Anda di halaman 1dari 79

LAPORAN AKHIR TAHUN

PROGRAM INSINAS RISET PRATAMA INDIVIDU

Bidang Riset : Teknologi Kebencanaan


Rujukan Tema : Teknologi dan Manajemen Bencana Hidrometeorologi
(Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana)

DAFTAR ISI

MODEL HUBUNGAN CURAH HUJAN-LIMPASAN


PADA LERENG TERTUTUP ABU VULKANIK
UNTUK PENGEMBANGAN SISTEM PRAKIRAAN DAN PERINGATAN DINI
BANJIR LAHAR

Tahun ke-2 dari rencana 2 tahun

Ketua:

Joko Nugroho, S.T., M.T., Ph.D.

Anggota:

Prof. Ir. Indratmo Soekarno, M.Sc., Ph.D.

Dr. Eng. Arno Adi Kuntoro, ST., MT.

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

Oktober 2021
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN KEMAJUAN ............................................... i


DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii
ABSTRAK......................................................................................................................... iv
BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................................. 5
1.1 Latar Belakang................................................................................................... 5
1.2 Tujuan dan Sasaran .......................................................................................... 7
1.3 Kebaruan dan Terobosan Teknologi ............................................................... 7
BAB 2. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ...................................................... 9
2.1 Ancaman dan Kerentanan terhadap Bencana Banjir Lahar ........................ 9
2.2 Potensi Risiko Bencana Banjir Lahar............................................................ 10
2.3 Prospek Implementasi terhadap Pengurang Risiko Bencana Banjir Lahar
11
BAB 3. METODE PENELITIAN .................................................................................. 13
3.1 Telaah Literatur/ Pustaka ............................................................................... 13
3.2 Peta Rencana .................................................................................................... 17
3.3 Metode Penelitian ............................................................................................ 17
3.3.1 Lingkup dan Tahapan Kegiatan ..................................................................17
3.3.2 Metode Eksperimental Laboratorium ........................................................19
BAB 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH KAJIAN .................................................. 22
4.1 Lokasi Kajian ................................................................................................... 22
4.2 Kondisi Wilayah Kajian .................................................................................. 22
4.2.1 Topografi .......................................................................................................... 22
4.2.2 Tutupan Lahan ................................................................................................ 24
4.2.3 Geologi .............................................................................................................. 26
4.2.4 Klimatologi ....................................................................................................... 28
4.2.5 Riwayat Erupsi................................................................................................. 29
4.2.6 Sistem Sungai dan Banjir Lahan.................................................................... 32
BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI....................................................... 35
5.1 Hasil Analisis dan Pembahasan ...................................................................... 35
5.1.1 Aktifitas Vulkanik Gunung Merapi ............................................................... 35
5.1.2 Banjir Lahar Pasca Erupsi ............................................................................. 36
5.1.3 Analisis Distributi Frekuensi Curah Hujan Menitan................................... 38
5.1.4 Analisis Kurva IDF .......................................................................................... 40
5.1.5 Analisis Hubungan Curah Hujan-Infiltrasi .................................................. 44

ii
5.1.6 Model Hubungan Curah Hujan-Limpasan Aliran Lahar ........................... 49
5.2 Luaran yang Dicapai ....................................................................................... 57
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 59
REFERENSI .................................................................................................................... 61
Lampiran 1. Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (100%)
Lampiran 2. Publikasi Jurnal Nasional
Lampiran 3. Publikasi Jurnal Internasional

iii
ABSTRAK

Indonesia memiliki 129 gunungapi aktif, sehingga risiko bencana terkait gunungapi
tinggi. Banjir lahar merupakan bencana sekunder yang terjadi pasca erupsi
gunungapi yang dipicu oleh hujan akibat material erupsi terbawa oleh aliran hujan
ke hilir. Pengendalian banjir lahar secara hard structure di Indonesia hanya
diterapkan pada wilayah gunungapi prioritas, oleh sebab itu, pendekatan soft
structure berupa sistem peringatan dini menjadi penting. Penerapan sistem
peringatan dini ini terkendala karena sangat tergantung pada ketersediaan data.
Pasca erupsi terjadi perubahan karakteristik DAS yang cenderung signifikan,
terutama pada tutupan lahan, kelerengan dan material erupsi. Hal ini
mengakibatkan peningkatan kemungkinan terjadinya banjir lahar. Beberapa
penelitian mengindikasikan peningkatan aliran permukaan (runoff) akibat adanya
endapan abu vulkanik pada lereng. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut dalam
penelitian ini akan dikembangkan model hubungan curah hujan-limpasan pada
suatu lereng yang tertutup abu vulkanik. Penelitian ini menggunakan pendekatan
eksperimental uji model fisik laboratorium dengan rainfall simulator, dimana
parameter yang ditinjau meliputi kemiringan lereng, ketebalan abu vulkanik serta
intensitas hujan. Dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh hubungan antar
parameter yang diperoleh dari uji model fisik sehingga dapat disusun model
hubungan curah hujan-limpasan pada kawasan gunungapi pasca erupsi sebagai
dasar dalam prediksi banjir lahar.

Kata Kunci: Aliran permukaan, banjir lahar, abu vulkanik, model fisik,
simulator hujan

iv
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki 129 gunungapi aktif atau ±13% gunungapi di dunia,
yang merupakan bagian dari cincin api Pasifik (Pacific Ring of Fire) (Simandjuntak
dan Barber, 1996; Zaennudin, 2010). Meskipun Indonesia berada pada urutan
ketiga sebagai negara dengan gunungapi terbanyak di dunia, namun Indonesia
menjadi negara dengan frekuensi erupsi tertinggi tiap tahunnya. Dengan kondisi
tersebut wilayah Indonesia merupakan wilayah dengan tingkat kerawanan bencana
yang tinggi, khususnya terkait aktifitas vulkanik atau kegunungapian. Berdasarakan
data dan informasi kegunungapian dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi (PVMBG), dari tahun 2010 hingga 2017 tercatat setiap tahun terjadi
peristiwa erupsi gunungapi.

Dukono Rinjani

Soputan Merapi Kelud Gamalama Gamalama Agung

Merapi Sinabung Sinabung


Krakatau Lokon Sinabung Sinabung Sinabung

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Gambar I.1 Peristiwa erupsi gunungapi di Indonesia dari tahun 2010-2017


berdasarkan informasi PVMBG

Berdasarkan prosesnya, bencana gunungapi dibagi menjadi dua, yaitu


bencana primer dan bencana sekunder (Yunita, Prinadiastari, dan Ridwan, 2015;
Sagita dan Widiyanto, 2012). Bencana primer adalah bencana yang diakibatkan
langsung oleh peristiwa erupsi gunungapi, seperti aliran awan panas (pyroclastic
flow), lontaran material (ejected material), hujan abu vulkanik (volcanic ash), aliran
lava, gas beracun dan gempa vulkanik (volcanic tremor) (Yunita, Prinadiastari, dan
Ridwan, 2015; Kusumawardani, Kurniadhi, Mukhlisin, dan Legono, 2016). Selain
bencana primer, pasca terjadinya erupsi juga terdapat potensi bencana sekunder,
yaitu banjir lahar (Yunita, Prinadiastari, dan Ridwan, 2015). Banjir lahar
merupakan fenomena banjir di daerah gunungapi yang terjadi pasca erupsi sebagai

5
akibat deposit material erupsi di puncak terbawa oleh aliran hujan sehingga
menimbulkan aliran massa material vulkanik bercampur air (Kusumobroto, 2013).
Pengendalian bencana banjir lahar di Indonesia sebagai bentuk mitigasi
pengurangan bencana dilakukan dalam dua pendekatan, yaitu melalui pendekatan
struktur dan non-struktur (Hardjosuwarno, Report of Training on Disaster
Information Technology, 2003). Pendekatan pengendalian banjir lahar secara
struktur dilakukan dengan pembangunan checkdam (sabodam) pengendali aliran
lahar pada sungai-sungai yang berpotensi membawa aliran material vulkanik
(Saputra, 2013). Pengendalian lahar dengan checkdam ini telah diterapkan secara
intensif pada beberapa wilayah gunungapi, seperti Merapi, Kelud, Semeru,
Galunggung, Agung, Gamalama dan yang terakhir sedang dilaksanakan di wilayah
Sinabung. Namun, jika dibandingkan dengan jumlah gunungapi yang ada di
Indonesia, wilayah tersebut kurang dari 10% wilayah gunungapi yang ada. Hal ini
disebabkan karena pembangunan infrastruktur pengendali banjir lahar
membutuhkan waktu dan biaya yang besar (Hardjosuwarno, Report of Training on
Disaster Information Technology, 2003). Oleh karena itu, antisipasi bencana banjir
lahar berupa non-struktur menjadi instrumen yang penting dalam upaya
mengurangi risiko bencana akibat banjir lahar, salah satunya dengan membangun
sistem peringatan dini banjir lahar (Hardjosuwarno, Report of Training on Disaster
Information Technology, 2003; Saputra, 2013).
Membangun sistem peringatan dini banjir lahar memiliki tantangan
tersendiri karena banjir di sungai lahar memiliki karakteristik yang sulit diprediksi,
khususnya pasca terjadinya erupsi. Perubahan pola banjir pasca erupsi ini terutama
disebabkan oleh perubahan mendadak tutupan lahan karena tertutup oleh material
letusan. Material erupsi, baik abu vulkanik maupun piroklastik, telah
mengakibatkan hilangnya vegetasi dan mengurangi kapasitas infiltrasi, serta
menurunkan kekasaran (roughness) alami permukaan lereng (Major, J.J. dkk.,
1996). Prediksi kejadian banjir lahar dengan metode yang ada saat ini memiliki
tantangan karena menuntut ketersedian data historis banjir lahar dan peralatan
observasi yang handal, sementara pada kenyataannya untuk wilayah gunungapi hal
tersebut sulit dipenuhi. Sementara itu, penelitian terkait formulasi hubungan curah
hujan-limpasan pada DAS pasca erupsi masih bersifat lokal, sehingga

6
penerapannya secara umum belum bisa dilakukan. Berdasarkan latar belakang
tersebut maka perlu dilakukan penelitian terkait hubungan curah hujan-limpasan
pada lereng tertutup material eruspi, khususnya abu vulkanik dengan pendekatan
eksperimental demplot di laboratorium. Dengan eksperimental skala laboraotrium
tersebut akan dapat diamati hubungan curah hujan-limpasan dengan kondisi yang
lebih terkontrol. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan formulasi umum
hubungan curah hujan-limpasan untuk suatu lereng tertutup abu vulkanik pasca
terjadinya erupsi.

1.2 Tujuan dan Sasaran


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman dampak
lapisan abu vulkanik pada suatu lereng terhadap proses pembentukan aliran
permukaan (runoff) pada kondisi kemiringan lereng dan ketebalan abu vulkanik
tertentu di wilayah gunungapi pasca erupsi.
Sasaran dari penelitian ini adalah diperolehnya formula hubungan curah
hujan-limpasan pada suatu lereng yang tertutup abu vulkanik sebagai dasar untuk
pemodelan prediksi banjir lahar pasca terjadinya erupsi, untuk mendukung
pengembangan sistem prakiraan dan peringatan dini dalam upaya mitigasi
pengurangan risiko bencana banjir lahar.

1.3 Kebaruan dan Terobosan Teknologi


Metode prediksi banjir lahar di Indonesia selama lebih dari 30 tahun
menggunakan pendekatan yang sama, yaitu penentuan garis kritis dengan Yano
Method dan Judgement graph. Pada metoda ini kondisi kritis banjir lahar
ditentukan berdasarkan data historis kejadian banjir lahar dengan indikator
instensitas hujan aktual dan tinggi hujan beberapa waktu sebelumnya (antecedent
rainfall). Sehubungan dengan terbatasnya data historis kejadian banjir lahar, metode
ini sebenarnya sulit diterapkan pada sebagian besar wilayah gunungapi. Penelitian
terbaru terkait penentuan garis kritis adalah dengan Metode Radial Basis Function
Network (RBFN). Penerapan metode ini telah dilakukan oleh Gonda dkk (2017) di
Merapi. Penyempurnaan pada Metode RBFN hanya pada penentuan kurva garis
kritis yang lebih objektif secara probabilitas statistik, namun demikian parameter

7
penyusunan garis kritis itu sendiri masih menggunakan komponen yang sama
dengan metode konvensional, dimana hanya terpusat pada parameter curah hujan
dan mengabaikan parameter lain yang terlibat dalam mekanisme pembentukan
aliran lahar di lereng yang dipicu oleh aliran permukaan (runoff), seperti
kemiringan lereng dan ketebalan abu vulkanik.
Berdasarkan tinjauan terhadap penelitian-penelitian terdahulu, maka
penelitian ini akan mengembangkan suatu model hubungan curah hujan-limpasan
yang nantinya dapat digunakan dalam prediksi banjir lahar. Penelitian ini
difokuskan pada pengamatan hubungan curah hujan-limpasan pada lereng yang
tertutup abu vulkanik. Pendekatan ini mempertimbangkan tidak hanya parameter
intensitas dan durasi hujan pemicu banjir lahar saja, namun juga parameter
kemiringan lereng dan ketebalan abu vulkanik yang diperkirakan juga berpengaruh
aliran permukaan yang terbentuk dan debit sedimen yang terbawa ke hilir. Selain
itu, dalam penelitian ini parameter-parameter tersebut diujicobakan dalam model
fisik menggunakan Rainfall Simulator dengan nilai yang lebih bervariasi
dibandingkan penelitian sebelumnya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
solusi dalam prediksi banjir lahar yang lebih relevan dibandingkan dengan model
prediksi yang saat ini digunakan, khususnya pada daerah yang tidak memiliki data
historis kejadian banjir. Kebaruan teknologi yang akan dikembangkan dalam
penelitian ini disajikan dalam Tabel I.1 berikut.

Tabel I.1 Kebaruan Teknologi


No. Item State of the art Keterbaruan dan terobosan

1 Variabilitas Variasi nilai pada studi terdahulu Variasi nilai parameter yang cukup luas untuk
parameter untuk parameter yang ditinjau masih memperolah variasi kombinasi hubungan (intensitas
terbatas. hujan, ketebalan aliran permukaan, kemiringan
lereng, dan ketebalan abu vulkanik)
2 Fenomena Studi terdahulu lebih mengkaji Fenomena yang akan dikaji terkait hubungan hujan
yang dikaji hubungan hujan dengan kejadian dengan aliran permukaan di lereng.
banjir di sungai
3 Metode Metode studi terdahulu berupa Metode penelitian yang akan dilakukan berupa
penelitian observasi dan analisis hubungan observasi dan analisis hubungan curah hujan-
curah hujan-limpasan skala DAS limpasan skala demplot di laboratorium
atau skala demplot di lapangan

8
BAB 2. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

2.1 Ancaman dan Kerentanan terhadap Bencana Banjir Lahar


Berdasarkan Indonesia dengan 128 gunungapi aktif di wilyahnya
merupakan negara ketiga dengan jumlah gunungapi terbanyak di dunia setelah
Amerika Serikat (173 gunungapi) dan Rusia (166 gunungapi). Hal ini merupakan
konsekuensi posisi Indonesia sebagai bagian dari Cincin Api Pasifik (Pasific Ring
of Fire) yang merupakan rangkaian gunungapi di seputar Samudra Pasifik.
Keberadaan gunungapi ini memberikan keuntungan dari sisi kekayaan mineral
tambang dan kesuburan tanah, namun juga meningkatkan risiko kerawanan
terhadap bencana.

Gambar II.1 Peta Sebaran Gunungapi di Wilayah Indonesia (Badan Geologi,


Kementerian ESDM, 2010)

Ditinjau dari tingkat kerentanannya Indonesia menjadi negara paling rentan


terhadap risiko bencana gunungapi. Hal ini disebabkan karena frekuensi kejadian
bencana gunungapi yang tinggi serta banyaknya jumlah penduduk yang tinggal di
wilayah kerentanan. Sebagai gambaran di Pulau Jawa yang dihuni oleh sekitar
57% jumlah penduduk Indonesia, terdapat setidaknya 34 gunungapi aktif, dimana

9
salah satunya adalah Gunung Merapi yang merupakan gunungapi paling aktif di
dunia dengan periode erupsi 4-7 tahun. Demikian juga, Sumatera yang ditinggali
lebih dari 21% penduduk Indonesia memiliki setidaknya 30 gununali aktif. Dari
kondisi ini terlihat bahwa pola sebaran penduduk Indonesia justru terkonsentrasi
pada wilayah yang rawan bencana gunungapi. Hal ini mengakibatkan tingkat
kerentanan terhadap bencana gunungapi menjadi tinggi.

35
30
25
20
15
10
5
0
Sumatera Jawa Bali & NTB Sulawesi Kep. Maluku
Tipe A Tipe B Tipe C

Gambar II.2 Sebaran Gunungapi di Wilayah Indonesia Berdasarkan Pulau

2.2 Potensi Risiko Bencana Banjir Lahar


Bencana banjir lahar merupakan fenomena kombinasi bencana geologi dari
erupsi gunungapi dan bencana hidroklimatologi yang dipicu oleh hujan. Pasca
erupsi terdapat endapan vulkanik akan terdeposisi di lereng puncak, saat terjadi
hujan material vulkanik tersebut terbawa oleh aliran permukaan, akumulasi aliran
ini menjadi aliran massa debris yang memiliki daya rusak tinggi sehingga dapat
merusak infrastruktur sungai dan dapat menimbun wilayah datar di kaki gunung.
Dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh banjir lahar disajikan dalam Gambar
II.3.
Kejadian banjir lahar dapat mengakibatkan kerusakan infrastruktur dan
pemukiman di sekitar sungai, mengakibatkan kerugian harta, benda bahkan nyawa.
Namun demikian, banyak pemukiman berada di wilayah rawan bencana tersebut
khususnya masyarakat agraris karena pasca erupsi tanah menjadi subur dan kaya

10
mineral. Selain itu, pasir dari material erupsi juga menjadi sumber bahan bangunan
yang berkualitas tinggi sehingga memiliki nilai ekonomis. Hal ini menjadi daya
tarik sehingga masih banyak masyarakat yang tinggal di daerah rawan banjir lahar.
Oleh sebab itu, untuk mengurangi risiko dampak bencana banjir lahar dilakukan
beberapa upaya mitigasi bencana oleh Pemerintah.

