Embient Environment
Embient Environment
Om Swastiastu,
Terima kasih kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas dari mata kuliah Arsitektur Perilaku, yang
berjudul “Ambient Environment”. Penyusunan makalah ini juga tidak lepas dari pihak-
pihak lainnya.
Kelompok 4a
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Hubungan yang terjadi antara manusia dan lingkungan lebih umum dikenal dengan
istilah interaksi antara manusia dengan lingkungan. Hal ini berada di antara sifat-sifat
alami dari manusia dengan lingkungan dengan berbagai macam atributnya, baik fisik
maupun non-fisik. Terjadinya interaksi antara manusia dengan lingkungan disebut dengan
persepsi. sebuah persepsi akan muncul jika salah satu unsur tidak ada. Pola perilaku
menjadi suatu hal yang sangat penting untuk membatasi situasi dan konteks situasi, serta
untuk mengatakan bahwa ada batasan kebudayaan.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah terlepas dari lingkungan yang membentuk
diri mereka. Di antara sosial dan arsitektur di mana bangunan yang didesain oleh manusia,
secara sadar atau tidak sadar, memengaruhi pola perilaku manusia yang hidup di dalam
arsitektur dan lingkungannya tersebut. Kondisi lingkungan yang buruk juga akan
berpengaruh pada kondisi psikis dan psikologi dari manusia ataupun civitas di dalamnya
seperti timbulnya stress terhadap civitas yang ada di lingkungan tersebut, akibat stress
maka munculah perilaku-perilaku buruk dari manusia yang terkadang bisa di luar akal
sehat.
Maka dari itu dapat dilihat bahwa lingkungan fisik berpengaruh besar terhadap pola
prilaku masnusia, sehingga diharapkan pengamatan pada makalah ini dapat memperluas
wawasan pengetahuan arsitek muda tentang bagaimana faktor – faktor lingkungan
disekitar manusia dapat mempengaruhi kondisi psikis dan psikologis dari manusia
tersebut, sehigga nantinya dapat menyusun program-program yang sesuai dengan perilaku
yang timbul akibat dari pengaruh lingkungan sekitar.
1
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Ambient Condition ?
1.2.2 Apa kualitas fisik lingkungan yang mempengaruhi perilaku manusia?
1.2.3 Apa pengaruh Stress terhadap perilaku manusia ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
1976 terjadi peningkatan angka mortalitas yang tajam sampai dengan 50 % di beberapa
area (Schuman dalam Holahan, 1982). Studi lain menunjukkan adanya hubungan antara
meningkatnya tingkat polusi udara dengan munculnya penyakit- penyakit pernapasan
seperti asma, infeksi saluran pernapasan, dan flu di beberapa kota di Amerika Serikat.
Pada efek perilaku, riset laboratorium menunjukkan bahwa temperatur yang terlalu
tinggi teryata memengaruhi perilaku sosial. Dua buah studi membuktikan bahwa
seseorang dalam keadaan temperatur tinggi (lebih dari 100 derajat F) ternyata memiliki
penilaian yang tidak jelas pada kuisioner yang diberikan bila dibandingkan dengan yang
dalam kondisi nyaman.
Pada penelitian lain oleh Bell dan Baron (dalam Holahan, 1982) rupa- rupanya
gagal menemukan bahwa panas dapat mengurangi perhatian seseorang terhadap orang
lain di dalam ruangan. Hal ini disebabkan karena adanya perasaan senasib dalam
keadaan stres justru meniadakan efek negatif dari dari panas. Begitu pula suatu
rangkaian studi yang dilakukan oleh Robert Baron dan kawan-kawan (dalam Holahan,
1982) yang menemukan bahwa temperatur yang tinggi justru mengurangi tingkat
agresi seseorang terhadap orang lain pada seting yang sama, yang diduga perasaan
senasib yang menjadi faktor penyebabnya.
