Anda di halaman 1dari 27

SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM (SPPI)

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester (UAS)


Dosen Pengampu : Prof.Dr. H. Ali Mudlofir, MA.

Disusun Oleh :
Siti Nurjannah
NIM : 6117009

PROGRAM PASCASARJANA
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ‘ULUM
JOMBANG
2018
UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)
PROGRAM PASCASARJANA
UNIPDU JOMBANG

Mata Kuliah : Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam (SPPI)


Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Ali Mudlofir, MA.
Tahun Akademik : 2017-2018
Sifat Ujian : Take Home Exam.

SOAL-SOAL

1. Anda diminta membaca dan merangkum buku berjudul “Pendidik Profesional:


Konsep, Strategi dan Aplikasinya dalam Peningkatan Mutu Pendidikan di
Indonesia” karya Ali Mudlofir (Jakarta: Rajagrafindo, 2012). Ada 7 bab pada
buku itu, (pilih 2 bab saja, rangkum dan komentari dan kaitkan dengan
pemikiran para tokoh pendidikan yang sudah anda pelajari)
2. Pemikiran para tokoh pendidikan Islam pada masing-masing mazhab (naz’ah)
baik itu mazhab al-muhafiz, al-‘aqlany maupun al-zaroi’iy memiliki
kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan. Buatlah daftar kelebihan
dan kekurangan masing-masing mazhab jika dikaitkan dengan kenyataan
pendidikan Islam zaman sekarang!.
3. Dalam sejarah pendidikan Islam tercatat bahwa Islam pernah mencapai
puncak kejayaan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan, dan mulai
meredup serta mengalami kemunduran sejak abad 13 M.
(a). Uraikan apa faktor-faktor yang menyebabkan kemajuan dan kemunduran
tersebut, (b) bagaimana pendapat anda agar pendidikan Islam (baik yang
secara eksplisit menamakan diri dengan lembaga pendidikan Islam maupun
tidak) dapat mengejar ketertinggalannya?

1. URGENSI SOFT SKILLS BAGI PROFESI GURU (BAB V)

Soft skills, yaitu perilaku personal dan interpersonal yang


mengembangkan dan memaksimalkan kinerja manusia seperti membangun tim,
pembuatan keputusan, inisiatif, dan komunikasi. Soft skills tidak termasuk
keterampilan teknis seperti keterampilan merakit komputer. Dengan kata lain, soft
skills mencakup pengertian keterampilan non-teknis, keterampilan yang dapat
melengkapi kemampuan akademik, dan kemampuan yang harus dimiliki oleh
setiap orang, apa pun profesi yang ditekuni. Profesi seperti guru, polisi, dokter,
akuntan, petani, pedagang, perawat, arsitek, dan nelayan harus mempunyai soft
skills.
Sebuah hasil penelitian dari Harvard University Amerika Serikat yang
mengagetkan dunia pendidikan di Indonesia di mana menurut penelitian tersebut,
kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan
keterampilan teknis (hard skill), tetapi oleh keterampilan mengelola diri dan orang
lain (soft skill). Bahkan, penelitian ini mengungkapkan, bahwa kesuksesan hanya
ditentukan sekitar 20% dengan hard skill dan sisanya 80% dengan soft skill. Hal
ini diperkuat sebuah buku berjudul Lesson From The Top karangan Neff dan
Citrin (1999) yang memuat sharing dan wawancara terhadap 50 orang tersukses di
Amerika. Mereka sepakat bahwa yang paling menentukan kesuksesan bukanlah
keterampilan teknis melainkan kualitas diri yang termasuk dalam keterampilan
lunak (soft skills) atau keterampilan berhubungan dengan orang lain (people
skills). Menurut hasil survai Majalah Mingguan Tempo tentang keberhasilan
seseorang mencapai puncak karirnya karena mereka memiliki karakter, yaitu [1]
mau bekerja keras, [2] kepercayaan diri tinggi, [3] mempunyai visi ke depan, [4]
bisa bekerja dalam tim, [5] memiliki kepercayaan matang, [6] mampu berpikir
analitis, [7] mudah beradaptasi, [8] mampu bekerja dalam tekanan, [9] cakap
berbahasa inggris, dan [10] mampu mengorganisir pekerjaan. Kalau realitas ini
dijadikan sebagai acuan untuk melihat pendidikan di Indonesia kondisinya
sebenarnya masih memprihatinkan. Pendidikan kita ternyata masih berkutat gaya
hard skill. Ketidakmampuan memberikan pendidikan soft skill mengakibatkan
lulusan hanya pandai menghafal pelajaran dan sedikit punya keterampilan ketika
sudah di lapangan kerja.
Urgensi guru, harus mempunyai kesadaran tentang profesi , Kesadaran ini
penting agar profesi tersebut bermakna bagi kita, keluarga, anak-anak, orangtua
dan masyarakat, bahkan bangsa. Kekuatan kesadaran inilah yang menjadikan
kegiatan kita selaku guru di masa depan terus bermanfaat, bernilai, dan membawa
kemajuan. Kesadaran dapat dilakukan secara internal dan juga secara eksternal
dengan Pengembangan Interpersonal Skills bagi Guru, karena setiap orang
bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya.
Selain keterampilan dalam berkomunikasi, selaku guru, juga harus
menguasai keterampilan membangun tim (team building). Sebab, banyak aktifitas
yang dilakukan secara bersama, melibatkan banyak orang. Jika tidak mampu
bekerja dalam tim, maka bisa dipastikan akan mengalami kegagalan, atau paling
tidak hasilnya kurang maksimal. Keberhasilan kerjasama dalam tim adalah
bagaimana kita membangun komunikasi yang baik antar anggota. Kegagalan
dalam membangun komunikasi merupakan awal dari kegagalan dalam
membangun kerja sama dan tidak tercapainya tujuan.

