Anda di halaman 1dari 17

Eksplorasi emas

Dalam penambangan emas, logam emas tidak berada dalam bentuk murninya, akan tetapi
masih bercampur dengan logam dan campuran lain. Karena itu perlu adanya pemisahan dan
pemurnian logam emas. Selama ini, pemisahan emas dilakukan dengan cara sianidasi,
amalgamasi, dan peleburan. Leaching Sianida adalah proses pelarutan selektif oleh sianida
dimana hanya logam-logam tertentu yang dapat larut, misalnya Au, Ag, Cu, Zn, Cd, Co dan
lain-lain. Proses Sianidasi terdiri dari dua tahap penting, yaitu proses pelarutan / pelindian
( leaching ) dan proses pemisahan emas ( recovery ) dari larutan kaya. Pelarut yang biasa
digunakan dalam proses cyanidasi adalah Sodium Cyanide ( NaCN ), Potassium Cyanide
( KCN ) , Calcium Cyanide [ Ca(CN)2 ], atau Ammonium Cyanide ( NH4CN ). Pelarut yang
paling sering digunakan adalah NaCN, karena mampu melarutkan emas lebih baik dari
pelarut lainnya.

diagram alir proses pengolahan emas sianidasi

Tahapan amalgamasi secara sederhana sebagai berikut :

Sebelum dilakukan amalgamasi hendaknya dilakukan proses kominusi dan konsentrasi


gravitasi, agar mencapai derajat liberasi yang baik sehingga permukaan emas tersingkap.
Pada hasil konsentrat akhir yang diperoleh ditambah merkuri ( amalgamasi ) dilakukan
selama + 1 jam

Hasil dari proses ini berupa amalgam basah ( pasta ) dan tailing. Amalgam basah kemudian
ditampung di dalam suatu tempat yang selanjutnya didulang untuk pemisahan merkuri
dengan amalgam

Terhadap amalgam yang diperoleh dari kegiatan pendulangan kemudian dilakukan kegiatan
pemerasan ( squeezing ) dengan menggunakan kain parasut untuk memisahkan merkuri dari
amalgam ( filtrasi ). Merkuri yang diperoleh dapat dipakai untuk proses amalgamasi
selanjutnya. Jumlah merkuri yang tersisa dalam amalgan tergantung pada seberapa kuat
pemerasan yang dilakukan. Amalgam dengan pemerasan manual akan mengandung 60 – 70
% emas, dan amalgam yang disaring dengan alat sentrifugal dapat mengandung emas sampai
lebih dari 80 %.

Retorting yaitu pembakaran amalgam untuk menguapkan merkuri, sehingga yang tertinggal
berupa alloy emas.

Sedangkan pemurnian emas dengan cara elektrolisis. Elektrolisis merupakan proses kimia
yang mengubah energi listrik menjadi energi kimia. Namun metode-metode tersebut banyak
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Hal ini karena bahan kimia yang digunakan
untuk reaksi-reaksi diatas bersifat toksik terhadap lingkungan.

Pencucian tumpukan batuan dengan sianida (Cyanide Heap Leaching) dianggap sebagai cara
paling hemat biaya untuk memisahkan butir-butir emas yang halus. Tapi cara ini sangat tidak
ramah lingkungan karena sianida dapat melepaskan logam-logam berat lainnya seperti
kadmium, timah, merkuri yang berbahaya bagi manusia dan ikan, dalam konsentrasi rendah
sekalipun. Menurut laporan Program lingkungan PBB (UNEP), dari tahun 1985 hingga 2000,
lebih dari selusin waduk pembuangan limbah tambang emas mengandung sianida ambruk.

Metode amalgamasi, yang dalam penggunaannya melibatkan raksa, hanya dapat mengisolasi
emas sekitar 50%-60%. Selain dinilai tidak efisien, raksa juga menghasilkan residu yang
berdampak negatif bagi lingkungan. Bahkan uap raksapun dianggap berbahaya jika terhirup
manusia. Gejala keracunan pada manusia antara lain : batuk, nyeri dada, bronchitis,
pneumonia, tremor, insomnia, sakit kepala, cepat lelah, kehilangan berat badan, dan
gangguan pencernaan.
Mengingat metode-metode yang tidak ramah lingkungan tersebut, maka diperlukan metode
lain yang lebih ramah terhadap lingkungan. Sejak lama telah diketahui bahwa tumbuhan
memiliki kemampuan untuk mengambil emas dari tanah dan mengakumulasikannya dalam
jaringan secara cepat, baik secara aktif melalui metabolisme tumbuhan atau secara pasif
melalui gugus fungsional dalam jaringan tumbuhan. Kemampuan ini dapat dimanfaatkan
untuk memperoleh kembali ion emas(III) dari larutannya.

