Anda di halaman 1dari 24

MUD PROPERTIES

LAPORAN III

OLEH

KUMALA GALUH HAIVA

071002000024

LABORATORIUM PENILAIAN FORMASI


FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI
PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2022

i
LEMBAR PENGESAHAN
NAMA : KUMALA GALUH HAIVA
NIM : 071002000024
KELOMPOK : A1
PARTNER : 1. MUHAMMAD AR RAFII S
: 2. DZHULVIEQAR ADRIANSYAH
: 3. RADEN FADLI
TGL PRAKTIKUM : 28 MARET 2022
TGL PENERIMAAN : 04 APRIL 2022
ASISTEN : 1. FIRMANSYAH ACHMAD
: 2. DEWI LATIFATUL AINI
: 3. NILA MUTYA HANI

NILAI :

TANDA TANGAN TANDA TANGAN

(…………………..) (KUMALA GALUH HAIVA)


ASISTEN PRAKTIKAN
DAFTAR ISI

Contents
DAFTAR ISI ..................................................................................................................................... I
DAFTAR TABEL ............................................................................................................................ II
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................................. III
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................. 1
1.1 LATAR BELAKANG ....................................................................................................................... 1
1.2 TUJUAN PERCOBAAN.................................................................................................................... 2
BAB II TEORI DASAR ................................................................................................................... 3
BAB III HASIL PENGAMATAN ................................................................................................... 5
BAB IV ANALISIS DAN PERHITUNGAN ................................................................................... 6
4.1 PERHITUNGAN MEASSURE DEPTH............................................................................................... 6
4.2 PERHITUNGAN GRADIEN TEMPERATURE .................................................................................... 6
4.3 PERHITUNGAN TF (°F) ................................................................................................................. 7
4.4 PERHITUNGAN RM@TF (ΩM)...................................................................................................... 7
4.5 PERHITUNGAN RMF@TF (ΩM) ................................................................................................... 8
4.6 PERHITUNGAN RMC@TF (ΩM) ................................................................................................... 8
BAB V PEMBAHASAN ................................................................................................................ 10
5.1 PEMBAHASAN PERCOBAAN ........................................................................................................ 10
5.2 TUGAS INTERNET ....................................................................................................................... 12
BAB VI KESIMPULAN ................................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 14
LAMPIRAN A TUGAS INTERNET .................................................................................... 15
LAMPIRAN B HASIL PENGAMATAN .............................................................................. 17

i
DAFTAR TABEL

3.1 MUD PROPERTIES….…………………………………………………….……………5

ii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
A. TUGAS INTERNET……………………………………………………………………14
B. HASIL PENGAMATAN…………………………………………………..……………1

iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegiatan operasi pemboran merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari
kegiatan produksi sumur. Oleh karena itu, tujuan dari kegiatan pemboran tidak hanya untuk
mengebor secara aman dan efisien, tetapi juga untuk menjaga agar sumur tetap berproduksi.
Keberhasilan suatu operasi pemboran multi layer sangat penting dan bergantung pada kinerja
lumpur pemboran yang digunakan, kinerja lumpur pemboran tersebut menentukan kinerja
menguntungkan dari formasi pemboran yang ditembus.

Dalam suatu proses pemboran, lumpur pemboran akan terus selalu disirkulasikan
sampai aktivitas pemboran terselesaikan dilakukan. Pada saat terdapat aliran lumpur
pemboran, filtrat lumpur akan masuk kedalam pori-pori batuan & menghambat sifat fisik
menurut batuan tersebut, terutama harga porositas & permeablitias menurut batuan gugusan.
Secara teoritis, kerusakan gugusan batu pasir lempungan akan lebih akbar dibandingkan
menggunakan keruskan gugusan batu pasir, selesainya disirkulasikan menggunakan lumpur
pemboran berbahan dasar minyak, hal ini ditimbulkan lantaran dalam gugusan batu pasir
lempungan clay bisa bereaksi menggunakan air sebagai akibatnya mengakibatkan terjadinya
pengembangan clay (clay swelling) dalam gugusan batu pasir lempungan yg tercemar sang
lumpur pemboran. Besarnya kerusakan gugusan bisa dilakykan menggunakan
membandingkan harga permeabilitas melalui uji laboratorium menggunakan memakai gas
permeameter. Permeameter dapat digunakan guna mengetahui nilai permeabilitas.

Dasarnya, penilaian formasi merupakan suatu cabang ilmu perminyakan yang erat
kaitannya dengan bidang petrofisika, dimana petrofisika adalah ilmu yang mempelajari atau
membahas mengenai karakteristik/sifat batuan dan interaksinya dengan fluida reservoir dan
juga membahas mengenai problema yang berkaitan dengan keberhasilan atas penemuan dan
perhitungan cadangan hidrokarbon. Penilaian formasi dilakukan dengan tujuan untuk
menelaah dan mengenali karakteristik dari suatu reservoir, memprediksi lokasi lapisan
permeabel minyak yang berpotensi, memperkirakan cadangan minyak awal di lokasi, dan
menentukan lokasi minyak, lubang produksi hidrokarbon.

Dari suatu hasil data yang dihasilkan dalam operasi logging, terdapat suatu
kemungkinan untuk melakukan prediksi atas posisi lapisan yang permeabel dari perspektif
hidrokarbon dan menghitung cadangan hidrokarbon awal sebelum produksi hidrokarbon.
Reservoir merupakan batuan yang permeabel atau dapat disebut sebagai suatu batuan berpori
yang pori-porinya saling berhubungan sehingga dapat melewati cairan yang memiliki
perbedaan densitas dan viskositasnya. Untuk mengevaluasi hasil logging, kita perlu
mengetahui sifat fisik atau karakteristik batuan seperti permeabilitas, porositas, saturasi,
wettability, dan tekanan kapiler. Terdapat dua metode interpretasi hasil pencatatan, yaitu
interpretasi kualitatif dan interpretasi kuantitatif. Kondisi tekanan dan temperatur reservoir
sangat luas dan sangat dipengaruhi oleh kondisi reservoir, baik dari segi batuan maupun cairan.
Anomali suhu akan disampaikan oleh beberapa ahli logging dalam menganalisa hasil record.

