Anda di halaman 1dari 16

10 PERBEDAAN DARI 4 IMAM MADHZAB

( MazhabAl-Hanifiyah, Mazhab Al-Malikiyah, Mazhab As-Syafi’iyah,


Mazhab Al-Hanabilah)

DI SUSUN OLEH:
Achmad Feryansah S.M.
Adana Qulbi P.I.
Bambang Edi P.
Bismaracha F.K.

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS NEGERI MALANG
Assalamu ‘alaikm warahmatullahi wabarakatuh,

Di antara tonggak penegang ajaran Islam di muka bumi adalah muncul beberapa mazhab
raksasa di tengah ratusan mazhab kecil lainnya. Keempat mazhab itu adalah Al-Hanabilah,
Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah. Sebenarnya jumlah mazhab besar tidak
hanya terbatas hanya 4 saja, namun keempat mazhab itu memang diakui eksistensi dan jati
dirinya oleh umat selama 15 abad ini.

Keempatnya masih utuh tegak berdiri dan dijalankan serta dikembangkan oleh mayoritas
muslimin di muka bumi. Masing-masing punya basis kekuatan syariah serta masih mampu
melahirkan para ulama besar di masa sekarang ini.

Berikut sekelumit sejarah keempat mazhab ini dengan sedikit gambaran landasan manhaj
mereka.

1. Mazhab Al-Hanifiyah.

Didirikan oleh An-Nu’man bin Tsabit atau lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanifah. Beliau
berasal dari Kufah dari keturunan bangsa Persia. Beliau hidup dalam dua masa, Daulah
Umaiyah dan Abbasiyah. Beliau termasuk pengikut tabiin , sebagian ahli sejarah
menyebutkan, ia bahkan termasuk Tabi’in.
Mazhab Al-Hanafiyah sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal sebagai terdepan
dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqih. Oleh para pengamat
dianalisa bahwa di antaralatar belakangnya adalah:

1) Karena beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu
yakin atas keshahihah suatu hadits, maka beliau lebih memlih untuk tidak
menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak formula
seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil nash syar’i.
2) Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau
tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di
masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di masa 100 tahun pertama semenjak
wafat nabi SAW, jauh sebelum era imam Al-Bukhari dan imam Muslim yang terkenal
sebagai ahli peneliti hadits.

2. Mazhab Al-Malikiyah

Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi .Berkembang
sejak awal di kota Madinah dalam urusan fiqh.

Mazhab ini ditegakkan di atas doktrin untuk merujuk dalam segala sesuatunya kepada
hadits Rasulullah SAW dan praktek penduduk Madinah. Imam Malik membangun
madzhabnya dengan 20 dasar; Al-Quran, As-Sunnah , Ijma’, Qiyas, amal ahlul madinah ,
perkataan sahabat, istihsan, saddudzarai’, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah,
syar’u man qablana .

Mazhab ini adalah kebalikan dari mazhan Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak
sekali mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash-nash yang valid di
Kufah, mazhab Maliki justru ‘kebanjiran’ sumber-sumber syariah

3. Mazhab As-Syafi’iyah

Didirikan oleh Muhammad bin Idris Asy Syafi’i . Beliau dilahirkan di Gaza Palestina tahun
150 H, tahun wafatnya Abu Hanifah dan wafat di Mesir tahun 203 H.

Dasar madzhabnya: Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan
sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah. Beliau juga tidak mengambil
Istihsan sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan penduduk
Madinah. Imam Syafi’i mengatakan, ”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah
menciptakan syariat.” Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah
nashirussunnah,”

4. Mazhab Al-Hanabilah

Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani . Dilahirkan di Baghdad dan tumbuh
besar di sana hingga meninggal pada bulan Rabiul Awal. Beliau memiliki pengalaman
perjalanan mencari ilmu di pusat-pusat ilmu, seperti Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah,
Yaman, Syam.

Beliau berguru kepada Imam Syafi’i ketika datang ke Baghdad sehingga menjadi mujtahid
mutlak mustaqil. Gurunya sangat banyak hingga mencapai ratusan. Ia menguasai sebuah
hadis dan menghafalnya sehingga menjadi ahli hadis di zamannya dengan berguru kepada
Hasyim bin Basyir bin Abi Hazim Al-Bukhari .

Dasar madzhab Ahmad adalah Al-Quran, Sunnah, fatwah sahahabat, Ijam’, Qiyas, Istishab,
Maslahah mursalah, saddudzarai’.

