Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan ginjal akut(GgGA) yang sebelumnya disebut gagal ginjal akut adalah
penurunan fungsi ginjal mendadak, dalam beberapa jam sampai beberapa minggu, diikuti
oleh kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen dengan atau tanpa
disertai terjadinya gangguan keseimbangan cairan ataupun elektrolit(1).
Manifestasi GgGA sangat bervariasi, mulai dari yang ringan tanpa gejala, hingga
yang sangat berat dengan disertai gagal organ multipel dan keadaan ini dapat terjadi pada
pasien yang dirawat di rumah sakit baik yang diruang intensif ataupun di bangsal biasa,
bahkan bisa ditemukan diluar rumah sakit atau pada populasi umum(1).
Angka kejadian GgGA sangat bervariasi mulai 5- 7% dari semua pasien yang
dirawat di rumah sakit sampai dengan 30- 50% pada pasien-pasien yang dirawat di
ruangan intensive care unit(ICU). Di inggris pada populasi umum Tarig Ali dkk(2007)
dengan menggunakan criteria RIFFLE melaporkan angka kejadian GgGA sebesar 1.811
kasus/ juta penduduk(1,2,3).
Di negara- negara berkembang termasuk juga Indonesia jarang dilaporkan insiden
GgGA pada populasi umum, Hal ini karena tidak semua pasien dirujuk ke rumah sakit.
Sedangkan untuk pasien yang dirawat dirumah sakit terutama di ICU berdasarkan laporan
beberapa rumah sakit di Bandung insiden GgGA didapatkan sekitar 34 %(4).
Sampai saat ini GgGA masih mempunyai angka kematian yang tinggi dan sering
kali tidak terdiagnosis, padahal dengan menggunakan kriteria diagnosis baru yaitu
kriteria RIFFLE menurut Acute Dialysis Quality Initiative(ADQI) angka kejadian GgGA
dapat diramalkan sebelumnya dan mungkin dapat dicegah terjadinya. Pada pasien yang
dirawat dirumah sakit angka kematian GgGA sekitar 30- 50 % dan dapat mencapai 70-
80% pada pasien- pasien yang dirawat di ruang intensif(4).
Gangguan ginjal akut apabila dilihat dari etiologinya dapat dibagi menjadi 3 yaitu
sebelum ginjal( pre renal ), di dalam ginjal( renal/ intrinsik ) dan setelah ginjal ( post
renal ). Pembagian ini berdasarkan lokasi terjadinya kelainan patofisiologi yang
menimbulkan GgGA(5,6,7)

1
Kenaikan mendadak kadar kreatinin serum sudah sejak lebih 60 tahun di gunakan
sebagai penanda biologis ( biomarker ) untuk menegakkan diagnosis GgGA. Hingga saat
ini ADQI ataupun Acute Kidney Injury Network (AKIN) masih menggunakan penanda
biologis ini untuk menegakkan diagnosis GgGA(7).
Berbeda dengan penyakit ginjal kronis (PGK) dimana kenaikan kreatinin serum
dapat terpercaya sebagai penanda turunnya laju filtrasi glomerulus, pada GgGA karena
keadaan homeostasis yang tidak stabil kenaikan kreatinin serum banyak dipengaruhi oleh
faktor-faktor non renal, seperti tingkat kalabolisme tubuh, metabolisme protein di otot,
asupan protein, status hidrasi, penggunaan obat- obatan dll. Sebaliknya dapat pula terjadi
ganguan fungsi ginjal yang tidak disertai kenaikan kreatinin serum. Selain itu ada
mekanisme tubuh untuk mempertahankan kadar serum kreatinin antara lain dengan cara
mengurangi katabolisme kreatinin di otot atau dengan meningkatkan sekresi kreatinin.
Bahkan setelah mengalami gangguan yang berat, kenaikan kreatinin serum baru terjadi 2-
3 hari lebih lambat dibandingkan saat terjadinya gangguan ginjal. Keadaan ini
menyulitkan penggunaannya untuk diagnosis dini. Oleh Karena itu diperlukanya
biomarker yang dapat menegakkan diagnosis dini GgGA dan tidak dipengaruhi oleh
faktor- faktor non renal sehingga komplikasi lebih lanjut dapat dihindarkan(7).
Menurut Biomarker Definitions Working Group ( 2001 ) yang dimaksud dengan
biomarker adalah suatu parameter biologis yang terukur dan terpercaya sebagai indikator
terjadinya suatu proses biologis, proses patologis, respon farmakologis, atau respon
terhadap intervensi terapeutik(7)
Deravajan (2007) berpendapat suatu biomarker yang ideal untuk GgGA harus
dapat memenuhi kriteria- kriteria(2) :
1. Dapat membedakan sub- tipe GgGA ( pre renal, renal dan post renal )
2. Dapat membedakan etiologi GgGA ( iskemia, toksin, sepsis, atau
kombinasi )
3. Dapat membedakan GgGA dari kelainan ginjal lainnya ( ISK,
Glomerulonefritis, nefritis intertitialis )
4. Dapat meramalkan tingkat/ beratnya GgGA
5. Dapat memantau perjalanan penyakit GgGA
6. Dapat memantau pengobatan dan cara intervensi lainnya.