Hal itu dapat dijelaskan dari proses biologis yang terjadi. Ketika suhu meningkat,
maka suhu tubuh juga akan meningkat aliran darah membesar sehingga darah menjadi
4
lebih dingin dan mengalir ke permukaan kulit, kulit menjadi berwarna merah muda dan
berkeringat serta detak jantung meningkat. Ini menyebabkan manusia menjadi lebih
mudah emosi, meledak-ledak, dan membabi buta (Veitch & Arkkelin, 1995). Perilaku
semacam ini dipercaya memperpendek usia individu. Pada musim-musim tertentu
seperti musim panas atau musim kemarau emosi seseorang akan lebih mudah meledak-
ledak dan kecenderungan agresivitas semakin tinggi. Banyak kebangkitan politik,
pemberontakan, dan revolusi terjadi pada bulan-bulan yang panas (Proshansky, Ittelson,
& Rivlin, 1970). Reformasi 1998 juga misalnya terjadi pada bulan Mei dimana udara
sedang berada dalam suhu yang tinggi sehingga menciptakan kecenderungan untuk
meluapkan emosi. Pendekatan ini juga berlaku sebaliknya. Dalam konser-konser atau
demonstrasi misalnya, kita sering melihat polisi menyemprotkan air kepada kerumunan
massa. Tujuannya adalah mendinginkan suhu udara dengan harapan dapat meredam
perilaku agresivitas massa. Ketika bekerja di perkantoran juga merupakan contoh yang
sama di mana individu yang bekerja di kantor dengan AC sebagai pengkondisian udara
maka kualitas kerja dari individu tesebut akan lebih baik daripada individu yang bekerja
pada suhu yang lebih tinggi.
Rahardjani (1987) melihat bahwa suhu dan kelembaban rumah sangat dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain: warna dinding dalam dan luar rumah, volume
ruang, arah sinar matahari, dan jumlah penghuni. Suhu yang paling nyaman adalah
kurang lebih 25 derajat Celcius. Apabila suhu menjadi tidak nyaman (di atas 25 derajat
Celcius), maka akan mengakibatkan tubuh berkeringat sehingga akan berakibat
gangguan tidur pada malam harinya. Oleh karena itu, aliran udara menurut Mom dan
Wielsebrom (dalam Siswanto, 1986) menjadi hal yang penting karena secara fisiologi
aliran udara berfungsi sebagai pasokan oksigen untuk pernapasan; mengalirkan uap
air yang berlebihan dan asap; mengurangi konsentrasi gas, bakteri, dan bau;
mendinginkan suhu; dan membantu penguapan keringat manusia.
2. Kebisingan
Menurut Sarwono ( 1992) terdapat tiga faktor yang menyebabkan suara secara
psikologis dianggap bising, yaitu: volume, perkiraan, dan pengendalian.
Dari faktor volume dikatakan bahwa suara yang makin kerasakan dirasakan
mengganggu. Suara kendaraan di jalan raya dari jarak 17 meter (70dB) sudah
5
mulai mengganggu pembicaraan melalui telepon dan suara truk pengaduk semen,
sementara dari jarak yang sama (90dB) tentunya akan lebih mengganggu.
Jikalau kebisingan dapat diperkirakan datangnya atau berbunyi secara teratur, kesan
gangguan yang ditimbulkan akan lebih kecil dibandingkan jika suara tersebut
datangnya tiba- tiba atau tidak teratur. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
No.51/Men/1999 tentang kebisingan adalah sebagai berikut;
Jika seseorang terpapar pada suara di atas nilai kritis tertentu kemudian dipindahkan
dari sumber suara tersebut, maka nilai ambang pendengaran orang tersebut akan
meningkat; dengan kata lain, pendengaran orang tersebut berkurang. Jika pendengaran
kembali normal dalam waktu singkat, maka pergeseran nilai ambang ini terjadi
sementara. Fenomena ini dinamakan kelelahan auditorik.
Faktor kendali berkaitan erat dengan faktor perkiraan. Jika kita menyetel musik
cadas atau rnenyalakan gergaji mesin, kita tidak merasakannya sebagai kebisingan
karena kita dapat rnengaturnya sekehendak kita kapan suara itu kita perlukan. Akan
tetapi bagi orang lain yang tidak menginginkannya, hal itu merupakan kebisingan yang
amat mengganggu.