Perbedaan-perbedaan amalan menurut 4 madzhab

1) Cara penetapan awal ramadhan

Berdasarkan Al Quran dan Hadits Nabi, para ulama sepakat bahwa penanggalan hijriah
merupakan sistem penanggalan yang didasarkan pada pergerakan bulan dalam
mengelilingi bumi dan awal bulan ditandai dengan hilal. Karena didasarkan pada
astronomi penomena maka penanggalan hijriah tidak mengenal istilah tahun kabisat dan
satu tahunnya terdiri dari 12 bulan yang tidak bergantung pada posisi matahari.

 Pendapat Imam Syafi’i

Ru’yat local, dimana jika ada kesamaan matla’ (daerah yang terlihat hilal) maka wajib
berpuasa untuk daerah itu saja, sementara umat yang berada di luar matla’ berpuasa
sesuai dengan hasil ru’yat-nya sendiri. Radius matla’ ditetapkan oleh Imam Syafi’i
sejauh 24 farsakh atau kira-kira 133 km (1 farsakh= 5,541 km).

Hal ini karena keterbatasan teknologi informasi saat itu dalam menyampaikan
informasi ke daerah sekitar matla’

 Pendapat Imam Hanafi, Maliki dan Hanbali

Ru’yat global , Ru’yat global adalah ru’yat yang berlaku untuk seluruh dunia. Jika
suatu Negeri kaum muslimin telah melihat hilal maka segera informasi ini disebarkan
ke seluruh Negeri- Negeri kaum muslim yang lain, maka diseluruh dunia kaum
muslimin berpuasa atau berlebaran di saat yang sama. Tidak ada lagi sekat-sekat batas
negara dan suku bangsa (Nasionalisme) karena begitulah aqidah Islam.

Hal ini berdasarkan hadist:

‫صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فان غبي عليكم فاكملوا عدت شعبان ثالثين‬
Dhamir jama’ah pada dua kata ‫( صوموا‬berpuasalah kalian) dan ‫( افطروا‬berbukalah kalian)
terdapat huruf (Wawu) yang menunjukkan bentuk jamak yang ditujukan kepada seluruh
kaum muslimin. Begitu juga lafadz ‫( رؤيته‬melihat bulan) terdapat huruf (Ha) yang
merupakan isim jinsi yang diidhafatkan (disandarkan) pada dhamir (kata ganti), artinya
jika salah satu dari kalian melihat hilal maka berpuasa atau berbukalah.
Dengan demikian hadits di atas bermakna:

Berpuasalah kalian (semua kaum muslim) apabila (salah satu dari kalian) melihat hilal
(Ramadhan) dan berbukalah kalian (semua kaum muslim) apabila (salah satu dari
kalian) melihat hilal (Syawwal). Lalu apabila mendung menghalangi kalian, maka
sempurnakanlah hitungan sya’ban sampai tiga puluh hari (HR Bukhari & Muslim).

2) Waktu niat puas

Secara etimologi, niat sama dengan tujuan (pencapaian). Sedangkan secara terminologi,
niat adalah tujuan (untuk meraih) dengan jalan melaksanakannya. Orang yang ingin
meraih sesuatu tanpa berbuat sama saja dengan bohong. Niat disyariatkan untuk
membedakan antara kebiasaan dengan ibadah, atau untuk memisahkan aturan ibadah
yang satu dengan yang lainnya. Sebab Rasulullah SAW menyatakan bahwa setiap
perbuatan tergantung pada niatnya.

 Pendapat Imam Hanafi

Lebih baik bila niat puasa (semua jenis puasa) dilakukan bersamaan dengan terbitnya
fajar.

karena saat terbit fajar merupakan awal ibadah.

 Pendapat Imam Maliki

Niat dianggap sah, untuk semua jenis puasa, bila dilakukan pada malam hari atau
bersamaan dengan terbitnya fajar.

Karena, Apabila seseorang berniat sebelum terbenamnya matahari pada hari


sebelumnya atau berniat sebelum tergelincirnya matahari pada hari ia berpuasa maka
puasanya tidak sah walaupun puasa sunnah. Adapun dalam puasa Ramadhan, Imam
Malik berpendapat bahwa niat puasa pada malam pertama bulan Ramadhan sudah
cukup untuk puasa sebulan penuh, tanpa perlu memperbaharui niat setiap malamnya,
dengan alasan bahwa puasa Ramadhan itu merupakan satu paket amalan dan ibadah.

