Anda di halaman 1dari 14

To Build The World A New:

Studi Ikonografi Desain Eksibisi Paviliun Indonesia di World’s


Fair New York Tahun 1964-1965
Oleh
I Kadek Dwi Noorwatha, S.Sn, M.Ds
Program Studi Desain Interior ISI Denpasar
noorwatha@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap makna desain eksibisi Paviliun Indonesia
pada World’s Fair 1964-1965 di New York melalui pendekatan ikonografi yang
dikemukakan oleh Erwin Panofsky (1955). Sketsa desain pertama desain eksibisi dibuat oleh
Presiden Soekarno dengan tema “To Build The World A New” yang diinspirasikan oleh
pidatonya dalam Sidang Umum PBB, sehingga di dalamnya terdapat wacana kebangsaan,
posisi politik dan semangat revolusi Indonesia. Kesimpulan akhirnya adalah visualisasi
desain eksibisi Paviliun Indonesia memuat gagasan Presiden Soekarno tentang posisi dan
citra Indonesia dalam dunia internasional, sebagai representasi diri dan ‘arsitektur
panggung’ Presiden Soekarno yang menginginkan Indonesia sebagai ‘aktor’ dalam
‘panggung’ internasional dengan selalu mengkomunikasikan ‘Pancasila’ sebagai filsafat
dasarnya dalam menciptakan dunia baru yang lebih baik (to build the world a new).
kata kunci:
Desain Eksibisi, Ikonografi, Paviliun Indonesia, World’s Fair 1964

Abstract
This study aims to reveal the meaning of Indonesia Pavilion exhibition design in 1964-1965
World’s Fair in New York through iconography approach by Erwin Panofsky (1955). The
first design sketch in the exhibition was made by President Soekarno through “To Build The
World A New” theme adoption which was inspired by his speech in the General Assembly
of United Nations, so within lies the discourse of nationality, political position, and the spirit
of Indonesian’s revolutions. The final conclusion is that the design visualization of Indonesia
Pavilion Exhibition stipulate the ideas of President Soekarno about position and image of
Indonesia in the eye of international world, as President Soekarno's self representation and
‘staged architecture’ who wished for Indonesia as an ‘actor’ in international ‘stage’ as well
as communicating ‘Pancasila’ as the philosophical basis to ‘build the world a new’.
keywords:
Exhibition Design, Iconography, Indonesia Pavilion, World’s Fair 1964

A. LATAR BELAKANG
Desain eksibisi yang berupa paviliun sebuah negara dalam Pameran Dunia baik
World Fair maupun World Exposition (Expo) merupakan refleksi modernitas dan citra
sebuah bangsa di mata internasional. Desain eksibisi paviliun sebuah negara merupakan
representasi dari budaya sebuah negara yang dipilih mewakili suatu kebudayaan sebuah
negara yang lebih besar, yang disesuaikan dengan tema World Fair atau World Expo yang
sedang berlangsung. Tjahjawulan (2012) menyebutkan bahwa bagi Indonesia, anjungan
sebagai bagian dari desain eksibisi adalah sebuah media untuk menggambarkan pencitraan
pemerintah dan wajah Indonesia. Dalam konteks keilmuan desain, pembacaan terhadap
desain eksibisi paviliun suatu negara merupakan pembacaan mengenai bagaimana suatu
negara menceritakan dirinya dan menunjukan bagaimana struktur komunikasi melalui
media desain eksibisi yang berhubungan dengan konstruksi citra dari suatu negara.
Sejarah perkembangan eksibisi seiring dengan sejarah perkembangan desain yaitu
pada masa revolusi industri atau industrialiasasi di Eropa. Tercatat, eksibisi internasional
pertama bernama The Great Exhibition of the Works of Industry of All Nations adalah
sebuah eksibisi internasional yang dilangsungkan di Hyde Park, London pada tahun 1851
(Ffrench, 1950). ‘Indonesia’ merupakan satu di antara negara di dunia yang cukup aktif
mengikuti pameran dunia. Tercatat ‘Indonesia’ (Hindia Belanda) untuk pertama kalinya
mengikuti pameran internasional pada tahun 1883, yaitu Pameran Kolonial dan Ekspor
Internasional (Koloniale en Uitvoerhandel Tentoonstelling) di Amsterdam (Montijn, 1983).
Hindia Belanda pernah menjadi tuan rumah Eksibisi Kolonial (Koloniale Tentoonstelling),
yang berlangsung di Semarang pada tahun 1914 (Adji, 2014: 2). Setelah Republik Indonesia
merdeka, Indonesia kembali mengikuti pameran Internasional kembali pada tahun 1964
pada World’s Fair di New York (Tjahjawulan, 2012).
Paviliun Indonesia di World’s Fair tahun 1964 menarik untuk dikaji selanjutnya
berdasarkan pertimbangan: (1) merupakan hasil gagasan dan sketsa desain Presiden
Soekarno (2) sebagai desain eksibisi internasional pertama sejak merdeka (3) tema desain
eksibisi merupakan perwujudan pidato Presiden Soekarno “To Build The World A New”
(4) lingkup sosio historis yang menggambarkan posisi Indonesia dalam konstelasi politik
dunia saat itu. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana spirit Politik Indonesia dalam
konstelasi politik dunia pada saat itu dan wacana keIndonesiaan yang tersirat dalam
representasi desain eksibisi Paviliun Indonesia. Tujuannya adalah untuk mendapatkan
gambaran mengenai wacana dibalik desain eksibisi yang diragakan oleh seluruh elemen
pembentuknya, sebagai pengayaan keilmuan desain, khususnya desain eksibisi (exhibition
design) yang terintegrasi dalam keilmuan desain interior.

