Potret Industri Pakan Nasional (Mitra) Final PDF
Potret Industri Pakan Nasional (Mitra) Final PDF
Peternakan unggas termasuk salah satu sektor yang relatif tahan terhadap imbas krisis
global yang mendera sejak dua tahun lalu. Hal ini bisa terjadi karena karakteristik pasar dari
industri ini merupakan turunan/derivatif dari kebutuhan pokok masyarakat. Kehandalan
industri peternakan itu sendiri secara langsung mempengaruhi perkembangan industi
pendukungnya, yaitu indutri pakan ternak. Tulisan ini akan melihat bagaimana
perkembangan industri pakan ternak, hal-hal yang menarik dari industri tersebut serta
bagaimana prospek ke depannya.
Di tengah tekanan yang mendera berbagai sektor di dalam negeri sejak tahun 2008,
sektor peternakan Indonesia ternyata tetap mampu bertahan. Ketika terjadi imbas krisis
global tersebut, masyarakat Indonesia menggeser minatnya pada produk peternakan
dengan melakukan subtitusi dari konsumsi daging ruminansia (hewan pemamah biak)
terutama daging sapi ke produk unggas. Produk unggas dinilai lebih mampu bertahan di
tengah krisis karena merupakan sumber protein hewani dengan harga yang relatif murah.
Oleh karena itu, tidak heran jika peternakan unggas menjadi salah satu sumber daya penting
yang berpotensi sebagai penggerak utama perekonomian nasional yang berbasis sumber
daya lokal.
1
Praktisi Perbankan
penting dalam usaha ternak selain bibit. Di samping itu jika dilihat dari segi finansial, pakan
merupakan faktor yang memiliki peranan paling besar dalam hal biaya produksi
dibandingkan dengan faktor lainnya, yang mencapai 60-70%.
Pakan ternak merupakan salah satu komoditi penting yang digolongkan dalam
subsistem agribisnis hulu. Pakan merupakan faktor yang berperan penting dalam
peningkatan kualitas budidaya yang berimplikasi pada peningkatan profitabilitas usaha
ternak. Ketersediaan pakan yang berkualitas dan murah menjadi prasyarat bagi tumbuhnya
industri peternakan yang baik.
Hingga kini industri peternakan di dalam negeri masih didominasi oleh investor asing
besar, seperti Charoen Pokphand, Japfa Comfeed, Sierad Produce dan Cheil Jedang Feed.
Produsen berskala besar tersebut umumnya terintegrasi dengan industri pakan ternak dan
pengolahan produk ternak yang tersebar di lima belas provinsi Indonesia.
Hingga saat ini, sebaran industri pakan ternak di Indonesia masih terfokus di Jawa
Timur dengan share sebesar 35.2%. Lingkup agribisnis Jawa Timur memang cukup kuat
dengan dukungan 15 pabrik besar pakan ternak, 52 industri rumahan pakan ternak, 4 pabrik
pengolah susu, 201 pasar hewan, 99 TPA (Tempat Pemotongan Ayam), 8 RPA (Rumah
Pemotongan Ayam-Kelas A), 1 RPH-A (Rumah Pemotongan Hewan-Kelas A), 33 RPH-C dan
Dari 81 perusahaan pakan yang saat ini ada di Indonesia, PT. Charoen Pokphand
Indonesia (CPI) adalah pemain utama dalam industri ini dengan market share sebanyak
31,2% dari total industri pakan Indonesia dengan fokus bisnis pada pakan ayam dan ikan. Hal
ini dikarenakan CPI adalah perusahaan pakan asing yang paling awal memasuki industri
pakan Indonesia dengan struktur permodalan yang kuat yang ditopang oleh grup besarnya
di Thailand dengan office area di seluruh dunia. Tetapi market share ini semakin tahun
semakin tergerus direbut para pemain lainya seperti Cheil Jedang dan Sierad dengan
ekspansi kapasitas produksi yang signifikan serta penambahan pabrik untuk memperluas
jangkauan pasar.