KODE ETIK PROFESI GURU (BAB VI)


Etika Kerja. Etika, pada hakikatnya merupakan dasar pertimbangan dalam
pembuatan keputusan tentang moral manusia dalam interaksi dengan
lingkungnnya. Secara umum, etika dapat diartikan sebagai suatu disiplin filosofis
yang sangat diperlukan dalam interaksi sesama manusia dalam memilih dan
memutuskan pola-pola perilaku yang sebaik-baiknya berdasarkan timbangan
moral-moral yang berlaku. Dari etika kerja itulah kemudian dirumuskan kode etik
yang akan menjadi rujukan dalam melakukan tugas-tugas profesi. Dengan kode
etik itu pula, perilaku etika para pekerja akan dikontrol, dinilai, diperbaiki, dan
dikembangkan. Semua anggota harus menghormati, menghayati, dan
mengamalkan isi dan semua kode etik yang telah disepakati bersama. Dengan
demikian, akan tercipta suasana yang harmonis dan semua anggota akan
merasakan adanya perlindungan dan rasa aman dalam melakukan tugas-tugasnya.

Etos Kerja dan Loyalitas Kerja Sebenarnya, kata “etos” bersumber dan
pengertian yang sama dengan etika, yaitu sumber-sumber nilai yang dijadikan
rujukan dalam pemilihan dan keputusan perilaku. Etos kerja lebih merujuk kepada
kualitas kepribadian pekerjaan yang tercermin melalui unjuk kerja secara utuh
dalam berbagai dimensi kehidupannya. Dengan demikian, etos kerja lebih
merupakan kondisi internal yang mendorong dan mengendalikan perilaku pekerja
ke arah terwujudnya kualitas kerja yang ideal. etos kerja mengandung beberapa
unsur antara lain: (1) disiplin kerja, (2) sikap terhadap pekerjaan, (3)
kebiasaankebiasaan bekerja. Dengan disiplin kerja, seorang pekerja akan selalu
bekerja dalam pola-pola yang konsisten untuk melakukan dengan baik sesuai
dengan tuntutan dan kesanggupannya.
Kode etik profesi merupakan tatanan menjadi pedoman dalam
menjalankan tugas dan aktivitas suatu profesi. Pola tatanan itu seharusnya diikuti
dan ditaati oleh setiap orang yang menjalankan profesi tersebut. Meskipun kode
etik itu dijadikan sebagai pedoman atau standar pelaksanaan kegiatan profesi,
tetapi kode etik ini masih memiliki beberapa keterbatasan antara lain: a. beberapa
isu tidak dapat diselesaikan dengan kode etik, b. ada beberapa kesulitan dalam
menerapkan kode etik, c. kadang-kadang timbul konflik dalam lingkup kode etik,
d. ada beberapa isu legal dan etika yang tidak dapat tergarap oleh kode etik, e. ada
beberapa hal yang dapat diterima dalam waktu atau tempat tertentu. mungkin
tidak cocok dalam waktu atau tempat lain, f. kadang-kadang ada konflik antara
kode etik dan ketentuan hukum, g. kode etik sulit untuk menjangkau lintas
budaya, h. kode etik sulit untuk menembus berbagai situasi.
Poin-poin Kode Etik Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI
telah merumuskan poin-poin kode etik guru Indonesia, adalah sebagai berikut: a.
Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia
seutuhnya yang berjiwa Pancasila. b. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran
profesional. c. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai
bahan melakukan bimbingan dan pembinaan. d. Guru menciptakan suasana
sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar. e.
Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat
sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap
pendidikan. f. Guru secara pribadi dan bersama-sama, mengembangkan
meningkatkan mutu dan martabat profesinya. g. Guru memelihara hubungan
profesi, semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial. h. Guru secara
bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai
sarana perjuangan dan pengabdian. i. Guru melaksanakan segala kebijakan
pemerintah dalam bidang pendidikan.
Komentar dan Relevansi dengan Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad Al
Ghazali Al Thusi..
Bukan berarti bahwa sekolah atau kuliah menjadi tidak penting. Namun,
keseimbangan dari pertumbuhan hardskill dan softskill akan membuat Anda
mengalami sukses lebih cepat dan lebih jauh dari kesuksesan yang hanya
ditunjang oleh salah satu faktor tersebut. Perpaduan antara hardskill dan softskill
sangat diperlukan untuk meraih jenjang karir yang tinggi atau memperluas bisnis
di masa depan.Al-ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak
menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang
banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. 1
Kode etik yang memedomani setiap tingkah laku guru senantiasa sangat
diperlukan. Karena dengan itu penampilan guru akan terarah dengan baik,
bahkan akan terus bertambah baik. Ia akan terus menerus memperhatikan dan
mengembangkan profesi keguruannya. Kalau kode etik yang merupakan
pedoman atau pegangan itu tidak dihiraukan berarti akan kehilangan pola umum
sebagai guru. Jadi postur kepribadian guru akan dapat dilihat bagaimana
pemanfaatan dan pelaksanaan dari kode etik yang sudah disepakati bersama
tersebut. Dalam hubungan ini jabatan guru yang betuk-betuk professional selalu
dituntut adanya kejujuran professional. Sebab kalau tidak ia akan kehilangan
pamornya sebagai guru atau boleh dikatakan hidup diluar lingkup keguruan.
Dimensi Soft skill dan kode etik yang sudah saya jelaskan diatas keduanya
sangat relevan dengan system pendidikan al-ghazali dengan Tujuan
pendidikan islam dapat diklasifikan kepada tiga, yaitu : (1) tujuan mempelajari
ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai
wujud ibadah kepada Allah, (2) tujuan utama pendidikan islam adalah
pembentukan akhlaq karimah, (3) tujuan pendidikan islam islam adalah
mengantarkan pada peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat
dengan Tujuan pendidikan (jangka pendek) menurut al-ghazali ialah diraihnya
profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Syarat untuk
mencapai tujuan itu, manusia harus memanfaatkan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan sesuai dengan bakat yang dimilikinya, Guru harus memahami