B. METODE
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan membaca data yang
didapatkan baik dari media cetak maupun media daring. Objek penelitian akan dikaji dengan
metode ikonografi Erwin Panofsky (1955), guna memahami dan mengkaji makna yang
tersimpan di dalamnya. Dengan tiga tahapan yang perlu dikaji, yakni tahap yang pertama
adalah deskripsi praikonografi (pre iconographical description), tahap yang kedua adalah
analisis ikonografis (iconographical analysis), dan tahap yang ketiga adalah interpretasi
ikonologis (iconological interpretation) (Panofsky, 1955: 26-40). Tahap pertama dan kedua
membahas tentang aspek internal (subject matter) yang dalam konteks desain sebagai bagian
dari seni visual yang memuat gaya, bentuk dan material dari objek penelitian. Tahap ketiga
(interpretasi ikonologis) membahas aspek eksternal objek penelitian yang dikaitkan dengan
situasi sosio-historis yang melingkupi ketika karya seni tersebut dibuat.

C. PEMBAHASAN
1. Gambaran Umum Desain Eksibisi Paviliun Indonesia
The 1964/1965 New York World’s Fair adalah eksibisi utama internasional ketiga yang
diselenggarakan di kota New York. Acara berlangsung dalam dua musim. Musim 1 dimulai
dari 22 April-18 Oktober 1964 dan musim ke-2 dimulai 21 April sampai 17 Oktober 1965.
Eksibisi mengangkat tema "Peace Through Understanding", yang didedikasikan untuk
"Man's Achievement on a Shrinking Globe in an Expanding Universe". Menurut Sharyl Elise
Jackson (2004) menyebutkan bahwa negara Asia pertama yang mendaftar untuk eksibisi
tersebut adalah Republik Indonesia.
Menurut Pengumuman Menteri
Penerangan Indonesia saat itu (Dr. H.
Roeslan Abdulgani) menjelaskan
keikutsertaan Indonesia adalah dalam
rangka realisasi cita-cita Revolusi
Indonesia di bidang internasional dengan
tujuan untuk mempererat persahabatan
Gambar 1. Desain Eksibisi Paviliun yang baik antara Republik Indonesia dan
Indonesia
Sumber: semua negara di dunia. Keikutsertaan
http://www.nywf64.com/indones02.shtml Indonesia sangat didukung penuh oleh
diakses 19 Maret 2017
Presiden Soekarno, dari memilih tapak,
mensketsa desain awal sampai memilih pemandu eksibisi dilakukannya secara personal
(Cotter dan Young, 2013: 26). Sketsa Presiden Soekarno diterjemahkan ke dalam desain
arsitektural eksibisi oleh Sudarsono, arsitek Istana Presiden tampak Siring dibantu oleh Tim
Amerika yang terdiri dari Abel Sorensen (arsitek Hotel Indonesia) dan Max O. Urbahn
dengan ketua Pelaksana oleh Sri Sultan Hamengkubhuwono IX.
2. Deskripsi Pra Ikonografi
Pembahasan tahap praikonografi ini berisi
tanggapan awal pada aspek tekstual yang ada
dalam batasan motif artistik. Motif artistik
merupakan makna primer yang terbentuk dari
makna faktual dan ekspresional (Panofsky, 1955:
33-34 dalam Rony (2014)).
Gambar 2. Tampak Depan Paviliun 1) Main Entrance
Indonesia
Desain eksibisi paviliun Indonesia pada main
entrance-nya terdapat ‘gerbang keimanan’ (gateway of faith) yang mengambil bentuk
‘Candi Bentar’ Bali lengkap dengan detail dekorasinya. Sebelah kanan gerbang tersebut
tampak jelas replika bangunan “Meru tumpang (tingkat) 7” dan kolam yang mengelilingi
bangunan utama.