2
Sampai saat ini belum ditemukan atau ditetapkan biomarker yang ideal untuk
GgGA. Menurut American Society of Nephrology(2005) untuk mencapai tujuan tersebut
di atas mungkin diperlukan lebih dari satu biomarker tetapi beberapa biomarker sebagai
satu panel, sebagaimana layaknya biomarker untuk infark miokard.
Tinjauan kepustakaan ini dibuat untuk lebih mengetahui biomarker- biomarker
yang dapat digunakan dalam diagnosis dini gangguan ginjal akut

3
BAB II
GANGGUAN GINJAL AKUT

2.1 Etiologi dan Patogenesis


Gangguan ginjal akut apabila dilihat dari etiologinya dapat dibagi menjadi 3 yaitu
sebelum ginjal( pre renal ), di dalam ginjal( renal/ intrinsik ) dan setelah ginjal ( post
renal ). Pembagian ini berdasarkan lokasi terjadinya kelainan patofisiologi yang
menimbulkan GgGA(5,6,7).

4
5
Gambar 1. Patogenesis Gangguan Ginjal Akut(8)

a. GgGA Pre renal


Penyebab GgGA pre renal adalah hipoperfusi ginjal. Hipoperfusi dapat
disebabkan oleh hipovolemia atau menurunnya volume sirkulasi yang efektif. Pada
GgGA pre renal integritas jaringan ginjal masih terpelihara sehingga prognosis dapat
lebih baik apabila faktor penyebab dikoreksi. Apabila upaya perbaikan hipoperfusi ginjal
tidak berhasil maka akan timbul GgGA renal berupa nekrosis tubular akut (NTA) karena
iskemia. Pada kondisi ini fungsi otoregulasi ginjal akan berupaya mempertahankan

6
tekanan perfusi, melalui mekanisme vasodilatasi intra-renal. Dalam keadaan normal,
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) relatif konstan karena diatur oleh
suatu mekanisme yang disebut otoregulasi(5,7).
Pada keadaan hipovolemia akan terjadi penurunan tekanan darah, yang akan
mengaktifasi baroreseptor kardiovaskuler yang selanjutnya mengaktifasi sistem syaraf
simpatis, sistem renin-angiotensin serta merangsang pelepasan vasopressin dan
endothelin-1 (ET-1), yang merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan
darah dan curah jantung serta perfusi serebral. Pada keaadaan ini mekanisme otoregulasi
ginjal mempertahankan aliran darah ginjal dan LFG dengan vasodilatasi arteriol aferen
yang dipengaruhi oleh refleks miogenik serta prostaglandin dan Nitric oxide (NO), serta
vasokontriksi arterial eferen yang terutama dipengaruhi oleh angiotensin-II (A-II) dan
ET-1. Mekanisme ini bertujuan untuk mempertahankan homeostasis intra-renal(5,7).
Pada hipoperfusi ginjal yang berat ( tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg ) serta
berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut terganggu,
dimana arteriol aferen mengalami vasokontriksi, terjadi kontraksi mesangial dan
peningkatan reabsorsi Na+ dan air. Keadaan ini disebut pre renal atau GgGA fungsional,
dimana belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. Penanganan terhadap penyebab
hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis intra-renal menjadi normal kembali(5).
Beberapa jenis obat dapat menyebabkan GgGA pre renal, antara lain nonsteroidal
anti inflammatory drugs (NSAID) karena menghambat sintesis prostaglandin yang
mengakibatkan penurunan LFG, inhibitorACE karena menurunkan produksi angiotensin-
II sehingga terjadi vasodilatasi arterial eferen dengan akibat penurunan tekanan
hidrostatis glomerulus. Siklosporine dan taclimus dapat menyebabkan vasokontriksi
vaskuler sehingga menyebabkan hipoperfusi ginjal(7).

Tabel 1. Etiologi yang dapat menyebabkan gangguan ginjal pre-renal(7)


No Etiologi gangguan ginjal akut
1 Kehilangan volume cairan tubuh melalui
 Dehirasi : Apapun penyebabnya
 Perdarahan : Apapun penyebabnya
 Gastro-intestinal : Diare, muntah, cairan NGT,dll
 Ginjal : Diuretik, osmotik diuretik, insufisiensi adrena, dll.
 Kulit : Drain pasca operasi

7
2 Penurunan volume efektif pembuluh darah
 Infark miokard
 Kardiomiopati
 Pericarditis ( konstruktif atau tamponade jantung )
 Aritmia
 Disfungsi katub
 Gagal jantung
 Emboli paru
 Hipertensi pulmonal
 Penggunaan ventilator
3 Redistribusi cairan
 Hipoalbuminemia ( sindroma nefrotik, sirosis hepatis, malnutrisi )
 Syok vasodilator
 Peritonitis
 Pankreatitis
 Rhabdomiolitis
 Ascites
 Obat- obat vasodilator
4 Obstruksi renovaskuler
 Arteri renalis ( stenosis intravaskuler, embolus, laserasi trombus )
 Vena renalis ( trombosis intravaskuler, infiltrasi tumor )

b. GgGA renal/ intrinsik


Penyebab utama GgGA Proses intrinsik yang mengakibatkan GgGA
dikategorikan sesuai dengan lokasi utama dimana terjadinya gangguan histologik pada
komponen struktural ginjal. Secara klasik GgGA intrinsik dapat dibagi menjadi :
1. Gangguan glomerulus akut
2. Gangguan intertitialis
3. Gangguan tubulus
Pada beberapa bentuk GgGA intrinsik tersebut, terdapat golongan yang tidak
dapat dikategorikan kedalam kategori yang klasik sehingga diusulkan untuk dapat
memasukkan dua kategori lainnya lagi yaitu: penyakit vaskuler akut dan GgGA sekunder
terhadap obstruksi intratubuler(9).
Perbedaaan utama dari suatu GgGA intrinsik dengan pre renal ataupun post renal
adalah pada GgGA intrinsik sudah terjadi gangguan struktural ginjal. Perbaikan yang
dilakukan terhadap penyakit yang menjadi etiologi GgGA intrinsik tersebut tidak selalu
diikuti oleh perbaikan struktural maupun fungsi ginjal dengan segera(9).