Dewasa ini telah banyak dikembangkan metode adsorpsi dengan menggunakan biomassa
tumbuhan, yang dikenal sebagai metode fitofiltrasi. Biomassa tumbuhan dapat digunakan
untuk mengadsorpsi ion logam kationik maupun anionik. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa biomassa tumbuhan dapat mengikat berbagai ion logam seperti Cu(II), Ni(II), Cd(II),
Cr(III), Sn(II), Au(III), dan Zn(II). Selain itu, biomassa bersifat biodegradable, sehingga
penggunaannya bersifat ramah lingkungan.

Gugus-gugus aktif yang terdapat pada protein dalam tumbuhan berperan penting bagi proses
pengikatan ion logam. Tumbuhan yang memiliki kadar protein tinggi dan dapat digunakan
untuk mengikat emas(III) dengan metode fitofiltrasi adalah rumput gajah.

Metode fitofiltrasi ini diharapkan sebagai metode alternatif yang dapat digunakan dalam
pengolahan pertambangan emas di Indonesia, sehingga residu dari hasil tambang emas yang
diperoleh tidak akan membahayakan bagi lingkungan, hewan, dan manusia.

Pengolahan emas sistem pelarutan ( leaching) sianida ataupun tiourea konvensional baru
bernilai jika dilakukan terhadap batuan dengan kandungan minimal emas 5 gram / ton.
Padahal dalam kenyataannya mayoritas batuan emas memiliki kandungan yang lebih kecil
dari itu. Agar batuan dengan kandungan emas minimal 1 gram / ton dapat diproses secara
ekonomis, maka diciptakan sistem pengolahan dump leach / heap leach.

Berbeda dengan cara - cara konvensional, dalam sistem ini tidak dilakukan penghalusan
ukuran batuan. Dengan kata lain tak perlu dilakukan proses - proses mekanis terhadap batuan
hasil tambang. Batuan dengan ukuran seperti apa adanya ditumpuk diatas bidang datar
( lapang) yng telah dilapisi polimer sejenis plastik. Plastik berfungsi menahan cairan kimia
agar tak meresap ke lapisan tanah di bawahnya, sehingga aman dari pencemaran.

Proses pelarutan dilakukan dengan menyemprot cairan kimia dengan metode hujan buatan
melalui sprinkle - sprinkle yang ditempatkan di atas tumpukan batuan. Tetes larutan
selanjutnya akan melakukan penetrasi ke pori - pori batuan, melarutkan logam - logam yang
di inginkan. Gaya grafitasi membawa larutan logam ke bagian bawah dan selanjutnya
dialirkan ke kolam / danau penampungan. Hasil larutan yang telah masuk ke kolam / danau
kemudian diproses untuk mendapatkan logam emas dan perak.

Kegiatan eksplorasi di daerah Pongkor, Jawa Barat di antaranya meliputi Pemetaan Geologi
Detail (PGD), core logging, detailed mapping structure, pemboran dan evaluasi, serta
modeling geologi.

Untuk bauksit, kegiatan eksplorasi di Mempawah, Landak, Tayan, dan Munggu Pasir,
Kalimantan Barat. Total biaya eksplorasi bauksit selama Februari 2012 adalah sebesar Rp1
miliar

Metode geolistrik/resistivity dalam eksplorasi emas


Emas merupakan salah satu bahan galian logam yang bernilai tinggi baik dari sisi harga
maupun sisi penggunaan. Logam ini juga merupakan logam pertama yang ditambang karena
sering dijumpai dalam bentuk logam murni. Bahan galian ini sering dikelompokkan ke dalam
logam mulia (precious metal). Penggunaan emas telah dimulai lebih dari 5000 tahun yang
lalu oleh bangsa Mesir. Emas digunakan untuk uang logam dan merupakan suatu standar
untuk sistem keuangan di beberapa negara. Di samping itu emas juga digunakan secara besar-
besaran pada industri barang perhiasan.

Ada tiga hal penting dalam membahas pembentukan emas, yaitu

1. suatu reservoar yang mengandung emas meskipun dalam kadar yang tidak begitu besar

2. larutan airpanas yang dapat membawa emas ke tempat penjebakan

3. tempat penjebakan

Emas dapat dijumpai dalam jumlah cukup besar pada inti bumi dan batuan-batuan yang
berukuran halus, seperti lempung hitam. Dua hal ini merupakan reservoar potensial dari
logam emas ini.

Emas murni sangat mudah larut dalam KCN, NaCN, dan Hg (air raksa). Sehingga emas dapat
diambil dari mineral pengikatnya melalui amalgamasi (Hg) atau dengan menggunakan
larutan sianida (biasanya NaCN) dengan karbon aktif. Di antara kedua metode ini, metode
amalgamasi paling mudah dilakukan dan tentunya dengan biaya yang relatif rendah. Hanya
dengan modal air raksa dan alat pembakar, emas dengan mudah dapat diambil dari
pengikatnya. Metode ini umumnya dipakai oleh penduduk lokal untuk mengambil emas dari
batuan pembawanya.