Desa Sukatendel, Karo, G.Sinabung (2017)

Kali Putih, G. Merapi (2011) Kali Ngobo, G. Kelud (2017)

Gambar II.3 Dampak Banjir Lahar pada Beberapa Wilayah Gunungapi di Indonesia

2.3 Prospek Implementasi terhadap Pengurang Risiko Bencana Banjir Lahar


Upaya pengurangan risiko bencana banjir lahar di Indonesia menggunakan
dua pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan structural melalui pembangunan checkdam, tanggul, kantong
lahar, dan bangunan pengarah aliran di sungai-sungai lahar.
2. Pendekatan non-struktural melalui sistem prakiraan dan peringatan dini
(FEWS), regulasi penataan ruang, edukasi dan informasi kebencanaan.
Pendekatan structural membutuhkan biaya yang sangat mahal sehingga hanya
diterapkan di wilayah strategis yang menjadi prioritas, sementara wilayah
kerentanan bencana banjir lahar sebagian besar merupakan daerah rural atau
pedesaan. Oleh karena itu, pendekatan non-struktural menjadi penting dalam
pengurangan risiko bencana banjir lahar. Sistem pengembangan sistem prakiraan

11
dan peringatan dini adalah salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam
upaya tersebut.
Dalam kondisi kebencanaan kecepatan dan ketepatan dalam memprediksi
kejadian bencana menjadi factor utama dalam focus pengembangan FEWS, namun
demikian pengembangan FEWS banjir lahar terkendala karena keterbatasan
peralatan observasi banjir lahar dan kerusakan peralatan yang terjadi justru pada
saat banjir. Sementara itu, prediksi banjir lahar sangat bergantung dengan data
historis kejadian banjir lahar. Hasil penelitian ini diharapkan akan mendukung
upaya mitigasi risiko bencana banjir lahar di Indonesia, khususnya terkait dengan
pengembangan model prediksi banjir lahar yang dapat mendukung Sistem
Prakiraan dan Peringatan Dini di wilayah-wilayah gunungapi di Indonesia yang
memiliki keterbatasan data dan peralatan observasi.
Dampak manfaat dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah :
• Sebagai acuan untuk melakukan pemetaan resiko untuk seluruh daerah
rentan banjir lahar dengan memprioritaskan daerah yang paling rawan
bencana banjir lahar
• Sebagai acuan dalam memprediksi bencana banjir lahar yang akan terjadi
• Sebagai acuan dalam pengembangan system peringatan dini (early warning
system) banjir lahar
• Sebagai dasar pengambilan berbagai keputusan yang cepat dalam kondisi
bencana banjir lahar
2. Bagi Masyarakat Umum :
• Dengan adanya informasi tingkat resiko daerah tempat mereka tinggal akan
meningkatkan tingkat pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat terhadap
kemungkinan banjir lahar.
• Sebagai komponen sistem prakiraan dan peringatan dini banjir untuk
estimasi yang lebih akurat dapat dalam rangka mengurangi berbagai
kerugian akibat dampak banjir lahar terhadap masyarakat
3. Bagi masyarakat/komunitas akademik:
• Menyumbangkan pendekatan baru dalam mempelajari hubungan antar
parameter pemicu banjir lahar.

12
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Telaah Literatur/ Pustaka


Peristiwa erupsi gunungapi, khususnya dengan tipikal eksplosif,
merupakan jenis fenomena alam yang dapat mengubah bentang alam wilayah
sekitarnya secara mendadak. Eksplosif erupsi mengakibatkan hilangnya vegetasi
dan tertutupnya permukaan wilayah sekitar gunungapi dengan fragmen material
vulkanik (tephra), sehingga menyebabkan perubahan hidrologi wilayah tersebut.
Penelitian terkait dampak erupsi terhadap perubahan hidrologi ini telah dilakukan
di berbagai gunungapi, di antaranya di Gunung Merapi (Shimokawa dkk., 1996),
Miyakejima Volcano (Tagata, S. dkk., 2006), Sakurajima Volcano (Teramoto, Y.
dkk., 2006), Montserrat (Alexander, J. dkk., 2010), , dan Mount St. Helens (Major,
J. dkk., 2018).
Tagata, S. dkk. (2006) melakukan pengamatan selama beberapa tahun
paska erupsi Miyakejima Volcano tahun 2000 untuk melihat pola perubahan curah
hujan-limpasan, erosi dan vegetasi dalam kurun waktu tersebut. Pengamatan dan
survey dilakukan langsung di lapangan pada 3 lokasi DAS, yaitu Kaniga-sawa,
Tatsune-sawa dan Enoki-sawa. Parameter yang diamati adalah kelerengan,
ketebalan endapan vulkanik dan diamater partikel vulkanik. Perubahan parameter
tersebut diamati dari waktu ke waktu (tahun 2002-2004) untuk melihat
pengaruhnya terhadap hubungan curah hujan-limpasan di daerah tersebut. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa aliran permukaan (runoff) pada lereng sangat
ditentukan oleh luasan dan ketebalan deposisi material dan diameter abu vulkanik,
dimana material vulkanik halus berpengaruh menurunkan permeabilitas. Secara
umum aliran permukaan menurun dari waktu ke waktu, dipengaruhi oleh hilangnya
lapisan material vulkanik halus sehingga permeabilitas tanah meningkat dan mulai
tumbuhnya vegetasi. Selain itu, semakin ke hulu volume sedimen yang mengalami
peluruhan pada lereng semakin besar, hal ini dipengaruhi oleh tingkat kelerengan
yang tinggi. Sementara proses pemulihan vegetasi pada area yang terdampak besar
gas dan abu vulkanik belum terlihat bahkan setelah 5 tahun berlalu, namun pada
area yang terdampak ringan proses pemulihan vegetasi pada awalnya berjalan
lambat, namun pada tahun ke-5 mengalami pemulihan yang signifikan. Penelitian

13
ini memberikan bukti yang kuat terkait parameter yang menentukan besar runoff
beberapa tahun pasca erupsi.
Berbeda metode dengan Tagata, S. dkk., pada tahun yang sama
Teramoto,Y. dkk (2006) melakukan penelitian serupa namun melalui pengamatan
pada DAS buatan di lapangan atau laboratorium in situ di lereng Gunungapi
Sakurajima. Penelitian ini dimaksudkan untuk menyelidiki efek abu vulkanik pada
proses runoff, area yang berkontribusi terhadap terjadinya aliran permukaan
Hortonian, aliran permukaan, dan debit sedimen oleh erosi permukaan. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa dengan tingkat intensitas hujan yang sama,
aliran permukaan (runoff), debit sedimen oleh erosi permukaan, dan diameter rata-
rata sedimen dalam aliran adalah lebih besar pada lereng yang ditutupi oleh abu
vulkanik daripada lereng yang tidak tertutup abu. Nilai SD/SR, yaitu rasio debit
sedimen dari erosi permukaan dengan debit aliran permukaan (runoff), meningkat
setelah abu vulkanik disebar, namun cenderung menurun seiring waktu dengan
tererosinya lapisan abu vulkanik di permukaan. Selain itu, hasil analisis model
runoff dan penyelidikan lapangan menunjukkan bahwa lapisan abu vulkanik
mengakibatkan penurunan kehilangan curah hujan dan kekasaran (Koefisien
Manning) dan peningkatan area yang berkontribusi terhadap terjadinya aliran
overland Hortonian, debit aliran permukaan, dan debit sedimen. Namun, kehilangan
curah hujan dan koefisien kekentalan Manning meningkat seiring dengan waktu
karena proses armoring lapisan abu vulkanik permukaan, dan sebagai hasilnya, area
yang berkontribusi pada terjadinya aliran overland Hortonian, debit aliran
permukaan, dan debit sedimen juga menurun.
Dalam kajian terkait dengan kondisi DAS paska erupsi, Alexander, J. Dkk
(2010) mencoba mengkorelasikan pengaruh kerusakan vegetasi dan material tephra
jatuhan terhadap terjadinya banjir bandang sedimen (sediment-charged flash
floods) pada kejadian spesifik tanggal 20 Mei 2006. Studi tersebut dilakukan di
kawasan Gunugapi Montserrat, khususnya pada DAS Belham (12,9 km2). Dari hasil
kajian tersebut disimpulkan bahwa curah hujan bukanlah faktor utama yang
mengakibatkan terjadinya banjir bandang ekstrim pada tanggal 20 Mei 2006. Curah
hujan pada saat kejadian bukan merupakan curah hujan yang ekstrim, dan pada
beberapa kejadian curah hujan tinggi tidak diikuti dengan terjadi banjir bandang

14
pada DAS Belham. Faktor utama yang mengakibatkan terjadinya banjir bandang
diduga karena kerusakan vegetasi yang terjadi akibat aktifitas vulkanik
sebelumnya. Diperkirakan area yang mengalami kerusakan vegetasi cukup
signifikan sebesar 68,5% dari total luas DAS, dimana berdampak terhadap
penurunan kekasaran lereng, naiknya kecepatan aliran dan angkutan sedimen.
Selain itu, material jatuhan tephra juga ikut berkontribusi memberikan efek selimut
abu pada permukaan DAS mengurangi infiltrasi, menaikan debit aliran dan
menambah angkutan sedimen.
Major, J. dkk. (2018) melakukan pengamatan proses erosi dan sedimentasi
pada Sungai Toutle dalam kurun waktu 30 tahun paska erupsi Mount St. Helens
tahun 1980. Dari hasil pengamatan, angkutan sedimen pada sungai yang berhulu
Mt. St. Helens dipengaruhi oleh luasan areal terdampak, pola sebaran dan jenis
endapan material vulkanik, dimana makin luas areal tertutup material vulkanik
angkutan sedimennya makin tinggi. Pola angkutan sedimen pada daerah hulu terjadi
erosi alur sungai yang cukup signifikan sedangkan pada daerah hilir sungai terjadi
agradasi akibat proses sedimentasi material dari hulu.
Namun, demikian dalam studi-studi yang telah dijabarkan ini indikasi
peran faktor-faktor tersebut dalam memicu terjadinya banjir bandang belum dapat
diformulasikan besaran kontribusinya dan pengaruhnya terhadap besar aliran
permukaan. Kajian kuntitatif dengan pendekatan eksperimental laboratorium yang
lebih merepresentasikan kontribusi dampak abu vulkanik terhadap terjadinya aliran
permukaan diberikan oleh Miyata, S., dkk. (2016) dan Robbie Jones, dkk. (2017).
Miyata, S. dkk. (2016) melakukan kajian terhadap perubahan temporal karakteristik
infiltrasi lapisan abu vulkanik dan pengaruhnya terhadap proses aliran permukaan.
Studi tersebut dilakukan dengan ekseprimen pada wadah yang berisi 1 cm lapisan
abu vulkanik di atas lapisan kerikil dan lapisan tanah yang ditempatkan secara in-
situ di Sakurajima, Kagoshima, Jepang. Dari eksperimen ini, diperoleh hubungan
antara kenaikan nilai rasio aliran permukaan terhadap besaran curah hujan
kumulatif pada kawasan eksperimen yang tertutup abu vulkanik. Dalam ekseprimen
ini juga diperoleh korelasi yang lebih meyakinkan terkait pengaruh perubahan pola
aliran permukaan paska erupsi sebagai akibat adanya lapisan abu vulkanik, namun
rumusan yang pasti terkait hubungan tersebut belum dapat diformulasikan karena

15
masih terbatasnya data sehingga hanya dapat ditarik kesimpulan yang bersifat
umum bahwa lapisan abu vulkanik berdampak pada kenaikan ratio aliran
permukaan.
Penelitian terbaru faktor pemicu banjir lahar dilakukan oleh Robbie Jones,
dkk. (2017), dimana studi ini mengkaji curah hujan yang dapat memicu kejadian
banjir lahar dalam rangka peramalan banjir lahar paska erupsi berdasarkan
parameter banjir lahar, distribusi ukuran butiran dan ketebalan endapan material
erupsi. Model eksperimen skala laboratorium berupa area permukaan yang diberi
lapisan abu vulkanik (2 tipe: Mt. Kelud dan Mt. Chaiten), dengan luas frame sebesar
0,30 x 0,30 m2, kemiringan 28,2 derajat, dan curah hujan menggunakan simulator
hujan dengan beberapa skenario antecendent rainfall (Robbie Jones, dkk., 2017).
Dari eksperimen ini disimpulkan bahwa makin halus material lapisan permukaan,
dalam hal ini abu vulkanik, dan kenaikan curah hujan anteseden, mempercepat
terbentuknya aliran permukaan dan menaikan laju aliran permukaan tersebut,
pelapisan permukaan yang menghambat infiltrasi terjadi dalam beberapa menit
awal saat hujan jatuh pada permukaan kering abu vulkanik. Adapun kelebihan dari
penelitian ini adalah lebih banyaknya parameter yang yang dipertimbangkan,
penelitiannya dilakukan dalam suatu sistem yang terkontrol dan skenario dalam
eksperimen ini cukup bervariasi sehingga memberikan gambaran interaksi antar
parameter yang ditinjau. Selain itu dalam penelitian ini juga digunakan variasi abu
vulkanik dari dua lokasi gunungapi yang berbeda sebagai perbandingan.
Berdasarkan kajian-kajian yang telah dilakukan terkait faktor-faktor yang
memicu terjadinya banjir lahar paska terjadinya erupsi dapat disimpulkan bahwa
adanya lapisan abu vulkanik (material halus) pada area terdampak menjadi faktor
utama yang mengakibatkan kenaikan laju aliran permukaan sebagai akibat efek
pelapisan yang menghambat infiltrasi, selain itu pengaruh hujan periode
sebelumnya (antecedent rainfall) juga memiliki andil dalam menentukan terjadinya
banjir lahar dimana faktor ini menentukan tingkat kejenuhan lapisan permukaan.
Studi yang sudah dilakukan umumnya berupa observasi skala lapangan, sedangkan
pendekatan dengan eksperimental model skala mikro di laboratorium masih belum
banyak dilakukan. Hasil dari kajian terdahulu yang terkait hubungan pola curah
hujan-limpasan masih bersifat local dan belum dapat disimpulkan secara umum

16
untuk kasus pada wilayah lain. Penelitian skala laboratorium yang akan dilakukan
akan menitikberatkan pada pencarian hubungan curah hujan (rainfall) terhadap
aliran permukaan (runoff) akibat adanya material abu vulkanik pada suatu
permukaan. Keunggulan dari metode eksperimental laboratorium antara lain
diperoleh sistem dengan variasi nilai parameter yang terbatas dan terkontrol dimana
hubungan antar parameter yang ditinjau lebih mudah diamati.

3.2 Peta Rencana


Penelitian ini merupakan riset pratama yang bersifat individual dengan
Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) pada akhir kegiatan penelitian ini mencapai
TKT 5. Peta rencana pelaksanaan penelitian beserta rencana aktifitas, luaran dan
publikasinya disajikan dalam Gambar II.1 berikut.

Gambar III.1 Peta Rencana Penelitian


3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Lingkup dan Tahapan Kegiatan

17
Penelitian ini dilaksanakan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun, mulai tahun
2020 hingga 2021. Adapun kajian yang akan dilakukan dalam penelitian ini secara
garis besar adalah sebagai berikut:
1) Pemodelan fisik laboratorium dan pengukuran aliran permukaan dan debit
sedimen terangkut untuk beberapa variasi nilai intensitas hujan, kemiringan
lereng, serta kondisi ketebalan abu vulkanik.
2) Analisis fungsi hubungan curah hujan-limpasan untuk beberapa variasi nilai
intensitas hujan, kemiringan lereng, serta kondisi ketebalan abu vulkanik.
3) Analisis model prediksi banjir lahar berdasarkan fungsi hubungan curah hujan-
limpasan dan runoff-sediment-yield.
Pada tahun pertama telah dilakukan uji model fisik untuk skenario hujan
intensitas tinggi, untuk tahun kedua penelitian ini pelaksanaan uji model fisik akan
dilanjutkan untuk beberapa skenario yang belum dilaksanakan, serta beberapa
analisis untuk menyusun model prediksi banjir lahar. Dalam rangka melakukan
kajian secara sistematis, penelitian ini dilaksanakan dengan melalui tahapan
persiapan, pelaksanaan dan pelaporan dengan rincian sebagai berikut:
1) Persiapan
a) Studi Pustaka
b) Pengumpulan data sekunder
c) Survey dan sampling lapangan
d) Pengujian laboratorium properti pasir vulkanik
2) Pelaksanaan
a) Penyusunan Desain dan Skenario Uji Model
b) Kalibrasi rainfall simulator
c) Setting model demplot lereng dan uji coba
d) Pelaksanaan uji model fisik
e) Analisis fungsi hubungan curah hujan-infiltrasi
f) Analisis fungsi hubungan curah hujan-limpasan
g) Analisis model prediksi debit banjir lahar
h) Kalibrasi model prediksi debit banjir lahar
i) Finalisasi model prediksi banjir lahar
3) Pelaporan

18
a) Laporan kemajuan riset
b) Laporan akhir tahun
c) Luaran Riset
Bagan alir tahapan pelaksanaan kegiatan penelitian disajikan dalam Gambar
II.2 berikut.

Gambar III.2 Bagan Alir Pelaksanaan Kegiatan Penelitian

3.3.2 Metode Eksperimental Laboratorium


Kajian penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratorium
dengan rainfall simulator untuk melihat pengaruh endapan material vulkanik
terhadap mekanisme pembentukan aliran lahar. Berdasarkan kajian literatur,
parameter penentu terjadinya banjir lahar pasca erupsi, selain kelerengan dan curah
hujan adalah karakteristik dan ketebalan lapisan endapan vulkanik baru yang
mempengaruhi laju infiltrasi dan kekasaran permukaan tanah. Oleh sebab itu dalam
eksperimental ini akan diujikan beberapa scenario intensitas hujan, kelerangan,
diameter material dan ketebalan endapan vulkanik untuk melihar pengaruh variasi
parameter tersebut terhadap besaran intensitas hujan yang memicu pergerakan
sedimen pada lereng.
Uji model fisik dilakukan dengan membuat demonstration plot (demplot)
di laboratorium dengan skala model 1:1. Demplot yang akan merepresentasikan

19
permukaan lereng yang tertutup abu vulkanik. Simulasi hujan menggunakan
perangkat simulator hujan artifisial (Artificial Rainfall Apparatus) di Balai Litbang
Sabo Yogyakarta. Uji model fisik dilakukan untuk mempelajari pengaruh lapisan
endapan vulkanik baru terhadap proses infiltrasi dan aliran permukaan (runoff).
Adapun uji model akan mesimulasikan beberapa scenario kondisi dengan variasi
parameter meliputi:
- Intensitas curah hujan
- Kemiringan lereng (slope)
- Ketebalan abu vulkanik
Observasi dan pengukuran yang dilakukan selama pelaksanaan uji model
fisik meliputi nilai parameter berikut:
- Intensitas curah hujan 10-menitan
- Durasi hujan hingga mulai terjadi pergerakan massa sedimen
- Debit aliran permukaan (runoff)
- Debit infiltrasi
- Volume material vulkanik terangkut
- Ketebalan aliran permukaan
Peralatan observasi dan pengukuran dalam uji model ini meliputi:
- Bak ukur pengukur total volume debit aliran
- Bak ukur pengukur total volume infiltrasi
- Bak ukur pengukur total volume debit sedimen
- Video camera di dua sisi sumbu demplot
- Stop watch untuk memantau durasi hujan kritis dan durasi hujan total

20
Gambar III.3 Ilustrasi konfigurasi perangkat eksperimen laboratorium

21
BAB 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH KAJIAN

4.1 Lokasi Kajian


Lokasi kajian penelitian ini adalah wilayah Gunung Merapi. Secara
administratif wilayah Gunung Merapi terletak di perbatasan dua provinsi dan
mencakup empat kabupaten, yaitu Kabupaten Sleman di Provinsi D. I.
Yogyakarta dan Kabupaten Klaten, Boyolali dan Magelang di Provinsi Jawa
Tengah. Secara geografis wilayah ini berada pada koordinat 110013’ - 110035’
BT dan 7027’ - 7045’ LS. Berikut ini adalah peta wilayah Gunung Merapi
berdasarkan daerah administratif wilayah tersebut.