8
Penyebab utama GgGA intrinsik adalah nekrosis tubular akut (NTA) dengan
etiologi multifaktorial, dan biasanya terjadi pada keadaan - keadaan: penyakit akut
dengan sepsis, hipotensi dan penggunaan obat- abatan yang nefrotoksik. Gambar dibawah
ini menunjukkan mekanisme terjadinya nekrosis tubular akut(5,9).

Gambar 2. Mekanisme nekrosis tubular akut(10)

Tabel 2. Etiologi yang dapat menyebabkan gangguan ginjal intrinsik(7)


No Etiologi gangguan ginjal akut
1 Tubular nekrosis akut
 Obat- obatan : Aminoglikosida, cisplatin, ampphotericin B
 Iskemia : Apapun sebabnya
 Syok septik : Apapun sebabnya
 Obstruksi intratubular : Rhabdomiolisis, hemolisis,
multipel myeloma, asam urat, kalsium oksalat
 Toksin : Zat kontras radiologi,

9
karbon tetraklorid, etilen glikol, logam berat
2 Nefritis intertitialis akut
 Obat- obatan : Penisilin, NSAID, inhibitor
ACE, allopurinol, Cimetidin, H2 blokers, proton
pump inhibitors
 Infeksi : Streptokokus, difteri, leptospirosis
 Metabolik : Hiperurikemia, nefrokalsinosis
 Toksin : Etilene glikol, kalsium oksalat
 Penyakit autoimun : SLE, cryoglobulinemia
3 Glomerulonefritis akut
 Pasca infeksi : Streptokokus, bakteria,
hepatitis B, HIV, abses visceral
 Vaskulitis sistemik : SLE, Wegener’s
granulomatous, poliarteritis nodusa, Henoch-
Schonlein purpura, IgA nefritis, sindroma
goodpasture.
 Glemerulonefritis
membranoproliperative
 Idiopatik
4 Oklusi Mikrokapiler : Thrombotic thombocytopenic purpura, hemolitic
uremic syndrome, disseminated intravaskuler
coagulation, cryoglobulinemia, emboli kolesterol
5 Nekrosis kortikal akut.

c. GgGA post renal


GgGA post renal merupakan 10 % dari keseluruhan GgGA. GgGA post renal
terjadi akibat obstruksi pada saluran air kemih apapun etiologinya. Obstruksi akan
meningkatkan tekanan di dalam kapsula bowman dan menurunkan tekanan hidrostatik
sehingga LFG menurun. GgGA post renal dapat disebabkan oleh obstruksi yang terjadi di
bawah kandung kemih ( uretra ) atau pada kedua ureter yang akan menghambat aliran
urin dari kedua ginjal. Bila obstruksi hanya terjadi pada salah satu ureter maka GgGA
post renal baru akan berlangsung bila ginjal sebelahnya sudah tidak berfungsi akibat
etiologi lain(5,9).
Bila etiologi penyebab obstruksi dihilangkan maka biasanya gangguan ginjal yang
terjadi cepat membaik. Pada masa penyembuhan seringkali timbul keadaan poliuria
pasca obstruksi ( > 4 liter/ hari ). Poliuria terjadi karena obstruksi saluran kemih akan
menurunkan sensitifitas tubuli terhadap anti diuretik hormon (ADH ), bila sumbatan
dihilangkan maka terjadi poliuria karena sensitivitas terhadap ADH belum pulih. Fase

10
poliuria biasanya terjadi singkat, beberapa hari sampai satu minggu. Pada fase poliuria
harus dijaga agar pasien tidak menjadi dehidrasi dan kekurangan elektrolit(7).

Tabel 3. Etiologi yang dapat menyebabkan gangguan ginjal post renal(7)


No Etiologi gangguan ginjal akut
1 Obstruksi ureter ( bilateral atau unilateral )
 Ekstrinsik : Tumor, perdarahan/ fibrosis retroperitoneum
 Intrinsik : Batu, bekuan darah, nekrosis papila ginjal, tumor.
2 Obstruksi kantung kemih atau uretra
 Tumor atau hipertropi prostat
 Tumor kantung kemih, neurogenic bladder
 Prolaps uteri
 Batu, bekuan darah, sloughed papillae
 Obstruksi kateter foley

2.2 Diagnosis
Untuk mengatasi beragamnya konsep gagal ginjal akut kelompok pakar nefrologi
dan intensivis yang tergabung dalam Acute Dialysis Quality Initiative ( ADQI ) membuat
istilah, definisi baru dan konsensus pengelolaan yang lebih komprehensif berdasarkan
bukti- bukti klinis terpercaya. Pada pertemuan tahun 2002 dikemukakan istilah Acute
Kidney Injuri atau GgGA menggantikan acute renal failure. Kemudian kelompok ini
mendapat apresiasi yang lebih luas lagi sehingga sepakat membentuk jaringan yang lebih
luas disebut Acute Kidney Injury Network ( AKIN ).(1,11)
Perubahan konsep definisi kepada GgGA diharapkan dapat mengatasi kelemahan
konsep definisi GGA sebelumnya. Oleh karena itu konsep baru ini harus disertai kriteria-
kriteria diagnosis yang dapat mengklasifikasikan GgGA dalam berbagai kriteria bertanya
penyakit. Kriteria yang dibuat disebut kriteria RIFLE (1,11).
Kriteria ini dibuat dengan memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhi
perjalanan penyakit GgGA, disebut kriteria RIFLE ( Risk, Injury, Failure, Loss, End-
stage renal failure ). Kriteria RIFLE pertama kali dipresentasikan pada International
Conference on Continous Renal Replacement Therapies, di Sandiago pada tahun 2003.