1
Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal, yang dikutip oleh Abuddin Nata dalam bukunya, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Rajawali Press, Jakarta, 2000,
h.82
minat, bakat, dan jiwa anak didiknya, sehingga disamping tidak akan salah
dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru
dan anak didiknya.
2. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KONSEP PENDIDIKAN IBNU
KHALDUN.
Muhammad Jalal Syarf Ali Abdu al-Mu'ti Muhammad dengan mengutip
Wafi, menegaskan bahwa Ibnu Khaldun mempunyai keutamaan dalam
menciptakan sosiologi (ilmu al-ijtima'), bukan Giovanni Battista Vico (1668-
1774) seperti dinyatakan oleh orang-orang Itali; atau Quetelet (1798-1874)
disangka orang-orang Belgia, dan bukan pula August Comte (1799-1857) seperti
dituntut orang-orang Perancis.2
Mi'raj Muhammad membandingkan Ibnu Khaldun dengan Vico, ia
menemukan konsep-konsep Ibnu Khaldun lebih modern dari Vico. 3 Ismail al-
Faruqi, menilai Ibnu Khaldun sebagai penemu sosiologi, seperti apa yang
ditemukan oleh Comte.4 Salma Khadra Jayussi menyatakan, Ibnu Khaldun filosof
sejarah, sosiolog terkenal5 dan memuat kerangka-kerangka umum ilmu
pengetahuan. M.M. Syarif menilai Ibnu Khaldun sebagai pemikir Muslim yang
mempunyai kontribusi pemikiran penting di berbagai bidang ilmu. 6 Tentang
pandangan penulis Barat terhadap Ibnu Khaldun, Ahmad Syafi'i Ma’arif
menyimpulkan, bahwa sejumlah sarjana Barat memberikan penghargaan yang
tinggi terhadap Ibnu Khaldun, bahkan terkesan berlebihan. Robert Flint misalnya,
mengatakan Hobbes, Locke dan Rousseau bukanlah tandingannya dan nama-

2
Muhammad Jalal Syaraf dan All Abdul Mu'ti Muhammad, Al-Fikr al-Siyasa fi
al-Islam, Iskandariyah : Dar al.Ma'arif al-Jami'iyyah, t.t., h. 573
3
Mi'raj Muhammad, "Ibnu Khaldun and Vico : A Comparative study", Jurnal Islamic Studies,
Islamabad, Vol. XIX 1980, h. 195-196
4
Ismail al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, New York : Mc. Millan
Publisihing Company, 1988, h. 310
5
Eugene A. Myers, Arabic Thought and The Western World, In The Golden Age
of Islam, New York : Frederick Ungar Publishing, 1989 h. 54-55
6
M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, Vol. II, Germany : Otto
Harrassowitz-Wisbaden, 1966, h. 888
nama ini tidak layak disebut bersama-samanya. Sementara, Lewis menempatkan
Ibnu Khaldun sebagai pemikir kenamaan abad pertengahan. 7 Pada bagian lain
yang dikutip Ahmad Syafi'i Ma'arif, ia mengatakan .... si Tunisia Ibnu Khaldun
tampil sendirian sebagai genius sejarah terbesar dari Islam dan yang pertama
melahirkan konsepsi filosofis dan sosiologis tentang sejarah. 8 Watt mengomentari
Ibnu Khaldun sebagai perintis sosiologi, juga dihormati sebagai sejarawan besar. 9
Dalam bidang pengajaran, al-Ahwany, seorang penulis pendidikan islami
memberikan penghargaan yang tinggi terhadap Ibnu Khaldun sebagai pencetus
aliran baru dalam pengajaran yang islami. Mazhab yang ia anut adalah Mazhan
al-Ijrima'i (aliran sosiologis). 10 Suatu aliran yang berbeda dengan aliran-aliran
yang muncul sebelumnya. Melalui penelurusan terhadap mazhab-mazhab
pengajaran islami, Al-Ahwani mengklasifikasikan menjadi mazhab ahl al-sunnah,
mazhab al-falasifah dan mazhab al-mutasawwifah. Mazhab ahl al-sunnah
dikembangkan oleh kebanyakan (jumhur) fuqaha, terutama dalam
mengembangkan ajaran-ajaran fiqhiyahnya kepada pengikutnya melalui
pengajaran. Aliran ini pada puncaknya dipelopori oleh al-Qabisi dari Qairawan.
Al-Qabisi menempuh metode realis (manhaj al-waqi'iy). Manhaj ini pula menjadi
anutan pada masanya. 11 Mazhab yang sama dianut oleh Ibnu Sahnun, seorang
pakar fiqh sekaligus juga pedagogog Islam terkemuka, asal Afrika Utara, 12 diikuti
pula oleh Ibn Abd al-Bar (w. 463H). 13
Mazhab al-falasifah dikembangkan oleh para filosof Islam. Mereka
memandang pendidikan bersifat rasional-teoritis, bukan bersifat realistik -

7
Ahmad Syafi'i Ma'arif, dkk, Konstribusi Pemikiran Ibnu Khaldun, Yogyakarta
LWIPM, 1989, h. 8-9.
8
Ibid.
9
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theoology, Eddinberg :
Edinberg University Press, 1972, h. 167
10
Ahmad Fuad al-Ahwani, Al-Tarbiyah fi Al-Islam, Mesir : Dar al-Ma'arif, 1987, hal. 226
11
Ibid., h. 226
12
Ibid.
13
Ibid., h. 247.
praktis, sebagaimana kaum fuqaha. Pelopornya antara lain Ikhwan al-Safa. Teori
mereka ini terbilang empirik-rasionalisme, bukan realistik-praktisisme.14 Menurut
al-Ahwani, Ikhwan al-Safa sejalan dengan madzhab Locke yang menganggap asal
pengetahuan adalah bersifat sensual empiris.15 Termasuk dalam kelompok
tersebut ialah Ibnu Miskawaih dan Ibnu Sina.16
Mazhab al-Mutasawwifah, antara lain dipelopori oleh al-Ghazali.
Pendapat al-Ghazali tentang pendidikan pada prinsipnya lebih dekat kepada
mazhab ahlu al-sunnah dari pada mazhab al-falasifah. Karena itu mazhab ini
dianggap sebagai mazhab mistisisme-metafisis. Menurut al-Ahwani, al-Ghazali
lebih searah dengan pandangan al-Qabisi. Al-Ghazali menerangkan, cara
memperoleh ilmu ada dua macam : (1) Al-Ta'allum al-Insani, yaitu mencapainya
melalui belajar secara ekstern, (2) Al-Ta'lim al-Rabbani yaitu melalui tafakkur
secara intern. 17 Termasuk dalam kelompok ini adalah al-Zarnuzi. 18
Berbeda dengan ketiga madzhab di atas, Ibnu Khaldun digolongkan
sebagai madzhab al-Ijtima'i.19 Menurut Ibnu Khaldun, manusia adalah hayawan
mufakkir ijtima'i. Tujuan belajar pada puncaknya, menurut Ibnu Khaldun, ialah
untuk memperoleh kebahagiaan hidup dan saling bantu membantu untuk
mewujudkan eksistensi umat manusia. Pengajaran menurutnya bersifat tabi’i
(alami), karena pengajaran merupakan kebutuhan manusia untuk memperoleh
ilmu (pengetahuan).20
Disebabkan Ibnu Khaldun mempunyai pikiran-pikiran baru yang belum
pernah diungkapkan oleh pakar pengajaran sebelumnya, maka ia dinilai sebagai