1
1.2 Tujuan Percobaan
Adapun tujuan diadakannya percobaan Mud Properties dalam Praktikum Penilaian
Formasi ini antara lain sebagai berikut :
1. Untuk memahami cara membaca hasil logging suatu sumur

2. Untuk menghitung nilai dari resistivity mud pada suatu kedalaman

3. Untuk mengetahui nilai dari resistivity mud cake pada suatu zona

4. Untuk mengetahui nilai dari resistivity mud filtrate pada suatu zona

5. Untuk memahami cara perhtiungan dari To dan Tf dari suatu zona

2
BAB II TEORI DASAR

Dalam suatu kegiatan eksplorasi, kegiatan penilaian formasi merupakan suatu


aktivitas yang harus dilakukan. Lumpur pemboran mengalami suatu pendesakan terhadap
fluida hidrokarbon yang menyebabkan fluida masuk ke dalam formasi bergerak menjauh dari
lubang bor. Hal ini merupakan salah satu kegunaan lumpur pemboran yaitu menjaga tekanan
formasi guna mencegah fluida formasi menyembur ke permukaan pada suatu rangkaian
identifikasi dan investigasi pada data geologi yang didapatkan dan data survei bidang geofisika
yang mana dilakukan pada zona yang memiliki kemungkinan besar merupakan zona yang
produktif. Dalam kegiatan ini, dilakukan identifikasi dan pengumpulan data yang mendetail
dari reservoir. Data yang dikumpulkan meliputi data petrofisik, seperti porositas,
permeabilitas, saturasi air, wettability, dan juga tekanan kapiler dari batuan formasi zona
prospek. Pada saat kegiatan penilaian formasi, terdapat suatu metode yang disebut sebagai
mud logging. Mud logging merupakan suatu aktivitas yang mana dilakukan pada suatu
lapangan. Aktivitas ini dilakukan dengan menelaah, meneliti, dan juga menulis data kondisi
lumpur yang dilakukan sirkulasi pada kegiatan pemboran. Hal ini dilakukan dengan
mengamati dan mendeskripsikan fluida yang terkandung pada suatu reservoir dan kondisi
cutting yang terbawa oleh lumpur ppemboran dengan menggunakan peralatan-peralatan dalam
proses sirkulasi.
Salah satu alat log yang digunakan adalah alat log listrik. Alat log listrik yang terkenal
yaitu log resistivity. Pada saat menggunakan log resistivity, terdapat suatu kurva normal.
Tujuan dilakukannya pengukuran pada kurva normal yaitu untuk short normal dapat
digunakan dengan mengukur invaded zone resistivity dan juga porositas dari formasi prospek.
Namun, untuk long normal digunakan untuk menentukan invaded zone resistivity dan Rt untuk
lubang bor tertentu. Sedangkan, kurva lateral digunakan untuk dilakukan pengukuran dimana
dengan kurva ini kerap dilakukan penentuan nilai Time Resistivity saja atau biasa disebut
dengan Rt. Kemudian terdapat multiple resistivity measurement, yang diawali dengan dual
induction Laterolog 8. Dual induction – laterolog 8 merupakan alat log yang digunakan dalam
penentuan Rt. Alat ini memiliki bagian yang mempunyai elektoda dengan jarak sedemikian
rupa untuk memaksa arus utama masuk sedalam mungkin ke dalam formasi dan megukur
LLD. Dalam melakukan analisa kuantitatif, dilakukan suatu analisa log yang
memperhitungkan besaran nilai angkanya. Pada analisa ini, diperhatikan skala ukuran grid dari
data log yang didapatkan sesiao kedalaman zona yang prospek atas hidrokarbon. Berdasarkan
data-data yang dihasilkan dengan bantuan suatu grafik, digunakan rumus atau persamaan yang
digunakan guna menentukan hal-hal, antara lain total volume kandungan shale (Vsh), nilai
porositas, nilai resistivitas air formasi, nilai resistivitas formasi, dan juga nilai dari saturasi air
formasi.
Resisttivitas air formasi merupakan tahanan atau hambatan jenis air yang terdapat
pada suatu formasi dengan temperatur tertentu pada zona tersebut. Resistivitas air formasi
biasa disimbolkan dengan Rw. Hal ini merupakan salah satu parameter yang mana digunakan
dalam penentuan nilai saturasi air formasi. Salah satu metode yang biasa digunakan dalam
menentukan resistivitas air formasi adalah metode pickett plot. Dengan metode ini, terdapat

