Anda di halaman 1dari 18

PENURUNAN DAN KENAIKAN MUKA TANAH

MENGGUNAKAN METODE DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI SYNTHETIC


APERTURE RADAR
(DInSAR)

(Studi Kasus : Lumpur Lapindo, Sidoarjo)

Dosen:

Dr. Ir. M. Taufik

Meiriska Yusfania, ST, MT

Oleh :

Ruli Dwi Susanti / 03311440000018

Dwi Noviyanti / 03311440000026

DEPARTEMEN GEOMATIKA

FAKULTAS TEKNIK SIPIL LINGKUNGAN DAN KEBUMIAN

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

2017

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat yang diberikan-
Nya sehingga tugas Laporan yang berjudul “Penurunan Dan Kenaikan Muka Tanah
Menggunakan Metode Differential Interferometri Synthetic Aperture Radar (DInSAR)” ini
dapat saya selesaikan. Laporan ini kami buat sebagai kewajiban untuk memenuhi tugas.

Dalam kesempatan ini, kami menghaturkan terimakasih yang dalam kepada semua
pihak yang telah membantu demi terwujudnya makalah ini. Akhirnya saran dan kritik pembaca
yang dimaksud untuk mewujudkan kesempurnaan makalah ini penulis sangat hargai.

Surabaya, 25 September 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii


DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Tujuan dan Manfaat .................................................................................................... 1
BAB II DASAR TEORI ............................................................................................................ 2
2.1 Lumpur Lapindo .......................................................................................................... 2
2.2 Radar ........................................................................................................................... 4
2.3 Synthetic Aperture Radar (SAR)................................................................................. 5
2.4 Interferometric Synthetic Aperture Radar (InsAR) ..................................................... 6
2.5 Deferensial Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInsar) ................................. 6
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................................................. 8
3.1 Diagram Alir ............................................................................................................... 8
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................. 10
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 13
5.1 Kesimpulan................................................................................................................ 13
5.2 Saran .......................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 14

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Peta Semburan Lumpur Lapindo .............................................................................. 3


Gambar 2 Diagram Alir Penelitian ............................................................................................ 8
Gambar 3 Grafik Pola Deformasi Tahun 2008-2009 ............................................................... 10
Gambar 4 Grafik Pola Deformasi Tahun 2009-2010 ............................................................... 11
Gambar 5 Grafik Pola Deformasi Tahun 2010-2011 ............................................................... 12

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana lumpur Lapindo yang muncul sejak tahun 2006 tak hanya memberikan
dampak sosial dan ekonomi penduduk setempat namun juga memberikan dampak bagi
lingkungan yakni deformasi. Deformasi dapat berupa kenaikan tanah (up lift) dan
penurunan (subsidence). Deformasi sendiri dapat disebabkan oleh banyak hal seperti
pengambilan air tanah, besarnya beban akibat bangunan di daerah perkotaan hingga
aktivitas vulkanik maupun seismik lempeng bumi. Sedangkan peristiwa lumpur
Lapindo disebabkan oleh berkurangnya daya dukung batuan akibat semakin
meningkatnya volume lumpur yang menuju permukaan tanah. ( Sendy dkk, 2015)

Semburan Lumpur Lapindo yang berlokasi di area eksplorasi gas PT Lapindo


Brantas menyebabkan perubahan kondisi muka tanah yang signifikan baik kenaikan
maupun penurunan. Variasi tersebut terjadi akibat perbedaan struktur geologi di setiap
tempat yang tergantung radius tempat terhadap semburan. (BPLS 2000 dalam
(Susantoro,2011 dalam (Sendy,2015))). Seiring perkembangan teknologi penginderaan
jauh, pemantauan deformasi suatu tempat dapat dilakukan dengan memanfaatkan citra
satelit yakni menggunakan penginderaan jauh aktif berupa RADAR (Radio Detection
and RangingI). Radar memanfaatkan gelombang elektromagnetik yakni gelombang
mikro yang akan dipancarkan ke bumi dan merekam hasil pantulan objek atau
permukaan bumi. Hasil perekaman sensor radar ini disebut sebagai SAR (Synthetic
Aperture Radar). (Sari, 2014 dalam (Sendy, 2015)).