Sejumlah pemain besar ini telah mengembangkan pola kemitraan dengan menjalin
kerjasama dengan peternakan rakyat. Perusahaan besar tersebut menyiapkan dana awal
untuk membuka usaha peternakan rakyat, produsen memberi fasilitas pemeliharaan dan
Lantas, bagaimana dengan peran para pemain lokal? Dimulai pada tahun 2007 lalu,
para pemain lokal dengan arahan Pemerintah (melalui Departemen Pertanian) telah
mengembangkan pabrik pakan ternak skala kecil "mini feed mill" yang tersebar di 38 lokasi
dan telah mulai beroperasi pada tahun 2009. Hal ini dilakukan guna mendukung usaha
peternakan yang rawan terhadap lonjakan harga pakan akibat tingginya ketergantungan
bahan baku impor yang sekitar 70%, baik pakan, obat, dan teknologi lainnya. Mini feed mill
tersebut memiliki kapasitas produksi sekitar 3-5 ton per hari dan memerlukan investasi
sebesar Rp 250 juta per unit. Pengolahan pakan pada mini feed mill dikelola oleh gabungan
kelompok tani (gapoktan). Sedangkan, pemenuhan bahan baku diambil dari jagung petani
yang belum terserap oleh industri nasional. Hal itu terkait dengan lokasi perkebunan yang
jauh dari industri pakan yang sebagian besar berada di Jawa. Keberadaan mini feed mill ini
cukup mendukung pemenuhan kebutuhan pakan unggas lokal.
Produksi pakan ternak nasional hingga saat ini baru mampu mencapai angka 8 juta
ton setiap tahunnya. Angka ini bukanlah angka maksimum yang dapat dicapai oleh industri
pakan Indonesia karena kapasitas total produksi pakan nasional sebenarnya mencapai angka
14 juta ton per tahun. Dengan demikian tingkat utilisasi baru mencapai 57% dari kapasitas
total produksi nasional. Hal ini memang dapat dipahami jika dilihat dari beberapa kendala
produksi pakan seperti keterbatasan bahan baku lokal, jumlah permintaan pakan, isu dan
bencana penyakit yang ada dalam industri ini, sehingga saat ini industri pakan Indonesia
baru berani untuk menyuplai sekitar 75% dari total kebutuhan pakan nasional.
Sepanjang lima tahun terakhir ini angka produksi pakan di Indonesia menunjukan
pertumbuhan yang cukup baik walaupun masih berada di bawah 10%. Rata-rata
pertumbuhan produksi pakan masih sekitar 7% dengan porsi terbesar ditujukan untuk
konsumsi peternakan unggas. Angka pertumbuhan pada tahun 2007 sampai 2009 memang
tidak menunjukan angka pertumbuhan sebaik 2005 dan 2006. Total produksi pakan ternak
nasional merosot menjadi 7,7 juta ton pada 2007 dibanding tahun sebelumnya yang
mencapai 9,9 juta ton. Pada tahun 2007 tersebut, subsektor peternakan diterpa badai yang
dahsyat karena berbagai persoalan seperti flu burung (Avian Influenza/AI), anthrax dan
terus meningkatnya harga-harga jagung dan kedelai yang menjadi bahan baku pakan di
pasar internasional.
Juta Ton
Faktor penentu dalam peningkatan konsumsi pakan ternak adalah jumlah produksi
ternak, lebih tepatnya produksi ternak unggas karena 83% produksi pakan dikonsumsi oleh
peternakan unggas. Produksi unggas nasional yang pada tahun ini mencapai lebih dari 1
milyar ekor bibit ayam diperkirakan akan sedikit mendongkrak angka konsumsi pakan
nasional menjadi 10 juta ton. Angka ini dapat dipastikan akan terlampaui, jika melihat
perkembangan jumlah produksi unggas nasional yang setiap tahunya selalu meningkat
selaras dengan peningkatan usaha sektor terkait dengan rata-rata sekitar 7%.