3
kriteria antara lain formasi yang harus bersih, litologi yang konsisten, dan juga nilai resistivitas
air formasi yang konstan. Metode ini didasarkan pada persamaan Archie. Resistivitas shale
biasanya mengikat apabila terdapat pertambahan pada kedalaman. Namun, pada zona dengan
tekanan yang tinggi, akan menghasilkan nilai resistivitas shale yang berkurang. Adanya
pertambahan nilai atas turunnya resistivitas shale akan menyebabkan pertambahan pada
tekanan yang menjadi abnormal. Sekarang ini hampir dalam setiap kegiatan pemboran
dilakukan lumpur khusus yang mampu memindahkan atau menangkat cutting dari lubang bor.
Densitas lumpur dijaga agar tetap pada nilai yang tinggi, dimana hal ini mengakibatkan
terdapat tekanan hidrostatis pada kolom fluida pemboran yang harus selalu lebih besar
dibanding tekanan formasi. Perbedaan tekanan ini akan mendorong sebagian dari fluida
pemboran untuk menerobos atau merembes kedalam formasi. Dalam kondisi ini, invasi
partikel padat tertahan pada sisi lubang dan membentuk suatu kerak lumpur yang biasa disebut
sebagai mud cake. Sedangkan, fluida yang masuk ke dalam formasi disebut sebagai filtrat
lumpur (mud filtrate). Hal ini disebabkan adanya media berpori pada suatu lapisan permeabel.
Temperatur atau suhu formasi merupakan salah sau hal yang berhubungan dalam penentuan
nilai resistivitas. Temperatur suatu formasi biasa diperoleh dengan menggunakan persamaan
linier regresi. Persamaan linear regresi merupakan suatu model persamaan yang mana
menjelaskan hubungan suatu variabel bebas dengan suatu variabel yang tidak bebas.
Persamaan ini dpat dituangkan pada suatu garis lurus.Dalam penentuan temperatur formasi,
pertama dicari titik BHT pada temperatur permukaan. Kemudian, tarik garis vertikal hingga
berpotongan dengan TD atau garis horixontal. Perpotongan ini menunjukkan adanya gradien
temperatur yang merupakan garis diagonal. Lalu, ikuti garis gradien sampai kedalaman
formasi. Temperatur formasi dapat dibaca pada skala di bagian bawah titik perpotongan
gradien temperatur dengan kedalaman formasi yang ada.
Pada perhitungan yang dilakukan, biasa digunakan data-data yang terdapat pada
header log. Misalnya dalam menentukan temperatu pada formasi, nilai dari Bottom Hole
Temperature (BHT) dan Total Depth (TD) biasanya didapat dari Header Log. Selain itu,
terdapat data-data lain yang dapat diperoleh dari header log. Data tersebt antara lain well name,
foeld name, rig name dan lokasi (latitude, longitude, elevation), datum, log measured from,
drilling measured from, logging date, run number, depth driller, depth logger, bottom logged
interval, top logged interval, casing driller/depth, casing logger, bit size, fluid type/fluid level,
densitas dan viskositas, pH dan fluid loss, sumber sampel, Rm pada measured temperature,
Rmf pada measured temperaure, danc Rm pada meaure temperature, dan juga source Rmf dan
Rmc, Rm pada temperatur dasar sumur, waktu sejak disirkulasikannya lumpur pemboran, dan
yang terakhir yang dapat diperoleh dari header log adalh max recordable temperature (BHT).
Informasi yang ada pada header log digunakan dalam penentuan mengapa instrumen logging
tidak dapat mencapai kedalaman yang diinginkan atau mengapa instrumen mengapa logging
terjepit atau terjadi stucking pada suatu kedalaman target. Skala logaritmik pada suatu data
log biasanya dipakau untuk data resistivitas dan menempati 1 atau 2 track. Data log lain
dilakukan perekaman secara linear. Track1 biasanya digunakan untuk kurva seperti SP, GR,
dan Caliper. Namun, dapat juga digunakan untuk informasi inrerpretasi quicklook. Data
penting untuk log header seperti ukuran lubang pada tiap kedalaman dan kedalamnn total
sumur direkam pada log pemboran, seperti BHT.

4
BAB III HASIL PENGAMATAN

Mud Properties
Tabel 3.1

5
BAB IV ANALISIS DAN PERHITUNGAN

4.1 Perhitungan Meassure Depth

(𝐾𝑒𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛 𝐴𝑘ℎ𝑖𝑟 − 𝐾𝑒𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛 𝐴𝑤𝑎𝑙)


𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 𝐾𝑒𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎n =
9

= = 0,888888889 meter

𝑀𝐷 = 𝐾𝑒𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛 + 𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 𝐾𝑒𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛

1. MD 1 = 1762 meter

2. MD 2 = 1762 + 0,888888889 = 1762,889 meter

3. MD 3 = 1762,889 + 0,888888889 = 1763,778 meter

4. MD 4 = 1763,778 + 0,888888889 = 1764,667 meter

5. MD 5 = 1764,667 + 0,888888889 = 1765,556 meter

6. MD 6 = 1765,556 + 0,888888889 = 1766,444 meter

7. MD 7 = 1766,444 + 0,888888889 = 1767,333 meter

8. MD 8 = 1767,333 + 0,888888889 = 1768,222 meter

9. MD 9 = 1768,222 + 0,888888889 = 1769,111 meter

10. MD 10 = 1769,111 + 0,888888889 = 1770 meter

4.2 Perhitungan Gradien Temperature

(𝐵𝐻𝑇 − 𝑇𝑜)
𝐺𝑟𝑎𝑑𝑖𝑒𝑛 𝑇𝑒𝑚𝑝𝑒𝑟𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 = 𝐿𝑜𝑔𝑔𝑒𝑟 𝐷𝑒𝑝𝑡ℎ

107−28,06666667
= = 0,031063886
2541

6
4.3 Perhitungan Tf (°F)

𝐵𝐻𝑇 − 𝑇𝑜
𝑇𝑓 = 𝑇𝑜 + 𝑥 𝑀𝐷
𝑇𝐷

107−28,06666667
1. Tf = 28.06666667 + x 1762 = 82,80123 °F
2541
107−28,06666667
2. Tf = 28.06666667 + x 1762,889 = 82,82885 °F
2541
107−28,06666667
3. Tf = 28.06666667 + x 1763,778 = 82,85646 °F
2541
107−28,06666667
4. Tf = 28.06666667 + x 1764,667 = 82,88407 °F
2541
107−28,06666667
5. Tf = 28.06666667 + x 1765,556 = 82,91168 °F
2541
107−28,06666667
6. Tf = 28.06666667 + x 1766,444 = 82,93929 °F
2541
107−28,06666667
7. Tf = 28.06666667 + x 1767,333 = 82,96691 °F
2541
107−28,06666667
8. Tf = 28.06666667 + x 1768,222 = 82,99452 °F
2541
107−28,06666667
9. Tf = 28.06666667 + x 1768,111 = 82,02213 °F
2541
107−28,06666667
10. Tf = 28.06666667 + x 1770 = 83,04974 °F
2541