Gambar IV.1 Peta Administratif Wilayah Gunung Merapi

4.2 Kondisi Wilayah Kajian


4.2.1 Topografi
Topografi wilayah Gunung Merapi secara umum memiliki ketinggian antara ±
100 hingga puncaknya 2.930 mdpl dengan karakteristik yang berbeda pada tiap
sisi kawasannya. Karakteristik topografi wilayah Gunung Merapi adalah sebagai
berikut:

22
- Bagian selatan kawasan memiliki topografi yang bervariasi dari dataran rendah
dengan ketinggian 100 mdpl sampai dengan dataran tinggi pada lereng Gunung
Merapi pada ketinggian 1.000 mdpl.
- Bagian tengah terdiri merupakan wilayah dataran tinggi dengan ketinggian
antara 1.000 hingga 2.930 mdpl, yang meliputi wilayah puncak Gunung Merapi
(2.930 mdpl) serta dua bukit, yaitu: Bukit Turgo dan Bukit Plawangan.
- Bagian Timur kawasan merupakan wilayah dengan kategori dataran rendah
sampai sampai berbukit yang memiliki ketinggian antara 500 hingga 1.000 mdpl.
- Bagian Utara kawasan sebagian besar merupakan wilayah dataran tinggi dan
gunung, yakni berada di antara Gunung Merapi yang masih aktif dan Gunung
Merbabu yang sudah tidak aktif, dengan ketinggian 700 – 2.000 mdpl. Di
wilayah ini melintas 4 sungai (Serang, Cemoro, Pepe, dan Gandul), terdapat
sumber-sumber air lain berupa mata air dan waduk.
- Bagian Barat merupakan wilayah dengan ketinggian yang bervariasi dari 100 –
1.000 mdpl, semakin ke arah puncak Gunung Merapi kelerengan lahan semakin
curam.

Gambar IV.2 Peta Kondisi Topografi Wilayah Gunung Merapi


Sumber: Balai Sabo, Kemen. PUPR (2014)

23
4.2.2 Tutupan Lahan
Kawasan Gunung Merapi memiliki luas keseluruhan ±781,65 km2 yang terdiri
dari berbagai macam jenis penggunaan lahan, meliputi permukiman, kebun,
hutan, lapangan, lahan kosong, sawah, danau/ sungai/ kolam, dan galian C.
Sawah merupakan penggunaan lahan terbesar di Kawasan Gunung Merapi yaitu
sekitar 24.770,11 Ha. Sebagian besar berada di bagian barat Kawasan Gunung
Merapi yaitu di Kabupaten Magelang. Sementara itu untuk permukiman
sebagian besar juga berada di bagian barat Kawasan Gunung Merapi yang
memiliki luas 6.681,10 Ha dengan luas keseluruhan mencapai 18.497,95 Ha.
Sementara itu untuk luasan hutan di Kawasan Gunung Merapi mencapai
1.365,54 Ha yang sebagian besar berada di bagian selatan Kawasan Gunung
Merapi yaitu di Kabupaten Sleman.

Bahan tambang atau galian C paling banyak terdapat di bagian selatan Kawasan
Gunung Merapi dengan luas 128,36 Ha yang secara keseluruhan luasnya
mencapai 195,53 Ha. Selain sawah dan permukiman di Kawasan Gunung
Merapi juga didominasi oleh penggunaan lahan berupa kebun campuran yang
sebagian besar berada di bagian utara yaitu Kabupaten Boyolali yang memiliki
luas sebesar 9.308,63 Ha dengan luas keseluruhan mencapai 24.628,84 Ha.
Penggunaan lahan lainnya adalah lapangan yang biasa digunakan oleh penduduk
sekitar untuk menggembala ternak mereka. Luasan areal lapangan ini mencapai
1.682,83 Ha dengan luasan terbesar berada di bagian barat Kawasan Gunung
Merapi (Kabupaten Magelang) yang memiliki luas 810,52 Ha. Kawasan Gunung
Merapi memiliki lahan kosong yang cukup besar yaitu sekitar 6.634,80 Ha yang
sebagian besar berada di bagian barat dan utara Kawasan Gunung Merapi dengan
luas masing-masing 2.300,10 Ha dan 2.235,30 Ha dengan luasan keseluruhan
mencapai 6.634,80 Ha. Gambar IV.3 menampilkan tata guna lahan di kawasan
Gunung Merapi.

24
Gambar IV.3 Peta Tata Guna Lahan Wilayah Gunung Merapi
Kondisi Sebelum Erupsi 2010
Sumber: Ditjen Tata Ruang, Kemen. PUPR (2014)

Antara tahun 2010 sampai tahun 2011 telah terjadi perubahan yang sangat
signifikan sebagai akibat dari dampak erupsi Merapi di akhir tahun 2010, dimana
ada beberapa jenis penggunaan lahan yang hilang, khususnya pada wilayah
puncak Gunung Merapi. Secara keseluruhan luas wilayah yang terkena dampak
erupsi Gunung Merapi sebesar 8.551,29 Ha. Sebagian besar wilayah sudah tidak
dapat diidentifikasi lagi atau secara fisik sudah hancur. Di beberapa wilayah ada
yang masih bisa diidentifikasi secara fisik, umumnya rumah atau bangunan yang
ada hanya tertutup abu dari erupsi Gunung Merapi. Begitu juga dengan lahan
pertanian dan hutan meskipun tidak sekuruhnya hancur tetapi secara fisik
kondisinya tertutup oleh abu vulkanik. Untuk lebih jelasnya mengenai luasan
penggunaan lahan sesudah erupsi Gunung Merapi tahun 2010 dapat dilihat pada
Gambar IV.4 berikut.

25
Gambar IV.4 Peta Tata Guna Lahan Wilayah Gunung Merapi
Kondisi Setelah Erupsi 2010
Sumber: Ditjen. Tata Ruang, Kemen. PUPR (2014)

4.2.3 Geologi
Berdasarkan kajian geologi Mac Donald dan Partners (1984), Formasi Sleman
mempunyai susunan pada bagian atas tersusun oleh abu vulkanik dan batu
lempung setebal 0 hingga 20 m, pada kedalaman 20 hingga 80 m terdapat pasir
lepas yang sering dijumpai lapisan lempung. Sementara Formasi Yogyakarta
membentuk singkapan di hampir seluruh dataran rendah Yogyakarta. Formasi
ini tersusun oleh lapisan selang-seling antara lapisan batuan pasir, gravel, debu,
dan lempung. Semakin ke arah Selatan jumlah kandungan lempungnya semakin
besar. Ketebalan Formasi ini berkisar antara 20 hingga 80 m. Kawasan Gunung
Merapi bagian Barat tersusun oleh satuan batuan tertua berumur Eosen hingga
batuan-batuan yang lebih muda, berumur Kuarter. Urutan satuan batuan dari tua
ke muda yaitu:
- Satuan batu lempung kaya fosil moluska, terdiri dari batu lempung cukup tebal
dan kaya mengandung fosil moluska. Satuan ini dinamakan Formasi Nanggulan
dan berumur Eosen.

26
- Satuan breksi vulkanik, terdiri dari breksi vulkanik dengan sisipan batupasir
tufan. Satuan ini dinamakan Formasi Andesit Tua, ada juga yang menyebutnya
Formasi Bemmelen.
- Satuan batuan andesit, terdiri dari batuan beku andesit (Batuan
Terobosan).
- Satuan aliran andesit porfir dan lahar kasar. Satuan batuan ini dinamakan
Andesit porfir dan lahar.
- Satuan endapan vulkanik, satuan ini merupakan hasil aktivitas Gunung Merapi
Tua.
- Satuan tuf, breksi, aglomerat dan lelehan lava. Satuan batuan ini merupakan hasil
aktivitas Gunungapi Merapi Muda.
- Satuan endapan Koluvium, satuan ini dinamakan Endapan Koluvium.
- Satuan batuan Dasit, satuan ini dinamakan Batuan Dasit.
- Satuan tuf, breksi, andesit, satuan ini dinamakan Endapan Kerucut Gunungapi.
- Satuan breksi vulkanik, aliran lava, tuf, batupasir tufan, dan batu lempung.
Satuan ini dinamakan Formasi Kaligetas.
- Satuan kerikil, pasir, lanau dan lempung, dinamakan aluvium.

Kawasan Gunung Merapi bagian Timur didominasi oleh formasi batuan Gunung
Api Tak Terpisahkan dan sedikit formasi Endapan Gunungapi Merapi Tua di
bagian lereng Gunung Merapi. Kondisi geologi kawasan Gunung Merapi bagian
Utara berdasarkan kondisi fisik permukaan dan batu-batuan yang ada secara
umum merupakan daerah yang tertutup oleh endapan vulkanik kwarter dari
batuan piroklastik dan terdiri dari rombakan batuan yang lebih tua dari
piroklastik atau endapan aluvial. Formasi geologi untuk kawasan Merapi bagian
Selatan, jenis batuan dan sebarannya menurut Wartono Raharjo dkk (1977),
sebagian besar terbentuk oleh Formasi Merapi Muda yang terdiri atas lava, tuf
dan breksi. Material hasil aktivitas Gunung Merapi yang diendapkan secara
bertahap dan membentuk perlapisan dapat berfungsi sebagai media penyimpan
air tanah yang penting. Kondisi geologi di Kawasan Merapi disajikan dalam
Gambar IV.5 berikut.

27
Gambar IV.5 Peta Geologi Wilayah Gunung Merapi
Sumber: Ditjen Tata Ruang, Kemen. PUPR (2014)

4.2.4 Klimatologi
Secara umum kawasan Gunung Merapi merupakan kawasan dengan curah hujan
tinggi, dengan curah hujan di wilayah puncak lebih dari 2000 mm per tahun.
Berdasarkan analisis spasial, wilayah dengan curah hujan tinggi khususnya
berada pada sisi barat dan selatan, sedangkan pada sisi timur utara dan timur
curah hujan cenderung lebih rendah. Berikut ini kondisi spasial curah hujan
tahunan di wilayah Gunung Merapi:
• Bagian Barat kawasan (Kabupaten Magelang) : 2.252 - 3.627 mm/thn
• Bagian Utara kawasan (Kabupaten Boyolali) : 1.856 - 3.136 mm/thn
• Bagian Timur kawasan (Kabupaten Klaten) : 902 – 2.490 mm/thn
• Bagian Selatan kawasan (Kabupaten Sleman) :1.896 – 2.495 mm/thn

Sebagaimana kondisi wilayah di Indonesia, iklim kawasan Gunung Merapi


dipengaruhi oleh angin muson barat dan timur. Bulan basah dengan curah hujan
bulanan lebih dari 100 mm jatuh pada bulan Januari – Mei dan Nov-Des. Bulan
lembab dengan curah hujan bulanan antara 60 – 100 mm jatuh pada bulan Juni

28
dan Oktober. Sedangkan bulan kering dengan curah hujan bulanan kurang dari
60 mm jatuh pada bulan Juli – September.
Tipe iklim di wilayah Gunung Merapi adalah tipe C menurut klasifikasi curah
hujan Schmidt dan Ferguson, yakni agak basah dengan nilai Q antara 33,3 % -
66 %.
Kondisi iklim ini berkontribusi terhadap tingginya potensi bencana sedimen atau
banjir lahar di kawasan Merapi.

Gambar IV.6 Peta Curah Hujan Tahunan Wilayah Gunung Merapi


Sumber: Ditjen Tata Ruang, Kemen. PUPR (2014)

4.2.5 Riwayat Erupsi


Secara kronologis, letusan Gunungapi Merapi biasanya ditandai dengan
keluarnya magma ke permukaan membentuk kubah lava di tengah kawah aktif.
Kubah lava yang terbentuk tersebut dapat tumbuh membesar, dimana
pertumbuhannya sebanding dengan laju aliran magma yang besarannya
bervariasi hingga mencapai ratusan ribu meter kubik per hari. Tekanan gas dari
magma mendorong kubah lava dan menyebabkan sebagian longsor sehingga
terjadi awan panas (pyroclastic flow) atau dalam bahasa lokal (Jawa) disebut
‘wedhus gembel’. Awan panas akan mengalir secara gravitasional menyusur

29
lembah sungai dengan kecepatan 60-100 km/jam dan akan berhenti ketika energi
geraknya habis.
Letusan Gunungapi Merapi mulai tercatat dalam sejarah sejak awal masa
kolonial Belanda, yaitu sekitar abad ke-17. Karena letusan sebelum periode
tersebut tidak tercatat dengan jelas, maka letusan-letusan besar yang terjadi
sebelum Periode Merapi Baru hanya didasarkan pada penentuan waktu relatif.
Aktifitas letusan Merapi pada Periode Merapi Baru pun dari masa ke masa
mengalami perubahan atau tidak selalu sama. Letusan G. Merapi pada umumnya
tidak besar, dengan indek letusan VEI (Volcano Explosivity Index) antara 1-3.
Jarak luncur awan panas berkisar antara 4-20 km. Dalam periode antara 250 –
3000 tahun yang lalu, tercatat kurang lebih pernah terjadi 33 kali letusan, dimana
7 diantaranya merupakan letusan besar atau dengan nilai VEI lebih dari 2. Data
tersebut menunjukkan bahwa letusan besar terjadi sekali dalam 150-500 tahun
(Andreastuti, Alloway, & Smith, 2000). Sementara, pada abad ke-18 hingga 19
tercatat terjadi beberapa kali letusan besar, yaitu tahun 1768, 1822, 1849 dan
1872. Letusan pada abad ke-20 terjadi setidaknya 28 kali letusan, dimana letusan
terbesar (VEI = 3) terjadi pada tahun 1930-1931. Erupsi abad ke-19 jauh lebih
besar dari letusan abad ke-20, dimana awan panas mencapai 20 km dari puncak.
Kemungkinan letusan besar terjadi sekali dalam 100 tahun (Newhall, 2000).

Meskipun secara umum letusan Merapi tergolong kecil, tetapi berdasarkan bukti
stratigrafi ditemukan endapan awan panas yang diduga berasal dari letusan besar
pada masa Merapi Muda (3000 tahun yang lalu) dengan indeks letusan VEI 4
dan tipe letusan antara vulkanian hingga plinian. Berdasarkan data yang tercatat
sejak tahun 1600-an, Merapi meletus lebih dari 80 kali atau rata-rata sekali
meletus dalam 4 tahun. Masa istirahat terpanjang yang pernah tercatat adalah 18
tahun. Diskripsi singkat jejak letusan Merapi disajikan pada grafik di bawah ini.
Grafik tersebut menunjukkan statistik letusan Merapi sejak abad ke-18.

30
Sumber: http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/data-dasar-gunungapi/542-g-merapi?start=1,
diunduh tanggal 22 Agustus 2014
Gambar IV.7 Grafik statistik letusan G. Merapi sejak abad ke-18. Pada abad
ke-18 dan ke-19

Arah letusan Merapi sejak tahun 1872-1931 cenderung ke barat-barat laut.


Namun sejak letusan besar tahun 1930-1931, arah letusan dominan ke barat daya
sampai dengan letusan tahun 2001, kecuali pada tahun 1994, terjadi
penyimpangan ke arah selatan yaitu ke hulu Kali Boyong, yaitu antara Bukit
Turgo dan Plawangan. Erupsi terakhir pada tahun 2006 dan 2010, kembali terjadi
perubahan arah dari barat daya ke arah tenggara, dengan terbentuknya bukaan
kawah yang mengarah ke Kali Gendol.

31
Sumber: http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/data-dasar-gunungapi/542-g-merapi?start=1,
diunduh tanggal 22 Agustus 2014

Gambar IV.8 Peta sebaran awan panas G. Merapi yang terjadi sejak tahun
1911-2006
Melihat dari sejarahnya, erupsi Merapi sangat dinamis, yang ditandai dengan
frekuensi aktifitasnya yang tinggi, skala letusannya yang meskipun secara umum
relatif rendah namun tetap memiliki potensi erupsi berskala besar serta arah
letusan yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Sebagaimana terjadi pada
letusan terakhir Merapi di penghujung tahun 2010. Berbeda dengan kejadian
sebelumnya, dimana biasanya letusan Merapi bersifat efusif, letusan yang terjadi
pada 29 - 30 Oktober tersebut lebih bersifat eksplosif. Pada 3 – 4 November
2010 rentetan awanpanas terjadi hingga mencapai radius 15 km. Tanggal 13
November 2010, intensitas erupsi mulai menurun hingga pada 3 Desember 2010
status Merapi diturunkan dari ‘Awas’ menjadi ‘Siaga’.

4.2.6 Sistem Sungai dan Banjir Lahan


Sistem sungai kawasan Gunung Merapi secara garis besar terbagi menjadi 3
DAS, yaitu DAS Progo, DAS Opak dan DAS Dengkeng. DAS Progo mencakup
Kali Pabelan, Blongkeng, Batang dan Krasak. DAS Opak meliputi Kali Boyong,
Kuning dan Gendol. Sedangkan Kali Woro merupakan bagian dari DAS
Dengkeng. Sistem sungai di kawasan Gunung Merapi beserta karakteristiknya
disajikan dalam Tabel IV. 1 berikut ini.

32
Tabel IV.1 Sistem dan Karateristik Sungai di Kawasan Gunung Merapi
Sumber: Review Master Plan Study on Merapi, 2001

Kali Progo yang memiliki luas DAS sekitar 2.380 km2, berhulu pada 4 gunung,
yaitu Gunung Sumbing (3.240 m), Gunung Sundoro (3.136 m), Gunung
Merbabu (3.142 m) dan Gunung Merapi (2.930 m). Alur sungai utama Kali
Progo sepanjang 140 km mengalir dari Utara ke Selatan dan bermuara ke
Samudera Hindia.
Kali Opak berhulu di Gunung Merapi (2.930 m) dan Pegunungan Kidul. DAS
Opak mencakup area seluas 1.250 km2 dengan total panjang alur sungai utama
adalah 70 km. Aliran sungai utama dari Utara ke Selatan dan bermuara ke
Samudera Hindia, sama seperti Kali Progo. Anak sungai Opak mengalir di lereng
selatan Gunung Merapi adalah Sungai Boyong, Kuning dan Gendol. Anak
sungai terbesar dari Sungai Opak adalah Sungai Oyo dengan luas tangkapan
sekitar 700 km2, yang mengalir dari timur ke barat dan bergabung dengan Sungai
Opak yang berada di hulu, ±10 km dari muara sungai.

33
Kali Dengkeng berhulu di lereng gunung Merapi dan bermuara di Sungai
Bengawan Solo. DAS Dengkeng memiliki luas sekitar 485 km2, dengan panjang
sungai sekitar 40,75 km. Kali Woro yang terletak di sisi Timur Merapi
merupakan satu-satunya sungai dalam sistem Kali Dengkeng.

