Akalasia Esofagus
Akalasia Esofagus
ACHALASIA ESOFHAGUS
I. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Achalasia adalah penyakit yang jarang dari otot esophagus (tabung
yang menelan). Istilah achalasia berarti "gagal untuk mengendur" dan
merujuk pada ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter (cincin
otot antara esophagus bagian bawah dan lambung) untuk membuka
dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung. Sebagai akibatnya,
pasien-pasien dengan achalasia mempunyai kesulitan menelan
makanan. (www.totalkesehatananda.com, 2010)
Achalasia adalah tidak adanya atau tidak efektifnya peristaltic
esophagus distal di sertai dengan kegagalan sfingter esophagus untuk
rileks dalam respon terhadap menelan (Brunner & suddarth (2002).
Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan
menyebabkan dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak
peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu mendorong atau memaksa
turunnya makanan dengan air atau minuman guna menyempurnakan
proses menelan dan Gejala lain dapat berupa rasa penuh substernal
dan umumnya terjadi regurgitasi (Siegel, 1998 dan Ritcher, 1999)
B. Anatomi Fisiologi
Esofagus adalah suatu saluran otot vertikal yang menghubungkan
hipofaring dengan lambung. Ukuran panjangnya 23-25 cm dan
lebarnya sekitar 2 cm (pada keadaan yang paling lebar) pada orang
dewasa. Esofagus dimulai dari batas bawah kartilago krikoidea kira-
kira setinggi vertebra servikal VI (Ballenger, 1997). Dari batas tadi,
osefagus terbagi menjadi tiga bagian yaitu, pars cervical, pars thoracal
1
dan pars abdominal. Esofagus kemudian akan berakhir di orifisium kardia
epitel skuamosa, submukosa yang terbuat dari jaringan fibrosa elastis dan
merupakan lapisan yang terkuat dari dinding esofagus, otot-otot esofagus yang
terdiri dari otot sirkuler bagian dalam dan longitudinal bagian luar dimana 2/3
bagian atas dari esofagus merupakan otot skelet dan 1/3 bagian bawahnya
merupakan otot polos. Pada bagian leher, esofagus menerima darah dari a.
disuplai oleh a. esofagus dan cabang dari a. bronkial. Setelah masuk ke dalam
hiatus esofagus, esofagus menerima darah dari a. phrenicus inferior, dan bagian
yang berdekatan dengan gaster di suplai oleh a. gastrica sinistra. Darah dari
vagus) dari pleksus esofagus atau yang biasa disebut pleksus mienterik
Auerbach yang terletak di antara otot longitudinal dan otot sirkular sepanjang
esofagus disebut sebagai badan dari esofagus, suatu saluran otot yang
2
panjangnya kira-kira 20 cm. Bagian fungsional yang ketiga dari esofagus yaitu
lower esophageal sphincter (sfingter esophagus bawah), suatu cincin otot yang
atas, sfingter bawah selalu menutup untuk mencegah makanan dan asam
bagian atas akan berelaksasi pada proses menelan agar makanan dan saliva
dapat masuk ke dalam bagian atas dari badan esofagus. Kemudian, otot dari
makanan dan saliva lebih jauh ke dalam esofagus. Kontraksi yang disebut
dalam lambung. Pada saat gelombang peristaltik ini sampai pada sfingter
(Soepardi, 2001).