Tambang Emas di Indonesia dan Cara Pengolahan Limbahnya

Indonesia memiliki berbagai macam bahan tambang yang terdapat di berbagai daerah.
Minyak bumi, gas alam, emas, batubara, bijih besi, dan aspal merupakan jenis-jenis bahan
tambang yang dimiliki oleh Indonesia. Salah satu jenis bahan tambang yang cukup banyak
dan tersebar ketersediaannya di Indonesia adalah emas. Emas merupakan salah satu jenis
bahan tambang yang memiliki nilai ekonomis sangat tinggi. Emas hampir dipasarkan dan
diperdagangkan hampir di semua pasar perdagangan bahan tambang di seluruh dunia. Nilai
investasi emas meningkat setiap terjadi perdagangan emas dalam jumlah yang cukup besar.
Bahkan, jika dilihat lebih jauh lagi, emas memberikan kontribusi berupa devisa yang sangat
besar bagi negara-negara pengekspor emas.

Emas tidak terdapat di lapisan tanah yang cukup dalam dari permukaan bumi atau permukaan
tanah. Bisa dikatakan bahwa bahan tambang jenis ini terletak di permukaan tanah, daerah
aliran sungai yang berisi endapan-endapan mineral, bahkan di daerah hilir sungai yang
merupakan akhir dari arah aliran air sungai yang mungkin saja menjadi tempat berkumpulnya
arah aliran beberapa sungai yang membawa endapan-endapan mineral. Emas merupakan
salah satu jenis mineral yang memiliki banyak manfaat. Jenis mineral ini dapat digunakan
sebagai bahan konduktor pengantar panas di beberapa jenis alat elektronik. Namun, kegunaan
emas yang utama adalah sebagai bahan perhiasan berupa kalung, emas, cincin, dan lain
sebagainya. Jadi, secara garis besar, emas memiliki berbagai manfaat untuk kehidupan
manusia.

Untuk mendapatkan emas yang terletak di permukaan tanah ataupun yang terletak di daerah
aliran sungai tidaklah terlalu sulit. Pencariannya hanya mempergunakan alat-alat yang
sederhana. Teknik pencarian dan pengolahan limbahnya sangat sederhana. Namun, untuk
mendapatkan emas yang terdapat di dalam lapisan tanah dengan kedalaman tertentu,
pencarian emas perlu dipergunakan alat-alat teknologi dan teknik pencarian yang cukup sulit.
Survey lokasi merupakan salah satu kegiatan awal yang diperlukan untuk mengetahui jumlah
ketersediaan emas, posisi atau letak emas, dan kedalaman emas dari permukaan tanah.
Daerah yang memiliki banyak ketersediaan emas tentu saja harus menjadi basis atau sumber
pencarian dan pengolahan limbah hasil eksplorasi emas. Daerah-daerah inilah yang kemudian
menjadi daerah-daerah tambang emas yang mungkin saja alam dan lingkungannya dapat
rusak karena adanya kegiatan penambangan emas ini.

