Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPEGARUHI PERKEMBANGAN OKLUSI . Makalah ini disusun untuk
memenuhi hasil diskusi tutorial kelompok II pada tugas blok Stomatognasi 1.
Penulisan makalah ini semua tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Tim Dosen Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember yang telah
membimbing tutorial kelompok II dan yang telah memberi masukan yang
membantu, bagi pengembangan ilmu yang telah didapatkan.
2. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
perbaikan–perbaikan di masa mendatang demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat berguna bagi kita semua.

Jember, 02 Februari 2016

Tim Penyusun

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................... 1
Daftar Isi................................................................................................................ 2
Daftar Gambar..................................................................................................... 3
Bab I: Pendahuluan.............................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah............................................................................... 4
1.3 Tujuan Masalah................................................................................... 4
Bab II: Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 5
Bab III: Kesimpulan............................................................................................. 22
Daftar Pustaka....................................................................................................... 23

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Supernumerary teeth pada rahang atas yang dapat mengganggu


keseimbangan oklusi ……………………………………………………………… 6
Gambar 2: Oklusi yang terganggu akibat adanya supernumerary teeth pada
rahang atas regio anterior ………………………………………………………. 6
Gambar 3: Hipodonsia pada gigi 14, 15, 25, 35 and 45 yang mempengaruhi
perkembangan oklusi.……………… ……………………………………………. 7
Gambar 4: Kebiasaan mengisap ibu jari menyebabkan openbite anterior
……………………………………………………………………………………... 12
Gambar 5: Kebiasaan tongue thrust menyebabkan maloklusi gigi anterior
…………………………………………………………………………………….... 17
Gambar 6: Akibat mouth breathing….....…………………………….....………. 18
Gambar 7: Anak dengan wajah adenoid. Ciri khas anak yang bernafas melalui
mulut …………………………………………………… ………………………... 19
Gambar 8: Akibat bruxism ………………… ……………………… ………… 21

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Faktor - faktor yang mempengaruhi perkembangan oklusi dibagi menjadi dua


kelompok yaitu faktor lokal dan faktor umum. Faktor lokal yang memberikan
pengaruh terhadap perkembangan oklusi antara lain posisi perkembangan gigi yang
berjejal (crowded), gigi supernumerary dan hipodonsia. Faktor umum terdiri dari
faktor skeletal, factor otot dan faktor dental. Hubungan skeletal merupakan hubung
anantero – posterior dari bagian basal rahang bawah dan rahang atas dengan gigi -
gigi pada keadaan oklusi. Klasifikasi hubungan skeletal dibagi menjadi tiga, yaitu
klas I, klas II dan klas III skelet al (Foster,T.D.,2012).Faktor otot dilihat dari bentuk
dan fungsi otot yang mengelilingi gigi dapat memberikan pengaruh terhadap erupsi
gigi. Faktor umum ketiga yang dapat mempengaruhi perkembangan oklusi adalah
hubungan ukuran mesiodistal gigi dan ukuran rahang tempat terletaknya gigi tersebut.
Bentuk dan ukuran mesiodistal gigi berperan penting dalam menentukan ruang yang
tersedia untuk gigi. Gigi geligi harus memiliki cukup ruang dalam lengkung basal
rahang agar dapat erupsi tanpa berjejal atau bertumpuk. Hubungan skeletal dan faktor
otot dapat mempengaruhi ukuran lengkung rahang menjadi lebih besar atau lebih
kecil. Hal tersebut berpengaruh terhadap posisi gigi dalam rongga mulut dan
mengakibatkan terjadinya maloklusi gigi (Foster,T.D, 2012). Hubungan gigi geligi
saat oklusi normal akan mempengaruhi posisi overjet dan overbite yang normal
kemudian akan membentuk kesesuaian lengkung gigi dan inklinasi gigi antara rahang
atas dan rahang bawah. Ketidaksesuaian ukuran mesiodistal Gigi terhadap lengkung
rahang merupakan salah satu penyebab terjadinya maloklusi. Dilihat dari ukuran
mesiodistal gigi, jika mesiodistal gigi lebih besar atau lebih kecil dari normal maka
akan menyebabkan perubahan bentuk lengkung gigi dan inklinasi gigi (Hassan,
2011).

