Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN PENDAHULUAN APLIKASI KLINIS

DENGAN MASALAH TB – PNEUMOTHORAKS DI RUANG MAWAR


RS PARU JEMBER

Oleh:
Qoriq Dwi Vega
NIM 162310101158

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
Jalan Kalimantan No.37 Kampus Tegal Boto
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan yang dibuat oleh:

Nama :
NIM :
Judul :

telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:

Hari :
Tanggal :

Jember, Januari 2019

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,

…………………………………. ………………………………………

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB 1. KONSEP TEORI PENYAKIT ............................................................... 1
1.1. ANATOMI FISIOLOGI ........................................................................ 1
1.1.1 Sistem Respiratori ................................................................................. 1
1.1.2 Thoraks ................................................................................................. 4
1.2. DEFINISI ................................................................................................ 6
1.2.1 Tuberkulosis ...................................................................................... 6
1.2.2 Pneumothoraks .................................................................................. 6
1.3. EPIDEMIOLOGI ................................................................................... 7
1.3.1 Tuberkulosis ...................................................................................... 7
1.2.3 Pneumothoraks .................................................................................. 8
1.4. ETIOLOGI.............................................................................................. 8
1.4.1 Tuberkulosis ...................................................................................... 8
1.2.4 Pneumothoraks .................................................................................. 9
1.5. KLASIFIKASI ...................................................................................... 10
1.5.1 Tuberkulosis .................................................................................... 10
1.2.5 Pneumothoraks ................................................................................ 11
1.6. PATOFISIOLOGI................................................................................ 14
1.6.1 Tuberkulosis .................................................................................... 14
1.2.6 Pneumothoraks ................................................................................ 15
1.7. MANIFESTASI KLINIS ..................................................................... 16
1.7.1 Tuberkulosis .................................................................................... 16
1.2.7 Pneumothoraks ................................................................................ 17
1.8. PEMERIKSAAN PENUNJANG ........................................................ 17
1.8.1. Tuberkulosis .................................................................................... 17
1.8.2. Pneumothoraks ................................................................................ 19
1.9. PENATALAKSANAAN ...................................................................... 20

iii
1.9.1. Tuberkulosis........................................................................................ 20
1.9.2. Pneumothoraks.................................................................................... 30
1.10. CLINICAL PATHWAY................................................................... 35
BAB 2. PROSES KEPERWATAN ................................................................... 36
2.1 PENGKAJIAN ...................................................................................... 36
2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN ......................................................... 41
2.3 INTERVENSI KEPERAWATAN ...................................................... 43
2.4 EVALUASI KEPERAWATAN .......................................................... 46
2.5 DISCHARGE PLANNING ................................................................. 46
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 48

iv
1

BAB 1. KONSEP TEORI PENYAKIT

1.1.ANATOMI FISIOLOGI
1.1.1 Sistem Respiratori

Gambar 1. Tampak Anterior


Organ Respiratori

Gambar 2. Saluran
Pernafasan Bawah

Gambar 3. Penampakan
Mikroskopis Sebuah Lobul
2

Paru-paru (Pulmo) adalah organ yang bertugas mengatur pertukaran gas


dalam memenuhi suplai oksigen yang diperlukan oleh sel-sel dalam tubuh. Sistem
respiratori terbagi dua bagian yaitu sistem Respiratori atas dan Bawah. Sistem
respiratori juga bisa disebut dalam Sistem Respiratori Konduktif dan Respiratorik.
Zona Konduktif merupakan tempat penghantaran udara luar menuju dalam tubuh
melalui hidung, kavum nasi, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan
bronkiolus terminalis, fungsi dari zona konduktif ini untuk filtrasi,
menghangatkan udara, humidifikasi. Zona Respiratorik ini terdapat lebih dalam
dan mikroskopik yang rapuh dan mudah rusak oleh proses atau keadaan infeksi
(Peate dan Muralitharan, 2017)

Berikut adalah penjelasan komponen respirasi dan fungsinya :

Hidung Lubang hidung memungkinkan udara untuk masuk dan


keluar rongga hidung; filter rongga hidung, menghangatkan,
dan melembabkan udara yang dihirup
Faring Membawa udara antara rongga hidung dan laring; filter,
menghangatkan, dan melembabkan udara yang dihirup;
berfungsi sebagai jalan terusan untuk makanan dari mulut ke
kerongkongan; menyetarakan tekanan udara dengan telinga
tengah melalui tabung pendengaran
Laring Membawa udara antara faring dan trakea; mengandung pita
suara untuk menghasilkan suara dalam vokalisasi; mencegah
obyek masuk trakea
Trakea Membawa udara antara laring dan bronkus; filter,
menghangatkan, dan melembabkan udara yang dihirup
Bronkus Membawa udara antara trakea dan bronkiolus; filter,
menghangatkan, dan melembabkan udara yang dihirup.
Bronkiolus Mengatur laju aliran udara melalui bronkokonstriksi dan
bronkodilatasi
Alveoli Memungkinkan pertukaran gas antara udara di alveoli dan
darah dalam kapiler sekitarnya
(Chalik, 2016)
3

Dalam Peate dan Muralitharan tahun 2017 dijelaskan, untuk bagian saluran
pernafasan atas udara masuk melalui hidung dan rongga mulut, hidung terbagi
dalam 2 bagian oleh septum nasi, tersusun dari tulang ethmoid. Dalam hidung
pada bagian sekitar conchae superior dan septum atas terdapat Reseptor Olfaktori
yang peka terhadap bau. Faring menghubungkan rongga nasal dan oral dengan
laring. Faring terbagi menjadi 3 yaitu nasofaring, orofaring, dang laringofaring.
Orofaring dan laringofaring dilewati oleh makanan minuman dan juga udara.
Untuk melindungi dari abrasi organ ini dilindungi oleh non‐keratinised stratified
squamous epithelium.

Saluran bagian atas ini juga memastikan udara yang masuk ke saluran bawah
telah hangat, lembab, dan bersih. Permukaan saluran ini terdapat mucus dan juga
terdapat jaringan kapiler. Reflek bersin sebagai salah satu perlindungan saluran
apabila terdapat benda asing masuk, dibantu pula oleh tonsil yang merupakan
Lymph Nodules yang menjadi sistem pertahanan tubuh (Peate dan Muralitharan,
2017).

Saluran pernafasan bawah terdapat laring, trakea, bronkus primer kiri dan
kanan, dan 2 buah paru-paru. Paru berbentuk kerucut dan memenuhi torak,
dilindungi tulang torak yang terdiri dari iga dan sternum. Apex atau puncak paru
berada di atas Klavikula dan bagian bawah berada di atas otot cekung diafragma
(Peate dan Muralitharan, 2017).

Laring- terdiri dari 9 buah jaringan kartilago, 3 tunggal dan 3 berpasangan,


bagian tunggal adalah kartilago thyroid (jakun), epiglotis dan cricoid-cartilage
(melindungi suara). Epligotis elastis membuka menutup terhadap udara dan benda
padat karena keadaan masuknya benda padat ke area pernafasan mengakibatkan
aspirasi dan menjadi kasus yang gawat darurat (Peate dan Muralitharan, 2017).

Trakea-bagian ini juga dilapisi oleh pseudostratified ciliated columnar epithelium


yang mana debris akan terperangkap dan keluar dengan ssalah satu cara
dibatukkan. Tercapat kartilago berbentuk C yang mencegah trakea collaps saat
bernafas (Peate dan Muralitharan, 2017).
4

Bronchial Tree-Paru terbagi atas bagian yang disebut Lobus. 3 di kanan dan 2 di
kiri. Cardiac Notch adalah tempat jantung berada adntara 2 paru. Paru dilindungi
oleh membran yang disebut Plura Parietal (melindungi dari thoraks) dan Viseral
(melindungi paru), ruang antar pleura terisi cairan lubrikasi yang mengurangi
gesekan. Selain itu sifat dan cara kerja pleura ini seperti kaca basah yang saling
menempel, sehingga saat melakukan inspirasi dengan kenaikan dinding dada akan
ikut terangkat dan saat dinding dada turun dan paru turun dan akan naik kembali
maka paru tidak akan kolaps (Peate dan Muralitharan, 2017).

Suplai darah-zona konduksi dan respiratori menerima darah dari berbagai arteri,
darah deoksigenasi dikirim menuju lobus melalui kapiler menuju arteri pulmonal
kiri dan kanan. Darah yang Reoksigen dibawa kembali ke jantung melalui vena
pulmonal (disalurkan ke seluruh tubuh) (Peate dan Muralitharan, 2017).

Respirasi-merupakan pertukaran oksigen dengan karbon dioksida di atmosfer dan


sel tubuh. Ventilasi Pulmonal : udara keluar masuk paru, Respirasi Eksternal :
Oksigen berdifusi dari paru menuju aliran darah dan karbon dioksida berdifusi
dari darah dan paru, Transportasi Gas : Oksigen dan Karbondioksida
didistribusikan antara paru dan jaringan tubuh, Respirasi Internal : oksigen
dikirim dan karbon dioksida dikumpulkan dari sel tubuh (Peate dan Muralitharan,
2017).