Menggunakan metode ini, akan dibentuk pasangan citra master dan slave dari
dua pasang atau lebih citra SAR yang direkam pada lokasi yang sama di permukaan
bumi namun dengan waktu yang berbeda. Perubahan nilai fase yang direkam sensor
SAR menunjukkan perubahan posisi suatu titik di permukaan bumi. Adapun teknik
Differencing Interferometric SAR (DInSAR) merupakan proses untuk menghilangkan
efek atmosfer dan topografi sehingga didapatkan nilai deformasi suatu wilayah.

1.2 Tujuan dan Manfaat


Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui kondisi permukaan tanah di lokasi bencana lumpur Lapindo


2. Mengetahui deformasi yang terjadi di lokasi bencana lumpur Lapindo
3. Mengetahui struktur geologi di lokasi bencana lumpur Lapindo

1
BAB II
DASAR TEORI

2.1 Lumpur Lapindo


Banjir lumpur panas Sidoarjo, juga dikenal dengan sebutan Lumpur
Lapindo (Lula) atau Lumpur Sidoarjo (Lusi), adalah peristiwa menyemburnya lumpur
panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Dusun Balongnongo
Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia,
sejak tanggal 29 Mei 2006.

Lokasi pusat semburan hanya berjarak 150 meter dari sumur Banjar Panji-1
(BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas Inc sebagai
operator blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut
diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur
tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori soal asal semburan. Pertama,
semburan lumpur berhubungan dengan kesalahan prosedur dalam kegiatan pengeboran.
Kedua, semburan lumpur kebetulan terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat
sesuatu yang belum diketahui. Namun bahan tulisan lebih banyak yang condong
kejadian itu adalah akibat pengeboran.

Lokasi semburan lumpur tersebut merupakan kawasan permukiman dan di


sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari
lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan
Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas
timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli lumpur keluar disebabkan karena adanya


patahan, banyak tempat di sekitar Jawa Timur sampai ke Madura seperti Gunung
Anyar di Madura, "gunung" lumpur juga ada di Jawa Tengah (Bledug Kuwu).
Fenomena ini sudah terjadi puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Jumlah lumpur di
Sidoarjo yang keluar dari perut bumi sekitar 100.000 meter kubik per hari, yang tidak
mungkin keluar dari lubang hasil "pengeboran" selebar 30 cm. Dan akibat pendapat
awal dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia maupun Kementerian Lingkungan
Hidup Indonesia yang mengatakan lumpur di Sidoarjo ini berbahaya, menyebabkan
dibuat tanggul di atas tanah milik masyarakat, yang karena volumenya besar sehingga
tidak mungkin menampung seluruh luapan lumpur dan akhirnya menjadikan lahan yang
terkena dampak menjadi semakin luas.

Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat
sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT
Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk
mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar Rp6 triliun.

2
Gambar 1 Peta Semburan Lumpur Lapindo

Sejumlah upaya telah dilakukan untuk menanggulangi luapan lumpur,


diantaranya dengan membuat tanggul untuk membendung area genangan lumpur.
Namun, lumpur terus menyembur setiap harinya, sehingga sewaktu-waktu tanggul
dapat jebol, yang mengancam tergenanginya lumpur pada permukiman di dekat
tanggul. Jika dalam tiga bulan bencana tidak tertangani, adalah membuat waduk dengan
beton pada lahan seluas 342 hektare, dengan mengungsikan 12.000 warga.
Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan, untuk menampung lumpur sampai
Desember 2006, mereka menyiapkan 150 hektare waduk baru. Juga ada cadangan 342
hektare lagi yang sanggup memenuhi kebutuhan hingga Juni 2007. Akhir Oktober,
diperkirakan volume lumpur sudah mencapai 7 juta m3.Namun rencana itu batal tanpa
sebab yang jelas.
Badan Meteorologi dan Geofisika meramal musim hujan bakal datang dua
bulanan lagi. Jika perkira-an itu tepat, waduk terancam kelebihan daya tampung.
Lumpur pun meluap ke segala arah, mengotori sekitarnya.
Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) memperkirakan, musim hujan
bisa membuat tanggul jebol, waduk-waduk lumpur meluber, jalan tol terendam, dan
lumpur diperkirakan mulai melibas rel kereta. Ini adalah bahaya yang bakal terjadi
dalam hitungan jangka pendek.
Sudah ada tiga tim ahli yang dibentuk untuk memadamkan lumpur berikut
menanggulangi dampaknya. Mereka bekerja secara paralel. Tiap tim terdiri dari
perwakilan Lapindo, pemerintah, dan sejumlah ahli dari beberapa universitas
terkemuka. Di antaranya, para pakar dari ITS, Institut Teknologi Bandung,
dan Universitas Gadjah Mada. Tim Satu, yang menangani penanggulangan lumpur,
berkutat dengan skenario pemadaman. Tujuan jangka pendeknya adalah memadamkan