Gambar. 3. Detail Main Entrance Paviliun Indonesia


Sumber: www.nywcf64.com diakses 7 April 2017
Keberadaan ‘Candi Bentar’ dan ‘Meru’ merepresentasikan arsitektur khas Indonesia yang
telah dikenal oleh para turis yang pernah berkunjung ke Bali. Keberadaanya selain sebagai
penanda Indonesia mengharapkan para pengunjung paviliun dapat langsung merasakan
atmosfer Indonesia ketika memasukinya. Motif yang digunakan dalam ‘Candi Bentar’
otentik dikerjakan oleh seniman Bali. Material menggunakan batu bata dan batu padas Bali.
Bentuk Candi Bentar mengikuti bentuk dan proporsi candi bentar di Istana Tampak Siring.
Visualisasi warna merupakan visualiasi karakter materialnya yaitu warna merah bata dan
putih dari batu padas, dengan dominasi warna putih pada ruang pameran.

Ornamen Bali mendominasi main entrance dari ‘Candi Bentar’, pepalihan,


kekarangan, patung raksasa (dwarapala) dan relief bermotif Burung Garuda berlanggam
Bali. Kolam di yang mengelilingi bangunan utama merefleksikan kepada pengunjung bahwa
Indonesia merupakan “negara air’ yang menunjukan bahwa Indonesia diapit oleh Samudera
Indonesia dan Fasifik dan ribuan pulaunya dikoneksikan oleh laut dan selat. Dari segi gaya
desain menggunakan ‘postwar modernism style’ yaitu gaya yang berkembang setelah era
perang dunia ke 2 yang diasosiasikan dengan demokrasi, kapitalisme dan hasrat negara baru
untuk menjadi ‘pemain besar’ di skala global serta inspirasi abad antariksa sesuai tema
pameran. Bentuknya didominasi oleh struktur logam mencerminkan desain futuristik
dengan dominasi bentuk geometris lingkaran. Desain eksibisi Paviliun Indonesia selain
mengadopsi gaya tersebut, sekaligus meng-counter hegemoni gayanya dengan penerapan
beberapa elemen tradisional dalam fasad bangunan dan main entrance bangunan. Bentuk
paviliun secara tampilan sangat modern namun secafa kontras dihiasi dengan elemen
arsitektur Bali. Hal tersebut mendemonstrasikan untuk menolak hegemoni arsitektur
kolonial dan modernisme barat dengan mengedepankan keunggulan budaya lokal.
2) Ruang Pameran (Lantai 1)
Atap paviliun yang berbentuk lingkaran dan merepresentasikan bentuk payung dari Jawa
Barat sebagai alat yang digunakan untuk melindungi diri dari hujan dan matahari yang terik.
Hal tersebut sekaligus menginformasikan bahwa negara Indonesia memiliki iklim Tropis.

Gambar 4. Interior Ruang Pameran Paviliun Indonesia


Sumber: www.nywcf64.com dan www.worldsfaircommunity.org diakses 7 April 2017
Pola rangka atap yang berbentuk radial menyatu di satu di sumbu (axis) dan kemudian
menyebar keluar lagi mengambil bentuk lima kelopak bunga. Dari dalam bunga, lima poros
cahaya memancar ke langit. Nomor lima adalah simbolis dari Pancasila sebagai dasar dan
falsafah hidup bangsa Indonesia. Nomor lima diaplikasikan ke dalam jumlah tiang bendera
di main entrance. Dalam ruang pameran paviliun terdapat patung raksasa (dwarapala)
berlanggam Bali sebagai penjaga pintu masuk, partisi yang berisikan aktivitas kesenian dari
Jawa, Bali dan Sumatera melalui foto dan ilustrasi. Pada ruang pameran terdapat display
wayang dengan kelirnya. Ruang pameran dipenuhi oleh beragam kerajinan dan artefak seni
Indonesia yang visualisasi desain interior didominasi oleh material kayu dengan partisi
bermotif ornamen beberapa daerah di Indonesia. Sebagai point of interest tampak depan
ruang pameran dipajang patung Garuda Bali yang selain merupakan lambang Negara
Indonesia juga merupakan salah satu produk souvenir terkenal pariwisata Bali. Pada ruang
pameran dipajang beberapa alat musik tradisional seperti gamelan dan angklung dan
pengunjung dipersilahkan memainkannya. Pada titik tertentu dalam ruang pameran terdapat
beberapa seniman dengan aktivitas membatik, mengukir batu dan kayu. Pengunjung ruang
pameran terdapat area penjualan souvenir.
3) Restoran (Lantai 2)
Interior restoran dihiasi oleh bambu dan kulit kelapa untuk memberikan atmosfer ketimuran.
Dalam restoran terdapat stage untuk pertunjukan gamelan dan tarian Indonesia serta
pertunjukan musik keroncong untuk menghibur tamu yang menikmati makan malam.