Pengolahan emas ini selain menguntungkan juga dapat memberikan beberapa efek negatif.
Selain melakukan eksplorasi alam secara berlebihan, penambangan emas dan pengolahan
emas akan menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan. Kasus pencemaran
limbah akibat penambangan emas salah satunya terjadi di Perairan Pantai Buyat. Dugaan
terjadinya pencemaran logam berat di perairan pantai Buyat karena pembuangan limbah
padat (tailing) seharusnya tidak akan terjadi, seandainya limbah tersebut sebelum dibuang
dilakukan pengolahan lebih dulu. Pengolahan limbah bertujuan untuk mengurangi hingga
kadarnya seminimal mungkin bahkan jika mungkin menghilangkan sama sekali bahan-bahan
beracun yang terdapat dalam limbah sebelum limbah tersebut dibuang. Walaupun peraturan
dan tatacara pembuangan limbah beracun telah diatur oleh Pemerintah dalam hal ini
Kementrian Lingkungan Hidup, tetapi dalam prakteknya dilapangan, masih banyak
ditemukan terjadinya pencemaran akibat limbah industri. Mungkin terbatasnya tenaga
pengawas disamping proses pengolahan limbah biasanya memerlukan biaya yang cukup
besar. Logam berat adalah logam yang massa atom relatifnya besar, kelompok logam-logam
ini mempunyai peranan yang sangat penting dibidang industri misalnya : Kadmium Cd
digunakan untuk bahan batery yang dapat diisi ulang. Kromium Cr untuk pemberi warna
cemerlang atau verkrom pada perkakas dari logam. Kobalt Co untuk bahan magnet yang kuat
pada loudspeker atau microphone. Tembaga Cu untuk kawat listrik. Nikel Ni untuk bahan
baja tahan karat atau stainless steel. Timbal Pb untuk bahan battery atau Accu pada mobil.
Seng Zn untuk pelapis kaleng. Mercury Hg dapat melarutkan emas sehingga banyak
digunakan untuk memisahkan emas dari campurannya dengan tanah, bahan pengisi
termometer dan dan masih banyak lagi kegunaan logam berat. Hanya sangat disayangkan
disamping begitu banyak kegunaannya, kelompok logam-logam berat ini sangat beracun
misalnya Hg, Pb Cd dan Cr dan lain-lain. Ditambah lagi sifatnya yang akumulatif di dalam
tubuh manusia, dimana setelah logam berat ini masuk ke dalam tubuh manusia, biasanya
melalui makanan yang tercemar logam berat. Logam berat ini tidak dapat dikeluarkan lagi
oleh tubuh sehingga makin lama jumlahnya akan semakin meningkat. Jika jumlahnya telah
cukup besar baru pengaruh negatifnya terhadap kesehatan mulai terlihat, biasanya logam-
logam berat ini menumpuk di otak, syaraf, jantung, hati, ginjal yang dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan yang ditempatinya. Tersebarnya logam berat di tanah, peraian
ataupun udara dapat melalui berbagai hal misalnya, pembuangan secara langsung limbah
industri, baik limbah padat maupun limbah cair, tetapi dapat pula melalui udara karena
banyak industri yang membakar begitu saja limbahnya dan membuang hasil pembakaran ke
udara tanpa melalui pengolahan lebih dulu. Banyak orang beranggapan bahwa dengan cara
membakar maka limbah beracun tersebut akan hilang, padahal sebenarnya kita hanya
memindahkan dan menyebarkan limbah beracun tersebut ke udara. Pencemaran dengan cara
ini lebih berbahaya karena udara lebih dinamis sehingga dampak yang diakibatkannya juga
akan lebih luas dan membersihkan udara jauh lebih sulit.

Dalam kasus Buyat, logam berat mercury kemungkinan dapat berasal dari limbah proses
pemisahan biji emas atau dari tanah bahan tambangnya sendiri memang mengandung
mercury. Banyak alternatif yang dapat digunakan untuk mengolah limbah yang mengandung
logam berat kususnya mercury diantaranya ialah dengan teknologi Low TemperatureThermal
Desorption (LTTD) atau dengan teknologi Phytoremediation. Pada sistem thermal desorption,
material diuraikan pada suhu rendah (< 300 oC) dengan pemanasan tidak langsung serta
kondisi tekanan udara yang rendah (vakum). Dengan kondisi tersebut material akan lebih
mudah diuapkan dibandingkan dalam tekanan tinggi. Jadi dalam sistem ini yang terjadi
adalah proses fisika tidak ada reaksi kimia seperti misalnya reaksi oksidasi. Cara ini sangat
efektif untuk memisahkan bahan-bahan organik yang mudah menguap misalnya, (volatile
organic compounds/VOCs), semi-volatile organic compounds (SVOCs), (poly aromatic
hydrocarbon/PAHs), (poly chlorinated biphenyl/PCBs), minyak, pestisida dan beberapa
logam Cadmium, Mercury Timbal serta non logam misal Arsen, Sulfur, Chlor dan lain-lain.
Material yang telah terpisah dalam bentuk uapnya akan lebih mudah untuk dikumpulkan
kembali dengan cara dikondensasikan, diadsorbsi menggunakan filter, larutan atau media lain
sehingga tidak tersebar kemana-mana. Dengan sistem thermal desorption material yang
berbahaya dipisahkan agar lebih mudah untuk ditangani entah akan dibuang atau
dimanfaatkan kembali, sedangkan bahan-bahan organik yang sukar menguap akan
terkarbonisasi menjadi arang.

Limbah padat yang mengandung polutan mercury dan arsen dimasukkan ke dalam sistem
LTTD, limbah akan mengalami pemanasan tidak langsung dengan kondisi tekanan udara
lebih kecil dari 1 atmosfer. Polutan mercury dan arsen akan menguap (desorpsi), sedangkan
limbah padat yang telah bersih dari polutan dapat dibuang ke tempat penampungan.
Kemudian uap polutan yang terbentuk dialirkan ke dalam media pengabsorpsi (absorber).
Untuk menangkap uap logam mercury dapat digunakan butiran logam perak atau tembaga
yang kemudian membentuk amalgam. Sedangkan untuk menangkap ion-ion mercury dan
arsen dapat digunakan larutan hidroksida (OH - ), sulfida (S2-) yang akan mengendapkan ion-
ion tersebut. Dalam sistem ini perlu ditambahkan wet scrubber dan filter karbon untuk
menangkap partikulat dan gas-gas beracun yang mungkin terbentuk pada proses desorbsi.
Keunggulan sistem ini ialah prosesnya cepat dan biaya investasi peralatan dan operasionalnya
murah, unitnya dapat dibuat kecil sehingga dapat dibuat sistem yang mobil.