3
lumpur dan mencari penyelesaian cepat untuk jutaan kubik lumpur yang telah
terhampar di atas tanah.
2.2 Radar
Radar (yang dalam bahasa Inggris merupakan singkatan
dari Radio Detection and Ranging, yang berarti deteksi dan penjarakan radio) adalah
suatu sistem gelombang elektromagnetik yang berguna untuk mendeteksi, mengukur
jarak dan membuat map benda-benda seperti pesawat terbang, berbagai kendaraan
bermotor dan informasi cuaca (hujan).

Panjang gelombang yang dipancarkan radar bervariasi mulai dari milimeter


hingga meter. Gelombang radio/sinyal yang dipancarkan dan dipantulkan dari suatu
benda tertentu akan ditangkap oleh radar. Dengan menganalisis sinyal yang dipantulkan
tersebut, pemantul sinyal dapat ditentukan lokasinya dan melalui analisis lebih lanjut
dari sinyal yang dipantulkan dapat juga ditentukan jenisnya. Meskipun sinyal yang
diterima relatif lemah/kecil, namun radio sinyal tersebut dapat dideteksi dan diperkuat
oleh penerima radar.

Konsep radar adalah mengukur jarak dari sensor ke target. Ukuran jarak tersebut
didapat dengan cara mengukur waktu yang dibutuhkan gelombang elektromagnetik
selama penjalarannya mulai dari sensor ke target dan kembali lagi ke sensor.

Ada tiga komponen utama yang tersusun di dalam sistem radar, yaitu antena,
transmitter (pemancar sinyal) dan receiver (penerima sinyal) .

Antena

Antena yang terletak pada radar merupakan suatu antena reflektor berbentuk
piring parabola yang menyebarkan energielektromagnetik dari titik fokusnya dan
dipantulkan melalui permukaan yang berbentuk parabola. Antena radar memiliki du
akutub (dwikutub). Input sinyal yang masuk dijabarkan dalam bentuk phased-
array (bertingkat atau bertahap). Ini merupakan sebaran unsur-unsur objek yang
tertangkap antena dan kemudian diteruskan ke pusat sistem RADAR.

Pemancar sinyal (transmitter)

Pada sistem radar, pemancar sinyal (transmitter) berfungsi untuk memancarkan


gelombang elektromagnetik melalui antena. Hal ini dilakukan agar sinyal objek yang
berada didaerah tangkapan radar dapat dikenali. Pada umumnya, transmitter
memiliki bandwidth dengan kapasitas yang besar. Transmitter juga memiliki tenaga
yang cukup kuat, efisien, bisa dipercaya, ukurannya tidak terlalu besar dan tidak terlalu
berat, serta mudah dalam hal perawatannya.

Penerima sinyal (receiver)

Pada sistem radar, penerima sinyal (receiver) berfungsi sebagai penerima


kembali pantulan gelombang elektromagnetik dari sinyal objek yang tertangkap oleh

4
radar melalui reflektor antena. Pada umumnya, receiver memiliki kemampuan untuk
menyaring sinyal yang diterimanya agar sesuai dengan pendeteksian yang diinginkan,
dapat memperkuat sinyal objek yang lemah dan meneruskan sinyal objek tersebut ke
pemroses data dan sinyal (signal and data processor), dan kemudian menampilkan
gambarnya di layar monitor (display). Selain tiga komponen di atas, sistem radar juga
terdiri dari beberapa komponen pendukung lainnya, yaitu

 Waveguide, berfungsi sebagai penghubung antara antena dan transmitter.