Gambar 5. Aktivitas dan Suasana di Restoran


Sumber: www.nywcf64.com dan www.worldsfaircommunity.org diakses 7 April 2017
Representasi Indonesia divisualisasikan melalui seluruh elemen Paviliun Indonesia dengan
mempertimbangkan aspek rekognisi dan mempertimbangkan aspek visualisasi melalui
warna dan bentuk yang secara cepat dapat menarik perhatian pengunjung. Aspek rekognisi
diterapkan melalui pertimbangkan ikon budaya Indonesia yang telah dikenal oleh khalayak
internasional seperti kesenian dari artefak sampai aktivitas kesenian lainnya. Dipilihnya Bali
sebagai elemen budaya yang paling menonjol dalam keseluruhan desain eksibisi atas
pertimbangan telah dikenalnya Bali secara mendunia atas keseniannya. Aspek visualisasi
menjadi pertimbangan dengan penerapan beberapa lukisan, ilustrasi, foto, artefak budaya
dengan saturasi warna yang tinggi dan mempunyai bentuk serta karakteristik visual
indigenious Indonesia. Keseluruhan citra desain eksibisi mencerminkan arsitektur hybrid
antara arsitektur modern futuristik yang dicerminkan oleh ruang pameran yang berbentuk
pola radial dengan konstruksi atap dan pelingkup berupa repetisi bentuk segi tiga dengan
konstruksi logam; dengan arsitektur tradisional dengan ornamentasi yang otentik.
3. Analisis Ikonografis
Dalam tahapan kedua ini untuk mengidentifikasi makna sekunder yang dihubungkan dengan
tema dan konsep dengan mengamati hubungan konsep dan tema dari karya seni yang didapat
dari berbagai imaji, sumber literatur, dan alegori (Panofsky, 1955: 35 dalam Rony, 2014).
Untuk menganalisis secara ikonografis objek desain eksibisi paviliun Indonesia maka akan
ditabulasikan beberapa elemen desain eksibisi yang dikorelasikan ke tema dan konsep
khususnya representasi keIndonesiaan sebagai berikut.

Tabel. 1 Analisis Ikonografis Desain Eksibisi Paviliun Indonesia

Tema Expo World’s Fair “Peace Through Understanding” dedicated to Man's Achievement on
New York 1964 a Shrinking Globe in an Expanding Universe.
Tema Paviliun Indonesia Tema : To Build The World A New (Membangun Dunia yang Baru)
Pidato Presiden Soekarno pada Sidang Umum PBB

Lokasi Unsur Makna Asal Tema dan Konsep


Ikonografis Daerah
Main Candi Bentar Ikon arsitektur Bali dan Bali • Transisional
Entrance (Gateway of Indonesia adalah negara yang • Teritorialitas
Faith) terbuka dan selalu • Hinduisme
mengundang orang untuk
masuk ke dalamnya
(wellcome)
Meru tingkat 7 Ikon arsitektur Bali (tempat Bali • Tingkatan Alam
suci) dan Indonesia adalah • Hybrid/akulturasi
negara yang berkeTuhanan budaya (Tiongkok
(sila 1) dan Bali)

Patung raksasa Ikon arsitektur Bali (Tempat Bali Arsitektur tradisional


(dwarapala) Suci) dan dan Indonesia (utama/suci)
adalah negara dengan
kekayaan kesenian dan nilai
filosofis religius
Kolam Indonesia negara ‘air’yang Nasional Arsitektur Tropis
dikelilingi lautan dan curah (Indies)
hujan tinggi
Relief Garuda Ikon Bali dan Indonesia Bali Pembebasan dari
mempunyai kekayaan perbudakan
craftmanship dan estetika
tinggi
5 Bendera Petanda Negara Indonesia, Nasional Nasionalisme
Merah Putih Jumlahnya 5 melambangkan
Pancasila
Ruang Wayang dan Indonesia mempunyai Jawa, Bali, • Simbol Kehidupan
Pameran Kelir kesenian unik (wayang) Sunda • Komunikasi Nilai
sebagai puncak kesenian Agama
tradisional • Kesenian Hindu dan
Sinkretisme Islam
Gamelan dan Indonesia negara yang kaya Jawa, Bali, Keselarasan dan
Angklung dengan musik tradisional Sunda Keharmonisan dalam
Musik
Atap • Indonesia adalah negara Nasional, • Payung Sunda
Lingkaran dengan curah hujan tinggi Sunda • Pancasila
dengan aksis dan matahari yang bersinar • Atap Lingkar
berbentuk 5 sepanjang tahun (tropis).
kelopak bunga • Pancasila sebagai dasar
negara Indonesia
Patung Garuda Ikon kerajinan/souvenir Bali Bali • Simbol
dan lambang Negara Indonesia Pembebasan
• Lambang Negara
Batik Indonesia adalah negara yang Jawa • Budaya Membatik
mempunyai budaya batik • Kekriyaan tinggi
• Tekun