 Pendapat Imam Syafi’i

Untuk semua jenis puasa wajib (baik yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu
seperti puasa Ramadlan, maupun puasa yang sifatnya menjadi tanggungan seperti
qadla’, nazar, kafarat) niat harus dilakukan pada malam hari. Adapun puasa sunnah,
niat bisa dilakukan sejak malam hari sampai sebelum tergelincirnya matahari.

 Pendapat Imam Hambali

Tidak beda dari Syafi’iyah, mazhab ini mengharuskan niat dilakukan pada malam
hari, untuk semupa jenis puasa wajib. Adapun puasa sunnah, berbeda dari Syafi’iyah,
niat bisa dilakukan walaupun telah lewat waktu Dhuhur (dengan syarat belum makan
dan minum sedikitpun sejak fajar).

3) Melafalkan niat dalam sholat

Sebenarnya tentang melafalkan atau mengucapkan niat, misalnya membaca “Ushalli


fardla dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala” (Saya berniat
melakukan shalat fardlu dzuhur empat rakaat dengan menghadap kiblat dan tepat pada
waktunya sematamata karena Allah SWT) pada menjelang takbiratul ihram dalam shalat
dzuhur adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan warga NU (nahdliyin).
Tetapi sepertinya menjadi asing dan sesuatu yang disoal oleh sebagian kalangan yang
tidak sepemahaman dengan warga nahdliyin.

 Pendapat imam Syafi’I dan Imam Hambali

Sunnah.

Karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati
sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya. Jika
seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti
melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap
adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat
‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak
mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.

 Pendapat Imam Maliki dan Imam Hanafi

Melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang
yang terkena penyakit waswas (peragu terhadap niatnya sendiri).

Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir


menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit waswas
hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al
Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun
dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit waswas.

4) Hukum berpuasa bagi orang yang mabuk atau hilang akal


Kita telah menjelaskan diatas bahwa puasa Ramadhon itu wajib ain’ bagi tiap mukallaf.
Dan yang dinamakan mukalaf itu adalah orang yang sudah baligh dan berakal. Maka
puasa tidak diwajibkan bagi orang yang gila ketika sedang gila. Dan kalau dia berpuasa
maka puasanya tidak sah. Anak kecil tidak diwajibkan untuk berbuka puasa, tetapi
puasanya tetap sah, kalau dia sudah mumayyiz. Dan tidak boleh tidak , bahwa syarat
sahnya puasa adalah islam dan disertai niat.

 Pendapat imam Syafi’I

Menurut syafi’i bagi orang yang mabuk atau pingsan kalau perasaan orang yang
mabuk atau pingsan hilang sepanjang waktu puasa, maka puasanya tidak sah.

Tetapi kalau hanya sebagian waktu saja, maka puasanya sah. Namun bagi orang yang
pingsan wajib mengqodho’nya secara mutlak. Baik pingsanya disebabkan oleh diri
sendiri atau karena dipaksa. Tetapi bagi orang yang mabuk tidak wajib
mengqodho’nya kecuali mabuknya disebabkan oleh dirinya secara khusus.

 Pendapat Imam Maliki

Orang yang mabuk dan pingsan mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya
matahari , atau tidak sadar dari sebagian besar waktunya berpuasa, maka puasanya
tidak sah.

Tetapi kalau tidak aadar hanya setengah hari, atau lebih sedikit dan mereka sadar pada
waktu niat, dan berniat, kemudian jatuh mabuk dan pingsan, maka mereka tidak
diwajibkan mengqodho’nya. Waktu niat puasa menurut Imam Maliki adalah dari
magrib sampai fajar.

 Pendapat Imam Hanafi

Orang yang pingsan adalah seperti orang gila, dan orang gila hukumnya : kalau
gilanya selama satu bulan ramadhan penuh, maka dia tidak diwajibkan
mengqodho’nya.

Tetapi kalau gilanya itu hanya setangah bulan, dan setengah bulan akhirnya dia sadar,
maka dia tetap harus berpuasa,dan wajib mengganti harihari yang ditinggalkan pada
waku gila.

 Pendapat Imam Hambali

Bagi orang yang mabuk dan pingsan wajib mengqodho’nya,baik Karena perbuatan
diri sendiri atau karena dipaksa.