 Duplexer, berfungsi sebagai tempat pertukaran atau peralihan antara antena dan
penerima atau pemancar sinyal ketika antena digunakan dalam kedua situasi
tersebut.
 Software, merupakan suatu bagian elektronik yang berfungsi mengontrol kerja
seluruh perangkat dan antena ketika melakukan tugasnya masing-masing.

Dalam bidang penerbangan, penggunaan radar terlihat jelas pada pemakaian Air
Traffic Control (ATC). Air Traffic Control merupakan suatu kendali dalam pengaturan
lalu lintas udara. Tugasnya adalah untuk mengatur lalu lalang serta kelancaran lalu
lintas udara bagi setiap pesawat terbang yang akan lepas landas (take off), terbang di
udara, maupun yang akan mendarat (landing). ATC juga berfungsi untuk memberikan
layanan bantuan informasi bagi pilot tentang cuaca, situasi dan kondisi bandara yang
dituju. radar mempunyai kelebihan dalam komunikasi . radar yang sangat kuat dapat
membantu pilot untuk melihat cuaca , layaknya pesawat terbang dan lain lain

2.3 Synthetic Aperture Radar (SAR)


SAR adalah singkatan dari Synthetic Aperture Radar, artinya SAR adalah
termasuk kedalam salah satu jenis radar. Hanya saja, berbeda dengan radar
konvensional yang mendeteksi dan menyajikan informasi lokasi atau jarak, SAR
menyajikan informasi dalam bentuk citra atau gambar. Jadi, SAR termasuk
kedalamimaging radar. Ciri khas dari cara kerja SAR ada pada pemrosesan data di arah
cross range (arah wahana tempat sensor berada). Selama sensor bergerak pada jalur
yang membentuk sudut rotasi tertentu, sinyal yang memantul dari obyek atau benda
diterima oleh sensor dalam bentuk amplitude dan fase kemudian diolah lebih lanjut
dengan teknik pengolahan sinyal (signal processing) untuk menghasilkan impulse
response yang sempit. Harap diingat, ketika kita berbicara tentang sudut rotasi, jika
radius rotasi sangat besar, maka jalur gerakan sensor dapat dianggap sebagai garis lurus.
Karena arah garis pandangnya selalu berubah, maka terbentuklah apertur sintetik oleh
pemrosesan sinyal, apertur sintetik inilah yang menciptakan efek seolah-olah sensor
kita memiliki ukuran antena yang lebih panjang dari sesungguhnya. Jika paragraf diatas
terasa sulit untuk dipahami, mungkin definisi berikut lebih mudah untuk dicerna:
Synthetic Aperture Radar adalah teknologi radar imaging yang memanfaatkan
teknik pemrosesan sinyal untuk membuat agar antena berukuran kecil dapat
memberikan hasil seperti antenna yang berukuran lebih panjang dengan cara
menggerakkan antenna tersebut.
Jadi, dengan cara menggerakkan antenna yang berukuran kecil dan
mengirimkan pulsa gelombang secara berurutan, SAR mensimulasikan sebuah
5
rangkaian antenna (antenna array) yang lebih besar. Seolah-olah titik dimana sebuah
pulsa dikirim adalah satu elemen, sehingga sebuah antena sintetik atau antena virtual
yang berukuran lebih besar terbentuk dari elemen antena tersebut.