Menurut Holahan (1982) hasil penelitian laboratorium menunjukkan bahwa
kebisingan secara fisiologis dapat menjadi penyebab reaksi fisiologis sistemik yang
secara khusus dapat diasosiasikan dengan stres. Kebisingan dapat ditunjukkan dengan
meningkatnya aktivitas elektrodermal, sekresi adrenalin, dan tekanan darah. Pada suatu
tingkat tertentu, reaksi-reaksi fisiologis ini cenderung meningkat ketika kebisingan
menjadi semakin intens, periodik, dan tanpa kontrol. Ketika tingkat
6
kebisingan tersebut sudah semakin menurun (mereda), seseorang boleh jadi menjadi
teradaptasi dan terbiasa untuk melanjutkan kebisingan, walaupun tidak pada setiap
orang. Holahan membedakan pengaruh kebisingan terhadap kinerja manusia menjadi
empat efek, tiga di antaranya adalah efek fisiologis, efek kesehatan, dan efek perilaku.
Pada efek kesehatan Holahan ( 1982) melihat bahwa kebisingan yang dibiarkan saja
kita terima dalam intensitas tinggi dan dalam jangka waktu yang panjang ternyata dapat
menjadi penyebab kehilangan pendengaran yang berarti. Pendapat ini diperkuat oleh
basil studi Cameron dkk. (dalam Holahan, 1982)di beberapa keluarga di Detroit dan
Los Angeles, yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara laporan mengenai
kebisingan dengan laporan mengenai penyakit fisik yang amat akut dan kronis.
Sementara studi lain oleh Crook dan Langdon (dalam Holahan, 1982) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara kebisingan dengan aspek-aspek fisik
dan kesehatan mental, seperti sakit kepala, kegelisahan, dan insomnia.
Efek kebisingan yang ketiga yang akan dibahas adalah efek perilaku. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kebisingan yang tidak disukai telah mempengaruhi
hilangnya beberapa aspek perilaku sosial. Penelitian Lawrence Ward dan Peter
Snedfeld pada tahun 1973(dalam Holahan, 1982) yang dilakukan dengan cara
membunyikan kebisingan lalu-Iintas dengan menggunakan tape recorder yang
ditambah dengan loud speaker menunujukkan terjadinya penurunan partisipasi dan
perhatian siswa-siswa di dalam kelas, para profesor juga kurang banyak menanyakan
pendapat dari mahasiswanya.
7
3. Angin
Udara sendiri tersusun oleh berbagai macam unsur. Mulai dari seberapa banyak
uap air yang terkandung dalam udara yang biasa kita sebut sebagai kelembaban, hingga
kandungan ion-ion dalam udara. Selain itu ada juga tekanan udara. Semua ini memiliki
pengaruh masing-masing terhadap perilaku kita.
Komposisi dan keadaan udara ini sendiri tentunya memiliki pengaruh terhadap
perilaku kerja (Gifford, 1987). Angin misalnya memiliki pengaruh langsung dalam
kehidupan kita. Teknologi kita banyak menggunakan angin dalam aktivitasnya
misalnya untuk melaut, pembangkit listrik, penerbangan, dsb. Efek yang secara
langsung dapat kita lihat adalah manusia cenderung enggan melaut atau terbang apabila
kondisi angin sedang tidak bersahabat.
Angin yang kencang dapat menurunkan kondisi afektif seseorang dan performa kerja
(Veitch & Arkkelin, 1995). Misalnya dalam olahraga voli atau tenis. Tentu orang akan
cenderung enggan melakukan aktivitas tersebut dalam kondisi cuaca yang berangin
karena angin dapat berpengaruh dalam permainan mereka.
Selain angin, tekanan udara juga memiliki pengaruh tersendiri terhadap diri kita.
Sebuah penelitian di Jepang menyebutkan bahwa individu cenderung lebih mudah lupa
pada hari yang memiliki tekanan udara yang rendah (Proshansky, Ittelson, & Rivlin,
1970).
Kelembaban juga memiliki pengaruh yang berbeda terhadap psikologis manusia
dalam hal ini justifikasi. Angin kering (kelambaban udara yang rendah) berpengaruh
pada rational judgement yang negatif terhadap seseorang (Veitch & Arkkelin, 1995).
Sehingga jika seseorang berkenalan dengan orang asing pada kondisi tersebut, orang
tersebut akan cenderung dinilai negatif dibanding ketika berkenalan dalam kondisi
kelembaban yang tinggi.