4.4 Perhitungan Rm@Tf (Ωm)

𝑇𝑜 + 6,77
𝑅𝑚@𝑇𝑓 = 𝑅𝑚@𝑇𝑜 × ( )
𝑇𝑓 + 6,77

28,06666667+6,77
1. Rm@Tf = 3,66 + = 1,423472644 Ωm
82,80123+6,77
28,06666667+6,77
2. Rm@Tf = 3,66 + = 1,423033962 Ωm
82,82885 +6,77
28,06666667+6,77
3. Rm@Tf = 3,66 + = 1,42259555 Ωm
82,85646 +6,77
28,06666667+6,77
4. Rm@Tf = 3,66 + = 1,422157408 Ωm
82,88407 +6,77
28,06666667+6,77
5. Rm@Tf = 3,66 + = 1,421719536 Ωm
82,91168 +6,77
28,06666667+6,77
6. Rm@Tf = 3,66 + = 1,42181933 Ωm
82,93929 +6,77
28,06666667+6,77
7. Rm@Tf = 3,66 + = 1,4208446 Ωm
82,96691 +6,77
28,06666667+6,77
8. Rm@Tf = 3,66 + = 1,421719536 Ωm
82,99452 +6,77
28,06666667+6,77
9. Rm@Tf = 3,66 + = 1,419970741 Ωm
82,02213 +6,77

7
28,06666667+6,77
10. Rm@Tf = 3,66 + = 1,419534214 Ωm
83,04974 +6,77

4.5 Perhitungan Rmf@Tf (Ωm)

𝑇𝑜 + 6,77
𝑅𝑚𝑓@𝑇𝑓 = 𝑅𝑚𝑓@𝑇𝑜 × ( )
𝑇𝑓 + 6,77

28,06666667+6,77
1. Rmf@Tf = 4,08 + = 1,586821964 Ωm
82,80123+6,77
28,06666667+6,77
2. Rmf@Tf = 4,08 + = 1,586332941 Ωm
82,82885 +6,77
28,06666667+6,77
3. Rmf@Tf = 4,08 + = 1,585844219 Ωm
82,85646 +6,77
28,06666667+6,77
4. Rmf@Tf = 4,08 + = 1,585355799 Ωm
82,88407 +6,77
28,06666667+6,77
5. Rmf@Tf = 4,08 + = 1,584867679 Ωm
82,91168 +6,77
28,06666667+6,77
6. Rmf@Tf = 4,08 + = 1,58437986 Ωm
82,93929 +6,77
28,06666667+6,77
7. Rmf@Tf = 4,08 + = 1,583892341 Ωm
82,96691 +6,77
28,06666667+6,77
8. Rmf@Tf = 4,08 + = 1,583405122 Ωm
82,99452 +6,77
28,06666667+6,77
9. Rmf@Tf = 4,08 + = 1,582918203 Ωm
82,02213 +6,77
28,06666667+6,77
10. Rmf@Tf = 4,08 + = 1,582431583 Ωm
83,04974 +6,77

4.6 Perhitungan Rmc@Tf (Ωm)

𝑇𝑜 + 6,77
𝑅𝑚𝑐@𝑇𝑓 = 𝑅𝑚𝑐@𝑇𝑜 × ( )
𝑇𝑓 + 6,77

28,06666667+6,77
1. Rmf@Tf = 2,97 + = 1,155113047 Ωm
82,80123+6,77
28,06666667+6,77
2. Rmf@Tf = 2,97 + = 1,154757067 Ωm
82,82885 +6,77
28,06666667+6,77
3. Rmf@Tf = 2,97 + = 1,154401307 Ωm
82,85646 +6,77
28,06666667+6,77
4. Rmf@Tf = 2,97 + = 1,154045765 Ωm
82,88407 +6,77
28,06666667+6,77
5. Rmf@Tf = 2,97 + = 1,153690443 Ωm
82,91168 +6,77
28,06666667+6,77
6. Rmf@Tf = 2,97 + = 1,153335339 Ωm
82,93929 +6,77

8
28,06666667+6,77
7. Rmf@Tf = 2,97 + = 1,153335339 Ωm
82,96691 +6,77
28,06666667+6,77
8. Rmf@Tf = 2,97 + = 1,152625788 Ωm
82,99452 +6,77
28,06666667+6,77
9. Rmf@Tf = 2,97 + = 1,152271339 Ωm
82,02213 +6,77
28,06666667+6,77
10. Rmf@Tf = 2,97 + = 1,151917108 Ωm
83,04974 +6,77