2.4 Interferometric Synthetic Aperture Radar (InsAR)


Interferometric Synthetic Aperture Radar (InsAR) adalah teknologi
penginderaan Jauh yang menggunakan citra hasil dari satelit radar. Satelit radar
memancarkan gelombang radar secara konstan, kemudian gelombang radar tersebut
direkam setelah diterima kembali oleh sensor akibat dipantulkan oleh target di
permukaan bumi.
Citra yang diperoleh dari satelit radar berisi dua informasi penting. Informasi
tersebut adalah daya sinar pancar berupa fasa dan amplitudo yang dipengaruhi oleh
banyaknya gelombang yang dipancarkan serta dipantulkan kembali. Pada saat
gelombang dipancarkan dilakukan pengukuran fasa. Pada citra yang diperoleh dari tiap-
tiap pikselnya akan memiliki dua informasi tersebut. Intensitas sinyal dapat digunakan
untuk mengetahui karakteristik dari bahan yang memantulkan gelombang tersebut,
sedangkan fasa gelombang digunakan untuk menentukan apakah telah terjadi
pergerakan (deformasi) pada permukaan yang memantulkan gelombang tersebut.
InSAR yang merupakan salah satu metode dari SAR saat ini banyak digunakan
untuk pemetaan topografi daratan dan permukaan es, studi struktur geologi dan
klasifikasi batuan, studi gelombang dan arus laut, studi karakteristik dan pergerakan es,
pengamatan deformasi, dan gempa bumi.
Khusus untuk bidang deformasi, kini InSAR menjadi alternatif teknologi yang
menjanjikan dalam penelitian deformasi seperti penurunan tanah (land subsidence) dan
penelitian gempa bumi. Penggunaan InSAR dalam penelitian gempa bumi berkembang
setelah terjadinya gempa Landers di Amerika, yang terdokumentasikan serta
terinformasika deformasinya dengan baik oleh citra InSAR.

2.5 Deferensial Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInsar)


DInSAR adalah teknologi geodesi yang telah dikembangkan dengan baik
selama beberapa dekade terakhir untuk pengamatan deformasi permukaan dengan
akurasi yang tinggi pada sentimeter. Teknik ini menggunakan lebih dari dua citra radar
(citra radar multitemporal) sehingga akan timbul temporal decorrelation dan
atmospheric dishomogeneities yang mempengaruhi kulitas hasil inteferogram.
Teknik Penginderaan Jauh dengan InSAR sering digunakan untuk pemantauan
perubahan (deformasi) suatu area sampai ketelitian orde cm. Untuk mendapatkan orde
ketelitian seperti itu, maka metode pengolahan data InSAR dilakukan dengan cara di
differrensialkan. Pada metode ini digunakan beberapa pasang interferogram sekaligus
untuk mendeteksi perubahan permukaan topografi dengan ketelitian yang sangat tinggi.
Pola interferensi dari 2 citra (master dan slave) SAR pada daerah yang sama, diperoleh
dengan cara 2 kali lintasan bergantung pada topografi yang dicitrakan. Pada citra hasil
lintasan pertama diperoleh nilai fasa, begitu pun dengan citra kedua pada lintasan kedua
diperoleh juga nilai fasa. Jika terjadi perbedaan fasa antara pencitraan lintasan pertama

6
dengan lintasan kedua, maka akan terlihat fringes (rumbai - rumbai) pada interferogram
yang dinamakan displacement fringes. Pada interferogram terdapat 2 macam fringe
utama, yaitu displacement fringe yang diakibatkan karena pergeseran permukaan
topografi , kedua adalah topographic fringe yang diakibatkan bentuk topografi.

7
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Diagram Alir

Citra Sentinel 1-A Citra Sentinel 1-A


(Master) (Slave)

Coregistration

Interferometry SAR Processing

(InSAR Processing)

Interferogram

DInSAR Processing DEM di sistem SAR

DInSAR Interferogram

Geocoding

Analisa Penurunan Muka


Tanah

Hasil dan
Pembahasan

Gambar 2 Diagram Alir Penelitian

8
Penjelasan Diagram Alir

1. Data SAR
Untuk menganalisa deformasi di suatu daerah, dilakukan pengolahan data SAR di
lokasi yang sama dengan waktu perekaman berbeda. Data tersebut dibentuk menjadi
pasangan data master dan slave.
2. Proses Co-registration
Setiap data SAR yang diperoleh memiliki sistem koordinat masin-masing, sebelum
proses lebih lanjut, diawal perlu dilakukan proses co-registration yang merupakan
proses penyatuan sistem koordinat antar citra dalam satu pasangan.
3. InSAR Processing
Sebelum memasuki tahap ini, sebelumnya dilakukan proses coregistrasi citra SAR,
selanjutnya akan dilakukan tahap Interferogram formating untuk membentuk data
interferogram. Dalam tahap ini pula dilakukan proses Flattening untuk mengubah
bidang proyeksi citra menjadi bidang datar. Dalam proses ini pula ditentukan nilai
koherensi citra SAR yang diolah.
4. DInSAR Processing
Pada tahap ini, dilakukan proses phase filtering untuk menghilangkan noise yang ada.
Selain ini dilakukan proses phase unwrapping untuk menentukan fase absolut
interferometrik dari fase relatif.
5. Geocoding
Pada tahap ini dilakukan transformasi koordinat kembali ke geografis.