Perlu diketahui juga bentuk dari bronkiolus kanan dan kiri berbeda, kanan lebih
landai dan kiri lebih menukik, ini sebabnya bakteri TB lebih sering menyerang
paru kanan, selain itu juga banyak alveolus di paru kanan menjadi sarang yang
ideal bagi bakteri aerob ini.

1.1.2 Thoraks
Thoraks merupakan tulang-tulang yang berada di bagian badan atas di
bawah leher dan di atas diafragma yang bekerja sebagai pelindung dari paru-paru.
Thoraks tersusun atas tulang rusuk, sternum, dan vertebra. Paru-paru berbentuk
kerucut memenuhi thoraks mulai dari bagian Apex yang berada di bawah tulang
clavicula, dan bagian basal atau terbawah paru menempati otot cekung yang
disebut diafragma. Batas paru-lambung berada di intercostae VII atau VIII.
5

Dalam proses bernafas ada 11 otot intercosta eksternal, yang menempel pada
intercostal-space (jarak antar tulang rusuk). Selama inspirasi diafragma
berkontraksi dan akan turun, otot intercosta eksternal mendorong tulang rusuk
keluar dan ke atas. Thoraks akan lebih besar (ekspansi) dari sebelumnya, dan
tekanan intrapulmonal menurun dibawah tekanan atmosfer. Ekspirasi adalah
proses yang lebih pasif. Otot intercosta-internal dan diafragma relaksasi,
memungkinkan recoil elastik yang alami dari jaringan paru untuk mengembang
kembali ke bentuk semula, mendorong udara kembali ke atmosfer (Peate dan
Muralitharan, 2017).

Gambar 4. Penampakan Thoraks Anterior dan


Posterior

Gambar 5.
Penampakan
Thoraks dan Paru-
Paru
6

1.2. DEFINISI
1.2.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling banyak
menyerang parenkim paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Penyakit ini dapat juga menyerang ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal,
tulang, dan nodus limfe. Penyakit ini ditularkan melalui inhalasi percikan ludah
(droplet) dari satu individu ke individu lainnya dan membentuk kolonisasi di
bronkiolus atau alveolus. Bakteri TBC juga dapat masuk melalui saluran cerna,
melalui ingesti susu tercemar dan kadang melalui lesi kulit. Tuberkulosis secara
khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan.
Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang lain
(Somantri, 2007).
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes RI, 2011).
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan bakteri
Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ, terutama
paru-paru. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat
menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian. TB diperkirakan sudah ada
di dunia sejak 500 tahun sebelum Masehi, namun kemajuan dalam penemuan dan
pengendalian penyakit TB baru terjadi dalam dua abad terakhir (Kemenkes RI,
2014).

1.2.2 Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah istilah yang digunakan untuk penimbunan udara
pada rongga pleura, yaitu dinding tipis di antara paru-paru dan rongga dada.
Tekanan dari udara yang menumpuk tersebut dapat memicu pengempisan paru-
paru hingga kolaps (PDPI, 2017). Pneumotoraks didefinisikan sebagai
keberadaan udara di rongga pleura (ruang antara dinding dada dan paru-paru).
Pneumothoraks diperkenalkan dan didiskripsikan gambaran klinisnya pertama
kali pada tahun 1803, abad ke 19 diyakini bahwa Tuberkulosis adalah penyebab
7

utama pneumothoraks karena terdapat pada sebagian besar penderita TBC


(Slobodan, 2015).

1.3. EPIDEMIOLOGI
1.3.1 Tuberkulosis
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dalam deliknews.com tahun
2017 menyebutkan terdapat penderita TB di Jawa Timur sebanyak 123.414 orang,
dari jumlah tersebut baru 39 persen yang ditemukan dan dari jumlah tersebut
sebanyak 89% telah mendapatkan pengobatan secara optimal. Insiden kasus ini
adalah 316/100.000.
Dalam Pedoman Nasional Penanggulangan TBC tahun 2011 Diperkirakan
sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta
kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98%
kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang.
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:
1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara
yang sedang berkembang.
2. Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
- Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
- Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin
penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang
standar, dan sebagainya).
- Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak
standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)
- Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
- Ifrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis
ekonomi atau pergolakan masyarakat.
3. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan
struktur umur kependudukan.
4. Dampak pandemi HIV (Kemenkes RI, 2011)
8

1.2.3 Pneumothoraks
Insiden pneumotoraks pada laki-laki lebih banyak dari pada perempuan
(5:1). 6 Kasus PSP di Amerika 7,4/100.000 per tahun untuk laki-laki dan
1,2/100.000 per tahun untuk perempuan sedangkan insiden PSS dilaporkan
6,3/100.000 untuk laki-laki dan 2/100.000 untuk perempuan. PSS yang paling
sering terjadi yaitu pada PPOK sedangkan penelitian oleh Myers melaporkan
bahwa tuberkulosis selalu menunjukkan terjadinya pneumotoraks. Penelitian
Weissberg terhadap 1.199 pasien pneumotoraks mengenai insiden beberapa jenis
pneumotoraks mendapatkan 218 pasien PSP, 505 PSS, 403 pneumotoraks
traumatik, dan 73 pneumotoraks iatrogenik. Untuk letak lesi pneumotoraks, lesi
kanan lebih banyak ditemukan dibandingkan lesi kiri sedangkan pada penelitian
Sadikot didapatkan letak lesi kiri lebih banyak ditemukan (Masengi dkk., 2016).
Angka kejadian pneumotoraks pada umumnya sulit ditentukan karena
banyak kasus yang tidak didiagnosis sebagai pneumotoraks karena berbagai sebab,
paling sering pada usia 20-30 tahun. Tuberkulosis paru merupakan penyebab
pneumotoraks spontan sekunder tertinggi di beberapa negara berkembang.
Prevalensi TB paru yang masih tinggi di Indonesia merupakan faktor penyebab
terjadinya Pneumotoraks Spontan Sekunder (PPS). Sebagian besar adalah
penderita Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM).

1.4.ETIOLOGI
1.4.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis tipe Humanus. Kuman tuberkulosis pertama kali
ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882 (Keman, 2005). Walaupun
sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, namun dapat juga menyerang
organ tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan mikobakteria tahan
asam dan merupakan mikobakteria aerob obligat dan mendapat energi dari
oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk
menggandakan diri dan pertumbuhan pada media kultur (Herchline, 2013 dalam
(Yunia dan Dharma, 2015).
9

Ada dua macam mikobakteria tubercolosis yaitu Tipe Human dan Tipe
Bovin. Basil Tipe Bovin berada disusu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis
usus. Basil Tipe Human bisa berada di bercak ludah (droplet) dan di udara yang
berasal dari penderita TBC, dan orang yang rentan terinfeksi bila menghirupnya
(Wim de Jong, 2005).

1.2.4 Pneumothoraks
Penyebab dan Faktor Risiko Pneumothoraks
Pneumothoraks bisa dialami secara tiba-tiba oleh orang yang sehat, maupun
sebagai bentuk komplikasi dari kondisi paru-paru tertentu. Beberapa jenis
penyebab serta faktor risiko meliputi:
- Kerusakan paru-paru akibat pernyakit tertentu, seperti Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK), pneumonia, serta tuberkulosis.
- Cedera dada yang melukai paru-paru, misalnya luka tembak atau tulang rusuk
yang patah.
- Sobeknya kantong udara kecil yang terletak di permukaan paru-paru. Kondisi
ini umumnya dialami oleh pengidap pneumothoraks primer. Kantong udara
(bleb) ini terbentuk tanpa menimbulkan gejala dan ini di luar kantong-kantong
udara normal (alveoli) di paru-paru. Penyebab bleb pecah juga tidak dapat
dipastikan. Udara yang dilepas akan terperangkap di rongga pleura.
- Menggunakan alat bantu pernapasan, contohnya ventilator.
- Merokok. Asap rokok diduga bisa menipiskan dinding bleb sehingga risiko
pneumothoraks meningkat.
- Jenis kelamin. Kondisi ini lebih sering dialami oleh pria dibandingkan wanita.
- Usia. Pneumothoraks primer cenderung terjadi pada usia muda, yaitu sekitar 20
hingga 40 tahun.
- Faktor keturunan. 1 dari 9 pengidap pneumothoraks diperkirakan memiliki
anggota keluarga dengan kondisi kesehatan yang sama.
- Pernah mengalami pneumothoraks. Sebagian besar orang yang pernah
terserang kondisi ini berpotensi untuk kembali mengalaminya (PDPI, 2017).
10

1.5. KLASIFIKASI
1.5.1 Tuberkulosis
Menurut Klasifikasi dalam Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis
Kemenkes Republik Indonesia tahun 2011
1. Berdasarkan Organ Tubuh (anatomical site) yang Terkena:
a. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain.
(Pasien dengan TB paru dan TB ekstraparu diklasifikasikan sebagai TB paru)

2. Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis, Keadan ini


Terutama Ditujukan pada TB Paru:
a. Tuberkulosis paru BTA positif.
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto thoraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
- Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
- Foto thoraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien
dengan HIV negatif.
- Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
11

3. Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe
pasien, yaitu:
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa
positif atau negatif
b. Kasus yang sebelumnya diobati
- Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
- Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
- Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
c. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
d. Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang
- tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
- pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,
- kembali diobati dengan BTA negatif.