Ornamen Indonesia adalah negara yang Jawa, Bali, • Simbolisasi alam


kaya dengan kesenian dan Kalimantan • Estetika
kekriyaan • Kreatifitas

Baju Indonesia mempunyai Nasional Budaya Tekstil


Tradisional keragaman budaya Indonesia
Restoran Kelapa dan Indonesia sebagai negara Nasional Material tropis
Bambu sebagai triopis adalah negara yang kaya
Material akan material bambu dan
pelapis Interior kelapa
Sumber: Analisis Penulis 2017

Dari tabel di atas terdapat beberapa hal yang mengemuka dan selalu berulang dalam setiap
pemaknaan elemen desain eksibisi Indonesia yaitu: (1) Ketuhanan (tempat suci, simbol
arsitektur tempat suci) (2) Nasionalisme (bendera, warna material, lambang negara
(garuda)) (3) Pancasila (jumlah tiang bendera, kelopak bunga) (4) Seni dan Budaya (seni
kerajinan, ornamen, gamelan, aktivitas kesenian, arsitektur terbuka (out-in) dan
mengundang (ekstrovert)) (4) Potensi Alam (material bambu dan kelapa, tropis, negara
‘air’), Hybrid (perpaduan modern dan tradisional, peluruhan, percampuran, persilangan),
revolusioner (counter hegemoni ideologi dan gaya arsitektur barat dan timur). Dapat
dirumuskan dari penjabaran di atas bahwa konsep desain eksibisi secara ikonografi yang
dikorelasikan dengan tema desain eksibisi adalah ‘mewujudkan kesejahteraan dan
kedamaian melalui Pancasila untuk dunia yang lebih baik”. Konsep tersebut merupakan
pesan dan tanggapan dari Indonesia untuk tema besar pameran yaitu ‘kedamaian melalui
pengertian (peace through understanding)”.

4. Interpretasi Ikonologis
Interpretasi ikonologis merupakan pengungkapan makna intrinsik atau isi, dengan
menyusun nilai “simbolis” dari intuisi sintesis dan sejarah kebudayaan yang terjadi dalam
lingkup karya seni yang menyangkut tendensi esensial pemikiran psikologi personal dan
pandangan hidup (weltanschauung) pencipta karya (Panofsky, 1955: 41 dalam Rony, 2014).
Desain eksibisi Paviliun Indonesia memuat beberapa gagasan Presiden Soekarno antara lain:
a) Gagasan Politik
Dalam konteks refleksi sosio historis desain eksibisi untuk memahami gagasan politik
presiden Soekarno dalam desain eksibisi sebagai berikut:
• 27 September 1950 Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB
• 18 April-24 April 1955 Indonesia menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi
Asia-Afrika di Bandung
• 16 Mei 1956-Kunjungan pertama Presiden Soekarno ke Amerika
• 5 Juli 1959-Dekrit Presiden yang intinya menetapkan kembali UUD 1945
• 30 September 1960-Presiden Soekarno menyampaikan gagasan politik dengan
pidato “To Build The World A New” dalam sidang PBB XV. Indonesia
mengumandangkan Politik Luar Negeri Bebas Aktif dan menawarkan konsepsi
Pancasila kepada Dunia.
• 29 Januari 1961-Pengumuman keikutsertaan Indonesia dalam World’s Fair New
York, hanya berselang 4 hari dari pengiriman surat undangan resmi panitia.
• 7 Maret 1961-Keinginan Presiden Soekarno dalam pemilihan lokasi pameran
ditempatkan antara Amerika dan Soviet perlambang posisi Indonesia yang Non
Blok, namun Soviet memutuskan tidak ikut pameran.
• 12 September 1961-Kunjungan Presiden Soekarno ke Amerika memilih lokasi
Paviliun Indonesia, akhirnya berdekatan dengan Paviliun Polynesia dan Hawaii
• 24 Agustus-4 September 1962-Indonesia menjadi Tuan Rumah Asian Games IV
• 18 Januari 1963-Upacara Peletakan Batu Pertama Paviliun Indonesia dihadiri oleh
Sultan Hamengkubhuwono IX sebagai Komisaris Jendral Paviliun mewakili
Presiden Soekarno
• 20 Januari 1963-Indonesia mengambil sikap bermusuhan dengan Malaysia (awal
konfrontasi dengan Malaysia)
• 10-22 November 1963-Indonesia menjadi tuan rumah GANEFO pertama (Games
of New Emerging Forces) sebagai counter hegemoni Olimpiade
• 22 November 1963-Presiden John F. Kennedy meninggal dunia ditembak oleh Lee
Harvey Oswald di Dallas
• 21 April 1964-Pembukaan Pameran New York World’Fair 1964 (musim 1)
• 16 Mei 1964- Dalam rangka “Indonesia’s Day” Presiden Soekarno diundang panitia
untuk menyaksikan pameran, namun dilarang oleh Washington atas kebijakan anti-
Amerikanya dan konfrontasi Indonesia dengan Malaysia. Sampai pameran berakhir
Presiden Soekarno sama sekali tidak pernah melihat hasil akhir Paviliun Indonesia
yang dirancangnya.
• 31 Agustus 1964-Artis Holywood Lucille Ball diundang makan siang di Paviliun
Indonesia dalam “I Love Lucy Day”.
• 7 Januari 1965-Indonesia keluar dari Keanggotaan PBB
• 11 Maret 1965-Presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri Indonesia dari
Pameran musim ke 2 sebagai protes kepada Amerika karena membantu Malaysia.
• 1 April 1965-Paviliun Indonesia disegel oleh Panitia pada musim ke-2
• 30 September 1965-Peristiwa G30SPKI
• 12 Maret 1967-Soekarno lengser dan menjadi tahanan rumah, Soeharto diangkat
menjadi Presiden Indonesia ke-2 (Sumber: www.nywf64.com,
www.worldfairscommunity.org dan media daring)
Dari linimasa sejarah di atas yang dikorelasikan dengan keberadaan desain eksibisi dapat
dipahami bahwa (1) penegasan terhadap sikap politik Indonesia yang Bebas aktif dan Non-
Blok sebagai perlawanan terhadap (neo)kolonialisme dan (neo)imperialisme (2)
menawarkan konsepsi Pancasila sebagai solusi perdamaian dunia (3) mempersatukan negara
senasib (Asia-Afrika) agar mempunyai peran terhadap peradaban dunia (4) Sikap tegas
terhadap kedaulatan bangsa dan nasionalisme. Nasionalisme sejati menurut Presiden
Soekarno adalah Nasionalisme yang bahu-membahu untuk membangun negara. Itu berarti
bukan Nasionalisme yang tumbuh di Eropa, yaitu Nasionalisme saling serang-menyerang,
mengejar keuntungan sendiri, yaitu Nasionalisme perdagangan berdasarkan untung-rugi.
Nasionalisme semacam itu pasti kalah dan binasa. Nasionalisme Indonesia adalah
berlandaskan kerjasama, kerjasama dengan kaum Islam, Marxis, dan kaum Nasionalis
(Soekarno, 2005: 6). Beberapa penegasan tersebut tercermin melalui visualisasi desain
eksibisi dengan pemilihan gaya post-war modernism style, arsitektur hybrid dan penerapan
angka lima pencerminan Pancasila pada elemen desain eksibisi. Aspek nasionalisme
ditunjukan dengan beragam seni, kerajinan dan budaya sebagai keragaman seni dan budaya
daerah sebagai penopang budaya bangsa Indonesia yang adiluhung.