5) Perbedaan Pendapat Tentang Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu


Tentang Keluar Sesuatu Dari Dua Jalan
Keluar sesuatu dari dua jalan (qubul dan dubur), seperti buang air kecil, buang
air besar, keluar madzi, (air kuning encer yang biasanya keluar dari qubul ketika
seseorang merasakan nikmat.

Pendapat dari empat mazhab yaitu

 Haanafiyah berpendapat apapun yang keluar dari qubul dan dubur, membatalkan
wudhu, baik yang biasa maupun yang tidak biasa.

 Malikiyah berpendapat bahwa mani yang biasa keluar tanpa rasa nikmat tidak
diwajibkan mandi, dan hanya membatalkan wudhu. Adapun batu kecil, ulat, cacing
darah dan nanah yang keluar dari qubul dan dubur tidak membatalkan wudhu dengan
ketentuan.

 Syafi’i berpendapat keluar mani tidak sampai membatalkan wudhu, apakah keluarnya
rasa nikmat atau tidak namun, wajib mandi.

 Hambali bependapat bahwa apabila seseorang terus menerus berhadas , seperti air
kencing terus menerus menetes, tidak membatalkan wudhu, asal setiap sholat
melakukan wudhu.

6) Perbedaan Pedapat Tentang Kewajiban Membaca Al-Fatihah Dalam


Sholat
Membaca Al-fatihah merupakan rukun disetiap rakaat dalah sholat, telah shahih
dari Rasulullah bahwa beliau membacanya disetiap rakaat dan ketika beliau mengajari
orang yang tidak pas dalam sholat maka beliau memerintahkan untuk membaca Al-
fatihah, sebagaimana sabda beliau yang artinya “Tidak sah sholat bagi orang yang tidak
membaca Al-fatihah” (Muttafuq Alaihi).

Berikut ini adalah pendapat dari 4 imam mazhab yakni sebagai berikut:

 Imam Hanafi berpendapat membaca surat Al-fatihah dalam sholat fardhu tidak
diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Qur’an itu boleh. Berdasarkan Al-
Qur’an surat Al-Muzammil ayat 26.
Artinya: “...Bacalah apa yang (mudah bagimu) dari Al-Qur’an...(Q.S Al-Muzzammil:
20).
Membaca Al-fatihah itu hanya diwajibkan dua rakaat pertama, sedangkan pada rakaat
ketiga pada sholat magrib, dan pada dua rakaat terakhir pada sholat isya’ dan ashar maka
bacalah, jika tidak, bacalah tasbih, atau diam.
 Imam Syafi’i berpendapat bahwa makmum wajib dalam sholat jama’ah untuk
membaca surat Al-fatihah sendiri meskipun dalam sholat jahriyah (yang dikeraskan
bacaan imamnya). Tidak cukup hanya mendengaran bacaan imam saja. Hal ini
didasarkan pada.
Artinya: “Tidak ada yang namanya sholat tampa adanya bacaan surat al-kita (Al-
fatihah)”. (HR.Bukhari, Azam/714; Tirmizi, 247).
Namun dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca surat Al-fatihah gugur
dalam kasus seseorang makmum yang tertinggal dan mendapati imam sedang ruku’.
Maka saat itu yang bersangkutan ikut ruku’ bersama imam dan sudah terhitung mendapat
satu rakaat.

 Imam Maliki berpendapat, bahwa makmum wajib membaca fatihah pada sholat sir
dan tidak wajib pada shalat jahar.
Artinya dan apabila dibacakan al quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (q.s al-araf: 204).

 Imam Hanbali berpendapat wajib membaca Al-fatihah pada setiap rakaat, dan
sesudahnya disunahkan membaca surat Al-Qur’an pada dua rakaat yang pertama. Dan
pada sholat subuh, serta dua rakaat pertama pada sholat magrib dan isya’ disunahkan
membacanya ddengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara
membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras

7) Perbedaan Pendapat Tentang Zakat Tanaman Dan Pangan


Pengertian Zakat
Zakat artinya mensucikan dan membersihkan harta benda.Menurut istilah syara’
(agama) zakat adalah mengeluarkan sebagian harta, atau bahan makanan yang utama
menurut ketentuan dan ukuran yang ditentukan oleh syara’.