Gambar IV.9 Peta Sistem Sungai di Wilayah Gunung Merapi


Sumber: Review Master Plan Study on Merapi, 2001

34
BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI

5.1 Hasil Analisis dan Pembahasan


5.1.1 Aktifitas Vulkanik Gunung Merapi
Gunung Merapi menunjukan peningkatan aktifitas sejak 2 tahun terakhir, yang
dinyatakan dengan dinaikkannya level status Merapi dari Normal (level I) menjadi
Waspada (level II) pada tanggal 21 Mei 2018. Hal ini menandai dimulainya fase
erupsi. Pada 5 November 2020 level status Merapi kembali dinaikkan menjadi
Siaga (level III). Sejak awal peningkatan status, tercatat telah terjadi erupsi
sebanyak 3 kali pada tahun 2019, 10 kali pada tahun 2020, dan 2 kali hingga
pertengahan tahun 2021. Ketinggian kolom erupsi berkisar antara 500 hingga 6000
m dari puncak. Sedangkan berdasarkan arah angin saat terjadinya erupsi, sebaran
abu vulkanik sebagian besar cenderung ke arah barat. Hujan abu tipis terjadi di
wilayah terjauh hingga radius 25 km, jangkauan hujan abu ini dipengaruhi oleh
tinggi kolom, serta kecepatan dan arah angin. Aktifitas erupsi Merapi selama
periode 2019-2021 disajikan dalam Tabel V.1 berikut.

Tabel V.1 Aktifitas Erupsi Merapi Periode 2019-2021

Seismik
Durasi Erupsi Tinggi Kolom
Tanggal Waktu Amp. Max. Arah Angin
(detik) Erupsi (m)
(mm)
22/09/2019 11.36 70 125 800 Barat Daya
14/10/2019 16.31 75 270 3000 Barat
17/11/2019 10.46 70 155 1000 Barat
04/01/2020 20.36 55 105 <tertutup awan> Barat
13/02/2020 05.16 75 150 2000 Barat Laut
03/03/2020 05.22 75 450 6000 Utara
27/03/2020 10.56 75 420 5000 Barat Daya
27/03/2020 21.46 40 180 1000 Barat
28/03/2020 05.21 50 180 2000 Barat
29/03/2020 00.15 40 150 1500 Barat
02/04/2020 15.10 78 345 3000 Timur
10/04/2020 09.10 75 103 3000 Barat Laut
21/06/2020 09.13 75 328 6000 Barat
27/03/2021 17.58 41 163 500 Utara dan Barat
25/06/2021 04.43 75 245 1000 Tenggara

35
Pertumbuhan kubah lava Merapi mulai terpantau pada tanggal 4 Pebruari 2021.
Namun, berbeda dengan biasanya, Merapi kali ini memiliki dua kubah lava, yaitu
di tengah kawah (di atas lava 1997) dan sisi Barat Daya (lihat Gambar V.1).
Berdasarkan laporan pemantuan aktifitas Gunung Merapi hingga bulan Juni 2021,
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi
(BPPTKG) Yogyakarta memprediksi volume kubah lava di tengah kawah puncak
Gunung Merapi telah melampaui 2,1 juta m3, sedangkan kubah lava di sisi Barat
Daya sekitar 1,3 juta m3. Guguran kubah lava di tengah kawah seperti biasanya
akan mengarah ke Tenggara dan mengalir ke Kali Gendol. Sementara kubah lava
pada sisi Barat Daya berada pada lereng dan cenderung tidak stabil, gugurannya
diprediksi akan mengarah ke Kali Boyong, Krasak, Putih, dan Bebeng.

Gambar V.1 Foto Udara 2 Kubah Lava Merapi (BPPTKG, 2021)

5.1.2 Banjir Lahar Pasca Erupsi


Dengan mempertimbangkan pembentukan kubah lava dan kemungkinan perubahan
arah erupsi, diperkirakan potensi deposisi material, selain di Kali Gendol
sebagaimana biasanya, akan terakumulasi juga di sungai-sungai pada lereng Barat

36
Daya, seperti Kali Boyong, Krasak, Putih dan Bebeng. Deposisi material erupsi
baru tersebut berpotensi menjadi aliran lahar saat di puncak terjadi hujan.

Sejak terjadinya rentetan erupsi, frekuensi kejadian banjir lahar di wilayah Gunung
Merapi meningkat, khususnya pada sungai di lereng selatan dan barat daya.
Kejadian banjir lahar tercatat mulai terjadi sejak bulan Januari 2020 hingga April
2021 dengan jumlah 15 kejadian banjir lahar. Frekuensi banjir lahar yang paling
sering tejadi di Kali Boyong dan Kali Gendol. Kejadian hujan tersebut umumnya
dipicu oleh curah hujan yang lebih besar dari 50 mm dengan intensitas hujan
maksumum lebih dari 25 mm/jam.

GambarV.2 Curah Hujan Pemicu Banjir Lahar

Dari kecenderungan arah potensi banjir lahar tersebut, maka untuk pemodelan
banjir lahar hanya akan difokuskan pada sungai-sungai dengan frekuensi kejadian
banjir lahar yang tinggi, yaitu Kali Boyong dan Kali Gendol. Namun demikian,
ketersediaan data serta kajian-kajian terdahulu di wilayah Merapi juga akan
menjadi pertimbangan dalam menetapkan fokus kasus untuk pemodelan banjir
lahar.

37
5.1.3 Analisis Distributi Frekuensi Curah Hujan Menitan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, wilayah kajian akan difokuskan pada
Kali Boyong dan Kali Gendol dimana frekuensi banjir lahar tinggi. Oleh sebab itu,
curah hujan yang akan analisis adalah curah hujan DAS wilayah terkait. Pos curah
hujan yang berada di dekat DAS Boyong adalah PCH Ngandong, sedangkan pada
DAS Gendol adalah PCH Plosokerep.

Banjir lahar umumnya dipicu oleh curah hujan tinggi dalam periode kurang dari 2
jam (periode pendek). Studi terdahulu pada wilayah Merapi lebih banyak
menggunakan data curah hujan harian, sementara analisis yang didasarkan pada
curah hujan periode pendek belum banyak dilakukan, Dengan pertimbangan
tersebut, analisis curah hujan yang akan dilakukan dalam studi ini didasarkan pada
data curah hujan 10-menitan. Data curah hujan 10-menitan diambil dari pencatatan
hujan periode 2014-2020 (Tabel V.2 dan Tabel V.3).

Tabel V.2 Data Curah Hujan Maksimum 10, 20, 30, 40, 50, 60, 120,180, 360, dan
720 Menit PCH Ngandong

10-minutes 20-minutes 30-minutes 40-minutes 50-minutes 60-minutes 120-minutes 180-minutes 360-minutes 720-minutes
Date R10 Date R20 Date R30 Date R40 Date R50 Date R60 Date R120 Date R180 Date R360 Date R720
19-Feb-14 29,20 19-Feb-14 54,60 19-Feb-14 61,60 19-Feb-14 76,60 19-Feb-14 83,00 19-Feb-14 98,00 19-Feb-14 144,20 19-Feb-14 148,20 19-Feb-14 148,20 19-Feb-14 148,20
14-Apr-14 39,00 27-Feb-14 50,00 27-Feb-14 74,00 27-Feb-14 84,00 27-Feb-14 96,00 27-Feb-14 99,00 27-Feb-14 100,00 27-Feb-14 100,00 27-Feb-14 101,00 27-Feb-14 101,00
13-May-14 35,00 13-May-14 69,00 13-May-14 78,00 13-May-14 78,00 13-May-14 78,00 13-May-14 78,00 13-May-14 78,00 13-May-14 78,00 13-May-14 100,00 13-May-14 102,00
21-Mar-15 17,00 21-Mar-15 30,40 21-Mar-15 40,00 21-Mar-15 46,80 21-Mar-15 51,80 21-Mar-15 55,00 22-Apr-15 107,60 19-Mar-15 71,60 19-Mar-15 76,00 28-Mar-15 98,40
22-Apr-15 20,60 22-Apr-15 36,00 22-Apr-15 51,40 22-Apr-15 65,80 22-Apr-15 77,00 22-Apr-15 86,40 17-Nov-15 70,40 22-Apr-15 115,40 22-Apr-15 133,00 22-Apr-15 136,60
18-Dec-15 18,20 18-Dec-15 28,20 17-Nov-15 39,20 17-Nov-15 52,40 17-Nov-15 60,60 17-Nov-15 64,80 18-Dec-15 81,00 18-Dec-15 93,20 18-Dec-15 95,60 18-Dec-15 102,80
12-Mar-16 19,60 12-Mar-16 33,40 4-Sep-16 45,20 4-Sep-16 55,40 4-Sep-16 64,80 4-Sep-16 71,80 12-Mar-16 91,80 12-Mar-16 112,00 12-Mar-16 118,80 12-Mar-16 119,00
4-Sep-16 19,60 18-Mar-16 29,20 9-Oct-16 56,60 9-Oct-16 68,60 9-Oct-16 80,00 9-Oct-16 91,00 9-Oct-16 102,40 9-Oct-16 105,60 9-Oct-16 115,80 9-Nov-16 124,40
9-Oct-16 22,60 4-Sep-16 35,40 23-Nov-16 42,60 23-Nov-16 55,20 23-Nov-16 66,40 23-Nov-16 76,00 23-Nov-16 102,00 23-Nov-16 106,00 9-Nov-16 122,00 29-Dec-21 125,20
1-Mar-17 19,80 1-Mar-17 37,20 1-Mar-17 50,20 1-Mar-17 63,20 8-Oct-17 61,60 1-Mar-17 80,80 1-Mar-17 119,80 1-Mar-17 137,20 1-Mar-17 142,80 1-Mar-17 192,80
27-Sep-17 20,20 27-Sep-17 33,60 26-Oct-17 56,60 8-Oct-17 50,40 26-Oct-17 83,80 26-Oct-17 90,20 26-Oct-17 107,80 8-Oct-17 114,60 8-Oct-17 131,80 8-Oct-17 133,40
26-Oct-17 21,60 26-Oct-17 41,00 4-Nov-17 42,40 4-Nov-17 53,80 4-Nov-17 63,60 4-Nov-17 73,40 4-Nov-17 94,40 17-Nov-17 116,60 17-Nov-17 183,60 17-Nov-17 212,60
26-Jan-18 18,40 19-Feb-18 26,60 19-Feb-18 38,20 19-Feb-18 48,60 19-Feb-18 56,60 19-Feb-18 60,00 18-May-18 120,40 18-May-18 168,00 4-Feb-18 106,60 4-Feb-18 111,20
18-May-18 17,80 18-May-18 31,80 18-May-18 45,20 18-May-18 58,00 18-May-18 70,00 18-May-18 81,20 9-Nov-18 148,60 9-Nov-18 162,00 18-May-18 168,00 18-May-18 168,00
9-Nov-18 22,00 9-Nov-18 41,40 9-Nov-18 60,00 9-Nov-18 78,00 9-Nov-18 90,60 9-Nov-18 102,00 3-Dec-18 66,80 15-Dec-18 70,00 9-Nov-18 177,80 9-Nov-18 194,20
17-Jan-19 15,80 17-Jan-19 27,20 17-Jan-19 36,50 17-Jan-19 43,20 17-Jan-19 49,60 17-Jan-19 55,20 17-Jan-19 80,00 17-Jan-19 89,60 17-Jan-19 98,40 17-Jan-19 111,20
8-Feb-19 14,70 8-Feb-19 25,30 8-Feb-19 34,00 8-Feb-19 40,20 8-Feb-19 46,20 8-Feb-19 51,40 8-Feb-19 82,00 8-Feb-19 103,20 8-Feb-19 133,40 8-Feb-19 158,60
17-Feb-19 15,90 17-Feb-19 27,30 17-Feb-19 36,60 17-Feb-19 43,30 17-Feb-19 49,70 17-Feb-19 55,40 17-Feb-19 79,20 17-Feb-19 81,00 17-Feb-19 81,20 17-Feb-19 81,20
19-Mar-20 17,00 19-Mar-20 32,20 19-Mar-20 38,60 19-Mar-20 44,00 11-May-20 48,80 26-May-20 52,80 8-Apr-20 70,60 8-Apr-20 81,00 8-Apr-20 89,80 8-Apr-20 89,80
11-May-20 18,40 11-May-20 35,60 11-May-20 46,20 11-May-20 47,80 15-Oct-20 57,80 15-Oct-20 60,40 26-May-20 70,40 26-May-20 71,60 26-Oct-20 97,20 9-May-20 84,60
15-Oct-20 18,20 15-Oct-20 34,40 15-Oct-20 46,60 15-Oct-20 52,80 20-Nov-20 49,00 20-Nov-20 60,80 20-Nov-20 77,60 20-Nov-20 78,40 20-Nov-20 78,80 26-Oct-20 117,40

38
Tabel V.3 Data Curah Hujan Maksimum 10, 20, 30, 40, 50, 60, 120,180, 360, dan
720 Menit PCH Plosokerep

10-minutes 20-minutes 30-minutes 40-minutes 50-minutes 60-minutes 120-minutes 180-minutes 360-minutes 720-minutes
Date R10 Date R20 Date R30 Date R40 Date R50 Date R60 Date R120 Date R180 Date R360 Date R720
17-Feb-14 37,50 17-Feb-14 38,00 19-Jan-14 36,00 25-Jan-14 39,00 25-Jan-14 45,00 25-Jan-14 49,00 25-Jan-14 58,00 25-Jan-14 58,00 22-Feb-14 68,50 14-May-14 70,50
2-Mar-14 19,50 2-Mar-14 30,00 17-Feb-14 38,00 17-Feb-14 38,00 2-Mar-14 40,00 14-Apr-14 43,50 22-Feb-14 57,00 22-Feb-14 66,50 11-Nov-14 73,00 11-Nov-14 73,00
11-Nov-14 23,00 11-Nov-14 39,00 11-Nov-14 52,00 11-Nov-14 58,00 11-Nov-14 64,00 11-Nov-14 69,50 11-Nov-14 72,00 11-Nov-14 72,50 15-Nov-14 72,50 15-Nov-14 86,50
5-Feb-15 23,50 5-Feb-15 37,00 5-Feb-15 45,50 5-Feb-15 52,50 5-Feb-15 60,00 5-Feb-15 67,00 5-Feb-15 84,00 28-Mar-15 93,00 19-Feb-15 111,00 19-Feb-15 126,50
6-Mar-15 21,00 6-Mar-15 33,00 3-Mar-15 45,50 3-Mar-15 56,50 3-Mar-15 64,50 28-Mar-15 65,50 13-Mar-15 99,50 13-Mar-15 100,00 28-Mar-15 109,50 28-Mar-15 111,00
3-Mar-15 20,50 3-Mar-15 34,50 22-Mar-15 45,00 22-Mar-15 58,50 22-Mar-15 71,50 22-Mar-15 80,00 22-Mar-15 104,00 22-Mar-15 134,00 22-Mar-15 149,50 22-Mar-15 154,50
30-Jan-16 20,00 30-Jan-16 33,00 16-Feb-16 55,00 16-Feb-16 66,50 16-Feb-16 76,50 16-Feb-16 83,50 16-Feb-16 98,00 2-Feb-16 110,00 2-Feb-16 133,00 2-Feb-16 139,00
16-Feb-16 18,50 16-Feb-16 37,00 29-May-16 46,50 29-May-16 59,00 29-May-16 72,50 29-May-16 87,00 29-May-16 110,50 16-Feb-16 102,00 29-May-16 118,50 29-May-16 118,50
6-Dec-16 21,50 6-Dec-16 36,00 6-Dec-16 48,50 6-Dec-16 55,00 6-Dec-16 57,00 25-Oct-16 62,00 25-Oct-16 90,00 29-May-16 117,50 25-Oct-16 115,00 25-Oct-16 115,00
10-Feb-17 23,50 22-Feb-17 33,50 22-Feb-17 45,00 22-Feb-17 61,00 24-Jan-17 53,00 24-Jan-17 58,50 24-Jan-17 66,00 24-Jan-17 67,00 24-Jan-17 69,00 10-Feb-17 77,50
11-Dec-17 30,50 22-Apr-17 36,00 22-Apr-17 45,00 22-Apr-17 48,00 22-Feb-17 67,00 22-Feb-17 69,50 10-Feb-17 62,00 10-Feb-17 70,50 10-Feb-17 77,50 22-Feb-17 71,50
19-Dec-17 23,50 19-Dec-17 40,00 19-Dec-17 48,50 19-Dec-17 51,00 19-Dec-17 53,50 19-Dec-17 55,00 22-Feb-17 70,00 22-Feb-17 70,50 22-Feb-17 71,00 19-Dec-17 70,00
10-Jan-19 15,00 10-Jan-19 25,50 4-Jan-18 34,00 4-Jan-18 35,00 19-Feb-18 53,50 19-Feb-18 54,50 16-Jan-19 44,50 7-Feb-18 61,50 16-Jan-19 66,00 16-Jan-19 68,50
19-Feb-18 19,00 19-Feb-18 30,00 19-Feb-18 41,00 19-Feb-18 50,50 18-Mar-18 39,50 18-Mar-18 40,50 19-Feb-18 58,00 19-Feb-18 60,50 7-Feb-18 76,00 7-Feb-18 78,00
18-Mar-18 18,50 18-Mar-18 31,50 18-Mar-18 36,50 18-Mar-18 38,50 26-Nov-18 37,50 26-Nov-18 39,50 26-Nov-18 46,50 26-Nov-18 51,00 19-Feb-18 61,00 19-Feb-18 61,00
6-Jan-19 19,50 6-Jan-19 37,50 6-Jan-19 53,50 6-Jan-19 63,50 6-Jan-19 65,00 6-Jan-19 66,50 6-Jan-19 70,00 6-Jan-19 70,00 6-Jan-19 107,00 6-Jan-19 110,00
11-Jan-19 18,00 11-Jan-19 32,50 11-Jan-19 43,50 14-Feb-19 50,00 21-Feb-19 68,00 21-Feb-19 72,50 21-Feb-19 85,00 21-Feb-19 85,50 21-Feb-19 86,50 21-Feb-19 86,50
20-Feb-19 18,50 14-Feb-19 30,50 21-Feb-19 44,00 21-Feb-19 57,50 11-Apr-19 54,50 11-Apr-19 57,50 11-Apr-19 60,00 31-Dec-19 60,50 29-Dec-19 73,00 3-Apr-19 94,50
21-Feb-20 26,50 21-Feb-20 42,00 21-Feb-20 47,10 21-Feb-20 51,00 21-Feb-20 52,50 19-Feb-20 52,50 7-Feb-20 78,00 7-Feb-20 80,50 27-Jan-21 91,00 27-Jan-21 91,00
4-Mar-20 21,00 4-Mar-20 37,00 31-Oct-20 56,50 31-Oct-20 66,00 31-Oct-20 69,00 31-Oct-20 70,50 31-Oct-20 74,00 11-Feb-20 82,50 11-Feb-20 84,00 11-Feb-20 84,50
31-Oct-20 32,50 31-Oct-20 47,00 11-Dec-20 49,00 11-Dec-20 65,50 11-Dec-20 79,00 11-Dec-20 91,50 11-Dec-20 118,00 11-Dec-20 123,50 11-Dec-20 127,00 11-Dec-20 165,50

Analisis frekuensi curah hujan dilakukan berdasarkan distribusi Gumbel, Normal,


Log Normal, Pearson Tipe-III dan Log Pearson Tipe-III. Hasil analisis menunjukan
distribusi yang umumnya sesuai untuk data curah hujan dari PCH Ngandong dan
PCH Plosokerep adalah Distribusi Gumbel. Hasil analisis frekuensi disajikan dalam
Tabel V.4 berikut.