14
Ibid., h. 227.
15
Ibid.
16
Ibid., h. 231-236.
17
Ibid., h. 238-239.
18
Ibid., h. 244-246.
19
Ibid., h. 238.
20
Ibid.
Imam (pemuka) dan mujaddid (reformer) pengajaran islami. 21 Dibidang ini,
menurut Wafi, Ibnu Khaldun termasuk dalam deretan ahli-ahli yang terjun dan
terlibat langsung secara praktek.22 Akhirnya Wafi mengakui keotentikan
pendapat-pendapatnya dan mengagumi andilnya dalam bidang pengajaran dan
psikologi belajar yang telah diakui oleh para ahli modern. 23 Bernes dan Bekker
menegaskan bahwa Ibnu Khaldun menciptakan teori-teori yang begitu modern
gemanya.24
Atiyah al-Abrasyi menyimpulkan, bahwa beberapa aspek pemikiran Ibnu
Khaldun mempunyai kesamaan dengan pandangan filosof pendidikan modern. 25
Muhammad Jawad Rida, menegaskan pemikiran Ibnu Khaldun merupakan
tonggak baru (fathan jadidah) dalam pemikiran pengajaran yang Islami. 26 Tibawi
mengatakan bahwa Ibnu Khaldun mencurahkan perhatiannya dalam bidang
pengajaran. 27. Nasr menilai Ibnu Khaldun sebagai ahli (master) ilmu tingkah laku
manusia (human behaviour).28 Hasan Langgulung tidak hanya menyebutkan
Muqaddimah sebagai karya pendidikan terpenting, tetapi juga menegaskan Ibnu
Khaldun telah melahirkan konsep-konsep baru secara ilmiah tentang pengajaran.
Ibnu Khaldun, menurutnya, meletakkan pengajaran pada tempatnya yang layak
dalam kerangka umum faktor-faktor yang mempengaruhinya,29 baik pengaruh

21
Wafi, op. cit, h. 157.
22
Ibid.
23
Ibid., h. 158.
24
Ibid.
25
Omar al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (alih bahasa Hasan
Lenggulung), Jakarta : Bulan Bintang, 1979), h. 56.
26
Muhammad Jawad Rida, Al-Fikr al-Tarbawi al-Islamiy, Kuwait: Dar al-Fikr al-
'Arabi, t.t., h. 195-196
27
A.L. Tibawi,, Islamic Education, London : Luzao & Company Ltd., 1972, h. 42
28
Sayyed Hossen Nasr, Science and Civilization in Islam, New York : New
American Library, 1970, h. 56.
29
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (alih bahasa H.M. Arifin),
Jakarta : Rineka Cipta, 1994, h. 195.
lingkungan alam maupun lingkungan sosial dan kultural. Suatu pandangan yang
masih langka di masanya.
Miska Muhammad Amin, menempatkan Ibnu Khaldun sebagai penganut
Empirisme dan Rasionalisme sekaligus.30 Di dalam karyanya, Miska
mensejajarkan Ibnu Khaldun dengan beberapa tokoh filsafat Islam lainnya,
seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Gazali, al-Farabi dan Ibnu Miskawaih.

Barikan Bariki al-Qurasyi, dalam al-Qudwah wa Dauruha fi Tarbiyah al-


Nasyi'i banyak mengutip pendapat Ibnu Khaldun tentang pengajaran. Seterusnya
ia menyatakan secara implisit bahwa Ibnu Khaldun sebagai ahli pertama yang
mengatakan bahwa aktivitas pengajaran sebagai sina'ah (art) yang membutuhkan
penguasaan secara profesional. 31

Enan dalam karyanya Ibnu Khaldun, His Life and Work mengagumi Ibnu
Khaldun sebagai seorang pengajar yang brillian (briliant lecturer).32 Ia mengutip
pendapat-pendapat para sarjana yang pernah berguru kepada Ibnu Khaldun.
Taqiu al-Din al-Maqrizi dan Ibnu. Hajar al Askalani, yang pernah mengikuti
kuliah-kuliahnya ketika muda, mengatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang
orator yang fasih, pengulas dan penyaji yang hebat). Al-Sakhawi yang mengutip
al-Bisbisi dan al-Rikraki mengatakan, bahwa ia adalah seorang guru teladan dan
dosen yang ideal (ideal lecturer),33 Ibnu Khaldun di Kairo memang memberikan
kuliah di beberapa universitas dan madrasah antara lain pada Universitas al-
Azhar dan sebagai guru besar pada Madrasah Kamhiyah, suatu lembaga
pendidikan mazhab Maliki dekat masjid Amr, madrasah Salihiyah, di distrik

30
Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat
Pengetahuanlslam, Jakarta : UI Press, 1983, h. 58-60.
31
Barika Bariki al-Quraisyi, Al-Qudwah wa Dauruha fi al-Tarbiyah al-Nasyi'I,
Mekkah : al-Maktabah al-Faisaliyah, 1983, h. 116
32
Muhammad Abdullah Enan, Ibnu Khaldun His Life and Works, New Delihi:
Kitab Bhavan, 1933, h. 66
33
Ibid
Bein al-Qasrein dan madrasah Sargatmushy, serta madrasah Sultaniyah.34
Disamping itu ia juga memberi pelajaran melalui halaqah-halaqah di berbagai
mesjid di Kairo.