9
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Pembahasan Percobaan
Dalam praktikum ketiga, dibahas mengenai Mud Properties. Pada percobaan ini
dilakukan analisa secara kuantitatif dari data log sumur B-137 yang dalam percobaan
sebelumnya telah dilakukan analisa kualitatif untuk menentukan kedalaman zona yang
dianggap prospek mengandung hidrokarbon. Pada percobaan sebelumnya, telah didapatkan
fluida formasi akan didapatkan pada kedalaman dari 1762 meter sampai 1770 meter.
Kedalaman tersebut dipilih dari 3 zona terpilih yang dianggap prospek sebelumnya. Dua zona
prospek lainnya yaitu berada pada kedalaman 1520 – 1529 meter dan juga pada kedalaman
1604 – 1610 meter. Berdasarkan analisa kualitatif yang telah dilakukan, dilihat pada track 1
yaitu pada log gamma ray dilihat terdapat defleksi kekiri, track 2 deflkesi ke kanan dan terdapat
crossover pada track ke-3. Dalam percobaan Mud Properties ini, digunakan data-data yang
terdapat pada header log sumur B-137. Data dari header log yang dipakai untuk analisa
kuantitatif Mud Properties ini antara lain kedalaman dalam operasi logging (Depth – Logger),
Resistivity of Mud, Resistivity of Mud Filtrate, Resitivity of Mud Cake, dan juga Rm@To,
Rmc@To, Rmf@To, dan juga nilai temperatur dari Bottom Hole Temperature (BHT).
Analisa kuantitaif Mud Properties ini harus dilakukan dengan tujuan untuk
mendeteksi adanya mud filtrate, mud, dan mid cake yang mana kandungan tersebut merupakan
suatu pengoreksi. Mud Properties ini juga bertujan untuk melihat bermacam faktor yang
menjadi indikasi terjadi perubahan nilai resistivitas. Nilai resistivitas yang berubah ini dapat
mengindikasikan adanya kandungan hidrokarbon, dimana hal ini digunakan untuk mengoreksi,
menghitung nilai saturasi, dan lain-lain. Parameter yang dapat ditentukan dalam percobaan
Mud Properties ini yaitu gradien temperatur, kedalaman zona prospek hidrokarbon dengan
interval yang dihitung atau biasa disebut sebagai Measure Depth, temperatur formasi, Rm@Tf,
Rmf@Tf, dan juga Rmc@Tf.
Hal pertama yang perlu ditentukan dalam percobaan ini yaitu mencatat data-data yang
diperoleh dari data sumur log-137, dimana didapat RM BHT 107 °F, Trm senilai 37 °F, Trmf
sebesar 23,5 °F, Trmc sebesar 23,7 °F. Selain data-data tersebut, dari data pada header log juga
diperoleh nilai TD dimana nilai depth yang digunakan yaitu Depth-Logger. Dari header log,
diperoleh Depth-Logger sebesar 2541 meter. Dan juga diperoleh nilai Rm@To, Rmf@To, dan
juga Rmc@To dengan nilai berturut-turut yaitu sebesar 3,66; 4,08; dan 2,97. Perhitungan
pertama yang perlu dilakukan perhitungan nilai To. Nilai To didapat dengan merata-ratakan
nilai Trm, Trmf, dan Trmc. Dari perhitungan, diperoleh nilai To sebesar 28,06666667 °F.
Langkah selanjutnya yang dilakukan yaitu melakukan perhitungan nilai gradien temperatur.
Nilai gradien temperatur ini merupakan perbandingan atas selisih RM BHT dan To dengan
nilai Td. Dari perhitungan di dapat nilai gradien temperatur yaitu sebesar 0,03106386. Nilai
gradien yang positif menunjukkan suatu pergerakan grafis dari temperatur yang berubah
dengan gradien yang mana temperatur ini akan terus meningkat semakin tinggi seiring dengan
semakin dalamnya suatu zona yang dilakukan operasi logging. Kemudian, dari kedalaman zona
yang dipilih yaitu pada kedalaman 1762 – 1770 meter. Zona ini dibagi menjadi 10 lapisan
dengan interval yang kita hitung. Interval di dapat dengan membagi 9 selisih dari kedalaman
akhir dan kedalaman awal pada interval tersebut. Dari perhtiungam diperoleh nilai interval
kedalaman sebesar 0,888888889 meter. Jadi, kedalaman zona ke-n pada perhitungan yaitu pada
kedalaman dengan menjumlahkan kedalaman 10 sebelumnya dengan interval 0,888888889
meter.