Tabel V.4 Hasil Analisis Distribusi Frekuensi Curah Hujan


Stasiun : Ngandong
Curah Hujan Menitan (mm)
Periode
Durasi Hujan (menit)
Ulang
10 20 30 40 50 60 120 180 360 720
2 19,15 33,20 46,76 55,49 63,72 71,05 91,51 100,59 114,34 123,62
5 24,12 42,86 59,58 69,37 79,64 88,57 116,42 131,45 147,91 163,26
10 28,27 50,04 68,07 78,55 90,18 100,18 132,91 151,88 170,13 189,51
25 34,54 59,42 78,80 90,16 103,49 114,83 153,74 177,69 198,21 222,66
50 40,00 66,39 86,76 98,77 113,37 125,71 169,20 196,84 219,05 247,26
100 46,20 73,48 94,66 107,32 123,17 136,50 184,54 215,84 239,72 271,68
200 53,27 80,47 102,53 115,84 132,94 147,26 199,83 234,78 260,33 296,01
1000 73,99 96,77 120,76 135,57 155,57 172,17 235,24 278,65 308,05 352,37
Stasiun : Plosokerep
Curah Hujan Menitan (mm)
Periode
Durasi Hujan (menit)
Ulang
10 20 30 40 50 60 120 180 360 720
2 21,13 34,56 44,60 51,95 57,39 61,42 73,35 79,21 88,55 93,35
5 26,13 39,59 51,04 62,03 70,25 76,94 95,36 104,25 115,73 124,87
10 29,60 42,92 55,30 68,70 78,76 87,21 109,94 120,82 133,72 145,74
25 33,98 47,13 60,69 77,14 89,51 100,19 128,35 141,77 156,46 172,11
50 37,20 50,26 64,69 83,39 97,49 109,82 142,01 157,31 173,33 191,67
100 40,36 53,36 68,65 89,61 105,41 119,38 155,57 172,73 190,07 211,09
200 43,49 56,45 72,60 95,79 113,30 128,91 169,08 188,10 206,75 230,44
1000 50,72 63,61 81,76 110,13 131,58 150,97 200,38 223,69 245,39 275,26

39
5.1.4 Analisis Kurva IDF
Karakteristik temporal curah hujan di suatu daerah dapat diamati dengan
menggunakan Kurva Intensity-Duration-Frequency (IDF) C. Kurva IDF
merupakan probabilitas intensitas curah hujan tertentu yang akan terjadi dalam
suatu periode waktu (Dupont dan Allen 2000). Berbagai metode telah
dikembangkan untuk membuat kurva IDF, misalnya Talbot, Sherman, Ishiguro,
Haspers, Mononobe, dll. Metode-metode tersebut adalah metode yang umum
digunakan untuk menghasilkan kurva IDF. Namun, karena karakteristik curah
hujan di setiap daerah bersifat spesifik, maka tidak semua daerah cocok untuk
metode tersebut, terutama di daerah pegunungan. Oleh sebab itu perlu
dibandingkan antara beberapa metode untuk memperoleh metode yang paling
mendekati data observasi.

Dalam penelitian ini, kurva IDF dianalisis menggunakan persamaan Talbot,


Sherman dan Ishiguro. Adapun bentuk persamaan umum ketiga formula ini adalah
sebagai berikut:

Persamaan Talbot:
"
𝑖 ! (𝐷) = #$%

Persamaan Sherman:
"
𝑖 ! (𝐷) = #! (5)

Persamaan Ishiguro:
"
𝑖 ! (𝐷) = #! $% (6)

dimana 𝑖 ! adalah intensitas hujan (mm/hour) untuk periode ulang T, 𝐷 adalah


durasi hujan (menit), dan a, b dan e adalah parameter konstan yang terkait dengan
kondisi meteorologi.

Mempetimbangkan bahwa frekuensi erupsi Merapi cukup tinggi dengan periode 2-


7 tahun, maka dalam analisis kurva IDF ini hanya periode ulang 2, 5 dan 10 tahun
yang dikaji. Data yang digunakan sebagai pembanding hasil analisis kurva IDF
adalah data curah hujan maksimum (mm) hasil analisis distribusi frekuensi yang

40
ditransformasikan menjadi intensitas hujan (mm/jam) sebagaimana disajikan dalam
Tabel V.5 berikut.

Tabel V.5 Intensitas Hujan


Stasiun : Ngandong
Intensitas (mm/jam)
Periode
Durasi Hujan (menit)
Ulang
10 20 30 40 50 60 120 180 360 720
2 114,91 99,61 93,52 83,24 76,46 71,05 45,76 33,53 19,06 10,30
5 144,72 128,58 119,17 104,05 95,56 88,57 58,21 43,82 24,65 13,61
10 169,63 150,11 136,15 117,83 108,21 100,18 66,45 50,63 28,36 15,79
Stasiun : Plosokerep
Intensitas (mm/jam)
Periode
Durasi Hujan (menit)
Ulang
10 20 30 40 50 60 120 180 360 720
2 126,79 103,67 89,21 77,92 68,87 61,42 36,67 26,40 14,76 7,78
5 156,80 118,77 102,08 93,04 84,30 76,94 47,68 34,75 19,29 10,41
10 177,58 128,77 110,61 103,06 94,51 87,21 54,97 40,27 22,29 12,15

Persamaan kurva IDF yang diperoleh dari hasil analisis berdasarkan persamaan
Talbot, Sherman dan Ishiguro disajikan dalam Tabel V.6, sedangkan
perbandingannya kurva IDF dengan data intensitas hujan aktual disajikan dalam
Gambar V.3 dan Gambar V.4. Kurva IDF yang paling mendekati data aktual adalah
kurva yang diperoleh dari persamaan Talbot.

Tabel V.6 Persamaan Kurva IDF Talbut, Sherman dan Ishiguro


Stasiun : Ngandong
IDF Model Equation T = 2 tahun T = 5 tahun T = 10 tahun
a b e a b e a b e
Talbot 𝑎 6967 25,22 - 8769 25,66 - 10014 25,21 -
𝑖 ! (𝐷) =
𝐷+𝑏
Sherman 𝑎 931,5 - 0,65 1118,5 - 0,64 1291 - 0,64
𝑖 ! (𝐷) =
𝐷"
Ishiguro 𝑎 410 -1,21 0.50 515 -1,15 0.50 590 -1,15 0.50
𝑖 ! (𝐷) = "
𝐷 +𝑏

Stasiun : Plosokerep
IDF Model Equation T = 2 tahun T = 5 tahun T = 10 tahun
a b e a b e a b e
Talbot 𝑎 5812,5 35,52 - 7747 42,33 - 9002 45,29 -
𝑖 ! (𝐷) =
𝐷+𝑏
Sherman 𝑎 832 - 0,68 894 - 0,64 945 - 0,63
𝑖 ! (𝐷) =
𝐷"
Ishiguro 𝑎 297 -1,77 0.50 393,5 -1,43 0.50 457 -1,28 0.50
𝑖 ! (𝐷) = "
𝐷 +𝑏

41
Gambar V.3 Perbandinga Kurva IDF Talbot, Sherman dan Ishiguro terhadap Data
Aktual PCH Ngandong

42
Gambar V.4 Perbandinga Kurva IDF Talbot, Sherman dan Ishiguro terhadap Data
Aktual PCH Plosokerep

43
5.1.5 Analisis Hubungan Curah Hujan-Infiltrasi
5.1.5.1 Pengaruh Kemiringan Lereng terhadap Laju Infiltrasi
Erupsi mengakibatkan hilangnya vegetasi dan tertutupnya permukaan wilayah
sekitar gunungapi dengan fragmen material vulkanik (tephra), sehingga
menyebabkan perubahan hidrologi wilayah tersebut. Dalam beberapa literatur,
menyebutkan bahwa lapisan material vulkanik menghambat proses infiltrasi.
Demikian pula dari hasil uji model fisik yang telah dilakukan, terindikasi bahwa
laju infiltrasi mengalami perlambatan ketika ada lapisan abu vulkanik di atas lereng.
Hal ini ditunjukkan oleh pola prosentase volume subsurface flow yang keluar di
hilir demplot terhadap volume curah hujan, dimana prosentase volume subsurface
flow tersebut menurun dengan bertambahnya ketebalan lapisan abu vulkanik (lihat
Gambar V.5). Selain itu, dari grafik juga terlihat bahwa subsurface flow cenderung
menurung dengan meningkatnya kemiringan lereng.

Gambar V.5 Pengaruh kemiringan lereng terhadap volume infiltrasi

Dalam uji model dilakukan pengamatan terhadap aliran infiltrasi yang keluar di hilir
dasar demplot. Volume infiltrasi ini diukur dan diproporsikan terhadap volume total
curah hujan. Hasil uji model menunjukkan infiltrasi cenderung meningkat dengan
kemiringan lereng pada kondisi lereng tanpa abu vulkanik dan dengan abu vulkanik
1cm, sedangkan pada kondisi lereng 2,5cm dan 5cm pengaruh kemiringan terhadap

44
laju infiltrasi cenderung menurun. Grafik pengaruh kemiringan lereng terhadap
rasio infiltrasi dan total hujan disajikan dalam Gambar V.5.
Perbedaan pengaruh kemiringan lereng terhadap pola infiltrasi dipengaruhi oleh
terjadinya retak (crack) pada lapisan demplot akibat perubahan stabilitas lereng.
Keretakan lereng menyebabkan terganggunya stabilitas lapisan dan disusul dengan
keruntuhan lereng (longsor), khususnya pada kemiringan lereng yang curam, yaitu
200 dan 250. Proses keruntuhan lereng diawali dengan adanya retakan dalam arah
melintang lereng, lalu aliran permukaan terbentuk dan mulai terjadi proses erosi
oleh aliran permukaan khususnya pada mulai dari retakan hingga hilir demplot
tersebut. Erosi di area kaki demplot mengakibatkan terganggunya stablilitas lereng
sehingga akhirnya lereng longsor. Kelongsoran terjadi sekitar menit ke-59,25
hingga hingga 75,00.

Perbedaan pengaruh tersebut kemungkinan juga disebabkan oleh kadar air pada
kondisi awal lapisan pasir demplot. Pada demplot dengan kemiringan lereng 150
kadar air awal rata-rata sekitar 8,70%, kemiringan lereng 200 kadar air awal rata-
rata sekitar 6,42%, sedangkan kemiringan lereng 250 kadar air awal rata-rata sekitar
7,14%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air kondisi awal demplot pada
kemiringan lereng 150 lebih tinggi dari pada kadar air awal demplot dengan
kemiringan lereng 200 dan 250. Perbedaan kondisi awal kadar air lapisan pasir ini
kemungkinan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kapasitas infiltrasi.

5.1.5.2 Pengaruh Ketebalan Lapisan Abu Vulkanik terhadap Infiltrasi


Erupsi mengakibatkan hilangnya vegetasi dan tertutupnya permukaan wilayah
sekitar gunungapi dengan fragmen material vulkanik (tephra), sehingga
menyebabkan perubahan hidrologi wilayah tersebut. Dalam beberapa literatur,
menyebutkan bahwa lapisan material vulkanik menghambat proses infiltrasi.
Demikian pula dari hasil uji model fisik yang telah dilakukan, terindikasi bahwa
volume infiltrasi mengalami reduksi ketika ada lapisan abu vulkanik di atas lereng.
Hal ini ditunjukkan oleh pola rasio infiltrasi yang keluar di hilir demplot terhadap
volume curah hujan, sebagaimana terlihat dalam Gambar V.6.

45
Dari Gambar V.6 terlihat prosentase volume Infiltrasi menurun dengan
bertambahnya ketebalan lapisan abu vulkanik. Pada kondisi lereng tanpa abu
vulkanik rasio infiltrasi berkisar antara 10-17%. Pada lereng tertutup abu vulkanik
1cm, rasio infiltrasi berkisar antara 9-12%. Pada lereng tertutup abu vulkanik
2,5cm, rasio infiltrasi berkisar antara 7-9%. Sementara pada lereng tertutup abu
vulkanik 5cm, rasio infiltrasi berkisar antara 2-8%. Rata-rata penurunan rasio
infiltrasi terhadap total hujan sekitar 1,63% per 1 cm ketebalan abu vulkanik.

Gambar V.6 Pengaruh ketebalan abu vulkanik terhadap infiltrasi

Penurunan rasio infiltrasi per cm ketebalan abu vulkanik pada lereng dengan
kemiringan 80 dan 200 adalah sekitar 2,32%, untuk lereng dengan kemiringan 150
penurunan rasio infiltrasi sekitar 0,72%, sedangkan pada lereng dengan kemiringan
250 penurunan rasio infiltrasi sekitar 0,94%.

5.1.5.3 Komparasi Model Laju Infiltrasi pada Lereng Tertutup Abu Vulkanik
Infiltrasi adalah proses masukanya air dari permukaan kedalam tanah. Banyak
faktor yang mempengaruhi proses infiltrasi, termasuk diantaranya kondisis
permukaan tanah dan tutupannya, porositas tanah, konduktifitas hidrolik dan
kandungan air tanah. Dalam pemodelan ini, hanya akan ditinjau pengaruh tutupan
abu vulkanik terhadap laju infiltrasi, dimana untuk variabel properti tanah terkait
infiltrasi, seperti porositas dan kandungan air tanah berdasarkan data primer,

46
sedangkan untuk nilai konduktifitas hidrolik, sorptivitas dan wetting front soil
suction head diambil berdasarkan data literatur dengan menyesuaikan pada
karakteristik tanah/ pasir yang ditinjau.

Dalam uji model ini, pada kemiringan lereng 200 dan 250 terjadi keruntuhan lereng
sebelum terbentuk aliran limpasan, aliran limpasan baru terbentuk pada kemiringan
lereng 150. Untuk membuat pemodelan laju infiltrasi berdasarkan hasil uji model,
demplot harus mencapai kondisi jenuh yang ditandai dengan terjadinya aliran
limpasan. Oleh sebab itu, analisis model persamaan infiltrasi hanya dapat dilakukan
pada hasil uji model dengan kemiringan lereng 150, dimana terjadi aliran limpasan
di permukaan demplot. Model infiltrasi yang digunakan adalah Philip dan Green-
Ampt Method. Kurva infiltrasi pada lereng dengan lapisan abu 1cm dan 5cm dengan
kemiringan 150 disajikan dalam Gambar V.7 dan V.8 berikut.


Gambar V.7 Kurva Laju dan Kumulatif Infiltrasi pada Lereng 150 dengan Abu
Vulkanik 1cm

Pada lereng yang tertutup abu vulkanik 1cm, aliran permukaan (runoff) mulai
terbentuk pada menit ke-43,67, sedangkan pada lereng tertutup abu vulkanik 5cm
runoff mulai muncul di permukaan demplot pada menit ke-60. Pada demplot
dengan lapisan abu vulkanik lebih tebal runoff yang terbentuk lebih lambat dan
lebih kecil dibandingkan pada lapisan abu yang lebih tipis. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena volume air yang terserap ke dalam lapisan demplot tersebut
sebagian besar diretensi oleh partikel abu vulkanik. Menurut Ningsih (2012)
penyebabnya adalah ukuran butir abu vulkanik yang sangat halus, mengakibatkan

47
partikel ini memiliki gaya kapiler yang tinggi. Saat lapisan abu vulkanik mulai
jenuh, maka kemudian terbentuk runoff dipermukaan demplot.

Gambar V.8 Kurva Infiltrasi pada Lereng 150 dengan Lapisan Abu Vulkanik 5cm

Untuk lereng yang dengan lapisan abu vulkanik 1cm, air yang terserap tersebut
lebih cepat dialirkan ke hilir (keluar demplot) sebagai subsurface flow, sedangkan
pada lereng tertutup abu vulkanik air lebih lama tetahan di lapisan abu vulkanik.
Massa air yang tertahan pada lapisan abu vulkanik ini yang mengakibatkan
stabilitas lereng terganggu. Oleh sebab itu, pergerakan sedimen di lereng yang
tetutup abu vulkanik pada uji model ini, cenderung merupakan gerakan massa
sedimen karena keruntuhan lereng akibat massa air yang diserap oleh lapisan abu
vulkanik.

Model infiltrasi Philip’s dan Green-Ampt memberikan hasil yang cukup


memuaskan, terlihat dari kurva perbandingan excess rainfall perhitungan terhadap
data actual dari pengukuran langsung saat uji model fisik. Namun, untuk demplot
dengan ketebalan abu vulkanik 5cm, Model Infiltrasi Philip’s lebih mendekati data
actual. Hal ini disebabkan dalam formula infiltrasi Philip’s tidak hanya
memperhitungkan parameter konduktivitas hidrolik, tetapi juga terdapat parameter
soptivitas yang cukup signifikan dan mewakili perilaku daya serap kapiler dari abu
vulkanik dalam menentukan tren grafik model.

48

Gambar V.9 Kurva Perbandingan Excess Rainfall Perhitungan terhadap Data


Aktual pada Lereng 150 dengan Lapisan Abu Vulkanik 1cm dan 5cm

5.1.6 Model Hubungan Curah Hujan-Limpasan Aliran Lahar


Lahar adalah aliran banjir bandang (flash flood) yang berupa campuran air,
sedimen, dan puing-puing batuan material vulkanik yang bergerak sangat cepat dan
biasanya memiliki durasi yang singkat (Smith dan Lowe, 1991). Terbentuknya
aliran lahar tersebut akibat terbawanya material vulkanik yang tidak stabil di lereng
oleh aliran limpasan (runoff), namun yang membedakan aliran ini dengan fenomena
erosi lereng adalah volumenya yang besar serta kecepatannya yang tinggi. Volume
aliran lahar dapat berkisar antara 102 – 109 m3, sementara debit puncaknya berkisar
antara 10 – 107 m3/dtk dan jarak tempuhnya mencapai lebih dari 100 km (Pierson,
1998).
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab III, bahwa akibat erupsi sebagian besar
vegetasi di wilayah puncak akan hilang dan wilayah sekitar gunungapi akan tertutup
oleh fragmen material vulkanik (tephra). Kondisi tersebut mengakibatkan
menurunnya nilai kekasaran lereng sehingga aliran limpasan (runoff) pada lereng
meningkat secara signifikan (Teramoto,Y. dkk., 2006). Tagata, S. dkk (2006)
menyebutkan bahwa aliran limpasan sangat ditentukan oleh luasan dan ketebalan
deposisi material dan diameter abu vulkanik, dimana material vulkanik halus
berpengaruh menurunkan permeabilitas atau dengan kata lain menghambat
infiltasi. Berdasarkan beberapa literatur tersebut, model curah hujan-limpasan

49
merupakan tipikal banjir bandang, dimana faktor penting dalam penentu debit aliran
di lereng yang tertutup material vulkanik adalah curah hujan, koefisien kekasaran
Manning dan infiltrasi.
Model curah hujan-limpasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
aliran permukaan dangkal (shallow sheet flow) menggunakan Model SCS-SN dan
Nakayasu. Model simulasi hujan-limpasan banjir lahar ini mempertimbangkan dua
aspek penting dalam fenomena aliran debris, yaitu aspek hidrologi dan hidrolik.