Charles Issawi, dalam karangannya An Arab Philosophy of Histrory


mengatakan, bahwa pengajaran adalah salah satu aspek yang menarik perhatian
Ibnu Khaldun. Yang lainnya adalah metafisika, geografi, dan ekonomi. Teorinya
tentang ilmu menunjukkan bahwa ia adalah seorang empiris dan positivis.35

Fathiyyah Hasan Sulaiman, yang menulis buku Mazahib fi al-Tarbiyah


Bahs fi Mazhab al-Tarbawi 'Inda Ibn Khaldun menyimpulkan pandangan Ibnu
Khaldun tentang pengajaran adalah keseimbangannya di dalam berpikir.
Menurutnya pandangan Ibnu Khaldun sangat berharga dipandang sebagai arah
pandang terpenting pada pendidik modern. 36

Dia juga menentang belajar verbal yang sangat merugikan anak. Untuk
itu ia merumuskan teori malakah dan tadrij yang dapat mengikis verbalisme, dan
menghasilkan situasi belajar mengajar yang kondusif. Dengan konsep al-
mulayanah, Ibnu Khaldun berusaha untuk merespons pola pengajaran keras dan
penerapan hukuman (al-'Uqubah) yang tidak proporsional dalam praktek
pengajaran kala itu. Pandangan Ibnu Khaldun sejalan dengan Bacon dan
Montaigne yang menentang pengajaran yang otoriter, tetapi mendasarkan
pandangannya pada induksi yang teratur. 37 Al-mulayanah (lemah lembut)
menghasilkan suatu suasana pengajaran yang demokratis. Ibnu Khaldun
mengoreksi terhadap kurikulum yang dikembangkan di banyak negeri Muslim.

34
Lihat Ibid., h. 66-67
35
Charles Issawi, Filsafat Islam TentangSejarah, (alihbahasa A. Mukti Ali),
Jakarta : Tinta Mas, 1976, h. 19
36
Fathiyyah Hasan Sulaiman, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu
Pendidikan, (alih bahasa Herry Nu Ali), Bandung : Diponegoro, 1987, h. 81.
37
Samuel Smith, op. Cit., h. 110.
Menurutnya mengajarkan anak tanpa memperhatikan tingkat perkembangan
(tathawwur), perbedaan individual (al-faruq al-fardiyah), dan kemampuan
(istitha'ah) serta kesiapan (isti'dad) dapat membahayakan. Dia juga menyerang
para guru yang menjejali anak dengan berbagai disiplin dalam satu waktu, serta
menolak menggunakan buku-buku ringkasan (mukhtasar) yang sering kali
membuat kekaburan dalam belajar, sehingga sulit mencapai malakah secara
optimal. Karena itu Ibnu Khaldun menawarkan kurikulum komprehensifnya yang
mampu meredusir kekurangan-kekurangan tersebut.

Dari segi bangunan filosofi, pemikiran Ibnu Khaldun tidak mempunyai


landasan yang tegas sebagai pijakannya. Padahal betapapun, sebagian dari
pemikiran pengajarannya dibangun berlandaskan kerangka filosofi tertentu.
Ketidaktegasan ini memberi indikasi bahwa pemikiran Ibnu Khaldun tidak
memiliki akar pijak yang kokoh. Konsekuensinya, pemikiran demikian terkesan
spekulatif murni, meskipun ia telah sekuat tenaga mengajukan argumentasi logis
serta observasi empiris. Inilah pula yang menyebabkan tidak banyak ahli yang
menggolongkan Ibnu Khaldun sebagai spesialis yang mempunyai otoritas
keilmuwan membahas masalah-masalah pengajaran..38

Dari segi konstruksi teoritiknya, teori-teori Ibnu Khaldun, terutama yang


berkenaan dengan masalah belajar tidak didasarkan kepada penyelidikan
eksperimental.. Sementara itu teori-teori yang dikembangkan setelah abad ke 20,
umumnya didasarkan kepada eksperimen, 39 di samping didukung oleh observasi
dan pemikiran spekulatif.

Dari sudut bangunan teoritik, Ibnu Khaldun tidak menampilkan teori-teori


pengajaran secara menyeluruh dalam segala aspeknya. la hanya mengutarakan

38
John S. Brubacher, Modern Philosophies of Education, New Delhi: Tata Me.
Graw Hill Publishing Co. Ltd., Edisi IV, 41981, h. 95.
39
Ratna Willis Dahar, Teori-teori Belajar, Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RL, 1988, h. 7.
beberapa faktor dominan yang dipandang sebagai kerangka umum yang dapat
digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor lainnya. Ibnu Khaldun tidak
menampilkan pemikiran yang eksplisit tentang evaluasi belajar-mengajar
sebagaimana yang dikembangkan para pendidik modern.

Dalam bidang metodologi pengajaran pemikiran Ibnu Khaldun tidak


mengelaborasi secara luas dan beragam strategi belajar dan metode pengajaran
sebagaimana yang dijumpai dalam pemikiran modern. Dia tidak menganjurkan
ragam strategi dan metode yang dapat ditempuh, misalnya metode ceramah,
tanya jawab, drill, resitasi, demonstrasi, dan lain-lain. Ibnu Khaldun memang
secara sepintas lintas membicarakan alat peraga, namun ia tidak merumuskan
secara rinci penggunaan alat peraga dan media pengajaran lainnya. Ia hanya
menyarankan penggunaannya sesuai dengan materi yang diajarkan.

Meskipun secara teoritis, konsep malakah Ibnu Khaldun lebih


komprehensif darlpada teori insight Kohler, namun Ibnu Khaldun tidak
merumuskannya secara lengkap prinsip-prinsip dasar dan tidak menampilkan
secara rinci hukum-hukum yang menyertainya, Sebuah teori secara substantif
haruslah bersifat menyeluruh (comprehensiveness),40 dan tercakup semua unsur
yang mungkin terjangkau oleh teori dimaksud. Kekurangan tersebut membawa
konsekuensi kepada sulitnya aplikasi dan operasionalisasi. Sifat operasinalitas
(operationality) merupakan salah satu kriteria dalam memformulasikan teori. 41
Suatu teori akan lebih bermakna dan aktual justeru dalam operasionalitasnya.
Karena itu pula, bagi pihak yang kontra terhadap pemikiran Ibnu Khaldun,
melontarkan kritik terhadap pemikiran Ibnu Khaldun sebagai teori-teori yang
kabur. Pendapat serupa ini, antara lain terdapat dalam pandangan P. Avon

40
C.H. Patterson, Foundation For A Theory of Instruction and Educational
Psychology, New York : Harper & Roes Publishers, 1979,h. 8
41
Ibid., h. 9
Silvers.42 Penilaian ini jelas menunjukkan kurang lengkapnya Ibnu Khaldun
menampilkan sebuah teori pendidikan, baik rumusan koseptualnya maupun
hukum-hukum dasar yang dibutuhkan proporsi teoretik.