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Faktor – faktor apa yang mempengaruhi perkembangan oklusi
1.3 TUJUAN MASALAH
1. Mahasiswa mampu mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan oklusi

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN OKLUSI:


2.1 Variasi Genetik
Faktor genetik mempunyai pengaruh pada variasi dental dan fasial. Pengaruh
heriditer ini dapat bermanifestasi dalam dua hal, yang pertama yaitu disproporsi
ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi berupa gigi berdesakan
atau maloklusi berupa diastema multipel dan yang kedua adalah disproporsi ukuran,
posisi dan bentuk rahang atas dan rahang bawah yang menghasilkan relasi rahang
yang tidak harmonis. Faktor-faktor genetik tersebut dapat berupa evolusi ukuran
rahang manusia, sindrom genetik, kelainan saat tahap embrio, serta adanya
perkawinan campur antar ras dan suku bangsa yang dapat menimbulkan berbagai
macam variasi oklusi (Hassan dan Rahimah, 2007).

2.2 Kelainan Jumlah Gigi


Gigi supernumerary yang dapat mempengaruhi oklusi normal karena
jumlahnya yang lebih banyak dari seharusnya, sehingga berdampak terhadap
terjadinya maloklusi dan kelainan oral. Jika gigi supernumerary erupsi di luar
lengkung rahang, oklusi yang normal mungkin tidak terganggu, namun apabila erupsi
dalam lengkung gigi tempat gigi permanen seharusnya erupsi maka dapat
menyebabkan terjadinya maloklusi. berupa diastema sentral, gigi berjejal, serta rotasi
(Iswari, 2013).

5
Gambar 1 : Supernumerary teeth pada rahang atas yang dapat mengganggu
keseimbangan oklusi (Srivatsan dan Babu, 2007).

Gambar 2: Oklusi yang terganggu akibat adanya supernumerary teeth pada rahang
atas regio anterior (Srivatsan dan Babu, 2007).

Hipodonsia merupakan kelainan pertumbuhan gigi dimana jumlah gigi-geligi


kurang dari yang seharusnya. Hipodonsia merupakan suatu istilah untuk menyebut
kurangnya gigi-geligi sebanyak 1-5 buah, lebih dari itu disebut oligodonsia, dan jika
tidak terbentuk gigi sama sekali dinamakan anodonsia (Gunbay, dkk., 2009 ; De
Coster, dkk., 2011).

6
Hipoodonsia dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk dan keadaan
berdasarkan jumlah gigi yang tidak terbentuk dan posisinya. Kondisi ini dapat
mengganggu estetika, fungsi mastikasi, bicara, dan keseimbangan oklusi. Gangguan
keseimbangan oklusi diantaranya adalah kontak oklusi yang tidak sesuai, ekstrusi gigi
antagonis, miringnya gigi geligi kearah space kosong yang tersedia, serta migrasi gigi
untuk menempati space kosong tersebut (Creton, dkk., 2007; Worsaae, dkk, 2007).

Gambar 3: Hipodonsia pada gigi 14, 15, 25, 35 and 45 yang mempengaruhi
perkembangan oklusi (Rédua, 2015).

2.3 Tanggal Prematur


Gigi sulung yang tanggal prematur dapat berdampak pada susunan gigi
permanen. Semakin muda umur pasien pada saat tanggal akibatnya akan semakin
besar terhadap susunan gigi permanen. Misalnya jika molar kedua sulung tanggal
secara prematur karena karies, kemudian gigi permanen akan bergeser ketempat
kosong tersebut (sesuai dengan sifat gigi-geligi yang bergeser ke tempat yang kurang
bertekanan) sehingga tempat untuk premolar kedua permanen berkurang dan

7
premolar kedua akan tumbuh diluar dari tempatnya karena tidak cukup tempat
(Shaddad, 2012).

2.4 Kebiasaan Buruk


Dalam Kamus Dorland kebiasaan didefenisikan sebagai sesuatu bersifat permanen

dan konstan yang menunjukkan aktifitas berulang secara otomatis disebabkan oleh

proses alami yang kompleks dimana melibatkan kontraksi otot yang dapat berefek

pada fungsi mastikasi, respirasi, fonetik, dan estetik (Dorland, 2010).

Kebiasaan normal menyebabkan konstruksi fungsi dentofasial dan memegang

peranan penting dalam perkembangan wajah normal dan fisiologi oklusal.

Sebaliknya, kebiasaan buruk dapat menyebabkan gangguan dalam pola

perkembangan dentofasial. Setiap kebiasaan dapat menyebabkan tekanan abnormal

pada struktur dentofasial yang menyebabkan malformasi pada struktur dan hubungan

interstruktural (Foster, 1993).