1.2.5 Pneumothoraks
Pneumothoraks dibagi menjadi 2 jenis berdasar Fistula dan berdasar Kejadian.
1. Berdasar Fistula (saluran yang abnormal antara dua organ dalam berjalan
dari organ dalam menuju luar tubuh)
12

a. Pneumothoraks Terbuka
Adanya hubungan terbuka antara rongga pleura dan bronkus dengan
lingkungan luar. Dalam keadaan ini, tekanan intrapleura sama dengan tekanan
barometer (luar). Tekanan intrapleura pada waktu inspirasi adalah negatif dan
pada waktu ekspirasi tekanannya positif.

Gambar 6. Ilustrasi Pneumothoraks Terbuka


b. Pneumothoraks Tertutup
Rongga pleura tertutup dan tidak berhubungan dengan lingkungan luar. Udara
yang dulunya ada di rongga pleura (tekanan positif) karena direabsorpsi dan tidak
ada hubungan lagi dengan dunia luar maka tekanan udara di rongga pleura
menjadi negatif. Tetapi paru belum bisa berkembang penuh. Sehingga masih ada
rongga pleura yang tampak meskipun tekanannya sudah normal.

Gambar 7. Ilustrasi Pneumothoraks Tertutup


c. Pneumothoraks Tension/Ventil
Pneumothoraks dengan tekanan positif karena adanya fistula di pleura
viseralis yang bersifat ventil. Udara melalui bronkus terus ke percabangannya dan
menuju ke arah pleura yang terbuka. Pada waktu inspirasi, udara masuk ke rongga
pleura yang pada permulaannya masih negatif.

Gambar 7. Ilustrasi
Tension Pneumothoraks
13

2. Berdasar Kejadian
a. Pneumothoraks Spontan
- Primer (idiopatik) : ruptur dari subpleural bleb, lebih sering terjadi pada
orang yang tinggi dan kurus karena tekanan pleura lebih besar dari paru-
paru basal ke apex, alveoli di apex mengalami tekanan yang lebih besar
yang memicu pembentukan subpleural bleb.
- Skunder (disertai Penyakit) ; bebrapa penyakit paru dapat menyebabkan
ini antara lain asma bronkial, penyakit infeksi paru (Tuberkulosis,
pneumocystis carinii, abses paru yang memicu pneumothoraks dengan
empyema), fibrosis alveoli idiopatik, scleroderma, dan lain sebagainya.
Degradasi fiber elastis pleura visceral memicu terjadinya pneumothoraks.
b. Pneumothoraks Traumatik : terjadi karena perlukaan dinding dada, bisa
terjadi langsusng sesaat setelah kejadian maupun beberapa saat kemudian.
Fraktur tulang iga dan dislokasi yang melukai lebih banyak ditemukan
dari penyebab kasus ini. Trauma dada yang menembus, mengakibatkan
luka memberikan jalan udara untuk masuk ke pleura melalui dinding dada
atau pleura visceral dari tracheobronchial tree. Pneumothoraks terbuka
terjadi ketika lubang luka cukup lebar untuk udara keluar masuk dengan
bebas dari rongga pleura, pada kasus ini tekanan atmosfer equilibrium
dengan tekanan intrapleural, membendung inflasi paru dan ventilasi
alveoli.
c. Pneumothoraks Iatrogenik (oleh karena efek samping tindakan):
komplikasi prosedur invasif yang diketahui seperti biopsi jarum paru
(transthoracic dan transbronchial), penempatan garis vena sentral, atau
ventilasi tekanan positif Namun, kondisi ini dapat timbul dari banyak
prosedur lain yang melibatkan toraks dan abdomen (Ojeda, Hipskin.
2018).
d. Pneumothoraks Katamenial : bentuk paling umum dari sindrom
endometriosis toraks, yang juga termasuk hemamenoramen katamenial,
hemoptisis katamenial, nodul paru hemopneumothoraks dan
endometriosis paru. Biasanya timbulnya kurang dari 72 jam setelah
menstruasi. Paling sering terjadi pada wanita berusia 30-40 tahun, tetapi
14

telah didiagnosis pada wanita muda pada usia 10 tahun dan wanita pasca
menopause, khusus pada wanita usia menstruasi paling banyak dengan
riwayat endometriosis panggul (Visouli, dkk. 2014).

1.6.PATOFISIOLOGI
1.6.1 Tuberkulosis
TB primer : Mikobakterium Tuberkulosis (MTB) yang mengalami inhalasi
melalui saluran napas mencapai permukaan alveoli, MTB tumbuh serta
berkembang biak dalam sitoplasma makrofag dan membentuk sarang tuberkel
pneumonik yang disebut sarang primer atau kompleks primer. Melalui aliran limfe
MTB mencapai kelenjar limfe hilus. Dari sarang primer akan timbul peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) dan diikuti pembesaran
kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer ditambah
limfangitis lokal ditambah limfadenitis regional dikenal sebagai kompleks primer
TB post primer : Infeksi MTB post primer akan muncul beberapa bulan atau
tahun setelah terjadi infeksi primer karena reaktivasi atau reinfeksi. Hal ini terjadi
akibat daya tahan tubuh yang lemah. Infeksi tuberkulosis post primer dimulai
dengan sarang dini yang umumnya terdapat pada segmen apikal lobus superior
atau lobus inferior dengan kerusakan paru yang luas dan biasanya pada orang
dewasa. Patogenesis dan manifestasi patologi tuberkulosis paru merupakan hasil
respon imun seluler dan reaksi hipersensitiviti tipe lambat terhadap antigen kuman
tuberkulosis, perjalanan infeksi tuberkulosis terjadi melalui 5 tahap.
Tahap pertama : terjadi rata-rata 3-8 minggu setelah masuknya kuman,
memberikan test tuberculin yang positif, disertai demam dan pada fase ini
terbentuk komplek primer.
Tahap kedua : berlangasung ratarata 3 bulan (1-8 bulan) sejak pertama kuman
masuk. Pada fase ini sering terjadi penyebaran milier atau terjadi meningitis TB.
Tahap ketiga : terjadi rata-rata dalam 3-7 bulan (1-12 bulan), pada fase ini terjadi
penyebaran infeksi ke pleura.
Tahap keempat : rata-rata dalam waktu 3 tahun (1 - 6 tahun), terjadi setelah
komplek primer mereda, tahap ini merupakan periode skeletal. (Mulyadi dan
Fitrika, 2011).
15

1.2.6 Pneumothoraks
Pneumotoraks yang terjadi pada penderita TB adalah suatu komplikasi.
Keadaan ini terdapat pada proses pneumotoraks sekunder dimana terjadi pada
ruptur lesi paru yang terletak dekat permukaan pleura sehingga udara inspirasi
memperoleh akses ke rongga pleura. Lesi pleura ini juga dapat terjadi pada
penyakit emfisema, abses paru, karsinoma, dan banyak proses lainnya. Berbeda
dengan pneumotoraks spontan primer, pada pneumotoraks spontan sekunder
keadaan penderita tampak serius dan kadang-kadang mengancam kehidupan
karena adanya penyakit paru yang mendasarinya. Pneumotoraks spontan sekunder
terjadi oleh karena pecahnya bleb yang berada di sub pleura viseralis dan sering
ditemukan di daerah apeks lobus superior dan inferior. Terbentuknya bleb akibat
perembesan udara melalui alveoli yang dindingnya ruptur kemudian melalui
jaringan intersisial ke lapisan jaringan ikat yang berada di sub pleura viseralis.
Sebab pecahnya dinding alveolus ini belum diketahui dengan pasti, diduga ada
dua faktor yaitu penyakit paru dan peningkatan tekanan intraalveolar akibat
batuk.
Alveoli disangga oleh kapiler yang mempunyai dinding lemah dan mudah
robek, apabila alveoli tersebut melebar dan tekanan didalam alveoli meningkat
maka udara masuk dengan mudah menuju ke jaringan peribronkovaskuler.
Gerakan nafas yang kuat, infeksi dan obstruksi endobronkial merupakan beberapa
faktor presipitasi yang memudahkan terjadinya robekan selanjutnya udara yang
terbebas dari alveoli dapat mengoyak jaringan fibrotik peribronkovaskular.
Robekan pleura kearah yang berlawanan dengan tilus akan menimbulkan
pneumotoraks sedangkan robekan yang mengarah ke tilus dapat menimbulkan
pneumomediastinum.
Dalam suatu laporan kasus The Indian Journal of Chest Diseases & Allied
Sciences bahwa Tuberkulosis miliar dan kejadian pneumotoraks bilateral adalah
suatu komplikasi yang jarang terjadi. Adapun patomekanismenya masih belum
jelas. Diduga bahwa terjadi pembentukan daerah kecil konfluen nodul miliaria
subpleural yang mengalami caseation dan nekrosis kemudian pecah dan masuk ke
dalam ruang pleura sehingga menyebabkan pneumotoraks.
16

Keadaan TBC yang dalam paru-paru terdapat bakteri Tuberculosis yang


memproduksi gas yang masuk ke dalam dinding pleura menimbulkan
pnumothoraks spontan. Mekanisme terjadinya pneumotoraks pada tuberkulosis
milier belum diketahui secara pasti. Beberapa kemungkinan di antaranya yaitu
pembentukan nodul milier subpleura yang mengalami perkejuan dan nekrosis
yang selanjutnya akan pecah ke rongga pleura, terjadinya peningkatan tekanan
intra alveolar akibat batuk yang sering menyebabkan septa antara pecah yang
mengakibatkan terjadinya pneumomediastinum, atau pecahnya bula lesi
emfisematus.