b) Gagasan Arsitektural

Sebagai seorang presiden yang berlatar belakang lulusan Fakultas Teknik Sipil, kedekatan
Presiden Soekarno dengan arsitektur cukup dekat. Hal tersebut ditunjukan ketika Indonesia
memasuki era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), Presiden Soekarno memulai ‘Proyek
Mercusuar’ yaitu pembangunan arsitektur monumental kelas dunia di Indonesia khususnya
di Jakarta. Soekarno menginginkan arsitektur sebagai salah satu jalan agar negara Indonesia
dikenal oleh masyarakat luas, oleh dunia luar. Soekarno memikirkan suatu rencana yang
nantinya akan tetap dipandang oleh masyarakat luas, masyarakat dunia. Sebagai suatu cara
bangsa Indonesia untuk menunjukan jati diri bangsanya, sebagai bangsa yang besar dan
tidak bodoh (Kusumawati, 2005: xviii). ‘Proyek mercusuar’ yang merepresentasikan
gagasan Presiden Soekarno dalam bidang arsitektur dirumuskan Kusumawati (2005)
sebagai berikut:
• Sistem konstruksi menampilkan garis strukturnya yang tegak dan datar; yang
mencerminkan sifat kokoh dengan menonjolkan struktur bangunannya. ·
• Bentuk bangunan yang dipengaruhi arsitektur modern mengambil bentuk ‘sederhana
(simplicity)’ berupa kotak, balok atau geometris lainnya.
• Skala pada bangunan mencerminkan ekspresi kekuasaan dituangkan dalam skala
monumental
• Pemakaian bahan merupakan bahan yang awet dan tahan terhadap perubahan cuaca
• Pemakaian sistem grid dengan menonjolkan struktur sebuah bangunan untuk
membentuk irama yang membentuk ketegasan, dan kekuasaan.
Hal tersebut tercermin melalui desain eksibisi paviliun Indonesia yang menggunakan gaya
post-war modernism style dengan menggunakan atap melingkar. Atap melingkar merupakan
salah satu ciri khas proyek mercusuar Presiden Soekarno seperti dikemukakannya sebagai
berikut:
“Bangsa kita lalu mendirikan stadion dengan atap melingkar yang tak ada duanya di
dunia. Kota-kota lain boleh memiliki stadion yang lebih besar, tapi saat itu tak
satupun yang mempunyai atap melingkar seperti kepunyaan kami” (Cindy Adams,
1966).