11
Kriteria ini kemudian mengalami perbaikan dan terakhir diajukan oleh Kellum, Bellomo,
dan Ronco tahun 2007. (1,11)

Gambar 3.Kriteria RIFLE Menurut ADQI

Pada tahun 2005 AKIN membuat seditkit modifikasi pada kriteria RIFLE dengan
berbagai pertimbangan salah satunya menghilangkan kriteria L dan E karena tidak
menggambarkan tahapan penyakit tetapi prognosis, dengan demikian tahapan GgGA
menurut AKIN adalah(1):

Tabel 4. Tahapan Gangguan Ginjal Akut menurut AKIN(1)


Tahap Kriteria serum kreatinin Kriteri urin output (UO)
1 Kenaikan serum kreatinin ≥ 0,3 UO < 0,5 cc/kgbb selama lebih dari 6 jam
mg/dl atau kenaikan 1,5 sampai
2 kali kadar sebelumnya
2 Kenaikan serum kreatinin 2 UO < 0,5 cc/kgbb selama lebih dari 12 jam
sampai 3 kali kadar sebelumnya

12
3 Kenaikan serum kreatinin 3 kali UO < 0,3 cc/kgbb selama lebih dari 24 jam
kadar sebelumnya, atau serum atau anuria selama 12 jam.
kreatinin ≥ 4 mg/dl dengan
peningkatan akut paling sedikit
sebesar 0,5 mg/dl

Kriteria yang dibuat oleh AKIN di atas sebenarnya tidak berbeda dengan kriteria
RIFLE. Kriteria RIFLE R sama dengan tahap 1, RIFLE I sama dengan tahap 2, RIFLE F
sama dengan sama dengan tahap 3. Kriteria RIFLE L dan E dihilangkan karena dianggap
sebagai prognosis buka tahapan penyakit(1).
Pada tahun 2008, Bagshaw dkk mengumpulkan data pasien penyakit gawat yang
dirawat di ICU dari Australian New Zealand Intensive Care Society ( ANZIC ). Mereka
melaporkan bahwa walaupun kriteria AKIN menggunakan kadar kreatinin yang lebih
rendah ( ≥ 0,3 mg/dl ) untuk menegakkan diagnosis dini, tetapi secara keseluruhan
kriteria AKIN tidak lebih sensitif atau prediktif jika dibandingkan dengan kriteria RIFLE
dari ADQI(1).

BAB III
BIOMARKER PADA GANGGUAN GINJAL AKUT

3.1 Definisi Biomarker


Menurut Biomarker Definitions Working Group ( 2001 ) yang dimaksud dengan
biomarker adalah suatu parameter biologis ( dapat berupa enzim, hormon, fenotipe
genetik, dll ) yang terukur dan terpercaya sebagai indikator terjadinya suatu proses
biologis, proses patologis, respon farmakologis, atau respon terhadap intervensi
terapeutik(7,12).

13
3.2 Biomarker yang ideal untuk GgGA
Suatu biomarker GgGA yang ideal harus dapat membantu menegakkan diagnosis
GgGA secara cepat( dini ) pada pasien- pasein yang dirawat dengan sensitivitas dan
spesifitas yang tinggi serta dapat membantu mengelompokkan resiko pasien GgGA
dengan memprediksi kebutuhan terhadap terapi pengganti ginjal, durasi dari GgGA, lama
dirawat dan angka mortalitas. Dengan menegakkan diagnosis lebih dini diharapkan terapi
dapat dilakukan lebih cepat dengan harapan angka kematian GgGA yang saat ini masih
tinggi dapat diturunkan(7,12).
Menurut Coca dan Parikh (2008), suatu biomarker harus melalui beberapa
tahapan penelitian sebelum dapat diakui sebagai suatu parameter teruji untuk
menegakkan diagnosis GgGA. Pada tahap pertama dilakukan exploitasi pre- klinikal,
yaitu apakah kadarnya menurun atau meningkat secara bermakna pada percobaan
binatang yang dibuat GgGA. Tahap dua, apakah dapat dilakukan cara pengukuran ( Elisa
atau immune assay ) secara non invasif terhadap biomarker tersebut. Pada tahap ini
dipelajari juga kemungkinan pengaruh eksternal seperti usia, jenis kelamin, dan berbagai
variabel lain terhadap kadar penanda tersebut. Pada tahap tiga ( tahap klinik ), ditentukan
apakah biomarker ini dapat mendeteksi dini terjadinya GgGA pada pasien- pasien.
Ditetapka pula sensitivitas dan spesifitasnya, serta kadar minimal untuk diagnosis yang
dapat mendeteksi penyakit. Tahap empat adalah validasi penggunaanya dalam klinik.
Perlu dilakukan penelitian cohort dengan populasi pasien yang lebih banyak sebelum
diakui sebagai biomarker yang terpercaya. Tahap lima adalah postmarketing survey.
Harus dibuktikan bahwa penanda biologis yang digunakan dapat membuat diagnosis
secara dini dan dapat memperbaiki prognosis penyakit(7,12).
Tabel 5. Tahapan- tahapan pada perkembangan biomarker(12)