Perbedaan Pendapat Para Ulama Mengenai Zakat Tanaman Dan Pangan

 Maliki dan Syafi’I berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman
yang meerupakan kebutuhan pokok dan dapat disimpan seperti gandum, beras, kurma
dan anggur.apabila pengairan perlu biaya 5%, sedangkan kalau tidak di airi 10%.
Landasan yang dipakai oleh imam maliki dan syafi’i adalah :
Artinya: dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun
dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah
dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya
di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah
kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-
lebihan.(Al-An’am: 141).
 Hambali berpendapat bahwa semua tanaman dan buah-buahan yang ditimbang dan
yang disimpan wajib dizakatati.

8) Perbedaan Pendapat Tentang Zakat Melalui Badan Amil


Pengertian Amil
Amil merupakan badan atau orang yang bertugas untu mengurusi zakat

Perbedaan Pendapat Tentang Berzakat Melalui Badan Amil

 Syafi’I, zakat boleh disalurkan melaluli amil zakat yang dibentuk pemerintah (imam),
apalagi jika pemerintahan tersebut adil kepada rakyatnya.

 Hambali yang paling baik menyalukan zakat dilakukan sendiri oleh muzakki, namun
jika tetap ingin melalui badan amil zakat tetap boleh dan sah.

 Menurut Hanabillah, di sunnatkan para Muzakki menyerahkan zakatnya sendiri,


dengan demikian yakin betul ia, bahwa zakatnya sampai kepada mustahiknya, tetapi
sekirnya yang menyerahkannya kepada pememrintah, di perbolehkan juga ( jaiz).

 Malikiyah ada mempunyai ketentuan lain, yaitu apabila imam itu adil ( ingat, amil
adalah aparat dari pada imam sama dengan pemerintah), di serahkan kepada imam dan
sekirnaya tidak adil, dapat di serahkan sendiri kepada mustahiknya.

9) Perbedaan Pendapat Tentang Wali Dalam Nikah

Pengertian Wali Nikah


Wali nikah adalah orang yang berkuasa mengurus, memilihara yang ada dibawah
perwaliannya atau perlindungannya.Karena itu untuk menjadi wali haarus ada kaitannya
dengan struktur keluarga (hubungan nasab). Disamping itu wali juga sebagai rukun dan
syarat dalam melangsungkan pernikahan.

Perbedaan pendapat para ulama:

 Syafi’i, maliki, dan hambali berpendapat bahwa suatu perkawinan tidak sah tanpa ada
wali.Sebagai dasar yang mereka pergunakan adalah firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah:
232.
Artinya: “...Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya...(Q.S Al-Baqarah: 232).
Suatu perkawinan tidak dipandang sah, kecuali ada wali sebagaimana dinyatakan
dalam hadits H.R Lima orang ahli hadist yang artinya: “Tidak sah nikah, kecuali dengan
wali” (H.R Lima orang ahli hadits).
Dari hadits diatas dapat kita pahami, bahwa seorang wanita boleh mengawinkan
dirinya bila telah tampa izin dari walinya, karena si wanita tidak mempunyai wewenang
untuk itu. Apabila telah mendpat izin dari wali, namun oleh beberapa sebab, (tempat
tinggal jauh dsb) wali itu tidak dapat menikahkan secara langsung, maka hakim
(penghulu) yang menjadi walinya.

 Menurut Imam Hanafi berpendapat, bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya
tampa wali, asal saja calon suami-istri itu kufu (setara), dan maharnya tidak kurang
dari mahar yang berlaku pada masyarakat sekitar. Apabila wanita itu menikah dengan
orang yang tidak sekufu dengannya maka walinya boleh membatalkan nikah.
Sebagai landasan yang dikemukakan oleh golongan hanafiyah adalah firman
Allah yang berbunyi:
Artinya: “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang
lain...(Q.S Al-baqarah: 230)

10) Perwalian Dalam Pernikahan

 Imam Syafi’i

Menurut imam Syafi’i, kehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah, yang berarti
tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak sah. Bersamaan dengan
ini, Imam Syafi’i juga berpendapat wali dilarang mempersulit perkawinan wanita yang ada di
bawah perwaliannya sepanjang wanita mendapat pasangan yang sekufu. Dasar yang
digunakan imam Syafi’i adalah :
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat
kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik
bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah
: 232)

Menurut Imam Syafi’i bapak lebih berhak menentukan perkawinan anak gadisnya.
Hal ini didasarkan pada mafhum mukhalafah dari hadits yang menyatakan “janda lebih
berhak kepada dirinya”. Sehingga menurut Syafi’i izin gadis bukanlah satu keharusan tetapi
hanya sekedar pilihan. Adapun perkawinan seorang janda harus ada izin secara tegas dari
yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada kasus al-khansa’a.