Teknologi mengolah limbah dengan sistem Phytoremediasi, menggunakan tanaman sebagai


alat pengolah bahan pencemar. Pada limbah padat atau cair yang akan diolah, ditanami
dengan tanaman tertentu(tanaman sawi , alpine pennycress , rami, dan pigweed) yang dapat
menyerap, mengumpulkan, mendegradasi bahan-bahan pencemar tertentu yang terdapat di
dalam limbah tersebut. Banyak istilah yang diberikan pada sistem ini sesuai dengan
mekanisme yang terjadi pada prosesnya. Misalnya : Phytostabilization, yaitu polutan
distabilkan di dalam tanah oleh pengaruh tanaman, Phytostimulation: akar tanaman
menstimulasi penghancuran polutan dengan bantuan bakteri rhizosphere, Phytodegradation,
yaitu tanaman mendegradasi polutan dengan atau tanpa menyimpannya di dalam daun,
batang atau akarnya untuk sementara waktu, Phytoextraction, yaitu polutan terakumulasi di
jaringan tanaman terutama daun, Phytovolatilization, yaitu polutan oleh tanaman diubah
menjadi senyawa yang mudah menguap sehingga dapat dilepaskan ke udara, dan
Rhizofiltration, yaitu polutan diambil dari air oleh akar tanaman pada sistem hydroponic.

Proses remediasi polutan dari dalam tanah atau air terjadi karena jenis tanaman tertentu dapat
melepaskan zat carriers yang biasanya berupa senyawaan kelat, protein, glukosida yang
berfungsi mengikat zat polutan tertentu kemudian dikumpulkan dijaringan tanaman misalnya
pada daun atau akar. Keunggulan sistem phytoremediasi diantaranya ialah biayanya murah
dan dapat dikerjakan insitu, tetapi kekurangannya diantaranya ialah perlu waktu yang lama
dan diperlukan pupuk untuk menjaga kesuburan tanaman, akar tanaman biasanya pendek
sehingga tidak dapat menjangkau bagian tanah yang dalam. Yang perlu diingat ialah setelah
dipanen, tanaman yang kemungkinan masih mengandung polutan beracun ini harus ditangani
secara khusus.

Tidak bisa disangkal masalah lingkungan lahir dan berkembang karena faktor manusia jauh
lebih besar dan rumit (complicated) dibandingkan dengan faktor alam itu sendiri. Manusia
dengan berbagai dimensinya, terutama dengan faktor mobilitas pertumbuhannya, dan begitu
juga dengan faktor proses masa atau zaman yang mengubah karakter dan pandangan
manusia, merupakan faktor yang lebih cepat dikatakan kepada masalah-masalah lingkungan
hidup.

Limbah mercuri di buang ke sungai Krueng Sabee oleh petambang yang melakukan
eksplorasi tambang emas Aceh Jaya. Eksplorasi di Gunung Ujeun telah terus berlanjut, tamu
dari daerah juga berdatangan mencari emas dengan cara tradisional. Memisahkan emas
dengan menggunakan mercuri berdasarkan berat jenis. Mercuri diendapkan kedalam tanah
alluvial yang mengandung emas, emas naik ke atas dan endapan lain mengendap kebawah,
emas muncul ke permukaan.

Seperti itulah teknik pengambilan emas dengan merkuri yang menghasilkan limbah sangat
berbahaya bagi makhluk hidup. Limbah di buang ke daerah aliran sungai tanpa ada proses
pengolahan sama sekali oleh masyarakat. Merkuri (Hg) adalah jenis logam sangat berat,
membeku pada temperatur –38,9oC dan mendidih pada temperatur 357oC.
Merkuri dapat diakumulasi dalam tubuh manusia adalah merkuri yang berbentuk methyl
merkuri (CH3Hg), juga dapat terakumulasi dalam ikan. Kasus keracunan metil merkuri pada
orang, baik anak maupun orang dewasa, diberitakan secara besar-besaran pasca Perang Dunia
ke-2 di Jepang disebut sebagai Minamata Disease (Penyakit Minamata).

Pemandangan pengilingan emas dilakukan oleh kelompok masyarakat di depan rumah


mereka di Aceh Jaya, hasil limbahnya langsung di buang ke sungai yang berakibat langsung
terhadap kehidupan manusia dan biota sepanjang kehidupan daerah aliran sungai tersebut,
yang bersentuhan langsung dengan aktivitas ekosistem. Dekat aliran sungai telah berdiri
warung kecil menyediakan ikan bakar bagi pengunjung dan pendatang eksplorasi emas.

Ikan bakar di konsumsi manusia, ditakutkan dengan kondisi ini, ikan dibeli oleh masyarakat
dan memakannya. Misalnya ikan bakar terkontaminasi dengan merkuri, apa ada yang
sanggup mengatakan merkuri aman di konsumsi oleh manusia. Bukan hanya orang Aceh Jaya
terkena dampaknya tapi semua yang melakukan eksplorasi tambang emas, apalagi telah
berdatangan orang-orang dari luar Aceh terkontaminasi merkuri.