Oral habit sering kali ditemukan pada anak-anak sejak berusia satu bulan. Hal ini

tidak akan menyebabkan masalah yang berarti dalam rongga mulut saat itu, karena

pada dasarnya tubuh dapat memberikan respon terhadap rangsangan dari luar sejak

masih dalam kandungan. Respon tersebut merupakan pertanda bahwa perkembangan

psikologis anak sudah dimulai, terlihat dari tingkah laku spontan atau reaksi berulang.

Permasalahan akan muncul ketika kebiasaan tersebut terus berlanjut hingga anak

mulai memasuki usia sekolah dimana kebiasaan ini terus dilakukan karena orang tua

kurang memperhatikan anaknya. Jika kebiasaan tersebut dihentikan sebelum masa

erupsi gigi permanen, hal tersebut tidak akan memberikan efek jangka panjang.

8
Namun jika kebiasaan tersebut berkelanjutan maka dapat terjadi keadaan openbite

anterior, posterior crossbites, dan maloklusi lainnya (Machfoed dan Yetti, 2005).

Ada beberapa macam kebiasaan buruk pada anak, di antaranya adalah mengisap ibu

jari atau jari tangan (thumb or finger sucking), mengisap bibir atau menggigit bibir

(lip sucking or lip biting), mengisap botol susu (bottle sucking), menjulurkan lidah

(tongue thrusting), bernafas melalui mulut (mouth breathing), dan bruksisme

(bruxism) (Gildasya, dkk., 2006).

2.5 Kebiasaan mengisap ibu jari (Thumb or finger sucking)

Thumb/finger sucking adalah sebuah kebiasaan dimana anak menempatkan jari atau

ibu jarinya di belakang gigi, kontak dengan bagian atas mulut, mengisap dengan

bibir, dan gigi tertutup rapat. Aktivitas mengisap jari dan ibu jari sangat berkaitan

dengan otot-otot sekitar rongga mulut (Putri, 2012).

Mengisap ibu jari merupakan sebuah perilaku, bukan sebuah gangguan. Seiring

pertambahan usia, diharapkan kebiasaan buruk tersebut akan hilang dengan

sendirinya. Kebiasaan ini sering ditemukan pada anak-anak usia muda dan bisa

dianggap normal pada masa bayi dan akan menjadi tidak normal jika berlanjut sampai

masa akhir anak-anak. Hal ini sering terjadi dalam masa pertumbuhan, sebanyak 25-

50% pada anak-anak yang berusia 2 tahun dan hanya 15-20% pada anak-anak yang

berusia 5-6 tahun (Putri, 2012).

kebiasaan mengisap yang berkepanjangan akan menghasilkan maloklusi. Keadaan ini

dapat terjadi karena adanya kombinasi tekanan langsung dari ibu jari dan perubahan

9
pola tekanan bibir dan pipi pada saat istirahat.62 Tekanan pipi pada sudut mulut

merupakan tekanan yang tertinggi. Tekanan otot pipi terhadap gigi-gigi posterior

rahang atas ini meningkat akibat kontraksi otot buccinator selama mengisap pada saat

yang sama, sehingga memberikan risiko lengkung maksila menjadi berbentuk V,

ukurannya sempit dan dalam (AAPD, 2000).

Ada beberapa variasi maloklusi tertentu tergantung jari yang diisap dan juga

penempatan jari yang diisap. Sejauh mana gigi berpindah tempat berkorelasi dengan

lamanya pengisapan per hari daripada oleh besarnya kekuatan pengisapan. Seorang

anak yang mengisap kuat-kuat tetapi hanya sebentar tidak terlalu banyak berpengaruh

pada letak giginya, sebaliknya seorang anak yang mengisap jari meskipun dilakukan

tidak terlalu kuat tetapi dalam waktu yang lama (misalnya selama tidur malam masih

menempatkan jari di dalam mulut) dapat menyebabkan maloklusi yang nyata (Putri,

2012).

Bila jari ditempatkan di antara gigi atas dan bawah, lidah terpaksa diturunkan yang

menyebabkan turunnya tekanan lidah pada sisi palatal geligi posterior atas. Pada saat

yang sama tekanan dari pipi meningkat dan muskulus buccinator berkontraksi pada

saat mengisap. Tekanan pipi paling besar pada sudut mulut dan mungkin keadaan ini

dapat menjelaskan mengapa lengkung maksila cenderung berbentuk huruf V.