9
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk mengetahui besar subsidance dan uplift maka dibuat potongan melintang di bagian
Utara, Selata, Barat, dan Timur tanggul Lumpur Lapindo kemudian ditampilkan grafik besar
deformasi sehingga diketahui besar rata-rata subsidance dan uplift yang terjadi.

a. Besar rata- rata nilai uplift pada tahun 2008-2009 yaitu 0 – 10 cm/th, sedangkan besar
subsidence antara 0 - -20 cm/th. Sebagian besar uplift terjadi di bagian Utara,
sedangkan di bagian Selatan, Barat dan Timur sebagian besar mengalami subsidence.

Gambar 3 Grafik Pola Deformasi Tahun 2008-2009

10
b. Besar rata- rata nilai uplift pada tahun 2009-2010 yaitu 0 – 5 cm/th, sedangkan besar
subsidence antara 0 - -20 cm/th. Uplift yang terjadi di bagian Utara hanya sebagian
kecil, sebagian besar di tiap bagian mengalami subsidence.

Gambar 4 Grafik Pola Deformasi Tahun 2009-2010

11
c. Besar rata- rata nilai uplift pada tahun 2010-2011 yaitu 0 – 5 cm/th, sedangkan besar
subsidence antara 0 - -15 cm/th. Uplift yang terjadi di bagian Utara, Barat dan Timur
hanya sebagian kecil, sebagian besar di tiap bagian mengalami subsidence.

Gambar 5 Grafik Pola Deformasi Tahun 2010-2011

d. Berdasarkan gambar grafik dari ketiga pasang data didapatkan bahwa antara tahun 2008
sampai 2011 besar rata-rata uplift antara 0 – 10 cm/tahun, sedangkan besar rata-rata
subsidance antara 0 - -20 cm/th.

12
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Penerapan metode DInSAR baik digunakan dalam mengamati deformasi di area
Lumpur Lapindo dengan ketelitian sub-sentimeter. Teknik ini belum dapat dikatakan
sebagai teknik pengukuran ground movement yang akurat, namun teknik DInSAR
mampu menggambarkan pola deformasi secara general.

5.2 Saran
Karena pengolahan data SAR dengan teknik DInSAR masih memiliki kesalahan
atau dekorelasi berupa dekorelasi temporal, atmosferik, serta noise, maka sebaiknya
gunakan teknik yang lebih akurat untuk penelitian selanjutnya, yaitu teknik PS-InSAR
(Persistent Scatterer Interferometry SAR).

13
DAFTAR PUSTAKA

Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo. (2006). Dipetik September 25, 2017, dari Wikipedia:


https://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo

Wikipedia. (2017, Januari 24). SAR_Sistem. Dipetik September 25, 2017, dari Wikipedia:
https://id.wikipedia.org/wiki/SAR_Sistem

Yulyta, S. A. (2015, Agustus). Studi Pengamatan dan Kenaikan Muka Tanah Menggunakan
Metode Defferential Interferometri Synthetic Aperture Radar (DInSAR) Studi Kasus
Lumpur Lapindo, Sidoarjo. Geoid Vol.11, 62-66.

Augustan. 2010. Mengamati Perubahan Gunung Api di Indonesia dengan Metode InSAR.
Indonesia : INOVASI Online, Catatan Riset.

Prasetyo, Yudo. 2009. Teori Dasar Deformasi. 6 Maret 2012.


S<http://yudopotter.wordpress.com/2009/05/05/teori-dasar-deformasi>

Prasetyo, Yudo. 2009. Teori, Konsep dan Metodologi Teknik Permanent Scatterer (PS-InSAR)
Didalam Pemetaan Deformasi Permukaan Bumi. 6 Maret 2012.
<http://yudopotter.wordpress.com/2009/10/20/teori-konsep-dan-metodologi-teknik-
permanentscatterer-ps-insar-didalam-pemetaan-deformasi-permukaan-bumi>

14

Anda mungkin juga menyukai