 Imam Maliki
Imam Maliki mengharuskan izin dari wali atau wakil terpandang dari keluarga atau
hakim untuk akad nikah. Akan tetapi tidak dijelaskan secara tegas apakah wali harus hadir
dalam akad nikah atau cukup sekedar izinnya. Meskipun demikian imam malik tidak
membolehkan wanita menikahkan diri-sendiri, baik gadis maupun janda.
Mengenai persetujuan dari wanita yang akan menikah, imam malik membedakan
antara gadis dengan janda. Untuk janda, harus terlebih dahulu ada persetujuan secara tegas
sebelum akad nikah. Sedangkan bagi gadis atau janda yang belum dewasa dan belum
dicampuri suami, maka jika bapak sebagai wali ia memiliki hak ijbar. Sedangkan wali diluar
bapak, ia tidak memilki hak ijbar.

 Imam Hambali

Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali menyatakan, wali harus ada dalam perkawinan
(rukun nikah), yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah. Menurutnya hadits yang
mengharuskan adanya wali bersifat umum yang berarti berlaku untuk semua. Sedangkan
hadits yang menyebutkan hanya butuh izin adalah hadits yang bersifat khusus. Sehingga yang
umum harus didahulukan dari dalil khusus.
Ibnu Qudamah berpendapat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan gadis yang
belum dewasa, baik wanita tersebut senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Sedangkan
menurut Ibnu Qayyim, persetujuan wanita harus ada dalam perkawinan.

 Imam Hanafi

Imam Abu Hanifah, Zufar, Asy Sya`bi dan Az-Zuhri berpendapat bahwa apabila
seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa wali, sedang calon suaminya sebanding
(kufu`), maka pernikahannya boleh.[7]
Abu Hanifah dan Abu Yusuf malahan mengatakan bahwa wabita yang baligh lagi
berakal boleh menikahkan dirinya dan anak perempuannya yang masih belum dewasa (kecil)
dan dapat pula sebagai wakil dari orang lain. Tetapi sekiranya wanita itu ingin kawin dengan
seorang laki-laki yang tidak kufu, maka wali dapat menghalanginya.
Para wali juga dapat menghalangi pernikahan, bila maharnya lebih kecil (rendah) dari
mahar yang biasanya berlaku (dipandang tidak wajar).
Sekiranya wanita itu tidak mempunyai wali (dalam kedudukannya sebagai ahli waris)
dan yang ada hanya wali hakim saja umpamanya, maka wali itu tidak ada hak untuk
menghalangi wanita itu menikah dengan laki-laki yang tidak kufu dan maharnya lebih kecil
(rendah) sekalipun, karena wewenang berada di tangan wanita itu sepenuhnya. Kendatipun
tidak kufu kufu dan maharnya kecil, tidak ada yang menanggung malu dari keluarganya
(walinya).

11) Tarawih menurut 4 madzhab

Ada beberapa pendapat mengenai bilangan rakaat yang dilakukan kaum muslimin pada
bulan Ramadhan sebagai berikut:
 Madzhab Hanafi

Sebagaimana dikatakan Imam Hanafi dalam kitab Fathul Qadir bahwa Disunnahkan
kaum muslimin berkumpul pada bulan Ramadhan sesudah Isya’, lalu mereka shalat bersama
imamnya lima Tarawih (istirahat), setiap istirahat dua salam, atau dua istirahat mereka duduk
sepanjang istirahat, kemudian mereka witir (ganjil).

Walhasil, bahwa bilangan rakaatnya 20 rakaat selain witir jumlahnya 5 istirahat dan
setiap istirahat dua salam dan setiap salam dua rakaat = 2 x 2 x 5 = 20 rakaat.

 Madzhab Maliki

Dalam kitab Al-Mudawwanah al Kubro, Imam Malik berkata, Amir Mukminin


mengutus utusan kepadaku dan dia ingin mengurangi Qiyam Ramadhan yang dilakukan umat
di Madinah. Lalu Ibnu Qasim (perawi madzhab Malik) berkata “Tarawih itu 39 rakaat
termasuk witir, 36 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir” lalu Imam Malik berkata “Maka saya
melarangnya mengurangi dari itu sedikitpun”. Aku berkata kepadanya, “inilah yang kudapati
orang-orang melakukannya”, yaitu perkara lama yang masih dilakukan umat.