Kebiasaan mengisap yang melebihi batas ambang keseimbangan tekanan dapat

menimbulkan perubahan bentuk lengkung geligi, akan tetapi sedikit pengaruhnya

terhadap bentuk rahang (Putri, 2012).

10
Kebiasaan mengisap jari atau benda-benda lain dalam waktu yang berkepanjangan

dapat menyebabkan maloklusi. Dari faktor-faktor penyebab maloklusi, yang paling

menentukan tingkat keparahan adalah intensitas, frekuensi, dan durasi pengisapan.

Maloklusi yang terjadi juga ditentukan oleh jari mana yang diisap, dan bagaimana

pasien meletakkan jarinya pada waktu mengisap yang menimbulkan adanya tekanan

ke arah atas gigi depan, dan bagian bawah jari akan menekan lidah sehingga

mendorong gigi bawah dan bibir sedangkan dagu terdesak ke dalam. Akibatnya anak

dapat memiliki profil muka yang cembung akibat gigi depan yang maju. Anak yang

terbiasa menghisap jempol atau menghisap dot umumnya lebih besar kemungkinan

untuk memiliki wajah yang kurang proporsional saat remaja hingga dewasa,

dibandingkan dengan anak yang diberi ASI dalam periode waktu yang cukup lama

dan tidak pernah memiliki kebiasaan menghisap jari atau dot (Rahardjo, 2008).

Adanya ibu jari di antara gigi-gigi yang sedang bererupsi akan membuat

timbulnya gigitan terbuka anterior, yang biasanya asimetris, lebih nyata pada sisi

yang digunakan untuk mengisap ibu jari. Jika lidah juga protrusi, gigitan terbuka

cenderung lebih besar, sehingga gigi-gigi anterior rahang atas protrusif. Di samping

itu palatum bagian depan menjadi tinggi, sehingga bentuk lengkung rahang menjadi

segitiga tidak oval dan susunan gigi depan menjadi lebih maju dari sebagaimana

seharusnya, area untuk tumbuh giginya menjadi lebih sempit. Akibatnya, gigi

menjadi tumbuh bertumpuk-tumpuk (Putri, 2012).

11
Gambar 4: Kebiasaan mengisap ibu jari menyebabkan openbite anterior (Putri,
2012).

Kebiasaan mengisap jari pada fase geligi sulung tidak mempunyai dampak pada gigi

permanen bila kebiasaan tersebut telah berhenti sebelum gigi permanen erupsi. Bila

kebiasaan ini terus berlanjut sampai gigi permanen erupsi akan terdapat maloklusi

dengan tanda-tanda berupa insisivus atas proklinasi dan terdapat diastema, gigitan

terbuka, lengkung atas sempit serta retroklinasi insisivi bawah (Putri, 2012).

2.6 Mengisap Bibir/Menggigit Bibir (Lip Sucking/Lip Biting)

Dalam kondisi normal, gigi berada dalam keadaan keseimbangan dinamis

yang konstan. Keseimbangan kekuatan antar otot yang dipercaya dapat

mempengaruhi posisi dan kestabilan dent alveolar complex. Dalam mekanisme ini,

kekuatan yang mendorong gigi dihasilkan oleh otot orbicularis oris, otot buccinators,

12
otot penarik superior pharyngeal yang diseimbangkan oleh kekuatan yang berlawanan

dari lidah. Kerja yang berlebihan otot-otot orbicularis oris mempengaruhi

pertumbuhan kraniofasial, memicu terjadinya penyempitan lengkung gigi,

mengurangi ruang untuk gigi dan lidah serta terhalangnya pertumbuhan mandibula.

(Putri, 2012).

Kebiasaan mengisap atau menggigit bibir bawah akan mengakibatkan

hipertonicity otot-otot mentalis. Kebiasaan buruk dapat menjadi faktor utama atau

merupakan faktor yang kedua. Kebiasaan mengisap bibir yang menjadi faktor utama

akan terdapat overjet yang besar dengan gigi anterior rahang atas condong ke labial

dan gigi anterior rahang bawah condong ke lingual diikuti perbedaan skeletal yang

ringan. Kebiasaan mengisap bibir mengakibatkan overjet normal. Kebiasaan

mengisap bibir sebagai faktor kedua biasanya terjadi disebabkan oleh perbedaan

sagital, seperti retrognatik mandibula. Inklinasi gigi incisivus rahang atas bisa normal

dan jarak antara gigi rahang atas dan rahang bawah terjadi setelah proses adaptasi

(Putri, 2012).

