Anda di halaman 1dari 10

PROSPEK INDUSTRI PAKAN NASIONAL

Oleh: Mitra Destiana 1

Peternakan unggas termasuk salah satu sektor yang relatif tahan terhadap imbas krisis
global yang mendera sejak dua tahun lalu. Hal ini bisa terjadi karena karakteristik pasar dari
industri ini merupakan turunan/derivatif dari kebutuhan pokok masyarakat. Kehandalan
industri peternakan itu sendiri secara langsung mempengaruhi perkembangan industi
pendukungnya, yaitu indutri pakan ternak. Tulisan ini akan melihat bagaimana
perkembangan industri pakan ternak, hal-hal yang menarik dari industri tersebut serta
bagaimana prospek ke depannya.

Overview Industri Pakan Ternak

Di tengah tekanan yang mendera berbagai sektor di dalam negeri sejak tahun 2008,
sektor peternakan Indonesia ternyata tetap mampu bertahan. Ketika terjadi imbas krisis
global tersebut, masyarakat Indonesia menggeser minatnya pada produk peternakan
dengan melakukan subtitusi dari konsumsi daging ruminansia (hewan pemamah biak)
terutama daging sapi ke produk unggas. Produk unggas dinilai lebih mampu bertahan di
tengah krisis karena merupakan sumber protein hewani dengan harga yang relatif murah.
Oleh karena itu, tidak heran jika peternakan unggas menjadi salah satu sumber daya penting
yang berpotensi sebagai penggerak utama perekonomian nasional yang berbasis sumber
daya lokal.

Secara makro, sektor peternakan mampu berkontribusi cukup besar terhadap


pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), ketahanan pangan, peningkatan rata-rata
pendapatan penduduk nasional dan penciptaan lapangan kerja. Sebagai gambaran, saat ini
pembangunan peternakan memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar Rp 86 triliun dan
melibatkan 4 juta rumah tangga peternak. Oleh karena itu tidak mengherankan jika sektor
peternakan diharapkan sebagai sektor pertumbuhan baru, baik dalam bidang pertanian
maupun ekonomi nasional.

Untuk mendukung tercapainya cita-cita dan harapan atas sektor peternakan


tersebut, dituntut ketersedian industri sarana produksi ternak (sapronak) yang berjalan dan
tumbuh beriringan dengan industri yang menyerap hasil produksinya seperti industri
peternakan unggas. Tidak ada peran strategis lainnya yang mampu memajukan industri

1
Praktisi Perbankan

Economic Review ● No.219 ● Maret 2010 1


perunggasan secara signifikan selain industri pakan ternak. Bagaimana tidak, industri pakan
berfungsi sebagai penyedia input terbesar dalam budi daya ternak dan merupakan aspek

penting dalam usaha ternak selain bibit. Di samping itu jika dilihat dari segi finansial, pakan
merupakan faktor yang memiliki peranan paling besar dalam hal biaya produksi
dibandingkan dengan faktor lainnya, yang mencapai 60-70%.

Pakan ternak merupakan salah satu komoditi penting yang digolongkan dalam
subsistem agribisnis hulu. Pakan merupakan faktor yang berperan penting dalam
peningkatan kualitas budidaya yang berimplikasi pada peningkatan profitabilitas usaha
ternak. Ketersediaan pakan yang berkualitas dan murah menjadi prasyarat bagi tumbuhnya
industri peternakan yang baik.

Pemain Industri Pakan Ternak

Hingga kini industri peternakan di dalam negeri masih didominasi oleh investor asing
besar, seperti Charoen Pokphand, Japfa Comfeed, Sierad Produce dan Cheil Jedang Feed.
Produsen berskala besar tersebut umumnya terintegrasi dengan industri pakan ternak dan
pengolahan produk ternak yang tersebar di lima belas provinsi Indonesia.

TABEL 1. INDUSTRI PAKAN TERNAK MENURUT PROPINSI

Jumlah Produksi Kapasitas Produksi


Propinsi Share
Pabrik (juta ton) (juta ton)
Jawa Timur 15 2.71 35.2% 3.64
Banten 10 2.00 25.9% 2.71
Jawa Barat 4 0.94 12.2% 1.11
Sumatera Utara 8 0.93 12.1% 1.33
Jawa Tengah 3 0.48 6.2% 1.12
DKI Jakarta 4 0.27 3.4% 0.60
Lampung 4 0.25 3.3% 0.66
Sulawesi Selatan 2 0.13 1.6% 0.14
Total 50 7.70 100% 11.30
Sumber: Indonesia Commercial Newsletter, 2009

Hingga saat ini, sebaran industri pakan ternak di Indonesia masih terfokus di Jawa
Timur dengan share sebesar 35.2%. Lingkup agribisnis Jawa Timur memang cukup kuat
dengan dukungan 15 pabrik besar pakan ternak, 52 industri rumahan pakan ternak, 4 pabrik
pengolah susu, 201 pasar hewan, 99 TPA (Tempat Pemotongan Ayam), 8 RPA (Rumah
Pemotongan Ayam-Kelas A), 1 RPH-A (Rumah Pemotongan Hewan-Kelas A), 33 RPH-C dan

Economic Review ● No.219 ● Maret 2010 2


49 RPH-D. Diikuti oleh propinsi Banten yang menjadi daerah dengan share hampir mencapai
26% serta menghasilkan produksi pakan 2 juta ton setiap tahunnya. Jawa Barat dengan
share 12,2% (total produksi pakan 0,94 ton/tahun) turut serta menjadi daerah sentra
peternakan dengan dukungan jumlah produksi pembibit ayam ras pedaging final stock
(ayam siap jual) mencapai 429,6 juta ekor pada tahun 2009.  Sedangkan untuk wilayah luar
pulau Jawa, industri ini banyak terdapat di wilayah Sumatera Utara dengan share produksi
12,1%.

Tabel 2. PEMAIN INDUSTRI PAKAN TERNAK TERBESAR DI INDONESIA

Kapasitas Produksi Market


Nama Perusahaan Lokasi Jenis Produksi
(Juta Ton/Tahun) Share
Charoen Pokphand Mojokerto, Medan Pakan Udang dan Ikan 4.00 31.2%
Japfa Comfeed Lampung, Cirebon Pakan Ayam & Ternak 1.73 13.5%
Cheil Jedang
1.00 7.8%
Superfeed Serang, Jombang Pakan Ayam
Sierad Produce Sidoarjo, Tangerang Pakan Ayam & Ternak 0.48 3.7%
Central Proteina Medan, Semarang,
0.48 3.7%
Prima Surabaya Pakan Udang & Ternak
Bogor, Malang,
0.44 3.5%
Cargill Indonesia Makassar Pakan Ayam & Ternak
Gold Coin Medan, Bekasi,
0.40 3.2%
Indonesia Surabaya Pakan Sapi & Ternak
Lainya     4.28 33.4%

Total     12.81 100%


Sumber: Indonesia Commercial Newsletter, 2009

Dari 81 perusahaan pakan yang saat ini ada di Indonesia, PT. Charoen Pokphand
Indonesia (CPI) adalah pemain utama dalam industri ini dengan market share sebanyak
31,2% dari total industri pakan Indonesia dengan fokus bisnis pada pakan ayam dan ikan. Hal
ini dikarenakan CPI adalah perusahaan pakan asing yang paling awal memasuki industri
pakan Indonesia dengan struktur permodalan yang kuat yang ditopang oleh grup besarnya
di Thailand dengan office area di seluruh dunia. Tetapi market share ini semakin tahun
semakin tergerus direbut para pemain lainya seperti Cheil Jedang dan Sierad dengan
ekspansi kapasitas produksi yang signifikan serta penambahan pabrik untuk memperluas
jangkauan pasar.

Sejumlah pemain besar ini telah mengembangkan pola kemitraan dengan menjalin
kerjasama dengan peternakan rakyat. Perusahaan besar tersebut menyiapkan dana awal
untuk membuka usaha peternakan rakyat, produsen memberi fasilitas pemeliharaan dan

Economic Review ● No.219 ● Maret 2010 3


sapronak seperti bibit DOC (Dayold Chick/anak ayam umur sehari), pakan, obatan-obatan
dan vitamin. Sedangkan tugas peternak hanyalah mengusahakan agar DOC tetap sehat dan
panen tepat waktu.

Lantas, bagaimana dengan peran para pemain lokal? Dimulai pada tahun 2007 lalu,
para pemain lokal dengan arahan Pemerintah (melalui Departemen Pertanian) telah
mengembangkan pabrik pakan ternak skala kecil "mini feed mill" yang tersebar di 38 lokasi
dan telah mulai beroperasi pada tahun 2009. Hal ini dilakukan guna mendukung usaha
peternakan yang rawan terhadap lonjakan harga pakan akibat tingginya ketergantungan
bahan baku impor yang sekitar 70%, baik pakan, obat, dan teknologi lainnya. Mini feed mill
tersebut memiliki kapasitas produksi sekitar 3-5 ton per hari dan memerlukan investasi
sebesar Rp 250 juta per unit. Pengolahan pakan pada mini feed mill dikelola oleh gabungan
kelompok tani (gapoktan). Sedangkan, pemenuhan bahan baku diambil dari jagung petani
yang belum terserap oleh industri nasional. Hal itu terkait dengan lokasi perkebunan yang
jauh dari industri pakan yang sebagian besar berada di Jawa. Keberadaan mini feed mill ini
cukup mendukung pemenuhan kebutuhan pakan unggas lokal.

Produksi Pakan Ternak

Kebutuhan pakan terus meningkat seiring dengan peningkatan permintaan terhadap


produk-produk peternakan, khususnya komoditas unggas (daging ayam dan telur). Hal ini
pun terjadi selaras dengan pertambahan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan
perkapita dan peningkatan kesadaran akan gizi seimbang.

Produksi pakan ternak nasional hingga saat ini baru mampu mencapai angka 8 juta
ton setiap tahunnya. Angka ini bukanlah angka maksimum yang dapat dicapai oleh industri
pakan Indonesia karena kapasitas total produksi pakan nasional sebenarnya mencapai angka
14 juta ton per tahun. Dengan demikian tingkat utilisasi baru mencapai 57% dari kapasitas
total produksi nasional. Hal ini memang dapat dipahami jika dilihat dari beberapa kendala
produksi pakan seperti keterbatasan bahan baku lokal, jumlah permintaan pakan, isu dan
bencana penyakit yang ada dalam industri ini, sehingga saat ini industri pakan Indonesia
baru berani untuk menyuplai sekitar 75% dari total kebutuhan pakan nasional.

Pemasaran industri pakan ternak ditujukan untuk memenuhi permintaan atas


beberapa peternakan yang berkembang di dalam negeri yaitu unggas, ruminansia, babi,
aquaculture (budidaya hewan-tanaman air baik air tawar maupun air laut) dan jenis
peternakan lainya. Lebih kurang 83% industri ini diserap oleh peternakan unggas.

Economic Review ● No.219 ● Maret 2010 4


Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan, 2010

Sepanjang lima tahun terakhir ini angka produksi pakan di Indonesia menunjukan
pertumbuhan yang cukup baik walaupun masih berada di bawah 10%. Rata-rata
pertumbuhan produksi pakan masih sekitar 7% dengan porsi terbesar ditujukan untuk
konsumsi peternakan unggas. Angka pertumbuhan pada tahun 2007 sampai 2009 memang
tidak menunjukan angka pertumbuhan sebaik 2005 dan 2006. Total produksi pakan ternak
nasional merosot menjadi 7,7 juta ton pada 2007 dibanding tahun sebelumnya yang
mencapai 9,9 juta ton. Pada tahun 2007 tersebut, subsektor peternakan diterpa badai yang
dahsyat karena berbagai persoalan seperti flu burung (Avian Influenza/AI), anthrax dan
terus meningkatnya harga-harga jagung dan kedelai yang menjadi bahan baku pakan di
pasar internasional.

Juta Ton 

Sumber: Indonesia Commercial Newslettler, 2009


* Data hingga Agustus 2009

Economic Review ● No.219 ● Maret 2010 5


Saat itu masyarakat khawatir untuk mengkonsumsi ayam dan produk turunannya. Hal
tersebut berimbas langsung pada angka konsumsi ayam dan produk turunannya yang
merosot tajam hingga 50%-60%.  Industri peternakan saat itu menderita kerugian yang
cukup signifikan, begitu juga dengan industri pakan ternak. Bencana tersebut
mengakibatkan permintaan terhadap pakan ternak menurun hingga 22% dibandingkan
tahun sebelumnya dan juga menyebabkan kapasitas industri mengalami penurunan akibat
banyaknya perusahaan yang gulung tikar. Namun dengan semakin berjalannya program-
program pemerintah dalam mengentaskan bencana ini, kapasitas produksi tahun 2008 dan
2009 mulai membaik yang ditunjukan dengan peningkatan produksi sekitar 2% mencapai
8,8 juta ton. Kapasitas produksi pakan ternak domestik di tahun 2010 diperkirakan akan
mengalami peningkatan, menyusul akan dibukanya tiga perusahaan pakan di tahun ini. Dua
dari tiga pabrik tersebut berasal dari China dan lainnya dari Malaysia.

Konsumsi Pakan Ternak

Faktor penentu dalam peningkatan konsumsi pakan ternak adalah jumlah produksi
ternak, lebih tepatnya produksi ternak unggas karena 83% produksi pakan dikonsumsi oleh
peternakan unggas. Produksi unggas nasional yang pada tahun ini mencapai lebih dari 1
milyar ekor bibit ayam diperkirakan akan sedikit mendongkrak angka konsumsi pakan
nasional menjadi 10 juta ton. Angka ini dapat dipastikan akan terlampaui, jika melihat
perkembangan jumlah produksi unggas nasional yang setiap tahunya selalu meningkat
selaras dengan peningkatan usaha sektor terkait dengan rata-rata sekitar 7%.

Juta Ton 

Sumber: Poultry Indonesia, 2010

Economic Review ● No.219 ● Maret 2010 6


Bergerak landai dari tahun 2006, pertumbuhan konsumsi pakan ternak hanya
meningkat 1% pada tahun berikutnya. Peningkatan mulai terjadi pada tahun 2007 dan
bergerak naik perlahan-lahan hingga konsumsi pakan ternak mencapai angka 8.4 juta ton
pada tahun 2009. Distribusi konsumsi pakan ternak didominasi oleh ayam broiler dan layer
sebanyak 72% dan sisanya ayam breeder (11%), aquaculture (11%) dan lain-lain termasuk
sapi, kambing, domba mencapai 6%.

Peran pakan sebagai input terbesar dalam peternakan unggas nasional menuntut
ketersediaan bahan baku pakan yang memadai baik dari segi kualitas, kuantitas, delivery dan
kontinuitasnya. Sayangnya, komponen pakan masih sangat bergantung pada impor,
terutama sumber protein (kedelai, tepung ikan dan meat bone meal) dan jagung. Jagung
memiliki posisi tertinggi pada komposisi pakan unggas dengan porsi sekitar 50-70%. Hal ini
didukung oleh jumlah industri pakan ternak yang memanfaatkan jagung sebagai bahan baku
sebanyak 67 perusahaan dengan kapasitas terpasang sebesar 12 juta ton per tahun. Dalam
20 tahun ke depan, penggunaan jagung untuk pakan kemungkinan akan terus meningkat dan
sangat mungkin akan berpengaruh kepada peningkatan harga pakan secara nasional.

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan, 2010

Harga pakan ternak dalam tiga tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup
signifikan, terutama pada akhir tahun 2009. Sejak tahun 2007, harga pakan ternak
meningkat menyusul peningkatan harga jagung dunia. Di awal 2008 harga pakan ternak
telah melonjak 31-34%, dibanding posisi akhir tahun 2007 yang juga disebabkan kenaikan
harga sejumlah komoditas pangan seperti kedelai dan jagung di pasar internasional yang
tinggi dan semakin tinggi pada tahun 2009 dengan perkiraan peningkatan sekitar 30-35%.

Economic Review ● No.219 ● Maret 2010 7


Struktur pasar yang tidak sempurna pada industri pakan ternak ini memang cukup
membuat para pemain dalam industri ini gelisah. Harga pakan tidak ditentukan sepenuhnya
oleh keseimbangan permintaan dan penawaran pasar tetapi sangat tergantung atas
kecukupan pemenuhan bahan baku. Oleh karenanya, harga pakan akan cenderung semakin
meningkat jika tidak ada peningkatan produksi bahan baku domestik secara signifikan.

Kendala dalam Industri Pakan Ternak

Meskipun industri pakan ternak ini memiliki peranan yang cukup besar terhadap
perekonomian nasional, namun tidak dapat dielakkan bahwa industri ini sering mengalami
permasalahan yang menghambat perkembanganya baik secara mikro maupun makro,
diantaranya pertama, bahan baku yang masih mengandalkan pada impor sekitar 70-80%,
sehingga biaya produksi masih sangat tinggi. Hampir semua bahan baku pakan ternak harus
diimpor kecuali dedak dan CPO (Crude Palm Oil), sehingga jika terjadi lonjakan harga bahan
baku di pasar global atau penurunan nilai tukar rupiah akan langsung berdampak negatif
pada kenaikan harga pakan ternak.

Kedua, ketersediaan bahan baku baik jumlah dan kontinuitasnya. Permasalahan ini
sering kali muncul bersamaan dengan permasalahan pertama. Ketika bahan baku utama
dalam suatu formulasi pakan (jagung dan bungkil kedelai) harus tergantung pada
ketersediaan di pasar internasional, hal ini tidak serta merta menjamin jumlah dan
keberlangsungan atas bahan baku tersebut sehingga mampu menyuplai kebutuhan nasional.
Hal ini selalu terjadi setiap tahunnya dan sangat mengganggu kegiatan produksi terlebih lagi
jumlah kebutuhan bahan baku utama tersebut tidak mampu disokong oleh pasokan dalam
negeri. Inilah penyebab utama belum optimalnya kapasitas produksi pakan ternak di
Indonesia.

Ketiga, penyakit hewan yang mewabah seringkali berdampak langsung terhadap


penggunaan pakan ternak. Sebagai contoh wabah flu burung (AI) yang pertama kali muncul
pada Agustus 2003, secara nyata mempunyai dampak sosial ekonomi yang luas terhadap
industri unggas khususnya peternak kecil yang merupakan customer utama industri pakan
ternak. Bagaimana tidak, dalam masa wabah tersebut sekitar 11 juta ekor ayam telah
dimusnahkan dan sekitar 60% peternak ayam menghentikan usahanya pada tahun 2005-
2007. Dampak AI secara langsung telah menurunkan produksi pakan ternak sebanyak 40%.