5.1.6.1 Aspek Hidrologi


Dalam pemodelan ini, aspek hidrologi yang dipertimbangkan meliputi luas DAS,
distribusi hujan, dan karakteristik DAS. Untuk input data model terkait aspek
hidrologi, data yang dipersiapkan mencakup peta DAS dan alur sungai, data hujan
pemicu banjir lahar dan distribusi hujan, serta hidrograf banjir lahar untuk lokasi
sungai lahar yang ditinjau, yaitu DAS Boyong. Peta DAS dan alur sungai wilayah
tinjauan disajikan pada Gambar V.10 berikut. Titik acuan pemantauan pada DAS
Boyong adalah pada Sabodam BO-C9 yang terletak pada koordinat 110,3960 BT
dan 7,6560 LS dengan luas DAS sekitar 9,94 km2 dan panjang sungai sekitar 12,55
km..

Gambar V.10 Peta DAS Boyong

50
Curah hujan pemicu banjir lahar menggunakan data curah hujan pada kejadian
banjir lahar tanggal 13 April 2021 untuk simulasi DAS Boyong dan tanggal 6
Januari 2021 untuk simulasi DAS Gendol. Total curah hujan pada DAS Boyong
adalah 108,40 mm dengan durasi hujan sekitar 3,67 jam dan intensitas hujan puncak
58,20 mm/jam. Total hujan pada DAS Gendol adalah 65,50 mm dengan durasi
hujan sekitar 1,50 jam dan intensitas hujan puncak 54 mm/jam.

Gambar V.11 Distribusi Curah Hujan DAS Boyong

Kejadian banjir lahar yang akan disimulasikan merupakan kejadian banjir lahar
tanggal 13 April 2021 di Kali Boyong. Kejadian banjir lahar ini dipicu oleh curah
hujan total sebesar 108,40 mm, namun tidak seluruh air hujan tersebut menjadi
limpasan. Oleh sebab itu, dilakukan abstraksi dari data curah hujan tersebut
sehingga diperoleh limpasan langsung aliran permukaan (direct surface runoff).
Abstraksi dilakukan dengan menggunakan model infiltrasi Philips’s, hasil disajikan
dalam Gambar V.12 berikut.

51
Gambar V.12 Hasil Abstraksi Intensitas Hujan Menggunakan Metode Infiltrasi
Phillip’s

5.1.6.2 Aspek Hidrolik


Aspek hidrolik yang diperlukan untuk pemodelan meliputi morfologi sungai,
topografi dan angkutan sedimen. Morfologi sungai dalam hal ini mencakup
karakteristik fisik sungai, seperti sudut lereng tebing sungai, kekasaran dan
kemiringan dasar sungai. Pada kasus aliran lahar di hulu, morfologi sungai
cenderung berbentuk U-channel, dengan alur yang lebar antara 50-100 m dan tebing
yang tinggi dan cenderung tegak, lihat Gambar V.13.

Gambar V.13 Morfologi Hulu Kali Boyong

52
Dasar sungai lahar merupakan saluran alam yang didominasi material pasir, kerikil,
kerakal hingga batu-batuan besar (boulders) sebagaimana terlihat dalam Gambar
V.13. Kondisi ini mempengaruhi kekasaran dasar sungai, dimana untuk saluran
alam dengan kondisi dasar berupa pasir berbatu, kasar dan tidak teratur memiliki
nilai kekasaran Manning antara 0,035-0,045.
Kemiringan dasar sungai Boyong di hulu titik tinjau BO-C9 dibagi menjadi tiga
daerah kemiringan lereng, yaitu pada elevasi lebih dari 1500 mDPL sekitar 1/3;
pada elevasi antara 1000-1500 mDPL sekitar 1/4; dan pada elevasi antara 500-1000
mDPL sekitar 1/14.

BO-C9

Gambar V.14 Penampang memanjang Kali Boyong

Data sedimen Kali Boyong merujuk pada material dasar sungai hasil survei dan
sampling lapangan di Kali Gendol karena tidak dapat dilakukan survei dengan
asumsi material berasal dari sumber erupsi yang sama dan pada kemiringan lereng
yang kurang lebih sama sehingga karakteristik fisiknya kemungkinan serupa.
Properti material dasar sungai disajikan dalam Tabel V.7 dan gradasi lapisan dasar
sungai ditampilkan pada Gambat V.15.

Tabel V.7 Properti Material Sedimen


Berat Jenis Penyerapan Air Kadar Air Bobot Isi Rongga
Spesifik (%) (%) (kg/m3) Udara (%)
2.575 0.644 9.01 1790 15.375

53
100
90
80

% Kumulatif Berat Lolos


70
60
50
40
30
20
10
0
0,01 0,1 1 10
1a Gendol (hulu checkdam)d (mm) 1b Gendol (hilir checkdam)

Gambar V.15 Gradasi Material Sedimen

Untuk mengaplikasikan model SCS-CN, hal penting yang harus dilakukan adalah
mengklasifikasikan jenis tanah untuk mengidentifikasi potensi pembentukan aliran
limpasan yang berbeda-beda akibat perbedaan karakteristik tanah tersebut. DAS
dari sungai lahar di Merapi secara umum dibagi menjadi dua zona, yaitu:
1) Zona tanpa vegetasi yang meliputi wilayah puncak sekitar kawah dan sungai
lahar dengan jenis tanah terdiri dari material vulkanik baru yang lepas
(unconsolidated) dengan sejumlah batu-batu besar (boulders) yang
bercampur dengan matriks pasir kasar hingga halus.
2) Zona lereng bervegetasi yang terdiri dari jenis tanah vulkanik lama yang
sudah terkonsolidasi dengan vegetasi semak belukar serta tanaman kayu
keras.
Zona tanpa vegetasi ini merupakan area yang mengalami dampak perubahan
tutupan lereng paling besar pada periode erupsi. Umumnya merupakan wilayah
dalam radius kurang dari 3 km dari puncak, dimana pasca erupsi vegetasi di wilayah
ini akan habis terbakar atau tertimbun oleh aliran piroklastik. Berdasarkan zona
tersebut jenis tanah diklasifikasikan sebagai grup A dan B.

54
Dalam pemodelan ditentukan ada 4 titik tinjau yang ditetapkan pada lokasi
Bangunan Sabodam yang terdapat di Kali Boyong, yaitu BO-D7, BO-D5, BO-C1A
dan BO-C9, dengan karakteristik fisik DAS disajikan dalam Tabel V.8 berikut.

Tabel V.8 Parameter Karakteristik DAS Boyong


Parameter DAS Titik Pantau
BO-D7 BO-D5 BO-C1A BO-C9 Satuan
Luas DAS (A) 5.10 6.88 8.47 9.94 km2
Panjang Sungai (L) 5.73 7.58 9.73 12.55 km
Jarak titik berat ke outlet (Lc) 2.87 3.79 4.87 6.28 km
Kemiringan Dasar Sungai (S) 0.38 0.33 0.06 0.05

Dalam pemodelan ini, model hidrograf banjir dihasilkan berdasarkan model


hidrograf Nakayasu dimana kurang mewakili karakteristik banjir lahar di Merapi.
Oleh karena itu, hidrograf banjir yang digunakan dalam model dimodifikasi
berdasarkan pemodelan hujan limpasan banjir lahar yang telah dihitung
sebelumnya. Debit puncak banjir untuk DAS Boyong pada BO-C9 dengan Metode
Nakayasu diperoleh sebesar 51,45 m3/det dengan waktu puncak 4 jam. Sementara
dengan Metode SCS-CN debit puncak banjir yang diperoleh sebesar 34.04 m3/det
dengan waktu puncak 6 jam. Hidrograf banjir dari kedua metode tersebut yang
ditinjau disajikan dalam Gambar V.16.

Berdasarkan pengamatan banjir pada tanggal 13 April 2021, ketinggian banjir pada
titik Bangunan Sabodam BO-C9 mencapai tinggi puncak mencapai 0.25 m di atas
mercu Sabodam. Dengan perhitungan hidraulik menggunakan Persamaan Manning
maka dapat dihitung perkiraan debit banjir yang melalui titik tersebut. Berdasarkan
data pengukuran lapangan dengan lebar peluap sabodam berbentuk trapesium
adalah 30 m dengan kemiringan sisi peluap 0,5, kemiringn dasar sungai 0.05 dengan
kondisi kekasaran dasar sungai alami berbatu diperkirakan 0.035. Sehingga
diperkirakan debit banjir yang melalui pelimpah sebesar 90.10 m3/det. Debit ini
merupakan debit banjir yang sudah bercampur dengan material vulkanik. Untuk itu
hidrograf banjir yang sudah ada perlu dikoreksi dengan faktor konsentrasi sedimen.
Berdasarkan literatur konsentrasi lahar biasanya lebih berkisar antara 0,20-0,54.

55
Gambar V.16 Perbandingan Hidrograf banjir DAS Boyong dengan Metode SCS-
CN dan Metode Nakayasu

Sampai bulan Oktober 2021, dalam penelitian ini telah dilakukan pemodelan untuk
hidrograf banjir, namun belum disertai analisis banjir lahar. Berbeda dengan

56
pemodelan banjir pada umumnya, banjir lahar membutuhkan analisis tambahan
terkait proses transportasi material vulkanik dari lereng ke sungai. Hal tersebut
tidak hanya terkait proses hidrologi, namun juga proses angkutan sedimen, baik di
lereng maupun di sungai. Pemodelan banjir lahar ini membutuhkan data
pengamatan banjir lahar di lapangan yang biasanya terjadi pada musim penghujan
yang rencana akan dilakukan pada bulan Nopember – Desember 2021.

5.2 Luaran yang Dicapai


Kegiatan penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun, yaitu mulai
tahun 2020 hingga 2021. Pada tahun ke-1 kegiatan mencakup persiapan dan
pelaksanan uji model laboratorium serta analisis hasil uji model. Sedangkan pada
tahun ke-2 kegiatan mencakup analisis hubungan curah hujan-limpasan, model
prediksi banjir lahar dan kalibrasi. Target capaian luaran dari kegiatan penelitian
ini disajikan pada Tabel V.9 sebagai berikut.

Tabel V.9 Jenis Luaran dan Status Capaian


No. Jenis Luaran Luaran
Tahun ke-1 Tahun ke-2
1 Jurnal Internasional/ bereputasi - Submitted (1 Judul)
Internasional
Nasional terakreditasi Draft Publikasi Published (1 Judul)
2 Kekayaan Paten Tidak ada Tidak ada
Intelektual (KI) Paten sederhana Tidak ada Tidak ada
Hak Cipta Tidak ada Tidak ada
Merk dagang Tidak ada Tidak ada
Rahasia dagang Tidak ada Tidak ada
Desain produk industri Tidak ada Tidak ada
Indikasi geografis Tidak ada Tidak ada
Perlindungan varietas Tidak ada Tidak ada
tanaman
Perlindungan topografi Tidak ada Tidak ada
sirkuit terpadu
3 Teknologi Tepat Guna Tidak ada Tidak ada
4 Model/ Purwarupa/ Desain/ Karya seni/ draf produk
Rekayasa Sosial
5 Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) 1-3 4-5

Hasil penelitian ini dipublikasikan pada Jurnal Nasional terakreditasi di Jurnal


Sumber Daya Air (ISSN:1907-0276) Edisi bulan Nopember 2021
(https://jurnalsda.pusair-pu.go.id) milik Kementerian Pekerjaan Umum dan

57
Perumahan Rakyat. Selain itu, hasil penelitian juga telah dikirimkan (submitted)
pada International Journal of Water Science
(https://www.journals.elsevier.com/water-science-and-engineering) pada tanggal
15 September 2021.

58
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Kesimpulan sementara dari kegiatan berdasarkan kajian literatur dan pengumpulan
data sekunder adalah:
1) Berdasarkan pertumbuhan kubah lava, arah deposit material erupsi Merapi
kemungkinan tidak hanya terakumulasi di Kali Gendol saja sebagaimana
biasanya, tapi juga berpotensi mengarah ke sungai-sungai di Barat Daya.
2) Berdasarkan pola kejadian banjir yang terjadi dalam periode 2020-2021, curah
hujan yang memicu banjir lahar > 50 mm dengan intensitas maksimum > 25
mm/jam, dimana Kali Boyong dan Kali Gendol merupakan dua sungai dengan
frekuensi kejadian paling tinggi sehingga pemodelan prediksi banjir akan
difokuskan pada kedua sungai tesebut.
3) Berdasarkan analisis curah hujan, kurva IDF yang sesuai untuk wilayah DAS
Gendol dan Boyong adalah kurva IDF dari persamaan Talbot.
4) Berdasarkan hasil uji model fisik, adanya lapisan abu vulkanik mengakibatkan
laju infiltrasi menurun, dimana makin tebal lapisan abu vulkanik waktu inisiasi
lebih lama dan laju infiltrasi puncak makin kecil. Sementara pengaruh
kemiringan lereng terhadap laju infiltrasi memberikan pola bervariasi,
kemungkinan karena dipengaruhi oleh terjadinya retak (crack) pada lapisan
demplot akibat perubahan stabilitas lerengdan kondisi awal kandungan air juga
bervariasi sehingga berpengaruh terhadap kecepatan infiltrasi lapisan.
5) Berdasarkan pemodelan infiltrasi, fungsi infiltrasi yang sesuai untuk lereng
tertutup lapisan abu vulkanik yang mendekati data uji model fisik adalah model
infiltrasi Philip’s.
6) Pemodelan curah hujan-limpasan masih perlu dikalibrasi dengan kejadian
banjir lahar terkini. Pemantauan banjir lahar pada musim penghujan di awal
tahun 2021 terkendala pemberlakuan PPKM. Oleh sebab itu, pemantuan
rencana akan dilakukan pada bulan Nopember dan Desember 2021.

59
6.2 Saran
Dalam kegiatan ini kendala yang dihadapi terutama akibat kondisi pandemi Covid-
19, dimana proses pemantauan banjir lahar untuk kalibrasi tidak dapat dilakukan di
awal tahun karena kondisi PPKM. Selain itu, pemantuan banjir lahar juga
bergantung dengan periode musim penghujan yang baru di mulai akhir bulan
Oktober sehingga model belum terkalibrasi dengan data banjir lahar terkini akibat
erupsi periode 2020-2021. Sehubungan dengan kendala tersebut maka disarankan
beberapa hal sebagai berikut:
1) Pemantauan banjir lahar pada periode musim hujan bulan Oktober 2021 – April
2022 perlu dilakukan untuk melihat dampak erupsi sepanjang tahun 2020-2021
terhadap pola banjir lahar.
2) Kalibrasi model banjir lahar perlu diperbarui dengan data kejadian banjir lahar
periode musim hujan terkini untuk koreksi model terkait kondisi dampak erupsi
terakhir.

60
REFERENSI

Andreastuti, S. D., Alloway, B. V., & Smith, I. E. (2000). A detailed


tephrostratigraphic framework at Merapi Volcano, Central Java,
Indonesia: implications for eruption prediction and hazard assessment.
Journal Volcanology Geothermal Resources 100, 51-68.
Butler, D. dan Davies, J.W. (2011). Urban Drainage, Third Edition. New York:
Taylor and Francis Group.
Buytaert, W., Celleri, R., Willems, P., De BIevre, B., & Wyseure, G. (2006).
Spatial and temporal rainfall variability in mountainous area: A case study
from the South Equador Andes. Journal of Hydrology Volume XXI No. 2,
1-9.
Cahyadi, A. dan Nugraha, H. (2014). Analisis Mekanisme Pembentukan Lahar
Berdasarkan Kajian Retensi Air di Sub DAS Opak, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2014 (hal. 682-692).
Bogor: LAPAN.
Costa, A., Pioli, L., & Bonadonna, C. (2016). Assessing tephra total grain-size
distribution: insights from field data analysis. Earth Planet Science Letters
443, 90–107.
D6459-15: standard test method for determination of. (2015). Philadelphia:
ASTM-America Society for Testing and Materials.
de Belizal, E., & dkk. (2013). Rain-triggered lahars following the 2010 eruption
of Merapi volcano, Indonesia: A major risk. Journal of Volcanology and
Geotermal Research 261, 330-347.
de Sousa Junior, S. F., Mendes, T. A., & de Siqueira, E. Q. (2017). Development
and calibration of a rainfall simulator for hydrological studies. Brazilian
Journal of Water Resources.
Egashira, S., Miyamoto, K., & Itoh, T. (1997). Constitutive equation of debris
flow and their applicability. 1st International Conference on Debris Flow
Hazards Mitigation (pp. 340-349). ASCE.
Fibriyantoro, E. (2015). Development of warning criteria for lahar flow disaster in
Gendol River Area of Mount Merapi. Journal of the Civil Engineering
Forum, 17-22.
Gran, K.B. dkk. (2011). Long-term elevated post-eruption sedimentation at Mount
Pinatubo, Philippines. Geology Vol. 39, 367-370.
Hardjosuwarno, S. (2003). Report of Training on Disaster Information
Technology. Tokyo: Japan International Cooperation Agency.

61
Hardjosuwarno, S., Sukatja, C., & Yunita, F. (2013). Early warning system for
lahar in Merapi: Current and Future Development. Geneva: UNISDR.
Horne, M. A. (2017). Thesis: Design and construction of a rainfall simulator for
large-scale testing of erosion control practices and products. Auburn:
Auburn University.
Jan Alexander, dkk. (2010). Sediment-charged flash floods on Montserrat: The
influence of synchronous tephra fall and varying extent of vegetation
damage. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 127-138.
Jitousono, T., Shimokawa, E., Tsuchiya, S., Haryanto, & Djamal, H. (1995).
Debris flow following the 1984 eruption with pyroclasticflows in Merapi
volcano, Indonesia. In: Proc. Workshop onErosion Control through
Volcanic Hydrological Approach (WECVHA). In: Proc. Workshop
onErosion Control through Volcanic Hydrological Approac (hal. 131-
149). Yogyakarta: Sabo Technical Center.
Jones, R. (2017). Real-time prediction of rain-triggered lahars: incorporating
seasonality and catchment recovery . Natural Hazards and Earth System
Sciences 17, 2301–2312.
Kusumawardani, R., Kurniadhi, R., Mukhlisin, M., & Legono, D. (2016). Rainfall
Threshold for Triggering Debris Flow on Merapi Volcano Area,
Yogyakarta, Indonesia. Engineering International Conference (hal.
(020027) 1-8). Semarang: American Institute of Physics Publishing.
Kusumobroto, H. (2013). Aliran Debris dan Lahar Edisi Pertama. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Lassu, T., Seeger, M., Peters, P., & Keesstra, S. D. (2015). The Wageningen
rainfall simulator: set-up and calibration of an indoor nozzle-type rainfall
simulator for soil erosion studies. Land Degradation and Development.
Latif, D. d. (2016). Chemical characteristics of vulcanic ash in Indonesia for soil
stabilisatio: morfology and mineral content. International Journal of
Geomate, Vol. 11, Isues 26, 2606-2610.
Lavignea, F., Thouretb, J., Voightc, B., Suwad, H., & Sumaryono, A. (2000).
Lahars at Merapi Volcano, Central Java: An Overview. Journal of
Volcanology and Geothermal Research 100, 423-456.
Loch, R. J., Robotham, B. G., Sheridan, G., & Bourke, J. J. ( 2001). A
multipurpose rainfall simulator for field infiltration and erosion studies.
Australian Journal of Soul Research, Vol. 39, 599-610.
Major, J.J. dan Mark, L.E. (2006). Peak flow responses to landscape disturbances
caused by the cataclysmic 1980 eruption of Mount St. Helens. Geological
Society of America Bulletin Vol. 118, 938–958.