2.7 Menjulurkan Lidah (Tongue thrusting)

Kebiasaan mendorong lidah sebetulnya bukan merupakan kebiasaan tetapi lebih

berupa adaptasi terhadap adanya gigitan terbuka misalnya karena mengisap jari.

Kebiasaan menjulurkan lidah biasanya dilakukan pada saat menelan. Pola menelan

yang normal adalah gigi pada posisi oklusi, bibir tertutup, dan lidah berkontak dengan

palatum. Ada 2 bentuk penelanan dengan menjulurkan lidah, yaitu:

13
a) Penelanan dengan menjulurkan lidah sederhana, biasanya berhubungan

dengan kebiasaan mengisap jari.

b) Menjulurkan lidah kompleks, berhubungan dengan gangguan pernafasan

kronis, bernafas melalui mulut, tonsillitis atau faringitis.

Dari teori keseimbangan, tekanan lidah yang ringan tetapi berlangsung lama pada gigi

dapat menyebabkan adanya perubahan letak gigi dan menghasilkan efek yang nyata.

Dorongan lidah yang hanya sebentar tidak akan menghasilkan perubahan pada letak

gigi. Tekanan lidah pada penelanan yang tidak benar hanya berlangsung kira-kira 1

detik. Penelanan secara ini hanya terjadi kurang lebih 800 kali pada saat seseorang

terjaga dan hanya sedikit pada waktu tidur sehingga sehari hanya kurang dari 1000

kali. Tekanan selama seribu detik (kurang lebih 17 menit) tidak cukup untuk

mempengaruhi keseimbangan. Sebaliknya, pasien yang meletakkan lidahnya ke

depan sehingga memberikan tekanan yang terus-menerus pada gigi, meskipun

tekanan yang terjadi kecil tetapi berlangsung lama, dapat menyebabkan perubahan

letak gigi baik jurusan vertikal maupun horizontal. Pada pasien yang posisi lidahnya

normal pada saat menelan tidak banyak pengaruhnya terhadap letak gigi (Gildasya,

2006).

Kebiasaan tongue thrusting, yaitu suatu kebiasaan menjulurkan lidah ke depan dan

menekan gigi-gigi seri pada waktu istirahat, selama berbicara atau menelan. Adanya

kebiasaan menjulurkan lidah ke depan ini memungkinkan terjadinya

ketidakseimbangan otot-otot di sekitar lengkung gigi dan otot-otot mulut, sehingga

dapat mempengaruhi posisi gigi. Gigi depan atas akan merongos ke depan dan terjadi

14
gigitan terbuka. Dan apabila menekan lidah ke pipi sambil menggigitnya maka dapat

menyebabkan gigi belakang menjadi miring ke arah dalam. Terjadi penyimpangan

pola menelan dan berbicara yang tidak normal (Adair, 1999).

Pada umumnya penderita tongue thrust menampilkan ciri tertentu pada ekspresi

wajah pada saat menelan, yaitu bibir menutup dan otot-otot sekeliling mulut tegang

pada posisi istirahat kedua bibir dan lidah menutupi permukaan gigi-gigi bawah atau

lidah menjulur ke depan, bernapas melalui mulut, dan mengisap ibu jari. Kebiasaan

menjulurkan lidah ini biasanya timbul karena adanya pembesaran amandel atau

tonsil, lengkung gigi atas yang menyempit, lidah yang besar, atau karena aspek

psikologis (Steven, 1999).

Menjulurkan lidah merupakan kebiasaan menempatkan lidah dalam posisi yang salah

pada saat menelan, terlalu jauh ke depan atau ke samping. Diperkirakan bahwa setiap

24 jam menelan 1.200 hingga 2.000 kali, dengan tekanan sekitar 4 pon tiap kali

menelan. Tekanan ini konstan sehingga lidah akan memaksa gigi keluar dari

kesejajaran lengkung gigi. Selain tekanan yang diberikan saat menelan, mengganggu

saraf dan juga mendorong lidah terhadap gigi ketika sedang beristirahat. Ini

merupakan kebiasaan, spontan dari alam bawah sadar yang sulit untuk diperbaiki

(Putri, 2012).

Kebiasaan menjulurkan lidah ke depan, memungkinkan terjadinya

ketidakseimbangan otot-otot di sekitar lengkung gigi dan otot-otot mulut, sehingga

dapat mempengaruhi posisi gigi. Gerakan menelan dengan posisi lidah menjulur akan

menimbulkan maloklusi pada gigi anak seperti gigi-gigi seri atas dan bawah

15
terdorong ke arah bibir (protrusi) dan terjadi gigitan terbuka (open bite) (Steven,

1999).

