sebagian saja dari rumusan tindak pidana, asalkan, kesengajaannya sama
dengan kesengajaan dari pembuat pelaksananya. Pandangan ini lebih mengarah pada
ajaran subjektif.79Bahwa menurut pandangan ini pelaku turut serta tidak harus
dari pelaku turut serta. Maksudnya disini ialah bahwa pelaku dalam turut serta tidak harus
memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana selayaknya seorang dader melainkan harus
ada kesadaran adanya kerjasama antara para pelaku. disamping itu para pelaku telah
Dalam suatu Arrest Hoge Raad (29-10-1934) yakni lebih dikenal dengan arrest
hooi.80 Bahwa dalam arrest tersebut Hoge Raad menentukan dua kriteria tentang
adanya bentuk pembuat peserta yang mana dalam arrest ini menganut pandangan yang
dimaksudkan.
Hoge Raad dengan Arrest-nya ini telah membentuk suatu pandangan pembuat
peserta yang semula indikatornya harus sama-sama memenuhi semua unsur tindak
pidana, menjadi ada kerjasama yang diinsyafi dan mereka telah melaksanakan tindak
pidana, yang menitikberatkan pada ajaran subjektif dari pada pendapat lama yang
bertitik tolak pada pandangan objektif. Berdasarkan pandangan ini, maka hanya
semata-mata dari sudut perbuatan (objektif), perbuatan pembuat peserta itu boleh
sama dan tidak berbeda dengan perbuatan seorang pembuat pembantu. Bahwa yang
ditujukan pada penyelesaian tindak pidana adalah sama dengan kesengajaan dari
pelaku82 Arrets ini dikenal dengan hooi arrest, yakni ada dua orang A dan B yang
B bukanlah sebagai orang yang membakar kandang kuda, dia tidak melakukan
tidak memenuhi sebagai pelengkap atau seorang dader. Dia hanya membantu.83 turut
serta (medepleger) dengan pelaku pelaksana (pleger) untuk terwujudnya tindak pidana.
Sehubungan dengan dua syarat yang diberikan oleh Hoge Raad, maka arah
kesengajaan bagi pembuat pesera ditujukan pada dua hal yang tidak dapat dipisahkan
yaitu:
lainnya mengenai apa yang diperbuat oleh masing-masing dalam rangka mewujudkan
kesengajaan pembuat pelaksana, ialah sama- sama ditujukan pada penyelesaian tindak
82
Ibid. Hlm. 112
83
Lamintang II. Hlm. 634