Dari kitab Al-muwaththa’, dari Muhammad bin Yusuf dari al-Saib bin Yazid bahwa
Imam Malik berkata, “Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim al-Dari
untuk shalat bersama umat 11 rakaat”. Dia berkata “bacaan surahnya panjang-panjang”
sehingga kita terpaksa berpegangan tongkat karena lama-nya berdiri dan kita baru selesai
menjelang fajar menyingsing. Melalui Yazid bin Ruman dia berkata, “Orang-orang
melakukan shalat pada masa Umar bin al-Khattab di bulan Ramadhan 23 rakaat”.

Imam Malik meriwayatkan juga melalui Yazid bin Khasifah dari al-Saib bin Yazid
ialah 20 rakaat. Ini dilaksanakan tanpa wiitr. Juga diriwayatkan dari Imam Malik 46 rakaat 3
witir. Inilah yang masyhur dari Imam Malik.

 Madzhab as-Syafi’i

Imam Syafi’i menjelaskan dalam kitabnya Al-Umm, “bahwa shalat malam bulan
Ramadhan itu, secara sendirian itu lebih aku sukai, dan saya melihat umat di madinah
melaksanakan 39 rakaat, tetapi saya lebih suka 20 rakaat, karena itu diriwayatkan dari Umar
bin al-Khattab. Demikian pula umat melakukannya di makkah dan mereka witir 3 rakaat.
Lalu beliau menjelaskan dalam Syarah al-Manhaj yang menjadi pegangan pengikut
Syafi’iyah di Al-Azhar al-Syarif, Kairo Mesir bahwa shalat Tarawih dilakukan 20 rakaat
dengan 10 salam dan witir 3 rakaat di setiap malam Ramadhan.

 Madzhab Hanbali

Imam Hanbali menjelaskan dalam Al-Mughni suatu masalah, ia berkata, “shalat malam
Ramadhan itu 20 rakaat, yakni shalat Tarawih”, sampai mengatakan, “yang terpilih bagi Abu
Abdillah (Ahmad Muhammad bin Hanbal) mengenai Tarawih adalah 20 rakaat”.

Menurut Imam Hanbali bahwa Khalifah Umar ra, setelah kaum muslimin dikumpulkan
(berjamaah) bersama Ubay bin Ka’ab, dia shalat bersama mereka 20 rakaat. Dan al-Hasan
bercerita bahwa Umar mengumpulkan kaum muslimin melalui Ubay bin Ka’ab, lalu dia
shalat bersama mereka 20 rakaat dan tidak memanjangkan shalat bersama mereka kecuali
pada separo sisanya. Maka 10 hari terakhir Ubay tertinggal lalu shalat dirumahnya maka
mereka mengatakan, “Ubay lari”, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan as-Saib bin Yazid.

12) Hukum Qunut Subuh

 Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa Qunut itu disunnahkan pada shalat
witir yang dilakukan sebelum ruku'. Sedangkan pada shalat subuh, beliau
tidak menganggapnya sebagai sunnah. Sehingga bila seorang makmum shalat
subuh di belakang imam yang melakukan qunut, hendaknya dia diam saja dan
tidak mengikuti atau mengamini imam. Namun Abu Yusuf, salah seorang
tokoh dari mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa bila imamnya
melakukan qunut, maka makmumnya harus mengikutinya, karena imam itu
harus diikuti.

 Imam Malik

Imam Malik mengatakan bahwa qunut itu merupakan ibadah sunnah pada
shalat subuh dan lebih afdhal dilakukan sebelum ruku'. Meskipun bila
dilakukan sesudahnya tetap dibolehkan. Menurut beliau, melakukan Qunut
secara zhahir dibenci untuk dilakukan kecuali hanya pada shalat subuh saja.
Dan qunut itu dilakukan dengan sirr, yaitu tidak mengeraskan suara bacaan.
Sehingga baik imam maupun makmum melakukannya masing-masing atau
sendiri-sendiri. Dibolehkan untuk mengangkat tangan saat melakukan qunut.