Beberapa masalah yang ditimbulkan akibat tongue thrust, antara lain:

a) Anterior openbite merupakan kasus yang paling umum terjadi akibat tongue

thrust. Dalam kasus ini, bibir depan tidak menutup dan anak sering membiarkan

mulutnya terbuka dengan posisi lidah lebih maju daripada bibir. Secara umum, lidah

yang berukuran besar biasanya disertai menjulurkan lidah. Openbite anterior pada

umumnya mengakibatkan gangguan estetik, pengunyahan maupun gangguan dalam

pengucapan kata-kata yang mengandung huruf “s”, “z”, dan “sh”.

b) Anterior thrust. Gigi incisivus atas sangat menonjol dan gigi incisivus bawah

tertarik ke dalam oleh bibir bawah. Jenis ini paling sering terjadi disertai dengan

dorongan M.mentalis yang kuat.

c) Unilateral thrust. Secara karakteristik, ada gigitan terbuka pada satu sisi.

d) Bilateral thrust. Gigitan anterior tertutup namun gigi posterior dari premolar

pertama ke molar dapat terbuka pada kedua sisinya. Kasus seperti ini pada umumnya

sangat sulit untuk dikoreksi.

e) Bilateral anterior openbite, dimana hanya gigi molar yang berkontak. Pada

kasus ini ukuran lidah yang besar juga mempengaruhi.

f) Closed bite thrust menunjukkan protrusi ganda yang berarti gigi-gigi rahang

atas maupun rahang bawah mengalami gigitan yang terbuka lebar (Putri, 2012).

16
Gambar 5. Kebiasaan tongue thrust menyebabkan maloklusi gigi anterior (Palmer,
2002)

2.8 Bernapas melalui mulut (Mouth breathing)

Anak yang bernapas melalui mulut biasanya berwajah sempit, gigi depan atas

maju ke arah labial, serta bibir terbuka dengan bibir bawah yang terletak di belakang

insisivus atas. Karena kurangnya stimulasi muskular normal dari lidah dan karena

adanya tekanan berlebih pada kaninus dan daerah molar oleh otot orbicularis oris dan

buccinator, maka segmen bukal dari rahang atas berkontraksi mengakibatkan maksila

berbentuk V dan palatal tinggi. Sehingga anak dengan kebiasaan ini biasanya

berwajah panjang dan sempit (AAPD, 2000).

Kebiasaan bernapas melalui mulut ini dipicu oleh tersumbatnya hidung

sebagai saluran pernapasan normal. Hal ini dapat terjadi karena adanya kelainan

anatomi hidung atau penyakit-penyakit hidung, antara lain polip hidung, sinusitis,

rhinitis kronis dan pembesaran tonsil di belakang hidung. Pada beberapa orang,

kebiasaan ini biasanya disertai lemahnya tonus bibir atas (Foster, 1993).

17
Kebiasaan bernafas melalui mulut dapat menyebabkan udara yang masuk kemulut

menjadikan vasokonstriksi (pengecilan pembuluh darah) dari pembuluh kapiler di

oral mukosa sehingga memudahkan terkenanya infeksi dan dapat menyebabkan

gingivitis (peradangan gusi). Selain itu juga menyebabkan bau mulut pada orang yang

bernafas melalui mulut karena adanya plak yang melekat pada gigi dan lidah. Akibat

lain yang ditimbulkan yaitu rahang atas sempit, gigi belakang atas miring ke arah

dalam, gigi depan atas tonggos (protrusif) dan terjadi gigitan depan terbuka

(openbite) (Rahardjo, 2009).

Gambar 6 : Akibat mouth breathing (Putri, 2012).

Beberapa akibat yang dapat ditimbulkan oleh kebiasaan bernafas melalui mulut pada

anak-anak antara lain:

a) Bibir rahang atas dan rahang bawah tidak menutup sempurna

Pada bibir penderita pernafasan mulut nampak agak terbuka untuk memungkinkannya

bernafas. Adaptasi mulut untuk pernafasan mulut yang kronis dapat terjadi perubahan

dimana bibir atas dan bibir bawah berada dalam posisi terbuka, akibatnya penderita

akan mengalami kesulitan dalam menelan makanan yang masuk ke dalam mulut.