Akibatnya, pada intoksikasi berat penderita menunjukkan gejala klinis tremor, gangguan
koordinasi, gangguan keseimbangan, jalan sempoyongan (Ataxia) yang menyebabkan orang
takut berjalan. Hal ini diakibatkan terjadi kerusakan pada jaringan otak kecil (serebellum).

Ditakutkan masyarakat Aceh Jaya akan kehilangan generasi produktifnya, dampak langsung
dirasakan oleh meraka yang terkontaminasi. Mercuri tidak langsung membawa penyakit bagi
manusia, tapi terakumulasi dalam tubuh. Seperti air sungai dipakai oleh warga untuk mandi
dan dialirkan ke sawah. Jadi setiap hari warga memanfaatkan air dan mengkonsumsi ikan
yang telah terkontaminasi dengan merkuri.

Setiap hari produksi limbah merkuri sebanyak 100 kilogram dari kilang pengolahan biji emas
yang dibuang ke sungai Krueng Sabee. Hasil investigasi Walhi Aceh dilapangan adalah warga
sekitar tambang telah mengetahui bahaya penggunaan merkuri, masyarakat cuek dan tidak
memikirkan dampak dan menghindari bahaya merkuri..

Imbas merkuri bukan hanya pencemaran di sungai, semua ekosistem yang pernah
berhubungan dengan sungai Krueng Sabee juga berpotensi menimbulkan penyakit minamata.
Pada kadar merkuri yang tinggi dapat mengakibatkan kerusakan paru-paru, muntah-muntah,
peningkatan tekanan darah atau denyut jantung, kerusakan kulit, dan iritasi mata. Masyarakat
mengetahui dampak langsung mengunakan merkuri. Jika Merkuri telah terkontaminasi dalam
tubuh manusia, maka akan merusak sistem syaraf, tidur, perubahan mood (perasaan),
kesemutan mulai dari daerah sekitar mulut hingga jari dan tangan, pengurangan pendengaran
atau penglihatan dan pengurangan daya ingat.

Ada tiga persoalan yang masih harus dihadapi dalam eksplorasi emas. Pertama, meyakinkan
publik bahwa kelak proses eksploitasi tambang emas tidak berdampak serius pada
lingkungan. Kedua, persinggungan dan hubungan dengan penambang liar. Ketiga, hubungan
dengan Pemerintah dengan mengadakan sistem bagi hasil (saham golden share).

Selama ini, secara umum, publik memahami bahwa dibutuhkan merkuri dan sianida untuk
mengambil emas dari bebatuan. Dari 100 ton batuan, hanya 3 persen yang diambil untuk
diproses lebih lanjut guna mendapatkan kandungan emas. Sementara 97 persen sisanya
dibuang sebagai limbag tailing tambang.

Pengolahan limbah tailing agar aman membutuhkan biaya yang sangat besar. Itulah sebabnya
mengapa banyak perusahaan yang kemudian membuang limbahnya ke daerah sungai, sumber
air seperti danau, atau sekadar kolam penampung.

Dalam tahap eksplorasi, tidak ada penggunaan merkuri. Limbah ceceran minyak (B3) yang
berasal dari area pemboran ditampung di tempat tersendiri. Limbah B3 ini lantas dikirim ke
pengelola.

Saat ini ancaman pencemaran merkuri berasal dari penambang tradisional. PT IMN pernah
meneliti air Sungai Gonggo, Ringin Agung, Gumuk Gendruwo, dan Lompongan untuk
mengetahui kadar merkuri di sana. Ternyata kadar merkuri ditemukan dari lumpur.

Di Sungai Gumuk Gendruwo, terkandung 231 gram per kilogram kering lumpur. Masih ada
perdebatan tentang ambang normal merkuri di lumpur. Namun yang jelas, merkuri itu berada
di lokasi penambangan rakyat.

Penambang liar tidak mendatangkan retribusi kepada pemerintah daerah maupun pajak
kepada pemerintah pusat, serta sebetulnya merupakan eksploitasi rakyat oleh para cukong.

PETI (Penambang Emas Tanpa Izin) didukung oleh pemodal cukup kuat, sehingga untuk
mengamankan pengoperasiannya sering melibatkan pejabat dan unsur keamanan. PETI juga
telah terbukti menimbulkan masalah lingkungan yang cukup parah. Para penambang tak
segan-segan memakai air raksa untuk "menangkap" emas, sehingga sungai pun tercemar.
Penggunaan pompa-pompa pasir juga telah mengakibatkan erosi pada dinding-dinding
sungai.