1.7. MANIFESTASI KLINIS


1.7.1 Tuberkulosis
Manifestasi Klimis TB Paru Batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih
bisa disertai keluar darah, Sesak nafas, Nyeri dada, Nafsu makan berkurang, BB
menurun, dan Keringat dingin tanpa tahu penyebabnya.
Manifestasi klinis TB pada HIV/AIDS menyerupai akibat infeksi lain,
berupa :
- demam berkepanjangan (100%)
- penurunan berat badan dramatis (74%)
- batuk (37%)
- diare kronis (28%)
- meningitis (12%)
- sesak nafas (5%)
- Hematochezia (3,5%)
- Obstruksi saluran cerna (2,6%).
Menurut WHO manifestasi koinfeksi dapat ditinjau dari keluhannya
berupa infeksi menular seksual, herpes zoster. (sering disertai jaringan parut),
pneumonia (baru atau rekuren), infeksi bakteri berat, baru masuk program terapi
OAT, penurunan berat badan > 10% dari berat badan basal, diare kronis > 1
bulan, nyeri retrospinal saat menelan (curiga kandidiasis esophageal), kaki terasa
panas akibat neuropati perifer sensorik. Sedangkan gejala yang timbul berupa
jaringan parut akibat herpes zoster, rash kulit popular dan gatal, sarkoma kaposi,
17

limpadenopati generalisata simetris, kandidiasis oris, kheilitis angularis,


gingivitis necrotizing, ulserasi aphthous besar, ulserasi genital dengan nyeri
persisten.

1.2.7 Pneumothoraks
Gejala klinik pada Pneumotoraks yaitu sesak napas, nyeri dada, batuk,
takikardi. Pada pemeriksaan fisik, suara napas melemah sampai menghilang,
fremitus melemah sampai menghilang, resonansi perkusi dapat normal atau
meningkat. Pada pneumotoraks ringan biasanya hanya menimbulkan takikardia
ringan dan gejala yang tidak khas. Pada pneumotoraks berat didapatkan suara
napas yang melemah bahkan sampai menghilang pada auskultasi, fremitus raba
menurun dan perkusi hipersonor.

1.8. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1.8.1. Tuberkulosis
a) Laboratorium darah rutin : LED normal / meningkatkan, lomfositosis
b) Pemeriksaan sputum BTA untuk memastikan diagnostic TB paru, namun
pemeriksaan ini tidak spesifik karena hanya 30-70% pasien yang dapat
didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini
c) Tes PAP (periksidase Anti Peroksidase)
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen staining
untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB
d) Tes mantoux/ tuberculin
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen staining
untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB
e) Tehnik polymerase chain reaction
Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam meskipun
hanya satu mikroorgnisme dalam spesimen juga dapat mendeteksi adanya
resistensi
f) becton Dickinson diagnostic instrument system (BACTEC)
Deteksi growth indeks berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolism
asam lemak oleh mikobakterium tuberculosis
18

g) MYCODOT
Deteksi antibody memakai antigen liporabinomannan yang diretakkan pada
suatu alat berbentuk seperti sisir plastic, kemudian dicelupkan dalam jumlah
memadai memakai warna sisir akan berubah
h) pemeriksaan radiology : Rontgen thoraks PA dan lateral
Gambaran foto thoraks yang menunjang diangnosis TB, yaitu:
1) bayangan lesi terletak dilapangan paru atas atau segment aplikal lobus
bawah
2) bayangan berwarna (patchy) atau bercak (nodular)
3) adanya kavitas, tunggal atau ganda
4) kelainan bilateral terutama dilapangan atas paru
5) adanya klasifikasi
6) bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian
7) bayangan millie

Gambaran hasil Rontgen thoraks PA TB Aktif


19

1.8.2. Pneumothoraks

Hasil foto Rongent akan menunjukkan hasil Paru kolaps, Pleural line, Daerah
avascular, Hiper radio lusen, tanda-tanda pendorongan.

Berikut beberapa pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosa pneumotoraks,


diantaranya:
1. Foto rontgen
Gambaran radiologis yang tampak pada fotoröntgen kasus pneumotoraks antara
lain:
a) Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan
tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps
tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus
paru.
b) Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massaradio opaque yang
berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas
sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak
napas yang dikeluhkan.
c) Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals
melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada
pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar
telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.
d) Hasil foto Rongent akan menunjukkan hasil Paru kolaps, Pleural line, Daerah
avascular, Hiper radio lusen, tanda-tanda pendorongan.
20

2. Analisa Gas Darah


Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada
kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang
berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%. Analisa gas darah
pada penderita pneumothoraks menunjukkan hasil yang alkalosis respiratorik PO2
menurun, PCO2 normal atau menurun.

3. CT-scan thoraks
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan
pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan
untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.

1.9. PENATALAKSANAAN
1.9.1. Tuberkulosis
Non-Farmakologik
1. Terapi umum untuk pasien TB : Istirahat yang cukup, Diet TKTP (tinggi
kalori tinggi protein)

Farmakologik
1. Medikamentosa, dasar terapi medikamentosa TB Paru adalah
a. Kombinasi : minimal dua macam tuberkulostika
b. Kontinyu : minum obat setiap hari
c. Lama : berbulan-bulan
d. Bila obat pertama sudah diganti maka dianggap sudah resisten terhadap obat
tersebut.
e. Semua obat sebaiknya di berikan dalam dosis tunggal (kecuali pirazinamaid)

2. Tujuan, dan Prinsip Pengobatan


Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT)(Kemenkes, 2011).
3. Pengelompokan obat OAT
Golongan 1 First line drugs (obat primer)
21

a) INH (isoniazid)
Isoniazid berkeja dengan cara menghambat sintesis asam mikolik, asam mikolik
yaitu suatu kompenen dari esensial dinding sel bakteri. Mekanisme ini yang akan
menimbulkan efek terapi obat pada pasien TB yang bersifat bakterisid terhadap
organisme Mycobacterium tuberculosis yang aktif secara intraseluler dan
ekstraseluler. Cara kerja INH dapat terjadi peningkatan pada ekskresi piridoksin
(vitamin B6).
Piridoksin fosfat yang merupakan derivat piridoksin dibutuhkan untuk sintesis
asam d-aminolevulenat, sebuat enzim yang berfung sebagai pembentukkkan heme.
Heme sendiri adalah suatu bagian dari sek darah merah dan akan memberikan
pigmen berwarna merah pada darah. Defisiensi piridoksin yang disebabkan oleh
INH dapat menyebabkan anemia sideroblastik.
b) Rifampisin
Rifampisin merupakan obat antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi
yang disebabkan oleh bakteri. Rifampicin sering dipakai untuk mencegah infeksi
yang serius. Rifampisin bekerja sebagai pembunuh bakteri yang menyebabkan
infeksi, cara kerjanya dengan menonaktifkan enzim RNA polimerase. RNA
polimerase untuk membuat protein dan untuk mengetahui inforasi tentang genetik
(DNA).
c) Ethambutol
Ethambutol adalah obat antibiotik untuk menghentikan pertumbuhan bakteri.
Ethambutol cara penggunaannya bersama dengan obat lain untuk mengobati
tuberculosis. Selain digunakan untuk mengobati tuberculosis obat ini juga bisa
mengobati infeksi MAC (Mycobacterium Avium Complex) bersama dengan obat
lain.
d) Streptomisin
Streptomisin adalah obat anti biotik golongan aminoglikosida yang memiliki
spektrum kerja yang menengah. Obat ini digunakan untuk mengatasi jumlah
infeksu pada tuberculosis, radang pada endokardium jantung, tularemia, wabah
pes, bekteremia, meningitis, pneumonia, brucellosis, dan infeksi saluran kemih.
Mekanisme kerja pada obat ini ialah berdasarkan hambatan sintesa protein kuman
dengan pengikatan RNA ribosomal. Obat anti biotik ini toksisitas intuk organ
22

pendengaran dan keseimbangan. Oleh karena itu, obat ini digunakan dengan
jangka waktu yang lama supaya tidak menimbulkan efek neurotoksis terhadap
saraf cranial e 8 yaitu dapat menimbulkan ketulian permanen.

e) Pirazinamide
Pirazinamid adalah anlog nikotinamid yang telah dibuat sintetiknya. Obat
pirazinamaide ini tidak larut dalam air. Pirazinamid di dalam tubuh akan
dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase yang menjadi asam pirazinoat yang aktif
sebagai tuberkulostatik hanya untuk yang bersifat asam medianya. Pirazinamid ini
mudah diserah oleh usus dan tersebar luar keseluruh tubuh. Ekskresinya terutama
melalu filtrasi glomelurus. Pirazinamid terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan
500 mg.

Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) Kombinasi dosis tetap ini terdiri
dari :
a. Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan
b. Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg dan pirazinamid 400 m

Golongan 2 obat suntik Second line drugs (bila yang pertama resisten)
a) Kapreomisin
Kpreomisin adalah suatu obat anti tuberculosis polipeptida yang dihasilkan oleh
streptomyces sp. Obat ini digunakan untuk infeksi paru oleh M tuberculosis yang
resisten terhadap obat primer. Obat ini efeknya sama dengan obat streptomisin
dan obat ini juga digunakan dengan untuk kuman yang telah resisten terhadap
streptomisin.
b) Amikacin
Amikacin adalah obat yang bisa menghambat pertumbuhan bakteri, obat amikacin
ini bisa membuat bakteri gagal memproduksi protein untuk bertahan hidup dalam
tubuh seseorang yang terinfeksi.
23

c) Kanamisin
Kanamycin adalah golongan obat antibiotik aminiglikosida digunakan untuk
mengatasi infeksi bakteri serius pada berbagai bagian tubuh. Obat kanamisin ini
bekerja dengan cara membunuh bakteri. Selain itu, obat ini juga dapat
menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara mengikat sintesa protein dalam sel
bakteri. Karena merupakan obat antibiotik, maka kanamycin tidak bisa digunakan
untuk infeksi akibat virus, termasuk flu.

Golongan 3 atau Golongan Floroquinolone


a) Ofloxacin
Obat oflaxacin adalah obat yang dapat digunakan untuk mengobati infeksi bakteri
seperti infeksu pada paru, infeksi menular seksual, serta infeksi kulit dan jaringan
lunak. Obat ofloxacin ini dapat membunuh bakteri penyebab infeksi dengan cara
menghambat enim DNA girase, yang berperan penting dalam pertumbuhan
bakteri
b) Levofloxacin
Obat levofloxacin adalah obat untuk mengobati berbagai macam infeksi bakteri,
obat ini termasuk antibiotik quinolone yang digunakan untuk mengobati penderita
yang terkena sinusitis, pneumonia, tuberkulosis, bronkitis, dll.
Mekanisme kerja obat levofloxacin adalah isomer optik S(-) ofloxacin yang
memiliki spektrum anti bakteri luas. Levofloxacin efektif untuk bakteri gram
positif dan bakteri gram negatif (termauk anaerob) dan bakteri atipikal chlamydia
pneumonia dan mycoplasma pneumonia. Efek bakterisidal levofloxacin berada
pada konsentrasi sebanding atau lebih besar dari konsentrasi penghambatnya
dengan menghambat DNA-gyrase yaitu suatu topoisomerase tipe II sehingga
menghambat replikasi dan transkripsi DNA bakteri
c) Moxifloxacin
Moxifloxacin adalah obat yang digunakan untuk mengobati berbagai infeksi
bakteri. Obat moxifloxacin ini termasuk dalam kelas obat yang disebut antibiotik
kuinolon. Obat ini bekerja dengan menghentikan pertumbuhan bakteri. Antibiotik
ini hanya mengobati infeksi bakteri. Antibiotik ini tidak akan bekerja untuk
infeksi virus (seperti pilek, flu). penggunaan antibiotik yang tidak perlu atau
berlebihan dapat menyebabkan efektivitasnya menurun.
24

Golongan 4 atau Obat Bakteriostatik Lini kedua


a) Ethionamide
Obat ethionamide umumnya digunakan bersamaan dengan obat lain untuk
mengobati tuberculosis (TB). Ethionamide merupakan antibiotik dan obat ini
bekerja dengan menghentikan pertumbuhan bakteri. Antibiotik ini hanya bisa
mengobati infeksi bakteri dan tidak bekerja pada infeksi virus (seperti pilek, flu).
Penggunaan yang tidak sesuai dapat mengurangi efektivitas antibiotik
b) Prothionamide
Mekanisme kerja didasarkan pada proses sintesis asam mikolievyh yang
merupakan komponen penting dari dinding sel agen struktur tuberculosis yang
dapat membloki Mycobacterium. Protionamida memiliki khasiat antagonis asam
nikotinat. Dosis tinggi obat ini dapat menyebabkan mengganggu proses sintesis
protein pada sel mycobacterium.
Obat prothionamide ini memiliki efek bakteriostatik pada mikroorganisme
ekstraselular, intraseluler, pada reproduksi mycobacterium tuberculosis, termasuk
obat ini juga mempengaruhi bentuk atipikal. Perlawanan silang lengkap dicatat
antara preparat etionamid dan protionamida.
c) Cycloserine
Obat cycloserine sama dengan obat ethionamide umumnya digunakan bersamaan
dengan obat lain untuk mengobati tuberculosis (TB). Cycloserine merupakan
antibiotik dan obat ini bekerja dengan menghentikan pertumbuhan bakteri obat ini
juga bisa digunakan untuk mengobati infeksi saluran kencing.. Antibiotik ini
hanya bisa mengobati infeksi bakteri dan tidak bekerja pada infeksi virus (seperti
pilek, flu). Penggunaan yang tidak sesuai dapat mengurangi efektivitas antibiotik
d) Para amino salisilat (PAS)
Obat PAS yang mempunyai rumus molekul yang sama dengan asam para
aminobenzoat (PABA), mekanisme kerja obat ini sangat mirip dengan sulfonamid.
Karena sulfonamid tidak efektif terhadap M. Tuberculosis dan PAS tidak efektif
terhadap kuman yang sensitif terhadap sulfonamid, maka enzim yang bertanggung
jawab untuk biosintesis folat pada berbagai macam mikroba bersifat spesifik.
25

Golongan 5 atau Obat belum terbukti efikasinya dan tidak direkomendasikan oleh
WHO
a) clofazimine
b) Linezolid
c) Amoxilin Clavulanate (Amx-Clv)
d) Thiocetazone
e) Clarithromycin
f) Imipenem

4. Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai


berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan
OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT)
lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan
Obat (PMO).

5. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan


lanjutan.
I. Tahap awal (intensif)
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam
2 bulan.

II. Tahap Lanjutan


a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
26

b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga


mencegah terjadinya kekambuhan.
27

Kisaran Dosis OAT Lini Pertama bagi Pasien Dewasa

H : Isoniazid R : Rifampisin Z : E : S :
Pyrazinamide Ethambutol Streptomycin

Dosis Panduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3

Dosis Panduan OAT Kombipak Kategori 1; 2HRZE/4H3R3

Dosis Panduan OAT KDT Kategori 2 : 2(HRZE)/S/(HRZE)/5(HR)3E3


28

Dosis Panduan OAT Kombipak Kategori 2 : HRZES/HRZE/5H3R3E3

6. Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping ringan OAT

Efek samping berat OAT


29

7. Penanganan efek samping obat:


a. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi
secara simptomatik
b. Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan pemberian salisilat /
allopurinol
c. Efek samping yang serius adalah hepatits imbas obat. Penanganan seperti
tertulis di atas
d. Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit yang
umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin, dapat dilakukan pemberian dosis
rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan
dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bisa dilakukan terhadap
obat lainnya
e. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok
atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol,
gangguan nervus.

8. Komplikasi
TB paru apabila tidak segera ditangani dengan baik akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi yang terjadi pada penderita TB paru dibedakan menjadi
dua yaitu:
1. Komplikasi dini
a. Pleuritis : Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian
tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan
rongga di jaringan paru (kavitas).
b. Efusi pleura : efusi pelura eksudatif disebabkan oleh peradangan, cedera pada
paru-paru, tumor, dan penyumbatan pembuluh darah atau pembuluh getah bening.
c. Epiema : Bila terjadi infeksi, produksi cairan di ruang pleura ini akan lebih
banyak, sehingga penyerapan cairan yang dilakukan oleh tubuh tidak dapat
mengimbanginya. Cairan pleura yang terinfeksi semakin mengental, membentuk
30

nanah, dan dapat menyebabkan lapisan paru-paru dengan rongga dada menempel
serta membentuk kantung-kantung. Kantung nanah inilah yang disebut empiema.
d. Laringitis : infeksi bakteri ke laring dapat terjadi melalui udara pernafasan,
sputum yang mengandung bakteri, atau penyebaran melalui darah atau limfe.
e. Peritonitis : infeksi kumannya berasal dari penyebaran secara hematogen.
Sering disebut juga sebagai Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP). Peritonitis
ini bentuk yang paling sering ditemukan dan disebabkan oleh perforasi atau
nekrose (infeksi transmural) dari kelainan organ visera dengan inokulasi bakterial
pada rongga peritoneum.