makanan dengan ukuran dan konsistensi yang lunak, proses menelan terdiri
1. Fase oral, makanan dalam bentuk bolus akibat proses mekanik bergerak
pada dorsum lidah menuju orofaring, palatum mole dan bagian atas dinding
sfingter esofagus bawah terbuka dan tertutup kembali saat makanan sudah
3
C. Epidemiologi
Prevalensi akalasia sekitar 10 kasus per 100.000 populasi. Namun
hingga sekarang, insidens penyakit ini telah cukup stabil dalam 50 tahun
terakhir yaitu sekitar 0,5 kasus per 100.000 populasi per tahun. Rasio
kejadian penyakit ini sama antara laki-laki dengan perempuan. Menurut
penelitian, distribusi umur pada akalasia biasanya sering terjadi antara
umur kelahiran sampai dekade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade
pertama (kurang dari 5% kasus didapatkan pada anak-anak). Umur rata-
rata pada pasien orang dewasa adalah 25-60 tahun. (Bakry 2007 dan
wikipedi.org, 2007)
D. Etiologi
Etiologi dari akalasia tidak diketahui secara pasti. Tetapi, terdapat bukti
bahwa degenerasi plexus Auerbach menyebabkan kehilangan pengaturan
neurologis. Beberapa teori yang berkembang berhubungan dengan
gangguan autoimun, penyakit infeksi atau kedua-duanya (Bakry 2006 dan
wikipedi.org, 2007)
Menurut etiologinya, akalasia dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu :
1. Akalasia primer (yang paling sering ditemukan). Penyebab yang jelas
tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh virus neurotropik dan faktor
keturunan.
2. Akalasia sekunder (jarang ditemukan). Kelainan ini dapat disebabkan
oleh infeksi, tumor intraluminer seperti tumor kardia atau
pendorongan ekstraluminer seperti pseudokista pankreas.
Kemungkinan lain dapat disebabkan oleh obat antikolinergik atau
pascavagotomi (Bakry 2006)
Berdasarkan tori etiologi :
1. TeoriGenetik
Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah
mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara
genetik. Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi
penderita akalasia(Sjamsuhidajat, 1997 dan Soepardi 2001)
4
2. Teori Infeksi
Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria pertussis,
clostridia, tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster,
polio dan measles), Zat-zat toksik (gas kombat), trauma esofagus dan
iskemik esofagus uterine pada saat rotasi saluran pencernaan intra
uterine. Bukti yang paling kuat mendukung faktor infeksi neurotropflc
sebagai etiologi. Pertama, lokasi spesifik pada esofagus dan fakta bahwa
esofagus satu-satunya bagian saluran pencernaan dimana otot polos
ditutupi oleh epitel sel skuamosa yang memungkinkan infiltrasi faktor
infeksi. (Sjamsuhidajat, 1997 dan Soepardi 2001)
Kedua, banyak perubahan patologi yang terlihat pada akalasia dapat
menjelaskan faktor neurotropik virus yang berakibat lesi pada nukleus
dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia mienterikus pada
esophagus (Bakry, 2006). Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan
hubungan antara measles dan varicella zoster pada pasien akalasia.
(Sjamsuhidajat, 1997 dan Soepardi 2001)
3. Teori Autoimun
Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa
somber. Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus
didominasi oleh limfosit T yang diketahui berpefan dalam penyakit
autoimun. Kedua, prevalensi tertinggi dari antigen kelas II, yang
diketahui berhubungan dengan penyakit autoimun lainnya. Yang
terakhir, beberapa kasus akalasia ditemukan autoantibodi dari pleksus
mienterikus (Sjamsuhidajat, 1997 dan Soepardi 2001)
4. Teori Degeneratif
Studi epidemiologi dari AS. menemukan bahwa akalasia berhubungan
dengan proses penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis,
seperti penyakit Parkinson dan depresi. (Sjamsuhidajat, 1997 dan
Soepardi 2001)
5
E. Patofisiologi
Kontraksi dan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah diatur oleh
neurotransmitter perangsang seperti asetilkolin dan substansi P, serta
neurotransmitter penghambat seperti nitrit oxyde dan, vasoactive
intestinal peptide (VIP). (Sawyer, 2007)
Menurut Castell ada dua defek penting pada pasien akalasia :
1. Obstruksi pada sambungan esofagus dan lambung akibat peningkatan
dan dilatasi ⅔ bagian bawah korpus esofagus. Akibat lemah dan tidak
terkoordinasinya peristaltik sehingga tidak efektif dalam mendorong
bolus makanan melewati SEB. Dengan berkembangnya penelitian ke
arah motilitas, secara obyektif dapat ditentukan motilitas esofagus
secara manometrik pada keadaan normal dan akalasia (Bakry 2006 dan
wikipedi.org, 2007)
6
F. Gambaran Klinik
Akalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang
ditemukan pada bayi dan sangat jarang pada usia lanjut. Biasanya gejala
yang ditemukan adalah :
1. Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia
dapat terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan
emosi. Disfagia dapat berlangsung sementara atau progresif lambat.