Atap melingkar desain eksibisi yang secara ikonografi merepresentasikan bahwa Indonesia
sebagai negara yang mempunyai dua musim dan inspirasi payung Sunda yang
merepresentasikan tersebut, mencerminkan jati diri dan keunggulan arsitektur Indonesia.

Gambar 6. Perbandingan Atap Melingkar Desain Eksibisi dan Gelora Bung Karno
Sumber: kiri: http://www.nywf64.com/Image/indones/indones16.jpg, kanan: liputan6.com
diakses 9 April 2017
Dipilihnya beberapa arsitek sebagai penerjemah sketsa awal Presiden Soekarno dengan
pertimbangan ekspresi estetik dari sang arsitek itu sendiri yang meluruh ke dalam visualisasi
desain eksibisi. Sudarsono, arsitek Istana Tampak Siring yang dibangun dari tahun 1957
sampai tahun 1963, tampak lebih fokus ke dalam penerapan sentuhan Bali dan ornamentasi
Indonesia ke dalam desain eksibisi. Arsitek yang lain, Abel Sorensen seorang arsitek ahli
bangunan tinggi yang terkenal dengan modernism-Internasional Style-nya, ditunjuk
Presiden karena gayanya mewakili gerakan progresif revolusioner Bangsa Indonesia.
‘Sentuhan’ Abel Sorensen tampak pada struktur bangunan terutama atap dan konstruksi
logam di sekelilingnya. Kolaborasi dua arsitek dengan latar belakang budaya ini
mengedepankan semangat persatuan dan hybrid antara modern dan tradisional sebagai
cerminan nasionalisme Indonesia bagian dari perwujudan nilai Pancasila.
c) Gagasan Tentang Seni dan Budaya
Dalam konteks seni dan budaya, Presiden Soekarno selalu menyatakan bahwa bangsa
Indonesia harus kembali ke jati dirinya dan jangan menjadi bangsa peniru. Fakta sejarah
menyatakan begitu lamanya Indonesia dijajah oleh bangsa Eropa dan kaidah seni rupa telah
diajarkan oleh seniman Barat kepada seniman Indonesia. Hampir tiga perempat dari era
kontemporer dunia telah dikuasai dan dipengaruhi oleh imperialisme serta kolonialisme,
sehingga proses artistik dikuasai oleh kode Eropa. (Arifin, 2014). Jati diri bangsa melalui
seni dan budaya yang ditampilkan dalam desain eksibisi menguatkan nasionalisme dan
penguatan identitas negara Indonesia di mata internasional.
Seni merupakan salah satu media komunikasi untuk menyampaikan gagasan politik
Presiden Soekarno. Gagasan seni dan budaya Presiden Soekarno yang dikorelasikan dalam
konteks desain eksibisi dengan meminjam istilah yang dikemukakan Ardhiati (2016),
adalah penerapan gagasan ‘arsitektur panggung’, yang secara psikologis diaplikasikan ke
seluruh citra Presiden Soekarno dan gagasannya yang mewujud dalam berbagai bentuk
media. Kecenderungan Presiden Soekarno untuk mengkompoisikan gagasan “arsitektur
panggung’ adalah paralel dengan teori representasi diri yang merefleksikan subjektifitas diri
Soekarno yang berkembang melalui ideologi politiknya. Representasi diri Soekarno yang
‘senang’ menjadi aktor atau figur utama dalam setiap kesempatan (melihat dunia sebagai
panggungnya), sejalan dengan daya tarik personalnya termasuk cara memilih baju yang
dipakai, penampilan dan gaya orasinya yang meledak-ledak. Hal tersebut sejalan dengan
istilah ‘arsitektur mercusuar’ suatu proyek yang digagasnya pada pembangunan orde lama;
yaitu dalam arti lain adalah “cara memperoleh perhatian atau kepopuleran”. Desain eksibisi
Paviliun Indonesia merupakan salah satu ‘arsitektur panggung’ Presiden Soekarno yang
menunjukan sikap nasionalisme yang tinggi, sikap yang melawan hegemoni barat dan
kecintaan akan seni.
Dari pemaparan di atas maka berdasarkan interpretasi ikonologis dapat dipahami
bahwa desain eksibisi Paviliun Indonesia merupakan perwujudan gagasan politik,
arsitektural dan seni Budaya Presiden Soekarno. Dalam Konteks tersebut dapat dipahami
bahwa secara psikologi personal dapat diketahui bahwa Presiden Soekarno sebagai
penggagasnya bersifat ekstrovert, progresif dan revolusioner, berani, kecintaan terhadap
seni dan senang menjadi figur central (berkarakter). Pandangan Hidup (weltanschauung)
Presiden Soekarno adalah menjadi ‘aktor’ dalam ‘panggung’ dunia yang baru, bebas dari
penindasan dan peperangan (The World a New) dalam memainkan dan menyuarakan ‘lakon’
Pancasila.

D. KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa melalui pendekatan ikonografi dapat
memperoleh bahwa pada tataran tekstual desain eksibisi mencerminkan desain arsitektur
hybrid dengan menerapkan gaya post-war modernism style yang diasosiasikan dengan
demokrasi, kapitalisme dan hasrat negara baru untuk menjadi ‘pemain besar’ di skala global.
Pada aspek kontekstual dan konsepsional, konsep desain eksibisi secara ikonografi
yang dikorelasikan dengan tema desain eksibisi adalah ‘mewujudkan kesejahteraan dan
kedamaian melalui pancasila untuk dunia yang lebih baik”. Konsep tersebut merupakan
pesan dan tanggapan dari Indonesia untuk tema besar pameran yaitu ‘kedamaian melalui
pengertian (peace through understanding)”.
Berdasarkan interpretasi ikonologis dapat dipahami bahwa desain eksibisi Paviliun
Indonesia merupakan perwujudan gagasan politik, arsitektural dan seni Budaya Presiden
Soekarno. Pandangan Hidup (weltanschauung) Presiden Soekarno adalah menjadi ‘aktor’
dalam ‘panggung’ dunia yang baru, bebas dari penindasan dan peperangan (The World a
New) dalam memainkan dan menyuarakan ‘lakon’ Pancasila.
Kesimpulan akhirnya adalah visualisasi desain Eksibisi Paviliun Indonesia memuat
gagasan Presiden Soekarno tentang posisi dan citra Indonesia dalam dunia internasional,
sebagai representasi diri dan ‘arsitektur panggung’ Presiden Soekarno yang menginginkan
Indonesia sebagai ‘aktor’ dalam ‘panggung’ internasional dengan selalu
mengkomunikasikan ‘Pancasila’ sebagai filsafat dasarnya dalam menciptakan dunia baru
yang lebih baik.
E. UCAPAN TERIMA KASIH
Artikel ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa ‘bantuan’ beberapa pihak yaitu: pertama
terima kasih kepada saudara Rony (2014) yang tulisannya dijadikan; meminjam istilah Tan
Malaka ‘Jembatan Keledai (ezelsbruggetje)’ dalam mempelajari metode ikonografi-nya
Erwin Panofsky secara ‘instan’. Kedua Saudari Indah Tjahjawulan, tercatat sebagai ‘satu-
satunya’ peneliti desain eksibisi di Indonesia, dan ketiga bagi Yuke Ardhiati (2016) yang
memberikan ‘klimaks’ dalam perumusan kesimpulan penelitian ini.

F. DAFTAR PUSTAKA
Adams, Cindy, 1966, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Djakarta: Gunung
Agung

Adji, Titus Soepono, 2014, Dari Sentiling sampai SMA 1 Semarang Menimbang Ideologi
Visualitas Sebuah Lanskap, Tesis S2 Kajian Budaya dan Media UGM.

Ardhiati, Yuke, 2016, Khora as a New Method in Art and Architecture Field, Internasional
Journal of Philosophy and Social Sciences. Volume 1, Number 1 (2016), pp.21-32

Arifin, Toto Sugiarto, 2014, Monumen Masa Pemerintahan Orde Lama di Jakarta:
Representasi Visual Nasionalisme Soekarno, Jurnal Panggung Vol. 24 No. 2,
Bandung: ISBI Bandung

Cotter, Bill dan Young, Bill, 2013, The 1964-1965 New York World’s Fair, South Carolina:
Arcadia Publishing

Ffrench, Yvonne, 1950, The Great Exhibition 1851, London: Harvill Press

Kusumawati, Bety Dwi, 2005, Museum Soekarno di Blitar dengan Langgam Arsitektur Pada
Era Soekarno, Skripsi pada Jurusan Arsitektur Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Montijn, Ileen, 1983, De wereldtentoonstelling van 1883. In: Ons Amsterdam, artikel
internet @parallel.park.org diakses 19 Maret 2017

Panofsky, Erwin. 1955. Meaning of the Visual Arts. New York: Doubleday Anchor Books.

Rony, 2014, Ikonografi Arsitektur dan Interior Masjid Kristal Khadija Yogyakarta,
Journal of Urban Society’s Arts, Volume 1 Nomor 2, Oktober 2014: 121-134

Soekarno, 2005, Di Bawah Bendera Revolusi, Cetakan Kelima, Jakarta: Yayasan Bung
Karno

Tjahjawulan, Indah, 2012, Konstruksi Citra Multikultur Indonesia Melalui Pameran Dunia
Sejak Tahun 1964-2010, Artikel dalam Prosiding Seminar Internasional Multikultur,
Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai