USULAN PENELITIAN
DISUSUN OLEH
YULIANA
E10012216
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2015
i
PRAKATA
Dalam penyusunan Laporan ini, penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai
pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan rasa berterimakasih yang sebesar-
besarnya kepada mereka, kedua orang tua yang telah memberikan dukungan,
moril, dan kepercayaan yang sangat berarti bagi penulis.
Berkat dukungan mereka semua kesuksesan ini dimulai, dan semoga semua ini
bisa memberikan sebuah nilai kebahagiaan dan menjadi bahan tuntunan kearah
yang lebih baik lagi. Penulis tentunya berharap isi makalah ini tidak
meninggalkan celah, berupa kekurangan atau kesalahan, namun kemungkinan
akan selalu tersisa kekurangan yang tidak disadari oleh penulis.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar
makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, penulis mengharapkan agar
proposal ini bermanfaat bagi semua pembaca.
ii
Abstrak
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
Usaha peternakan ayam petelur telah tersebar luas baik sebagai
peternakan rakyat maupun sebagai perusahaan peternakan. Beberapa hal
yang menyebabkan kemajuan tersebut adalah adanya perbaikan teknologi
pengolahan ayam petelur yang berupa: bibit unggul, pakan yang berkualitas,
perkandangan, sanitasi, pengendalian penyakit dan pelaksanaan teknis
pemeliharaan ayam petelur lainnya. Perkembangan usaha peternakan
terutama peternakan ayam petelur mempunyai tujuan untuk memproduksi
telur yang dijual di pasar konsumen untuk memenuhi kebutuhan protein
hewani, selain itu juga bertujuan untuk menghasilkan daging asal ayam
petelur afkir. Tujuan perkembangan usaha peternakan ayam petelur adalah
untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat pada sektor rumah
tangga oleh pihak konsumen. Tujuan yang ingin dicapai oleh pihak
produsen dalam mengusahakan peternakan ayam petelur adalah untuk
mendapatkan keuntungan guna mencukupi kebutuhan hidup dan
meningkatkan usahanya.
2
yang dijalankan, akan tetapi keuntungan yang besar tidak menjamin bahwa
usaha ayam petelur tersebut sudah dikatakan berhasil, sehingga perlu untuk
dianalisa lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang menyebabkan ketidak-
berhasilan suatu usaha peternakan, baik berasal dari biaya produksi yang
dikeluarkan maupun dari hutang perusahaan. Besar kecilnya keuntungan yang
diperoleh dapat dijadikan salah satu tingkat efisiensi suatu usaha
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menginjak awal tahun 1900-an, ayam liar itu tetap pada tempatnya
akrab dengan pola kehidupan masyarakat dipedesaan. Memasuki periode
1940-an, orang mulai mengenal ayam lain selain ayam liar itu. Dari sini,
orang mulai membedakan antara ayam orang Belanda (Bangsa Belanda saat
itu menjajah Indonesia) dengan ayam liar di Indonesia. Ayam liar ini
kemudian dinamakan ayam lokal yang kemudian disebut ayam kampung
karena keberadaan ayam itu memang di pedesaan. Sementara ayam orang
Belanda disebut dengan ayam luar negeri yang kemudian lebih akrab
dengan sebutan ayam negeri (kala itu masih merupakan ayam negeri galur
murni). Ayam semacam ini masih bisa dijumpai di tahun 1950-an yang
dipelihara oleh beberapa orang penggemar ayam. Hingga akhir periode
4
1980-an, orang Indonesia tidak banyak mengenal klasifikasi ayam. Ketika
itu, sifat ayam dianggap seperti ayam kampung saja, bila telurnya enak
dimakan maka dagingnya juga enak dimakan. Namun, pendapat itu ternyata
tidak benar, ayam negeri/ayam ras ini ternyata bertelur banyak tetapi tidak
enak dagingnya.
Ayam yang pertama masuk dan mulai diternakkan pada periode ini
adalah ayam ras petelur white leghorn yang kurus dan umumnya setelah
habis masa produktifnya. Antipati orang terhadap daging ayam ras cukup
lama hingga menjelang akhir periode 1990-an. Ketika itu mulai merebak
peternakan ayam broiler yang memang khusus untuk daging, sementara
ayam petelur dwiguna/ayam petelur cokelat mulai menjamur pula. Disinilah
masyarakat mulai sadar bahwa ayam ras mempunyai klasifikasi sebagai
petelur handal dan pedaging yang enak. Mulai terjadi pula persaingan tajam
antara telur dan daging ayam ras dengan telur dan daging ayam kampung.
Sementara itu telur ayam ras cokelat mulai diatas angin, sedangkan telur
ayam kampung mulai terpuruk pada penggunaan resep makanan tradisional
saja. Persaingan inilah menandakan maraknya peternakan ayam
petelur.Ayam kampung memang bertelur dan dagingnya memang bertelur
dan dagingnya dapat dimakan, tetapi tidak dapat diklasifikasikan sebagai
ayam dwiguna secara komersial-unggul. Penyebabnya, dasar genetis antara
ayam kampung dan ayam ras petelur dwiguna ini memang berbeda jauh.
Ayam kampung dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa baiknya.
Sehingga ayam kampung dapat mengantisipasi perubahan iklim dengan baik
dibandingkan ayam ras. Hanya kemampuan genetisnya yang membedakan
produksi kedua ayam ini. Walaupun ayam ras itu juga berasal dari ayam liar
di Asia dan Afrika.
2.2. JENIS
5
Tipe ayam ini disebut dengan ayam petelur putih. Ayam petelur ringan ini
mempunyai badan yang ramping/kurus-mungil/kecil dan mata bersinar.
Bulunya berwarna putih bersih dan berjengger merah. Ayam ini berasal
dari galur murni white leghorn. Ayam galur ini sulit dicari, tapi ayam
petelur ringan komersial banyak dijual di Indonesia dengan berbagai
nama. Setiap pembibit ayam petelur di Indonesia pasti memiliki dan
menjual ayam petelur ringan (petelur putih) komersial ini. Ayam ini
mampu bertelur lebih dari 260 telur per tahun produksi hen house. Sebagai
petelur, ayam tipe ini memang khusus untuk bertelur saja sehingga semua
kemampuan dirinya diarahkan pada kemampuan bertelur, karena
dagingnya hanya sedikit. Ayam petelur ringan ini sensitif terhadapa cuaca
panas dan keributan, dan ayam ini mudah kaget dan bila kaget ayam ini
produksinya akan cepat turun, begitu juga bila kepanasan.
Bobot tubuh ayam ini cukup berat. Meskipun itu, beratnya masih berada di
antara berat ayam petelur ringan dan ayam broiler. Oleh karena itu ayam
ini disebut tipe ayam petelur medium. Tubuh ayam ini tidak kurus, tetapi
juga tidak terlihat gemuk. Telurnya cukup banyak dan juga dapat
menghasilkan daging yang banyak. Ayam ini disebut juga dengan ayam
tipe dwiguna. Karena warnanya yang cokelat, maka ayam ini disebut
dengan ayam petelur cokelat yang umumnya mempunyai warna bulu yang
cokelat juga. Dipasaran orang mengatakan telur cokelat lebih disukai
daripada telur putih, kalau dilihat dari warna kulitnya memang lebih
menarik yang cokelat daripada yang putih, tapi dari segi gizi dan rasa
relatif sama. Satu hal yang berbeda adalah harganya dipasaran, harga telur
cokelat lebih mahal daripada telur putih. Hal ini dikarenakan telur cokelat
lebih berat daripada telur putih dan produksinya telur cokelat lebih sedikit
daripada telur putih. Selain itu daging dari ayam petelur medium akan
lebih laku dijual sebagai ayam pedaging dengan rasa yang enak.
6
2.3. MANFAAT
Ayam-ayam petelur unggul yang ada sangat baik dipakai sebagai
plasma nutfah untuk menghasilkan bibit yang bermutu. Hasil kotoran dan
limbah dari pemotongan ayam petelur merupakan hasil samping yang dapat
diolah menjadi pupuk kandang, kompos atau sumber energi (biogas).
Sedangkan seperti usus dan jeroan ayam dapat dijadikan sebagai
pakanternak unggas setelah dikeringkan. Selain itu ayam dimanfaatkan juga
dalam upacara keagamaan.
7
BAB III
METODE PENELITIAN
2. Sampel
8
wawancara dengan responden dan melihat catatan recording yang
dimiliki responden. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer yang diperoleh melalui wawancara langsung
dengan manajer peternakan, pekerja kandang dan karyawan
peternakan. Data yang diambil untuk penelitian adalah data keuangan
peternakan mulai dari modal serta biaya produksi dan penerimaan
yang didapatkan selama tiga bulan (mulai pada bulan Juni sampai
dengan bulan Agustus 2015. Data sekunder didapatkan dengan melihat
catatan yang ada pada peternakan.
4. Analisis Data
1. Biaya total (total cost) yaitu nilai semua biaya yang habis dipakai
dalam proses produksi pemeliharaan ayam petelur
2. Biaya Tetap (fixed cost) yang terdiri dari: biaya penyusutan ternak,
penyusutan peralatan, penyusutan kandang dan bunga modal.
3. Biaya Tidak Tetap (variable cost) yang terdiri dari biaya pakan,
transportasi, obat-obatan dan biaya pemeliharaan ayam petelur
lainnya.
5. Defenisi Operasional
9
cukup banyak. Adapun indikator variabel yang relevan untuk dianalisa
dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut :
10
11
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.2. Produksi Telur
Produksi telur rata-rata adalah sebanyak 10.283 butir per hari dari
total ayam petelur yang dipelihara kurang lebih 13.000 ekor. Jumlah
12
tersebut meliputi telur utuh, telur putih, telur bentes dan telur pecah. Tabel
jumlah telur pada peternakan adalah sebagai berikut:
13
lingkungan. Produksi telur dari bulan Juli 2010–Juni 2011 diperoleh
sebanyak 9.007,23 kg atau sebanyak 3.701.828 butir. Jumlah itu merupakan
total dari semua telur yang dijual, baik dari telur utuh, bentes, putih dan
pecah serta termasuk juga telur yang pecah tak terjual. Telur pecah yang tak
terjual adalah telur yang pecah pada saat pengumpulan telur sebelum
ditimbang. Rata-rata produksi telur per hari adalah sebanyak 25,02 kg atau
10.283 butir.
14
3. 90.000.000
4. 278.915.000
5. Perlengkapan 4.500.000
514.715.000
Jumlah
Modal terbesar yang dikeluarkan oleh peternakan adalah modal
untuk pembelian pakan dan penyediaan bibit ayam petelur, modal
pembelian pakan dapat dilihat pada tabel 4. Pakan merupakan faktor pokok
penunjang pemeliharaan ayam petelur dan ditujukan untuk peningkatan
produksi ayam petelur. Modal terbesar selanjutnya adalah penyediaan bibit
ayam petelur/ pullet, karena harga yang relatif tinggi yakni sebesar Rp.
24.000,- dengan jumlah ayam 13.000 ekor sehingga modal penyediaan
pullet yang dibutuhkan adalah sebesar Rp. 312.000.000,- selama satu tahun,
dalam penyediaan bibit besarnya hampir sama menurut persentase total
modal yang digunakan. Pembelian pullet Isabrown per ekor rata-rata
seharga Rp.24.000,-.
15
Tabel 3. Biaya Produksi pada Peternakan Ayam Petelur pada Bulan Juli 2010 –
Juni 2015 (1 Tahun)
Total
16
Biaya penyediaan bibit ayam petelur berada pada urutan tertinggi
setelah biaya pakan. Bibit ayam petelur strain Isabrown yang digunakan
seharga Rp.24.000,-/ekor, sehingga untuk jumlah ayam 13.000 ekor biaya
yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 935.850.000,-/tahun atau 70,92 % dari
total biaya produksi.
4.5. Penerimaan
Tabel 4. Penjualan Produk dan Non Produk pada bulan Juli 2010-Juni 2015
Penjualan
Persen-
Jumlah Total Harga Harga tase
A. Penjualan Produk
17
7,244.47 41,118,453 5675.84 2.66
1 Telur Utuh
698.77 3,171,913 4539.28 0.20
2. Telur Putih
315.08 1,503,307 4771.19 0.10
3. Telur Bentes
449.50 1,445,102 3214.91 0.09
4. Telur Pecah
8,707.82 47,238,77418201.22
Total Telur Terjual
24,590.28 1,495,478,878 9721.04 96.60
5. Ayam Afkir
Total Penjualan 1,542,717,652 6.935,40
Produk
Penjualan Non
B. Produk
1011.954 4,465,125 4412.38 0.29
1. Feses
3647.18 913,889 250.55 0.06
2. Karung Bekas
Total Penjualan non 5,379,014
Produk
18
1,548,096,664 1.00
Total Penjualan
Sumber: Data primer yang diolah, 2015
Total telur yang dijual dari peternakan baik telur utuh, telur putih,
telur bentes dan telur pecah adalah sebesar 8,707.82 kg atau sekitar
3.697.037 butir yang mampu menghasilkan penerimaan sebesar
Rp.1.548.096.664,-/ tahun. Produk ayam afkir memperoleh penerimaan
dengan persentase sebesar 96,60 %.
4.6. Keuntungan
19
Tabel 5. Keuntungan Peternakan pada Bulan Juli 2010 –Juni 2011
1 514.715.000
Total Modal
2 1,319,570,900
Total Biaya Produksi
3 1,548,096,664
Total Penerimaan
4 1,300,000
Pembayaran Pajak
5 228,525,764
Keuntungan Kotor
6 227,225,764
keuntungan Bersih
Sumber: Data primer yang diolah, 2011
20
tetapi untuk biaya pemberian gaji persentasenya terlalu tinggi karena jumlah
ayam yang dipelihara lebih sedikit sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai
salah satu pemborosan biaya produksi pada pihak peternakan. Dengan
peminimalan biaya untuk gaji tenaga kerja, yakni dengan memberikan gaji
sesuai dengan standar gaji yang berlaku minimal Rp.500.000,-/ bulan, maka
keuntungan pada pihak perusahaan dapat lebih ditingkatkan.
1 14,76
Gross Profit Margin (GPM)
2 Operating Ratio (OR) 85,24
21
3 14,68
Net Profit Margin (NPM)
Sumber: Data primer yang diolah, 2011
Gross Profit Margin (GPM) merupakan nilai laba kotor dibagi dengan penjualan.
Nilai GPM sebesar 14,76 %. Nilai itu berarti bahwa
setiap Rp.100.000,-/tahunpenjualan produk mampu menghasilkan laba kotor
sebesar Rp.14.760,-/tahun,-. Keuntungan sebesar Rp.14.760,-/tahun dari setiap
penerimaanRp.100.000,-/tahun merupakan surplus bagi perusahaan yang
dibutuhkan untuk meningkatkan profit guna mengembangkan usahanya. Nilai
GPM tersebut masih berada di bawah standar rata-rata GPM industri, karena rata-
rata nilai GPM untuk industri adalah sebesar 23,8 %. Nilai GPM yang masih
rendah tersebut dipengaruhi oleh jumlah biaya produksi yang dikeluarkan masih
tergolong tinggi.
b. Operating Ratio (OR)
22
Net Profit Margin (NPM) menjelaskan besarnya keuntungan bersih perusahaan,
yaitu keuntungan setelah pembayaran pajak dibanding dengan penerimaan
perusahaan. Besarnya NPM adalah 14,68 %, sehingga hal ini dapat diartikan
bahwa setiap penjualan/ penerimaan sebesar Rp.100.000,-/tahun maka peternakan
nendapatkan keuntungan bersih sebesar Rp.14,680,-/tahun. Sabardi (1995)
menyatakan bahwa standar rata-rata NPM perusahaan adalah sebesar 5,7%, Nilai
NPM yang tinggi dapat dimanfaatkan pihak perusahaan dalam hal
mengembangkan usaha lebih besar. Nilai NPM yang rendah tersebut disebabkan
oleh jumlah keuntungan bersih yang didapatkan sangat kecil proporsinya
dibanding dengan penerimaan. Tingginya nilai NPM pada suatu perusahaan harus
tetap dipertahankan agar dapat memberikan tingkatan pendapatan guna
pengembangan usaha perusahaan tersebut. Nilai NPM yang rendah pada suatu
perusahaan perlu diantisipasi agar tidak memberikan dampak buruk bagi jalannya
kegiatan operasional perusahaan.
2. Analisis Profitabilitas dalam Hubungannya dengan Investasi
44,15 %
3,01 kali
12 RentabilitasTurn Over of Assets (TOA)
Sumber: Data primer yang diolah, 2011
23
Rasio keuntungan usaha peternakan dalam kaitannya dengan investasi (modal)
diukur dengan rentabilitas. Rentabilitas berfungsi sebagai alat ukur bagi
perusahaan, yakni mengukur sampai seberapa besar tingkat keuntungan yang
dialami oleh perusahaan atas penggunaan modal yang digunakan untuk
menunjang produksi yang dikelola. Rentabilitas pada 44,15 %, hal ini
berarti bahwa setiap Rp.100.000,- modal yang ditanamkan perusahaan mampu
menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 44.150,- dalam satu tahun. Tingkat
keuntungan tersebut masih dalam kategori buruk sesuai dengan kriteria
keuntungan yang berlaku perusahaan pada umumnya.
Rentabilitas pada peternakan (pada tabel 7) masih berada di bawah bunga
deposito bank. Besarnya bunga deposito bank per bulan rata-rata per bulan adalah
sebesar 0,54 % atau sebesar 6,5 % per tahun. Nilai rentabilitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan bunga deposito bank, sehingga dapat dikatakan bahwa
usaha peternakan tersebut perlu untuk melakukan perbaikan operasional
perusahaan. Biaya produksi yang dikeluarkan untuk memelihara ayam petelur
guna menghasilkan produk telur perlu diminimalkan jumlahnya, terutama untuk
biaya penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan produksi
ayam petelur
24
biaya produksi yang dikeluarkan untuk mengelola sarana produksi yang ada guna
memperoleh keuntungan yang tinggi/ penanganan hasil produksi yang mempunyai
tujuan untuk memperoleh profit/ keuntungan tinggi (Prawirokusumo, 1990).
25
BAB V
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
Glueck, W.F., dan Jauech, L.R., 1994. Manajemen Strategis dan Kebijaksanaan
perusahaan. Edisi Ketiga Erlangga. Jakarta
Hirt, G.A., dan Block, S.B., 1992. Foundation of Financial Management. Sixth
Edition. Printed in United State of America
Lubis, A.M. dan Parnin, F.B., 2001. Delapan Kiat Mencegah Penurunan
Produksi Telur Ayam. Penebar Swadaya. Jakarta
27
______, M., 2001. Manajemen Peternakan Ayam Petelur. Penebar Swadaya.
Jakarta
Sadono Sukirno, 2005. Teori Pengantar Mikro Ekonomi. Edisi ketiga. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Soekartawi, Soeharjo, A. Dillon, J.L. dan Hardeker, J.B., 1994. Prinsip Dasar
Manajemen Pemasaran Hasil-hasil Pertanian (dengan Pokok Bahasan Khusus
Perencanaan Pembangunan Daerah). Rajawali. Jakarta
Sudaryani, T., dan Santosa, H., 2001. Pembibitan Ayam Ras. Penebar
Swadaya.Jakarta
28