Biasanya cairan lebih sukar ditelan dari pada makanan padat.
2. Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring.
Sering regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur,
sehingga dapat menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses paru
3. Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada stadium
permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah
epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina
pektoris.
4. Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha mengurangi
makannya unruk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri
di daerah substernal.
5. Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa penuh pada
substernal dan akibat komplikasi dari retensi makanan (Irwan, 2009)
G. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis Akalasia Esofagus ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
gambaran radiologik, esofagoskopi dan pemeriksaan manometrik.
1. Pemeriksaan Radiologik
Pada foto polos toraks tidak menampakkan adanya gelembung-
gelembung udara pada bagian atas dari gaster, dapat juga menunjukkan
gambaran air fluid level pada sebelah posterior mediastinum.
Pemeriksaan esofagogram barium dengan pemeriksaan fluoroskopi,
7
tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal esofagus dengan
gambaran peristaltik yang abnormal serta gambaran penyempitan di
bagian distal esofagus atau esophagogastric junction yang menyerupai
seperti bird-beak like appearanc.( Siegel, 1998 dan Goyal, 1994)
2. Pemeriksaan Esofagoskopi
dapat masuk ke lambung dengan mudah (Siegel, 1998 dan Goyal, 1994)
3. Pemeriksaan Manometrik
8
terdapat gerakan peristaltik sepanjang esofagus sebagai reaksi proses
H. Diagnosis Banding
1. Striktur esophagus
2. Keganasan pada esophagus
I. Penatalaksanaan
Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik
esofagus tidak dapat dipulihkan kerabali. Terapi dapat dilakukan dengan
memberi diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi,
dan operasi esofagokardiotomi (operasi Heller) (Siegel, 1998)
1. Terapi NonBedah
a. Terapi Medikasi
Pemberian smooth-muscle relaxant, seperti nitroglycerin 5 mg SL
atau 10 mg PO, dan juga methacholine, dapat membuat sfingter
esofagus bawah relaksasi dan membantu membedakan antara suatu
striktur esofagus distal dan suatu kontraksi sfingter esofagus bawah.
Selain itu, dapat juga diberikan calcium channel blockers
(nifedipine 10-30 mgSL) dimana dapat mengurangi tekanan pada
sfingter esofagus bawah.
Namun demikian hanya sekitar 10% pasien yang berhasil dengan
terapi ini. Terapi ini sebaiknya digunakan untuk pasien lansia yang
mempunyai kontraindikasi atas pneumatic dilatation atau
pembedahan.
b. Injeksi Botulinum Toksin
Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat digunakan untuk
menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esofagus
9
bawah, yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara
neurotransmiter eksitasi dan inhibisi. Dengan menggunakan endoskopi,
toksin diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke
dalam dinding esophagus dengan sudut kemiringan 45°, dimana jarum
dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas squamocolumnar
junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas batas
proksimal dari LES dan toksin tersebut diinjeksi secara caudal ke dalam
sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-100 unit/mL yang dibagi
dalam 20-25 unit/mL untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari LES.
Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan kemudian untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Namun demikian, terapi ini
mempunyai penilaian terbatas dimana 60% pasien yang telah diterapi
masih tidak merasakan disfagia 6 bulan setelah terapi; persentasi ini
selanjutnya turun menjadi 30% walaupun setelah beberapa kali
penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai tambahan, terapi ini
sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian gastroesophageal
junction, yang selanjutnya dapat membuat miotomi menjadi lebih sulit.