PETI berpotensi memberikan ancaman kepada operator resmi. Razia aparat kepolisian
terhadap mereka bisa berakibat pada aksi balas dendam kepada operator resmi yang dianggap
mendalangi razia tersebut.

Tailing dan Pemanfaatannya

Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment


and Development/WCED) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai
pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini dengan mengkompromikan kemampuan
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Pembangunan berkelanjutan
menuntut masyarakat agar memenuhi kebutuhan manusia dengan meningkatkan potensi
produktif melalui cara-cara yang ramah lingkungan maupun dengan menjamin tersedianya
peluang yang adil bagi semua pihak (WCED, 1997). Untuk itu diperlukan pengaturan agar
lingkungan tetap mampu mendukung kegiatan pembangunan dalam rangka memenuhi
kebutuhan manusia.

Pertambangan adalah usaha mengelola sumberdaya alam yang tidak terbaharui dengan
mengambil mineral berharga dari dalam bumi. Pertambangan memang memiliki potensi
untuk merusak lingkungan. Dewasa ini paradigma pertambangan sudah mulai bergeser dari
pilar keuntungan ekonomi menjadi tiga pilar, orientasi ekonomi, kesejahteraan sosial dan
perlindungan lingkungan.

Berlanjutnya sistem ekologi di sekitar wilayah pertambangan sangat berkaitan pula dengan
daya dukung wilayah tersebut. Hal ini disebabkan karena sumberdaya pada suatu daerah yang
telah terganggu oleh aktivitas penambangan memiliki batas kemampuan untuk menghadapi
perubahan, mendukung sistem kehidupan, serta menyerap limbah.

Potensi penurunan fungsi lingkungan yang masih mungkin terjadi adalah akibat masuknya
tailing sebagai hasil sampingan produk pertambangan ke dalam lingkungan. Karena
pembuangan tailing ini berjalan terus seiring produksi perusahaan maka volume yang
dikeluarkan juga akan ada dalam jumlah besar sehingga perlu pengelolaan yang kontinyu dan
akurat.

Pengertian Tailing

Tailing sebenarnya merupakan limbah yang dihasilkan dari proses penggerusan batuan
tambang (ore) yang mengandung bijih mineral untuk diambil mineral berharganya. Tailing
umumnya memiliki komposisi sekitar 50% batuan dan 50% air sehingga sifatnya seperti
lumpur (slurry). Sebagai limbah, tailing dapat dikatakan sebagai sampah dan berpotensi
mencemarkan lingkungan baik dilihat dari volume yang dihasilkan maupun potensi rembesan
yang mungkin terjadi pada tempat pembuangan tailing. Tailing hasil ekstraksi logam seperti
emas dan nikel umumnya masih mengandung beberapa logam dengan kadar tertentu. Logam
ini berasal dari logam yang terbentuk bersamaan dengan proses pembentukan mineral
berharga itu sendiri. Mineral yang mengandung emas dan perak biasanya berasosiasi dengan
logam perak, besi, chrom, seng dan tembaga seperti kalkokpirit (CuFeS2) dan berbagai
mineral sulfida lain.

Karena di dalam tailing kandungan logam berharga sudah sangat sedikit dan dalam jumlah
yang tidak ekonomis, maka tailing ini biasanya dibuang. Perbandingan logam berharga sepeti
emas dan tailing sangat besar. Untuk penambangan emas dan perak secara bawah tanah di
Jawa Barat, dalam satu ton bijih batuan hanya mengandung rata-rata Au 9 gr/ton dan Ag 96
gr/ton. Sedangkan di daerah lain yang menambag emas porfiri dan tembaga hanya dengan
kadar rata-rata hanya Au 0,3 gr/ton dan Ag 1,06 gr/ton.

Perbedaan volume dan kadar yang besar ini menyebabkan jumlah tailing hasil pengolahan
dan penambangan sangat besar. Untuk penambangan dengan sistem open pit, jumlahnya
sangat besar. Sebuah tambang tembaga asing menghasilkan 40 juta ton tailing per tahunnya
kemudian dengan skala lebih besar lagi menghasilkan lebih dai 81 juta ton tailing tiap
tahunnya.
Tailing Sebagai Limbah

Pengertian limbah berdasarkan PP No. 19/1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan


Berbahaya dan Beracun adalah bahan sisa pada suatu kegiatan dan atau proses produksi. Jika
melampaui nilai ambang batas dapat membahayakan lingkungan di sekitarnya. Tailing
berpotensi sebagai sumber pencemar lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik akan
mengakibatkan pengotoran lingkungan, pencemaran air dan tanah. Pengertian tailing diatas
dapat diartikan sebagai limbah pada sisa aktivitas pengolahan dan penambangan, tidak
terpakai, karena membahayakan lingkungan harus dikelola dari lingkungan. Dengan
demikian diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk mengelola tailing ini.