18
b) Adenoid facies

Hal ini ditandai dengan penyempitan lengkung rahang atas, hipertrofi dan keringnya

bibir bawah, hipotonus bibir atas dan tampak memendek, tampak adanya overbite

yang nyata. Dikarenakan adanya fungsi yang abnormal, penderita pernafasan mulut

memiliki karakteristik seperti postur mulut terbuka, lubang hidung mengecil dan

kurang berkembang, arkus faring tinggi dan pasien tampak seperti orang bodoh.

Gambar 7. Anak dengan wajah adenoid. Ciri khas anak yang bernafas melalui mulut
(Putri, 2012).

c) Maloklusi

d) Gigitan terbuka (openbite)

Pada pernafasan mulut, posisi mandibula lebih ke distal mengakibatkan gigi

incisivus bawah beroklusi dengan rugae palatum. Ketidakteraturan gigi geligi juga

dapat ditemui pada maksila yang kurang berkembang, utamanya pada segmen

anteromaksiler serta lengkung basal yang sempit. (Putri, 2012).

19
2.9 Bruksisme (Bruxism)

Bruksisme atau yang paling sering dikenal dengan istilah kerot (tooth

grinding) adalah mengatupkan rahang atas dan rahang bawah yang disertai dengan

grinding (mengunyahkan) gigi-gigi atas dengan gigi-gigi bawah. Bruksisme adalah

kebiasaan bawah sadar (sering tidak disadari) walaupun ada juga yang melakukannya

ketika tidak tidur. Bruksisme dapat dilakukan dengan tekanan keras sehingga

menimbulkan suara yang keras, tapi dapat juga tanpa suara yang berarti. Jika

bruksisme dilakukan dengan tekanan kerot yang keras, akan terjadi keausan gigi yang

parah dan berlangsung dalam waktu cepat (Dorland, 2010).

Bruksisme biasa terjadi pada anak. Kebiasaan ini biasanya muncul pada malam hari,

dan berlangsung dalam periode waktu yang lama, sehingga dapat menyebabkan gigi

sulung dan gigi permanen abrasi. Kebiasaan ini timbul pada masa gigi-geligi sedang

tumbuh. Dan jika bertahan hingga anak dewasa biasanya disertai dengan adanya stres

emosional, parasomnia, trauma cedera otak, ataupun cacat neurologis, dengan

komplikasi erosi gigi, sakit kepala, disfungsi sendi temporomandibular, dan nyeri

pada otot-otot pengunyahan (Putri, 2012).

20
Gambar 8: Akibat bruxism (Putri, 2012).

Pada saat tidur di malam hari, biasanya penderita akan mengeluarkan suara gigi-gigi

yang beradu. Bila dilihat secara klinis, tampak adanya abrasi pada permukaan atas

gigi-geligi rahang atas dan rahang bawah. Bila lapisan email yang hilang cukup

banyak dapat timbul rasa ngilu pada gigi-gigi yang mengalami abrasi. Kadang terlihat

adanya jejas atau tanda yang tidak rata pada tepi lidah (Putri, 2012).

Bruxism dapat menyebabkan aus permukaan gigi-gigi pada rahang atas dan rahang

bawah, baik itu gigi susu maupun gigi permanen sehingga dapat mengganggu

kestabilan oklusi gigi-geligi (Putri, 2012).

21
BAB III
KESIMPULAN

Faktor - faktor yang mempengaruhi perkembangan oklusi dibagi menjadi dua


kelompok yaitu faktor lokal dan faktor umum. Factor - factor sebeut antara lain :
1. faktor genetik mempunyai pengaruh pada variasi dental dan fasial, Gigi
supernumerary yang dapat mempengaruhi oklusi normal karena jumlahnya yang lebih
banyak dari seharusnya, sehingga berdampak terhadap terjadinya maloklusi dan
kelainan oral,
2. Gigi sulung yang tanggal prematur dapat berdampak pada susunan gigi
permanen, kebiasaan buruk dapat menyebabkan gangguan dalam pola perkembangan
dentofasial,
3. kebiasaan mengisap yang berkepanjangan akan menghasilkan maloklusi,
4. Kebiasaan mengisap atau menggigit bibir bawah akan mengakibatkan
hipertonicity otot-otot mentalis.
5. menjulurkan lidah menjadikan adanya tekanan lidah yang ringan tetapi
berlangsung lama pada gigi dapat menyebabkan adanya perubahan letak gigi dan
menghasilkan efek yang nyata
6. Anak yang bernapas melalui mulut biasanya berwajah sempit, gigi depan
atas maju ke arah labial, serta bibir terbuka dengan bibir bawah yang terletak di
belakang insisivus atas.
7. bruksisme dilakukan dengan tekanan kerot yang keras, akan terjadi keausan
gigi yang parah dan berlangsung dalam waktu cepat.