14
Menurut Molitoris dkk (2008), biomarker yang ideal untuk GgGA diharapkan
selain dapat menegakkan diagnosis secara dini, harus dapat membuat diagnosis banding.
Artinya, dapat membedakan gangguan tubuli dari gangguan ginjal lainnya, serta dapat
menentukan letak kelainannya pada tubuli ( proksimal atau distal ) dan menemukan
penyebabnya ( iskemia atau toksin ) dan saat terjadinya gangguan ( akut atau kronis )(13).
Deravajan (2007) berpendapat suatu biomarker yang ideal untuk GgGA harus
dapat memenuhi kriteria- kriteria dibawah ini(2):
1. Dapat membedakan sub- tipe GgGA ( pre renal, renal dan post renal )
2. Dapat membedakan etiologi GgGA ( iskemia, toksin, sepsis, atau kombinasi )
3. Dapat membedakan GgGA dari kelainan ginjal lainnya ( ISK, Glomerulonefritis,
nefritis intertitialis )
4. Dapat meramalkan tingkat/ beratnya GgGA
5. Dapat memantau perjalanan penyakit GgGA
6. Dapat memantau pengobatan dan cara intervensi lainnya.

3.2 Biomarker yang sudah digunakan pada GgGA


Hingga saat ini AKIN masih menggunakan kriteria peningkatan kadar kreatinin
serum untuk menegakkan GgGA. Hal ini disebabkan karena belum adanya biomarker
lain yang cukup sensitif dan spesifik untuk menegakkan GgGA. Berbeda dengan
penyakit ginjal kronis dimana kenaikan kreatinin serum dapat dipercaya sebagai penanda
turunnya laju filtrasi glomerulus, pada GgGA kadar kreatinin serum sedikit sekali
merepleksikan fungsi dari ginjal, hal ini disebakan oleh karena(7,12):
1. Kehilangan masa ginjal yang besar bisa terjadi tanpa disertai dengan perubahan
dari kreatinin serum karena adanya cadangan fungsi ginjal yng besar ( renal
reserve ). Sebagai contoh seorang yang telah mendonorkan salah satu ginjalnya,
biasanya tidak ada perubahan pada kadar kreatinin serum setelah operasi
meskipun orang tersebut telah kehilangan 50 % fungsi ginjalnya.
2. Perubahan kadar kreatinin serum pada pasien dengan GgGA dipengaruhi oleh
faktor- faktor antara lain: konversi non enzimatik kreatinin dan phospokreatinin di
otot rangka, pelepasan kreatinin serum ke aliran darah dan sirkulasi, filtrasi dan
ekskresi kreatinin ke dalam urine. Bahkan setelah mengalami ganguan yang berat,

15
kenaikan kadar kretinin serum baru terjadi 2- 3 hari lebih lambat dibandingkan
saat terjadinya gangguan ginjal.
3. Kadar kreatinin serum banyak dipengaruhi oleh faktor- faktor non renal seperti
berat badan, ras, umur, total volume tubuh, obat- obatan, metabolisme otot dan
asupan protein.

Oleh Karena itu diperlukanya biomarker yang dapat menegakkan diagnosis dini
GgGA dan tidak dipengaruhi oleh faktor- faktor non renal sehingga komplikasi lebih
lanjut dapat dihindarkan. Spesimen untuk melakukan pemeriksaan biomarker untuk
GgGA dapat berasal dari urin atau darah. Menurut Parikh dan Garg(2008) sejak tujuh
tahun terakhir telah dilaporkan lebih dari 20 penanda biologis untuk GgGA, masing-
masing mempunyai kekhususan dalam sensitivitas dan spesivitas untuk menegakkan
diagnosis dini, menetapkan GgGA yang sudah menetap, dan menentukan prognosis dan
perjalanan penyakitnya(7).
Beberapa biomarker untuk GgGA yang saat ini masih dalam tahap penelitian dan
memberikan harapan yang baik penggunaannya. Biomarker tersebut dapat dibagi sebagai
berikut:

1.Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin (NGAL)


Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin dikenal juga dengan nama
Neutrophil Lipocalin (NL), Lipocalin 2, Siderocalin dan 25 kDa α2-microglobulin.
NGAL manusia terdiri dari disulfida dan satu rantai polipeptida 178 residu asam amino
dengan berat molekul sekitar 22 kDa, tetapi glikosilasi meningkatkan massa molekul
menjadi 25 kDa(16).
Karena ukuran molekul yang kecil dan resisten terhadap degradasi, NGAL dapat
dengan mudah dikeluarkan dan dideteksi dalam urin, baik dalam bentuk bebas maupun
dalam bentuk terikat. Kadarnya didalam urin berkorelasi dengan kadarnya didalam
.plasma ataupun serum(16).