Realitas, bahwa pendekatan yang digunakan pendidikan Islam cenderung


bersifat normatif - informatif . Pendekatan fiqh, halal-haram, pahala-dosa cukup
menonjol. Nilai-nilai fungsional belum banyak dikembangkan. Pola-pola yang
tekstual-verbalistik masih mewarnai kegiatan belajar-mengajar. Kemampuan
analitik untuk menembangkan interpretasi baru terhadap nash-nash al-Qur'an dan
hadis kurang mendapat perhatian. Umumnya sistem pendidikan Islam hanya
mengembangkan Islamologi, kurang memberikan tekanan pada pembentukan diri
yang utuh. Kecendrungan tersebut mungkin dipengaruhi oleh sistem klasikal
kaku dengan sistem kurikulum yang masih menggunakan model subject matter
oriented, dengan menjadikan anak sebagai obyek.

Ibnu Khaldun menawarkan sejumlah wawasan yang dapat dijadikan dasar


pijak untuk mengatasi hal tersebut. Belajar menurut Ibnu Khaldun harus
diarahkan pada pencapaian malakah seoptimal mungkin. Malakah memberi
tekanan pada pembentukan diri yang utuh. Malakah berbeda dengan hafalan dan
pemahaman. Malakah tidak hanya intelektualitas, tetapi juga skill dan sikap. Jadi
wawasan malakah memberi kemungkinan pembentukan diri pribadi yang utuh.

Ibnu Khaldun menentang keras hafalan tanpa pemahaman dan


verbalisme. "Menghafal tanpa mengerti, pada hakikatnya membebani mereka
(murid) kurang sanggup mendapatkan malakah yang dibutuhkan". 43 Dengan
verbalisme tidak mendorong subyek belajar untuk mencari dan menemukan
sendiri. "Itulah satu aspek mengapa kualitas pengajaran formal kita kurang
bermutu".44 Kalau belajar diarahkan pada pencapaian malakah, maka ia harus

42
Ahmad Syafi'i Ma'arif, Ibnu Khaldun, op. Cit., h. 1
43
Ibnu Khaldun, op. cit, h. 532.
44
Sikun Pribadi, "Pendidikan di Sekolah", Suara Karya, 13 Agustus 1985, h. 4.
dilakukan penstrukturan sedemikian rupa. Dilakukan secara bertahap,
berkesinambungan, seperti disarankan Ibnu Khaldun. Pola mengajar tiga tahap
sebagaimana diusulkannya menunjukkan, bahwa dia sangat menentang
verbalisme dan pengajaran yang semata-semata intelektualistis. Belajar dengan
prinsip malakah menjamin tercapainya sosok yang cerdas, terampil, berbudi
sekaligus.

Beberapa prinsip metodologis yang dapat dirangkum dari pandangan Ibnu


Khaldun adalah sebagai berikut:

1. Hendaknya tidak menyajikan pelajaran tentang hal-hal yang sulit kepada


mereka yang baru mulai belajar, melainkan harus diberi persiapan secara
bertahap yang menuju kepada kesempurnaan.
2. Dimulai dengan hal-hal sederhana lalu kemudian secara bertahap dibawa
kepada hal-hal yang lebih komplek.
3. Tidak memberikan ilmu melebihi kemampuan akal pikir anak, karena hal itu
akan menyebabkan anak menjauhi ilmu dan membuatnya malas
mempelajarinya.
4. Pengajaran bahasa Arab hendaknya diarahkan untuk tujuan memahami Al-
Qur’an dan As-Sunnah serta prosa dan puisi Arab Klasik
5. Materi pelajaran bahasa Arab dipilih dan diambil dari Al-Qur’an dan As-
Sunnah serta prosa dan puisi Arab Klasik.
6. Pengajaran bahasa Arab hendaknya lebih menekankan kepada latihan-latihan
pemahaman dan hapalan materi yang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
serta prosa dan puisi Arab Klasik.
7. Dalam pengajaran Ibnu Khaldun menjadikan murid ditempatkan sebagai
subyek. Wawasan ini menuntut pula penggunaan strategi belajar-mengajar
yang beragam yang disesuaikan dengan upaya mengoptimalkan kemampuan
tumbuh dan berkembang, termasuk perlakuan terhadap murid.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa pemikiran Ibnu Khaldun
yang dituangkan dalam Muqaddimah masih tetap aktual dan menjadi bahan
kajian menarik di kalangan sarjana. Hal ini menunjukkan bahwa pemikirannya
mengandung berbagai kelebihan, dan juga mencerminkan nuansa kemodernan.
Dengan analisis yang tajam terhadap dimensi-dimensi sosial dan moral dalam
pengajaran, ia memberikan perhatian yang besar kepada teori pengajaran. Ibnu
Khaldun mengelaborasikan teori-teori pengajaran berdasarkan pengamatan
realistik keadaan pengajaran pada zamannya.

Untuk melihat posisi kelebihan Ibnu Khaldun dalam melontarkan gagasan-


gagasan dapat ditelurusi pula dari latar belakang yang menyebabkan ia menulis
tentang pengajaran dalam karyanya. Dia menemukan beberapa kelemahan, kalau
bukan malah merupakan suatu keganjilan, pemikiran pengajaran pada zamannya
dan di masa-masa sebelumnya. Ibnu Khaldun menentang teori yang mengatakan
bahwa anak lahir tanpa memiliki potensi dasar sama sekali,
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun tidak hanya
bersikap responsif dan reaktif semata-mata terhadap realitas pengajaran di
zamannya, tetapi juga memberikan solusi serta memformulasikan teori-teori
universalnya yang dapat digunakan sepanjang masa.