Tailing penambangan emas sebagai limbah adalah sisa setelah terjadi pemisahan konsentrat
atau logam berharga dari bijih batuan di pabrik pengolahan, bentuknya merupakan batuan
alami yang telah digerus. Dalam artian sebagai limbah, tailing ini tidak bernilai karena hanya
sebagai produk sisa atau buangan dari pengambilan emas dan perak.

Tailing Sebagai Limbah B3

Pengertian limbah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas
manusia maupun proses alam. Sebagai hasil sampingan dari proses pengolahan tailing juga
masuk dalam kategori limbah. Selain itu ada pengertian limbah B3 berdasarkan pasal 1 PP
No. 19 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 pengertian Limbah B3, adalah “sisa suatu
usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena
sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk
hidup lain”. Berdasar ketentuan ini, KLH menyatakan tailing sebagai limbah B3. Pengertian
ini, tailing tidak bernilai karena hanya sebagai produk sisa dari pengambilan emas dan perak
dan berpotensi sebagai pencemar lingkungan apabila tidak dikelola.
Tailing Sebagai Sumber Daya

Dilain pihak terdapat pengertian bahwa tailing merupakan potensi sumberdaya yang dapat
dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai tambah sebagai produk yang dapat dimanfaatkan
kembali menjadi produk lain. Dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan nilai tambah
dari hanya sekedar limbah yang tidak termanfaatkan.

Tailing sebagai sumberdaya telah mulai dimanfaatkan di beberapa perusahaan pertambangan


baik di dalam maupun luar negeri. Komposisi utama tailing hasil penambangan emas
umumnya adalah kuarsa, lempung silikat dan beberapa logam yang terkandung di dalamnya.
Komposisi tailing seperti ini ditambah lagi dengan ukuran yang halus membuat banyak
tailing dimanfaatan sebagai media tanam untuk reklamasi, pengurukan lahan reklamasi
dengan sistem cutt and fill serta pembuatan bahan bangunan dan agregat. Untuk pembuatan
bahan bangunan dan beton ini, tailing digunakan sebagai bahan utama dan ditambahkan
beberapa bahan aditif lainnya.

Pertimbangan dalam Pemanfaatan Tailing

Tailing yang dihasilkan dari industri pertambangan menjadi perdebatan karena volume yang
dihasilkan sangat besar dan masih mengandung logam dalam konsentrasi tertentu. Volume
tailing ini besar karena di dalam bijih tembaga misalnya, hanya terkandung 0,5%-2% logam
tembaga dan sisanya adalah batuan waste yang akan menjadi tailing. Perbedaan pengotor dan
mineral berharga inilah yang membuat tailing pertambangan volumenya sangat besar.

Karena volume yang besar ini pula, maka tailing harus ditempatkan di lokasi khusus dan
dengan maintenance yang cermat pula. Pemilihan sistem penempatan tailing dan
pemanfaatan tailing bukan saja memikirkan faktor biaya tetapi juga dampaknya bagi
lingkungan hidup. Perkembangan industri pertambangan saat ini membuat produksi harus
diiringi dengan pelaksanaan penambangan yang bertanggung jawab.
Volume tailing yang sangat besar ini dapat berpotensi menurunkan fungsi lingkungan karena
sebaran tailing dapat menutupi permukaan sehingga vegetasi yang ada di permukaan menjadi
tidak dapat hidup. Selain itu tailing membutuhkan area khusus yang besar dan steril untuk
lokasi penampungan. Penanganan tailing harus dilakukan dengan good mining practice
karena jika tidak dikelola akan menimbulkan dampak yang besar

Semakin tinggi volume tailing yang akan dibuang, semakin besar luas pula area yang
diperlukan untuk menampung tailing (tailing dam). Semakin luasnya penggunaan tanah ini
berarti akan menambah beban limbah ke lingkungan. Para ahli tambang dan lingkungan
merekomendasikan pemanfaatan kembali tailing ini untuk berbagai keperluan aktivitas
penambangan karena praktik terbaik pengelolaan lingkungan di pertambangan menuntut
proses yang terus menerus dan terpadu, mulai kegiatan eksplorasi awal hingga konstruksi,
pengoperasian dan penutupannya.

Pemanfaatan kembali tailing dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti penggunaan
agregat (bahan bangunan), sebagai media tanam, pembuatan jalan, reklamasi lahan pantai
maupun pengisi lubang bukaan tambang (backfilling). Pemanfaatan tailing sejalan dengan
prinsip 3 R (reduce, reuse dan recycle) akan mengurangi volume tailing sehingga beban
lingkungan berkurang.

Karakteristik tambang bawah tanah sangat khas karena disesuaikan dengan jenis dan kondisi
cadangan. Meskipun begitu, baik tambang bawah tanah maupun open pit, keduanya selalu
menghasilkan tailing.

Oleh:

Brian Nugraha (2613101009)

Niar Kasih Karlita (2613101007)


Yuniar H

entrika (2613101008)

Anda mungkin juga menyukai