10
Parameter selanjutnya yang perlu dilakukan perhitungan yaitu menghitung temperatur
pada masing-masing kedalaman yaitu pada 10 lapisan. Nilai temperatur yang didapat yaitu
dalam satuan Fahrenheit. Nilai temperatur pada formasi dapat ditentukan dengan
menambahkan tekanan di surface dengan perkalian antara gradien temperatur dengan
kedalaman. Kedalaman yang digunakan di sini adalah kedalaman yang hendak diukur
temperaturnya. Dari perhitungan yang telah dilakukan, nilai temperatur formasi pada
kedalaman 1762 meter yaitu sebesar 82,80123 °F. Selanjutnya diukur pada 1762,889 ;
1763,778 ; 1764,667 ; 1765,556; dan 1766,444 meter didapat nilai temperatur pada formasi
berturut-turut yaitu sebesar 82,82885; 82,85646 ; 82,88407 ; 82,91168 ; 82,93929 °F.
Kemudian temperatur diukur pada kedalaman 1767,333 meter didapat temperatur formasi
sebesar 82,96691 meter. Selanjutnya, temperatur diukur pada formasi1768,222 dan 1769,111
meter diperoleh temperatur pada formasi yaitu sebesar 82,99452 °F dan 83,02213. Terakhir,
pada lapisan terakhir dari kedalaman yang dipilih yaitu pada kedalaman 1770 meter diukur
temperatur formasi dan didapat tekanan formasi sebesar 83,04974 °F. Dari perhitungan yang
telah dilakukan dapat dilihat bahwa semakin ke bawah, maka nilai temperatur akan menjadi
semakin tinggi. Hal ini disebabkan adanya geothermal profile yang memberikan panas.
Perhitungan dilanjutkan dengan menghitung nilai Rm pada formasi. Nilai Rm
merupakan resistivity mud yang mana nilai ini diukur sesuai kedalaman. Nilai resistivity of
mud yang didapat ohm-meter (Ω𝑚). Nilai resistivity mud diperoleh dengan melakukan
perkalian pada niai Rm@To dengan perbandingan nilai To dan Tf, dimana nilai To dan Tf
ditambah dengan 6,77. Dari perhitungan yang telah dilakukan pada kedalaman yang dipilih
didapat pada kedalaman 1762 meter diperoleh nilai Rm sebesar 1,423472644 Ω𝑚. Selanjutnya
pada kedalaman 1762,889 ; 1763,778 ; 1764,667 ; 1765,556; dan 1766,444 ; 1767,333 ;
1768,222 ; dan 1769,111 meter, diperoleh nilai Rm berturut-turut seebsar 1,423033962 ;
1,42259555 ; 1,422157408 ; 1,421719536 ; 1,421281933 ; 1,4208446 ; 1,420407536 ; dan
1,419970741 ohm meter. Kemudian, pada kedalaman terakhir didapat nilai dari resistivity of
mud yaitu pada kedalaman 1770 meter diperoleh resistivity sebesar 1,419534214 ohm-meter.
Selanjutnya adalah perhitungan Rmf pada tiap kedalaman. Persamaan yang digunakan
dalam penentuan Rmf mirip seperti perhitungan Rm pada formasi, tetapi nilai yang digunakan
bukan Rm@To, melainkan Rmf@To. Berdasarkan perhitungan, diperoleh nilai resistivity of
mud filtrate berdasarkan lapisan secara berurutan dari lapisan pertama antara lain 1,586821964
; 1,586332941 ; 1,585844219 ; 1,585355799 ; 1,584867679 ; 1,58437986 ; 1,583892341 ;
1,583405122 ; dan 1,582918203 ohm-meter. Kemudian, diukur resistivity of mud cake dari
masing-masing lapisan. Berdasarkan perhitungan, diperoleh nilai resistivity of mud cake
berdasarkan lapisan secara berurutan dari lapisan pertama antara lain 1,155113047 ;
1,154757067 ; 1,154401307 ; 1,154045765 ; 1,153690443 ; 1,153335339 ; 1,152980454 ;
1,152625788; 1,152271339; dan 1,151917108 ohm-meter. Dari perhitungan yang telah
dilakukan, dapat dilihat nilai resistivity of mud akan semakin kecil apabila diukur pada
kedalaman yang semakin dalam. Begitu juga pada nilai resistivity dari mud filtrate dan
resistivity dari mud cake. Perhitungan yang dilakukan dalam percobaan Mud Properties
inidigunakan pada percobaan selanjutnya yaitu pada percobaan Resistivity Correction. Dalam
percobaan mud properties ini, dilakukan perhitungan yang mana nilai resistivity yang didapat
akan digunakan untuk analisa selanjutnya, Seperti yang diketahui, air memiliki resistivitas
yang rendah, sedangkan fluida hidrokarbon memiliki nilai resistivitas yang lebih tinggi. Hal ini
dapat dianalisa dari nilai resistivitas mud, resistivoitas mud filtrate, dan resistivitas mud cake.

11
5.2 Tugas Internet
Bottom Hole Temperature (BHT)
Selama pengeboran dan penyelesaian sumur panas bumi, penting untuk memprediksi
suhu lubang bawah sistem cairan dan semen pengeboran serta suhu formasi lubang bawah
untuk desain dan komposisi cairan pengeboran, bubur semen, dan rakitan lubang bawah yang
memadai. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa peningkatan suhu fluida menurunkan
densitas dan sifat reologi fluida. Oleh karena itu, pengetahuan yang akurat tentang Bottom Hole
Temperature (BHT) sangat penting untuk merancang berat lumpur dan reologi dengan benar
sesuai dengan kondisi lubang bawah. Bottom Hole Temperature adalah temperature yang ada
di dasar lubang pemboran. BHT juga merupakan proses perekaman nilai temperatur dari
formasi-formasi yang dilewati saat proses pengeboran. Saat proses perekaman nilai temperatur,
nilai yang didapat bukanlah nilai asli dari temperatur formasi tersebut. Hasil pengukuran
bottom hole temperature (BHT) didapat suhu yang belum stabil atau di bawah suhu asli formasi
yang dilintasi lubang bor, dikarenakan suhu telah ter-distorsi dengan kegiatan pengeboran dan
lumpur pengeboran sehingga perlu dikoreksi lagi. Untuk melakukan pengkoreksian suhu hasil
pengukuran maka dilakukan perhitungan menggunakan metode Horner. Metode Horner plot
adalah salah satu metode perhitungan untuk mengkoreksi nilai atau suhu hasil pengukuran.
Hasil perhitungan dari Horner plot akan diplot di grafik semilog sehingga mendapatkan suhu
mencapai kesetimbangan. Metode Horner plot sudah sangat sering digunakan untuk
mengestimasi suhu pada formasi (Dowdle and Cobb, 1975). Metode ini sangat mudah
digunakan bahkan dilapangan sekalipun, masih bisa menggunakan metode ini. Disamping itu,
metode ini hanya dapat mengolah data yang didapat dengan jangka waktu 120 jam untuk
mengestimasi secara benar. Dan juga menunjukan waktu sirkulasi fluida selama waktu Horner
plot yang kritis untuk di estimasi. Pre-kalkulasi terhadap gradien termperatur dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui suhu formasi pada kedalaman tertentu. Hal ini perlu dilakukan karena
adanya pengaruh gradien temperatur bottom hole temperature (BHT) yang selalu berubah
terhadap fungsi dari kedalaman. Perubahan temperatur ini akan mempengaruhi perubahan nilai
resistivitas yang akan digunakan dalam menghitung saturasi air. Data Bottom Hole
Temperature (BHT) diperoleh dari pengukuran pada saat drilling berlangsung. Berdasarkan log
Caliper dari sumur pada interval target (Talang Akar), tidak dilakukan environmental
correction karena diameter lubang sumur/borehole relatif bagus. Regresi untuk Bottom Hole
Temperature (BHT) dikembangkan menggunakan data dari Sumur A dan Sumur B. Bottom
Hole Temperature (BHT) minimum dalam kumpulan data adalah 33,3°C sedangkan
maksimum adalah 143,3°C. Temperatur masuk dan keluar lumpur, waktu bottoms up, sifat
reologi yang mencirikan reologi fluida pemboran dan berat lumpur digunakan sebagai fitur
untuk prediksi Bottom Hole Temperature (BHT) dalam regresi hutan acak. Dijelaskan nilai
BHT terukur dan terprediksi menggunakan regresi hutan acak dengan interval kepercayaan
10%. Regresi memberikan kecocokan dengan MAE 0,63°C dan MAPE 0,71%. Koefisien
determinasi (R2) dari regresi ini adalah 0,997. Hanya ada tiga outlier dari 2200 titik data dalam
set data uji yang menunjukkan bahwa titik-titik ini adalah outlier karena sedikit kesalahan
pengukuran dalam data mentah (kesalahan absolut maksimum 18,44 °C, kesalahan persentase
absolut maksimum 22,43%. (Source : https://media.neliti.com/media/publications/330317-
evaluasi-formasi-dan-perhitungan-volume-f296e269.pdf) (diakses tanggal 02 April 2022.)