62
Major, J.J. dkk. (1996). Watershed Disturbance and Lahars on the East Side of
Mt. Pinatubo during the Mid-June 1991 Eruptions. Dalam C. d. Newhall,
Fire and Mud, Eruptions and Lahars of Mt. Pinatubo, Philippines (hal.
895-920). Seattle: PHIVOLCS/ University of Washington Press.
Nampula, J. L., Lara, C. M., Medinilla, E. E., Herrera, R. G., Toledo, P. V., &
Sainchez, R. A. (2016). Design and calibration of an automatic rain
silulator. Espacio I+D, Innovacio mas Desarollo, Vol. V, No. 12.
Newhall, C. d. (2000). 10,000 Years of explosive eruptions of Merapi Volcano,
Central Java: archaeological and modern implications. Journal of
Volcanology and Geothermal Research 100, 9-50.
Obeta, I. N. (2013). Design and calibration of a transformer controlled variable
rainfall simulator. Nigerian Journal of Technology (NIJOTECH), 567-571.
Osanai, N., Shimizu, T., Kuramoto, K. K., Kojima, S., & Noro, T. (2010).
Japanese early-warning for debris flows and slope and slope failure using
rainfall indices with Radial Basis Function Network. Landslide 7, 325-
338.
Parsakhoo, A., Lotfalian, M., Kavian, A., Hoseini, S., & Demir, M. (2012).
Calibration of a portable single nozzle rainfall simulator for soil erodibility
study in hyrcanian forest. African Journal of Agriculture Research, 7(27).
Robbie Jones, dkk. (2017). Runoff-properties of tephra: Simulated effect of grain-
size and anitcedent rainfall. Geomorphology, 39-51.
Sadeghi, S., Abdollahi, Z., & Darvishan, A. (2013). Experimental comparison of
some techniques for estimating natural raindrop size distribution on the
south coast ofthe Caspian Sea, Iran. Hydrological Sciences Journal, 58(6)
, 1374–1382.
Sagita, A. F., & Widiyanto. (2012). Penilaian Tingkat Bahaya Lahar Hujan di
Sungai Code. Jurnal Bumi Indonesia, 252-260.
Saputra, T. M. (2013). Evaluation of DIsaster Mitigation System Against Lahar
Flow of Putih River , Mt. Merapi Area. Civil Engineering Forum Vol.
XXII/3, 1423-1432.
Shusuke Miyata, dkk. (2016). Temporal change of infiltration characteristics of
volcanic ash layer and its effect on rainfallrunoff processes. SATREPS
Workshop in Kyoto of “Integrated Study on Mitigation of Multimodal
Disasters Caused by Ejection of Volcanic Products” (hal. 20-35). Kyoto:
Disaster Prevention Research Institute Kyoto University .
Sofia, D. A., Sujono, J., & Legono, D. (2018). Analisis variabilitas spasial dan
temporal curah hujan di wilayah Gunung Merapi. Jurnal Teknisia Volume
XXIII No. 1, 430-438.

63
Solikhin, A., Thouret, J.-C., Liew, S. C., Gupta, A., Sayudi, D. S., Oehler, J.-F., &
Kassouk, Z. (2015). High-spatial-resolution imagery helps map deposits of
the large (VEI 4) 2010 Merapi Volcano eruption and their impact. Bull
Volcanol 77, 20.
Sujono, J., Jayadi, R., & Nurrochmad, F. (2018). Heavy rainfall characteristics at
Sout-west of Mt. Merapi- Yogyakarta and Central Java Province,
Indonesia. International Journal of GEOMATE Volume 14 Issue 45, 184-
191.
Sutikno Hardjosuwarno, dkk. (2015). Early Warning System for Lahar in Merapi:
Current and Future Development. Geneva: UNISDR.
Sutono, S., Purnomo, J., Purwani, J., & Jamil, A. (2017). Berkah Abu Vulkanis:
Bahan Pembenah Tanah. Jakarta: IAAD Press.
Sutono, S., Purnomo, J., Purwani, J., & Jamil, A. (2017). Berkah Abuh Vulkanis
Pembenah Tanah. Jakarta: IAARD PRESS.
Taddeucci, J., Scarlato, P., Montanaro, C., Cimarelli, C., Bello, E. D., Freda, C., .
. . Dingwell, D. B. (2011). Aggregation‐dominated ash settling from the
Eyjafjallajökull volcanic cloud illuminated by field and laboratory high‐
speed imaging. Geology 39, 891– 894.
Takahashi, T. (2007). Debris Flow: Mechanics, Prediction and Countermeasures.
Leiden: Taylor & Francis.
Takahashi, T. (2009). A review of Japanese debris flow research. International
Journal of Erosion Contol Engineering Vol. 2 No. 1, 1-14.
Terada, H., & Nakaya, H. (2001). Operating methods of critical rainfall for
warning and evacuation ffrom sediment related disaster. Tokyo: MInistry
of Land, Infrastructure and Transportation (MLIT).
UNISDR-PPEW. (2006). Third International Conference on Early Warning From
concept to action-Developing Early Warning Systems: A Checklist. Bonn:
UN Inter-Agency Secretariat of the International Strategy for Disaster
Reduction (UN/ISDR).
Yulinsa, N. (2015). Snake line analysis for lahar flow early warning system (Case
study in Putih River, Mount Merapi). Journal of the Civil Engineering
Forum Vol. 1 No. 1, 37-42.
Yunita, F., Prinadiastari, I., & Ridwan, B. (2015). Konsep Penataan Ruang di
Daerah Rawan Bencana Banjir Lahar di Kawasan Gunungapi Merapi.
Kolokium Hasil Litbang Sumber Daya Air. Bandung: Pusat Litbang
Sumber Daya Air, Badan Litbang Kementerian PUPR.

64
Yunita, F.T. dan Sadikin, N. (2014). The Assessment of Merapi Volcanic Ash and
Pyroclastic Flow After The Mega Eruption in 2010: A case study of Putih
and Gendol River, Yogyakarta. Cities on Volcanoes. Yogyakarta.
Zaennudin, A. (2010). The characteristic of eruption of Indonesian active
volcanoes in the last four decades. Jurnal Lingkungan dan Bencana
Geologi, Vol. 1, No. 2, 113 - 129.

65
Lampiran 1. Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (100%)

L-1
Lampiran 2. Publikasi Jurnal Nasional

L-2
Lampiran 3. Publikasi Jurnal Internasional

L-3
L-4
P -ISSN 1907 - 0276
Jurnal Sumber Daya Air E- ISSN 2548 - 494
Vol. 15, No.1, Mei 2019 Terakreditasi Kemenristek Dikti
http://jurnalsda.pusair-pu.go.id

KAJIAN EKSPERIMEN LAJU INFILTRASI PADA LERENG


YANG TERTUTUP ABU VULKANIK

EXPERIMENTAL STUDY FOR THE INFILTRATION RATE ON SLOPE


COVERED BY VOLCANIC ASH

Diterima: ;Direvisi: ; Disetujui:

ABSTRACT

Indonesia has 129 active volcanoes, therefore the volcanic-related disasters risk is relatively high. Lahar flood is a
secondary disaster that occurs after a volcanic eruption which is triggered by rainfall due to the eruption material
being carried by the runoff. The hard structure measurement on lahar flood control in Indonesia is mainly applied for
priority volcanic areas, therefore, a soft structure measurement such as early warning system is important. The
implementation of the early warning system is difficult because data availability in volcanic area is poor. After the
eruption, there will be some significant changes in the watershed characteristics, especially related to land cover, slope
and eruption material. This condition results in an increased likelihood of lahar flooding. Several studies have indicated
an increase in runoff due to volcanic ash deposits on the slopes. Considering that, this research developed an infiltration
model on a slope covered with volcanic ash. This study used the laboratory physical models test experimental approach
with rainfall simulator, where the parameters reviewed include slope, volcanic ash thickness and rainfall intensity.
This research results that the infiltration rate on the slopes covered with volcanic ash was influenced by the thickness
of the volcanic ash layer where the decrease in the ratio of infiltration to total rainfall was about 1.63% per 1 cm
thickness of volcanic ash. The influence of the slope on the infiltration rate gives a varied because of the cracks due to
slope stability and differences in the initial conditions of water content as well. The Philip's infiltration model fits better
to the actual measurement data than the Green-Ampt infiltration model.

Keywords: infiltration rate, lahar flood, volcanic ash, physical model test.

ABSTRAK

Indonesia memiliki 129 gunungapi aktif, sehingga risiko bencana terkait gunungapi tinggi. Banjir lahar merupakan
bencana sekunder yang terjadi pasca erupsi gunungapi yang dipicu oleh hujan akibat material erupsi terbawa oleh
aliran hujan ke hilir. Pengendalian banjir lahar secara hard structure di Indonesia hanya diterapkan pada wilayah
gunungapi prioritas, oleh sebab itu, pendekatan soft structure berupa sistem peringatan dini menjadi penting.
Penerapan sistem peringatan dini ini terkendala karena sangat tergantung pada ketersediaan data. Pasca erupsi
terjadi perubahan karakteristik DAS yang cenderung signifikan, terutama pada tutupan lahan, kemiringan lereng dan
material erupsi. Hal ini mengakibatkan peningkatan kemungkinan terjadinya banjir lahar. Beberapa penelitian
mengindikasikan peningkatan aliran permukaan (runoff) akibat terhambatnya infiltrasi oleh endapan abu vulkanik
pada lereng. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, dalam penelitian ini akan dianalisis pengaruh lapisan abu
vulkanik pada lereng terhadap laju infiltrasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan eksperimental uji model
hidrolik (UMH) berupa demplot skala laboratorium, dimana parameter yang ditinjau meliputi kemiringan lereng,
ketebalan abu vulkanik serta intensitas hujan. Dari penelitian ini diperoleh laju infiltrasi pada lereng yang tertutup
abu vulkanik dipengaruhi oleh ketebalan lapisan abu vulkanik dimana penurunan rasio infiltrasi terhadap total hujan
sekitar 1,63% per 1 cm ketebalan abu vulkanik. Pengaruh kemiringan lereng terhadap laju infiltrasi memberikan pola
bervariasi karena pengaruh terjadinya retak (crack) akibat stabilitas lereng serta perbedaan kondisi awal kandungan
air. Sementara model infiltrasi Philip’s memberikan hasil yang lebih mendekati data pengukuran aktual dibandingkan
model infiltrasi Green-Ampt.

Kata Kunci: laju infiltrasi, banjir lahar, abu vulkanik, uji model fisik.
PENDAHULUAN mengakibatkan meningkatnya kecepatan aliran
permukaan, kedua factor ini yang kemungkinan
Indonesia memiliki 129 gunungapi aktif atau
berkontribusi dalam mengakibatkan inisiasi
±13% gunungapi di dunia, yang merupakan bagian
pergerakan aliran material vulkanik di lereng.
dari cincin api Pasifik (Pacific Ring of Fire)
(Simandjuntak dan Barber, 1996; Zaennudin, Penelitian terdahulu terkait dampak lapisan
2010). Meskipun Indonesia berada pada urutan material vulkanik umumnya fokus pada hubungan
ketiga sebagai negara dengan gunungapi curah hujan dan aliran limpasan, yang tidak secara
terbanyak di dunia setelah Rusia dan Jepang, langsung mengkaji dampak terhadap laju infiltrasi.
namun Indonesia merupakan negara dengan Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu
tingkat risiko bencana gunungapi tetinggi di dunia. dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh
Hal ini sebagai konsekuensi dari tingginya lapisan abu vulkanik pada lereng terhadap laju
frekuensi aktifitas vulkanik di Indonesia. Dengan infiltrasi. Dengan memahami perubahan laju
kondisi tersebut wilayah Indonesia merupakan infiltrasi tersebut, diharapkan diperoleh gambaran
wilayah dengan tingkat kerawanan bencana yang lebih jelas kontribusi penurunan laju infiltrasi
tinggi, khususnya terkait aktifitas vulkanik atau terhadap peningkatan aliran limpasan di lereng
kegunungapian. yang memicu terbentuknya aliran lahar.
Selain bencana primer, pasca terjadinya erupsi Penelitian ini menggunakan pendekatan
juga terdapat potensi bencana sekunder, yaitu experimental demplot skala laboratorium di
banjir lahar (Yunita, Prinadiastari, dan Ridwan, Laboratorium Lahar Balai Sabo Yogyakarta. Lokasi
2015). Banjir lahar merupakan fenomena banjir di tersebut dipilih karena tersedianya fasilitas
daerah gunungapi yang terjadi pasca erupsi laboratorium yang diperlukan dan tersedianya
sebagai akibat deposit material erupsi di puncak sumber material vulkanik yang diperlukan dalam
terbawa oleh aliran hujan sehingga menimbulkan eksperimen.
aliran massa material vulkanik bercampur air
(Kusumobroto, 2013).
METODOLOGI
Beberapa penelitian telah mengkaji fenomena
banjir lahar pasca erupsi, khususnya terkait Eksperimental Uji Model Fisik Skala
hubungan antara curah hujan (rainfall) dan aliran Laboratorium
permukaan (runoff), serta angkutan sedimennya.
Penelitian ini menggunakan metode
Letusan gunungapi dapat secara drastis mengubah
eksperimental laboratorium dengan rainfall
kondisi hidrologi dan angkutan sedimen pada DAS
simulator untuk melihat pengaruh endapan
yang berada dekat sumber erupsi (Major, J.J. dan
material vulkanik terhadap mekanisme
Mark, L.E. 2006; Gran, K.B. dkk. 2011). Dalam
pembentukan aliran lahar. Berdasarkan kajian
periode setelah erupsi, pola aliran sungai yang
literatur, parameter penentu terjadinya banjir
berhulu di gunungapi akan berubah secara
lahar pasca erupsi, selain kemiringan lereng dan
signifikan, kejadian banjir lahar menjadi mudah
curah hujan adalah karakteristik dan ketebalan
terjadi, bahkan dengan pemicu curah hujan yang
lapisan endapan vulkanik baru yang
rendah. Penelitian terkait dampak erupsi terhadap
mempengaruhi laju infiltrasi dan kekasaran
perubahan hidrologi ini telah dilakukan di
permukaan tanah. Oleh sebab itu dalam
berbagai gunungapi, di antaranya di Miyakejima
eksperimental ini akan diujikan beberapa skenario
Volcano (Tagata, S. et al, 2005), Sakurajima
intensitas hujan, kemiringan lereng dan ketebalan
Volcano (Teramoto, Y. et al., 2006; Miyata, S. et al,
abu vulkanik untuk melihat pengaruh variasi
2016), Montserrat (Alexander, J. et al, 2010),
parameter terhadap laju infiltrasi pada lereng
Mount St. Helens (Major, J. et al, 2006), Mt. Kelud
tersebut.
dan Chaiten (Jones, R., et al, 2017). Penyebab
perubahan pola banjir ini terutama disebabkan Uji model fisik dilakukan dengan membuat
oleh perubahan mendadak dari tutupan lahan di demonstration plot (demplot) di laboratorium
sekitar kawasan gunungapi karena tertutup oleh dengan skala model 1:1. Demplot tersebut
material letusan. Material erupsi, baik abu vulkanik merepresentasikan permukaan lereng yang
maupun piroklastik, telah mengakibatkan tertutup abu vulkanik. Simulasi hujan
hilangnya vegetasi dan mengurangi kapasitas menggunakan perangkat simulator hujan artifisial
infiltrasi, serta menurunkan kekasaran (Artificial Rainfall Apparatus) di Laboratorium
(roughness) alami permukaan lereng (Major, J.J. et Lahar Balai Teknik Sabo Yogyakarta. Layout
al., 1996). Menurunya kapasitas infiltrasi demplot serta instrumen pengukuran dan
berdampak pada meningkatnya aliran permukaan observasi disajikan dalam Gambar 1.
(runoff) dan penurunan kekasaran lereng
limpasan, waktu mulai terjadinya infiltrasi dan
waktu mulai terjadinya aliran limpasan.
Dari hasil uji model fisik, dilakukan analisis
pendekatan laju infiltrasi pada lapisan abu
vulkanik menggunakan 2 metode, yaitu persamaan
Philips dan Green-Ampt untuk kemudian
dibandingkan. Persamaan Philip untuk kumulatif
dan laju infiltrasi adalah (Chow, V. T. 1988):
𝑆2
𝐹𝑡+∆𝑡 = 𝐹𝑡 + 𝐾∆𝑡 −
2(𝑓𝑡 − 𝐾)2
1/2
𝑆2
+𝑆 [∆𝑡 + ] .................................... (1)
4(𝑓𝑡 −𝐾)2

𝑆+√𝑆 2 +4𝐾𝐹𝑡+∆𝑡
𝑓𝑡+∆𝑡 = 𝐾 + 𝑆 ( ) ................................... (2)
4𝐹𝑡+∆𝑡

Sedangkan Persamaan Green-Ampt untuk


kumulatif dan laju infiltrasi sebagai berikut:
𝐹𝑡+∆𝑡 +𝜓𝛥𝜃
𝐹𝑡+∆𝑡 = 𝐹𝑡 + 𝐾∆𝑡 + 𝜓𝛥𝜃 𝑙𝑛 [ ] ................. (3)
𝐹𝑡 +𝜓𝛥𝜃

𝜓𝛥𝜃
𝑓𝑡+∆𝑡 = 𝐾 ( + 1) ..................................................... (4)
𝐹𝑡+∆𝑡

Dimana 𝐹 adalah kumulatif infiltrasi; 𝑓 adalah laju


infiltrasi; K adalah konduktifitas hidrolik; S adalah
sorptivitas; 𝜓 adalah wetting front soil suction head;
Δθ adalah peningkatan kadar air dan t adalah
waktu.