16
Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin dalam keadaan normal diekskresikan
dengan kadar sangat rendah dari berbagai organ jaringan tubuh seperti ginjal, paru,
lambung, dan kolon. NGAL meningkat apabila terjadi kerusakan dari epitel. NGAL baru-
baru ini diidentifikasi sebagai salah satu protein yang paling awal dan paling besar
konsentrasinya sesaat setelah terjadi iskemia ataupun nefrotoksik ginjal pada hewan, dan
NGAL adalah protein yang mudah dideteksi dalam darah dan urin segera setelah GgGA.
Temuan ini telah melahirkan sejumlah studi untuk mengevaluasi NGAL sebagai sebuah
biomarker GgGA manusia. Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin dapat diperiksa
dengan pemeriksaan ELISA dan dalam keadaan normal kadar NGAL didalam plasma
berkisar antara 37- 106 ng/ml sedangkan didalam urine 0,7- 9,6 ng/ml(2,15,26).
Mori K dkk(2005) dalam studi cross-sectional, di unit perawatan intensif pasien
dengan GgGA akibat dari sepsis, iskemia,atau nephrotoxins ditemukan konsentrasi
NGAL lebih besar dari 10-kali didalam plasma dan 100 kali lipat dalam urin bila
dibandingkan dengan kontrol normal. Keduanya baik plasma ataupun urin konsentrasi
NGAL berkorelasi tinggi dengan kadar kreatinin serum. Pada biopsi ginjal menunjukkan
adanya akumulasi NGAL di 50% dari tubulus(17)
Mishra J et al (2005) dalam penelitian prospektif anak-anak yang menjalani
cardiopulmonary bypass, GgGA terjadi pada 28% anak, tetapi diagnosis menggunakan
serum kreatinin hanya mungkin 1-3 hari setelah operasi sedangkan dengan menggunakan
NGAL dapat dilakukan 2-6 jam setelah operasi karena konsentrasinya mencapai 10 kali
lipat atau lebih pada urin dan plasma(17).
Zappitelli dkk dalam studinya terhadap 140 anak-anak yang dirawat diruang ICU
dan membutuhkan ventilator mekanik, mendapatkan bahwa kadar NGAL didalam urin
sangat tinggi pada pasien yang terjadi perburukan terhadap derajat GgGA(19).

2.Cystatin C
Cystatin C adalah protein dengan berat molekul rendah yang berfungsi sebagai
lysosomal sistein protease inhibitor yang disintesa dan diekskresikan oleh semua sel yang
berinti. Zat ini kemudian difiltrasi oleh glomerulus untuk kemudian direabsorbsi secara
total di tubuli. Kadar cystatin C dalam darah tidak dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin,
ras, atau massa otot. Karakteristik ini membuat cystatin C menjadi biomarker yang baik

17
untuk menentukan laju filtrasi glomerulus dibandingkan dengan kreatinin plasma.
Cystatin C dapat diperiksa dengan pemeriksaan ELISA dan nilai normalnya berkisar
antara 0,57- 0,96 mg/L.(7,15,20).
Cystatin C bereaksi lebih cepat pada perubahan laju filtrasi glomerulus (LFG)
dibandingkan dengan kreatinin, yang bukan merupakan penanda sensitif untuk awal
penurunan LFG. Beberapa pasien dengan pengurangan LFG menampilkan tingkat
kreatinin serum dalam kisaran normal dan bahkan 50% pengurangan GFR tidak jarang
dikaitkan dengan konsentrasi normal serum kreatinin. Cystatin C akurat untuk
mendapatkan indikasi awal penurunan fungsi ginjal dan dengan demikian memungkinkan
untuk mengambil tindakan preventif(21).
Berdasarkan penelitian Herget-Rosenthal dkk(2004) dibuktikan bahwa cystatin C
adalah penanda laju filtrasi glomeruli yang lebih baik bila dibandingkan dengan kreatinin
serum. Cystatin C dapat mendeteksi terjadinya gangguan ginjal akut 1-2 hari sebelum
kenaikan kreatinin serum(22)

3.Interlukin 18 (IL-18)
IL-18 adalah cytokine proinflamasi yang terinduksi dalam proksimal tubuli
setelah terjadinya GgGA. Cysteine protease intrasel menginduksi Cytokine IL-18 dan IL-
18 menjadi bentuk aktifnya kemudian diekskresikan ke dalam urin. Kadar IL-18 pada
serum normal berkisar antara 1,2- 16,7 pg/ml. Parikh dkk(2004) dalam suatu cross
sectional study mendapatkan bahwa kadar IL-18 meningkat pada pasien- pasien dengan
gangguan ginjal akut tetapi tidak pada pasien dengan infeksi saluran kemih, penyakit
ginjal kronis, nephritik sindrom dan GgGA pre renal (23). Selain itu kadar IL-18 dapat
digunakan pada kasus-kasus untuk tranplantasi ginjal dimana semakin tinggi kadarnya
maka semakin tinggi angka kegagalannya. Kasus yang sama juga ditemukan pada
penelitian kohort terhadap 72 orang anak yang mengalami operasi jantung. Pada penelitia
tersebut didapatkan bahwa anak yang menderita Gangguan ginjal akut setelah 4 jam
pasca operasi didapatkan kadar IL-18 yang tinggi(15,27).
Parikh dkk(2006) dalam suatu penelitian kohort juga mendapatkan bahwa terjadi
peningkatan yang signifikan IL-18 48 jam sebelum terjadinya peningkatan kreatinin

18
serum pada pasien-pasien dengan sindoma distres pernapasan akut yang dirawat di
ICU(24).
IL-18 sangat sensitif sekali terhadap GgGA iskemia tetapi tidak untuk yang
disebabkan oleh nephrotoksin, penyakit ginjal kronis dan infeksi saluran kemih(2).