12
BAB VI KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan Mud Properties ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan antara
lain sebagai berikut:
1. Pada data logging B-137, Kedalaman yang dibagi menjadi 10 zona prospek
hidrokarbon yaitu berturut-turut pada kedalaman 1762 meter, 1762,889 meter,
1763,778 meter, 1764,667 meter, 1765,556 meter, 1766,444 meter, 1767,333 meter,
1768,222 meter, 1769,111 meter, dan 1770 meter.

2. Dari hasil analisa kuantitatif yang telah praktikan lakukan, disimpulkan semakin dalam
suatu formasi akan memiliki temperatur yang semakin tinggi, dimana pada zona
prospek yang dipilih, pada kedalaman paling atas yaitu 1762 meter memiliki
temperatur 82,80123 °F dan pada kedalaman yang paling dalam pada 1770 meter
sebesar 83,04974 °F.

3. Dari hasil analisa kuantitatif yang telah praktikan lakukan, disimpulkan semakin dalam
suatu formasi akan memiliki nilai resistivity mud yang semakin rendah, dimana pada
zona prospek yang dipilih, pada kedalaman terendah yaitu 1762 meter memiliki nilai
Rm@Tf didapatkan sebesar 1,423472644 𝛺𝑚, sedangkan pada kedalaman terdalam
yaitu pada kedalaman 1770 meter didapatkan nilai Rm@Tf sebesar 1,419534214 𝛺𝑚.

4. Dari hasil analisa kuantitatif yang telah praktikan lakukan, disimpulkan semakin dalam
suatu formasi akan memiliki nilai resistivity mud filtrate yang semakin rendah, dimana
pada zona prospek yang dipilih, pada kedalaman terendah yaitu 1762 meter nilai
Rmf@Tf didapatkan sebesar 1,586821964 𝛺𝑚 sedangkan pada kedalaman terdalam
yaitu 1770 meter didapatkan nilai Rmf@Tf sebesar 1,582431583 𝛺𝑚.

5. Dari hasil analisa kuantitatif yang telah praktikan lakukan, disimpulkam semakin
dalam suatu formasi akan memiliki nilai resistivity mud cake yang semakin rendah,
dimana pada zona prospek yang dipilih, pada kedalaman terendah yaitu 1762 meter
memiliki nilai Rmc@Tf sebesar 1,155113047 𝛺𝑚 sedangkan pada kedalaman
terdalam yaitu 1770 meter didapatkan nilai Rmf@Tf sebesar 1,151917108 𝛺𝑚.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Nugrahanti, Asri, dan Sumantari, R., 2014, Penilaian Formasi 1, Jakarta: Universitas
Trisakt

2. Peters, Ekewere J, “Advanced Petrophysics Volume 1”, Live Oak Book, Austin,
Texas, 2012.

3. Sitaresmi, Ratnayu.2019. Diktat Petunjuk Praktikum Penilaian Formasi.


Jakarta:Universitas Trisakti

4. https://www.scribd.com/document/400303183/Resistivity-Logging (diakses pada 26


September 2021 pada 21.24 WIB)

5. https://search.spe.org/i2kweb/SPE/doc/onepetro:425CD0D2/ (diakses pada 26


September 2021 pada 23.42 WIB)