22
DAFTAR PUSTAKA

Adair, S. 1999. The AceTM Bandage approach to digit-sucking habits. Pediatr


Dent, 21, 451-453.

American Academy of Pediatric Dentistry. 2000. Clinical Affairs. “Policy on Oral


Habits”

Creton MA, Cune MS, Verhoeven W, dan Meijer GJ. 2007. Patterns of missing teeth
in a population of oligodontia patients. Int J Prosthodont. 2007;20(4):409-13.

De Coster PJ, Marks LA, Martens LC, dan Huysseune A. 2009. Dental agenesis:
genetic and clinical perspectives. J Oral Pathol Med. 2009;38(1):1-17.

Dorland W.A.N. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Ed.31 (Alih Bahasa : Albertus
Agung Mahode ). Jakarta : EGC

Foster, TD. 1993. “Buku Ajar Ortodonsi”. Third Edition. Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta

Gildasya, G., Riyanti, E., dan Hidayat, S. 2006. Prevalence of oral habits in homeless
children under care of Yayasan Bahtera Bandung. Dental Journal (Majalah
Kedokteran Gigi), 39(4), 165-167.

Gunbay T, Koyuncu BO, Sipahi A, Bulut H, dan Dundar M. 2011. Multidisciplinary


approach to a nonsyndromic oligodontia patient using advanced surgical
techniques. Int J Periodontics Restorative Dent. 2011;31(3):297-305.

Hassan. R dan Rahimah, AK. 2007. Occlusion, malocclusion and method of


measurements-an overview. Archives of Orofacial Sciences, 2007, 2: 3-9.

Iswari, S H. Gigi Supernumerary Dan Perawatan Ortodonsi. 2013. E-Journal Widya.


Kesehatan dan Lingkungan. Vol. 1. No 1 Mei-Agustus 2013.

Machfoedz, Ircham. Yetti Zein, A. 2005. Menjaga Kesehatan Gigi dan Mulut Anak-
anak dan Ibu Hamil. Yogyakarta: Fitramaya

Palmer, B. 2002. The importance of breastfeeding as it relates to the total health


section B Missouri J.

Putri, DI. 2012. Pengaruh Kebiasaan Buruk Terhadap Maloklusi Gigi Anak
(Doctoral dissertation).

23
Rahardjo, P. 2008. “Ortodonti Dasar”. Airlangga University Press

Rahardjo, P. 2009. “Ortodonti Dasar”. Surabaya: Airlangga University Press

Rédua, R. B., Rédua, P. C. B., Ferreira, C. E. D. A., & Ortega, A. D. O. L. 2015.


Orthodontic approach to treat complex hypodontia using miniscrews in a
growing patient. Dental press journal of orthodontics, 20(4), 82-90.

Senjaya, A. A. 2012. Kebiasaan Buruk Yang Dapat Merubah Bentuk


Wajah. Jurnal Skala Husada Poltekkes Denpasar Vol (9)1 : 22-27

Shaddad, C. A. 2012. Bagian Ortodonsi Fakultas Kedokteran Gigi Hubungan


Ekstraks Gigi Dengan Waktu Yang diperlukan dalam Perawatan Ortodonsi di
RSGM kandea (Doctoral dissertation).

Srivatsan, P dan Babu, N. A. 2007. Mesiodens with an unusual morphology and


multiple impacted supernumerary teeth in a non-syndromic patient. Indian
Journal of Dental Research, 18(3), 138.

Steven, MA. 1999. Clinical Section. “The AceTM Bandage approach to digit-sucking
habits”. American Academy of Pediatric Dentistry:

Susilowati, S. 2007. Korelasi antara lebar mesiodistal gigi dengan kecembungan


profil jaringan lunak wajah orang bugis-makassar. Dentofacial 2007 Okt; 2(6): 73

Worsaae N, Jensen BN, Holm B, dan Holsko J. 2007. Treatment of severe


hypodontia-oligodontia: an interdisciplinary concept. Int J Oral Maxillofac
Surg. 2007;36(6):473-80.

24

Anda mungkin juga menyukai