Komposisi udara lain yang turut berpengaruh pada perilaku manusia adalah
konsentrasi ion. Konsetrasi ion positif dapat meningkatkan depresi, insomnia, dan
migraine. Orang yang berada dalam kondisi ion positif cenderung memiliki mood yang
buruk dan berperilaku aneh (Veitch & Arkkelin, 1995).
Lain halnya dengan individu yang banyak menghirup ion negatif cenderung dapat
meningkatkan fungsi kognitif, kapasitas kerja, dan efisiensi dalam bekerja. Konsep
yang sama yang diadopsi dalam minuman-minuman isotonik yang mengandung
banyak ion negatif. Tujuannya adalah meningkatkan konsentrasi dan semangat dalam
8
beraktivitas.
Warna Merah : warna merah merupakan warna yang dominan, warna merah dapat
menaikan denyut jantung, laju pernafasan, dan dapat meningkatkan agresivitas,
memicu emosi, serta dapat bersifat menekan serta sering diasosiasikan dengan
darah, merah, berani, bahaya, dan kebahagiaan.
9
Warna Biru : warna biru memiliki karakteristik sejuk , pasif. melambangkan
ketenangan, dapat memberikan rasa damai dan tenang. Dan dapat juga memberikan
kesan dingin dan tidak bersahabat, atau bahkan dapat menyebabkan depresi.
Warna Kuning : warna kuning memiliki kesan ceria dapat meningkatkan rasa
percaya diri, dan memberikan kesan bersahabat.
Warna Hijau : memiliki karakter yang hampir sama dengan warna biru,warna hijau
juga memberi kesan tenang dan damai relative lebih netral dibandingkan warna lain.
Karena merupakan warna alam dapat membuat perasaan menjadi rileks.
Warna Putih : Warna putih memberi kesan suci, bersih, steril, dan netral dan
memiliki karakter yang positif dan sederhana.
Warna Hitam : Warna hitam dapat membuat takut, depresi sedih, murung, dan juga
menekan. Selain daripada itu warna hitam juga dapat memberi kesan positif yakni
sifat formal , tegas dan kukuh serta kuat.
Warna Ungu : memberikan kesan mewah, spiritual, dapat juga meningkatkan
percaya diri.
13
kepadatan dan perilaku prososial di daerah perkotaan dan pedesaan telah banyak
dilakukan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Milgram (1970) ditemukan bahwa
orang yang tinggal di kota sedikit dalam memberikan bantuan dan informasi bagi orang
yang tidak dikenal daripada orang yang tinggal di daerah pedesaan. Begitu pula dalam
mengizinkan untuk menggunakan telepon bagi orang lain yang memerlukan (Fisher,
1984).
Adapun proses tersebut dapat menunjukkan bahwa kepadatan mempunyai
hubungan terhadap perilaku prososial seseorang. Hal ini dapat dijelaskan oleh teori
stimulus overload dari Milgram (dalam Wrightsman & Deaux, 1984). Dalam teori ini
menjelaskan bahwa kondisi kota yang padat yang dipengaruhi oleh bermacam-macam
faktor seperti perbedaan individu, situasi dan kondisi sosial kota mengakibatkan
individu mengalami stimulus overload (stimulus yang berlebihan), sehingga individu
harus melakukan adaptasi dengan cara memilih stimulus-stimulus yang akan diterima,
memberi sedikit perhatian terhadap stimulus yang masuk. Hal ini dilakukan dengan
menarik diri atau mengurangi kontak dengan orang lain, yang akhirnya dapat
mempengaruhi perilaku menolong pada individu.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengaruh Lingkungan (Ambient Environment) merupakan suatu keadaan
penyebab reaksi fisiologis yang dapat mempengaruhi keadaan perilaku manusia.
Dimana terdapat beberapa faktor pengaruh lingkungan yang dapat mempengaruhi
perilaku, yaitu : suhu, polusi udara, angin, warna dan kebisingan.