14
LAMPIRAN A TUGAS INTERNET

15
BOTTOM HOLE TEMPERATURE
(BHT)
During drilling and completion of geothermal wells, it is important to predict the
downhole temperature of drilling fluid and cement systems as well as the temperature of
downhole formations for adequate design and composition of drilling fluids, cement slurries,
and the bottom hole assemblies. Previous studies show that increased fluid temperature
decreases the density and rheological properties of the fluid. Therefore, accurate knowledge of
BHCT is essential to properly design both mud weight and rheology according to downhole
conditions Thickening time of cement slurries is also directly correlated with temperature.
Optimized cement slurry design by accurate prediction of both SFT and BHCT will decrease
non-productive time (NPT) and contribute further in cost savings. Similarly, sensors used in
bottomhole assemblies have critical temperature limits over which signal quality issues can be
observed. There are various studies on predicting BHCT or SFT using physics-based models,
analytical models or artificial neural networks. However, it was developed and tested for only
one well and works only in static conditions. Moreover, the model does not consider the effect
of drilling fluid parameters in its calculations. A thermal simulator developed by researchers
estimates the temperature distribution in the drill pipe and annulus while circulating. The
simulator works with inputs of well geometry, the fluid and flow characteristics and the initial
formation temperature. However, the use of this model requires the source code and expensive
solutions of numerical models which is timeconsuming. An artificial neural networks (ANN)
approach was presented (Bassam, et al. 2010) for the calculation of SFT in geothermal wells.
The ANN model was trained using the features of BHCT, shut-in times, and the temperature
gradients. Even though the model has high accuracy (>95%), it is not able to measure BHCT.
Similar to the previous model, this approach also does not take into consideration the drilling
fluid parameters (e.g. rheology or mud weight). Another study (Feng 2011) discusses the
prediction of temperatures in deep-water vertical oil and gas wells. The study presents two
analytical methods. The proposed methods use finite difference discretization to predict the
circulating drillpipe and annulus temperatures in steady-state. However, these models were
only tested in offshore wells but not in geothermal wells, which have larger temperature
gradients compared to conventional oil and gas wells (Gul and Aslanoglu 2018). Machine
learning regressions for BHCT were developed using the data from both Well A and Well B.
The minimum BHCT in the dataset was 33.3°C while the maximum was 143.3°C. Mud in and
out temperatures, bottoms up time, rheological properties characterizing drilling fluid rheology
(m, K and 𝜏𝑦) and mud weight were used as features for the predictions of BHCT in random
forest regressions. Fig. 4 illustrates the measured and predicted values of BHCT using random
forest regression with 10% confidence interval. The regression provided a fit with a MAE of
0.63°C and MAPE of 0.71%. The coefficient of determination (R2 ) of this regression is 0.997.
There are only three outliers out of 2200 data points in the test dataset which suggests that these
points are outliers due to slight measurement errors in raw data (maximum absolute error 18.44
°C, maximum absolute percentage error 22.43%).
(Source : https://media.neliti.com/media/publications/330317-evaluasi-formasi-dan-
perhitungan-volume-f296e269.pdf) (diakses tanggal 02 April 2022.)

16
LAMPIRAN B HASIL PENGAMATAN

17
BOTTOM HOLE TEMPERATURE
(BHT)
Selama pengeboran dan penyelesaian sumur panas bumi, penting untuk memprediksi
suhu lubang bawah sistem cairan dan semen pengeboran serta suhu formasi lubang bawah
untuk desain dan komposisi cairan pengeboran, bubur semen, dan rakitan lubang bawah yang
memadai. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa peningkatan suhu fluida menurunkan
densitas dan sifat reologi fluida. Oleh karena itu, pengetahuan yang akurat tentang Bottom Hole
Temperature (BHT) sangat penting untuk merancang berat lumpur dan reologi dengan benar
sesuai dengan kondisi lubang bawah. Bottom Hole Temperature adalah temperature yang ada
di dasar lubang pemboran. .
Bottom Hole Temperature adalah temperature yang ada di dasar lubang pemboran.
BHT juga merupakan proses perekaman nilai temperatur dari formasi-formasi yang dilewati
saat proses pengeboran. Saat proses perekaman nilai temperatur, nilai yang didapat bukanlah
nilai asli dari temperatur formasi tersebut. Hasil pengukuran bottom hole temperature (BHT)
didapat suhu yang belum stabil atau di bawah suhu asli formasi yang dilintasi lubang bor,
dikarenakan suhu telah ter-distorsi dengan kegiatan pengeboran dan lumpur pengeboran
sehingga perlu dikoreksi lagi. Untuk melakukan pengkoreksian suhu hasil pengukuran maka
dilakukan perhitungan menggunakan metode Horner. Metode Horner plot adalah salah satu
metode perhitungan untuk mengkoreksi nilai atau suhu hasil pengukuran. Hasil perhitungan
dari Horner plot akan diplot di grafik semilog sehingga mendapatkan suhu mencapai
kesetimbangan. Metode Horner plot sudah sangat sering digunakan untuk mengestimasi suhu
pada formasi.
Metode ini sangat mudah digunakan bahkan dilapangan sekalipun, masih bisa
menggunakan metode ini. Disamping itu, metode ini hanya dapat mengolah data yang didapat
dengan jangka waktu 120 jam untuk mengestimasi secara benar. Dan juga menunjukan waktu
sirkulasi fluida selama waktu Horner plot yang kritis untuk di estimasi. Pre-kalkulasi terhadap
gradien termperatur dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui suhu formasi pada kedalaman
tertentu. Hal ini perlu dilakukan karena adanya pengaruh gradien temperatur bottom hole
temperature (BHT) yang selalu berubah terhadap fungsi dari kedalaman. Perubahan temperatur
ini akan mempengaruhi perubahan nilai resistivitas yang akan digunakan dalam menghitung
saturasi air. Data Bottom Hole Temperature (BHT) diperoleh dari pengukuran pada saat
drilling berlangsung.
Untuk sumur yang diselidiki, BHT dan SFT dapat ditentukan dengan akurasi yang
sangat baik menggunakan teknik pembelajaran mesin. Hubungan pembelajaran mesin dapat
berbeda untuk sumur panas bumi yang berbeda yang dibor di berbagai bidang atau formasi.
Namun, begitu suatu hubungan dicirikan menggunakan data lapangan yang memadai, jelaslah
bahwa baik BHT maupun SFT dapat diestimasi dengan akurasi yang tinggi. Sangat bermanfaat
untuk memverifikasi kualitas alat MWD menggunakan regresi. Prediksi suhu lubang bawah
yang lebih baik akan meningkatkan kualitas cairan pengeboran yang meningkatkan laju
penetrasi dan menghasilkan penghematan biaya lebih lanjut. Dengan menggunakan metode ini,
tidak perlu menunggu log suhu yang diambil setelah sumur selesai dibuat. Setelah setiap
bagian, perkiraan suhu formasi yang tepat dapat dilakukan, dan bubur semen dapat dirancang
sesuai dengan itu. Hal ini akan mengurangi waktu pengentalan semen (yang terkadang hingga
48 jam untuk sumur panas bumi

18

Anda mungkin juga menyukai