2. Komplikasi pada stadium lanjut


a. Hemoptisis masif : Pendarahan pada saluran nafas bawah yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok hipovelemik
b. Kolaps lobus akibat sumbatan oleh diktus
c. Bronkietaksis : Pelebaran bronkus dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat
pada proses pemulihan atau reaktif pada paru)
d. Pneumothoraks spontan
Kolaps spontan karena bula/blep yang pecah
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal dan
sebagainya.

1.9.2. Pneumothoraks
1. Penatalaksaan pneumotoraks (umum)
Primary survey dengan memperhatikan:
a. Airway
b. Breathing
c. Circulation

1. Pemberian oksigenasi
Pernapasan dengan 100% oksigen mempercepat resorpsi udara bebas pleura ke
dalam darah dan mengurangu tenakan nitrogen dari udara yang terperangkap ke
31

dalam darap, tetapi manfaatnya harus dibandingkan dengan risiko toksisitas


oksigen.

2. Tindakan bedah emergensi


a. Krikotiroidotomi
Krikotiroidotomi adalah suatu prosedur emergensi, dilakukan pembuatan saluran
pada ligamen krikoroideum sehingga udara bisa masuk ke dalam paru-paru.
Krikotiroidotomi dilakukan jika terdapat obstruksi jalan napas dan tidak dapat
dibebaskan dengan cara mengorek maupun suction. Ligamen krikotiroideum
berada di antara kartilago tiroid dan kartilago krikoid. Krikotiroidotomi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu needle cricothyroidotomy dan surgical
crycothyroidotomy.
b. Trakheostomi
Insisi yang dilakukan pada trakea disebut dengan trakeotomi, tindakan selanjutnya
membuat stoma diikuti dengan pemasangan kanul trakea agar udara dapat masuk
ke dalam paru-paru dengan menggunakan jalan pintas.
c. Torakostomi
Torakostomi merupakan suatu tindakan membuat lubang pada dinding dada di
daerah interkostal V di anterior garis mid aksila pada sisi toraks yang patologis,
kemudian dipasang tube elastik dan difiksasi, untuk mengeluarkan cairan, darah
atau udara dari kavum pleura, baik secara aktif maupun pasif. Tindakan ini
dikerjakan untuk menangani kasus-kasus pasien dengan efusi pleura,
hematotoraks, pneumotoraks, silotoraks, post operasi torakostomi dan empiema.
Bailey (2006), mendapatkan 54% indikasi pemasangan toraks tube pada pasien
trauma oleh karena pneumotoraks, 20% oleh karena hematotoraks, 18% oleh
karena efusi pleura, 2% oleh karena fraktur kosta multipel dan 6% oleh karena
berbagai sebab.

3. Tindakan dekompresi
Sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang luasnya
>15%. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intrapleura dengan
32

membuat hubungan antara cavum pleura dengan udara luar dengan cara (Alsgaff
et al., 2009):
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada kemudin masuk rongga pleura akan
berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil:
1) Dapat memakai infus set jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke
dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal
saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air.
2) Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan
kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding thoraks
sampai menebus ke cavum pleura, jarum dicabut dan kanula tetap
ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set.
Pipa infus ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air..
3) Pipa water sealed drainage (WSD) pipa khusus (thoraks kateter) steril,
dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan
bantuan klem penjempit. Setelah troakar masuk, maka thoraks kateter
segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter thoraks yang masih tertinggal di rongga pleura.
Selanjutnya ujung kateter thoraks yang ada di dada dan di pipa kaca WSD
dihubungkan melalui pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastic
lainnya. Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleural
tetap positif, Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif
sebesar 10-20 cm H2O.
Komplikasi :
- Komplikasi primer : perdarahan, edema paru, tension pneumothoraks,
atrial aritmia
- Komplikasi sekunder : infeksi, empyema

4. Terapi Tiup Balon


Salah satu aplikasi teknik Pursed Lip Breathing, yaitu dengan menghirup
udara melalui hidung dan mengeluarkan udara dengan cara bibir lebih
dirapatkan
33

dengan waktu ekshalasi lebih diperpanjang, dengan tujuan membantu


memperbeiki transport oksigen, menginduksi pola nafas lambat dan dalam,
meningkatkan tekanan jalan nafas selama ekspirasi, dan mengurangi udara
yang terjebak untuk mencegah terjadinya paru kembali kolaps.

5. Bedah abrasi pleura


Tindakan bedah dengan abrasi pleura atau pleurektomi untuk melekatkan
kedua pleura dilakukan pada pneumotoraks yang tidak membaik setelah
drainase dengan selang dan pada pneumotoraks rekuren

6. Pengobatan tambahan (Sudoyo et al., 2009)


a. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan
terhadap penyebabnya, misalnya: terhadap proses TB paru diberi OAT,
terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran nafas diberi antibiotik dan
bronkodilator.
b. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat.
c. Pemberian antibiotik profilaksis setelah tindakan bedah dapat
diperimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema.
d. Bedak dapat digunakan sebagai zat sclerosing untuk pleurodesis dengan
mencampur 2-5 g dalam 250 mL larutan natrium klorida isotonik steril.
Prinsip pengobatan pneumothoraks adalah untuk mengurangi morbiditas
dan komplikasi.
e. Obat seperti doxycycline juga akan disuntikkan melalui tabung di dada.

7. Rehabilitasi (Bowman et al., 2010)


a. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan
pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.
b. Untuk sementara waktu penderita dilarang mengejan, batuk, atau bersin
terlalu keras.
c. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah
laksan ringan.
34

d. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk,
sesak nafas.
35

1.10. CLINICAL PATHWAY

Faktor predisposisi: trauma tembus ke pleura,


trauma tumpul pada dada, TB paru, emfisema,
kanker paru

Kebocoran dibagian paru yang berisi udara melalui robekan atau


pecahnya pleura. Robekan ini akan berhubungan dengan bronkus.
Pelebaran dari alveoli dan pecahnya septa-septa alveoli yang kemudian
membentuk suatu bulla dan bulla pecah menembus pleura

Adanya hubungan langsung antara


rongga pleura dengan udara luar

Tekanan positif intrapleura

Gangguan ventilasi: pengembangan paru tidak


optimal dan gangguan difusi, distribusi, dan
transportasi oksigen

Gangguan pola Terpasang bullow Edema Keluhan sistematis,


napas drainase/WSD trakea/faringeal, mual, intake nutrisi
peningkatan produksi tidak adekuat,
sekret, dan penurunan malaise, kelemahan
dan keletihan fisik,
Respon nyeri, adanya luka kemampuan batuk
kecemasan dan
pascapemasangan WSD efektif ketidatahuan
prognosis

Ketidakefektifan
bersihan jalan napas
- Perubahan pemenuhan
nutrisi kurang dari
Risiko tinggi trauma kebutuhan
- Gangguan pemenuhan
- Nyeri
ADL
- Kerusakan integritas
- Kecemasan
jaringan
- Ketidaktahuan/pemenuha
- Risiko tinggi infeksi
n informasi
36

BAB 2. PROSES KEPERWATAN


2.1 PENGKAJIAN

a. Identitas Klien
Meliputi nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, umur, pekerjaan,
pendidikan, alamat, agama, suku bangsa, tanggal masuk rumah sakit, no
register/MR, serta penanggung jawab
b. Riwayat Kesehatan
1) Diagnosa Medik: TBC
2) Keluhan Utama: sesak nafas
3) Riwayat penyakit sekarang: Keluhan sesak napas sering kali datang
mendadak dan semakin lama semakin berat. Nyeri dada dirasakan pada
sisi yang sakit, rasa berat, tertekan, dan terasa lebih nyeri pada gerakan
pernapasan. Selanjutnya dikaji apakah ada riwayat trauma yang
mengenai rongga dada seperti peluru yang menembus dada dan paru,
kecelakaan lalu lintas biasanya menyebabkan trauma tumpul di dada atau
tusukan benda tajam langsung menembus pleura.