4.Kidney Injury Molecule-1 (KIM-1)


KIM-1 adalah suatu protein trasmembran yang akan sangat meningkat kadarnya
pada tubuli proksimal setelah terjadinya iskemia dan nefrotoksik pada percobaan
binatang. Nilai KIM-1 normal berkisar antara 60- 837 pg/ml(28).
Han dkk (2008) melakukan penelitian pada pasien GgGA dan didapatkan kadar
KIM-1 dalam urin meningkat secara bermakna bila bila dibandingkan dengan pasien
penyakit ginjal kronis dan orang normal. KIM-1 lebih spesifik untuk menentukan GgGA
akibat iskemia dan nefrotoksik, kadarnya tidak meningkat pasein dengan infeksi saluran
kemih(7).
Han dkk(2006) juga mendapatkan dalam penelitian kohort dari 103 orang dewasa
yang menjalani cardiopulmonary bypass, ditemukan 31% pasien dengan GgGA dimana
kadar KIM-1 meningkat sekitar 40 % setelah 2 jam pasca operasi dan lebih dari 100 %
setelah 24 jam pasca operasi(24)

5.NA+/H+ Exchange Isoform 3 (NHE3)


NHE3 adalah suatu sodium tranporter yang terletak pada membran apikal tubuli
proksimal dan tubuli ascending. setelah terjadinya iskemia atau nefrotoksik kadarnya
akan meningkat dalam urin.
Du Cheyron et al dalam suatu penelitian cross sectional terhadap pasien GgGA
didapatkan sedikit peningkatan kadar NHE3 pada pasien GgGA pre renal dan post renal
tetapi terjadi peningkatan yang cukup tinggi pada GgGA renal sedangkan pada pasien
tanpa GgGA tidak ditemukan peningkatan NHE3(15).

6. Liver fatty acid-binding protein(L-FABP)


L-FABP adalah suatu protein yang diekspresikan di tubuli proksimal dengan
kadar normal di dalam plasma 7,1- 11 µg/L. Portilla dkk(2008) menggunakan L-FABP

19
untuk mendeteksi GgGA pasca operasi jantung pada anak- anak. Mereka melaporkan
bahwa L-FABP meningkat 4 jam pasca operasi dan terus meningkat bila ada GgGA(7,13).

Biomarker ganguan ginjal akut diatas dapat diperiksa dengan tehnik ELISA
dimana tehnik ini adalah suatu tehnik biokimia untuk mendeteksi adanya suatu antigen
pada suatu sampel. Sampel ataupun antigen yang akan diperiksa kemudian direaksikan
dengan suatu antibodi yang spesifik dan kemudian terbentuklah suatu komplek antigen
dan antibodi. Antibodi ini kemudian dihubungkan dengan suatu enzim dan pada tahap
akhir pemeriksaan ditambahkan suatu zat sehingga enzim tersebut dapat memancarkan
suatu sinyal- sinyal yang dapat dideteksi dengan alat(29).
Apabila kita melihat kriteria yang di kemukakan tentang biomarker yang ideal
menurut Deravajan(2007) maka nampaknya biomarker diatas dapat digunakan untuk
meramalkan beratnya GgGA, memantau perjalanan penyakit dan pengobatan serta
intervensi yang dilakukan sedangkan untuk membedakan sub- tipe, etiologi dan
membedakan GgGA dengan kelainan ginjal lainnya belum bisa dilakukan.
Sampai saat ini belum ditemukan atau ditetapkan biomarker yang ideal untuk
GgGA. Menurut American Society of Nephrology(2005) untuk mencapai tujuan tersebut
di atas mungkin diperlukan lebih dari satu biomarker tetapi beberapa biomarker sebagai
satu panel, sebagaimana layaknya biomarker untuk infark miokard (14). Dari hasil beberapa
penelitian sementara ini biomarker yang dianjurkan untuk gangguan ginjal akut
Adalah yang dapat mendiagnosis dini GgGA, mendiagnosis GgGA yang sudah menetap,
dan dapat menetukan prognosis dan mortalitas(14).
Deravajan(2007) dari berbagai penelitian membuat resume biomaker GgGA yang
telah diproduksi sesuai dengan etiologinya sebagai berikut.

Tabel 6.Biomarker yang mungkin akan segera digunakan untuk GgGA(2)

20
Bila melihat tabel di atas konsentrasi NGAL meningkat lebih awal dibandingkan
dengan biomarker lain baik di urin ataupun di plasma sehingga keadaan ini dapat
digunakan untuk deteksi dini gangguan ginjal akut pada kasus-kasus seperti post operasi
jantung, pemakaian kontras, sepsis dan memantau keberhasilan terapi tranplantasi ginjal.
Sehingga sangat diharapkan dalam waktu dekat dapat digunakan NGAL sebagai
biomarker GgGA..

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

21
1. Gangguan ginjal akut(GgGA) yang sebelumnya disebut gagal ginjal akut adalah
penurunan fungsi ginjal mendadak, dalam beberapa jam sampai beberapa minggu,
diikuti oleh kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen
dengan atau tanpa disertai terjadinya gangguan keseimbangan cairan ataupun
elektrolit
2. Gangguan ginjal akut apabila dilihat dari etiologinya dapat dibagi menjadi 3 yaitu
sebelum ginjal( pre renal ), di dalam ginjal( renal/ intrinsik ) dan setelah ginjal
( post renal ). Pembagian ini berdasarkan lokasi terjadinya kelainan patofisiologi
yang menimbulkan GgGA
3. Suatu biomarker GgGA yang ideal harus dapat membantu menegakkan diagnosis
GgGA secara cepat( dini ) dengan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi serta
dapat membantu mengelompokkan resiko pasien GgGA dengan memprediksi
kebutuhan terhadap terapi pengganti ginjal, durasi dari GgGA, lama dirawat dan
angka mortalitas
4. Sampai saat ini belum ditemukan atau ditetapkan biomarker yang ideal untuk
GgGA. Tetapi berdasarkan penelitian- penelitian terakhir dalam waktu dekat
dapat digunakan biomarker NGAL