Terapi ini sebaiknya digunakan pada pasien lansia yang kurang bisa
menjalani dilatasi atau pembedahan. (Finley, 2002 dalam Irwan, 2009)
c. Pneumatic Dilatation
Pneumatic dilatation telah menjadi bentuk terapi utama selama bertahun-
tahun. Suatu baton dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction
yang bertujuan luituk merupturkan serat otot, dan membuat mukosa
menjadi intak. Persentase keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%,
namun akan turun menjadi 50% 10 tahun kemudian, walaupun setelah
beberapa kali dilatasi. Rasio terjadinya perfbrasi sekitar 5%. Jika terjadi
perforasi, pasien segera dibawa ke ruang operasi untuk penurupan
perforasi dan miotomi yang dilakukan dengan cara thorakotomi kiri.
Insidens dari gastroesophageal reflux yang abnormal adalah sekitar 25%.
Pasien yang gagal dalam penanganan pneumatic dilatation biasanya di
terapi dengan miotomi Heller (Finley, 2002 dalam Irwan, 2009)
10
2. Terapi Bedah
suatu prosedur pilihan untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari
suatu pemisahan serat otot (mis: miotomi) dari sfingter esofagus bawah
(5 cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial
adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat
baik, perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan waktu pemulihan
yang cepat, maka terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam
2009)
J. Komplikasi
2. Bronkhitis
3. Pneumonia aspirasi
4. Abses para
5. Divertikulum
6. Perforasi esophagus
11
K. Prognosis
Suatu laparascopic Heller myotomy memberikan basil yang sangat baik
dalam menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien dan seharusnya
lebih baik dilakukan daripada pneumatic dilatation apabila ada ahli
bedah yang tersedia. Obat-obatan dan toksin botulinum sebaiknya
digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat menjalani pneumatic
dilatation dan laparascopic Heller myotomy. Follow-up secara periodik
dengan menggunakan esofagoskopi diperiukan untuk melihat
perkembangan tejadinya kanker esophagus (Finley, 2002 dalam Irwan,
2009)
12
B. Penyimpangan KDM
aperistalti
Sulit menelan
Salah interpretasi
informasi
Episode refleksus lambung
meningkat
Tidak mengenal
sumber informasi
Nyeri
Kurang Kurang
pengetahuan
13
C. Diangosa Keperawatan
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
kesulitan menelan
2. Resiko bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan makanan
masuk kesaluran nafas.
3. Nyeri berhubungan dengan kesulitan menelan, mencerna agen abrasi,
atau episode refleksus lambung yang sering.
4. Kurang pengetahuan tentang gangguan esophagus dignostik,
penatalaksanaan medis, intervensi bedah, dan rehabilitasi
berhubungan dengan kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap
informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi
yang ada
D. Rencana Keperawatan
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
kesulitan menelan
Tujuan : Setelah 1 minggu perawatan,kebutuhan nutrisi klien
seimbang /terpenuhi dengan
criteria hasil : Berat badan naik ½ kg. Mencapai Body Max Index yang
normal. Nafsu makan menigkat
Intervensi Rasional
1. Berikan makanan sesuai 1. Pemberian yang sesuai
dengan kebutuhan indikasi dan tidak
memberatkan klien apabila
2. Berikan makanan dengan porsi berlebihan
sedikit tapi sering Berikan 2. Mencegah terjadinya
makanan jangan terlalu padat penumpukan makanan pada
dan terlalu cair Esophageal
3. Beritahu pada klien untuk
selalu menghabiskan 3. Makanan yang tidak terlalu
makanannya padat dan tidak terlalu cair
4. Berikan obat – obatan golongan dapat dengan mudah dicerna
nitrates dan calcium channel oleh tubuh
blokers 4. Membantu melancarkan dan
14
memudahkan pencapaian
tujuan Obat golongan nitrates
membantu mengendurkan
spincter esophagus bagian
bawah sedangkan calcium
channel bloker dapat
membantu esophagus untuk
relaks dan tidak konstriksi.