Suhu dan polusi udara dapat mempengaruhi perilaku dimana suhu yang paling
nyaman pada sebuah ruang adalah kurang lebih 25 derajat Celcius. Namun jika suhu
berubah menjadi di atas 25 derajat Celcius maka suhu tubuh juga akan meningkat dan
aliran darah membesar sehingga darah menjadi lebih dingin dan mengalir ke
permukaan kulit, kulit menjadi berwarna merah muda dan berkeringat serta detak
jantung meningkat. Dalam keadaan seperti ini menyebabkan manusia lebih mudah
emosi dan meledak-ledak sehingga dapat menurunkan kualitas kerja individu.
Faktor kebisingan dapat menjadi penyebab yang dapat mempengaruhi perilaku
dikarenakan oleh kebisingan yang diterima dengan intensitas yang tinggi dalam jangka
waktu yang lama dapat meningkatkan tekanan darah, emosi, mengganggu konsentarsi,
dan merusak pendengaran sehingga dapat menimbulkan terjadinya gangguan
psikologi dan stress.
Angin dan keadaan udara memiliki pengaruh terhadap perilaku kerja dimana
dalam komposisi udara terdapat konsetrasi ion positif yang dapat meningkatkan
depresi, insomnia, dan migraine. Orang yang berada dalam kondisi ion positif
cenderung memiliki mood yang buruk dan berperilaku aneh. Sedangkan individu yang
banyak menghirup ion negatif cenderung dapat meningkatkan fungsi kognitif,
kapasitas kerja, dan efisiensi dalam bekerja.
Dari faktor-faktor teresebut dapat disimpulkan bahwa lingkungan merupakan
salah satu aspek yang penting yang dapat mempengaruhi perilaku dan kualitas kerja
individu
15
3.2 Saran
Sebagai seorang arsitek, dalam merancang sebuah bangunan perlu memahami
dan memperhatikan faktor-faktor penting seperti pengaruh dari lingkungan dan
pengaruh stresss terhadap perilaku sehingga mampu untuk menganalisis dengan tepat
output yang terjadi dari faktor-faktor tersebut. Ketidaktepatan dalam menganalisis
output dapat mempengaruhi perilaku yang tidak nyaman, sehingga faktor-faktor dari
ambient environment sangat penting untuk dipertimbangkan dalam merancang.
16
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER INTERNET
1. http://www.kompasiana.com/hadi_santa/pengaruh-kebisingan-temperatur-dan-
pencahayaan-terhadap-performa-kerja_550081c7813311791bfa78ae (diakses tanggal
27 September 2017 pukul 15.00)
2. http://aditindi.blogspot.co.id/2011/02/kebisingan-mempengaruhi-perilaku.html
(diakses tanggal 27 September 2017 pukul 15.00)
3. http://berpikirberbeda.blogspot.co.id/2011/03/cuaca-iklim-dan-perubahan-
perilaku.html (diakses tanggal 27 September 2017 pukul 15.00)
4. Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok : Universitas
Gunadarma. (diakses melalui
https://devianggraeni90.wordpress.com/2011/05/10/definisi-stres-keterkaitan-antara-
stres-dengan-lingkungan-dan-pengaruh-stres-terhadap-perilaku-individu-dalam-
lingkungan/ diakses tanggal 27 September 2017 pukul 15.00)
5. Gifford, R. 1987. Environnmental Psychology: Principle and Practice. Boston: Allyn
& Beacon. . (diakses melalui http://berpikirberbeda.blogspot.co.id/2011/03/cuaca-
iklim-dan-perubahan-perilaku.html diakses tanggal 28 September 2017 pukul 16.00)
6. Mustaqim, Khusni. 2011. Cuaca, Iklim, dan Perubahan Perilaku. (Tersedia di
http://berpikirberbeda.blogspot.co.id/2011/03/cuaca-iklim-dan-perubahan-perilaku.html
diakses tanggal 28 September 2017 pukul 16.00)
7. Retno Ninggalih. 2014. Suhu, Lingkungan, dan Perilaku Manusia. (Tersedia di
http://majalah1000guru.net/2014/02/suhu-lingkungan-perilaku-manusia/ diakses
tanggal 28 September 2017 pukul 16.00)
17
M.K. ARSITEKTUR DAN PRILAKU
AMBIENT ENVIRONMENT
Mahasiswa:
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
2017