4.2 Saran
1. Diperlukan adanya biomarker yang dapat mendiagnosis dini GgGA

DAFTAR PUSTAKA

1. Roesly RMA.Definisi dan Klasifikasi Gangguan Ginjal Akut. Dalam buku


Diagnosis dan Pengelolaan Gangguan ginjal akut (Acute Kidney Injury) . Pusat

22
Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan
Sadikin. Bandung. 2008: 12-20.
2. Devarajan P. Emerging Biomarker for Acute Kidney Injury. Contributors to
Nefrology 2007;156:203-12.
3. Devarajan P. Novel Biomarker for the Early Prediction of Acute Kidney Injury.
Cancer Therapy 2005;3:477-488.
4. Roesly RMA. Epidemiologi Gangguan Ginjal Akut. Dalam buku Diagnosis dan
Pengelolaan Gangguan ginjal akut (Acute Kidney Injury) . Pusat Penerbitan
Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin. Bandung.
2008: 28-40.
5. Markum HMS. Gagal Ginjal Akut. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Editor: Sudoyo AW et al. jilid I. Edisi IV.Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.2006:585-9.
6. Soewito Ag, Parsoedi I. Gagal Ginjal Akut. Dalam ILmu Penyakit Dalam. Editor:
Soeparman, Waspadji S. jilid II. Balai Penerbi FKUI. Jakarta: 341-8.
7. Roesly RMA.Diagnosis klinik & Etiologi Gangguan Ginjal Akut. Dalam buku
Diagnosis dan Pengelolaan Gangguan ginjal akut (Acute Kidney Injury) . Pusat
Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan
Sadikin. Bandung. 2008: 42-66.
8. Jacob R. Acute Renal Failure. Indian J Anaesth 2003;47(5):367-72
9. Gondadiputra R.Patofisiologi Gangguan Ginjal Akut(GgGA). Dalam buku
Diagnosis dan Pengelolaan Gangguan ginjal akut (Acute Kidney Injury) . Pusat
Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan
Sadikin. Bandung. 2008: 68-78.
10. Fry AC, Farrington K. Manajement of Acute Renal Failure. Postgrad Med J
2006;82:106-16.
11. Kellum JA, Bellomo R, Ronco C. The Concept of Acute Kidney Injury and the
Riffle Criteria.In:Acute Kidney Injury. Ed: Ronco C, Kellum JA, Bellomo R. S
Karger AG. Switzerland. 2007 : 10-6.
12. Coca SG, Parikh CR. Urinary Biomarker for Acute Kidney Injury: Perpectives on
Traslation. Clin J Am Soc nephrol 2008;3:481-90.

23
13. Molitoris B, Melnikov VY, Okusa MD el al. Technology insight: biomarker
development in acute kidney injury. What can we anticipate. Nephrology 2008;4:
154-65.
14. American Society of Nephrology. ASN Renal Research Report. J Am Soc
Nephrol(2005);16:1886-93.
15. Naud JF, Leblanc M. Biomarker in Acute Kidney Injury. Biomarker insight
2008;3:115-25.
16. Uttenthal LO. NGAL: a marker molecule for the distressed kidney?. Diakses dari:
http://www.cli.online.com
17. Mori K, Devarajan P et al. Endocytic delivery of lipocalin-siderophore-iron
complex rescues the kidney from ischemia-reperfusion injury. J Clin Invest
2005;115:610–621
18. Mishra J,Deravajan P et al. Neutrophil gelatinase-associated lipocalin ( NGAL )
as a biomarker for acute renal injury following cardiac surgery. Lancet
2005;365:1231–1238
19. Urine neutrophil gelatinaseassociated lipocalin is an early marker of acute kidney
injury in critically ill children:a prospective cohort study. Crit Care 2007;11:R84.
20. Endre ZH, Westhuyzen J. Early detection of acute kidney injury: Emerging new
biomarker.Nephrology 2008;13,91-8.
21. Schmidt C. Cystatin C-a future significant marker in clinical diagnosis. Diakses
dari http://www.cli-online.com
22. Herget-Rosenthal S et al. Early Detection of Acute Renal Failure by Serum
Cystatin C. Kidney int 2004;66:1115-22.
23. Parikh CR, Jani A, Melnikov VY, Faubel S, Edelstein CL: Urinary interleukin-18
is a marker of human acute tubular necrosis. Am J Kidney Dis 2004;43:405–414.
24. Parikh CR et al. Urinary IL-18 is an early predictive biomarker of acute kidney
injury after cardiacsurgery. Kidney Int 2006;70:199–203.
25. Han WK, Waikar SS, Johnson A, Curhan GC, Devarajan P, Bonventre JV. Urinary
biomarkers for early detection of acute kidney injury. J Am Soc Nephrol
2006;17:403A.
26. Human NGAL Rapid ELISA Kit. Diakses dari http://www.Bioporto.com

24
27. Human IL-18 ELISA KIT. Diakses dari http://www.thermo.com
28. Chaturvedi S et al. Assay Validation for KIM-1: Human urinary renal dysfunction
biomarker.Int j Biol Sci 2009;5:128-134.

25

Anda mungkin juga menyukai