4) Riwayat kesehatan terdahulu:


a) Alergi (obat, makanan, plester, dll)
b) Imunisasi
c) Kebiasaan/pola hidup/life style: merokok, minum alkohol, seks
bebas
d) Obat-obat yang digunakan : penyalahgunaan obat
e) Perlu ditanyakan apakah klien pernah menderita penyakit TB paru
dimana sering terjadi pada pneumothoraks spontan
5) Riwayat penyakit keluarga: Mencari tahu anggota keluarga yang
memiliki riwayat penyakit atau sedang mengidap TB
Genogram: diisi pohon keluarga tiga generasi
37

1. Pengkajian Keperawatan
a. Persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan
b. Pola nutrisi/ metabolik (ABCD) (saat sebelum sakit dan saat di rumah sakit)
- Antropometeri : mengalami penurunan berat badan
- Biomedical sign : Hb, leukosit, GDA, trombosit berada diatas/dibawah
normal.
- Clinical Sign : takipneu/bradipneu, takikardi/bradikardi,
hipertensi/hipotensi, hipertermi/hipotermi, SaO2 <95%
- Diet Pattern (intake makanan dan cairan): mengalami penurunan nafsu
makan, intake cairan menurun
c. Pola eliminasi: (saat sebelum sakit dan saat di rumah sakit)
Diisi pola BAK dan BAB pasien
d. Pola aktivitas & latihan (saat sebelum sakit dan saat di rumah sakit)
Aktivitas harian (Activity Daily Living)
Sebelum MRS Saat MRS

Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4


Makan / minum  
Toileting  
Berpakaian  
Mobilitas di tempat tidur  
Berpindah  
Ambulasi / ROM  
Ket: 0: tergantung total, 1: dibantu petugas dan alat, 2: dibantu petugas, 3:
dibantu alat, 4: mandiri
- Status Oksigenasi : takipneu
- Fungsi kardiovaskuler : takikardi/bradikardi
- Terapi oksigen : menggunakan terapi masker oksigen
e. Pola tidur & istirahat (saat sebelum sakit dan saat di rumah sakit)
Mengalami gangguan pola tidur karena sesak nafas dan nyeri dada
f. Pola kognitif & perceptual
Fungsi Kognitif dan Memori : tidak mengalami gangguan
38

g. Pola persepsi diri


Gambaran diri : merasa tidak berdaya
Identitas diri : cenderung menutupi identitasnya
Harga diri : pasien dengan TB mengalami penurunan harga diri karena stigma
yang melekat pada masyarakat
Ideal Diri : menyangkal kondisi yang sedang dialami
h. Pola seksualitas & reproduksi
Pasien dengan TB akan mengalami gangguan pemenuhan hasrat seksual
i. Sistem Genitourologi
Kaji pola eliminasi urin (biasanya berkurang, lebih jarang dari sebelumnya),
warna urin, bau urin dan volume urin output.
j. Pola peran & hubungan
Umumnya pasien dengan TB akan dikucilkan dan dijauhi oleh
lingkungannya.
k. Pola manajemen koping-stress
Umumnya pasien dengan TB akan mengalami depresi karena kondisi
kesehatan yang terus menurun dan terbatas dalam melakukan aktivitas.
l. System nilai & keyakinan
Pasien dengan TB memiliki keyakinan yang rendah terhadap spiritual atau
bahkan sebaliknya karena keadaan sakit yang sudah lama.

2. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien
a. Tingkat kesadaran : tingkat kesadaran pasien compos mentis
b. Berat badan : berat badan pasien mengalami penurunan
c. Tekanan darah : tekanan darah pasien menurun
d. Suhu : suhu pasien tinggi
e. Pernafasan : pasien dengan nafas pendek dan cepat
f. Nadi : pasien mengalami peningkatan denyut nadi
g. Kepala : mengamati bentuk kepala, adanya hematom/oedema,
perlukaan.
h. Rambut : pada klien biasanya rambutnya merata serta kulit kepala
klien bersih, dan tidak rontok.
39

i. Wajah : biasanya tampak ekspresi wajah meringis karena nyeri


dada yang dirasakannya pada saat batuk
j. Mata : terdapat lingkaran hitam pada kelopak mata karena
kurang tidur akibat nyeri, mata simetris kiri dan kanan,
konjungtiva pucat, sclera ikterik, pupil bulat
k. Hidung : tidak ada tanda-tanda radang, ada nafas cuping hidung.
l. Mulut : bibir kering, lidah kotor, biasanya ada caries pada gigi,
m. Leher : tidak ada adanya pembesaran kelenjer thyroid.
n. Dada/Thoraks
Inspeksi :
- terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiperekspansi dinding dada)
- saat respirasi bagian yang sakit gerakannya tertinggal
- trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
Palpasi :
- pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
- iktus jantung terdorong ke sisi yang sehat
- fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
Perkusi :
- suara ketok (dullness) pada sisi yang sakit, hipersonor sampai timpani dan
tidak menggetar
- batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura
tinggi
- taktil fremitus tidak teraba
Auskultasi :
- pada bagian yang sakit, suara nafas melemah sampai menghilang
- suara vocal melemah dan tidak meggetar serta bronkofoni negative

o. Jantung
Inspeksi : ictus cordis terlihat (pada pasien sangat kurus)
- +
Palpasi : ictus cordis teraba 2 jari.
- -
Perkusi : bunyi redup
Auskultasi : irama jantung cepat, tidak terdapat suara jantung tambahan
40

p. Perut/Abdomen
Inspeksi : perutnya datar, tidak ada luka dan lesi,
Palpasi : tidak ada masa, tidak terdapat nyeri tekan
Perkusi : tidak kembung, timpani
Auskultasi : terjadi penurunan bising usus
q. Sistem integrumen
terjadi perubahan pada kelembapan atau turgor kulit jelek karena keringat dingin
dimalam hari dan hipertermi, tidak ikterus
r. Ekstermitas
ada edema pada ekstermitas atas dan bawah, dan kekuatan otot lemah.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium darah rutin : LED normal / meningkatkan, lomfositosis
b. Pemeriksaan sputum BTA untuk memastikan diagnostic TB paru, namun
pemeriksaan ini tidak spesifik karena hanya 30-70% pasien yang dapat
didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini
c. Tes PAP (periksidase Anti Peroksidase)
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen staining
untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB.
d. Tes mantoux/ tuberculin
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen staining
untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB
e. Tehnik polymerase chain reaction
Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam meskipun
hanya satu mikroorgnisme dalam spesimen juga dapat mendeteksi adanya
resistensi
f. becton Dickinson diagnostic instrument system (BACTEC)
Deteksi growth indeks berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolism
asam lemak oleh mikobakterium tuberculosis
i) MYCODOT
Deteksi antibody memakai antigen liporabinomannan yang diretakkan pada
suatu alat berbentuk seperti sisir plastic, kemudian dicelupkan dalam jumlah
memadai memakai warna sisir akan berubah
41

j) pemeriksaan radiology : Rontgen thoraks PA dan lateral


Gambaran foto thoraks yang menunjang diangnosis TB, yaitu:
- bayangan lesi terletak dilapangan paru atas atau segment aplikal lobus
bawah
- bayangan berwarna (patchy) atau bercak (nodular)
- adanya kavitas, tunggal atau ganda
- kelainan bilateral terutama dilapangan atas paru
- adanya klasifikasi
- bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudianbayangan
millie
- menunjukkan hasil Paru kolaps, Pleural line, Daerah avascular, Hiper radio
lusen, tanda-tanda pendorongan.
k) USG abdomen
Dapat menjadi pilihan jika klien mengeluhkan nyeri tekan yang cukup hebat
pada abdomen
l) Analisa Gas Darah
Menunjukkan hasil yang alkalosis respiratorik PO2 menurun, PCO2 normal
atau menurun.
m) CT-Scan
Batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk
membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.

2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien TB Paru dengan
Pneumothoraks yakni sebagai berikut.
1. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru
sekunder terhadap peningkatan tekanan dalam rongga pleura.
2. Nyeri akut yang berhubungan dengan tatalaksana tindakan invasif
3. Kerusakan integritas jaringan yang berhubungan dengan adanya luka pasca
pemasangan WSD
4. Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entree akibat
luka penusukan tindakan WSD
42

5. Cemas yang berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang


dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernapas)
6. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan kemampuan
ekspansi paru dan kerusakan membran alveolar kapiler
7. Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan adanya
akumulasi sekret jalan napas
8. Gangguan pola tidur dan istirahat yang berhubungan dengan batuk yang
menetap dan sesak napas serta perubahan suasan lingkungan
9. Risiko tinggi trauma yang berhubungan dengan adanya tidak optimalnya
drainase selang sekunder akibat pipa WSD yang terjepit
10. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan peningkatan metabolisme tubuh, penurunan nafsu makan akibat sesak
napas sekunder terhadap penekanan struktur abdomen
11. Gangguan ADL (activity daily living) yang berhubungan dengan kelemahan
fisik umum,keletihan sekunder adanya sesak napas
12. Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak
adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.
43

2.3 INTERVENSI KEPERAWATAN

No. Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi


1. Pola napas tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama NIC: Airway Management
efektif yang 3x24 jam, pola nafas menjadi efektif dengan - Posisikan Px (semi fowler) untuk memaksimalkan ventilasi
berhubungan dengan kriteria hasil: - Auskultasi suara nafas, cata adanya suara tambahan
menurunnya ekspansi - Klien menunjukkan kepatenan jalan nafas - Monitor respirasi dan status O2
paru sekunder (tidak merasa tercekik, irama dan RR dalam - Buka jalan napas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila
terhadap peningkatan batas normal, tidak ada suara nafas abnormal) perlu
tekanan dalam rongga - Klien mampu melakukan batuk efektif dan - Identifikasi Px perlunya pemasangan alat bantu nafas
pleura. menunjukkan suara nafas yang bersih, tidak - Lakukan fisioterapi bila perlu
ada sianosis dan dipsnea - Kolaborasi pemberian bronkodilator
- TTV dalam rentang normal
NIC: Oxygen Therapy
- Bersihkan mulut, hidung, dan secret
- Pertahankan kepatenan jalan nafas
- Atur peralatan oksigenasi
- Monitor aliran O2
- Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
- Monitor kecemasan Px terhadap oksigenasi