Juta Ton
Peran pakan sebagai input terbesar dalam peternakan unggas nasional menuntut
ketersediaan bahan baku pakan yang memadai baik dari segi kualitas, kuantitas, delivery dan
kontinuitasnya. Sayangnya, komponen pakan masih sangat bergantung pada impor,
terutama sumber protein (kedelai, tepung ikan dan meat bone meal) dan jagung. Jagung
memiliki posisi tertinggi pada komposisi pakan unggas dengan porsi sekitar 50-70%. Hal ini
didukung oleh jumlah industri pakan ternak yang memanfaatkan jagung sebagai bahan baku
sebanyak 67 perusahaan dengan kapasitas terpasang sebesar 12 juta ton per tahun. Dalam
20 tahun ke depan, penggunaan jagung untuk pakan kemungkinan akan terus meningkat dan
sangat mungkin akan berpengaruh kepada peningkatan harga pakan secara nasional.
Harga pakan ternak dalam tiga tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup
signifikan, terutama pada akhir tahun 2009. Sejak tahun 2007, harga pakan ternak
meningkat menyusul peningkatan harga jagung dunia. Di awal 2008 harga pakan ternak
telah melonjak 31-34%, dibanding posisi akhir tahun 2007 yang juga disebabkan kenaikan
harga sejumlah komoditas pangan seperti kedelai dan jagung di pasar internasional yang
tinggi dan semakin tinggi pada tahun 2009 dengan perkiraan peningkatan sekitar 30-35%.
Meskipun industri pakan ternak ini memiliki peranan yang cukup besar terhadap
perekonomian nasional, namun tidak dapat dielakkan bahwa industri ini sering mengalami
permasalahan yang menghambat perkembanganya baik secara mikro maupun makro,
diantaranya pertama, bahan baku yang masih mengandalkan pada impor sekitar 70-80%,
sehingga biaya produksi masih sangat tinggi. Hampir semua bahan baku pakan ternak harus
diimpor kecuali dedak dan CPO (Crude Palm Oil), sehingga jika terjadi lonjakan harga bahan
baku di pasar global atau penurunan nilai tukar rupiah akan langsung berdampak negatif
pada kenaikan harga pakan ternak.
Kedua, ketersediaan bahan baku baik jumlah dan kontinuitasnya. Permasalahan ini
sering kali muncul bersamaan dengan permasalahan pertama. Ketika bahan baku utama
dalam suatu formulasi pakan (jagung dan bungkil kedelai) harus tergantung pada
ketersediaan di pasar internasional, hal ini tidak serta merta menjamin jumlah dan
keberlangsungan atas bahan baku tersebut sehingga mampu menyuplai kebutuhan nasional.
Hal ini selalu terjadi setiap tahunnya dan sangat mengganggu kegiatan produksi terlebih lagi
jumlah kebutuhan bahan baku utama tersebut tidak mampu disokong oleh pasokan dalam
negeri. Inilah penyebab utama belum optimalnya kapasitas produksi pakan ternak di
Indonesia.
Kelima, harga BBM yang setiap tahun cenderung mengalami kenaikan, hal ini terkait
persaingan fibre-feed-fuel atau dilema penggunaan komoditas pertanian antara kebutuhan
untuk bioenergi, sumber makanan (pangan) dan pakan. Dengan semakin mahalnya harga
BBM (biaya energi) industri ini perlu melakukan konversi dari BBM ke batubara atau bahkan
gas. Beberapa produsen telah sedikit demi sedikit melakukan hal ini sejak tahun 2008 dan
diharapkan akan dapat menekan biaya energi hingga 40%. Dalam jangka panjang, industri ini
perlu untuk melakukan inovasi dengan mensubstitusi bahan baku impor dengan bahan baku
lokal seperti bungkil kedelai yang ternyata dapat diganti dengan bungkil inti sawit untuk
pakan unggas. Selain itu, juga dapat menggantinya dengan lumpur sawit untuk pakan
ruminansia.
Bisnis peternakan ke depan diyakini memiliki potensi besar sekaligus prospek yang
cerah. Hal ini didukung dengan kemunculan beberapa fenomena-fenomena sumber
pertumbuhan di bidang bisnis peternakan, yaitu fenomena Revolusi Peternakan dan Revolusi
Putih. Revolusi peternakan ditandai dengan peningkatan konsumsi daging per kapita seiring
dengan kenaikan pendapatan dan Revolusi putih yaitu suatu upaya sistematis untuk
meningkatkan konsumsi susu dalam negeri yang diharapkan dapat mempercepat laju bisnis
peternakan.