 Imam As-Syafi'i ra
Imam As-Syafi'i ra mengatakan bahwa Qunut itu disunnahkan pada shalat subuh dan
dilakukan sesudah ruku' pada rakaat kedua. Imam hendaknya berqunut dengan lafaz
jama' dengan menjaharkan (mengeraskan) suaranya dengan diamini oleh makmum
hingga lafaz (wa qini syarra maa qadhaita). Setelah itu dibaca secara sirr (tidak
dikeraskan) mulai lafaz (Fa innaka taqdhi ...), dengan alasan bahwa lafaz itu bukan
doa tapi pujian (tsana`). Disunnahkan pula untuk mengangkat kedua tangan namun
tidak disunnahkan untuk mengusap wajah sesudahnya. Menurut mazhab ini, bila
qunut pada shalat shubuh tidak dilaksanakan, maka hendaknya melakukan sujud
sahwi, termasuk bila menjadi makmum dan imamnya bermazhab Al-Hanafiyah yang
meyakini tidak ada kesunnahan qunut pada shalat subuh. Maka secara sendiri,
makmum melakukan sujud sahwi.

 Imam Ahmad bin Hanbal

Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa qunut itu merupakan amaliyah sunnah
yang dikerjakan pada shalat witir yaitu dikerjakan setelah ruku. Sedangkan qunut pada
shalat subuh tidak dianggap sunnah oleh beliau.

Menyikapi perbedaan pendapat dari 4 iman madzhab

Perbedaan itu ada dalam metodologi pengkajian mereka. Metodologi itu disebut ilmu
Ushul Fiqh. Misalnya, ayat tentang Salat. Rasulullah menjelaskan tata cara salat sepanjang
hidupnya, berkalikali, dibanyak kesempatan, di banyak situasi. Sehingga penjelasan salat
itu bervariasi. Hadisthadist yang berhubungan dengan salat atau ibadah secara umum itu
waristerwariskan dengan teliti hingga sampai ke zaman para imam madzhab, bahkan
sampai ke zaman kita. Secara ringkas, masingmasing imam dalam madzhabnya itu
menjelaskan tata cara salat sesuai dengan hadist-hadist itu. Tapi karena hadisthasit itu
banyak, perbedaan ada disini. Hadist-hadist yang dijadikan metodologi pembahasan Imam
Malik mungkin berbeda dengan hadist yang diambil Syafi’i, berbeda juga dengan yang
diambil Hanafi dan Hanbali. Disinilah letak perbedaannya. Baik itu dalam urusan dzikir
pasca salat, puasa, haji, qurban, mandi, tidur, makan, peradilan, politik, ekonomi.
Perbedaan itu ada dalam landasan dalil yang diambil oleh para Imam Madzhab. Tapi pada
dasarnya semua pandangan setiap imam itu mempunyai dalil, terlepas jika dalildalil itu
kuat, logis, atau lemah, tidak akurat, itu lain soal. Tapi saat pembuatan ilmu fiqh itu,
keempat imam madzhab telah berjuang untuk merangkum ajaran Islam sesuai metodologi
pengkajiannya masingmasing.

Sebaiknya kita mengikuti salah satu madzhab dan konsisten dengannya. Dan disini tidak
termasuk kedalam kategori taklid buta, karena madzhab-madhzab yang ada mempunyai
landasan-landasan syar’i dalam setiap pembahasannya. Dari sinilah difahami mengapa
bagi komunitas atau masyarakat negara tertentu memegang satu madzhab dan berbeda
dengan masyarakat di daerah lain. Dari pandangan ini, maka tidak usah aneh, jika melihat
tata cara ibadah di negara lain berbeda dengan Indonesia yang mayoritasnya bermadzhab
Syafi’i. Karena mungkin saja, berbedaan itu bersumber dari madzhad mereka yang
berbeda, sepereti Madzhab Hanafi di Turki. Yang diperlukan hanyalah memahami, belajar
menerima perbedaan, belajar mengerti sudut pandang ibadah dari madzhab lain yang
semuanya bersumber dari Rasulullah. Tidak berarti semuanya benar, karena kebenaran itu
hanya satu, tapi bukan manusia yang menentukan tatacara mana yang paling benar karena
memang manusia tidak akan pernah tahu, hanya Allah Yang Mengetahui mana yang
paling benar.

Wallahu a’lam bish-shawab, wassalamu ‘alaikm warahmatullahi wabarakatuh.

Anda mungkin juga menyukai