NIC: Vital sign Monitoring


- Monitor TTV
- Catat adanya fluktuasi TD
44

- Monitor TTV saat Px berbaring, duduk atau berdiri


- Monitor TTV sebelum dan sesudah melakukan aktivitas
- Monitor RR, irama dan suara nafas tambahan
2. Nyeri akut yang Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama NIC: Pain Management
berhubungan dengan 3 x 24 Pasien tidak mengalami nyeri, dengan - Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk
tatalaksana tindakan kriteria hasil: lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
invasif presipitasi
- Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab
- Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
nyeri, mampu menggunakan tehnik
- Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,
dukungan
mencari bantuan)
- Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan
suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
menggunakan manajemen nyeri
- Kurangi faktor presipitasi nyeri
- Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas,
- Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
frekuensi dan tanda nyeri)
- Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala,
- Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri
relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
berkurang
- Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……...
- Tanda vital dalam rentang normal
- Tingkatkan istirahat
- Tidak mengalami gangguan tidur
- Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
- Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik
pertama kali
45

3. Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama NIC: Pressure ulcer prevention wound care
jaringan yang 3x24 jam, diharapkan integritas jaringan - Anjurkan Px untuk menggunakan pakain yang longgar
berhubungan dengan membaik dengan kriteria hasil: - Jaga kulit agar tetap bersih dan kering
adanya luka pasca - Perfusi jaringan normal - Mobilisasi Px setiap 2 jam sekali
pemasangan WSD - Tidak ada tanda-tanda infeksi - Monitor kulit akan adanya kemerahan
- Ketebalan dan tekstur jaringan normal - Monitor aktivitas dan mobilisasi Px
- Menunjukkan pemahaman dalam proses - Monitor status nutrisi
perbaikan kulit dan mencegah terjadinya - Ajarkan keluarga tentang luka dan perawatan luka
cidera berulang - Berikan posisi yang mengurangi tekanan pada luka
- Menunjukkan terjadinya proses penyembuhan - Lakukan teknik perawatan luka dengan steril
luka
46

2.4 EVALUASI KEPERAWATAN

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan


yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaan sudah berhasil dicapai. Melalui evaluasi memungkinkan perawat
untuk memonitor “kealpaan” yang terjadi selama tahap pengkajian, analisa,
perencanaan dan pelaksanaan tindakan.
Evaluasi yang digunakan mencakup dua bagian yaitu evaluasi proses
(formatting) dan evaluasi hasil (sumatif). Evaluasi proses adalah yang
dilaksanakan secara terus-menerus terhadap tindakan yang telah dilakukan,
sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi tindakan secara keseluruhan untuk
menilai keberhasilan tindakan yang dilakukan dan menggambarkan
perkembangan dalam mencapai sasaran yang telah ditentukan.
Evaluasi keperawatan juga dapat diartikan sebagai pencatatan
perkembangan pasien setelah mendapatkan tindakan asuhan keperawatan. Dengan
tujuan untuk menggambarkan informasi tentang rencana tindakan sesuai dengan
diagnosa yang ditentukan. Langkah dalam melakukan evaluasi yaitu, evaluasi
dilaksanakan pada setiap tindakan keperawatan yang dilakukan, menggunakan
indikator perubahan fisiologis dan tingkah laku pasien, dilakukan sesuai
denganstandar (Nursing Outcome yang ingin dicapai), menggunakan format
SOAP, menuliskan tanggal, jam, dan nama terang pembuat. Evaluasi keperawatan
ini dilakukan di akhir saat kita telah memberikan asuhan, disesuaikan dengan
target waktu pencapaian yang dituliskan dalam Nursing Outcome yang bersifat
SMART.

2.5 DISCHARGE PLANNING

a. Identitas
Diisi identitas pasien, tanggal MRS dan KRS, nomor RM, alamat, tanggal
lahir, penanggung jawab pasien.
b. Diagnosa utama dan diagnosa sekunder
Diisi dagnosa utama yang ditegakkan dan diagnosa sekunder pada saat
MRS
47

c. Data saat pasien pulang


Diisi data terakhir sebelum pasien KRS
d. Berat badan MRS dan KRS
Diisi berat badan saat MRS dan saat terakhir sebelum KRS
e. Tanda-tanda vital
Diisi tanda-tanda vital pasien sebelum krs
f. Diet saat dirawat
Diet saat dirawat di rumah sakit untuk acuan konsumsi makanan dirumah
g. Obat selama di rumah sakit dan di rumah
Diisi catatan obat yang telah diberikan dan yang akan diberikan kepada
pasien saat krs
h. Hasil laboratorium
Diisi hasil lab saat mrs dan hasil lab terakhir sebelum krs
i. Penyuluhan kesehatan
- Pelajari penyebab dan penularan TB serta pencegahan saat di luar rumah.
- Pahami tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat
penumpukan secret di saluran pernapasan.
- Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
- Lakukan pernapasan diafragma : menahan nafas selama 3-5 detik
kemudian secara perlahan – lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui
mulut.
- Selalu menjaga kebersihan mulut dan pelajari cara yang baik saat batuk
dan setelah batuk juga cara pengontrolan batuk.
- Jalankan terapi OAT dengan teratur dan jangan sampai putus tanpa
instruksi.
- Berhenti merokok dan minum alcohol.
- Olahraga secara teratur, makan makanan yang bergizi dan istirahat
cukup.
- Perawatan luka WSD di fasilitas kesehatan yang memadai.
- Pengaturan pola nutrisi tinggi protein untuk penyembuhan luka.
j. Kontrol
Diisi jadwal kontrol pasien setelah krs
48

DAFTAR PUSTAKA
Astrid, P. 2015. Pneumotoraks pada Tuberkulosis Milier: Sebuah Laporan Kasus.
Vol. 2, No. 4 (jurnal online) [Diakses pada 13 Januari 2019]

Bulechek, G. dkk. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC). Edisi 6.


Singapore: CV. Mocomedia.

Bhalla, A. S., Goyal, A., Guleria, R., & Gupta, A. K. (2015). Chest tuberculosis:
Radiological review and imaging recommendations. The Indian journal of
radiology & imaging, 25(3), 213-25.Chalik, R. 2016. Modul Bahan Ajar
Cetak Farmasi : Anatomi Fisiologi Manusia

Ince, A., Ozucelik, D. N., Avci, A., Nizam, O., Dogan, H., & Topal, M. A. (2013).
Management of pneumothorax in emergency medicine departments:
multicenter trial. Iranian Red Crescent medical journal, 15(12), e11586.

Khatri, Minesh. 2018. What Is a Collapsed Lung?.


https://www.webmd.com/lung/what-is-a-collapsed-lung#1. [Diakses pada 18
Januari 2019]

Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis

Kemenkes RI. 2014. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI-
TUBERKULOSIS

Masengi, W. D. P., E. Loho, dan V. Tubagus. 2016. Profil hasil pemeriksaan foto
toraks pada pasien pneumotoraks di bagian / smf radiologi fk unsrat rsup
prof . dr . r . d . kandou manado. Jurnal E-Clinic (ECl). 4

Mulyadi dan Y. Fitrika. 2011. HUBUNGAN tuberkulosis dengan hiv / aids


correlation between tuberculosis with hiv / aids. Jurnal PSIK – FK Unsyiah.
II(2)

Ojeda Rodriguez JA, Hipskind JE. Pneumothoraks, Iatrogenic.2018. Treasure


Island (FL): StatPearls Publishing; 2018 Jan-.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526057/
49

Peate, I. dan N. Muralitharan. 2017. Fundamentals of Anatomy and Physiology


For Nursing and Healthcare Strudent

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2017. Pneumothoraks.


http://klikpdpi.com/index.php?mod=article&sel=7865. [Diakses pada 15
Januari 2019]

Slobodan, M. 2015. PNEUMOTHORAKS — diagnosis and treatment. 10(3):221–


228.

Yunia, A. dan K. Dharma. 2015. DAMPAK kesehatan lingkungan rumah yang


berhubungan dengan tuberkulosis paru di kabupaten indragiri hilir kecamatan
keritang (puskesmas kotabaru). MEDIASAINS. XIII(2)

Visouli, A. N., Zarogoulidis, K., Kougioumtzi, I., Huang, H., Li, Q., Dryllis, G.,
Kioumis, I., Pitsiou, G., Machairiotis, N., Katsikogiannis, N., Papaiwannou,
A., Lampaki, S., Zaric, B., Branislav, P., Porpodis, K., … Zarogoulidis, P.
(2014). Catamenial pneumothoraks. Journal of thoracic disease, 6(Suppl 4),
S448-60.

Anda mungkin juga menyukai