Tingginya penghargaan terhadap pemikiran Ibnu Khaldun sebagaimana


telah dipaparkan di atas bukan berarti teori-teorinya tidak mempunyai sisi
kelemahannya. Kelemahan-kelemahan tersebut dalam wacana ilmiah dapat
ditelusuri antara lain dari segi bangunan filosofinya, konstuksi teoritiknya,
aplikasi dan dimensi metodologisnya. 45

45
Warul Walidin. Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibn Khaldun Perspektif Pendidikan Modern,
Nangroe Aceh Darussalam: Nadya Fondation 2003, h. 253- 4
3. FACTOR KEJAYAAN DAN KEMUNDURAN PENDIDIKAN
ISLAM

A. MASA KEJAYAAN PENDIDIKAN ISLAM

Masa ini dimulai dengan berkembang pesatnya kebudayaan Islam, yang


ditandai dengan berkembang luasnya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan
madrasah-madrasah (sekolah-skolah) formal serta unversitas dalam berbagai pusat
kebudayaan Islam. Dalam perkembangan kebudyaan Islam, nampak adanya dua
faktor yang saling mempengaruhi, yaitu faktor intern atau pembawaan dari ajaran
islam itu sendiri. Dan faktor ekstern, yaitu berupa rangsangan dan tantangan dari luar.

1. Berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan islam

a. Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar Kuttab atau maktab, berasal dari kata
dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Jadi katab adalah tempat
belajar menulis.

b. Pendidikan rendah di IstanaTimbulnya pendidikan rendah di Istana untuk anak-


naka maka para pejabat, adalah berdasarkanpemikiran bahwa pendidikan itu harus
bersifat menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak
setelah dewasa.

Guru yang mengajar di istana di sebut mu’addib. Kata mu’addib, berasal dari kata
adab, yang berarti budi pekerti atau meriwayatkan. Guru pendidikan anak di istana
disebut mu’addib. Karena berfungsi mendidik budi pekerti dan mewariskan
kecerdasan dan pengetahuan-pengetahuan orang-orang dahulu kepada anak-anak
pejabat.
c. Toko-toko kitab

Fungsinya bukan hanya sebagai tempat berjual beli kitab-kitab saja, tetapi juga
merupakan tempat berkumpulnya para ulama, pujanggaa dan ahli-ahli ilmu
pengetahuan lainnya, untuk berdiskusi, berdebat bertukar pikiran dalam berbagai
masalah ilmiah. Sebagai lemabaga pendidikan dalam rangka pengembangan berbagai
macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam.

d. Rumah-rumah para ulama (ahli ilmu pengetahuan)

Diantara rumah ulama terkenal yang menjadi tempat belajar adalah rumah Ibnu Sina,
Al-Ghazali, Ali Ibnu Muhammad Al-Fasihi, Ya’Qub Ibnu Killis, Wazir Khalifah Al-
Aziz billah Al-Fatimy, dan lain-lainnya.

e. Majlis atau saloon kesusastraan

Dengan majlis atau saloon kesusastraan, dimaksud adalah suatu majlis khusus yang
diadakan oleh khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Majlis
ini bermula sejak zaman khulafurasyidin.

Pada masa Harun Al-Rasyid (170-193 H) majlis sastra ini mengalami kemajuan yang
luar biasa, karena khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan dan juga mempunyai
kecerdasan, sehingga khalifah sendiri aktif di dalamnya.

f. Badiah (padang pasir, dusun tempat tinggal badwi)

Di badiah-badiah ini biasanya berdiri ribat-ribat atau zawiyah-zawiyah yang


merupakan pusat-pusat kegiatan daripada ahli sufi. Di sanalah sufi mengembangkan
metode khusus dalam mencapai ma’rifat, suatu tingkat ilmu pengetahuan yang
mereka anggap paling tinggi nilainya.

g. Rumah sakit
Rumah-rumah sakit tersebut, bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan
mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan
dengan perawat dan pengobatan.

h. Perpustakaan

Buku adalah merupakan sumber informasi berbagai macam ilmu pengetahuan yang
ada dan telah dikembangkan oleh para ahlinya. Orang dengan mudah dapat belajar
dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam buku.

Baitul Hikmah di Bagdad yang didirikan oleh Khlifah Harun Al-Rasyid, adalah
merupakan salah satu contoh dari perpustakaan Islam yang lengkap, yang berisi ilmu-
ilmu agama Islam dan Bahasa Arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan yang telah
berkembang pada masa itu, dan berbagai buku-buku terjemahan dari bahasa-bahasa
Yunani, Persia, India, Qibty dan Aramy.

i. Masjid

Masjid dalam dunia Islam, sepanjang sejarahnya tetap memegang pernanan yang
pokok, di samping fungsinya sebagai tempat berkomunikasi dengan Tuhan, sebagai
lembaga pendidikan dan pusat komunikasi sesama kaum muslimin.

2. Sistem pendidikan di sekolah-sekolah

Diantara faktor-faktor yang menyebabkan berdirinya sekolah-sekolah di laur masjid


adalah bahwa :

a. Khalaqah-khalaqah (lingkaran) untuk mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan


yang di dalamnya juga terjadi diskusi dan perdebatan yang ramai, sering satu sama
lain saling mengganggu, di samping sering pula mengganggu orang-orang yang
beribadah dalam masjid. Keadaan demikian, mendorong untuk dipindahkannya
khalaqah-khalaqah tersebut ke luar lingkungan masjid, dan didirikanlah bangunan-
bangunan sebagai ruang-ruang kuliah atau kelas-kelas yang tersendiri.

b. Dengan berkembang luasnya ilmu pengetahuan, baik mengenai agamma maupun


umum maka dieprlukan semakin banyak khalaqah-khalaqah (lingkaran-lingkaran
pengajaran), yang tidak mungkin keseluruhan tertampung dalam ruang masjid.