Keempat, masih rendahnya struktur permodalan khususnya bantuan dalam


pengembangan potensi para peternak lokal yang notabene sebagai pasar utama industri
pakan. Selama ini subsektor peternakan banyak dibiayai oleh kredit program yang disalurkan
oleh bank pelaksana, namun berdasarkan Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang
Bank Indonesia dan Letter of Intent antara pemerintah Indonesia dengan International

Economic Review ● No.219 ● Maret 2010 8


Monetary Fund (IMF), maka kredit program dengan suku bunga rendah tersebut menjadi
terbatas. Sehingga, kini para peternak dan pengusaha lebih banyak mengandalkan kredit
komersial. Saat ini jenis kredit yang dikeluarkan perbankan untuk pembangunan peternakan
antara lain KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggotanya), KKP (Kredit Ketahanan
Pangan), KUPEDES (Kredit Umum Pedesaan), KUK (Kredit Umum Kecil), Kredit Taskin
Agribisnis, KUM (Kredit Usaha Mikro) dan jenis kredit lainya.

Kelima, harga BBM yang setiap tahun cenderung mengalami kenaikan, hal ini terkait
persaingan fibre-feed-fuel atau dilema penggunaan komoditas pertanian antara kebutuhan
untuk bioenergi, sumber makanan (pangan) dan pakan. Dengan semakin mahalnya harga
BBM (biaya energi) industri ini perlu melakukan konversi dari BBM ke batubara atau bahkan
gas. Beberapa produsen telah sedikit demi sedikit melakukan hal ini sejak tahun 2008 dan
diharapkan akan dapat menekan biaya energi hingga 40%. Dalam jangka panjang, industri ini
perlu untuk melakukan inovasi dengan mensubstitusi bahan baku impor dengan bahan baku
lokal seperti bungkil kedelai yang ternyata dapat diganti dengan bungkil inti sawit untuk
pakan unggas. Selain itu, juga dapat menggantinya dengan lumpur sawit untuk pakan
ruminansia.

Prospek Industri Pakan Ternak

Bisnis peternakan ke depan diyakini memiliki potensi besar sekaligus prospek yang
cerah. Hal ini didukung dengan kemunculan beberapa fenomena-fenomena sumber
pertumbuhan di bidang bisnis peternakan, yaitu fenomena Revolusi Peternakan dan Revolusi
Putih. Revolusi peternakan ditandai dengan peningkatan konsumsi daging per kapita seiring
dengan kenaikan pendapatan dan Revolusi putih yaitu suatu upaya sistematis untuk
meningkatkan konsumsi susu dalam negeri yang diharapkan dapat mempercepat laju bisnis
peternakan.

Kedua fenomena tersebut tentunya menjadi suatu tantangan sekaligus peluang


besar bagi para pemain industri pakan ternak mengingat peran pakan sebagai faktor dasar
dalam berkembangnya industri peternakan terutama perunggasan dengan beberapa
jaminan keberlangsungan bisnis-nya di masa depan. Pertama, jumlah penduduk Indonesia
yang mencapai 234 juta jiwa merupakan konsumen yang sangat besar dan masih akan tetap
tumbuh sekitar 1.4% per tahun. Kedua, karakteristik produk unggas yang dapat diterima
oleh masyarakat Indonesia yang sebagian besar muslim, harga relatif murah dan akses yang
mudah diperoleh karena sudah merupakan barang publik. Ketiga, kondisi geografis dan
sumber daya alam yang mendukung usaha dan industri peternakan. Keempat, meningkatnya
kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang gizi.

Economic Review ● No.219 ● Maret 2010 9


Terlebih lagi dukungan dari Pemerintah yang kini mulai mendalami sektor riil
dibandingkan dengan sektor keuangan (pasar modal) dan moneter termasuk dengan
membangun secara perlahan infrastruktur-infrastruktur didalamnya sehingga lebih menarik
investor. Untuk itu, berdasarkan fakta bahwa Indonesia memiliki keunggulan yang tinggi di
bidang peternakan maka pembangunan peternakan akan menjadi bagian yang sangat
penting dalam upaya mewujudkan pembangunan nasional yang berkualitas dan menjadikan
subsektor ini ditempatkan pada posisi strategis dalam pembangunan nasional Indonesia.

Economic Review ● No.219 ● Maret 2010 10

Anda mungkin juga menyukai