15
Intervensi Rasional
1. Tentukan riwayat nyeri, lokasi, 1. Memberikan informasi yang
durasi dan intensitas diperlukan untuk
merencanakan asuhan.
2. Evaluasi therapi: pembedahan, 2. Untuk mengetahui terapi yang
radiasi, khemotherapi, dilakukan sesuai atau tidak,
biotherapi, ajarkan klien dan atau malah menyebabkan
keluarga tentang cara komplikasi.
menghadapinya
3. Berikan pengalihan seperti 3. Untuk meningkatkan
reposisi dan aktivitas kenyamanan dengan
menyenangkan seperti mengalihkan perhatian klien
mendengarkan musik atau dari rasa nyeri.
nonton TV
4. Menganjurkan tehnik 4. Meningkatkan kontrol diri atas
penanganan stress (tehnik efek samping dengan
relaksasi, visualisasi, menurunkan stress dan
bimbingan), gembira, dan ansietas.
berikan sentuhan therapeutik.
5. Evaluasi nyeri, berikan 5. Untuk mengetahui efektifitas
pengobatan bila perlu. penanganan nyeri, tingkat
nyeri dan sampai sejauhmana
Kolaboratif: klien mampu menahannya
6. Disusikan penanganan nyeri serta untuk mengetahui
dengan dokter dan juga dengan kebutuhan klien akan obat-
klien. obatan anti nyeri.
7. Berikan analgetik sesuai 6. Agar terapi yang diberikan
indikasi seperti morfin, tepat sasaran.
methadone, narcotik dll
7. Untuk mengatasi nyeri.
16
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Berikan informasi tentang 1. Memberikan dasar pengatahuan
gangguan proses menelan dan sehingga pasien dapat membuat
anemia sepesifik. Diskusikan pilihan yang tepat. Menurunkan
kenyataan terapi tergantung pada ansietas dan menigkatkan kerja
beratnya kesukaran menelan serta sama dalam program perapi.
tipe anemia
2. Berikan HE tentang pentingnya 2. Mencegah kelelahan berlebihan;
aktivitas/ mobilisasi disertai mengubah energi untuk
dengan periode istirahat yang penyembuhan
sering dan meningkatkan aktivitas
sesuai kemampuan
3. Anjurkan klien untuk 3. Memfasilitasi
mengkonsumsi makanan tinggi penyembuhan/regenerasi jaringan
protein dan tambahan besi. dan membantu memperbaiki
anemia bila ada.
4. Anjurkan klien untuk 4. Mengurangi gejala-gejala klinis yang
mengkonsumsi obat yang ada dan mencegah terjadinya efek
diresepkan secara rutin dan samping tindakan yang diberikan.
berikan obat yang diresepkan
sesuai jadwal. 5. Pengenalan dini dan pengobatan
5. Catat/identifikasi adanya terjadinya komplikasi seperti
tanda/gejala yang memerlukan infeksi/ perdarahan dapat mencegah
evaluasi medik seperti demam/ situasi yang mengancam hidup.
menggigil dan perdarah
17
DAFTAR PUSTAKA
Bakry F. 2006. Akalasia. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Pusat Penerbitan,
Departemen Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Brunner & suddarth, 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jilid 2. EGC. Jakarta.
Price SA, Wilson LM. 1995. Esofagus. Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit. Vol 1. EGC. Jakarta.
Siegel, Leighton G. 1998. Penyakit Jalan Napas Bagian Bawah, Esofagus dan
Mediastinum : Pertimbangan Endoskopik. Dalam: Adams, G. L., Boies,
Lawrence R., Higler, P. A. BOIES Buku Afar Penyakit THT, edisi 6. EGC
Jakarta.
Sjamsuhidajat R., Wim de long. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.
18
Soepardi, Efiaty A., Iskandar, Nurbaiti. 2001. Buku Ajar llmu Kesehatan
Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Fakultas Kedokteran UI.
Jakarta.
19