Mahmud Yunus, secara garis besar menggambarkan pokok-pokok rencana pelajaran


pada berbagai tingkatan pendidikan tersebut sebagai berikut :

a. Rencana pelajaran kuttab (pendidikan dasar)

1) Membaca Al-Quran dan menghafalnya

2) Pokok-pokok agama Islam, seperti cara wudhu, salat, puasa dan sebagainya

3) Menulis

4) Kisah atau riwayat orang-orang besar Islam

5) Membaca dan menghafal syair-syair atau nasar (prosa)

6) Berhitung

7) Pokok-pokok nahwu dan saraf ala kadarnya

b. Rencana pelajaran tingkat menengah

1) Al-Quran

2) Bahasa Arab dan kesustraanya

3) Fiqh
4) Tafsir

5) Hadis

6) Nahwu/saraf/balagah

7) Ilmu-ilmu pasti

8) Mantiq

9) Ilmu Falak

10) Tarikh (sejarah)

11) Ilmu-ilmu Alam

12) Kedokteran

13) Musik

14)

c. Rencana pelajaran pada pendidikan tinggi

Pada umumnya rencana pelajaran pada perguruan tinggi Islam, dibagi menjadi dua
jurusan, yaitu :

1) Jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa serta sastra Arab, yang juga disebut sebagai
ilmu-ilmu Naqiyah, yang meliputi :

a). Tafsir Al-Quran

b). Hadis

c). Fiqh dan ushul Fiqh


d). Nahwu/saraf

e). Balagah

f). Bahasa Arab dan Kesusastraannya

2) Jurusan ilmu-ilmu umum, yang disebut sebagai ilmu Aqliyah meliputi :

a). Mantiq

b). Ilmu-ilmu alam dan kimia

c). Musik

d). Ilmu-ilmu pasti

e). Ilmu ukur

f). Ilmu falak

g). Ilmu Hahiyah (Ketuhanan)

h). Ilmu Hewan

i).Ilmu Tumbuh-tumbuhan

j). Kedokteran

3. Puncak kemajuan ilmu dan kebudayaan Islam

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tumbuh dan berkembangnya ilmu


pengetahuan dan kebudayaan islam, adalah sebagai akibat dan berpadunya unsur-
unsur pembawaan ajaran Islam dengan unsur-unsur yang berasal dari luar.
Henry Margenan dan David Bergamini dalam The Scientish sebagaimana diolah oleh
Jujun S. Suriasumantri, telah mendaftar sederetan cabang ilmu pengetahuan yang
telah dikembangkan sebagai haisl perkembangan pemikiran dan ilmiah di kalangan
kaum muslimin pada masa jayanya, Yang kemudian secara berangsur-angsur
berpindah ke dunia Barat, sebagai berikut :

a. Dalam bidang matematika, telah dikembangkan oleh para sarjana muslim berbagai
cabang ilmu Pengetahuan, Seperti Teori Bilangan, Al-jabar, Geometri Analit, dan
Trigonometri.

b. Dalam bidang Fisika, mereka telah berhasil mengembangkan Ilmu Mekanika dan
Optika

c. Dalam kimia, telah berkembang ilmu Kimia

d. Dalam bidang Astronomi, kaum muslimin telah memiliki Ilmu Mekanika Benda-
benda langit

e. Dalam bidang geologi, para ahli ilmu pengetahuan muslim telah mengembangkan
Geodesi, Minerologi, dan meteorologi

f. Dalam bidang Biologi, mereka telah memiliki ilmu-ilmu Phisiologi, Anatomi,


Botani, Zoologi, Embriologi dan Pathologi

g. Dalam bidang sosial, telah pula berkembang Ilmu politik

B. MASA KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM

Sebab-sebab melemahnya pikiran Islam tersebut, antara lain dilukiskannya


sebagaiberikut :
1. Telah berkelebihan filsafat Islam (yang bercorak sifistis) dimasukan oleh Al-
Ghazali dalam Islam dan berkelebihan pula Ibn Rusyd dalam memasukan filsafat
Islamnya (yang bercorak rasionalistis) ke dunai Islam di Barat

2. Para khalifah, sultan, Amir, umat Islam melalaikan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan, jadi tidak memberi kesempatan berkembang, jika pada awalnya para
pejabat pemerintah itu sangat memperhatikan pendidikan Islam dengan memberikan
penghargaan yang tinggi kepada para ahli ilmu pengetahuan, maka pada masa ini para
ahli ilmu pengetahuan umumnya terlibat dalam urusan pemerintah sehingga
melupakan tugas-tugas pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan

3. Banyak terjadi pemberontakan dan serangan dari luar, sehingga menimbulkan


kehancuran dan mengakibatkan berhentinya kegiatan pengembangan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan di dunia Islam. Pemikiran Islam berpindah tangan ke
tangan ke kaum Nasrani, mereka telah mengikuti jejak kaum muslimin dan
menggunakan hasil buah pikiran yang mereka peroleh dari pikiran umat Islam

C. MASA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM

1 Pola-pola pembaharuan pendidikan Islam

(1). Pola pembaharuan pendidikan islam yang berorientasi kepada pola pendidikan
modern di Eropa

(2). Yang berorientasi dan bertujuan untuk pemurnian kembali ajaran Islam.

(3). Yangg berorientasi pada kekayaan dan sumber budaya bangsa masing-masing
dan yang bersifat nasionalisme

KOMENTAR
Dari peparan diatas disimpulkan oleh penulis bahwasanya untuk mengejar
ketertinggalan maka sangat diperlukan meningkatkan kualitas pada lembaga-
lembaga pendidikan Islam dan madrasah-madrasah formal serta universitas-
universitas dalam berbagai pusat kebudayaanIslam. Lembaga-lembaga pendidikan,
sekolah – sekolah dan universitas –universitas tersebut nampak sangat dominan
pengaruhnya dalam membentuk polakehidupan dan pola budaya kaum muslimin.
Berbagai ilmu pengetahuan yangberkembang melalui lembaga pendidikan itu
menghasilkan pembentukan dan pengembangan berbagai macam aspek budaya kaum
muslimin. Jika masa sebelumnya, pendidikan hanya sebagai jawaban terhadap
tantangan dari pola budaya yang telah berkembang dari bangsa – bangsa baru yang
memeluk agama Islam, akan tetapi sekarang harus merupakan jawaban terhadap
tantangan perkembangan dan kemajuan kebudayaan Islam sendiri yang tumbuh
sangat pesat.

Anda mungkin juga menyukai