Kalibrasi Rainfall Simulator


Gambar 1 Layout Demplot Uji Model Fisik
Rainfall simulator yang digunakan merupakan
Karakteristik material yang digunakan pada suatu sistem simulasi hujan buatan dalam
demplot berdasarkan sampling abu vulkanik dari laboratorium yang terdiri dari pompa yang
erupsi Gunung Merapi tanggal 3 Maret 2020 dan 27 mengalirkan air dari bak tampungan ke jaringan
Maret 2020. Sedangkan material lapisan dasar sprinkler. Jaringan sprinkler tersebut bekerja
mengacu pada karakteristik material lereng berdasarkan sistem katup, dimana terdapat 6
Gunung Merapi pada DAS Gendol. Gradasi abu katup pengaturan sprinkler untuk 6 tingkatan
vulkanik dan lapisan dasar dalam uji model fisik hujan.
disajikan dalam Gambar 2.
Kalibrasi rainfall simulator yang dilakukan
100 meliputi kalibrasi diameter butir hujan dan
keseragaman hujan yang dihasilkan oleh rainfall
80
simulator Kalibrasi rainfall simulator dilakukan
% lolos saringan

60 pada area seluas 3,00 m x 2,00 m yang akan


40
digunakan dalam uji model fisik. Kalibrasi
diameter butir hujan dilakukan dengan
20
menggunakan Flour Method (Metode Tepung) yang
0 dikembangkan oleh Hudson (1964) dan banyak
0.01 0.1 1 10 digunakan dalam penelitian yang menggunakan
Diameter (mm) rainfall simulator (de Sousa Junior, et al. 2017;
Lapisan Dasar Lapisan Abu Vulkanik Horne, 2017). Kalibrasi diameter butir hujan
dilakukan dengan menempatkan tepung terigu
Gambar 2 Gradasi lapisan abu vulkanik dan dalam nampan di bawah sprinkler selama 2-3
lapisan dasar detik, lalu didiamkan 24 jam dalam suhu ruang.
Pengamatan (observasi) dan pengukuran yang Tepung yang sudah menggumpal akibat percikan
dilakukan selama eksperimen meliputi intensitas hujan tersebut kemudian diayak menggunakan
curah hujan, volume infiltrasi, volume aliran saringan saringan 4.65; 2.36; 1.18; 0.60; dan 0.30,
tiap gradasi tersebut kemudian dioven selama 24
jam. Hasil gradasi tersebut lalu ditimbang dan
diplot dalam grafik, dimana diameter butir hujan ∑𝑛1|𝑥 − 𝑥̅ |
𝐶𝑢 = 100 ( ) ..................................... (7)
rata-rata adalah nilai d50 dari grafik. 𝑛𝑥̅
Nilai diameter butir hujan yang dihasilkan oleh Berdasarkan persyaratan ASTM (2015)
simulator kemudian dibandingkan dengan tentang rainfall simulator untuk model erosi lahan,
diameter hujan alami. Berikut ini formulasi nilai koefisien keseragaman curah hujan harus
hubungan diameter butir hujan dan intensitasnya memenuhi minimal 70%. Dari hasil kalibrasi
menurut Laws dan Parsons (1943) dan Yakubu, et diperoleh bahwa curah hujan yang dihasilkan oleh
al. (2014) adalah: rainfall simulator memenuhi syarat nilai
keseragaman pada intensitas hujan antara 45 – 75
𝐷 = −0,00171𝐼 2 + 0,1816𝐼 − 0,9178 ................... (5)
mm/jam. Pola spasial curah hujan pada area
𝐷 = 1,483𝐼 0,176 ................................................................ (6) demplot disajikan dalan Gambar 4, dengan nilai
keseragaman Cu sebesar 88,88%.
dimana D adalah diameter butir hujan (mm) dan I
adalah intensitas hujan (mm/jam). Formula
Formula (5) Laws dan Parsons diperoleh dari
penelitian hubungan intensitas dan diameter butir
hujan di wilayah Washington D.C. Sedangkan
formula (6) Yakubu, dkk. diperoleh dari penelitian
butir hujan di daerah Peninsula Malaysia. Gambar
3 berikut ini adalah grafik perbandingan diameter
butir hujan alami dan butir hujan rainfall simulator.

Gambar 4 Pola Spasial Curah Hujan pada Area


Demplot (Cu=88,88%)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Gambar 3 Perbandingan diameter butir hujan
alami dan butir hujan dari rainfall simulator Pengaruh Kemiringan Lereng terhadap Laju
Infiltrasi
Dalam uji model dilakukan pengamatan
Dari hasil kalibrasi diperoleh diameter butir terhadap aliran infiltrasi yang keluar di hilir dasar
hujan yang dihasilkan oleh sprinkler untuk demplot. Volume infiltrasi ini diukur dan
berbagai variasi intensitas hujan pada bukaan diproporsikan terhadap volume total curah hujan.
katup 4 dan 5 sebesar 0,81-0,86 mm. Sedangkan Hasil uji model menunjukkan infiltrasi cenderung
pada bukaan katup 6 diameter butir hujan yang meningkat dengan kemiringan lereng pada kondisi
dihasilkan sebesar 2,75-2.86mm. Diameter butir lereng tanpa abu vulkanik dan dengan abu
hujan yang dihasilkan oleh sprinkler katup 6 vulkanik 1cm, sedangkan pada kondisi lereng
memberikan nilai yang paling mendekati diameter 2,5cm dan 5cm pengaruh kemiringan terhadap
butir hujan alami. laju infiltrasi cenderung menurun. Grafik pengaruh
Kalibrasi keseragaman curah hujan dilakukan kemiringan lereng terhadap rasio infiltrasi dan
dengan melakukan pengukuran curah hujan pada total hujan disajikan dalam Gambar 5 berikut.
area demplot dengan jarak interval pengukuran
setiap 50 cm. Keseragaman curah hujan (Cu) yang
dihasilkan oleh rainfall simulator dihitung dengan
menggunakan formula Christiansen (1942)
berikut:
menghambat proses infiltrasi. Demikian pula dari
hasil uji model fisik yang telah dilakukan,
terindikasi bahwa volume infiltrasi mengalami
reduksi ketika ada lapisan abu vulkanik di atas
lereng. Hal ini ditunjukkan oleh pola rasio infiltrasi
yang keluar di hilir demplot terhadap volume
curah hujan, sebagaimana terlihat dalam Gambar 6.
Dari Gambar 6 terlihat prosentase volume
Infiltrasi menurun dengan bertambahnya
ketebalan lapisan abu vulkanik. Pada kondisi
lereng tanpa abu vulkanik rasio infiltrasi berkisar
antara 10-17%. Pada lereng tertutup abu vulkanik
1cm, rasio infiltrasi berkisar antara 9-12%. Pada
Gambar 5 Pengaruh kemiringan lereng terhadap lereng tertutup abu vulkanik 2,5cm, rasio infiltrasi
volume infiltrasi berkisar antara 7-9%. Sementara pada lereng
tertutup abu vulkanik 5cm, rasio infiltrasi berkisar
Perbedaan pengaruh kemiringan lereng antara 2-8%. Rata-rata penurunan rasio infiltrasi
terhadap pola infiltrasi dipengaruhi oleh terhadap total hujan sekitar 1,63% per 1 cm
terjadinya retak (crack) pada lapisan demplot ketebalan abu vulkanik.
akibat perubahan stabilitas lereng. Keretakan
lereng menyebabkan terganggunya stabilitas
lapisan dan disusul dengan keruntuhan lereng
(longsor), khususnya pada kemiringan lereng yang
curam, yaitu 200 dan 250. Proses keruntuhan
lereng diawali dengan adanya retakan dalam arah
melintang lereng, lalu aliran permukaan terbentuk
dan mulai terjadi proses erosi oleh aliran
permukaan khususnya pada mulai dari retakan
hingga hilir demplot tersebut. Erosi di area kaki
demplot mengakibatkan terganggunya stablilitas
lereng sehingga akhirnya lereng longsor.
Kelongsoran terjadi sekitar menit ke-59,25 hingga
hingga 75,00.
Perbedaan pengaruh tersebut kemungkinan
juga disebabkan oleh kadar air pada kondisi awal
lapisan pasir demplot. Pada demplot dengan
kemiringan lereng 150 kadar air awal rata-rata
sekitar 8,70%, kemiringan lereng 200 kadar air
awal rata-rata sekitar 6,42%, sedangkan
kemiringan lereng 250 kadar air awal rata-rata
Gambar 6 Pengaruh ketebalan abu vulkanik
sekitar 7,14%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar
terhadap infiltrasi
air kondisi awal demplot pada kemiringan lereng
150 lebih tinggi dari pada kadar air awal demplot Penurunan rasio infiltrasi per cm ketebalan
dengan kemiringan lereng 200 dan 250. Perbedaan abu vulkanik pada lereng dengan kemiringan 80
kondisi awal kadar air lapisan pasir ini dan 200 adalah sekitar 2,32%, untuk lereng dengan
kemungkinan merupakan salah satu faktor yang kemiringan 150 penurunan rasio infiltrasi sekitar
mempengaruhi kapasitas infiltrasi. 0,72%, sedangkan pada lereng dengan kemiringan
250 penurunan rasio infiltrasi sekitar 0,94%.

Pengaruh Ketebalan Lapisan Abu Vulkanik


terhadap Infiltrasi Komparasi Model Laju Infiltrasi pada Lereng
Tertutup Abu Vulkanik
Erupsi mengakibatkan hilangnya vegetasi dan
tertutupnya permukaan wilayah sekitar gunungapi Infiltrasi adalah proses masukanya air dari
dengan fragmen material vulkanik (tephra), permukaan kedalam tanah. Banyak faktor yang
sehingga menyebabkan perubahan hidrologi mempengaruhi proses infiltrasi, termasuk
wilayah tersebut. Dalam beberapa literatur, diantaranya kondisis permukaan tanah dan
menyebutkan bahwa lapisan material vulkanik tutupannya, porositas tanah, konduktifitas hidrolik
dan kandungan air tanah. Dalam pemodelan ini,
hanya akan ditinjau pengaruh tutupan abu
vulkanik terhadap laju infiltrasi, dimana untuk
variabel properti tanah terkait infiltrasi, seperti
porositas dan kandungan air tanah berdasarkan
data primer, sedangkan untuk nilai konduktifitas
hidrolik, sorptivitas dan wetting front soil suction
head diambil berdasarkan data literatur dengan
menyesuaikan pada karakteristik tanah/ pasir
yang ditinjau.
Dalam uji model ini, pada kemiringan lereng
200 dan 250 terjadi keruntuhan lereng sebelum
terbentuk aliran limpasan, aliran limpasan baru
terbentuk pada kemiringan lereng 150. Untuk
membuat pemodelan laju infiltrasi berdasarkan
hasil uji model, demplot harus mencapai kondisi
jenuh yang ditandai dengan terjadinya aliran
limpasan. Oleh sebab itu, analisis model persamaan
infiltrasi hanya dapat dilakukan pada hasil uji
model dengan kemiringan lereng 150, dimana
terjadi aliran limpasan di permukaan demplot.
Model infiltrasi yang digunakan adalah Philip dan
Green-Ampt Method. Kurva infiltrasi pada lereng
dengan lapisan abu 1cm dan 5cm dengan
kemiringan 150 disajikan dalam Gambar 7 dan 8
berikut.

Gambar 8 Kurva Infiltrasi pada Lereng 150


dengan Lapisan Abu Vulkanik 5cm

Pada lereng yang tertutup abu vulkanik 1cm,


aliran permukaan (runoff) mulai terbentuk pada
menit ke-43,67, sedangkan pada lereng tertutup
abu vulkanik 5cm runoff mulai muncul di
permukaan demplot pada menit ke-60. Pada
demplot dengan lapisan abu vulkanik lebih tebal
runoff yang terbentuk lebih lambat dan lebih kecil
dibandingkan pada lapisan abu yang lebih tipis. Hal
ini kemungkinan disebabkan karena volume air
yang terserap ke dalam lapisan demplot tersebut
sebagian besar diretensi oleh partikel abu
vulkanik. Menurut Ningsih (2012) penyebabnya
adalah ukuran butir abu vulkanik yang sangat
halus, mengakibatkan partikel ini memiliki gaya
kapiler yang tinggi. Saat lapisan abu vulkanik mulai
jenuh, maka kemudian terbentuk runoff
dipermukaan demplot.
Untuk lereng yang dengan lapisan abu
vulkanik 1cm, air yang terserap tersebut lebih
Gambar 7 Kurva Laju dan Kumulatif Infiltrasi cepat dialirkan ke hilir (keluar demplot) sebagai
pada Lereng 150 dengan Abu Vulkanik 1cm subsurface flow, sedangkan pada lereng tertutup
abu vulkanik air lebih lama tetahan di lapisan abu mewakili perilakuk daya serap kapiler dari abu
vulkanik. Massa air yang tertahan pada lapisan abu vulkanik dalam menentukan tren grafik model.
vulkanik ini yang mengakibatkan stabilitas lereng
terganggu. Oleh sebab itu, pergerakan sedimen di KESIMPULAN
lereng yang tetutup abu vulkanik pada uji model
ini, cenderung merupakan gerakan massa sedimen Kesimpulan yang diperoleh dari kegiatan
karena keruntuhan lereng akibat massa air yang penelitian ini adalah laju infiltrasi menunjukkan
diserap oleh lapisan abu vulkanik. pola penurunan akibat adanya lapisan abu
vulkanik, dimana makin tebal lapisan abu vulkanik
waktu inisiasi lebih lama dan laju infiltrasi puncak
makin kecil. Namun pengaruh kemiringan lereng
terhadap laju infiltrasi memberikan pola
bervariasi, kemungkinan karena dipengaruhi oleh
terjadinya retak (crack) pada lapisan demplot
akibat perubahan stabilitas lereng. Selain itu,
kondisi awal kandungan air juga bervariasi
sehingga berpengaruh terhadap kecepatan
infiltrasi lapisan.
Berdasarkan pemodelan, fungsi infiltrasi yang
sesuai untuk lereng tertutup lapisan abu vulkanik
yang mendekati data aktual adalah model infiltrasi
Philip’s. Namun demikian, perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut untuk memperolah model
yang lebih akurat dengan melakukan kalibrasi
model terhadap pengukuran aktual, tidak hanya
berdasarkan pengukuran laboratorium namun
juga pengukuran di lapangan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini dapat terlaksana atas dukungan
berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada Direktorat Pengembangan
Teknologi Industri, Direktorat Jenderal Penguatan
Riset dan Pengembangan, Kementerian
Ristek/BRIN selaku institusi yang mendanai
penelitian ini melalui Program INSINAS. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Balai
Teknik Sabo Yogyakarta atas dukungan akses
fasilitas Laboratorium Lahar dalam pelaksanaan
uji model fisik.

Gambar 9 Kurva Perbandingan Excess Rainfall DAFTAR PUSTAKA


Perhitungan terhadap Data Aktual pada Lereng
150 dengan Lapisan Abu Vulkanik 1cm dan 5cm
Alexander, J. Barclay, J. Susnik, J., Loughlin, S. C., Herd,
Model infiltrasi Philip’s dan Green-Ampt R. A., Darnell, A. dan Crosweller, S. (2010). Sediment-
memberikan hasil yang cukup memuaskan, terlihat charged flash floods on Montserrat: The influence of
dari kurva perbandingan excess rainfall synchronous tephra fall and varying extent of
perhitungan terhadap data actual dari pengukuran vegetation damage. Journal of Volcanology and
langsung saat uji model fisik. Namun, untuk Geothermal Research, 127-138.
demplot dengan ketebalan abu vulkanik 5cm, Chow, V. T., Maidment, D. R. dan Mays, L. W. (1988).
Model Infiltrasi Philip’s lebih mendekati data Applied Hydrology. New York: McGraw-Hill.
actual. Hal ini disebabkan dalam formula infiltrasi
Christensen, J. E. (1943). Irrigation by sprinkler.
Philip’s tidak hanya memperhitungkan parameter
California Agricultural Experimental Station, Berkeley,
konduktivitas hidrolik, tetapi juga terdapat
Res. Bull. 670, (1942) 123.
parameter soptivitas yang cukup signifikan dan
D6459-15: Standard Test Method For Determination Miyata, S. et al. (2016). Temporal change of
Of Rolled Erosion Control Product (RECP) infiltration characteristics of volcanic ash layer and its
Performance In Protecting Hillslopes From Rainfall- effect on rainfallrunoff processes. SATREPS Workshop
Induced Erosion. (2015). Philadelphia: ASTM-America in Kyoto of “Integrated Study on Mitigation of
Society for Testing and Materials. Multimodal Disasters Caused by Ejection of Volcanic
de Sousa Junior, S. F., Mendes, T. A. dan de Siqueira, Products” (hal. 20-35). Kyoto: Disaster Prevention
E. Q. (2017). Development and calibration of a rainfall Research Institute Kyoto University.
simulator for hydrological studies. Brazilian Journal of Ningsih, S. (2012). Kajian laju infiltrasi tanah dan
Water Resources. imbuhan air tanah lokal subDAS Gendol pasca erupsi
Gran, K.B., Montgomery, D. R., dan Halbur, J. C. Merapi 2010. Jurnal Bumi Indonesia. 1:218-226.
(2011). Long-term elevated post-eruption Simandjuntak, T.O. dan Barber, A.J. (1996).
sedimentation at Mount Pinatubo, Philippines. Contrasing tectonic style in the Neogene orogenic
Geology Vol. 39, 367-370. belts of Indonesia, in: Tectonic Evolution of Southeast
Horne, M. A. (2017). Thesis: Design and construction Asia, eds. Hall & Blundell, Geological Society Spec.
of a rainfall simulator for large-scale testing of erosion Publ. No. 106: 185-201.
control practices and products. Auburn: Auburn Tagata, S., Yamakoshi, T., Doi, Y., Kurihara, J., Terada,
University. H. dan Sakai, N. (2005). Post-Eruption Characteristics
Hudson, N. W. (1964). The flour pellet method for of Rainfall Runoff and Sediment Discharge at the
measuring the size of raindrops. Salisbury: Miyakejima Volcano, Japan. Prosiding the Seventh
Department of Conservation and Extension, 1964. IAHS Scientific Assembly, Foz do Iguaçu, Brazil, April
(Research Bulletin, 4). 2005. IAHS Publ.
Jones, R. (2017). Real-time prediction of rain- Teramoto, Y., Shimokawa, E. dan Jitousono, T. (2006).
triggered lahars: incorporating seasonality and Effects of Volcanic Ash on the Runoff Process in
catchment recovery . Natural Hazards and Earth Sakurajima Volcano. Disaster Mitigation of Debris
System Sciences 17, 2301–2312. Flows, Slope Failures and Landslides. 3003-310.
Kusumobroto, H. (2013). Aliran Debris dan Lahar Edisi Yakubu, M. L., Yusop, Z. dan Fulazzaky, M. A. (2016).
Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. The influence of rain intensity on raindrop diameter
and the kinetics of tropical rainfall: case study of
Laws, J. O. dan Parsons, D. A. (1943). The relation of
Skudai, Malaysia. Hydrological Sciences Journal, 61:5,
raindrop-size to intensity. Trans. Amer. Geophys.
944-951, DOI: 10.1080/02626667.2014.934251.
Union, 24, 452–460.
Yunita, F., Prinadiastari, I., & Ridwan, B. (2015).
Major, J.J. dan Mark, L.E. (2006). Peak flow responses
Konsep Penataan Ruang di Daerah Rawan Bencana
to landscape disturbances caused by the cataclysmic
Banjir Lahar di Kawasan Gunungapi Merapi. Kolokium
1980 eruption of Mount St. Helens. Geological Society
Hasil Litbang Sumber Daya Air. Bandung: Pusat
of America Bulletin Vol. 118, 938–958.
Litbang Sumber Daya Air, Badan Litbang Kementerian
Major, J.J. dkk. (1996). Watershed Disturbance and PUPR.
Lahars on the East Side of Mt. Pinatubo during the
Zaennudin, A. (2010). The characteristic of eruption
Mid-June 1991 Eruptions. Dalam C. d. Newhall, Fire
of Indonesian active volcanoes in the last four
and Mud, Eruptions and Lahars of Mt. Pinatubo,
decades. Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi,
Philippines (hal. 895-920). Seattle: PHIVOLCS/
Vol. 1, No. 2, 113 - 129.
University of Washington Press.

Anda mungkin juga menyukai